LAPORAN PENELITIAN DOSEN
PENYITAAN BARANG BUKTI SERTA HAMBATAN DALAM PENYIDIKAN PERKARA PIDANA
Nama Dosen : Agung Satrya Wibawa Taira, SH.,M.Kn
Nama Mahasiswa : I Gede Darmawan Ni Nyoman Meried Yunitri Ida Bagus Rai Yudantara Korlina Mone Ni Made Putri Yulia
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DWIJENDRA DENPASAR 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Penyitaan Barang Bukti Serta Hambatan dalam Penyidikan Perkara Pidana
Peneliti/Pelaksana
:
a. Nama Dosem b. Nama Mahasiswa c. d. e. f. g.
NIDN Jabatan Program studi No. Hp Alamat email
: Agung Satrya Wibawa Taira, SH., M.kn : I Gede Darmawan, Ni Nyoman Meried Yunitri, Ida Bagus Rai Yudantara, Korlina Mone, Ni Made Putri Yulia : 08-0108-8501 : Asisten Ahli : Ilmu Hukum ::-
Lama Pelaksanaan
: 4 bulan
Biaya Penelitian
: Rp. 4.500.000,-
Mengetahui,
Denpasar, 14 Februari 2014
Dekan Fakultas Hukum
Peneliti,
Dr. Putu Dyatmikawati, SH.,M.Hum NIP. 19580727 199403 2 001
Agung Satrya Wibawa Taira, SH., M.Kn NIK. 530 707 160
i
RINGKASAN Dalam kasus-kasus tindak pidana pada umumnya ada alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut atau barang atau benda sebagai hasil dari tindak pidana atau obyek dari tindak pidana tersebut, yang perlu disita. Dalam persidangan di depan pengadilan barang bukti yang disita tersebut harus dihadapkan, dan berdasarkan barang bukti yang disita tersebut hakim akan menilai apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana tertentu apakah terdakwa sebagai pelakunya. Hubungan antara jenis barang bukti yang disita (sebagai alat bukti surat) dari tangan siapa barang bukti tersebut disita dan keterangan saksi terdakwa merupakan petunjuk bagi hakim untuk mendapatkan keyakinan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana tertentu, siapa pelakunya dan benda atau barang-barang tersebut berkaitan serta dengan tindak pidana yang terjadi yang menunjukkan bahwa terdakwa apakah benar pelakunya. Tentang kuat tidaknya nilai pembuktian dari benda atau barang yang disita tergantung kepada keyakinan hakim. Dalam melakukan penyitaan barang bukti oleh penyidik tidak sedikit hambatan yang dihadapi, yang menyangkut teknis, non teknis maupun yuridis, dana, transportasi, keadaan geografis dan lain-lain, sebagai salah satu akibat dari hambatan-hambatan itu timbullah penyimpangan-penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap barang bukti yang disita karena kekurang cermatan, kurang hati-hati dan lain-lain, sehingga akan menghambat kelancaran proses penyelesaian perkara yang bersangkutan sehingga dapat membebaskan atau melepaskan pelaku tindak pidana tersebut.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkahNya, laporan tahunan/akhir penelitian dosen pemula ini dapat diselesaikan. Laporan ini, diharapkan dapat bermanfaat dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum. Dalam Laporan tahunan/akhir ini peneliti melaksanakan hal – hal yang berkaitan dengan persiapan dan perencanaan sampai dengan kegiatan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan Penyitaan Barang Bukti Serta Hambatan dalam Penyidikan Perkara Pidana. Demikian yang dapat peneliti sampaikan, semoga dapat bermanfaat. Denpasar, 14 Februari 2014
Ketua Peneliti
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... i RINGKASAN ............................................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................ iv BAB 1
PENDAHULUAN ............................................................ 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ....................................... 6
BAB 4
METODE PENELITIAN..................................................................... 7
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 7
BAB 6
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ........................................... 20
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pengadilan melalui para Hakim untuk dapat menyelesaikan perkaranya maka ia
perlu mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dan ini berarti hakim harus membuktikan dalil-dalil maupun fakta-fakta yang diajukan oleh pihak yang berperkara, dan tata cara untuk membuktikan dalil maupun fakta tersebut dikenal dengan hukum acara pidana. Adapun tujuan hukum acara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Memperoleh kebenaran yang materiil dalam proses perkara pidana, diperlukan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga hakim yakin benar telah terjadi sesuatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU nomor 8 tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 Lembaran negara tahun 1981 nomor 76) antara lain berupa berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang seperti Penyidik, Pengadilan, Notaris dan lain-lain yang dibuat di hadapan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, yang diperuntukkan guna membuktikan sesuatu hal atau keadaan. Sehingga dengan demikian surat-surat atau Berita Acara Penyitaan Barang Bukti dalam suatu tindakan pidana dapat dikatagorikan sebagai alat bukti sah, sepanjang memenuhi prosedur penyitaan yang dilakukan, sehingga dapat dinyatakan sebagai penyitaan yang sah menurut hukum, sedangkan alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Tahap penyidikan tindak pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan hukum yang bersifat pembatasan atau pengekangan hak asasi seseorang dalam rangka untuk memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
