Laporan Konsultasi Activity 2.3 MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M) Strengthening the Capacity of Related Stakeholders in Java on Implementing The New Indonesian TLAS
oleh Mardi Minangsari
01 Februari 2011
Daftar Kata dan Singkatan ARupa = LSM Bioma = LSM BUK /BPK = Bina Usaha Kehutanan/Bina Produksi Kehutanan CSO = Civil Society Organisation FSC = Forest Stewardship Council FWI = Forest Watch Indonesia GRES Garut = LSM HCVF = High Conservation Value Forest Hispam = LSM HR = Hutan Rakyat IPK = Izin Pemanfaatan Kayu ITTO = International Tropical Timber Organization Javlec = LSM JPIK = Jaringan Pemantau Independen Kehutanan KAN = Komite Akreditasi Nasional Kanopi = LSM KpSHK = LSM LATIN = LSM LEI = Lembaga Ekolabel Indonesia LK = Legalitas Kayu LP & VI = Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat LVLK = Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu MFP = Multistakeholders Forestry Program Paramitra = LSM Pendamping Persepsi = LSM Pesat = LSM PI = Pemantau Independen PHPL = Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PHBM = Pemanfataan Hutan Bersama Masyarakat PWP Pacitan = LSM Shorea = LSM SK = Surat Keputusan SKAU = Surat Keterangan Asal Usul Suphel = LSM SVLK = Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Telapak = LSM ToT = Training of Trainees Tropenbos = LSM TUK = Tata Usaha Kayu UM = Unit Management UU = Undang-Undang VLK = Verifikasi Legalitas Kayu
Daftar Lampiran I. Term of Reference Output 2 (Activities 2.1, 2.2 and 2.3) II. Pedoman Pemantauan Independen, Yogyakarta 20 Januari 2011 III. Code of Conduct, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jawa, Draft Yogyakarta 20 Januari 2011 IV.P.02/VI-BPPHH/2010 Lampiran 4. V. P.02/VI-BPPHH/2010 Lampiran 5. VI.Hasil Diskusi Kelompok Terfokus Bogor 21 Desember 2010 VII.Hasil Diskusi Kelompok Terfokus Semarang 23 Desember 2010
Daftar Isi
Latar Belakang!
2
Penugasan Konsultasi!
2
Metodologi
3
Tata Waktu
3
Cakupan Geografis
3
Rujukan Peraturan!
4
Hasil Konsultasi!
6
Kesimpulan dan Rekomendasi!
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
10
1
Latar Belakang Sejak tahun 2003 Pemerintah Indonesia memprakarsai kerja kolaboratif dengan para pemangku kepentingan dalam mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menjawab kritik dari berbagai pihak terutama komunitas internasional mengenai legalitas kayu dan produk kayu dari Indonesia. Keraguan akan legalitas kayu telah mempengaruhi pemasaran dan harga kayu dan produk kayu Indonesia yang berakibat pada resiko ketakberlanjutan produk. Setelah proses panjang yang melibatkan konsultasi multi-pihak di sektor kehutanan, pada 12 Juni 2009, Departemen Kehutanan mengeluarkan keputusan menteri P. 38/Menhut-II/ 2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL ) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) bagi Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan menteri ini ditindaklanjuti pada 15 Juni 2009 dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) (P.6/VI- Sec/2009). Permenhut No. 38 dan Perdirjen BPK No. 6 tersebut akan diterapkan untuk semua pemegang konsesi yang berasal dari hutan Negara di hutan alam (IUPHHKHA/HPH), hutan tanaman (IUPHHK-HT/HPHTI), dan pemegang ijin pengusahaan kayu di hutan masyarakat (IUPHHK-HTR , IUPHHK-HKm), dan hutan hak, IPK, serta untuk pemegang izin industri primer (IUIPHHK) dan industri kayu lanjutan (IUI lanjutan). Pada tanggal 10 Februari 2010 dikeluarkan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) yang menjadi acuan dasar bagi pelaksanaan SVLK Indonesia di lapangan. Proyek ini akan mendukung pelaksanaan SVLK Indonesia untuk sumber-sumber kayu yang berasal dari hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat di Jawa. Proyek ini berfokus pada peningkatan kapasitas kelompok-kelompok dan para pemangku kepentingan terkait lainnya yang akan dicapai melalui penyebaran informasi mengenai SVLK kepada masyarakat dan pemangku kepentingan yang relevan dan melakukan serangkaian pelatihan serta penguatan lembaga pemantau. Diharapkan setelah proyek berahir, kapasitas pihak yang terkait/stakeholder dalam melaksanakan SVLK telah meningkat. Volume perdagangan kayu legal dari hutan rakyat yang berkelanjutan dan hutan tanaman rakyat juga akan meningkat. Dalam jangka panjang, proyek ini diharapkan akan berdampak pada peningkatan ekonomi lokal masyarakat yang bergantung pada hutan di Jawa dan pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal di Indonesia berkurang.
