LAPORAN KEGIATAN KOORDINASI
DEPUTI BIDANG SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP 2011
Kementerian Negara PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Desember 2011
PENGANTAR Laporan kegiatan koordinasi ini disusun sebagai hasil akhir dari kegiatan koordinasi Depouti Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup tahun 2011. Laporan merupakan hasil dari melalui berbagai kegiatan koordinasi baik berupa rapat koordinasi, diskusi dengan para pakar, praktisi dan lembaga perguruan tinggi di bidang sumberdaya alam dan lignkungan hidup.
Diskusi diarahkan untuk membicarakan mengenai tindak lanjut pemerintah setelah adanya komitmen Bapak Presiden untuk penurunan emisi gas rumah kaca yang diikuti dengan disusunya rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) yang telah diterbitkan dalam benrtuk PERATURAN Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi NasionalPenurunan Emisi Gas Rumah Kacar (RAN GRK). Untuk melaksanakan RAN GRK,pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PPN/Bappenas membentuk Tim Koordinasi Perubahan Iklim yang beranggotakan Kementerian/Lembaga terkait dengan pelaksanaan RAN GRK. Untukpelaksanaan di tingkat daerah, sedang disusun RAD GRK oleh Pemda Provinsi sesuai mandat Perpres No. 61/2011. Untukmembantu Pemdadalam menyusun RAD GRK,Kementerian PPN/Bappenas m,engkoordinasikan penyusunan Pedoman
Penyusunan
RAD
GRK
dan
melalukan
bimbingan
dan
pelatihan
untukmengawal penyusunan RAD GRK yang dijadualkan pada bulan September 2012.
Sejalan dengan akan selesainya kerangka kerja pelaksanaan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas mulai memikirkan langkah ke depan untuk menyusun konsep Ekonomi Hijau Indonesia. Sehubungan dengan itu, maka kegiatan koordinasi kedeputian SDA dan LH diarahkan untuk melakukan eksplorasi dan pendalaman mengenai ekonomi hijau dan hubungannya dengan pelaksanaan RAN GRK. Pendalaman berbagai bahan dari lembaga internasional dan bahan pustaka lain memberikan gambaran mengenai definisi dan cakupan ekonomi hijau serta penglaman berbagai negara lain untuk memulai langkah menuju ekonomi hijau. Sementara itu, diskusi dengan para pakar memberikan landasan mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia,
dengan akan selesainya kerangka pelaksaaan RAN GRK.
Selanjutnya, bahan dari
berbagai diskusi tersebut digunakan sebagai masukan untuk mengembangkan kemungkinan langkah ke depan yang dapat dilakukan dalam rangka menyusun konsep ekonomi hijau. Pemikiran ke depan tentu saja masih membutuhkan diskusi lebih lanjut, terutama apabila akan disusun sebagai suatu roadmap pembangunan ekonomi hijau. Namun demikian, pemikiran dalamlaporan ini setidaknya dapat menjadi pijakan untuk langkah perencanaan membentuk ekonomi hijau, menjembatani dengan RAN GRK yang sedang dalam tahap awal pelaksanaan.
Laporan ini dirasakan masih memiliki berbagai keterbatasan, dan masih akan terus dikembangkan sejalan dengan perkembangan pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK, serta dapat terukurnya penurunan emisi dalam beberapa tahun ke depan.
Jakarta, Desember 2011
DeputiBidang SDA dan LH Endah Murniningtyas
LANGKAH MENUJU EKONOMI HIJAU: SINTESA DAN MEMULAINYA
I.
LATAR BELAKANG
Keberhasilan pembangunan Indonesia.
Pembangunan Indonesia sudah
berlangsung secara terencana sejak tahun 1967 yang dikenal dengan pembangunan terencana. Bappenas atau Dewan Perantjang Pembangunan Nasional pada waktu itu, adalah lembaga yang diberi tugas untuk menyusun rancangan pembangunan nasional untuk memenuhi tuntutan Trikora pada waktu itu, terutama adalah tuntutan penurunan harga.
Jalan satu-satunya yang berkelanjutan untuk menurunkan inflasi adalah
meningkatkan kapasitas produksi. Pangan sebagai kebutuhan pokok utama kehidupan adalah sasaran utama dan oleh sebab itu pemerintah berupaya keras untuk melakukan langkah-langkah peningkatan produksi pangan.
Beberapa hal yang ditempuh adalah
mengadopsi teknologi benih unggul dan membawa teknologi benih tersebut ke tingkat petani produsen melalui penyuluh pertanian. Langkah ini didukung dengan pendirian pabrik pupuk untuk menopang upaya peningkatan produksi serta membangun infrastruktur irigasi untuk sawah. Semua langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras menuju swasembada beras. Segala langkah tersebut mencapai puncaknya pada saat swasebada beras pertama kali terjadi pada tahun 1984/85.
Langkah-langkah untuk mengamankan dan memenuhi kebutuhan pangan atau disebut dengan ketahanan pangan, diiringi pula dengan peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam terutama minyak dan gas untuk penyediaan energi bagi pembangunan dan juga memperoleh devisa Negara untuk membiayai kelangsungan kehidupan Negara dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan industri/sektor ekstraksi sumberdaya alam ini telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi (anggota OPEC).
Selain itu, ekspor pertambangan juga
menjadi andalan penghasil devisa Negara. Dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan, seklain industri pendukung pertanian dikembangkan pula industry pengganti barangbarang impor untuk menekan inflasi dan menyediakan kebutuhan barang konsumsi secara berkesinambungan.
Pembangunan ekonomi ini diiringi pula dengan pembangunan
kualitas sumberdaya manusia, dengan melakukan investasi besar-besaran pada bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar dan bidang kesehatan, dengan memperluas layanan kesehatan ke seluruh pelosok tanah air.
Dampak Pembangunan yang terlalu berorientasi pada bidang ekonomi terhadap lingkungan dan ekosistem. Keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas, pada akhirnya menghasilkan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya reproduksi dan melebihi ambang serap alam terhadap limbah/sampah, baik sampah padat, cair maupun udara.
Dalam
Country Natural Resources and Environment/CNREA1
(Bappenas, 2007) dinyatakan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya alam masih terus dilakukan secara ekstraktif dan dengan cara-cara lama kurang ramah lingkungan dan ekosistem, maka Indonesia akan menghadapi 3 krisis besar, yaitu: (i) krisis air, (ii) krisis pangan dan (iii) krisis energi, karena pemanfaatan sumberdaya alam sudah melebihi daya regenerasi dan reproduksi serta daya dukung ekosistemnya. UNEP2 memperkirakan bahwa dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia diteruskan seperti itu, maka permintaan energi global pada tahun 2030 akan meningkat sampai dengan 45%, akan terjadi peningkatan harga minyak bumi yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi.
Sebagai
akibatnya, maka emisi gas rumah kaca akan dapat mencapai 45% dan suhu bumi akan meningkat sampai dengan 6 derajat Celcius. Dampak lain adalah akan terjadi peningkatan harga pangan, rusaknya ekosistem yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati senilai EUR 50 miliar. Solusi yang kemudian ditawarkan adalah pembentukan ekonomi hijau.
II. KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY) Gagasan mengenai “Green Economy” yang dicetuskan oleh UNEP pada bulan Oktober 2008 bertujuan memberikan peluang yang besar dalam memberikan manfaat yang lebih besar dari yang apa yang dapat ditawarkan oleh konsepsi Green Economy. Terkait dengan hal tersebut, ada dua hal yang ingin dicapai. Pertama, ekonomi hijau mencoba untuk membuat konsep yang lebih dari sekedar masalah makro ekonomi khususnya investasi di sektor-sektor maupun
produksi
barang
dan
yang memproduksi produk ramah lingkungan
jasa
yang
lebih
ramah
lingkungan
(“green
investment/investasi hijau”), namun juga difokuskan pada bagaimana kontribusi investasi 1
Country Natural Resources and Environment Assessment, Bappenas, 2007 John Scanton, UNEP. The Green Economy and International Environmental Governance. Presentation.
22
hijau dalam memproduksi barang dan jasa serta dan pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang yang terkait dengan ramah lingkungan (green job). Hal yang kedua adalah mencoba untuk menyiapkan panduan untuk mendorong pro-poor green investment, atau investasi hijau yang mampu mendorong pengentasan masalah kemiskinan. Tujuannya adalah untuk mendorong dan agar para pembuat kebijakan mampu membuat semua jajaran pemerintahan dan sektor swasta untuk mendukung peningkatan investasi hijau.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Green Economy semakin mendapat perhatian karena sejalan dengan upaya masyarakat dunia dalam mencari solusi terhadap berbagai tantangan global. Namun demikian, hubungan antara konsep ini dengan konsep yang berkaitan lainnya, belum dapat diartikulasikan dengan jelas. Oleh karena itu, hal ini membuat banyak orang bahkan dari pencetus konsep ini bertanya berulang kali tentang apa arti sesungguhnya dari Green Economy. Ketidakjelasan dari konsep ini membawa kita pada pertanyaan apakah konsep ini sebenarnya hanya sebuah alat untuk membatasi ruang gerak negara-negara berkembang untuk maju dan mengurangi kemiskinan.
Konsep modern dari Green Economy melengkapi sekaligus mengembangkan konsep Green Economy yang lebih dikenal selama ini yang lebih membatasi pada ekonomi untuk hal-hal yang bersifat ramah lingkungan (economy to green requirements). Artinya, dalam perspektif ini Green Economy tidak hanya memberi penekanan pada berbagai kebijakan standar, seperti bagaimana menilai lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap aktivitas-aktivitas yang membahayakan dan berpotensi merusak lingkungan; tetapi yang lebih penting adalah bagaimana agar bisa mendorong pelaku ekonomi untuk memproduksi barang, perdagangan dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah lingkungan atau produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan dan lapangan pekerjaan yang dihasilkan dari Green Economy pada gilirannya diharapkan mampu membuat para pelaku ekonomi menjadi lebih termitovasi untuk melakukan kegiatan yang ramah lingkungan. Perspektif instrumental dari konsep modern ini mengakui bahwa melalui investasi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dalam hal inovasi, teknologi, infrastruktur dan kelembagaan merupakan hal-hal yang dapat mengubah perekonomian atau mencapai perubahan struktur yang fundamental.
Dengan pengertian tersebut di atas, konsep Green Economy telah mengalami evolusi dari perpekstif lama yang bersifat regulasi untuk “menghijaukan” kegiatan ekonomi “coklat” menjadi konsep baru yang lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan (green jobs) dengan investasi hijau (green investment), produksi, perdagangan, dan konsumsi.
Hal tersebut memberikan kontribusi pada
peningkatan kesadaran lingkungan dan meningkatnya permintaan pasar untuk produk yang ramah lingkungan serta barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Adanya potensi permintaan ini mengindikasikan bahwa Green Economy tidak hanya berperan dalam mengatasi masalah-masalah “coklat” seperti seperti mengurangi emisi karbon, namun juga dapat pada isu bagaimana memperoleh penghasilan dan terbukanya lapangan pekerjaan baru. Dengan demikian, Green Economy merupakan suatu alat/sarana yang diharapkan mampu memberikan tiga keluaran yaitu: 1) adanya sumber-sumber penghasilan serta lapangan pekerjaan yang baru; 2) emisi karbon yang rendah, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan mengurangi peningkatan polusi dan limbah; 3) memberikan kontribusi untuk tujuan sosial yang lebih luas dari pembangunan berkelanjutan, kesetaraan sosial, dan pengurangan kemiskinan; meskipun tujuan sosial tidak terjadi secara otomatis namun memerlukan kebijakan kelembagaan yang spesifik dan harus melekat pada kegiatan green economy.
Sehubungan dengan itu semua, maka ekonomi hijau secara singkat dicirikan sebagai: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan pekerjaan pada sector hijau; (iii) meningkatkan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumberdaya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan tingkat polusi per GDP yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption).
Selanjutnya, untuk memberikan contoh-contoh riil, dalam berbagai literatur tentang ekonomi hijau, disebutkan paling tidak 11 (sebelas) sektor yang berkaitan dengan ekonomi hijau, yaitu: pertanian, bangunan, perkotaan, energi, perikanan, kehutanan, industri pengolahan/manufakturing, pariwisata, transportasi, limbah dan air. Kesebelas sektor ini sangat penting untuk membentuk atau terjadinya ekonomi hijau di suatu negara. Kekeliruan dalam pengembanagn di dalam sektor-sektor ini dan keterkaitan diantaranya akan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan ekonomi hijau di suatu negara.
Pertanian memegang peranan penting, karena dari sektor inilah sumber pangan diproduksi. Sektor ini juga menyerap sebagian besar tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan, baik secara rata-rata di sustu negara maupun secara global.
Dengan
demikian, pengelolaan pertanian yang berkelanjutan (sustainable farming) akan membentuk atau berperan besar dalam pembentukan ekonomi hijau di suatu negara. Hal lain yang lebih penting lagi, adalah bahwa komposisi kemiskinan dalam sektor pertanian juga sangat besar, sehingga pembentukan sustainable farming akan merupakan peluang baru untuk menjadi sarana menurunkan kemiskinan di sektor pertanian.
Bangunan merupakan bagian penting, karena sektor bangunan (biuildings) mendominasi dalam konsumsi energi, baik bangunan mpublik, swasta dan perkantoran maupun rumah tangga.
Jumlah bangunan dan industri real estate juga terus tumbuh
seiring dengan pertumbuhan populasid alam suatu negara. Konsumsi lahan dan air yang perlu disediakan menjadi faktor penentu dari pertumbuhan bangunan. Dengan demikian, desain bangunan hijau (green buildings) menjadi bagian penting pula dalam membentuk ekonomi hijau di suatu negara.
Perkotaan. perkotaan
Sejalan dengan pertumbuhan bangunan, maka perkembangan
merupakan
trend
yang
terus
meningkat
di
berbagai
negara.
Urbanisasi/perkembangan perkotaan di dunia juga menuntut tidak hanya lahan, namun juga air yang apabila tidak direncanakan dengan baik akan mengganggu kualitas hidup dan kelangsungan kehidupan.