1
umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Dan untuk membatasi penyidik dalam menjalankan atau mempergunakan wewenangnya tersebut agar tidak betindak se wenang-wenang tetapi harus tunduk dan selalu berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku maka disamping diberikan tugas dan kewajibankewajiban, sehingga terciptalah suatu keseimbangan dimana suatu pihak diberikan wewenang yang luas yang menyangkut hak-hak asasi manusia, dan dilain pihak ada peraturan yang mengikat yang harus dipenuhi berupa kewajiban yang prosedur tertentu.1 Mengingat penyitaan barang bukti merupakan atau bersifat pengambilalihan atau penyimpanan di bawah penguasaan penyidik suatu benda milik orang lain, yang melanggar salah satu sendi hak asasi manusia, maka kepada penyidik dalam melaksanakan wewenangnya tersebut dibatasi oleh beberapa prosedur dan persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar penyidik tidak menyalahgunakan wewenang tersebut yang mengarah pada perbuatan sewenang-wenang atau tindakan untuk kepentingan pribadi yang melanggar hak asasi manusia atau hak asasi seseorang. Maka dalam pelaksanaannya diadakanlah pembatasan-pembatasan antara lain adanya ijin Ketua Pengadilan Negeri dimana barang bukti yang akan disita itu berada, kecuali terhadap benda bergerak dapat diminta izin Ketua Pengadilan Negeri Wilayah Hukum Pengadilan Negeri dimana tindak pidana itu terjadi (locus delikti) walaupun barang bukti (benda bergerak) yang dilakukan benda penyitaan tersebut berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri lain. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dapat mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penyitaan tetapi hanya terbatas pada benda bergerak dan untuk itu
1 C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hal. 47
2
wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapatkan persetujuan.2 Benda yang dapat disita adalah benda yang dapat dipergunakan untuk melakukan delik (yang dikenal “Dengan mana delik dilakukan”) dan benda yang menjadi obyek delik (yang dikenal dengan “Mengenai mana delik dilakukan”) serta benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit.3 Selain itu untuk tidak pidana yang tertangkap tangan Undang- undang telah memberikan wewenang yang sangat luas kepada penyidik dalam melakukan penyitaan karena bukan saja diberikan wewenang untuk menyita benda-benda yang ia ketahui secara patut dapat diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana melainkan juga benda-benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti, sehingga berarti benda-benda mana saja yang ingin ia sita untuk dapat dipakai sebagai bukti sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan penyidik itu sendiri. Namun hal ini tidak berarti bahwa Undang-undang telah mengijinkan kepada penyidik untuk mempergunakan wewenang secara sewenang-wenang, mengingat setelah penyitaan dilakukan, wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, karena keadaan sangat perlu dan mendesak. Dalam kasus-kasus tindak pidana pada umumnya ada alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut atau barang atau benda sebagai hasil dari tindak pidana atau obyek dari tindak pidana tersebut, yang perlu disita. Dalam persidangan di depan pengadilan barang bukti yang disita tersebut harus dihadapkan, dan berdasarkan barang bukti yang disita tersebut hakim akan menilai apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana tertentu apakah terdakwa sebagai pelakunya. Hubungan antara jenis barang bukti yang disita (sebagai alat bukti surat) dari tangan siapa barang bukti tersebut disita dan keterangan saksi terdakwa merupakan petunjuk bagi hakim untuk mendapatkan keyakinan bahwa benar telah 2 3
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua, hal. 149 A. Soetomo, 1990, Hukum Pidana Indonesia Dalam Praktek, Pustaka Kartini, Cetakan I, hal. 31
3
terjadi suatu tindak pidana tertentu, siapa pelakunya dan benda atau barang-barang tersebut berkaitan serta dengan tindak pidana yang terjadi yang menunjukkan bahwa terdakwa apakah benar pelakunya. Tentang kuat tidaknya nilai pembuktian dari benda atau barang yang disita tergantung kepada keyakinan hakim. Berdasarkan hasil pengamatan permulaan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai: Bagaimana Penyitaan Barang Bukti serta Hambatan Dalam Penyidikan Perkara Pidana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Lembaga Negara,Penegak Hukum, Pembentuk undang-undang, Kalangan Akademisi serta masyarakat secara luas dalam upaya memberikan pemahaman mengenai Peyitaan barang bukti serta hambatan yang terjadi dalam perkara pidana.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum. Hal ini sangat jelas tertuang dalam batang tubuh UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Salah satu ciri negara hukum adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun teori negara hukum dianggap sebagai tipe universal, pada tataran implementasi memiliki karakteristik beragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruhpengaruh situasi kesejarahan, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lainlain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, tipe negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon ( rule of law ), konsep socialis legality, dan konsep negara hukum Pancasila.4 Teori negara hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yaitu civil law.