Penugasan Konsultasi Hingga saat ini lembaga atau organisasi masyarakat sipil yang memantau pelaksanaan SVLK di Pulau Jawa masih sangat terbatas. Beberapa organisasi masyarakat sipil/ LSM di Pulau Jawa secara khusus memiliki peran sebagai pendamping masyarakat pemilik hutan untuk sertifikasi hutan rakyat. Namun peran mereka sebagai LSM pendamping dalam pemberdayaan masyarakat relatif berbeda dengan pemantauan SVLK. Ini menyebabkan perlu ada definisi peran dan tanggung jawab masyarakat sipil/LSM dalam pemantauan pelaksanaan SVLK, termasuk pedoman, mekanisme dan prosedur Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
2
pemantauan. Konsultasi publik dan diskusi kelompok diperlukan untuk membangun pedoman dan mekanisme kerja pemantauan independen terhadap SVLK yang dapat diterima. Untuk mencapai tujuan ini, Proyek telah mempekerjakan seorang konsultan ahli nasional selama dua bulan dan konsultan ahli internasioal selama satu bulan untuk melakukan Kegiatan 2.3. yaitu menyusun satu paket pedoman pemantauan independen pelaksanaan SVLK oleh masyarakat sipil. Tujuan penugasan adalah: a. Menyusun protokol/pedoman untuk pemantauan pelaksanaan SVLK. b. Melakukan pertemuan stakeholder untuk memperkenalkan dan membahas protokol/ pedoman. Metodologi
Pekerjaan konsultasi ini dilakukan melalui: 1. Studi mengenai pemantauan hutan independen untuk mendapatkan informasi relevan yang dibutuhkan dalam penyusunan pedoman pemantauan. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.02/VI-BPPHH/2010 digunakan sebagai acuan utama, terutama Lampiran 4. Pedoman Pemantauan Independen dalam Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) danVerifikasi Legalitas Kayu (LK) dan Lampiran 5. Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dalam Pelaksanaan Penilaian Kinerja Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (LK). 2. Menggunakan hasil-hasil kegiatan 2.1 dan 2.2 dalam diskusi dan penyusunan pedoman 3. Diskusi kelompok terfokus dan pertemuan stakeholder untuk menggali dan mendapatkan masukan serta untuk finalisasi draft pedoman Pemantau Independen pelaksanaan SVLK. Konsultan juga melakukan komunikasi dengan pihak-pihak lain yang juga bekerja dalam isu pemantauan independen seperti MFP2-DFID serta menghadiri beberapa pertemuan yang diselenggarakan oleh jaringan pemantau independen kehutanan yang telah ada untuk meningkatkan sinergi dan meminimalkan duplikasi. Tata Waktu
Pekerjaan konsultasi dilakukan dalam selama periode dua bulan kerja antara awal Desember 2010 sampai dengan minggu pertama bulan Februari 201, berdasarkan ketersediaan waktu konsultan. Cakupan Geografis
Proyek ini secara khusus menyebarluaskan informasi mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu kepada para pemangku kepentingan di Pulau Jawa. Dalam program peningkatan kapasitas, kelompok sasaran adalah masyarakat pemegang izin hutan hak dan hutan tanaman rakyat serta industri pengolahan kayu kecil dan menengah di wilayah Jawa bagian barat, tengah dan timur.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
3
Pulau Jawa dipilih karena di pulau ini luas kawasan hutan rakyat telah meningkat. Kawasan hutan rakyat mencakup 4.670 ha dengan potensi yang menjanjikan. Karena kesadaran masyarakat tentang isu pembalakan liar telah tumbuh, masyarakat pemilik hutan perlu memastikan legalitas sumber kayu dan mematuhi peraturan nasional yang mendefinisikan legalitas untuk kayu yang akan mereka hasilkan. Mulai tumbuhnya kesadaran akan masalah ini juga meningkatkan ketertarikan industri pengolahan kayu, terutama industri kecil dan menengah untuk mencermati rantai pasokan kayu mereka, serta keinginan untuk mengurangi resiko potensial terkait perdagangan bahan baku ilegal.