Perkembangan perkotaan juga menuntut adanya
peningkatan transportasi, konsumsi energi dan infrastruktur lainnya.
Selain itu,
perkembangan perkotaan seiring dengan berkembangnya masyarakat kelas menengah meningkatkan kebutuhan baik secara kuantitas maupun kualitas dari berbagai kebutuhan konsumsi dan fasilitas perkotaan di atas.
Energi. Kebutuhan energi seiring dengan berkembangnya jumlah populasi dunia yang sudah melewati 7 miliar penduduk serta sektor supply baik komoditas konsumsi maupun fasilitas kehidupan yang semakin bertambah secara kuantitas dan kualitas menuntut konsumsi energi yang meningkat tajam. Penyediaan energi yang dituntut terus meningkat akan mendorong penggunaan sumber energi dari berbagai sumber baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dengan demikian, akan dapat diperirakan adanya
peningkatan emisi dari energi dan dampak lingkungan lain dari eksploitasi sumberdaya energi, apabila tidak direncakaan dengan baik.
Perikanan.
Sebagai salah satu sumber pangan, peningkatan populasi akan
menunut eksploitasi sumberdaya perikanan yang terus meningkat.
Kelangsungan
ketersediaan sumberdaya perikanan perlu dijaga dengan baik, baik melalui eksploitasi yang sesuai pertumbuhan (maximum sustainable yield) dan menggunakan cara-cara penangkapan yang lestari, maupun upaya restocking, serta pemeliharaan ekosistem laut. Terkait dengan ekosistem laut, pengendalian polusi yang berasal dari sungai menjadi sangat penting untuk menjaga agar ekosistem laut terjaga kebersihan dan keamanannya untuk kehidupan ikan.
Kehutanan. Dalam kaitan dengan ekonomi hijau, jumlah dan kualitas hutan sangat penting untuk dipelihara, untuk menjaga keseimbagan ekosistem dan daya dukung fisik lahan serta menjaga biodiversitas yang ada di dalamnya. Hutan sebagai penjaga sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya sangat penting untuk terbentuknya ekonomi hijau, termasuk pembentukan komoditas karbon yang sangat berpotensi untuk “ditransaksikan” di kemudian hari.
Dengan demikian, penggunaan
hutan untuk penggunaan pertanian, pertambangan dan penggunaan lain perlu dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten.
Potensi hutan yang selama ini hanya
berpusat pada kayu dan belum pada jasa lingkungan dan nilai biodiveritas yang juga dapat menjadi sumber pendapatan baik negara, daerah maupun masyarakat sangat strategis untuk dikembangkan dalam pembentukan ekonomi hijau.
Industri pengolahan/manufakturing.
Peningkatan populasi dan kebutuhan
hidup baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendorong pertumbuhan industri manufakturing.
Selain akan
meningkatkan
kebutuhan bahan
untuk
industri
manufakturing yang diproduksi menggunakan sumberdaya alam, pertumbuhan industri manufakturing apabila tidak dijaga dengan baik akan berpotensi menimbulkan polusi. Pengembangan industri yang menggunakan sumberdaya alam dengan lebih efisien termasuk konsumsi energi secara efisien dan bahkan energi bersih akan sangat berkontribusi pada pembentukan ekonomi hijau. Dalam kaitan dengan industri, potensi yang besar juga adalah kekayaan biodiversitas yang dapat dikembangkan sebagai bahan
baru dalam pengobatan (bio-farmaka), maupun bahan baru yang lebih ramah lingkungan (bio-prospecting). Potensi ini akan merupakan sumber pendapatan baru bagi penerimaan negara dengan tetap memelihara dan justru harus memelihara sumberdaya alam dan lingkungan.
Pariwisata.
Pariwisata yang selama ini masih terbatas pada kekayaan sight
(pemandangan) terhadap keindahan alam, ke depan akan memiliki banyak peluang untuk ditumbuhkan sebagai komponen ekonomi hijau. Alam dan ekosistemnya merupakan sumber kekayaan yang akan menjadi daya tarik tourism, termasuk di dalamnya adalah kekayaan biodiversitas yang merupakan kekayaan yang unik dan spesifik lokasi. Pola pengelolaan kekayaan alam untuk pariwisata ekologi, wisata keanekaragaman hayati dan bahkan wisata ilmiah untuk mempelajari kekayaan keanekaragaman hayati di tempatnya (in-situ) merupakan potensi yang belum tergali dan dikelola dengan baik.
Transportasi. Transportasi merupakan bidang yang sangat penting untuk dapat dikelola dengan baik, karena jumlah populasi yang terus berkembang dan tingkat mobilitas penduduk dalam frekuensi dan jarak yang semakin meningkat memerlukan layanan transportasi yang besar jumlahnya dan tinggi frekuensinya.
Peningkatan
kebutuhan konsumsi masyarakat serta berkembangnya sektor yang memerlukan mobilitas misalnya pariwisata dan sektor produksi lain menuntut sistem transportasi yang efisien dan bersih. Hasil dari peningkatan frekuensi adalah sumberdaya energi yang harus dipersiapkan untuk transportasi serta jenis transportasi yang ramah lingkungan sangat penting dikelola dengan baik sesuai dengan tuntutan keletarian lingkungan dan ekosistem. Pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan juga sangat terkait dengan tata kota dan tata ruang secara lebih luas, sehingga pengembagnan penataan perkotaan dan hubungan urban-rural serta antar wilayah. Hal ini juga sangat penting dikembangkan secara terpadu dengan berbagai sektor lain, karena transportasi diperlukan hampir di semua sektor penting di dalam ekonomi hijau.
Limbah. Sejalan dengan perkembangan seluruh kegiatan di dalam sektor-sektor di atas, maka produksi limbah juga akan meningkat, baik jumlah maupun jenis dan kuliats limbah yang dihasilkan. Pengelolaan dan pengaturan pengeluaran limbah sejak awal pada setiap kegiatan baik ekonomi maupun sosial akan sangat menentukan tidak saja biaya
pengeloloaan, namun juga penggunaan sumber alam secara efisien dan hemat, terutama penggunaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan, yang perlu dihemat karena memiliki masa produksi yang sangat panjang. Penggunaan sumberdaya alam (ekstraksi) yang terlalu cepat dan tidak efisien, tidak saja akan menghasilkan limbah yang besar dan mungkin tidak ramah lingkungan namun juga menghabiskan bahan dalam waktu pendek. Penggunaan sumberdaya alma ini tentu saja tidak memperhatikan keberlanutan dan pembentukan ekonomi hijau dengan baik.
Air. Air yang dihasilkan dari alam dan oleh pemanfaatan siklus air, perlu dikelola dengan baik. Alam yang menjadi penghasil sekaligus tempat membuang air perlu dijaga keseimbangannya. Hutan yang menjadi sumber mata air perlu dijaga sehingga jumlah air yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Perkembangan populasi dan
konsumsi air memerlukan pemeliharaan sumber/mata air alam yang terpelihara dengan baik. Sementara itu, kebutuhan akan ruang cenderung menghilangkan sumber mata air dan daerah resapan air yang menjaga siklus air dengan seimabng sepanjang waktu dan tempat (space). Untuk itu, penataan ruang dan penjagaan keseimbangan fisik muka lahan perlu diperhitungkan dan dijaga dengan baik, agar alam tetap menghasilkan air dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan dan alam juga memiliki kemampuan untukm mendaur ulang atau menjaga siklus air sehingga jumlah dapat dijaga secara antar waktu dan antar tempat.
Sehubungan dengan itu, keseimbangan keberadaan dan eksistensi
sektor-sektor di atas, yang menjadi penyedia air dan juga pengkonsumsi air dan berpotensi pula sebagai pencemar air sangat petning untuk terbentuknya ekonomi hijau yang lestari.
Uraian di atas menggambarkan pentingnya masing-masing sektor untuk pembentukan atau pengembangan ekonomi hijau. Hal yang lebih penting lagi adalah keterpaduan seluruh sektor tersebut untuk membentuk keseimbangan terhadap alam dan ekosistem serta keberlanjutan fungsinya. Selanjutnya potensi yang timbul dari semua sektor dan keterpaduan tersebut adalah dibutuhkannya dan tumbuhnya profesi atau keahlian baru, yaitu profesi hijau (green jobs) di semua sektor tersebut. Dari sisi makro, banyaknya kesempatan baru tersebut juga memungkinkan timbulnya sumber pendapatan baru yang bersalam dari perluasan sektor atau kegiatan dalam sektor yang selama ini belum ada, yang akan menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat dan negara.
III.
PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM MEMULAI EKONOMI HIJAU Dengan masih “kenyalnya” definisi ekonomi hijau, maka belum ada satu
negarapun yang sudah menerapkan secara komprehensif menerapkan konsep ekonomi hijau. Meskipun demikian, beberapa negara sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk “menghijaukan” pembangunan di berbagai bidang, sebagai contoh Cina, Kenya, India dan terakhir adalah Korea Selatan.
Cina memulai pembentukan ekonomi hijau melalui pengembangan renewable energy.
Pada akhir tahun 2005, Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang
renewable energi sebagai kerangka utama untuk pembangunan sektor berkelanjutan. Pemerintah Cina menawarkan insentif keuangan untuk mendukung terbentuknya proyek renewable energy khususnya energi dari tenaga angin dan tenaga surya/matahari. Dukungan lain yang diberikan oleh Pemerintah Cina adalah dalam bentuk: dukungan pembentukan joint venture serta keharusan menggunakan mesin tenaga angin produksi dalam negeri. Pendanaan khusus disediakan untuk penelitian serta penyediaan dana (renewable energy fund) untuk subsidi bunga dan pengurangan pajak atas pengembangan renewable energy. Selain itu, penyedia enegri grid diharuskan pula membei dari produsen renewable energy yang sudah terdaftar. Sebagai hasil dari kebijakan ini, Cina telah berhasil mengembangkan industri renewable energy senilai 17 milyar dollar Amerika dan menambah kesempatan kerja sebanyak 1,5 juta orang di industri energi tenaga biomassa dan tenaga angin. Untuk tahun 2009 saja jumlah kesempatan kerja baru dari kegtiga industri ini adalah sebesar 300 ribu orang.
Kenya. Pemerintah yang semula juga sangat tergantung pada sumber energi minyak bumi yang diimpor dan biomasa, berusaha keras mengembangkan renewable energy.
Pada tahun 2008, Pemerintah Kenya menerapkan Feed-in Tariff yang
mengharuskan perusahaan energi yang menyediakan energi dengan sistem grid, membeli sumberadya listrik dari produsen renewable energy pada harga yang ditetapkan. Dengan cara ini, maka produsen listrik akan mendapatkan harga yang pasti dan penyedia untuk produsen renewable energy juga mendapatkan harga pasti dan dapat menutupi biaya produksinya.
Pengembangan FIT ini bermanfaat: (i) memfasilitasi adanya jaminan
investasi dan stabilitas pasar untuk investor; (ii) menurunkan biaya transaksi dan proses tender yang panjang; (iii) mendorong produsen energi untuk merencanakan dengan hatihati dan efisien. Fasilitas ini disediakan dalam jangka waktu 20 tahun sehingga akan memberikan waktu yang cukup untuk pengembangan renewable energy di Kenya.
Brazil.
Kota Curitiba, salah satu ibukota negara bagian di Brazil memulai
ekonomi hijau dari pengelolaan tata kota dan sistem transportasi perkotaan. Penataan kota dimulai dengan kombinasi pengaturan zona pemanfaatan ruang dan pengelolaan transportasi untuk menjauhkan tempat permukiman dari pusat kota. Selain itu, wilayahwilayah yang terkena banjir juga dialihkan menjadi daerah hijau, sehingga keseimbangan antara kepadatan dan jasa lingkungan hijau terjaga. Prinsip penataan kota yang dituju adalah perencanaan yang “pintar” akan menghemat biaya di kemudian hari, meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat di perkotaan.
India. Sementara di Brazil dicontohkan dengan penataan perkotaan, di India kegiatan hijau dimulai dengan melakukan investasi infrastruktur perdesaan secara ekologis.
Yang dimaksud adalah memperkuat pengelolaan sumberdaya alam di
perdesaan, dengan membiayai kegiatan infrastruktur untuk
mengatasi masalah
kekeringan dan erosi sehingga berdampak pada konservasi ekosistem
sumberdaya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat. Ketersediaan air dan konservasi sumberdaya air sangat penting bagi kehidupan perdesaan dan perkotaan serta mengamankan ketahanan pangan. Dalam kurun waktu tahun 20052008 telah dilakukan sebanyak 850 ribu kegiatan infrastruktur sumberdaya air dan diperkirakan dapat melestarikan 5 juta liter air dan meningkatkan 25% kesempatan kerja di perdesaan.
Green Growth Korea. Pendekatan lebih konkrit dilakukan oleh Korea dengan dukungan dari Green Growth Institute.
Korea mencanangkan kom itmen untuk
membentuk green growth melalui Low Carbon, Green Growth sebagai visi nasional mereka pada Agustus 2008. Melalui low carbon green ini Korea ingin tetap melakukan pertumbuhan ekonomi dan sekalgus menangani perubahan iklim.
Langkah yang
dilakukan oleh Korea adalah menyusun Basic Act on Green Growth sebagai bagian dari
Rencana Pembangunan Lima Tahunan mereka dan akan mengalokasikan 2 (dua) persen dari GDP setiap tahun untuk penerapan green growth. Selain tekad ini, Korea Selatan juga melakukan penyadaran (awareness) ke seluruh lapisan masyarakat dan menyediakan insentif dan disinsentif (carbon pricing dan tax).
Indonesia. Di Indonesia sendiri, sudah banyak pula berbagai langkah konkrit yang dilakukan di berbagai sektor. Berbagai kegiatan dalam bidang pertanian, misalnya metoda pertanaman hemat air (System Rice Intensification/SRI), pengelolaan limbah ternak untuk biogas dan pupuk organik, pemanfaatan limbah perkebunan untuk pupuk organik serta pemanfaatan minyak sawit untuk biosolar sudah dilakukan. Selain itu penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dan penggunaan publik juga dilakukan misalnya melalui pengembangan mikro-hidro skala masyarakat, penggunaan listrik tenaga surya untuk rumah tangga maupun lampu jalan sudah diterapkan di berbagai daerah. Penggunaan gas untuk kendaraan umum juga sudah dimulai. Langkah secara terpadu, mulai dilakukan dengan diluncurkannya Komitmen Presiden untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020, dari business as usual saat ini.
