LAPORAN EKSEKUTIF PENGEMBANGAN MODEL KEMITRAAN DAERAH DAN LPTK DALAM PERCEPATAN KUALIFIKASI PENDIDIK, 2009
DAFTAR ISI Halaman PENGANTAR ........................................................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
ii
A. Latar Belakang .....................................................................................................
1
B. Tujuan ..................................................................................................................
2
C. Dasar Pengembangan Model Kemitraan 1, Kondisi Kualifikasi Pendidik ............................................................................. 2 2. Desentralisasi Pendidikan ................................................................................... 3 3. Model Dual Mode LPTK ................................................................................... 6 D. Pengembangan Model Kemitraan Pemerintah Kabupaten/Kota dan LPTK 1. Konsep Kemitraan .............................................................................................. 7 2. Model Kemitraan Pemerintah Kabupaten/Kota – LPTK ................................... 9 E. Peran Daerah, Tim Pengembang, dan LPTK 1. Peran Daerah: Tim Fasilitasi .............................................................................. 12 2. Peran Tim Pengembang ..................................................................................... 13 3. Peran LPTK ....................................................................................................... 13 F. Penjaminan Mutu...................................................................................................
15
G. Rekomendasi .........................................................................................................
16
Daftar Pustaka
1
A. Latar Belakang Salah satu faktor yang sering dituding menjadi penyebab rendahnya pencapaian kualitas hasil pendidikan adalah
masih banyaknya pendidik/guru
yang belum
mencapai kualifikasi latar belakang pendidikan S-1/D-IV. Atas dasar itu, pemerintah bertekad untuk meningkatkan kualitas pendidik di segenap jenjang pendidikan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Dalam UU tersebut ditegaskan, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8). Pendidik/guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik seperti yang dipersyaratkan tersebut, wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama sepuluh tahun sejak berlakunya undang-undang ini” (pasal 82 ayat 2). Artinya, undangundang mengamanatkan, bahwa sampai batas waktu tahun 2015, diharapkan keseluruhan pendidik/guru telah menyandang kualifikasi akademik S-1/D-IV. Namun, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya demikian besar. Data dari Ditjen PMPTK (2008) memperlihatkan, jumlah guru dari berbagai satuan pendidikan yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya mencapai 1.366.397 orang atau 60,2 persen dari jumlah guru yang ada di Indonesia. Jika batas penuntasan kualifikasi S1 bagi guru-guru adalah 2015 berarti sisa waktu yang tersedia tinggal beberapa tahun lagi. Dalam kurun waktu tersebut berarti pula setiap tahun pemerintah harus mampu menyelesaikan 227.733 guru yang telah memenuhi kualifikasi S-1/D-IV. Tuntutan sebesar ini tentu tidak mudah bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menuntaskannya, karena berbagai keterbatasan yang dihadapi, baik dari segi jumlah LPTK, penyebarannya, maupun tenaga pengajar yang dimiliki. Persoalan semakin kompleks apabila dikaitkan dengan tugas mengajar yang harus dijalankan oleh guru. Mengingat lokasi LPTK yang umumnya berada di pusat ibukota provinsi, dipastikan hanya memberikan kemudahan bagi guru-guru yang berada di sekitar lembaga pendidikan tersebut untuk menempuh pendidikan mereka. Sebaliknya, 2
guru yang tinggal relatif jauh menghadapi kesulitan tersendiri untuk menjalankan pendidikan S-1/D-IV di LPTK, dan tidak menutup kemungkinan harus meninggalkan tugas mengajarnya. Jika sudah begitu, pemenuhan pendidikan S-1/D-IV guru dapat memunculkan permasalahan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah, karena ketiadaan guru dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah. Memang sejauh ini terdapat perguruan tinggi yang melaksanakan program belajar jarak jauh, namun masih memiliki kemampuan daya tampung yang terbatas. Telah banyak upaya yang dilaksanakan dalam rangka percepatan peningkatan kualifikasi guru dalam jabatan, antara lain pada tahun 2006, sejumlah 18.754 guru ditingkatkan kualifikasinya ke S-1 melalui: (1) UT (12.616 orang), (2) APBNP-jalur formal konvensional (5.000 orang), (3) PJJ berbasis ICT (1.000 orang), dan (4) PJJ berbasis KKG (1.500 orang). Tahun 2007 sebanyak 170.000 orang guru dari berbagai satuan pendidikan mendapat bantuan biaya pendidikan melalui dana dekonsentrasi ke dinas pendidikan provinsi. Upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru tidak mungkin tercapai hanya dengan upaya yang dilaksanakan selama ini. Solusi kreatif masih perlu dicari yang memungkinkan guru untuk memenuhi persyaratan kualifikasi S-1/D-IV, serta mengantisipasi kemunculan persoalan akibat guru menjalankan pendidikannya. Berkenaan dengan upaya mencari alternatif pemenuhan kualifikasi akademik guru itulah, tulisan ini diketengahkan. B. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan satu pemikiran berupa model percepatan pencapaian kualifikasi akademik pendidik. Lebih rinci tulisan ini bertujuan: (1) mengembangkan model konseptual hubungan kemitraan daerah - LPTK; dan (2) mengemukakan pedoman mengenai peran dan fungsi sejumlah pihak terkait selaras dengan pengembangan model. C. Dasar Pengembangan Model Kemitraan 1. Kondisi Kualifikasi Pendidik
3
Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kualitas guru, dengan mewajibkan guru memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik dimaksud mensyaratkan guru harus memiliki latarbelakang pendidikan tinggi setingkat program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV). Dalam kenyataannya,
masih banyak guru yang belum
memenuhi kualifikasi tersebut. Bahkan, jumlah guru yang harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya demikian besar (lihat tabel 1).
