LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN HIBAH PASCASARJANA
PENGEMBANGAN MATERI AJAR EKSPRESI FIGURATIF BAHASAINGGRIS - BAHASA INDONESIA UNTUK MAHASISWA ASING DI WILAYAH SURAKARTA DAN SEKITARNYA
Tahun kedua dari rencana tiga tahun
Tim Peneliti: Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana (NIDN : 0002064401) Dr. Ngadiso, M.Pd. (NIDN : 0002064401) Dr. Budi Purnomo, M.Hum. (NIDN : 0031126201) Sunardi, S.S., M.Pd. (NIM : T111108002)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA SEPTEMBER, 2013
RINGKASAN Fenomena sosial dan psikologis yang muncul ketika mahasiswa asing tinggal di Indonesia dalam rangka studi adalah kemungkinan timbulnya berbagai kendala dan gegar budaya (culture shock), terutama pada saat penutur asing pertama kali memasuki lingkungan dengan budaya lokal yang masih asing baginya. Kajian Samiati et. al (2007, 2008, 2009) menunjukkan bahwa mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sebelas Maret (UNS) mengalami masalah budaya demikian, yang mengindikasikan perlunya mereka mendapat bimbingan atau orientasi budaya, khususnya pada awal keberadaannya di wilayah Surakarta. Masalah tersebut pada hakekatnya merupakan kendala budaya yang muncul ketika terjadi kontak antara bahasa dan budaya yang berbeda. Masalah lain adalah terjadinya perubahan fenomena kebahasaan pada saat terjadi interaksi lintas budaya. Bahasa yang dipakai acapkali mengandung istilah baru yang kemudian dipakai secara luas, serta alih kode dan campur kode antara bahasa-bahasa tersebut. Orang tidak lagi berpegang pada bahasa baku yang biasanya terbatas penggunaannya pada situasi resmi dan formal. Pada umumnya dipakai suatu jenis “bahasa umum” yang dipakai secara pragmatis sesuai kebutuhan penutur. Hal ini terjadi karena penutur bermaksud untuk menyampaikan pesan dengan makna yang lebih luas, dengan menggunakan leksikon yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan interaksi lintas budaya tersebut dapat diatasi dengan memberikan pelatihan atau pembelajaran kepada mahasiswa asing yang akan tinggal di Indonesia, khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya, tentang komunikasi lintas budaya. Salah satu masalah yang sering muncul dalam interaksi lintas budaya adalah pemahaman dan penggunaan ekspresi figuratif dalam konteks bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan model pembelajaran dan materi ajar yang mampu membentuk kompetensi ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia bagi mahasiswa asing, khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Penelitian tahun II (2013) ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun I (2012) yang telah menghasilkan prototipe materi ajar ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia dalam interaksi lintas budaya. Tujuan penelitian tahun II adalah mengujikan prototipe materi ajat tersebut di UNS dengan tujuan mengembangkan prototipe materi ajar ekspresi figuratif yang feasible untuk mengembangkan kompetensi interaksi lintas budaya mahasiswa asing yang ada di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh pengelola program BIPA UNS dan dosen pengajar menunjukkan perlunya prototipe materi ajar yang dihasilkan pada tahun I disesuaikan dengan kemampuan bahasa Indonesia yang telah dimiliki oleh peserta program BIPA. Penyesuaian lainnya berkenaan dengan penyusunan jenisjenis ekspresi figuratif yang diurutkan mulai dari yang paling umum digunakan ke yang jarang digunakan. Penyertaan konteks penggunaan ekspresi figuratif dapat membantu mahasiswa asing memahami ekspresi figuratif dalam komunikasi sehari-hari.
1
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya Laporan Kemajuan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Kedua (Tahap II) berjudul “Pengembangan Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya ” ini. Penelitian ini dibiayai melalui Dana DIPA PNBP UNS Tahun Anggaran 2013. Pelaksanaan dan laporannya dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada mereka, khususnya: 1.
Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta,
2.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Sebelas Maret Surakarta,
3.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
4.
Ketua Program Studi S3 Linguistik, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
5.
Ketua Program Studi S2 Linguistik, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
6.
Ketua Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Inggris, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
7.
Ketua UP2B Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan
8.
Para pengajar dan pembelajar bahasa Indonesia untuk penutur asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya.
Tim peneliti menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu tim peneliti mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan kegiatan penelitian tahap berikutnya. Semoga laporan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pengajar dan pembelajar bahasa Indonesia untuk penutur asing di wilayah Surakarta dan sekitarnya, dan siapa saja
2
yang tertarik untuk mendalami pengembangan kompetensi lintas budaya, khususnya pemakaian ekspresi figuratif bahasa Ingris – bahasa Indonesia.
