LAPORAN HASIL RISET PARTISISPASI PEMILIH Faktor – Faktor Penyebab Money Politic (Vote Buying) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum
KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2015
2
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Puji syukur kita panjatkan kehadiarat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga kami tim riset telah menyelesaikan tugas laporan riset yang nantinya dapat digunakan sebaik – baiknya. Proses penyusunan laporan ini tim peneliti telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepatutnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada seluruh pihak yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberi bantuan serta arahan kepada kami. Pada akhirnya, menyadari keterbatasan tim peneliti sebagai mahluk yang tidak luput dari kesalahan dan keikhlafan, peneliti sajikan laporan ini kepada pembaca untuk ditanggapi dan diberikan saran serta kritik yang konstruktif demi kesempurnaan hasil penelitian ini, dan segala kekurangan kelemahan yang ada merupakan tanggung jawab peneliti. Dan kepada-Nya pula kami bersyukur dan memohon pertolongan dan petunjuk, semoga amal bakti mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung mendapat imbalan setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Kolaka , Agustus 2015 K E T U A,
LUKMAN, ST
3
DAFTAR ISI Kata Pengantar............................................................................................... i Daftar Isi....................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1 1.1 Latar Belakang............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 6 1.3 Tujuan Riset................................................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 7 2.1 Demokrasi, Pemilu, Pemerintah.................................................7 2.1.1 Demokrasi.................................................................... 7 2.1.2 Pemilu........................................................................... 13 2.1.3 Pengertian Pemerintah................................................. 19 2.2 Money Politic ............................................................................. 21 2.2.1 Pengertiam Money Politic............................................ 21 2.2.2 Faktor Penyebab Money Politic................................... 23 2.2.3 Dampak Money Politic................................................. 27 2.2.4 Kerangka Konseptual................................................... 29 BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 30 3.1 Jenis Penelitian............................................................................30 3.2 Lokasi Penelitian..........................................................................30 3.3 Informan Penelitian..................................................................... 30 3.4 Jenis dan Sumber Data.................................................................31 3.5 Tehnik Pengumpulan Data...........................................................31 3.6 Tehnik Analisis Data................................................................... 32 BAB IV DESKRIFTIF LOKASI RISET.......................................................34 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Kolaka............. 34 4.1.1 Letak Geografis............................................................ 34 4.1.2 Batas Wilayah............................................................... 34 4.2 Batas Wilayah............................................................................. 34 4.3 Jumlah dan Nama Kecamatan di kabupaten Kolaka................... 35 4.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk................................... 36
4
BAB V HASIL RISET.................................................................................. 36 5.1 Hasil Riset (Wawancara) di Kecamatan Kolaka....................... 36 5.2 Hasil Riset (Wawancara) di Kecamatan Wundulako................. 41 5.3 Hasil Riset (Wawancara) di Kecamatan Latambaga.................. 43 BAB VI PENUTUP....................................................................................... 46 6.1 Kesimpulan................................................................................. 46 6.2 Saran............................................................................................ 48 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 50 LAMPIRAN.............................................................................................................
5
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum (general election) diakui secara global sebagai sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala. Maka menurut teori demokrasi minimalis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Joseph Schumpeter (schumpeterian) bahwa pemilihan umum merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor – aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak – hak sipil dan politik warga negara. (Robert dahl ,1971). Dalam hubungan ini, partai politik merupakan aktor utama yang berkompetisi untuk memperoleh dukungan massa dan meraih kekuasaan eksekutif dan legislatif. Partai politik dalam struktur politik (infra struktur politk). Maka sejauh ini fungsi partai politik diwacanakan sebagai sebuah institusi perwakilan politik (political representation) rakyat bukan sebagai institusi pembuatan kebijakan. Demokrasi pada umumnya ditandai oleh adanya tiga persyaratan a. Kompetisi didalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, b. Partisipsi masyarakat, c. Adanya jaminan hak – hak sipil dan politik. Dalam hal ini, sistem pemilihan umum (Electoral Syistems) merupakan salah satu instrumen kelembagaan yang penting di dalam negara demokrasi untuk mewujudkan tiga prasyarat tadi. Maka dengan demikian sistem pemilihan umum dapatlah dirumuskan sebagai sebuah instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilihan umum (pemilu) ke dalam kursi – kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. (Marijan,2010:83) Dalam ilmu politik, sistem
6
pemilihan umum (pemilu) diartikan sebagai satu kumpulan metoda atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Manakala sebuah lembaga perwakilan (DPR, DPRD,dan DPD) dipilih, maka sistem pemilihan mentrasfer jumlah suara ke dalam jumlah kursi. Secara sederhana, pemilihan umum (pemilu) dapat diterjemahkan sebagai sebuah sarana untuk mengisi sebuah jabatan tertentu melalui pilihan – pilihan yang dibuat oleh sejumlah orang yang telah ditentukan. Pemilihan umum adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah pemerintahan yang demokratis. Secara umum, negara yang demokrasi wajib mengadakan sebuah pemilihan umum untuk memilih pemimpin di negara itu tidak hanya secara rutin atau reguler, tetapi juga harus berlandaskan pada asas pemilu demokratis, yaitu asas langsung, umum, bebas, jujur, adil. Paling tidak ada dua sistem pemilu yang digunakan dinegara – negara di dunia, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency) yang jumlahnya ditentukan atas dasar suatu perimbangan, misalnya satu wakil untuk 400.000 penduduk. Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan di parlemen. Schupeter (2012,85) mengariskan bahwa metode demokratis adalah prosedur kelembagaan untuk mencari keputusan politik di mana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi
7
merebut suara rakyat dalam pemilu. Perjalanan sederetan pemilukada yang telah digelar di sejumlah daerah di indonesia ternyata tidak selalu berjalan dengan baik, bahkan konflik kerap mewarnai dalam proses pelaksanaannya. Pemilukada bagi sebagian pihak dipandang sebagai sebuah mekanisme yang amat mahal dalam mencari pemimpin di lembaga eksekutif pada level lokal, hal ini di asumsikan dengan tingginya dana keuangan yang harus di alokasikan pada ajang momen pemilu bagi para kontestan, tingginya dana keuangan ditengarai sebagai kekuatan untuk dapat menciptakan partisipasi politik warga dalam pemilukada. Terhadap asumsi ini, benar jika demokratisasi membutuhkan partisipasi politik warga, akan tetapi demokrasi tidak menyarankan pengunaan kekuatan uang dalam menciptakan partisipasi tersebut melainkan demokrasi mengajarkan untuk menciptakan demokrasi secara sadar tentang hak dan kewajiban warga negara salah satunya yakni memilih pemimpin. Jika saja partai politik berikut “mesin - mesin” yang ada pada partai tersebut bekerja tidak hanya menjelang pemilukada maka tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan kepada warga (pemilih), jikapun hal – hal yang menyulitkan masih saja dapat dijumpai dalam menciptakan partisipasi politik warga secara “sadar” maka hal yang tidak kalah penting adalah melakukan evaluasi terhadap kinerja partai dalam struktur formal dalam pemerintahan, apakah telah terealisasi visi misi ataupun janji – janji dimasa kampanye pemilukada sebelumnya, jikapun terealisasi maka pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar terealisasi bagi kepentingan warga secara luas. Kondisi – kondisi evaluatif seperti inilah yang kerap dikesampingkan partai
8
politik beserta calon terpilihnya dalam memimpin pemerintah, sehingga kedepan partai politik maupun kontestan manapun akan mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan kepada warga terlebih untuk menciptakan partisipasi politik warga di pemilukada. Terhadap kondisi ini, para kontestan beserta partai politik mensiasatinya dengan memberikan tawaran – tawaran menarik berupa uang, barang ataupun jabatan kepada warga agar targetnya semula meningkatkan partisipasi politik warga berubah derastis menjadi keberpihakan warga. Tentu dengan besarnya jumlah uang yang telah keluar beserta kerugian – kerugian lainnya, para kontestan tidak mementingkan lagi target partisipasi politik warga secara sadar tercapai, melainkan lebih jauh dari itu keinginan para kontestan yakni munculnya keberpihakan warga terhadap dirinya dipemilukada. Jadi partisipasi politik secara sadar berubah derastis ke bentuk keberpihakan (dukungan) kepada kontestan. Inilah yang kemudian
menjadi
eksperimen – eksperimen para kontestan menjelang pemilukada dengan menggunakan kekuatan uang dalam meraih dukungan. Memang pemilihan umum menjadi sarana untuk menentukan suara terbanyak (voting) walaupun tidak sebenarnya diperlukan, dalam berbagai pemilihan untuk menentukan sikap. Pemilukada secara langsung sebagai cerminan demokrasi yang baik dimana kesetaraan warga dalam menentukan pemimpin di level lokal amat dihormati oleh konstitusi indonesia, disisi lain aktor – aktor politk menyebabkan distorsi dalam praktek demokratisasi di level lokal ( pemilukada), pemilukada sejatinya bertujuan untuk mencapai transformasi ke arah yang lebih baik malah saat ini berjalan mundur dari hakekatnya semula sehingga
9
menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap para kontestan ataupun aktor politik di pemilukada. Hal ini lebih dikarenakan tidak terealisasinya visi misi kontestan yang terpilih dipemilukada lalu sehingga membawa dampak timbulnya ketidak percayaan publik terhadap momen pemilukada. Sikap apatis warga kemudian “dibeli” melalui pendekatan transaksional sehingga membengkakan keuangan para kontestan dipemilukada di samping juga besarnya keuangan yang dialokasikan pada pengadaan iklan politik atau alat peraga. Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu subtansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak di bangun atas postulat spekulatif, tetapi di konstruksikan berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Atas fenomena yang terjadi terkhusus money politic atau politik uang masalah tersebut atau fenomena tersebut perlu dikaji, dibedah secara mendalam untuk mengetahui akar permasalahan dan implikasi serta mencari jalan keluarnya. Oleh karena itu program riset merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan guna mengetahui semua bentuk permasalahan yang terjadi pada proses pemilihan umum (pemilu).
