LAPORAN AKHIR SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELAUI INOVASI (P4M2I) DI KABUPATEN DONGGALA, PROVINSI SULAWESI TENGAH
Dewa K. Sadra Swastika Rita Nur Suhaeti
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan a. Latar Belakang 1.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memainkan peranan penting dalam pertumubuhan ekonomi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya melalui pemanfaatan teknologi unggulan, dapat meningkatkan keunggulan kompetitif suatu produk pertanian. Disamping itu, potensi pasar serta pertumbuhan permintaan yang pesat merupakan potensi dan peluang pasar yang baik untuk mengembangkan produk yang memiliki daya saing tinggi.
2.
Tantangan pada masa mendatang adalah: (i) menciptakan teknologi yang mampu meningkatkan produksi pertanian, baik kuantitas maupun kualitasnya, (ii) menciptakan nilai tambah, dan (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
3.
Untuk mengimbangi berkurangnya lahan pertanian di Pulau Jawa, memperkuat ketahanan pangan nasional, dan memperluas sumber pendapatan petani, maka perlu ada upaya pemanfaatan lahan kering yang masih tersebar luas di luar Jawa. Potensi lahan kering nasional yang pada tahun 1999 diperkirakan seluas 12,23 juta ha, sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, padahal sebagian besar lahan kering tersebut masih dapat ditingkatkan produktivitasnya.
4.
Penyediaan teknologi dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan kering tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi Badan Litbang Pertanian. Pemanfaatan lahan kering secara optimal diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dalam pengadaan pangan pada Pulau Jawa.
5.
Masalahnya, tingkat produktivitas lahan kering relatif masih rendah. Hal ini disamping disebabkan kondisi lahannya yang kurang subur, juga karena modal petani yang terbatas dan lemahnya dukungan kelembagaan yang ada, sehingga mereka tidak mampu menerapkan teknologi yang lebih maju.
6.
Masalah kemiskinan di pedesaan lebih banyak dijumpai di wilayah lahan kering. Munculnya gejala kemiskinan disebabkan antara lain oleh daya dukung alam yang kurang memadai, prasarana sosial ekonomi yang belum merata, kelembagaan sosial ekonomi yang belum menjangkau masyarakat setempat serta mutu sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Meluasnya kemiskinan di pedesaan menunjukkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat pedesaan menuntut perhatian yang lebih besar dan komitmen untuk mengatasinya.
7.
Suatu upaya pemberdayaan bagi petani miskin yang disertai dengan inovasi penggunaan teknologi pertanian dan pemasaran berwawasan agribisnis, merupakan langkah strategis dalam meningkatkan pendapatan petani. Namun sebelum mereka mampu melakukan inovasi dan praktek xiv
agribisnis, diperlukan adanya dukungan fasilitas umum yang sesuai untuk meningkatkan akses petani terhadap informasi serta pasar input dan output. 8.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan investasi fasilitas umum di tingkat desa yang diserahkan kepada instansi tertentu maupun pelaksana/kontraktor dari luar umumnya kurang efisien, terutama untuk investasi yang sifatnya lokasi spesifik. Oleh karena itu investasi semacam ini lebih baik diserahkan kepada masyarakat setempat dengan memberdayakan petani agar mampu menanganinya sendiri melalui pengembangan kemampuan, dan pengembangan kelembagaan pendukung yang tepat. Pemerintah hanya memfasilitasi lewat sistem pendanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
9.
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (P4M2I) ditujukan untuk meningkatkan inovasi petani dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Untuk itu petani harus diberikan dukungan dalam bentuk pengembangan teknologi pertanian yang tepat.
