Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP ISTRI PADA PASANGAN YANG MENIKAH MUDA Mimi Yuliani, Krisnova Nastasia Psikologi Universitas Putera Indonesia YPTK, Padang Email :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada pasangan yang menikah muda di kota Padang Panjang. Subjek penelitian ini adalah istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.Setelah dilakukan wawancara dan observasi awal, terdapat 2 orang yang memiliki karakteristik subjek penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan desain penelitian fenomenologis, yaitu pendekatan yang bertitik tolak pada pandangan berpikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman yang bersifat subjektif manusia. Sumber utama data didapat dengan melakukan observasi dan wawancara. Data utama dianalisis dengan mengungkap tema yang ditampilkan melalui teknik koding. Kemudian hasilnya ditampilkan melalui deskripsi. Analisis tema menunjukkan bahwa dua orang subjek penelitian ini, mengalami kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri pada pasangan yang menikah muda. Adapun faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami kedua subjek adalah masalah keuangan, cemburu, masalah anak, masalah orang tua, masalah saudara, masalah sopan santun, masalah masa selalu, masalah salah paham, masalah tidak memasak dan suami menang sendiri. Pada penelitian ini timbulah permasalahan baru yang di munculkan yaitu pekerjaan. Faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami kedua subjek lebih cenderung karena masalah keuangan, cemburu, masalah anak, masalah orang tua, masalah saudara, masalah masa lalu, masalah salah paham, masalah tidak memasak, suami mau menang sendiri dan pekerjaan.
Kata kunci :Faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga
1. PENDAHULUAN Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya memerlukan pasangan hidup yang membutuhkan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkan. Pernikahan sebagian jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa pernikahan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang kekal, bahagia dan penuh rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain bahwa setiap keluarga sangat menghendaki dapat membangun kelurga harmoni dan bahagia yang sering disebut kelurga sakinah, mawaddah wa rahmah itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut El-Hakim (2014)[1], Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang pernikahan,mendefinisikan pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
29
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
Fenomena yang banyak kita temui adanya pasangan yang melangsungkan pernikahan pada usia muda, padahal pernikahan yang sukses membutuhkan kedewasaan, tanggung jawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan harapan yang sempurna dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya, mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh kembang anak sejak lahir hingga dewasa, maka pola asuh anak perlu disebarluaskan pada setiap keluarga. Suatu kenyataan bahwa tidak semua pernikahan dapat berjalan mulus dalam membinakeluarga, karena dalam keluarga tidak sepenuhnya dapat dirasakan kebahagiaan serta saling mencintai dan menyayangi, melainkan terdapat rasa ketidaknyamanan, tertekan, atau kesedihan dan saling takut dan benci diantara sesamanya.Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya pada sejumlah rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadi berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tidak sedikit kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan, bahkan ada juga beberapa artis yang kita kenal juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan, bahkan ada juga beberapa artis yang kita kenal juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pernikahan di usia muda yang dilakukan oleh model remaja Manohara yang menikah di usia 16 tahun. Manohara mengalami kekerasan baik fisik, psikis maupun kekerasan verbal yang dilakukan oleh suaminya selama masih menjadi suami istri.Hingga pada akhirnya Manohara bisa kembali ke Indonesia dan dapat bercerai dengan suamiya (Ghofur dalam Kisinky, 2012)[4]. Menurut Soeroso (2012)[5], sampai sejauh ini kekerasan dalam rumah tangga merupakansuatu bentuk perbuatan yang dianggap baru. Meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian. Pengertian kekerasan dapat kita jumpai pada Pasal 89 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.” Menurut UU PKDRT (2004)[6], kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada berbagai macam, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga (dalam Huda, 2005)[7]. Tindakan kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik, melainkan juga perbuatan nonfisik(psikis).Tindakan fisik langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban, serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan tindakan nonfisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang. Hal ini berkaitan dengan kepekaan hati seseorang, karena antara seseorang dengan orang lain tidak sama karena ada yang mudah tersinggung (mempunyai sifat perasa), ada yang berusaha mendiamkan saja menerima kata-kata atau sikap yang tidak baik. Fenomena yang terjadi dilapangan adalah mengenai faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri pada pasangan yang menikah muda. Setiap pernikahan di usia muda akan dihadiri dengan permasalahan, baik permasalahan yang berat maupun permasalahan yang ringan. Kekerasan dalam rumah tangga akan timbul jika salah satu pihak membuat kesalahan atau tidak
30
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
bisa menempatkan diri dalam situasi kondisi yang tidak baik, sehingga memunculkan berbagai macam masalah yang dapat menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga.