10
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka yang menjadi rumusan masalah dalam riset adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses terjadinya money politic .? 2. Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya money politic.? 1.3 Tujuan Riset Adapun yang menjadi tujuan dari riset adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya money politic. 2. Untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang dapat mendorong atau mempengaruhi terjadinya money politic .
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demokrasi, Pemilu, Pemerintahan 2.1.1 Demokrasi Pada awal sejarahnya, demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan bersama ini dikelola secara bersama dan inilah yang disebut oleh Aristoteles (384-322) SM sebagai bentuk negara ideal yakni politelia atau yang secara modern disebut oleh Robert Dhal, sebagai poliarcy sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih populer, dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi ciri utama demokrasi klasik itu adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (negara kota) yang jumlah penduduknya relatif kecil (Nurtjahjo, 2006: 44-45). Konsep pokok demokrasi sudah digagas oleh para pemikir/filosof Yunani Kuno. Salah satu filosof Yunani Kuno tersebut adalah Aristoteles (384-322) SM berkeyakinan bahwa demokrasi adalah supremasi kumpulan masyarakat luas termasuk di dalamnya orang - orang miskin. Ciri pokok konsep demokrasi klasik, adalah yang menyangkut tiga nilai yaitu, persamaan (equality), kebebasan (freedom), penguasaan mayoritas masyarakat (majority ruled). Persamaaan karena walaupun tidak punya materi/harta banyak, akan tetapi ia tetap punya hak yang dirumuskan dalam persamaan hak tersebut. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan karena semua manusia pada prinsipnya dilahirkan bebas termasuk dalam kebebasan perkataan (freedom of speech). Penguasaan mayoritas terjadi
12
karena keputusan mayoritas berdasarkan jumlah dan solidaritas dari anggota – anggota tersebut menjadi kunci rahasia kekuatan mereka. Perubahan konsep demokrasi tidak banyak mengalami perubahan selama 2000 tahun yang lalu, kemudian pasca pemikiran Plato (437-327) SM dan Aristoteles (384-322) SM. Pemikiran kemudian baru muncul dari pemikir – pemikir politik terbesar pada abad 17 dan abad 18 yakni Thomas Hobbes (15881679) seorang filosof inggris dan jean jacques Rousseau (1713-1778) seorang penulis
dan
filosof
Perancis.
Dalam
hubungan
ini
Thomas
Hobbes
menggambarkan dengan sangat sederhana perihal demokrasi sebagai leviathan. Menurut pandangan Thomas Hobbes, bahwa masyarakat harus dipimpin yang sangat tegas untuk menghilangkan pemaksaan dan pemerkosaan hak atas manusia yang lemah. Karena itu konsentrasi kekuasaan harus difokuskan pada satu tempat (lokus) yang disebutnya sebagai kedaulatan (sovereignity). Kekuasaan yang sangat besar itu bisa saja beralih ke tangan satu orang mungkin ke dalam lembaga – lembaga yang dibuat oleh sejumlah warga dan bahkan dalam lembaga – lembaga bentukan seluruh warga dan bagian yang terakhir inilah kiranya yang menjadi konsep daar demokrasi. (Samosir,2009:85-86). Dari sisi yang lain yang melihat demokrasi itu, merupakan suatu istilah untuk bentuk pemerintahan yang sangat tua. Namun proses perjalanannya, hingga hari ini “demokrasi” belum mendapat bentuk yang pasti dan memuaskan banyak orang. Sebaliknya demokrasi masih merupakan pokok kontroversi yang menarik dan mencemaskan banyak manusia dari zaman ke zaman bahkan hingga hari ini.
13
Karena itu menarik untuk disimak sepak terjang demokrasi sejak dari awal hingga pelaksanaannya dalam zaman kita ini. (Kebung, 2008:17) Maka dengan demikian makna kata demokrasi adalah “kekuasaan oleh rakyat”. Istilah ini pertama sekali dipakai pada abad V SM oleh sejarawan Yunani Kuno. Herodotus dengan memadukan kata “demos” yang berarti “rakyat”, dan “kratein” yang berarti berkuasa. Definisi demokrasi yang terkenal yakni berasal dari Abraham Lincoln, adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” Dengan mengolaborasikan gagasan tentang pemerintahan atau kekuasaan maknanya dapat diberikan dengan lebih tepat: demokrasi adalah sistem politik dimana seluruh rakyat membuat dan berhak untuk membuat keputusan dasar mengenai soal – soal penting dalam kebijakan publik. Gagasan berhak membuat keputusan dasar inilah yang membedakan dengan sistem lain dimana keputusan itu ditentukan oleh orang misalnya, ketika diktator yang lemah memenuhi keinginan rakyat karena ada ancaman kerusuhan atau pemberontakan. Dan
sesungguhnya
sejak
awal,
konsepsi
demokrasi,
memang
memungkinkan demokrasi dapat dipahami dari berbagai ragam perspektif yang satu sama lain bahkan kadang – kadang tampak bertentangan. Dalam konteks ini, dominasi pemahaman demokrasi dalam perspektif prosedural yang selama ini telah menjadi “main-stream” konseptualisasi demokrasi. Atau dalam pengertian yang lain, persoalan demokrasi bukanlah sekedar persoalan penyediaan aturan main terhadap pembentukan lembaga – lembaga politik bagi saluran partisipasi politik masyarakat ataupun bahkan sekedar memilih (pemilihan umum) pemimpin ataupun juga konseptualisasi demokrasi yang hanya menunjukan kepada
14
pandangan dalam pendefinisian demokrasi yang lebih menekankan pada definisi prosedural yakni dimana demokrasi dipahami sebagai persoalan tatacara memerintah. Terkait dengan hal itu adalah perkembangan ilmu politik mutakhir, termasuk studi politik di Indonesia, memperlihatkan bahwa perdebatan tentang konsep demokrasi berlangsung secara dikotomis antara demokrasi Schumpeterian dengan pengkritiknya. Para penganjur demokrasi Schumpeterian merumuskan demokrasi sebagai sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan – keputusan politik dimana individu – individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan melalui pertarungan kompetitif untuk memperoleh suara rakyat. (Schumpeter, 1947) Warna Schumpeterian nampak dalam gagasan demokrasi seperti misalnya di Samuel P Huntington yang dalam hal ini mengemukakan dan menekankan bahwa demokrasi secara eksplisit tampak dalam pemilu yang kompetitif sebagai esensi demokrasi itu. Namun demikian, berkenaan dengan itu dari pandangan sekalipun demokrasi yang secara gampangnya senantiasa diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Maka dalam hubungan ini, bahwa gagasan “government ruled by the people” itu secara etimologis, menyiratkan ketidaksepakatan ketimbang konsensus yang berkembang. Pertama, siapakah yang sebenarnya yang tergolong “people” atau rakyat itu?, partisipasi politik yang semacam apakah yang diperuntukan bagi mereka?.Apa kondisi yang menguntungkan yang harus ada bagi terwujudnya partisipasi politik itu?. Kedua, seberapa luaskah wilayah yang boleh dicakup oleh
15
sebuah kekuasaan yang bersifat demokratik?. Jika kekuasaan itu menyangkut aspek politik, apa sajakah yang tergolong politik itu?. Ketiga, apakah “Government by the people” harus selalu dipatuhi? Apa mekanisme yang disediakan
bagi
kelompok
–
kelompok
partisipan?.apa
kondisi
yang
memungkinkan demokrasi menggunakan cara – cara kursif terhadap warga negaranya sendiri ataupun warga dari masyarakat lain?.(Held, 1987:2) Maka secara garis besarnya, perbedaan – perbedaan yang muncul dan tampil dalam dua kelompok perdebatan. Dalam hal ini kelompok pertama mempersoalkan “cara” atau “metoda” untuk menciptakan “Government by the people”. Sementara itu kelompok yang kedua, mempersoalkan kondisi – kondisi yang diperlukan bagi upaya membentuk sebuah demokrasi. Dalam jenis rupa perdebatan kelompok pendekatan yang pertama, terkait dengan terbentuknya demokrasi senantiasa dilihat dari empat cara pandang yang berbeda – beda. (a). sebuah
Cara pendang Pertama, cenderung melihat bahwa demokrasi sebagai lembaga
atau
instansi
politik
yang
memungkinkan
terjadinya
“Government by the people”. Dalam konteks ini demokrasi atau tidak demokrasinya sebuah negara, dapat saja diukur bukan saja dengan berdasarkan pada ada tidaknya lembaga – lembaga politik seperti parlemen, konstitusi, sistem kepartaian banyak, (multi party system). Akan tetapi yang juga terpenting adalah apakah lembaga – lembaga politik tersebut berfungsi sebagaimana mestinya. Maka untuk itu lembaga – lembaga demokrasi perlu dilengkapi dengan beberapa proses dan aturan main yang lain seperti dengan tegaknya “rule of law”,
16
transparansi
dan
akuntabilitas
publik,
“saparation
of
power”
dan
konstitusionalisme. (Hiariej, ed, 2004: 12) (b).
Cara pandang yang kedua, yang menggambarkan demokrasi politik
sebagai “metoda politik” untuk memilih pemimpin. Dalam terang semangat pengertian semacam itu bahwa demokrasi itu hampir identik dengan pemilihan umum. Tapi agar pemilihan umum dapat dilakukan dengan bebas dan adil, demokrasi juga memerlukan beberapa syarat lain, diantaranya yang terpenting adalah pengakuan atas hak dan kebebasan warga negara. (Hariej, ed, 2003: 12) (c).