10. Proyek P4M2I yang terdiri dari 4 komponen dilaksanakan selama 5 tahun. Keomponen-komponen tersebut adalah: (1) Pemberdayaan petani, (2) Pengemba-ngan sumber informasi nasional dan lokal, (3) Dukungan untuk pengembangan inovasi pertanian dan diseminasi, dan (4) Manajemen proyek. Masing-masing komponen mempunyai agenda kegiatannya sendiri. 11. Komponen pemberdayaan petani dapat dibedakan menjadi tiga subkomponen, yaitu (i) mobilisasi kelompok tani dan perencanaan di tingkat desa, (ii) pengembangan kelembagaan; dan (iii) investasi publik di tingkat desa. Semua kegiatan komponen ini diprogramkan untuk didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal. Selanjutnya LSM lokal bertugas melatih dua fasilitator di tiap desa yang dipilih oleh masyarakat desa. Jenis pelatihan adalah metoda partisipatif, teknologi informasi dan pengelolaan data dalam berbagai tahapan. 12. Untuk dapat memperoleh gambaran sosial ekonomi petani yang akan terlibat, sebelum P4M2I ini dilaksanakan, maka perlu dilakukan survai pendasaran (Baseline Survey) terhadap petani di sekitar lokasi proyek. Survai pendasaran ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi awal tentang indikator sosial ekonomi rumah tangga sebelum kegiatan proyek dilakukan. Data dan informasi ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi manfaat dan dampak dari kegiatan P4M2I, baik yang sedang berjalan, maupun yang sudah dilakukan. b. Tujuan Penelitian 13. Tujuan dari Baseline Survey ini adalah untuk: (i) mengidentifikasi kondisi sarana dan prasarana fisik, sistem produksi dan pemasaran komoditas pertanian di wilayah proyek; (ii) mengidentifikasi kondisi berbagai kelembagaan pendukung usaha pertanian serta kendala pengembangan agribisnis di wilayah proyek; (iii) mengetahui karakteristik rumah tangga
xv
tani, struktur penguasaan lahan, pola usaha tani, tingkat penerapan teknologi, dan produktivitas usahatani; dan (iv) mengetahui struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga tani. c. Keluaran Penelitian 14. Keluaran yang diharapkan dari survai ini adalah (i) informasi tentang kondisi sarana dan prasarana fisik, sistem produksi dan pemasaran komoditas pertanian di wilayah proyek; (ii) informasi tentang kondisi berbagai kelembagaan pendukung usaha pertanian serta kendala pengembangan agribisnis di wilayah proyek; (iii) informasi mengenai karakteristik rumah tangga tani, struktur penguasaan lahan, pola usaha tani, tingkat penerapan teknologi, dan produktivitas usahatani, dan (iv) informasi tentang struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga tani; Metodologi Penelitian a. Kerangka Pemikiran 15. Pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, tetapi partisipasi masyarakat justru menjadi kunci sukses upaya pemberdayaan. P4M2I dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat tani di pedesaan, khususnya mereka yang berusaha tani di lahan marginal, dalam mengelola sumber daya lahan mereka yang umumnya kurang subur. Melalui pemberdayaan, dimungkinkan berhasilnya program pembangunan. Sebab arti pembangunan yang sebenarnya adalah memberdayakan masyarakat agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri. Dengan kata lain, pembangunan yang meniadakan suatu bentuk ketergantungan adalah pembangunan yang berkelanjutan. 16. Melalui P4M2I berbagai inovasi atau gagasan dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian akan diperkenalkan kepada masyarakat petani di lokasi proyek, dengan harapan pada akhirnya masyarakat akan mampu melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhannya, sedang fungsi pemerintah terbatas sebagai fasilitator. Inovasi ini didasarkan pada permasalahan yang telah diidentifikasi di lokasi yang akan dikembangkan. 17. Sebelum P4M2I, dikenal program jangka panjang pemerintah lainnya dalam pengentasan kemiskinan mulai dari program Inpres Desa Tertinggal (IDT), sampai ke Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Program-program seperti ini pada umumnya sudah mengarah pada upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan akibat adanya pemahaman yang lebih baik dari pelaksana pembangunan, bahwa tanpa ada pemberdayaan masyarakat, setiap program yang diperkenalkan akan mengalami kegagalan. Program yang demikian itu disebut sebagai Model Pembangunan Partisipatif.