Surakarta, 30 Oktober 2012 Tim Peneliti, Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana Dr. Ngadiso, M.Pd. Dr. Budi Purnomo, M.Hum.
3
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
i
RINGKASAN .......................................................................................................
ii
PRAKATA ...........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................
v
BAB I.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
8
BAB III.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .....................................
14
BAB IV.
METODE PENELITIAN .................................................................
15
BAB V.
HASIL YANG DICAPAI .................................................................
20
BAB VI.
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .........................................
22
BAB VII.
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
24
LAMPIRAN .........................................................................................................
26
4
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika mobilitas masyarakat antar negara menjadi makin tinggi pada era globalisasi dewasa ini. Keadaan ini berdampak pada semakin maraknya interaksi komunikasi antar etnik dan antar bangsa. Salah satu bidang yang dimasuki oleh penutur dari berbagai kelompok etnis dan bangsa adalah bidang pendidikan, hal ini khususnya terjadi oleh perubahan mind-set masyarakat yang tidak hanya mengedepankan partisipasi warga pada fungsi ekonomi belaka, melainkan telah pula mempertimbangkan perlunya pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia dalam jangka panjang.. Dalam rangka mendukung peningkatan kualitas pendidikan ke taraf internasional, terbuka kesempatan mahasiswa manca negara untuk menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, yang pada gilirannya dapat memacu suasana akademik setempat ke tingkat internasional pula. Saling tukar menukar mahasiswa antar negara, atau mobilitas pendatang dari manca negara yang akan tinggal, belajar atau bekerja di tempat yang baru memungkinkan terjadinya kontak antar bahasa dan budaya. Siapa pun yang tinggal, belajar atau bekerja di lingkungan yang masih baru baginya, pasti harus dapat mengenal, menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Kiranya sulit dibayangkan bagaimana cara mereka mampu melaksanakan fungsinya dengan baik jika mereka tidak dapat berinteraksi secara efektif dengan penutur yang memiliki budaya lokal tersebut. Dua fenomena yang mencuat dari kondisi sosial psikologis ini. Pertama adalah kemungkinan timbulnya berbagai kendala dan gegar budaya (cultural shock), terutama pada saat penutur asing pertama kali memasuki lingkungan dengan budaya lokal yang masih asing baginya. Kajian Samiati et. al (2007, 2008, 2009) menunjukkan bahwa mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sebelas Maret (UNS) mengalami masalah budaya demikian, yang mengindikasikan perlunya mereka mendapat bimbingan atau orientasi budaya, khususnya pada awal keberadaannya di wilayah Surakarta. Masalah tersebut pada hakekatnya
5
merupakan kendala budaya yang muncul ketika terjadi kontak antara bahasa dan budaya yang berbeda. Kedua, terjadi perubahan fenomena kebahasaan pada saat terjadi interaksi lintas budaya. Bahasa yang dipakai acapkali mengandung istilah baru
yang
kemudian dipakai secara luas, serta alih kode dan campur kode antara bahasabahasa tersebut. Orang tidak lagi berpegang pada bahasa baku yang biasanya terbatas penggunaannya pada situasi resmi dan formal. Pada umumnya dipakai suatu jenis “bahasa umum” yang dipakai secara pragmatis sesuai kebutuhan penutur. Hal ini terjadi karena penutur bermaksud untuk menyampaikan pesan dengan makna yang lebih luas, dengan menggunakan leksikon yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Dengan kata lain, bentuk leksikonnya tetap, tetapi fungsi dan maknanya berubah. Acapkali hal ini berakibat pada munculnya perubahan makna, dari yang bersifat denotatif menjadi konotatif, dari yang bersifat literal menjadi non-literal. Fenomena kebahasaan ini antara lain ditandai dengan
munculnya berbagai ekspresi figuratif. Baik bahasa Inggris (bIng)
maupun bahasa Indonesia (bInd) memilikinya. Misalnya, pada bIng muncul istilah tempe sandwich, rubber time, batik carnival dan car free day. Pada bInd muncul istilah makanan siap saji, anak kolong, asal bunyi, dan sup matahari. Padanan bahasa figuratif juga tidak kalah rumitnya, seperti: Automatic Teller Machine (ATM) “Anjungan Tunai Mandiri”, like mother like daughter “seperti pinang di belah dua”, free-way “jalan bebas hambatan” dan bottle neck “leher botol/kemacetan” Istilah tersebut acapkali membuat penutur dan petutur tidak dapat berinteraksi dengan baik: karena mereka tidak memahami makna istilah figuratif tersebut. Hal ini, misalnya didapati pada He missed the boat due to the traffic jam yang bernakna literal: Ia ketinggalan kapal karena jalan macet” dan ekspresi bermakna non-literal “He missed the boat since he failed in the interview., yang artinya adalah: “Ia kehilangan kesempatan (mendapat pekerjaan itu) karena gagal dalam wawancara.”. Kenyataan menunjukkan bahwa kerumitan berbahasa lebih besar di wilayah Surakarta dan sekitarnya, karena masyarakat pada umumnya melakukan alih kode dari BI ke BJ, terutama untuk mengekspresikan rasa hormat dan akrab.
