SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF KEMITRAAN Proses demokrasi melalui pemilihan kepala daerah secara serentak yang dilaksanakan pada akhir 2006 yang lalu, telah menjadi pusat perhatian dalam dan luar negeri. Pemilihan tersebut menjadi salah satu event penting dalam sejarah damai di Aceh, pasca kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. Ada banyak prediksi tentang proses dan hasil pemilihan itu oleh banyak pihak. Meski diwarnai sejumlah masalah sengketa maupun pelanggaran, kita bersyukur pilkada Aceh telah berjalan sukses. Rakyat Aceh kini menanti dan melihat kiprah para pemimpin pilihannya. Ada banyak pihak terlibat dalam proses Pilkada Aceh yang sukses itu. Pertama-tama perlu disebut peran besar rakyat Aceh yang telah menggunakan haknya secara damai dan bebas scrta peserta pemilihan dan partai-partai pendukungnya. Selanjutnya peran besar telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi maupun kabupaten/ Kota sampai struktur pemerintahan terendah, pelaksana pemilihan yaitu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Provinsi dan kabupaten/ Kota serta seluruh jajarannya yang telah melaksanakan proses persiapan dan pemilihan dengan baik. Pemilihan tanpa adanya pengawasan yang balk, tentu akan sangat diwarnai oleh berbagai pelanggaran atau penyimpangan. Oleh sebab itu, keterlibatan Panitia Pengawas Pemilihan juga penting untuk disebut. Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan Pilkada Aceh itu, Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan) ikut pula terlibat secara aktif mendukung pengawasan, penegakan hukum dan keamanan selama proses pemilihan. Dukungan itu diberikan kepada Polda Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh melalui berbagai kegiatan, antara lain peningkatan kapasitas, sosialisasi, Pokja Pilkada Aceh, serta penyediaan buku panduan.Melalui kegiatan yang dilakukan, Kemitraan telah ikut mendorong meningkatnya kerjasama antar lembaga yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah di Aceh serta meningkatkan pemahaman tentang mandat yang diembannya. Buku ini mendokumentasi berbagai kegiatan yang didukung oleh Kemitraan sebelum dan selama proses pemilihan kepala daerah di Acch. Penulis buku ini berasal dari Staf Kemitraan yang terlibat dalam dukungan untuk Pilkada Aceh, Ketua KIP, Wakil Ketua Panwaslih Aceh, serta Pengamat Pilkada Aceh. Buku ini mencakup kerangka hukum, pelaksanaan, pengawasan, dan pengamanan Pilkada Aceh. Saya menyambut baik atas penerbitan buku ini dan berharap buku ini dapat menjadi pelajaran dalam pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia. Selamat kepada para penulis buku ini, semoga hasil karyanya dapat kita ambil manfaatnya. Direktur Executive
Mohamad Sobary
DAFTAR ISI
Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Bagan Daftar Singkatan
Hal i ii iii iv
Kata Pengantar oleh Direktur Eksekutif Kemitraan Bab 1. Dari Pemilu ke Pilkada Aceh Bab 2. Good Governance Pilkada Aceh Bab 3. Perjalanan Panjang Pilkada Aceh Bab 4. Kerangka Hukum Pilkada Aceh Bab 5. Sistem, Peserta, Penyelenggara dan Pengawas Pilkada Bab 6. Penyelenggaraan Pilkada Bab 7. Menuju Panwaslih Aceh Yang Efektif Bab 8. Tugas dan Wewenang Panwaslih Aceh Bab 10. Pengawasan pada beberapa Tahapan Pilkada Bab 11. Eksistensi Pengawasan oleh Panwaslih Aceh Bab 12. Hubungan Panwaslih dan KIP dalam Pilkada Aceh Bab 13. Evaluasi Pelatihan Panwaslih Aceh Bab 14. Peran Polri dalam Mewujudkan Pilkada Damai Aceh Bab 15. Strategi Polda NAD Menuju Pilkada Damai Bab 16. Catatan Penutup
1 5 8 16 25 33 47 50 55 75 98 104 114 127 135
Daftar Pustaka
138
Lampiran : 1. Kesepahaman KIP Provinsi NAD dan Panwaslih Aceh 2. Rekapitulasi Pelanggaran Pilkada Nad Tahun 2006 3. Penyelesaian Sengketa 4. Ketentuan Pilkada pada UU No. 32 Tahun 2004 5. Ketentuan Pilkada dalam UU No. 11 Tahun 2006 6. Qanun Pilkada Aceh dalam satu naskah
i
DAFTAR TABEL
Tabel Tabel 1 Perbedaan Pilkada Aceh dan Pilkada Lainnya Tabel 2 Penyelenggara Pilkada Tabel 3 Pemantau Asing dalam Pilkada NAD Tabel 4 Pemantau Nasional dan Lokal dalam Pilkada NAD Tabel 5 Jumlah Pemilih DP4 dan DPT Tabel 6 Pasangan Calon Kepala Daerah Tabel 7 Perolehan Suara Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur NAD Tabel 8 Ketentuan Kampanye dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tabel 9 Pelanggaran Kampanye dan Sanksinya dalam Qanun Tabel 10 Perbandingan Tindak Pidana Tahap Pemungutan Suara Tabel 11 Perbandingan Tindak Pidana Tahap Pasca Pemungutan Suara Tabel 12 Daftar Inventarisir Masalah Pilkada
Halaman 34 37 40 41 42 43 45 60 62 71 73 94
ii
DAFTAR BAGAN
Bagan Bagan 1 Lintas Perjalanan Pilkada Aceh Bagan 2 Kerangka Hukum Pilkada Aceh Bagan 3 Sistem Pilkada Aceh Bagan 4 Peserta Pilkada Aceh Bagan 5 Tugas dan Wewenang Panwaslih Bagan 6 Perbedaan Tugas dan Wewenang KIP dan Panwaslih
Halaman 15 18 26 29 53 54
iii
DAFTAR SINGKATAN AJI APBN APBD APBK ANFREL BRR DEPDAGRI DPR DPD DPRA DPRD DPT FGD GAM IAIN IFES IOM IPCOS IRI IUEOM KIP KPU KPUD KIPP KPID KPPS LGSP LSI LSM LPTQ MA MAA MPR MPU MoU NDI NAD PAD PANWASLIH PANWAS PEMDA PEMILU PILKADA PILPRES
Aliansi Jurnalis Independen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Kecamatan Asian Network For Free Elections Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Departemen Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daftar Pemilih Tetap Focus Group Discussion Gerakan Aceh Merdeka Institut Agama Islam Negeri International Foundation for Electoral System International Organization for Migration Institute for Policy and Community Development Studies International Republican Institute European Union Election Observation Mission Komisi Independen Pemilihan Komisi Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum Daerah Komite Independen Pemantauan Pemilu Komisi Penyiaran Independen Daerah Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara Local Government Support Program Lembaga Survey Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an Mahkamah Agung Majelis Adat Aceh Majelis Permusyawaratan Rakyat Majelis Permusyawaratan Ulama Memorandum of Understanding The National Democratic Institute For International Affair Nanggroe Aceh Darussalam Putra Asli Daerah Panitia Pengawas Pemilihan Panitia Pengawas Pemerintah Daerah Pemilihan Umum Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
iv
Pokja POLDA POLRES POLSEK PP PPK PPG PPNS PNS P2P/PPP PWI Rp SDM Trantibum TPS USAID UUPA UUD UU UNDP UNSYIAH WNI WNA
Kelompok Kerja Kepolisian Daerah Kepolisian Resort Kepolisian Sektor Peraturan Pemerintah Panitia Pemilihan Kecamatan Panitia Pemilihan Gampong Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Petugas Pendaftaran Pemilih Persatuan Wartawan Republik Indonesia Rupiah Sumber Daya Manusia Ketenteraman dan ketertiban umum Tempat Pemungutan Suara United State Agency Internatioanl Development Undang-Undang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Dasar Undang-Undang United Nation Development Program Universitas Syahkuala Warga Negara Indonesia Warga Negara Asing
v
BAB 1 DARI PEMILU KE PILKADA ACEH Titi Anggraini
Secara universal pemilu adalah lembaga sekaligus praktek politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) – yang menurut Robert A. Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern.1 Pengertian demokrasi sendiri secara sederhana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur, dan berkala.2 Meskipun fungsi utama dari pemilu sebenarnya bukanlah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dalam pengertian yang langsung dan hakiki, namun pemilu lazimnya dikaitkan dengan fungsi pelaksanaan kedaulatan rakyat.3 Pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan bersama. Pemilu mempunyai fungsi sebagai sarana legitimasi politik. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkan. Menurut Benyamin Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekwensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadis dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.4 Pada tingkat tertentu, pemilu tampaknya bisa dianggap sebagai salah satu bentuk perwujudan penggelaran proyek hegemoni oleh negara. Dengan telah melaksanakan pemilu maka pemerintah telah mengakomodasi tuntutan partisipasi dari warganegara sehingga secara langsung dapat memperkuat landasan konstitusional dan legalitas baginya.5 Pemilu merupakan sebuah ruang di mana tawar-menawar politik antara negara dan elit penguasa di satu pihak, dan masyarakat dan pengelompokan di dalamnya di pihak lain, terjadi. Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun 1
Syamsuddin Harris, ed., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), Hal. 7. 2 Samuel P. Huntington, sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Harris, ibid. 3 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 84. 4 Syamsuddin Harris., op.cit. 5 Ibid., hal. 51. 1
sekali. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.6 Sebagai implementasi ketentuan tersebut, pada tahun 2004 Indonesia telah berhasil menyelenggarakan serangkaian pemilu yang terbesar dengan waktu dan sistem pemilihan terlama dan terumit di dunia. Pada 5 April 2004, 5 Juli 2004, dan 20 September 2004 bangsa Indonesia secara berturutturut telah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum anggota DPR, DPRD, dan DPD (pemilu legislatif), pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pemilu presiden) putaran pertama, dan pemilu presiden putaran kedua. Pemilu legislatif telah berhasil memilih 550 anggota DPR periode 2004 – 2009 dari 69 daerah pemilihan yang terdistribusi kepada 16 partai politik dari 24 partai politik peserta pemilu.7 Sedangkan pemilu presiden melalui dua putaran penyelenggaraan telah menghantarkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia masa bakti 2004 – 2009. Serangkaian pemilu yang diselenggarakan pada kurun 2004 tidak hanya mendapatkan legitimasi dari rakyat Indonesia, namun juga mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari dunia internasional. Berbagai lembaga pemantau pemilu asing pun memberikan penilaian positif terhadap proses dan hasil penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden di Indonesia.8 Pemilu 2004 dianggap sebagai salah satu pemilu paling demokratis yang pernah diselenggarakan Indonesia selain pemilu pertama tahun 1955 dan pemilu tahun 1999. Selain itu pemilu legislatif pada 5 april 2004 merupakan pemilu terbesar di dunia dan paling rumit yang pernah diselenggarakan dalam satu hari.9
6
Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut untuk perolehan suara dan kursi DPR partai politik lihat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44/SK/KPU/2004 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota jo Keputusan KPU Nomor 80/SK/KPU/2004 serta salinan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 009/PHPU.C1II/2004 tanggal 15 Juni 2004. Lihat juga “KPU Menetapkan 550 Nama Anggota DPR RI dan 128 Nama Anggota DPD Terpilih Periode 2004 – 2009,” www.kpu.go.id (Selasa, 3 Agustus 2004). 8 Beberapa lembaga swadaya masyarakat internasional bahkan menutup programnya di Indonesia karena menganggap bahwa Indonesia melalui pelaksanaan pemilu 2004 yang luber dan jurdil telah berhasil membuktikan dirinya sebagai negara yang demokratis, sehingga pendampingan melalui pelaksanaan program-program demokratisasi di Indonesia bukan lagi menjadi prioritas bagi lembaganya. Hal ini misalnya dilakukan oleh International Foundation for Election System (IFES) yang per 30 Maret 2005 mengakhiri program besarnya di Indonesia, dan hanya membuka kantor penghubung saja untuk merampungkan program-program yang belum selesai. 9 Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa di Indonesia 2004, Laporan Akhir (Jakarta: Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa di Indonesia 2004, 2004), hal 7. 7
2
Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa di Indonesia 2004 melalui pernyataan awalnya menyatakan bahwa pemilu legislatif 5 April 2004 telah berlangsung damai dan demokratis meskipun terdapat kelemahan-kelemahan administratif. Pemilu presiden putaran pertama pada 5 Juli 2005 digambarkan sebagai pemilihan umum yang damai dan bersejarah namun ditandai masalah teknis yang serius. Sedangkan pemilu presiden putaran kedua 20 September 2004 ditempatkan sebagai tonggak penting untuk memperkuat transisi demokratis.10 Selain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2004 lalu, sepanjang 2005 bangsa Indonesia juga menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di berbagai provinsi dan kabupaten/kota yang tersebar di Indonesia. Pemilihan daerah secara langsung ini merupakan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”11 Pemilihan kepala daerah secara langsung atau lazim disebut pilkada, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang dasar, namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pilkada seakan menjadi rangkaian lanjutan pesta demokrasi yang diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.12 Buku ini membahas mengenai Pelaksanaan Pilkada di Aceh, dengan titik berat pada aspek pengawasan dan penegakan hukumnya, serta pengamanan yang terutama dilakukan oleh Polda Nanggroe Aceh Darussalam. Ada tiga kelompok materi yang dibahas dalam buku ini, yaitu Pelaksanaan Pilkada Aceh, Pengawasan Pilkada Aceh, dan Mewujudkan Pilkada Damai. Di bagian pertama diberikan gambaran mengenai sejarah Pilkada di Aceh, Kerangka Hukum, Sistem Pemilihan, hingga penyelenggaraannya. Bagian berikutnya memaparkan pengawasan
10
Ibid., Lampiran XV, XVI, dan XVI. Terdapat beberapa penafsiran berbeda tentang ketentuan “dipilih secara demokratis,” ada yang berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak harus dimaknai sebagai harus dipilih melalui pemilihan oleh rakyat secara langsung, karena pemilihan secara demokratis juga bisa dilaksanakan dalam pemilihan internal oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Dalam penafsiran ini, maka yang harus tersedia adalah adanya jaminan bahwa ada sistem dan mekanisme pemilihan oleh DPRD yang demokratis, transparan dan akuntabel. 12 Shinta Shinaga, “7 Provinsi & 175 Kabupaten/Kota Sudah Tetapkan Jadwal Pilkada” <www.detik.com>, 1 Juni 2005. 11
3
Pilkada serta evaluasinya. Sementara bagian terakhir membahas upaya mewujudkan Pilkada Damai serta peranan Polda NAD dalam pelaksanaan Pilkada tersebut. Hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan dukungan Kemitraan bagi pelaksanaan Pilkada damai di Aceh yang diharapkan dapat mendorong terciptanya good governance bagi pemerintahan Aceh di masa mendatang. Buku ini tidak hanya memaparkan gagasan dan kerangka hukum, tetapi juga memaparkan data-data pelaksanaan dan pengawasan serta masalah hukum yang terjadi selama pelaksanaan Pilkada di Aceh.
Sebagian dari buku ini merupakan bahan dari Modul Pelatihan untuk
Panwaslih Aceh serta hasil evaluasi pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum dalam Pilkada tersebesar itu. Meski demikian materi buku ini juga sangat penting bagi berbagai pihak yang mencermati proses demokrasi melalui pilkada, dengan harapan pengalaman Pilkada Aceh yang sukses itu dapat diambil pelajaran di pilkada-pilkada lainnya.
4
BAB 2 GOOD GOVERNANCE PILKADA ACEH Fahmi Wibawa
Berbeda dengan Pilkada daerah lain yang dilaksanakan oleh KPUD, pelaksanaan Pilkada Aceh dikelola oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, sementara pengawasan dilakukan oleh Panitia Pengawas Pilkada Aceh (Panwaslih Aceh). Dari kacamata payung regulasi, Pilkada NAD dilengkapi dengan kerangka hukum yang komplit seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun No. 2 Tahun 2003 yang kemudian diubah dengan Qanun No. 7 Tahun 2006. Tulisan ini akan menyorot Pilkada Aceh dari kacamata Good Governance.
A. Tata Kelola Pilkada Aceh Secara umum, tata kelola (governance) Pilkada menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan Pilkada yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan, ketersediaan lembaga pengawas yang independen serta pendanaan dan peraturan pelaksanaan pemilihan langsung. Agar terlaksana sebagaimana yang diharapkan, Pilkada Aceh semestinya dikelola dengan baik (Good Governance). Good Governance Pilkada artinya Pilkada yang dilaksanakan secara demokratik, dengan memberi peluang bagi para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pilkada harus bebas dari segala bentuk intervensi penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan perhitungan suara. Rekayasa dan manipulasi dalam praktek pemilihan kepala daerah pada masa lampau harus jauh-jauh disingkirkan karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan cita-cita reformasi. Untuk Aceh, Pilkada memiliki peran yang sangat stretegis. Disamping sebagai upaya penciptaan masyarakat Aceh yang damai, sejahtera dan adil, juga dalam perspektif nasional Pilkada Aceh mampu “memecahkan rekor” Pilkada terbesar di Indonesia karena memilih 20 kepala daerah Sekaligus, yaitu pemilihan gubernur/ wakil gubernur dan pemilihan 19 bupati/ walikota di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Semua pihak baik masyarakat Indonesia maupun dunia internasional sangat mengharapkan suksesnya Pilkada Aceh.
5
Untuk mewujudkan good governance dalam Pilkada Aceh, dibutuhkan berbagai aspek. Pertama, partisipasi aktif dari pemilih agar menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi, yang otomatis akan memiliki derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai prinsip mayoritas akan menghindarkan kontroversi yang terjadi dalam pemilihan. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan pemerintah daerah yang lebih efektif dan efisien karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. Akseptabilitas masyarakat akan besar kalau pelaksanaan pemilihannya sendiri bersifat praktis dan sederhana, dalam arti tidak rumit dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Praktek pemilihan kepala daerah yang elitis dan tidak transparan harus diganti dengan yang lebih sederhana dan transparan berbasiskan partisipasi masyarakat, mulai dari pendaftaran pemilih sampai pelantikan kepala daerah terpilih. Kedua, adanya lembaga pengawas yang independen dan non-partisan mutlak diperlukan untuk mengawasi semua tahapan pemilihan dan penyelesaian sengketa, perselisihan dan pelanggaran atas asas jujur dan adil. Pengawasan Pilkada Aceh sama pentingnya dengan pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Terselenggaranya Pilkada secara teknis, tetapi penuh dengan pelanggaran, akan membuat proses demokrasi itu cacat dan kurang mendapat legitimasi publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan Pilkada di Aceh harus diawasi dengan baik, semua pelanggaran harus diproses dan pelakunya dijatuhi sanksi, dan semua sengketa dapat diselesaikan sesuai ketentuan. Ketiga, pemahaman pemilih harus dioptimalkan, dalam bentuk sosialisasi tentang jadwal, tata cara mencoblos, dan sportivitas menerima hasil Pilkada Aceh perlu digalakkan baik lewat media komunikasi yang akrab dengan pemilih. Keempat, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hendaknya betul-betul terbuka dari semua unsur masyarakat dan partai politik, termasuk kandidat dari kalangan independen yang sesuai dengan harapan rakyat. Selain itu tim kampanye dan juru kampanye para calon hendaknya lebih mendorong penyelenggaraan kampanye yang rasional ketimbang emosional, seperti memperbanyak dialog dan debat antar kandidat dari pada rapat umum menjauhkan diri dari praktek politik uang. 6
Kelima, petugas pelaksana Pilkada Aceh hendaknya betul-betul menjaga netralitas, tidak memihak, dan mengedepankan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Termasuk didalamnya, petugas pengamanan Pilkada Aceh agar dibekali anggaran yang memadai dalam mengamankan penyelenggaraan Pilkada Aceh. Lebih-lebih para penegak hukum yang terkait dengan penyelesaian sengketa Pilkada Aceh hendaknya betul-betul menegakkan hukum dengan tidak pandang bulu. Keenam, yang tidak kalah penting, pembiayaan Pilkada Aceh idealnya memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Anggaran Pilkada hendaknya disediakan secukupnya dalam APBD. Jika APBD terbatas, kiranya diberikan bantuan dari dana APBN serta terbuka pula untuk menerima bantuan dan dukungan dari masyarakat luas termasuk masyarakat dunia internasional.
B. Harapan Bersama Sekali lagi, kita semua, tidak hanya masyarakat Aceh, namun juga dunia internasional, bersyukur Pilkada Aceh telah berjalan lancar, damai, dan bebas kekerasan. Bagi masyarakat Aceh, terpilihnya Kapala Daerah secara demokratis akan menjadi batu loncatan (milestone) mewujudkan Aceh yang damai, makmur dan sejahtera serta adil. Bagi masyarakat internasional, keberhasilan Pilkada Aceh akan menjamin keberhasilan perdamaian di bumi Aceh, yang akan menjadi best practise penanganan konflik regional yang bisa direplikasi di wilayah atau belahan dunia yang lain. Untuk pemerintah (Pusat), keberhasilan pelaksanaan Pilkada yang serempak dalam satu propinsi (Aceh) akan menjadi praktek terbaik pengelolaan Pilkada yang efektif dan efisien.
7
BAB 3 PERJALANAN PANJANG PILKADA ACEH Titi Anggraini Pelaksanaan Pilkada di Aceh memiliki sejarah yang panjang dan pada beberapa hal berbeda dari daerah lainnya. Bab ini akan melihat bagaimana Pilkada Aceh telah dimulai dibahas dan dipersiapkan sejak lama, beberapa aturan hukum sudah berganti, bahkan beberapa persitiwa penting ikut mempengaruhi.
A. Otonomi Khusus NAD Pada tahun 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal mendasar dari undangundang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal lainnya adalah menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu juga memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.13 Semangat di atas diwujudkan dalam bentuk antara lain adanya pengaturan ulang perimbangan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan otonomi, maka Provinsi NAD juga dapat menentukan lambang daerah, yang di dalamnya termasuk panji kemegahan, yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi NAD, penerapan syariat Islam, dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.14 13
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, LN. No. 114, TLN. No. 4134, Penjelasan Umum. 14 Secara geografis, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di ujung barat pulau Sumatera yang sejak awal sudah didiami secara turun temurun oleh suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Tamieng dan suku lainnya, yang dalam perkembangan selanjutnya dihuni juga oleh berbagai suku pendatang. Wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini terdiri dari 16 (enam belas) kabupaten yaitu kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Simeulu, Aceh Selatan, Aceh Singlil, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Jaya, Nagan Raya dan Aceh Tamiang. Terdapat pula empat kota yaitu Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa, dengan jumlah penduduk 4.073.006 jiwa. Lihat lebih lanjut Badan Pusat Statistik Aceh, “Aceh Dalam Angka” (Badan Pusat Statistik Aceh: Banda Aceh, 2001), hal. 31. 8
Sebagai tindak lanjut atas konsep penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung yang dimandatkan UU No. 18 Tahun 2001, maka melalui Keputusan KIP Provinsi NAD No. 01 Tahun 2005 sebenarnya ditetapkan tanggal 25 Oktober 2005 sebagai hari pemungutan suara yang memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, yang tersebar di 16 kabupaten/kota.15 Jadwal ini merupakan penundaan dari jadwal semula yang diperintahkan undang-undang, yaitu pada bulan Mei 2005 bagi kepala daerah di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam yang masa jabatannya berakhir sampai dengan April 2005.16 Penundaan dilakukan karena terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami yang mengguncang dan meluluhlantakan bumi Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Landasan hukum pilkada Aceh untuk pertama kali tersebut didasarkan pada UU No. 18 Tahun 2001. Undang-Undang No.18 Tahun 2001 ini disahkan pada 9 Agustus 2001, jauh lebih dulu daripada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,17 yaitu pada 15 Oktober 2004, yang merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan pilkada langsung untuk pertama kalinya di seluruh wilayah Indonesia. Tak seperti pada peraturan perundangan lainnya yang harus mengacu pada peraturan yang lahir belakangan (lex posteriori derogat lex priori),18 pilkada di NAD harus mengacu pada ketentuan yang bersifat khusus yaitu UU No. 18 Tahun 2001 (dalam konteks ini berlaku adagium hukum lex specialis derogat lex generalis).19 Pasal 12 ayat (1) UU No.18 Tahun 2001 menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dipilih secara langsung setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan 15
Shinta Sinaga, loc. cit. Pasal 226 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai dengan bulan April 2005, diselenggarakan pemilihan secara langsung sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling lambat pada bulan Mei 2005.” 17 UU No.32 Tahun 2004 ini kemudian diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perpu No.3 Tahun 2005 kemudian ditetapkan DPR menjadi UU No. 8 Tahun 2005. 18 Lex posteriori derogat lex priori dapat diartikan sebagai “more recent law prevails over (abrogates, overrules, trumps) an inconsistent earlier law. One test that is applied in circumstances when (1) both customary and treaty sources of law exist and (2) these two sources cannot be construed consistently.” Lihat
. 19 Ibid., Lex specialis derogat lex generalis didefinisikan sebagai “specific law prevails over (abrogates, overrules, trumps) general law. One test that is applied in circumstances when (1) both customary and treaty sources of law exist and (2) these two sources cannot be construed consistently.” 16
9
adil.” Ketentuan pasal inilah yang pada awalnya melandasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di NAD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 226 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang berbunyi “Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berlaku bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri,”. Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 143 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 143 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam diselenggarakan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2001 jo UU Nomor 32 Tahun 2004.” Sebagai tindak lanjut atas perintah UU No. 18 Tahun 2001, pada 9 Maret 2004, DPRD Provinsi NAD mengesahkan Qanun No.2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun ini pun ditetapkan sebelum lahirnya UU No. 32 Tahun 2004, dan terdapat banyak ketentuan yang berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004 maupun dengan peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005).
B. Qanun Pilkada Aceh Qanun No.2 Tahun 2004 merupakan produk hukum lokal yang sangat “fenomenal”. Dikatakan fenomenal karena untuk pertama kali di Indonesia pasangan calon yang berkompetisi dalam proses pemilihan dimungkinkan berasal dari calon perseorangan non partai politik. Pasal 33 ayat (1) Qanun No. 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa untuk dapat dipilih dalam pemilihan setiap orang yang mempunyai hak pilih harus mencalonkan diri bagi calon independen, dicalonkan oleh partai politik, atau dicalonkan oleh koalisi Partai Politik. Ketika proses melahirkan klausul tentang calon independen tersebut sedang berlangsung (kurun April 2002–Maret 2004), memang telah ada referensi dalam peraturan perundangundangan Indonesia tentang partisipasi politik perorangan non-partai untuk dipilih dalam pemilihan umum. Kerangka hukum Indonesia saat itu telah mengenal calon independen nonpartai untuk menjadi kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga 10
baru representasi daerah hasil amandemen keempat UUD 1945, dengan ketentuan setiap kandidat harus mendapatkan dukungan pemilih dalam jumlah tertentu sebagai syarat pencalonan. Ketentuan tersebut diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPD. Sebelum amandemen keempat UUD 1945 dan lahirnya UU No.12 Tahun 2003 telah ada peluang calon-calon independen (dalam artian tanpa kendaraan partai politik) untuk menjadi anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan. Namun, untuk utusan daerah mekanisme pencalonanya pun tetap harus melewati tahap seleksi yang dilakukan oleh DPRD Provinsi, seleksi berarti ada pertarungan dan tarik menarik antar partai politik yang ada di DPRD Provinsi sebelum akhirnya berhasil memutuskan siapa yang dipilih untuk menjadi utusan daerahnya di MPR.20 Sedangkan yang betul “murni” non-partai adalah utusan golongan yaitu mereka yang berasal dari organisasi atau badan yang bersifat nasional, mandiri, dan tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak terwakili secara proposional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama, sosial, budaya, ilmuwan, dan badan-badan kolektif lainnya.21 Jadi meski celah bagi partisipasi politik orang-orang “non-partai” telah dibuka melalui utusan daerah dan utusan golongan MPR, namun tetap saja dalam realisasinya ada intervensi kuat partai politik, dan hal inilah yang membedakannya dengan tawaran calon independen yang digagas dalam Qanun No. 2 Tahun 2004. Walaupun, memang tidak tepat melakukan perbandingan antara calon independen yang digagas Qanun No. 2 Tahun 2004 dengan konsep utusan daerah dan utusan golongan MPR karena tidak pada bobot dan dasar pemikiran yang sama serta skup kekuasaannya pun berbeda berbeda. Keluarnya UU No.32 Tahun 2004 dan paket peraturan pelaksanaannya yang juga mengatur tentang pilkada di Provinsi NAD menyebabkan harus dilakukan perubahan terhadap Qanun No. 2 Tahun 2004. hal ini disebabkan karena UU No.32 Tahun 2004 menetapkan ketentuan yang berbeda dengan Qanun No. 2 Tahun 2004. Dalam hal ini 20
Utusan Daerah adalah tokoh masyarakat yang dianggap dapat membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerahnya, yang mengetahui dan mempunyai wawasan serta tinjauan yang menyeluruh mengenai persoalan negara pada umumnya, dan yang dipilih oleh DPRD I dalam Rapat Paripurna untuk menjadi anggota MPR mewakili daerahnya (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999). Lebih lanjut tentang pencalonan utusan daerah untuk MPR lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. 21
Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU No. 4, LN No. 24 Tahun 1999, TLN No. 3811, ps. 1 angka 5. 11
perubahan perlu dilakukan karena berlaku ketentuan lex superiori derogat lex inferiori, yaitu ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah, atau dalam hal ini ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengesampingkan ketentuan yang terdapat dalam Qanun No. 2 Tahun 2004.22 Amandemen terhadap Qanun No. 2 Tahun 2004 tersebut pada 25 Juli 2005 resmi diundangkan menjadi Qanun No. 3 Tahun 2005. Proses perubahan Qanun No. 2 Tahun 2004 ini melalui proses panjang yang menuai berbagai perdebatan “sengit” di antara stake holders pilkada yang ada di Aceh, bahkan publik pun diajak ikut berpolemik menyangkut pasal-pasal yang ada dalam perubahan Qanun No. 2 Tahun 2004 tersebut.
C. Nota Kesepahaman Namun, belum juga pilkada Aceh yang pertama kali berhasil diselenggarakan sesuai jadwal yang ditetapkan 25 Oktober 2005, pada 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengesahkan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, melalui penandatangan suatu Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di Helsinki, Finlandia. MoU tersebut mengikat kedua belah pihak dan mengandung berbagai komitmen tentang penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi, pengaturan keamanan, pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan mekanisme penyelesaian perselisihan. Khusus mengenai persoalan partisipasi politik, klausul 1.2.3 MoU menyebutkan bahwa “Pemilihan lokal yang bebas dan adil diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.”23 Klausul 1.2.3 MoU Helsinki tersebut secara eksplisit kembali mengubah perencanaan pelaksanaan pilkada di Aceh, mau tidak mau penyelenggara pilkada Aceh, 22
Penerapan asas ini juga masih diperdebatkan karena meskipun kedudukan Qanun lebih rendah daripada UU dan PP, namun karena Qanun tersebut terbentuk sebagai mandat langsung dari UU No. 18 Tahun 2001, maka ia harus dinilai sebagai satu paket dengan UU No. 18 Tahun 2001, pengesampingan terhadap Qanun dianggap juga sebagai pengesampingan terhadap UU No. 18 Tahun 2001. Hasil diskusi penulis dengan Dr. Husni Jalil, pakar hukum tata negara Universitas Syiah Kuala. 23 Tentang pembentukan undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh diatur dalam Klausul 1.1.1 MoU Helsinki yang berbunyi “Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. 12
sebagai bagian dari perangkat Pemerintah RI untuk melaksanakan komitmen isi kesepakatan MoU, harus kembali menunda pelaksanaan pemilu ke bulan April 2006 di bawah aturan main undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh yang menggantikan eksistensi UU No. 18 Tahun 2001. Namun dalam perjalanannya jadwal inipun tidak bisa terealisasi karena pembahasan Rancangan UU Pemerintahan Aceh yang semestinya selesai setidaknya 120 hari sebelum hari H pilkada di bulan April 2006,24 pembahasannya menjadi berlarut-larut dan melampaui tenggat waktu April 2006. Bulan April 2006 saja, RUU PA ini masih dalam proses pembahasan di tingkat Pansus DPR RI. Dimasukkannya persoalan pilkada di dalam MoU menunjukan bahwa pilkada memiliki eksistensi penting dalam proses penyelesaian konflik yang selama ini terjadi di Aceh. Terkait dengan penyelesaian konflik vertikal dan horisontal di Nanggroe Aceh Darussalam, dalam pandangan Indra J. Piliang, pemilihan langsung menjadi relevan dan bisa menjadi jalan keluar dalam rangka demokrasi damai (peace democracy). Pemilihan langsung untuk Nanggroe Aceh Darussalam akan menjadi barometer dari variasi model demokrasi yang diterapkan di Indonesia guna menyeimbangkan kepentingan pemerintah pusat dengan pemda di satu sisi, sekaligus memberi peluang bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai kekuatan politik di Nanggroe Aceh Darussalam, sembari melaksanakan butir-butir kesepakatan lain, antara lain pembentukan zona damai, peletakan senjata, dan menumbuhkan kembali kesejahteraan di Nanggroe Aceh Darussalam. Esensi desentralisasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di tingkat provinsi memungkinkan model politik lokal yang berbeda dengan desentralisasi yang terletak di tingkat kabupaten/kota.25 Menindaklanjuti klausul-klausul MOU Helsinki terkait waktu penyelenggaraan pilkada, KIP Provinsi Aceh melalui Keputusan KIP Provinsi NAD No. 12 Tahun 2005 tertanggal 9 Desember 2005 kemudian menetapkan bahwa hari dan tanggal pemungutan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada hari Rabu tanggal 26 April 2006. Dengan ditetapkan keputusan ini, keputusan KIP Provinsi NAD No. 01 Tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku lagi. 24
120 hari adalah waktu ideal yang diperlukan Komisi Independen Pemilihan Aceh untuk melakukan segala persiapan penyelenggaraan pilkada Aceh sebelum menggelar hari H pemungutan suara, lihat presentasi Ketua KIP Aceh dalam Diskusi tentang Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pilkada Aceh, Hotel Atlet Century Park, 28 Februari 2006. 25 Indra J. Piliang, “Aceh dan Demokrasi Damai,” Kompas (25 Februari 2003). 13
D. Undang-Undang Pemerintahan Aceh Pada tanggal 1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan RUU PA menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan berlakunya UU No.11 Tahun 2006 maka UU No. 18 Tahun 2001 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 menjadi basis hukum baru penyelenggaraan tata pemerintahan Aceh dalam segala bidang. Undang-Undang No.18 Tahun 2001 dianggap dalam pelaksanaannya belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik rakyat Aceh.26 Undang-undang baru ini juga merupakan salah satu realisasi atas mandat yang digariskan MoU Helsinki. Pengesahan undang-undang ini empat bulan lebih lambat daripada tenggat yang ditetapkan MoU, 31 Maret 2006, yang konsekwensinya juga menggeser waktu penyelenggaraan pilkada. Konsekwensi lain dari pengundangan UU No.11 Tahun 2006 adalah penyelarasan aturan main pilkada di tingkat Qanun. KIP Provinsi Aceh waktu itu juga mengambil sikap belum menetapkan hari H pemungutan suara sebelum ada dasar hukum yang jelas di tingkat Qanun yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU No.11 Tahun 2006.
26
Penjelasan Umum atas UU No. 11 Tahun 2006. 14
Bagan 1 Lintas Perjalanan Pilkada Aceh UU No. 18 Tahun 2001
25 Oktober 2005 Kep. KIP NAD No. 01/2005
UU No.32/2004
PP 6/2005
Selambatnya Mei 2005
PP 17/2005
Penandatanganan MOU Helsinki 15 Agustus 2005
26 April 2006 Kep. KIP NAD 12/2005
Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
Pilkada Pertama Aceh 11 Desember 2006 Kep No. 18/2006
15
BAB 4 KERANGKA HUKUM PILKADA ACEH Titi Anggraini Dengan adanya kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka kerangka hukum yang mengaturnya pun terdapat sejumlah perbedaan dengan kerangka hukum Pilkada di daerah lainnya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk Pilkada Aceh adalah sebagai berikut :27 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005; 3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 4. PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; 5. PP No. 17 tentang Perubahan Atas PP No. 6 Tahun 2005; 6. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota; 7. Qanun No.2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. sebagaimana telah diubah dengan Qanun No. 3 Tahun 2005; 8. Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Qanun No. 2 Tahun 2006; 9. Keputusan-Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh;28 10. Keputusan-Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh.29 Prinsip umum pilkada Aceh – menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah : 30 Langsung - yaitu pemilihan langsung dilakukan oleh rakyat yang memenuhi 27
Diurutkan berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan dan tahun keluar. Keputusan-Keputusan KIP antara lain mengenai : Tata cara Pelaksanaan Tugas KIP; Kode Etik; Penetapan Nomenklatur KIP; Mekanisme pembentukan PPK, PPG, P2P dan KPPS; Penetapan Jadwal dan Tahapan Pilkada; Tata cara Pendaftaran Pemilih; Tata Cara Pendaftaran Calon; Juknis pemeriksan kesehatan; Juknis mampu baca AlQuran; Juknis pengisian formulir dukungan; Juknis Pendaftaran Calon; Penetapan jumlah duungan bagi pasangan bakal calon; Tata cara menjadi pemantau dan pemantauan serta pencabutan hak sebagai pemantau; Panduan teknis pemantau pemilih; Sosialisasi dan pedoman informasi; Tata cara pendaftaran pemilih; Juknis pendaftaran calon; Tata cara verifikasi; Juknis verifikasi; Pendaftaran pemilih dalam keadaan tertentu; Juknis pendaftaran pemilih untuk pengungsi; Jumlah pemilih dan jumlah TPS; Penetapan urutan pasangan calon; Pengumpulan dan pengumuman dana kampanye; Tata cara kampanye dan formulir-formulir; Petunjuk teknis pelaksanaan kampanye; Waktu, tanggal, tempat dan tata cara pelaksanaan kampanye; Surat suara; Tata cara pelasanaan pemugutan dan penghitungan suara di TPS; Rekapitulasi hasil pemungutan suara; Alat-alat kelengkapan Administrasi untuk pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara; Alat-alat kelengkapan TPS; Tata cara pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara srta formulir-formulir; Tata cara pengadaan TPS; Penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi penghitungan suara; Pengadaan logistik; Pendistribusian logistik; Pemungutan suara untuk pemilih tertentu; Tata cara pemilihan lanjutan atau susulan. 29 Keputusan Panwaslih antara lain mengenai pengawasan, penyelesaian sengketa, pelaporan dan tindak lanjut laporan. 28
16
syarat dan terdaftar sebagai pemilih; Umum - yaitu pemilihan berlangsung secara terbuka dan diikuti oleh seluruh rakyat yang berhak dan memenuhi syarat untuk memilih; Bebas - yaitu setiap pemilih dijamin kebebasannya dalam menentukan dan memilih calon yang diinginkannya; Rahasia - yaitu bahwa pemilihan dilakukan oleh pemilih dalam bilik yang tertutup dan tidak boleh seorangpun mengetahui calon yang dipilih oleh pemilih; Jujur - yaitu pemilihan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku; dan Adil - yaitu bahwa dalam pemilihan semua peserta harus mendapat perlakuan yang sama. Secara umum, kerangka hukum Pilkada Aceh dapat digambarkan dalam bagan berikut:
30
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945; Pasal 65 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006, Pasal 2 Qanun No. 2 Tahun 2004. 17
Bagan 2 Kerangka Hukum Pilkada Aceh31
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 (sebagaimana telah dicabut oleh UU No.11/2006)
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 Tahun
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Qanun No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 Tahun 2004
Peraturan-Peraturan dan Keputusan-Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP)
UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah
Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun No. 3 Tahun 2005
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005
Peraturan-Peraturan dan Keputusan-Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih)
Uraian berikut ini akan menjelaskan secara singkat mengenai substansi beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur Pilkada Aceh.
31
Untuk dasar hukum penyelesain sengketa merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2005 18
A. UU No. 11 Tahun 1006 tentang Pemerintahan Aceh Penyelenggaraan pilkada Aceh diatur dalam Bab IX dan Bab X UU No.11 Tahun 2006. Secara eksplisit diatur tentang Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara pilkada Aceh (Pasal 55-56), tugas dan wewenang dan kewajiban KIP (Pasal 58-59), Panitia Pengawas Pemilihan sebagai pengawas pilkada Aceh (Pasal 60), tugas dan wewenang Panitia Pengawas
Pemilihan
(Pasal
61-63),
pemantauan
pilkada
(Pasal
64),
pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 65), tahapan pilkada (Pasal 66), pencalonan (Pasal 67-70), pemilih dan hak pilih (Pasal 71-72), dan tata cara penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 74). Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 mengatur bahwa penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa jabatannya telah berakhir pada saat UU No.11 Tahun 2006 diundangkan, dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.32 Penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Januari 2007, dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur.33
Sedangkan
penyelenggara
pemilihan
Gubernur/Wakil
Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota untuk pertama kali sejak undangundang ini disahkan dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang ada.34 Undang-Undang No.11 Tahun 2006 ini pun kembali menguatkan eksistensi pasangan calon dari unsur independen sebagaimana telah diatur di dalam Qanun No. 2 Tahun 2004. Dalam Pasal 67 ayat (1) disebutkan bahwa pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh (a) partai politik atau gabungan partai politik; (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau (d) perseorangan. Walaupun kemudian di dalam Pasal 256 disebutkan bahwa Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d
32
Pasal 261 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006. Pasal 261 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006. 34 Pasal 261 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 33
19
berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan. Selain itu, Pasal 73 UU No.11 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan Qanun dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Namun, Pasal 261 ayat (4) kemudian menyatakan bahwa tata cara pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota setelah undangundang ini diundangkan dapat berpedoman pada peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah sesuai dengan UU No 11 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lain, penjelasan pasal ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005.
B. Qanun No. 2 Tahun 2004 dan Qanun No. 3 Tahun 200535 Sebagai tindak lanjut atas perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, pada 9 Maret 2004, DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengesahkan Qanun No. 2 Tahun 2004 yang ditetapkan sebelum lahirnya UU No. 32 Tahun 2004, sehingga bukan hal yang aneh kalau ketentuan di dalamnya banyak yang berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut harus dilakukan perubahan terhadap Qanun No. 2 Tahun 2004 melalui pengundangan Qanun No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan terhadap Qanun No. 2 Tahun 2004. Akan tetapi, apa yang ditawarkan oleh Qanun No. 2 Tahun 2004 dengan memajukan konsep pilkada langsung dan pencalonan kandidat independen adalah hal yang baru dan merupakan suatu terobosan, karena selama ini publik sudah dibiasakan dengan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan internal DPRD, di mana
35
Penggunaan istilah “Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil/Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” sebagai judul Qanun No. 2 Tahun 2004 menimbulkan interpretasi yang berbeda dari yang seharusnya. Secara kaidah bahasa pemenggalan terhadap kata gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota bermakna bahwa pemilihan langsung hanya akan dilakukan kepada gubernurnya saja atau wakil gubernurnya saja dan seterusnya. Padahal pemilihan gubernur/wakil gubernur adalah satu paket. 20
fraksi sebagai pengelompokan politik partai memegang kekuasaan dalam melakukan penjaringan calon yang nantinya akan dipilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh rapat paripurna DPRD. Harus juga dipahami bahwa secara garis besar sampai saat ini sistem hukum dan politik Indonesia masih mensyaratkan partai politik sebagai kendaraan resmi seseorang yang ingin maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah maupun sebagai anggota DPR atau DPRD. Aceh melalui Qanun No. 2 Tahun 2004 tidak hanya membuat wilayahnya sebagai daerah “modal” bagi Indonesia namun juga “model” bagi reformasi sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Dengan adanya Ketentuan Peralihan Pasal 261 ayat (4) tersebut ada jaminan hukum untuk Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah oleh Qanun No. 3 Tahun 2005 untuk menjadi landasan dan dasar hukum yang sah sebagai salah satu kerangka hukum penyelenggaraan pilkada Aceh dan menjadi bagian integral dari UU No.11 Tahun 2006. Beberapa hal yang diatur dalam Qanun No.2 Tahun 2004 adalah menyangkut pengaturan secara lebih lengkap dan merinci ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah kabupaten/kota (bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota). b. Komposisi, rekrutmen keanggotaan, tugas dan wewenang Komisi Independen Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan sebagai penyelenggara dan pengawas pemilihan. c. Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang antara lain memuat tentang dibukanya kanal bagi calon independen untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. d. Tahapan dan mekanisme penyelenggaraan setiap tahapan pemilihan. e. Pengaturan tentang pemantau pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Naggroe Aceh Darussalam. f. Logistik dan biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. g. Dana kampanye dan pembatasan sumbangan dalam bentuk bukan cash yang diterima(in kind). h. Penentuan dan penetapan calon terpilih, dan i. Ketentuan-ketentuan pidana yang terjadi dalam pilkada dan sanksinya. Ketika Qanun No. 2 Tahun 2004 lahir, Indonesia tengah bersiap untuk menyambut pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu presiden dan wakil presiden. Pada saat 21
itu telah ada beberapa perangkat peraturan perundang-undangan pemilu yang lahir, antara lain UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum sebagai pengawas telah pula menyusun berbagai peraturan penyelenggaraan dan pengawasan pemilihan umum. Dengan latar belakang kondisi tersebut, bisa dipahami bila akhirnya walaupun Qanun No. 2 Tahun 2003 tidak menggunakan UU No.12 Tahun 2003 dan UU No.23 Tahun 2003 sebagai dasar hukum, namun beberapa ketentuan dalam Qanun No.2 Tahun 2004 mengakomodir atau hampir sama dengan beberapa ketentuan dalam peraturan perundangundangan pemilu legislatif dan pemilu presiden (walaupun tidak dapat dinafikkan bahwa dalam banyak hal juga ditemukan mekanisme dan tata cara penyelenggaraan pemilihan yang sangat berbeda). Selain hal-hal di atas, dalam ketentuan Qanun No. 2 Tahun 2004 juga terdapat beberapa ketentuan krusial yang mengganjal dan bertentangan dengan standar pemilihan (umum) internasional. Ketentuan tersebut antara lain menyangkut adanya klausul dalam: a. Pasal 39 ayat (6) yang menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil dapat menjadi juru kampanye apabila mendapat ijin dari atasannya yang tata caranya diatur oleh Komisi Independen Pemilihan. Klausul ini jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang menyebutkan bahwa “Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.”36 b. Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa jumlah kertas suara untuk setiap TPS sesuai dengan jumlah pemilih terdaftar di TPS tersebut ditambah satu persen untuk cadangan. Ketentuan presentase cadangan surat suara yang hanya satu persen ini menurut Alan Wall, Konsultan pada Local Government Support Program (LGSP) USAID, adalah tidak sesuai 36
Dalam konteks keterlibatan PNS dalam pilkada, Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 79 ayat (4) ini dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye dan diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 22
standar internasional dan mungkin tidak dapat dipraktekkan.37 Tingkat cadangan kertas suara juga seharusnya lebih fleksibel, hal ini penting karena pemilih yang berpindah dan kehadiran pemantau pemilihan akan sangat mempengaruhi cadangan surat suara, belum lagi untuk antisipasi surat suara yang tidak bisa digunakan karena rusak, cacat, dan sobek. c. Keterlibatan unsur Pengawas Pusat dan anggota DPRD dalam keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) Qanun Nomor 2 Tahun 2004. Walaupun disadari ketentuan ini merupakan amanat Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. d. Karena Qanun No. 2 Tahun 2004 ini merupakan turunan dari UU No. 18 Tahun 2001, sebelum dilakukan perubahan, Qanun No. 2 Tahun 2004 menempatkan DPRD NAD sebagai pemilik peran dominan dalam penyelenggaraan pilkada. Besarnya peran DPRD dalam pilkada NAD dapat dilihat dari tugas dan kewenangan yang diberikan, yaitu (1) membentuk komisi independen pemilihan; (2) membentuk komisi pengawas pemilihan; (3) menetapkan pasangan bakal calon; (4) menetapkan pasangan calon setelah berkonsultasi dengan pemerintah; (5) mengesahkan hasil penghitungan suara; (6) menyelenggarakan sidang paripurna untuk pelantikan calon terpilih. Dengan kelemahan-kelemahan yang ada tersebut maka sangat tepat dan mendesak untuk dilakukan perubahan terhadap Qanun No.2 Tahun 2004. Hal ini direspon oleh DPRD Provinsi Aceh dengan melakukan serangkaian proses persidangan untuk membahas amandemen terhadap Qanun No. 2 Tahun 2004 dan pada akhirnya menetapkan Qanun No. 3 Tahun 2005 sebagai perubahan Qanun No. 2 Tahun 2004 pada 25 Juli 2005. Qanun No. 3 Tahun 2005 mengatur kembali penyelarasan isi Qanun No.2 Tahun 2004 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005, penataan kembali struktur dan kelembagaan KIP Provinsi dan KIP Kabupaten/Kota, penataan kembali struktur dan kelembagaan Komisi Pengawas,38 mengubah ketentuan tentang pendaftaran dan pencalonan (syarat dukungan calon independen yang semula di Qanun No. 2 Tahun 2004 sebesar 1% dari total jumlah penduduk diubah menjadi sebesar 3%, dimasukannya syarat mampu membaca Al’Quran dan syarat usia minimal 30 tahun bagi pasangan calon yang ingin 37
Alan Wall, Komentar dan Rekomendasi atas Rancangan Peraturan KIP, (Jakarta: Local Government Support Program USAID, 2005), hal. 19. 38 Istilah Komisi Pengawas kemudian diubah oleh UU No. 11 Tahun 2006 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 menjadi Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). 23
mencalonkan diri dalam pilkada), mengatur kembali tahapan kampanye dan penetapan calon terpilih serta penetapan dan pengesahan hasil pemilihan. Namun Qanun No. 3 Tahun 2005 tidak mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengajuan keberatan oleh pasangan calon terkait penetapan hasil pemilihan, aturan tentang hal itu masih merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005. Qanun No.3 Tahun 2005 juga tetap mempertahankan keterlibatan anggota DPRD dalam komposisi pengawas pemilihan dengan kata lain DPRD tetap memiliki peran signifikan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pilkada
C. Qanun No. 7 Tahun 2006 Untuk menyelaraskan aturan main pilkada yang terdapat dalam Qanun No. 2 Tahun 2004 yang telah diubah oleh Qanun No.3 Tahun 2005, DPRD Provinsi Aceh kemudian melakukan pembahasan rencana amandemen terhadap ketentuan tersebut dengan menyesuaikan pada UU No.11 Tahun 2006 dan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya. Selain memang adanya urgensi untuk menghapus pasa-pasal “bermasalah” seperti keterlibatan PNS dan cadangan surat suara. Dalam proses yang relatif sangat singkat, akhirnya pada 11 Agustus 2006, diundangkanlah Qanun No. 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Qanun No.2 Tahun 2004. Yang menjadi catatan utama dalam Qanun No.7 Tahun 2006 ini adalah dihapuskannya dominasi peran DPRD. Secara signifikan intervensi DPRD terhadap penyelenggaraan pilkada.betul-betul ditarik keluar. Selain itu Qanun No.7 Tahun 2006 juga menghapus klausul tentang keterlibatan PNS sebagai juru kampanye pilkada, menaikkan jumlah cadangan surat suara yang semula 1 % menjadi 2,5 % dari total jumlah pemilih (Pasal 56), serta mengatur mekanisme dan tata cara pengajuan keberatan dan penyelesaian sengketa yang mempengngaruhi hasil pilkada (Pasal 66A). Qanun No.7 Tahun 2006 mengatur kembali mekanisme dan persyaratan pencalonan serta mengatur kembali struktur dan kelembagaan KIP dan Panwas menyesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No.11 Tahun 2004, namun penataan tersebut belum diberlakukan untuk pilkada pertama, sebagaimana diatur Qanun No.7 Tahun 2006 bahwa KIP yang ada pada saat Qanun ini diundangkan tetap menjalankan tugasnya sampai dengan masa baktinya berakhir (Pasal 85A) dan untuk pertama kali pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dilakukan oleh DPRA dan Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Pasal 85B). 24
25
BAB 5 SISTEM, PESERTA, PENYELENGGARA DAN PENGAWAS PILKADA Titi Anggraini
A. Sistem Pemilihan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tidak mengatur mengenai sistem pemilihan yang berlaku untuk Pilkada Aceh secara langsung. Pengaturan tentang sistem pemilihan diserahkan kepada aturan turunannya, yaitu Qanun Aceh. Sistem pemilihan yang dianut dalam pilkada Aceh mengacu kepada Qanun No. 2 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Qanun No.3 Tahun 2005 dan kedua kali dengan Qanun No.7 Tahun 2006. Finalisasi terhadap sistem pemilihan yang digunakan sesungguhnya terdapat dalam ketentuan dalam Qanun No. 7 Tahun 2006. Aturan lengkap tentang sistem pemilihan yang digunakan diatur dalam Pasal 69 Qanun No. 7 Tahun 2006 untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan Pasal 71 Qanun No.7 Tahun 2006 untuk pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota: Sistem Pemilihan 2 Putaran
a)
b)
c)
d)
1)
2) 3)
4)
Apa dan Bagaimana? Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara yang sah, dinyatakan sebagai pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota terpilih. Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud huruf a di atas tidak terpenuhi, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota terpilih. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin 2 di atas tidak terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon suara terbanyak pertama dan kedua. Pelaksanaan putaran kedua pemilihan dilakukan selambat-lambatnya 60 hari sejak ditetapkannya hasil perhitungan suara putaran pertama. Lalu? Dalam hal pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud huruf c di atas terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan calon terpilih ditetapkan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas/tersebar di kabupaten/kota. Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud di atas diperoleh suara yang sama oleh beberapa pasangan calon, maka selanjutnya dilakukan pemilihan untuk putaran kedua. Apabila pasangan calon tidak memperoleh hasil jumlah suara sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, maka selanjutnya pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dilakukan pemilihan putaran kedua. Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas ditetapkan sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota terpilih.
