LAPORAN EKSEKUTIF ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN, 2010 A. Latar Belakang Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 19 Thn. 2007 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional, yang di antaranya terkait dengan pengaturan mengenai standar tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, merupakan dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12, 13, dan 16 Tahun 2007. Diterbitkannya Permendiknas tersebut merupakan upaya untuk menetapkan standar minimum kualifikasi dan kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru. Dengan diterbitkannya ketiga Permendiknas diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam menetapkan standar minimum yang terkait dengan latarbelakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan yang perlu dimiliki oleh Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Setelah berjalan hampir tiga tahun layak dipertanyakan, bagaimana pelaksanaan ketiga Permendiknas tersebut? Sejauhmana peraturan yang telah diberlakukan benarbenar mampu melibatkan partisipasi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru maupun pihak lain yang berkepentingan dengan ketiga pihak tersebut? Pertanyaan ini perlu dijawab, terlebih lagi jika dihadapkan dengan adanya indikasi, bahwa penerapan peraturan terkesan kurang maksimal, dalam arti belum menjadi acuan oleh berbagai pihak untuk mewujudkannya. Dari pengamatan lapangan dihasilkan, bahwa masih tampak adanya kesenjangan antara aturan yang tertuang dalam ketiga Permendiknas dengan kondisi dan situasi lapangan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, diperlukan suatu tindakan pengkajian secara cermat dan mendalam untuk mengetahui dan menilai mekanisme dan efektivitas peraturan . Tegasnya, fenomena kesenjangan antara aturan dengan kondisi faktual, merupakan permasalahan mendasar yang masih perlu diperhatikan, dikaji, dan di evaluasi. Di sisi lain, melalui kajian lapangan dapat dicari dan ditemukan alternatif model yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kerja untuk mengatasi pemenuhan kompetensi, kinerja, ketiga pihak, serta mampu menjadi entry point bagi peningkatan mutu pendidikan. Berkenaan dengan yang disebut terakhir itulah kegiatan dalam bentuk penelitian dan pengembangan ini dilakukan. Kegiatan bermaksud mengetahui posisi kompetensi yang telah dipenuhi oleh Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru, serta mengetengahkan alternatif model yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kerja untuk mengatasi pemenuhan kompetensi, profesional dan kinerja ketiga pihak. B. Tujuan Tujuan yang dicapai dalam kegiatan tahun 2010 adalah: (1) mengetahui posisi kompetensi yang dimiliki oleh Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru;
0
(2) mengemukakan permasalahan dan hambatan yang dihadapi terkait dengan upaya pengembangan diri guna meningkatkan kinerja, kompetensi, dan profesionalisme kerja Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru yang dipersyaratkan; dan (3) mengetengahkan alternatif model untuk mengatasi pemenuhan kompetensi, profesional dan kinerja ketiga pihak. C. Ruang Lingkup Kegiatan kajian ini dibatasi pada satuan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs, dengan pusat perhatian pada standar kompetensi dari Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru dari satuan pendidikan tersebut. D. Metodologi Kegiatan merupakan bentuk kajian penelitian dan pengembangan (research & development. Bentuk penelitian mengacu pada upaya evaluatif penerapan kebijakan, khususnya untuk mengetahui posisi kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru ditinjau dari peraturan yang ada, serta permasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh ketiga pihak dalam memenuhi kompetensinya. Hasil penelitian menjadi dasar untuk mengembangkan alternatif model dalam upaya mendukung pemenuhan kompetensi, profesionalisme, dan kinerja Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru yang harmonis, sinergis, dan saling terkait satu sama lain guna mencapai tujuan sekolah yang lebih baik. Data dan informasi