LAPORAN KASUS KESENJANGAN PENGHASILAN PASANGAN MENJADI PENYEBAB KEKRASAN DALAM RUMAH TANGGA ( KDRT)
VINA RISYA 1102009293 Tutor : dr. Isna Indrawati .MSc Kelompok 1
BIDANG KEPEMINATAN KDRT (BLOK ELEKTIF)
SEMESTER VII TAHUN AKADEMIK 2012-2013
UNIVERSUTAS YARSI Abstrak Background : the cause of domestic violence is difference between husband and wives income. Presentation of the case : the wife get abuse by her husband because husband feel not appreciated by wife. Discussion and conclution : the difference in income between husband and wife can lead to domestic violence but it can be prevented with mutual respect and cooperation between husband an wife.
Keyword : domestic violence, difference income Latar belakang Tindakan kekerasan dalam rumah tangga ( domestic violence ) adalah bentuk kekerasan yang biasanya terjadi didalam lingkungan rumah tangga atau yang berada di satu lingkungan rumah. Biasanya kekerasan dalam rumah tangga ini terjadi kepada istri, anak, pembantu rumah tangga bahkan suami pun bias menjadi korbannya. Tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat berupa kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Penyebab dari tindakan KDRT tersebut sebagian besar di dasari oleh persoalan perekonomian dan perselingkuhan, namun ada juga dikarenakan oleh perbedaan kesenjangan pendapatan antara suami dan istri. Dalam perspektif agama islam, kedudukan pria dan wanita itu sama dimata Allah. Hanya saja hak dan kewajibannya yang berbeda. Dimana pria itu berkewajiban memimpin rumah tangga dan wanita membesarkan anak. Deskripsi kasus Seorang istri bernama Ny. N menikah dengan Tn.D . Ny.N bekerja sebagai buruh pabrik dan suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Sebelumnya hidup mereka rukun dan dalam keadaan yang bahagia. Sampai pada suatu saat Ny.N melaporkan suaminya ke pihak yang berwajib dengan tuntutan kekerasan. Hal ini bermula sejak tahun ke 3 pernikahan mereka dan sejak Ny.N mulai bekerja menjadi buruh pabrik. Alasan istri bekerja karena pendapatan suami tidak mencukupi kehidupan sehari – hari. Tindak kekerasan terjadi ketika suami pulang dari kerja nya dan istri meminta suami untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari tukang ojek, karena merasa kurang mencukupi keperluan rumah tangganya dan istri menyebut – nyebut bahwa penghasilnya dia lebih besar dari 2
suaminya dan suaminya harusnya merasa malu. Suami merasa dilecehkan dan memaki istri dengan kata – kata kasar. Sampai suatu saat suami meminta istri berhenti bekerja karena suami merasa istri mulai membangkang kepada suami akibat istri bekerja, terjadilah cekcok suami dan istrinya tersebut, suami memaki istri dan memukul pipi dan dan membantingnya, dengan alasan suami bahwa istrinya tidak mau menuruti suaminya sebagai kepala rumah tangga. Setelah kejadian tersebut, istri merasa sakit hati atas perlakuan suaminya tersebut dan merasa tidak terima dan keesokan harinya melapor ke polres Jakarta Utara deangan tuntutan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Diskusi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.1 Dalam kasus ini suami telah melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis. Yang disebabkan oleh kesenjangan penghasilan antara suami dan istri. Menurut teori “ male backlash” dalam literature sosilogi memprediksi kemandirian finansial meningkat, kekerasan terhadap mereka pasti meningkat. Hal ini bermasalah karena perempuan lebih mudah mengakhiri hubungan pernikahan jika pendapatan suami menurun dan kekerasan berlanjut.2 Dalam teori ”cue- triggered theory” menyebutkan bahwa prilaku pria menjadi kasar atau dapat menimbulkan kekerasan yang di akibatkan karena tidak dapat mengendalikan emosi. Satu sisi ketika istri lebih rendah pendapatnya maka suami akan memenuhi finansialnya dengan suka rela dan istrinya mengkhususkan untuk mengurus rumah tangga, hasilnya hubungan bebas dari kekerasan. Di sisi lain ketika pendapatan istri lebih besar dari suami, maka suami merasa terganggu dengan kapasitas penghasilannya.3 Dalam kasus ini suami lebih suka istri mengurus pekerjaan rumah tangga, karena dalam perspektif suami, lebih baik jika penghasilan istri lebih rendah daripada suami, sehingga tidak