Tabel : Jumlah Guru Setiap Satuan Pendidikan Negeri dan Swasta Menurut Kualifikasi Pendidikan Tahun 2007/2008 Satuan Pendidika
Kualifikasi
D2
D3
D4/S-I
S2/S3
TK
90.57
5.55
0
3.88
0
3.88
137.069
SD
49.33 40.10
2.17
8.30
0.50
8.80
1.189.04
n
Layak
Jumlah
1 SMP
11.23
21.3
25.10
41.83
0.54
42.37
520.351
SM
2.06
1.86
26.37
69.39
0.33
69.72
452.255
SLB
47.58
0
5.62
46.35
0.45
46.80
8.304
Sumber: Statistik Persekolahan, 2007/2008, PSP Balitbang Depdiknas
Dari tabel tampak, di satuan pendidikan TK mencatat ada sebanyak 137.069 guru tersebar di seluruh Indonesia, tetapi hanya sekitar 5 ribu orang yang telah memiliki latar belakang pendidikan S-1/D-IV. Di tingkat Sekolah Dasar dari jumlah 1.189.041 hanya sekitar 10 ribu orang yang telah memiliki latar belakang pendidikan S-1/D-IV. Di tingkat SMP dari jumlah sekitar 520 ribu orang, lebih dari separuh belum memiliki latar belakang pendidikan S-1/D-IV. Di SMA, meski separuh dari jumlah guru yang ada telah memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi tercatat lebih dari 30,0 persen yang belum memenuhi kualifikasi tersebut. Bahkan di 4
sejumlah tempat, untuk memenuhi guru yang memiliki latar belakang diploma D-III saja masih menghadapi kesulitan tersendiri. 2. Desentralisasi Pendidikan Upaya melakukan perubahan dan peningkatan pembangunan di bidang pendidikan, terutama terkait dengan pencapaian mutu pendidikan, diharapkan dapat diperoleh melalui peralihan dari ciri sentralistik ke desentralistik itu. Reformulasi pengelolaan pendidikan berupaya mengurangi seminimal mungkin peran pemerintah pusat, sebaliknya lebih memperluas peran-peran pihak di daerah dan sekolah. Asumsi di dalamnya, daerah dan sekolahlah yang paling mengetahui kondisi, kebutuhan, dan upaya yang mungkin dilaksanakan guna meningkatkan kualitas hasil segenap aspek pembangunan di sekitarnya, salah satunya pendidikan. Desentralisasi pendidikan memang diharapkan akan lebih mendekatkan ke arah peningkatan mutu hasil pendidikan apabila dapat dikelola secara baik dan terarah. Atas dasar itu, daerah memiliki peran teramat penting pula dalam upaya meningkatkan kualitas guru di wilayahnya yang dapat menjadi entry point peningkatan kualitas hasil pendidikan, khususnya di jenjang pendidikan dasar. Melalui pengertian ini, sewajarnya apabila daerah turut berpartisipasi guna meningkatkan kualifikasi akademik guru-guru di wilayahnya yang belum memenuhi persyaratan S-1/D-IV. Dari jumlah guru yang belum berkualifikasi S-1/D-IV sebagaimana dijelaskan di atas, terbesar dimiliki oleh guru di jenjang pendidikan dasar, padahal guru-guru tersebut berperan besar dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan yang benar bagi anak-anak didik agar kelak di jenjang yang lebih tinggi dapat belajar dengan lebih baik. Secara yuridis pemerintah kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi masyarakatnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah secara tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah urusan wajib pemerintah kabupaten/kota. Sebagai sebuah urusan wajib maka aspek yang melingkupi pembangunan pendidikan harus menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Di era otonomi, sesuai dengan pasal 14 5
ayat (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kualifikasi pendidik/guru-guru di wilayahnya. Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk mendorong. bahkan membiayai, guru-guru yang ada di wilayahnya untuk mengikuti pendidikan lanjut agar kualifikasi akademik yang dipersyaratkan dapat dipenuhi. Sebenarnya
sudah
banyak
pemerintah
kabupaten/kota