Cara pandang yang ketiga, yang melihat demokrasi itu ditempatkan
sebagai nilai – nilai, perilaku pada tataran mikro, Demokrasi dalam hal ini terkait erat dengan masalah toleransi, yang menerima pluralitas, menerima dialog, sebagai ganti aksi kekerasan, kesediaan untuk berkompetisi atau bahkan menjadi “good listener”, “good winner”, dan “good looser”. Mendemokratisasikan suatu masyarakat karenanya sama artinya dengan membuat masyarakat yang bersangkutan paham apa itu demokrasi, kenapa demokrasi itu penting dan tahu cara mengunakannya. (Hariej, ed, 2003: 12) (d).
Sementara cara pandang yang keempat, demokrasi ditempatkan pada
kerangka perimbangan kekuatan terutama antar kelas – kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Pada awalnya kelas – kelas sosial itu adalah berada pada kekuasaan para tuan tanah yang melakukan resistensi kesewenang – wenangan dari pada rezim penguasa (raja). Namun demikian belakangan orang terkadang orang – orang lebih percaya bahwa kelas – kelas sosial itu adalah kaum atau kelas
17
Borjuasi yang dikategorikan sebagai kelas sosial yang paling progresif dalam hal memperjuangkan demokrasi itu. Memang dalam perkembangannya, namun telah terjadi perubahan pandangan bahwa kelas – kelas sosial yang paling progresif itu adalah para pekerja (buruh) dan para petani. 2.1.2 Pemilu a. Pengertian Pemilu Pemilihan umum (general election) diakui secara global sebagai sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala. Maka menurut teori demokrasi minimalis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Joseph Schumpeter (schumpeterian) bahwa pemilihan umum merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor – aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak – hak sipil dan politik warga negara. (Robert dahl ,1971). Dalam hubungan ini, partai politik merupakan aktor utama yang berkompetisi untuk memperoleh dukungan massa dan meraih kekuasaan eksekutif dan legislatif. Partai politik dalam struktur politik (infra struktur politk). Maka sejauh ini fungsi partai politik diwacanakan sebagai sebuah institusi perwakilan politik (political representation) rakyat bukan sebagai institusi pembuatan kebijakan. Negara – negara yang sudah lama melaksanakan pemilihan umum (pemilu), dan yang menganut tradisi demokrasi sebagaimana halnya dengan yang terdapat dinegara – negara di Eropa dan Amerika Serikat (AS), adalah merupakan sarana (instrumen) demokrasi yang dianggap penting, tidak saja dalam pengertian pemilihan umum sebagai suatu proses perwujudan nyata
18
konsep kedaulatan rakyat adalah melainkan juga sebagai instrumen perubahan sosial politik dan suksesi (pergantian kepemimpinan) yang berlangsung secara berkala. Namun demikian, pengalaman dari sejumlah negara - negara di kawasan Asia, termasuk di dalamnnya Indonesia, menunjukan bahwa pemilihan umum (pemilu) tidak selalu mampu menghasilkan perubahan sosial politik yang berarti ataupun suatu transisi ke arah demokrasi dan sebaliknya, lebih merupakan usaha pencaharian
legitimasi
baru
dan
mempunyai
kecenderungan
untuk
mempertahankan status-quo. Kalaupun terjadi juga, proses transisi tersebut terjadi lebih – lebih karena kinerja sistem politiknya dan bukan dikarenakan pemilihan umum itu sendiri. Pengalaman negara – negara semacam itu, menunjukan kinerja sistem politik yang memiliki pengaruh yang cukup besar dan menentukan, dibandingkan dengan pemilihan umum sebagai salah satu mekanisme dari sebuah sistem politik (politycal system) yang dianut. Maka oleh sebab itu kinerja sistem politk (political system) itulah yang menentukan ke arah mana transisi itu akan berlangsung. Termasuk kinerja sistem politik seperti ini antara lain adalah, peta kekuatan politik yang anti status-quo, kohesivitas kekuatan pendukung status-quo, perimbangan kekuatan antara keduanya dan strategi yang dipilih oleh pendukung status-quo. Atau dalam pengertian lain, bahwa demokratisasi sesungguhnya merupakan negosiasi antara kekuatan - kekuataan politik yang ada dalam masyarakat. Maka dari sisi ini, pemilihan umum dalam konteks pengalaman negara – negara itu, hanya akan mampu menghasilkan transisi ke arah demokratisasi apa bila ia ditopang oleh sejumlah syarat – syarat lainnya yang
19
saling berinteraksi dan saling mendukung di dalam sistem politik yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, tuntutan – tuntutan untuk mewujudkan pemilihan umum sebagai sarana demokrasi yang nyata. Di dalam wacana ilmu politik, bahwa pemilihan umum dapat diartikan sebagai suatu kumpulan metoda atau cara warga negara atau masyarakat memilih para wakil mereka. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Melalui Pemilu, pemerintahan sebelumnya yang tidak memihak rakyat bisa diganti. Jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat pada Pemilu sebelumnya ternyata kebijakannya tidak memihak rakyat maka rakyat bisa bertanggungjawab dengan tidak memilihnya lagi di Pemilu berikutnya. Inilah kelebihan demokrasi melalui Pemilu
langsung.
Cara
seperti
ini
berusaha
benar-benar
mewujudkan
pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi menghendaki, kekuasaan tidak dipegang oleh segelintir orang, tetapi oleh kita semua dengan melakukan pengecekan ulang dan perbaikan - perbaikan secara bertahap. Melalui Pemilu langsung, masyarakat pemilih bisa menilai apakah pemerintahan dan perwakilan pantas dipilih kembali atau justru perlu diganti karena tidak mengemban amanah rakyat.
20
Sebagai salah satu alat demokrasi, Pemilu mengubah konsep kedaulatan rakyat yang abstrak menjadi lebih jelas. Hasil Pemilu adalah orang-orang terpilih yang mewakili rakyat dan bekerja untuk dan atas nama rakyat. Tata cara seleksi mencari
pemimpin
dengan
melibatkan
sebanyak
mungkin
orang
telah
mengalahkan popuralitas model memilih pemimpin dengan penunjukan langsung atau pemilihan secara terbatas. Dengan demikian, Pemilu adalah gerbang perubahan untuk mengantar rakyat melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menyusun kebijakan yang tepat, untuk perbaikan nasib rakyat secara bersama - sama. Karena Pemilu adalah sarana pergantian kepemimpinan, maka kita patut mengawalnya. Keterlibatan aktif masyarakat dalam seluruh tahapan Pemilu sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu lebih kritis dan mengetahui secara sadar nasib suara yang akan diberikannya. Suara kita memiliki nilai penting bagi kualitas demokrasi demi perbaikan nasib kita sendiri. Dan juga pemilihan umum adalah sebuah proses, dengan manakala sebuah lembaga perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah(DPRD) dipilih dengan berdasarkan sistem pemilihan umum yang mentransfer sejumlah suara ke dalam sejumlah kursi, seperti halnya dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati, adalah merupakan representasi tunggal dalam sistem pemilihan dasar jumlah suara yang diperoleh, menentukan siapa yang kalah, dan siapakah yang menang. Maka dengan melihat kenyataan yang seperti itu, betapa pentingnya sistem pemilihan (umum) dalam sebuah demokrasi. (Gaffar, 1999: 255)
21
b. Fungsi – Fungsi Pemilu Disebabkan karena terjadinya perbedaan macam dan jenis pemilihan (elections) dan bervariasinya sistem pemilihan umum, maka terkait dengan itu adalah peran atau fungsi pemilihan umum itu, biasanya sulit untuk dibuat suatu pengertian yang lebih ajek dan dapat dipahami lebih baik. Meskipun demikian, semakin meningkatnya demokratisasi sejak tahun 1980-an dan 1990-an, terutama dirangsang oleh jatuhnya komunisme biasanya dihubungkan dengan diadopsinya sistem pemilihan demokrasi liberal yang dicirikan oleh umum (universalitas), rahasia dan kontestasi. Namun demikian, ada sejumlah fungsi pokok yang melekat di dalam pemilihan umum tersebut antara lain adalah, Recruiting politicians, Making governments, Providing representation, influencing policy, Educating voters, Building legitimacy, Strengthening elites. Fungsi pemilihan umum sebagai rekrutmen politik, dapat dipahami berkaitan dengan negara – negara yang menganut paham demokrasi dipandang bahwa pemilihan umum secara prinsipil sebagai sumber rekrutmen politik. Dengan memilih pemimpin atau pejabat baik dalam bentuk konfirmasi terhadap kepemimpinan politik yang lama maupun dengan penggantian pejabat baru dipandang sebagai fungsi pokok dalam pemilihan umum. Pemerintah yang dipilih, oleh rakyat, dengan melalui proses pemilihan, maka tidak diragukan bahwa pemilihan umum memang banyak terlibat dalam fungsi dan rekrutmen politik. Maka dalam rangka menilai peran secara keseluruhan pemilihan umum dalam proses nominasi dan rekrutmen politik dalam sistem politik, maka pertanyaanya, seberapa jauhkah dan luaskah jangkauan pemilihan umum dalam
22
proses penentuan siapa - siapa yang akan menduduki posisi – posisi politis dalam suatu sistem politik tertentu. Dalam konteks politik Indonesia, jangkauan pemilihan umum tampaknya sangatlah terbatas (limited). Hal ini dikarenakan hanya memilih “politisi legislatif” untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemilihan umum presiden (eksekutif) dimana diawali tahun 2004 dilaksanakan secara langsung yang sebelum - sebelumnya dipilih dengan melalui fraksi – fraksi yang ada di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang sebagian anggota fraksi – fraksi di MPR dipilih dengan melalui pemilihan umum. Formasi kebijakan (influencing policy) dalam fungsi pemilihan umum terkait erat dengan persoalan kebijakan (policy) yang merujuk kepada kemampuan suatu partai politik untuk menghasilkan outcome yang berbeda jikalau partai politik itu memegang kekuasaan. Artinya, bahwa rencana kebijakan – kebijakan antara partai – partai politik yang bersaing (kontestasi) tidak dengan sendirinya menghasilkan kebijakan – kebijakan yang berbeda dengan alokasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang akan dibentuk pasca pemilihan umum. Lalu kemudian dalam kaitannya dengan fungsi pemilihan umum legitimasi (legitimacy). Bahwa pemilihan umum juga dianggap menjalankan fungsi legitimasi yakni dengan membina hubungan atau dukungan publik bagi suatu regime ataupun suatu sistem politk dan kepatuhan terhadap kebijakan serta regulasi lembaga – lembaga politik negara. Dalam hubungan ini bahwa adanya stabilitas sosial politik dijadikan sebagai indikator terhadap legitimasi. Legitimasi seperti halnya dengan konsep kekuasaan, dan kewenangan, bahwa legitimasi juga ada kaitannya dengan atau merupakan hubungan antara pemerintah (pemimpin)
23