Rujukan Peraturan Pedoman Pemantauan Independenden yang dikembangkan dalam Proyek ini mengacu pada beberapa peraturan spesifik terkait SVLK yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No.38/2009 serta Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 02/2010 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Menteri Kehutanan No.38/2009. Beberapa hal terkait dengan pemantau independen dan pengajuan serta penyelesaian keberatan yang relevan dan digunakan sebagai landasan penyusunan pedoman adalah sebagai berikut. P. 38/Menhut-II/2009 Lembaga Pemantau Independen (LPI) merupakan lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan (Bab I, pasal 1, ayat 8) Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah lembaga yang telah diakreditasi oleh lembaga akreditasi untuk menilai kinerja pengelolaan hutan lestari atau memverifikasi keabsahan hasil hutan kayu pada pemegang izin atau pemilik hutan hak. ( Bab I, Pasal 1, ayat 7) Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah perusahaan berbadan hukum milik Negara atau swasta yang diakreditasi untuk melaksanakan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan/atau verifikasi legalitas kayu. (Bab I, Pasal 1, ayat 14) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen dalam proses penilaian PHPL dan/atau verifikasi legalitas kayu yang dilaksanakan oleh LP&VI. (Bab III, Pasal 14, ayat 1) Dalam hal LSM atau masyarakat madani bidang kehutanan keberatan terhadap hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberatan dimaksud diajukan selambatlambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja kepada LP&VI untuk mendapat penyelesaian. (Bab III, Pasal 14, ayat 2)
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
4
Dalam hal LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan sebagaimana dimaksud ayat (2), LSM atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat mengajukan keberatan kepada KAN. (Bab III, Pasal 14, ayat 3) P.02/VI-BPPHH/2010 Definisi: (Lampiran 4, Bab I, ayat E, poin 1 ): Pemantau Independen : a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen. b. Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan. c. Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin. d. Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK. Kegiatan (Lampiran 4, Bab II, ayat A, poin 1-5): Pelaksanaan 1. Kegiatan pemantauan yang diatur dalam pedoman ini adalah kegiatan pemantau terkait dengan kegiatan verifikasi LK dan Penilaian Kinerja PHPL yakni sertifikasi dan Penilaian Kinerja PHPL 3 (tiga) tahun ke belakang serta sertifikasi dan verifikasi LK 1 (satu) tahun ke belakang yang dilakukan oleh LP&VI. 2. Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK. 3. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. 4. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/ dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/ dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi. 5. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan baik oleh LP&VI maupun KAN. 6. Demi keamanan dan keselamatan sumber informasi, Pemantau Independen dapat merahasiakan identitas responden dan/atau informan. Pelaporan 1. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
5
2. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI. 3. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambat- lambatnya 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian. 4. Dalam hal LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan dapat disampaikan kepada KAN. 5. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian (sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI.