Komitmen tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Aksi
Penurunan Emisi GRK yang sudah diterbitkan pada bulan September tahun 2011. Rencana Aksi ini sedang disosialisasikan ke daerah-daerah untuk mendorong tersusunya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. Diharapkan akhir tahun 2012 RAD GRK akan selesai, dan sehingga kerangka pelaksanaan penurunan emisi GRK dari pusat sampai ke daerah sudah akan tersedia. Dengan adanya RAD GRK ini, maka kegiatan-kegiatan yang sudah dimulai di berbagai sekor tersebut di atas, akan dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan terpadu dalam rangka membentuk kegiatan rendah emisi (karbon).
IV. UPAYA MEWUJUDKAN EKONOMI HIJAU INDONESIA
4.1.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Indonesia telah mulai memikirkan tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan sejak diluncurkannnya pembangunan berkelanjutan tahun 1972. Sejalan dengan itu, dan dimulai dengan KTT Bumi di Rio tahun 1992, pada tahun 1997 Indonesia sudah menyusun Dokumen Agenda 21 Indonesia.
Penyusunan dokumen ini didasari oleh
kesadaran akan pentingnya menyeimbangkan antara pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial sebagai satu kesatuan. Agenda 21 juga menyusun rencana pelaksanaan untuk menyatukan pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial dalam satu paket terpadu untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
4.1.1. Agenda 21
Agenda 21 Indonesia terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:
a.
Bagian I: Pelayanan masyarakat (community services), yang terdiri dari 6 (enam) Bab, yaitu: Bab 1 tentang Pengentasan Kemiskinan; Bab 2 tentang Perubahan Pola Konsumsi; Bab 3 tentang Dinamika Kependudukan; Bab 4 tentang Pengelolaan dan Peningkatan Kesehatan; Bab 5 tentang Pengembangan Perumahan dan Pemukiman; dan Bab 6 tentang Sistem Perdagangan Global, Instrumen Ekonomi, serta Neraca Ekonomi dan Lingkungan Terpadu.
b.
Bagian II adalah: Pengelolaan Limbah, yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu: Bab (7) Perlindungan Atmosfir; Bab (8) Pengelolaan Bahan Kimia Beracun; Bab (9) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; Bab (10) Pengelolaan Limbah Radioaktif ; dan Bab (11) Pengelolaan Limbah Padat dan Cair.
c.
Bagian III tentang Pengelolaan Sumber daya Tanah, yang terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu: Bab (12) Perencanaan Sumberdaya Tanah; Bab (13) Pengelolaan
Hutan; dan Bab (14) Pengembangan Pertanian dan Pedesaan; dan Bab (15) Pengelolaan Sumberdaya air.
d.
Bagian IV: Pengelolaan Sumber daya Alam, dibagi ke dalam 3 (tiga) Bab, yaitu Bab (16) Konservasi Keanekaragaman Hayati; Bab (17) Pengembangan Teknologi; dan Bab (18) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan.
Pelayanan Masyarakat, pada dasarnya menjabarkan tentang pelayanan dasar kepada masyarakat yang perlu diwujudkan kepada masyarakat sebagai bagian dari hak dasar mereka. Unsur-unsur di dalam pelayanan dasar ini merupakan pencerminan dari prinsip-prinsip sosial ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangan selanjutnya, butir-butir pelyanan dasar ini menjadi indikator dalam Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals).
Bagian kedua dari Agenda 21 adalah Pengelolaan Limbah yan terdiri dari perlindungan atmofir, pengelolaan imbah kimia beracun, pengelolaan limbah padat dan cair.
Pengelolaan limbah-limbah ini dengan baik akan dapat menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan, sehingga lingkungan dengan ekosistemnya akan tetap terjaga untuk mendukung kehidupan kita semua. Pengelolaan limbah ini dalam tataran pelaksanaan dituangkan ke dalam peraturan lingkungan hidup yang sudah diperbarui beberapakalli dan terakhir adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
Bagian ketiga adalah Pengelolaan Sumberdaya Tanah yang mengatur tentang Perencanaan Sumberdaya Tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan perdesaan serta pengelolaan sumberdaya air. Bab ini selain berkaitan erat dengan Bab yang kedua, juga mengendalikan secara seimbang tentang pengelolaan tanah baik dari sisi kuantitas dan ruang (space) untuk berbagai penggunaan, dan kualitas tanah yang terutama adalah untuk menjaga sumber mata air dan ruang reasapan air yang sangat menentukan keberlanjutan ketersediaan air bagi kelangusngan kehidupan di muka bumi. Bagian
Bagian keempat adalah tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang mencakup tentang konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan sumber kehidupan penting saat ini dan terutama saat mendatang, pengembangan teknologi yang perlu
memperhatikan keramahan terhadap lingkungan dan menjaga efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, terutama yang tidak terbarukan, serta arah untuk mengatur pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu. Keempat bagian ini merupakan cikal bakal dan dasar untuk mengarahkan pemanfaatan lingkungan dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya untuk kelangsungan kehidupan saat ini dan keberlanjutan hidup ke depan.
4.1.2. Pelayanan dasar dan Pencapaian Target MDG
Melihat komponen di dalam Agenda 21, Rencana Pembangunan Nasional yang dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan setiap tahunna diturunkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan dan diturunkan ke dalam Undang-undang APBN sudah memuat komponen-komponen tersebut. Demikian pula ketiga pilar, ekonomi, sosial dan leingkungan hidup juga sudah tercantum di dalamnya. Namun demikian, pelaksanaan ketiga komponen tersebut belum seimbang dan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan belum terinternalisasikan ke dalam setiap pilar dengan baik. Hal ini selanjutnya berpengaruh di dalam hasil dan dampak pembangunan yang meskipun Indonesia telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan meningkat, pada saat yang bersamaan juga menimbulkan banyak permasalahan lingkungan. Meskipun demikian, Indonesia juga mencatat perkembangan yang signifikan dalam berbagai komponen yang digariskan di dalam Agenda 21.
Pelayanan Dasar yang tercermin dalam indikator MDG. Indonesia melaksanakan pembangunan sosial khususnya pelayanan dasar dengan sangat serius.
Pembanguna
sektor pendidikdan dan kesehatan serta keluarga berencana, yang telah dimulai sejak pelaksaaan Pembangunan secara terencana (dalam era Orde Baru), telah berhasil membangun infrastruktur pendidikan dan kesehatan secara meluas melalui pembangunan SD Inpres dan penempatan Guru Inpres serta pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter Inpres. Demikian pula pembangunan keluarga berencana yang mencanangkan tidak saja pelayanan kesehatan keluarga namun juga mensosialisasikan bahwa 2 (dua) anak adalah cukup dalam setiap keluarga, telah cukup berhasil menempatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan keluarga sebagai prioritas dalam pembangunan keluarga sejahtera. Hasil dari pelaksanaan program yang sudah dimulai dan terus dilaksanakan secara konsisten dalam setiap tahap rencana pembangunan telah mencapai banyak
keberhasilan. Dengan langkah konsisten ini, maka Indonesia pada tahun 2000 termasuk salah satu negara yang menyetujui disepakainya MDG, yang mengglobalkan pembangunan nasional yang sudah kita mulai, menjadi agenda global. Sejak deklarasi MDG tersebut, Indonesia telah pula mengarusutamakan indikator MDG ke dalam rencana pembangunan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan sekaligus menyelesaikan agenda pembangunan MDG dan kemajuan pencapaian MDG adalah bagian dari pencapaian pembangunan nasional, sehingga kemajuannya dapat dilaporkan setiap tahun.
Dalam laporan MDG yang tahun 2010, Indonesia telah mencapai sasaran MDG1 kemiskinan USD1/kapita, MDG3 kesetaraan jender dan MDG 6 prevalensi TB sebelum tahun 2015. Selanjutnya, sasaran MDG yang on track dan akan dapat dicapai tahun 2015 adalah MDG 1 prevalensi balita kekurangan gizi, MDG 2 APM pendidikan dasar dan tingkat melek huruf, MDG 3, MDG 4 dan MDG 8. Sementara itu beberapa saaran yang akan tercapai namun memerlukan kerja keras adalah sasaran MDG 1 - target pengurangan kemiskinan dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional; MDG 5 - Angka kematian ibu; MDG 6 - Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat, khususnya di antara kelompok risiko nggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks; MDG 7 Indonesia memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Pencapaian sasaran MDG Tahun 2010 No
Target MDG
I
1
Status 2010 TELAH TERCAPAI SEBELUM 2015
MDG 1 - Proporsi penduduk yang hidup
Telah menurun dari 20,6 persen pada tahun 1990 menjadi 5,9
dengan pendapatan per kapita kurang dari
persen pada tahun 2008.
USD 1 per hari Telah hampir tercapai, ditunjukkan oleh: 2
Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap
MDG 3 - Kesetaraan gender dalam semua
laki-laki di SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B berturut-
jenis dan jenjang pendidikan
turut sebesar 99,73 dan 101,99, dan
Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 99,85 pada tahun 2009.
Menurun dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus per MDG 6 - Prevalensi tuberkulosis
100.000 penduduk pada tahun tahun 2009.
II
ON TRACK DAN AKAN TERCAPAI TAHUN 2015 Telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 persen pada tahun
1
MDG 1 - Prevalensi balita kekurangan gizi
1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007. Target 2015 sebesar 15,5 persen diperkirakan akan tercapai.
2
3
4
MDG 2 - Angka partisipasi murni untuk
Mendekati 100 persen dan tingkat melek huruf penduduk
pendidikan dasar
melebihi 99,47 persen pada 2009.
MDG 3 - Rasio APM perempuan terhadap
Pada tahun 2009 berturut-turut 96,16 dan 102,95. Dengan
laki-laki di SM/MA/Paket C dan
demikian maka target 2015 sebesar 100 diperkirakan akan
pendidikan tinggi
tercapai.
MDG 4 - Angka kematian balita telah menurun dari 97 per 1.000 kelahiran
Pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan diperkirakan target 32 per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai. Ditunjukkan dengan adanya kecenderungan positif dalam indikator yang berhubungan dengan perdagangan dan sistem
5
MDG 8 - Indonesia telah berhasil
perbankan nasional. Kemajuan signifikan telah dicapai dalam
mengembangkan perdagangan serta sistem
mengurangi rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 24,6
keuangan yang
persen pada 1996 menjadi 10,9 persen pada 2009. Debt Service
terbuka,
Ratio juga telah berkurang dari 51 persen pada tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009.
III 1
TERCAPAI TAHUN 2015 DENGAN KERJA KERAS MDG 1 – target pengurangan kemiskinan
Dengan ukuran target pengurangan kemiskinan nasional dari
dengan ukuran garis kemiskinan ansional
13,33 persen (2010) menjadi 8-10 persen pada tahun 2014. Menurun dari 390 tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran
2
MDG 5 - Angka kematian ibu
hidup pada tahun 2007. Diperlukan upaya keras untuk mencapai target pada tahun 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.
3
MDG 6 – HIV Aids
Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat, khususnya di antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks.
Tingkat emisi gas rumah kaca masih tinggi, namun tetap berkomitmen untuk meningkatkan tutupan hutan, memberantas pembalakan liar.
Dengan adanya RAN GRK ditargetkan untuk mengurangi emisi karbon dioksida paling sedikit 26 persen selama 20
4
MDG 7 – Lingkungan Hidup
tahun ke depan.
Saat ini hanya 47,73 persen rumah tangga yang memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan 51,19 persen yang memiliki akses sanitasi yang layak.
Diperlukan perhatian khusus, untuk mencapai target MDG pada tahun 2015.
Sumber: LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM INDONESIA 2010, Kementerian PPN/Bappenas, 2010
4.1.3. Perkembangan Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam Pembangunan
Upaya untuk menginternalikan prinsip pembangunan berkelanjutan masih terus dilakukan.
Setelah era desentralisasi, pembangunan berkelanjutan secara konkrit
dicantumkan dalam RPJPN 2005-2025 sebagai salah satu misi pembangunan jangka panjang. Rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025 menggariskan visi pembangunan Indonesia adalah Indonesia mandiri, maju, adil dan makmur. Kondisi yang digambarkan dalam visi ini dicirikan oleh tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Pembangunan sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Dalam satu dari 8 (delapan) misi pembangunan untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam visi tersebut adalah visi ke-6 yaitu: Indonesia Asri dan Lestari. Misi ini akan ditempuh dengan: “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu: (i) memperbaiki pengelolaan pelaksanaan
pembangunan
yang
dapat
menjaga
keseimbangan
antara
pemanfaatan, keberlanjutan;
(ii) keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi
sumber
daya
alam
dan
Iingkungan
yang
berkesinambungan; (iii) memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan”.
Misi ini secara bertahap dijabarkan ke dalam RPJPM 2010-2014 dalam bentuk program mainstreaming pembangunan berkelanjutan. Mainsteraming pembangunan berkelanjutan dimaksudkan bahwa rencana pemabngunan di setiap bidang harus menganut prinsip-prinsip berkelanjutan. Pada saat ini belum dikembangkan outcome
yang dihasilkan dalam mainstreaming dan perlu terus diupayakan agar dapat diketahui dan diukur sejauh mana mainstreaming sudah diterapkan dalam bidang-bidang tersebut. Penuanganlebih konkrit lagi adalahprogram lintas bidang perubahan iklim. Perubahan iklim dinilai merupakan tantangan besar dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dan oleh sebab itusetiap bidang pembangunan memiliki program-program yang mendukung dan melaksanakan pengendalian dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, agar dapat dilakukan koordinasi yang jelas dan konkrit,maka dalam RPJM 2010-2014 perubahan iklim ditetapkan sebagai program lintas bidang; artinya setiap bidang yang terkait dengan kegiatan mitigasi dan adaptasi wajib mencanutmkan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan perubahan iklim.