6
Masyarakat Jawa berada dalam lingkungan high-context culture, dan penutur BJ perlu memperhatikan berbagai aspek seperti status, usia dan kedekatan hubungannya dengan petutur dalam berbahasa. Ini dipergunakan sebagai acuan untuk memilih jenis undha-usuk BJ yang akan dipakainya; demikian juga untuk cenderung beralih kode memakai BJ yang dirasa lebih sesuai daripada BI. Dalam hal ini Asim Gunarwan (2002) menyatakan bahwa salah satu prinsip kesantunan dalam BJ adalah mengekspresikan “rasa kurmat” pada petutur, antara lain dengan menggunakan ekspresi figuratif. Hal ini misalnya terdapat pada ekspresi: Berhatihatilah dengan Pak Ndaru. Meskipun beliau sering berkantong kosong, tetapi karena rupawan dan berdarah biru, banyak perempuan menempel bagai perangko padanya. Dari uraian tersebut tampak bahwa penelitian ini perlu dilaksanakan. Sebagai suatu kajian lintas budaya yang hendak mengidentifikasi ekspresi figuratif yang lazim dipakai dalam interaksi sehari-hari antara mahasiswa manca negara dan komunitas PT. Kajian ini diharapkan pula dapat menggali secara komprehensif civility pada kelompok komunitas PT
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna Bahasa Figuratif dan Penggunaannya
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan itu. Gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corakcorak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan kepadanya. Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh makna denotatifnya, maka acuannya itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan di sini. Gaya bahasa di sini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari 8
konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. 2.2 Tindak Tutur dalam Masyarakat Berpenutur Bahasa Jawa di Wilayah Surakarta Dewasa ini kajian bahasa tidak hanya dilakukan terhadap aspek verbal dalam komunikasi, namun telah merambah pada kajian pragmatik dan sosiopragmatik yang memperhatikan bahasa yang dipakai dalam komunikasi. Di sini diperhatikan tindak tutur sebagai unit lingualnya. Hal ini sebenarnya telah dikemukakan Austin pada tahun 1962, yang menyatakan bahwa semua ujaran pada hakekatnya merupakan tindak tutur, yang dapat dibedakan atas tindak tutur lokusioner, ilokusioner dan perlokusioner Ada pun fungsi dalam penggunaan bahasa untik komunikasidapat dikategorikan dalam berbagai jenis, di antaranya adalah fungsi.: a) representatif, yng menunjuk pada pengungkapan proposisi. b) direktif yang meminta petutur melakukan sesuatu, c) komisif, dimana penutur memberikan janji, d) ekspresif, yang berkait dengan menutarakan perasaan, serta e) deklaratif, yang bersifat membuat pernyataan.(Verscheuren, 1999).. Grice (1975) menyatakan bahwa suatu cakapan perlu mengikuti prinsip kerjasama (co-operative principles) supaya dapat berjalan lancar. Hal ini dimungkinkan karena para penutur dan petutur cakapan mengikuti konvensi sosial dalam masyarakat, yakni dengan menerapkan beberapa bidal yang disebut conversational maxims, yang meliputi a) bidal kualitas, bidal kuantitas, bidal relevansi dan bidal cara. .Pemahaman terhadap keempat bidal tersebut memungkinkan pelibat tindak tutur memiliki pemahaman terhadap implikatur cakapan, dengan membuat inferensi terhadap dua jenis makna, yakni makna eksplisit, dan makna implisit. Disini terdapat kekuatan atau daya pragmatik dalam penggunaan bahasa dalam komunikasi. Di tahun 1995 Sperber dan Wilson
9