Hasil Konsultasi Selama bulan Desember-Januari 2011, diadakan beberapa kali diskusi kelompok terfokus dan pertemuan stakeholder untuk mendiskusikan berbagai hal terkait pemantauan independen dan mengumpulkan input untuk penyusunan pedoman/protokol pemantauan pelaksanaan SVLK di Pulau Jawa. Diskusi kelompok terfokus diikuti oleh kelompok masyarakat sipil yang telah diidentifikasi melalui kegiatan 2.1 dan 2.2 dalam Proyek ITTO ini. Diskusi kelompok terfokus diselenggarakan di Bogor pada 21 Desember 2010 untuk kelompok masyarakat sipil di Jawa bagian Barat, di Semarang pada 23 Desember 2010 untuk kelompok masyarakat sipil di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sementara itu pertemuan stakeholder (masyarakat sipil) untuk mendiskusikan dan menyepakati draft pedoman pemantauan independen dan Code of Conduct Pemantau independen diselenggarakan di Yogyakarta pada 20 Januari 2011. Selama kegiatan pertemuan diskusi kelompok dan pertemuan stakeholder semua masalah yang relevan dengan isu pemantauan independen dibahas secara komprehensif. Pada diskusi kelompok terfokus, peserta membedah peraturan Kementerian Kehutanan yang mengatur mengenai SVLK dan membahas berbagai isu yang relevan dengan peran mereka sebagai pemantau independen. Beragam pendapat dilontarkan para peserta dalam beberapa pertemuan ini, meski pada akhirnya konsensus dapat dicapai pada hampir seluruh isu yang berkaitan dengan pemantauan dan pemantau independen. Di bawah ini adalah ringkasan dari beberapa isu utama. 1. Pemantau Independen Seluruh peserta menyepakati bahwa peraturan yang ada pada dasarnya membuka kesmepatan bagi seluruh pihak untuk dapat berperan sebagai pemantau independen tanpa ada persyaratan tentang kompetensi. Namum demikian, beberapa kekhawatiran sempat terlontar terutama terkait dengan keberterimaan hasil pemantauan oleh LP&VI, yang dipicu dari tidak adanya pengakuan terhadap pihak-pihak yang melakukan pemantauan. Di sisi lain, peserta juga mengakui bahwa pada batas tertentu, pemahaman tentang SVLK dan tata laksananya diperlukan untuk dapat melakukan pemantauan dan menghasilkan laporan pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi hangat terjadi ketika membahas mengenai definisi pemantau yang tercantum dalam Peraturan Dirjen BPK No.02/2010 : Lembaga (termasuk personil lembaga) atau
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
6
individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin. Beberapa peserta mengutarakan ketidaksetujuannya dengan alasan bahwa aturan ini akan sangat membatasi pihak-pihak yang ingin berpartisipasi dalam pemantauan dan bahwa aturan ini bertentangan dengan klausul yang menyatakan bahwa seluruh warga negara Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap isu kehutanan dapat melakukan pemantauan. Klausul ini diusulkan untuk dihilangkan atau diperbaiki redaksionalnya sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Terkait dengan kriteria pemantau, pedebatan juga terjadi ketika membahas apakah sebuah LSM atau organisasi yang bekerja sebagai pendamping atau fasilitator hutan rakyat dapat berperan sebagai pemantau. Para para peserta dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta cukup berkeras bahwa fasilitator juga semestinya bisa berperan sebagai pemantau independen. Sebaliknya, para peserta yang berasal dari Jawa Barat pada umumnya menyepakati bahwa fasilitator sebaiknya tidak melakukan pemantauan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan yang bisa berpengaruh terhadap hasil pemantauan. Pada pertemuan terakhir di Yogyakarta, kesepakatan yang diambil adalah bahwa LSM atau organisasi yang bekerja sebagai pendamping atau fasilitator hutan rakyat hanya dapat menjadi pemantau pada wilayah atau lokasi pemegang izin yang bukan merupakan dampingannya. Dari sisi kelembagaan, seluruh peserta menyepakati bahwa bekerja dalam jejaring akan lebih menguntungkan ketimbang bekerja sendiri-sendiri, terutama dalam hal rekognisi atau pengakuan