2. TINJAUAN LITERATUR 2.1 PERNIKAHAN Menurut Gardnier dan Mayer (dalam Papilia dkk, 2011)[8], Pernikahan dianggap cara terbaik menjamin keteraturan dalam membesarkan anak. Pernikahan memungkinkan pembagian dalam hal konsumsi dan pekerjaan. Idealnya, pernikahan menawarkan intimasi, komitmen, persahabatan, kasih sayang, pemuasan seksual, pendampingan, dan peluang bagi pertumbuhan emosional, serta sumber identitas dan kepercayaan diri yang baru. Beberapa tradisi filsafat Timur tertentu, penyatuan harmonis pria dan wanita dianggap esensial bagi pemuasan spritual dan keberlangsungan spesies (Gardiner dalam Papilia dkk, 2011)[8]. Menurut Papilia dkk (2011)[8], secara sejarah dan lintas kultur, cara paling umum memilih pasangan adalah melalui perjodohan, baik oleh orang tua maupun oleh “mak comlang” profesional. Terkadang pertunangan terjadi pada masa kanak-kanak. Pengantin pria dan wanita mungkin baru akan bertemu pada hari pernikahan mereka. Kebebasan memilih pasangan yang didasarkan pada rasa cinta telah menjadi norma dalam dunia barat (Broude dalam Papilia dkk, 2011) [8]; akan tetapi di Jepang, sekitar 25 sampai 30 % pernikahan masih akibat perjodohan (Applbaum dalam Papilia dkk, 2011)[8]. “Usia menikah” umum masih bervariasi antarkultur. Dibagian barat Eropa, orang-orang cenderung menikah di bawah dua puluh, sebagaimana yang dilakukan Ingrid Bergman. Akan tetapi di negara industrial, seperti Swedia, terdapat tren penundaan pernikahan ketika para dewasa awal mengejar gelar dan tgarget karier atau untuk mengeskplorasi pertemanan (Bianchi & Spain dalam Papilia dkk, 2011)[8]. Menurut Hoffman (dalam Khairani dan Putri, 2008)[9], menambahkan berdasarkan beberapa penelitian mutakhir bahwa menikah pada usia dewasa muda berkisar antara usia 18 sampai dengan 24 tahun. Pernikahan muda sering terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahuntahun remaja, dikarenakan munculnya kecenderungan kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan mereka.Persiapan mengenai aspek-aspek dalam pernikahan dan bagaimana membina keluarga masih terbatas dan hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah maupun perguruan tinggi.Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan masalah saat remaja memasuki masa dewasa (Hurlock dalam Octavia, 2014)[10]. Menurut Gottman (2009)[11], Ahli pernikahan lainnya berpendapat bahwa faktor-faktor seperti memberi maaf dan komitmen adalah aspek penting dari pernikahan yang berhasil (Fincham, Stanley, & Beach, 2007)[12]. Faktor-faktor ini berfungsi sebagai proses perbaikan diri sendiri dalam relasi yang sehat (dalam Santrock, 2012)[13]. Gottman (dalam Santrock, 2012)[13], berpendapat penting untuk menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang magis dan bahwa melalui pengetahuan dan usaha, pasangan bisa memperbaiki dan mengembangkan relasi mereka.