menawarkan Teori Relevansi, mengingat ke empat bidal tersebut dapat bertumpang tindih (Versheuren, 1999; Mey, 1993). Ada kalanya pelibat tidak mengikuti bidal tersebut, tetapi petutur diharapkan memahami makna tindak tuturnya. Dalam hal ini penutur “meluncur” pada salah satu atau kombinasi bidal tersebut. Misalnya, tuturan “Udara panas, aku gerah” mengandung maksud meminta petutur menyalakan kipas angin, meskipun bidal kualitas dan kuantitas tidak memadai. Di sini diharapkan penutur akan menyalakan kipas angin. Selain itu, penutur dapat melakukan pelanggaran atas bidal(-bidal) tersebut, khususnya jika petuitur tidak memiliki latar belakang pengetahuan akan kebenaran tuturannya, Hal ini misalnya ada pada tuturan jawaban: “Sabar, aku isih nunggu kirimane bapak!” untuk menyatakan bahwa penutur belum dapat membayar hutangnya. Disini penutur membuat tuturan yang belum tentu benar, namun harus diterima oeh petutur. Di samping imlikatur cakapan tersebut, dikenal pula implikatur metaforikal, yang berkait dengan ujaran non-literal. Jadi seorang ibu yang mengatakan: “Duuh anakku sing pinter dhewe, janur guinung kowe mulih jam semene. Emben mulihe luwih bengi wae.” hendak menyatakan kejengkelannya dengan berbagai ungkapan metaforis yang tidak dapat dimaknai secara lugas. Kiranya dapat dipahami bahwa konteks situasi merupakan aspek yang penting dalam memaknai ujaran. Terdapat tiga jenis konteks, yakni: konteks situasi, konteks budaya, dan konteks hubungan antarpribadi. Di samping itu dalam kajian bahasa diperlukan pemahaman terhadap aspek ko-textnya, yang diperlukan untik memahami makna yang tersurat mau pun yang tersirat. Hal ini diperlukan, utamanya mengingat bahwa suatu tindak tutur dapat diutarakan secara langsung atau tidak langsung. Berbagai prinsip kesantunan perlu dipatuhi sesuai dengan konvensi masyarakat dalam konteks budaya yang sesuai. (Mey, 1993). Masyarakat tutur BJ yang bersifat high-context culture dan memiliki prinsip kesantunan yang bisa tersamar bagi penutur dari budaya berbeda. Orang BJ acapkali menggunakan tindak tutur yang bersifat langsung atau tidak langsung, ungkapan metaforikal, atau tidak selalu patuh pada bidal cakapan karena lebih patuh pada prinsip kesantunannya. Asim Gunarwan (2002) menunjukkan bahwa
10
prinsip kesantunan masyarakat BJ adalah “kurmat” “suka damai” dan “kolektif”, Prinsip ini menyebabkan tindak tutur dalam BJ acapkali tidak dinyatakan secara eksplisit. Maknanya perlu digali dan dieksplisitkan dalam kajian dan pembelajaran lintas budaya.
2.3 Tindak Tutur Mahasiswa Asing dan Mahasiswa Indonesia di Wilayah Surakarta Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di propinsi ini lah kota Surakarta berada. Negara Indonesia memiliki satu bahasa nasional, satu bahas persatuan, yaitu BI. Di samping bahasa nasional juga terdapat bahasa daerah yang jumlahya ratusan, tak terkecuali di Surakarta. Di Surakarta, selain penduduknya menggunakan BI sebagai bahasa nasional, mereka juga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerahnya. Kedua bahasa tersebut tentu memiliki fungsi yang berbeda. BI memiliki fungsi-fungsi dalam soal-soal kedinasan, keilmuan dan beberapa aspek kehidupan yang bersifat resmi. Sedangkan bahasa Jawa hanya berfungsi sebagai perantara aspek-aspek kehidupan yang sifatnya tidak dinas, kedaerahan, kekeluargaan, dan tradisional (Soepomo, 1979:2). Surakarta (dan Yogyakarta) dipandang sebagai daerah pemakaian BJ yang penting. BJ yang digunakan di Surakarta dipandang sebagai BJ baku karena di Surakarta terdapat bekas kerajaan yaitu keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa di masa lampau. Di wilayah Surakarta dan sekitarnya, BJ – baik lisan mau pun tulis - dipakai secara luas. Pemakaian BJ lisan dipakai di lingkungan keluarga, lingkungan jaringan kerja dan lingkungan pergaulan masyarakat. Sedangkan BJ tulis digunakan dalam hal surat menyurat, buku panduan acara perkawinan, buku anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, buku-buku berbahasa Jawa, rubrik majalah, makalah dan pengecekan analisis (Maryono, 2001:307-331). Berdasarkan fakta tersebut, yakni digunakannya BI dan BJ secara luas dalam masyarakat dengan fungsinya masing-masing, maka terjadi kontak bahasa yang tidak dapat dihindarkan. Peristiwa-peristiwa bahasa yang mungkin terjadi
11
sebagai akibat dari kontak bahasa tersebut dalam lingkup Sosiolinguistik meliputi ikhwal bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, dan integrasi (Abdul Chaer,1995:111).