3
ada alasan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan tersebut bisa saja tidak terjadi antar pasangan jika terjadi kerjasama yang baik antar pasangan.3 Biasanya, kebanyakan orang mengidentifikasi perempuan sebagai orang yang bersifat feminine lemah lembut, cantik, gemulai, suka menangis, emosional, pengasih, pasif dalam banyak hal, mengalah, beraninya di belakang. Karena sifatnya yang feminin, masyarakat memberikan tempat yang lebih aman bagi perempuan, yaitu di dalam rumah dengan kerja-kerja domestic dan reproduksi. Merawat rumah, mencuci, membersihkan, mensetrika, memasak, melayani suami dan anggota keluarga, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI. Atau dalam istilah Jawa macak, manak dan masak. Perempuan tidak perlu bekerja, ia harus menjadi tanggungan anggota laki-laki. Jikapun bekerja, ia hanya dianggap sebagai pelengkap atau pekerja tambahan. Untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga belaka. Inilah yang disebut dengan peran gender perempuan.4 Sementara jenis kelamin laki-laki diidentikkan dengan sifat-sifat maskulin; kuat, gagah, perkasa,aktif, suka merebut, berani, menantang, siap melawan siapapun dan menghadapi apapun. Karena sifat-sifatnya yang demikian, laki-laki harus berada di wilayah luar rumah atau publik dan untuk kerja-kerja produksi. Atau kerja-kerja yang menghasilkan uang untuk dibawa masuk ke keluarga. Berdagang, berkebun, bekerja di pabrik, bepergian jauh, beraktivitas politik dan berperang. Karena sifatnya yang maskulin, mereka juga harus menanggung beban keluarga. Karena itu, jika bekerja, laki-laki harus diperhitungkan sebagai yang utama, diberi gaji penuh, dan diperhitungkan sebagai orang yang menanggung beban anggota keluarga yang lain. Inilah yang disebut dengan peran gender laki-laki.4 Perbedaan dan peran gender antara laki-laki dan perempuan, sesungguhnya tidak serta merta melahirkan ketidakadilan dan kekerasan. Ketidakadilan ini lebih banyak ditimbulkan oleh dominasi dan struktur kuasa relasi yang timpang, antara peran gender perempuan dan laki-laki. Peran laki-laki dikonstruksikan untuk mendominasi peran perempuan inilah ketimpangan relasi gender.4 Kekerasan yang menimpa perempuan, umumnya karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan yang berdimensi ekonomi yang dalam UU PKDRT disebut sebagai penelantaran. Kekerasan fisik merujuk pada serangan terhadap kondisi fisik seseorang, misalnya pemukulan, penganiayaan, pembunuhan. Kekerasan psikis merujuk pada serangan terhadap kondisi mental seseorang, misalnya merendahkan, menghina, 4
memojokkan, menciptaan ketergantungan, pembatasan aktivitas, ancaman termasuk yang sangat subtil melakukan rayuan yang membuat perempuan tidak berdaya. Kekerasan seksual mengarah pada serangan atas alat-alat kelamin/seksual atau reproduksi, misalnya pelecehan seksual, pemaksaaan hubungan seksual tertentu, perkosaan (termasuk dengan menggunakan alat/bukan penis), perbudakan seksual.4 Kekerasan jenis ini berbasis pada gender (gender based violence), bukan sekedar kekerasan biasa. Karena itu, ciri-ciri khusus dalam definisi di atas adalah; 1) korbannya perempuan karena jenis kelaminnya yang perempuan; 2) tindakannya, dengan sengaja menyakiti perempuan secara fisik, seksual atau psikologi; 3) akibatnya, yang diserang tubuh perempuan tetapi penderitaanya adalah keseluruhan diri pribadinya; dan 4) tindakan itu dilakukan atas dasar adanya asumsi perbedaan gender.4 Minimnya kesadaran keadilan cara pandang terhadap perempuan, menyebabkan banyak orang dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru berbalik bagi perempuan menjadi tempat yang paling rentan terhadap segala bentuk kekerasan4 Menurut pandangan agama islam kedudukan antara pria dan wanita adalah sama. Demikian pula adanya perbedaan dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara pria dan wanita tidak bisa dilihat dari ada atau tidak adanya kesetaraan. Sebab, ketika Islam memandang suatu komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, Islam hanya memandangnya sebagai komunitas manusia, bukan yang lain. Dan karakter komunitas manusia tersebut bahwa di dalamnya terdapat pria dan wanita. Allah SWT berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Al lah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(QS an-Nisâ’ [4]: 1) Dari sini, Anda akan menemukan bahwa, Islam tidak membeda-bedakan antara pria dan wanita ketika Islam menyeru manusia kepada keimanan. Islam telah menetapkan berbagai sanksi terhadap pelanggaran hukum-hukum Allah berupa sanksi hudud, jinayat, dan ta‘zir terhadap pria 5
maupun wanita tanpa ada diskriminasi, karena keduanya dipandang sebagai manusia. Islam pun telah mewajibkan aktivitas belajar-mengajar terhadap kaum Muslim, tanpa membedakan pria dan wanita.5 Berbagai hak, kewajiban dan taklif syariah ada kalanya juga terkait dengan kedudukannya di dalam suatu komunitas (jamaah), atau keberadaannya di dalam masyarakat. Dalam kedudukan wanita dan pria realitas semacam ini, Islam menetapkan berbagai hak, kewajiban dan taklif syariah itu berbeda antara pria dan wanita. Karena itu islam menetapkan bahwa kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang pria dalam aktivitas yang terjadi di dalam komunitas (jamaah) pria atau yang terjadi di tengah kehidupan umum seperti kesaksian mereka atas masalah hak dan muamalah. Allah SWT berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelakidiantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (TQS alBaqarah [2]: 282) Islam juga telah menetapkan bagian wanita dalam harta warisan separoh dari bagian pria dalam sebagian keadaan. Allah SWT berfirman:
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan” (TQS anNisâ [4]: 11) Hal ini terjadi dalam ‘ashâbah, seperti anak laki-laki, saudara-saudara sekandung, dan saudara-saudara sebapak. Sebab, posisi wanita dalam keadaan semacam ini, pemenuhan nafkahnya menjadi tanggungan saudara laki-lakinya jika ia miskin meskipun wanita tersebut mampu bekerja5 6
Islam juga telah memerintahkan agar pakaian wanita berbeda dengan pakaian pria. Demikian pula sebaliknya, pakaian pria berlainan dengan pakaian wanita. Islam telah melarang satu
sama
lain untuk saling menyerupai (tasyabbuh) dalam berpakaian, karena adanya
pengkhususan atau pembedaan satu dari yang lainnya, seperti masalah menghiasi sebagian anggota tubuh tertentu Islam juga telah menetapkan mahar (mas kawin) sebagai kewajiban seorang pria (suami) terhadap wanita (istri). Sebaliknya Islam menetapkan mahar itu sebagai hak seorang wanita (istri) atas seorang laki-laki (suaminya). Padahal kenikmatan hubungan suami-isteri dirasakan oleh keduanya. Allah SWT berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (TQS an-Nisâ’ [4]:4) Allah SWT telah menetapkan bekerja untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi pria. Sebaliknya, bekerja untuk mencari nafkah bukan merupakan kewajiban bagi wanita, tetapi hanya sekadar mubah (boleh) saja. Jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya, jika dia tidak menghendakinya, dia boleh untuk tidak melakukannya. Jadi Allah menetapkan bekerja mencari nafkah sebagai kewajiban bagi pria. Islam telah menetapkan bahwa urusan kepemimpinan di dalam rumah tangga adalah diperuntukkan bagi suami atas istri. Islam menetapkan para suami memiliki hak kepemimpinan, mengeluarkan perintah dan larangan. Allah SWT berfirman:
7