yang
memfasilitasi
peningkatan kualifikasi akademik guru-gurunya misalnya dengan memberikan beasiswa bagi guru-guru yang mau mengikuti program S-1/D-IV, atau bahkan menugas-belajarkan guru-guru ke LPTK. Persoalannya adalah, jika semua guru ditugasbelajarkan atau harus mengikuti kuliah dengan meninggalkan tugas, maka pelaksanaan pendidikan di sekolah menjadi terganggu. Oleh sebab itu, pemerintah kabupaten/kota semestinya turut berpartisipasi berupaya meningkatkan kualifikasi guru-guru yang menjadi tanggung jawabnya, namun tetap tidak mengganggu pelaksanaan pendidikan di sekolah. 3. Model Dual Mode LPTK Sejalan dengan perkembangan yang terjadi saat ini, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia pendidikan, banyak bermunculan perguruan tinggi yang di samping masih tetap melayani masyarakat untuk mengikuti pendidikan konvensional, juga menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tatap muka dan jarak jauh sekaligus dengan memanfaatkan berbagai teknologi baru untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang beragam seperti ini disebut pendidikan tinggi dengan menerapkan modus ganda (Dual Mode). Menurut Abrioux (2006), lembaga pendidikan dengan Dual Mode adalah lembaga yang sistem pembelajaran dan administratifnya mendukung pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis kampus (campus-based). Keegan (1991) menggunakan istilah mixed institutions untuk lembaga pendidikan biasa yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Dengan kata lain, pendidikan tinggi yang menerapkan pendekatan Dual Mode adalah
6
pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi biasa secara multi kampus. Hal utama yang menyebabkan diterapkannya pendidikan jarak jauh atau multi kampus adalah pentingnya belajar sepanjang hayat, perkembangan ekonomi yang berbasis pengetahuan global, kompetisi yang tergantung pada perbaikan dan perubahan terus-menerus serta tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Keadaan ini menuntut lembaga pendidikan tinggi untuk merespons terhadap tuntutan tersebut dengan menyediakan program-program, kualifikasi, dan cara penyampaian baru. Bates (2000) mengemukakan bahwa sistem pendidikan tinggi perlu merespons tuntutan yang berkenaan dengan asessment kemampuan awal berupa pengakuan hasil belajar sebelumnya (recognition of prior learning), penyampaian pembelajaran secara luwes, tuntutan meningkatkan atau memperbaharui profesionalisme, sertifikasi non-kredit dan resertifikasi serta pengukuran hasil belajar. Faktor lain yang mendorong tumbuhnya pendidikan tinggi Dual Mode adalah perkembangan teknologi informasi yang telah berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Teknologi informasi juga memiliki potensi untuk memperbaiki efektivitas pembelajaran. Akses terhadap sumber belajar melalui internet memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang semula di luar jangkauan untuk memperoleh informasi lebih luas. Teknologi yang dimanfaatkan secara bijaksana dapat memfasilitasi penguasaan pengetahuan tingkat tinggi sesuai dengan karakteristik masyarakat berbasis pengetahuan. Hal ini menunjukkan tekanan ideologis dan ekonomis
pada
sistem
pendidikan
untuk
memanfaatkan
teknologi
dalam
pembelajaran. Pendidikan tinggi yang menawarkan berbagai program pendidikan jarak jauh salah satu di antaranya disebabkan oleh kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan Dual Mode ini, pendidikan tinggi dapat meningkatkan akses masyarakat, dalam hal ini guru, untuk mengikuti percepatan peningkatan kualifikasi akademik ke jenjang S1/D-4.