xvi
18. Pengalaman dengan beberapa proyek pembangunan selama ini menunjukkan bahwa data dasar tidak selalu disiapkan pada awal dari sebuah proyek, sehingga biasanya manajemen sulit dalam mengevaluasi dampak kegiatan, karena tidak memiliki pembanding. Misalnya, kalau suatu kegiatan diakui sukses atau berhasil, seharusnya ada dasar untuk menyatakan proyek tersebut sukses. Salah satu dasarnya adalah adanya pembanding. Tampaknya P4M2I menyadari hal tersebut, sehingga dilakukan Survai Pendasaran yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE). b. Lokasi Kegiatan 19. Survai pendasaran ini dilaksanakan di lima desa pada lima kecamatan dalam Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa-desa contoh adalah (1) Desa Langaleso, Kecamatan Dolo; (2) Desa Matantimali, Kecamatan Marawola; (3) Desa Sumari, Kecamatan Sindue; (4) Desa Lende, Kecamatan Sirenja dan (5) Desa Lumbudolo, Kecamatan Banawa. Kemudian dari tiap desa diambil 30 petani contoh yang akan mendapat manfaat dari investasi yang sedang dan akan dibangun. c. Teknik Penarikan Sampel dan Jumlah Responden 20. Petani responden adalah petani yang berdomisili di desa tersebut secara permanen dan mengusahakan lahan marginal, baik lahan kering maupun tadah hujan. Jadi tidak terbatas hanya pada pemilik lahan, tetapi juga petani penggarap. 21. Penarikan contoh dilakukan secara sengaja dan acak. Sengaja dimaksudkan dalam hal menentukan desa/dusun atau kelompok tani yang berdomisili di sekitar lokasi investasi, sedangkan acak diberlakukan dalam pengambilan contoh petani. Jumlah contoh untuk setiap desa 30 orang, sehingga jumlah petani contoh di kabupaten Donggala sebanyak 150 orang. Diasumsikan bahwa desa terpilih adalah desa miskin dan merupakan representasi dari kabupaten, sehingga penentuan petani responden tidak dilakukan dengan membagi petani tersebut menurut strata tertentu. d. Jenis dan Analisis Data 22. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara di tingkat petani dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), baik terstruktur maupun semi terstruktur. Data sekunder, terutama yang berkaitan dengan profil lokasi proyek, potensi sumber daya alam, dsb., dikumpulkan dari monografi desa, kecamatan dalam angka, kabupaten dalam angka, dan dari sumber-sumber lainnya.
xvii
23. Informasi dan data yang dibutuhkan mencakup: sistem usaha tani dominan untuk lahan kering dan tadah hujan; tingkat penerapan teknologi untuk komoditas utama; pasar dan sistem pemasaran hasil pertanian; ketersediaan sarana produksi; sumber pendapatan, baik on-farm, off-farm maupun non-farm; pengeluaran rumah tangga, menurut kelompok pengeluaran; kelembagaan pendukung usaha pertanian, baik jenis maupun kinerjanya; kondisi infrastruktur dalam mendukung usahatani; sumbersumber informasi pertanian, termasuk permasalahannya; berbagai permasalahan yang dihadapi dalam sistem agribisnis, meliputi sub-sistem pengadaan input produksi, produksi, pascapanen, kelembagaan dan infrastruktur; serta informasi lain yang relevan dengan maksud kegiatan. Hasil dan Pembahasan a. Profil Kemiskinan di Indonesia dan Sulawesi Tengah 24. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia sudah dilakukan sejak awal dekade 1970an. Upaya tersebut diakui oleh banyak pihak (terutama FAO) telah berhasil menurunkan angka kemiskinan secara meyakinkan. 25. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 bersamaan dengan kemarau panjang (El Nino) dan kebakaran hutan telah membawa dampak negatif yang sangat serius terhadap kesejahteraan masyarakat, sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa atau 11,3 persen pada tahun 1996 menjadi 48 juta jiwa atau 23,4 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1999. Pada masa pascakrisis, jumlah penduduk miskin sedikit menurun dari 48 juta jiwa pada tahun 1999 menjadi 37,3 juta jiwa pada tahun 2003. 