26
Bagan 3 Sistem Pilkada Aceh I Ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih
Diperoleh Suara 50% + 1
Putaran Pertama Pasangan Calon dengan perolehan suara 25% + 1
II Tidak Diperoleh Suara 50% + 1
Pasangan yang Perolehan Suaranya Terbesar Ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih
III Diperoleh hasil suara yang sama untuk beberapa pasangan calon
Dilaksanakan selambatlambatnya 60 hari sejak ditetapkan hasil penghitungan suara putara pertama
Tidak ada Pasangan Calon yang suaranya mencapai 25% + 1
Putaran Kedua
Pasangan yang Memperoleh Suara terbanyak Nomor 1 dan 2
Pasangan Calon dengan suara terbanyak Nomor 1 dan Nomor 2
Kalau terdapat lebih dari 1 pasangan calon yang memperoleh suara yang sama, maka calon yang ikut ke putaran II ditentukan berdasarkan perolehan suara yang lebih luas/tersebar di Kab/Kota
Sistem pemilihan sebagaimana digambarkan dalam bagan di atas adalah sistem pemilihan dua tahapan atau sistem pemilihan dua putaran, dimana apabila peserta pemilihan tidak mampu mencapai jumlah dukungan tertentu pada pemilihan yang pertama, maka akan dilakukan proses pemilihan tahap kedua yang akan diikuti oleh: (1) dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak atau (2) beberapa pasangan calon yang memperoleh suara yang sama-sama terbanyak. 27
B. Peserta Pilkada Aceh Ketentuan tentang siapa saja yang berhak dan bisa menjadi peserta pilkada Aceh diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 dan Qanun No.2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun No.3 Tahun 2005 dan Qanun No. 7 Tahun 2006. Peserta pilkada di Aceh tidak hanya berasal dari pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik tapi juga dapat berasal calon perseorangan atau lebih dikenal sebagai calon atau kandidat independen. Dasar hukum bagi pencalonan peserta pilkada Aceh diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 yang mengatur bahwa pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dalam pilkada Aceh diajukan oleh:39 a. partai politik atau gabungan partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau d. perseorangan. Keterlibatan calon perseorangan dalam pilkada Aceh merupakan preseden yang pertama kali terjadi di Indonesia. Dalam pelaksanaan pilkada secara nasional tidak diakui konsep calon dari jalur independen tanpa dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik. Walaupun demikian, aturan tentang keterlibatan calon perseorangan dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Aceh tersebut hanya berlaku untuk pemilihan pertama kali sejak UU No.11 Tahun 2006 diundangkan.40 Hal itu berarti bahwa konsep keikutsertaan calon perseorangan atau calon independen hanya berlaku untuk pilkada Aceh yang akan diselenggarakan pertama kali pada 11 Desember 2006. Untuk selanjutnya bila mengacu kepada ketentuan Pasal 256 UU No.11 Tahun 2006, pilkada di Aceh hanya akan diikuti oleh peserta yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik saja. Selain itu, peserta pilkada Aceh juga harus memenuhi berbagai persyaratan untuk bisa menjadi calon peserta pilkada.
Khusus untuk calon perseorangan harus memperoleh
dukungan sekurang-kurangnya 3 % (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di
39
Partai politik lokal belum dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam pilkada Aceh yang berlangsung pada 11 Desember 2006 karena pembentukannya belum dapat terealisasi merujuk pada ketentuan Pasal 257 UU No. 11 Tahun 2006 yang menetapkan batas penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal paling lambat Februari 2007. 40 Lihat Pasal 256 UU No. 11 Tahun 2006 jo Pasal 85C Qanun No. 7 Tahun 2006. 28
sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 % (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.41 Sedangkan untuk peserta yang dicalonkan dari partai politik, untuk dapat ditetapkan sebagai calon maka setiap partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan pasangan bakal calon harus memperoleh sekurang-kurangnya 15 % (lima belas per seratus) dari jumlah kursi DPRA/DPRK atau 15 % (lima belas per seratus) dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan Anggota DPRA/DPRK yang bersangkutan.42 Untuk pilkada Aceh 11 Desember 2006 calon yang diajukan partai politik hanya akan berasal dari partai politik berbasis nasional, partai politik berbasis lokal belum dapat ambil bagian karena belum tersedia kerangka hukum yang melandasi eksistensinya. Partisipasi partai politik lokal untuk memajukan calon baru dimungkinkan setelah pilkada pertama Aceh.
41 42
Lihat Pasal 68 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006. Lihat Pasal 34 ayat (2) Qanun No.7 Tahun 2006. 29
Bagan 4 Peserta Pilkada Aceh
Partai Politik/Gabungan Partai Politik
Peserta Pilkada Aceh
Pasangan Calon Yang diajukan oleh:
partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; gabungan partai politik dan partai politik lokal;
perseorangan.
(I) Calon yang Diajukan Partai Politik: setiap partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan pasangan bakal calon harus memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas per seratus) dari jumlah kursi DPRA/DPRK atau 15% (lima belas per seratus) dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan Anggota DPRA/DPRK yang bersangkutan (Pasal 34 ayat (1) Qanun No. 7 Tahun 2006)
(II) Calon Perseorangan: bakal calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota (Pasal 68 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006 jo Pasal 34 ayat ((3) Qanun No. 7 Tahun 2006)
Untuk pertama Aceh setelah UUPA diundangkan, 11 Desember 2006, berdasarkan Pasal 257 UUPA jo Pasal 34 (1) Qanun No. 7 Tahun 2006, partai politik lokal belum dapat mengajukan calon untuk menjadi peserta pilkada
30
C. Penyelenggara dan Pengawas Pilkada Aceh Penyelenggaraan Pilkada di Aceh dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Provinsi (KIP Aceh) untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten Kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati beserta walikota dan wakil walikota (KIP Kabupaten Kota). Sementara pengawasan Pilkada Aceh dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh yang mempunyai struktur hingga kecamatan. Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. KIP yang ada pada saat UU 11/2006 diundangkan tetap menjalankan tugasnya sampai dengan masa baktinya berakhir. Penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota untuk pertama kali sejak UU No. 11 Tahun 2006 disahkan dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang ada.
Struktur Penyelenggara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur43 KIP Aceh
KIP Kabupaten/Kota
Panitia Pemilihan Kecamatan
Panitian Pemilihan Gampong
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
43
Pasal 56 UU No. 11 Tahun 2006. 31
a. Dalam penyelenggaraan pemilihan, KIP Kabupaten/Kota adalah bagian penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KIP Aceh.44 b. Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.45
Komposisi Anggota KIP Aceh
5 Orang dari KIP Provinsi NAD
Komposisi Anggota KIP Aceh
8 Anggota dari unsur Masyarakat
Struktur Penyelenggara dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati & Walikota/Wakil Walikota46 KIP Kabupaten/Kota
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
Panitian Pemilihan Gampong (PPG)
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 44
Pasal 9 ayat (2) Qanun No. 7 Tahun 2006. Pasal 4 ayat (3) Qanun No. 7 Tahun 2006. 46 Pasal 56 ayat (2) UU 11 Tahun 2006 jo Pasal 13 ayat (2) Qanun No. 7 Tahun 2006. 45
32
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) - adalah bagian dari KIP Kabupaten/Kota, sebagai pelaksana pemilihan di wilayah Kecamatan yang dibentuk oleh KIP Kabupaten/Kota.47 Panitia Pemilihan Gampong (PPG) - adalah bagian dari PPK, sebagai pelaksana pemilihan di wilayah Gampong/Kelurahan yang dibentuk oleh PPK.48 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) - adalah kelompok petugas yang dibentuk oleh PPK atas usul PPG yang bertugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara.49
Komposisi Anggota Kabupaten/Kota 50
Komposisi Anggota Panwas Aceh
Panitia
Pengawas
Pemilihan
Aceh
5 Orang Terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
tingkat
Provinsi
dan
Unsur Lain : •Kepolisian •Kejaksaan Tinggi •Perguruan Tinggi •Pers •Tokoh Masyarakat
Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota (Panitia Pengawas Kabupaten/Kota) adalah bagian dari Panitia Pengawas Aceh yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota. Panitia Pengawas Kecamatan (PPK) - adalah bagian dari Panitia Pengawas Kabupaten/Kota yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kecamatan.
47
Pasal 1 angka 10 Qanun No. 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 11 Qanun No. 7 Tahun 2006. 49 Pasal 1 angka 24 Qanun No. 7 Tahun 2006. 50 Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 22 (2) jo Pasal 85B Qanun No. 7 Tahun 2006. 48
33
BAB 6 PENYELENGGARAAN PILKADA M. Jafar
A. Latar Belakang Propinsi Aceh mendapat status sebagai daerah istimewa berdasarkan Keputusan Perdana Menteri nomor I/missi/1959 dan kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Otonomi yang diberikan tersebut belum memadai. Oleh kerena itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu hal khusus yang diatur dalam undang-undang ini adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang meliputi Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan akibat bencana alam gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 dan MoU Helsinky tanggal 15 Agustus 2005. Dalam pasal 1.2.3. MoU ditegaskan bahwa pilkada dilaksanakan pada bulan April 2006 di bawah Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang baru. Untuk memenuhi amanah MoU tersebut, pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada masyarakat Aceh dalam bidang politik dan pemerintahan termasuk penyelenggaraan pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan undang-undang ini, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 tahun sekali, melalui pemilihan yang langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Kebijakan ini akan semakin mewujudkan realita pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
34
B. Pilkada Aceh dan Pilkada Daerah Lain Ketentuan tentang pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki perbedaan dengan ketentuan tentang pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1 Perbedaan Pilkada di Provinsi NAD dengan Pikada Lainnya No
Uraian
Nanggroe Aceh Darussalam
Nasional
1.
Landasan Hukum
UU PA dan Qanun Pilkada
UU No. 32 Tahun 2004, dan PP No. 6 Tahun 2005
2.
Penyelenggara
KIP
KPUD
3.
Anggaran
APBN, APBD dan APBK
APBN terbatas dan APBD
4.
Pemantau
Lokal, Nasional & Internasional
Lokal dan nasional
5.
Pelaksanaan Pilkada
1 Gubernur dan 19 Kabupaten/Kota
Tidak ditentukan
6.
Stelsel Pendaftaran Pemilih
Pasif dan aktif
aktif
7.
Peserta pemilihan
Parpol, gabungan parpol dan perseorangan
Parpol dan gabungan parpol
8.
Syarat-syarat calon : a. Pernah menjadi WNA b. Mampu baca Al-Qur’an c. Penjabat kepala daerah
Boleh Ada Tidak boleh mundur utk menjadi calon Tidak boleh
Tidak Boleh Tidak Ada Boleh mundur untuk menjadi calon Boleh
d. Suami/istri menduduki jabatan publik/politik
35
C. Persiapan Pilkada Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan dan
tahap
pelaksanaan.
penyelenggaraan,
Pada
pengajuan
tahap
anggaran,
persiapan
dilakukan
penyusunan
pembentukan
legislasi,
penetapan
struktur jadwal,
pengumuman dan pendaftaran pemantau. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh DPRD, Pemerintah Daerah dan KIP. 1. Pembentukan struktur penyelenggara : a. KIP Provinsi; KIP Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dibentuk pada tanggal 4 Maret 2005. Anggota KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berjumlah 13 orang dari unsur masyarakat dan usur KPU.51 Anggota dari unsur masyarakat sebanyak delapan orang, sedangkan dari unsur KPU terdiri dari Ketua dan Anggota KPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.52 Anggota KIP dari unsur masyarakat dipilih berdasarkan hasil seleksi oleh tim independen yang dibentuk oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketua dan anggota KPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara ex-officio ditetapkan sebagai anggota KIP. Dari lima anggota KPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan menjadi anggota, dua orang mengundurkan diri.53 Permohonan pengunduran diri diajukan kepada DPRD untuk diproses pemberhentian dan penggantiannya. Permohonan tersebut tidak dapat diproses oleh DPRD karena anggota KPUD menjadi anggota KIP secara ex-officio atau perintah Undang-Undang. Hal ini menyebabkan status kedua anggota KPU tersebut tidak jelas, secara de jure masih sebagai anggota KIP, dan secara de facto tidak aktif sebagai anggota KIP. Komsi Independen Pemilihan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sebuah Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Sekretariat KPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara ex-officio manjadi Sekretariat KIP Provinsi
51
Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Pasal 22 ayat (3.c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 53 Dua orang anggota KPU Provinsi Aceh yang mengundurkan diri dari KP adalah Hasbullah Tjoetgam (Ketua) dan Syarifah Rahmatillah (anggota). 52
36
Nanggroe Aceh Darussalam.54 Selain itu, Sekretariat KIP juga ditetapkan sebagai Sekretariat Panitia Pengawas.55 Hal ini menyebabkan beban kerja Sekretariat KIP semakin berat dan dapat menimbulkan konflik kepentingan antara KIP dan Panitia Pengawas. b. KIP Kabupaten/Kota; Sesuai ketentuan pasal 143 ayat (10) PP Nomor 6 Tahun 2005 jo. pasal 11 ayat (1) Qanun Nomor 3 Tahun 2005, angota KIP Kabupaten/Kota dibentuk oleh KIP Propinsi bersama DPRD Kabupaten/Kota sejumlah lima orang yang diisi dari Ketua dan Anggota KPU Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KIP Propinsi meminta rekomendasi kepada DPRD Kabupaten/Kota untuk menetapkan dan melantik Ketua dan Anggota KPU Kabupaten/Kota sebagai Ketua dan Anggota KIP Kabupaten/Kota. Pelantikan dilakukan secara bersamaan terhadap 21 KIP Kabupaten/Kota pada tanggal 18 Agustus 2006. Sekretariat
KPU
Kabupaten/Kota
melaksanakan
tugas
Sekretariat
KIP
Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang Sekretaris KIP Kabupaten/Kota.56 Selain itu, Sekretariat KIP Kabupaten/Kota membantu pelaksanaan tugas Sekretariat Panitia Pengawas Kabupaten/Kota.57 Selanjutnya dalam Keputusan KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditegaskan bahwa Sekretariat KIP Kabupaten/Kota baik keanggotaannya maupun Kesekretariatannya sama seperti pada Sekretariat KPU Kabupaten/Kota. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi organisasi dan kinerja serta mencegah konflik internal dalam kepengurusan lembaga KIP Kabupaten/Kota dan KPU Kabupaten/Kota. c. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) ; Panitia Pemilihan Kecamatan dibentuk oleh KIP Kabupaten/Kota dan bertanggung jawab kepada KIP Kabupaten/Kota. Anggota PPK Kabupaten/Kota 54
Pasal 143 ayat (15) PP Nomor 6 Tahun 2005. Pasal 20 ayat (6) Qanun No. 7 Tahun 2006. 56 Pasal 14 ayat (1) Qanun Nomor 3 Tahun 2005. 57 Pasal 20 ayat (6) Qanun Nomor 7 Tahun 2006. 55
37
berjumlah lima orang dan dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih dan oleh anggota PPK. d. Panitia Pemilihan Gampong (PPG); Panitia Pemilihan Gampong dibentuk oleh PPK untuk desa/kelurahan/gampong. Anggota PPG berjumlah tiga orang dan dipimpin oleh ketua yang dipilih dari dan oleh anggota PPG. Panitia Pemilihan Gampong bertugas memimpin dan megkoordinasikan pendaftaran pemilih serta pemungutan dan penghitungan suara di wilayahnya masing-masing. e. Petugas Pendaftaran Pemilih (P2P atau PPP); Untuk setiap 250 pemilih atau setiap gampong/desa dapat diangkat satu orang PPP. Petugas Pendaftaran Pemilih bertanggung jawab melaksanakan pendaftaran pemilih dan bertugas kepada PPK melalui PPG. f. Kelompok Pemungutan dan Penghitungan Suara (KPPS); Kelompok Pemungutan dan Penghitungan Suara merupakan kelompok petugas dibentuk oleh PPK atas usul PPG yang bertugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS. TPS dapat dbentuk untuk sebanyak-banyaknya 600 pemilih /atau paling sedikit disetiap desa terdapat 1 (satu) TPS. Jumlah PPK, PPG dan TPS di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dilihat pada tabel berikut ini :
38
Tabel 2 Penyelenggara Pilkada No
Kabupaten/Kota
PPK
PPG
TPS
1
Kota Banda Aceh
9
89
252
2
Kota Sabang
2
18
60
3
Kabupaten Aceh Besar
22
601
660
4
Kabupaten Pidie
30
948
995
5
Kabupaten Bireuen
17
552
685
6
Kabupaten Bener Meriah
7
232
260
7
Kabupaten Aceh Tengah
10
268
380
8
Kabupaten Aceh Utara
22
852
1.034
9
Kota Lhokseumawe
3
68
214
10
Kabupaten Aceh Timur
21
484
650
11
Kota Langsa
3
51
210
12
Kabupaten Aceh Tamiang
8
209
431
13
Kabupaten Aceh Jaya
6
172
182
14
Kabupaten Aceh Barat
11
321
461
15
Kabupaten Nagan Raya
5
222
265
16
Kabupaten Aceh Barat Daya
6
129
198
17
Kabupaten Aceh Selatan
16
247
349
18
Kabupaten Aceh Singkil
15
191
300
19
Kabupaten Tenggara
11
385
492
20
Kabupaten Gayo Lues
11
97
197
21
Kabupaten Simeulue
8
138
196
Jumlah
243
6.274
8.471
Berdasarkan Keputusan KIP Provinsi NAD No.55/2006 tanggal 22 November 2006
39
2. Anggaran pilkada : a. Dasar Hukum Pendanaan Pilkada; Pendanaan kegiatan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan pertama kali sejak Undang-Undang Pemerintahan Aceh diundangkan, dibebankan kepada APBN, APBD dan APBK (pasal 268 UUPA). b. Pendanaan Pilkada Ø Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur; Kebutuhan anggaran untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dari APBD Provinsi Tahun 2006 sebesar Rp. 62.314.266.825,- (enam puluh dua milyar tiga ratus empat belas juta dua ratus enam puluh enam ribu delapan ratus dua puluh lima rupiah),
termasuk
sharing
anggaran
untuk
kabupaten/kota
sebesar
Rp.
17.253.027.000,- (tujuh belas milyar dua ratus lima puluh tiga juta dua puluh tujuh ribu rupiah). Sedangkan untuk putaran kedua, dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Ø Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; Kebutuhan anggaran untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota diperkirakan antara Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) sampai dengan Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Ø Kabupaten/Kota yang melaksanakan pemilihan bupati/walikota bersamaan dengan pemilihan gubernur/wakil gubernur dapat dilakukan pendanaan bersama (sharing anggaran) antara APBD Kabupaten/Kota dengan APBD Provinsi. Ø Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan pemilihan bupati/walikota bersamaan dengan gubernur/wakil gubernur dapat membantu pembiayaan pemilihan gubernur/wakil gubernur dalam APBD Kabupaten/Kota dan sebaliknya. 3. Penetapan jadwal Pilkada; Sebelum berlakunya UUPA, terjadi beberapa kali perubahan jadwal pilkada. Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 ditegaskan bahwa pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan paling cepat 5 (lima) tahun sejak UUPA diundangkan pasal 16 ayat (1). Ketentuan pasal 16 ayat (1) tersebut disempurnakan oleh Undang40
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam pasal 226 ayat (3.a) ditegaskan bahwa kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai dengan April 2005, diselenggarakan pemilihan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 18 Tahun 2001 paling lambat pada bulan Mei 2005. Ketentuan pasal 226 ayat (3.a) tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan akibat terjadi gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004. Bencana ini mengakibatkan terhambatnya persiapan pilkada termasuk pelantikan KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selaku penyelenggara pilkada. Jadwal pilkada ditetapkan oleh KIP setelah diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun No.7 Tahun 2006. Jadwal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan 19 Bupati/Walikota dtetapkan oleh KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penetapan dilakukan setelah berkonsultasi dengan
Mendagri, DPRD, Gubernur, KIP Kabupaten/Kota dan
Bupati/Walikota. Komisi Independen Pemilihan menetapkan jadwal pilkada pada tanggal 25 Oktober 2005.58 Jadwal ini juga tidak dapat dilaksanakan karena dalam MoU Helsinki ditegaskan bahwa Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan pada April 2006 di bawah Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang baru. Berdasarkan ketentuan MoU tersebut, KIP menetapkan jadwal pilkada tanggal 26 April 2006. Jadwal ini juga tidak bisa dilaksanakan akibat terlambatnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Akhirnya setelah diundangkannya UUPA dan disahkannya Qanun No. 7 Tahun 2006 maka jadwal Pilkada Pertama Aceh ditetapkan pada 11 Desember 2006 dengan Kep KIP No. 18/2006. 4. Pengumuman dan Pendaftaran Pemantau. Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dipantau oleh Pemantau lokal, nasional dan internasional. Adapun jumlah lembaga pemantau asing dan relawan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
58
Penetapan jadwal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa masa jabatan kepala daerah (Gubernur/wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) periode 2000 – 2006 berakhir pada tanggal 25 November 2006. 41
Tabel 3 Pemantau Asing dalam Pilkada NAD
No Organisasi Pemantau
Jumlah Relawan Asing
Jumlah Relawan Lokal
Keterangan
1
International Institute (IRI)
9 Orang
9 Orang
Relawan Lokal Berasal dari Forum Rektor dan IFES
2
The National Democratic Institute For 5 Orang International Affair (NDI)
6 Orang
Relawan Lokal Berasal dari Forum LSM
3
Local Governance Support 5 Orang Programmer (LGSP)
22 Orang
4
United State Agency Internatioanl Development 27 Orang (USAID)
13 Orang
5
Asian Network For Free 11 Orang Elections (ANFREL)
120 Orang
Relawan Lokal Berasal dari KIPP
80 Orang
-
-
5 Orang
-
-
8 Orang
-
-
150 orang
170 orang
Republican
European Union Election 6 Observation Mission (IUEOM) Australian Electoral 7 Commission Malaysian Electoral 8 Commission Jumlah
Relawan Lokal Berasal dari LGSP dan Forum LSM Relawan Lokal Berasal dari Staf Kedutaan Besar Amerika Serikat
Sedangkan jumlah lembaga pemantau nasional dan lokal lebih sedikit dibandingkan dengan pemantau asing, namu jumlah relawannya lebih banyak dan hampir mencakup seluruh TPS di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
42
Tabel 4 Pemantau Nasional dan lokal dalam Pilkada NAD
No
Organisasi Pemantau
1 Jaringan Pendidikan Pemilihan Untuk Rakyat 2 Aceh International Recovery Program 3 Forum LSM Aceh 4 Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP) 5 E-Card Community For Aceh Resources Development Jumlah
Jumlah Relawan Lokal 3800 Orang 238 Orang 441 Orang 120 Orang 490 Orang 5.239 orang
D. Pelaksanaan Pilkada Dalam penyelenggaraan pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan yaitu : 1. Pendaftaran Pemilih Setiap WNI yang memenuhi syarat dan telah berdomisili sekurang-kurangnya 6 bulan dapat didaftarkan sebagai pemilih. Khususnya untuk pengungsi yang berdomisili di barak-barak didaftarkan sebagai pemilih untuk daerah asal, sedangkan pengungsi yang berada di rumah-rumah penduduk didaftarkan sebagai pemilih di tempat ia berdomisili. Pendaftaran Pemilih dilakukan oleh Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP) dalam dua tahap yaitu sebelum berlakunya UUPA dan setelah berlakunya UUPA. Panitia Pendaftaran melakukan pendaftaran pemilih dari rumah kerumah (door to door) dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan data atau mendaftarkan diri bagi yang belum terdaftar. Setelah berlakunya UUPA, DPT yang ada dijadikan sebagai DPS dan diumumkan lagi kepada masyarakat guna mendapat masukan/perbaikan untuk menjadi DPT. Daftar Pemilih Tetap ini bersifat final dan digunakan sebagai bahan untuk penetapan jumlah TPS dan logistik pemilihan. Pemilih yang terdaftar dalam DPT sebanyak 2.632.935 atau 66 % dari jumlah penduduk di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 4.031.589. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
43
Tabel 5 Jumlah pemilih DP4 dan DPT JUMLAH PEMILIH NO KABUPATEN/KOTA (DP4) 1 2 3 1 Kota Banda Aceh 146.573 2 Kota Sabang 24.154 3 Kabupaten Aceh Besar 181.795 4 Kabupaten Pidie 345.787 5 Kabupaten Bireuen 221.415 6 Kabupaten Bener Meriah 63.270 7 Kabupaten Aceh Tengah 96.221 8 Kabupaten Aceh Utara 315.034 9 Kota Lhokseumawe 119.154 10 Kabupaten Aceh Timur 196.463 11 Kota Langsa 87.707 12 Kabupaten Aceh Tamiang 146.893 13 Kabupaten Aceh Jaya 32.694 14 Kabupaten Aceh Barat 111.879 15 Kabupaten Nagan Raya 77.351 16 Kabupaten Aceh Barat Daya 68.177 17 Kabupaten Aceh Selatan 127.255 18 Kabupaten Aceh Singkil 74.568 19 Kabupaten Aceh Tenggara 98.506 20 Kabupaten Gayo Lues 46.841 21 Kabupaten Simuelue 47.193 Jumlah 2.628.930
JUMLAH PEMILIH TETAP (DPT) 4 115.633 19.303 194.164 314.796 239.241 73.133 103.949 305.652 98.935 201.892 88.236 145.837 44.183 106.360 84.968 74.204 126.929 86.658 114.880 46.681 47.301 2.632.935
2. Pendaftaran calon Pendaftaran calon gubernur/wakil gubernur diajukan kepada KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pendaftaran calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota diajukan kepada KIP Kabupaten/Kota. Pendaftaran dilakukan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau pasangan calon perseorangan dengan melengkapi persyaratan-persyaratan. Pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik harus mendapat dukungan 15 % dari kursi DPRD atau perolehan suara pada Pemilu 2004. Sedangkan pasangan calon perseorangan harus memenuhi syarat dukungan 3 % dari jumlah penduduk di wilayah pemilihan. Syarat-syarat calon diurus oleh masing-masing calon kecuali syarat lulus uji baca Al-Quran dan pemeriksaan kesehatan yang difasilitasi
44
oleh KIP. Kedua syarat ini bersifat final artinya tidak dapat dilakukan pengulangan apabila tidak lulus. Komisi Independen Pemilihan melakukan penelitian administratif terhadap syaratsyarat calon dan verifikasi faktual terhadap syarat-syarat dukungan bagi calon perseorangan. Bagi pasangan calon yang belum memenuhi syarat, kecuali mampu baca Al-Quran
dan
lulus
pemeriksaan
kesehatan,
diberi
kesempatan
untuk
memperbaiki/melengkapi syarat atau mangganti pasangan calon. Dari 11 pasangan calon gubernur yang mendaftar ditetapkan delapan pasangan calon yang memenuhi syarat yaitu lima dari partai politik dan tiga dari perseorangan. Dari pasangan calon bupati/walikota yang mendaftar ditetapkan 128 pasangan calon yang memenuhi syarat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Provinsi/ Kabupaten/ Kota Nanggroe Aceh Darussalam Sabang Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bener Meriah Aceh Tengah Gayo Lues Aceh Tenggara Lhokseumawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Jaya
Tabel 6 Pasangan Calon Kepala Daerah Tidak Tidak Pasangan Pasangan Memenuhi Memenuhi Bakal Bakal Calon Syarat Syarat Calon Perseorangan Baca Test Parpol Al-Quran Kesehatan
Pasangan Calon
5 3 4 5 4 3 4 2
6 4 3 4 4 2 5 1
5 2 1 1 -
1 -
8 6 6 8 7 4 8 3
2 3 2 4 6
7 3 2 4 2
2 5
-
8 6 4 6 6
4 3
5 2
-
-
8 4 45
16 17 18 19 20
Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Singkil Simeulue Jumlah
5 5
4 3
-
-
10 9
5 5 3 77
3 1 3 68
16
1 1 3
6 5 6 128
3. Kampanye Kampanye dilakukan dalam berbagai bentuk guna mempengaruhi pemilih. Kampanye dilakukan selama 14 hari dan berakhir tiga hari sebelum pemungutan suara. Jadwal dan lokasi kampanye dalam bentuk rapat umum ditetapkan oleh KIP setelah mendapat usulan/masukan dari pasangan calon dan/atau tim kampanye. 4. Pemungutan dan penghitungan suara Pemungutan suara untuk pemilihan gubernur dan 19 bupati/walikota dilakukan secara serentak di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penyelenggaraan pemungutan suara oleh KPPS yang dimulai pukul 08.00 WIB dapat dihadiri oleh saksi, pengawas dan pemantau. Penghitungan suara dimulai pukul 14.00 WIB setelah semua pemilih yang ada dilokasi TPS memberikan hak suaranya. Hasil penghitungan suara di TPS dikirimkan kepada PPK untuk dilakukan rekapitulasi tingkat Kecamatan. Panitia Pemilihan Kecamatan mengirimkan hasil
rekapitulasi tingkat Kecamatan kepada KIP
Kabupaten/Kota untuk dilakukan rekapitulasi tingkat Kabupaten/Kota. Sedangkan rekapitulasi hasil pemilihan Gubernur diteruskan kepada KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk dilakukan rekapitulasi tingkat Provinsi dan ditetapkan pasangan calon terpilih. Selain penghitungan suara resmi secara manual, juga dilakukan penghitungan suara cepat (quick count) dan Rapid Tele Count yang disenlenggarakan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Jurdil Aceh dan Fakultas MIPA Unsyiah atas bantuan dana dari Proyek ALES – UNDP. Hasil penghitungan cepat ini dapat diketahui pada hari pemungutan suara dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil penghitungan manual oleh KIP.
46
Pemilihan Gubernur dapat diselesaikan dalam satu putaran dengan perolehan suara terbanyak adalah pasangan calon perseorangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yaitu 768.745 (38,20 %), disusul pasangan calon Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah yaitu 334.484 (16,62 %). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini : Tabel 7 Perolehan suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi NAD No Pasangan Calon 1 2 3 4 5 6 7 8
Perolehan Suara
Ir. H. Iskandar Hoesin, M.H.Drs. M. Saleh Manaf, B. Sc H. Tamlicha Ali Drs. Harmen Nuriqmar Drs. H. A. Malik Raden, MM H. Sayed Fuad Zakaria, SE DR. Ir. A. Humam Hamid, MA Drs. Hasbi Abdullah, M. Si H.M. Djali Yusuf Drs. H. R. A. Syauqas Rahmatillah, MA drh. Irwandi Yusuf, M. Sc Muhammad Nazar, S. Ag Ir. H. Azwar Abubakar, MM M. Nasir Djamil, S. Ag Drs. Ghazali Abbas Drs. H. Salahuddin Al Fata Jumlah
Persentase
111.553
5,54%
80.327
3,99%
281.174
13,97%
334.484
16,62%
65.543
3,26%
768.745
38,20%
213.566
10,61%
156.978 2.012.370
7,80% 100%
Sedangkan untuk pemilihan bupati/walikota, Pilkada di 16 kabupaten/kota dapat diselesaikan dalam satu putaran dan di tiga kabupaten/kota harus diadakan putaran ke–2. Dari 17 pasangan bupati/walikota terpilih yang telah ditetapkan, 10 pasangan berasal dari partai politik dan 7 pasangan calon dari perseorangan. Pasangan calon yang kalah dalam pemilihan dapat mengajukan keberatan ke pengadilan terhadap penetapan hasil pemilihan. Tidak ada pasangan calon yang mengajukan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan gubernur. Sedangkan untuk pemilihan bupati/walikota terdapat 6 kabupaten/kota yang mengajukan keberatan
47
terhadap penetapan hasil pemilihan dan keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Pengadilan Tinggi Aceh. 5. Pengangkatan dan pelantikan Kepala Daerah Terpilih; Hasil pemilihan gubernur diserahkan kepada DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk diteruskan kepada Presiden melalui Mendagri. Hasil pemilihan Bupati/Walikota diserahkan kepada DPRD Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Mendagri melalui Gubernur. Mendagri telah melantik Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Draussalam pada tanggal 8 Februari 2007 dalam sidang paripurna khusus DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah melantik 16 Bupati/Walikota dalam sidang paripurna khusus masing-masing DPRD Kabupaten/Kota, sedangkan 7 Bupati/Walikota terpilih belum dilantik karena belum selesai tahapan pilkada (Kabupaten Aceh Tenggara), belum selesai putaran ke 2 (Kabupaten Aceh Tamiang), dan belum selesai poses pengangkatan (Kabupaten Aceh Barat).
E. Penutup Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006 selain merupakan pilkada langsung pertama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, juga merupakan Pilkada terbesar dan terpopuler di Indonesia. Pilkada ini meliputi pemilihan Gubernur bersamaan dengan 19 dari 21 Bupati/Walikota diseluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pilkada ini mendapat perhatian dari hampir seluruh masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Pilkada ini dapat berlangsung sukses, tertib, aman dan lancar.
48
BAB 7 MENUJU PANWASLIH ACEH YANG EFEKTIF Henry Siahaan
Pilkada sangat krusial dan sangat berpotensi berjalan tidak sesuai dengan harapan bila tidak diawasi dengan baik dan sungguh-sungguh. Pengawasan pelaksanaan pilkada terbentuk melalui Keputusan DPRA No. 4/DPRD/2006 tentang Pembentukan Keanggotaan Panitia Pengawas Propinsi NAD dan sudah bekerja dengan cukup baik. Bahkan tercatat tidak kurang 48 pengaduan dari masyarakat yang diterimanya.59 Tentu berdasar pengalaman dari pemilu dan Pilpres 2004 maupun pilkada di daerah-daerah lain, pengaduan masyarakat sangat wajar terjadi dan bervariasi bak deret hitung terutama pada saat mendekati masa kampanye formal. Untuk itulah maka Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh benar-benar siap, mampu dan efektif bekerja dengan segala macam hambatan dan tantangannya. Ada empat catatan penting yang dipertimbangkan Panwaslih Aceh, pertama berkaitan dengan kompleksitas relasi bersinergi dengan lembaga-lembaga pemantau (lokal, nasional maupun asing); kedua, masalah otoritas tindak lanjut pengaduannya; ketiga, tentang efektivitas putusan berkaitan dengan sengketa yang terjadi; dan keempat, berkenaan dengan kerjasama dengan KIP dan desk pilkada di Depdagri-yang keseluruhannya dikaitkan dengan keterbatasan SDM, ketatnya jadwal pelaksanaan, dan waktu penyelesaian permasalahan. Keempat hal tersebut menjadi lebih krusial sebab ternyata Panwaslih harus berjuang dan “bermain sendiri” tanpa ada rekan formal di level pusat untuk minimal meminta saran dan “dukungan politik” darinya. Hal ini berbeda dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) NAD karena merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat pusat.
A. Posisi, hambatan dan peluang Panwaslih Idealnya Panwaslih Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panwas tingkat nasional dan berbentuk ad-hoc yang diusulkan oleh DPRA/DPRD (UU PA pasal 60). Namun karena masa kerja Panwas Pusat untuk Pemilu/Pilpres 2004 telah berakhir maka pembentukan Panwaslih Aceh pertama dilakukan oleh DPRA dan pembentukan Panwaslih kabupaten/kota dilakukan oleh Panwaslih Aceh (UU PA pasal 266 dan Qanun No. 7 Tahun 2006 pasal 85B). Sedangkan bentuk pertanggungjawabannya dengan menyerahkan Buku Laporan Akhir 59
Serambi Indonesia, 19 September 2006. 49
Pengawasan Pemilihan kepada DPRA pada akhir masa tugasnya (Keputusan Panwas Pemilihan Aceh No. 29 Tahun 2006). Dengan modifikasi inilah kemudian dasar hukum formal pembentukan Panwaslih menjadi dimungkinkan. Pertanyaannya kemudian apakah panwaslih periode berikutnya akan mengacu pada pasal 60 UU PA maupun Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 pasal 20? Jawabannya sangat tergantung pada apakah panwas tingkat pusat akan menjadi komisi independen layaknya KPU dengan masa tugas 5 tahun dengan pertimbangan pilkada menjadi rezimnya pemilu. Bila tidak maka sepertinya Panwaslih akan selalu solo karir dalam melakukan pengawasan. Dapat dibayangkan dengan posisi panwaslih selevel propinsi saja akan mengawasi banyak kepentingan mulai dari tingkat lokal, nasional sampai internasional. Dengan posisi inilah Panwaslih harus mampu menghadapi minimal empat hambatan yang telah diuraikan di awal. Persoalan kompleksnya relasi bersinergi dengan lembaga pemantau akan dapat terlihat dengan kasat mata bila masing-masing pemantau memiliki pemahaman dan kerangka penyelesaian yang berbeda akan persoalan yang dihadapi. Padahal Panwaslih harus mampu membuka jaringan kerjasama seluas-luasnya dengan lembaga-lembaga pemantau non pemerintah level lokal, nasional dan asing bila ingin menghasilkan Pilkada yang lebih menjamin keadilan, kejujuran dan dilaksanakan secara konsisten
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Disinilah
diperlukannya keterbukaan dari Panwaslih. Kerjasama dengan lembaga pemantau ini harus dimulai sedini mungkin dari melakukan pelatihan bersama mengenai pengawasan yang efektif. Dengan itu diharapkan sejak awal akan terbentuk capacity building lalu berkembang dalam trust building sehingga kemudian secara terbuka membangun sinergi dalam sebuah mekanisme bersama menghadapi komplain dan investigasi di lapangan. Selain itu juga, Panwaslih perlu membangun kerangka kerja “pasti dan berbobot” dengan pihak Polri berkaitan dengan pelanggaran dan sengketa yang mengarah pada tindak pidana dan dengan KIP bila hasil temuan mengarah pada persoalan administratif. “Pasti” dalam arti dalam jangka waktu tertentu temuan telah ditindaklanjuti serta jaminan dimilikinya otoritas tindak lanjut hasil pengkajian pelanggaran oleh Panwaslih. “Berbobot” dalam arti temuan telah memenuhi unsur-unsur pidana dan administratif sesuai dengan peraturan perundang50
undangan yang berlaku. Karenanya Panwaslih menyusun sebuah klasifikasi detail tindakantindakan yang tergolong pidana, sengketa dan pelanggaran administrasi bersama dengan Polri dan KIP. Dengan demikian maka Panwaslih secara mudah dapat melaporkannya dengan Polri atau KIP kemudian dapat ditindaklanjuti dengan segera tanpa menghadapi perbedaan pandangan akan kasus tersebut. Penyusunan definisi yang lebih operasional dan aplicable disertai dengan contoh-contoh berdasar pengalaman pilkada daerah lain mungkin dapat lebih membantu. Catatan ketiga yaitu berkaitan dengan putusan sengketa yang efektif juga menjadi penting untuk dikawal. Seringkali karena tipisnya perbedaan definisi dan sulitnya membedakan antara sebuah pelanggaran dengan sengketa maka suatu persoalan menjadi sulit untuk diselesaikan apalagi munculnya tindakan anarkis simpatisan calon kepala daerah yang merasa dirugikan.
B. Kerjasama Berkaitan dengan catatan terakhir, Panwaslih mengadakan kerjasama dengan KIP dan Desk Pilkada Depdagri. Belajar pengalaman dari Pemilu dan Pilpres 2004, peran yang konfrontatif dari panwas terhadap KPU cenderung tidak produktif dan mengarah pada deadlock. Karenanya tanpa mengurangi peran kontrolnya, Panwaslih memang tepat membangun kerjasama dengan KIP untuk mengoptimalkan peran pengawasan yang saling menguntungkan. Demikian juga dengan Desk Pilkada Depdagri, Panwaslih perlu membangun kerjasama tanpa perlu merasa akan dikooptasi. Model kerjasama cair seperti pertukaran informasi dan sharing pengalaman mungkin baik dilakukan. Sebab mau tidak mau, Desk Pilkada-lah yang memiliki data dan pengalaman tentang persoalan-persoalan sengketa ataupun pelanggaran berkat lebih dari dua ratusan pilkada di seluruh Indonesia yang telah dilaksanakan pada periode 2005 sampai sekarang. Akhirnya, keefektifan Panwaslih sangat tergantung dengan kesediaan Panwaslih membuka dirinya untuk bersinergi dengan semua pihak demi terlaksananya Pilkada yang sudah ditunggu-tunggu warga NAD. Kita bersyukur bahwa dengan hal itu Pilkada NAD dapat berjalan dengan damai dan demokratis
51
BAB 8 TUGAS DAN WEWENANG PANWASLIH ACEH Mashudi SR
A. Pendahuluan Tugas penting yang diemban Pemerintah Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki dan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diantaranya adalah mewujudkan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara jujur, adil dan demokratis. Untuk itu, maka harus ada parameter yang jelas mengenai bagaimanakah pilkada yang demokratis tersebut. Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) menyebutkan bahwa suatu proses pemilihan dapat berjalan demokratis, apabila terdapat:60 c. seperangkat peraturan, yang meliputi undang-undang tentang pemilihan dan peraturan pelaksanaannya yang mampu menjamin partisipasi masyarakat secara bebas dan penuh, d. dukungan kelembagaan yang bisa dijadikan jaminan, e. mendapatkan pengawasan dalam pelaksanaannya. Terkait dengan syarat ketiga tersebut, selain peran serta masyarakat untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap jalannya Pilkada, Pilkada juga diawasi seluruh tahapan penyelenggaraannya oleh sebuah lembaga negara yang bersifat ad hoc dan melakukan pengawasan secara mandiri, yaitu Panitia Pengawas Pemilihan.
B. Pengawas Pemilihan dan Strukturnya Pengawas Pemilihan merupakan lembaga ad hoc yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pilkada Aceh, menerima dan menindaklanjuti
laporan,
dan
menyelesaikan
sengketa
yang
terjadi
pada
saat
penyelenggaraan pilkada Aceh. Pengawas Pemilihan terdiri atas Panitia Pengawas Pemilihan Aceh, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan adalah panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan Pemilihan.61
60
Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), Mari Kita Awasi Pemilihan Umum, vol. 1, (Jakarta: IPCOS, 1999), hal. 2. 61 Pasal 1 angka 3 Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh No. 29/2006. 52
Pengawasan Pemilihan adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk menjamin terselenggaranya Pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta dilaksanakannya peraturan perundang-undangan Pemilihan secara konsisten.62 Adapun struktur dan mekanisme pembentukan Panwaslih Aceh adalah sebagai berikut :
Struktur dari Mekanisme Pengawasan Menurut UU 11/2006 Pasal 60 (1) Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. (2) Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Undang-Undang ini diundangkan. (3) Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masingmasing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK. Pasal 255 Pengaturan tentang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 266 (1) Untuk pertama kali pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dilakukan oleh DPRA. (2) Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan kabupaten/kota dilakukan oleh Panitia Pengawas
Panitia Pengawas Pemilihan Aceh adalah institusi yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan pada tingkat provinsi.63 Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota adalah bagian dari Pengawas Pemilihan Aceh yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota.64
Panitia Pengawas Kecamatan adalah
bagian dari Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kecamatan.65 Pada Pilkada 11 Desember 2006, karena pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dilakukan dalam waktu yang bersamaan, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Kecamatan disamping bertugas sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota juga bertugas sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
62
Pasal 1 angka 7 Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh No. 29/2006. Pasal 1 angka 12 Qanun No. 7 Tahun 2006. 64 Pasal 1 angka 13 Qanun No. 7 Tahun 2006. 65 Pasal 1 angka 14 Qanun No. 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 6 Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh No. 29 Tahun 2006 menyebut Panitia Pengawas Kecamatan dengan istilah Pengawas Pemilihan Kecamatan. 63
53
Qanun No.2 Tahun 2004 membentuk Panitia Pengawas Gampong, yaitu pengawas pemilihan yang mengawasi pelaksanaan seluruh tahapan pemilihan di tingkat Gampong. Tetapi eksistensi Panitia Pengawas Gampong tersebut dihapuskan oleh Pasal 1 angka 15 Qanun No.3 Tahun 2005. Namun, ketentuan Pasal 66 ayat (3) Qanun No.7 Tahun 2006 menyebutkan bahwa “Hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara penghitungan suara tingkat Kecamatan yang ditandatangani oleh PPK, Panitia Pengawas Kecamatan, dan saksi-saksi.” Apa yang Menjadi Persoalan? Di tingkat Kecamatan hanya ada 3 orang Anggota Pengawas Pemilihan Kecamatan, sedangkan dalam satu kecamatan terdiri dari beberapa Gampong, dan dalam satu Gampong rata-rata terdapat puluhan TPS, bagaimana cara 3 orang Anggota Panitia Pengawas Kecamatan menyaksikan dan menandatangani hasil penghitungan suara di puluhan TPS yang “rata-rata” diadakan pada saat bersamaan? Dalam pelaksanaan, semua komponen baik KIP, Panwaslih, maupun peserta ternyata tidak mempersoalkan hal ini dan kehadiran panwas untuk menyaksikan dan menandatangi ditafsirkan sebagai kebolehan dan bukan keharusan.
54
Bagan 5 Tugas dan Wewenang Panwaslih
Panitia Pengawas Pemilihan Aceh
Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota
Panitia Pengawas Kecamatan
•melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilihan pada tingkat provinsi. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan yang dilakukan oleh pasangan calon/tim kampanye pasangan calon peserta pemilihan pada tingkat provinsi, •mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. •menyelesaikan sengketa pemilihan yang melibatkan pasangan calon atau tim kampanye pasangan calon peserta pemilihan pada tingkat provinsi. •meneruskan temuan dan laporan yang merupakan pelanggaran administratif kepada KIP •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran yang mengandung unsur pidana kepada penyidik Polri. •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran lainnya kepada instansi yang berwenang menangani.
•melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilihan pada tingkat kabupaten/kota. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan yang dilakukan oleh pasangan calon/tim kampanye pasangan calon peserta Pemilihan pada tingkat kabupaten/kota. •mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. •menyelesaikan sengketa pemilihan yang melibatkan pasangan calon atau tim kampanye pasangan calon peserta pemilihan pada tingkat kabupaten/kota. •meneruskan temuan dan laporan yang merupakan pelanggaran administratif kepada KIP. •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran yang mengandung unsur pidana kepada penyidik Polri. •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran lainnya kepada instansi yang berwenang menangani.
•Pengawas Pemilihan Kecamatan melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan pemilihan pada tingkat kecamatan. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan. •menerima laporan pelanggaran peraturan pemilihan yang dilakukan oleh pasangan calon/tim kampanye pasangan calon peserta Pemilihan pada tingkat kecamatan. •mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. •menyelesaikan sengketa pemilihan yang melibatkan pasangan calon atau tim kampanye pasangan calon peserta pemilihan pada tingkat kecamatan. •meneruskan temuan dan laporan yang merupakan pelanggaran administratif kepada KIP •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran yang mengandung unsur pidana kepada penyidik Polri. •meneruskan temuan dan laporan pelanggaran lainnya kepada instansi yang berwenang menangani.
55
Tugas dan wewenang KIP
•Pasal 58 ayat (1) UU 11/2006 •merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •menerima pendaftaran pasangan calon sebagai peserta pemilihan; •meneliti persyaratan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang diusulkan; •menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; •menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye; •melakukan audit dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; •menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota melalui rapat pleno; •melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan •melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan
Bagan 6 Perbedaan Tugas dan Wewenang KIP dan Panwaslih
•Pasal 61 ayat (1) UU 11/2006 •melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan •melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. •Pasal 62 UU 11/2006 •pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; •penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan •pengaturan hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan.
56
BAB 9 PENGAWASAN PADA BEBERAPA TAHAPAN PILKADA Topo Santoso
A. Mekanisme Pengawasan Pilkada Pengawasan merupakan salah satu tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan kepala daerah. Pengawasan bersifat aktif, sehingga panitia pengawas bukan hanya menunggu adanya laporan dari masyarakat, dari kandidat atau
dari partai politik. Pengawasan
dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada peraturan mengenai pemilihan kepala daerah yang dilanggar, siapa yang melanggar, kapan dilanggar, dan implikasi hukum apa yang timbul dengan adanya pelanggaran itu. Berdasarkan hasil pengawasan maka dapat ditemukan adanya pelanggaran yang bisa diproses lebih lanjut sesuai ketentuan. Sebagai contoh apabila dari hasil pengawasan, pengawas pemilihan melihat dan mengetahui adanya penyuapan kepada pemilih agar memilih kandidat tertentu, maka ia harus segera memproses hal tersebut dan meneruskannya kepada pihak yang berwenang dalam menangani tindak pidana pemilihan yaitu polisi. Contoh lainnya, jika dalam kampanye, panitia pengawas mengetahui adanya pelaksanaan kampanye yang merupakan pelanggaran non- pidana maka hal itu kemudian diteruskan kepada Komisi Independen Pemilihan . Melalui pengawasan secara umum, panitia pengawas juga dapat mengetahui seberapa jauh peraturan mengenai pemilihan telah dilaksanakan oleh semua pihak. Pengawas pemilihan juga dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran ketentuan karena kehadirannya. Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Qanun Pemilihan Kepala Daerah tidak merinci bagaimana mekanisme pengawasan pemilihan kepala daerah di Aceh akan dijalankan, sehingga hal ini sebenarnya dapat dikembangkan oleh panitia pengawas pemilihan sendiri sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 31 Tahun 2006 maka pengawasan meliputi kegiatan mengamati, meneliti, memeriksa, dan menilai apakah penyelenggaraan pemilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk pemilihan itu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah di Aceh, maka pengamatan, 57
penelitian, pemeriksaan dan penilaian itu untuk mengetahui apakah proses yang berjalan sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Qanun Pemilihan Kepala Daerah dan Keputusan KIP yang terkait. Pengawasan Pemilihan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya Pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta dilaksanakannya peraturan perundangundangan Pemilihan secara konsisten. Pengawasan dilakukan terhadap semua tahapan penyelenggaraan pemilihan, yaitu : Pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk; Pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta Pemilihan; Pencalonan Pasangan Calon; Kampanye ; Pemungutan dan penghitungan suara, yang terdiri dari atas: pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS serta Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KIP Kabupaten/Kota dan KIP Aceh; Penetapan hasil Pemilihan; Penetapan perolehan suara; Pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota; dan Kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan seluruh tahapan Pemilihan seperti tersebut . Dengan demikian seharusnya Panwaslih sudah terbentuk secara lengkap sebelum tahapan pertama pemilihan dilakukan. Meski demikian, dalam kenyataannya, pada beberapa proses pemilihan (pemilu/ pilkada), panwas terbentuk sesudah satu atau dua tahapan dimulai. Dalam kondisi seperti ini memang ada kekurangannya yaitu tahapan-tahapan sebelumnya tidak dapat diawasi sehingga kemungkinan terjadinya pelanggaran pemilihan tidak dapat diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Jika panwaslih baru terbentuk sesudah satu atau beberapa tahapan dimulai, maka pengawasan harus segera dilakukan terhadap tahapan-tahapan pemilihan yang tersisa. Sebagai contoh, ketika panwas secara lengkap baru terbentuk sesudah tahapan pendaftaran pemilih dan tahap penetapan kandidat pilkada, maka sebaiknya focus pengawasan adalah pada tahapan berikutnya yaitu kampanye dan pemungutan dan penghitungan suara. Meski demikian, dalam proses pemilihan (pemilu/ pilkada) terkadap penyimpangan atau pelanggaran yang tempus atau waktunya terjadi pada tahapan sebelumnya baru dilaporkan jauh sesudah tahapan itu selesai. Sebagai contoh, proses pendaftaran pemilih dilakukan dan harusnya selesai pada tahapan pendaftaran pemilih yang waktunya sudah ditentukan. Keberatan dari pihak yang dirugikan (misalnya warga yang belum terdaftar) harusnya sudah diajukan dan diselesaikan oleh penyelenggara pemilihan pada tahapan tersebut dan tidak 58
dapat diajukan jika sudah memasuki tahapan pemilihan berikutnya. Namun dalam praktiknya, isyu pendaftaran pemilih ini muncul lagi menjelang dilakukannya pemungutan suara, karena adanya dugaan banyak warga tidak didaftar (baik sengaja atau karena kelalaian petugas). Masalah-masalah semacam ini tentu kemudian diajukan kepada panwaslih. Meski demikian, pada umumnya masalah-masalah yang muncul pada setiap tahapan pemilihan benar-benar merupakan masalah pada tahapan itu saja. Hal ini tentu berkaitan dengan kapasitas penyelenggara dalam menjalan tugas pada setiap tahapan pemilihan sehingga tidak menyisakan masalah pada tahapan berikutnya. Bagaimana sikap panwas jika mendapati masalah seperti di atas ? untuk menjamin kepastian hukum dan kesatuan penerapan hukum maka Panwaslih harus kembali kepada peraturan khusus yang mengatur masalah ini. Dalam contoh kasus yang dikemukakan di atas, maka sebaiknya Panwaslih melihat bagaimana jika ada banyak pendaftar yang belum terdaftar. Apakah hukum masih memungkinkan adanya perubahan daftar pemilih ? sampai kapan perubahan itu bisa dilakukan ? syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi jika ada perubahan tersebut ?