dalam kegiatan penelitian dikumpulkan melalui teknik kuesioner, wawancara, pengumpulan dokumentasi, dan melakukan focuss group discussion (FGD) terkait dengan pengembangan model. Diskusi membahas alternatif model dengan seperangkat pedoman kerja yang telah dikembangkan dalam upaya meningkatkan kompetensi, profesionalisme, dan kinerja. Hasil pembahasan digunakan sebagai dasar melakukan perbaikkan seperlunya. Meski demikian pengembangan model masih bersifat konseptual, dalam arti belum sampai pada tahap pengujicobaannya di lapangan. Kajian dilaksanakan di delapan provinsi, terdiri dari empat provinsi berada di wilayah Indonesia Bagian Barat ( Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), dan empat provinsi lainnya berada di Indonesia Bagian Timur (Bali, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur). Dari masing-masing provinsi ditentukan dua kabupaten/kota sebagai lokasi studi, dengan kriteria satu berada dekat dan satu lainnya relatif jauh dengan pusat ibukota provinsi. Dari setiap kabupaten/kota, diambil masing-masing dua SD/MI dan dua SMP/MTs dengan kriteria mewakili kategori baik/sedang, dan kurang baik. Pemilihan sekolah dlakukan melalui teknik acak (random) dengan kriteria sekolah diperoleh dari Dinas Pendidikan setempat. E. Kajian Teoritis E.1. Standar Kompetensi Kinerja (job performance) merupakan salah satu aspek di dalam organisasi yang telah lama mendapat perhatian pakar manajemen dan perilaku organisasi. Robbins (1997) salah satunya mengemukakan, bahwa keberhasilan dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan sangat ditentukan oleh kinerja. Apabila kinerja itu tinggi maka akan mencapai tujuan organisasi yang memadai, sebaliknya jika rendah maka
1
akan mencapai tujuan yang kurang memadai pula. Secara sederhana kinerja dapat diartikan sebagai suatu tampilan hasil dan perilaku kerja dalam mencapai tujuan organisasi. Berbagai faktor mempengaruhi perwujudan kinerja itu, salah satunya adalah pemilikan kompetensi yang sesuai dan mendukung pelaksanaan tugas/pekerjaannya (Robbins, 1997: Dahl, 2002; Davis, 2003; Coulquit, 2007; Susanto, 2008). Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan. Bertolak dari pendapat tersebut, penyelenggaraan pendidikan di institusi sekolah tidak terlepas dari kinerja berbagai pihak di dalamnya. Keberhasilan atau kekurangberhasilan pencapaian tujuan sekolah ditentukan oleh kinerja yang diwujudkan oleh sejumlah pihak yang terkait, di antaranya Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru. Kinerja itu sendiri kerapkali dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki seseorang. Menyadari akan hal itu, tidak heran apabila kebijakan meningkatkan mutu pendidikan nasional pun memberikan perhatian dan pendekatannya terhadap kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru. Dalam Permendiknas No. 13 Tahun 2007 ditegaskan, Kepala Sekolah dituntut untuk memenuhi 5 (lima) dimensi kompetensi, yakni: kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Dari sisi Pengawas ada enam dimensi kompetensi yang dipersyaratkan dalam Permendiknas No. 12 Thn. 2007 yang harus dimiliki oleh pengawas di setiap jenjang pendidikan, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian pengembangan, dan kompetensi sosial. Dari sisi pendidik/guru, dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007 menetapkan guru untuk memenuhi standar kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. E.2. Kerangka Berpikir Pengambilan suatu kebijakan dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk mengatasi suatu kondisi atau situasi tertentu yang dinilai belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pengambilan kebijakan merupakan pilihan rasional dari sejumlah alternatif, sehingga memerlukan kecermatan dan ketepatannya untuk memilih alternatif yang tepat dalam upaya memecahkan permasalahan dan/atau mencapai tujuannya. Namun tidak jarang pengambilan suatu kebijakan hanya bertumpu pada aspek politis semata, sehingga sering tidak selaras dengan kenyataannya. Nuansa kebijakan seperti itu seringkali mekanismenya tidak memiliki kesesuaian dengan