26. Angka kemiskinan di Sulawesi Tengah sebelum krisis juga menunjukkan penurunan. Namun pada masa krisis ekonomi, angka kemiskinan meningkat tajam dari sekitar 163 ribu orang (8,18%) pada tahun 1996 menjadi sekitar 599 ribu orang (28,69%) pada tahun 1999, meskipun kemudian menurun lagi. 27. Pada tahun 2003, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 509 ribu jiwa atau sekitar 23,03 persen dari jumlah penduduk provinsi ini. Penduduk miskin terkonsentrasi di pedesaan. Dari 509 ribu penduduk miskin, sekitar 430 ribu atau sekitar 84,5 persen berada di pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di sektor pertanian. Oleh karena itu, untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan maka sektor pertanian harus dibangun secara intensif, menyeluruh dan berkelanjutan. 28. Data statistik juga menjunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Tengah menduduki urutan 6 termiskin dari 26 provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah jika provinsi ini menjadi salah satu provinsi yang mendapat prioritas pengembangan proyek P4M2I. Di Provinsi Sulawesi Tengah,
xviii
Kabupaten Donggala mempunyai penduduk miskin terbesar dibandingkan dengan 8 kabupaten/kota lainnya. b. Peran Sektor Pertanian 29. Sektor pertanian sangat berperan terutama sebagai penyerap tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor ini, yaitu 52,07 persen pada tahun 2002, walaupun menurun dari tahun sebelumnya yakni sebesar 53,39 persen. Peranan sektor lainnya berturut-turut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 15,20 persen, sektor jasa sebesar 13,02 persen, sektor bangunan sebesar 5,77 persen, sektor angkutan dan komunikasi sebesar 5,71 persen. Sektor lainnya memberikan kontribusi kurang adri 5 persen. c. Kondisi Biofisik dan Lahan Usaha 30. Secara geografis, Kabupaten Donggala berada pada 0o,30” Lintang Utara dan 2o,20” Lintang Selatan serta 119o.45” – 121o,45” Bujur Timur. Di sebelah Utara, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Toli-toli, di sebelah Selatan dengan Provinsi Sulawesi Selatan, di sebelah Timur dengan Kabupaten Parigi Moutong dan di sebelah Barat dengan Selat Makassar. Total luas wilayahnya adalah 10.471.71 km2. 31. Sebagian besar petani miskin di Kabupaten Donggala berusahatani pada lahan kering dan sawah tadah hujan dengan produktivitas yang rendah. Topografi lahan kering umumnya bergelombang, sehingga cukup rawan terhadap erosi. Luas penguasaan lahan usahatani bervariasi antar desa dan jenis lahan. Untuk lahan tadah hujan dari lima desa contoh, luas penguasaan berkisr antara 0,2-2,0 ha, dengan rata-rata 0,67 ha per kepala keluarga. 32. Dari 150 petani contoh, sebagian besar petani (70,13%) mempunyai kebun yang ditanami tanaman tahunan, utamanya kakao, kopi, dan alpokat. Luas penguasaan kebun berkisar antara 0,01-8,5 ha, dengan rataan 1,06 ha per kepala keluarga. 33. Luas penguasaan lahan tegalan/ladang untuk tanaman semusim berkisar antara 0,15-2,25 ha, dengan rataan 0,91 ha per kepala keluarga dan diusahakan oleh sekitar 45,45 persen petani contoh. Lahan sawah irigasi pedesaan berkisar antara 0,15-2,0 ha, dengan rata-rata 0,51 ha per kepala keluarga, dan diusahakan oleh 6,49 persen petani contoh. d. Infrastruktur 34. Sarana/prasarana utama yang sangat berpengaruh dalam kelancaran sistem usahatani antara lain: jalan desa, jalan usahatani, saluran irigasi, pasar, sarana perkreditan, sistem informasi, dan kelembagaan pendukung
xix