31
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
2.2 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan domestik (Kekerasana Dalam Rumah Tangga, KDRT) atau pelecehan pasangan, adalah penganiayaan fisik yang dilakukan oleh pasangan, atau teman intim dengan tujuan mendapatkan atau memperthankan kekuasaan atau kontrol. Cakupan keseluruhannya belum diketahui (Walker dalam Papilia dkk, 2011), karena hal tersebut biasanya terjadi dalam ruang privat, dan umumnya sang korban tidak melaporkan karena mereka merasa malu atau takut (bachman dalam Papilia dkk, 2011). Pemukulan terhadap istri paling lazim pada masyarakat yang ditandai dengan perilaku agresif, praktik seksual yang ketat, status wanita yang inferior, dan penggunaan kekuatan fisik untuk menyelesaikan pertikaian. Hal ini jarang terjadi pada masyarakat yang didasarkan kepada rumah tangga keluarga besar (Broude dalam Papilia dan dkk, 2011)[8]. Tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terwujud dalam tindakan kekerasan suami terhadap istri, anak atau orang yang tinggal dalam satu rumah dengan suami, seperti telah disebutkan dimuka, sebetulnya dapat dikategorikan kedalam tindak pidana penganiayaan (dalam Soeroso, 2012)[5]. Menurut Soeroso (2012)[5], bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu: 1. Kekerasan fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). 2. Kekerasan Psikis Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). 3. Kekerasan Seksual Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Menurut Soeroso (2012)[5], Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasandalam rumah tangga yaitu: 1) Masalah Keuangan Uang sering kali dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan di antara suami dan istri.Gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering menimbulkan pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah yang utama adalah suami.Dapat juga pertengkaran timbul ketika suami kehilangan pekerjaan (misalnya diPHK).Ditambah lagi adanya tuntutan biaya hidup yang tinggi, memicu pertengkaran yang seringkali berakibat terjadinya tindak kekerasan. 2) Cemburu. Kecemburuan dapat juga merupakan salah satu timbulnya kesalahpahaman, perselisihan bahkan kekerasan. 3) Masalah Anak. Salah satu pemicu terjadinya perselisihan antara suami-istri adalah masalah anak.Perselisihan dapat semakin meruncing kalau terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami dan istri. Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung maupun terhadap anak tiri atau anak asuh.
32
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
4) Masalah Orang Tua Orang tua dari pihak suami maupun istri dapat menjadi pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan di antara suami istri. Dalam penelitian diperoleh gambaran bahwa bagi orang tua yang selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya meliputi masalah keuangan, pendidikan anak atau pekerjaan, sering kali memicu pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan apalagi hal ini bisa juga dipicu karena adanya perbedaan sikap terhadap masing-masing orang tua. 5) Masalah Saudara. Seperti halnya orang tua, saudara yang tinggal dalam satu atap maupun tidak, dapat memicu keretakan hubungan dalam keluarga dan hubungan suami-istri.Campur tangan dari saudara dalam kehidupan rumah tangga, perselingkuhan antara suami dengan saudara istri, menyebabkan terjadinya jurang pemisah atau menimbulkan semacam jarak antara suami dan istri.Kondisi seperti ini kadang kurang disadari oleh suami maupun istri. Kalau keadaan semacam ini dibiarkan tanpa adanya jalan keluar, akhirnya akan menimbulkan ketegangan dan pertengkaran-pertengkaran. Apalagi kalau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan atau menjelek-jelekkan keluarga masing-masing. Paling sedikit akan menimbulkan kekerasan psikis 6) Masalah Sopan Santun. Sopan santun seharusnya tetap dipelihara mekipun suami dan istri sudah menikah bertahun-tahun.Suami dan istri berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri, terutama dengan kebiasan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing.Kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenan di hati pasangan, harus dihilangkan.Suami dan istri harus saling menghormati dan harus saling pengertian.Jika hal ini diabaikan akibatnya dapat memicu kesalahpahaman yang berakibat pertengkaran dan kekerasan psikis kemungkinan juga berakhir dengan kekerasan fisik. 