kondisi dan situasi empiris, yang bukan hanya cenderung menciptakan kekurangberhasilan mendekatkan antara yang ideal dan faktual, tetapi juga bahkan menciptakan jarak yang semakin melebar. Oleh karenanya, tindakan evaluatif merupakan cara strategis untuk mengetahui mekanisme kemampuan peraturan guna melibatkan partisipasi pihak-pihak penerimanya (resipien). Melalui tindakan evaluatif dapat memberikan kontribusi dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya agar kebijakan dapat berlangsung efektif. Tindakan evaluatif merupakan suatu langkah untuk mengetahui hal-hal yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi impelementasi kebijakan, oleh karenanya membutuhkan setting yang tepat agar dapat menjalankan fungsinya secara baik, khususnya dalam memberikan 2
kontribusi pemecahan masalah. Antisipatif penentuan masalah dan tujuan yang terarah, penggunaan metode ilmiah yang tepat, serta ketajaman analisis menjadi faktor penting dalam menghasilkan temuan yang akurat untuk digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pembuatan dan pengambilan keputusan selanjutnya. Yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan dalam kajian ini adalah upaya untuk melakukan penilaian terhadap mekanisme penerapan permendiknas mengenai standar minimal kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru. Penilaian dilakukan untuk mengetahui, sejauhmana peraturan yang tertuang dalam permendiknas tersebut benar-benar mampu diterapkan sepenuhnya di lapangan. Melalui tindakan evaluatif berupaya mengetahui mekanisme penerapan peraturan, permasalahan dan hambatan yang dihadapi, serta kesimpulan yang perlu dilaksanakan guna mengatasinya. Dari tindakan evaluatif, kemudian digunakan sebagai bahan untuk mencari dan menemukan alternatif model terkait dengan penerapan kebijakan. Alternatif yang dikemukakan diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mendekatkan antara harapan yang terkandung di dalam peraturan dengan kondisi faktualnya. Hal ini bermakna pentingnya meningkatkan kinerja, kompetensi, dan profesionalisme ketiganya yang selaras dengan standar kompetensi yang tertuang dalam peraturan/kebijakan. Alternatif model yang dikemukakan bersifat dinamis, yang memungkinkan tahap demi tahap ketiga pihak mengembangkan diri, meningkatkan kinerja, serta memenuhi kompetensi dan profesionalisme kerja. Kerangka Berpikir Kajian Studi Analisis Kebijakan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemendiknas, Dinas Pend. Prov, Dinas Pend. Kab/Kota, Kemenag, Kanwil Agama, Kandepag Kab/Kota, PLTK, LPMP, dll
Tindakan Evaluatif UU No. 14 Thn 2005 PP No. 19 Thn 2005 Permendiknas No. 12, 13, dan 16 Tahun 2007
Kualifikasi Akademik Penerapan Kebijakan
Kompetensi
Indikator penilaian
Kondisi dan Situasi Faktual
Tim Pengembang Mutu Sekolah
Penyusunan dan Perumusan Tujuan Sekolah
P e r m a s a l a h a n
Umpan Balik
CPD Kepala Sekolah CPD Pendidik/ Guru
Pembelajaran
& Pengawas
H a m b a t a n
CPD
Deskripsi tugas dan perwujudan peran
3
Umpan Balik/Feedback
Peningkatan Mutu Hasil Pendidikan
F. Hasil Kajian F.1. Posisi Kompetensi Pengembangan instrumen mengacu pada unsur, indikator, dan aspek-aspek yang tertuang dalam Permendiknas No. 12, 13, dan 16 Thn. 2007, khususnya mengenai standar minimal kompetensi. Setelah mengalami uji validitas dan reliabilitas, instrumen berupa kuesioner yang ditujukan terhadap guru terdiri dari 78 butir pertanyaan/pernyataan dengan penentuan skor terendah 78 dan tertinggi 312, dan rata-rata 195,0. Instrumen yang ditujukan kepada Kepala Sekolah terdiri dari 55 butir pertanyaan/pernyataan, dengan jumlah skor terendah 55,0, tertinggi 220, dan rata-rata 137,5. Sedangkan instrumen yang ditujukan kepada Pengawas terdiri dari 56 pertanyaan/pernyataan, dengan jumlah skor jterendah 56,0, tertinggi 230, dan rata-rata 143,0. Jawaban responden ketiga pihak tersebut ditampilkan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1: Statistik Deskriptif Jawaban Responden Kepala Pendidik/Guru Responden N Min Max Pendidik/Guru 279 181.00 272.00 Kepala Sekolah 98 128.00 184.00 Pengawas 89 150.00 198.00