Panwaslih juga harus melihat siapa yang berwenang melakukan
perubahan itu. Berdasarkan hal ini, dalam rangka pengawasan tadi maka Panwaslih dapat memberikan rekomendasi kepada penyelenggara pemilihan (KIP) karena lembaga inilah yang memiliki kewenangan dalam hal ini. Dalam rangka melakukan pengawasan pemilihan, pengawasan pemilihan kepala daerah di Aceh dilakukan oleh : Panitia Pengawas Pemilihan Aceh, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan, Pihak-pihak yang diberi mandat tertentu oleh Pengawas Pemilihan. Di dalam melaksanakan pengawasan maka terdapat pembagian tugas sesuai wilayah kerjanya, yaitu Panitia Pengawas Pemilihan Aceh melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan Pemilihan pada tingkat provinsi, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan Pemilihan pada tingkat kabupaten/kota, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan melakukan pengawasan atas seluruh tahapan kegiatan penyelenggaraan Pemilihan pada tingkat kecamatan, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan dalam melaksanakan tugasnya dapat menunjuk warga masyarakat untuk membantu melakukan pengawasan di tempat pemungutan suara (TPS). 59
Mekanisme Pengawasan Pemilihan dilakukan secara aktif. Pengawasan aktif ini dapat dilakukan dengan cara: Memilih satu atau beberapa fokus sasaran pengawasan di setiap tahapan yang dianggap mempunyai potensi besar untuk terjadinya Pelanggaran, Mengawasi secara acak pada sasaran pengawasan dan daerah pemilihan tertentu.
Pengawasan ini
ditetapkan sendiri oleh masing-masing pengawas Pemilihan di setiap tingkatan. Panwas dapat meminta informasi yang dibutuhkan dalam rangka pengawasan Pemilihan kepada penyelenggara Pemilihan dan pihak terkait lainnya. Penyelenggara Pemilihan dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada pengawas Pemilihan untuk memperoleh informasi guna pelaksanaan pengawasan sesuai dengan pasal 61 dan pasal 62 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Apabila penyelenggara Pemilihan dan pihak terkait lainnya yang tidak memberikan informasi seperti tersebut pada huruf (c) di atas, maka pengawas Pemilihan dapat melaporkan kepada pihak Kepolisian untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan pengawasan, pengawas Pemilihan harus disertai dengan Surat Tugas (Formulir PC-1). Pengawas Pemilihan membuat berita acara untuk setiap temuan yang di dapat dari hasil pengawasan (Formulir PC-2). Temuan yang dimaksud adalah bukti-bukti awal pelanggaran, misalnya: surat suara palsu, kaset rekaman, keterangan saksi yang melihat kejadian, sobekan alat peraga kampanye, dll. Pengawas Pemilihan segera melakukan pengkajian dan memutuskan setiap temuan yang didapatkan selambat-lambatnya 7 hari, dan dapat diperpanjang selambat-lambatnya 14 hari setelah temuan didapatkan. Hasil dari pengkajian dapat berupa: pelanggaran yang mengandung unsur pidana, pelanggaran administrative, dan bukan suatu Pelanggaran. Apabila menurut hasil kajian dinyatakan bahwa temuan merupakan pelanggaran yang mengandung unsur pidana, maka pengawas Pemilihan meneruskan temuan tersebut kepada penyidik Kepolisian RI sesuai lampiran PA-3 SK Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pelaporan. Apabila menurut hasil kajian dinyatakan bahwa temuan merupakan pelanggaran administratif, maka pengawas Pemilihan meneruskan kepada KIP Aceh /KIP Kabupaten/Kota/ Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sesuai lampiran PA-4 SK Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pelaporan.
60
B. Pengawasan Tahapan Kampanye 1. Pengertian kampanye c. Kampanye dalam Pengertian Umum Secara umum kampanye dapat diartikan sebagai kegiatan berupa apa saja yang dimaksudkan untuk meraih simpati dan dukungan para pemilih agar memilihnya dalam suatu pemilihan. Dengan demikian kampanye ini dapat dilakukan jauh sebelum pelaksanaan pemilihan, baik oleh seorang calon, partai, pendukung, ataupun bakal calon pemilihan. Bentuk dari kampanye ini tidak sebatas penyampaian visi dan misi atau program seorang calon, tetapi bisa juga hanya penyampaian informasi pelayanan masyarakat, ucapan selamat, foto, kartu ucapan, pertunjukan, dan sebagainya. Dengan pengertian ini, maka sebenarnya banyak sekali kegiatan dan aktivitas dari pihak-pihak yang berniat mencalonkan diri dalam suatu pemilihan dapat disebut kampanye dalam arti umum. Kalau semua aktivitas tersebut dikenakan sanksi pidana, maka tentu akan banyak yang terkena hukuman. Oleh sebab itu, sebenarnya masyarakat sendiri yang akan menilai apakah tindakan dan aktivitas semacam itu baik ataukah tidak, dan masyarakat pula yang akan memberikan implikasi kepada pihakpihak tersebut pada proses pemilihan. Berbagai aktivitas tersebut di atas, khususnya pemasangan Baliho, Spanduk, dan sebagainya pada masa sebelum kampanye seringkali disebut di masyarakat sebagai suatu upaya sosialisasi para bakal calon pemilihan. Memang sangat tipis antara kampanye dengan sosialisasi. Pada hakekatnya sosialisasi itu dalam pengertian umum (sosiologis dan juga politis) adalah suatu “kampanye”. Aktivitas di atas juga tunduk pada ketentuan hukum, misalnya ketentuan mengenai tatacara dan retribusi pemasangan iklan atau peraturan daerah mengenai kebersihan atau ketertiban, dan sebagainya. Dengan demikian, sebenarnya ada aturan hukum lain yang dapat diterapkan. Aturan hukum itu tentu ditegakkan oleh aparat sesuai ketentuan yang berlaku.
61
d. Kampanye dalam Pengertian Hukum (Khususnya Hukum Mengenai Pilkada di Aceh) Pengertian kampanye secara yuridis dapat dilihat dalam Qanun No. 7 Tahun 2006. Menurut Pasal 1 Butir 30 kampanye pemilihan (yang selanjutnya disebut kampanye) adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi dan misi pasangan calon. Dengan pengertian di atas maka unsur-unsur dari kampanye adalah : 1) kegiatan; 2) dalam rangka meyakinkan para pemilih; 3) dengan menawarkan visi dan misi pasangan calon.
Unsur-unsur ini sangat menentukan
apakah suatu kegiatan tergolong kampanye ataukah tidak dan menentukan apakah suatu aktivitas telah melanggar ketentuan kampanye ataukah tidak. Hal ini sangat penting khususnya terkait adanya pelanggaran berupa kampanye di luar jadwal yang ditentukan. Di dalam prakteknya, pihak pengawas yang menemukan indikasi pelanggaran berupa kampanye di luar jadwal akan meneruskan ke penyidik, penyidik akan meneruskan ke penuntut umum, dan akhirnya ke pengadilan. Pengadilan lah yang akan menentukan apakah telah terjadi tindak pidana kampanye di luar jadwal atau tidak. 2. Pelanggaran-pelanggaran Kampanye dan Sanksinya Berkaitan dengan kampanye Pilkada, ada sejumlah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam undang-udang, Qanun, serta Keputusan KIP Aceh mengenai Kampanye. Ada berbagai Pelanggaran yang diwaspadai pada masa kampanye dimana pelanggarannya akan dapat dijatuhi sanksi baik pidana maupun administrative. Sebagaimana diuraikan di bawah ini :
62
Tabel 8 Ketentuan Kampanye dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal dalam UU 32/2004 Ps. 116 (1) junto Ps 75 (2)
Pelanggaran Kampanye luar jadwal
Ps. 116 (4) juncto Ps. 83
Penyimpangan pejabat
Ps. 116 (5)
Kacaukan,halangi,ganggu kampanye
Sanksi Pidana 15 hari – 3 bulan, dan/ denda Rp. 100.000- 1 juta 1 – bulan, dan/atau denda Rp 600.000 – 6 juta 1 – bulan, dan/atau denda Rp 600.000 – 6 juta 2-12 bulan, dan/atau denda Rp 1 – 10 juta 3-18 bulan dan/ denda Rp 600.000 – 6 juta
Sanksi Administratif -----
-----
-----
Ps. 116 (8)
Pelanggaran lporan dana kampanye
Ps. 78 a – f Juncto[Ps. 116 (2)]
Persoalkan Pancasila, pembukaan UUD, penghinaan, penghasutan, adu domba, ancaman kekerasan
Ps. 83 Juncto [ Ps. 116 (6)]
Dana kampanye melebihi ketentuan
Ps. 78 g– j Juncto [ Ps. 116 (3)]
Rusak peraga kampanye, fasilitas & anggaran pemerintah/daerah, tempat ibadah/pendidikan, pawai
1-6 bulan, dan/ denda Rp. 100.000- 1 juta
Peringatan tertulis, Penghentian Kampanye
Ps. 79 (1), (3), (4) juncto [Ps. 116 (3)] Ps.82 juncto[Ps. 117 (2) ] Ps. 85 Juncto [ Ps. 116 (7)]
Pelibatan hakim, pejabat BUMN/D, pejabat negeri struktural/fungsional, kepala desa
1-6 bulan, dan/ denda Rp. 100.000- 1 juta
Penghentian Selama masa kampanye
Suap (money Politics)
2-12 bulan dan/ denda Rp 1 juta – 10 juta 4-24 bulan dan/ denda Rp 200 juta – I milyar
Pembatalan Calon (setelah Putusan Tetap)
Dana kampanye terlarang
4-24 bulan dan/ denda Rp 200 juta – I milyar
-----
-----
-----
Pembatalan Calon (setelah Putusan Tetap)
Karena Pilkada di Aceh dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 dan juga Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan Qanun No. 7 Tahun 2006, maka kita perlu melihat ketentuan mengenai Pelanggaran kampanye dan sanksinya dalam Qanun tersebut. Khusus mengenai Pelanggaran administrative tentunya penyelesaian dan penjatuhan sanksinya sesuai Qanun Pilkada Aceh, sementara untuk 63
sanksi pidana ada ketentuan Pasal 84 ayat (2) yang menyatakan bahwa jika tindak pidana yang diatur dalam Qanun ini juga terdapat pengaturannya dalam perundangundangan lain yang lebih tinggi maka yang diberlakukan adalah ketentuan dari perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut. Dengan demikian kita mesti melihat apakah ketentuan pidana dalam Qanun sudah diatur dalam ketentuan pidana dalam undang-undang yang lebih tinggi. Undang-undang yang lebih tinggi dalam konteks pemilihan kepala daerah tentunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berikut adalah ketentuan mengenai pelangaran-pelanggaran kampanye dalam Pilkada di Aceh dan sanksinya. Tabel 9 Pelanggaran Kampanye dan Sanksi nya dalam Qanun Pilkada Aceh Pasal 39A (1)
39 A (2)
Pelanggaran Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (4) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5), ayat (12) dan ayat (13)
Rujukan PNS, anggota TNI/POLRI aktif dilarang menjadi juru kampanye
39 (5) Dalam kampanye, pasangan calon atau Tim Kampanye dilarang melibatkan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; Hakim pada semua peradilan; Pejabat BUMN/BUMD; Pejabat Struktural dan Fungsional; Imum Mukim atau nama lain; Kepala Desa (Keuchik) atau nama lain
Sanksi Pidana -----
-----
Sanksi Administratif sanksi pelanggaran disiplin sesuai dengan peraturan perundangundangan.
sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye oleh KIP.
39 (12) Pasangan calon dalam pemilihan, dilarang melaksanakan kampanye pada hari yang sama. 39 (13) Pasangan calon dilarang melibatkan Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negera Republik Indonesia, sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan.**
64
39 A (3) Jo Pasal 82 (2)
82 (2)
81 (1)
81 (2)
Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (14), Setiap orang yang dengan sengaja memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan haknya atau memilih peserta pemilihan tertentu atau menggunakan haknya dengan cara tertentu sehingga kertas suaranya menjadi tidak sah pelanggarankam panye sebagaimana dimaksud pasal 47 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
Pelanggaran kampanye pasal 47 ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g,
kurungan 2 - 6 (enam) bulan dan/ denda Rp. 1.000.000,Rp. 5,000.000,-
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh oleh KIP.
-----
kurungan 2 - 6 (enam) bulan dan/ denda Rp. 1.000.000,Rp. 5,000.000,-
Jika dilakukan Pasangan calon dan/atau tim kampanye ada sanksi administratif pembatalan sebagai calon (Lihat Pasal 39 A (3)
Pasal 47 (1) Dalam kampanye dilarang: a. mempersoalkan ideologi dan UUD negara; b. b.menyalahgunakan penafsiran ketentuan agama untuk kepentingan calon; c. c.melakukan penghinaan terhadap calon lain, orang lain, instansi pemerintah dan swasta, partai politik, organisasi massa, agama, suku, ras dan kelompok masyarakat lain; d. d. menghasut dan mengadu domba; e. mengganggu ketertiban dan ketentraman umum serta kelancaran lalu lintas; f. menggunakan sarana milik pemerintah atau yang dikuasai oleh pemerintah;
Kurungan 3 - 6 bulan dan/ denda Rp.300.000,Rp. 5.000.000,
kampanye dihentikan dan dibubarkan oleh aparat kepolisian atas permintaan KIP/ Panitia pengawas sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan
kurungan 2 - 4 dan/ denda Rp. 200.000,- Rp. 3.000.000,-
kampanye dihentikan dan dibubarkan oleh aparat kepolisian atas permintaan KIP/ Panitia sesuai dengan tingkatan daerah yang
39 (14) Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.**
65
g.
81 (3)
Pelanggaran kampanye dalam pasal 40 dan pasal 41,
bersangkutan.
menggerakkan massa dari luar wilayah administratif sesuai dengan tingkatan kampanye; dan
Pasal 40 1) Kampanye dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.** a) Waktu 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah merupakan masa tenang. 2) Kampanye dapat dilaksanakan setiap hari, sejak pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB, kecuali media elektronik. Khusus hari Jum'at, kampanye dapat dilaksanakan sejak pukul 14.30 sampai dengan pukul 18.00 WIB 3) Kegiatan kampanye harus dihentikan pada saat azan dikumandangkan dan dapat dimulai kembali setelah shalat berjama’ah selesai.
Kurungan 1- 3 bulan dan/ denda Rp. 100.000,- - Rp. 2.000.000,-
pelanggaran Pasal 40 ayat (1), ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3), KIP dapat menghentikan kegiatan kampanye
Pasal 41 (1) Kampanye dilaksanakan di tempat-tempat yang dapat dihadiri oleh masyarakat secara bebas. (2) Kampanye tidak boleh diadakan di tempat-tempat ibadah, pendidikan, kantor pemerintah, dan tempat-tempat yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap ketertiban umum dan kelancaran lalu lintas. (3) Apabila kampanye dilaksanakan pada waktu bersamaan, tempat kampanye antara satu calon dengan calon lainnya harus berjarak minimal 2 (dua) kilometer.**
66
81 (4)
81 (5)
dengan sengaja menghalangi, mengganggu atau mengacaukan jalannya kampanye Pelanggaran dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan pasal 49
(4) Pengaturan waktu dan tempat kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KIP Provinsi, KIP Kabupaten/Kota atau Panitia Pemilihan Kecamatan sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye.* -----
Pasal 48 (1) Dana kampanye terdiri dari:66 (2) Segala bentuk hutang dan pinjaman dari pihak manapun untuk keperluan kampanye, baik dalam bentuk uang, barang, dan jasa, dicatat sebagai sumbangan. (3) Segala pengeluaran dan/atau sumbangan dalam bentuk natura harus dikonversikan ke dalam Rupiah.
kurungan 2 - 4 bulan dan/ denda Rp, 200.000 - Rp. 4.000.000,kurungan 2 - 4 bulan dan/ denda t Rp. 300.000 - Rp. 3.500.000,-
------
Pasal 49 1) Dana kampanye diperoleh dari:67 2) (2)Dalam rangka pengumpulan dana kampanye, pasangan calon dapat melakukan pengumpulan dana melalui penjualan segala macam bentuk materi dan atribut kampanye kepada 66
a. biaya transportasi, akomodasi, dan biaya-biaya lain yang berkaitan dengan perjalanan kampanye. b. atributatribut kampanye, seperti bendera, kaos, pamflet, billboard, topi, pin, badge, spanduk, stiker, brosur, balon udara dan lain-Iain; c. peralatan kantor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. d. biaya mobilisasi dalam proses pelaksanaan kampanye. e. biaya komunikasi dan pengangkutan barang cetakan untuk keperluan kampanye; f. biaya pertemuan-pertemuan politik dan pawai, serta penggunaan perlengkapan kampanye termasuk tata suara, panggung dan dekorasinya, serta penggunaan lampu di lokasi kampanye; g. biaya iklan kampanye di media cetak maupun elektronik; h. biaya perbantuan staf ahli atau konsultan yang diberikan oleh suatu pihak kepada calon peserta Pemiiihan, baik yang diberikan langsung maupun yang dibayarkan oleh pihak ketiga; i. potongan harga dan tarif yang diberikan oleh suatu pihak kepada calon. 67
a. peserta Pemilihan yang bersangkutan, yang berasal dari rekening khusus untuk kampanye. b. badan-badan usaha swasta dalam negeri dan perorangan Warga Negara Indonesia, 67
masyarakat umum tanpa paksaan*. 3) Semua pengeluaran bagi kampanye untuk calon dari partai politik, gabungan partai politik, dan independen hanya dapat ditarik dari rekening khusus untuk kampanye*. (4) Rekening khusus untuk kampanye partai politik, gabungan partai politik, dan calon independen terpisah dari rekening dana partai politik, gabungan partai politikm dan independen reguler* (5) Rekening khusus untuk kampanye dari pasangan calon dibuka pada saat pencalonan peserta dimulai* (6) Batas sumbangan individu untuk dana kampanye paket calon Gubernur dan Wakil Gubernur maksimal sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah). (7) Batas sumbangan perusahaan termasuk anak-anak perusahaannya atau badan hukum lain untuk dana kampanye paket calon Gubernur dan Wakil Gubernur maksimal sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah). (8) Batas sumbangan individu untuk dana kampanye paket calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota, maksimal sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) (9) Batas sumbangan perusahaan atau badan hukum lain untuk dana kampanye paket calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota maksimal sebesar Rp. 50,000.000,- (lima puluh juta rupiah) (10) (dihapus)* (11) Setiap calon peserta Pemilihan dilarang menerima bantuan dana kampanye dari: a. pejabat Negara, baik sipil 68
maupun militer; b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau pihakpihak manapun yang memiliki sangkut-paut dan/atau kepentingan dengan kedua badan usaha tersebut; a. organisasi Non-Pemerintah (Ornop); b. badan-badan hukum asing dan perorangan Warga Negara Asing; c. pemerintah atau agen pemerintah asing; d. perusahaan atau badan hukum lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. (12) Rekening khusus untuk kampanye dilarang atas nama pribadi. (13) Penggunaan dana untuk berbagai kegiatan dan kebutuhan kampanye, dilakukan secara transparan. 81 (6)
memberikan keterangan yang tidak benar dalam pelaksanaan audit dana kampanye
-----
kurungan 2 - 4 bulan dan/ denda Rp. 200.000 - Rp. 3.500.000,-
Peranan Panwaslih dalam pelaksanaan kampanye adalah dengan mengawasi jalannya kampanye apakah ada pelanggaran peraturan perundang-undangan terkait kampanye sebagaimana diuraikan di atas ataukah tidak.
Apabila terdapat pelanggaran maka
Panwaslih harus mengkajinya apakah pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana ataukah hanya pelanggaran administratif atau bisa kedua-duanya. Apabila pelanggaran kampanye itu merupakan tindak pidana maka Panwaslih harus segera menyampaikan temuan tersebut kepada penyidik polri. Apabila pelanggaran yang ditemukan merupakan pelanggaran administratif maka Panwaslih menyampaikan kepada KIP sesuai tingkatannya. Misalnya terjadi pelanggaran Pasal 40 Qanun Pilkada maka Panwas menyampaikan kepada KIP yang memiliki kewenangan menghentikan kampanye. 69
Panwaslih juga dapat memberikan rekomendasi untuk penghentian kampanye kepada kepolisian apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diatur pada Pasal 47 (1) Qanun Pilkada Aceh.
C. Pengawasan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Tahapan pemungutan dan penghitungan suara merupakan tahapan yang paling menentukan karena pada tahap inilah akan ditentukan siapa yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah. Berbagai Pelanggaran atau kecurangan atau kesalahan yang terjadi pada tahapan ini bisa sangat menentukan apakah satu pasangan calon berhasil ataukah gagal. Untuk jelasnya, apabila terjadi kesalahan/ kekeliruan penghitungan suara atau adanya manipulasi penghitungan suara atau banyaknya pemilih yang memilih lebih dari satu kali, maka hal ini bisa mengakibatkan gagalnya satu pasangan calon meraih suara terbesar karena suara yang diperolehnya telah bergeser kepada pihak lain atau pihak lain memperoleh penggelembungan suara. Oleh karena itu pengawasan pada tahapan ini membutuhkan suatu perhatian yang tinggi dari setiap pengawas pemilihan. Meski sangat menentukan, ada keterbatasan pada pengawas pemilihan yaitu struktur panwas maupun jumlah personel tidak mungkin dapat menjangkau hingga seluruh desa atau seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS). Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama dengan beberapa pihak, antara lain : 1. Kepolisian Kepolisian mempunyai personil hingga ke desa-desa sehingga Panwas dapat memperoleh informasi penting tentang terjadinya suatu Pelanggaran pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara; 2. Pemantau Pemantau yang memantau proses pemungutan dan penghitungan suara hingga ke TPS-TPS juga dapat menjadi mitra penting Panwaslih karena apabila pemantau menemukan adanya penyimpangan atau Pelanggaran dapat memberi informasi mengenai hal tersebut yang dapat segera ditindaklanjuti oleh panwas kecamatan.
70
3. Saksi-saksi Pasangan Calon Semestinya yang paling berkepentingan dengan proses pemungutan dan penghitungan suara adalah para pasangan calon dan Tim Kampanyenya. Oleh sebab itu untuk menghindari perbuatan yang merugikan pihaknya, seharusnya mereka menunjuk saksisaksi di setiap TPS dan tidak hanya menyerahkan pengawasan dan pemantauan kepada Panwas dan pemantau. Dengan adanya saksi-saksi itu maka apabila terdapat penyimpangan ketentuan pada proses pemungutan dan penghitungan suara maka para saksi tersebut dapat segera melaporkan kepada Panwas setempat. 4. Masyarakat Peranan warga masyarakat di sekitar TPS, PPS, atau PPK sangat penting dalam ikut mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara, apalagi di tempat-tempat dimana jumlah pengawas, pemantau atau saksi-saksi kurang. Panwas perlu menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat untuk mengetahui apakah ada Pelanggaran atau tidak. Ada sejumlah Pelanggaran yang sering terjadi sehingga mesti diantisipasi pada tahapan ini yaitu : mengaku diri sebagai orang lain , memberi suara lebih dari satu kali, sengaja menyebabkan suara pemilih tidak berharga/ mengurangi/menambah suara pasangan tertentu, sengaja merusak/menghilangkan hasil penghitungan suara yg sudah disegel, kelalaian menyebabkan rusak/hilangnya hasil penghitungan yg sudah disegel, serta sengaja mengubah hasil dan/ berita acara dan sertifikat hasil penghitungan. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 juga diatur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Bab IV, Bagian Kedelapan, Paragraf Tujuh, yaitu pasal 115, pasal 116, pasal 117, dan pasal 118. Begitu juga ketentuan pasal 119 yang mengatur mengenai Dasar Pemberat Pidana,
khusus yang terkait dengan
tahapan pemungutan dan penghitungan suara kita harus melihat dua pasal yaitu Pasal 117 dan Pasal 118. Pasal 117 memuat delapan tindak pidana Pilkada yang norma-norma larangannya berkaitan dengan tahapan pemungutan suara atau pencoblosan suara. Meski demikian dapat juga terjadi pada tahapan lainnya, seperti Pasal 117 (2) yang sering disebut dengan “politik uang” ini dapat terjadi pada tahapan kampanye.
71
Sedangkan pasal 118 memuat empat tindak pidana Pilkada yang dari norma-norma larangannya berkaitan dengan tahapan pasca pemungutan suara atau pencoblosan suara. Jadi bisa saja terjadi pada tahapan penghitungan suara. Di dalam Qanun Pilkada Aceh ternyata juga diatur ketentuan pidana terkait dengan tahapan pemungutan dan penghitungan suara ini yang normanya memiliki kesamaan dengan ketentuan pidana pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 di atas, akan tetapi ancaman sanksinya berbeda. Selain itu jumlah tindak pidananya kurang satu. Untuk jelasnya kita dapat lihat perbandingannya pada table berikut : Tabel 10 Perbandingan Tindak Pidana pada Tahapan Pemungutan Suara Norma
Pasal dalam UU 32/2004
Ancaman Pidana dalam UU No. 32/2004
Pasal dalam Qanun
Ancaman Pidana dalam Qanun
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalanghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih.
117 (1)
Penjara 2 - 12 bulan dan/ denda Rp1.000.000,00 Rp10.000.000,00
82 (1)
Kurungan 2 – 6 bulan dan/ denda Rp 1 juta – 5 juta
Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta Pilkada tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah.
117 (2)
Penjara 2 - 12 bulan dan/ denda Rp1.000.000,00 – Rp10.000.000,00
82 (2)
Kurungan 2 – 6 bulan dan/ denda Rp 1 juta – 5 juta
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain.
117 (3)
Penjara 15 - 60 hari dan/atau denda Rp100.000,00 Rp1.000.000,00
-----
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS.
117 (4)
Penjara 1 - 4 dan/atau denda 200.000,00- Rp 2.000.000,00
82 (3)
-----
Kurungan 2 -4 bukan dan/ denda Rp 200.000 – Rp 2 juta
72
Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara
117 (5)
Penjara 6 bulan3 tahun dan/atau denda Rp1.000.000,00 Rp10.000.000,00
82 (4)
Kurungan 4 – 6 bulan dan/ denda Rp 2 juta – 5 juta
Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan. Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat 68 (1) . Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2)69, dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain.
117 (6)
Penjara 2 - 12 bulan dan/atau denda Rp1.000.000,00 Rp10.000.000,00
82 (5)
Kurungan 2 – 6 bulan, dan/ denda Rp 1 juta – 5 juta
117 (7)
Penjara 2 - 12 bulan dan/atau denda Rp1.000.000 Rp10.000.000,-
82 (6)
Kurungan 2 – 6 bulan, dan/ denda Rp 1 juta – 5 juta
117 (8)
Penjara 2 -12 bulan dan/atau denda Rp1.000.000Rp10.000.000
82 (7)
Kurungan 2 – 6 bulan, dan/ denda Rp 1 juta – 5 juta
Berikut perbandingan ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan ketentuan pidana pada Qanun Pilkada Aceh khususnya tindak pidana Pilkada yang dari norma-norma larangannya berkaitan dengan tahapan pasca pemungutan suara atau pencoblosan suara. Jadi bisa saja terjadi pada tahapan penghitungan suara.
68
Pemilih Tunanetra, tunadaksa atau yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh petugas atau orang lain atas permintaan pemilih. Pada Qanun, ketentuan ini diatur dalam Pasal 60 (5) dan (6). 69 Dalam Qanun Pilkada Aceh ketentuan ini diatur pada Pasal 60 (5) dan (6). 73
Tabel 11 Perbandingan Tindak Pidana Tahap Pasca Pemungutan Suara Norma
Pasal dalal UU 32/2004
Sanksi Pidana dalam UU 32/2004
Pasal dalam Qanun Pilkada Aceh
Sanksi Qanun
Pidana
dalam
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan peserta Pilkada tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang.
118 (1)
Penjara 2 bulan 1 tahun dan/atau denda Rp1.000.000 Rp10 juta
83 (1)
kurungan 2 - 6 bulan dan/atau denda Rp.1.000,000,-Rp. 5.000.000,-
Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel.
118 (2)
Penjara 4 bulan 2 tahun dan/atau denda Rp2.000.000 – Rp 20 juta
83 (2)
kurungan 2 - 6 bulan dan/atau denda Rp.2.000,000,-Rp. 5.000.000,-
Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel.
118 (3)
Penjara 15 hari 2 bulan dan/atau denda Rp100.000, - Rp 1 juta
83 (3)
Kurungan 15 hari - 2 bulan dan/atau denda 100.000,- Rp 1 juta
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara.
118 (4)
Penjara 6 bulan 3 tahun dan/atau denda 100.000.000 – Rp 1 Milyard
83 (4)
kurungan 5 - 6 bulan dan/atau denda Rp.4,000.000,Rp.5.000.000
Sekali lagi, untuk sanksi pidana ada ketentuan Pasal 84 ayat (2) Qanun Pilkada Aceh yang menyatakan bahwa “jika tindak pidana yang diatur dalam Qanun ini juga terdapat pengaturannya dalam perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka yang diberlakukan adalah ketentuan dari perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.” Dengan demikian kita mesti melihat apakah ketentuan pidana dalam Qanun sudah diatur dalam ketentuan pidana dalam undang-undang yang lebih tinggi. Undang-Undang yang lebih tinggi dalam konteks pemilihan kepala daerah tentunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
74
D. Sengketa pada tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Di samping permasalahan tindak pidana, yang banyak muncul pada tahapan ini adalah munculnya sengketa/ perselisihan atau keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan, khususnya saksi-saksi dari pasangan calon. Dalam konteks ini, peranan Panwas pemilihan cukup besar untuk dapat menyelesaikannya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6470, Pasal 6671, dan Pasal 6772 Qanun Pilkada Aceh. Untuk dapat menyelesaikan dengan baik permasalahan pada tahapan ini maka setiap anggota Panwas pemilihan sebaiknya menguasai dengan baik ketentuan mengenai sah / tidaknya surat suara serta ketentuan mengenai proses pemungutan dan penghitungan suara sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, Qanun , dan Keputusan KIP.
70
Ayat (3) Ketua PPS bersama pengawas dan saksi lain, membahas keberatan tersebut pada ayat (2) dan apabila keberatan itu dapat diterima segera diadakan perbaikan seperlunya dan apabila tidak dapat diterima, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara, dan segera disampaikan kepada Panitia Pengawas*. Ayat (4) Panitia Pengawas segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan terhadap keberatan/protes yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan keputusan tersebut bersifat final*. 71
Ayat (3) Saksi yang keberatan terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan keberatan melalui pengawas yang selanjutnya segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan terhadap keberatan saksi tersebut. Ayat (4) Apabila keberatan saksi diterima, maka penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diulang dan apabila keberatan saksi tersebut tidak diterima, maka hal tersebut dimuat dalam berita acara dan hasil penghitungan suara dinyatakan sah.** 72 Ayat (3) Saksi yang keberatan terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan kepada panitia pengawas yang selanjutnya segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan yang bersifat final terhadap keberatan tersebut.. Ayat (4) Apabila keberatan dimaksud pada ayat (3) diterima, maka penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diulang dan apabila keberatan tersebut tidak dapat diterima, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hasil penghitungan suara dinyatakan sah, 75
BAB 10 EKSISTENSI PENGAWASAN OLEH PANWASLIH ACEH Rahmat Fadhil
A. Latar Belakang Pemilihan kepala daerah73 di Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah proses demokratisasi yang sangat baik dan dinantikan oleh banyak pihak. Karena Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan sebuah daerah yang menderita karena konflik lama, segera akan memasuki babak baru terutama bagi perbaikan tata pemerintahan. Hal ini sekaligus turut mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih baik, adil dan maju. Ini menjadi harapan yang sangat diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mustafa Abubakar (Pejabat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam), menyatakan bahwa “Pilkada Aceh jadi pesta demokrasi terbesar dan terbanyak jumlah kandidatnya, mengingat Pilkada NAD diikuti 8 pasangan calon. Di kabupaten dan kota ada 122 pasangan sehingga total mencapai 130 pasangan kandidat. Itu berarti ada 260 calon pemimpin memperebutkan kursi kepala daerah di Aceh”74. Bahkan, Glyn Ford (Ketua Tim Pemantau Uni Eropa) pada Harian Serambi Indonesia (koran lokal di Aceh) pada tiga hari menjelang Pemungutan Suara menyatakan bahwa mereka merasa optimis pelaksanaan Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam berjalan sukses. Rasa optimisme ini disampaikan Glyn Ford berdasarkan pengalaman di lapangan serta sikap rakyat Aceh yang mendukung sepenuhnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut75. Rasa optimisme ini juga dinyatakan oleh Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR-RI) ketika mengunjungi sekretariat Panwaslih dan bertemu langsung dengan penulis pada sepekan menjelang pemungutan suara. Ketua MPR-RI itu menyatakan bahwa Pilkada Aceh ini merupakan contoh dan pelajaran berharga secara nasional dimana sebuah daerah tidak mesti selalu melaksanakan pilkada sendiri-sendiri, tapi bisa secara bersamaan seperti Aceh. Dia juga menyatakan setidaknya ada dua hal yang menarik dari Pilkada Aceh. Pertama, 73
Di Aceh penyebutan ‘kepala daerah’ dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No.2 Tahun 2004;No.3 Tahun 2005; dan No.7 Tahun 2006 tentang Pemilihan, lebih khusus disebutkan, dengan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. 74 Harian Republika halaman 1 tanggal 10 Desember 2006 75 Harian Serambi Indonesia halaman 9 tanggal 9 Desember 2006 76
pelaksanaan Pilkada ini merupakan bagian dari penyelesaian masalah Aceh secara keseluruhan, dan Kedua, Pilkada ini akan menjadi modal dan model bagi pelaksanaan pilkada di daerah lain. Sehingga patut dijadikan pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak pihak meyakini bahwa pemilihan kepala daerah di Aceh yang dilaksanakan secara langsung tak hanya menjadi sekedar solusi untuk perbaikan pemerintahan dan amanah undang-undang saja, tetapi lebih dari itu Pilkada ini menjadi sebuah kebutuhan bagi rakyat Aceh untuk mewujudkan kehidupan demokrasi yang penuh dengan keberpihakan kepada masyarakat, lebih aspiratif, sekaligus menjadi legitimasi dalam menuju Aceh yang lebih baru dan lebih baik. Pilkada ini seakan menjadi titik tolak menata demokrasi yang menyeluruh guna menjamin kesuksesan transisi demokratisasi di Indonesia, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam . Setidaknya ada beberapa hal menarik yang menjadikan Pilkada di Aceh sangat strategis, penting, terbesar dan terluas wilayah pelaksanaannya, sekaligus yang menjadikannya berbeda dengan berbagai pelaksanaan Pilkada di daerah lain di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : lahirnya Memorandum of Understanding di Helsinki antara RI dan GAM, pasca musibah gempa bumi dan tsunami, dasar hukum tersendiri melalui Undang-Undang No.11 Tahun 2006, pelaksanaan terbesar di Indonesia yang dilaksanakan serentak di 19 kabupaten/kota dan
satu provinsi, penyelenggara Pilkada oleh KIP bukan KPU, serta
adanya calon independen (perseorangan). Dari serangkaian dinamika proses pilkada di Aceh ini, maka keberadaan lembaga pengawas menjadi sebuah kebutuhan yang penting. Hal ini tentu tidak hanya mengakomodir dari hasil amanah undang-undang76 dan Qanun Pemilihan Aceh77, tetapi juga merupakan jaminan terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang langsung, umum, bebas, aktif dan rahasia. Harapannya tentu pengawasan ini akan berdampak pada berkualitas tidaknya hasil maupun proses pemilihan yang berlangsung.
76 77
Pasal 60 UU 11 Tahun 2006 Pasal 20 Qanun Pemilihan Aceh 77
B. Peran Dan Eksistensi Pengawasan Panitia Pengawas Pemilihan merupakan lembaga ad hoc yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pilkada Aceh78, menerima dan menindaklanjuti
laporan,
dan
menyelesaikan
sengketa
yang
terjadi
pada
saat
penyelenggaraan Pilkada Aceh. Panitia Pengawas Pemilihan adalah Panitia Pengawas Pemilihan Aceh, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan adalah panitia yang melakukan pengawasan pada setiap tahapan kegiatan penyelenggaraan Pemilihan. 79 Pengawasan Pemilihan adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk menjamin terselenggaranya Pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta dilaksanakannya peraturan perundang-undangan Pemilihan secara konsisten80. Panitia Pengawas Pemilihan ini mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; serta melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan81. Pengawasan ini dilakukan melalui : 1. pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; 2. penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; 3. penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan 4. pengaturan hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Dengan melihat peran dan wewenang yang dimandatkan undang-undang maupun Qanun Pemilihan Aceh, jelaslah bahwa keberadaan Panitia Pengawas Pemilihan ini sangat memiliki arti penting untuk menjaga keberlangsungan Pemilihan yang seadil-adilnya dan tidak dapat dintervensi oleh siapapun baik DPRA, KIP atau Pemda sendiri. Namunpun demikian, tetap 78 79 80 81
Pasal 60 ayat 1 UU No.11 Tahun 2006 dan Pasal 20 ayat 1 Qanun Pemilihan Aceh Pasal 1 angka 3 Keputusan Panwaslih Aceh No. 29/2006. Pasal 1 angka 7 Keputusan Panwaslih Aceh No. 29/2006. Pasal 61 UU No.11 Tahun 2006 dan Pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 Qanun Pemilihan Aceh 78
saja efektifitas pengawasan tersebut sangatlah tergantung dengan kemampuan atau kompetensi dari anggota Panwaslih yang direkrut/dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk Panwaslih tingkat provinsi dan yang dipilih/direkrut oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh untuk Panwaslih tingkat kabupaten/kota itu sendiri serta yang dipilih/direkrut oleh Panwaslih Kabupaten/Kota untuk Panwaslih tingkat kecamatan.82 Hal lainnya yang memiliki pengaruh juga terhadap efektifitas kinerja panwaslih ini adalah ketersediaan dana yang cukup dan dapat digunakan secara mudah dengan tetap memperhatikan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolannya. Walaupun disadari ada beberapa aturan yang agak kurang mendukung untuk meningkatkan efektifitas pengawasan yang akan dilakukan. Misalnya dengan kepala sekretariat yang dirangkap antara KIP selaku penyelenggara dan Panwaslih selaku pengawas.83 Hal ini memang sangat besar memiliki dampak terhadap kinerja Panwaslih, dimana selama kegiatan proses berlangsungnya Pilkada di Aceh, pihak sekretariat lebih tersita waktunya untuk melayani KIP dibandingkan melayani Panwaslih, karena padatnya kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Walaupun memang di Panwaslih sendiri telah ditunjuk seorang kepala sekretariat pembantu, tetapi bendahara, pembuat dokumen keuangan, kasir dan lain-lainnya berkaitan dengan dana terutama sangat tergantung dengan sekretariat yang bertugas di KIP. Keberadaan sekretariat yang tidak satu tempat juga menyulitkan dalam berkoordinasi antar sekretariat. Memang hal ini pernah dibicarakan dengan pihak Pemerintah Daerah, tetapi Pemerintah Daerah-pun tidak mampu memenuhi harapan Panwaslih untuk menempatkan beberapa personil yang penting dalam membantu tugas-tugas administrasi dan keuangan Panwaslih yang lebih maksimal. Hasilnya agak merepotkan kerja Panwaslih bagian internal sekretariat. Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Pidie. Dimana Panwaslih Pidie sempat melakukan mogok kerja selama dua hari dikarenakan tersendatnya dana operasional yang mesti digunakan oleh Panwaslih. Menurut Ketua Panwaslih Pidie, sangat sulit pencairan dana setiap kegiatan Panwaslih Pidie dan Panwaslih Kecamatan dalam Kabupaten Pidie, padahal dana tersebut telah mendapat pengesahan dari Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat
82 83
Pasal 266 UU No.11 Tahun 2006 Pasal 20 ayat 6 Qanun Pemilihan Aceh 79
Kabupaten, sementara penggunaan anggaran untuk Panwaslih terus terhutang dengan pihak ketiga, dan mulai menagih, sedangkan dana yang telah disahkan sampai saat itu belum ada realisasinya.84 Kejadian ini menambah daftar masalah dalam pola kerja satu sekretariat dalam menangani tiga institusi secara bersamaan. Apalagi sekretariat KIP juga menjadi sekretariat KPU NAD.85 Lengkaplah sudah kendala yang dihadapi. Seorang kepala sekretariat melayani tiga institusi sekaligus dalam waktu bersamaan. Panitia Pengawas Pemilihan dibentuk dan dipilih berdasarkan atas kemampuan dan kepahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tantang Pilkada, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut aturan, lembaga Panwaslih ini dibentuk oleh Panitia Pengawas Tingkat Nasional,86 tetapi untuk pilkada pertama kali di Aceh, Panwaslih dibentuk oleh DPRA87 berdasarkan aturan dan ketetapan yang diputuskan oleh DPRA sendiri. Sedangkan Pemilihan dan pembentukan untuk tingkat kabupaten/kota dan kecamatan berdasarkan aturan yang ditetapkan pada Paragraf IV Lampiran 1 Keputusan Panwaslih Aceh No. 03/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh No. 2/2006 Tentang Tata Cara Seleksi dan Penetapan Keanggotaan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan. Bahkan untuk memudahkan jangkauan pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslih di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panwaslih Kecamatan diberi wewenang oleh Panwaslih Aceh untuk dapat menunjuk warga masyarakat dalam membantu melakukan Pengawasan di TPS.88 Adapun unsur dan jumlah keanggotaan Panwaslih ini adalah sebanyak lima orang untuk Panwaslih tingkat provinsi dan kabupaten/kota
89
serta tiga orang untuk Panwaslih tingkat
kecamatan.90 Unsur dan keanggotaan Panwaslih ini untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri dari kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat yang independen. Sedangkan Panwaslih tingkat kecamatan terdiri dari unsur kepolisian dan dua orang dari unsur tokoh masyarakat yang independen. 84 85 86 87 88 89
Harian Rakyat Aceh halaman 1, tanggal 3 Desember 2006 Di Aceh lembaga KPU tetap ada yang tugasnya untuk urusan Pemilu dan KIP yang mengurus Pilkada. Pasal 60 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006 dan Pasal 20 ayat 1 Qanun Pemilihan Aceh Pasal 266 ayat (1) UU No.11 Tahun 2006. Pasal 3 ayat (4) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006. Pasal 20 ayat (3) dan pasal 22 ayat (1)a dan Qanun Pemilihan Aceh jo Paragraf II Lampiran 1 Keputusan Panwaslih Aceh No.3/2006 tentang Tata Cara Seleksi Dan Penetapan Keanggotaan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan.
90
Paragraf III Lampiran 1 Keputusan Panwaslih Aceh No.3/2006. 80
Keseluruhan proses pengawasan yang dilakukan oleh panitia pengawas pemilihan adalah untuk memastikan terlaksananya pemilihan ini berjalan sesuai dengan aturan perundangundangan yang berlaku. Sehingga kecil kemungkinan adanya pihak-pihak yang merasa diuntungkan atau merasa dirugikan dalam pemilihan ini. Apalagi kalau melihat kompisisi Panwaslih yang terdiri dari unsur perguruan tinggi, kepolisian, kejaksaan, pers dan tokoh masyarakat yang independen,91 sangat kecil kemungkinan adanya upaya-upaya keberpihakan kepada salah satu pasangan calon yang ikut dalam pemilihan. Ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslih berdasarkan tugas dan wewenangnya meliputi tahapan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk; pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta pemilihan; Pencalonan Pasangan Calon; Kampanye; Pemungutan dan penghitungan suara, yang terdiri dari atas:
pemungutan suara dan
penghitungan suara di TPS serta Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPG, PPK, KIP Kabupaten/Kota dan KIP Aceh; Penetapan hasil Pemilihan; Penetapan perolehan suara; Pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota; serta kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan seluruh tahapan Pemilihan seperti tersebut di atas.92 Pembagian tugas dan wewenang kerja Panwaslih berdasarkan tingkatan, telah dijelaskan didalam Qanun Pemilihan Aceh pada Pasal 21 tentang tugas dan wewenang Panwaslih tingkat provinsi, Pasal 22 tentang tugas dan wewenang Panwaslih tingkat kabupaten/kota dan Pasal 23 tentang tugas dan wewenang Panwaslih tingkat kecamatan. Dalam
hal
pertanggungjawaban
atas
pelaksanaan
tugas-tugasnya,
panwaslih
bertanggungjawab kepada Panitia Pengawas Pemilihan Nasional untuk panwaslih tingkat provinsi,93 dan Panwaslih Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Panwaslih Aceh,94 sedangkan
untuk
Panwaslih
Kecamatan
bertanggungjawab
kepada
Panwaslih
95
Kabupaten/Kota dalam wilayahnya masing-masing. Mengingat tugasnya yang sangat padat dan membutuhkan mobilisasi cepat, Panwaslih Aceh membuat kebijakan untuk memudahkan koordinasi dan evaluasi melalui mekanisme pelaporan rutin secara berjenjang.
91 92 93 94 95
Pasal 20 ayat (3) Qanun Pemilihan Aceh Paragraf 3 lampiran 1 Keputusan Panwaslih Aceh No.31/ 2006 tentang Mekanisme Pengawasan Pasal 20 ayat (8) Qanun Pemilihan Aceh Pasal 17 ayat (2) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 Pasal 18 ayat (2) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 81
Untuk Panwaslih Kabupaten/Kota diharuskan menyampaikan perkembangan rutin pengawasan yang dilakukan di wilayahnya selama dua pekan sekali,96 sedangkan untuk Panwaslih Kecamatan diharuskan melaporkan perkembangan tugas dan tanggungjawabnya secara rutin dengan frekuensi satu kali per pekan kepada Panwaslih Kabupaten/Kota masingmasing.97 Dalam menjalankan pola koordinasi dan komunikasi untuk memudahkan pelaporan rutin Panwaslih di setiap tingkatan kepada Panwaslih setingkat di atasnya, Panwaslih Aceh menetapkan
mekanisme
bimbingan
dan
pengarahan
kepada
Panwaslih
ditingkat
Kabupaten/Kota dan Panwaslih tingkat kecamatan.98 Pengarahan, bimbingan dan petunjuk atas pelaksanaan tugas-tugas Panwaslih di setiap tingkatan dilakukan melalui kunjungan, pertemuan rutin, rapat kerja, pemberian informasi, dan kegiatan lain yang dipandang perlu.99 Sehingga diharapkan dengan mekanisme ini dapat memaksimalkan fungsi dan peran Panwaslih di berbagai tingkatan. Panwaslih setingkat di atasnya juga diberikan wewenang untuk memberikan sanksi administratif kepada anggota dan staff Panwaslih yang apabila ada pelanggaran tugas dan kewenangan pengawasan pemilihan yang dilakukan. Termasuk keberpihakan atau berlaku tidak adil terhadap aktifitasnya yang dapat merugikan pasangan calon atau masyarakat pemilih lainnya.100 Ada beberapa alasan betapa pentingnya peran dan fungsi Panwaslih ini dalam sebuah pemilihan, baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Setidaknya ada empat alasan untuk menjawab kenapa dibutuhkannya Panwaslih ini dalam sebuah proses pemilihan. Sedangkan kalau melihat peran dan tugasnya, semestinya dapat saja dilaksanakan oleh lembaga lain, tetapi dia tetap memiliki kekhususan yang tersendiri. Kekhususan yang tersendiri tersebut diantaranya adalah :
96
Pasal 17 ayat (5) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 Pasal 18 ayat (5) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 98 Pasal 12 ayat (1) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 99 Pasal 12 ayat (2) Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 100 Pasal 12 ayat (3) Keputusan Panwaslih Aceh No. 29/2006, sedangkan mekanisme penjatuhan sanksi diatur dalam Keputusan Panwaslih Aceh No.41/2006 tentang Sanksi Administratif dan Penggantian Anggota Pengawas Pemilihan. 97
82
1. Lebih profesional Panwaslih ini disebut sebagi lembaga yang lebih profesional karena terdiri dari berbagai kompetensi yang saling melengkapi dan memudahkan dalam koordinasi. Dengan adanya unsur perguruan tinggi yang selama ini dinilai cukup idealis dalam berpihak kepada kepentingan rakyat, lalu unsur kepolisian yang berperan secara langsung dalam proses penyidikan dan penghentian terhadap berbagai pelanggaran yang mungkin terjadi selama dalam proses pemilihan, dan berkoordinasi dengan penuntut melalui unsur kejaksaan, serta ditambah unsur pers sebagai penyeimbang isu-isu di media sekaligus unsur tokoh masyarakat independen yang menjadi pemacu kinerjanya dalam meningkatkan kualitas pengawasan yang dilakukan dilapangan. Dengan tim ad hoc semacam ini tentu harapannya adalah koordinasi dan konsolidasi kerja dalam upaya menegakkan hak-hak masyarakat, pasangan calon, dan tim suksesnya dapat diimbangi dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya. 2. Wadah penyeleksi yang lebih mandiri Melihat tugas dan wewenangnya, jelas lembaga Panwaslih adalah sebagai sebuah wadah penyeleksi terhadap berbagai pelanggaran yang memungkinkan terjadi selama dalam proses pemilihan. Setiap laporan maupun temuan yang masuk ke Panwaslih akan diseleksi dan dikatagorikan sesuai dengan klasifikasinya masing-masing. Bila pelanggaran administrasi akan diteruskan kepada KIP sebagai penyelenggara untuk mengevaluasi dan memperbaikinya, sedangkan bila pelanggaran pidana, maka Panwaslih akan meneruskannya kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti lebih lanjut. Bila pelanggaran tersebut berdasarkan kajian Panwaslih adalah termasuk kategori sengketa, maka Panwaslih akan memutuskannya sesuai dengan aturan melalui rapat pleno. 3. Sulit diintervensi oleh pihak manapun Melihat komposisi keanggotaan Panwaslih ini yang terdiri dari berbagai unsur, maka dengan sendirinya kita dapat menilai bahwa mempengaruhi kebijakan Panwaslih terhadap berbagai keputusan adalah sesuatu hal yang agak susah. Bila salah satu unsur dapat diintervensi belum tentu, unsur yang lain dapat pula dipengaruhi. Sehingga keberadaan Panwaslih ini memiliki integritas dan kebijakan yang sangat baik guna melahirkan berbagai fungsi dan peran pengawasan yang akan dijalankan selama dalam Pilkada berlangsung hingga selesai. 83
4. Akses lebih luas Karena Panwaslih adalah satu-satunya lembaga yang secara resmi diakui menjalankan fungsi pengawasan oleh undang-undang maupun Qanun, maka Panwaslih memiliki akses yang sangat luas untuk berhubungan dengan berbagai pihak dalam mengawasi proses penyelenggaraan Pilkada yang dilaksanakan oleh Komidi Independen Pemilihan. Mulai dari tim uji baca Al-Qur’an, perusahan pengadaan logistik Pilkada, lembaga pemantau, kepolisian, kejaksaan, sampai lintas daerah dan wilayah yang berkaitan dengan pengawasan yang mesti dilakukan dalam proses berlangsungnya Pilkada di Nanggoe Aceh Darussalam. Secara internal kinerja lembaga Panwaslih pada Pilkada di Aceh yang dilaksanakan secara serentak ini memiliki struktur keorganisasian dan pembagian tugas tersendiri. Untuk Panwaslih tingkat provinsi dan Panwaslih tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari Seorang Ketua, Seorang Wakil Ketua, dan tiga orang anggota (sekaligus disebut juga : Seorang Ketua Divisi Pengawasan dan Evaluasi, Seorang ketua Divisi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa serta Seorang Ketua Divisi Komunikasi dan Jaringan). Sedangkan Panwaslih tingkat kecamatan terdiri dari atas seorang ketua, dan dua orang anggota (sekaligus disebut juga : seorang Ketua Divisi Pengawasan dan Penerimaan laporan serta seorang Ketua Bidang Tindak Lanjut Laporan dan Penyelesaian Sengketa). Walaupun telah adanya pembagian tugas masing-masing anggota Panwaslih sebagaimana tersebut di atas, tetapi tidak menghilangkan kewajiban para anggota Panwaslih untuk saling bekerjasama dalam menjalankan tugas Panwaslih meskipun berlainan divisi dan/atau bidang.101 Sehingga dapat saja Divisi Pelaporan dan Penyelesaian Sengketa membantu secara lintas bidang ke divisi lainnya. Hal ini adalah sebuah kebijakan yang fleksibel untuk memberikan kemudahan dalam mempercepat pananganan berbagai masalah yang dihadapi dalam Pilkada. Tugas Ketua Panwaslih adalah memimpin kegiatan Pengawas Pemilihan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di masing-masing tingkatan; mengundang anggota dan memimpin Rapat Pleno Pengawas Pemilihan; mengatur pembagian tugas para anggota Pengawas Pemilihan; dan mengatur hubungan dengan pihak yang 101
Pasal 19 dan Pasal 22 Keputusan.Panwaslih Aceh No.29/2006 84
dipandang perlu untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya. Sementara tugas Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilihan adalah membantu ketua dalam melaksanakan tugasnya; mewakili ketua apabila berhalangan melaksanakan tugasnya sesuai petunjuk ketua; berkoordinasi dengan sekretariat KIP dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan tugas anggota Pengawas Pemilihan adalah melaksanakan tugas sesuai divisi dan bidangnya masingmasing dan melaksanakan tugas lainnya sesuai keputusan rapat Pengawas Pemilihan.102
C. Pelanggaran Dan Penyelesaian Sengketa 1. Pelanggaran Pilkada Selama berlangsung Pilkada pertama ini di Nanggroe Aceh Darussalam, tercatat bahwa ada 158 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Mulai dari pasangan calon, tim kampanyenya, penyelenggara (baik KIP,PPK,PPG dan PPS), maupun oleh masyarakat. Pelanggaran terbanyak adalah soal administratif yang mencapai 109 kasus pelanggaran, baik yang dilaporkan masyarakat maupun hasil temuan Panwaslih. Sedangkan pelanggaran pidana tercatat sebanyak 23 kasus dan pelanggaran yang termasuk kategori lainnya sebanyak 26 kasus. Pelanggaran Administratif diteruskan oleh Panwaslih ke KIP berdasarkan tingkatannya, sedangkan pelanggaran Pidana diteruskan ke Penyidik Kepolisian untuk penanganan lebih lanjut. Dari sekian banyak laporan dan temuan yang diterima oleh Panwaslih, persoalan yang paling dominan adalah di masa kampanye dan pekan tenang. Diantaranya berupa penempelan/pemasangan alat peraga pada tempat-tempat yang dilarang seperti sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah. Pada masa tenang terjadinya money politic di beberapa tempat di Aceh. Salah satu persoalan yang agak rumit dalam penangan pengaduan/laporan ‘money politik’ menurut laporan dan informasi yang diterima Panwaslih Aceh adalah ketidakmauan atau ketidakberanian masyarakat untuk menjadi saksi. Bahkan bila ada yang
mau
menjadi
saksi, tidak dilengkapi dengan
alat bukti
yang dapat
dipertanggungjwabkan. Termasuk kasus-kasus laporan intimidasi yang dilaporkan terjadi dibeberapa daerah. Tetapi tetap saja kesulitan bagi Panwaslih untuk menemukan saksi yang berkenan memberikan kesaksiannya.