dari pihak-pihak lain, kemudahan akses terhadap informasi serta kredibilitas hasil pemantauan. Untuk itu, para peserta menyepakati bahwa dibutuhkan protokol dan kode etik jaringan. Jaringan atau organisasi pemantau juga dapat berperan sebagai perantara untuk menindaklanjuti laporan mengenai pelaksanaan implementasi SVLK dari masyarakat atau pihak-pihak lain yang tidak dapat melakukan pemantauan sendiri. Seluruh peserta juga menyepakati bahwa adanya jaringan pemantau tidak menutup kesempatan LSM atau kelompok masyarakat lain untuk melakukan pemantauan sendiri atau mengembangkan jaringannya sendiri. Terkait dengan pelaksanaan pemantauan, ada peserta yang mengusulkan bahwa kegiatan pemantauan wajib ada dan dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan audit. Usulan ini sempat dibahas, namun tidak tercapai kesepakatan apakah usulan ini akan diajukan sebagai rekomendasi perbaikan peraturan. Peserta juga membahas pentingnya kegiatan konsultasi publik dalam pelaksanaan verifikasi legalitas kayu sebagai salah satu sarana menyampaikan laporan/input terkait kinerja pemegang izin. Konsultasi publik merupakan salah satu prosedur yang diwajibkan dalam sertifikasi PHPL, namun tidak disyaratkan dalam verifikasi legalitas kayu. Ruang lingkup pemantauan juga merupakan salah satu isu yang mengemuka, di mana dalam peraturan yang ada pemantau independen hanya melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan audit/sertifikasi, baik PHPL maupun verifikasi legalitas kayu. Peserta diskusi juga menyoroti pentingnya memperluas ruang lingkup pemantauan sehingga juga mencakup pemantauan terhadap proses dan hasil akreditasi yang dilakukan Komite Akreditasi Nasional terhadap LP&VI, demikian pula terhadap proses-proses penyelesaian keberatan. Hal ini dikarenakan bahwa LP&VI dan personil auditornya merupakan salah satu komponen kunci penentu hasil audit/sertifikasi.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
7
Para peserta juga mencermati ketiadaan aturan yang jelas mengenai tindak lanjut dan pengelolaan hasil pemantauan. Disarankan bahwa pengelolaan hasil pemantauan harus ditangani oleh sebuah meja tunggal di Kementerian Kehutanan sebagai pemilik sistem, sehingga hasil-hasil pemantauan dapat ditindaklanjuti sebagai masukan untuk perbaikan sistem. Suatu kasus khusus adalah "broker atau pengepul" di Jawa. Kelompok ini memainkan peranan penting dalam rantai pasokan antara petani (produsen bahan baku) dan industri tetapi peraturan yang berlaku tidak menyebutkan kelompok ini sebagai salah satu simpul rantai pasokan kayu. Salah satu permasalahan utama dengan kelompok pengepul ini adalah karena mereka tidak dapat membuktikan asal-usul kayu yang mereka beli dari petani dan masuk ke industri. Salah satu solusi yang dibahas adalah dengan memasukkan kelompok ini sebagai subyek verifikasi untuk menjamin akuntabilitas sistem verifikasi di seluruh rantai pasokan kayu. 2. Data dan Informasi Pembahasan mengenai data dan informasi berlangsung cukup intensif dalam beberapa diskusi kelompok terfokus baik di Bogor maupun Semarang. Para peserta kembali mencermati beberapa hal yang tidak diatur secara jelas dalam P.38/2009 maupun P. 02/2010. Dalam P.02/2010 dikatakan bahwa “Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi.” Peraturan ini tidak secara tegas mengatakan bahwa pemantau independen berhak atas informasi publik yang dibutuhkan dalam pemantauan, serta tidak mewajibkan pemegang informasi memberikan data dan informasi yang dibutuhkan pada pemantau independen. Para peserta dari seluruh region di Pulau Jawa juga menyoroti prosedur memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Peraturan P.02 tidak mengatur secara jelas bagaimana prosedur mengakses informasi publik, termasuk di antaranya informasi apa saja yang dapat diakses, format permohonan, kepada siapa ditujukan, berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai permohonan informasi ditanggapi, apa yang terjadi/sanksi apa yang diberikan