Bilingualisme
secara
umum diartikan sebagai
penggunanan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (Fishman dalam Abdul Chaer, 1995:112). Seseorang yang menggunakan dua bahasa tentu saja harus menguasai kedua bahasa itu, yaitu bahasa ibunya atau bahasa pertama (BI) dan bahasa kedua (B2) yakni bahasa lain. Seorang bilingual atau
dwibahasawan
mampu
menggunakan
kedua
bahasa
itu
dalam
komunikasinya, dengan mempertimbangkan siapa petutur, dimana, kapan, mengapa yang berpengaruh pada bagaimana ia bertutur. Menyitir pendapat Fishman, Suwito (1985:46) menyatakan bahwa diglosia menunjuk pada penggunaan bahasa pada masyarakat dwibahasawan berdasarkan fungsi, peranan dan konteks sosialnya. Pada hakekatnya diglosia menyangkut pemakaian dua bahasa oleh seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, yang hubungan yang bersifat timbal balik. Terdapat 4 jenis hubungan, yaitu a) masyarakat yang diglosik dan dwi bahasawan, b) masyarakat yang diglosik tapi tidak dwi bahasawan, c) masyarakat yang dwi bahasawan tapi tidak diglosik, dan d) masyarakat yang tak diglosik dan tak dwi bahasawan. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya termasuk jenis hubungan yang pertama, yaitu masyarakat yang diglosik dan bilingual. Masyarakat yang demikian ini adalah masyarakat tutur yang secara keseluruhan menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasinya, namun kedua bahasa itu digunakan dalam fungsinya masing-masing. Peristiwa kebahasaan lain yang terjadi akibat kontak bahasa adalah alih kode dan campur kode. Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam campur kode ada sebuah kode utama yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiaanya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
12
Di dalam kontak bahasa juga tidak terhindarkan terjadinya peristiwa bahasa yang disebut dengan interferensi dan integrasi. Interferensi terjadi apabila digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa namun pemakaian unsur-unsur lain itu dianggap sebagai kesalahan karena menyimpang dari kaidah bahasa yang digunakan. Interferensi dinilai sebagai merusak sistem suatu bahasa. Adapun integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Unsurunsur bahasa lain tersebut tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa BJ di wilayah Surakarta dan sekitarnya berada pada situasi diglosik. Di wilayah tersebut BJ dipakai secara luas dan pada umumnya penuturnya adalah dwibahasawan yang bahasanya ditandai dengan berbagai alih kode antara BI dan BJ, serta interferensi antara kedua bahasa.
13
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian tahun kedua ini adalah: 1.
Mengujicobakan prototipe materi ajar ekspresi figuratif bahasa Inggris-bahasa Indonesia yang dipakai oleh mahasiswa asing pada interaksi lintas budaya di wilayah terbatas, yaitu Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Mengembangkan prototipe materi ajar ekspresi figuratif bahasa Inggrisbahasa Indonesia yang dipakai oleh mahasiswa asing pada interaksi lintas budaya berdasarkan hasil ujicoba.
3.2 Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini berbentuk penelitian pengembangan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan model materi ajar ekspresi figuratif lintas budaya mahasiswa asing. Dari hasil kegiatan penelitian tahun pertama ini diharapkan akan didapat materi ajar yang baik dan komprehensif dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa asing. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi lembaga pengelola program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) sebagai materi ajar dalam pembentukan kompetensi komunikasi kintas budaya. Prototipe mataeri ajar ekspresi figuratif bahasa Inggris-bahasa Indonesia ini juga dapat dijadikan acuan materi dalam pembelajaran ekspresi figuratif bahasa Indonesia – bahasa Inggris atau sebaliknya.
14
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian pada tahap kedua ini adalah mahasiswa asing yang ada di UNS, baik di program sarjana maupun program pascasarjana yang sedabg mengikuti program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di UP2B Universitas Sebelas Maret. Jumlah mereka sekitar 30 orang.