7
Croft (Tau, 2006) mengidentifikasi empat kondisi yang menjamin keberhasilan implementasi pendidikan jarak jauh yang menerapkan Dual Mode, yaitu: adanya unit administratif dengan beberapa tingkat otoritas, memiliki kerja sama dengan unit yang lain, memiliki staf yang terlatih, dan dana yang memadai. Sehubungan dengan itu, diperlukan pandangan dan pendekatan sistem yang akan mencakup keempat kondisi tersebut. Pelaksanaan pendidikan tinggi Dual Mode menuntut pemahaman sistem (sistem universitas) dan penataan hubungan subsistem termasuk peran masing-masing dalam menginformasikan rancangan sistem pendidikan jarak jauh yang sesuai dengan konteks. Struktur dasar pendidikan tinggi Dual Mode menuntut adanya unit atau bagian yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan penyediaan atau pengembangan program-program pendidikan jarak jauh (Tau, 2006). Fungsi unit atau bagian tersebut memfasilitasi proses pendidikan jarak jauh yang mencakup pengembangan bahan belajar, pendistribusian bahan belajar, tutorial dan konseling, laporan peserta didik, serta penilaian. Banyak universitas di Indonesia dan dunia yang telah memperkenalkan pendidikan jarak jauh untuk berjalan bersama-sama dengan pendidikan konvensional dalam satu lembaga yang memunculkan pendidikan tinggi dengan Dual Mode. University of Wisconsin dan University of Houston di Amerika, University of New England di Australia, Universiti Sains Malaysia di Malaysia, The Universite du Quebec a Montreal (UQAM) dan Thompson Rivers University (TRU) di Kanada, Indira Gandhi National Open University (IGNOU) di India, Ramkhamhaeng University di Thailand, The University of Mindanao On-the Air (UM Air) di Filipina, serta Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Bank Indonesia (IBI) di Indonesia. (Robinson, B. & Latchem, (Ed), 2003). Dari uraian tersebut tampak bahwa karakteristik umum jenis pendidikan tinggi Dual Mode adalah mahasiswa yang mengikuti pendidikan jarak jauh atau multi kampus ini tidak hanya melakukan belajar mandiri tetapi juga ada pertemuan terstruktur di kampus. Kampusnya bisa saja kampus utama (kampus induk) tetapi bisa juga kampus yang sengaja dirancang untuk perkuliahan agar mahasiswa tidak 8
meninggalkan pekerjaannya. Pertemuan tersebut wajib diikuti oleh mahasiswa. Selain itu, bahan belajar yang digunakan dan soal ujian dikembangkan oleh staf pengajar pada lembaga pendidikan itu sendiri. Hak dan kewajiban mahasiswa pendidikan jarak jauh sama dengan hak dan kewajiban mahasiswa pendidikan biasa. Mata kuliah yang harus diambil dan ujian yang harus diikuti, serta ijazah atau sertifikat yang diperoleh mahasiswa pendidikan jarak jauh sama dengan yang diperoleh mahasiswa pendidikan biasa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa pendidikan tinggi Dual Mode memiliki beberapa keunggulan. Pertama, kombinasi antara bahan belajar yang dikembangkan dalam bentuk bahan belajar tercetak dengan kegiatan tatap muka lebih memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh bahan belajar yang up to date. Kedua, dengan adanya pertemuan tatap muka yang terjadwal, dosen dapat mengontrol atau mengawasi penguasaan mahasiswa terhadap materi yang bersifat aplikasi dan keterampilan. D. Pengembangan Model Kemitraan Pemerintah Kabupaten/Kota dan LPTK 1. Konsep Kemitraan Dalam The American Heritage Dictionary (1992), kemitraan (partnership) didefinisikan sebagai: “a relationship between individuals or groups that is characterized by mutual cooperation and responsibility, as for the achievement of a specified goal”. Dalam pengertian ini, kemitraan menunjuk pada adanya hubungan antar individu atau kelompok yang ditandai oleh kerjasama dan tanggung jawab yang saling menguntungkan. Sentanoe Kertonegoro (1998) menjelaskan kemitraan ini sebagai kerjasama saling menguntungkan antar pihak, dengan menempatkan kedua belah pihak dalam posisi sederajat. Dalam mewujudkan kemitraan yang baik terdapat sejumlah prinsip, nilai dan konsep dasar yang harus diperhatikan. Prinsip yang sangat penting dan tidak dapat ditawar-tawar
dalam
menjalin
kemitraan
adalah
saling
percaya
antar
institusi/lembaga yang bermitra. Adapun nilai yang diperlukan adalah karakteristik atau kualitas SDM untuk mencapai visi-misi bersama. Hal ini seringkali berbeda 9
realisasinya dalam setiap organisasi karena tatkala nilai bersama (share values) dapat dirumuskan bersama, dalam praktek masing-masing institusi/lembaga melanggar prinsip-prinsip yang sangat fundamental. Konsep atau ide yang dilaksanakan oleh masing-masing mitra seharusnya didasarkan atas strategi bersama (sharing strategy), visi bersama (shared or joint vision), serta tujuan bersama (common goals) yang menjadi indikator keberhasilan, sehingga masing-masing institusi yang bermitra memiliki tanggung jawab bersama (Lendrum, 2003). Secara diagramatis, konsep dan prinsip kemitraan disajikan di bawah ini. Gambar 1: Partnering and Alliances: Principles, Values, Concepts and Practices Principles: Fairness Trust Faith Integrity Honesty Excellence Concepts Shared vision/ Mission Common goals/ objectives Key performance Indicator
Partnering & Alliances