4
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1
4
Secara etimologi pengertian barang bukti dapat dibagi menjadi dua kata, yaitu barang dan bukti. Barang adalah benda umum (segala sesuatu yang berwujud atau berjasad), misalnya ; benda cair, benda padat.5 Sedangkan bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya).6 Jika dirangkai arti kata diatas (barang bukti) adalah benda umum (segala sesuatu yang berwujud atau berjasad) sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu (peristiwa dan sebagainya) yang dimaksud dengan barang bukti adalah barang-barang atau benda yang ada kaitannya dengan suatu tindak pidana, apakah barang yang dipergunakan atau sebagai alat untuk melakukan suatu tindak pidana, atau barang/objek dari suatu tindakan pidana yang dapat dijadikan sebagai alat bukti guna kepentingan proses peradilan baik ditingkat penyidik, penuntut maupun pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Namun yang dimaksud dengan peranan adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya sesuatu hal atau peristiwa). 7 Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah tahapan-tahapan dari kegiatan penyelesaian perkara pidana dari tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di depan sidang pengadilan, hingga dijatuhkan putusan hakim (vonis), baik berupa putusan bebas pelepasan dari terdakwa. Tugas penyidik dalam melakukan penyitaan terhadap barang bukti atau benda yang ada kaitanya dengan tindak pidana tanpa Surat Perintah Penyitaan. Pada pasal 1 angka 19 KUHAP telah diberikan batasan pengertian mengenai tertangkap tangan yaitu : Tertangkap tangan adalah tertangkapnya sesorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelaku tindak pidan itu.
5
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, . hal 91 Ibid, hal 160 7 Ibid, hal. 735. 6
5
Kewajiban penyidik untuk kepentingan penyidik terhadap barang sitaan yaitu menguasai benda yang disita sebagai barang bukti/alat pembuktian agar menyerahkan kepada penyidik, termasuk berbagai surat/tulisan yang berasal dari tersangka/terdakwa atau ditunjukkan kepadanya, kepunyaannya atau diperuntukkan baginya, jika benda (surat/tulisan) itu merupakan alat bukti untuk melakukan tindak pidana (Pasal 42 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dalam melakukan penyitaan dihadapkan pada beberapa hambatan, diantaranya susahnya atau lambatnya mendapatkan surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri. Namun berdasarkan pasal 38 ayat 2 KUHAP hambatan tersebut dapat diatasi, dimana pada pasal 38 ayat 2 KUHP disebutkan : Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dimana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan.8
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Penyitaan
barnag bukti serta hambatan-hambatan dalam perkara Pidana
3.2.
Manfaat Penelitian 1.
Bagi kalangan akademisi penelitian ini bermanfaat setidak-tidaknya sebagai rujukan awal dalam menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi dalam penyitaan barang bukti.
2.
Bagi masyarakat/praktisi hukum, penelitian ini sebagai salah satu sumber rujukan dalam memahami prosedur dan cara penyitaan barang bukti dalam perkara pidana.
8
Ibid., hal. 736.
6
BAB 4. METODE PENELITIAN Dalam usaha untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, mettode yang dilakukan yaitu metode penelitian empiris, yaitu dengan cara membahas peraturanperaturan khususnya Hukum Acara Pidana dan juga dilakukan pendekatan sosiologis, yaitu sebagaimana
pelaksanaan
penyitaan
yang dilakukan
oleh
penyidik
Polri
dalam
pelaksanaannya di lapangan.