jika data/informasi yang diminta tidak diberikan oleh pemegang informasi. Masalah mengenai akses informasi ini menjadi sangat penting karena ketersediaan data dan informasi merupakan hal kunci bagi pemantauan independen, tanpa adanya akses terhadap data dan informasi terkait kinerja dan keabsahan pemegang izin yang beroperasi di suatu wilayah, maka pemantauan independen mustahil dilakukan. Beberapa peserta mengusulkan perbaikan peraturan dengan menyatakan bahwa semua data/informasi yang dapat diakses oleh LP&VI harus juga dapat diakses oleh pemantau independen. Sementara peserta lain juga menyoroti masalah transparansi informasi dasar kehutanan yang hingga kini masih merupakan problem utama bagi kelompok masyarakat sipil yang bekerja dalam isu pemantauan hutan.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
8
3. Akses Lapangan Pemantau Independen Keberhasilan kegiatan pemantauan juga ditentukan dari keleluasaan para pemantau melakukan pemantauan di lapangan. Para peserta mencermati sulitnya memiliki akses lapangan ketika hendak melakukan pemantauan di suatu wilayah pemegang izin, yang juga berimplikasi pada resiko keamanan diri para pemantau. Disadari bahwa salah satu penyebab sulitnya akses lapangan adalah karena para pemantau tidak dikenali atau diakui oleh pemegang izin, meskipun dalam peraturan yang berlaku pemantau independen merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem SVLK. Dalam diskusi terkait isu ini, pengakuan terhadap keberadaan pemantau merupakan pokok bahasan utama. Disadari bahwa jika individu atau lembaga pemantau bergabung dalam suatu jaringan atau asosiasi, maka mereka dapat dibekali dengan surat pengantar yang merupakan pengakuran terhadap keberadaan mereka yang dapat memudahkan akses memasuki wilayah pemegang izin. Hal ini dapat dilihat dalam kasus wartawan, dimana wartawan dilindungi hukum jika ia dapat menunjukkan kartu identitas (kartu pers) yang sekaligus menjamin akses terhadap informasi. Sempat pula muncul usulan bahwa pemantau sebaiknya melapor atau diregistrasi pada pemerintah sehingga pemerintah dapat memberikan klarifikasi jika terjadi permasalahan di lapangan terkait aktivitas pemantauan. Usulan lainnya untuk memudahkan akses lapangan adalah pemantau mendampingi tim auditor ketika proses audit berlangsung. 4. Keberatan dan Penyelesaian Keberatan Dalam diskusi mengenai penyampaian keberatan, beberapa isu menjadi topik utama: basis keberatan, format dan prosedur serta tata waktu. Pemantau independen menyampaikan keberatan terhadap suatu sertifikasi jika mereka menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan audit atau jika hasil-hasil audit tidak sesuai dengan temuan hasil pemantauan. Sehingga, ringkasan publik hasil audit menjadi salah satu basis utama pemantau menyampaikan keberatan. Akan tetapi, peraturan P.02 tidak mengatur format ringkasan publik oleh auditor sehingga hingga saat ini semua ringkasan publik hasil audit yang ada tidak memberikan informasi yang cukup mengenai bagaimana suatu putusan audit atau terbitnya sertifikat dilakukan. Hal ini tentu saja sangat menghambat pemantau independen dalam upaya menyampaikan keberatan terhadap terbitnya suatu sertifikat. Para peserta mengusulkan agar P.02 dilengkapi dengan format ringkasan publik yang baku bagi para auditor yang minimal harus dapat menjelaskan hasil penilaian terhadap indikator atau verifier yang berujung pada terbit atau tidak diterbitkannya suatu sertifikat. Selain itu, ketidakjelasan mengenai jenis informasi apa yang harus disampaikan oleh pemantau independen untuk dapat ditindaklanjuti auditor sebagai bahan keberatan juga dipertanyakan. Hingga saat ini, hampir seluruh auditor menuntut pemantau untuk dapat menyajikan bukti obyektif dalam penyampaian keberatan, padahal pemantau bukanlah auditor kedua. Para peserta diskusi menyepakati bahwa bahan keberatan adalah indikator kuat terjadinya pelanggaran yang dapat dilengkapi dengan data pendukung yang bisa/ telah diuji silang.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