4.2.
KOMITMEN PENURUNAN EMISI GRK – MOMENTUM UNTUK PEMBENTUKAN EKONOMI RENDAH KARBON
Sejalan dengan pertemuan UNFCC COP 13 tahun 2007 di Bali, maka selaku tuan rumah pertemuan tersebut Indonesia telah berhasil memfasilitasi tersusunnya Bali Roadmap, sebagai komitmen pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Di dalam pertemuan UNFCCC tersebut, Indonesia sudah menyusun suatu country natural resources and environment assessment (CNREA) sebagai awal untuk mendeteksi kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup menyongsong meningkatnya isu perubahan iklim.
Sesuai pertemuan tersebut, dan menyadari pentingnya suatu negara melakukan langkah-langkah konkrit untuk ikut mengatasi masalah dan mengendalikan dampak perubahan iklim, maka Indonesia menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi GRK yang menjadi penyebab pemanasan global dan mengakibatkan adanya perubahan iklim. Terkait dengan hal tersebut, dalam pertemuan G-20 di Pitsburg tahun 2009, Indonesia mengumumkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan masyarakat internasional. Target ini disampaikan untuk menunjukkan bahwa secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas yang menjadi penyebab pemanasan global.
Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). ICCSR dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat untuk mengarustuamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor pembangunan.
Dokumen ICCSR
bertujuan untuk
menjabarkan dan menjaga
keterkaitan antara target nasional, target sektoral, capaian dan prioritas aksi adaptasi
dan
mitigasi
perubahan
iklim.
Ruang
lingkup
ICCSR merupakan
kombinasi roadmap untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa pedoman pokok terkait mitigasi emisi gas rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR setidaknya meliputi lima hal : (i) Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015; (ii) Penyediaan panduan kebijakan u ntuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi scenario business as usual sebesar 26% pada tahun
2020
menggunakan
sumberdaya nasional serta 41% dengan dukungan
internasional; (iii) Implementasi mitigasi yang mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025; (iv) Peningkatan energi alternative; dan (v) Adopsi lowcarbon development bagi seluruh sektor yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Secara
konseptual peta jalan untuk mengadopsi usaha mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi: (i)
Penentuan sektor mitigasi; (ii)
Penguatan basis ilmiah; (iii) Status emisi (inventory); (iv) Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca; (v) Rekomendasi strategi mitigasi; dan (vi) Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.
Penyusunan prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai inventori emisi. Selain itu ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun internasional. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan. Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori sebagai berikut: (i) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori Kategori 1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan; (ii) Kategori 2
Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi; dan (iii) Kategori 3 Implementasi, Kontrol, dan Evaluasi. Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi kegiatan, serta waktu pelaksanaan. Kerangka waktu pelaksaan yang disusun terbagi ke dalam kurun waktu 2010 – 2029. “Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate Change.
Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional. Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan sistem perencanaan pembangunan, 2) menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral atas perubahan iklim di dalam kerangkan pembangunan berkelanjutan, 3) memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, 4) memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim.
4.2.1. Penjabaran komitmen penurunan emisi GRK. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK adalah dokumen kerja yang menjadi pedoman Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 sesuai dengan komitmen Bapak Presiden.
RAN GRK merupakan acuan
utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Prinsip Dasar pelaksanaan RAN GRK adalah bahwa penurunan emisi GRK; (i) Tidak menghambat pertumbuhan ekonomi; (ii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan yang berkelanjutan; dan (iii) Perlindungan terhadap masyarakat miskin dan rentan. Isi pokok dari RAN GRK adalah: (i) membagi target sasaran penurunan emisi sebesar 26% dan 41% ke dalam 5 sektor utama (Gambar 4); (ii) mengidentifikasi strategi
dan program dan kegiatan pemerintah yang dapat digunakan untuk menurunkan emisi GRK. Program dan kegiatan ini ada di dalam RPJM dan
perlu dituangkan ke dalam RKP dan dibiayai setiap tahunnya, sehingga akan dilaksanakan oleh K/L.
Gambar 2. Komitmen Presiden mengenai RAN GRK
Untuk memberikan landasan legal, maka RAN GRK diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden dan telah ditandatangani pada tanggal 20 September 2011 menjadi Perpres No.61 tahun 2011, tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca telah. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen secara serius dijabarkan dalam aksi nyata. Substansi dan kriteria kegiatan yang ada di dalam RAN GRK adalah: (i) Terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional dan ter-update secara rutin; (ii) Kegiatan Inti mencakup 5 (lima) bidang untuk penurunan emisi. Kegiatan tersebut menghasilkan penurunan emisi GRK dengan biaya satuan termurah & terintegrasi untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan (co-benefit); (iii) Kegiatan pendukung dilakukan untuk mendukung kegiatan inti (secara tidak langsung menurunkan emisi) melalui perkuatan kerangka kebijakan, peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan, sosialisasi, penelitian, dan kegiatan lain yang mempunyai andil menurunkan emisi; (iv) Disusun berdasarkan kegiatan yang sudah ada, dan memiliki manfaat tambahan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (kegiatan-kegiatan pembangunan yang rendah karbon); dan (vi) Dalam
bidang kehutanan dan lahan gambut melalui pencegahan deforestasi, degradasi hutan, konservasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya.
Gambar 4: Target Penurunan Tingkat Emisi Masing-masing Sektor
Kebijakan dan strategi yang tertuang di dalam RAN GRK untuk kelima sektor utama dijabarkan sebagai berikut. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut. Langkah kebijakan sektor kehutanan dan lahan gambut mengenai penurunan emisi gas rumah kaca yaitu: (i) Penurunan emisi GRK sekaligus meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, dan menambah pendapatan masyarakat serta negara; (ii) Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa; (iii)
Pemeliharaan
jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada); (iv) Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Strategi yang dilakukan sektor kehutanan dan lahan gambut adalah: (i) menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK; (ii) Meningkatkan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii)
Meningkatkan upaya
pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan Sustainable Forest Management; (iv) Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blokblok pembagi, serta menstabilkan elevasi muka air pada jaringan tata air rawa; (v) Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi; (vi) Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Sektor Pertanian.
Langkah kebijakan sektor pertanian sebagai berikut: (i)
Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dan Peningkatan Produksi Pertanian dengan emisi GRK yang rendah; dan (ii) Peningkatan fungsi dan pemeliharaan sistem irigasi. Strategi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor pertanian dengan: (i) Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air; (ii) Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal; dan (iii) Menstabilkan elevasi muka air dan memperlancar sirkulasi air pada jaringan irigasi.
Sektor Energi dan Transportasi.
Langkah kebijakan sektor energi dan
transportasi sebagai berikut: (i) Peningkatan penghematan energi; (ii) Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching); (iii) Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT); (iv) Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan sarana transportasi; dan (iv) Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Strategi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi dan transportasi dengan: (i) Menghemat penggunaan energi final baik melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi energi tak terbarukan (fosil); (ii) Mendorong pemanfaatan energi baru tak terbarukan skala kecil dan menengah; (iii) (Avoid) – mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan mengurangi perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu; (ii) (Shift) – menggeser pola penggunaan kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, dan transportasi air; (iii) (Improve) – meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.
Sektor Industri.
Langkah kebijakan sektor industri dengan peningkatan
pertumbuhan industri dengan mengoptimalkan pemakaian energi. Strategi yang dilakukan dalam penurunan emisi gas rumah kaca sektor ini dengan: Melaksanakan audit energi khususnya pada industri-industri yang padat energi; dan Memberikan insentif pada program efisiensi energi.
Sektor Limbah. Langkah kebijakan yang diambil dalam penurunan emisi gas rumah kaca dengan peningkatan pengelolaan sampah dan air limbah domestik. Strategi yang akan dilakukan di sektor ini sebagai berikut: (i) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peraturan di daerah; (ii) Meningkatkan pengelolaan air limbah di perkotaan; (iii) Mengurangi timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle); (iv) Memperbaiki proses pengelolaan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); (v) Meningkatkan pembangunan/ rehabilitasi TPA; dan (vi) Memanfaatkan limbah/sampah menjadi produksi energi yang ramah lingkungan.
Penentuan program sektoral dan anggaran untuk mencapai sasaran skenario (BAU atau dengan kerjasama). Secara lengkap deskripsi dari langkah-langkah kebijakan, strategi, anggaran, dan kerjasama dengan berbagai pihak disampaikan dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4.
4.2.2. Pelaksanaan dan penjabaran di tingkat Sektoral. Dengan adanya penjabaran alokasi target ke setiap 5 (lima) sektor utama dan identifikasi program dan kegiatan yang berkontribusi dalam menurunkan emisi GRK, maka pelaksanaan di masing-masing sektor memiliki tujuan sasaran yang jelas serta peran pemerintah untuk mendorong pelaku usaha dan masyarakat di sektor masing-masing juga memiliki tujuan dan landasan. Untuk itu, maka di setiap sektor kemudian perlu disusun bagaimana masing-masing K/L dalam sektor yang bertanggungjawab terhadap penurunan emisi menyediakan fasilitasi baik berupa regulasi (standar, ukuran dan kriteria) dan juga berupa insentif dan disinsentif serta mekanisme apabila diperlukan.
Gambar 6: Rencana Aksi Sektoral
Sebagai contoh, untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, sudah disusun Strategi Nasional REDD+ yang penyusunan draft awalnya dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama-sama dengan K/L terkait. Strategi nasional tersebut pada saat ini sedang dalam tahap finalisasi oleh Satgas REDD+ sebagai landasan untuk pelaksanaan REDD+ dan pembentukan Lembaga REDD+ Nasional.
Gambar 5: Implementasi Nasional
Dalam kaitan dengan ini, sedang dikembangkan pula berbagai persiaan pelaksanaan REDD+ antara lain yaitu: (i) penyiapan basis data (peta) dan check kondisi hutan dan lahan gambut sesuai peta tersebut pada keadaan nyata di lapangan; (ii) penyiapan landasan hukum dan penegakannya, dan terutama apabila terdapat konflik/perbedaan di lapangan; (iii) menyiapkan ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur hasil penurunan emisi sesuai dengan MRV yang distandarkan secara internasional; (iv) menyiapkan instrumen pendanaan untuk insentif, baik yang bersifat investasi maupun payment for performance; (v) Monitoring serta pendampingan di tapak/lapangan, mengingat hal ini merupakan langkah baru untuk melakukan kuantitifikasi dan valuasi jasa lingkungan (baca penurunan emisi/penyerapan karbon). Dengan kelengkapan itu maka untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor yang terbesar dapat menyumbang penurunan emisi akan dapat memfasilitasi terbentuknya kegiatan konkrit yang dapat menurunkan emisi, menyiapkan dan menumbuhkan berbagai kegiatan yang sejalan dengan rehablitasi degradasi dan deforestasi hutan dan sekaligus menciptakan kegiatan ekonomi dan pendapatan alternatif serta kesempatan kerja.
Demikian pula untuk sektor lainnya perlu disusun langkah-langkah konkrit untuk memfasilitasi pelaku usaha/swasta yang pada akhirnya akan memerlukan regulasi dan mekanisme insentif/disinsentif atas capaian penurunan emisi yang dapat dilakukan. Dengan demikian, keseluruhan rencana program dan kegiatan penurunan emisi di setiap sektor pada akhirnya dapat ditunjukkan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam menjalankan pembangunan nasional.
4.2.3. Pelaksanaan di tingkat Daerah Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut RAD GRK. Isi dari RAN GRK menjadi dasar bagi setiap provinsi dalam menyusun RAD GRK sesuai dengan kondisi daerah dan kemampuan seluruh komponen masyarakat di masing – masing provinsi. Sesuai dengan Perpres, RAD GRK harus diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terbitnya Perpres dan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur.
Penyusunan RAD GRK diharapkan
merupakan proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing – masing.
Untuk
memfasilitasi
penyusunan
RAD
GRK
tersebut,
Kementerian
PPN/Bappenas dalam waktu 3 (tiga) bulan sudah menyelesaikan Pedoman Penyusunan RAD GRK. Pedoman ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Penyusunan RAD GRK sudah diluncurkan dan disosialisaikan di tingkat nasional pada tanggl 12 Januari 2012.
Selanjutnya untuk melakukan fasilitasi ke daerah, Kementerian
PPN/Bappenas menyusun Tim Sosialisasi dan Fasilitasi Penyusunan RAD GRK melalui SK Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2012. Sosialisasi Tahap I telah dilakukan di
5 (lima) wilayah yang dilaksanakan di Pelembang, Semarang,
Denpasar, Makasan dan terakhir adalah Balikpapan.
Proses selanjutnya adalah
fasilitasi dan monitoring penyusunan RAD GRK yang dilakukan oleh Sekretariat Penyusunan RAD GRK yang berada di Kementerian PPN/Bappenas.
Dengan
adanya RAD GRK untuk 33 provinsi tersebut, maka pencapaian target penurunan
emisi sebesar 26% dan 41% akan memiliki kerangka pelaksanaan, rencana pelaksanaan dan sehingga dapat dilakukan secara kosisten dan kontinyu sampai dengan tahun 2020. Selanjutnya, kedudukan RAD GRK diantara dokumen rencana pembangunan yang sudah ada baik di tingkat pusat maupun daerah digambarkan Gambar 3.
Demikian pula keterkaitan RAN GRk dan RAD GRK dengan beberapa proses
komunikasi tentang perubahan iklim digambarkan dalam Gambar 3 tersebut.
Institusi Terkait dan Kewenangannya. Sejalan dengan desentralisasi, berbagai K/L telah melakukan pembagian kewenangan ke daerah. digambarkan secara singkat hasil
Dalam Tabel 1, 2 dan 3
inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang
terkait dengan emisi gas rumah kaca. Tabel ini memberikan gambaran kewenangan yang dapat dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi berdasarkan kerangka kelembagaan yang ada (UU 32/2004, dan PP 38/2007). Dengan adanya pembagian dan batasan kewenangan ini maka akan jelas batasan tanggung jawab dalam melaksanakan program dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya penurunan emisi.