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Penyitaan Barang Bukti Dalam Perkara Pidana Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima
laporan / pengaduan dari masyarakat ataupun setelah diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penuntut umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri, selanjutnya Hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa bisa atau tidak. Barang bukti atau Corpus Delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila kita perhatikan satu persatu peraturan perundang- undangan mengenai hukum pidana baik Undang-undang pokok maupun peraturan pelaksanaannya tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Akan tetapi apabila dikaitkan pasal demi pasal yang ada hubungannya dengan masalah barang maka secara implisit akan dapat dipahami apa sebenarnya barang bukti itu. Sebagai patokan dapat kita pergunakan pengertian barang bukti menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Kamus Hukum, sebagai berikut : Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (objek Delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah dari delik. Misalnya uang hasil mencuri yang
7
dipakai untuk membeli mobil, maka mobil tersebut merupakan barang bukti atau hasil delik.9 Disamping itu ada pula barang yang bukan merupakan obyek, alat atau delik tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya yang dipakai korban pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengenai barang bukti diatur dalam pasal-pasal yaitu : a. Pasal 46 (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana: Apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkaran lain. b. Pasal 181 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 1) Hakim Ketua Sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperlihatkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 Undang – undang ini. 2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh Hakim Ketua Sidang kepada saksi. c. Pasal 194 (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana: Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan sesudah sidang selesai. Atas ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, maka barang bukti dalam perkaran pidana merupakan faktor yang menentukan kesalahan terdakwa disamping keyakinan hakim, maka disini perlu diperhatikan baik oleh penyelidik, penuntut umum atau hakim. Adapun fungsi barang bukti tersebut terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa. Dalam HIR, pengertian barang bukti ini hanya berupa barang-barang bergerak saja (pasal 42 jo 63 HIR), sedangkan Undang-undang No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi mengenai barang bukti berupa barang yang tak berwujud. Disamping itu undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi mengenal pula barang bukti berupa barang tetap yang berwujud dan tak
9
Andi Hamzah, 1985, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 100
8
berwujud, kemudian Hukum Acara Pidana, barang bukti tersebut dikenal berupa : benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa tiada seorang juapun yang dapat dijatuhi pidana kecuali apabila karena alat pembuktian yang sah menurut Undangundang, hakim dapat berkeyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduh atas dirinya. Selanjutnya ketentuan tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 183 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannnya. Dalam penjelasan pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif menurut Undang-undang. Dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.10 Adapun yang dimaksud dengan sistem pembuktian secara negatif menurut Undangundang adalah : 1. Untuk mempermasalahkan seorang terdakwa diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang. 2. Namun demikian biarpun bukti bertumpuk-tumpuk melebihi minimum yang ditetapkan dalam Undang-undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang 10
R. Soesilo, 1985, Teknik Berita Acara Ilmu Bukti dan Laporan (menurut KUHAP), politisi.
9
kesalahan terdakwa, ia tidak boleh mempermasalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.11 Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut : a.
Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dengan demikian pendapat atau rekaan diperoleh dari hasil pemikiran saja bukanlah merupakan keterangan saksi. Pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti dicantumkan dalam pasal 185 ayat (1) Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. b.
Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khususnya tentang hal yang diperlukan untuk mendapat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam pasal 186 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan pengertian keterangan ahli sebagai alat pembuktian yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. c.
Surat Alat bukti selanjutnya adalah surat, yang pengertiannya dicantumkan pasal 187 yang
berbunyi sebagai berikut : Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : 1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
11
R. Soebekti, 1975, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 10
10
2. Surat dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau suratsurat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawab dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan. 3. Surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. 4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.12 d.
Petunjuk Menurut pasal 188 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain.
e.
Keterangan terdakwa Pasal 189 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa
keterangan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dilakukannya atau diketahui atau dialaminya sendiri. Jadi keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di depan sidang pengadilan, sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang, dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dipersidangan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan padanya. Dalam pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu bukti yang sah. Dengan kata lain walaupun hanya didukung oleh satu alat bukti yang sah dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut dihukum. Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seseorang terdakwa apabila kesalahannya terbukti secara sah menurut Undang-undang. Keterbuktian ini juga harus pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan hakim. Jadi walaupun ada bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut harus dibebaskan. Hal ini sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu 12
Ibid, hal. 105
11
mengadili dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan. Undangundang selalu menempatkan keyakinan hakim sebagai suatu kunci terakhir dalam pemeriksaan pengadilan dipersidangan. Keyakinan memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya bukti yang diajukan di persidangan, bahkan keyakinan hakim diletakkan oleh pembuat Undang-undang di tingkat teratas. Dari dua syarat tersebut di atas yakni antara alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang dengan keyakinan hakim haruslah adanya hubungan kausal (sebab akibat)13 Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan jaksa penuntut umum kepada terdakwa,maka disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut. Pelaku, perbuatan dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari pada usaha mencari dan menemukan kebenaran materiil. Terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia dapat ditanggung jawabkan secara pidana disamping bukti tentang adanya kesalahan terhadap perbuatannya apakah terbukti sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.14 Meskipun barang bukti mempunyai peranan yang penting, dalam perkara pidana bukanlah berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak selalu ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana bukanlah tanpa adanya barang bukti, misalnya penghinaan secara lisan, dalam hal demikian hakim melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti. 5.2
Hambatan- hambatan Penyitaan barang Bukti Dalam Proses Perkara Pidana Untuk memperoleh kebenaran yang materiil dalam proses perkara pidana diperlukan
bukti yang sah sehingga hakim yakin benar telah terjadi suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Salah satu alat bukti yang sah adalah bukti surat.