lainnya. Jalan dari Kabupaten dan kecamatan menuju desa umumnya cukup baik dan hampir seluruhnya beraspal. Namun demikian, jalan usahatani di seluruh desa contoh belum tersedia. 35. Saat ini petani umumnya mengangkut hasil pertanian (terutama tanaman tahunan) dari kebun ke jalan raya dengan memikul. Volume produksi yang bisa diangkut dengan cara ini sangat terbatas. Oleh karena itu, hampir semua desa yang mendapat bantuan dana P4M2I di Kabupaten Donggala memprioritaskan investasi desa pada pembangunan jalan usahatani yang sekaligus berfungsi sebagai jalan tembus antar dusun atau antardesa. 36. Kondisi jalan di desa contoh relatif baik, hanya di Desa Sumari, Kecamatan Sindue, terdapat ruas jalan (5 km) yang rusak jika kondisi hujan. Jalan aspal terpanjang terdapat di Desa Lende, Kecamatan Sirenja (126 km), disusul oleh Desa Sumari. Kedua desa tersebut memang dilalui jalan negara. Masyarakat Desa Matantimali paling banyak mengeluarkan ongkos transportasi (sekitar Rp 10.000) jika ingin pergi ke pasar kecamatan atau pasar provinsi. Karena letak desa ini terpencil di Pegunungan Balanti dengan ketinggian lebih dari 2000 meter dari permukaan laut. 37. Masyarakat Desa Matantimali merupakan ex-masyarakat terasing yang dengan cepat dapat mengadopsi tatacara kehidupan yang lebih modern, baik dari segi bermasyarakat maupun dalam aspek berusaha tani. e. Sistem Informasi 38. Sumber informasi utama bagi petani dalam hal teknologi pertanian adalah sesama petani (48,68%) disusul PPL/Dinas (32,24%). Sistem informasi dari orang tua kepada anaknya menempati urutan ketiga sebagai sumber informasi teknologi pertanian (10,53%). Patut dicatat di sini Staf BPTP sebagai sumber informasi hanya dilaporkan oleh 1,97 persen responden. 39. Media elektronik bukan merupakan sumber informasi utama yang ditunjukkan dengan rendahnya pilihan responden terhadap televisi (0,00%) dan radio (1,32%). Khusus untuk desa ex suku terasing (Desa Matantimali), kontribusi sesama petani sebagai sumber informasi sangat dominan (75%). 40. Media cetak juga belum merupakan sumber informasi teknologi pertanian bagi petani. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya media informasi tersebut di semua desa contoh. 41. Secara keseluruhan, permasalahan sumber informasi berupa media cetak di desa contoh adalah karena masyarakat belum tahu keberadaannya (Brosur dan Liptan) dan belum ada di desa (koran). 42. Permasalahan pada media elektronik adalah karena pemilikannya yang kurang. Pemilikan radio dan pesawat televisi kurang dari 50 persen, bahkan di Desa Matantimali tidak ada satu pun responden yang memiliki pesawat televisi. Bagi yang memiliki radio dan televisi, umumnya mereka tidak tahu
xx
dan tidak berminat untuk mencari siaran penyuluhan pertanian. Alat informasi ini sepenuhnya sebagai sarana hiburan. f. Demografi 43. Secara rata-rata, jumlah penduduk dari desa contoh adalah 1643 orang/desa, dengan komposisi jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit yakni 49,7% berbanding 50,3% sehingga sex rationya sebesar 0,99. Artinya, dari setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 99 orang penduduk lakilaki. Rata-rata jumlah kepala keluarga (KK) per desa adalah 448,6 dan ukuran rumah tangga rata-rata sebesar 3,66. 44. Hampir 50% penduduk desa tidak bersekolah, baik karena tidak pernah bersekolah, atau belum waktunya untuk bersekolah. Jumlah penduduk yang bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi makin kecil. Tamatan SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masing masing 29%; 16,5%; 4,2% dan 0,5%. g. Karakteristik Rumah Tangga 45. Petani contoh di lima desa Kabupaten Donggala relatif berusia produktif, yaitu rata-rata 42 tahun, meskipun kisarannya 19 sampai 75 tahun. Hanya sebagian kecil petani yang berusia 55 tahun ke atas. Dari segi fisik, petani yang berusia rata-rata 42 tahun merupakan sumberdaya yang potensial untuk meningkatkan produksi pertanian. 