Gambar 3. Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK
Selanjutnya, untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK, Pemda Provinsi juga diminta untuk membentuk Tim Koordinasi yang sekretariatnya bertempat di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan beranggotakan Dinas terkait sesuai dengan pembagian sektor dan identifikasi kegiatan-kegiatan daerah yang akan digunakan untuk mendukung penurunan emisi. Agak berbeda dengan struktur RAN GRK yang berisi tentang program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh dan/atau
melalui K/L untuk menurunkan emisi GRK, maka RAD GRK akan berisi kegiatankegiatan di lapangan yang akan berkontribusi menurunkan emisi GRK. Contoh-contoh kegiatan ini sudah disebutkan di dalam Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK. Dengan penentuan penurunan emisi berbasis kegiatan maka: (i) akan sangat aplikatif di lapangan karena sudah berupa kegiatan nyata; (ii) mudah diidentifikasi Dinas penanggungjawab utama dan Dinas pendukung; (iii) mudah untuk dikaitkan dengan kegiatan yang selama ini sudah dilakukan dan hanya memerlukan penyempurnaan dalam melakukan sesuai dengan prinsip-prinsip penurunan emisi. Dengan langkah ini maka kegiatan penurunan emisi GRK merupakan bagian dari kegiatan pembangunan daerah dan juga mengatasi masalah-masalah pembangunan seperti peningkatan akses terhadap energi dan air, penurunan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan penumbuhan kegiatan dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat.
Tabel 1 Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK Bidang Kehutuanan dan Pertanian (Land based activity)
SEKTOR KEHUTANAN Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan
Jenis tanaman pada hutan
Peraturan jenis tanaman yang ditanami pada
konservasi dan produksi
suatu luasan tertentu di dalam area provinsi.
Community forestry (SFM)
Hutan Rakyat
Tidak Dapat Dilakukan Area hutan di dalam kewenangan Pemerintah Pusat.
Pendampingan terhadap community
-
forestry. Pengelolaan tipe tanaman, rehabilitasi,
-
waktu panen, dan pengedalian.
Manajemen kebakaran
Koordinasi dengan Pemerintah Pusat
Pengendalian, evaluasi, dan
Perlindungan terhadap hutan di dalam
rehabilitasi
kewenangan Pemerintah Provinsi.
Koordinasi dengan pihak swasta yang memiliki
Produksi di Hutan Privat
konsesi.
SEKTOR PERTANIAN Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan
Perencanaan, Kebijakan,
Perencanaan ketersediaan lahan untuk
dan Peraturan
kegiatan pertanian
Penerbitan Izin Pertanian berbasis perusahaan (corporate farming) Teknologi pertanian
Tidak Dapat Dilakukan -
Penerbitan izin dan perubahan guna lahan
-
untuk kegiatan pertanian Pemerintah Provinsi hanya dapat mengeluarkan peraturan.
Kewenangan perusahaan.
Penelitian atau proyek percontohan untuk
Sepenuhnya terkait kapasitas
pengurangan emisi di kegiatan pertanian.
petani.
Tabel 2 Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK Bidang Industri, Energi dan Transportasi
SEKTOR INDUSTRI Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan Kewenangan Departemen
Fiskal dan Insentif Moneter
-
Industri dan Pemerintah Provinsi perlu berkoordinasi.
Pengembangan fasilitas bisnis untuk Fasilitas Industri
industri kecil dan menengah di tingkat
-
provinsi. Perlindungan Industri
Kebijakan untuk perlindungan industri dan
-
koordinasinya terhadap pajak impor. Penelitian dan pengembangan teknologi
Penerapan teknologi ramah
industri ramah lingkungan termasuk
Terkait dengan kebijakan
lingkungan
pemberian fasilitas untuk penelitian pada
setiap perusahaan.
tingkat provinsi. Pendampingan terhadap kabupaten/kota dalam mencegah limbah industri dan Dampak industri terhadap lingkungan
pengendalian dan pengawasan industri ramah lingkungan di tingkat
-
kabupaten/kota. Catatan: perlu terkait dengan kebijakan nasional mengenai industri ramah lingkungan. SEKTOR ENERGI
Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan
Tidak Dapat Dilakukan
Peraturan energi dan kelistrikan di tingkat provinsi. Peraturan kelistrikan dan PKUK Peraturan
(Pemegang Kuasa Usaha
-
Ketenagalistrikan). Perizinan pendirian instalasi energi. Sosialisasi
Permintaan Energi
Kampanye dan publikasi mengenai efisiensi energi melalui media
-
Pengaturan waktu kerja untuk bangunan
Terbatasnya pada program
dan kantor public
efisiensi energi yang
dilakukan Pemerintah Pusat dan PT PLN. Diversifikasi Energi
Pembangunan dan penggunaan sumber daya
-
energi terbarukan
SEKTOR TRANSPORTASI Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Perencanaan dan Kebijakan
Tidak Dapat Dilakukan
Kebijakan sistem transportasi provinsi. a)
-
Inisiasi dan perencanaan penyediaan
Tranportasi Publik
tranportasi publik
-
b) Peremajaan angkutan umum. Penerapan transportasi ramah energy
Bersinggungan dengan Dalam bentuk peraturan.
moda angkutan. Bukan merupakan
Pajak dan Mekanisme
kewenangan Pemerintah
Insentif – Disinsentif Pendidikan Masyarakat
kewenangan sektor privat
Provinsi Kampanye penggunaan transportasi publik.
-
Tabel 3 Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Perubahan Iklim di Sektor Pengelolaan Sampah
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Tidak Dapat
Kewenangan Terkait
Dapat Dilakukan
Dilakukan a)
Kebijakan pengelolaan sampah dan infrastruktur di tingkat provinsi;
b) Penyiapan lembaga penanggungjawab Perencanaan, Kebijakan dan Peraturan
manajemen pengelolaan sampah c)
Perizinan untuk infrastruktur pengelolaan sampah di tingkat provinsi
d) Peraturan daerah terkait dengan pengelolaan sampah e)
Manajemen pengelolaan sampah antar
-
daerah f)
Resolusi konflik untuk persoalan pengelolaan sampah antar provinsi.
a)
Implementasi konsep Clean Development Mechanism dalam infrastruktur pengelolaan sampah.
Pelayanan sector
b) Pembangunan dan operasional instalasi
pengelolaan sampah
pengelolaan sampah. c)
-
Penyediaan pendampingan untuk instrastruktur pengelolaan sampah kabupaten/kota.
a)
keterlibatan privat dan masyarakat di dalam
Pendidikan dan peningkatan kapasitas
Peningkatan kapasitas dan fasilitas
sektor pengelolaan sampah
-
b) Kampanye dan pendidikan pengurangan sampah
4.3.
KEBIJAKAN DAN LANGKAH PENDUKUNG UNTUK EFEKTIVITAS RAN GRK Setelah berbagai kebijakan dan langkah untuk menjabarkan komitmen dan
meletakkan kerangka kerja untuk menjabarkan rencana dan pelaksanaan sampai di daerah, termasuk mempersiapkan K/L untuk memfasilitasi dan mendorong upaya penurunan emisi di kalangan pelaku usaha dan masyarakat, masih terdapat paling tidak 3 (tiga) hal penting yang perlu dibangun secara paralel yaitu: (i) pengembangan alat ukuran dan mekanisme pemantauan/monitoringnya; (ii) pembentukan sistem dan instrumen insentif/disinsentif; (iii) Peningkatan kapasitas Lembaga dan SDM.
4.3.1. Pengukuran dan Monitoring RAN GRK Penyusunan alat ukur untuk mengukur dan mengkuantifikasi penurunan emisi menjadi unsur yang sangat penting dan baru di dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengukuran limbah padat dan cair sudah dapat dilakukan, namun emisi GRK (baca emisi udara) merupakan benda tidak kasat mata (intangible). Dengan demikian, unruk pengukuran merupakan dimensi baru dan sekalgus penting untuk mengetahui kemajuan hasil penurunan emisi GRK.
Sesuai dengan kaidah yang ditentukan oleh UNFCC, sudah ada standar pengukuran yang dibakukan, dan sering disebut harus memenuhi kriteria MRV, measurable, reportable dan verifiable (MRV), artinya terukur, dapat dilaporkan, dan mudah diverifikasi.
Dengan demikian, unsur yang dipentingkan adalah “make the
intangible become tangible”, membuat yang tidak kasat mata dapat dinyata(/kasat)-kan. Sehubungan dengan pentingnya system informasi/data yang memenuhi kaidah MRV ini maka hampir bersamaan dengan terbitnya Perpres RAN GRK, Bapak Presiden juga telah menandatangani Perpres No. 71/2011 tentang Inventarisasi Penurunan Emisi GRK. Penanggungjawab dari pelaksanaan Perpres ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup.
Namun demikian, sementara indikator dan sistem informasi sesuai MRV sedang dalam proses penyusunan secara terpadu, berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK maka monitoring yang sementara dapat dilakukan adalah: monitoring kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK. Mengingat yang dimonitor dan dilaporkan adalah kegiatan yang menurunkan emisi GRK, maka lembaga yang mengkoordinasikan pelaporan adalah Bappeda Provinsi selaku Sekretariat RAD GRK. Laporan disampaikan ke Kementerian PPN/Bappenas sesuai dengan mekanisme Monitoring dan Evaluasi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
Pemantauan dan kegiatan yang dilaporkan adalah kegitaan yanag menyumbang terhadap penurunan emisi GRK.
Dalam RAD GRK, Pemda dan masyarakat
mengidentfikasi dan menyusun kegiatan-kegiatan di 5 sektor utama yang akan dilakukan oleh Pemda. Selanjutnya, dilakukan penghitungan/pembakuan penghitungan emisi GRK per jenis dan skala kegiataan.
Dengan demikian, Pemda akan melaporkan hanya
pelaksanaan kegiatan dan standar kegiatan yang memenuhi adanya kepastian penurunan emisi (agar dapat diverifikasi). Dengan melaksanakan kegiatan tersebut, maka penurunan emisi yang dilakukan akan dapat diukur dan dijumlahkan secara nasional.
Langkah ini ditempuh sementara, sambil menunggu: (i) pengukuran kondisi baseline emisi GRK sebelum kegiatan tersebut dilakukan; (ii) menunggu system informasi pemantauan emisi GRK yang disusun sesusi kaidah MRV dari IPPC yang perlu disusun secara nasional. Dengan demikian, sementara menunggu terbentuknya sistem
MRV yang sedang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan Perpres No. 71/2011, maka pemantauan pelaksanaan RAD GRK sebagai bagian dari pelaksanaan RAN GRK dapat dilakukan dan dilaporkan setiap tahunnya dalam Sidang Dewan Nasional Perubahan iklim (DNPI) yang diketuai oleh Bapak Presiden.
4.3.2. Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif Pada saat ini, sejak tahun 2007, Kementerian Keuangan telah memulai studi pendanaan untuk perubahan iklim.
Hasil studi pada 2010 telah menghasilkan Green
Paper yang pada intinya mencoba menginventarisasi berbagai peluang pendanaan dan berbagai bentuk pendanaan untuk perubahan iklim.
Pada saat ini kajian masih
dilanjutkan oleh Kementerian Keuangan dan terutama pada pembentukan instrumen (insentif) fiskal yang akan dibutuhkan dalam pelaksanaan RAN GRK, teruama penyediaan insentif fiskal untuk REDD+. Instrumen pendanaan lain yang diperlukan adalah yang akan diterapkan kepada pihak swasta yang telah berhasil menurunkan emisi GRK dari industri yang telah mereka jalankan. Indikator-indikator yang dijadikan dasar pemberian insentif harus disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh K/L di 5 (lima) sektor di atas, untuk REDD+ adalah yang ditentukan oleh Satgas REDD+ bersama Kementerian Kehutanan dan untuk energi adalah ukuran dan standar yang ditentukan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Tugas dari Kementerian Keuangan selain menetukan instrumen insentif/disinsentif fiskal adalah menyusun mekanisme perdagangan karbon (emisi GRK) dalam pasar domestik Indonesia, yang pada akhirnya perlu selaras (compatible) dengan sistem pasar karbon di dunia. Pada saat ini mekanisme pasar karbon yang sudah terjadi memang baru di wilayah Uni Eropa, sementara di tempat-tempat lain belum diterapkan. Untuk itu, waktu yang ada sangat perlu dimanfaatkan dan sekaligus mendorong pembangunan sistem domestik, sehingga proses internalisasi dampak lingkungan ke dalam setiap kegiatan ekonomi dapat dilakukan.
4.3.3. Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumberdaya Manusia
Dengan luasnya cakupan penurunan emisi dan pada akhirnya aksi perubahan iklim, maka pihak-pihak yang terlibat juga luas dan banyak.
Pada saat ini masih
dirasakan pemahaman tentang perubahan iklim, penurunan emisi GRK masih beragam. Berdasarkan proses komunikasi dengan para pihak terutama di daerah dalam proses sosialisasi RAD GRK, dapat diketahui bahwa masih perlu dilakukan berbagai hal yaitu: (i) Komunikasi; (ii) peningkatan kemampuan SDM; dan (iii) kapasitas Lembaga.
1.
Komunikasi Komunikasi yang perlu dibangun meliptui: (i) bahan komunikasi; (ii) sistem
komunikasi; (iii) dan proses komunikasi, sebagaimana digambarkan berikut ini.
a.
Penyusunan bahan komunikasi dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah diakses serta digunakan dan disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk ini bebrgaia bentuk leaflet sederhana dan buku-buku saku dengan bahasa yang mudah dipahami perlu disusun dan dibuat dalam jumlah yang mencukupi dan selalu tersedia. Bahan dasar komunikasi ini sudah ada, yang perlu disusun adalah dibuat dengan isi yang sesuai dengan sasaran/target audiance, baik masyarakat umum atau kalangan birokrasi dan peneliti.
b.
Penyusunan sistem informasi melalui internet yang dapat menjadi hub untk berbagai sistem informasi dalam perubahan iklim, sehingga informasi dapat dikomunikasikan kepada semua pihak. Komunikasi melalui jalur internet (web) ini akan memudahkan akses ke semua pihak dan juga merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap publik.
c.
