LAPORAN KEGIATAN KINERJA PENYALURAN DAN PEMANFAATAN KREDIT PROGRAM PERTANIAN KKPE DI PROVINSI BALI
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan mendasar bagi pengembangan usaha pertanian adalah lemahnya permodalan pelaku usaha pertanian baik dalam pemilikan maupun akses terhadap permodalan formal. Lemahnya kepemilikan modal disebabkan oleh kecilnya skala usaha sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan akumulasi modal. Sementara lemahnya akses petani kecil terhadap sumber-sumber permodalan formal disebabkan oleh prosedur yang tidak sederhana dan persyaratan kolateral yang harus dipenuhi oleh petani. Di sisi lain pihak perbankan sendiri kurang tertarik untuk membiayai sektor pertanian yang dipandang berisiko tinggi, baik karena gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman, maupun fluktuasi harga output. Dari total kredit perbankan nasional sebesar Rp 1.397 triliun, kredit untuk sektor pertanian hanya Rp 77 triliun atau 5,5 persennya, padahal kontribusi sektor pertanian pada pembentukan Produk Domestik Bruto menempati posisi kedua terbesar setelah sektor manufaktur. Sulitnya akses terhadap kredit perbankan juga tecermin pada tingginya suku bunga kredit untuk sektor pertanian yang rata-rata mencapai 13,20 persen per tahun. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah berupaya membantu meringankan beban petani dengan menetapkan berbagai skim pembiayaan bagi petani kecil yang lebih mudah diakses oleh petani kecil. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan usahatani petani kecil di Indonesia. Jenis-jenis kredit program untuk pembiayaan pertanian yang saat ini diluncurkan Kementerian Pertanian adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Disamping itu masih ada sumber
pembiayaan syariah dan sumber
pembiayaan lainnya. Untuk pembiayaan pertanian yang sifatnya bantuan, Kementerian Pertanian melaksanakan
Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan
(PUAP)
yang
dilaksanakan pada tahun 2008 dan dilakukan secara terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PUAP merupakan bentuk fasilitasi bantuan 1
modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani.
1.2. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pelaksanaan pembiayaan KKPE di Provinsi Bali. Secara rinci penelitian bertujuan untuk: 1. Mengkaji kinerja penyaluran dan penyerapan kredit program KKPE di Provinsi Bali. 2. Menganalisis kendala penyaluran kredit program
KKPE oleh perbankan dan
kemampuan petani/peternak mengakses kredit program KKPE. 3. Merumuskan saran kebijakan untuk meningkatkan kinerja penyaluran dan penyerapan kredit program KKPE 1.3. Keluaran Tersusunnya rekomendasi kebijakan kredit program KKPE bagi bidang pangan dan pertanian.
II. METODOLOGI Analisis dilakukan secara deskriptif. Selain itu, penyusunan studi kebiakan ini dilakukan melalui diskusi dan wawancara mendalam yang melibatkan unsur-unsur yang terkait dengan kredit program bidang pangan dan pertanian.