46. Dari sisi pendidikan, umumnya mereka berlatar belakang tingkat pendidikan rendah yaitu rata-rata 8 tahun, atau setingkat dengan kelas 2 SMP, meskipun ada diantara mereka yang sarjana (di 2 desa masing-masing satu orang). 47. Pekerjaan utama mereka adalah sebagai petani (92%), diikuti oleh pekerjaan di luar usahatani (6%) dan sebagai buruh tani (2%). Tingginya proporsi responden yang bekerja sebagai petani mencerminkan besarnya ketergantungan mereka pada sektor pertanian. Hal ini juga mencerminkan kecilnya kesempatan kerja di luar pertanian, terutama sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. 48. Dalam hal usia anggota rumah tangga, sekitar 60,4 persen dari mereka berusia produktif (15-54 tahun). Tingginya proporsi anggota rumah tangga yang berada dalam usia produktif mencerminkan tingginya potensi sumberdaya manusia (berupa tenaga kerja) bagi keluarga tani. Rasio ketergantungan sebesar 66 persen. Artinya bahwa dengan asumsi semua anggota keluarga usia produktif bekerja, maka 100 orang usia produktif menanggung beban 66 orang usia nonproduktif.
xxi
h.
Kondisi Tempat Tinggal
49. Salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kemiskinan rumah tangga adalah kondisi rumah tinggal. Petani contoh di Kabupaten Donggala umumnya tinggal di rumah sederhana, dengan luas bangunan rumah berkisar antara 4,5 – 192 m2, dengan rata-rata 51,16 m2. Luas pekarangan sangat beragam, mulai dari hanya 16 m2 di Desa Matantimali sampai 5000 m2 di Desa Lende. Rata-rata luas pekarangan adalah 391,62 m2. 50. Sebagian besar (84,32 %) rumah yang ditempati adalah milik sendiri, dan sisanya (15,68 %) berstatus numpang pada orang tua, mertua atau saudara. Di semua desa contoh tidak ada petani yang menyewa dan mengontrak rumah. Demikian juga dengan status lahan di mana rumah dibangun sebagian besar (82,35 %) adalah lahan milik, dan sisanya (17,65%) numpang pada orang tua, mertua, atau saudara. 51. Indikator yang dapat mencerminkan kualitas rumah antara lain adalah dinding dan lantai rumah. Sebagian besar petani contoh (40,52 %) menggunakan dinding terluas dari tembok semen, diikuti dengan dinding kayu (37,65%). Tidak ada petani contoh yang menggunakan dinding tanah. Untuk lantai rumah terluas, sebagian besar petani (62,09%) menggunakan lantai semen, diikuti dengan lantai kayu (14,38%) dan lantai tanah (11,11%). 52. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, sebagian besar (55,56%) petani memperolehnya dari mata air yang ada di desa, baik yang dialirkan ke desa dengan pipa, maupun yang diambil langsung oleh masyarakat ke sumbernya. Sumber air minum kedua adalah dari sumur (timba atau pompa), yaitu digunakan oleh 25,49 persen petani contoh, dan sumber ketiga adalah dari sungai (12,42% petani). 53. Dalam hal kelengkapan sarana sanitasi, sebagian besar (26,80%) rumah tangga tani menggunakan sungai sebagai sarana MCK dan MCK Umum (26,14%). Hanya 17,65 persen rumah tangga tani contoh mempunyai sarana MCK sendiri, dan sekitar 14,38 persen rumah tangga tani melakukan MCK di alam bebas. Kondisi ini disebabkan masih banyak masyarakat yang belum mampu membuat sarana MCK pribadi di rumahnya masing-masing. 54. Sekitar 57,52 persen rumah tangga tani sudah mendapat penerangan listrik dari PLN. Rumah tangga tani yang menggunakan lampu templok, lampu sentir, dan petromaks masing-masing 21,57 %, 11,76 %, dan 6,54 %. Hanya 2, 61 persen rumah tangga tani menggunakan Accu sebagai sumber energi untuk penerangan. Tingginya persentase rumah tangga yang telah mendapat penerangan listrik dari PLN menunjukkan keberhasilan dalam program listrik masuk desa di Kabupaten Donggala. Sarana penerangan dari PLN ini akan sangat membantu bergeraknya roda ekonomi di pedesaan, sehingga dapat mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
xxii
i. Pemilikan Peralatan Rumah Tangga 55.