Proses komunikasi melalui media massa, baik tertulis secara teratur dan mutakhir isi beritanya, maupun menggunakan media radio dan televisi di daerah sehingga dapat diikuti secara interaktif.
Pembentukan jaringan komunikasi yang difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi dapat mempercepat dan memfasilitasi komunikasi secara terstruktur dan kontinyu.
2.
Kemampuan Sumberdaya Manusia Dalam pelaksanaan RAN-RAD GRK, maka terdapat 4 kelompok pelaku yaitu: (i)
Pemerintah dan Pemda; (ii) Universitas dan Lembaga Penelitian; (iii) NGO yang terdiri dari kelompok masyarakat/LSM dan Asosiasi; (iv) pelaku sawsta dan masyarakat umum (rumah tangga). Sehubungan dengan itu maka berbagai peningkatan kemamuan SDM perlu dilakukan: a.
Pelatihan bagi aparat Pemerintah dan Pemda dalam memfasilitasi dan mendorong pelaku penurunan emisi. Jenis pelatihan antara lain adalah: (i) pengembangan kebijakan dan instrumen kebijakan yang diperlukan; (ii) menghubungkan kegiatan penurunan emisi dengan pembangunan secara keseluruhan (penurunan emisi harus menyelesaikan masalah pembangunan); (iii) kemampuan untuk memfasilitasi dan memonitor capaian yang dihasilkan; (iii) menghubungkan langkah lokal, nasional, global.
b.
Universitas dan Lembaga Penelitian: (i) membentuk jaringan kompetensi dan menghubungkannya dengan pelaksanaan penurunan emisi; (ii) membentuk backstopping unit bagi pelaksanaan RAD GRK di daerah dan RAN GRK secara nasional, terutama menyediakan scientific based on analysis, pengukuran dan penciptaan instrumen MRV dan insentif/disinsentif.
c.
Bagi Asosiasi dan LSM: mendukung Pemerintah dan Pemda dalam mengawal para pelaku penurunan emisi GRK, terutama pelaksanaan di lapangan.
d.
Bagi pelaku swasta dan masyarakat: (i) pengenalan standar-standar yang diberlakukan secara kontinyu; (ii) pelatihan mengenai best practices dan pengembangan di lokasi masing-masing; (iii) pengembangan kegiatan yang menghasilkan emisi rendah karbon atau rendah GRK lainnya.
Sebagai bagian dari proses peningkatan kemampuan SDM tersebut, perlu disusun sistem pelatihan, modul pelatihan dan mekanisme pelatihan yang tidak bersifat klasikal namun lebih berorientasi praktek, sehingga dapat mendukung efektivitas pelaksanaan RAN dan RAD GRK.
3.
Kapasitas Lembaga
Sejalan dengan fungsi berbagai lembaga baik Pemerintah, Pemda, maupun non pemerintah, maka kapasitas lembaga perlu ditingkatkan pula, yang mencakup: (a) program dan kegiatan lembaga agar dapat menjalankan peran dan fungsi dalam memfasilitasi dan mendorong penurunan emisi; (b) mekanisme kerja agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, terutama adanya standar teknis dari sektor; (c) Instrumen/alat dan fasilitas yang mendukung berjalannya fungsi lembaga sesuai program dan kegiatan dalam butir a dan sejalan dengan mekanisme kerja dalam butir b.
Dalam kaitan dengan adanya perbedaan peran dan fungsi lembaga pemerintah di pusat, provinsi dan kabupaten, maka diperlukan pembedaan materi untuk peningkatan kapasitas. Sehubungan dengan itu, baik materi untuk sosialisasi pemahaman umum perlu dibedakan dan dibahasakan sesuai dengan tingkat penerapan di lapangan. Selain itu, materi untuk peningkatan kapasitas terutama yang memerlukan pelatihan dan penguasaan teknis tertentu perlu pula dibedakan sesuai tingkatan-tingkatan peran dan fungsi yang perlu dilakukan. Dengan demikian, peningkatan kapasitas akan sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan di lapangan dan dimungkinkan adanya keterkaitan dan sinergi yang utuh dalam pelaksanaan RAN/RAD GRK di setiap bidang/sektor/program/kegiatan penurunan emisi GRK.
V. EKONOMI RENDAH KARBON, EKONOMI HIJAU DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Untuk melihat keterkaitan diantara tiga hal di atas, maka digunakan kerangka pembangunan berkelanjutan yang berasal dari UNEP dan telah digunakan di berbagai negara selama ini. Sebagaimana diketahui, pembangunan berkelanjutan memiliki 3 pilar pokok yaitu pilar Sosial, Pilar Ekonomi dan Pilar Lingkungan. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab IV. Indonesia telah banyak mencapai kemajuan di bidang ekonomi melalui terbentuknya pembangunan terencana sejak tahun 1967an. Peningkatan investasi dan produksi telah menurunkan nilai inflasi yang selalu menjadi menekan upaya kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pembangunan terencana, neraca keuangan Negara yang semula defisi besar, secara pelahan mampu mengalami peningkatan secara positif dan seiring dengan itu peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan mulai dirasakan.
Pada tahun 70an mulai disadari bahwa kemajuan ekonomi apabila tidak diiringi dengan kemajuan di bidang sosial akan banyak menciptakan ketimpangan, karena hasil pembangunan hanya akan dihasilkan dan dinikmati sebagian masyarat.
Sehubungan
dengan itu, Indonesia mulai mengembangan 3 program strategis yaitu: pengendalian penduduk atau keluarga berencana, pendidikan dan kesehatan. Program pengendalian penduduk atau keluarga berencana dilakukan dengan memperkenalkan program 2 anak cukup di setiap keluarga. Bahwa jumlah keluarga terbatas akan menimbulkan adanya peningkatan kualitas keluarga terutama pada keluarga dengan pendapatan rendah/miskin. Proses ini memakan waktu cukup lama namun telah berhasil menekan ukuran keluarga dan mengendalikan pertumbuhan penduduk.
Gambar Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Selanjutnya, program pendidikan dilancarkan ke seluruh pelosok tanah air dengan mengembangkan program SD Inpres, yaitu adanya Inpres pembangunan SD di setiap kecamatan sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh wilayah terjangkau oleh fasilitas sekolah terutama tingkat
SD dan lengkap dengan guru yang ditugaskan ke setiap SD tersebut (Guru Inpres). Demikian pula pelayanan kesehatan juga diperluas.
Di setiap kecamatan dibangun
dengan Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dilengkapi dengan dokter dan tenaga medis (dokter Inpres).
Kedua program stratgis ini telah berhasil
meningkatkan angka partisipasi sekolah dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerahdaerah terpencil. Pelaksanaan ketiga program ini secara konsisten dan kontinyu telah berhasil mendukung Indonesia untuk mencapai tingkat kualitas SDM yang baik, yang tercermin pada indicator MDG.
Namun demikian, kesuksesan pembangunan pada kedua pilar belum diikuti dengan kemajuan pembangunan di bidang lingkungan. dibicarakan
sejak
diadakannya
Seminar
Pengelolaan
Isu lingkungan sudah mulai Lingkungan
Hidup
dan
3
Pembangunan Nasional di Universitas Padjajaran pada bulan Mei 1972 . Langkah ini dilakukan selaras dengan konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Setelah seminar itu, diikuti dengan berdirinya Lembaga Ekologi di universitas 3
Sumarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan .
yang sama. Selanjutnya pada tahun 1978 telah ada penugasan penanganan lingkunagn hidup yaitu di bawah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Namun baru pada tahun 1983 Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sebagai satu lembaga tersendiri yaitu Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Ulasan secara komprehensif tentang keterkaitan pembangunan dan dampaknya terhadap ekologi dan lingkungan serta langkah pembangunan yang sesuai dengan ekologi telah dilakukan oleh Prof. Otto Sumarwoto dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Djambatan, 1983).
Sejak periode tersebut, sudah banyak kemajuan yang dilakukan oleh Kementerian di bidang lingkungan hidup. Namun demikian, penanganan lingkungan hidup masih dirasakan terpisah dan belum sepenuhnya diinternalisasikan ke dalam pembangunan secara keseluruhan, meskipun sudah ada kewajiban untuk melakukan Analisa dampak lingkungan (AMDAL) dan standar-standar kualitas lingkungan lainnya, namun dirasakan penanganan masih bersifat dihadapi kendala sebagai berikut.
Pertama, penanganan lingkungan masih bersifat penanganan dampak, atau penanganan lingkungan masih bersifat di luar (exogenous) dari pilar ekonomi dan pilar sosial.
Dengan sifat penanganan seprti ini maka pendekatan yang dilakukan masih
bersifat kuratif atau membersihkan dan menanggulangi masalah lingkungan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan ekonomi dan sosial. Dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi dan sosial, ruang menjadi sempit dan memiliki kompetisi tinggi untuk berbagai kepentingan, maka penanggulangan lingkungan menjadi semakin sulit, karena dampak lingkungan yang dihasilkan sudah melebihi daya dukung ruang yang ada (dengan adanya beban ruang yang terus meningkat) dan masalah yang diatasi juga terus meningkat.
Yang kedua, upaya penanganan lingkungan masih sulit untuk diinternalisasikan, sebagian sebagai akibat sifat penanganan di atas, dan sebagian lagi karena pembangunan pilar lingkungan belum mampu memperjelas diri sendiri, dengan men”tangible”kan berbagai fungsi lingkungan dengan ukuran yang dapat dipahami dan sehingga diinternalisasikan ke pilar yang lain. Dengan kata lain, diperlukan indikator yang baku untuk mengukur penggunaan fungsi lingkungan dan jasa lingkungan yang dihasilkan. Pengukuran yang jelas ini akan membuka pula peluang untuk dapat menilai (valuasi) jasa
lingkungan yang telah disediakan oleh pemilik ruang sebagai pilihan untuk tidak menggunakan ruang untuk kebutuhan lain (perumahan, industri dll). Demikian pula, pengukuran akan memberi peluang pula untuk mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan lingkungan, yaitu ruang dan isinya termasuk isi biodiversity yang selama ini menerima dampak eksternalitas dari tindakan kita terhadap lingkungan yang sudah melebihi beban ruang yang ada. Pilar lingkungan perlu kita bangun, sebagaimana kita membangun pilar ekonomi dan pilar sosial sebagai komponen dan rangkaian utuh dari pembangunan berkelanjutan.
Valuasi penting karena tanpa adanya valuasi, maka penyediaan jasa lingkungan yang merupakan public good tidak dapat dinilai dan sehingga tidak ada satupun penyedia yang mau men-supply public good ini pada tingkat yang diinginkan. Dengan demikian jasa lingkungan masih disediakan dalam jumlah yang lebih rendah dari yang diharapkan (under supply).
Demikian pula gangguan terhadap lingkungan yang mengakibatkan
penurunan penyediaan jasa lingkungan tidak dapat dicegah dan diminta menanggung biaya penanggulangan masalah lingkungan atau penerapan pencegahan sebelum kegiatan dilakukan.
Ketiga, setelah membangun pilar ketiga, maka internalisasi faktor lingkungan, atau membuat lingkungan menjadi faktor endogenous dalam pembangunan dapat dilakukan. Dengan demikian, maka akan terdapat keseimbangan pengembangan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan; akan terdapat pula kesempatan untuk “menghiajukan” seluruh aspek kehidupann, baik yang tercermin dalam aspek/pilar ekonomi dan sosial. Dengan itu, maka pembangunan akan sudah dapat mempertimbangkan masalah lingkungan kedalam setiap langkah kegiatan, program dan kebijakan pembangunan. Penanganan lingkungan akan bersifat endogenous, penanganan lingkungan akan lebih bersifat mencegah/preventif sesuai dengan keseimbangan alam dan kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia dan alam seisinya sehingga keberlanjutan kehidupan dapat dijaga. Inilah esensi dari membangun, menjaga agar kehidupan semakin baik dan berkelanjutan.
5.1.
RAN GRK dan momentum untuk adanya pengukuran jasa lingkungan
Fenomena perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, telah mendorong timbulnya aksi global secara bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Langkah mengatasi perubahan iklim dapat melalui pencegahan penyebab timbulnya perubahan iklim (mitigasi) dan melalui penyesuaian dan menyiapkan kemampuan untuk menyesuaikan dengan adanya dampak dari perubahan iklim (adaptasi). Dengan dilahirkannya Kyoto Protocol pada tahun ....., maka telah terjadi pembagian target mitigasi yaitu berupa penurunan target emisi gas rumah kaca (yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim). Pembagian penurunan emisi gas penyebab perubahan iklim secara kuantitatif ini mendorong adanya upaya untuk melakukan pengukuran dan menetapkan adanya indikator pencemaran secara global.
Selain itu, penurunan emisi ini dikaitkan pula dengan adanya kewajiban untuk kontribusi dana sesuai dengan peringkat pencemaran negara-negara yang dinilai sebagai pencemar GRK terbesar di dunia.
Secara luas kemudian timbul pemahaman tentang
kemungkinan timbulnya pertukaran hak emisi dan kemampuan menurunkan emisi, atau sistem transaksi (pasar karbon).
Meskipun penerapan sistem transaksi di dalam
kenyataan masih terbatas, namun ini merupakan suatu terobosan yang ditunggu-tunggu oleh pilar lingkungan, untuk dapat secara konkrit mengembangkan pembangunan
pilar lingkungan secara konkrit sebagaimana pilar sosial dan pilar ekonomi. Adanya ukuran secara konkrit untuk pilar ini bahkan menjadi lebih penting karena unsur lingkungan perlu dapat diukur secara konkrit dan kemudian diinternalisasikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial, sehingga prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dapat diinternalisasikan ke dalam kedua pilar ini. Dampak lebih lanjut yang sangat penting adalah, dengan adanya ukuran dan valuasi dalam pilar lingkungan, maka proses mengkonkritkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan, dan sehingga dengan mudah keberlanjutan dapat pula diinternalisasikan ke dalam seluruh pilar dan seluruh aspek pembangunan dan kehidupan masyarakat.