102
Pasal 20 Keputusan Panwaslih Aceh No.29/2006 85
Dalam menjalankan peran dan fungsi pengawasan, Panwaslih telah menemukan dan menerima sejumlah pelanggaran dari berbagai kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam. Baik yang dilakukan oleh kandidat calon Gubernur/Wakil Gubernur maupun kandidat Calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Walikota/Wakil Walikota. Daerah yang paling banyak terjadinya pelanggaran selama Pilkada103 adalah Kabupaten Aceh Utara yaitu sebanyak 24 kasus pelanggaran dan kesemuanya adalah pelanggaran administratif. Laporan tersebut bersumber dari pengaduan/laporan masyarakat sebanyak 22 kasus dan temuan Panwaslih sebanyak 2 kasus. Sedangkan daerah yang paling sedikit pelanggaran adalah Kabupaten Aceh Singkil yaitu sebanyak 1 kasus yang dilaporkan masyarakat kepada Panwaslih. Berdasarkan kajian Panwaslih setempat, pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori palanggaran administratif juga. Untuk tingkat provinsi, pengaduan dan laporan yang disampaikan ke Panwaslih cukup
banyak,
sama
seperti
laporan-laporan
yang diterima
oleh
Panwaslih
Kabupaten/kota maupun Panwaslih Kecamatan. Tetapi berdasarkan kajian Panwaslih hanya 5 laporan saja yang memenuhi unsur pelanggaran, dengan rincian pelanggaran administratif sebanyak 4 kasus dan pelanggaran pidana 1 kasus, sedangkan 3 kasus lainnya yang juga ditemukan dan dilaporkan masyarakat yang dikategorikan sebagai pelanggaran lainnya dan tidak secara langsung berhubungan dengan institusi penyelenggara maupun pengawas. 2. Penyelesaian Sengketa Sengketa yang terjadi selama Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam termasuk yang paling sedikit. Tercatat hanya ada 3 (tiga) persoalan sengketa yang diajukan ke Panwaslih. Pertama, Sengketa Uji Mampu Baca Al-Qur’an yang terjadi di tingkat provinsi, dengan pemohon adalah Dra.Hj. Mediati Hafni Hanum (calon Gubernur dari jalur perseorangan) dan termohon adalah KIP Provinsi NAD. Kedua, juga Sengketa Uji Mampu Baca Al-Qur’an yang diajukan oleh salah satu pasangan calon yang dinyatakan tidak lulus uji mampu membaca Al-Qur’an kepada Panwaslih di Kota Langsa dengan termohonnya adalah KIP Kota Langsa beserta Tim Uji Baca Al-Qur’an yang dibentuknya. Keduanya merupakan sengketa yang terjadi pada tahap pencalonan. 103
Data Panwaslih Aceh sampai dengan tanggal 11 Januari 2007. 86
Sedangkan yang Ketiga, adalah sengketa terhadap pemuatan berita atau iklan Survey Tracking Kandidat : Perspektif Masyarakat pada Pilkadasung Gubernur NAD tahun 2006 yang diterbitkan oleh Harian Serambi Indonesia, Harian Waspada dan Harian Rakyat Aceh (harian lokal di Aceh) oleh LSM Jurdil Aceh (termohon). Seorang kandidat Gubernur yang bernama Ir.H.Iskandar Husein,MH melalui Tim Kampanyenya (pemohon) mengajukan persoalan tersebut kepada Panwaslih Aceh untuk diselesaikan. Tetapi pada pemanggilan pertama, Pemohon (tim kampanye Ir.H.Iskandar Husein, MH) tidak hadir tepat waktu guna memenuhi panggilan Panwaslih Aceh untuk penyelesaian sengketa ini. Pemohon datang terlambat 2 (dua) jam dari jadwal yang ditetapkan Panwaslih, sehingga Termohon sudah lebih dulu pamit meninggalkan kantor Panwaslih, dan penyelesaian sengketa pun ditunda untuk dilaksanakan 2 (dua) hari kemudian dengan memanggil keduanya (pemohon dan termohon) untuk hadir kembali. Untuk memastikan kesempatan dan kesediaan waktu mereka, atas inisiatif Panwaslih telah menghubungi mereka secara lisan untuk dipertemukan kembali pada 2 (dua) hari kemudian. Pada undangan yang kedua itu, ternyata kedua-duanya (pemohon dan termohon) juga tidak memenuhi panggilan Panwaslih untuk diselesaikan. Dengan demikian maka Panwaslih memutuskan persoalan tersebut batal sebagai persoalan sengketa. Hal yang paling menarik dalam penyelesaian sengketa antara Dra.Hj.Mediati Hanum (pemohon) dengan KIP NAD (termohon) adalah Dra.Hj. Mediati Hafni Hanum setelah dinyatakan tidak lulus uji mampu membaca Al-Qur’an, beliau berusaha mendapatkan surat keterangan mampu membaca al-Qur’an dari sebuah lembaga pengajian yang menyatakan bahwa Dra.Hj.Mediati Hafni Hanum mampu membaca Al-Qur’an. Kenyataannya ini tidak dapat diterima oleh KIP NAD, karena mereka berpegang pada Keputusan KIP NAD Pasal 2 ayat 3 huruf b No.19 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menyatakan bahwa “surat keterangan hasil uji baca Al-Qur’an dari Tim Uji Baca Al-Qur’an yang ditetapkan oleh KIP sebagai bukti pemenuhan syarat calon” dan sebagaimana ditetapkan juga pada Lampiran 1 huruf D Keputusan KIP NAD No.23 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil 87
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang menjelaskan tentang tata cara penilaian uji mampu baca A-Qur’an tersebut. Oleh karenanya sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh Panwaslih dalam Keputusan Panwaslih Aceh No.32 Tahun 2006 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada pemohon diundang untuk didengarkan keterangannya lebih lengkap. Selanjutnya Panwaslih mengundang tim uji mampu baca Al-qur’an dengan didampingi oleh Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan KIP NAD untuk dimintai klarifikasi atas proses pelaksanaan Tes Uji Mampu Membaca Al-Qur’an tersebut. Tindakan ini memang sengaja dilakukan Panwaslih karena saat uji mampu baca AlQur’an yang berlangsung serentak di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam, Panwaslih Aceh saat itu sedang melakukan perekrutan Panwaslih Kabupaten/Kota. Hal ini memang agak mengganggu kinerja Panwaslih dalam melakukan pengawasan, karena keberadaaan lembaga Panwaslih mulai tingkat provinsi terlambat dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sehingga berakibat terlambatnya Panwaslih Aceh membentuk panwaslih di tingkat kabupaten/kota dan sampai Panwaslih Kecamatan juga terlambat terbentuk. Setelah kedua pihak didengarkan keterangannya masing-masing, melalui mekanisme rapat pleno, Panwaslih membuat pertemuan gelar perkara sengketa ini dalam rapat pleno Panwaslih secara tertutup. Dalam rapat tersebut dibicarakan beberapa kemungkinan penyelesaian masalah yang akan diambil, termasuk hal-hal terburuk dan terbaik yang mesti disikapi baik oleh Panwaslih sendiri maupun pertimbangan dan masukan untuk pihak pemohon dan termohon. Akhirnya sesuai dengan jadwal yang disepakai dibuatlah Rapat Penyelesian Sengketa antara Mediati Hafni Hanum (pemohon) dengan KIP Prov.NAD (termohon). Tahap awal Panwaslih memberikan kesempatan kepada pemohon untuk mengajukan keberatannya atas berbagai kebijakan KIP NAD yang merugikan dirinya (pemohon), termasuk tuntutan dan gugatan yang mesti diperbaiki/dilakukan oleh KIP NAD. Selanjutnya Panwaslih Aceh memberikan kesempatan kepada KIP NAD untuk mengajukan pembelaan dan menjawab berbagai persoalan yang diajukan oleh pemohon. 88
Setelah masing-masing pihak menyatakan pendapatnya masing-masing, lalu Panwaslih menyarankan kepada kedua belah pihak untuk mengemukakan solusi alternatif yang dapat diterima masing-masing dengan baik dan bijaksana sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada. Tetapi sampai akhir pertemuan penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan, kedua belah pihak tetap pada pendiriannya masing-masing tanpa ada kata sepakat. Maka sesuai dengan wewenang Panwaslih terhadap persoalan sengketa, akan diputuskan melalui rapat pleno tertutup dan hasilnya diumumkan 1 (satu) hari kemudian. Lengkapnya tentang keputusan panwaslih terhadap sengketa ini dapat dilihat pada lampiran. Inilahlah yang paling menarik selama dalam proses pilkada di Aceh. Karena Uji mampu baca Al-qur’an ini hanya ada di Nanggroe Aceh Darussalam, apalagi uji mampu membaca Al-Qur’an ini disaksikan oleh masyarakat yang ingin mengetahui bagaimana kemampuan calon kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikotanya dalam membaca Al-Qu’ran. Bahkan persoalan uji mampu baca Al-Qur’an ini berbuntut panjang pada kasus Pilkada di Kota Langsa. Dimana dalam penyelesaian kasus sengketa antara salah satu pasangan calon Walikota/Wakil Walikota langsa yang bernama H.Zulham, SE dan Ir.T.Hidayat selaku termohon dengan KIP Kota Langsa selaku termohon, Panwaslih menyatakan bahwa tes uji baca Al-Qur’an yang dilaksanakan oleh KIP Kota Langsa cacat hukum. Alasan panwaslih ini dibuktikan berdasarkan pemeriksaan dan pengkajian Panwaslih atas sejumlah dokumen dan alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Dimana menurut Panwaslih Kota Langsa bahwa pembentukan tim uji mampu baca Al-Qur’an yang dilakukan oleh KIP Kota Langsa menyalahi aturan yang ditetapkan dalam Keputusan KIP No.47/2006 tentang Pembentukan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an. Hal itu disebabkan surat
Lembaga
Pengembangan
Tilawatil
Qur’an
(LPTQ)
Kota
Langsa
No.1225/251.15/2006 tertanggal 15 Agustus 2006 perihal Nama-nama Tim Penguji Baca Al-Qur’an ditandatangani oleh Penasehat yaitu Seretaris Daerah (Sekda) Kota Langsa, bukan ditanda tangani oleh pengurus harian sebagaimana Keputusan Walikota Langsa No.726 tahun 2005 tentang Pembentukan Pengurus LPTQ periode 2005-2006.
89
Alasan kedua, dilembar penilaian uji baca Al-Qur’an yang dilakukan oleh Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an tercantum tanggal 5 September 2006, pada hal pelaksanaan uji mampu baca Al-Qur’an itu sendiri dilakukan pada tanggal 9-10 September 2006. Maka masih menurut Panwaslih Kota Langsa bahwa jelas uji mampu baca Al-Qur’an yang dilakukan oleh tim uji mampu baca Al-Qur’an tersebut adalah cacat hukum dan batal demi hukum. Sehingga Panwaslih merekomendasikan/ mengeluarkan putusan hasil sengketa dengan menyatakan bahwa pelaksanaan Uji Baca Al-Qur’an untuk Calon Walikota/Wakil Walikota Langsa harus di ulang.104 Menurut hemat penulis kesalahan dalam penulisan tanggal pada lembaran penilaian adalah pelanggaran administratif. Tetapi keputusan Panwaslih Kota Langsa ini ternyata mengundang reaksi dari KIP selaku penunjuk/pembentuk Tim Uji Mampu Baca AlQur’an. Mereka tetap pada keputusannya tidak akan mengulang uji mampu baca AlQu’ran di Kota Langsa. Akhirnya persoalan ini berujung ke Pengadilan. Sampai dengan tulisan ini dibuat, Sekretaris Daerah Kota Langsa telah diputuskan sebagai terpidana karena melakukan manipulasi surat penunjukkan/pengiriman Tim Uji Baca Al-Qur’an dari LPTQ Kota Langsa. Dan menurut laporan terakhir Panwaslih Kota Langsa bahwa kasus ini telah dikembangkan dengan terdakwa baru yaitu anggota KIP Kota Langsa. Mereka didakwa karena memberikan keterangan palsu di pengadilan. Kenyataannya memang ketidakpatuhan KIP akan keputusan sengketa Panwaslih menunjukkan eksistensinya. Apa yang dianggap sebagai sebuah keputusan yang tidak berkekuatan ternyata dapat menimbulkan masalah bagi penyelenggara sendiri. Memang dalam hal ini bukanlah Panwaslih yang mengajukan gugatan terhadap KIP, melainkan pasangan calon yang merasa dirugikan oleh kebijakan KIP selaku penyelenggara. Sementara Panwaslih hanya bertindak sebagai saksi dalam kasus ini di Pengadilan. Namunpun demikian, menurut penulis uji kemampuan membaca Al-Qur’an ini penting untuk dipertahankan dalam pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam, bahkan kalau memungkinkan bisa ditingkatkan juga untuk Pemilihan Umum yang akan memilih anggota legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu tahun 2009 nantinya. Setidaknya khusus untuk Nanggroe Aceh Darussalam.
104
Harian Rakyat Aceh dan harian Serambi Indonesia tanggal 7 Oktober 2006 90
Ada dua hal istemewa dengan adanya uji mampu membaca Al-Qur’an ini. Pertama, kekhasan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebuah daerah yang berstatus Syariat Islam tentu harus memiliki keunikan tersendiri, termasuk dalam pemilihan calon pemimpin daerahnya, sekaligus sebuah intrumentasi perhelatan dalam menujukkan sebuah proses demokrasi yang religius dan sesuai dengan kebudayaan masyarakatnya yang Islami. Kedua, lebih kepada faktor sejarah Aceh sendiri. Dari dahulu pemilihan-pemilihan eksekutif dan legislatif di Aceh seperti pemilihan Keuchik (lurah), Tuha Peut, Tuha Lapan, Wali Adat, Kajreun Blang dan lainnya, biasanya juga diharapkan memiliki kemampuan pemahaman agama yang dasar. Termasuk kemampuan membaca Al-Qur’an, karena Aceh merupakan sebuah wilayah sumber asal-muasalnya Islam di Nusantara ini. Namunpun demikian, pentingnya uji mampu membaca Al-Qur’an ini perlu diperbaiki dan direvisi. Terutama perbaikan itu disegi aturan yang ditetapkan oleh KIP. Pada Lampiran 1 angka 16 dengan Formulir Model BB5 KWK Keputusan KIP No.19 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Keputusan KIP NAD No.23 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang menjelaskan tentang tata cara penilaian uji mampu baca A-Qur’an tersebut, menggambarkan bahwa, pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus lulus uji mampu membaca Al-Qur’an. Menurut penulis bahasa yang tepat adalah bukan uji mampu membaca Al-Qur’an melainkan ‘Memenuhi Syarat Uji Mampu Membaca Al-Qur’an’. Jadi ada penambahan kata-kata ‘memenuhi syarat’. Karena pada dasarnya hampir setiap orang Aceh itu mampu membaca Al-Qur’an, tetapi belum tentu memenuhi syarat dalam membaca Al-Qur’an tersebut, seperti syarat-syarat fashahah, tajwid dan adab. Perbaikan ini merupakan solusi atas kemungkinan akan terjadinya lagi persengketaan dalam hal uji mampu membaca AlQur’an, seperti kasus Calon Gubernur Mediati Hafni Hanum yang merasa mampu membaca Al-Qur’an sebagaimana telah dijelaskan di atas.
91
Dengan demikian alangkah baiknya memenuhi syarat uji mampu membaca AlQur’an ini penting untuk dievaluasi dan diperbaiki dimasa yang akan datang. Sehingga kekhasan Pilkada Aceh ini tetap dapat dipertahankan, sesuai dengan semangat dan identitas ke-Acehan yang penuh religiusitas.
D. Pengawasan Dan Evaluasi Sasaran dari pengawasan pelaksanaan dan penyelenggaraan Pilkada yang dilakukan oleh Panwaslih adalah pengawasan pemilihan dan pelanggaran terhadap kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pemilihan sebagaimana diatur dalam keputusan Panwaslih Aceh No. 31 tahun 2006 tentang Mekanisme Pengawasan dan Keputusan Panwaslih Aceh No. 33 tahun 2006 tentang Klasifikasi Pelanggaran. Sehingga pengawasan yang dilakukan adalah untuk menjamin terselenggaranya suatu pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta dilaksanakannya peraturan perundang-undangan pemilihan secara konsisten. Kegiatan-kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslih memiliki mekanisme yang diatur dalam Lampiran 1 angka 6 Keputusan Panwaslih Aceh No.31 tahun 2006 tentang Mekanisme Pengawasan. Disitu disebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan panwaslih adalah pegawasan secara aktif. Implementasi pengawasan aktif ini dilakukan dengan : memilih satu atau beberapa fokus pengawasan disetiap tahapan yang dianggap mempunyai potensi besar untuk terjadinya pelanggaran; mengawasi secara acak pada sasaran pengawasan dan daerah pemilihan tertentu; pengawasan ini dilakukan sendiri oleh Panwaslih pada masing-masing tingkatannya; meminta informasi yang dibutuhkan dalam rangka pengawasan pemilihan kepada penyelenggara pemilihan dan pihak terkait lainnya. Sehingga penyelenggara pemilihan dan pihak terkait lainnya diharuskan memberikan kemudahan kepada Panwaslih untuk memperoleh informasi guna pelaksanaan pengawasan sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bilamana penyelenggara pemilihan dan pihak terkait lainnya yang tidak memberikan informasi seperti yang diharapkan/diminta oleh Panwaslih, maka Panwaslih dapat melaporkan kepada pihak kepolisian untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Setiap temuan yang didapatkan Panwaslih memiliki bukti-bukti awal pelanggaran, misalnya saja surat-surat palsu, kaset rekaman, keterangan saksi yang melihat kejadian, sobekan alat peraga kampanye dan lainnya. Berdasarkan temuan tersebut selanjutnya 92
Panwaslih melakukan pengkajian dan memutuskan setiap temuan yang didapatkan selambatlambatnya 7 hari, dan dapat diperpanjang selambat-lambatnya 14 hari setelah temuan didapatkan. Hasil pengkajian Panwaslih ini dapat berupa pelanggaran yang mengandung unsur pidana, pelanggaran administratif dan atau bukan suatu pelanggaran. Bila pelanggaran tersebut adalah pelanggaran pidana, maka Panwaslih dapat meneruskan kepada penyidik kepolisian untuk penangan lebih lanjut, dan bila pelanggaran tersebut adalah pelanggaran administratif, Panwaslih akan meneruskannya kepada KIP. Menurut hemat penulis memang dengan adanya mekanisme ini setidaknya memberikan sebuah bentuk kerja kepada Panwaslih sebagai pengatur arus pelanggaran untuk penanganan lebih lanjut. Panwaslih tidak diberikan wewenang dalam menanganinya sendiri dalam penyelesaian pelanggaran ini. Hanya masalah sengketa saja yang merupakan wewenang Panwaslih untuk menyelesaikannya. Persoalan yang agak menggangu adalah disatu sisi KIP selaku penyelenggara Pilkada, masih disibukkan dengan memberikan hukuman atau mengurusi pelanggaran administratif. Sebaiknya hal ini dapat dipisahkan, atau dilimpahkan saja kepada Panwaslih untuk menanganinya. Sedangkan dengan kepolisian beberapa kasus yang kita ajukan sangat cepat dan mudah koordinasinya. Salah-satu kemudahaan ini adalah karena unsur keanggotaan Panwaslih dari kepolisian memiliki kedudukan dan pangkat yang lebih tinggi dibandingkan unsur kepolisian pada jajaran Panwaslih dibawahnya. Sehingga bila ada kasus yang agak terhambat/terlambat penanganannya dapat saja atas nama institusi Panwaslih maupun kepolisian memerintahkan jajarannya secara langsung guna percepatan setiap proses pelanggaran yang terjadi. Disinilah peran penting koordinasi Panwaslih dengan kepolisian, dan kepentingan keberadaan unsur kepolisian dalam keanggotaan Panwaslih. Untuk persoalan sengketa, persoalan yang agak rumit adalah masalah keputusan Panwaslih yang final dan mengikat tidak diindahkan/dilaksanakan oleh KIP sebagai penyelenggara, bila masalah sengketa tersebut berkaitan antara pasangan calon atau masyarakat lainnya dengan KIP. Contoh kasus pada sengketa yang pernah diputuskan Panwaslih Aceh berkaitan dengan keberatan hasil uji baca Al-Qur’an yang diajukan oleh Meditati Hafni Hanum (calon Gubernur dari jalur perseorangan (independen)) sebagai pemohon.
93
Berdasarkan kajian Panwaslih bahwa kebijakan dan aturan yang ditetapkan oleh KIP selaku termohon dalam kasus ini dengan penunjukkan tim uji baca Al-Qur’an dan proses pelaksanaan tes uji mampu baca Al-Qur’an telah dilaksanakan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang ada, sehingga Panwaslih tidak dapat mengabulkan permintaan pemohon untuk mengulang tes uji mampu baca Al-Qur’an. Namun ada kesalahan yang dilakukan KIP yaitu tidak sesuai dengan keputusannya sendiri yang menyatakan bahwa hasil uji mampu baca Al-Qur’an ditandatangani oleh seluruh tim uji mampu baca Al-Qur’an105. Kenyataannya surat keterangan uji mampu baca Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh tim uji mampu baca Al-Qur’an tersebut hanya ditanda-tangani oleh seorang ketua tim uji mampu baca Al-Qur’an saja. Komisi Independen Pemilihan dalam hal ini tidak mengindahkan putusan Panwaslih untuk memperbaikinya. Sehingga putusan Panwaslih hanya sekedar putusan saja tanpa ada upaya hukum yang dapat diperintahkan kepada KIP untuk melaksanakannya. Kecuali ada akibat hukum yang menyebabkan kerugian yang dirasakan oleh pasangan calon, tim kampanye atau masyarakat lainnya, maka dapat saja mereka menggugat KIP. Tetapi kalau Panwaslih mengajukan gugatan kepada KIP jelas pekerjaan ini adalah tidak ada gunanya. Karena sesungguhnya Panwaslih tidak berkepentingan untuk menggugat pihak manapun karena Panwaslih tidak merasa dirugikan hanya merasa keberadaannya menjadi kurang berarti saja. Kasus di atas mungkin hanya masalah sepele, yaitu masalah tanda-tangan yang tidak konsisten dengan keputusan KIP yang termasuk dalam kategori pelanggaran administratif. Namun ini menjadi track record yang tidak baik dalam setiap keputusan/ kebijakan Panwaslih selanjutnya. Bisa saja di kemudian hari ditemukannya berbagai persoalan lain dan masuk dalam ketegori pelanggaran administratif, setelah diputuskan Panwaslih untuk diperbaiki oleh KIP, namun KIP tetap pada pendiriannya tidak mau memperbaiki, lagi-lagi keberadaan Panwaslih akan menimbulkan tanda tanya yang besar dari masyarakat akan peran dan fungsinya. Hal ini mesti menjadi perhatian serius dari berbagai pihak, terutama yang berkepentingan dengan proses pemilihan khususnya Pilkada.
105
Lampiran 1 Huruf D angka 6 Kep.KIP No.23/2006 tentang Petunjuk Teknis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. 94
Dari beberapa penjelasan di atas nampaklah jelas bahwa kewenangan Panwaslih sangat terbatas pada hal-hal tertentu saja. Dan hal itupun tidak dapat secara maksimal dilaksanakan karena berbagai ketidaklengkapan akan kekuatan yang dimiliki Panwaslih, seperti halnya upaya hukum terhadap keputusan Panwaslih bagi penyelenggara. Ini adalah evaluai yang perlu dilakukan perbaikan untuk masa yang akan datang. Sehingga diharapkan keberadaan Panwaslih lebih kuat, mengikat dan memiliki upaya hukum untuk menyeret para pelaku pelanggaran, terutama berkaitan dengan penyelenggara yang tidak konsisten dalam keputusan dan kebijakannya. Selain itu juga beberapa hasil evaluasi lainnya yang dapat diberikan dalam pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam ini adalah keberadaan Qanun
yang tidak tegas dan masih
membutuhkan penjelasan-penjelasan lebih lanjut. Dalam sebuah diskusi terbatas beberapa waktu yang lalu dalam persiapan menghadapi Pilkada di Aceh, penulis pernah menyampaikan sebuah Daftar Inventarisir Masalah Pilkada yang lahir dari aturan Pilkada, khususnya terhadap Qanun Pemilihan Aceh. Daftar Inventarisir Masalah Pilkada tersebut dapat dilihat pada tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12 Daftar Inventarisir Masalah Pilkada No
1
2
3
Pokok Bahasan Qanun Pemilihan Aceh Pasal 22 ayat 2 c dan Pasal 23 ayat 2 c “menyelesaikan sengketa, perselisihan, pelanggaran dan atau protes/keberatan yang diajukan terhadap kegiatan pemilihan, sepanjang tidak menyangkut dengan tindak pidana, pada tingkat Kabupaten/Kota, yang keputusannya bersifat final” Pasal 37 Calon yang telah ditetapkan oleh DPRD berhak mendapat pengamanan dari aparat kepolisian. Pasal 39 ayat 2 Setiap juru kampanye hanya boleh berkampanye untuk satu calon dan dalam wilayah sesuai dengan tingkat kampanye di mana ia terdaftar.
Permasalahan
Bagaimana bila KIP tidak mau melaksanakan keputusan Panwaslih yang bersifat final tersebut.
Tidak ada calon yang ditetapkan oleh DPRD, karena DPRD bukan penyelenggara pemilihan, melainkan KIP, lalu bagaimana solusi atas pengamanan dari kepolisian terhadap para calon tersebut Bagaimana untuk tingkat kampanye yang berbeda mis : tim kampanye provinsi sama dengan tim kampanye kabupaten/kota (rangkap), bukankah tidak ada larangannya ?
95
4
Pasal 40 ayat 4 Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3), KIP dapat menghentikan kegiatan kampanye.
5
Pasal 47 ayat 2 Pelanggaran terhadap ketentutan ayat (1) berakibat: a. kampanye dihentikan dan dibubarkan oleh aparat kepolisian atas permintaan Komisi Pengawas Provinsi, Komisi Pengawas Kabupaten/Kota atau Panitia Pengawas Kecamatan, sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye. 6 Pasal 54 ayat 3 dan 4 Apabila karena suatu kondisi yang tidak memungkinkan, atas kesepakatan PPS, saksi dan pengawas, TPS dapat dipindahkan ke lokasi lain. Apabila pada hari yang telah ditentukan, pemungutan suara sama sekali tidak mungkin dilaksanakan, atas kesepakatan PPS, pengawas dan saksi, pemungutan suara ditunda dan hari pemilihan pengganti ditetapkan oleh KIP. 7 Pasal 84 ayat 2 Jika tindak pidana yang diatur dalam Qanun ini juga terdapat pengaturannya dalam perundangundangan lain yang lebih tinggi maka yang diberlakukan adalah ketentuan dari perundangundangan yang lebih tinggi tersebut. 8 Pasal 86 Apabila karena sesuatu hal, pemilihan menurut ketentuan yang diatur dalam Qanun ini tidak dapat dilaksanakan, maka atas pertimbangan KIP dan Komisi Pengawas Pemilihan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Masalah-Masalah Lainnya 1 Daftar Pemilih
2
Calon Bupati/Walikota/Gubernur mencalonkan diri dalam tingkatan yang berbeda secara bersamaan
3
Aplikasi Qanun Pemilihan Pasal 33 ayat 2 f : “tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak pernah berzina, tidak pernah berjudi, tidak
Bila calon dan tim kampanyenya tetap tidak menghentikan kegiatannya setelah diperingatkan, bagaimana sikap KIP terhadap masalah ini? Bagimana mekanisme/bentuk penghentiannya ? Bagaimana bila KIP tidak mengambil tindakan karena kesibukan/atau ketidaksempatan mereka? Bagaimana mekanismenya, selama ini efektifitasnya masih bermasalah ? Kesannya Panwaslih hanya sekedar menyampaikan ke lembaga berwenang! Kemudian selesai tugasnya, walaupun kegiatan tersebut tidak dibubarkan
Pengawas tidak ada di setiap TPS, bagaimana solusinya untuk dapat memindahkan TPS ke lokasi lain dan atau menunda pemungutan suara di lokasi tersebut. Waluapun ada relawan Pengawas, tetapi tugas dan wewenangnya tidak sama dengan Panwaslih.
Seluruh aturan tentang tindak pidana Pemilihan dalam Qanun juga ada di UU No.32 Tahun 2004, sehingga terkesan ketentuan pidana di Qanun mubazir saja dan menjadi tidak berarti dengan ketentuan pasal ini. KIP dan Panwas diberi wewenang untuk dapat membuat kebijakan yang berlainan dengan Qanun, dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku
Daftar Pemilih yang di data tidak memuat kelemahan (kecatatan) seorang pemilih yang memiliki kekurangan, sehingga boleh jadi fasilitas untuk kelompok ini tidak terjamin adanya. Kasus Hj. Mediati Hafni Hanum (Calon Gubernur) yang di gantikan suaminya Ir. Azwir (Calon Bupati), jadi Ir.Azwir mencalonkan diri untuk Bupati dan Gubernur secara bersamaan. Hal ini tidak ada sata kausul pun baik di Qanun maupun keputusan KIP yang melarangnya. Keputusan tentang perbuatan tercela, tidak pernah berzina dll, tidak lengkap aturannya! Mestinya syarat ini bukan dengan SKCK dari kepolisian, melainkan 96
pernah berkhalwat, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, bermoral tinggi, amanah, tidak pernah menyuap dan tidak menerima suap, tidak pernah melakukan KKN termasuk money politi. 4
Perhitungan Suara
5
Logistik
surat pernyataan dari calon tersebut masing-masing, yang bila dikemudian hari ternyat ada gugatan dan bias dibuktikan maka yang bersangkutan bisa di dikualifikasi, baik sebelum menjabat ataupun sedang menjabat. Waktu Perhitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, bila penyelenggara melewati batas waktu yang ditetapkan oleh Keputusan KIP sendiri, bagaimana konsekuensi hukumnya. Kasus Pilkada Aceh Tenggra yang samapi tulisan ini dibuat belum menyelesaikan tahapan Perhitungan dan Rekapiltulasi Hasil perhitungan Suara, padahal waktunya telah lewat dan KIP NAD tidak mengambil tindakan apapun. Logistik tidak terjamin tersebar keseluruhan TPS sampai dengan hari pencoblosan atau terlambat sampai ke TPS, bagaimana !
Akhirnya, dari sejumlah persoalan yang timbul sesuai dengan Daftar Inventarisir Masalah Pilkada, KIP NAD dan Panwaslih Aceh hanya membuat semacam kesepahaman saja untuk mengantisipasi
berbagai
penyelenggaran/pelaksanaan
kemungkinan Pilkada
yang
oleh
KIP
akan
terjadi.
maupun
Baik
bagi
dalam
pengawasan
rangka yang
dilakukan/dilaksanakan oleh Panwaslih.106 Disinilah kesepahaman kedua belah pihak sangat dituntut untuk menjadikan Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam yang adil, jujur, serta berkualitas. Hasilnya seperti telah kita saksikan semua, bahwa pilkada di Aceh berjalan dengan Sukses dan mendapat penghargaan dari seluruh masyarakat Aceh, Indonesia bahkan dunia. Perilaku kinerja penyelenggaraan dan pengawasan yang sinergis seperti inilah diharapkan dapat pula mendorong terciptanya Pilkada yang sukses. Tanpa kesepahaman yang baik dan bijaksana antara Panwaslih dan KIP, tentu sejarah Pilkada Aceh mungkin akan bercerita lain. Lain dari yang kita harapkan tentunya.
106
Draft Kesepahaman antara Panwaslih Aceh dengan KIP NAD dapat dilihat pada lampiran. 97
E. Penutup Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelebihannya, Pilkada kali ini di Nanggroe Aceh Darussalam mendapat apresiasi yang sangat positif dari banyak pihak. Baik dari pemantau asing, pemantau lokal, pemerintah pusat dan daerah lainnya di Indonesia, termasuk berbagai tokoh politik dan demokrasi yang ada di Aceh dan nasional, semuanya memuji keberhasilan Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam. Setidaknya ini merupakan wajah baru demokrasi di Indonesia yang akan menjadi model dan modal bagi pilkada-pilkada lainnya di Nusantara. Apalagi dilaksanakan secara serentak mulai di provinsi sampai dengan kabupaten/kota. Daerah-daerah lain di Indonesia perlu belajar banyak dengan cara-cara berdemokrasi seperti ini. Tidak hanya menghemat biaya operasional Pilkada secara keseluruhan, tetapi juga menghemat waktu dan tenaga sekaligus. Sebuah kebijakan yang sangat atraktif telah dimulai dari provinsi paling barat Indonesia ini. Keberhasilan ini tidaklah hanya keberhasilan penyelenggara, atau pengawas yang melakukan pengawasan dengan ketat dan efektif, atau pula karena kehebatan pemantau dan keseriusan pemerintah daerah dalam membantu. Tetapi keberhasilan ini merupakan keberhasilan seluruh masyarakat di Naggroe Aceh Darussalam. Karena partisipasi mereka, kepedulian mereka akan nasib bangsa dan daerahnya, telah melahirkan sebuah adegan kolosal pemilihan kepala daerah yang jarang diketemukan di daerah lain. Dan mungkin juga di dunia ini merupakan contoh berharga untuk dipedomani. Semoga keseriusan, komitmen dan kesuksesan besar yang telah digapai dalam Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam ini menjadi hikmah dan pelajaran bagi seluruh ummat tentang arti pentingnya memaknai demokrasi dengan arif, baik, dan bijaksana. Dari Aceh Bumi Serambi Mekkah, menjadi Kiblat bagi sejarah demokrasi di masa depan. Semoga..
98
BAB 11 HUBUNGAN PANWASLIH DAN KIP Topo Santoso
Pemilihan kepala daerah di provinsi Aceh dan di 19 kabupaten/kota telah berlangsung. Masa kampanye berlangsung mulai 24 November 2006, sementara hari pemungutan suara berlangsung 11 Desember 2006. Dua aktor penting dalam proses demokrasi itu adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh. Pelaksanaan dan pengawasan Pilkada merupakan dua hal yang sama-sama penting. Tanpa pengawasan, maka pelaksanaan Pilkada dipenuhi dengan kecurangan dan pelanggaran. Tapi, pengawasan yang ada juga tidak boleh berbenturan dengan pelaksana pilkada, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah. Oleh sebab itu menjaga hubungan yang baik antara Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Panwaslih merupakan hal yang sangat penting. Dalam konteks itu, patut dicatat pertemuan dan diskusi yang intens antara Panwaslih Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Aceh beberapa waktu lalu yang membuahkan sejumlah saling pengertian dalam melaksanakan tugas masing-masing lembaga. Dalam Focus Group Discussion (FGD) dan Pelatihan Panwaslih Aceh bersama Kemitraan tanggal 6 November 2006 tersebut semula mencuat sejumlah persoalan. Masalah paling utama adalah bagaimana pembagian tugas dan wewenang serta koordinasi antara Panitia pengawas pemilihan dan Komisi Independen Pemilihan. Berdasar itu ada dua hal yang perlu dicermati; pertama, adanya penafsiran dalam memahami putusan Komisi Independen Pemilihan dalam tahapan Pilkada dihubungkan dengan Keputusan Final dari Panitia pengawas pemilihan dalam suatu sengketa; dan kedua, menyangkut pihak yang mesti melaksanakan sanksi atas suatu pelanggaran kampanye.
A. Masalah Putusan Final KIP Putusan final dari penyelenggara menjadi isyu menarik dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada di berbagai daerah. Ada keuntungan dan kerugian dari adanya putusan final ini. Keuntungannya proses berjalan cepat, kerugiannya pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan keberatan. Masalah ini mencuat khususnya dalam tahapan penelitian dan penetapan pasangan calon peserta Pilkada, dimana Komisi Independen Pemilihan menyatakan bahwa keputusannya 99
dalam masalah ini adalah final dan mengikat. Mencuatnya masalah ini karena ada sejumlah bakal calon yang tidak lolos karena syarat mampu membaca Qur’an tidak terpenuhi mengadukan masalah ini kepada Panitia pengawas pemilihan. Atas keberatan itu Komisi Independen Pemilihan (KIP) tetap pada pendiriannya, sehingga meskipun Panitia pengawas pemilihan di salah satu kabupaten menyatakan keputusan KIP itu cacat hukum dan prosesnya mesti diulang, KIP tidak mengubahnya. Sikap Komisi Independen Pemilihan ini tentu didukung oleh sejumlah konsep, yaitu bahwa pelaksanaan pemilihan (pemilu/pilkada) berada di jalur cepat (fast track) sehingga kalau setiap keputusan penyelenggara dapat diganggu gugat maka tahapan-tahapan pemilihan akan molor dan pemilihan menjadi sangat lama. Argumen kedua, bahwa dalam kerangka hukum Pilkada, KIP diberi wewenang menetapkan pasangan calon peserta Pilkada. Argumen lainnya, kerangka hukum Pilkada tidak memberi ketegasan bahwa ada lembaga lain yang dapat menyatakan keputusan KIP itu batal. Ketentuan semacam ini tampaknya sama dengan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004 yang lalu. Dalam perundang-undangan itu, keputusan dari penyelenggara pemilu bersifat final dan mengikat. Hal ini tampaknya untuk menghindari berlarut-larutnya proses pemilihan apabila dibuka kesempatan adanya protes/keberatan dari pihak-pihak tertentu. Pengalaman pemilu 1999 menunjukkan bahwa proses pemilu berlarut-larut karena adanya berbagai protes semacam itu. Kelemahan itulah kemudian coba diatasi dengan klausul yang menyatakan bahwa keputusan penyelenggara final dan mengikat. Memang hal ini kemudian mempercepat proses, tetapi bagaimana jika benar-benar telah terjadi kekeliruan/kesalahan dalam proses yang ada ? Apakah kesalahan itu akan dibiarkan ? Apakah pihak yang dirugikan tidak dapat membela haknya ? Idealnya, ke depan ada kerangka hukum yang jelas yang memberi peluang tersebut dengan batasan waktu menguji keberatan sehingga tidak menghambat proses pemilihan yang ada. Pada sisi lain, Panitia pengawas pemilihan juga mendapat mandat hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. Karena ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KIP maka wajar saja mereka mengadu ke Panitia pengawas pemilihan. Apakah Panitia pengawas pemilihan mempunyai wewenang untuk menjadikan keputusan Komisi Independen Pemilihan soal penetapan pasangan calon sebagai obyek sengketa dan KIP sebagai salah salah satu pihak dalam sengketa itu ? undang-undang 100
maupun Qanun tidak menjelaskan mengenai hal ini. Apa yang dimaksud sengketa dalam penyelenggaraan pemilihan, juga tidak dibatasi ruang lingkupnya. Di sinilah sebenarnya awal perbedaan sikap antara KIP dan Panitia pengawas pemilihan. Hal semacam ini juga terjadi pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2004 yang lalu. Terhadap persoalan ini, ada beberapa kasus di Pilkada daerah lain yang bisa dilihat. Pada sengketa Pilkada Depok, putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan Final dan Mengikat ternyata “diterobos” oleh Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan keputusan itu. Pada Pilkada Banten, keputusan KPUD yang tidak meloloskan satu calon karena alasan kesehatan dibatalkan sendiri oleh KPUD karena diduga ada kekeliruan dalam pemeriksaan kesehatan dan dalam pemeriksaan ulang dinyatakan lolos syarat tersebut. Dikaitkan dengan Pilkada Aceh, maka apabila memang jelas ditemukan adanya penyimpangan/ kecurangan/ kekeliruan dalam proses maka lembaga yang berhak mengubahnya adalah KIP sendiri. Sementara peran Panitia pengawas pemilihan tetap dapat menangani sengketa yang diajukan dan jika berkaitan dengan wewenang KIP, maka Panitia pengawas pemilihan dan KIP sebaiknya membicarakan bersama dan berkoordinasi untuk mengetahui masalah yang sesungguhnya dan mencari penyelesaian terbaik sehingga tidak timbul salah paham dan ketegangan.
B. Masalah Penegakan Aturan Berkaca pada kampanye pilkada Aceh yang seharusnya dimulai 24 November 2006, sebelumnya kegiatan “kampanye” sudah berlangsung dengan maraknya. Di beberapa daerah Panitia pengawas pemilihan mengancam menurunkan paksa spanduk atau baliho para kandidat. Dalam konteks ini timbul pertanyaan, siapakah yang dapat menetapkan bahwa terjadi pelanggaran kampanye di luar jadwal, dan siapakah yang berwenang menjatuhkan sanksi pelanggaran itu ? Dalam soal ini, tampaknya jawaban diberikan secara berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa KIP yang berwenang menurunkan spanduk/baliho atau menjatuhkan sanksi administratif , sementara ada juga pendapat bahwa Panitia pengawas pemilihan yang berwenang karena Panitia pengawas pemilihan memang tugasnya mengawasi Pilkada. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu kita mesti kembali kepada kerangka hukumnya. Untuk jelasnya kita dapat melihat Pasal 40 ayat (4) Qanun Pilkada Aceh yang menyatakan 101
bahwa apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan, KIP dapat menghentikan kegiatan kampanye. Juga dalam Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ayat (1) berakibat kampanye dihentikan dan dibubarkan oleh aparat kepolisian atas permintaan Komisi Pengawas Provinsi, Komisi Pengawas Kabupaten/Kota atau Panitia Pengawas Kecamatan, sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye. Berdasarkan contoh dua ketentuan di atas sebenarnya Panitia pengawas pemilihan tidak diberi mandat secara langsung untuk menghentikan kegiatan kampanye yang melanggar. Mandat itu pada sebagian kasus di tangan KIP dan sebagian kasus yang lain berada di tangan kepolisian. Dengan demikian jelas, bahwa Panitia pengawas pemilihan lah yang bertugas dan berwenang mengawasi dan menerima laporan masyarakat dan apabila ada pelanggaran meneruskan kepada instansi berwenang, yaitu KIP atau kepolisian (sesuai kasusnya). Dalam praktek, ada baiknya Panitia pengawas pemilihan dan KIP/ Kepolisian berkoordinasi, bahkan juga dengan aparat pemerintah untuk menurunkan spanduk/ baliho yang tidak sesuai ketentuan pemilihan. Bahkan akan lebih baik, jika pasangan calon atau tim kampanye yang melakukan sendiri sehingga justru akan lebih meraih simpati.
C. Koordinasi Panitia pengawas pemilihan dan KIP Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan penegakan ketentuan Pilkada serta untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara Panitia pengawas pemilihan dan KIP, maka sebaiknya dilakukan pertemuan secara rutin antara Panitia pengawas pemilihan dan KIP sesuai tingkatannya masing-masing. Panitia pengawas pemilihan dan KIP perlu membangun komunikasi yang lebih intensif untuk menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut pelaksanaan dan pengawasan pemilihan kepala daerah di Aceh. Dalam tahapa-tahapan pilkada, sangat perlu adanya statemen bersama dari KIP dan Panitia pengawas pemilihan yang kemudian diterima oleh jajaran KIP maupun Panitia pengawas pemilihan di Kabupaten/ Kota, oleh sebab itu apabila ada kebijakan bersama yang dilakukan, agar secara efektif terlaksana di seluruh tingkatan, maka Panitia pengawas pemilihan dan KIP dapat membuat surat bersama kepada Panitia pengawas pemilihan Kabupaten/Kota dan KIP kabupaten/Kota. Pengalaman pada tahapan pendaftaran, penelitian dan penetapan pasangan calon kepala daerah yang lalu perlu menjadi pelajaran penting dimana ada keputusan KIP yang bertemu dengan keputusan dari Panitia pengawas pemilihan. Dalam kaitan ini maka, Komisi 102
Independen Pemilihan (KIP) Melaksanakan prosedur dan mekanisme yang sudah disepakati (yakni yang termuat dalam keputusan KIP sendiri dan aturan lainnya). Semua putusan KIP mungkin saja dinyatakan bersifat final dan mengikat, namun apabila ditemukan adanya penyimpangan dalam prosedur sehingga tidak sesuai dengan peraturan KIP sendiri atau ada penyimpangan yang sifatnya substansial maka KIP dapat mengoreksi putusannya. Agar keputusan Panitia pengawas pemilihan tentang sengketa dapat secara efektif dilaksanakan oleh KIP maka perlu dibangun mekanisme yang lebih intensif dan komunikatif antara KIP dan Panitia pengawas pemilihan. Menjelang tahapan kampanye, perlu dibangun saling pengertian antara Panitia pengawas pemilihan dan KIP khususnya terkait pengawasan dan penindakan atas pelanggaran kampanye tersebut. Dalam hal terjadi kampanye yang melanggar ketentuan, maka yang berwenang menghentikan kegiatan kampanye tersebut adalah KIP dan bukan Panitia pengawas pemilihan. Apabila mengetahui adanya pelanggaran kampanye, maka Panitia pengawas pemilihan segera menyampaikan pelanggaran dimaksud kepada KIP dan KIP yang menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan kampanye dan atau sanksi lainnya sesuai jenis pelanggaran. Apabila ada calon yang tetap berkampanye di luar waktu dan dan tempat selain yang telah ditetapkan oleh KIP maka KIP harus menghentikan kampanye tersebut. Mengenai kampanye di media massa, maka semua pemasangan iklan di media penyiaran harus di lembaga yang legal yang sudah dijustifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Kalau ada pelanggaran maka, media penyiaran dijatuhi sanksi oleh KPID, sedangkan pemasang iklan yang melanggar (Pasangan calon atau Tim Kampanye) dijatuhi sanksi oleh KIP. Harus ada koordinasi antara Panitia pengawas pemilihan dengan KPID dan KIP jika ada pelanggaran kampanye di media. Koordinasi ini dapat diwujudkan dengan pembuatan Memorandum of understanding (MoU) bersama antara Panitia pengawas pemilihan, KPID dan KIP. Selama ini acakali ada kesalahfahaman mengenai pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi pelanggaran. Tugas Panitia pengawas pemilihan dalam hal ini hanya sebatas mengawasi jalannya kampanye dan jika ada pelanggaran segera menyampaikan kepada instansi yang berwenang. Jika masuk dalam pelanggaran administratif segera dilaporkan kepada KIP sedangkan bila sudah ada pelanggaran pidana maka segera dilaporkan kepada penyidik Kepolisian . Apabila KIP langsung melihat pelanggara administratif dalam 103
kampanye maka seharusnya KIP dapat segera menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak menunggu laporan dari Panitia pengawas pemilihan. Menyangkut ketentuan pidana pilkada dalam kampanye, maka sebaiknya yang menjadi acuan adalah ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo Qanun Pilkada Aceh, dan bukan ketentuan pidana dalam Keputusan KIP No. 34 Tahun 2006 karena Keputusan KIP semestinya tidak memuat ketentuan pidana. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan penegakan ketentuan Pilkada serta untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara Panitia pengawas pemilihan dan KIP, maka sebaiknya pertemuan secara rutin antara Panitia pengawas pemilihan dan KIP sesuai tingkatannya masing-masing di masa depan dapat ditingkatkan. Panitia pengawas pemilihan dan KIP juga perlu membangun komunikasi yang lebih intensif untuk menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut pelaksanaan dan pengawasan pemilihan kepala daerah di Aceh. Apabila ada kebijakan bersama yang akan dilakukan, agar secara efektif terlaksana di seluruh tingkatan, maka Panitia pengawas pemilihan dan KIP dapat membuat surat bersama kepada Panitia pengawas pemilihan Kabupaten/Kota dan KIP Kabupaten/Kota.