7) Masalah Masa Lalu Sebelum melangsungkan pernikahan antara calon suami dan istri harus saling terbuka, masing-masing menceritakan atau memberitahukan masa lalunya. Keterbukaan ini merupakan upaya untuk mencegah salah satu pihak mengetahui riwayat masa lalu pasangan dari orang lain, pada kenyataannya cerita yang diperoleh dari pihak ketiga sudah tidak realistis. Hal ini berpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan kekerasan. 8) Masalah Salah Paham Suami dan istri ibarat dua buah kutub yang berbeda.Oleh karena itu, usaha penyesuaian diri serta saling menghormati pendapat masing-masing pihak perlu dipelihara agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal seperti ini apabila tidak dicarikan jalan keluarnya akan menimbulkan pertengkaran dan dapat pula memicu kekerasan. 9) Masalah Tidak Memasak Terkadang ada suami yang mengatakan hanya mau makan makanan istrinya sendiri, sehingga kalau istri tidak bisa memasak akan ribut. Sikap suami seperti ini menunjukkan sikap dominan.Istri tidak hanya dituntut di ranah dosmetik saja tetapi juga sudah memasuki ranah publik.Perbuatan suami tersebut menunjukkan sikap masih mengharapkan istri berada di ranah domestik atau dalam rumah tangga saja. Istri yang merasa tertekan dengan sikap ini akan melawan, akibatnya akan menimbulkan kekerasan dan pertengkaran mulut.
33
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
10) Suami Mau Menang Sendiri Suami menginginkan segala kehendaknya menjadi semacam “undang-undang”, dimana semua orang yang tinggal dalam rumah harus tunduk kepadanya. Kalau ada perlawanan dari istri atau penghuni rumah lainnnya, maka akan timbul pertengkaran yang diikuti dengan timbulmya kekerasan. 11) Pekerjaan Saat ini terdapat pengakuan terhadap fungsi ekstern perempuan, tanpa mengurangi fungsi internalnya seperti yang terlihatdi bidang pekerjaan. Semua jenis lapangan pekerjaan dapat menerima perempuan sebagai tenaga kerja, sedangkan perempuan sendiri mempunyai berbagai alasan untuk melakukan pekerjaan di luar rumah. Alasan tersebut antara lain karena desakan kebutuhan ekonomi, sehingga perempuan bekerja untuk ikut berperan serta dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Akhir-akhir ini kekerasan dalam masyarakat tampak semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Diantara jenis-jenis kekerasan yang terjadi, kekerasan terhadap perempuan banyak mendapat perhatian karena sifat dan dampaknya yang luas bagi kehidupan kaum perempuan khususnya dan masyarakat umumnya. Kekerasan jenis ini mempunyai akar yang dalam pada faktor budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang timpang dalam hubunganya dengan lakilaki (dalam Soeroso, 2012)[5]. Menurut Soeroso (2012)[5], Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga mempunyai spesifikasi sendiri, antara lain sebagai berikut: 1) Terjadinya tindak kekerasan lebi banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja, sehingga kurang adanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi Pasal 183 dan 184 KUHAP. 2) Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa tabu dan beranggapan akan membuka aib keluarga sendiri terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual. 3) Bagi korban yang mau melapor dan perkaranya memenuhi syarat formil maupun materil, tidak jarang beruaha mencabut kembali, karena merasa ia sangat memerlukan masa depan bagi anak-anaknya dan masih menginginkan rumah tangganya dapat dibangun kembali. 4) Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga, akan berpengaruh terhadap tingakat kesukaran penyidik dalalm melakukan proses peyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti.
3. METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (dalam Sugiyono, 2013) [14]. Metode penelitian kualitatif itu dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi lama di lapangan, mencatat secara hati-hati apa yang terjadi, melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail. Moleong (2012)[15], mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya
34
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi.Pendekatan fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalamanpengalaman subjektif manusia.Peneliti dalam pandangan fenomonologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (dalam Moleong, 2012)[15]. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013)[14], yang membagi analisis ke dalam empat bagian, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data atau display data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau pertisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian (dalam Sugiyono, 2013)[14]. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan jenis purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti (dalam Moleong, 2012)[15]. Menurut Poerwandari (2011)[16], wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Moleong (2012)[15], menambahkan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap dua orang subjek penelitian yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri pada pasangan yang menikah muda, diperoleh keterangan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh subjek lebih cenderung karena masalah keuangan, masalah anak, masalah orang tua, masalah tidak memasak dan masalah pekerjaan. Faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari sepuluh faktor yaitu masalah keuangan, cemburu, masalah anak, masalah orang tua, masalah saudara, masalah sopan santun, masalah masa lalu, masalah salah paham, masalah tidak memasak dan suami mau menang sendiri.Dalam penelitian ini timbul permasalahan baru yang dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga yaitu pekerjaan. Dari sebelas faktor tersebut ada beberapa faktor yang tidak sesuai dengan peristiwa subjek. Peristiwa yang di alami subjek justru memunculkan faktor baru, yaitu pekerjaan. Subjek penelitian ini cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masalah keuangan, masalah anak, masalah tidak memasak dan pekerjaan.
35
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, Hal. 29-36 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang.
e-ISSN : 2502-8766
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada kedua orang subjek dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh subjek I dalam penelitian ini adalah karena masalah keuangan, masalah tidak memasak dan pekerjaan.Dimana subjek I mengalami permasalahan dalam rumah tangganya.Pada subjek II karena masalah keuangan, masalah anak dan pekerjaan.Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran rumah tangga.Faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri pada pasangan menikah muda yang dialami oleh kedua subjek lebih cenderung karena masalah keuangan, masalah anak, masalah tidak memasak dan pekerjaan.Dalam penelitian ini terdapat satu masalah yang muncul yaitu pekerjaan, dimana kedua subjek bekerja di luar rumah dan ikut serta dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.Subjek I bekerja di luar rumah karena suaminya tidak memiliki pekerjaan, sedangkan subjek II bekerja di luar rumah untuk membantu keuangan suami yang saat ini tidak stabil.Penelitian dari kedua subjek menjelaskan bahwa pekerjaan sangat di butuhkan agar dapat menghidupi dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang peneliti kemukakan di atas, maka dapat disarankan beberapa hal yang terkait dengan hasil penelitian, yaitu: 1. Bagi subjek penelitian Untuk subjek I harus menjalani tanggung jawab sebagai seorang istri, walaupun subjek bekerja di luar rumah, maka tugas subjek dalam melayani suami seperti memasak harus tetap di lakukan agar tidak timbulnya pertengkaran. Pada subjek II apabila seorang suami melarang subjek untuk tidak bekerja di luar rumah maka subjek harus mengikuti aturan tersebut. Tujuan dari suami subjek adalah agar anak subjek tidak kurang mendapatkan perhatian dan pengawasan dari orangtuanya. 2. Bagi peneliti lainnya Peneliti disarankan agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan penelitian ini bisa lebih dikembangkan dengan cara meneliti bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga pada pasangan yang menikah usia dini.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3]
[4] [5] [6] [7]
Huda, Miftahul. 2005. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan Di Kabupaten Ponorogo. Vol 1, No 2. Khairani, Rahma dan Dona, Eka Putri. 2008. Kematangan Emosi Pada Pria dan Wanita Yang Menikah Muda.Vol 1, No 2. Moleong, J.M.A. Metodologi Penelitian Kualitatif. 2012. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Poerwandari E. Kristi. 2011. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Santrock, JW. 2012. Psikologi Pendidikan. Edisi Ketiga Buku 1. Jakarta : Salemba Humanika. Soeroso Moerti Hadiati. 2012. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika. Sugiyono Dr. Prof. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
36