III. HASIL KAJIAN 3.1. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) KKP-E adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan kepada petani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan, kelompok (tani, peternak, nelayan dan pembudidaya ikan) dalam rangka pembiayaan intensifikasi padi, jagung kedelai, ubi kayu dan ubi jalar, kacang tanah dan atau sorgum, pengembangan budidaya tanaman tebu, peternak sapi potong, ayam buras dan itik, usaha penangkapan dan budidaya ikan serta kepada koperasi dalam rangka pengadaan pangan berupa gabah, jagung dan kedelai ( Deptan, 2000). 2
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang dulu dikenal dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), sudah berjalan sejak Oktober 2000 merupakan penyempurnaan dari KUT, KKPA (Unggas, Tebu dan Nelayan) serta Kredit Koperasi Pangan. KKP ditujukan untuk membantu permodalan petani dan peternak dengan suku bunga terjangkau sehingga mereka dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya dan dapat mengembangkan agribisnisnya secara layak. Dalam perkembangannya, KKP terus mengalami perubahan dan penyempurnaan baik dalam cakupan komoditas yang dibiayai, kebutuhan indikatif dan plafon maksimum per debitur. Penyempurnaan KKP juga ditujukan untuk mendukung ketahanan energi sehingga mulai Oktober 2007 KKP berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). KKP-E adalah kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar Nabati. Tujuan dari KKP-E adalah : a) Menyediakan kredit investasi dan atau modal kerja dengan suku bunga terjangkau, b) Mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan guna peningkatan produksi sekaligus peningkatan pendapatan dan kesejahteraanya dan c) Mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati. Sedangkan sasaran KKP-E adalah a) Tersalurnya KKP-E kepada petani dan peternak yang membutuhkan pembiyaan/kredit serta lancar dalam pengembalian kreditnya dan b) Peningkatan
penerapan
teknologi
anjuran
bagi
petani/peternak
yang
memanfaatkan
pembiayaan/kredit yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas usaha. Dalam KKP-E ini pemerintah memberikan subsidi bunga, sehingga bunga pinjaman yang harus ditanggung debitur jauh lebih rendah dibandingkan dengan bunga komersial yang berlaku saat ini. Besarnya suku bunga KKP-E untuk Pengembangan Tebu yang diterima Bank maksimum LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) + 5%, sedangkan untuk KKP-E sub sektor lainnya maksimum LPS + 6%. Ketentuan tingkat bunga tersebut mulai berlaku tanggal 1 Oktober 2007. Suku bunga KKP-E ditinjau setiap 6 (enam) bulan sekali (Ditjen Hortikultura, 2007). Dari kenyataan di lapangan suku bungan untum tanaman pangan jauh diatas sektor lainnya yaitu 8% (contoh di Mojokerto).
3
3.2. Penyaluran KKP-E di Bali Data KKP-E yang disalurkan di Bali diperoleh dari BPD Bali dan BRP Kanwil Denpasar per September 2010. KKP-E BPD Bali disalurkan 11 Kantor Cabang, yaitu Denpasar, Singaraja, Klungkung, Negara, Tabanan, Gianyar, Bangli, Karangasem, Seririt, Kuta, dan Ubud. Total KKP-E hingga September 2010 yang disalurkan sebanyak Rp 120.805.274.727 dari plafon sebesar Rp 124.255.000.000 atau mencapai 97,22 persen (Tabel 1). Penyaluran paling banyak untuk peternakan, yaitu Rp 117,4 milyar atau 198 persen dari plafon. Berikutnya adalah penyaluran untuk pengadaan pangan, budidaya tanaman pangan (padi, jagung, kedelai), dan perikanan. Tidak ada KKP-E yang disalurkan untuk palawija dan tebu. Tabel 1.. Realisasi KKP-E BPD Bali, September 2010 No.
Jenis Usaha
Koperasi
Kelompok
Plafon (Rp)
Realisasi
Pesentase
1
Palawija
0
0
5,000,000,000
0
0.00
2
Padi, jagung, kedelai
1
2
25,000,000,000
1,015,758,000
4.06
3
Tebu
0
0
0
0
-
4
Ternak
0
355
59,405,000,000 117,441,516,727
197.70
5
Perikanan
0
4
16,850,000,000
108,000,000
0.64
6
Pengadaan pangan
13
0
15,500,000,000
2,240,000,000
14.45
7
Hortikultura
0
0
2,500,000,000
0
0.00
14
361
124,255,000,000 120,805,274,727
97.22
TOTAL Sumber: Laporan BPD Bali, 2010
KKP-E BRI Kanwil Denpasar
disalurkan di tiga provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara
Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). KKP-E untuk hortikultura hanya disalurkan di Cabang Selong sebanyak Rp 1 milyar. Untuk tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) KKP-E disalurkan di tiga provinsi wilayah BRI Denpasar sebesar Rp 2,4 milyar, demikian juga untuk peternakan sejumlah Rp Rp 106 milyar . KKP-E untuk pengadaan pangan disalurkan sebesar Rp 900 juta di Bangli dan Gianyar.