dan masyarakat (yang dipimpin). Maka oleh sebab itu legitimasi adalah sikap masyarakat terhadap kewenangan, apakah masyarakat dapat menerima atau mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat, maka kewenangan tersebut terlegitimasi. 2.1.3 Pengertian Pemerintahan Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu “sistem” sistem politik ini bukanlah tempat yang jelas batas teritorialnya. Namun demikian sistem politik merupakan suatu konstruksi analisis, yakni suatu istilah yang dipergunakan untuk memudahkan analisis dari berbagai hal yang kongkrit. Politik dipandang sebagai sistem karena politik merupakan interaksi antar – unsur. Unsur yang satu dengan sama yang lain saling berkaitan. Seluruh interaksi dan interdependensial dimaksudkan untuk mencapai tujuan sistem, memelihara dirinnya, serta menyesuaikan dirinya, dengan perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman. (Surbakti, 1992: 167) Pemerintah (government) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Kuno “Kubernan” atau nahkoda kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu “memerintah” melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan diselenggarakan untuk
mencapai
tujuan
masyarakat
atau
negara,
memperkirakan
arah
perkembangan masyarakat masa mendatang dan mempersiapkan langkah – langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah ditetapkan. Maka terkait dengan hal yang diatas, pengertian pemerintah dapat dilihat dari tiga
24
dimensi (aspek) yakni: (a). Dari aspek kegiatan (dinamika), (b). Aspek struktural fungsional, (c). Aspek tugas dan kewenangan (fungsi). Jikalau dilihat dari aspek dinamika, pemerintah berarti segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan yang bersumber dari kedaulatan dan berlandaskan kepada dasar negara, rakyat dan wilayah negara tersebut demi tercapainnya tujuan negara. Dan jikalau ditinjau dari aspek struktural fungsional, pemerintah berarti seperangkat fungsi negara yang satu sama lain berhubungan secara fungsional dan melaksanakan fungsinya atas dasar tertentu demi tercapainya tujuan negara. Dan jikalau dari aspek tugas dan kewenangan negara maka pemerintah berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Maka dengan berdasarkan pada ketiga batasan tersebut disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti merupakan segala kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan negara (fungsi negara) dan yang melaksanakan tugas dan kewenangan itu adalah pemerintah. Maka terkait dengan pengertian pemerintah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan fungsi negara maka perlu kiranya memberikan pengertian pemerintah dalam artian luas dan pengertian pemerintah dalam artian sempit. Pemerintah dalam artian luas adalah mencakup seluruh fungsi negara yakni, fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi yudikatif. Sedangkan pengertian pemerintah dalam artian sempit adalah hanya salah satu dari fungsi negara yakni fungsi eksekutif. (Surbakti, 1992: 168-169)
25
2.2 Konsep Money Politic 2.2.1 Pengertian Money Politic Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilihan umum yang dinilai sebagai pesta demokrasi pun ternyata belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena di dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh kandidat pemilu maupun partainya sendiri. Salah satu kecurangan pemilu adalah politik uang yang memaksa masyarakat untuk memilih peserta pemilu yang melakukan politik uang tersebut. Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang, umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan. Berlandaskan aturan hukum yang tertuang dalam instrumen Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang digunakan sebagai aturan dalam menangani semua perkara pemilu.
26
Senada dengan aturan tersebut pada pasal 73 ayat 3 UU No.3 Tahun 1999 yang dimana menyatakan: "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu." Money politic adalah upaya mempengaruhi perilaku pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi (uang atau barang). Demikian juga mempengaruhi penyelenggara dengan imbalan tertentu untuk mencuri atau menggelembungkan suara, termasuk membeli suara dari peserta atau calon tertentu. Namun demikian, money politic berbeda dengan biaya politik dimana hal itu adalah sebuah keniscayaan karena biaya politik merupakan biaya pemenangan yang wajar dan dibenarkan oleh hukum. Ada tiga bentuk money politic yang umum terjadi di Indonesia, pertama money politic pada lapisan atas yaitu transaksi antara elit ekonomi atau pemilik modal, dengan elit politik atau calon, dengan janji atau harapan setelah terpilih akan mendapatkan kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. Inilah money politic yang berdampak sangat strategis dalam kehidupan politik. Pemilik modal dapat mendikte kebijakan partai atau calon ketika telah memenangkan pemilihan. Hal ini terjadi karena dengan keterbatasn dana anggota partai untuk menyumbang partai, maka sangat mungkin partai mengambil jalan pintas dengan sumber dana dari elit ekonomi, kantong pribadi calon serta uang negara yang tidak halal.
27
Kedua, money politic lapisan tengah, antara elit politik yaitu bakal calon dengan elit partai, dalam bentuk pembayaran kepada pribadi elit partai untuk menjadi calon atau menentukan nomor urut calon. Atau antara calon dengan penyelenggara untuk membeli suara atau mengatur pemilih. Ketiga, money politic , di lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik atau calon dengan masa pemilih. Bentuknya berupa bagi uang, sembako, kredit ringan atau bentuk lainnya pemberian uang atau barang lainnya yang tidak patut. Bentuk ini terjadi karena adanya penawaran dan permintaan (supply and demand), antara pemilih dan calon. Money politic merupakan virus yang bisa menggerorogoti sendi-sendi demokrasi, sehingga jika dibiarkan tanpa ada upaya pencegahan bisa membahayakan praktek - praktek dalam bernegara. 2.2.2 Faktor Penyebab Money Politic Munculnya politik uang dalam pemilu tidak lain akibat politik praktis yang tujuannnya kekayaan dan kekuasaan, sehingga efeknya terjadi korupsi partai politik, pada saat pemilu, baik untuk memilih presiden, memilih kepala daerah, maupun memilih anggota legislatif, praktik korupsi seakan menjadi bagian yang sulit disingkirkan. hampir semua calon yang didukung oleh parpol harus mengeluarkan uang banyak untuk biaya kampaye. Akibatnya pada saat terpilih mereka menghalalkan berbagai cara demi mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan. salah satu caranya dengan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliknya.
28
Ada 2 subjek yang menyebabkan terlaksananya praktik politik uang, yaitu peserta pemilu (bakal calon) dan masyarakat sebagai pemilih. Salah satu alasan mengapa para peserta pemilu melakukan politik uang adalah mereka takut kalah bersaing dengan peserta pemilu lain. Peserta pemilu yang baru bersaing masih mencari bentuk serangan fajar. Mereka berpotensi melakukan politik uang. Para peserta pemilu yang pernah mencalonkan diri pada pemilu sebelumnya tentu lebih ahli dalam politik uang dan dipastikan akan mengulang hal yang sama. Alasan lainnya adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin. Hal tersebut memberikan efek negatif bagi para elit dengan menghambur - hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata. Begitupun sebaliknya, adalah sangat mengiurkan juga bagi masyarakat meskipun sesaat, karena itu juga masyarakat merasa "berhutang budi” pada calon yang memberikan uang tersebut. Biasanya peserta pemilu yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat akan membuat program - program yang di dalamnya terindikasi politik uang. Selanjutnya pada proses rekruitmen peserta pemilu, proses rekruitmen peserta pemilu yang tidak memakai pola ideal, saat ini parpol tidak ubahnya hanya sebagai kapal - kapal koruptor, hampir semua parpol kadernya terkena kasus korupsi. Bahkan yang memprihatinkan lagi kualitas peserta pemilu yang maju jauh dibawah standar baik. Semua itu tidak lain disebabkan karena dari awal proses perekruitmennya tidak didasarkan pada kualitas namun hanya pada popularitas semata. Model rekruitmen ini tentu kurang baik jika harus dipertahankan dalam menjaring bibit unggul yang diharapkan duduk di parlemen guna membuat regulasi hukum. Ditambah dengan paradigma
29
kemenangan instan dari sang konstentan pemilu (caleg atau calon presiden, calon gubernur, calon walikota, bahkan calon Kades). Munculnya sikap pragmatis dan haus akan jabatan telah menjadikan setiap kandidat berambisi mengejarnya, sehingga berbagai jalan dan cara apapun ditempuh yang salah satunya dengan membeli suara money politic. Jika dilihat dari masyarakatnya, ada beberapa faktor mengapa banyak rakyat yng terlibat dalam politik uang, antara lain : a. Masyarakat miskin, Sebagaimana kita ketahui, angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. kita harus menyadari bersama bahwa tidak semua rakyat Indonesia hidup dalam lingkaran kesejahteraan, karena masih banyak kesenjangan yang nyata antara miskin dan kaya, bahkan bisa dikatakan jumlah rakyat Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. Akibatnya ketika masa pemilu hadir, para calon ‘dermawan’ yang membagi-bagikan uang dimana substansi adalah money politics, rakyat dengan senang hati menerimanya guna memenuhi kebutuhan ekonominya. Kondisi miskin tersebut seperti memaksa dan menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapat uang. Money politic pun menjadi ajang para rakyat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu, tindakan suap dan jual beli suara yang jelas
30
melanggar hukum UU pemilu. Yang terpenting adalah mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. b. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Politik, Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Bisa dikatakan belum semua masyarakat Indonesia, khususnya berada di daerah daerah terpencil belum faham betul substansi dalam UU Pemilu, termasuk berkenaan dengan dilarangnya money politic. Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah - sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga ketika ada pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu. tidak mengenal partai, tidak masalah, tidak tahu calon peserta, tidak masalah. Bahkan mungkin, tidak ikut pemilu pun tidak masalah. Kondisi seperti ini menyebabkan maraknya politik uang. Rakyat yang acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Politik uang pun dianggap tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para peserta pemilu yang nantinya akan terpilih. Oleh karena ketidaktahuan tersebut bisa jadi rakyat mau menerima pemberian uang dengan garansi untuk memilih pemberinya, mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. c. Kebudayaan, Saling memberi dan jika mendapat rejeki, tidak boleh ditolak. Begitulah ungkapan yang nampaknya telah melekat dalam diri bangsa Indonesia.