104
BAB 12 EVALUASI PELATIHAN PANWASLIH ACEH Abd. Latif Bustami
’Khadijah menyerahkan uang sebesar Rp.20.000,- kepada Nafsiah.Pada saat memberi uang terlapor menyatakan’Jangan lupa coblos Nomor 4 biar mesjidnya cepat selesai’ ( 13 Desember 2006, dilaporakan oleh H.Jamaluddin, Hadun Bin Puteh, Ilyas Fonda kepada Panwaslih Kabupaten Aceh Timur’)
A. Pengantar Aceh merupakan wilayah yang seksy dan strategis. Bukan hanya, Aceh menjadi perhatian internasional karena tsunami
107
dan wilayah konflik (GAM-RI)108
melainkan di level
109
nasional Aceh menjadi etalase politik Indonesia . Pemilihan Kepala Daerah Aceh dalam Pilkada langsung dan serentak mulai dari pemilihan gubernur/wakil gubernur Provinsi NAD sampai dengan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di 19 kabupaten/kota110 pada tanggal 11 Desember 2006. Spekulasi politik sebagian besar masyarakat dunia, nasional, regional, dan lokal pesimis Pilkada berlangsung damai dan hasilnya diterima semua pihak. Realitasnya adalah Pilkada Aceh bisa dilaksanakan dengan damai dan demokratis111 sulit diterima nalar sehat.112 Salah satu lembaga yang memberikan
107
Bencana merupakan peluang bagi perbaikan dan penataan hidup secara mendasar. Bencana menjadi konteks bagi pembentukan solidaritas baru, aktivisme, agenda baru politik, dan pembentukan hubungan kekuasaan baru yang dapat mengubah struktur kekuasaan (Oliver Smith 1977’Disaster Rehabilitation and Social Change in Yungay, Peru’ .Hum.Organization.36’). 108 Konflik antara RI dan GAM merupakan konflik terlama dalam sejarah militer di Asia 109 Pemberlakuan Syariat Islam, Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota serentak, tampilnya calon independen, dan calon gubernur dan wakil gubernur adalah mantan Gerakan Aceh Merdeka, dan Pilkada dilaksanakan oleh masyarakat pasca bencana dan konflik berkepanjangan. 110 Pilkada itu diikuti oleh 129 pasang calon Kepala daerah atau 258 peserta terdiri atas 8 pasang calon gubernur/wakil gubernur dan 122 pasang Bupati/Walikota. Calon independen sebanyak 3 pasang calon untuk Pemilihan Gubenrur/Wakil Gubernur dan 54 pasang calon untuk Pemilihan Bupati/Walikota. Jumlah TPS sebanyak 8.471 dengan jumlah kotak suara 16.942, bilik suara sebanyak 33.884, tinta pilkada 8.471 botol, 5405438 lembar surat suara, dan kartu pemilih sebanyak 2.632.935 (KIP NAD,Edisi Khusus 1 Februari 2007). 111 Wakil independen dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang dipenjara pada masa Orde Baru menjadi pemenang Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi NAD (Irwandi-Nazar). Mereka meraih suara dominan di 4 (lima) kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara,Aceh Timur, Aceh Jaya. Pilkada Aceh melibatkan pemantau asing sebanyak 150 orang dan 5089 pemantau nasional. Tingkat pastisipasi masyarakat mencapai 79,9% atau 2.104.739 pemilih dari Daftar Pemilih Tetap 112 Pilkada di 1 (satu) wilayah saja, yang dilaksanakan dalam kondisi yang normal saja menimbul-kan sengketa administrasi dan tindak pidana, apalagi kondisi tidak normal dan dilaksanakan serentak,serta tampilnya calon independen. 105
kontribusi dalam pelaksanaan tersebut adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah (Panwaslih).113 Tulisan ini merupakan evaluasi pelaksanaan kegiatan ’Institutional Strengthening of Panwas in Monitoring the Local Direct Election of 2006 in Aceh (DRA.02798 Aceh) yang berlangsung dari 30 September 2006-30 Nopember 2006, sumber dana dari Swiss yang dikelola melalui Internal Trust Fund.114 Konteks kegiatan itu adalah tiga hal. Pertama, Panwas tingkat provinsi Aceh dan kabupaten115 sendiri dibentuk setelah proses pendaftaran pemilih selesai, sedangkan tingkat kecamatan sebagai ujung tombak pengawasan dibentuk menjelang Pilkada dilakukan. Kedua, Panwas Pilkada Aceh yang baru terbentuk itu, anggotanya kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam menghadapi pelaksanaan Pilkada. Ketiga, berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur Pilkada Aceh baru disahkan sehingga perlu dipahami dengan baik. Dengan sendirinya, usaha untuk meningkatkan
kapasitas
anggota
Panwas
Aceh
di
seluruh
tingkatan
(Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan) dalam menghadapi Pilkada secara serentak di seluruh Aceh mendesak untuk dilaksanakan.116 Tulisan ini difokuskan pada use of outputs dari capaian pelatihan Panwalih Aceh. Strategi untuk meningkatkan kapasitas itu melalui pelatihan. Sebelum pelatihan dilaksanakan focus
113
Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun No.7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Qanun No.2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/Wakil Walikota di Propinsi NAD. Menurut qanun tugas panwas adalah mengamati, mengkaji, memeriksa, menilai dan tidak menindak. Panwaslih terdiri atas beberapa divisi,yaitu pengawasan dan evaluasi, komunikasi dan jaringan, pelaporan dan penyelesaian sengketa, dan Kampanye. 114 Strategi kegiatan dilakukan dengan memberikan pelatihan terdiri atas menyusun modul pelatihan, seri diskusi dan workshop, pelaksaan training (rekrumen pelatih, ToT), dan sosialisasi Panwas. Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah: (l) meningkatnya kemampuan anggota Panwas dalam memahami tugas dan kewenangan sesuai dengan aturan legal, (2) mampu menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan, dan (3) pelaksanaan tugas dan kewenangan Panwas mendapatkan dukungan masyarakat (Periksa, Dokumen Project Appraisal Committee, Approval Recommendation). 115 Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pendelegasian wewenang terhadap DPRD Kab/Kota, untuk membentuk Panwaslih Kab/Kota maka pada tanggal 28 Agustus 206, Panwaslih Aceh mengeluarkan pengumuman pendaftaran calon anggota yang dimulai tanggal 31 Agustus dan ditutup tanggal 4 September pukul 15.00 wib melalui Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota masing-masing. 116 Tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan kapasitas para anggota Panwas dalam melaksanakan tugas dan wewenang (mengawasi seluurh tahapan Pilkada, menerima dan menindaklanajuti laporan, dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan Pilkada. Peningkatan kapasitas itu memberikan kontribusi bagi pilkada yang demokratis dan damai. Masyarakat berpartisipasi dalam memantau Pilkada dan bekerjasama dengan Panwas dalam mengungkap pelanggaran Pilkada. Berbagai sengketa yang timbul dapat ditanggulangi dan berbagai pelanggaran dapat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 106
group discussion yang dikuti oleh multi-stakeholder Pilkada Aceh.117 Hasil FGD, itu selanjutnya dijadikan materi pelatihan dan kemudian disosialisasikan ke seluruh anggota Panwas.118 Peserta
pelatihan
berasal
dari
Panwas
kabupaten
di
19
Kabupaten
yang
menyelenggarakan Pilkada sebanyak 105 orang dan 243 Panwaslih kecamatan, sehingga total peserta pelatihan adalah 348 orang.119 Pelatihan dibagi dalam dua tahapan yaitu putaran pertama120 dan putaran kedua.121 Materi yang berbasis kasus Pemilu 2004 disesuaikan dengan kebutuhan yaitu : (1) Pilkada Aceh dan kerangka hukumnya; (2) tugas dan wewenang Panwaslih; (3) pengawasan pilkada, khususnya tahapan kampanye dan pemungutan dan penghitungan suara; (4) penerimaan laporan dan tindak lanjutnya; dan (5) penyelesaian sengketa pilkada dan sengketa hasil pilkada. Peran penyaji yang berlatar belakang mantan Panwaslu Nasional Pemilu 2004, praktisi hukum, dan aparat penegak hukum memantapkan pemahaman peserta terhadap apa yang harus dikerjakan122.
117
FGD dilaksanakan pada tanggal 6 November 2006, peserta berasal dari seluruh anggota Panwaslih Provinsi (7 orang), ketua dan anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebanyak 5 orang, kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pers. Masalah yang dikaji di antaranya masalah-masalah kelembagaan dan kewenangan KIP, Panwas, dan relasi antar lembaga. Hasil FGD di antaranya adalah dijawab sejumlah masalah yang semua menjadi persoalan rumit dan meragukan bagi Panwaslih Aceh, misalnya menyangkut hubungan dan pembagian wewenang antara KIP dan Panwaslih, tentang beberapa ketidak-sinkronan dalam Peraturan perundang-undangan, serta tentang aturan hukum yang harus dilaksanakan apabila ada perbedaan. Tim Kemitraan melakukan perumusan akhir terhadap hasil-hasil FGD, yaitu (1) draft MOU antara KIP dan Panwaslih Aceh; dan (2) Masalah dan Jawaban mengenai Pilkada Aceh. Kedua paper tersebut pada tanggal 8 November 2006 diserahkan kepada Panwaslih Aceh untuk disepakati dalam Pleno Panwaslih dan selanjutnya akan ditandatangi bersama KIP Aceh. 118 Isi MoU Itu, di antaranya adalah: (6). Menyangkut ketentuan pidana pilkada dalam kampanye, maka sebaiknya yang menjadi acuan adalah ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan Qanun No. 7 Tahun 2006, dan bukan ketentuan pidana dalam Keputusan KIP No. 34 Tahun 2006 karena Keputusan KIP semestinya tidak memuat ketentuan pidana. Kemudian, dilakukan penandatangan Kesepahaman tentang Penanganan Tindak Pidana dalam Pilkada NAD yaitu antara Panwaslih, KIP, Polda, Kajati, dan Pengadilan tinggi Aceh. 119 Pemahaman Panwaslih itu dibantu dengan adanya Buku Saku Panwaslih yang diluncurkan pada tanggal 7 November 2006, di KIP media center. Pada tanggal 9 November 2006 Tim Kemitraan dan para Trainer pada pelatihan tersebut melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelatihan putaran pertama baik mengakut materi, metode, alokasi waktu, dan hal lainnya. Berdasarkan evaluasi itu maka dilakukan beberapa perubahan pada pelatihan putaran kedua, khususnya dengan memberi alokasi lebih besar pada simulasi penyelesaian pelanggaran dan pelaksanaan tugas Panwaslih lainnya. Jumlah peserta yang direncanakan di PAC tercantum 355 orang. Pelatihan untuk Panwas Popvinsi dan kabupaten sebanyak 112 orang sedangkan Panwas Kecamatan sebanyak 243 orang (Dokumen PAC). 120 Pada tanggal 7 -8 November 2006, pelatihan anggota Panwaslih putaran pertama diikuti 176 peserta. 121 Pada tanggal 10 November 2006, pelatihan anggota Panwaslih untuk putaran kedua yang diikuti 172 peserta 122 Para peserta semakin memahami beberapa persoalan menyangkut Pilkada Aceh. Pemahaman itu terjadi salah satunya faktornya adalah penggunaan metode yang bukan hanya disesuaikan dengan tujuan dan materinya yang berasal dari kasus-kasus serta bagaimana meneruskan laporan atau menangani sengketa Pilkada. 107
B. Penerima Manfaat Langsung Keberadaan Panwaslih memiliki kelemahan.123 Panwas dibentuk setelah proses pendaftaran pemilih selesai. Bahkan, pada saat penetapan calon di Panwaslih Kabupaten baru terbentuk.124 Panwas kecamatan baru dibentuk kemudian. Idealnya, pembentukan Panwaslih dibentuk bersamaan dengan pembentukan penyelenggara Pilkada sehingga pengawasan dapat dilakukan. Kendala yang dihadapi diantaranya adalah Panwaslih tidak memiliki Daftar Pemilih Tetap setiap TPS sehingga menyulitkan dalam melihat daftar pemilih yang mempunyai hak pilih.125 Komposisi anggota Panwaslih di propinsi dan kabupaten/kotamadya adalah 5 orang terdiri atas ketua, wakil ketua, 3 angggota. Kelima orang itu dengan analisis 3 orang dipilih dan 2 orang ditunjuk (Polres,Kajari). Di kecamatan terdapat pegawai kecamatan yang ditugaskan untuk operasionalisasi kegiatan. Kehadiran aparatur negara itu menunjukkan adanya kontrol negara dalam proses demokrasi. Menurut pengakuan anggota KIP Sabang, pihak Panwaslih sangat menguasai hal-hal teknis menyangkut tata cara pelaksanaan kampanye. Panwaslih bisa memiliki kemampuan teknis karena telah menjalani pelatihan dan simulasi di Banda Aceh, kesempatan yang tidak dimiliki anggota KIP.126
123
Suedi Husin (Panwaslih Propinsi NAD) ‘Kelemahan panwas adalah tidak dapat mengambil tindakan. Kelemahan panwas karena kelemahan UU, dimana pangawas tidak ada kewenangan untuk mengambil tindakan. Jadi bagaimana caranya, masyarakat, pemilih dan peserta mau proaktif untuk mengawasi ?’ (Rapat Koordinasi, 22 November 2006) 124 Di Kabupaten Aceh Barat Daya, pendaftaran calon 7 Nopmeber 2006, pasangan Drs. Irwansyah/ABubakar Usman, SH merasa keberatan atas digugurkannya pasangan tersbut oleh KIP karena persyaratan administrasinya tidak lengkap. Pada tanggal 9 Nopmber 2006, pasangan tersebut melapor ke Panwaslih bahwa ada balon lainnya tidak lengkap tapi diluluskan oleh KIP.Sdr, Irwansyah merasa keberatan dalam undangan yang ditujukan kepadanya berbunyi Calon Bupati.Namun di dalam pendapatnya penulisan tersebut adalah Balon Bupati sehingga yang bersangkutan keberatan terhadap penulisan tersebut. Permasalahan itu ditindaklanjuti dengan koordinasi dengan KIP dan pengecekan kelengkapan adminsitrasi ternyata Sdr. Irwansyah memang murni tidak memenuhi persyaratan administrasi. Pertemuan antara Panwaslih, KIP, dan yang bersangkutan yang isinya: KIP mengaku khilaf dalam penulisan tersebut, hasil pengecekan kelengkapan administrasi sehingga Irwanyah menerima dan menyatakan permasalahan tersebut selesai. Pembentukan dan penetapan Tim Pemeriksa Kesehatan dan tim Baca Alqur’an pada tanggal 28 Agustus s/d 4 September 2006, tidak ada pengawasan karena Panwaslih Kabupaten Abadya belum terbentuk. 125 Laporan masyarakat tentang adanya Daftar pemilih tetap bermasalah karena pemilih tersebut baru berdomisili 1 bulan di desa Kuta Makmue, Kec.Kuaa Kab.Nagan sebanyak 58 orang. Panwaslih segera melaporkan kejadian tersebut ke KIP dan akhirnya sebanyak 58 orang berhak untuk memilih (SK KIP NAD Nomor 143) . 126 Fahmi Wibawa, Manager Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah Kemitraan, ke Kota Sabang, 24 November 2006, untuk menyaksikan deklarasi Pilkada Damai sekaligus mengamati secara langsung kinerja Panwaslih Kota Sabang khususnya dalam awal masa kampanye. Dari pengamatan lapangan, nampak menonjol bahwa Panwaslih mengambil peran penting dalam menegakkan semua aturan kampanye terutama menyangkut tata cara kampanye. 108
Menurut Marjuki Harun, ketua Panwaslih Sabang, setelah menjalani pelatihan, semua anggota Panwaslih Kota Sabang, termasuk yang berada di kecamatan, memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menjalankan setiap penugasan. Banyak pelanggaran yang dilakukan para kandidat, dapat ditemukan oleh pihak Panwas dan dilaporkan kepada pihak KIP untuk ditindaklanjuti. Zakaria Al Bahri, anggota Panwas Sabang yang lain, menambahkan bahwa pihak KIP seringkali tidak bisa secara kongkrit menindaklanjuti hasil temuan Panwas. Oleh karenanya Panwas selalu memberikan rekomendasi tindakan/ tindaklanjut atas setiap temuan yang dihasilkan. Pjs Gubernur Aceh menyatakan bahwa ‘Ketegaran panwaslih dan aparat hukum saya merasa sangat terbantu, terkait masalah membaca Al-quran yang meminta saya turun untuk menyelesaikan masalah ini, nyatanya KIP dan Panwas sudah dapat menyelesaikan dan masalah-masalah yang lain. Terhadap apa yang terjadi ada 2 insiden yang sangat kita sayangkan yang pertama masalah KIP di swiss hotel pada acara curah piker calon kandidat dan insiden
Bireun yang seharusnya tidak terjadi. Insiden Bireun, Saya bangga pada
panwaslih yang tegar dan cepat dalam menyikapi masalah yang mun cul dan akan muncul’ (Rapat Koordinasi, 22 Nopember 2006).
C. Beuhë Keumakmue Nanggroe:127 Penerima Manfaat Tidak Langsung Peran Panwaslih berpengaruh terhadap pemahaman dan pengawasan tahapan Pilkada serta melaporkan pelanggaran sesuai dengan mekanisme sebagaimana yang disosialisasikan oleh Panwaslih. Masyarakat memahami mekanisme melaporkan pelanggaran Pilkada sesuai dengan aturan. Stigma awal yang sering muncul adalah masyarakat takut menelaporkan pelanggaran dengan sendirinya tidak bisa diterima. Boleh jadi, alam bawah sadar kita berpraduga bahwa ureaung Aceh yang menjadi pengawas Pilkada yang diikuti oleh pasangan yang berlatar belakang PAD (Putra Asli Daerah) ibarat ’jeruk makan jeruk’ menjadi terdekonstruksi. Laporan dari seorang ibu rumah tangga di Aceh Barat
di bawah ini
menunjukkan pengakuan pentingnya panwaslih.
127
Bahasa Aceh yang artinya berani membela keamanan negeri. Istilah ini hasil perenungan dari M.Gaussyah,MH (Dosen Unsyiah Banda Aceh). Istilah itu untuk menyatakan keberanian masyarakat Aceh mengungkapkan dan mempertahankan kebenaran termasuk dalam pelanggaran Pilkada. 109
Pada hari kamis, 7 Desember 2006 sekira pukul 13,00 wib, saya pelapor sedang berada di rumah tiba-tiba didatangi oleh sdr Umi Kalsum yang mengatakan, menawarkan mau coblos apa,saya mengatakan belum tahu, kemudian Umi Kalsum mengajak agar coblos saja Pak Nasruddin Nomor 5 nanti akan kami berikan berupa bahan kain baju muslim, kemudian terlapor menyodorkan selebaran daftar nama-nama warga untuk ditanda tangani sebagai bukti pencoblos pasangan tersebut dan kemudian hari akan diberi sesuatu barang bahan baju tersebut dan saya keberatan menandatangani lembaran yang di sodorkan oleh terlapor atas kejadian tersebut saya keberatan dengan perbuatan tersebut (Sabtu, 9 Desember 2006, pukul 13.00, pelapor Mameh, 40 tahun, ibu rumah tangga, Desa Pasi Jambu, Kec. Kaway XVI, Kab. Aceh Barat).128
Di samping itu, pelanggaran yang ditindaklanjuti oleh Panwaslih berdasarkan laporan masyarakat adalah menurunkan spanduk
dan penertiban kampanye pasangan calon
gubernur/wakil gubernur (4 pasangan) pada tanggal 10,11,13 Desember 2006, dan menghentikan kampanye pasangan calon bupati/wabup karena tidak dilengkapi izin (STTP) dari kepolisian sehingga dibatalkan (1 Desember 2006), mengalihkan kampanye yang dilaksanakan di Pesantren Darul Mulisin Arongan Lambalek (6 Desember 2006). Adanya kertas suara untuk Bupati/wakil masuk ke kotak Gubernur. Mungkin ketika memberikan surat suara untuk dicoblos oleh pemilih KPPS hilap sehingga yang diberikan kedua-duanya surat suara Gubernur, sehingga ketika kotak suara dibuka untuk dihitung, didapati surat suara gubernur di dalam kotak suara Bupati (Senin, 12/12/2006, waktu 17.30. Kecamatan Blangpegayon, Kabupaten Gayolues, NAD). Tetapi, tidak selamanya laporan masyarakat itu bisa diterima. Di Kabupaten Aceh Singkil, misalnya laporan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan Safriadi Manik SH dan Drs. Ramlan mengenai pemilih di bawah umur, banyak peserta pemilihan tidak terdaftar untuk memilih, pemilih bukan penduduk dari desa tersebut, dan permintaan pilkada diulang tidak bisa diterima. Laporan itu setelah dievalusi ternyata rekayasa sehinga tidak bisa diproses lebih lanjut baik pelangaran pidana maupun pelangran administrasi. Kejadian pelanggaran di Kabupaten Aceh Barat Daya telah dilaporkan ke Kapolres oleh Panwaslih No.62/Panwaslih/XII/2006, tanggal 18 Desember 2006: tindak pidana beserta barang bukti.129 Tindak pidana ke penyidik, Panwaslih mengirimkan
dengan No.
128
Laporan dari masyarakat itu oleh Panwaslih Kabupaten Aceh Barat diteruskan ke Kapolsek berupa Surat pelanggaran pidana pilkada ke Kapolsek Aceh Barat No.01/Panwaslih AB/2006, tanggal 11 Desember 2006 untuk diproses secara Hukum. Surat itu diterima oleh Team Pilkada Penyidik Wendy Octariansyah NRP. 83101391. 129 Dua lembar kartu pasangan Calon Akmal Ibrahim-Syamsurizal, barang bukti 1 lembar kain dasar warna biru motif batik ukuran lebih kurang 2,5 meter (dilaporkan oleh Iswahid, tanggal 9 Desember 2006); barang bukti uang seebsar Rp. 30.000,- (dilaporkan oleh Mansur, 9 Desember 2006) dan Rp. 20.000 (dilaporkan oleh Hayani Sa’id, 10 110
09/Panwaslih Abdya/XII/2006, 22 Desmeber 2006 tentang (l) Bukti uang sebesar Rp. 900.000 dengan pecahan Rp. 5000,- dan Rp. 50.000 (dilaporkan oleh Ahmad Husin, 10 Desmeber 2006) dan Barang bukti baju daster motif batik warna coklat (dilaporkan oleh Nur’aini, 17 Desember 2006). Dari 10 kasus itu yang telah dilimpahkan ke Penyidik dan kemudian dilengkapi berkas perkaranya dan diajukan ke Jaksa maka hanya 9 perkara yang memenuhi unsur dan Tersangka dan barang-barang bukti telah diserahkan kepada Jaksa. Satu perkara dikembalikan karena tidak mencukupi unsur pasal; yang dituduhkan kepada Tersangka (Surat Kapolres Persiapan Abdya No. Pol: B/03/I/2007/Reskrim, tanggal 03 Januari 2007. Laporan yang terindikasi sebagai pelanggaran pidana dan penanganannya ditetapkan 28 kasus. Hasil diskusi Gelar Perkara (JCS) yang difasilitasi oleh Polres Aceh Tengah dengan melibatkan unsur Panwas, Kepolisian, Kejaksaan dan Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten Aceh Tengah dihasilkan 13 kasus kadaluarsa, 13 kasus dapat dilanjutkan ke tingkat penuntutan dan 2 kasus dinyatakan masalah administrasi. Sehingga dari laporan yang telah diteruskan kepada penyidik, tidak ada satu kasuspun yang diteruskan kepada penuntut atau keseluruhan kasus dinyatakan gugur (Laporan Panwas Kabupaten Aceh Tengah, 2007:21). Sadikin Ali berani melaporkan kepada Panwaslih Kabupaten Aceh mengenai Kepala MAN 1 Pegasing, Aceh Tengah yang mengerahkan siswa untuk kampanye pasangan Cabup No.1 (Nasaruddin-Jauhar) (Laporan No. 02/PL/Panwas/XII/AT 6 Desember 2006. Rusdi melaporkan PPG dan PPK Kecamatan Silih Nara Aceh Tengah melaksanakan pemilihan tidak sesuai jadwal, KPPS membuka kotak suara di rumah kepala desa oleh Bayhaqi . Bahkan Sarkawi melaporkan KPPS, PPK Kecamatan Lut Tawar, yaitu adanya 11 suara suara dicoblos atas nama pasangan calon no.1 sebelum diberikan kepada pemilik (Laporan No.32/Panwas/XII/AT 17 Desember 2006). Kejadian kartu rusak tercoblos untuk pasangan nomor 1 terjadi juga di PPK Kecamatan Silih Nara sebagaimana yang dilaporkan Sriyanto,dkk. Inen Wahyu/Siti Hawa melaporkan kejadian pemberian uang oleh Pasangan Cabup No.1 sejumlah Rp.400.000,- dan rebana satu set
kepada
ibu-ibu
pengajian
(Laporan
No.13/PL/Panwas/AT/XII/17
Desember
Desember 2006 ), dilaporkan oleh Zulhemi-10 Desmeber 2006, oleh Indra Suriadi, 11 Desember 20060), Rp. 10.000,- (dilaporkan olej Helmi, 11 Desember 2006), Rp. 60.000 (dilaporkan oleh Zainuddin, 11 Desember 2006) da. Barang bukti 1 unit Laoundspeaker Merk Cibertron, 1 amplifier Merk CSBO AK-3500, 1 unit TOA Cooperati Merk ZH.5025 dan 1 unit mikropon (dilaporkan oleh Supardi, 11 Desember 2006) 111
2006).Keterlibatan Kepala desa dalam mengerahkan massa untuk mengikuti kamanye pasangan Cabup No.1 di Kabupaten Aceh Tengah.130 Muhamad Ali, Kec.Seulameum melaporkan kepada Panwaslih Aceh Besar’ : ‘ Mobil pengantar kotak suara dari Kec. Baitusslam dengan No.Pol. BL 8207.Tanpa pengawalan polisi juga tidak didampingi petugas PPK sebagian tidak terkunci. Pada saat seluruh Tim sukses para kandidat cabup/cawabup sedang berkumpul di Kantor KIP Jantho datang sebuah mobil pick up berisi tong kotak suara dari kecamatan Baitussalam tanpa pengawalan polisi dan juga petugas PPK setempat,yang ada hanya supir dan kernet mobil pick up tersebut. Ini melanggar aturan Qanun’ (Jantho, Sabtu, 16 Desember 2006, pukul 13.00, Laporan Pelanggaran No.17/XII/Panwas AB/2006). Laporan itu ditindakalnjuti dengan meminta keterangan Ketua PPK Kec.Baitussalam, Iskandar Ali, 24 Tahun, pekerjaan PNS).
Penjelasan dari PPK menyatakan bahwa: ’Kotak suara tersebut yang pada awalnya didampingi dari kecamatan akan tetapi yang bersangkutan berhenti di Lingke untuk mengganti ban mobil dan atas perintah yang bersangkutan mobil yang mengangkut Kotak Suara sebanyak 36 (tiga puluh enam) kotak dan 54 (lima puluh empat) bilik suara diperintahkan meneruskan perjalanan sampai ke Kantor KIP Aceh Besar tanpa didampingi yang bersangkutan setelah 2,5 jam mobil yang mengantar kotak suara sampai di kantor KIP Kabupaten Aceh Besar yang bersangkutan baru tiba (Surat Panwaslih Aceh Barat kepada KIP No.42/PANWASLIH-AB/XII/2006, tanggal 19 Desember 2006 tentang Penerusan Laporan).
Kejadian itu menyebabkan hubungan Panwaslih dengan KIP kurang baik. Bahkan, Panwaslih menyatakan
KIP Aceh Besar telah melangkahi aturan yang ada dan segera
diitndaklanjuti dan diselesaikan secara administrasi. Masyarakat di Aceh Timur, 13 Desember 2006, melaporkan bahwa: 1) Desa Meunasah Tengoh di Kec. Pantee Bidari, terjadi penggelembungan surat sisa susulan sebanyak 107 suara, yaitu Jumlah pemilih tetap 971 orang, jumlah pemilih tidak terdaftar 31 orang,jumlah yang mendapat undangan susulan sebanyak 138 orang. 2) Desa Meunasah Tunong.Jumlah DPT sebanyak 422 orang, jumlah pemilih tidak terdaftar 6 orang, jumlah pemilih yang mendapat undangan sebanyak 10 orang berarti terjadi penggelembungan sebanyak 4 suara (Pelanggaran administrasi). 3) Desa Matang Peureulak.. Jumlah DPT sebanyak 366 rang, yang tidak terdaftar sebanyak 6 orang, jumlah yang mendapat undangan sebanyak 1 orang. Hari minggu tanggal 10 desember pukul 14.00,Bripda Dharma mendapat laporan dari masyarakat bahwa telah menerima surat undangan susulan dari PPG, padahal dirinya tidak terdaftar menjadi
130
Kejadian itu dijadikan dasar bagai 7 pasangan cabup-wabup lainnya (Mahreje Wahab, Bantacut (Aspala), Drama Tapa gayo, Abdul Muthalib,Syukur Kobath,Ligadinsyah,Muchlis Gayo) untuk menolak hasil pilkada dan meminta pilkada diulang.Pada tanggal 1 Januari 2007, kantor KIP Kabupaten Aceh tengah terbakar dan penetapan hasil pilkada dimenangkan oleh Nasaruddin-Djahhar dengan suara 38,87%. 112
DPT), dimana pada hari sabtu tanggal 9 Desember 2006 sekitar pukul 10.00 wib terjadi peristiwa yang dimaksud.Kejadian itu dilaporkan ke ke KIP 010/Panwaslih/2006.
D. Sebuah Testimony dan Best Practices Pelatihan Panwas merupakan kegiatan Kemitraan yang sangat strategis. Hasil pelatihan tersebut telah diapresiasi oleh pemantau dan lembaga asing.131 Bahkan, lembaga-lembaga itu mengadopsi kegiatan dengan memberikan penguatan dari aspek kelembagaan dalam kendali Kemitraan.132 Dari aspek internal KIP dan Panwaslih yang selama ini terkendala oleh tafsir relasi kewenangan dan kinerja sesuai dengan kepentingan, maka dengan kegiatan ini bisa dikoordinasikan dengan baik.133 Menurut Mustafa Abubakar, Kemitraan telah memberi kontribusi bagi rakyat Aceh pada umumnya, dan Pemerintah Daerah pada khususnya di dalam penegakan kembali demokrasi di Aceh, yaitu dukungan Undang-Undang tentang pemerintahan Aceh. Kemitraan telah membantu terciptanya Aceh baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi melalui upaya pembaruan tata pemerintahan di berbagai bidang, termasuk Panwaslih. Kemitraan segera membantu finalisasi perumusan qanun serta aturan pelaksanannya.134 Desain pelatihan yang diawali dengan pemetaan masalah bersama multi-stakeholder penegakan hukum dalam Pilkada dan ditindaklanjuti dengan penandatanganan Nota Kesepahaman. MoU tersebut disosialisasikan kepada panwaslih lainnya dan memberikan hasil yang efektif. Fasilitator pelatihan yang aktif terlibat dalam Panwaslu Nasional dan praktisi hukum meningkatkan pehamaman peserta dan kemampuan peserta untuk menerapkan materi pelatihan. Tugas dan wewenang Panwaslih menjadikan masyarakat memahami jenis dan bentuk pelanggaran di Pilkada dan mekanisme pelaporan sesuai dengan 131
Tanggal 7 November 2006, Kemitraan mendampingi ketua Panwas bertemu dengan M. Sean, Konsulat Amerika Serikat di Medan. Intinya, Pemerintah AS terkesan dengan program pelatihan Panwas dan menawarkan Bantuan bilamana masih dibutuhkan. Tanggal 8 November 2006, Kemitraan bertemu dengan DR. Bennard May, konsultan GTZ yang menjadi liason Officer Uni Eropa di Aceh. Ia menyatkana bahwa Pemantau UE akan selalu berkoordinasi dengan Panwas-Kemitraan dalam operasional di lapangan, dan EU akan mengintensifkan koordinasi dengan Kemitraan dalam menjalankan program-program di Aceh. 132 Dukungan Kemitraan bagi penguatan kapasitas Panwaslih Aceh telah juga menarik perhatian lembaga lainnya untuk ikut mendukung, seperti LGSP (USAID) yang akan mendukung Panwaslih dalam frame kerjasama bersama Kemitraan 133 Pelaksanaan FGD dan pelatihan mendapat apresiasi baik dari Panwaslih maupun dari KIP yang dilibatkan secara aktif . Dalam kedua aktivitas itu KIP berkoordinasi secara intensif dengan Panwaslih untuk mendiskusikan berbagai isu yang semula meninjadi sumber salah persepsi dari kedua lembaga itu. Informasi dari Ketua Panwaslih menyatakan bahwa Pjs Gubernur NAD, memberi apresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada Kemitraan. 134 Pernyataan itu disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Evaluasi Pelaksanaan Pemantauan Dan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Damai Nanggroe Aceh Darussalam, 9 – 11 Pebruari 2007 113
aturan. Di samping itu, penyusunan Buku Saku Pengawasan Pilkada dan Suplemen Buku yang disusun oleh Kemitraan yang memuat aturan dan mekanisme kerja penyelesaian sengketa Pilkada menjadi rujukan Panwaslih dan masyarakat.
Kemitraan berhasil
mengkoordinasikan penyelenggara Pilkada, Pengawas Pilkada dan Penegak Hukum Pilkada sehingga tercapai kesepahaman untuk menghindari persoalan atau perdebatan atau bahkan konflik antara penyelenggara, pengawas, dan penegak hukum. rapa’i pasee (perdamaian) di Aceh menjadi kenyataan. Pilkada Aceh untuk demokrasi Indonesia’, akan selalu bergema di Aceh. Dari Aceh untuk Indonesia, Mengapa tidak?
114
BAB 13 PERAN POLDA DALAM MEWUJUDKAN PILKADA DAMAI ACEH Sofyan Lubis
A. Pendahuluan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 11 Desember 2006 yang lalu telah berlangsung secara aman, damai dan tertib. Meskipun ada insiden – insiden kecil antar pendukung calon Kepala Daerah ketika masa kampanye misalnya, hajat menyelenggarakan pesta demokrasi rakyat tetap dapat berlangsung sesuai dengan tahapan-tahapan Pilkada, mulai dari tahapan pendaftaran hingga penetapan pasangan calon kepala daerah. Terwujudnya Pilkada Aceh yang aman, damai dan tertib sebagaimana kita ketahui dari berbagai media, laporan – laporan yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga pemantau maupun pernyataan-peryataan resmi dari instansi Pemerintah dalam negeri maupun luar negeri, serta hasil observasi lapangan yang dilakukan penulis sendiri sebelum maupun pada saat pemungungan suara setidaknya merupakan kontribusi dari dua faktor. Pertama, faktor lingkungan sosial politik yang kondusif karena ada kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia serta berlanjut dengan pengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No.11/2006 pada 11 Juli 2006. Kedua, faktor peran para pihak yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses Pilkada. Para pihak yang dimaksud seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara, Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) yang mengawasi setiap tahapan Pilkada, pemilih yang memiliki hak pilih, para calon kepala daerah serta stakeholders lainnya. Kita tak dapat membayangkan bila para pihak itu tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan Pilkada yang aman, suasana chaos mungkin saja terjadi sehingga dapat merusak sendi-sendi perdamaian yang telah dicapai sebelum Pilkada. Di antara peran banyak pihak itu, kita tak boleh mengabaikan begitu saja peran aparat keamanan, yakni aparat Kepolisian Daerah (Polda) dalam tugas-tugas pengamanan selama tahapan-tahapan Pilkada berlangsung.
115
Tulisan ini memfokuskan pada peran Polda Aceh sebagai subyek lain yang amat diterminatif dalam rangka menjamin ketertiban dan keamanan yang secara langsung terlibat dalam proses Pilkada dan ikut berkontribusi mewujudkan Pilkada yang aman, damai dan tertib.135 Pihak Polda amat berkepentingan mengamankan proses Pilkada tersebut mengingat UU telah memberi mandat kepada aparat berseragam baju coklat itu untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundangan.136 Tulisan ini mengawali penjelasannya dengan kondisi lingkungan social politik yang kondusif karena faktor eksternal ini amat berpengaruh dalam menciptakan suasana yang aman dan damai. Selanjutnya, penjelasan focus pada internal Polda terkait dengan kekuatan
yang dimiliki, dukungan eksternal terhadap Polda untuk mengambil
prakarsa menciptakan Pilkada aman, damai dan tertib.
B. Kondisi Lingkungan yang Kondusif Pilkada Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sebagaimana diwujudkan pada acara penanda tanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Pada bagian awal sekali dari MoU itu disebutkan bahwa Pemerintah RI dan GAM menyatakan komitmen untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi kedua belah pihak. Pada butir tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa selain kesepakatan untuk menyusun UU Pemerintahan Aceh, juga menjamin partisipasi politik masyarakat Aceh secara keseluruhan melalui Pilkada seperti pembentukan partai lokal maupun hak untuk menominasikan calon untuk posisi kepala daerah dari jalur independen.137 Kesepakatan penting lain yang ikut menciptakan kondisi lingkungan kondusif terkait dengan pengaturan keamanan, yakni penyerahan senjata GAM dan penarikan pasukan non organic TNI dan Polri. GAM sepakat menyerahkan 840 senjata dari berbagai jenis sementara jumlah TNI
135
Meminjam istilah diterminatif yang digunakan Adrianus Meliala dalam buku, “Evaluasi Peran Polri Dalam Pemilu 2004, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2005. 136 Hal ini dapat dilihat dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XXVI, Pasal 204. 137 Hal ini dapat dilihat dalam MoU Helsinki yang ditanda tangani Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM yang mewakili Pemerintah RI dan Malik Mahmud yang mewakili unsur GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia 116
organik disepakati hanya 14,700 personil dan jumlah Polisi organik lebih sedikit dari TNI yakni 9,100 personil. Selain kesepakatan di atas, masih ada kesepakatan lain terkait ekonomi maupun pengaturan kekuasan legislative, executive dan sistem peradilan. Secara umum kondisi sosial masyarakat Aceh sejak MoU ditanda tangani cukup kondusif. Masyarakat tidak lagi mendengar letusan senjata di mana-mana. Keluar rumah hingga larut malam tanpa ada rasa takut lagi. Pendek kata, MoU menjadi trigger terciptanya suasana aman, damai dan tertib yang telah 32 tahun lebih didambakan masyarakat Aceh. Sebagai kelanjutan dari MoU itu, DPR mengesahkan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA No.11 Tahun 2006) pada 11 Juli 2006. Proses pembuatan UU itu bukanlah proses yang mulus di mana muncul beberapa versi tentang RUU antara lain versi DPRD, versi Pemerintah dan versi masyarakat sipil lainnya. Namun, melalui proses yang panjang dan melelahkan akhirnya dapat disahkan seperti yang berlaku sekarang meskipun masyarakat Aceh menanggapi isi UU itu secara beragam. Survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia pada bulan Juli dan Agustus misalnya menyebutkan bahwa bahwa UUPA ini terobosan baru yang diharapkan bisa menjadi pintu masuk peningkatan kesejehtaran masyarakat Aceh. Tetapi banyak juga yang menilai UUPA ini banyak cacat, terutama adanya sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan isi dan semangat MoU Helsinki, Agustus 2005.138 Menurut hasil survei ini, ada sejumlah pasal yang diperdebatkan dalam UUPA tersebut. Secara umum, untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan ekonomi publik merasa isinya sudah sesuai harapan seperti kewenangan pengelolaan minyak dan gas akan dilakukan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, proporsi 70 % buat Aceh dari hasil sumber daya alam, tambahan dana otonomi khusus selama 20 tahun serta kewajiban bagi pelaku usaha untuk menyiapkan dana pengembangan masyarakat maupun penyisihan 30 % oleh pemerintah dari dana bagi hasil minyak dan gas bumi untuk pendidikan di Aceh.
138
Ini adalah satu hasil dari survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia, bulan Juli dan Agustus ini. Survei dilakukan dua kali: survei populasi Aceh dan survei populasi nasional. Survei dengan populasi (khusus) masyarakat Aceh dilakukan pada 18-23 Juli 2006. Total responden dalam survei ini adalah 440 orang dengan margin of error sebesar 4.8%. Sementara survei dengan populasi nasional, dilakukan pada 28 Juli-3 Agustus 2006. Total responden dalam survei ini adalah 700 orang responden dengan margin of error 3.8%. Kedua survei tersebut dilakukan dengan metode penarikan sampel yang sama, multistage random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner. 117
Demikian juga masalah terkait sosial yang isinya dianggap sudah sesuai harapan seperti pendidikan gratis bagi penduduk Aceh berusia 7-15 tahun, pelayanan kelompok tidak mampu sampai pendidikan menengah, pendidikan khusus bagi orang cacat dan anak terlantar, rehabilitasi korban konflik dan korban bencana alam maupun pelayanan kesehatan gratis bagi anak yatim dan fakir miskin. Perbedaan pendapat justeru terjadi di bidang politik, khususnya terkait dengan partai lokal dan diperbolehkannya calon independen dalam Pilkada hingga pengadilan HAM di Aceh yang tidak berlaku surut. Meskipun di bidang ekonomi dan sosial, publik merasa isinya sudah sesuai dengan harapan, implementasinya masih membutuhkan waktu agar sungguh-sungguh dapat terwujud. Berbeda dengan dua bidang itu, bidang politik sesuai dengan UUPA sudah menjadi acuan dalam Pilkada 11 Desember 2006 lalu utamanya terkait dengan diperbolehkannya calon independen untuk mengikuti Pilkada. Dari 11 bakal calon untuk Gubernur / wakil, ada 6 pasangan dari calon independen atau pasangan bakal calon perorangan, sedangkan 5 calon lain merupakan pasangan calon Parpol. Dari perhitungan suara kurang lebih 2,5 juta pemilih, lebih 35 % memilih pasangan calon yang disebutkan terakhir, yakni Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Dengan hasil itu, pasangan IRNA langsung terpilih menjadi Gubernur / wakil tanpa harus mengikuti putaran kedua karena telah melebihi 25 % suara pemilih 139
C. Peran Polda Dalam Pengamanan Pilkada Polda melaksanakan tugas-tugas pengamanan Pilkada Aceh pada 11 Desember 2006 di 19 Kabupaten / Kota dalam suatu lingkungan sosial politik yang kondusif antara lain kehadiran kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM dengan menanda tangani MoU di Helsinki, Finlandia serta pengesahan UU No.11 Tahun 2006. Situasi itu tidak lantas membuat Polda lengah dalam pengamanan Pilkada. Polda tetap memperhitungkan situasi terburuk yang akan terjadi dalam Pilkada sehingga pengamanan harus dilakukan seoptimal mungkin. Dalam Pilkada, setidak-tidaknya ada lima area yang membutuhkan perhatian pengamanan. Pertama, tahap pengumuman pasangan calon. Kedua, tahap pelaksanaan
139
Lihat Qanun Aceh No.7 Tahun 2006 tentang perubahan kedua atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur / wakil Gubernur,Bupati / Wakil Bupati dan Walikota / Wakil Walikota di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 69. 118
kampanye yang dimungkinkan terjadi benturan-benturan antar pendukung calon. Ketiga, pemungutan
suara
di
mana
ada
kemungkinan
kecurangan-kecurangan
dalam
penghitungannya. Keempat, distribusi logistik terutama ke tempat-tempat yang sulit dijangkau karena akses jalan yang amat terbatas. Kelima, pengumuman hasil pemilihan di mana terjadi kemungkinan ketidak puasan atas hasil pengumuman, baik dari calon maupun dari para pendukung calon. Pada dasarnya pengamanan Pilkada merupakan tanggung jawab semua elemen yang terlibat langsung maupun tidak langsung, yakni instansi Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, Universitas, tokoh masyarakat, ulama, calon kepala daerah berikut konstituennya, penyelenggara, pengawas dan stakeholder lainnya. Namun demikian, Polisi sesuai dengan amanah konstitusinya berada pada posisi terdepan seperti tercantum dalam UUPA di mana Polisi memiliki tanggung jawab kemananan sedangkan TNI pada wilayah pertahanan negara140.
D. Kekuatan Polda NAD Pertanyaan pertama yang perlu dijawab terkait pengamanan Pilkada ini, yakni seberapa besar kekuatan riel yang dimiliki Polda pada saat itu mengingat kekuatan institusi ini sebetulnya melemah akibat terkena musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Kerugian Polda NAD akibat Gempa berkekuatan 9,0 skala richter disusul dengan gelombang tsunami telah memporak porandakan gedung Polda antara lain gedung Mapolda NAD, gedung Direktorat Lalu Lintas Polda NAD, Gedung Biro Logistik, Gedung Bidang Kedokteran dan Kesehatan termasuk Rumah Sakit Bhayangkara Polda NAD, gedung logistik, gudang senjata, gedung Direktorat Polisi Perairan, Gedung Satuan Brimob,Gedung Satuan Samapta, Hanggar Helikopter beserta dua helikopter Polri, 2 gedung Mapolres dan 22 gedung Mapolsek. Selain infrastruktur, Polda NAD juga telah kehilangan 425 anggota Polri dan PNS yang terdiri dari 317 orang meninggal dunia dan 108 orang hilang.141 Kekuatan personil Polda NAD setelah musibah gempa dan tsunami 8.908 orang terdiri dari 2 orang Pati, 71 orang Pamen, 364 orang Pama dan 7.608 orang Bintara, dan 863 orang Tamtama. Jumlah itu belum termasuk siswa yang sedang dididik di SPN Seulawah dan siswa magang sekitar 1500 orang. Menurut ketentuan MoU Helsinki, jumlah Polisi reguler hanya 140 141
Lihat UUPA No.11/2006, Bab XXV tentang TNI, pasal 202, ayat (10 dan Bab XXVI, pasal 204, ayat (2) Cetak Biru Polda NAD, Komjen Pol. Pur.Drs. Luthfi Dahlan dan Muhammad Gaussyah, SH, September 2006. 119
diperkenankan berjumlah 9.100 personil. Kalau ketentuan ini dipakai, jumlah personil Polda NAD telah melampaui jumlah yang disepakati antara Pemerintah RI dan GAM. Terkait keperluan pengamanan Pilkada, Polda menyiapkan kekuatan 2/3 dari 8.908 atau sekitar 6,000 personnil. Polda tidak mungkin mengerahkan seluruh personil yang ada untuk pengamanan Pilkada mengingat jumlah 1/3 yang lain tetap menjalankan tugas-tugas rutin, selain pengamanan-pengamanan lainnya seperti pengamanan BRR, instalasi vital, AMM dan lain sebagainya. Sementara itu, jumlah TPS sebagai tempat 2,6 juta pemilihan mencapai kurang lebih 9000 TPS. Ini berarti kalau setiap TPS dijaga seorang Polisi maka dibutuhkan tambahan personil lagi lebih 3000 orang. Kekurangan ini diatasi dengan menambah kekuatan dari Polisi yang sedang magang dan polisi yang sudah selesai pendidikan tetapi belum dilantik yang jumlahnya mencapai 3000 orang. Mengingat jumlah Polisi yang amat terbatas, maka untuk menyiasatinya, Polda mengkatagorisasikan TPS menjadi kategori aman, rawan, kurang rawan, dan sangat aman. Untuk kategori aman hanya ditempatkan seorang polisi, kategori rawan ditugaskan dua orang polisi untuk menjaga tiga TPS, katergori kurang rawan hanya 1orang polisi untuk tiga TPS, dan ketegori sangat aman di mana polisi tidak perlu ada di situ.
E. Dukungan Bagi Polda NAD Untuk Pilkada Damai Dukungan negara-negara donor terhadap Pilkada Aceh relatif besar. Tampaknya para donor fokus pada memberi dukungan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP), Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), bantuan langsung ke masyarakat dalam bentuk pendidikan pemilih (voter education), maupun dukungan kepada organisasi masyarakat sipil untuk melakukan pemantauan Pilkada. Namun, perhatian untuk memberi dukungan kepada aparat keamanan seperti kepolisian dalam konteks Pilkada nyaris terabaikan, pada hal unsur keamanan amat vital untuk mengawal proses demokrasi yang aman, damai dan tertib. Prihatin terhadap situasi ini, Partnership for Governance Reform bekerjasama dengan IOM mengambil prakarsa untuk memberi dukungan kepada Polda NAD mewujudkan Pilkada damai. Dukungan itu dimaksudkan untuk memperkuat peran Polda NAD dalam mengajak berbagai pihak yang terlibat langsung dan tidak langsung termasuk para calon kepala daerah untuk membangun komitmen bersama mewujudkan Pilkada damai.
120
F. Prakarsa Polda NAD Prakarsa yang ditempuh Polda NAD untuk pengamanan Pilkada menuju Pilkada damai meliputi: 1. Pembentukan Pokja Pilkada Damai Strategi awal yang digunakan
untuk mengupayakan Pilkada berlangsung secara
damai, yakni pembentukan kelompok kerja (Pokja). Ada dua faktor yang amat berpengaruh terhadap efektivitas kerja Pokja, yakni kepemimpinan yang kuat dan keterwakilan. Untuk faktor pertama figur Irjen Pol Bachrumsah amat memenuhi syarat, selain memiliki jabatan resmi sebagai Kapolda dan memiliki otoritas tertinggi dalam hal pengamanan, juga memiliki sifat kepemimpinan yang pas untuk masyarakat Aceh. Tegas dalam bertindak, rasa humor yang tinggi, serta suka berbicara blak-blakan, serta telah memiliki masa tugas yang relatif lama di Aceh, bahkan mengalir darah Aceh pada individu Kapolda yang satu ini. Dengan demikian, Kapolda diyakini amat mampu menjadi dirijen yang baik untuk meraih dan menciptakan Pilkada yang damai. Meskipun Pokja memiliki pemimpin yang baik, tanpa ada dukungan dari pihak yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam proses Pilkada tentu Pokja tidak akan berdaya. Atas dasar inilah, Kapolda menyiapkan surat khusus kepada pihak terkait untuk mengirimkan utusan menjadi anggota Pokja. Kapolda melalui Surat Kapolda NAD No.Pol: B/1252/IX/2006, tanggal 29 September 2006 disampaikan kepada berbagai pihak, yakni Gubernur Prov NAD, Pangdam Iskandar Muda, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua DPRD, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua MPU, Ketua MAA, Kepala Bapel BRR, Rektor Unsyiah, Rektor IAIN, Ketua BRA, Ketua PWI, Ketua AJI, Ketua KIP, Ketua Panwaslih, dan Ketua forum LSM. Berdasarkan surat ini, semua instansi dimaksud mengirimkan 1 (satu) orang utusan untuk menjadi anggota Pokja. Hal ini mencerminkan bahwa ajakan Kapolda untuk mendukung terselenggaranya Pilkada yang damai melalui pembentukan Pokja mendapat dukungan dari banyak pihak.
121
Susunan lengkap Pokja Pilkada damai terdiri dari 24 (dua puluh empat) anggota, sesuai dengan Sprin Kapolda NAD No.Pol:SPRIN / 462 /2006, tanggal 12 Oktober 2006, sebagai berikut : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Drs.Bahrumsyah,SH Drs.H.Rismawan,MM Drs.Andjaya,M.Hum Drs.Ali Johardi,SH Syukrianto,S.Sos.,M.Si M.N.Nasution Irwansyah,SH MY.Putra Utama,SH Yasrin Nazir Nasution,SH Drs.Tgk.H.Ismail Yakob Drs.Yusri Yusuf,M.Pd Iqbal Farabi,SH Dr.Alamsyah,M.Si Drs.H.M.Husein A.Wahab HT.Sjahbuddin Muh.Zairin,SH Maimun Saleh Zulkipli,SE Jufri,SH Wiratmadinata Drs.Syafrizal Ahiar Drs.H.M.Tachya Hidayat Drs.Jodi Heriyadi Drs.Bambang Rudi,SH.MH
Instansi Polda NAD Polda NAD Polda NAD Polda NAD Pemda NAD Kodam IM Kejati NAD DPRD NAD PT NAD MPU NAD MAA NAD BRR Unsyiah IAIN Ar-Raniry BRA NAD PWI NAD AJI NAD KIP Panwaslih NAD Forum LSM Aceh Polda NAD Polda NAD Polda NAD Polda NAD
Jabatan Penasehat Ketua Sekretaris I Sekretaris II Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
2. Konsolidasi Pokja Dalam kaitan konsolidasi untuk menyamakan visi, misi dan langkah-langkah strategis terkait Pilkada, seluruh anggota Pokja termasuk Kapolda dan Waka Polda berkumpul di Swiss Bell Hotel pada 16 Oktober 2006. Dalam pertemuan perdana Pokja Pilkada Damai tersebut dibicarakan mengenai susunan dan struktur kepengurusan Pokja Pilkada Damai, misi dan visi dari Pokja Pilkada Damai, serta agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh Pokja Pilkada Damai tersebut. Kapolda dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa Pilkada di Provinsi NAD merupakan Pilkada terbesar di Indonesia dan menjadi sorotan dunia internasional, karenanya memiliki nilai strategis. Untuk itu pemimpin Pokja mengharapkan partisipasi semua pihak untuk mensukseskan Pilkada secara aman, tertib, dan damai di Provinsi NAD. 122
Dalam kesempatan yang sama Karo Renbang selaku Sekretaris I Pokja Pilkada Damai juga menyatakan bahwa keberhasilan Pilkada Damai harus didukung oleh semua pihak, khususnya oleh anggota Pokja Pilkada Damai. Waka Polda NAD selaku ketua Pokja Pilkada Damai juga menekankan bahwa semua kandidat kepala daerah harus mematuhi rambu-rambu pelaksanaan Pilkada, bahkan menekankan perlunya tanggung jawab secara hukum dan moral dari para kandidat kepala daerah dan para tim sukses setiap kandidat. Dalam pertemuan yang demokratis dan partrisipatif tersebut, hampir semua anggota Pokja Pilkada Damai memberikan saran dan masukannya untuk suksesnya Pokja Pilkada Damai dalam menjalankan misinya. Beberapa isu strategis yang muncul ketika pertemuan ini. Pertama, posisi kelembagaan Pokja di antara lembaga-lembaga terkait Pilkada. Pokja merupakan tim teknis yang berperan memberi masukan kepada Kapolda terkait dengan Pilkada damai. Kedua, posisi strategis para kandidat karena mereka memiliki massa pendukung baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pokja Pilkada harus mampu menjangkau dan mengajak mereka untuk membangun komitmen yang kuat untuk mewujudkan Pilkada damai. Ketiga, masalah massa pemilih di level akar rumput yang memiliki potensi menciptakan konflik. Karena itu, pengamanan harus dimulai dari unit terkecil di bawah yakni level keucik atau imum mukim. 3. Ikrar Kesepakatan Pilkada Damai oleh Kandidat Gubernur / Wakil Berangkat dari kesepakatan Swiss Bell Hotel, Pokja pada waktu-waktu berikutnya melaksanakan serangkaian pertemuan untuk membahas dan melakukan persiapan terhadap tiga agenda besar. Agenda besar pertama terkait dengan pembentukan Pokja Pilkada damai di tingkat Kabupaten/ Kota di mana Polda mengeluarkan Surat perintah Kapolda NAD Nomor Pol: Sprin/476/XI/2006, tanggal 2 November 2006, yang memerintahkan Kapoltabes, para Kapolresta dan Kapolres untuk memfasilitasi pembentukkan Pokja Pilkada Damai di 19 Kabupaten/Kota di Provinsi NAD yang menyelenggarakan Pilkada. Kedua, mempersiapkan public campaign untuk menjangkau masyarakat luas dengan menyampaikan satu pesan utama yakni mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada yang damai, tertib dan aman melalui penyebaran poster, spanduk dan TVRI. Ketiga, memfasilitasi para kandidat untuk menanda tangani dan membacakan ikrar kesepakatan Pilkada damai. 123
Sebagai klimaks, Pokja mengajak para kandidat untuk bersedia menanda tangani dan membacakan di depan publik ikrar kesepakatan Pilkada Damai. Untuk mensukseskan kegiatan ini, Kapolda NAD menyebarkan surat undangan kepada seluruh anggota Pokja Pilkada Damai, Muspida Plus (Gubernur NAD, Pangdam Iskandar Muda, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua DPRD NAD, Rektor Universitas Syiah Kuala, Rektor IAIN Ar-Raniry, Ketua MPU, Ketua MAA, dan ketua MPD), 8 (delapan) calon kandidat kepala daerah (Gubernur/Wakil Gubernur), perwakilan dari Kemitraan, perwakilan dari IOM, stakesholders, dan para wartawan, baik wartawan media cetak maupun media elektronik. Untuk mendapatkan kepastian kehadiran dari para kandidat Gubernur/wakil Gubernur pada acara pembacaan dan penandatanganan ikrar kesepakatan Pilkada Damai pada tanggal 14 November 2006 di Gedung AAC Dayan Dawood, Pokja Pilkada Damai menyiapkan surat persetujuan dari para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur untuk menghadiri, ikut berikrar, dan menandatangani ikrar kesepakatan Pilkada Damai. Surat persetujuan ini ditandatangani oleh seluruh kandidat Gubernur/Wakil Gubernur yang menandakan bahwa mereka dipastikan hadir dalam acara dimaksud. Ikrar kesepakatan Pilkada Damai diadakan di gedung Academic Activity Centre (AAC) Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Acara dimulai tepat jam 11.30 WIB yang diawali dengan pembukaan oleh protokol dan pembacaan ayat suci AlQur’an. Selanjutnya sambutan dari Gubernur NAD dan diteruskan dengan pengucapan ikrar kesepakatan Pilkada Damai oleh para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur dan diikuti dengan penandatanganan ikrar kesepakatan Pilkada Damai. Acara diakhiri dengan pembacaan do’a dan makan siang bersama. Kata-kata sambutan pada acara ikrar kesepakatan Pilkada Damai tersebut hanya disampaikan oleh Gubernur semata, hal ini tidak terlepas dari netralitas dan independensi Pokja Pilkada Damai. Sambutan Gubernur tersebut diminta berdasarkan surat Kapolda NAD kepada Gubernur NAD untuk memberikan sambutan pada acara ikrar kesepakatan Pilkada Provinsi NAD yang Damai. Adapun ikrar kesepakatan Pilkada Damai yang dibacakan secara bersamaan oleh seluruh kandidat Gubernur/Wakil Gubernur dan selanjutnya ditandatangani bersama berbunyi ”
124
Kami calon Gubernur dan wakil Gubernur bertekad untuk mengikuti pilkada dengan semagat persaudaraan dan menjunjung tinggi kejujuran serta tidak akan melaukan tindakan provokasi dan hal-hal yang dapat merusak perdamaian".