Values Leadership Customer satisfaction Friendship Cooperation Innovation Safety Teamwork Practices Quality Paradigm shift Profitable growth Making a different
* Sumber: Tony Lendrum (2003:133)
Untuk menciptakan kemitraan yang kuat, Chip R. Bell (1997) menjelaskan sebagai berikut: (1) terpancang dalam sikap kedermawanan, perspektif “pemberi” yang mendapatkan kesenangan dalam memperluas hubungan melampaui sekedar memenuhi kebutuhan atau persyaratan; (2) berlandaskan kepercayaan; (3) dukungan tujuan bersama; (4) persekutuan yang dijalin dengan kejujuran; (5) keseimbangan;
10
dan (6) keindahan, di mana semangat kemitraan merupakan aliran artistik yang memberikan kepada setiap peserta rasa pengenalan dan kesantaian. Pendidikan tinggi bukanlah suatu self-sufficient institution, terlebih lagi dalam dunia yang terbuka. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama dalam bentuk kemitraan agar daya tampung perguruan tinggi dapat ditingkatkan, tanpa mengabaikan mutu dan relevansi lulusan. Dengan kerjasama maka sumber-sumber yang tersedia akan saling melengkapi sehingga terjadi efisiensi dalam pengelolaan pendidikan (Tilaar, 2000). LPTK tidak bisa bekerja sendiri untuk percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru-guru, begitu juga pemerintah kabupaten/kota. Harus ada sinergi antara LPTK dengan pemerintah kabupaten/kota agar percepatan peningkatan kualifikasi guru dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2. Model Kemitraan Pemerintah Kabupaten/Kota - LPTK Berbicara mengenai peran daerah dalam upaya percepatan pencapaian kualifikasi akademik D-4/S1 guru, bukan bermakna mengalihkan fungsi perguruan tinggi (LPTK) ke pemerintah daerah, melainkan hanya terbatas
memfasilitasinya
saja guna kelancaran aktivitas penyelenggaraan perkuliahan. Dalam hal ini, pihak pemerintah daerah berfungsi sebagai mediator dan fasilitator bekerja sama dengan perguruan tinggi LPTK penghasil tenaga kependidikan. Pemerintah kabupaten/kota memang tidak boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi karena penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah kewajiban pemerintah pusat. Pemerintah pusat sudah memberikan izin kepada sejumlah lembaga untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi, termasuk pendidikan bagi tenaga kependidikan. LPTK itulah yang berhak menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan kualifikasi akademik guru agar mencapai jenjang S-1/D-4. Untuk merealisasikan kewajiban pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (f) UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah kabupaten/kota perlu membangun kemitraan dengan LPTK guna memenuhi kualifikasi akademik 11
S-1/D-4 guru di wilayahnya. Untuk memperjelas hubungan kemitraan itu perlu dibentuk Tim Pengembang yang terdiri dari pihak pemerintah daerah setempat dan LTPK, bukan hanya untuk mengatur peran dan fungsi masing-masing tetapi juga tugas yang dijalankan. Model hubungan kemitraan secara sederhana ditampilkan dalam gambar 2.
Gambar 2: Model Kemitraan LPTK-Pemkab/Pemkot
PEMKAB/KOTA
TIM FASILITASI Sosialisasi program Pembiayaan Sarana dan prasarana Pendataan dan Rekrutmen guru Rekruitmen asisten pengajar
LPMP, PT Instansi, konsultan, dll
LPTK TIM PENGEMBANG AKADEMIK
Analisis Kebutuhan perkuliahan Disain silabus Pengembangan bahan ajar Pengembangan sistem dan alat evaluasi Pengembangan alokasi waktu Pembinaan Tim Asistensi
PENJAMINAN MUTU
Dosen (Tenaga Pengajar)
Asistensi P E SE R T A GURU TIDAK LULUS
PELAKSANAAN PERKULIAHAN
EVALUASI
Evaluasi Eksternal
LULUS
GURU Kualifikasi S-1/D-IV
12
Model yang diketengahkan khusus diperuntukkan bagi guru dalam jabatan dalam upaya memenuhi kualifikasi akademiknya. Jadi jelas, bukan diperuntukkan bagi calon mahasiswa baru yang hendak menjadi guru. Model dimaksudkan sebagai upaya terobosan untuk mempercepat pemenuhan peryaratan kualifikasi akademik guru dalam jabatan yang belum menyandang pendidikan S-1/D-IV. Status kemahasiswaan menginduk pada LPTK tertentu yang ditunjuk dan diakui oleh pihak Ditjen Dikti, dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pencapaian kualifikasi akademik tenaga pendidik/guru dalam jabatan tersebut. Model dilaksanakan dalam bentuk perkuliahan tatap muka antara tenaga pengajar dengan mahasiswanya (guru), hanya saja perkuliahan dilakukan oleh sekelompok orang yang terkategori sebagai Tim Asistensi. Terutama Tim Asistensi, diperoleh dari mereka yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota yang telah melalui proses penilaian dan penyeleksian oleh pihak LPTK, memenuhi persyaratan kualifikasi akademik, dan lainnya untuk melaksanakan proses pembelajaran tatap muka tersebut. Tim Asisten ini dapat diperoleh dari instansi pemerintah daerah, masyarakat luas, dan bahkan (mungkin) guru sendiri yang dinilai memiliki persyaratan akademik dan kemampuan untuk memberikan pengajaran kepada mahasiswa (guru). Pada
gambar
tampak
bahwa
LPTK
memiliki
kewajiban
untuk
mengembangkan kurikulum dan perkuliahan termasuk sistem evaluasinya, pembinaan tim asistensi yang dibentuk oleh pihak pemerintah kabupaten/kota, melaksanakan perkuliahan, mengevaluasi perkuliahan serta penjaminan mutu penyelenggaraan
pendidikan.