Dengan jalan pemikiran seperti ini maka pada waktu Bapak Presiden mencanangkan targat penurunan emisi GRK sebesar 26%, maka dapat mulai dilakukan
pembagian target ke dalam setiap sektor. Dengan demikian, akan ada peluang untuk mengkonkritkan melalui perwujudan suatu indikator untuk mengukur emisi GRK yang bentuknya intangible ke arah yang terukur dan ternilai (ter-valuasi) atau menjadi tangible. Dengan perkembangan ini, maka penurunan emisi di berbagai daerah dapat dijumlahkan secara nasional dan kemudian dapat dilakukan sistem reward/punishment sesuai dengan prestasi yang dilakukan masing-masing pelaku penurunan emisi.
Di dalam ilmu
ekonomi lingkungan, dengan adanya pengukuran dan valuasi, maka prinsip polluter pay principles dapat diterapkan. Dengan demikian, pengendalian lingkungan yang biasanya menerapkan command and control saja (standar lingkungan dan peraturan) namun akan dapat dilengkapi dengan mekanisme moneter yang lebih mendorong internalisasi perilaku penurunan emisi (dan polusi secara umum) ke dalam kegiatan ekonomi mereka.
Manfaat lain dari adanya RAN GRK adalah terciptanya koordinasi baik di tingkat Pemerintah (pusat) maupun antara pusat dengan daerah secara komprehensif. Selama ini masalah lingkungan dan koordinasinya hanya dilakukan dari sisi lingkungan hidup saja dan hanya dilakukan melalui koordinasi teknis bidang lingkungan. Dengan adanya RAN GRK dan RAD GRK, maka koordinasi menjadi lebih luas, yaitu melalui pembangunan, baik dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi hasil/capaian nantinya. Ini merupakan peluang besar untuk dapat meninternalisasikan masalah lingkungan ke dalam seluruh aspek pembangunan, dan sekaligus memperluas penanganan isu lingkungan sebagia isu pembangunan yang harus ditangani bersama oleh Menteri Lingkungan Hidup-Menteri yang bertanggung jawab dalam Pembangunan-Menteri Keuangan. Langkah maju ini menjawab isu kelembagaan yang menjadi topik penting di dalam pertemuan Pembangunan Berkelanjutan di Solo pada tahun 2011 lalu.
5.3.
Ekonomi Rendah Karbon Sebagaimana dijelaskan di atas, pelaksanaan penurunan emisi GRK secara
kontinyu dan konsisten diharapkan akan dapat membentuk terjadinya kegiatan rendah karbon, dari kondisi saat ini menjadi 26%-41% lebih rendah, pada tahun 2020. Penurunan terjadi secara termonitor di 5 (lima) sektor utama sebagaimana dijabarkan di
dalam RAN GRK, dan terjadi pula di 33 provinsi sebagaimana digambarkan di dalam RAD GRK.
Di tingkat pusat, dengan arahan RAN GRK, maka setiap sektor utama akan menjabarkan langkah-langkah lebih lanjut penurunan emisi GRK yang akan dilakukan oleh swasta dan masyarakat. Penjabaran ini penting mengingat di dalam RAN GRK yang menjadi perhatian utama adalah kebijakan pemerintah yang mendorong perilaku penurunan emisi GRK. Namun di dalam RAN GRK, belum diidentifikasi secara spesifik langkah berupa dorongan dan dukungan, baik regulasi maupun dukungan fiscal yang diperklukan oleh swasta dan masyarakat. Dengan langkah-langkah yang diharapkan terus dilaksanakan secara konsisten dan kontinyu, maka akan dihasilkan sector-sektor yang memiliki tingkat emisi GRK lebih rendah dari pada tingkat emisi pada tahun baseline. Sehubungan dengan itu, capaian yang akan dapat diperoleh adalah sektor-sektor dalam ekonomi dan sosial masyarakat yang antara lain akan rendah karbon. Kondisi inilah yang akan menyumbang terciptanya suatu kondisi ekonomi rendah karbon.
Secara lengkap, ekonomi rendah karbon didefinisikan sebagai: (i) produksi limbah harus minimal, dengan langkah-langkah pengurangan limbah (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle); (ii) energi harus dihasikan melalui sumber energi rendah karbon dan metoda/teknologi rendah karbon; (iii) pemanfaatan energi harus efisien di segala bidang; (iv) kebutuhan pangan, material dan energi harus menggunakan sumberdaya lokal; (vi) adanya kesadaran dan ketaatan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan.
Dengan demikian, penerapan RAN GRK secara
menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan di 5 (lima) sector utama akan dapat memenuhi kriteria/ciri ekonomi rendah karbon.
Sejauh-mana keadaan ekonomi dari
suatu periode ke periode berikutnya akan rendah karbon atau tidak sangat tergantung dari adanya pengukuran dan monitoring hasil langkah-langkah yang dilakukan.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah kondisi ini cukup untuk suatu pembangunan berkelanjutan? Jawabannya dapat dipastikan tidak, karena masih banyak faktor-faktor lain yang masih perlu dibenahi.
Dalam kerangka inilah, maka tahap
pengembangan yang dapat tergambar pada saat ini adalah terbentuknya suatu ekonomi hijau.
5.4.
Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau Ekonomi hijau sebagaimana diartikan di atas, sudah banyak dibicarakan dan
digunakan di berbagai Negara. Meskipun demikian, cara mememulai masing-masing Negara tersebut berbeda.
Dengan pola-pola memulai ekonomi hijau yang sudah
dilakukan di berbagai Negara tersebut, Indonesia dapat menyebut bahwa Indonesia sudah memulai, namun pemahaman secara menyeluruh dan persiapan lebih komprehensif sangat perlu dilakukan. Untuk melakukan perubahan dari kondisi ekonomi yang ada saat ini ke ekonomi hijau, perlu dilakukan secara menyeluruh meskipun dilakukan secara bertahap. Pentahapan diperlukan karena perbaikan secara menyeluruh secara cepat akan sulit karena:
a.
Diperlukan keyakinan yang besar pada semua pihak, dan ini akan sulit dilakukan karena setiap sektor yang terkait dan setiap kelompok dan tingkat masyarakat akan memiliki kesiapan yang berbeda.
b.
Cara perubahan dan mulai perubahan akan sangat tergantung pada kondisi saat ini, yang kemungkinan setiap wilayah akan memiliki perbedaan kondisi dan sehingga akan memiliki perbedaan dalam cara memulai.
c.
Perubahan akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan seluruh lapisan masyarakat pada kondisi baru, sehingga diperlukan penyiapan kondisi baru yang akan dituju.
d.
Perubahan tanpa penyiapan dan kesiapan atas kondisi baru akan mengakibatkan adanya “penurunan suatu kondisi” yang sering disebut sebagai trade-off. Dengan demikian, semakin disiapkan kondisi baru dan kesiapan masyarakat ke kondisi baru, maka konsekuensi kemungkinan penurunan dari kondisi lama akan pendek dan tidak dirasakan.
Untuk itu, maka perubahan ke ekonomi hijau bisanya berproses dan oleh UNEP disebut dalam laporan terakhirnya dengan Transisi Menuju Ekonomi Hijau4. Dalam laporan tersebut, secara ringkas dinyatakan definisi tentang Ekonomi hijau sebagai berikut:
4
Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty Eradication. UNEP, 2011
Green Economy: one that has results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcity. It is low carbon, resource efficient and socially inclusive.
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa perubahan dapat dilakukan secara bertahap dari ekonomi rendah karbon, baru melengkapi dengan elemen/komponen lain sehingga lengkap menjadi ekonomi hijau.
Di dalam laporan UNEP 2011 tersebut,
kegiatan ekonomi hijau perlu dilakukan semua pihak, baik sektor publik maupun private (swasta dan masyarakat).
Selanjutnya, para pelaku ekonomi mewujudkan langkah
ekonomi hijau melalui investasi rendah karbon dan rendah polusi; investasi yang meningkatkan efisiensi energi dan efisiensi sumberdaya; serta investasi yang mencegah hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) dan jasa ekosistem (Gambar …). Dalam kaitan ini nampak keterkaitan antara ekonomi rendah karbon dengan ekonomi hijau dan elemen tambahan yang perlu dilakukan untuk terus secara konkrit melangkah dan menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Langkah dan arah ini secara konsisten dan kontinyu ini dilaksanakan agar dapat menjaga bahwa pembangunan berkelanjutan dapat bersifat non-depleting path, artinya memelihara tidak menghasilkan depletion of natural resources atau tetap memelihara natural resources.
Sehubungan dengan itu, untuk dapat mewujudkan hal-hal di atas, terdapat 3 langkah yang perlu dilakukan yaitu:
a.
Perbaikan dalam penilaian (valuation) dan analisis kebijakan untuk menjamin bahwa [asar dan kebijakan telah menginternalikan dan memprhitungkan biaya dan manfaat dari dampak lingkungan hidup yang akan diakibatkan oleh investasi publik dan masyarakat.
b.
Peran dari kebijakan untuk mengendalikan degradasi lingkungan dan memerlukan adanya informasi yang tepat dan efektif, insentif yang tepat, lembaga, investasi dan infrastruktur yang efektif.
c.
Menyadari adanya degradasi lingkungan yang terus menerus, konversi lahan dan perubahan iklim secara global akan berpengaruh terhadap fungsi, keragaman dan ketahanan (resilience) system ekologi serta bahan dan jasa yang diberikannya.
Gambar. Elemen Transisi Menuju Ekonomi Hijau
Transisi ke ekonomi hijau sangat diperlukan tidak hanya karena sudah perlu mengingat degradasi ekosistem dan dampak yang telah ditimbulkan dari pemanfaatan ekosistem selama ini, namun juga karena memiliki beberapa manfaat dan merupakan kesempatan (opportunity):
a.
Penerapan kebijakan lingkungan yang ketat dapat mengeluarkan inefisiensi dari kegiatan ekonomi saat ini dengan mengeluarkan dan mengubah perusahaan dan industri yang yang tidak efisien dan hanya tetap berdiri karena adanya subsidi baik eksplisit maupun implisit serta sumberdaya yang dinilai terlalu murah.
b.
Harga dan valuasi sumberdaya sangat penting bukan hanya untuk harga dan valuasi terhadap sumberdaya alam, modal dan jasa tetapi juga harga input lain dalam ekonomi.
c.
Harga dan valuasi yang tepat atas sumberdaya akan mendorong adanya penelitian dan inovasi yang akan mendukung dan mendorong tumbuhnya efisiensi dan mendorong terbentuknya ekonomi menuju bentuk landasan ekonomi yang sangat berbeda dan dalam kaitan ini menuju pembangunan berkelanjutan.
d.
Peraturan lingkungan yang ketat dan diterapkan secara agresif merupakan langkah antisipasi adanya kelangkaan di masa depan. Penerapan hal ini sekecil apapun pada awal akan menciptakan pola yang dapat disebar-luaskan kemudian.
Menurut UNEP (2011) terdapat tiga strategi yang perlu dilakukan yaitu: Pertama, melakukan investasi yang benar pada modal sumberdaya alam. Artinya, investasi dan kegiatan ekonomi yang dilakukan pada sektor-sektor sumberdaya alam perlu dikelola secara hijau. Sektor-sektor ini meliputi pertanian, perikanan, sumberdaya air dan hutan yang didalamnya terdapat pula kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity). Strategi kedua adalah investasi pada efisiensi energi dan sumberdaya alam. Strategi ketiga adalah menciptakan dan menumbuhkan kondisi yang mendukung berkembangnya kedua strategi sebelumnya.
Dalam kaitan ini kondisi yang mendukung dapat berupa kebijakan
fiscal/belanja yang terarah kepada investasi hijau di berbagai sektor; reformasi kebijakan dan perubahan peraturan ke arah yang lebih mendukung timbulnya efisiensi, rendah emisi dan rendah polusi serta terpeliharanya modal sumberdaya alam (Gambar …)
Gambar. Pendekatan terstruktur menuju Ekonomi Hijau
5.4.
“CLOSING THE LOOP” MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Dengan mengacu kepada 3 kendala dalam pilar lingkungan sebagaimana dalam,
maka langkah yang perlu dilakukan adalah: 1.
Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.
2.
Pengembangan ekonomi lingkungan.
3.
Pembentukan Ekonomi Hijau.
4.
Pembentukan Perilaku Hijau.
5.
Penanganan 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan didukung oleh Tata Kelola Hijau
Rangkaian langkah ini merupakan suatu siklus untuk mengembangkan pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan beberapa kendala yang masih dihadapi dalam membangun pilar lingkungan; masih dianggapnya lingkungan sebagai faktor exogenous dalam kehidupan, yang direfleksikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial serta tata kelola sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar berikut.
Dengan kelima langkah di atas, maka penanganan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan tatakelola yang menjamin hal tersebut, maka “loop” atau lingkaran langkah pembangunan berkelanjutan akan dapat diwujudkan. Seanjutnya satu per satu akan diuraikan dalam bagian berikut.
Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.
Pengembangan indikator aspek lingkungan dapat dimulai dengan menggunakan data dan indikator yang sudah tersedia selama ini. Sebagian data dan indikator kemungkinan sudah menjadi konsensus untuk digunakan bersama, sementara sebagian lagi belum ada, masih perlu dibentuk dan disepakati untuk dijadikan indikator yang akan digunakan bersama. Contoh dalam indikator yang sudah sering digunakan adalah tingkat/ambang batas limbah beberapa bahan polusi di air, udara dan tanah sebagaimana ditentukan melalui peraturan Kementerian Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, pengembangan indikator lingkungan dan indikator lain untuk membentuk indikator pembangunan berkelanjutan, sesuai yang diidentifikasi oleh BPS (2010)5 dengan mengikuti kaidah CSD adalah sebagaimana dalam Tabel berikut.