Secara rata-rata, 44,81 persen rumahtangga contoh di Kabupaten Donggala memiliki radio/tape recorder dan sebagian besar berasal dari pembelian, sisanya merupakan pemberian. Pemilikan televisi berwarna (21,43%) lebih banyak dibandingkan dengan televisi hitam putih (1,95%) dan semuanya berasal dari pembelian.
j. Pemilikan Ternak 56. Responden yang memiliki ternak sapi adalah sebesar 33,87 persen dengan rata-rata pemilikan sebanyak 2,53 ekor. Nilai ternak sapi tersebut adalah Rp.6.021.200,-. Dibandingkan dengan jenis ternak lainnya ayam buras paling banyak dimiliki oleh responden (45,71%) dan paling sedikit adalah pemilikan itik (0,7%). Demikian juga dengan rata-rata jumlah pemilikan 11,55 ekor. 57. Ternak kambing dimiliki oleh 18,72 persen responden dengan rata-rata jumlah 4,65 ekor dan nilainya lebih dari Rp 1 juta. Sedangkan ternak babi dan itik hanya dipelihara oleh masyarakat Desa Matantimali yang 100 persen beragama Kristen. k. Pemilikan Alat Mesin Pertanian dan Alat Transportasi 58. Responden paling banyak memiliki hand sprayer (13,66%). Sementara itu chainsaw yang hanya dimiliki oleh 7,93 persen responden memiliki nilai paling tinggi (Rp. 425.690,-. Sepeda motor dimiliki oleh 7,66 persen responden sedangkan sepeda hanya dimiliki oleh 1,29 persen responden. l. Kelembagaan Pertanian 59. Kelembagaan yang paling erat kaitannya dengan kegiatan pertanian adalah kelompok tani. Kelompok tani hanya berperan pada saat ada acara penyuluhan, atau pertemuan untuk perencanaan tanam, terutama di lahan sawah tadah hujan atau irigasi. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengadaan sarana produksi atau pemasaran hasil secara kolektif. Dalam dua hal ini masing-masing petani melakukannya sendiri. Koperasi Unit Desa tidak ada, kalaupun ada tidak aktif. 60. Lembaga penyuluhan menjadi tidak jelas, sejak Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) tidak lagi merupakan lembaga penyuluhan di tingkat kecamatan. Namun demikian, masih ada Kantor Cabang Dinas Pertanian Kecamatan, yang fungsinya lebih banyak sebagai lembaga struktural dari pada fungsional penyuluhan.