Kegiatan Ikrar kesepakatan Pilkada Damai yang dipusatkan di Gedung AAC Dayan Dawood berjalan sukses dan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh seluruh anggota Pokja Pilkada damai, Muspida Plus, para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, stakesholders, anggota Kelompok Pendukung Pilkada Damai, perwakilan Kemitraan dan IOM. 4. Ikrar Kesepakatan Pilkada Damai Tingkat Kabupaten /Kota Sesuai dengan Surat Perintah Kapolda terhadap para Kapolres, acara ikrar Pilkada damai juga diselenggarakan di tingkat Kabupaten / Kota. Kegiatan ikrar Pilkada damai di Kodya Sabang misalnya, diselenggarakan di Gedung DPRD Sabang pada 24 Nopember 2006. Selain acara penanda tanganan ikrar Pilkada Damai, pada kesempatan itu juga para calon Wali Kota dan wakilnya diberi kesempatan memaparkan Visi dan Misi. Hal ini dimungkinkan mengingat pada hari itu merupakan hari pertama masa kampanye dari para calon pimpinan Kepala Daerah yang berlangsung selama 2 minggu, tepatnya mulai tanggal 24 Nopember 2006 sampak tanggal 7 Desember 2006. Pada hari itu seluruh pasangan calon (6 pasang calon) hadir di Gedung wakil rakyat itu untuk menyampaikan visi dan misinya. Acara ini dipimpin oleh Ketua DPRD setempat dan dihadiri oleh instansi pemerintah terkait seperti Walikota, Polres, Tokoh Masyarakat baik tokoh agama maupun tokoh adat, Panwaslih daerah, KIP daerah, juru kampanye serta pendukung masing-masing calon. Sebagai ilustrasi disampaikan paparan visi dan misi dari salah satu calon Walikota dan Wakil Walikota Sabang untuk periode 2007 – 2012 yakni dari pasangan calon H.M. Nasir SH & Drs. Azhari. Dalam visinya ditekankan tentang kesejahteraan masyarakat sabang melalui cara-cara yang agamis dan memanfaatkan Sabang sebagai wilayah Industri. Secara lengkap paparan misi calon itu dapat dikemukakan; (i) menekankan pendidikan akhlak bersama-sama dengan pendidikan kompetensi agar masyarakat lebih produktif dan berpartisipasi dalam pembangunan, (ii) Pemerintahan yang bebas KKN, (iii) Pemerataan ekonomi, (iv) menyelelaraskan tata ruang pemukiman, pertanian, pasar, 125
industri secara produktif, (v) memfasilitasi social, ekonomi dan budaya masyarakat untuk mendukung pertumbuhan industri serta (vi) kedisiplinan masyarakat. Calon yang satu ini tidak saja memaparkan visi dan misi yang bersifat umum, tetapi juga mengemukakan program kerja yang lebih kongkrit seperti tertuang di dalam buku program kerja y ang dibagikan kepada peserta ketika itu. Calon yang satu dengan calon yang lain pada tataran visi dan misi relative sama. Mereka berbeda dalam gaya pemaparan saja antara gaya dan mimik sangat serius dan sedikit membosankan dengan gaya santai dan enak di dengar. Untuk Kabupaten / Kota yang lain, acara ikrar Pilkada damai berlangsung kurang lebih sama. 5. Testimoni Pokja Pilkada Damai. Ikrar Pilkada Damai versi Pokja yang dimotori Polda secara sengaja diadakan sebelum memasuki masa kampanye, tepatnya kurang lebih 10 hari sebelum masa kampanye yang dijadwalkan pada 24 Nopember 2006 sebagai hari pertama kampanye. Usai acara penbacaan dan penanda tangan ikrar pilkada damai dengan harapan gaungnya sampai kepada para pemilih dan masyarakat lainnya, Pokja meluncurkan kegiatan kampanye publik dengan menyebar 35 poster dan 500 spanduk dengan pesan utama mengajak warga masyarakat aceh mendukung Pilkada damai, termasuk iklan layanan masyarakat di beberapa media TV
yang terus dilakukan hingga pada hari H, 11
Desember 2006. Semua kita telah menyaksikan, Aceh berhasil menyelenggarakan suatu pesta demokrasi terbesar, pada hal daerah ini baru saja keluar dari sejarah konflik yang panjang dan musibah tsunami yang menelan banyak korban harta dan jiwa. Semua itu patut disyukuri. Itu sebabnya, Polda mengundang kembali seluruh anggota Pokja kurang lebih satu bulan setelah Pilkada usai, tepatnya pada Januari 17, 2007. Dari pertemuan ini, beberapa ungkapan sebagai testimoni terkait Pilkada damai dapat disebutkan sebagai berikut:
126
Saya hendak menyampaikan penghargaan tertinggi khususnya bagi para generasi muda. Sebagai informasi, mereka adalah orang-orang yang bekerja sangat keras untuk mewujudkan hal ini dan saya sangat menghormati semangat mereka. Mungkin untuk beberapa orang, Pokja Pilkada Damai bukanlah hal yang mewah, namun upaya dari Pokja ini telah bergema dan tersampaikan ke ribuan bilik pemilihan di seluruh Aceh. Pengamat lokal dan internasional dalam jumlah yang tidak terhitung telah datang kesini dan tidak ada diantara mereka yang melaporkan pelanggaran dan ketidaksahihan pemilihan yang berarti selama Pilkada. Itu adalah indikator sejati bahwa kita telah sukses. Pada akhirnya, saya akan mengatakan bahwa ini adalah upaya terbaik yang dapat kita lakukan untuk sementara ini. Tanpa adanya dukungan dari donor dan Kemitraan, Pilkada Damai tidak akan dapat terjadi oleh karena itu saya berterimakasih. Irjenpol Drs. Bachrumsyah K., SH, Kepala POLDA NAD Kami ingin menyampaikan penghargaan terhadap inisiatif dari sektor keamanan di NAD. Proses Pilkada dirasa sangat penting karena proses ini akan berdampak pada proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Dengan Pilkada yang damai, secara otomatis, proses rehabilitasi dan rekonstruksi pun dapat berlangsung aman. Oleh karena itu, atas ana BRR, kami hendak menyampaikan selamat dan terus mendukung usaha ini, khususnya mendukung Kapolda dan rekan-rekannya yang telah dengan sukses menjamin pelaksaan Pilkada yang damai di Aceh. Igbal Farabi, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Sebagai perwakilan dari LSM-LSM, saya hendak menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada POLDA NAD atas kreativitas dan keterbukaannya untuk mengundang berbagai komponen untuk bergabung Pokja Pilkada Damai. I lal ini adalah usaha yang luar biasa karena banyak sekali Pilkada yang berlangsung di Indonesia, namun satu-satunya Kapolda yang memiliki inisiatifuntuk menggabungkan semua pihak untuk menciptakan kedamaian hanyalah Kapolda NAD. Oleh karena itu, hal ini merupakan sebuah indikasi dari terobosan dan perbaikan yang terjadi di Aceh. Kami juga ingin ruenberterimakasih atas kerja sama yang terjadi diantara kita. Hal ini juga membuktikan bahwa ketidakharmonisan antara pemerintah dan LSM tidaklah benar. Hal ini justru mengindikasikan kemitraan yang sesungguhnya antara pemerintah dan LSMLSM di Aceh. Wiratmadinata, Forum LSM Aceh.
127
128
G. Penutup Pada kenyataannya, Pilkada Aceh berlangsung aman, damai dan tertib. Suasana aman itu tercipta tentu saja dipicu antara lain kesepakatan damai MoU Helsinki, Finlandia dan peran berbagai pihak yang secara langsung atau tidak langsung ikut berkontribusi menciptakan suasana Pilkada damai itu, termasuk kontribusi Polda NAD untuk menggerakkan para kandidat menanda tangani dan membacakan ikrar Pilkada damai mulai dari kandidat gubernur / wakil maupun bupati / wakil serta walikota / wakil. Acara ikrar ini mendapat peliputan media yang luas sehingga dapat dipastikan gaung acara ini sampai kepada masyarakat pemilih yang jumlahnya 2.1 juta lebih baik yang berada di perkotaan maupun mereka yang berada nun jauh di sana di pelosok-pelosok.
129
BAB 14 STRATEGI POLDA NAD MENUJU PILKADA DAMAI M.Gaussyah
A. Peranan dan Fungsi Polda NAD dalam Pengamanan Pilkada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur mengenai fungsi Polri, yang menyatakan bahwa: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Hal ini terkait pula dengan tugas dan tanggungjawab Polri dalam pengamanan Pilkada aceh, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terutama penegakan hukumnya. Fungsi Polri di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah suatu wujud pelaksanaan tugas-tugas Polri yang memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suatu keadaan yang tertib, tenteram, dan teratur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai alat negara utama yang berperan dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban, Polri memegang kewenangan dan kendali penuh terhadap pencapaian tujuan terwujudnya Kamtibmas yang kondusif. Tidak ada alat negara lain yang lebih berperan selain Polri dalam masalah kamtibmas tersebut, tentu saja dalam pelaksanaan tugasnya, masyarakat dan komponen bangsa lainnya harus pula secara proaktif membantu Polri dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai alat negara penegak hukum, Polri memegang peranan yang penting dan strategis. Penting karena fungsi penegakan hukum itu biasanya diawali oleh Polri sebagai salah satu bagian dari unsur-unsur penegak hukum lainnya, seperti Jaksa dan Hakim. Sebagai salah satu bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), polri adalah unsur terdepan dalam proses penegakan hukum, karenanya fungsi tersebut menjadi penting. Strategis bermakna bahwa sebagai alat negara penegak hukum, Polri adalah simbol dari proses penegakan hukum yang paling jelas, karena kehadirannya langsung berhadapan dengan komunitas masyarakat. Sebagai alat negara yang bertugas untuk kepentingan masyarakat, maka Polri dituntut untuk bersikap simpatik, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada 130
masyarakat. Fungsi ini apabila dilaksanakan secara baik oleh segenap anggota Polri, maka kehadiran polri akan semakin dibutuhkan dan dapat meningkatkan citra aparat penegak hukum, khususnya terhadap Polri sendiri. Dalam melaksanakan fungsi kepolisian tesebut di atas, Polri diharapkan pula dapat memanfaatkan segenap komponen dan unsur masyarakat. Karenanya sangat tepat apabila dalam mengemban fungsi kepolisian, Polri dibantu oleh elemen/unsur lain di luar Polri. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa: “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. Kepolisian Khusus; b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan/atau c. Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa.” Ketentuan tersebut di atas juga diperkuat oleh ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus dalam undang-undang. Kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana dapat saja dilakukan oleh PPNS, karena pada akhirnya PPNS akan menyerahkan berkas perkara tersebut melalui Polri untuk dapat diteruskan ke tahap penuntutan.142 Hal ini bermakna bahwa Polri yang harus bertanggung jawab terhadap hasil pemeriksaan atau penyidikan yang dilakukan oleh PPNS sebelum diserahkan kepada pihak penuntut umum, dan jika ada keberatan yang timbul terhadap hasil pemeriksaan tersebut, maka Polri lah yang akan dimintakan pertanggungjawabannya dengan kata lain hanya Polri yang dapat di praperadilankan , hal ini tidak lepas pula dari fungsi Polri sebagai Korwas PPNS. Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (Polda NAD) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki peran dan fungsi utama dalam mewujudkan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di seluruh wilayah hukum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam melaksanakan peran dan fungsi tersebut, Polda NAD dapat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
142
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 107 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menuerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a. 131
Darussalam (Pemda NAD), karena masalah Kamtibmas merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam rangka menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Berdasarkan Ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah. Sebagai eksekutif daerah, kepala daerah diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintah daerah, termasuk urusan pemeliharaan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi mewujudkan Ketenteraman dan Ketertiban (Trantib) Kepala Daerah diberi wewenang untuk membuat instrumen hukum yaitu dalam bentuk keputusan-keputusan (besluiten) Kepala Daerah dan Ketetapan-ketetapan (Beschikkingen) Kepala Daerah. Ketika instrumen hukum itu ditujukan untuk mengatur daan melaksanakan Trantib, maka akan berbentuk keputusan bersama antara Pemda NAD dan Polda NAD, dan hal ini telah dibuktikan oleh Polda NAD yang bermitra dengan aparatur Pemda NAD dalam upaya mewujudkan Pilkada Damai. Pelaksanaan tugas menciptakan situasi keamanan yang kondusif dalam rangka mewujudkan Pilkada damai di wilayah hukum Polda NAD secara berjenjang dapat diserahkan atau dilaksanakan oleh kesatuan operasional tingkat dasar, baik oleh kesatuan kewilayahan tingkat Kepolisian Resort (Polres/ta/tabes) maupun tingkat Kepolisian sektor (Polsek). Sedangkan Pemda NAD secara berjenjang juga dapat mendelegasikan tugas-tugas mewujudkan Pilkada damai berdasarkan asas tugas pembantuan ataupun dilaksanakan secara mandiri oleh Pemda Kabupaten/kota, karena salah satu tugas Pemda adalah menciptakan situasi dan kondisi yang aman, tenteram, dan tertib dalam masyarakat. Sebagai stabilisator keamanan pada penyelenggaraan Pilkada Aceh, Polda NAD berperan sebagai institusi puncak yang paling bertanggungjawab terhadap terjaminnya keamanan selama berlangsungnya pesta demokrasi tingkat lokal digelar. Peran Polda NAD yang paling utama adalah menciptakan kondisi yang kondusif melalui tindakan-tindakan polisionil yang terukur dan terarah, baik dalam kebijakan represif, preventif, dan pre-emtif. Dalam menjalankan peran kebijakan secara represif, Polda NAD bersikap ekstra hati-hati dan cenderung pasif. Hal ini untuk menghindari gejolak yang meluas dari akibat reaksi dari masyarakat yang memang sangat mudah terpancing dan terprovokasi. Polda NAD lebih menjalankan peran kebijakan secara preventif dan pre-emtif, dimana pendekatan kultural 132
lebih dikedepankan. Hal ini tidak bermakna bahwa Polda NAD tidak melaksanakan tindakan represifnya..
B. Strategi Polda NAD dalam Pengamanan Pilkada Dalam menjalankan fungsi menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat untuk mewujudkan Pilkada damai di Aceh diperlukan institusi atau aparat penegak hukum yang handal, dalam hal ini adalah Polda NAD. Secara fungsional, setiap anggota Polda NAD dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sikap etis, adil, ramah, dan jujur di dalam memberikan pelayanan dan menjaga ketertiban, bukan sebagai tuan yang harus dilayani oleh masyarakat. Dalam menjaga ketertiban, polisi diberi wewenang untuk membatasi kebebasan gerak seseorang secara hukum. Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi. Dalam rangka menjamin proses demokrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan salah satu agendanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung di 19 (sembilan belas) kabupaten/kota seluruh Aceh, maka Polda NAD menyiapkan strategi pengamanan khusus dengan melibatkan masyarakat secara luas. Pelibatan masyarakat sebagai salah satu strategi Polda NAD dalam proses pengamanan Pilkada mendapat respon positif dari masyarakat. Respon positif masyarakat tersebut diwujudkan dengan dibentuknya pos-pos pemantau dan pengamanan Pilkada secara swakarsa di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Pembentukan pos pemantauan dan pengamanan tersebut juga mendapat dukungan dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terorganisir dalam Komite Peralihan Aceh (KPA). Koordinasi yang baik antara Polres dan Polsek dengan pihak KPA sangat membantu Polda NAD dalam menjaga situasi keamanan sebelum dan sesudah Pilkada digelar di Aceh.
133
Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai manisfestasi dari suatu kegiatan demokratis kerakyatan yang merupakan harapan sekaligus kecemasan bagi masyarakat Aceh. Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan sebuah harapan jika dapat berlangsung secara aman, tertib dan dapat memilih sosok pimpinan yang amanah, sesuai dengan harapan masyarakat. Tetapi jika sebaliknya, Pilkada yang penuh amarah, provokasi, dan anarkis hanya akan menambah kesengsaraan masyarakat Aceh. Disamping itu, untuk tetap menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka Polda NAD berinisiatif untuk membentuk sebuah kelompok kerja (Pokja) Pilkada Damai, yang terdiri dari beberapa stakeholders yang bernilai strategis di Aceh dan terbukti bahwa kehadiran Pokja Pilkada Damai ini membawa warna tersendiri dalam sukses digelarnya Pilkada secara aman, tertib, dan damai. Strategi yang diterapkan Polda NAD melalui Pokja Pilkada damai dengan meminta komitmen
dari
semua
Gubernur,Bupati/Wakil
pasangan
Bupati,
calon
Kepala
Walikota/Wakil
Daerah
Walikota)
(Gubernur/Wakil
untuk
mendukung
terselenggaranya Pilkada secara aman dan damai serta meminta komitmen dari para kandoidat kepala daerah beserta tim sukses dan pendukungnya untuk tidak melakukan tindakan provokatif dan tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum. Strategi ini pada prinsipnya tidak hanya mengandung nilai moralitas, tetapi lebih jauh dari itu juga memiliki nilai yuridis dan politis. Strategi lainnya yang diterapkan Polda NAD dalam rangka pengamanan Pilkada adalah melakukan koordinasi dengan Pemda dan Kodam Iskandar Muda dan menerapkan konsep bahwa pengamanan Pilkada adalah dikomandoi oleh Polri sedangkan kekuatan lainnya, seperti tentara dan Linmas adalah kekuatan pendukung. Disinilah menariknya strategi yang diterapkan oleh Kapolda NAD, dimana beliau memimpin sendiri pengendalian kekuatan pengamanan Pilkada dan didukung oleh jajarannya sebagai pelaksana pengamanan. Dalam implementasinya, Kepala Biro Operasi Polda NAD diperintahkan untuk mengatur detail operasi pengamanan Pilkada, termasuk dengan mengedepankan polisi umum dalam pengamanan langsung tempat pemungutan suara, dimana hal ini bertolak belakang dengan Pilkada-pilkada sebelumnnya, dimana Brimob ditempatkan pada garis terdepan pelaksanaan tugas pengamanan TPS. Hal ini adalah sebagai pencitraan bahwa Pilkadasung di Aceh 134
dilaksanakan dalam suatu keadaan yang sangat kondusif. Bahkan dibeberapa TPS tidak tampak secara langsung keberadaan anggota Polri sebagai tenaga pengamanan, hal ini sesuai dengan strategi Polda NAD yang mengedepankan masyarakat untuk mengamankan Pilkada di Aceh. Terkait dengan tugas dan tanggung jawab keamanan dalam mensukseskan Pilkada damai di Aceh sepenuhnya berada di tangan Polda NAD. Untuk mempermudah pengendalian operasional kepolisian dalam mendukung pilkada damai tersebut, Polda NAD mengerahkan 2/3 kekuatannya, yang berarti lebih dari 6000 personil Polri ditempatkan diseluruh Aceh sebagai tenaga pengamanan pelaksanaan Pilkada. Kekuatan personil tersebut ternyata tidak sepadan dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mencapai jumlah 8.471, dengan jumlah kotak suara sebanyak 16.942, dan 33.884 bilik suara.143 Untuk mengatasi kekurangan personil Polri tersebut, Polda meminta bantuan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tenaga pengamanan tidak langsung, meminta bantuan tenaga pengamanan langsung dari Linmas (Perlindungan masyarakat), serta melibatkan partisipasi masyarakat. Strategi Polda ini sangat membantu mengimbangi kekuatan Polda NAD yang terbatas dan dapat menekan biaya operasi pengamanan, dan yang terpenting adalah menciptakan suatu keyakinan pada masyarakat luas (lokal, nasional, regional, dan internasional) bahwa di Aceh situasi keamanan sudah sangat kondusif. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Pilkadasung di Aceh dilaksanakan secara benar-benar demokratis dan mendapat dukungan dari banyak pihak, terutama negara-negara donor.
C. Harapan Masyarakat Aceh Pasca Pilkada Mewujudkan Kamtibmas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca pilkada yang sesuai dengan tuntutan Syariat Islam adalah harapan masyarakat Aceh, tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan prinsip kehati-hatian dan pola penangganan yang arif dan bijaksana. Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki hak-hak keistimewaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suatu provinsi yang sangat spesifik, sehingga dituntut adanya keselarasan dan keseimbangan dalam mewujudkan Kamtibmas di daerah ini. Hal tersebut
143
Newsletter KIP NAD, Edisi Khusus, 1 Februari 2007, Pilkada Ini Memang Istimewa, hal.13 135
disebabkan karena karakteristik daerah yang memilki ciri-ciri khusus dan tingkat kerawanan Kamtibmas yang masih cukup tinggi di daerah ini. Ketenteraman dan ketertiban umum (Trantibum) dalam era otonomi daerah, disebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan oleh beberapa instansi. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Trantibum sebagai kewajiban kepala daerah untuk melaksanakannya. Untuk urusan Trantibum ini dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat berkoordinasi dan meminta bantuan kepada Polri. Sementara itu, di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk dalam tugas pokok Polri. Dengan adanya dua instansi yang mempunyai kewenangan sama dalam mengelola dan menciptakan ketertiban umum, nampaknya perlu ada ketegasan batas-batas kewenangan kedua instansi tersebut, sehingga pelaksanaan tugas masing-masing dapat disinergikan, terlebih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memperoleh status daerah otonom dengan otonomi khususnya dimana dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Pelaksanaan Syariat Islam sendiri telah memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu dengan disahkannya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Pengertian syariat Islam sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 6 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa: Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam menurut Ahlulsunah wal Jama’ah. Untuk dapat terselenggaranya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam dibentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam. Konsekuensi lain dari lahirnya UUPA adalah diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh dan hal ini mengedapan Polri sebagai garda terdepan dalam menjamin keamanan demi suksesnya pilkada damai di tanah rencong.
136
Bab 15 CATATAN PENUTUP Topo Santoso
Pemilihan kepala daerah di Aceh telah dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 2006. Pemilihan kepala daerah ini dilakukan secara serentak selain memilih gubernur /wakil gubernur Provinsi NAD juga memilih bupati/ wakil bupati dan walikota/ wakil walikota di 19 kabupaten/kota. Pelaksanaan Pilkada ini dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, sementara pengawasan dilakukan oleh Panitia Pengawas Pilkada Aceh. Secara lengkap, pilkada di Aceh memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Bupati dan Wakil Bupati beserta Walikota dan Wakil Walikota yang tersebar di 19 Kabupaten/Kota di Aceh, yaitu meliputi: Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Simeulue, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Barat Daya, Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Bener Meriah. Tahapan Penyelenggaraan Pilkada Aceh meliputi: Tahapan Persiapan dan Tahapan Pelaksanaan. Tahapan Persiapan meliputi kegiatan: 1) Pembentukan dan Pengesahan KIP Provinsi Aceh dan KIP Kabupaten/Kota; 2) Pemberitahuan DPRD kepada KIP Provinsi Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur; 3) Pemberitahuan DPRD kepada KIP Kabupaten/Kota mengenai berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; 4) Perencanaan Penyelenggaraan meliputi penetapan Tata Cara dan Jadwal Pelaksanaan Pemilihan; 5) Pembentukan KIP Kabupaten/Kota Pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong, Panitia Pendaftaran Pemilih, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara; dan 6) Pemberitahuan dan Pendaftaran Pemantau Pemilihan. Sementara Tahapan Pelaksanaan meliputi kegiatan: 1) Pendaftaran dan Penetapan Daftar Pemilih; 2) Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon; 3) Kampanye; 4) Pemungutan Suara; 5) Penghitungan Suara; dan 6) Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Pengesahan dan Pelantikan. Dalam setiap pemilihan, termasuk Pilkada Aceh maka Pengawasan Pilkada sama pentingnya dengan pelaksanaan. Meski secara teknis Pilkada dapat dilaksanakan, namun jika penuh dengan 137
pelanggaran, maka proses demokrasi itu cacat dan kurang mendapat legitimasi publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan Pilkada di Aceh harus diawasi dengan baik, semua pelanggaran harus diproses dan pelakunya dijatuhi sanksi, dan semua sengketa dapat diselesaikan sesuai ketentuan. Untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran serta sengketa dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh diperlukan organisasi Panwas dari tingkat Provinsi, kabupaten/Kota hingga Kecamatan, yang kredibel dan berkompeten. Penguasaan kerangka hukum terkait Pilkada di NAD serta ketrampilan dalam melaksanakan tugas sangat menentukan keberhasilan Panwas. Kerangka hukum terkait Pilkada NAD antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Qanun Nomor 2 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2006, serta Keputusan-keputusan KIP. Semua anggota Panwas seharusnya diberikan bekal pengetahuan yang cukup mengenai kerangka hukum tersebut. Untuk memperkuat kapasitas para anggota Panwas dalam melakukan tugas dan wewenangnya maka diperlukan suatu pelatihan yang intensif terhadap semua anggota Panwas dari tingkat Provinsi hingga kecamatan. Idealnya pembentukan Panwas dari semua tingkatan sudah dilakukan sebelum tahapan Pilkada dimulai (yakni sebelum tahapan pendaftaran pemilih). Begitu pula pelatihan terhadap anggota Panwas idelanya dilakukan sebelum tahapan dimulai, sehingga pada tahapan Pilkada Panwas sudah siap untuk melaksanakan tugasnya. Dalam kaitan ini, Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan) telah melakukan kerjasama penguatan dukungan bagi Panwaslih Aceh dari tingkat Provinsi hingga kecamatan. Dengan penguatan kapasitas panwas dan sosialisasi mengenai panwas ini secara umum panwaslih Aceh telah dapat melakukan perannya dengan baik, berbagai pihak berhubungan dengan panwas dalam melaporkan pelanggaran, serta pelaksanaan Pilkada dapat diawasi dengan baik dan berbagai sengketa dapat diselesaikan. Pelaksanaan Pilkada yang damai dan demokratis juga mempersyaratan adanya peran dari sektor keamanan khususnya kepolisian yang akan menangani segala bentuk ganguan terhadap pelaksanaan Pilkada. Meski demikian faktor keamanan juga didukung oleh unsur-unsur lainnya di luar kepolisian, seperti KIP, Panwas, peserta Pilkada, Partai Politik, Organisasi Massa, tokoh masyarakat, dan juga Pemerintah Daerah. Situasi dan kondisi yang tercipta pra dan pada saat pelaksanaan Pilkada juga menjadi faktor penting pelaksanaan Pilkada yang sukses di NAD.
138
Keberhasilan Aceh melaksanakan Pilkada langsung secara serentak untuk tingkat provinsi dan 19 kabupaten/kota beserta berbagai kendala dan masalah yang dihadapi diharapkan dapat memenuhi aspirasi masyarakat serta dapat diambil pelajaran untuk proses yang lebih baik di masa depan baik untuk Aceh maupun untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia.
139
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1999 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2005 Qanun No.2 Tahun 2004 Qanun No. 3 Tahun 2005 Qanun No.7 Tahun 2006
B. Buku, Jurnal, Majalah, Surat Kabar Abdul Wahid. Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan. (Bandung : Tarsito, 1994). Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Jakarta: Grafiti, 1995). Bambang Poernomo. Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Ketertiban Sosial. Yogyakarta: Penerbit UII Press, 1992. Badan Pusat Statistik Aceh, “Aceh Dalam Angka” (Badan Pusat Statistik Aceh: Banda Aceh, 2001). Bayley, David.H. Koban Dalam Citra Polisi. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988). Djoko Prakoso. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum. (Jakarta : Bina Aksara, 1987). Harian Serambi Indonesia tanggal 7 Oktober 2006. Indra J. Piliang, “Aceh dan Demokrasi Damai,” Kompas (25 Februari 2003). Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), Mari Kita Awasi Pemilihan Umum, vol. 1, (Jakarta: IPCOS, 1999). Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). LaRouche. Apakah Demokrasi itu? Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin, (diterjemahkan oleh Sesko TNI). (Washinton DC : EIR News Service Inc.,1994). Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa di Indonesia 2004, Laporan Akhir (Jakarta: Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa di Indonesia 2004, 2004.
140
Momo Kelana. Hukum Kepolisian. (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994). Oudang, M. Perkembangan Kepolisian di Indonesia. (Jakarta : Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,1952). Reiner and Robert. The Rise and The Fall of The Police Legitimacy. (London : Wheatsheat Books Ltd., 1986). Shinta Shinaga, “7 Provinsi & 175 Kabupaten/Kota Sudah Tetapkan Jadwal Pilkada” <www.detik.com>, 1 Juni 2005. Soenito Djojosoegito. Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga. (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1970). Syamsuddin Harris, ed., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Wall, Allan. Komentar dan Rekomendasi atas Rancangan Peraturan KIP, (Jakarta: Local Government Support Program USAID, 2005.
C. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat Kabar) Ibnu Sudjak Machfud. Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi yang Mandiri dan Profesional, karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001. Kunarto. Polisi Dikedepankan, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret-April 1997, Dispen Polda Aceh, Banda Aceh, 1997. Newsletter KIP NAD, Edisi Khusus, 1 Februari 2007
141
Lampiran Foto
Penandatanganan Ikrar Kesepahaman Kordinanasi KIP Panwaslih Penegak Hukum Pilkada NAD 2006
Distribusi Buku Pengawasan Pillkada Aceh
Rapat Panwas Aceh (Kemitraan, Jakarta)
Sambutan Plt Gubernur dalam Rapat Kordinasi Gabungan KIP Panwaslih Penegak Hukum Pilkada NAD 2006.
Penandatanganan Ikrar Damai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilkada Aceh
Spanduk Pilkada Damai
142
Jumpa Pers Pilkada Aceh
Wawancara Irwandi Yusuf ketika menang dalam Quick Count
Analisis Pilkada Aceh menurut Sydney Jones
Distribusi Kotak Suara Pilkada Aceh
Kartu Suara Pilkada Aceh
Rakyat Memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NAD
143
LAMPIRAN 1
KESEPAHAMAN KIP PROVINSI NAD DAN PANWASLIH ACEH 1. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengawasan dan penegakan ketentuan Pemilihan Aceh serta untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), maka akan dilakukan pertemuan secara rutin antara KIP dan Panwaslih sesuai tingkatannya masing‐masing. 2. KIP dan Panwaslih sesuai tingkatannya masing‐masing akan membangun komunikasi yang intensif untuk menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut penyelenggaraan dan pengawasan Pemilihan Aceh. Apabila ada kebijakan bersama yang akan dilakukan dan dapat terlaksana secara efektif di setiap tingkatan, maka KIP Provinsi NAD dan Panwaslih Aceh dapat membuat surat bersama kepada KIP Kabupaten/Kota dan Panwaslih Kabupaten/Kota. 3. KIP dan Panwaslih dalam melaksanakan tugasnya berpegang kepada ketentuan perundang‐undangan yang berlaku termasuk keputusan‐keputusan yang dikeluarkan oleh KIP dan Panwaslih. Apabila terdapat kekeliruan yang bersifat Administratif maka segera diperbaik, sedangkan yang bersifat Pidana penyelesaiannya diserahkan kepada kepolisian. 4. Dalam menyelesaikan sengketa pemilihan, Panwaslih dan KIP harus membangun koordinasi dan komunikasi yang efektif, intensif serta konstruktif agar putusan sengketa dapat ditindaklanjuti. 5. Dalam hal terjadi kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan, maka KIP wajib menghentikan kegiatan kampanye tersebut baik ada atau atau tidak adanya laporan dari Panwaslih. 6. Panwaslih bertugas mengawasi semua proses pelaksanaan pemilihan, apabila terjadi pelanggaran Administrasi diteruskan lepada KIP dan KIP segera menindaklanjuti. Pelanggaran Pidana segera diteruskan lepada kepolisian dan tetap memantau perkembangannya. Pelanggaran lainnya diteruskan kepada instansi yang berwenang. 7. Dalam hal terdapat kekeliruan oleh KIP atau Panwaslih, maka masing‐masing harus kelakukan klarifikasi sebelum menjadi konsumsi publik. 8. Kesepahaman ini mengikat KIP dan Panwaslih untuk dipedomani dan dilaksanakan.
144
Banda Aceh, 15 November 2006 KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN PROVINSI NAD M. JAFAR, S.H, M.Hum ISKANDAR MUDA, S.S., S.Pd
145
LAMPIRAN 2
REKAPITULASI PELANGGARAN PILKADA NAD TAHUN 2006 PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN ACEH SUMBER NO
WILAYAH
JMLH
LAPORAN
TEMUAN
PENYELESAIAN LAINADM PIDANA LAIN 1 2 4
1
Provinsi NAD
8
7
1
2
KOTA BANDA ACEH
3
NIHIL
3
3
NIHIL
NIHIL
3
KOTA SABANG
8
4
4
8
NIHIL
NIHIL
4
KOTA LANGSA
3
1
2
1
2
NIHIL
5
KOTA LHOKSEUMAWE
8
2
6
6
NIHIL
2
6
KABUPATEN ACEH BESAR
12
8
4
12
NIHIL
NIHIL
7
KABUPATEN PIDIE
11
10
1
4
1
6
8
KABUPATEN BIREUN
7
2
5
6
1
NIHIL
9
KABUPATEN ACEH UTARA
24
22
2
24
NIHIL
NIHIL
10
KABUPATEN ACEH TIMUR
18
10
8
7
11
NIHIL
11
KABUPATEN ACEH TENGAH
2
2
NIHIL
NIHIL
NIHIL
NIHIL
12
KABUPATEN BENER MERIAH
9
NIHIL
9
8
NIHIL
1
13
KABUPATEN ACEH SELATAN
3
1
2
2
NIHIL
1
14
KABUPATEN ACEH TENGGARA
2
NIHIL
2
2
NIHIL
NIHIL
15
KABUPATEN ACEH JAYA
6
5
1
6
NIHIL
NIHIL
146
16
KABUPATEN ACEH BARAT
2
NIHIL
2
NIHIL
NIHIL
2
17
KABUPATEN ACEH BARAT DAYA
17
9
8
7
1
9
18
KABUPATEN NAGAN RAYA
5
3
2
5
NIHIL
NIHIL
19
KABUPATEN GAYO LUES
3
1
2
2
1
NIHIL
20
KABUPATEN TAMIANG
3
1
2
1
2
NIHIL
21
KABUPATEN SIMEULUE
3
2
1
NIHIL
1
2
22
KABUPATEN ACEH SINGKIL
1
NIHIL
1
1
NIHIL
NIHIL
158
83
67
105
20
23
TOTAL
147
LAMPIRAN 3
PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN ACEH Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Melalui Putusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nama Alamat
: Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum : Jl. Tgk. Abu Lam U No. 23 Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh Tempat/ Tanggal Lahir : Kuta Padang, 15 Juli 1965 Pekerjaan/Jabatan : Anggota DPD RI Selanjutnya disebut PEMOHON Nama : Komisi Independen Pemilihan (KIP) Prov. NAD Alamat : Jl. T. Nyak Arief Kuta Baru – Banda Aceh Tempat/ Tanggal Lahir :Pekerjaan/Jabatan :Selanjutnya disebut TERMOHON Bahwa setelah tidak tercapainya mufakat pada tahap Musyawarah dan Mufakat serta tidak diperoleh penyelesaian pada tahap Penyelesaian Sengketa Pemilihan melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilihan, maka sengketa ini diselesaikan sebagai berikut: I.
Uraian Singkat Sengketa Pemilihan 1. Bahwa Komisi Independen Pemilihan Prov.NAD telah mengeluarkan Keputusan Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota beserta lampirannya. 2. Bahwa Komisi Independen Pemilihan Prov.NAD telah mengeluarkan Keputusan Nomor 37/SK/VIII/2006 tanggal 23 Agustus 2006 tentang Pembentukan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Dalam Pilkada Tahun 2006. 3. Bahwa Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an telah melaksanakan Uji Mampu Baca Al-Qur’an pada tanggal 7 September 2006 bertempat di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh terhadap para Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur Prov.NAD termasuk Sdr. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum (Bakal Calon Gubernur dari Perseorangan) sebagai pemohon dalam sengketa ini. 148
4. Bahwa Surat Keterangan Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an tanggal 8 September 2006 yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil Uji Baca Al-Qur’an terhadap kemampuan baca Al-Qur’an Sdr. Dra.Hj.Mediati Hafni Hanum (Bakal Calon Gubernur dari Perseorangan) dinyatakan TIDAK MAMPU membaca AlQur’an. 5. Bahwa Surat Sdr. Dra.Hj.Mediati Hafni Hanum (Bakal Calon Gubernur dari Perseorangan) tanggal 18 September 2006 perihal Sengketa Pada Tahap Penyelenggaraan Pilkadasung Khususnya Surat Keterangan Hasil Uji Mampu Membaca Al-Qur’an yang menyatakan keberatannya atas putusan Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an tersebut dan menyatakan dirinya mampu membaca Al-Qur’an. 6. Bahwa atas laporan tersebut Panitia Pengawas Pemilihan Aceh telah mengundang Pihak Pemohon dan Termohon untuk dimintai Klarifikasi berdasarkan Surat Undangan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 30/PANWAS-ACEH/09/2006 tanggal 22 September 2006 perihal Undangan Klarifikasi Sengketa Uji Mampu Membaca Al-Qur’an Calon Gub/Wagub Prov.NAD yang telah dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 26 September 2006 pukul 14.00 wib s.d selesai, yang dihadiri oleh: a. Pemohon : Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum yang diwakili oleh Sdr. Razali Ibrahim, S.Pd.I (berdasarkan surat kuasa tanggal 22 September 2006 dari Dra.Hj.Mediati Hafni Hanum) b. Termohon : – Komisi Independen Pemilihan Prov.NAD : Sdr. Nyak Arief Fadhillah (Wakil Ketua KIP Prov. NAD) – Tim Penilai Uji mampu Baca Al-Qur’an : Sdr. DR. Azman Ismail (Ketua Tim Penilai Uji Mampu Baca Al’Qur’an) Sdr. DR. Agus Salim (Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al’Qur’an) Sdr. DR. Agus Sabti (Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al’Qur’an) Sdr. M. Nur Ismail, LML (Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al’Qur’an) Dalam pertemuan tersebut para pihak telah menyampaikan penjelasannya masing- masing. 7. Bahwa berdasarkan Keputusan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Nomor 32 Tahun 2006 tanggal 10 September 2006 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka Panitia Pengawas Pemilihan Aceh menyatakan masalah tersebut diatas sebagai SENGKETA.
149
II.
Pendirian Para Pihak (tuntutan dan jawaban) 1. Tuntutan pemohon a. Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an menyalahi ketentuan yang berlaku dalam melakukan penilaian akibat telah manafsirkan tidak mampu membaca Al-Qur’an padahal mampu membaca Al-Qur’an dengan mendapatkan nilai di bawah 50. b. Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an harus menyatakan mampu membaca Al-Qur’an dan dapat dipergunakan sebagai bukti pemenuhan syarat calon Gubernur/Wail Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 2 c. Huruf b Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. d. KIP Prov. NAD harus dapat menerima Surat Keterangan No. 02/SK/IX/2006 tanggal 5 September 2006 yang dikeluarkan oleh Ma’had Diniyah Islamiyah Darul Fikri yang ditanda tangani oleh Tgk. Muhammad Isa dan Tgk. Anwar dilengkapi dengan stempel lembaga yang menyatakan bahwa Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum dapat dan mampu membaca AlQur’an dengan baik sebagai syarat pemenuhan Calon Gubernur sebagaimana di maksud pada Pasal 33 Ayat 2 huruf b Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. e. Meminta kepada KIP Prov NAD untuk dapat melakukan tes Ulang Uji Baca Al-Qur’an sebelum batas waktu penetapan Calon dan menetapkannya sebagai Calon Gubernur Provinsi NAD. 2. Jawaban termohon a. KIP Prov NAD menyatakan bahwa telah melaksanakan Uji Mampu Baca Al-Qur’an sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan KIP Prov. NAD Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota beserta lampirannya, yaitu dengan menunjuk dan menetapkan Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an sesuai dengan Keputusan KIP Prov. NAD Nomor 37/SK/VIII/2006 tanggal 23 Agustus 2006 tentang Pembentukan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Dalam Pilkada Tahun 2006. b. Keputusan Tim Uji Baca Al-Qur’an bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat, namun apabila terdapat kesalahan dalam proses uji baca AlQur’an atau ada aturan yang dilanggar, maka kesalahan tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu dan apabila telah dapat dibuktikan maka akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
150
c. KIP Prov NAD tidak dapat menerima Surat Keterangan Uji Mampu Baca Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh lembaga lain, selain Tim Penilai Uji Baca Al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh KIP Prov NAD. d. KIP Prov. NAD menyerahkan sepenuhnya kepada Panwaslih Aceh untuk menyelesaikan sengketa. III. Pertimbangan Pengawas Pemilihan 1. KIP Prov NAD telah melaksanakan uji Baca Al-Qur’an sesuai dengan ketentuan yang telah ada yaitu telah membentuk Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an yang terdiri dari LPTQ dan MPU Provinsi NAD sesuai dengan Keputusan KIP Prov. NAD Nomor 37/SK/VIII/2006 tanggal 23 Agustus 2006 tentang Pembentukan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Dalam Pilkada Tahun 2006. 2. Permintaan Sdr. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum untuk menerima Surat Keterangan Uji Mampu Baca Al-Qur’an dari lembaga lain selain yang ditetapkan oleh KIP Prov NAD tidak dapat dipenuhi karena menurut Keputusan KIP Prov NAD Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Dalam Pilkada Tahun 2006 bahwa Tim Uji Baca Al-Qur’an hanya dapat ditunjuk dan ditetapkan dengan Keputusan KIP Prov NAD karena KIP Prov NAD adalah lembaga yang secara resmi diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai penyelenggara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Penjelasan Tim Uji Mampu Baca Al-Qur’an tentang mekanisme dan proses pelaksanaannya, yang dimintai keterangan pada pertemuan klarifikasi pada hari Selasa tanggal 26 September 2006 bertempat di Kantor Panwaslih Aceh, menerangkan bahwa proses pelaksanaannya telah sesuai dengan Keputusan KIP Prov. NAD Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota beserta lampirannya. 4. Surat Keterangan Hasil Uji Mampu Membaca Al-Qur’an tidak ditandatangani oleh seluruh Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an yang telah ditetapkan oleh KIP Prov NAD, sehingga tidak sesuai dengan Lampiran Keputusan KIP Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota huruf D butir 6 bahwa Hasil Uji Baca Al-Qur’an dibuat dalam 3 (tiga) rangkap, ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Tim, setiap rangkapnya disampaikan kepada masingmasing bakal calon, KIP, dan arsip tim penilai uji baca Al-Qur’an. 5. Setelah mempelajari dokumen pendukung berupa rekaman Audio Visual, Rekapitulasi Nilai Akhir dan Formulir Penilaian Uji Mampu Baca Al-Qur’an
151
Bagi Pasangan Bakal Calon, Panitia Pengawas Pemilihan Aceh menimbang bahwa : a. Audio Visual : Berdasarkan rekaman audio visual terlihat bahwa proses pelaksanaan Uji Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Calon dilaksanakan secara terbuka yang bertempat di dalam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan disaksikan oleh khalayak ramai serta juga disiarkan secara langsung melalui Radio Baiturrahman Banda Aceh. b. Rekapitulasi Nilai Akhir dan Formulir Penilaian Uji Mampu Baca AlQur’an : Masing-masing Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an telah memberikan penilaian berdasarkan pembagian tugas dalam penilaian dan telah ditandatangani oleh seluruh anggota tim tersebut pada lembaran Formulir Penilaian Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bagi Pasangan Bakal Calon. 6. Hasil Rapat Pleno Panitia Pengawas Pemilihan Aceh tanggal 11 Oktober 2006 pukul 23.30 wib s.d selesai. IV. Putusan Pengawas Pemilihan 1. Panitia Pengawas Pemilihan Aceh memutuskan bahwa Penilaian Uji Mampu Baca Al-Qur’an telah berjalan sesuai dengan ketentuan KIP Prov NAD Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca Al-Qur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. 2. Panitia Pengawas Pemilihan Aceh menyatakan bahwa Surat Keterangan Uji Mampu Baca Al-Qur’an No. 02/SK/IX/2006 tanggal 5 September 2006 yang dikeluarkan oleh Ma’had Diniyah Islamiyah Darul Fikri yang ditandatangani oleh Tgk. Muhammad Isa dan Tgk. Anwar sebagaimana diajukan oleh Sdr. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum (Bakal Calon Gubernur dari Perseorangan), tidak dapat dipergunakan sebagai bukti pemenuhan syarat calon Gubernur Prov. NAD. 3. Surat Keterangan Hasil Uji Mampu Membaca Al-Qur’an yang tidak ditandatangani oleh seluruh Anggota Tim Penilai Uji Mampu Baca Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Keputusan KIP Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Petunjuk Tekhnis Uji Mampu Baca AlQur’an Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota pada lampiran huruf D butir 6 bahwa Hasil Uji Baca Al-Qur’an dibuat dalam 3 (tiga) rangkap, ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Tim, setiap rangkapnya disampaikan kepada masing-masing bakal calon, KIP, dan arsip tim penilai uji baca Al-Qur’an, adalah termasuk PELANGGARAN ADMINISTRATIF dan menyerahkan kembali kepada KIP Prov. NAD untuk diperbaiki sebagaimana mestinya. 4. Demikian putusan sengketa ini dibuat berdasarkan Rapat Pleno Panitia Pengawas Pemilihan Aceh.
152
Putusan ini dibuat pada : Hari Kamis Tempat dan tanggal Putusan : Banda Aceh, 12 Oktober 2006 Pukul : 01.00 WIB (dini hari)
PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN ACEH KETUA,
ISKANDAR MUDA
Tembusan: 1. Pemohon; 2. Termohon; 3. Ketua Desk Pilkada Prov. NAD; 4. Arsip
153
LAMPIRAN 4 PASAL 56 – 119 UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 (KETENTUAN TERKAIT PEMILIHAN KEPALA DAERAH) Bagian Kedelapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Paragraf Kesatu Pemilihan
(1)
(2)
(1) (2)
(3)
(4)
(5) (6)
(7)
Pasal 56 Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasal 57 Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD. Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan. Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD. Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya. Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Pasal 58 Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
154
g. h. i. j.
k. l. m. n. o. p.
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; tidak pernah melakukan perbuatan tercela; memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
Pasal 59 Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan: a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung; b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon; c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung; d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan; e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon; f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
155
i.
(6)
(7)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya. Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. Pasal 60 Pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diteliti persyaratan administrasinya dengan melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat terhadap persyaratan pasangan calon. Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan, paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran. Apabila pasangan calon belum memenuhi syarat atau ditolak karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan/atau Pasal 59, partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon atau mengajukan calon baru paling lambat 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPUD. KPUD melakukan penelitian ulang kelengkapan dan atau perbaikan persyaratan pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan. Apabila hasil penelitian berkas pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPUD, partai politik dan atau gabungan partai politik, tidak dapat lagi mengajukan pasangan calon. Pasal 61 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dan ayat (4), KPUD menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon. Pasangan calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya penelitian. Terhadap pasangan calon yang telah ditetapkan dan diumumkan, selanjutnya dilakukan undian secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan calon. Penetapan dan pengumuman pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat.
156
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1) (2)
Pasal 62 Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calonnya, dan pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Apabila partai politik atau gabungan partai politik menarik calonnya dan/atau pasangan calon dan/atau salah seorang dari pasangan calon mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Pasal 63 Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan. Dalam hal salah 1 (satu) calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan masih terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur. Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari dan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan. Pasal 64 Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dimulainya hari pemungutan suara putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari. Partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan. Pasal 65 Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah; c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
157
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah; c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pasal 66 Tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; c. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; d. menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; e. meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon; f. meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan; g. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; h. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye; i. mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; j. menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; k. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; l. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan; m. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit. Dalam penyelenggaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD kabupaten/kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KPUD provinsi. Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan; b. mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih; c. melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan; d. membentuk panitia pengawas; e. meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan
158
f.
(4)
(1)
menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan. Pasal 67 KPUD berkewajiban: a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara; b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan; c. menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat ; d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan; e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD; f. melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara tepat waktu. Paragraf Kedua Penetapan Pemilih
Pasal 68 Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(1) (2)
(3)
(1)
(2)
Pasal 69 Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Pasal 70 Daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan daftar pemilih tambahan yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara.
159
Pasal 71 Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara.