31
Uang dan segala bentuk politik uang dari peserta pemilu dianggap sebagai rejeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Dan karena sudah diberi, secara otomatis masyarakat harus memberi sesuatu pula untuk peserta pemilu, yaitu dengan memilih, menjadi tim sukses, bahkan ikut menyukseskan politik uang demi memenangkan peserta pemilu tersebut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ungkapan terima kasih dan rasa balas budi masyarakat terhadap peserta pemilu yang memberi uang. Dalam hal ini kebudayaan yang sejatinya bersifat benar dan baik, telah melenceng dan disalah artikan oleh masyarakat. Saling memberi tidak lagi dalam hal kebenaran melainkan untuk suatu kecurangan. Masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi budaya ini menjadi sasaran empuk bagi para peserta pemilu untuk melakukan politik uang tanpa dicurigai. (Rini Triningsih, Deputi penuntutan KPK) 2.2.3 Dampak Money Politic Dengan adanya money politics, akan melatih masyarakat untuk bertindak curang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Ini berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktik politik uang. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan. Pemilu tidak lagi berdasarkan prinsip bebas dan jujur. Pemilu tidak lagi bebas, artinya pilihan seseorang tidak lagi sesuai dengan keinginannya. Seseorang mendapat tekanan dan paksaan untuk memilih caleg. Pemilu, tidak lagi jujur, artinya telah terjadi kecurangan dalam pemilu dengan cara membeli suara. Jika dibiarkan, praktik politik uang akan
32
mengendap dan melekat dalam diri bangsa Indonesia. Praktik money politics ini berakibat pada pencitraan yang buruk serta terpuruknya partai politik. Dan Indonesia akan semakin jauh dari sebutan Negara Demokrasi. Money politic di Indonesia juga membuat banyak kalangan khawatir akan keberlangsungan demokratisasi di Indonesia. Penyebab maraknya money politic di Indonesia yaitu pertama, masyarakat Indonesia memang sebagian besar masih mendasarkan pilihannya pada rasionalitas ekonomi, memilih partai politik atau kandidat yang memberikan keuntungan pada individu maupun kelompok. Masih jarang masyarakat Indonesia yang memilih partai politik atau kandidat yang memang benar-benar didasarkan pada track record
atau program yang
ditawarkan partai politik atau kandidat. Kedua, tidak ada tindakan yang tegas dari aparat kepolisian atau KPU/KPUD sebagai penyelenggara pemilu. Banyak peserta pemilu yang dilaporkan melakukan money politic namun tidak ada tindakan nyata. Justru para pelakunya yang mendapatkan hukuman. Apalagi kalau salah satu kandidat merupakan incumbent, penyelenggara pemilu mengalami kesulitan dalam menindak. Money Politic yang bertujuan untuk membeli suara pemilih dalam pemilihan-pemilihan di Indonesia masih sering terjadi. Hal ini seperti simbiosis mutualisme. Parpol maupun kandidat akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh suara mayoritas, dan sebagian pemilih ada yang menilai bahwa pemilihan tidak akan memberikan perubahan yang signifikan. Masyarakat tidak merasakan langsung pembangunan. Citra elit politik yang cenderung tidak memperhatikan konstituennya setelah menang membuat masyarakat berfikir rasional. Rasionalitas ekonomi yang akhirnya menjadi tujuan pemilih yaitu
33
dengan menerima kandidat yang memberi uang. Bahkan ada pemilih yang menerima semua uang dari pemberian kandidat atau parpol namun pilihannya sesuai dengan keinginannya sendiri. 2.2.4 Kerangka Konseptual Prinsip-prinsip Pemilu 1. Langsung 2. Umum 3. Bebas 4. Rahasia 5. Jujur 6. Adil
Faktor – Faktor Money Politic 1. Rasionalitas ekonomi 2. Kepercayaan dan kekuasaan 3. Pengetahuan politik 4. Kebudayaan 5. Rasa takut kalah
Partisipan Pemilu
34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini mengunakan jenis penelitian deskriftif kualitatf, dimana menurut Nawawi (1983;64) metode penelitian deskriptif mempunyai dua ciri pokok: (1) Memusatkan perhatian pada masalah – masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah yang bersifat aktual. (2) Menggambarkan fakta – fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional. Dengan mengunakan pendekatan metode
kualitatif
yaitu
penelitian
yang
bersifat
menganalisis
serta
mengambarkaan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk menemukan masalah tertentu secara cermat, serta dengan metode deskriptif yang berusaha memahami masalah berdasarkan fakta tentang kenyataan yang berada di lokasi penelitian. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di tiga (3) Kecamatan yaitu Latambaga, Kolaka, dan Wundulako Kabupaten kolaka. Alasan pemilihan lokasi ini karena banyaknya indikasi terjadi money politik. 3.3 Informan Penelitian Informan menurut Moleang (2006;132) adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Untuk melakukan penelitian ini peneliti menggunakan sampling purposif, menurut Krisyanto (2007;154) sampling purposif, yaitu teknik yang mencakup orang –
35
orang yang diseleksi atas dasar kriteria, sedangkan orang – orang dalam populasi yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak dijadikan sample. Persoalan utama dalam menentukan kriteria, dimana kriteria harus mendukung tujuan penelitian. Sehingga peneliti menetapkan informan berjumlah 60 orang yang terbagi di tiga kecamatan. Dimana informan terdaftar sebagai pemilih tetap dan berhubungan langsung dalam proses pemilihan umum. 3.4 Jenis dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penilitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi lapangan dan wawancara langsung dengan informan dilokasi penelitian. 2. Data sekunder mencakup dokumen - dokumen yang berisi informasi penting, buku-buku, seminar, hasil penelitian yang berwujud laporan yang berhubungan dengan objek penelitian. 3.5 Tehnik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian yaitu sebagai berikut : 1. Wawancara (interview), yaitu melakukan tanya jawab langsung dengan beberapa informan untuk memperoleh data yang akurat dengan menggunakan pedoman wawancara untuk mengembangkan pertanyaan yang bersifat terbuka dan memberikan kebebasan kepada informan untuk menyampaikan pendapatnya.
36
2. Pengamatan (Observasi) yaitu pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung pada objek penelitian dengan aktifitas yang ada maupun hal – hal yang relevan dan berkaitan dengan penelitian. 3. Studi Kepustakaan (Library research) 3.6 Teknik analisis data Analisa data dalam penelitian kualitatif
mulai sejak awal sampai
sepanjang penelitian berlangsung. Teknik analisis data penelitian ini mengunakan model analisis interaktif Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011: 246). 1. Reduksi data Reduksi data yang dimaksud dalam penelitian ini sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan data yang diperoleh dari lokasi penelitian. Data dari lokasi penelitian dituangkan dalam uraian secara lengkap dan terperinci dan laporan tersebut kemudian direduksi, dirangkum, dan dipilih data yang relevan dan tidak relevan dengan permasalahan yang pokok dan difokuskan untuk dipilih yang terpenting untuk dicari tema dan polanya. 2. Penyajian data (display data) Penyajian data dimaksudkan sebagaai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan
yang
dan
pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya dengan bentuk teks yang bersifat naratif
atau kumpulan kalimat dan
37
rekapitulasi wawancara yang kemudian disusun dengan mengabungkan semua informasi secara terpadu dan peneliti dapat menerik kesimpulan. 3. Penarikan kesimpulan Dalam penelitian kualitatif verifikasi data dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian dilakukan. Selama proses pengumpulan data peneliti berusaha menganalisis dan mencari makna data yang dikumpulkan yaitu mencari pola tema, hubungan persamaaan, hipotesis, dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang bersifat tentatif.