13
Hari sasongko dan Tjuk Suharjanto, 1988, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Emas, Surabaya, Hal. 149 14 M. Yahya Harapan, 1985, Pembatasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Jakarta, Pustaka Kartini, hal 801.
12
Menurut pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, surat tersebut antara lain berupa Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang seperti penyidik, pengadilan, notaris dan lain-lain yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri atau surat dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabanya yang diperuntukkan guna pembuktian sesuatu hal atau keadaan. Dari ketentuan tersebut diatas maka surat-surat atau berita acara penyitaan barang bukti dalam suatu kasus pidana dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat sepanjang memenuhi prosedur penyitaan, sehingga dapat dinyatakan sebagai penyitaan yang sah menurut hukum, akan tetapi dalam suatu tindak pidana oleh penyidik diusahakan agar dapat ditemukan atau disita barang bukti yang lengkap yang dapat dinilai sebagai alat bukti untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di depan sidang pengadilan. Penyitaan barang bukti agar secara yuridis dinyatakan sebagai tindakan yang sah harus memenuhi prosedur tertentu. Pada hakekatnya penyitaan barang bukti itu dilakukan guna kepentingan pembuktian dalam rangka penyelidikan, penuntutan dan peradilan pidana. Para penyidik/penyidik pembantu atau penyidik atas perintah penyidik atau penyidik pembantu hanya dapat melakukan penyitaan dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sehingga dengan demikian sebelum penyidik/penyidik pembantu melakukan penyitaan perlu dilakukan persiapan sebagai berikut : 1. Mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh surat izin penyitaan atau surat izin khusus untuk melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat/surat-surat lain. 2. Menerbitkan Surat Perintah Penyitaan rangkap 9 (sembilan) setelah memperoleh surat izin/izin khusus dari ketua pengadilan negeri setempat sebagai tersebut diatas,
13
dan salinan foto copy surat izin/izin khusus penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri dilampirkan pada Surat Perintah Penyitaan. 3. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak di mana tindakan penyitaan perlu segera dilakukan maka Surat Perintah Penyitaan diterbitkan tanpa adanya izin/izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu. Namun setelah penyitaan dilakukan penyidik wajib segera mengajukan permohonan izin persetujuan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. 4. Menentukan petugas dan peralatan serta kelengkapan yang diperlukan termasuk untuk kepentingan pengangkutan/pengawasan benda sitaan. 5. Mengetahui/menentukan atau sekurang-kurangnya dapat memperkirakan antara lain nama, macam/jenis, sifat kemasan jumlah barang yang berkaitan dengan perkara tersebut, yang dapat dan perlu dikenakan penyitaan. Kemudian setelah adanya surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, untuk di luar hal tertangkap tangan barulah penyidik/penyidik pembantu berdasarkan surat perintah penyitaan melakukan tindakan penyitaan terhadap baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang dapat berupa : a. Benda atau tagihan tersangka diperoleh / sebagai hasil tindakan pidana. b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukannya. f. Benda yang berada dalam sitaan perkara perdata atau pailit sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e diatas.