Sekolah, Pengawas, dan Mean 227.84 159.45 174.15
Rerata 195,0 137,5 143,0
Tabel 1 memperlihatkan, bahwa responden Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas yang menjadi obyek kajian ini cenderung memiliki nilai mean di atas nilai rata-rata yang ditentukan. Nilai mean Pendidik/Guru mencatat angka lebih besar dari rata-rata (227,84 > 195,0); Kepala Sekolah mencatat mean lebih besar dari rata-rata (159,45 > 137,5); dan Pengawas mencatat mean lebih besar dari ratarata (174,15 > 143,0). Dari kajian juga dihasilkan, meski pendidik/guru memiliki nilai mean di atas nilai rata-rata tetapi tercatat memiliki nilai tertinggi sebesar 87,18 persen dari keseluruhan aspek kompetensi yang dipersyaratkan; Kepala Sekolah memiliki nilai tertinggi sebesar 83,64 persen dari keseluruhan aspek kompetensi yang dipersyaratkan; dan Pengawas sebesar 84,35 persen dari keseluruhan aspek kompetensi yang dipersyaratkan. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun dari ketiga pihak tersebut yang telah memenuhi keseluruhan aspek yang tertuang dalam standar minimal kompetensi. Dalam kajian ini juga memberikan kategori penilaian untuk mengetahui posisi kompetensi ketiga pihak. Penilaian dan pengkategorisasian yang digunakan sebagai berikut. Pendidik/Guru 1. Jumlah skor responden antara 78,0 - < 136,5 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Tidak Memadai; 2. Jumlah skor responden antara 136,5 - < 195,0 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Sangat Kurang Memadai; 3. Jumlah skor responden antara 195,0 - < 253,5 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Kurang Memadai; 4. Jumlah skor responden antara 253,5 - < 312,0 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Memadai. 4
dalam Posisi dalam Posisi dalam Posisi dalam Posisi
Kepala Sekolah 1. Jumlah skor responden antara 55,0 - < 91,25 dikategorikan ke dalam Pemilikan Kompetensi Tidak Memadai; 2. Jumlah skor responden antara 91,25 - < 132,5 dikategorikan ke dalam Pemilikan Kompetensi Sangat Kurang Memadai; 3. Jumlah skor responden antara 132,25 - < 173,75 dikategorikan ke dalam Pemilikan Kompetensi Kurang Memadai; 4. Jumlah skor responden antara 173,75 - < 220,0 dikategorikan ke dalam Pemilikan Kompetensi Memadai.
Posisi Posisi Posisi Posisi
Pengawas 1. Jumlah skor responden antara 56,0 - < 99,5 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Tidak Memadai; 2. Jumlah skor responden antara 99,5 - < 143,0 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Sangat Kurang Memadai; 3. Jumlah skor responden antara 143,0 - < 186,5 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Kurang Memadai; 4. Jumlah skor responden antara 186,5 - < 230,0 dikategorikan ke Pemilikan Kompetensi Memadai. No. 1. 2. 3. 4.
dalam Posisi dalam Posisi dalam Posisi dalam Posisi
Tabel 2: Posisi Responden Berdasarkan Kategorisasi Penilaian Kategori Posisi Guru Kasek Pengawas Kompetensi f % f % f % Tidak Memadai Sangat Kurang Memadai 23 8,24 12 12,24 Kurang Memadai 197 70,61 69 70,41 60 67,42 Memadai 59 21,15 17 17,35 29 32,58 Jumlah 279 100,00 98 100,00 89 100,00
Dari data dalam tabel 2 memperlihatkan, bahwa hanya sebagian kecil saja (21,15 persen) Pendidik/Guru yang telah memiliki kompetensi terkategori memadai, Kepala Sekolah mencatat sebesar 17,35 persen, dan Pengawas 32,58 persen. Sebaliknya, sebagian besar responden masih tercatat memiliki kompetensi yang kurang memadai dan sangat kurang memadai. Ironisnya, kajian juga menghasilkan bahwa sebagian besar dari ketiga responden tersebut telah memiliki sertifikat pendidik/guru yang diperoleh langsung melalui penilaian portofolio maupun melalui keikutsertaan dalam pelatihan PLPG. F.2. Permasalahan dan Hambatan Kurang memenuhinya standar minimal kompetensi dari ketiga pihak tersebut, bukan tanpa penyebab. Kemampuan mengembangkan diri diprediksi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari kajian ini dihasilkan, bahwa terdapat paling sedikit tiga faktor yang diduga mempengaruhi rendah atau lemahnya kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru, yaitu: (1) budaya kerja, (2) kepemimpinan, dan (3) hubungan kerja.