4.2 Mekanisme Pengembangan Model Secara Terbatas Prototipe materi ajar lintas budaya yang telah dikembangkan pada penelitian tahap I diujicobakan secara terbatas di kalangan mahasiswa asing yang ada di UNS. Ujicoba berbentuk pelatihan (pembelajaran) dengan materi ajar yang telah dikembangkan pada tahap penelitian pertama. Untuk menyertai ujicoba materi ajar, dirancang pula model pembelajaran yang sesuai dengan materi ajarnya. Ujicoba direncanakan akan berlangsung di ruang laboratorium bahasa Unit Pelaksana Teknis Pelayanan dan Pengembangan Universitas Sebelas Maret (UPT P2B UNS) yang dilengkapi dengan peralatan multimedia. Ujicoba tersebut akan berlangsung selama sekitar 10 kali pertemuan, sesuai dengan jumlah unit dalam materi ajar. Yang terlibat dalam kegiatan ujicoba terbatas tersebut adalah sebagai berikut. Pertama adalah mahasiswa asing yang ada di UNS yang berjumlah sekitar 30 orang. Mereka akan berfungsi sebagai subjek pembelajaran. Kedua, seorang instruktur yang memenuhi kualifikasi sebagai pengajar materi ekspresi figuratif bahasa Inggris-bahasa Indonesia, yang akan ditentukan kemudian. Bila diperlukan instruktur tersebut akan dibantu oleh seorang asisten. Peran instruktur adalah menjalankan skenario pembelajaran ekspresi figuratif pada interaksi lintas budaya dengan materi ajar yang telah dirancang oleh peneliti. Ketiga peneliti bertugas untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap jalannya pembelajaran. Setiap kali instruktur selesai memberi pelatihan akan dilakukan diskusi tentang proses pembelajaran dengan materi ajar eskpresi figuratif pada interaksi lintas budaya yang telah dirancang oleh peneliti. Pertanyaan yang dijawab adalah
15
“apakah skenario pembelajaran yang dilengkapi dengan materi ajar dapat dijalankan dengan baik oleh instruktur sehingga mampu mengembangkan kompetensi ekspresi figuratif pada interaksi lintas budaya mahasiswa asing yang ada di UNS Apabila dalam pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama ditemukan adanya ketidaksesuaian – apakah pada skenario pembelajarannya, materi ajarnya, instrukturnya, atau pada fasilitas pendukungnya – akan dilakukan perbaikan. Hasil perbaikan dari pertemuan pertama akan diujicobakan pada pertemuan kedua. Bila pada pertemuan kedua juga masih ditemukan ketidaksesuaian, akan dilakukan perbaikan. Hasil perbaikan dari pertemuan kedua akan diujicobakan pada pertemuan ketiga, dan seterusnya sampai peneliti menganggap bahwa baik skenario maupun materi ajarnya cocok untuk mengembangkan kompetensi ekspresi figuratif bahasa Inggris-bahasa Indonesia pada interaksi lintas budaya mahasiswa asing yang ada di UNS.
16
BAB V. HASIL YANG DICAPAI
Sebelum digunakan dalam ujicoba di kelas BIPA UNS, prototipe materi ajar ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia bagi penutur asing pada interaksi lintas budaya, yang telah dihasilkan pada tahun kerpata (2012) dievalusi bersama antara tim peneliti, pengelola program BIPA UNS, dan dosen pengajar BIPA. Proses evaluasi tersebut menghasilkan beberapa hal yang perlu dipertinbangkan dalam proses ujicoba di kelas BIPA dengan mahasiswa asing di UNS, yang meliputi konteks sosial pemahaman ekspresi figuratif dalam interaksi lintas budaya, rancangan pembelajaran, dan susunan materi ajar.
5.1 Konteks Sosial Pemamaham Ekspresi Figuratif Agar dapat memahami ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia secara baik, mahasiswa asing yang berada dalam interaksi lintas budaya di Indonesia perlu mengetahui konteks budaya dari interaksi tersebut. Faktorfaktor konteks budaya tersebut meliputi: a.
Tata nilai yang berlaku dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
b.
Maksim-maksim kesantunan yang berlaku dalam interaksi dengan latar belakang budaya Jawa.
c.
Maksim-maksim kerjasama dalam percakapan untuk menghasilkan interaksi yang dapat dipahami oleh kedua pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut.
5.2 Rancangan Pembelajaran Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia dalam Interaksi Lintas Budaya
Rancangan silabus pembelajaran untuk membentuk kompetensi ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia dalam interaksi lintas budaya terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: a.
Strandar kompetensi
b.
Kompetensi dasar
17
c.
Indikator pencapaian
d.
Pengalaman belajar
e.
Materi pembelajaran
f.
Alokasi waktu
g.
Sumber dan media pembelajaran
h.