Tabel Indikator Pembangunan Berkelanjutan CSD dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2010 Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Tema
Sub-Tema
Indikator CSD
Kemiskinan
Kemiskinan
Propinsi Penduduk yang
Jumlah Penduduk miskin menurut provinsi
Pendapatan
hidup di bawah garis
Persentase penduduk miskin menurut
kemiskinan
provinsi
2010
Garis kemiskinan menurut provinsi Ketimpangan
Rasio pembagian pendapatan
Distribusi pembagian pengeluaran per kapita
pendapatan
nasional dari kuantil tertinggi
dan index gini
hingga terkecil Air minum
5
Proposi penduduk yang
Presentase rumah tangga dengan
menggunakan fasilitas sanitasi
penampungan akhir tinja tangki septic
yang lebih baik
menurut provinsi
Akses terhadap
Proporsi rumah tangga tanpa
Persentase rumah tangga yang menggunakan
energy
listrik dan pelayanan energy
sumber penerangan bukan listrik menurut
modern lainya
province
Indicator Pembangunan Berkelanjutan 2010, Badan Pusat Statistik, Desember 2010 (Katalog BPS: 9201003
Peresentase rumah tangga yang bahan bakar memasaknya kayu bakar menurut provinsi
Pemerintahan
Kondisi tempat
Proporsi penduduk perkotaan
Jumlah desa menurut keberadaan sungai
tinggal
yang tinggal di daerah kumuh
yang melintasi desa dan permukiman kumuh
Korupsi
Persentase penduduk yang
Jumlah kasus korupsi yang sudah di
memberikan uang suap
selesaikan menurut kepolisian daerah
Jumlah pembunuhan
Jumlah kasus pembunuhan menurut
berencana per 100.000
kepolisian daerah
Kejahatan
penduduk Kesehatan
Angka kematian
Angka kematian balita
Estimasi angka kematian bayi (AKB) menurut provinsi
Angka harapan hidup saat
Estimasi angka harapan hidup (e0) menurut
lahir
provinsi
Layanan
Persentase penduduk yang
Persentase penduduk yang berobat jalan di
kesehatan /
memiliki akses terhadap
puskesmas dan pustu selama sebulan yang
Health care
fasilitas kesehatan dasar
lalu menurut provinsi
delivery
Persentase wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin menurut provinsi dan alat kb yang sedang di pergunakan Imunisasi terhadap penularan
Persentase balita yang diimunisasi menurut
penyakit anak-anak
jenis imunisasi dan provinsi
Status gizi
Status gizi
Status gizi balita menurut provinsi
Status kesehatan
Angka kesakitan dan penyakit
Jumlah penderita dan kejadian malaria
dan kesakitan
yang berbahaya seperti HIV/
menurut provinsi
status and risks
AIDS , Malaria , TBC
Kumulatif kasus AIDS, kasus meninggal dan angka kumulatif kasus menurut provinsi Jumlah kasus penyakit tb paru menurut provinsi Persentase perokok saat ini dan rerata jumlah batang rokok yang di hisap penduduk usia 10 tahun ke atas menurut Provinsi Jumlah kasus bunuh diri menurut provinsi
Pendidikan
Tingkat
Rasio pendapatan kotor
Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tamat
pendidikan
terhadap pendidikan dasar
pendidikan dasar menurut Provinsi
tertinggi yang dapat di capai Angka pendaftaraan pada
Angka partisipasi murni (APM) Sekolah
pendidikan dasar
Dasar menurut Provinsi Angka partisipasi murni (APM) Sekolah Dasar menurut Provinsi
Melek huruf
Angka melek huruf
Penduduk usia 25-24 dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan minimal SMA menurut provinsi
Demografi
Penduduk
Laju pertumbuhan penduduk
Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi Angka kelahiran total menurut provinsi
Rasio ketergantungan
Rasio ketergantungan menurut provinsi
Kerentanan
Persentase penduduk yang
Jumlah desa menurut jenis bencana alam dan
terhadap bencana
tinggal di area yang rentan
provinsi
alam/
dengan bencana alam
Kepariwisataan
Bencana alam
Kesiapan
Jumlah desa menurut upaya antisipasi
menghadapi
bencana alam dan provinsi
bencana
Jumlah korban bencana menurut provinsi dan kondisi korban Jumlah kerusakan rumah akhibat bencana menurut provinsi
Perubahan iklim
Emisi gas karbondioksida
Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut provinsi dan jenis bahan bakar untuk memasak Perkiraan emisi co2 yang berasal dari kendaraan bermotor Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas
Lahan / land
Penipisan lapisan
Konsumsi bahan penipis
Impor komuditi bahan yang mengandung zat
ozon
lapisan ozon
perusak ozon
Kualitas udara
Konsentrasi yang berkaitan
Rata-rata bulanan hasil pengukuran
dengan bahan pengotor udara
konsentrasi gas SO2 dan NO2 di stasiun
di area perkotaan
BMKG Jakarta
Area yang cocok untuk
Luas lahan sawah menurut provinsi dan jenis
pertanian
irigasi
Proporsi area lahan yang di
Persentase luas hutan terhadap luas wilayah
tutup hutan
menurut provinsi
Status dan penggunaan lahan Penggurunan/De sertification Pertanian Hutan
Luas kebakaran hutan menurut fungsi hutan
Laut dan
Batas pantai
pantai / ocean, and
Perikanan
seas
Persentase penduduk yang
Jumlah dan persentase desa menurut
tinggal di area pantai
provinsi dan letak geografis
Proporsi persedian ikan dengan batas biologi yang aman
Lingkungan laut
Proporsi area laut yang di
Sebaran kawasan konservasi laut menurut
lindungi
provinsi Luas dan kondisi terumbu karang menurut provinsi
Air tawar /
Kualitas air
freshwater
Jumlah penggunaan sumber
Produksi dan distribusi air bersih oleh
daya air
perusahaan air minum
Intensitas penggunaan air berdasarkan aktivitas ekonomi Kualitas air
Kandungan bakteri coli dalam
Kandungan maksimum biochemical oxygen
air tawar
demand (BOD) dan chemical oxygen deman (COD) pada air sungai di beberapa kota di indonesia
Keanekaraga
Ekosistem
man hayati
Proporsi dari total area
Kawasan konservasi daratan menurut
terrestrial yang dilindungi
provinsi
berdasarkan daerah ekologi Spesies
Perubahan status ancaman
Spesies satwa yang dilindungi
pada spesies
Spesies tumbuhan yang dilindungi
Pola
Penyelenggaraan
Product domestic bruto (PDB)
Produk domestic regional bruto per kapita
konsumsi dan
makro ekonomi
per kapita
atas dasar harga berlaku menurut provinsi
Pangsa investasi dalam PDB
Laju inflansi 66 kota di Indonesia
Hutang pada rasio PNB
Rasio hutang luar negeri terhadap produk
produksi Kuangan umum berkesinambunga
nasionla bruto
n Angkatan kerja
Rasio pendduuk yang bekerja
Persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut provinsi Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang rentan kehilangan pekerjaan menurut provinsi
Produktivitas dan biaya tenaga kerja Proporsi wanita dalam ketenagakerjaan di sektor non
Rata-rata upah perbulan pekerja
pertanian Pola
Konsumsi
Intensitas material ekonomi
konsumsi dan
material
produksi
Penggunaan
Konsumsi energi tahunan
Pemakaian energy termasuk biomassa
energy
berasarkan kategori pemakai
menurut sektor
Intensitas penggunaan energi berdasarkan aktivitas ekonomi Turunan limbah
Turunan dari limbah
dan
berbahaya
pengelolaanya
Pengelolaan dan pembuangan limbah
Angkutan
Modal split of passenger
Jumlah kendaraan bermotor menurut
transportation
provinsi dan jenis kendaraan bermotor
Pengembangan ekonomi berbasis lingkungan dan ekosistem
Komponen utama dari ekonomi hijau ada 2 (dua) yaitu: (i) struktur ekonomi; dan (ii) konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (sustainable consumption and production). Tidak ada kaidah khusus yang dimaksud dengan struktur ekonomi, namun dengan dengan kondisi Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam terutama keanekeragaman hayati (biodiversity) maka ini merupakan sumber ekonomi baru yang perlu dikembangkan dan ditatakelola secara terstruktur dan konsisten ke depan. Untuk itu akan dicoba dijabarkan satu per satu.
Struktur Ekonomi. Yang dimaksud dengan struktur ekonomi adalah struktur ekonomi yang berbasis lingkungan dan ekosistemnya. Beberapa yang bisa dikembangkan secara terstruktur berkaitan dengan hal ini adalah: (i) ekonomi biodiversity berbasis lahan (green) dan laut (blue); (ii) ekonomi berbasis jasa SDM yang terkait dengan lingkungan dan ekosistem seisinya.
Ekonomi
Berbasis lahan dan laut.
Dalam lingkup ini beberapa sumber
ekonomi dan pertumbuhan baru adalah pengembangan ekonomi berbasis biodiversity, seperti:
(i)
Industri pemanfaatan biodiversity (materi) untuk: (a) bahan obat (herbal medicine/jamu dan suplemen berbasis herbal); (b) material untuk input industri lain, baik kosmetik atau bahan antara lainny). Industri
(ii)
Industri wisata berbasis ekosistem: (a) wisata hutan dan (b) wisata laut yang digabungkan dengan wisata budaya. Pengembangan wisata ini tidak mengganggu kelestarian biodiversity namun bahkan perlu melestarikan agar keanekaragamannya yang unik dan khas untuk geografis dan budaya Indonesia perlu dipertahankan.
Pembentukan Ekonomi Hijau Dalam proses transisi ini diperlukan adanya suatu ukuran atau indikator yang dapat membedakan bahwa kemajuan saat ini lebih memiliki keberlanjutan disbanding dengan periode sebelumnya. Beberapa hal yang dapat menjadi pedoman untuk adanya ukuran untuk membedakan tingkat keberlanjutan dari suatu period ke periode berikutnya adalah:
a.
Perlu dibangunnya ukuran di tingkat makro dan di tingkat sektor yang dapat menginformasikan adanya transisi menuju ekonomi hijau.
b.
GDP perlu disesuaikan dengan memperhitungkan adanya kerusakan sumberdaya alam (natural resource depletion) dan depresiasi modal sumberdaya alam.
c.
Perubahan dalam stok modal sumberdaya alam dalam bentuk moneter dan diinternalisasikan ke dalam neraca nasional, bisa dalam bentuk Green Accounting atau Inclusive Wealth Accounting.
Berkaitan dengan pilihan ukuran ini, proses termudah memang melakukan koreksi dari GDP saat ini dengan memasukkan depresiasi menjadi Net domestic product, atau dengan memperhitungkan biaya dampak terhadap lingkungan serta degradasi dan deplesi sumberdaya alam. Namun demikian, penggunaan indikator ini belum cukup menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Untuk itu perlu digunakan Genuine saving dan change in wealth/capita (Alisyahbana and Anshory, 2003).
Pembentukan Perilaku Hijau. Ekonomi Hijau dan pembangunan berkelanjutan adalah hasil akhir dari adanya perilaku hijau. Untuk itu, penerapan mengenai efisiensi penggunaan sumberdaya dan hidup bersih (minimum limbah) sangat penting untuk diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Langkah awal untuk mewujdukan hal ini, adalah dengan memasukkan prinsip ini ke dalam pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Selanjutnya, penerapan rendah emisi diperluas menjadi rendah limbah (hidup bersih) baik pada selain sisi konsumsi (rumah tangga, industri dan perusahaan) juga pada disis produksi para pelaku usaha. Dalam berbagai literatur dan terutama istilah yang sudah sering digunakan adalah sustainable consumption and production (SCP). Dalam konsep yang digunakan oleh UNEP, SCP meliputi berbagai bidang dan menyediakan benchmarkbagi
negara-negara
kondisimasing-masing.
untuk
dapat
mengembangkan
sesuai
dengan
Hal inilah yang perlu terus dijunjung dalam penerapan dan
pengembangan pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Perbedaan kondisi di berbagai negara, perbedaan tingkat kemajuan dan aspek yang berkembang menuntut pengembangan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan konteks domestik,karena tidak ada satuy rumus yang pasti cocok untuk semua negara. Demikian pula, Indonesia perlu menyusun kerangka SCP ini sesuai dengan kondisi Indonesia dan kemajuan yang berbeda di setiap sektor yang terkait.
Penanganan 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan didukung oleh Tata Kelola Hijau
Dengan terbangunnya pilar lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan dan terjadinya keseimbangan diantara pilar sosial, ekonomi dan lingkungan, serta dapat diinternalisasikannya pilar lingkungan atau indikator lingkungan ke dalam pilar ekonomi dan pilar sosial,maka pembangunan ketiga pilar menjadi komprenehif dan menyatu. Tahap inilah yang ditunggu-tunggu,karena pembangunan berkelanjutan bukan tentang pembangunan pilar sosial, ekonomi dan lingkungan saja secara sendiri-sendiri, namun penerapan ketiganya secara sinergis dan seimbang. Untuk itu, perwujudan ini perlu didukung pula dengan prinsip tata kelola yang dapat terus mendorong dan menjaga perwujudan sinergi ketiaga pilar ini.
Hal ini berarti memerlukan pula sumberdaya
manusia yang benar-benar faham mengenai pembangunan berkelanjutan, komponen, proses pengembangan dan proses penjagaannya agar terus diterapkan dan dikembangkan dari waktu ke waktu sesuai konteks dan perkembangan jaman yang ada. Untuk itu, pembangunan berkelanjutan perlu dilestarikan untuk terus ada dan menjadi prinsip pokok di dalam pembangunan karena sudah diarusutamakan dan diterapkan secara konkrit dari masa ke masa untuk menjaga agar planet kita dapat terus mendukung kehidupan yang sejahtera bagi bangsa Indonesia dan penduduk dunia.
Jakarta, Desember 2011
DAFTAR PUSTAKA
Arief Anshory Yusuf and Armida Alisyahbana. 2003. Working Paper in Economics and Development Studies No. 2000307. Center for Economic and Development Studies, UNPAD Bappenas, 2007. Country Natural Resources and Environment Assessment Bappenas, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Scanton, John. 2010. The Green Economy and International Environmental Governance. UNEP, Green Economy Report: A Preview. UNEP. Green Economy: Developing Countries Success Stories, 2010 UNEP 2011. Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty Eradication. UNEP, 2011