5
1. Faktor Budaya Dahl (2002) mengemukakan budaya organisasi dapat menjadi sumber kekuatan atau kelemahan dilihat dari sifat adaptif dari budaya organisasi itu sendiri. Suatu organisasi memiliki budaya organisasi dengan sifat adaptif yang kuat apabila sistem nilai yang didukung berorientasi pada prestasi, adanya usaha keras dari setiap anggota organisasi, bersikap antisipatif, responsif, dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan lingkungan, serta kemandirian, kreativitas, dan kemampuan untuk mengambil resiko kegagalan dan kemudian mengambil hikmah daripadanya untuk melaksanakan perbaikkan yang diperlukan. Dalam konteks pembicaraan itulah sekolah-sekolah yang menjadi pusat perhatian di sini cenderung mengindikasikan adaya dukungan budaya kerja yang lemah yang dapat membawa kemajuan atau prestasi sekolah yang lebih baik. Meski hampir keseluruhan sekolah telah menciptakan visi dan misi sekolah yang di dalamnya mengandung seperangkat nilai untuk mencapai kondisi dan situasi yang lebih baik di masa datang, namun kerapkali seperangkat nilai itu hanya merupakan sesuatu yang abstrak, belum dihayati, dipahami, dan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam mewujudkan perilaku pembelajaran. Dengan kata lain, nilai yang terkandung di dalam visi-misi sekolah belum cukup mampu melibatkan partisipasi berbagai pihak di sekolah. Tuntutan lingkungan di sekitar terhadap perbaikan prestasi sekolah belum mampu diantisipasi dan direspons secara baik. Tuntutan agar sekolah lebih mampu meningkatkan mutu pendidikan yang dihasilkan, sebagai wahana pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi, belum lagi menjadi acuan oleh berbagai pihak di sekolah untuk merealisasikannya. Guru masih kurang memperlihatkan perilaku pembelajaran dan pengembangan diri untuk melakukan perubahan dan perbaikkan, tersirat dari pelaksanaan pola pembelajaran yang cenderung pasif, monoton, kurang variatif, dan kreatif, dan lain sejenisnya. Lingkungan budaya kerja yang rendah/lemah yang dicerminkan dengan sikap dan perilaku kurang berorientasi pada visi masa depan; kurang berorietasi pada prestasi dan berupaya mewujudkannya; kurang menunjukkan upaya kerja keras, aktif, kreatif, dan dinamis; terjebak ke dalam pola kerja rutin yang dianggap memberikan rasa aman dan nyaman; dan lain sejenisnya merupakan faktor yang masih dicerminkan oleh sekolah obyek kajian ini. 2. Faktor Kepemimpinan Faktor lain yang turut andil dalam menciptakan budaya sekolah yang rendah/lemah adalah kepemimpinan Kepala Sekolah. Sebagian besar Kepala Sekolah yang dikaji masih minim dukungan terhadap visi masa depan yang jelas, tidak/kurang memiliki prioritas terhadap perubahan di sekolahnya. Ketiadaan visi Kepala Sekolah memunculkan kecenderungan lemahnya orientasi untuk mencapai prestasi dan kemajuan sekolah yang lebih baik. Tuntutan lingkungan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah kurang diantisipatif dan direspons secara baik, sehingga kurang mampu pula memotivasi warga sekolah untuk berupaya mencapai tujuan tersebut. Banyak Kepala Sekolah belum memperlihatkan kemampuan sebagai agen perubahan. Upaya perubahan lebih dinilai sebagai bentuk
6
resiko yang dapat mengancam jabatan apabila mengalami kekurangberhasilannya, sehingga Kepala Sekolah cenderung terjebak ke dalam pola pengelolaan institusi pendidikan yang stagnan, bergelut dengan rutinitas, dan memberikan rasa aman dan kenyamanan diri. Keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru guna mencapai perubahan dan perbaikkan sekolah, masih jarang diwujudkan, dan lebih dianggap beresiko terhadap kedudukannya. Dengan kata lain, tuntuan perubahan lingkungan sekitar masih belum mampu diantisipasi dan direspons secara baik oleh banyak Kepala Sekolah. Perubahan paradigma organisasi sekolah lama ke arah paradigma yang lebih baik, belum lagi tampak. Dalam sistem pengelolaan sekolah, masih terdapat kecenderungan organisasi dikoordinasi dan dikontrol melalui hirarkhi vertikal-kaku, dengan wewenang keputusan berada di tangan Kepala Sekolah sebagai pimpinan tingkat atas (puncak). Sebagian besar Kepala Sekolah masih bertumpu pada asas kepemimpinan mengontrol atas bawahannya, dan bukan mengontrol dengan bawahannya. Dalam