14
Kemudian dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik/ penyidik pembantu dalam melakukan penyitaan dapat tanpa surat izin Ketua Pengadialn Negeri dan hanya berdasarkan Surat Perintah Penyitaan tetapi terbatas pada benda-benda bergerak saja. Namun setelah selesai melakukan penyitaan wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan meminta persetujuan penyitaan dengan melampirkan Surat Perintah Penyitaan dan Berita Acara Penyitaan. Sedangkan dalam hal tertangkap tangan, penyitaan yang dilakukan oleh penyidik / penyidik pembantu dan penyidik tidak diperlukan surat izin/ surat izin khusus Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu dan juga tanpa Surat Perintah Penyitaan dan Berita Acara Penyitaan. Sedangkan dalam hal tertangkap tangan, penyitaan yang dilakukan oleh penyidik / penyidik pembantu dan penyidik tidak diperlukan surat izin/surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu dan juga tanpa Surat Perintah Penyitaan terhadap benda dan alat yang ternyata atau diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Tetapi kalau penyitaan dalam hal ini dilakukan oleh penyidik baik karena mendapatkan sendiri maupun karena dalam adanya penyerahan dari orang lain, harus segera diserahkan kepada penyidik/penyidik pembantu sedaerah hukum dengan disertai Berita Acara tentang tindakan yang dilakukan. Dalam hal penyitaan yang dilakukan di luar daerah hukum dari penyidik yang melakukan penyitaan maka pelaksanaannya selain harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri, juga didampingi penyidik/penyidik pembantu setempat. Dalam melakukan penyitaan paling sedikit dilakukan oleh dua orang petugas, kemudian menghubungi Kepala Desa / Lurah / Kepala Lingkungan untuk menjadi saksi dalam tindakan penyitaan tersebut ataupun dua orang lainnya sebagai saksi. Sebelum melakukan penyitaan penyidik / penyidik pembantu harus menunjukkan tanda pengenal dan surat perintah penyitaan dengan dilampir salinan / foto copy surat izin / izin khusus Ketua Pengadilan Negeri kepada
15
orang/keluarganya dari siapa benda itu disita, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, sedangkan dalam hal tertangkap tangan cukup dengan menunjukkan surat pengenal saja. Terhadap benda-benda yang akan disita oleh penyidik-penyidik pembantu dan penyelidik atas perintah penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penyitaan, diperlihatkan data/keterangan tentang asal benda, benda tersebut akan disita dengan disaksikan oleh Kepala Desa / Lurah / Kepala Lingkungan/Kepala Dusun berserta dua orang saksi. Terhadap benda-benda yang disita dibuatkan daftar secara terperinci tentang jumlah atau berat menurut jenis masing-masing dan untuk pengamanan apabila dianggap perlu benda yang akan disita dilakukan pemotretan terlebih dahulu dan kemudian selanjutnya bendabenda sitaan dibungkus atau diikat menurut jenisnya, dimana untuk benda sitaan yang dibungkus diberikan label. Pada label dicatat nomor registrasi barang bukti, jenis, jumlah, dan beratnya. Ciri maupun sifat khasnya, tempat hari dan tanggal penyitaan serta identitas orang darimana benda itu disita. Kemudian diberikan hak, dan cap jabatan dan ditandatangani oleh yang menyita, dalam perkara apa, pasal pidana yang disangkakan. Kemudian dibuatkan Berita Acara Pembungkusan/penyegelan benda sitaan / barang bukti tersebut. Tetapi untuk benda sitaan yang tidak mungkin dibungkus adalah dengan cara : 1. Diberi label yang juga memuat catatan atau hal-hal seperti tersebut diatas, kemudian label tersebut ditempatkan atau dikaitkan pada bagian benda sitaan yang memungkinkan label tersebut mudah dilihat 2.
Dalam hal benda sitaan disimpan di dalam kemasan/peti dan jumlahnya banyak sehingga benda sitaan akan disimpan tetap di tempat semula, maka dengan mempergunakan benang (tali) rami yang kuat peti-peti tersebut dihubungkan satu sama lain sedemikian rupa dan pada bagian- bagian tertentu tali tersebut
16
disimpulkan dan dilak serta cap/stempel lak, sehingga apabila ada perubahan akan mudah diketahui oleh petugas. Petugas yang melakukan penyitaan memberikan satu lembar Surat Tanda Penerimaan kepada orang/keluarga/jawatan/lembaga yang menyerahkan atau darimana benda-benda tersebut disita, sebagai bukti bahwa benda-benda itulah disita oleh petugas dan bahwa
benar
benda-benda
tersebut
disita
dari
yang
bersangkutan.