Di
lain
pihak,
pemerintah
kabupaten/kota
berkewajiban menyiapkan sentra-sentra tempat perkuliahan yang mudah dijangkau guru, pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran sesuai kebutuhan perkuliahan, sosialisasi dan rekrutmen guru calon mahasiswa, serta biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai kesepakatan dengan pihak LPTK. Agar program kemitraan ini memberikan jaminan kualitas, maka unit penjaminan mutu pendidikan yang ada di LPTK perlu diaktifkan. Unit ini 13
berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi untuk menjaga kualitas penyelenggaraan program. Apabila hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan penyelenggaraan, unit penjaminan mutu dapat merekomendasikan untuk pembenahan dan perbaikannya. Tulisan selanjutnya menjabarkan pedoman pelaksanaan dalam upaya aplikasi model dimaksud, yang berisikan uraian mengenai peran dan fungsi dari masing-masing pihak yang terkait dengan penerapan model, yakni Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Tim Fasilitasi), Tim Pengembang Kabupaten/Kota, LPTK dan Penjaminan Mutu. Meski demikian pedoman sengaja disusun bersifat umum agar memiliki tingkat fleksibilitas tinggi sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi.
F. Peran Daerah, Tim Pengembang, dan LPTK 1. Peran Daerah: Tim Fasilitasi Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan komitmen politik dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, di mana daerah lebih diberikan keleluasaan dan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola segenap aspek pembangunan di wilayahnya. Dalam bidang pendidikan, sebagian besar pengelolaan bidang ini beralih menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah melalui prinsip-prinsip devolusi, yakni: (1) pemberian otonomi penuh dan kebebasan tertentu pada pemerintah daerah serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat; dan (2) pemberian kewenangan dan kekuasan yang cukup untuk menggali sumber-sumber
yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsinya.
Devolusi pendidikan ini bermakna terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan pendidikan di pusat dan daerah, kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan, terpisahnya dari supervisi hirarkhi pusat-daerah, dan kewenangan daerah yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen, merupakan peraturan perundang-undangan yang perlu direspons secara aktif pula oleh daerah 14
sesuai dengan pemberian kewenangannya itu. Dalam peraturan perundangan tersebut mengisyaratkan adanya upaya untuk menjadikan guru sebagai pendidik profesional yang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mendidik, mengajar, dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, antara lain berupa tunjangan profesional, dan tunjangan khusus, dan tunjangan kemaslahatan, dan lain-lainnya. Pengertian guru yang profesional itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru adalah: (1) memiliki kualifikasi akademis minimum S-1/DIV, dan (2) memperoleh sertifikat pendidik. Realitanya, masih banyak guru di daerah yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik S-1/D-IV, yang tentu saja juga tidak bisa mengikuti uji sertifikasi yang ditentukan. Mengingat pengelolaan tenaga pendidik/guru telah berada di bawah kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota, maka sekaligus mewajibkan pemerintah daerah setempat untuk turut berupaya meningkatkan kualifikasi akademik tenaga pendidik/guru di wilayahnya. Dalam lingkup model ini, mekanisme kerja peran pemerintah daerah Kabupaten/Kota diwujudkan melalui pembentukan Tim Fasilitasi. Peran pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan model di sini lebih mengarah pada upaya memfasilitasi perwujudan pelaksanaan perkuliahan bagi tenaga pendidik/guru dalam jabatan di wilayahnya bekerjasama dengan LPTK. Tugas Tim Fasilitasi untuk mewujudkan upaya percepatan kualifikasi pendidik yang belum memenuhi syarat pendidikan S-1/D-IV sehubungan dengan model kemitraan di sini, antara lain: (1) penyediaan sarana-prasarana perkuliahan; (2) sosialisasi program percepatan kualifikasi pendidik; (3) pendataan dan rekruitmen guru dalam jabatan; (4) dukungan pembiayaan perkuliahan guru dalam jabatan; (5) identifikasi Asisten Pengajar di sekitar, dan lain-lainnya. 2. Peran Tim Pengembang Model kemitraan daerah dan LTPK dalam upaya percepatan kualifikasi pendidik memenuhi persyaratan S-1/D-IV, memerlukan adanya pembentukan Tim 15