kepemimpinan seperti itu segenap hal cenderung berbau instruksional, berdasarkan keinginan Kepala Sekolah, serta mematikan kemandirian dan kreativitas bawahan, terutama guru. 3. Faktor Hubungan Kerja Fenomena lain yang diperoleh dari kajian ini adalah masih berlangsungnya suatu hubungan kerja yang kurang harmonis, sinergis, dan saling mendukung satu sama lain antara Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru. Dugaan ini bertolak dari asumsi bahwa pada dasarnya sekolah merupakan suatu sistem organisasi sosial yang terdiri atas sub-subsistem atau komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan dan hasil yang efektif dan efisien. Di antara individu dan kelompok di lingkungan sekolah tersebut adalah Kepala Sekolah, Pengawas, dan Guru yang ketiganya memiliki peran masingmasing. Oleh karenanya tidak berlebihan apabila ketiga pihak tersebut dituntut mampu mewujudkan hubungan kerja yang harmonis, sinergis, dan saling mendukung satu sama lain sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Dari kajian dihasilkan, adanya kesan ketiga pihak tersebut yang lebih mencrminkan pelaksanaan tugas/kerja berjalan sendiri-sendiri. Kepala Sekolah belum menjalankan peran optimal dalam pembelajaran, khususnya dalam mewujudkan tindakan yang terkait dengan pemberian visi, arah, dan tujuan sekolah, pelaksanaan supervisi pembelajaran, pemberian bantuan dan bimbingan kepada guru mengenai rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pengembangan materi, penggunaan metode dan media pembelajaran, dan sebagainya. Situasi serupa diperlihatkan oleh Pengawas yang kerapkali sekedar melaksanakan tugas guna memenuhi beban dan administrasi kerja, tanpa disertai dengan upaya untuk mendukung dan meningkatkan kegiatan pembelajaran pihak-pihak yang disupervisi. Guru pun terlena dengan pola kerja yang dijalankan selama ini, cenderung stagnan, pasif, kurang kreatif, dan minim bantuan dan bimbingan dari Kepala Sekolah dan Pengawas untuk mengatasi kelemahan yang dihadapi dalam pembelajaran.
7
F.3. Pengembangan Model Uraian di atas memunculkan pemikiran pentingnya pengembangan model yang mengarahkan perhatian dan analisisnya dari sisi sekolah, khususnya Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru. Model yang diketengahkan berupaya mengembangkan sekolah agar lebih antisipatif, responsif, dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan, serta memacu kemauan dan kemampuan ketiga pihak tersebut untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan.guna meningkatkan kinerja, kompetensi, dan profesonalisme kerja. Upaya perubahan bersifat kontekstual dan dinamis, dalam arti selaras dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh masing-masing sekolah, serta tahap demi tahap mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Sejumlah prinsip digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model, yaitu:
1. Adanya visi dan tujuan masa depan ke arah yang lebih baik yang disepakati bersama; 2. Visi dan tujuan merupakan tantangan yang perlu diupayakan dan diwujudkan bersama; 3. Keberanian mengambil resiko dalam melakukan perubahan, dengan kegagalan dijadikan acuan pengalaman untuk memperbaiki kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang dihadapi; 4. Kepemimpinan yang bertumpu pada asas demokratis, keterbukaan, kesetaraan, dan prinsip mengontrol dengan bukan mengontrol atas; 5. Adanya pola kerja yang melibatkan sejumlah unsur di sekolah, yakni Pendidik/Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas; 6. Mencerminkan kolaborasi dan hubungan pola kerja yang harmonis, sinergis, dan saling terkait satu sama lain, sesuai dengan tugas dan peran yang dimiliki masing-masing; 7. Dukungan berbagai pihak terkait; 8. Berlangsungnya
pembelajaran dan pengembangan diri secara terus-menerus (continuing professional development) untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme, dan kinerja Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/guru sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
8
Bagan: Pengembangan Model Peningkatan Kinerja, Kompetensi, dan Profesionalisme Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru Kemendiknas, Dinas Pend. Prov, Dinas Pend. Kab/Kota, Kemenag, Kanwil Agama, Kandepag Kab/Kota, LPTK, LPMP, dll