Selanjutnya
penyidik/penyidik pembantu dan atau penyelidikan yang melakukan penyitaan atas perintah penyidik/penyidik pembantu memuat Berita Acara Penyitaan yang setelah dibacakan terlebih dahulu oleh petugas yang melakukan penyitaan, oleh orang/keluarga/jawatan/ lembaga dari siapa benda itu disita oleh kepala desa/kepala lingkungan atau saksi-saksi. Turunan Berita Acara Penyitaan tersebut satu lembar diberikan kepada orang/keluarga/jawatan lembaga darimana benda tersebut disita dan juga untuk Kepala Desa yang menyaksikan penyitaan. Dalam hal orang / keluarga / jawatan / lembaga dari siapa benda tersebut disita menolak untuk menanda tangani Berita Acara Penyitaan, Disita dalam Berita Acara Penyitaan dan disebutkan alasan penolakan tersebut. Surat Perintah Penyitaan, Berita Acara Penyitaan, Surat Penetapan izin/izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri dan Surat Tanda Penerimaan dimuat dalam berkas perkara yang diajukan kepada Jaksa/Penuntut Umum atau Pengadilan Negeri berikut barang buktinya. Penyitaan yang dilakukan tanpa Surat Perintah Penyitaan (kecuali tertangkap tangan), izin atau izin khusus Pengadilan Negeri, Surat Tanda Penerimaan dan Berita Acara Penyitaan adalah tidak sah dan barang / benda yang disita tidak dapat diajukan sebagai bukti yang sah atau tidak bernilai di depan sidang pengadilan. Dalam praktek seperti yang dikemukakan oleh Bapak AKP I Nengah Mertha seorang Penyidik di Kapolres Klungkung, bahwa : Dalam melakukan penyitaan selama ini masih ada hambatan- hambatan, karena baik sarana maupun prasarana belum tersedia secara memadai dan mengenai surat
17
izin dari Ketua Pengadilan Negeri juga adanya hambatan terutama dalam keadaan mendesak. Disamping itu masih ada daerah-daerah tertentu di wilayah Klungkung yang agak sulit dijangkau dengan kendaraan sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan penyitaan.15 Disamping hambatan-hambatan di atas juga dalam melakukan penyitaan di luar wilayah hukum diperlukan sedikit waktu yang agak lama. Hambatan-hambatan lain biasanya sering terjadi terhadap keluarga tersangka yang tidak menyetujui apabila bendanya disita oleh penyidik, tapi berkat pendekatan serta penjelasan maka keluarga dapat mengerti, dan dengan menunjukkan Surat Perintah penyitaan bahwa barang-barang tersebut merupakan barang yang tersangkut dalam tindak pidana dan barang bukti tersebut dalam pemeriksaan penyidik untuk proses peradilan. Sejalan dengan pendapat Bapak AKP I Nengah Mertha juga dibenarkan oleh Bapak AKP Nanang Irwanto Kasat Reskrim di Polres Klungkung menyatakan bahwa : Hambatan-hambatan mengenai penyitaan barang bukti adalah adanya dari pihak ketiga seperti sulitnya barang bukti ditemukan karena dibawa kabur oleh pihak ketiga seperti halnya sepeda motor, dan mengenai penyimpanan barang sitaan belum adanya tempat penyimpanan yang memadai untuk barang bukti yang tergolong besar seperti halnya mobil.16 Dan untuk menghindari timbulnya praperadilan dalam melakukan penyitaan, karena seorang penyidik/penyidik pembantu atau penyelidik atas perintah penyidik karena diberi wewenang yang seluas-luasnya dalam melakukan penyitaan maka harus berpedoman pada perundang-undangan dan juklak/juknis. Dan juga menurut Bapak AKP Nanang Irwanto mengatakan bahwa : Peranan penyitaan barang bukti sangat penting untuk menjernihkan suatu tindak pidana karena dengan adanya barang bukti tersebut pihak penyidik akan dapat menganalisa dan menentukan jenis kejahatan, pelaku serta apakah perkara tersebut dapat dilanjutkan pada tingkat berikutnya.
Wawancara dengan Bapak AKP I Nengah Mertha , Jabatan Penyidik Polres Klungkung pada Tanggal 6 Januari 2014, di Kapolres Klungkung 16 Wawancara dengan AKP Nanang Irwanto, Jabatan KASAT RESKRIM Polres Klungkung, Hari Senin Tanggal 8 Januari 2014 di Polres Klungkung. 15
19
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA Adapun rencana tahapan penelitian berikutnya adalah melakukan evaluasi serta memperhatikan bagaimana proses Penyitaan barang Bukti dilakukan dalam perkara pidana serta pertanggung jawaban barang bukti setelah perkara pidana diputus oleh Pengadilan negeri yang berwenang.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Penyitaan barang bukti dalam perkara pidana di tingkat penyidikan memegang
peranan yang sangat penting dalam membuat terang proses perkara pidana sebab dengan adanya barang bukti tersebut penyidik dapat menentukan dan menemukan siapa pelaku dari suatu tindak pidana yang terjadi. Dari barang bukti tersebut penyidik dapat memperkirakan sejauh mana hubungan tersangka/terdakwa dengan barang bukti yang ditemukan, sehingga penyidik dapat menentukan apakah kasus/tindak pidana tersebut cukup bukti untuk diajukan ke tingkat lebih lanjut yaitu diajukan kepada penuntut umum. Selanjutnya Penuntut Umum juga akan memeriksa berkas tersebut apakah terhadap tersangka/terdakwa cukup alasan dan bukti diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan Hakim berdasarkan barang bukti yang telah disita dan keyakinannya akan dapat menentukan apakah terdakwa yang diajukan ke depan sidang pengadilan benar-benar melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum atau tidak. Maka dari itu barang bukti yang disita secara sah hakim dapat menentukan terdakwa dijatuhi pidana atau tidak. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik di lapangan dalam proses penyitaan barang bukti masih cukup banyak diantaranya faktor barang sitaan, penghalang dari pihak ketiga dan sarana tempat penyimpanan barang bukti. Disamping itu juga hambatan yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan
20
penyitaan di lapangan adalah sulitnya/lambatnya mendapatkan surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri 7.2
Saran Dalam melakukan penyitaan hendaknya penyidik, penyidik pembantu, penyelidik
atas perintah penyidik mampu menghadapi segala hambatan- hambatan terjadi dilapangan dan juga belajar dari pengalaman yang sudah pernah dihadapi, sehingga dalam melaksanakan penyitaan tidak ada hambatan yang berarti agar penyitaan itu bisa berjalan dengan sukses.