Evaluasi Standar kompetensi (SK) pembelajaran ekspresi figuratif bahasa Inggris –
bahasa Indonesia adalah Setelah menyelesaikan pembelajaran ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia dalam interaksi lintas budaya, mahasiswa dapat menggunakan ekspresi figuratif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia secara kontekstual dalam interaksi lintas budaya. Kompetensi dasar (KD) pembelajaran ini terdiri dari beberapa rumusan, yaitu: Setelah menyelesaikan materi pembelajaran ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia, mahasiswa dapat: a.
Membedakan antara makna figuratif dan makna non-figuratif dalam interaksi sehari-hari.
b.
Menjelaskan konteks yang perlu diperhatikan dalam memahami makna tuturan dalam interaksi lintas budaya.
c.
Mengenali faktor-faktor sosial dalam memahami ekspresi figuratif dalam interaksi lintas budaya.
d.
Membedakan antara ekspresi figuratif universal dan ekspresi figuratif kultural.
e.
Membedakan antara ekspresi figuratif metafora dan personifikasi.
f.
Membedakan antara ekspresi figuratif simile, idiom, dan, hiperbola.
g.
Menggunakan ekspresi figuratif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam interaksi lintas budaya.
5.3
Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia Berdasarkan Silabus yang Telah Dikembangkan
18
Materi ajar yang dikembangkan berjudul “Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya.” Materi tersebut terdiri atas 6 (enam) unit. Masing-masing unit terdiri atas: strandar kompetensi pembelajaran, kompetensi dasar pembelajaran, uraian materi pembelajaran, latihan, dan sumber belajar. Ringkasan topik bahasan dan sub-topik bahasan pada pembelajaran ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
No 1
Topik Bahasan
Makna figuratif dan makna a. Makna figuratif non-figuratif
2
3
Sub Topik Bahasan
Konteks
b. Makna non-figuratif
interaksi
lintas a. Konteks budaya
budaya
b. Konteks sosial
Etnografi komunikasi
a. Komponen interaksi b. Analisis
komponen
etnogtafi
komunikasi 4
Jenis ekspresi figuratif
a. Ekspresi figuratif universal b. Ekspresi figuratif kultural
5
Perbedaan antara metafora a. Metafora dan personifikasi
6
Perbedaan
antara
hiperbola, dan idiom
b. Personifikasi simile, a. simile b. hiperbola c. idiom
7
Praktek komunikasi lintas Praktek komunikasi lintas budaya dengan budaya menggunakan figuratif
dengan menggunakan ekspresi figuratif ekspresi domain: • pendidikan • transportasi • partiwisata • transportasi
19
dalam
• layanan administrasi • kuliner • imigrasi • dll. Ujicoba prototipe materi ajar ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia tersebut akan dilaksanakan pada pertengahan bulan September 2013, dengan mengikuti jadwal pelaksanaan kelas BIPA di UP2B UNS.
20
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya meliputi: 1.
Persiapan pelaksanaan ujicoba dengan menenkankan pada pengadaan materi ajar, instrumen dokumentasi dan observasi kelas, dan jadwal observasi.
2.
Pelaksanaan ujicoba materi ajar yang telah dikembangkan berdasarkan hasil evaluasi bersama antara tim peneliti, pengelola program BIPA, dan pengajar BIPA UNS. Ujicoba akan dimulai pada minggu kedua September 2013 dengan melibatkan sekitar 30 mahasiswa asing yang saat ini belajar di UNS. Mahasiswa asing tersebut saat ini mengikuti program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di UNS.
3.
Analisis hasil ujicoba prototipe materi ajar.
4.
Revisi prototipe materi ajar berdasarkan hasil ujicoba.
5.
Penyusunan laporan akhir penelitian.
21
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan pada aktivitas penelitian yang dilaksanakan sampai saat ini, dapat ditarik kesimpulan berikut: a.
Pemahaman ekspresi figuratif bahasa Inggris – bahasa Indonesia dalam interaksi lintas budaya oleh mahasiswa asing di Surakarta dan sekitarnya perlu mempertimbangkan konteks sosial interaksi, khususnya konteks budaya Indonesia, agar tidak terjadi masalah gegar budaya (cultural shock).
b.
Dalam praktek pembelajaran ekspresi figuratif lintas budaya, teori tentang ekspresi figuratif hanya dikenalkan kepada peserta pembelajaran secara sekilas saja, dengan lebih menekankan pada contoh ekspresi dan prakteknya dalam interaksi nyata.
c.