Pengembang di Kabupaten/Kota, yang terdiri dari unsur pemerintah daerah (Dinas Pendidikan), wakil LPTK, dan sejumlah orang pembantu lainnya. Tugas dan tanggung jawab utama dari Tim Pengembang adalah menyelenggarakan perkuliahan di daerah (kabupaten/kota) di tempat-tempat yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Lebih rinci, tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan oleh Tim Pengembang, antara lain: (1) menganalisis kebutuhan perkuliahan; (2) menyelenggarakan perkuliahan; (3) melakukan pembinaan tim asistensi pengajar; (4) mengembangkan bahan ajar dan sylabus pembelajaran; (5) mengatur jadwal waktu perkuliahan Dosen Utama; (6) memberikan pelaporan berkala, dan lain-lainnya. 3. Peran LPTK Pengembangan model di sini bukanlah bermaksud memindahkan fungsi perguruan tinggi ke daerah (dalam hal ini penyelenggaraannya oleh pemerintah daerah), tetapi merupakan upaya terobosan untuk memenuhi amanat perundangundangan bahwa sampai tahun 2015 seluruh pendidik/guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademis yang dipersyaratkan sudah mencapai atau lulus S-1/D-IV. Dalam penerapan model kemitraan, meski perkuliahan diselenggarakan di daerah
(kabupaten/kota),
tetapi
segenap
hal
yang
terkait
dengan
status
kemahasiswaan dan proses pembelajaran berada pada naungan LPTK induk. Daerah hanya sekedar menyelenggarakan perkuliahan, sedangkan segenap hal yang berhubungan dengan proses akademis menjadi tanggung jawab dan wewenang LPTK induk. Disarankan, LPTK mitra yang ditunjuk adalah yang telah memiliki status akreditasi A.
16
Tugas dan fungsi yang diemban oleh LPTK induk dalam kaitan dengan penyelenggaraan perkuliahan bagi tenaga pendidik/guru di daerah, terdiri dari yang bersifat administratif dan akademis. Tugas administratif antara lain meliputi: (1) membuat memorandum kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat; (2) mengidentifikasi dan mendata daerah binaan; (3) mengidentifikasi dan mendata mahasiswa (pendidik/guru) yang menjalani proses perkuliahan, dan mengeluarkan status resmi kemahasiswaan; (4) mengidentifikasi dan mendata Tim Pengembang Kabupaten/Kota; (5) mendata Tim Asistensi Pengajar di daerah binaan; (6) mengestimasi pembeayaan pendidikan; dan lain-lainnya. Dari sudut akademis, tugas dan fungsi LTPK induk yang perlu dijalankan adalah: (1) menetapkan program studi; (2) menentukan dosen utama yang bertugas dan bertanggung jawab membawahi mata kuliah tertentu; (3) menentukan jadwal perkuliahan dosen utama; (4) menyeleksi calon tim asisten pengajar, dan menentukan tim asistensi pengajar yang memenuhi persyaratan; (5) menyiapkan bahan ajar/materi pelajaran; (6) memberikan pembinaan kepada tim asistensi pengajar terhadap bahan ajar/materi pelajaran dan pengembangan sylabus pembelajaran; (7) mengembangkan penjaminan mutu pendidikan; (8) membina hubungan kerjasama dengan pihak LPMP; (9) melaksanakan monitoring secara berkala terhadap penyelenggaraan mrkuliahan di daerah; (10) mengembangkan alat evaluasi; dan lain-lainnya. F. Penjaminan Mutu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 7 ayat 1) menyatakan, bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang 17
memerlukan prinsip-prinsip profesional, yaitu: (i) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (ii) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya; (iii) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; (iv) mematuhi kode etik profesi; (v) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas; (vi) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (vii) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; (viii) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya; dan (ix) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum. Di dalam undang-undang
tersebut mensyaratkan dua kriteria pokok untuk
mengkategorikan guru dan dosen sebagai tenaga profesional, yaitu kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik (profesi). Kualifikasi akademik bagi guru profesional adalah minimal Sarjana (S-1) atau Diploma empat (D-IV) yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, sedangkan kualifikasi akademik dosen pada program Diploma dan sarjana, minimal Magister; dan pada program pascasarjana minimal doktor yang diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai bidang keahlian. Selain kualifikasi akademik, guru/dosen juga dituntut untuk memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Kompetensi guru memang bersifat kompleks dan merupakan satu kesatuan yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai, yang dimiliki seseorang guru yang terkait dengan profesinya dan berkenaan dengan bagianbagian yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tersebut. Oleh karena pentingnya kompetensi guru, maka diterbitkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengatur tentang komptensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional. Pasal yang memuat tentang ini adalah pasal 28 PP No. 19 2005 tentang Sisdiknas menyebutkan Kompetensi terdiri atas 4 komponen yaitu:
18
1. Pedagogik: kemampuan mengelola pembelajaran yaitu memahami peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi
hasil
belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kepribadian: meliputi kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. 3. Profesional: kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan SNP. 4. Sosial: kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru, tenaga kependidikan, orangtua/wali, dan masyarakat. Tantangan yang dihadapi dalam membentuk profesionalisme guru, adalah penjaminan mutu dari LPTK yang dapat mendukung pencapaian standar kompetensi yang dikembangkan di atas. Peningkatan kualifikasi pendidik/guru mencapai persyaratan S-1/D-IV haruslah disertai dengan pengembangan ke empat kompetensi tersebut. Implisit, upaya memenuhi persyaratan akademik pendidik/guru bukan hanya sekedar mencapai gelar S-1/D-IV, tetapi juga hendaknya mampu membentuk profesionalisme guru melalui penguasan kompetensi yang diharapkan. LPTK induk dituntut mampu mengembangkan seperangkat cara-cara untuk memenuhi penguasaan ke empat kompetensi tersebut, sebagai bagian dalam penjaminan mutu lulusannya. Untuk kepentingan ini LPTK induk dapat bekerjasama dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di provinsi sebagai perpanjangan tangan dari instansi terkait di tingkat pusat. Bukan itu semata, dalam menghasilkan lulusan LPTK mitra daerah yang bermutu baik pun perlu dilibatkan pihak eksternal untuk melakukan proses evaluasi akhir. G. Rekomendasi Penerapan model di atas bukanlah bermaksud menggantikan fungsi pendidikan tinggi ke daerah, melainkan merupakan salah satu alternatif pemikiran untuk 19
melakukan percepatan kualifikasi pendidik/guru dalam mencapai latar belakang pendidikan S-1/D-IV sesuai amanat undang-undang. Alternatif solusi
yang
dikemukakan bersifat kasuistis ditujukan bagi pendidik/guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan S-1/D-IV, meski penerapannya dapat berlangsung umum di setiap wilayah kabupaten/kota. Seiring dengan pengajuan model di atas, sejumlah saran dikemukan: 1. Pemerintah pusat (Depdiknas) hendaknya sesegera mungkin mengeluarkan kebijakan dan mensosialisasikan model kemitraan daerah dan LPTK secara meluas, agar dapat diterapkan dan dikembangkan di daerah terkait dengan upaya percepatan kualifikasi akdemik pendidik; 2. Untuk menunjang penerapan model, hendaknya pihak pemerintah dapat mengalokasikan dana pendidikan bagi guru yang menjalankan pendidikannya sesuai dengan kebutuhan yang ada. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN hendaknya memberikan perhatian dan alokasi khusus sesuai kebutuhan pendidikan guru dalam upaya meningkatkan kualifikasi akademiknya; 3. Hendaknya pemerintah daerah dapat memberikan perhatian dan alokasi dana khusus pula dari APBD yang diperuntukkan menunjang peningkatan kualifikasi akademik guru di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA Abrioux, D. (2006). Strategic Issues in Single and Dual-mode Distance Education: The organization blending of two Canadian universities. [Online] Tersedia: http://www.col.org/colweb/webdav/site/myjahiasite/shared/docs06Single DualDE_Canada.pdf. Diakses 8 Juni, 2007 Bates, A.W. (200) Technology, e-Learning and Distance Education London/New York:Routledge-Falmer. Bell, Ch.R. (1997). Customers as Partners, terjemahan. Jakarta: Profesional Books. Burke, J.C. (2003). Trends in Higher Education Performance. Spectrum; The Journal of State Government, 76 (2). Caruana, A., Ramaseshan, B., & Ewing, M.T. (1998). Do Universities That Are More Market Oriented Perform Better?. International Journal of Public Sector Management, 11. 20
Departemen Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Sistem Pendidikan Nasional Sampai Tahun 2025, Jakarta: Depdiknas, 2004. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2003), Higher Education Long Term Strategy 20032010, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Eilbert, K.W. (2003). A Community Health Partnership Model: Using Organizational Theory to Strengthen Collaborative Public Health Practice. A Dissertation Submitted to The School of Public Health and Health Services of the George Washington University [On-line] Tersedia:http://etdgw.wrlc.org/theses/available/etd-11122003.pdf. Diakses 28 Sept. 2007. Keegan, D. (1993). Reintegration of the teaching acts. In D. Keegan (Ed.), Theoretical principles of distance education. London: Routledge. Kleiman, Lawrence S., Human Resource Management: A Tool for Competitive Advantage, Minneapolis: West Publishing Company, 1997 Lendrum, T. (2003). The Strategic Partnering Handbook: The Practitioners’ Guide to Partnerships and Alliances. Australia: The MacGraw-Hill Co. Robinson, B. and Latchem, C. (2003) „Open and distance teacher education: uses and models‟. Dalam Robinson, B. and Latchem, C., Teacher education through open and distance learning. London, RoutledgeFalmer, pp.28-47 . Tau, O. (2006). Structure and Process in Dual-Model Institutions: Implications for Development. [On-line] Tersedia: http://pcf4.dec.uwi.edu/viewpaper. php?id=385. Diakses 28 Desember 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
21