38
BAB IV DESKRIFTIF LOKASI RISET 4.1 Letak Goegrafis dan Batas Wilayah Kabupaten Kolaka 4.1.1 Letak Geografis Daerah kabupaten kolaka di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat provinsi Sulawesi Tenggara memanjang dari
utara ke selatan berada diantara 2 00’ - 5 00’ lintang selatan dan membentang
dari barat ke timur diantara 120 45’ – 124 60’ bujur timur. 4.1.2 Batas Wilayah Batas wilayah Kabupaten Kolaka adalah sebagai berikut : 1) Disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara provinsi Sulawesi Tenggara. 2) Disebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone. 3) Disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana provinsi sulawesi Tenggara. 4) Disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten kolaka Timur provinsi Sulawesi Tenggara. 4.2 Luas Wilayah Kabupaten kolaka mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas ± 10.310 km² dan wilayah perairan (laut) diperkirakan seluas ± 20.000 km²
39
4.3 Jumlah dan Nama Kecamatan di Kabupaten Kolaka 1) Kecamatan Iwoimendaa 2) Kecamatan Wolo 3) Kecamatan Samaturu 4) Kecamatan Latambaga (lokasi riset) 5) Kecamatan Kolaka (lokasi riset) 6) Kecamatan Wundulako (lokasi riset) 7) Kecamatan Baula 8) Kecamatan Pomalaa 9) Kecamatan Tangetada 10) Kecamatan Polinggona 11) Kecamatan Watubangga 12) Kecamatan Toari 4.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Pada tahun 1990 jumlah penduduk Kabupaten Kolaka telah berjumlah 239.731 jiwa. Sembilan tahun delapan bulan kemudian yaitu pada tahun 2000 meningkat menjadi 323.329 jiwa dan berdasarkan hasil pencatatan terakhir yakni melalui registrasi penduduk akhir tahun 2002 bertambah menjadi 335.575 jiwa. Dengan berdasarkan hal tersebut maka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kolaka pada kurun waktu 1990 – 2000 rata – rata sebesar 3,14% pertahun dan tahun 2001 ke tahun 2002 meningkat sebesar 2,56%.
40
BAB V HASIL RISET 5.1 HASIL RISET (WAWANCARA) KECAMATAN KOLAKA 1. Rasionalitas Ekonomi Rasionalitas ekonomi adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Rasionalitas ekonomi kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan kepada informan di Kecamatan Kolaka diungkapkan bahwa : “ Sebenarnya tidak bisa kami atau saya secara pribadi dapat dikatakan untung karena menjadi keharusan melaksanakan pemilu tapi kalau ini termasuk dalam nominal uang itu terjadi pada perseorangan. “ Berbicara wujud keuntungan pasti masalah uang kita berbicara tentang berapa nominal uang yang diberikan, dan bisa saja juga dalam bentuk bantuan material. “ Politik uang terjadi karena kondisi ekonomi masyarakat yang tidak stabil maka masyarakat tidak mementingkan lagi bahwa ini menjadi bentuk tanggung jawab, ataukah mereka sama sekali tidak mengerti akan dampak yang terjadi, jadi apapun yang terjadi di masa yang akan datang semuanya dikondisikan oleh berapa banyak (uang) yang diberikan bakal calon. “ Tidak benar juga juga dikatakan yang menerima (uang) disebabkan karena tidak adanya pekerjaan yang dimiliki oleh masyarakat, namun lebih karena suatu fenomena politik uang yang sudah membudaya dimasyarakat dalam penyelenggaraan pemilu
41
2. Kepercayaan dan Kekuasaan Kepercayan adalah sebuah hasil pemikiran rasional dari para masyarakat berdasarkan pengalaman yang terjadi sebelumnya, dimana para calon yang nantinya sudah terpilih itu tidak lagi memperhatikan nasib masyarakat dan pada umumnya kepercayaan itu bersifat negatif kemudian kekuasaan merupakan sebuah jabatan yang dimana dapat mempengaruhi seluruh masyarakat baik secara paksa maupun tidak sehingga inilah hal yang menjadi rebutan bagi para calon meskipun itu mengunakan cara – cara instan untuk memenangkan atau meraih kekuasaan. Dari hasil wawancara mengungkapkan bahwa : “ Percaya itu sifatnya tabu atau abstrak, kami masyarakat tidak lagi melihat bahwa calon peserta pemilu dari latar belakangnya, tetapi dari berapa banyak uang yang dimiliki. “ Jika mereka masyarakat yang memiliki hubungan emosional seperti tim sukses dari bakal calon maka mereka pasti akan menyakini para calon untuk mewakili suara rakyat, namun jika pada masyarakat yang orientasinya hanyalah (uang) maka itu menjadi hal yang sulit. “ Bisa iya dan bisa juga tidak tergantung siapa bakal calon, jika memiliki hubungan emosional maka untuk mendapatkan kedudukan atau kekuasaan pasti akan kami dukung. “ Tentu saja senang karena yang kami dukung itu bisa terpilih walaupun dengan cara mungkin memberikan sejumlah (uang) kepada masyarakat. “ Politik uang atau biasa yang di identikan dengan (serangan fajar, pelemparan dll) itu menjadi hal yang paling baik dan strategis untuk dilakukan oleh bakal calon karena melihat dari kondisi ekonomi masyarakat yang secara umum menduduki kelas ekonomi menengah ke bawah.
42
“ Banyak sekali strategi maupun cara yang dilakukan oleh bakal calon tetapi selalu yang paling memikat hati masyarakat adalah (uang) jadi dengan kata lain money politic adalah strategi yang paling besar potensinya dalam memenangkan pemilu. 3. Pengetahuan Politik Pengetahuan politik adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari bagaimana mempengaruhi seseorang atau pun kelompok agar dapat mencapai masyarakat politik yang terbaik. Dari hasil riset diketahui dari informan bahwa : “ Kami masyarakat sebenarnya tidak begitu tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, dan bagaimana menjalankannya, yang kami ketahui adalah apa yang kami dapat dan yang dilakukan oleh bakal calon dalam lingkup masyarakat, jika yang terjadi adalah maka itulah politik menurut kami sebagai masyarakat biasa. “ Kami tidak perlu tahu apa itu politik tetapi kenyataannya kami berpolitik melalui penyelenggaraan pemilu menyikapi bahwa (serangan fajar, pelemparan dll) itu adalah melanggar tetapi bukan Cuma kami segelintir orang disatu kelurahan, tetapi seluruh indonesia dan seluruh lapisan masyarakat melakukan dan melestarikan money politic yang ternyata dianggap salah dimata hukum. “ Jika berbicara keikutsertaan kami, apakah karena tidak paham atau sekedar ikut – ikutan bisa dibilang iya, banyak sekali orang yang terlibat dalam money politic itu adalah orang yang sama sekali tidak paham tentang demokrasi, permasalahan yang berkembang adalah masalah perut, orang – orang senantiasa menyukai (uang) walaupun sebenarnya mereka tidak tahu apa itu demokrasi, dan apakah perlukah dijalankan. “ Ada beberapa yang menjadi pertimbangan diantaranya adalah siapa bakal calon ini, apa yang ia tawarkan, menguntungkan atau tidak. Sebagian orang – orang berorientasi pada keuntungan dengan melihat berapa kekayaan yang dimiliki bakal calon. Sehingga menjadi dasar pertimbangan kami masyarakat, dan kami menjadi buta dan tuli akan UUD yang ada di negara ini.
43
“ Biasanya sosialisasi dilakukan hanya oleh bakal calon sekaligus meminta dukungan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan serta mempromosikan dirinya sendiri. “ Sejauh ini kejadian penarikan bantuan berupa barang (parang, seng, semen dll) jika diketahui pasti siapa orang yang tidak mendukung bakal calon. 4. Kebudayaan Kebudayaan adalah suatu bentuk kebiasaan yang terjadi dimasyarakat secara berulang - ulang dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah pola yang telah berakar di hati masyarakat. Berikut hasil riset dengan metode wawancara : “ Tentu saja kami merasa senang tetapi disatu sisi kami juga merasa khawatir jika suatu saat atau jika bakal calon ini tidak terpilih maka resiko uang kembali pasti menjadi salah satu masalah besar yang mungkin akan dihadapi. “ Bisa dikatakan rejeki, bisa pula dikatakan ajang pembelian suara karena money politic telah menjadi hal yang rutin dan membudaya dilakukan oleh para bakal calon umumnya di Indonesia. “ Tentu saja kami mengetahui apa maksud dan tujuan dari pemberian (uang) semua itu dilakukan agar kami memberikan hak suara atas dirinya (bakal calon) yang nantinya akan mengantarkan pada arena kekuasaan. “ Dukungan yang kami berikan 90% dapat kami katakan disebabkan oleh berapa banyak kesanggupan calon untuk memberikan sejumlah uang kepada kami, kami tidak pernah lagi berfikir untuk memilih calon sesuai hati nurani. “ Tidak bisa dikatan balas budi karena sebenarnya bakal calon ini memberikan uang dengan secara tidak langsung mengunakan sistem pemaksaan jadi bentuknya seperti (kau memberikan uang, maka kau juga wajib memberikan suara) seperti itu.
44
5. Rasa Takut Kalah Rasa takut kalah adalah suatu wujud perasaan atau kekhawatir tentang hal yang terjadi dimasa yang akan datang, dimana banyak pertimbangan dalam mencapai kemenangan yaitu, para pesaing, strategi kemenangan, cara memikat hati masyarakat serta hal – hal yang terjadi dalam pemilihan umum. Berikut hasil riset dengan metode wawancara : “ Jauh sebelum diselenggarakannya pemilu maka yang paling awal kami lakukan adalah memperkenalkan diri kepada masyarakat, seperti pemasangan baleho agar masyarakat tahu saya mencalonkan, setelah itu baru kami menyusun rencana untuk memberikan serangan fajar kepada masyarakat yang telah kami tentukan. “ Betul sekali jika anda ingin menduduki sebuah jabatan maka anda harus mempersiapkan sejumlah uang, untuk membeli suara – suara masyarakat. “ Sulit jika berbicara tentang masalah uang karena tidaka ada satupun orang yang tidak menyukai uang, jadi money politic khususnya Indonesia yang skalanya lebih besar itu tidak daapat mencegah atau menghilangkan politik uang secara keseluruhan karena telah beraakar, bertunas, dan berbuah di Indonesia. “ Setiap yang terjadi atau setiap bakal calon yang akan mencapai tujuannya pasti didalam hatinya memiliki ketakutan tersendiri akan akan kekalahan, karena ada banyak sekali calon yang memiliki tingkat kekayaandan skill tersendiri. “ Sebenarnya politik uang dilakukan untuk memenangkan pemilu dan mendapatkan kekuasaan bukan semata – mata untuk mengalahkan para pesaing, tetapi pesaing juga menjadi hal yang cukup penting untuk dijadikan bahan pertimbangan guna memenangkan pemilu.