(1) (2)
(1)
(2) (3) (4)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pasal 72 Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih. Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih. Pasal 73 Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat. PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari daftar pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih. Pemilih melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yang baru. Pemilih terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain dengan menunjukkan kartu pemilih. Pasal 74 Berdasarkan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 73 PPS menyusun dan menetapkan daftar pemilih sementara. Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh PPS untuk mendapat tanggapan masyarakat. Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara dapat mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan. Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap. Daftar pemilih tetap disahkan dan diumumkan oleh PPS. Tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPUD. Paragraf Ketiga Kampanye
(1) (2) (3)
(4) (5) (6) (7)
Pasal 75 Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didaftarkan ke KPUD bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bersamasama atau secara terpisah oleh pasangan calon dan/atau oleh tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye. Tim kampanye dapat dibentuk secara berjenjang di provinsi, kabupaten/kota bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan kabupaten/kota dan
160
(8) (9)
(2) (3)
(4) (5)
(1) (2)
(3) (4)
(5) (6)
(7) (8)
kecamatan bagi pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Dalam kampanye, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri kampanye. Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari pasangan calon. Pasal 76 Kampanye dapat dilaksanakan melalui: a. pertemuan terbatas; b. tatap muka dan dialog; c. penyebaran melalui media cetak dan media elektronik; d. penyiaran melalui radio dan/atau televisi; e. penyebaran bahan kampanye kepada umum; f. pemasangan alat peraga di tempat umum; g. rapat umum; h. debat publik/debat terbuka antarcalon; dan/atau i. kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak untuk mendapatkan informasi atau data dari pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan diseluruh wilayah kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota. Pasal 77 Media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menyampaikan tema dan materi kampanye. Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk memasang iklan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka kampanye. Pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum. Semua yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang diadakan oleh pasangan calon hanya dibenarkan membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut pasangan calon yang bersangkutan. KPUD berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye. Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan memper-timbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemasangan alat peraga kampanye pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut. Alat peraga kampanye harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
161
Pasal 78 Dalam kampanye dilarang: a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik; c. menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai politik; e. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum; f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain; h. menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah; i. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan j. melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya. Pasal 79 Dalam kampanye, dilarang melibatkan: a. hakim pada semua peradilan; b. pejabat BUMN/BUMD; c. pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; d. kepala desa. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. (3) Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah. (4) Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. (1)
Pasal 80 Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
(1)
(2)
Pasal 81 Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi:
162
(3) (4)
(1) (2)
(1)
(2) (3)
(4) (5)
(6)
(7)
(1) (2)
(3)
(4)
a. peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; b. penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain. Tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPUD. Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye oleh KPUD. Pasal 82 Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Pasal 83 Dana kampanye dapat diperoleh dari: a. pasangan calon; b. partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan; c. sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. Pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye dan rekening yang dimaksud didaftarkan kepada KPUD. Sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dari perseorangan dilarang melebihi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pasangan calon dapat menerima dan/atau menyetujui pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan kampanye. Sumbangan kepada pasangan calon yang lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) baik dalam bentuk uang maupun bukan dalam bentuk uang yang dapat dikonversikan ke dalam nilai uang wajib dilaporkan kepada KPUD mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan. Laporan sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan ayat (5) disampaikan oleh pasangan calon kepada KPUD dalam waktu 1 (satu) hari sebelum masa kampanye dimulai dan 1 (satu) hari sesudah masa kampanye berakhir. KPUD mengumumkan melalui media massa laporan sumbangan dana kampanye setiap pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada masyarakat satu hari setelah menerima laporan dari pasangan calon. Pasal 84 Dana kampanye digunakan oleh pasangan calon, yang teknis pelaksanaannya dilakukan oleh tim kampanye. Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh pasangan calon kepada KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah hari pemungutan suara. KPUD wajib menyerahkan laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kantor akuntan publik paling lambat 2 (dua) hari setelah KPUD menerima laporan dana kampanye dari pasangan calon. Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat 15 (lima belas) hari setelah diterimanya laporan dana kampanye dari KPUD.
163
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan oleh KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit dari kantor akuntan publik. Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk umum. Pasal 85 Pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari: a. negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; b. penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; c. pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasangan calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPUD paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas daerah. Pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Paragraf Keempat Pemungutan Suara
(1)
(2) (3)
(1)
(2)
(3)
Pasal 86 Pemungutan suara pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara dilakukan dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi nomor, foto, dan nama pasangan calon. Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pasal 87 Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah 2,5% (dua setengah perseratus) dari jumlah pemilih tersebut. Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai cadangan di setiap TPS untuk mengganti surat suara pemilih yang keliru memilih pilihannya serta surat suara yang rusak. Penggunaan tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara. Pasal 88 Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara.
(1)
(2) (3)
Pasal 89 Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih. Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih yang dibantunya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
164
(2)
(3)
(1)
(2)
(2) (3)
(1) (2) (3)
(4)
(5)
(2)
Pasal 90 Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang. TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak TPS ditetapkan oleh KPUD.
Pasal 91 Untuk keperluan pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah disediakan kotak suara sebagai tempat surat suara yang digunakan oleh pemilih. Jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal 92 Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS melakukan: a. pembukaan kotak suara; b. pengeluaran seluruh isi kotak suara; c. pengidentifikasian jenis dokumen dan peralatan; serta d. penghitungan jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan. Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh saksi dari pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS dan dapat ditandatangani oleh saksi dari pasangan calon. Pasal 93 Setelah melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92, KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara pemungutan suara. Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih. Apabila menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat suara pengganti hanya satu kali. Apabila terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suara, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat suara pengganti hanya satu kali. Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan oleh KPUD. Pasal 94 Pemilih yang telah memberikan suara di TPS diberi tanda khusus oleh KPPS. Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pasal 95 Suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dinyatakan sah apabila: a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan b. tanda coblos hanya terdapat pada 1 (satu) kotak segi empat yang memuat satu pasangan calon; atau
165
c.
tanda coblos terdapat dalam salah satu kotak segi empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon yang telah ditentukan; atau d. tanda coblos lebih dari satu, tetapi masih di dalam salah satu kotak segi empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon; atau e. tanda coblos terdapat pada salah satu garis kotak segi empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon. Pasal 96 Penghitungan suara di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan suara berakhir. (2) Sebelum penghitungan suara dimulai, KPPS menghitung: a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih tetap untuk TPS; b. jumlah pemilih dari TPS lain; c. jumlah surat suara yang tidak terpakai; dan d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau keliru dicoblos. (3) Penggunaan surat suara tambahan dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS. (4) Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS oleh KPPS dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. (5) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS. (6) Penghitungan suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat yang hadir dapat menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara. (7) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (8) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diterima, KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan. (9) Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh saksi pasangan calon. (10) KPPS memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum. (11) KPPS menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, surat suara, dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan penghitungan suara kepada PPS segera setelah selesai penghitungan suara. (1)
(1)
(2)
Pasal 97 Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPS membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat desa/kelurahan dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPS.
166
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
(2) (3)
Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika itu juga mengadakan pembetulan. Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua TPS dalam wilayah kerja desa/kelurahan yang bersangkutan, PPS membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota PPS serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon. PPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum . PPS wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada PPK setempat. Pasal 98 Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPK membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kecamatan dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK. Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPK apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga mengadakan pembetulan. Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPS dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon. PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum. PPK wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada KPU kabupaten/kota. Pasal 99 Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kabupaten/kota dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU kabupaten/kota. Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPU kabupaten/kota apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
167
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
(2)
(1)
(2) (3) (4) (5)
(6)
(7)
(1)
(2)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU kabupaten/kota seketika itu juga mengadakan pembetulan. Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPK dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPU kabupaten/kota membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU kabupaten/kota serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon. KPU kabupaten/kota wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU kabupaten/kota kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum. KPU kabupaten/kota wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU kabupaten/kota kepada KPU provinsi. Pasal 100 Dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota, berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara selanjutnya diputuskan dalam pleno KPU kabupaten/kota untuk menetapkan pasangan calon terpilih. Penetapan pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPRD kabupaten/kota untuk diproses pengesahan dan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 101 Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPU provinsi membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat provinsi dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU provinsi. Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPU provinsi apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU provinsi seketika itu juga mengadakan pembetulan. Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua KPU kabupaten/kota, KPU provinsi membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU provinsi serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon. KPU provinsi wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU provinsi kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum. Pasal 102 Berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (5) selanjutnya diputuskan dalam pleno KPU provinsi untuk menetapkan pasangan calon terpilih. Penetapan pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh KPU provinsi disampaikan kepada DPRD provinsi untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
168
(1)
a. b. c. d. e. (2) (3) (4)
(1)
(2)
a.
b.
c. d. e.
Pasal 103 Penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut: penghitungan suara dilakukan secara tertutup; penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan cahaya; saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas; penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah. Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS. Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS. Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya. Pasal 104 Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut: pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS. Pasal 105 Penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah hari pemungutan suara.
(1)
(2) (3)
Pasal 106 Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
169
(4)
(5)
(6) (7)
(8)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final. Paragraf Kelima Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(1) (2) (3)
Pasal 107 Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua. Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua. Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Pasal 108 Dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih. Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
170
(4) (5)
(6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2) (3)
(4)
(1) (2) (3) (4)
Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih. Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari. Untuk memilih wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), pemilihannya dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari. Pasal 109 Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Pasal 110 Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik. Sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.” Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal 111 Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden. Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD. Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
171
Pasal 112 Biaya kegiatan Pemilihan kepala daerah dan dibebankan pada APBD.
wakil
kepala daerah
Paragraf Keenam Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(1)
(2)
(3)
(1)
(2) (3)
(4)
Pasal 113 Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan oleh pemantau pemilihan yang meliputi lembaga swadaya masyarakat, dan badan hukum dalam negeri. Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a. bersifat independen; dan b. mempunyai sumber dana yang jelas. Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendaftarkan dan memperoleh akreditasi dari KPUD. Pasal 114 Pemantau pemilihan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauannya kepada KPUD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Pemantau pemilihan wajib mematuhi segala peraturan perundang-undangan. Pemantau pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dicabut haknya sebagai pemantau pemilihan dan/atau dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf Ketujuh Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(1)
(2)
(3)
Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
172
(4)
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undangundang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Pasal 116 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
173
(6)
(7)
(8)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 117 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah). Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
174
(7)
(8)
(1)
(2)
(3)
(4)
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 118 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 119 Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.
175
LAMPIRAN 5
KETENTUAN TERKAIT PILKADA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH (Pasal 56 – 95, Pasal 255-257, Pasal 261, dan Pasal 265-266)
BAB IX PENYELENGGARA PEMILIHAN Bagian Kesatu Komisi Independen Pemilihan
(1)
(2)
(3)
(4) (5) (6)
(7)
(1) (2)
Pasal 56 KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, dan pemilihan gubernur/wakil gubernur. KIP kabupaten/kota menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KIP kabupaten/kota merupakan bagian dari penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA dan ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur. Anggota KIP kabupaten/kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh bupati/walikota. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, mekanisme kerja, dan masa kerja tim independen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan qanun. Pasal 57 Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan anggota KIP kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat. Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Bagian Kedua Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pasal 58 Tugas dan wewenang KIP: a. merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; b. menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
176
c.
(2)
mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; d. menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; e. menerima pendaftaran pasangan calon sebagai peserta pemilihan; f. meneliti persyaratan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang diusulkan; g. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; h. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye; i. melakukan audit dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; j. menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota melalui rapat pleno; k. melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan l. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk membantu KIP dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Sekretariat KIP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 59 KIP berkewajiban: a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara; b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan; c. menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP Aceh dan DPRK untuk KIP kabupaten/kota dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat; d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris KIP berdasarkan peraturan perundang-undangan; e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada Gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan f. melaksanakan semua tahap pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara tepat waktu.
Bagian Ketiga Panitia Pengawas Pemilihan
(1) (2) (3)
Pasal 60 Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Undang-Undang ini diundangkan. Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK.
177
(4)
Masa kerja Panitia Pengawas Pemilihan berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Bagian Keempat Tugas dan Wewenang Panitia Pengawas Pemilihan
(2)
Pasal 61 Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan: a. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan b. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 62 Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilakukan melalui: a. pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; b. penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; c. penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan d. pengaturan hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Pasal 63 Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini mengenai pengawasan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/ wakil walikota berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Pemantauan
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 64 Pemantauan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dapat dilakukan oleh pemantau lokal, pemantau nasional dan pemantau asing. Pemantau pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. bersifat independen; dan b. mempunyai sumber dana yang jelas. Pemantau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pemantau pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), harus terdaftar di KIP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
178
BAB X PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA Bagian Kesatu Umum
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 65 Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA. Biaya untuk pemilihan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dibebankan pada APBK dan APBA. Bagian Kedua Tahapan Pemilihan
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 66 Tahapan dan jadwal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota ditetapkan oleh KIP. Proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dilakukan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan. Tahap persiapan pemilihan meliputi: a. pembentukan dan pengesahan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota; b. pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur; c. pemberitahuan DPRK kepada KIP kabupaten/kota mengenai berakhirnya masa jabatan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; d. perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; e. pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara; dan f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan. Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pendaftaran dan penetapan daftar pemilih; b. pendaftaran dan penetapan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; c. kampanye; d. pemungutan suara; e. penghitungan suara; dan f. penetapan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota terpilih, pengesahan dan pelantikan. Pendaftaran dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi: a. pemeriksaan administrasi pasangan bakal calon oleh KIP; b. penetapan pasangan calon oleh KIP; dan c. pemaparan visi dan misi pasangan calon dalam rapat paripurna istimewa DPRA/DPRK.
179
(6)
Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aayt (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun. Bagian Ketiga Pencalonan
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 67 Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh : a. partai politik atau gabungan partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau d. perseorangan. Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. menjalankan syari’at agamanya; c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi; h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota; dan m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. Pasal 68 Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan identitas bukti diri dan disertai dengan pernyataan tertulis.
180
Pasal 69 Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih meliputi: a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP Aceh kepada DPRA dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Presiden; b. pengesahan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden; dan c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Gubernur/Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rapat paripurna DPRA. Pasal 70 Tahapan pengesahan dan pelantikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih meliputi: a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kabupaten/kota kepada DPRK dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Gubernur; b. pengesahan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden; dan c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilakukan oleh Gubernur atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah dalam rapat paripurna DPRK. Bagian Keempat Pemilih dan Hak Pemilih
(1)
(2)
(3)
Pasal 71 Pemilih untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh atau kabupaten/kota yang pada tanggal pemungutan suara memenuhi persyaratan sebagai berikut: berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin; a. tidak sedang terganggu jiwanya; b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan c. terdaftar sebagai pemilih. Warga Negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih, tetapi tidak lagi memenuhi syarat sebagai dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Pasal 72 Pemilih di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 mempunyai hak: a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; b. mengawasi proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; c. mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota; d. mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan qanun; dan e. mengawasi penggunaan anggaran. Pasal 73 Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
181
Bagian Kelima Penyelesaian Sengketa atas Hasil Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
(6)
Pasal 74 Peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota berhak mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan oleh KIP. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan. Mahkamah Agung menyampaikan putusan sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada: a. KIP; b. pasangan calon; c. DPRA/DPRK; d. Gubernur/bupati/walikota; dan e. partai politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan calon. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat.
BAB XI PARTAI POLITIK LOKAL Bagian Kesatu Pembentukan
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
(7)
Pasal 75 Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan dengan akte notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta struktur kepengurusannya. Kepengurusan partai politik lokal berkedudukan di ibukota Aceh. Kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Partai politik lokal memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik atau partai politik lokal lain. Partai politik lokal mempunyai kantor tetap.
182
(8)
(1)
(2) (3)
Untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) partai politik lokal harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) di kabupaten/kota dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Pasal 76 Partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 didaftarkan pada dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang berwenang. Pengesahan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara. Perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, nama, lambang, tanda gambar, dan kepengurusan partai politik lokal didaftarkan pada kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Bagian Kedua Asas, Tujuan, dan Fungsi
(1) (2)
(2)
(3)
Pasal 77 Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Pasal 78 Tujuan umum partai politik lokal adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Tujuan khusus partai politik lokal adalah: a. meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan b. memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh. Tujuan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Pasal 79 Partai politik lokal berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat; dan d. partisipasi politik rakyat.
183
Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban
(2)
Pasal 80 Partai politik lokal berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partai dari departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia; d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; e. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK; f. mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA dan DPRK; g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di DPRA dan DPRK; h. mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh; dan i. melakukan afiliasi atau kerja sama dalam bentuk lain dengan sesama partai politik lokal atau partai politik nasional. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 81 Partai politik lokal berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain; b. mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan Aceh dan pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; f. menyukseskan pemilihan umum pada tingkat daerah dan nasional; g. melakukan pendataan dan memelihara data anggota; h. membuat pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; i. membuat laporan keuangan secara berkala; dan j. memiliki rekening khusus dana partai. Bagian Keempat Larangan
(1)
(2)
Pasal 82 Partai politik lokal dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. lambang daerah Aceh; d. nama, bendera, atau lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; e. nama dan gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik atau partai politik lokal lain. Partai politik lokal dilarang:
184
(3) (4)
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau peraturan perundang-undangan lain; b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; d. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; e. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/ badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan; atau f. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Partai politik lokal dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme-leninisme. Bagian Kelima Keanggotan dan Kedaulatan Anggota
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 83 Warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh dapat menjadi anggota partai politik lokal, apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin. Keanggotaan partai politik lokal bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif pada setiap warga negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik lokal yang bersangkutan. Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat merangkap keanggotaan salah satu partai politik. Keanggotaan, kedaulatan anggota, dan kepengurusan partai politik lokal diatur dalam anggaran dasar dan rumah tangga partai politik lokal. Bagian Keenam Keuangan
(2) (3)
(4)
Pasal 84 Keuangan partai politik lokal bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari APBA dan APBK. Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan masyarakat Aceh dan kabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan qanun.
185
Pasal 85 Partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b dapat menerima sumbangan yang berasal dari: a. anggota dan bukan anggota paling banyak senilai Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun. b. perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun. Bagian Ketujuh Sanksi
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
Pasal 86 Setiap orang dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada partai politik lokal melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang dan/atau perusahaan/badan usaha memberikan sumbangan kepada partai politik lokal melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pengurus partai politik lokal yang: a. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). b. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf d dan huruf f diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). c. menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (4) dituntut karena kejahatan terhadap keamanan negara berdasarkan Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta partainya dapat dibubarkan. Sumbangan yang diterima partai politik lokal dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 disita untuk negara. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 75 dan Pasal 77 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik lokal oleh kantor wilayah departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. b. Pasal 81 huruf h, dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh KIP Aceh. c. Pasal 81 huruf i dan huruf j, dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan dari APBA dan APBK. Pasal 87 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik lokal oleh kantor wilayah departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
186
(2)
(3)
(4)
(5)
(1) (2)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a dan huruf b, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai politik lokal paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan partai politik lokal. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh KIP Aceh. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pengurus partai politik lokal yang bersangkutan terlebih dahulu didengar keterangannya. Pasal 88 Partai politik lokal yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 82 ayat (4), dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Partai politik lokal yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a dan huruf b, dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Bagian Kedelapan Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 89 Untuk dapat mengikuti pemilihan umum DPRA/DPRK, partai politik lokal harus memenuhi persyaratan: a. telah disahkan sebagai badan hukum; b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua per tiga) dari jumlah kabupaten/kota di Aceh; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua per tiga) dari jumlah kecamatan dalam setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1000 (satu per seribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik lokal; e. pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap; f. mengajukan nama dan tanda gambar kepada KIP. Partai politik lokal yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta pemilu DPRA/DPRK. KIP Aceh menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian keabsahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penetapan keabsahan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KIP Aceh dan bersifat final.
187
Pasal 90 Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRA; atau b. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota di Aceh.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 91 Partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dan partai politik lokal dapat mengajukan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRA atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRA di daerah yang bersangkutan. Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2). Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal, pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan: a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik lokal atau pimpinan partai politik lokal yang bergabung; b. kesepakatan tertulis antarpartai politik lokal yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon; c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik lokal atau para pimpinan partai politik lokal yang bergabung; d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara berpasangan; e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon; f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya; i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRA/DPRK yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; j. kelengkapan persyaratan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2); dan k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis. Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat
188
(6) (7)
mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal lain. Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman pendaftaran pasangan calon.
Bagian Kesembilan Pengawasan Pasal 92 Pengawasan terhadap partai politik lokal meliputi hal-hal sebagai berikut: a. melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan syarat pendirian partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 77; b. melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik lokal yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75; c. melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1); d. menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik lokal; e. meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik lokal dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf h, huruf i, dan huruf j; serta f. melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap larangan partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(2)
Pasal 93 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dilakukan oleh: a. Kantor wilayah departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. Komisi Independen Pemilihan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e; dan c. Gubernur selaku wakil pemerintah dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf f. Tindak lanjut pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Pemerintah, Pemerintah Aceh/kabupaten dan kota tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi dan hak partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan Pasal 80. Pasal 95 Ketentuan lebih lanjut mengenai partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
189
Pasal 255 Pengaturan tentang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah UndangUndang ini diundangkan. Pasal 256 Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 257 Peraturan Pemerintah mengenai partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 diterbitkan paling lambat Februari 2007.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 261 Penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa jabatannya telah berakhir pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Januari 2007, dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota untuk pertama kali sejak Undang-Undang ini disahkan dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang ada. Tata cara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota setelah Undang-Undang ini diundangkan dapat berpedoman pada peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah sesuai dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lain. Pasal 265 KIP yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap menjalankan tugasnya sampai dengan masa baktinya berakhir.
(1) (2)
Pasal 266 Untuk pertama kali pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dilakukan oleh DPRA. Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan kabupaten/kota dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh.
190
LAMPIRAN 6
NASKAH GABUNGAN QANUN NO. 2/2004, QANUN NO.3/2005 DAN QANUN NO.7/2006 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 1 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Aceh adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Aceh merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.** 1.1. Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Pemerintahan Aceh yang berada dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.** 1.2. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.** Kabupaten/Kota adalah bagian dari Aceh sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.** Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh, dibantu oleh Wakil Gubernur yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.** Bupati/Walikota adalah kepala pemerintah Kabupaten/Kota, dibantu oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.** Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.**
1
Qanun Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disusun dalam satu naskah ini bukan merupakan satu dokumen hukum resmi, melainkan hanya upaya untuk mempermudah dalam membaca dan mempelajari ketentuan dalam Qanun No. 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun No. 3 Tahun 2005 dan terakhir dengan Qanun No. 7 Tahun 2006. Tanda * menunjukkan perubahan sesuai Qanun No. 3 Tahun 2005, sedangkan tanda ** menunjukkan perubahan sesuai Qanun No. 7 Tahun 2006.
191
(6)
(7)
(8)
(9) (10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15) (16)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan yang meliputi tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pemilih, penetapan pemilih, pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.* 7a. Qanun Aceh adalah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Qanun Aceh adalah Peraturan Perundangundangan sejenis peraturan Daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan Pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.** 7b. Qanun Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur penyelenggaraan Pemerintahan dan kehidupan masyarakat Kabupaten/Kota di Aceh.** Komisi Independen Pemilihan disingkat KIP adalah KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut KIP Aceh, dan KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.** 8a. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan.** 8b. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.** 8c. Imum Mukim atau nama lain adalah kepala Pemerintahan Mukim.** 8d. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.** Dihapus.** Panitia Pemilihan Kecamatan yang selanjutnya disebut PPK adalah bagian dari KIP Kabupaten/Kota, sebagai pelaksana pemilihan di wilayah Kecamatan yang dibentuk oleh KIP Kabupaten/Kota.** Panitia Pemilihan Gampong yang selanjutnya disebut PPG adalah bagian dari PPK, sebagai pelaksana pemilihan di wilayah Gampong/Kelurahan yang dibentuk oleh PPK.** Panitia Pengawas Pemilihan Aceh yang selanjutnya disebut Panitia Pengawas Aceh adalah Institusi yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan yang dilaksanakan oleh KIP Aceh.** Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut panitia pengawas kabupaten/kota adalah bagian dari Panitia Pengawas Aceh yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota.** Panitia Pengawas Kecamatan disingkat PPK adalah bagian dari Panitia Pengawas Kabupaten/Kota yang melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemilihan di wilayah Kecamatan.** Dihapus.* Petugas Pendaftaran Pemilih adalah aparat pelaksana pemilihan yang melakukan pendaftaran pemilih untuk mengikuti pemilihan.
192
(17) Logistik adalah segala sesuatu yang diperlukan berupa biaya dan perlengkapan/peralatan pemilihan. (18) Perlengkapan/peralatan pemilihan adalah segala bahan yang diperlukan bagi terlaksana dan sahnya pemilihan. (19) Saksi adalah orang yang mewakili peserta pemilihan (calon) untuk menyaksikan pelaksanaan tahap-tahap pemilihan. (20) Pemilih adalah setiap warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh yang berhak memilih dan terdaftar dalam daftar pemilih.** (21) Pendaftaran pemilih adalah kegiatan mendaftarkan warga negara yang berdomisili di Aceh yang mempunyai hak untuk memilih, yang dilaksanakan oleh petugas pendaftaran pemilih.** (22) Daftar pemilih adalah daftar yang dibuat oleh KIP, yang berisikan nama-nama pemilih yang didaftarkan oleh petugas pendaftaran pemilih. (23) Kertas suara adalah kertas yang berisikan nama, foto, dan nomor dari calon yang disiapkan oleh KIP sebagai sarana pemberian suara pemilih. (24) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut KPPS adalah kelompok petugas yang dibentuk oleh PPK atas usul PPG yang bertugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara.** (25) Pemungutan suara adalah kegiatan pemberian suara pemilih dalam bilik suara di tempat pemungutan suara dengan cara pemilih mencoblos salah satu kotak segi empat yang memuat foto satu pasangan calon pada kertas suara.* (26) Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat TPS adalah lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan, dimana kegiatan pemungutan dan penghitungan suara pemilih dilaksanakan. (27) Penghitungan suara adalah kegiatan menghitung suara berdasarkan coblosan pada kertas suara dari TPS, yang dilakukan secara bertahap dari TPS, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. (28) Calon adalah pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang ditetapkan oleh KIP Aceh atau pasangan calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota yang ditetapkan oleh KIP Kabupaten/Kota.** (29) Daerah pemilihan untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur adalah wilayah Aceh, sedangkan daerah pemilihan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota adalah wilayah Kabupaten/Kota.** (30) Kampanye pemilihan yang selanjutnya disebut kampanye adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi dan misi pasangan calon.** (31) Tim pelaksana kampanye yang selanjutnya disebut Tim Kampanye adalah Tim yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau pasangan perseorangan yang bertugas dan berkewenangan membantu penyelenggaraan kampanye serta bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis penyelenggaraan kampanye.** (32) Juru kampanye adalah pasangan calon dan orang-orang yang terdaftar pada tim kampanye pasangan calon yang bertugas meyakinkan calon pemilih untuk memberikan suara kepada pasangan calon.** (33) Tingkatan kampanye adalah tingkatan yang didasarkan pada wilayah administrasi pemerintahan dimana juru kampanye dibolehkan berkampanye.** (34) Dana kampanye adalah anggaran biaya yang diperlukan dan dipergunakan bagi pelaksanaan kegiatan kampanye. (35) Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.**
193
(36) Kader partai adalah setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota partai politik atau partai politik lokal, yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota atau keterangan tertulis dari partai politik atau partai politik lokal.** (37) Pasangan calon perseorangan adalah pasangan calon di luar partai politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal dan bukan kader partai yang telah memenuhi persyaratan sebagai pasangan calon.** (38) Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.** BAB II ASAS-ASAS PEMILIHAN Pasal 2 Pemilihan dilaksanakan dengan asas-asas : a. langsung, yaitu pemilihan langsung dilakukan oleh rakyat yang memenuhi syarat dan terdaftar sebagai pemilih; b. umum, yaitu pemilihan berlangsung secara terbuka dan diikuti oleh seluruh rakyat yang berhak dan memenuhi syarat untuk memilih; c. bebas, yaitu setiap pemilih dijamin kebebasannya dalam menentukan dan memilih calon yang diinginkannya; d. rahasia,yaitu bahwa pemilihan dilakukan oleh pemilih dalam bilik yang tertutup dan tidak boleh seorang pun mengetahui calon yang dipilih oleh pemilih, e. jujur, yaitu pemilihan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku; f. adil, yaitu bahwa dalam pemilihan semua peserta harus mendapat perlakuan yang sama. BAB IIA* PERSIAPAN PEMILIHAN
(2)
Pasal 2A* Masa persiapan pemilihan meliputi: a. Pembentukan dan pengesahan KIP Provinsi oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pemberitahuan DPRD kepada Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota mengenai berakhirnya masa jabatan; c. Pemberitahuan DPRD kepada KIP mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; d. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; e. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPG, dan PPS, dan f. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan Pembentukan Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, telah diputuskan DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disampaikannya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
194
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diputuskan sudah disampaikan kepada KIP dan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; Pemberitahuan sebagaimana pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan secara tertulis 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; (4) Pemberitahuan sebagaimana pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan secara tertulis 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; Pasal 2B* Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2A ayat (1) huruf b dan huruf c, Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota kepada DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan DPRD. KIP setelah menerima Pemberitahuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1) huruf b dan huruf c, KIP menetapkan: a. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota; b. Pembentukan PPK, PPG, dan PPS, dan c. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Penetapan tata cara dan jadwal waktu tahapan pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ditetapkan dengan Keputusan KIP dan disampaikan kepada DPRD dan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota selambat lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah pemberitahuan DPRD.
BAB III PENANGGUNG JAWAB DAN PENYELENGGARA PEMILIHAN Bagian Pertama Penanggungjawab Pemilihan Pasal 3* Penanggungjawab penyelenggara pemilihan adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP).
Bagian Kedua Komisi Independen Pemilihan Provinsi*
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 4** KIP Aceh merupakan penyelenggara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. KIP Kabupaten/Kota merupakan penyelenggara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Selain menyelenggarakan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), KIP Aceh, KIP Kabupaten/Kota dapat diberi tugas untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden, Dewan
195
(5) (6) (7)
(8)
(1)
(2) (3)
(4)
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah, DPRA dan DPRK. Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA, ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur. Anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh DPRK, ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Bupati/Walikota. Dalam melakasanakan ketentuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5), DPRA/DPRK membertuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP. Tatacara dan tahapan pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota mempedomani ketentuan sebagaimana diatur dalam Qanun ini. Pasal 5 Calon anggota KIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter pemerintah; b. Berhak memilih; c. Berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun; d. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau yang sederajat; e. Berkomitmen kuat untuk keadilan dan demokrasi; f. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana minimal 6 bulan karena kejahatan kriminal dan/atau kejahatan korupsi dan/atau kejahatan kemanusiaan; g. Memiliki integritas yang kuat, jujur dan adil; h. Memiliki pengetahuan dan visi yang jelas tentang politik, partai, pemilu serta kemampuan kepemimpinan; i. Tidak menjadi Anggota Partai Politik dan Partai Politik Lokal;** j. Tidak menjadi anggota TNI/Polri aktif; k. Tidak menjabat sebagai Direksi/Komisaris BUMD maupun BUMN; l. Tidak sedang dicalonkan dalam pemilihan; m. Tidak menduduki jabatan politik;** n. Bertempat tinggal di Aceh untuk calon anggota KIP Aceh dan bertempat tinggal di Kabupaten/Kota untuk calon anggota KIP Kabupaten/Kota; o. Sanggup bekerja penuh waktu;** p. Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.** Dihapus.** Seleksi terhadap kelayakan calon anggota KIP berdasarkan syarat-syarat keanggotaan seperti tersebut dalam ayat (1) dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan yang transparan, jujur dan objektif dilakukan oleh Tim Independen bersifat ad hoc yang dibentuk oleh DPRA/DPRK.** Tatacara pembentukan, mekanisme kerja dan masa kerja Tim Independen sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.**
196
(1) (2) (3)
(1) (2) (3) (4) (5)
(6) (7)
(3)
(4)
(5)
Pasal 6 Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan anggota KIP Kabupaten/Kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat.** Keanggotaan KIP minimal 2 (dua) orang dari unsur perempuan. Masa kerja KIP selama 5 (lima) tahun sejak tanggal pelantikan.** Pasal 7 KIP dipimpin oleh satu orang Ketua merangkap anggota dan dibantu oleh dua orang Wakil Ketua merangkap anggota. KIP dibentuk oleh DPRD Provinsi berdasarkan calon-calon yang diajukan oleh Organisasi kemasyarakatan atau kelompok masyarakat atau perorangan. Organisasi kemasyarakatan atau kelompok masyarakat hanya dapat mengajukan satu orang calon anggota KIP pada setiap kesempatan. Calon perorangan mengajukan permohonan sendiri kepada DPRD Provinsi, Pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua dilakukan secara demokratis oleh para anggota KIP dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh anggota tertua dan termuda. KIP berkedudukan di ibukota Provinsi Tata cara pelaksanaan tugas KIP diatur dengan Keputusan KIP. Pasal 8 Dihapus.** Keanggotaan KIP berakhir karena :** a. meninggal dunia; b. menjadi terdakwa atau telah dijatuhi hukuman karena diduga melakukan kejahatan pidana yang ancaman hukumannya minimum 6 bulan; c. bertempat tinggal di luar Aceh; d. mengundurkan diri; e. berhalangan tetap; f. tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1); g. melanggar Kode Etik KIP. Ketentuan lebih lanjut mengenai Kode Etik KIP sebagaimana dimaksudkan pada huruf f2, ditetapkan oleh KIP yang dibuat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah KIP dibentuk. Apabila Ketua/Wakil Ketua atau anggota KIP Aceh/KIP Kabupaten/Kota meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, DPRA/DPRK segera memproses penggantiannya dengan anggota cadangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5.** Masa kerja anggota KIP pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir sesuai dengan masa kerja anggota yang digantikannya. Pasal 9 Tugas dan wewenang KIP sebagai berikut :** a. merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan; b. menetapkan tatacara pelaksanaan pemilihan; c. mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan; d. menetapkan tanggal dan tatacara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan; e. menerima, meneliti dan menetapkan pasangan calon sebagai peserta pemilihan;
2
Yang mengatur kode etik adalah huruf g dan bukan huruf f. 197
f.
(2) (3)
meneliti persyaratan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; g. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan; h. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampaye; i. melakukan audit dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; j. menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan; k. melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap pelaksanaan pemilihan; l. melakukan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan pemilihan, KIP Kabupaten/Kota adalah bagian penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KIP Aceh.** Pelaksanaan sebagian tugas dan kewenangan KIP Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada KIP Kabupaten/Kota, PPK, dan atau PPG secara berjenjang.** Pasal 9A** KIP berkewajiban : a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara; b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturan perundangundangan; c. menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP Aceh dan DPRK untuk KIP Kabupaten/Kota dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat; d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris KIP berdasarkan peraturan perundang-undangan; e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan f. melaksanakan semua tahap pemilihan secara tepat waktu.
(1) (2)
(3)
(4) (5) (6) (7)
Pasal 10 Sekretariat KPUD Provinsi melaksanakan tugas sekretariat KIP Provinsi yang dipimpin oleh seorang Sekretaris KIP*. Sekretaris KPUD Provinsi karena jabatannya ditetapkan sebagai Sekretaris KIP Provinsi yang diangkat oleh Gubernur dan dalam operasional sehari-hari bertanggungjawab kepada KIP Provinsi*, Sekretaris KIP Provinsi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan administrasi, pengelolaan logistik, dan pengelolaan keuangan serta pertanggungjawaban belanja pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku*. Sekretaris KIP dinyatakan setara dengan dengan eselon II A dalam birokrasi pemerintahan. Struktur organisasi Sekretariat KIP dan personalianya ditetapkan oleh Sekretaris KIP setelah mendapat persetujuan dari KIP*. Masa jabatan dalam organisasi Sekretariat mengikuti masa jabatan KIP. Tata cara pelaksanaan tugas Sekretariat KIP ditetapkan oleh Sekretaris KIP setelah mendapat persetujuan dari KIP*.
198
Bagian Ketiga Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota Pasal 11 Anggota KIP Kabupaten/Kota dibentuk oleh KIP Provinsi bersama DPRD Kabupaten/Kota sejumlah 5 (lima) orang yang diisi dari Ketua dan Anggota KPUD Kabupaten/Kota.* (2) Dihapus. * (3) Dihapus.* (4) Dihapus.* (5) Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota bertugas melaksanakan (6) pemilihan pada tingkat Kabupaten/Kota.* (7) Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada (8) KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.* (9) KIP kabupaten/kota dibentuk selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara.** (10) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dapat diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan.* (11) Tata kerja dan hubungan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota dengan KIP Provinsi diatur oleh KIP Provinsi.* (1)
Pasal 12 Dihapus.* Keanggotaan KIP Kabupaten/Kota berakhir karena :* a. meninggal dunia; b. menjadi tersangka atau terdakwa atau telah dijatuhi hukuman karena melakukan kejahatan pidana yang ancaman hukumannya minimum 6 (enam) bulan; c. mengundurkan diri; d. tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1); e. berhalangan tetap; f. berdomisili di luar Kabupaten /Kota yang bersangkutan; dan g. melanggar kode etik. Dihapus.** Dihapus.**
Pasal 13** (1) (2) (3)
Dalam menyelenggarakan pemilihan, KIP Kabupaten/Kota membentuk PPK, PPG dan KPPS. Pembentukan PPK, PPG dan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21 (dua puluh satu) hari sejak pemberitahuan DPRA/DPRK. KIP Kabupaten/Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur mempunyai tugas dan wewenang : a. merencanakan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di Kabupaten/Kota; b. melaksanakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di Kabupaten/Kota; c. menetapakan rekapitulasi hasil perhitungan suara dari seluruh PPK dalam wilayah kerjanya, membuat Berita Acara, dan Sertifikat hasil perhitungan suara; d. membentuk PPK, PPG dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
199
e. mengkoordinasi kegiatan panitia pelaksana pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dalam wilayah kerjanya; f. menerima pendaftaran dan mengumumkan Tim Kampaye Pasangan Calon di Kabupaten/Kota; dan g. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KIP Aceh.
(1)
(2)
(3)
(4) (5) (6)
(7)
Pasal 14 Sekretariat KPUD Kabupaten/Kota melaksanakan tugas Sekretariat Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota*. Sekretaris KPUD Kabupaten/Kota karena jabatannya ditetapkan oleh Bupati/ Walikota dan dalam operasional sehari-hari bertanggung jawab kepada KIP Kabupaten/ Kota*. Sekretaris KIP Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap pelaksanaan administrasi, pengelolaan logistik, dan pengelolaan keuangan serta pertanggungjawaban belanja pemilihan Bupati/ Walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku*. (dihapus)* (dihapus)* Masa jabatan personalia organisasi Sekretariat Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota mengikuti masa jabatan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota*. Tata cara pelaksanaan tugas Sekretariat Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota ditetapkan oleh Sekretariat Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota setelah mendapat persetujuan dari Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota*. Bagian ke empat Panitia Pemilihan Kecamatan
(1) (2)
(3)
Pasal 15 Panitia Pemilihan Kecamatan terdiri dari seorang Ketua, seorang wakil Ketua dan tiga orang anggota. Panitia Pemilihan Kecamatan dibentuk oleh Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota dari calon-calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), kecuaii huruf n, dan bertempat tinggal di Kecamatan yang bersangkutan*, Panitia Pemilihan Kecamatan dibentuk selambat-lambatnya satu bulan setelah Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota terbentuk*. Pasal 16
(1) (2)
(3) (4)
Masa kerja PPK berakhir 1 (satu) bulan setelah pemungutan suara dilaksanakan.** PPK bertugas : a. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh KIP Kabupaten/Kota; b. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan kewenangan PPG; c. melaporkan hasil pelaksanaan tugas-tugasnya kepada KIP Kabupaten/Kota; d. membentuk PPG; e. membentuk KPPS atas usul PPG. PPK bertanggungjawab kepada KIP Kabupaten/Kota. Tata cara pelaksanaan tugas dan kewenangan PPK ditetapkan oleh KIP Kabupaten/Kota
200
Bagian ke lima Panitia Pemilihan Gampong dan Petugas Pemungutan Suara
(1)
(2)
(3) (4)
(1)
(2)
(3) (4) (5) (6)
(2)
Pasal 17 Panitia Pemilihan Gampong dibentuk oleh Panitia Pemilihan Kecamatan berdasarkan usul dari Geuchik atau nama lain setelah melalui proses musyawarah Gampong, dengan memperhatikan syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), kecuali huruf n, dan bertempat tinggal di Gampong yang bersangkutan. Panitia Pemilihan Gampong dibentuk selambat-lambatnya satu bulan setelah Panitia Pemilihan Kecamatan terbentuk dan masa kerjanya sesuai dengan masa kerja Panitia Pemilihan Kecamatan. Panitia Pemilihan Gampong terdiri dari seorang Ketua dan dua orang anggota dan Ketua dipilih secara demokratis dalam rapat Panitia Pemilihan Gampong*. Panitia Pemilihan Gampong bertanggungjawab kepada Panitia Pemilihan Kecamatan.
Pasal 18 Panitia Pemilihan Gampong menetapkan calon anggota Petugas Pendaftaran dan Petugas Pemungutan Suara dan mengusulkan kepada Panitia Pemilih Pemilihan Kecamatan, sesuai dengan jumlah TPS yang berlokasi di gampongnya atau nama lain, dengan memperhatikan syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) kecuali huruf n*. Untuk setiap 250 pemilih atau setiap gampong dapat diangkat satu orang Petugas Pendaftaran Pemilih dan untuk satu TPS dapat diangkat lima orang Petugas Pemungutan Suara yang dipimpin oleh seorang Ketua. Petugas Pendaftaran Pemilih dibentuk segera setelah Panitia Pemilihan Gampong terbentuk dan berakhir setelah pendaftaran pemilih selesai. Petugas pemungutan suara dibentuk satu bulan sebelum pemungutan suara dan berakhir satu bulan setelah pemungutan suara. Petugas Pendaftaran Pemilih dan Petugas Pemungutan Suara bertanggung jawab kepada Panitia Pemilihan Gampong*. Tata kerja Petugas Pendaftaran Pemilihan dan Petugas Pemungutan Suara diatur oleh Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota*.
Pasal 19 Tugas Panitia Pemilihan Gampong adalah ; a. a. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan; b. b. memimpin dan mengkoordinasikan pendaftaran pemilih yang dilaksanakan oleh Petugas Pendaftaran Pemilih; c. c. memimpin dan mengkoordinasikan pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan oleh Petugas Pemungutan Suara di TPS; dan d. d. melaporkan hasil pelaksanaan tugas-tugasnya kepada Panitia Pemilihan Kecamatan. Tata cara pelaksanaan tugas Panitia Pemilihan Gampong ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota*.
201
BAB IV PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN**
(1) (2) (3)
(4) (5)
(6) (7) (8) (9)
(2) (3)
(1)
(1)
Pasal 20** Panitia Pengawas Aceh dan Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Dalam pelaksanaan tugasnya Panitia Pengawas Aceh dibantu oleh Panitia Pengawas Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawas Kecamatan. Keanggotaan Panitia Pengawas Aceh terdiri atas : a. Kepolisian; b. Kejaksaan Tinggi; c. Perguruan Tinggi; d. Pers; dan e. Tokoh Masyarakat yang Independen. Masa kerja Panitia Pengawas berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Panitia Pengawas terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua dan tiga orang anggota, yang dipilih dan ditetapkan dalam rapat pleno Panitia Pengawas yang dipimpin oleh anggota tertua dan termuda. Dalam pelaksanaan tugasnya, Panitia Pengawas dibantu oleh Sekretariat KIP. (Dihapus). Dalam pelaksanaan tugasnya Panitia Pengawas bertanggung jawab kepada Panitia Pengawas nasional. Tata kerja Panitia Pengawas diatur dengan Keputusan Panitia Pengawas Aceh. Pasal 21** Tugas dan wewenang Panitia Pengawas : a. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan; b. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas dan wewenang Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui : a. pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan; b. penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan; c. penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan d. pengaturan hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Pasal 22** Pada tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Panitia Pengawas Kabupaten/Kota oleh Panitia Pengawas tingkat nasional yang diusulkan oleh DPRK melalui Panitia Pengawas Aceh, yang pembentukan dan persyaratannya dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku untuk pembentukan KIP Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur : a. Kepolisian; b. Kejaksaan Negeri; c. Perguruan Tinggi; d. Pers; dan e. Tokoh masyarakat yang Independen.
202
(2)
(3)
(1)
(3)
Tugas Panitia Pengawas Kabupaten/Kota adalah : a. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Panitia Pengawas Aceh; b. melakukan koordinasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh PPK; c. menyelesaikan sengketa, perselisihan, pelanggaran dan atau protes/keberatan yang diajukan terhadap kegiatan pemilihan, sepanjang tidak menyangkut dengan tindak pidana, pada tingkat Kabupaten/Kota, yang keputusannya bersifat final; d. dalam penyelesaian sengketa, perselisihan, pelanggaran dan atau protes/keberatan sebagaimana dimaksud pada huruf c, para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan dan pembelaan. Dalam pelaksanaan tugasnya Panitia Pengawas Kabupaten/Kota dibantu oleh Sekretariat KIP Kabupaten/Kota.
Pasal 23 Pada tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pengawas Kecamatan oleh Panitia Pengawas Kabupaten/Kota, yang pembentukan dan persyaratannya mengikuti ketentuan yang berlaku untuk pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan sebagaimana diatur dalam Pasal 15.* Tugas Panitia Pengawas Kecamatan adalah : a. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Panitia Pengawas Kabupaten/Kota.* b. melaksanakan dan mengkoordinasikan pengawasan di tingkat Kecamatan*. c. menyelesaikan sengketa, perselisihan, pelanggaran dan atau protes/keberatan yang diajukan terhadap kegiatan pemilihan sepanjang tidak menyangkut dengan tindak pidana pada tingkat Kecamatan, dan keputusan tersebut bersifat final, d. dalam penyelesaian sengketa, perselisihan, pelanggaran dan atau protes/keberatan sebagaimana dimaksud pada huruf c, para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan dan pembelaan. Masa kerja Panitia Pengawas Kecamatan disesuaikan dengan masa kerja Panitia Pemilihan Kecamatan
Pasal 24 (Dihapus)*
(1)
(2)
Pasal 25 Dalam pelaksanaan tugasnya Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Panitia Pengawas Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Kecamatan bertanggung jawab kepada Panitia Pengawas Kabupaten/Kota*. Semua biaya yang diperlukan bagi kegiatan pengawasan dibebankan pada anggaran pemilihan yang dikelola oleh KIP Provinsi dan KIP Kabupaten/Kota*.
203
BAB V PEMANTAU PEMILIHAN
(1) (2)
(3) (4) (5)
Pasal 26** Pemantauan pelaksananaan pemilihan dapat dilakukan oleh pemantau lokal, pemantau nasional dan pemantau asing. Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus : a. bersifat independen; dan b. mempunyai sumber dana yang jelas. Pemantau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus terdaftar di KIP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lain tentang pemantauan diatur lebih lanjut oleh KIP Aceh.
BAB VI TAHAPAN PEMILIHAN
(2) (3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 27** Tahapan dan jadwal pemilihan ditetapkan oleh KIP. Proses pemilihan dilakukan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan. Tahap persiapan pemilihan meliputi : a. pembentukan dan pengesahan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota; b. pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur; c. pemberitahuan DPRK kepada KIP Kabupaten/Kota mengenai berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; d. perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan; e. pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara; dan f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan. Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pendaftaran dan penetapan daftar pemilih; b. pendaftaran dan penetapan pasangan calon; c. kampanye; d. pemungutan suara; e. penghitungan suara; f. penetapan pasangan calon terpilih, pengesahan dan pelantikan; Pendaftaran dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi: a. pemeriksaan administrasi pasangan bakal calon oleh KIP; b. pemaparan visi dan misi pasangan bakal calon dalam rapat paripurna istimewa DPRA/DPRK; c. penetapan pasangan calon oleh KIP. Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
204
(1)
(2)
(3)
Pasal 28 Proses pemilihan dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) bulan sebelum masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berakhir atau segera setelah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti, diberhentikan atau berhalangan tetap.** Penetapan dan pengumuman dimulainya kegiatan pemilihan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh KIP dan wajib diumumkan secara luas kepada masyarakat. Penetapan dan pengumuman jadwal dari tahapan-tahapan pemilihan secara rinci dilakukan oleh KIP.
BAB VII HAK PILIH DAN PENDAFTARAN PEMILIH Pasal 29 Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat yang diatur dalam qanun ini berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan.
(1)
(2)
(2) (3) (4)
(5) (6)
Pasal 30 Yang berhak memilih adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai berikut; a. telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun pada tanggal terakhir masa pendaftaran pemilih atau telah menikah secara sah; b. telah berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum masa pendaftaran pemilih dimulai; c. tidak sedang dicabut haknya sebagai pemilih berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; dan d. terdaftar sebagai pemilih. Hak untuk memilih menjadi gugur, apabila pemilih tidak lagi memenuhi syaratsyarat yang disebutkan pada ayat (1). Pasal 31 Pendaftaran Pemilih meliputi kegiatan : a. pendaftaran pemilih oleh petugas pendaftaran pemilih; b. penyusunan daftar pemilih dan pengalokasiannya untuk setiap TPS oleh Panitia Pemilihan Kecamatan; dan c. penetapan dan pengumuman jumlah pemilih tingkat Provinsi untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan tingkat Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota; Pendaftaran pemilih oleh petugas pendaftaran dimulai selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tanggal pemungutan suara.** Pengumuman jumlah dan daftar pemilih tetap dilakukan oleh KIP selambatlambatnya satu bulan sebelum tanggal pemungutan suara. Pemilih yang belum terdaftar dapat mendaftarkan diri pada Petugas Pendaftaran Pemilih selambat-lambatnya 15 hari sebelum daftar pemilih tetap diumumkan.** Setiap pemilih yang terdaftar diberikan bukti pendaftaran. Pendaftaran terhadap pemilih yang pada saat pendaftaran sedang berada di rumah sakit, rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan atau tempat-tempat darurat lainnya, diatur oleh KIP.
205
(2) (3)
Pasal 32 Daftar pemilih berlaku selama lima tahun. Perubahan dan atau penambahan daftar pemilih dilaksanakan setiap pelaksanaan pemilihan, Tata cara pendaftaran pemilih lebih lanjut ditetapkan oleh KIP
BAB VIII PENDAFTARAN DAN PENCALONAN
(1a.)
(1b.)
(1c.)
(1d.)
(1e.)
(1f.)
(1g.) (2) (3)
(4) (5) (6)
Pasal 33** Pasangan bakal calon diajukan oleh : a. partai politik atau gabungan partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau d. perseorangan. Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau perseorangan hanya dapat mengajukan 1 (satu) pasangan bakal calon. Bakal Calon yang telah diusulkan dalam 1 (satu) pasangan bakal calon oleh Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau bakal calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau perseorangan lainnya. Anggota partai politik dan partai politik lokal tidak dibenarkan untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon pasangan dari calon perseorangan, kecuali telah mengundurkan diri selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum pendaftaran calon. Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau perseorangan mendaftarkan pasangan bakal calon kepada KIP. Pendaftaran pasangan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1d) paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan bakal calon. Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal atau perseorangan dalam mendaftarkan pasangan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1d), wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditanda tangani oleh pimpinan Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal dan perseorangan yang bersangkutan di daerah pemilihan. Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1f) dilampiri dengan : Kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon. Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan bakal calon yang dicalonkan dan ditanda tangani oleh pimpinan Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal dan bakal calon perseorangan. Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai pasangan calon. Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon. Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatannya, apabila terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
206
(7)
(8)
(9) (10) (11) (12)
(13)
Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS, anggota TNI, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Surat pernyataan tidak aktif sementara dari jabatannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya. Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD dan DPRA/DPRK yang mencalonkan diri sebagai calon. Kelengkapan persyaratan calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2). Naskah visi dan misi dari pasangan calon secara tertulis. Keputusan Partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengatur mekanisme penjaringan pasangan calon yang dilengkapi berita acara proses penyaringan. Bakal calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. menjalankan Syari’at agamanya dan mampu membaca Al-qur’an bagi yang beragama Islam; c. taat, tunduk dan patuh pada hukum Islam dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter pemerintah; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi; h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak pernah berzina, tidak pernah berjudi, tidak pernah berkhalwat, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, bermoral tinggi, amanah, tidak pernah menyuap dan tidak menerima suap, tidak pernah melakukan KKN termasuk money politik; j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/Bupati/Walikota; dan m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; n. suami/istri tidak sedang dalam menduduki jabatan publik dan politik di daerah yang bersangkutan. Pasal 33A** Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
(1)
Pasal 34** Pendaftaran bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur dilakukan pada KIP Aceh, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilakukan pada KIP Kabupaten/Kota.