4
3.3. Keragaan Pemanfaatan Kredit Program KKPE Untuk mengkaji keragaan pemanfaatan kredit program KKPE dilakukan dengan melakukan wawancara dengan kelompok tani ternak yang menjadi nasabah Bank BRI di kabupaten Gianyar. Kedua kelompok tani/ternak contoh yang menjadi nasabah BRI Cabang Gianyar tersebut mempunyai jenis usaha penggemukan sapi. Hal ini didasari oleh dekatnya lokasi peternakan dengan Rumah Potong Hewan Kabupaten Gianyar di Temesi, sehingga memperoleh kemudahan transportasi dalam memasarkan hasilnya. Petani/peternak tersebut berharap juga bahwa harga jual sapi di RPH lebih baik dari di Pasar Ternak Beringkit, tetapi pada kenyataannya harga di RPH kurang bersaing dengan Pasar Ternak. Kedua kelompok tani ini didirikan tahun 2009 dengan jumlah anggota masing-masing 20 peternak, dan baru memanfaatkan KKP-E BRI Gianyar pada bulan April-Mei 2010. Jumlah kredit resmi yang diterima kelompok ini berkisar antara Rp 250 juta yang akan digunakan untuk pengusahaan penggemukan ternak sapi yang terdiri dari beberapa komponen, diantaranya adalah berupa uang pembelian sapi bibit, pembelian dedak, obat-obatan dan vitamin, pakan, tenaga kerja, dan biaya kandang. Setelah dikurangi biaya input yang dikelola oleh kelompok, petani mendapat 2 ekor bibit sapi dengan kisaran harga Rp 3.5 – 5 juta per ekor. Dalam kasus ini sapi-sapi dikandangkan bersama dan dipelihara bersama oleh kelompok, kelompok juga yang memasarkan sapi hasil penggemukan. Jika diperhitungkan jumlah kredit yang dikuasai masing-masing petani, rata-rata sekitar Rp 8 juta. Karena input produksi digunakan bersama-sama dalam kelompok, petani harus mengembalikan Rp 12,5 juta plus bunga selama 2 tahun (bunga per tahun 6%).
Agunan
berupa sertifikat tanah yang ditanggung oleh kelompok tani, hal ini disebabkan karena tidak semua petani/peternak mempunyai sertifikat atas lahan yang dimilikinya. Sertifikat lahan yang diagunkan adalah sertifikat lahan yang dimiliki oleh anggota kelompok tani tersebut. Umumnya nilai agunan lebih besar dari nilai kredit, dan kadang-kadang terdiri dari beberapa sertifikat. Biaya administrasi yang harus dikeluarkan oleh kelompok untuk mencairkan kredit dengan jumlah kredit antara Rp 100-500 juta adalah Rp 550 000, dengan perincian : Rp 250 000 untuk administrasi dan Rp 300 000 untuk Pemasangan Hak Tanggungan yang dilakukan Notaris. Biaya administrasi ini ditanggung bersama anggota dan dibayar bersama saat usaha sudah menghasilkan berupa kontribusi untuk uang kas kelompok. Sampai saat kunjungan lapang dilakukan kelompok tani ini belum melakukan pengembalian kredit, diperkirakan setelah menghasilkan (10 bulan), pokok pinjaman dan bunga 5
akan dibayar sebesar 50%, selebihnya akan dibayar bertahap hingga jatuh tempo (2 tahun). Keberhasilan pengembalian kredit tidak terlepas dari keberhasilan usaha petani/peternak pengguna kredit tersebut, kerena itu direkomendasikan bahwa kredit hanya disalurkan pada petani/peternak yang sudah berpengalaman dalam usahanya. Pembinaan dari Dinas terkait sangat dibutuhkan dalam peningkatan kinerja usahanya, seperti pengembangan teknik pemeliharaan, pemberian pakan dan pengobatan, agar sapi tetap sehat dan pertambahan berat badannya signifikan sehingga menguntungkan saat dijual.
Jaminan pasar dan harga juga
penting untuk diperhatikan, agar produk yang dihasilkan bisa terjual dengan nilai yang maksimal. Pada kelompok tani/ternak nasabah BPD Bali Cabang Gianyar, biaya notaris adalah : jasa notaris, APHT dan taksasi sebesar Rp 700 000 per sertifikat. Biaya administrasi dibayar dari kas kelompok tani.