Tim Pengembang Mutu Sekolah (TPMS-M)
Penyusunan dan Perumusan Visi dan Tujuan Sekolah
Evaluasi dan Umpan Balik
CPD
Kepala Sekolah CPD
Pembelajaran
Guru
Peningkatan Mutu Hasil Pendidikan
Pengawas CPD Evaluasi dan Umpan Balik
Deskripsi tugas dan perwujudan peran
Pengelolaan kerja: Identifikasi masalah dan kebutuhan Alternatif pemecahan masalah dan kebutuhan Perumusan rencana kerja Pelaksanaan rencana kerja Revisi, Supervisi, dan Evaluasi
Untuk itu di setiap sekolah dapat dibentuk tim/kelompok kerja yang bertugas merumuskan visi dan tujuan pencapaian mutu pendidikan sekolah dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, atau disebut dengan Tim Pengembang Mutu Sekolah/ Madrasah (TPMS-M). Visi dan tujuan sekolah merupakan kesepakatan bersama, yang kemudian dijadikan tantangan bersama pula oleh Pendidik/Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas dengan menjabarkan ke dalam pola kerja sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Dalam penentuan visi, tujuan, tantangan itu mungkin dapat mencakup berbagai hal yang ingin dicapai oleh sekolah, sehingga dinilai terlalu banyak dan sulit dijangkau jika mencakup keseluruhannya. Untuk itu dengan kesepakatan bersama dapat ditentukan prioritas-prioritas pencapaian visi, tujuan, dan tantangan untuk jangka pendek dan menengah, misalnya membatasi pada upaya peningkatan hasil pendidikan untuk mata pelajaran matematika, IPA, dan IPS. Dengan sendirinya, penentuan prioritas ini memerlukan perhatian ekstra dan kerja keras segenap pihak yang terkait untuk mengatasinya secara bersama. Terutama Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru,
9
dalam upaya mengatasi tantangan itulah diperlukan suatu pembelajaran dan pengembangan diri bersama yang didasarkan atas asas demokratisasi, keterbukaan, kepercayaan terhadap data dan informasi, kesetaraan, dan hubugan kerja yang harmonis dan sinergis. G. Kesimpulan dan Tindak Lanjut Kajian ini menghasilkan masih rendah/lemahnya kompetensi yang dimiliki oleh Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru seperti yang dipersyaratkan dalam peraturan. Upaya untuk meningkatkan kompetensi ketiga pihak pun masih perlu dicari dan ditemukan, salah satunya memandang dari sisi sekolah itu sendiri. Hal mendasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan adalah, bagaimana Kepala Sekolah, Pengawas, dan Pendidik/Guru mampu mewujudkan kemauan dan kemampuan untuk melakukan pembelajaran dan pengembangan diri secara berkelanjutan, dengan disesuaikan kondisi, situasi, dan kebutuhan yag dihadapi. Selanjutnya, kajian ini mengetengahkan satu alternatif model yang berupaya menjawab tantangan tersebut. Namun, model yang dikemukakan masih bersifat konseptual, belum mengalami pengujicobaannya untuk memperoleh perbaikan dan pemantapannya. Di samping itu, dalam laporan eksektutif ini pun belum menyertakan pedoman kerja selaras dengan pengembangan model, dikarenakan tempat yang terbatas. Diharapkan, model dan pedoman kerja yang dikembangkan di sini dapat diujicobakan pada tahap berikutnya. Referensi Anderson, Terry D., Transforming Leadership, New York Washington D.C: St. Lucie Press, 1998. Brookover, et al, School Social Systems and Student Achievement Schools Can Make a Difference, New York: Praeger Publishing, 1979. Blake, Robert, R., Jane S. Mouton, The Managerial Grid, Houston, Texas: Gulf Publishing Co., 1964. Cushway, B.,D. Lodge, Perilaku dan Desain Organisasi, Jakarta: Alex Media Komputindo, 1993 Dahl, Robert L., Manajemen, Jakarta: Gramedia, 2002. Davis, Keith, Human Behavior at Work Organization Behavior, New York: McGraw Hill Book Co., 1981. Dawam, Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: INSPEAL, 2006 Delors, Jacques, et al, Pendidikan untuk Abad XXI: Pokok Persoalan dan Harapan, UNESCO Publishing, 1998. Departemen Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Sistem Pendidikan Nasional Sampai Tahun 2025. Effendi, Sofian et al (eds), Membangun Martabat Manusia, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1993. Faerman, Sue, Learning Organizations, New York: McGraw-Hill, 1996. Foster, George, M., Tradisional Society and Technology Changes, Mc Graw-Hill, 1983.