9
Batasan waktu pengajuan keberatan selama 20 hari setelah diumumkannya suatu sertifikat juga dipandang sebagai suatu hal yang tidak diperlukan, terlebih karena ada ketidakjelasan apakah 20 hari dihitung sejak LP&VI mengeluarkan sertifikat atau sejak pengumuman tersebut disiarkan oleh Kementerian Kehutanan. Para peserta diskusi mengusulkan agar batas waktu pengajuan keberatan terhadap suatu sertifikasi dihilangkan, karena dalam klausul lain di P.02 menyatakan bahwa pemantau dapat melaporkan temuan baru pada LP&VI di luar tenggat 20 hari tersebut. Para peserta juga mencermati soal penyelesaian keberatan yang tidak jelas diatur tata waktunya, serta apa yang terjadi status sertifikat suatu unit manajemen atau pemegang izin yang sedang digugat/diajukan keberatan bila penyelesaian keberatan terhadap suatu sertifikat berlarut-larut. 5. Pembiayaan Pembiayaan kegiatan pemantauan juga merupakan salah satu isu yang dibahas. Sejauh ini kegiatan pemantauan dapat berlangsung karena ada dukungan pembiayaan dari berbagai pihak (donor), namun apa yang akan terjadi jika aliran dana dari donor ini berhenti? Beberapa usulan terkait pembiayaan terlontar dalam rangkaian diskusi, di antaranya: a. Pemerintah membiayai kegiatan pemantauan, misalnya seperti skema PNPM, di mana pemerintah mengalokasikan dana untuk pemantauan, yang juga digunakan untuk mengembangkan pemantauan berbasis masyarakat. Pemerintah juga punya kewajiban untuk meningkatkan kapasitas para pemantau sehingga lebih kredibel. b. Pembiayaan diambil dari sumber-sumber non pemerintah yang tidak mempengaruhi independensi dan imparsialitas. Salah satu usulannya adalah biaya pemantauan masuk ke dalam komponen biaya audit (termasuk dalam sistem/aturan pelaksanaan SVLK dan SFM) yang mekanismenya harus diatur tersendiri.
Kesimpulan dan Rekomendasi Dari proses diskusi kelompok terfokus serta pertemuan kelompok masyarakat sipil yang akan mengambil peran sebagai pemantau independen, konsultan menyimpulkan serta merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemantauan Independen merupakan komponen penting dalam pelaksanaan SVLK yang akan lebih memberi jaminan terhadap kredibilitas sistem. 2. Peran sebagai pemantau independen diberikan seluas-luasnya pada masyarakat sipil dengan menjunjung prinsip imparsialitas, bebas konflik kepentingan dan obyektif. 3. Kelembagaan pemantau independen merupakan pilihan masing-masing organisasi atau individu pemantau dan disepakati bahwa keberadaan jaringan atau asosiasi pemantau akan memperkuat kredibilitas, mempermudah akses informasi serta akses lapangan serta pengakuan dari berbagai komponen lain dalam sistem SVLK seperti LP&VI, KAN serta pemerintah sebagai pemilik sistem. 4. Akses terhadap informasi publik yang dibutuhkan dalam pemantauan pelaksanaan SVLK merupakan hak dari pemantau independen dan semestinya dijamin oleh Pemerintah. Karenanya harus ada sanksi jika pemegang informasi tidak memberikan informasi publik yang diminta oleh pemantau independen.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
10
5. Konsultasi publik dalam proses verifikasi legalitas kayu dibutuhkan untuk memaksimalkan input dari masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya. 6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan No. 02/2010 harus segera direvisi sehingga terdapat kejelasan prosedur baik dalam kegiatan sertifikasi, pelaksanaan pemantauan, penyampaian dan penyelesaian keberatan. Kejelasan prosedur ini merupakan salah satu faktor penting yang menunjang pelaksanaan SVLK yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh: harus ada batas waktu tertentu dalam penyelesaian keberatan; Kementerian Kehutanan harus menunjuk Direktorat Jenderal atau posisi spesifik dalam kementerian sebagai penerima laporan laporan pemantauan ataupun laporan keberatan dari pemantau independen.
Laporan Konsultasi Activity 2.3/MoF-ITTO PROJECT TFL PD 010/09 REV. 1 (M)
11