Biaya yang dibayarkan petani untuk Notaris ini dianggap sangat
memberatkan petani/peternak.
Seperti diketahui pada umumnya hanya sebagian kecil
petani/peternak yang mempunyai lahan dalam jumlah besar dalam satu hamparan, umumnya persil-persil petani luasannya kecil-kecil. Untuk memenuhi agunan dengan nilai kredit yang demikian besar dibutuhkan beberapa sertifikat, contoh : bagi kelompok tani nasabah BPD Bali Cabang Gianyar untuk mencukupi agunan dalam pencairan KKP-E dibutuhkan 12 sertifikat, sehingga biaya notaris yang harus dikeluarkan dalam rangka pencairan kredit sebesar Rp 700 juta adalah Rp 8,4 juta. Untuk mengisi kas kelompok, peternak wajib membayar Roya sebesar Rp 150 per sertifikat. 3.4. Kendala Penyaluran dan Akses Kredit Program KKPE Secara garis besar kendala akses KKP-E ditingkat petani adalah : 1. Sosialisasi secara meluas belum dilaksanakan dengan baik, hanya petani yang akses ke bank atau petugas bank dan media masa yang bisa memperoleh informasi 2. Sebagian petani masih perlu dibantu dalam melengkapi dokumen pengajuan kredit dengan cepat dan tepat. 3. Besarnya biaya yang dibayarkan ke notaris dalam rangka pencairan KKP-E dianggap sangat memberatkan petani/peternak dan bisa menghambat petani/peternak untuk bisa akses pada skim KKP-E.
6
IV. PENUTUP Penyaluran KKP-E yang cukup baik serta NPL yang rendah tidak menjamin petani bisa akses kredit tersebut. Pemerintah harus membantu petani untuk bisa memmenuhi syarat perbankan, misalnya membuat sertifikat tanah gratis atau relatif murah bagi petani sebagai syarat utama agunan kredit. Banyak kelompok tani atau koperasi yang tidak bisa mengakses kredit program karena pernah punya tunggakan kredit usahatani (KUT). Hal ini perlu dicarikan pemecahannya oleh pemerintah agar tidak beban yang terus-menerus bagi kelompok tani atau koperasi. Kegairahan petani untuk mendapatkan kredit program KKP-E masih cukup tinggi. Untuk itu dalam upaya meningkatkan aksesibilitas terhadap pembiayaan usaha tani, diperlukan: (a) meningkatkan plafon pinjaman kredit program, terutama KKP-E. Konsekuensinya adalah dengan menambah alokasi subsidi bunga, (b) mendorong terbangunnya lingkage program antara bank BUMN denga BPR/BMT/LKM lainnya di perdesaan. Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas pada kelompok tani yang belum pernah mendapatkan pinjaman KKP-E, sebaiknya KT yang sudah mampu mandiri (terutama di tebu) tidak diberikan pinjaman KKP-E tetapi dapat ke KUR atau bahkan ke komersial. Dalam banyak kasus petani masih rendah SDM-nya, sehingga sulit mengerti persyaratan Bank (terutama hubungannya dengan Notaris). Oleh karena
harus ada yang
membina dan mendampingi baik dari pihak perbankan maupun Dinas terkait. Terkait dengan kredit program, yang perlu dibenahi adalah peningkatan sosialisasi oleh perbankan. Selama ini sosialisasi masih terbatas pada tingkat propinsi dan belum langsung ke end users seperti petani, Kelompok Tani
maupun penyuluh. Petani/PPL masih banyak yang belum pahan
tentang bagaimana untuk memperoleh kredit program, bunga, jenis agunan, dan sebagainya. Dengan modus sosialisasi sepeti itu, pengetahuan tentang kredit program mungkin terbatas staf dinas dan belum tentu tersosialisasi dengan baik ke konsumen. Dengan kondisi ini, mungkin petani yang aktif saja yang mampu memperoleh informasi dan akses ke kredit program. Akibat keterlambatan informasi menyebabkan waktu pengajuan kredit sudah melampaui deadline.
.
7