45
5.2 HASIL RISET (WAWANCARA) KECAMATAN WUNDULAKO 1. Rasional Ekonomi “ Sebenarnya saya tidak bisa dikatakan untung karena saya atau kami tidak begitu suka dengan pemilu karena mengajarkan masyarakat untuk jadi malas karena mengharap ekonomi (uang) dari para bakal calon. “ Jika berbicara masalah uang itu hal yang paling sering dilakukan oleh para calon dan saya pribadi tidak pernah menjadi penerima ajang politik (uang) atau suara saya tidak pernah dibeli. “ Semuanya tergantung pada individu banyak sekali masyarakat kaya juga atau memiliki ekonomi ke atas yang terlibat (money politic). “ Kami masyarakat tidak pernah lagi berfikir apa dampak yang akan terjadi jika kami masyarakat menerima uang atau melakukan politik uang, kami hanya tahu bahwa kami menerima uang dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi. “ Bukan karena tidak ada pekerjaan atau penghasilan tetapi karena money politic atau bagi –bagi uang itu sudah membudaya dan hari ini siapa masyarakat yang menolak uang. 2. Kepercayaan dan Kekuasaan “ Mengenai indikator kepercayaan kami atau saya sebagai masyarakat mempercayakan atau menitipkan kepercayaan kami berdasarkan calon yang kami usung. “ Sebagai masyarakat awam kami hanya bisa mempercayakan bahwa peserta yang dipilih akan mewakili suara kami atau suara rakyat terlepas dari apa atau strategi apa yang dia lakukan untuk memperoleh kekuasaan tetapi karena sering kali hubungan emosional masyarakat dengan peserta pemilu itu baik mereka atau masyarakat tidak lagi mementingkan latar belakang calon peserta pemilu. “ Tentu saja senang, karena bisa dikatakan kami telah atau calon telah mempertaruhkan semua kekayaan yang dia miliki untuk mendapatkan suara dan memberikan uang atau yang dikeenal dengan politik uang menjadi strategi jitu bagi para calon.
46
3. Pengetahuan politik “ Kami tidak pernah tahu apa itu politik, bagaimana menjelaskannya kemudian apa dampaknya yang kami ketahui adalah sebuah insiden tipu – menipu untuk memperdayai masyarakat. “ Sebagian besar masyarakat awam yang tidak tahu, tidak mementingkan pengetahuan tentang demokrasi dia hanya atau mereka hanya tahu bahwa keikutsertaan masyarakat di pemilu itu bisa mendatangkan banyak sekali sumber dana dan itu juga semuanya bisa dikategori ikut – ikutan karena ada yang memiliki pertimbangan tertentu seperti pendidikan dan keterampilannya tetapi dilain pihak ada juga yang orientasinya adalah Cuma sekedar mendapatkan uang. “ Jika ditanya masyarakat perindividu maka jawabanya pasti beragam tetapi secara pribadi seorang informan mengatakan tahu bahwa ada aturan atau ada UU yang melarang adanya praktek money politic tetapi masyarakat dewasa ini jika diberi sejumlah uang mereka tidak akan pernah menolak apa lagi dengan kondisi perekonomian masyarakat yang tidak stabil. “ Telah banyak sekali yang terjadi bantuan yang diberikan oleh bakal calon ketika bakal calon tidak jadi atau tidak terpilih maka berapa pun besaran atau kisaran sebuah bantuan sering kali ditarik kembali oleh para bakal calon. 4. Kebudayaan “ Money politic yang terjadi dimasyarakat umumnya telah membudaya dibenak para calon dan masyarakat istilah – istilah serupa seperti serangan fajar itu marak sekali dibuat itu hanya sekedar untuk menutupi kedok money politic padahal sesungguhnya money politic telah menjadi rutinitas wajib bagi para bakal calon. “ Masyarakat tahu bahwa tujuan pemberian serangan fajar guna untuk menjalin keberpihakan masyarakat terhadap bakal calon maka money politic , pemberian uang, atau serangan fajar adalah contoh kongkrit dari terselengaranya money politic di negara Indonesia.
47
5. Rasa Takut Kalah “ Berbicara tentang strategi sebenarnya ada banyak sekali strategi tetapi ada dua strategi yang dinilai efektif untuk dilakukan yang pertama pendekatan secara kesukuan kemudian yang kedua pendekatan secara materi. “ Politik uang sebenarnya sudah terjadi sejak lama hanya saja masyarakat tidak tahu bahwa selama ini yang mereka lakukan adalah bentuk kecil dari manifestasi politik uang yang tentunya telah menjadi adat dan kebiasaan.
5.3 HASIL RISET (WAWANCARA) KECAMATAN LATAMBAGA. 1. Rasionalitas Ekonomi
“ saya sebagai masyarakat merasa untung dengan adanya pemilu karena banyak sekali calon yang berlomba – lomba untuk membeli suara karena di lingkungan saya masyarakat kecil lumayan nbanyak itu menjadi sasaran empuk para pencari suara.
“ Wujud keuntungan yang saya dapati berupa uang bantuan seperti seng, sarung dan sembako semua itu benar disebabkan oleh kondisi perekonomian yang labil.
“ Kami ini masyarakat kecil jadi ketika kami diberikan bantuan kami tidak berfikir panjang langsung saja kami menerima pemberian dari para calon. 2. Kepercayaan dan Kekuasaan “ Sebenarnya kepercayaan terhadap calon itu hanya bisa dikatakan tidak mencapai 50% disebabkan banyak para calon yang ketika mendapatkan kekuasaan maka melupakan janjinya “ Sebagai suksesi strategi yang paling efisien untuk dilakukan adalah dengan cara pendekatan terhadap masyarakat secara persuasif sehingga calon memiliki tempat tersendiri dihati masyarakat.
48
“ Biasanya memberikan uang kepada masyarakat menjadi hal terakhir yang bisa dilakukan oleh calon peserta pemilu dan dinilai menjadi sebuah cara yang paling singkat. 3. Pengetahuan Politik “ Politik adalah memanfaatkan menurut paham saya atau kami sebagai masyarakat awam yang tidak pernah menyekolahkan diri kami di jurusan perpolitikan, tetapi kami selalu berpartisipasi disetiap penyelenggaraan pemilu yang sebenarnya kami juga tidak begitu mengerti kenapapemilu harus dilaksanakan bisa saja kami hanya ikut – ikutan bisa juga karena keterpaksaan dan bisa juga karena merasa itu adalah tanggung jawab bersama sebagai sebuah kesatuan masyarakat. “ Pertimbangan – pertimbangan banyak sekali ada yang melihat dari citranya, dari sikapnya, darilatar belakang keluarganya, dari cara memimpin sebelumnya, dan ada juga yang melihat dari berapa materi yang dia miliki dan semua itu menjadi tolak ukur masyarakat untuk memilih calon dan setiap bakal calon selalu memberikan janji- janji kepada masyarakat yang semuanya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. “ Sekalipun mungkin orang – orang tahu bahwa memberikan uang atau membeli suara itu sifatnya ilegal tetapi tidak sedikit juga orang yang merasa senang dengan adanya money politic karena itu menjadi rejeki tersendiri untuk orang – orang sekalipun ada UU yang melarang. 4. Kebudayaan “ Budaya disebut juga sebagai sebuah kebiasaan hubungannya dengan money politic adalah kebiasaan para calon sejak dulu sampai saat ini adalah metode menghambur – hamburkan uang atau membeli suara rakyat guna mencapai kekuasaan hal ini telah berakar dan membudaya dikalangan masyarakat Indonesia.
“ Maksud dari pemberian uang jika ada calon yang melakukan pemberian uang tanpa dia jelaskan pun masyarakat sudah pasti mengetahui bahwa itu untuk memberikan atau ditujukan untuk membeli suara kepada calon peserta pemilu hal ini juga menjadi ajang balas budi kepada masyarakat yang telah diberikan bantuan oleh para calon.
49
5. Rasa takut kalah “ berbicara dari pengalaman sebelumnya strategi – strategi yang dilakukan agar menarik warga untuk memilih calon tertentu adalah dengan cara pendekatan partisipatif mengandalkan hubungan emosional kepada masyarakat, strategi tersebut dinilai cukup ampuh untuk memikat hati masyarakat sekalipun diakhir akan diselenggarakannya pemilu tidak jarang para calon turut menjalankan aksi money politic atau dikenal dengan (serangan fajar) dan money politik dinilai atau dijadikan sebagai senjata ampuh untuk mengikat masyarakat.
“ Banyak sekali para calon karena ketakutan akan kekalahan maka memilih jalur politik uang yang biasa juga di sinonimkan dengan kata serangan fajar hal ini menjadi marak dan tidak terhindarkan karena banyaknya pesaing yang dimiliki tentu saja untuk mengalahkan pesaing – pesaing salah satu jalannya adalah dengan memberikan sejumlah uang dengan harapan bisa mengikat dan mendapatkan suara yang banyak.