10
Fiol, C. M. & A.L. Marjorie, Organizational Learning, Academy of Management Review, Oktober, 1985. Fiedler, Fred, E., A Theory of Leadership Effectiveness, New York: Mc Graw- Hill Book Company, 1967. Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Jakarta: Gramedia, 2003 Hersey, Paul, Blanchart, Kenneth H., Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2000. House, Robert L., & J. Terence R. Mitchel, “Path-Goal Theory of Leadership”, Journal of Contemporary, Autumn, 1974. hhtp:\
[email protected] http://www.geocities.com/syahyuti/Partisipasi.pdf Yunus, Firdaus, M., Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. Yukl, Gary, Leadership in Organization, New jersey; Prentice Hill, 2006. Karabel, J., A.H. Halsey, eds., Power and Ideology in Education, New York Oxford University Press, 1977. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Gramedia, 1983. Kotter, John P., The Leadership Factor, New York: Free Press. Likert, R., The Human Organizational: Its Management and Value, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1967. Leithwood, dkk., Transformational Leadership: How Principle Can Help Reform School Cultures, School Effectiveness and School Improvement, I (4), 1999. Luthans, F., Organizational Behavior, New York: McGraw-Hill, Inc., 1995. Marquardt, M.J., Building the Learning Organization, New York: McGraw-Hill, 1996. Mc Ginn, N., T. Welsh, Desentralisasi Pendidikan, Jakarta: Logos, 2003. Mortimore, P., et al, School Matters: The Junior Years, Somerset: Open Books, 1998. Myrdal, Gunnar, Against the Stream, New York: The Mac Millan Press, 1973. Nanus, Burt, Kepemimpinan Visioner, Jakarta: Prenhallindo, 2001. Pedler, M., Burgoyne, J. and Boydell, T., The Learning Company. A strategy for sustainable development, London: McGraw-Hill, 1996. Permendiknas No. 12 Tahun 2007 Tentang Standar Minimal Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Pengawas. Permendiknas No. 13 Tahun 2007 Tentang Standar Minimal Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Kepala Sekolah. Permendiknas No. 16 Tahun 2007 Tentang Standar Minimal Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Pendidik/Guru. PISA, Technical Report: Program for International Student Assessment, Jakarta: Organization for Economic Co-operation and Development, 2003. Pusat Statistika, Statistika Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2006.
11
Reddin, W.J., Managerial Effectiveness, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1970 Scheerens, Jaap, Menjadikan Sekolah Efektif, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Senge, Peter M., The Fifth Discipline: The Art and Practice of Learning Organization, NewYork: Doubleday, 1990. Scott, W.G., Human Relation in Management, in Organization and Management Theory and Practice, Washington: The American University Press, 1962. Simatupang, B.M., Iso Seri 14000 dalam Fokus Organisasi Belajar, Manajemen & Usahawan Indonesia, Organisasi Belajar (Learning Organization), No. 11/Th.XXIV, 1995. Terry, G.R., The Principles of Management, Homewood Illinois: Richard Irwin, 1960. Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. , Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Watkins, K. and Marsick, V. (eds.), Sculpting the Learning Organization. Lessons in the art and science of systematic change, San Fransisco: Jossey-Bass, 1993.
12