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS an-Nisâ’[4]: 3) Allah SWT telah menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga adalah bagi kaum pria,karena Allah SWT telah menetapkan berbagai tambahan taklif kepada mereka, seperti pemerintahan, imamah shalat, perwalian dalam pernikahan dan hak menjatuhkan talak ada di tangan kaum pria.5 Sebaliknya, Allah SWT telah menetapkan bahwa hak mengasuh anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan ada ditangan wanita, sementara kaum pria dilarang dari hal itu. Allah SWT juga telah menetapkan bahwa wanita berhak untuk mengambil sendiri nafkah anak keci (dari harta ayahnya) jika si ayah mereka menelantarkan mereka atau berlaku kikir terhadap mereka,sementara dalam kondisi semacam ini, pria dilarang untuk melakukannya.5 Demikianlah,Islam
datang dengan membawa sejumlah hukum yang berbeda,
sebagiannya khusus untuk kaum pria, dan sebagian lainnya khusus untuk kaum wanita. Dalam konteks
ini,
Islam membedakan antara pria dan wanita dalam sebagian hukum. Islam
memerintahkan agar keduanya, kaum pria dan kaum wanita, ridha terhadap hukum-hukum yang 8
khusus tersebut. Sebaliknya, Islam melarang masing-masing pihak untuk saling iri dan dengki serta untuk mengangankan apa yang telah Allah lebihkan kepada sebagian atas sebagian yang lain5 KESIMPULAN Tindak
kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi kepada perempuan dan
anak,yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Yang menyebabkan terjadinya kekerasan paling sering adalah akibat masalah perekonomian dan perselingkuhan, dari kasus ini didapatkan bahwa suami merasa dilecehkan oleh istri karena pendapatan yang lebih rendah dibanding istrinya. Jika pendapatan istri lebih rendah, suami akan suka rela memenuhu finansial istri. Tapi,jika istri pendapatnnya lebih tinggi maka suami akan merasa terganggu kapasitas penghasilannya.hal tersebutlah yang akan menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Di sisi lain suami sebenernya lebih suka istri tinggal dirumah dan mengurus rumah tangga. Perbedaan gender inilah yang dijadikan laki-laki menjadikan alasan melakukan kekerasan. Sesungguhnya dalam islam tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dimata Allah. Yang membedakan hanyalah hak dan kewajibannya, dan telah di tetapkan dlam Al-quran batasanny. SARAN Untuk menghindari kasus- kasus kekerasan dalam rumah tangga yang di sebabkan oleh kesenjangan pendapatan suami dan istri yaitu kerjasama yang baik dan pengertian antar pasangan. Dan masing masing pasangan harus saling mengetahui hak dan kewajibannya sebagai pasangan suami istri yang telah ditetapkan oleh agama islam.
9
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah yang atas nikmat dan rahmatnya saya bisa menyelesaikan case report ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada polres Jakarta Utara bagian Pelayanan Perempuan dan Anak. Tak lupa kepada pembimbing tutor kepeminatan KDRT kelompk1 yaitu dr.Isna Indrawati, MSc. Terima kasih kepada koordinator blok elektif yaitu dr.Hj. RW. Susilowati,MKes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djanatun serta kepada dr. Ferryal Basbeth, Sp.F sebagai dosen pengampu bidang kepeminatan KDRT. Terima kasih juga atas dukungan dan kerjasamanya anggota kelompok 1 bidang kepeminatan KDRT , selama blok elektif ini berlangsung.
10
DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.djpp.depkumham.go.id/ 2. Aizer,Anna.2010. The gender wage gap and domestic violence. American economic
review.p.3-4,viewed
21
November
2012,
from
www.econ.brown.edu/fac/.../wagejune16_2009_name.pdf
3. Anderberg,Den, Helmut Reiner. 2011. Domestic abuse: Instrumental violence and economics
incentives.p.2-5,
viewed
26
november
2012,
from
http://poseidon01.ssrn.com/delivery.php 4. Khodir, Faqihuddin abdul, Umm Azizah M. 2008. BAB II : Relasi yang adil antara lakilaki dan perempuan. p.11-15. Jakarta : Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 5. http://www.hizbut-tahrir.or.id
11