207
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) (7) (8)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Untuk dapat ditetapkan sebagai calon, selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, setiap partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan pasangan bakal calon harus memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas per seratus) dari jumlah kursi DPRA/DPRK atau 15% (lima belas per seratus) dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan Anggota DPRA/DPRK yang bersangkutan. Untuk dapat ditetapkan sebagai calon, selain memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), bakal calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dukungan untuk calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan identitas bukti diri yang sah berupa Kartu Tanda Penduduk atau Paspor Republik Indonesia atau Surat Izin Mengemudi, atau identitas kependudukan lain yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa pernyataan tertulis yang ditandatangani atau dibubuhi cap jempol dalam hal yang bersangkutan tidak dapat menandatangani. Setiap pemilih hanya boleh memberikan dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) kepada satu pasangan calon. Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu calon dinyatakan tidak sah dan dianggap tidak ada. Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota tidak dapat menjadi calon yang dipilih secara langsung dan tidak boleh mengundurkan diri dari Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota yang bertujuan untuk menjadi calon. Pasal 35** KIP menetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) pasangan calon setelah melakukan pemeriksaan administrasi dan persyaratan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2); Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan visi dan misi dalam rapat paripurna istimewa DPRA/DPRK yang diadakan khusus untuk itu dan dinyatakan terbuka untuk umum; Apabila pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpilih menjadi Gubernur/Wakil gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil walikota maka visi dan misi menjadi dokumen resmi daerah. Tata cara penyampaian visi dan misi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KIP
Pasal 36 Apabila bakal calon meninggal dunia atau berhalangan tetap, maka partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang bersangkutan dapat mengajukan penggantinya selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum penetapan dan peresmian sebagai pasangan calon oleh KIP dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34.** Apabila salah satu bakal calon dari calon perseorangan meninggal dunia atau berhalangan tetap, maka pasangannya dapat mengajukan calon pengganti dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan
208
Pasal 34, selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sebelum penetapan dan peresmian sebagai pasangan calon oleh KIP.** (2a.) (Dihapus)** (2b.) partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik, gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal dan calon perseorangan dilarang menarik calonnya atau dirinya dan atau pasangan calonnya dari pasangan calon setelah penetapan dan peresmian pasangan calon oleh KIP.** (3) Apabila pada saat menjelang pemungutan suara jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua), maka pemungutan suara ditunda dan proses pencalonan dimulai kembali dengan ketentuan, pasangan calon yang telah ditetapkan tetap berlaku. (4) Dalam hal terjadi apa yang disebut pada ayat (3), maka masa pemilihan diperpanjang paling lama 90 (sembilan puluh) hari, dan selama itu Pemerintah menetapkan Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati atau Penjabat Walikota. ** Pasal 37 Calon yang telah ditetapkan oleh DPRD berhak mendapat pengamanan dari aparat kepolisian. BAB IX PENYELENGGARAAN KAMPANYE Bagian Pertama Ketentuan umum kampanye
(1)
(2)
(3) (4) (5) (6)
(1)
(2) (3) (4)
Pasal 38 Setiap pasangan calon dapat melaksanakan kampanye dalam rangka meyakinkan/memberikan kepercayaan kepada pemilih dengan menawarkan visi dan misi pasangan calon.** Untuk Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur kampanye dilakukan di seluruh Aceh dan untuk Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Wilayah kampanye meliputi seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Kampanye dilaksanakan oleh pasangan calon dan atau juru kampanye yang diorganisasikan oleh Tim Kampanye pasangan calon. Penanggung jawab kampanye adalah tim kampanye calon sesuai tingkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Tim Kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon harus mendaftarkan timnya kepada KIP sesuai tingkatannya.** Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KIP sesuai dengan tingkatannya dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.** Pasal 39 Juru Kampanye selain pasangan calon harus terdaftar pada Tim Kampanye, pasangan calon dan selanjutnya didaftarkan pada KIP Aceh, KIP Kabupaten/Kota atau PPK sesuai tingkat daerah yang bersangkutan untuk kampanye.* Setiap juru kampanye hanya boleh berkampanye untuk satu calon dan dalam wilayah sesuai dengan tingkat kampanye di mana ia terdaftar. Yang dapat menjadi juru kampanye adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih. PNS, anggota TNI/POLRI aktif dilarang menjadi juru kampanye.**
209
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12) (13)
(14)
(1)
(2)
(3)
(4)
3
Dalam kampanye, pasangan calon atau Tim Kampanye dilarang melibatkan :** a. Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; b. Hakim pada semua peradilan; c. Pejabat BUMN/BUMD; d. Pejabat Struktural dan Fungsional; e. Imum Mukim atau nama lain; f. Kepala Desa (Keuchik) atau nama lain Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.** Pejabat sebagaimana disebutkan dalam ayat (5) dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.** Pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), yang menjadi calon dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dan harus menjalankan cuti.** Cuti pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (8), bagi Gubernur/Wakil Gubenur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.** Izin cuti yang telah diberikan sebagaiaman dimaksud pada ayat (8), wajib diberitahukan kepada KIP Aceh/KIP Kabupaten/Kota dan Panitia Pengawasan.** Pegawai Negeri Sipil yang menjadi calon Gubernur/Wakil Gubenrur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota mengikuti mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.** Pasangan calon dalam pemilihan, dilarang melaksanakan kampanye pada hari yang sama.** Pasangan calon dilarang melibatkan Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negera Republik Indonesia, sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan.** Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.** Pasal 39A** Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (4) dikenakan sanksi pelanggaran disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5), ayat (23)3 dan ayat (13) dikenakan sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye oleh KIP. Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (14), berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh oleh KIP. Tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KIP.
Pasal 39 hanya sampai ayat (14), jadi Pasal 39 ayat (23) tidak ada. 210
Bagian Kedua Waktu, tempat, tema dan tujuan kampanye
(1) (1a.) (2)
(2a.)
(2b.) (2c.)
(3) (4)
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 40 Kampanye dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.** Waktu 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah merupakan masa tenang. Kampanye dapat dilaksanakan setiap hari, sejak pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB, kecuali media elektronik. Khusus hari Jum'at, kampanye dapat dilaksanakan sejak pukul 14.30 sampai dengan pukul 18.00 WIB Hari pertama kampanye dilakukan dalam rapat paripurna DPRA/DPRK dengan acara penyampaian visi dan misi, dari pasangan calon secara berurutan dengan waktu yang sama tanpa dilakukan dialog.** Bentuk dan format visi dan misi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) memperhatikan tata cara penyusunan perencanaan.** Apabila pasangan calon terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, visi dan misi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) menjadi dokumen resmi daerah.** Kegiatan kampanye harus dihentikan pada saat azan dikumandangkan dan dapat dimulai kembali setelah shalat berjama’ah selesai. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3), KIP dapat menghentikan kegiatan kampanye.** Pasal 41 Kampanye dilaksanakan di tempat-tempat yang dapat dihadiri oleh masyarakat secara bebas. Kampanye tidak boleh diadakan di tempat-tempat ibadah, pendidikan, kantor pemerintah, dan tempat-tempat yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap ketertiban umum dan kelancaran lalu lintas. Apabila kampanye dilaksanakan pada waktu bersamaan, tempat kampanye antara satu calon dengan calon lainnya harus berjarak minimal 2 (dua) kilometer.** Pengaturan waktu dan tempat kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KIP Provinsi, KIP Kabupaten/Kota atau Panitia Pemilihan Kecamatan sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye.* Pasal 42 Tema kampanye ditetapkan oleh calon atau tim kampanye dengan mengindahkan segala ketentuan yang berlaku untuk kampanye.
Pasal 43 Tujuan kampanye adalah menyampaikan visi, misi, dan program pasangan calon guna mempengaruhi pemilih untuk memberikan suaranya kepada pasangan calon pada saat pemungutan suara*.
211
Bagian Ketiga Bentuk dan Media Kampanye Pasal 44
(2)
Kampanye dapat dilaksanakan dalam bentuk-bentuk : a. pidato/ceramah/diskusi; b. siaran radio/TV; c. wawancara dan temu warga/masyarakat; d. debat kandidat e. iklan dan artikel; f. pamflet, baliho dan selebaran; dan g. bentuk-bentuk lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam qanun ini. Kampanye dapat dilakukan melalui: a. pertemuan umum atau rapat umum; b. media cetak dan elektronik; c. internet; dan d. media lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam qanun ini.
Bagian Keempat Tatacara kampanye
(1)
(2)
(1)
(2) (3) (4)
Pasal 45 Pelaksanaan kegiatan kampanye harus diberitahukan oleh Tim Kampanye pasangan calon kepada Komisi Independen Pemilihan Provinsi, KIP Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemilihan Gampong, sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye, selambatlambatnya tiga kali 24 jam sebelum kegiatan kampanye dimulai*. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis, meliputi: a. bentuk dan media kampanye; b. nama calon dan juru kampanye; c. tempat dan waktu; d. tingkatan kampanye; e. sarana yang dipakai; f. tema kampanye; dan g. perkiraan jumlah peserta/ sasaran.
Pasal 46 KIP Provinsi, KIP Kabupaten/Kota dan Panitia Pemilihan Kecamatan memberitahukan kegiatan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 kepada Pemerintah dan aparat kepolisian, sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye*. Pengamanan kampanye dilakukan oleh Tim Kampanye di bawah koordinasi aparat kepolisian setempat, Aparat kepolisian dapat menghentikan kegiatan kampanye apabila kampanye dilakukan tanpa mengikuti ketentuan pasal 45. Pelaksanaan tata cara kampanye lebih lanjut diatur oleh KIP.
212
Bagian Kelima Larangan-larangan dalam kampanye
(1)
(2)
Pasal 47 Dalam kampanye dilarang: h. mempersoalkan ideologi dan Undang Undang Dasar negara; i. menyalahgunakan penafsiran ketentuan agama untuk kepentingan calon; j. melakukan penghinaan terhadap calon lain, orang lain, instansi pemerintah dan swasta, partai politik, organisasi massa, agama, suku, ras dan kelompok masyarakat lain; k. menghasut dan mengadu domba; l. mengganggu ketertiban dan ketentraman umum serta kelancaran lalu lintas; m. menggunakan sarana milik pemerintah atau yang dikuasai oleh pemerintah; n. menggerakkan massa dari luar wilayah administratif sesuai dengan tingkatan kampanye; dan o. melakukan perbuatan-perbuatan yang tergolong tindak pidana. p. Anggota partai politik dilarang berkampanye dan atribut partai politik tidak boleh digunakan oleh pasangan calon independen* Pelanggaran terhadap ketentutan ayat (1) berakibat: a. kampanye dihentikan dan dibubarkan oleh aparat kepolisian atas permintaan Komisi Pengawas Provinsi, Komisi Pengawas Kabupaten/Kota atau Panitia Pengawas Kecamatan, sesuai dengan tingkatan daerah yang bersangkutan untuk kampanye*; b. aparat kepolisian dan penegak hukum dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperiukan dalam rangka penegakan hukum.
Bagian keenam Dana kampanye
(1)
(2)
(3)
Pasal 48 Dana kampanye terdiri dari: c. biaya transportasi, akomodasi, dan biaya-biaya lain yang berkaitan dengan perjalanan kampanye. d. atribut-atribut kampanye, seperti bendera, kaos, pamflet, billboard, topi, pin, badge, spanduk, stiker, brosur, balon udara dan lain-Iain; e. peralatan kantor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. f. biaya mobilisasi dalam proses pelaksanaan kampanye. g. biaya komunikasi dan pengangkutan barang cetakan untuk keperluan kampanye; h. biaya pertemuan-pertemuan politik dan pawai, serta penggunaan perlengkapan kampanye termasuk tata suara, panggung dan dekorasinya, serta penggunaan lampu di lokasi kampanye; i. biaya iklan kampanye di media cetak maupun elektronik; j. biaya perbantuan staf ahli atau konsultan yang diberikan oleh suatu pihak kepada calon peserta Pemiiihan, baik yang diberikan langsung maupun yang dibayarkan oleh pihak ketiga; k. potongan harga dan tarif yang diberikan oleh suatu pihak kepada calon. Segala bentuk hutang dan pinjaman dari pihak manapun untuk keperluan kampanye, baik dalam bentuk uang, barang, dan jasa, dicatat sebagai sumbangan. Segala pengeluaran dan/atau sumbangan dalam bentuk natura harus dikonversikan ke dalam Rupiah.
213
Pasal 49 (1)
(2)
(3)
(4)
(5) (6) (7)
(8)
(9)
(10) (11)
(12) (13)
(1) (2)
Dana kampanye diperoleh dari: l. peserta Pemilihan yang bersangkutan, yang berasal dari rekening khusus untuk kampanye. m. badan-badan usaha swasta dalam negeri dan perorangan Warga Negara Indonesia, Dalam rangka pengumpulan dana kampanye, pasangan calon dapat melakukan pengumpulan dana melalui penjualan segala macam bentuk materi dan atribut kampanye kepada masyarakat umum tanpa paksaan*. Semua pengeluaran bagi kampanye untuk calon dari partai politik, gabungan partai politik, dan independen hanya dapat ditarik dari rekening khusus untuk kampanye*. Rekening khusus untuk kampanye partai politik, gabungan partai politik, dan calon independen terpisah dari rekening dana partai politik, gabungan partai politikm dan independen reguler* Rekening khusus untuk kampanye dari pasangan calon dibuka pada saat pencalonan peserta dimulai* Batas sumbangan individu untuk dana kampanye paket calon Gubernur dan Wakil Gubernur maksimal sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah). Batas sumbangan perusahaan termasuk anak-anak perusahaannya atau badan hukum lain untuk dana kampanye paket calon Gubernur dan Wakil Gubernur maksimal sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Batas sumbangan individu untuk dana kampanye paket calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota, maksimal sebesar Rp. 25.000.000,(dua puluh lima juta rupiah) Batas sumbangan perusahaan atau badan hukum lain untuk dana kampanye paket calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota maksimal sebesar Rp. 50,000.000,- (lima puluh juta rupiah) (dihapus)* Setiap calon peserta Pemilihan dilarang menerima bantuan dana kampanye dari: n. pejabat Negara, baik sipil maupun militer; o. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau pihak-pihak manapun yang memiliki sangkut-paut dan/atau kepentingan dengan kedua badan usaha tersebut; p. organisasi Non-Pemerintah (Ornop); q. badan-badan hukum asing dan perorangan Warga Negara Asing; r. pemerintah atau agen pemerintah asing; s. perusahaan atau badan hukum lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Rekening khusus untuk kampanye dilarang atas nama pribadi. Penggunaan dana untuk berbagai kegiatan dan kebutuhan kampanye, dilakukan secara transparan.
Pasal 50 Yang bertanggung jawab terhadap dana kampanye adalah pasangan calon atau orang yang ditunjuk khusus untuk keperluan Pemilihan* Pasangan calon atau orang yang ditunjuk khusus seperti dimaksudkan ayat (1) diwajibkan menyampaikan laporan dana kampanye kepada KIP, yang dinyatakan dengan seluruh tanda bukti yang sah dari sumbangan dan pengeluaran yang dipakai sehubungan dengan pelaksanaan kampanye*
214
(3)
Setiap pasangan calon Pemilihan dapat menerima bantuan dana kampanye dari individu, perusahaan-perusahaan, dan badan hukum swasta lainnya dengan kewajiban mencatat nama penyumbang, alamat penyumbang, nilai nominal sumbangan, tanggal pemberian sumbangan, dan pekerjaan penyumbang* (4) Setiap pasangan calon wajib mencatat pengeluaran dana kampanye dengan mencantumkan tanggal pengeluaran, nilai nominal pengeluaran, dan untuk keperluan apa pengeluaran dana kampanye tersebut* (5) Semua laporan dana kampanye beserta bukti-bukti pendukung wajib dijaga dan dipelihara oleh KIP sampai berakhir masa jabatannya dan kemudian disampaikan kepada DPRD* (6) Standar audit keuangan pasangan calon pemilihan adalah standar audit keuangan yang berlaku bagi organisasi nirlaba* (7) Dana kampanye Pemilihan diaudit oleh Akuntan Publik, dan hasilnya dilaporkan oleh pasangan calon Pemilihan kepada KIP 10 (sepuluh) hari sebelum kampanye Pemilihan dimulai dan 10 (sepuluh) hari sesudah hari pemungutan suara* (8) Pengumpulan dan penggunanaan dana kampanye yang melanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan 49, dapat berakibat pembatalan terhadap hasii perhitungan suara calon yang bersangkutan*. (9) Sebelum pembatalan dilakukan, pihak yang disangka melanggar diberi kesempatan untuk membela diri dalam rapat komisi pengawas*. (10) Ketentuan lebih lanjut tentang pengumpulan, penggunanaan dana kampanye, dan pembatalan hasil perhitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Komisi Pemilihan.
BAB X PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA Bagian Pertama Pemungutan Suara
(1) (2)
(3)
(1) (2) (3)
Pasal 51 Panitia Pemilihan Kecamatan menetapkan jumlah dan lokasi TPS. Jumlah dan lokasi TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:* a. Jumlah pemilih setiap TPS paling banyak 600 (enam ratus) orang; b. TPS sebagaimana dimaksud pada huruf a ditentukan lokasinya pada daerah yang mudah dijangkau termasuk oleh penyandang cacat, ibu hamil dan manula serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia;** c. Jumlah lokasi, bentuk dan tata cara letak TPS ditentukan oleh KIP Kabupaten/Kota. (Dihapus)** Pasal 52 TPS ditetapkan di lokasi strategis, aman dan mudah dijangkau oleh pemilih. TPS tidak boleh diadakan di kantor-kantor pemerintah baik sipil maupun militer. Tata cara pengadaan TPS diatur lebih lanjut oleh KIP.
215
(1) (2) (3) (4)
(5)
Pasal 53 Di setiap TPS disediakan satu atau lebih bilik pemberian suara sesuai dengan kebutuhan. Di dalam bilik pemberian suara disediakan alat dan tempat pencoblosan yang telah diatur oleh KIP. Kotak suara ditempatkan di tempat yang aman di lokasi TPS, Kotak suara harus benar-benar kosong, dikunci, dan diperlihatkan kepada pemilih, pengawas, dan saksi-saksi pada saat pemungutan suara akan dimulai. Kotak suara disediakan oleh KIP dan telah berada pada PPS selambatlambatnya tiga hari sebelum pemungutan suara.
Pasal 54 Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan oleh KIP, dari pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB*. (1a) Pemungutan suara pemilihan pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota berakhir* (2) Hari pemungutan suara dinyatakan sebagai hari libur daerah. (3) Apabila karena suatu kondisi yang tidak memungkinkan, atas kesepakatan PPS, saksi dan pengawas, TPS dapat dipindahkan ke lokasi lain. (4) Apabila pada hari yang telah ditentukan, pemungutan suara sama sekali tidak mungkin dilaksanakan, atas kesepakatan PPS, pengawas dan saksi, pemungutan suara ditunda dan hari pemilihan pengganti ditetapkan oleh KIP. (5) Penundaan dimaksud pada ayat (4) tidak boleh lebih dari 14 hari, (6) Pemindahan lokasi atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diumumkan kepada pemilih.
(1)
(1) (2) (3)
(4)
(1)
(2)
(1)
Pasal 55 Setiap pasangan calon dapat mengirimkan seorang saksi ke TPS dengan membawa surat tugas dari pasangan calon tersebut*. Saksi yang membawa surat tugas tersebut melaporkan kehadirannya kepada Ketua PPS sebelum pemungutan suara dimulai. Saksi yang datang setelah pemungutan suara dimulai (terlambat) dapat melaksanakan tugasnya, tetapi tidak boleh memasuki arena TPS, kecuali atas seizin Ketua PPS .Saksi yang berasal dari pemilih di luar yurisdiksi TPS, dapat memberikan suaranya di TPS tersebut dengan memperlihatkan surat tugas dan surat panggiian untuk memilih serta bukti pendaftaran. Pasal 56 Kertas suara yang memuat nama, foto, dan nomor calon disediakan oleh KIP dan telah berada pada KPPS selambat-lambatnya tiga hari menjelang pemungutan suara. Jumlah kertas suara untuk setiap TPS sesuai dengan jumlah pemilih tetap di TPS tersebut ditambah paling banyak dua setengah persen untuk cadangan.**
Pasal 57 Tujuh hari sebelum pemungutan suara, PPS menyampaikan surat panggilan untuk memilih yang disiapkan oleh PPK kepada setiap pemilih terdaftar dalam kawasan TPS yang bersangkutan.
216
(2)
(3)
(4)
(1) (2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(1) (2) (3) (4)
(5)
(6)
(1)
Pada hari pemungutan suara yang telah ditentukan, pemilih datang ke TPS dengan membawa surat panggilan untuk memilih dan bukti pendaftaran serta menyerahkannya kepada petugas PPS pada saat menandatangani daftar hadir. Pemilih terdaftar yang tidak menerima surat panggilan untuk memilih, dapat membawa bukti pendaftaran dan menunjukkannya kepada petugas PPS yang kemudian akan memberikan surat panggilan (untuk memilih) kepada pemilih yang bersangkutan, Pemilih yang telah menandatangani daftar hadir menunggu di tempat yang tersedia. Pasal 58 Ketua KPPS membuka kegiatan pemungutan suara dengan membacakan sambutan Ketua KIP.** Ketua KPPS membuka kotak kertas suara dan memperlihatkannya, untuk meyakinkan bahwa kotak tersebut benar-benar kosong, kemudian dikunci kembali, disaksikan oleh pemilih dan saksi-saksi.** Sebelum pemungutan suara dimulai, dengan disaksikan oleh pemilih dan saksi, Ketua KPPS menghitung kertas suara dan menanda tangani kertas suara sejumlah pemilih terdaftar di TPS tersebut dengan ballpoint, sisanya disimpan ditempat yang telah ditentukan.**
Pasal 59 Pemilih yang telah menandatangani daftar hadir dipanggil secara berurutan oleh petugas PPS dan kepadanya diserahkan kertas suara yang telah ditandatangani dengan ballpoint oleh ketua PPS. Kertas suara yang rusak diganti dengan yang baru, apabila karenanya jumlah kertas suara yang telah ditandatangani oleh Ketua PPS tidak cukup, maka dipakai kertas suara cadangan setelah ditandatangani oleh ketua PPS. Kertas suara yang rusak dicatat dan disimpan bersama dengan kertas suara cadangan. Pasal 60 Pemilih dengan membawa kertas suara memasuki bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemberian suara dilakukan dengan mencoblos salah satu kota segi empat yang memuat foto satu pasangan calon*. Kertas suara yang telah dicoblos dilipat kembali dan dimasukkan dalam kotak suara yang telah disediakan. Pemilih yang telah memberikan suaranya diberi tanda dengan mencelupkan ujung jarinya dalam tinta yang telah disediakan, dan kemudian ke luar dari TPS, Pemberian suara oleh orang cacat, sakit atau karena suatu sebab tidak dapat memberikan suaranya secara normal, diatur oleh PPS dengan tetap memperhatikan jaminan kerahasiaan suaranya. Pemberian suara oleh pemilih yang tidak dapat hadir di TPS karena alasan yang sah diatur oleh KIP.
Pasal 61 Petugas pengamanan yang ditunjuk menjaga keamanan dan kenyamanan pemilih dalam memberikan suaranya harus berada di luar batas TPS, kecuali diminta oleh ketua PPS,
217
(2) (3)
Yang boleh berada dalam arena TPS adalah PPS, pengawas, saksi, dan pemilih yang telah dipanggil untuk memberikan suaranya, Ketua PPS memberi petunjuk kepada petugas pengamanan untuk menertibkan setiap orang yang mengganggu atau berpotensi mengganggu jalannya pemungutan suara.
Bagian Kedua Penghitungan Suara
(1) (2)
(3) (4) (5)
(6)
(1) (2) (3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 62 Setelah waktu pemungutan suara berakhir, Ketua PPS mengumumkan bahwa pemungutan suara selesai dan penghitungan suara segera dilaksanakan. PPS mengisi berita acara yang menyatakan bahwa pelaksanaan pemungutan suara telah berlangsung dengan baik dan benar yang ditandatangani oleh ketua PPS, pengawas, dan saksi-saksi. Ketua PPS membuka kotak kertas suara dengan disaksikan oleh pengawas, saksi-saksi, dan anggota PPS lainnya. Ketua PPS menghitung jumlah kertas suara yang dikeluarkan dari kotak suara. Apabila terdapat selisih antara jumlah kertas suara dimaksud pada ayat (4) dengan jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan daftar hadir, penghitungan suara harus diulang. Apabila hasilnya masih juga berbeda, maka hal tersebut dicatat datam berita acara penghitungan suara, Pasal 63 Penghitungan suara dilakukan oleh ketua PPS dengan membuka setiap kertas suara yang terlipat dan memperlihatkannya kepada para saksi. Pilihan pemilih berupa coblosan pada kertas suara dicatat pada formulir yang telah disediakan dan papan penghitungan suara. Suara dinyatakan sah apabila dicoblos tembus di dalam salah satu lingkaran pada kertas suara.
Pasal 64 Hasil perhitungan suara yang tercatat pada formulir dan papan penghitungan suara dicatat dalam berita acara penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua PPS, pengawas, dan saksi-saksi. Saksi yang keberatan terhadap penghitungan suara dapat mengajukan keberatan kepada ketua PPS dengan mengemukakan alasannya secara tertulis. Ketua PPS bersama pengawas dan saksi lain, membahas keberatan tersebut pada ayat (2) dan apabila keberatan itu dapat diterima segera diadakan perbaikan seperlunya dan apabila tidak dapat diterima, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara, dan segera disampaikan kepada Panitia Pengawas*. Panitia Pengawas segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan terhadap keberatan/protes yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan keputusan tersebut bersifat final*. Salinan berita acara yang dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pengawas dan saksi-saksi.
218
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 65 Kertas suara yang telah dihitung, berita acara pelaksanaan, berita acara penghitungan suara, dan dokumen lainnya dimasukkan dalam kotak suara yang kemudian dikunci dan disegel oleh PPS dengan disaksikan dan ditandatangani oleh pengawas dan saksi-saksi di atas segel tersebut. Kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirim ke Panitia Pemililihan Kecamatan (PPK) selambat-lambatnya satu hari setelah pemungutan suara dan PPK yang menerima kotak tersebut membuat berita acara penerimaan. Pasal 66 Selambat-lambatnya tiga hari setelah pemungutan suara PPK melakukan rekapitulasi penghitungan suara tingkat kecamatan berdasarkan berita acara penghitungan suara yang berasal dari TPS-TPS dalam wilayah kecamatan tersebut dalam suatu rapat PPK yang dihadiri oleh pengawas dan saksi-saksi tingkat kecamatan.** Hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara penghitungan suara tingkat Kecamatan yang ditandatangani oleh PPK, Panitia Pengawas Kecamatan, dan saksi-saksi. Saksi yang keberatan terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan keberatan melalui pengawas yang selanjutnya segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan terhadap keberatan saksi tersebut.** Apabila keberatan saksi diterima, maka penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diulang dan apabila keberatan saksi tersebut tidak diterima, maka hal tersebut dimuat dalam berita acara dan hasil penghitungan suara dinyatakan sah.** Berita Acara penghitungan suara dimaksud pada ayat (1) beserta kotak suara dan kertas suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dikirimkan ke KIP Kabupaten/Kota selambat-lambatnya dua hari setelah penghitungan suara tingkat Kecamatan tersebut. Salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diberikan kepada pengawas dan saksi-saksi.
Bagian Ketiga** Hak Mengajukan Keberatan dan Penyelesaian Sengketa atas Hasil Pemilihan
(1) (2)
(3) (4)
(5)
Pasal 66A** Peserta Pemilihan berhak mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan oleh KIP. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Mahkamah Agung memutuskan sengketa hasil peritungan suara sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemohonan keberatan. Mahkamah Agung menyampaikan putusan sengketa hasil perhitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada : a. KIP; b. Pasangan calon; c. DPRA/DPRK;
219
(6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
d. Gubernur/Bupati/Walikota; dan e. Partai Politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan calon; Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat. Pasal 67 Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota melakukan penghitungan suara tingkat kabupaten/kota dalam suatu rapat Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh pengawas dan saksi-saksi tingkat kabupaten/kota selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemungutan suara*. Hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam berita acara penghitungan suara tingkat kabupaten/kota yang ditandatangani oleh panitia pemilihan, pengawas, dan saksi-saksi tingkat kabupaten/kota. Saksi yang keberatan terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan kepada panitia pengawas yang selanjutnya segera mengadakan rapat dan mengambil keputusan yang bersifat final terhadap keberatan tersebut. Apabila keberatan dimaksud pada ayat (3) diterima, maka penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diulang dan apabila keberatan tersebut tidak dapat diterima, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hasil penghitungan suara dinyatakan sah, Berita acara penghitungan suara tingkat kabupaten/kota dikirim kepada KIP selambat-lambatnya 14 hari setelah pemungutan suara, sedangkan kotak suara, kertas suara, serta dokumen-dokumen pemilihan lainnya disimpan di Panitia Pemilihan Kabupaten/Kota. Pasal 68 Untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota, selambatlambatnya 14 hari setelah pemungutan suara, Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/ Kota mengirimkan hasil penghitungan suara berdasarkan berita acara tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (2) kepada DPRD Kabupaten/Kota*. Berdasarkan berita acara hasil penghitungan suara kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) KIP melaksanakan penghitungan suara tingkat provinsi untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur selambat-lambatnya 21 hari setelah pemungutan suara. Hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara penghitungan suara tingkat provinsi yang ditandatangani oleh KIP, pengawas, dan saksi-saksi tingkat provinsi. Satu lembar berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pengawas dan saksi-saksi. Saksi dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pengawas terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mengemukakan alasannya dan pengawas segera mengadakan rapat untuk membahas keberatan tersebut serta memberi keputusan yang bersifat final. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, maka penghitungan suara sebagaimana dimaksud harus diulang tetapi apabila keberatan tersebut tidak dapat diterima, maka hal tersebut dicatat dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan hasil penghitungan suara dinyatakan sah.
220
(7)
Berita acara hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh KIP kepada Pimpinan DPRD Provinsi selambat-lambatnya 25 hari setelah tanggal pemungutan suara.
BAB XI PENETAPAN DAN PENGESAHAN HASIL PEMILIHAN Pasal 69 (1)
(1a) (1b)
(1c) (1d)
(1e)
(1f)
(1g)
(1h)
(2)
(1) (2) (3)
(4)
(5)
Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara yang sah, dinyatakan sebagai pasangan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih.** (Dihapus).** Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih.** Dihapus).** Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tidak terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon suara terbanyak pertama dan kedua. Pelaksanaan putaran kedua sebagaimana dimaksud pada angka (1d) dilakukan selambat-lambatnya 60 hari sejak ditetapkannya hasil perhitungan suara putaran pertama.** Dalam hal pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1d) terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan calon terpilih ditetapkan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas/tersebar di kabupaten/kota.** Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1e) diperoleh suara yang sama oleh beberapa pasangan calon, maka selanjutnya dilakukan pemilihan untuk putaran kedua. Apabila pasangan calon tidak memperoleh hasil jumlah suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1f), maka selanjutnya pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dilakukan pemilihan putaran kedua. Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1g) ditetapkan sebagai Gubernur/Wakil Gubernur terpilih. Pasal 70 Rekapitulasi hasil Perhitungan suara untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur ditetapkan oleh KIP Aceh melalui rapat pleno.** KIP Aceh menyerahkan Rekapitulasi hasil perhitungan suara kepada DPRA melalui suatu Berita Acara Serah Terima. DPRA menyampaikan hasil pemilihan beserta kelengkapan administrasinya, sekaligus mengusulkan pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah hasil pemilihan beserta kelengkapan administrasinya diterima dari KIP Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2).** (Dihapus).*
221
(1)
(1a) (1b)
(1c) (1d)
(1e)
(1f)
(1g)
(1h)
(2)
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(1)
Pasal 71 Pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara yang sah, dinyatakan sebagai pasangan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih. (Dihapus).** Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih.** (Dihapus).** Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tidak terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon suara terbanyak pertama dan kedua. Pelaksanaan putaran kedua sebagaimana dimaksud pada angka (1d) dilakukan selambat-lambatnya 60 hari sejak ditetapkannya hasil perhitungan suara putaran pertama.** Dalam hal pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1d) terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan calon terpilih ditetapkan berdasarkan wilayah pemilihan suara yang lebih luas.** Dalam hal jumlah hasil suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1e) diperoleh suara yang sama oleh beberapa pasangan calon, maka selanjutnya dilakukan pemilihan untuk putaran kedua. Apabila pasangan calon tidak memperoleh hasil jumlah suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1f), maka selanjutnya pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dilakukan pemilihan putaran kedua. Pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1g) ditetapkan sebagai Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih. Pasal 72 Rekapitulasi hasil Perhitungan suara untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota ditetapkan oleh KIP Kabupaten/Kota melalui rapat pleno.** KIP Kabupaten/Kota menyerahkan Rekapitulasi hasil perhitungan suara kepada DPRK melalui suatu Berita Acara Serah Terima. ** DPRK menyampaikan hasil pemilihan beserta kelengkapan administrasinya, sekaligus mengusulkan pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.** Penyampaian hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) hari setelah hasil pemilihan beserta kelengkapan administrasinya diterima dari KIP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)** (Dihapus).* Pasal 72A* Dalam hal calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota terpilih meninggal dunia atau berhalangan tetap, calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota terpilih dilantik menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota
222
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
Calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi calon Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi calon Bupati/ Walikota untuk disahkan menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota kepada DPRD, berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik atau pasangan independen yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan, untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD Pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD, yang mekanisme pelaksanaannya sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD, selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dinyatakan berhalangan tetap Hasil pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan keputusan DPRD dan selanjutnya diusulkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi calon Wakil Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi calon Wakil Bupati/ Wakil Walikota untuk disahkan dan selanjutnya dilantik menjadi Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota.
Pasal 72B* Dalam hal calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota terpilih meninggal dunia atau berhalangan tetap, calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota terpilih dilantik menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota Calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi calon Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi calon Bupati/ Walikota untuk disahkan menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota kepada DPRD, berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik atau pasangan independen yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan, untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD Pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD, yang mekanisme pelaksanaannya sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD, selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dinyatakan berhalangan tetap Hasil pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan keputusan DPRD dan selanjutnya diusulkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi calon Wakil Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi calon Wakil Bupati/ Wakil Walikota untuk disahkan dan selanjutnya dilantik menjadi Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota. Pasal 72C* Dalam hal pasangan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota terpilih meninggal dunia atau berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik atau pasangan independen yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua, mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil
223
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(1) (2)
(1) (2) (3)
Walikota, selambatlambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dinyatakan berhalangan tetap. Pemilihan pasangan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurangkurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DRPD, yang mekanisme pelaksanaannya sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD Hasil pemilihan pasangan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan keputusan DPRD dan selanjutnya diusulkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi calon Gubernur/ Wakil Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi calon Bupati/ Wakil Bupati atau pasangan calon Walikota/ Wakil Walikota, untuk disahkan dan selanjutnya dilantik menjadi Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota.
Pasal 72D* DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengusulkan pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih, selambat lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KIP Provinsi dan dilengkapi berkas pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. DPRD Kabupaten/ Kota mengusulkan pasangan calon Bupati/ Wakil Bupati atau pasangan calon Walikota/ Wakil Walikota terpilih, selambat lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KIP Kabupaten/ Kota dan dilengkapi berkas pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Berdasarkan usul pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2), Presiden mengesahkan pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih, dan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati/ Wakil Bupati atau pasangan Walikota/ Wakil Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pasal 72E* Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati/ Wakil Bupati atau pasangan calon Walikota/ Wakil Walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
Pasal 72F* Gubernur/ Wakil Gubernur sebelum memangku jabatannya dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Preisden Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota sebelum memangku jabatannya, dilantik oleh Gubernue atas nama Presiden Pelantikan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan di gedung DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang bersifat istimewa atau di tempat lain yang dipandang layak untuk itu.
224
(4)
Pada acara pelantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota, dilaksanakan serah terima jabatan di hadapan pejabat yang melantik, kecuali dengan pertimbangan keadaan atau situasi yang tidak memungkinkan, serah terima jabatan dapat dilaksanakan pada waktu dan tempat yang ditentukan kemudian selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal pelantikan
BAB XII PELANTIKAN CALON TERPILIH
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1) (2)
Pasal 73 Presiden Republik Indonesia secara administratif mengeluarkan surat keputusan tentang pengangkatan calon Gubemur/Wakil Gubernur terpilih menjadi Gubernur/ Wakil Gubernur. Pengangkatan dalam jabatan, pengangkatan sumpah, dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan dalam acara yang sama akan tetapi tidak bersamasama. Pengangkatan sumpah dan pelantikan Gubemur/ Wakil Gubernur terpilih dilaksanakan pada tanggal berakhirnya masa jabatan pejabat sebelumnya atau pada tanggal yang ditetapkan bersama oleh KIP dan DPRD Provinsi. Gubemur/Wakil Gubernur terpilih bersumpah sesuai peraturan perundangan yang berlaku di depan Ketua Mahkamah Syar'iyah dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dalam rapat paripuma istimewa DPRD Provinsi. Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (4) diatur oleh DPRD Provinsi.
Pasal 74 Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia secara administratif mengeluarkan surat keputusan tentang pengangkatan calon terpilih menjadi Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota. Pengangkatan dalam jabatan, pengangkatan sumpah, dan pelantikan Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota dilakukan dalam acara yang sama akan tetapi tidak bersama-sama. Pengangkatan sumpah dan pelantikan Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota dilaksanakan pada tanggal berakhirnya masa jabatan pejabat lama atau pada waktu yang ditetapkan bersama oleh KIP Kabupaten/ Kota dan DPRD Kabupaten/Kota*. Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih bersumpah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di depan Ketua Mahkamah Syar'iyah dan dilantik oleh Gubemur atas nama Menteri Dalam Negeri dalam rapat paripurna istimewa DPRD Kabupaten/Kota. Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (4) diatur oleh DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 75** Anggaran biaya pemilihan adalah seluruh biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Pemilihan yang dikelola oleh KIP. Anggaran biaya pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA, sedangkan anggaran biaya untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dibebankan pada APBK dan APBA.
225
(3)
(4)
(5)
(6) (7)
(1)
(2)
Pendanaan kegiatan pemilihan yang dilaksanakan pertama kali sejak UndangUndang Pemerintahan Aceh diundangkan dibebankan pada APBN, APBA, dan APBK. Anggaran biaya pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh KIP Aceh kepada Gubernur untuk dianggarkan dalam RAPBA dan anggaran pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota diajukan oleh KIP Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota untuk dianggarkan dalam RAPBK. Sekretariat KIP Aceh dan Sekretariat KIP Kabuapten/Kota mengelola anggaran biaya pemilihan sesuai dengan program dan petunjuk KIP Aceh atau KIP Kabupaten/Kota. Penetapan besarnya belanja, jasa dan biaya operasional penyelenggara pemilihan, diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan anggaran biaya pemilihan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi pengelolaan anggaran negara/daerah menurut peraturan perundang-undangan.
Pasal 75A** Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota pendanaannya dibebankan secara bersama dalam APBA dan APBK. Ketentuan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua Logistik Pemilihan Pasal 76 (1)
(2)
(1) (2)
(3)
Logistik pemilihan meliputi: a. formulir pencalonan, formulir dukungan calon, formulir pendaftaran pemilih, kartu pendaftaran pemilih, berita acara pelaksanaan dan pengawasan pemilihan, dan berita acara penghitungan suara; b. kertas suara; c. kotak suara; d. tempat/ alas pencoblosan; e. alat pencoblos; f. tinta tanda telah memberikan suara; g. gambar dan identitas calon yang tertempel di dalam bilik suara; h. bilik suara; dan i. lain-lain kebutuhan yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan pemilihan. Perencanaan, pengadaan dan pendistribusian logistik pemilihan dilakukan oleh Sekretariat KIP sesuai dengan program KIP yang dibantu oleh Panitia Pemilihan pada semua tingkatan.
Pasal 77 Pengadaan logistik dilakukan dengan mengutamakan aspek kualitas, keamanan, tepat waktu, hemat anggaran dan transparansi. Penentuan Perusahaan pengadaan logistik dilakukan secara transparan melalui proses tender yang terbuka, dan kompetitif berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1). Tata cara dan teknis prosedur tender ditetapkan KIP.
226
Pasal 78 (1)
(2)
(1)
(2) (3)
(4)
Pengelolaan logistik pemilihan sebagaimana dimaksud pada pasal 76 Pasal 77 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pelaksanaan APBD. Pendistribusian logistik pemilihan harus sudah selesai paling lambat tiga hari sebelum logistik tersebut dipergunakan.
Pasal 79 Pendistribusian logistik pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, dan g dilakukan oleh KIP dengan memperhatikan faktor keamanan, kelancaran, tepat waktu, dan kerahasiaan. Untuk kepentingan tersebut pada ayat (1), KIP dan atau Panitia Pemilihan dapat meminta bantuan aparat kepolisian. Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh KIP dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengadaan dan pendistribusian logistik pemilihan selain yang diatur pada ayat (1), dilaksanakan oleh KIP Provinsi untuk pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur dan oleh KIP Kabupaten/ Kota untuk pemilihan Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan*.
BAB XIV KETENTUAN PIDANA
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 80 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar tentang diri sendiri atau orang lain mengenai suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih.diancam dengan pidana kurungan paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan kurungan dan/atau denda paling sedikit Rp, 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilih tersebut keberatan diancam dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.2.000.000,-(dua juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja ikut dalam pemilihan dengan mengaku dirinya sebagai orang lain diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut qanun ini diperlukan untuk ikut dalam pemilihan, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau untuk orang lain seolah-olah sebagai surat sah, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 200.000,-(dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
227
(5)
(6)
(7)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kecurangan dalam pengumpulan tanda tangan bagi calon dalam pemilihan, termasuk memaksa seseorang untuk membubuhkan tanda tangannya bagi pencalonan seorang calon baik dengan atau tanpa imbalan atau ancaman tertentu, diancarn dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau paling tinggi Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah). Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan ini, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan suatu imbalan dengan maksud untuk memperoleh dukungan bagi pencalonannya dalam pemilihan, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah).
Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud pasal 47 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud pasal 47 ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,(dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Setiap orang yang melanggar ketentuan mengenai kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dan pasal 41, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi, mengganggu atau mengacaukan jalannya kampanye diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp, 200.000.- (dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah). Setiap orang yang melanggar ketentuan tentang dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan pasal 49, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah). Setiap orang yang memberikan keterangan yang tidak benar dalam pelaksanaan audit dana kampanye, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,-(dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 3.500.000,(tiga juta lima ratus ribu rupiah).
228
Pasal 82 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau menghalang-halangi seseorang dalam melaksanakan haknya untuk memilih diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan haknya atau memilih peserta pemilihan tertentu atau menggunakan haknya dengan cara tertentu sehingga kertas suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 5,000.000,- (lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali pada satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana kurungan paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Seorang majikan/ atasan yang tidak membarikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya tanpa alasan yang sah dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah) atau paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur dalam pasal 60 ayat (5) dan ayat (6),diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah). Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana diatur dalam pasal 60 ayat (5) dan ayat (6), dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 83 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak sah atau menyebabkan seorang peserta pemilihan tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang diancam dengan pidana kurungan .paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000,000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara diancam dengan pidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit R.p.2.000.000,- (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp. 5,000.000,- (lima juta rupiah).
229
(3)
(4)
(1)
(2)
Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.l.000.000,-(satu juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara hasil pemungutan suara, diancam dengan pidana kurungan paling singkat 5 (lima) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.4,000.000,- (empat juta rupiah) atau paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 84 Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau peserta pemilihan, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana yang tersebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan. Jika tindak pidana yang diatur dalam qanun ini juga terdapat pengaturannya dalam perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka yang diberlakukan adalah ketentuan dari perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut. Pasal 85
(1)
Penyelenggaraan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Januari 2007, dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.** (1a) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguaan keamanan dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh atau sebahagian wilayah pemilihan yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda, dengan ketentuan : ** a. untuk penundaan seluruh tahapan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, diajukan oleh Gubernur kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri atas usul KIP Aceh melalui pimpinan DPRA; b. untuk penundaan sebahagian tahapan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri atas usul KIP Aceh melalui pimpinan DPRA; c. penundaan seluruh atau sebagian tahapan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Bupati/Walikota atas usul KIP Kabupaten/Kota melalui pimpinan DPRK. (1b) (Dihapus).** (2) Apabila Gubernur/Wakil Gubernur yang sedang menjabat meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau diberhentikan, maka pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur penggantinya dilaksanakan menurut ketentuan qanun ini. (3) (Dihapus).**
Pasal 85A** KIP yang ada pada saat Qanun ini diundangkan tetap menjalankan tugasnya sampai dengan masa baktinya berakhir.
230
(1)
(2)
Pasal 85B** Untuk pertama kali pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dilakukan oleh DPRA dan Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh. Untuk panitia pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan pemilihannya tidak bersamaan dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, pembentukan panitia pengawas pemilihan diserahkan kepada DPRK yang bersangkutan. Pasal 85C** Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Qanun ini diundangkan. Pasal 85D** Semua istilah yang ada dalam Qanun Nomor 2 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2005 yang tidak dilakukan perubahan, disesuaikan penyebutannya dengan Qanun ini. Pasal 85E** Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini menyangkut teknis pemilihan, akan diatur lebih lanjut oleh KIP. Pasal 86 Apabila karena sesuatu hal, pemilihan menurut ketentuan yang diatur dalam qanun ini tidak dapat dilaksanakan, maka atas pertimbangan KIP dan Komisi Pengawas Pemilihan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 87 Hal-hal yang belum diatur dalam qanun ini, sepanjang menyangkut peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan keputusan KIP.
Pasal 88 Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
231
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS: Abd. Latif Bustami Abd. Latif Bustami adalah Monitoring and Reporting Officer Kemitraan. Doktor Antropologi dari Universitas Indonesia, Lektor Kepala di Universitas Negeri Malang (UM), Pengajar Tidak Tetap di Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia (2001-sekarang) dan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadin (2004sekarang)a. Aktif dalam penelitian di antaranya sebagai Peneliti konflik Maluku ’Jang Pisah katong’, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2002), Koordinator Lapangan survei ’Potensi Dini Konflik di Kawasan Pertambangan Lapindo Brantas,Ltd dan Energi Mega Persada Kangean di Jawa Timur (INRR,IPB 2005).
Fahmi Wibawa Penulis ini dilahirkan di Klaten, 11 Juli 1972. Pendidikan dasar dan menengah dituntaskan di tanah kelahirannya. Sementara pendidikan tinggi ditempuh di kota pelajar Yogyakarta, sampai menjadi Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada. Jenjang Post Graduate diselesaikan dari Mastricht School of Management, Negeri Belanda dengan mengambil konsentrasi pada Strategi Korporasi dan Kebijakan Ekonomi. Beberapa tulisannya tersebar di sejumlah Jurnal dan berbagai media seperti Kompas, Suara Pembaharuan, Republika, Jawa Pos/ Indo Pos, Bisnis Indonesia, termasuk harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Kesibukannya sehari-hari sebagai manajer program di KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform), selain juga sebagai dosen tamu di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta dan program Magister Manajemen (MM) STIE Trianandra. Henry Siahaan Penulis lahir tanggal 14 Agustus 1970 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi. Saat ini bekerja di Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan) sebagai Program Manager untuk cluster Pelayanan Publik. Beberapa buku yang pernah ditulisnya adalah Kompilasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Sekilas Proses Kelahirannya 1903-2004 (2004), Mengenal DPD RI Sebuah Gambaran Awal (2005), Kaya Proyek Miskin Kebijakan membongkar Kegagalan Pembangunan Desa (2006). Selain itu juga, penulis aktif menulis opini di media nasional dan daerah seperti Sinar Harapan, Koran Tempo, Majalah Delik, Bali Post, Radar Jogja, Waspada, Samarinda Post dan Serambi Indonesia. Ia memperoleh gelar sarjana pertanian dan magister agribisnis dari Institut Pertanian Bogor. Saat ini ia sedang kuliah sarjana strata satu di fakultas hukum UIEU, Jakarta.
M. Jafar Penulis dilahirkan pada 31 Desember 1966. Saat ini tinggal di Banda Aceh. Saat ini dia bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Syiahkuala, Banda Aceh dengan pangkat Lektor Kepala. Pendidikan sarjana di tempuhnya di Fakultas Hukum Unsyiah (selesai tahun 1991), sedangkan magister hukum diperolehnya dari Universitas Airlangga pada tahun 1995. Sebagai dosen, ia telah melakukan banyak penelitian serta aktif menulis artikel ilmiah. Pada pemilu 2004, M. Jafar menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum di Provinsi Aceh. Setelah selesai bertugas di Panwas Pemilu dia terpilih menjadi Ketua Komisi Independen Pemilihan Aceh hingga saat ini.
Mashudi SR Penulis lahir di Singkil, pada 25 Juli 1976. Penulis saat ini tinggal di Banda Aceh. Penulis aktif sebagai Manager Good Governance di Forum LSM Aceh (2006sekarang. Penulis sangat aktif di berbagai kegiatan, antara lain sebagai Kepala Divisi Riset dan Analisis Kebijakan Sorak (2006-sekarang), Riset dan Analisi Kebijakan Koalisi NGO HAM Aceh (2005), Deputy Direktur Lembaga Pengakian dan Pemantau Kebijakan Publik-LAPPEKAP (2005), serta Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Kebijakan - LSAK (2005-sekarang). Di samping itu ia juga aktif sebagai Sekretaris FGD Hukum, Politik dan HAM Aceh Institue (2006-sekarang). Sebelumnya ia pernah menjadi Sekretaris Umum PW IRM Aceh (2002-2004). Pada tahun 2004-2007 ia aktif sebagai Sekretaris Lembaga Hukum, HAM dan Advokasi Publik Pemuda Muhammadiyah Banda Aceh. Mashudi juga aktif mengikuti berbagai pertemuan, training bidang hukum dan HAM, serta menulis di berbagai media massa.
M.Gaussyah Penulis yang lahir di Banda Aceh pada tanggal 20 Desember 1974 ini adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Project Management Officer pada Kantor Kemitraan. Meraih gelar Sarjana Hukum pada FH Unsyiah, dan Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, saat ini sedang melanjutkan studinya pada program Doktoral Universitas Indonesia. Giat menulis pada beberapa jurnal ilmiah diantaranya jurnal Kanun, jurnal Wafa, Jurnal Reusam, Jurnal Arema, dan aktif melaksanakan penelitian di bidang hukum dan sosial.
Sofyan Lubis Sofyan Lubis, mendapat gelar Sarjana bidang Ilmu Administrasi Niaga di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Jakarta (1990), setelah itu ia memperoleh bea siswa dari The Ford Foundation untuk melanjutkan studi S-2 dengan gelar Master in
Development Management di Asian Institute of Management atau AIM, Manila, The Philippines (1995). Sejak Oktober 2004 hingga saat ini aktif bekerja di Partnership for Governance Reform atau PGR sebagai Program Manager di bidang Security and Justice Governance. Di PGR, aktif bekerjasama dengan anggota tim adviser menyiapkan dukungan kepada lembaga-lembaga mitra, mulai dari reformasi Polri, Departemen Pertahanan, Intellijen Negara, dukungan kepada Komisi-Komisi Negara seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian serta program terkait anti korupsi. Anggota Kelompok Kerja atau Pokja Reformasi Polri yang secara regular ikut serta dalam pembahasan reformasi Polri Ketika Pilkada Aceh berlangsung, ia sebagai Pemimpin Proyek yang melakukan eksekusi dukungan PGR dan IOM kepada Polda NAD untuk Pilkada damai.
Rahmat Fadhil Penulis lahir di Sigli pada tanggal 24 November 1978. Penulis saat ini tinggal di Banda Aceh. Ia bekerja sebagai dosen Bidang Post Harvest Technology pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Selain itu ia juga menjadi Aktivis Sosial, Politik dan Pengembangan Sumber Daya Manusia pada berbagai organisasi. Pendidikan di tempuhnya di Akademi Kesehatan Lingkungan Jabal Ghafur (1996-1997) dan Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala (19972004). Selain menjadi dosen, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan. Pada Pemilihan kepala daerah di NAD, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (PANWASLIH), Tahun 2006-2007. Sejak 2002 hingga sekarang, ia juga menjadi Koordinator Penghubung Daerah Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia, Banda Aceh. Di samping itu ia juga aktif sebagai Trainer dan Konsultan Lembaga Manajemen Terapan (LMT) TRUSTCO Cabang Banda Aceh, 2003 – sekarang. Rahmat Fadhil aktif menjadi pembicara pada berbagai training dan seminar, menjadi peneliti pada berbagai penelitiaan, serta mengikuti berbagai kegiatan sosial.
Titi Anggraini Penulis lahir di Palembang pada tanggal 12 October 1979. Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UI pada tahun 200 dengan predikat Cum Laude. Ia meraih gelar Magister Hukum dari UI pada tahun 2005 dengan tesis berjudul “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Kerangka Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada tahun 1999, Titi Anggraini terpilih menjadi salah seorang anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat mewakili unsur perguruan tinggi. Pada tahun 2004 penulis bekerja untuk IFES sebagai Advisor bagi Panitia Pengawas Pemilu Pusat. Ia juga menjadi Koordinator Pelaporan di Panwaslu selama pemilu 2004. Setelah itu, penulis bekerja sebagai advisor di International Republican Institute pada Mei-September 2005. Penulis juga aktif bekerja sebagai Sekretaris Jenderal di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (lembaga yang dibentuk oleh para mantan Panwaslu 2004). Saat ini ia
menetap di Banda Aceh dan bekerja sebagai Manager untuk bidang hukum di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (October 2006 – sekarang).
Topo Santoso Penulis lahir di Wonogiri (Jawa Tengah) pada tanggal 5 Juli 1970. Pendidikan Sarjana di tempuhnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1988-1992), Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum UI (1997-1999), dan pendidikan Doktor di Faculty of Law-University of Malaya (2001-2007). Selain pendidikan formal, ia telah mengikuti beberapa pendidikan tambahan di Brisbane, Australia (1994), Academy of American and International Law di Texas (1995), dan Special course on Economic Law di Harvard Law School, AS (1996). Saat ini ia menjadi dosen di Fakultas Hukum UI dan Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul di Jakarta. Saat ini ia juga menjadi Advisor bidang Security and Justice Governance di Partnership for Governance Reform (Kemitraan). Di samping itu ia juga masih menjabat sebagai Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Penulis aktif mengisi berbagai forum seminar, diskusi, pelatihan, serta kegiatan ilmiah lainnya. Ia aktif menulis di berbagai media massa nasional dan menjadi narasumber bagi media cetak dan elektronik. Hingga saat ini ia telah menulis 10 buku dan ratusan artikel. Pada pemilu 2004, penulis menjadi salah seorang anggota Panitia Pengawas Pemilu Pusat.