21
Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian Judul Penelitian
:
Penyitaan Barang Bukti Serta Hambatan dalam Penyidikan Perkara Pidana
Skema Hibah Peneliti/Pelaksana a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Lama Pelaksanaan Biaya Penelitian
:
Penelitian Dosen
: : : : :
Agung Satrya Wibawa Taira, SH.,M.Kn 08-0108-8501 Universitas Dwijendra Denpasar 4 bulan Rp. 4.500.000,-
Rincian Penggunaan
1. HONOR OUTPUT KEGIATAN Item Honor Volume 1. Honor ketua peneliti
1.00
Satuan Rp
Honor/Jam (Rp) 1.000.000
Sub Total (Rp)
2. BELANJA BAHAN Item Bahan
Total (Rp) 1.458.000
1.458.000
Volume
Satuan
1. Tape recorder
1.00
buah
Harga Satuan (Rp) 75.000
2. Kertas HVS
2.00
Rim
48.000
96.000
3. Bolpoint
1.00
lusin
36.000
36.000
4. Tinta Printer lazer jet
2.00
Set
95.000
190.000
5. CD RW
10.00
buah
5.000
5.000
6. Penggandaan Materi
50.00
lembar
7.000
350.000
22
Total (Rp)
75.000
Sub Total (Rp)
3. BELANJA BARANG NON OPERASIONAL LAINNYA Item Barang Volume Satuan Harga Satuan (Rp) 1. Administrasi (surat-surat) 3.00 Rp 20.000
752.000
Total (Rp)
60.000
2. Laporan (penggandaan, penjilidan)
8.00
Rp
50.000
400.000
3. Publikasi
1.00
Rp
500.000
690.000
4. Pengamatan (evaluasi)
1.00
Rp
500.000
500.000
Sub Total (Rp)
1.650.000
4. BELANJA PERJALANAN LAINNYA Item Perjalanan Volume Satuan
1. Perjalanan
8.00
Rp
Harga Satuan (Rp) 80.000
Total (Rp)
640.000
Sub Total (Rp)
640.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERGUNAKAN (Rp ) Mengetahui Denpasar, 26 Juni 2014 Dekan Universitas Dwijendra, Peneliti,
4.500.000
(Dr. Putu Dyatmikawati, SH.,M.Hum) NIP. 19580727 199403 2 001
(Agung Satrya Wibawa Taira, SH., M.Kn) NIK. 530 707 160
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah,1985, Pengantar Acara Pidana Indonesia, Chalia Indonesia, Cetakan Kedua. _______, 1985, Perlindungan Hak-hak Azasi Manusia Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Jakarta. _______, 1985, Kamus Chalia Indonesia, Jakarta. _______,1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Apeldoorn L.J. 1971, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan ke II. Atang Ranoemihardja, R. 1980, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung. Djisman Samosir C. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun. Djoko Prakoso, 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. Bina Aksara, Cetakan I. Hamid, AT. 1982, Praktek Peradilan Perkara Pidana, Al-Ihsan, Surabaya. Hari Sasongko dan Tjuk Suharjanto, 1988, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Emas, Surabaya. Ko Tja Sing, Hukum Perdata dan Hukum Benda, Bina Cipta, Semarang. Martiman Prodjohamidjojo, 1985, Komentar atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta. Kepolisian Negara RI, 1984, Himpunan Juklak dan Juknis, Jakarta. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Simorangkir, Rudy, Erwin T. Dan Prasetyo, JT. 1987, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta. Soebekti R, 1975, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Soerjana D, 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni, Bandung. Soesilo R, 1985, Teknik Berita Acara Ilmu Bukti dan Laporan (menurut KUHAP), Politia Tahun. Soesilo Yowono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung. Soetomo, A. 1990, Hukum Pidana Indonesia Dalam Praktek, Pustaka Kartini I.
Sri Soedewi Masjchoen, 1975, Hukum Perdata dan Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, Cetakan ke II. Tahun 2001, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lengkap, Bumi Aksara, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung. Yahya Harahap, M. 1985, Pembatasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Jakarta, Pustaka Kartini.