50
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Pemilihan umum merupakan sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta untuk mengelar pergantian pemerintahan secara rutin. Dan partai politik merupakan aktor utama yang berkompetisi memperoleh dukungan masa dan meraih kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Pemilihan umum merupakan sarana atau instrumen demokrasi yang diangap sangat penting, pemilihan umum sebagai suatu proses perwujudan nyata konsep kedaulatan rakyat juga sebagai instrumen perubahan sosial politik dan suksesi yang berlangsung secara berkala. Namun demikian pengalaman dari sejumlah negara termasuk di dalamnya Indonesia menunjukan bahwa pemilihan umum tidak selalu mampu menghasilkan perubahan sosial politik yang berarti atau pun suatu transisi ke arah demokrasi dan sebaliknya, lebih merupakan usaha pencarian legitimasi baru dan mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan status quo. Pemilukada bagi sebagian pihak dipandang sebagai sebuah mekanisme yang begitu mahal dalam mencari pemimpin, hal ini diasumsikan dengan tingginya dana keuangan yang harus dialokasikan pada ajang atau momen pemilu bagi para kontestan terbukti berdasarkan riset yang dilakukan di tiga kecamatan cukup memberikan kesimpulan atau jawaban bahwa tingginya dana keuangan ini ditengarai sebagai kekuatan untuk dapat menciptakan partisipasi politik warga dalam pemilukada salah satu indikator riset yang paling banyak terindikasi adalah kebudayaan, karena nyatanya money politic telah membudaya dikalangan
51
masyarakat dunia tanpa terkecuali Indonesia pada khususnya apalagi Kabupaten Kolaka yang merupakan salah satu kota kecil yang jauh dari sorotan. Terhadap asumsi ini, benar jika demokratisasi membutuhkan partisipasi politik warga, akan tetapi
demokrasi
tidak
menyarankan
pengunaan
kekuatan
uang
dalam
menciptakan partisipasi tersebut melainkan demokrasi mengajarkan untuk menciptakan partisipasi secara sadar tentang hak dan kewajiban warga negara salah satunya yakni memilih pemimpin. Jika partai politik yang ada bekerja tidak hanya menjelang pemilu maka tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan kepada warga (pemilih), jika pun hal – hal yang menyulitkan masih saja dapat dijumpai dalam menciptakan partisipasi politik warga secara sadar maka hal yang tidak kalah penting adalah melakukan evaluasi terhadap kinerja partai dalam struktur formal pemerintahan apakah telah terealisasi visi misi ataupun janji – janji dimasa kampanye pemilu sebelumnya, jika telah terealisasi maka selanjutnya wajib untuk mengukur seberapa besar terealisasi bagi kepentingan warga secara luas. Kondisi – kondisi evaluatif seperti ini sering dikesampingkan partai politik beserta calon terpilihnya dalam memimpin pemerintahan, sehingga ke depan partai politik maupun kontestan manapun akan mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan terhadap warga terlebih untuk menciptakan partisipasi politik warga dipemilu. Hal seperti ini atau kondisi seperti ini, para kontestan beserta partai politik mensiasatinya dengan memberikan tawaran – tawaran menarik berupa uang, barang, ataupun jabatan kepada warga agar targetnya semula meningkatkan partisipasi politik warga berubah drastis menjadi keberpihakan warga, jadi partisipasi politik warga secara
52
sadar berubah drastis kebentuk keberpihakan (dukungan) kepada kontestan inilah yang kemudian menjadi eksperimen para kontestan menjelang pemilu dengan mengunakan kekuatan uang melahirkan money politic dalam meraih dukungan. Hasilnya adalah pemilukada berjalan secara prosedural dengan mengesampingkan aspek subtansial dari pemilu itu sendiri yakni terealisasinya visi misi kontestan terpilih hal inilah yang memicu timbulnya ketidakpercayaan publik terhadap momen pemilu sikap pemilu, sikap apatis warga kemudian (dibeli) melalui pendekatan transaksional sehingga pembekakan keuangan para kontestan di pemilu disamping juga besarnya keuangan yang dialokasikan pada pengadaan iklan politik. 6.2 SARAN Atas terjadinya fenomena money politic pada pemilu maka disarankan : 1. Melakukan evaluasi terhadap kinerja partai dalam struktur formal pemerintah 2. Partai politik perlu melakukan evaluasi terhadap realisasi visi misi yang pernah disampaikan kontestan di pemilukada dan secara kongkrit turut mendorong terealisasinya visi misi tersebut 3. Perlu kiranya membuat kebijakan tersendiri agar tetap fokus terhadap pemilihan secara langsung 4. Perlu adanya merubah program kampanye dan merubahnya menjadi debat kandidat saja, karena jauh hari para kontestan telah melakukan usaha – usaha kampanye, jaditidak perlu lagi masa kampanye dibuat hal ini akan
53
mengefisienkan waktu bagi KPU untuk menyiapkan hal lainnya, masa kampanye juga tidak efektif dalam meraih simpatik publik 5. Disarankan pula kepada para pemilih kiranya dalam menentukan pilihannya untuk menjadi pemilih yang cerdas agar lebih memperhatikan integritas dan dalam artian kapabilitas calon atau kandidat yang bersangkutan serta menghindari preaktek jual beli suara, money politik ataupun sejenisnya, sedangkan kepada para calon atau kandidat disarankan untuk lebih jeli dalam menawarkan visi, misi dan program yang pro rakyat dan peningkatan kesejateraan masyarakat sehingga pemilih dengan kesadaran akan menetukan pilihan kepada dirinya selanjutnya kepada pembuat kebijakan/regulasi disarankan kiranya untuk membuat peraturan perundang – undangan yang lebuh tegas dan memberikan sangsi yang berat kepada para calon atau kandidat yang melakukan pelanggaran politik uang (money politic)
54
DAFTAR PUSTAKA Adam, 2000, Desa Tertekan Kekuasaan, Medan: Bitra Indonesia. ALFIAN, 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indinesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Almond, Gabriel, A & Sidney Verba, 2004. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokratisasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara. Amal, Ichlasul, 1997. Pemberdayaan DPR sebagai Upaya Demokratisasi, Dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan. Azhari ,Syafiie, 2010. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar – dasar ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budiardjo, Miriam, 1994. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: UT Budiharso, Teguh, 2006. Panduan Lengkap Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta: Venus. Costello, Charles,. Menyelaraskan hak asasi manusia (HAM) dengan Sistem Politik yang Demokrasi, dalam Makka, Eds 2002. Darmawan, Ikhsan, 2013. Analisis Sistem Politik Indonesia. Bandung. Alfabeta Hamad, Ibnu, 2004. Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hariwijaya, M, 2008. Cara Mudah Menyusun Proposal Skripsi, Tesis dan Disertasi. Yogyakarta: Pararaton. Ibrahim, Mohammad Jimmi, 1991. Prospek Otonomi Daerah. Semarang : Dahara Prize. Kabupaten kolaka dalam Angka 2002 BPS Kencana Syafiie, Inu,1997. Ilmu Politik, Jakarta: Rineka Cipta. Sinaga, 2013. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sitepu, 2012. Studi Ilmu Politik. Yogjakarta. Graha Ilmu. Suryabrata, Sumadi, 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. UU RI. 2007. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Jakarta: CV. Tamita Utama.
55
PANDUAN WAWANCARA 1. Rasionalitas ekonomi a. Apakah anda merasa untung dengan adanya Pemilu ? b. Bagaimanakah wujud keuntungan yang anda peroleh ? c. Apakah dalam bentuk uang ? d. Apakah hal itu disebabkan oleh kondisi keuangan sehingga memaksa anda untuk menerima uang tersebut ? e. Pernakah anda memikirkan dampak dari pemberian uang tersebut ? f. Apakah penerimaan uang itu dikarenakan tidak ada pekerjaan yang anda miliki ? 2. Kepercayaan dan Kekuasaan a. Bagaimana kepercayaan anda terhadap calon peserta pemilu ? b. Apakah anda yakin bahwa peserta yang anda pilih akan mewakili suara rakyat ? c. Apakah anda memiliki hubungan emosional dengan bakal calon ? d. Bagaimana pendapat anda di saat calon yang anda pilih menduduki jabatan yang hendak dicapainya ? e. Bagaimanakah strategi yang anda lakukan untuk memenangkan pemilu ? f. Apakah dengan memberikan sejumlah uang atau bantuan kepada masyarakat menjadi salah satu pilihan yang anda lakukan ? g. Menurut anda apakah dengan memberikan uang serta bantuan merupakan cara singkat untuk memenangkan pemilu ? 3. Pengetahuan politik a. Bagaimana pengetahuan anda tentang politik ? b. Apakah anda berpartisipasi disetiap penyelenggaraan pemilu ? c. Apakah keikutsertaan anda diakibatkan dari pemahaman berdemokrasi atau hanya sekedar ikut – ikutan ?
56
d. Pertimbangan apakah yang anda gunakan sebelum memilih para calon ? e. Adakah janji atau berupa uang yang diberikan oleh calon peserta pemilu ? f. Tahukah anda mengenai UU Pemilu yang melarang penerimaan uang ? g. Apakah anda pernah mengikuti sosialisasi mengenai pemilihan umum sebelum memilih ? h. Bagaimana selama ini adakah kejadian penarikan kembali uang atau barang yang telah diberikan oleh para calon yang tidak terpilih ?. 4. Kebudayaan a. Bagaimanakah tanggapan anda tentang uang yang diberikan calon peserta pemilu ? b. Apakah bantuan, uang ataupun janji dari para calon merupakan rejeki bagi anda ? c. Menurut anda pemberian uang (serangan fajar) itu rutin terjadi dalam pemilu ? d. Apakah anda mengetahui maksud dari pemberian uang tersebut ? e. Apakah anda mendukung calon disebabkan karena uang atau sesuai hati nurani ? f. Apakah menurut anda politik uang sudah menjadi budaya dalam pemilu ? g. Apakah politik uang ini menjadi ajang balas budi bagi anda ? 5. Rasa takut kalah a. Strategi Apa yang dilakukan agar dapat menarik warga guna memilih anda(calon) ? b. Apakah demi menduduki sebuah jabatan mesti mengeluarkan uang ? c. Apakah serangan fajar atau politik uang menjadi strategi utama bagi para calon ?
57
d. Apakah politik uang sudah menjadi hal yang tidak mungkin terhindarkan ? e. Apakah perilaku politik uang disebabkan oleh ketakutan akan kekalahan ? f. Apakah plitik uang yang dilakukan untuk mengalahkan para pesaing anda ?
58
Wawancara di Lapangan
59
60
61
62
63
64
65
66
67