Penyajian
materi
dan
contoh
ekspresi
figuratif
disajikan
dengan
mempertimbangkan tingkat kesulitas pemahaman ekspresi figuratif dalam interaksi lintas budaya. Ekspresi figuratif dengan tingkat kesulitan rendah diberikan terlebih dahulu, selanjutnya diikuti oleh ekspresi figuratif dengan tingkat kesulitan lebih tinggi.
7.2 Saran a.
Ujicoba prototipe materi ajar perlu didukung oleh instrumen pendokumentasi kelas secara audio visual.
b.
Peserta ujicoba diminta memberikan masukan tentang kesesuaian materi ajar dalam kegiatan pembelajaran.
c.
Perlunya pengayaan contoh-contoh ekspresi figuratif dalam interaksi berbentuk percakapan.
22
DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L. (1962). How to Do Things with Words. Oxford University Press, Oxford. Awareness Raising Activities. ELT Journal, 51(4), 353–360. Cardenas-Claros & Isharyanti. 2009. Code switching and code mixing in Internet chatting: between ‘yes’, ‘ya’, and ‘si’ a case study. Australia: The University of Melbourne, Indonesia: Universitas Kristen Satya Wacana. Carter, Ronald, et al. (1997). Working with Texts: A Core Book for Language Analysis. Routledge, London. Cook, Guy (1989). Discourse. Oxford University Press, Oxford. Cruse, A. 2000. Meaning in Language. Oxford: OUP. Deignan, A., Gabrys, D. & Solska, A. 1997. Teaching English Metaphors Using Cross-Linguistic. Publishing Company, Amsterdam. Hoffman, C. 1991. An Introduction to Bilingualism. New York: Longman. Hymes, D. H. .1972. ‘Communicative Competence’, dalam Jacob L. Mey, Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsevier Ltd. Hymes, Dell (1972). ‘Communicative Competence’, dalam Jacob L. Mey, Concise Encyclopedia of Pragmatics, Elsevier Ltd., Oxford. Littlemore, Jeannette and Low, Graham. 2006. Metaphoric Competence, Second Language Learning, and Communicative Language Ability. Applied Linguistics 27 (2): 268-294. Lyons, John. 1977. Semantics, Vol. 1 and 2. Cambridge: CUP. Mcelhanon, Kenneth A. 1982. "On teaching idioms." In Gava: Studies in Austronesian languages and cultures. pages 39-54. Univ. Hamburg 17. Berlin: Reimer. Mey, Jacob L. (2001). Pragmatics: An Introduction (2nd Edition), Blackwell Publishers Inc., Massachussetts. Nunan, David (1993). Introducing Discourse Analysis. The Penguin Group, London.
23
Papafragou, A. 1995. Metonymy and relevance. UCL Working Papers in Linguistics 7: 141-175. Pranowo (2011). Ungkapan Bahasa Jawa sebagai Pendukung Pembentukan Kebudayaan Nasional. Renkema, Jan (1993). Discourse Studies: An Introductory Textbook. John Benjamins Richards, J.C., John Platt, dan Heidi Platt (1992). Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics (2nd ed.) Essex: Longman. Sabiruddin. 2010. Review Buku Teori Budaya (dalam http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2010/10/10/review-bukuteoribudaya), diakses pada tangal 25 Januari 2012. Sam Glucksberg & Catrinel Haught .2006. On the Relation Between Metaphor and Simile: When Comparison Fails. Mind and Language 21 (3):360–378. Saville-Troike, M. 1989. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. Saygin, Ayse Pinar. 2001. Processing Figurative Language in a Multi-lingual Tasks: Translation, Transfer and Metaphor. In Proceeding of Corpus-Based & Processing Approaches to Figurative Language Workshop, Corpus Linguistics, March 29, 2001. Lancaster University, UK. Searle, J.R. (1979). Speech Acts. Cambridge University Press, Cambridge. Suwardi Endaswara. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan (dalam http://books.google.co.id/books perspektif+etik+dan+emik), diakses pada tanggal 24 Januari 2012. Vaid, Jyotsna and Martinez, Francisco. 2001. Figurative Language and Thought Across Languages: What Transfers? Working Paper at the Third International Symposium on Bilingualism, April 18, 2011, University of West England, UK. Van Dijk, Teun A. (1977). Text and Context: Explorations in the Semantics and Pragmatics of Discourse. Longman Group Ltd., Essex. Van Dijk, Teun A. 1977. Text and Context: Explorations in the Semantics and Pragmatics of Discourse. Essex: Longman. Yule, George (1997). Pragmatics. Oxford University Press, Oxford.
24
LAMPIRAN •
Prototipe Materi Ajar Ekspresi Figuratif Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia
25