xxiii
m. Kelembagaan Permodalan 61. Di semua desa contoh belum ada satu pun Bank, Badan Kredit Desa, Lumbung Desa, atau Koperasi Non-KUD di desa-desa lokasi kajian. Kelompok Usaha Bersama baru ada di Desa Lende. Khusus Desa Matantimali tidak ada satu pun lembaga keuangan. Hal ini mencerminkan buruknya kondisi permodalan di desa ex-suku terasing tersebut. Demikian juga dengan Desa Lumbudolo. 62. Desa Langaleso yang merupakan desa transmigran dengan penduduk sebagian besar berasal dari Jawa Timur, kelembagaan permodalannya sudah relatif baik dibandingkan desa lainnya. Demikian juga dengan Desa Lende. Di kedua desa tersebut terdapat lembaga keuangan yakni Kelompok Simpan Pinjam dan Pelepas Uang. 63. Responden mengaku bahwa mereka lebih sering memenuhi kebutuhan modal usahatani dari diri sendiri (53,13%). Bagi yang tidak dapat memenuhi modal sendiri, upaya yang dilakukan adalah dengan mencari pinjaman ke Bank Keliling. Sumber peminjaman modal usahatani selanjutnya adalah keluarga (22,13%). Sumber lain yang juga relatif dominan adalah tengkulak. Cara membayar utang yang dominan adalah dengan yarnen dalam bentuk uang. Lebih dari 70 persen responden pernah mengaklami kekurangan modal usahatani terutama pada saat persiapan tanam (63,02%). n. Kelembagaan Sarana Produksi dan Pemasaran 64. Dalam pengadaan benih/bibit, sumber pengadaan dengan cara membuat sendiri dilakukan di empat desa kecuali di Desa Lende yang dominan membeli benih dari toko/kios. Untuk sumber pengadaan pupuk dan pestisida responden di semua desa melakukannya dengan cara membeli dari toko dan kios. Ketersediaan pupuk dan pestisida di toko atau kios yang bersangkutan juga sangat baik karena selalu tersedia jika diperlukan. 65. Kelembagaan pemasaran yang ada di lokasi kajian relatif belum berkembang kecuali di Desa Lende. Di semua desa contoh tidak terdapat pasar permanen, yang ada hanya pasar tidak permanen yang beroperasi secara mingguan. Jumlah pedagang pengumpul juga tidak terlalu banyak, kecuali untuk Desa Langaleso dan Desa Lende. Desa Matantimali tidak mempunyai pedagang pengumpul yang berasal dari desanya sendiri. Perlu dikemukakan bahwa sebagian besar sistem usaha tani di Desa Matantimali masih bersifat subsisten. 66. Dalam sistem pemasaran, penentu harga adalah pedagang, sedangkan penentu dalam rumah tangga adalah suami atau suami dan isteri. Dalam membeli saprotan suami lebih dominan. Sistem pemasaran sebagian besar tidak terikat kontrak, kalau pun ada paling-paling hanya satu musim.
xxiv
o. Tingkat Penerapan teknologi o.1. Pola Tanam 67. Pola tanam di setiap desa berbeda karena adanya perbedaan agroekosistem dari tiap desa contoh. Desa Langaleso yang ketersediaan airnya mencukupi, petani dapat menanam padi tiga kali setahun, tetapi mereka memilih untuk menanam padi dua kali dilanjutkan dengan menanam sayuran seperti tomat, cabai merah, mentimun, dan bawang merah. Sebagian dari mereka hanya menanam padi sekali yang dilanjutkan dengan tanaman sayuran. 68. Desa Matantimali yang berada di ketinggian, tanaman utama adalah jagung sebagai bahan makanan pokok. Pola tanam yang paling umum dilakukan pada lahan kering adalah Jagung-Jagung; atau Jagung-Kacang Tanah. Sebagian petani menanam jagung disisip dengan ubikayu, sehingga polanya menjadi Jagung + Ubikayu. 69. Untuk Desa Sumari, pola tanam dominan pada sawah irigasi pedesaan dan sawah tadah hujan adalah padi-palawija. Jenis palawija yang umum ditanam antara lain jagung dan kacang tanah. Selain itu, ada juga sebagian kecil petani yang mempunyai pola tanam padi-sayuran. Namun sayuran hanya ditanam pada luasan yang kecil dari lahan. Jenis sayuran yang umum ditanam adalah tomat dan cabai. Dengan demikian, pola tanamnya adalah Padi-Tomat, atau Padi-Cabai. 70. Tanaman tahunan yang paling banyak ditanam di lahan kebun adalah kakao, kelapa, dan kopi. Kakao merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar rumah tangga tani contoh. o.2. Penggunaan Benih, Pupuk, dan Pestisida 71. Untuk tanaman semusim, baik pada lahan kering, sawah tadah hujan, maupun sawah irigasi, benih yang digunakan petani umumnya adalah benih sendiri. Untuk padi sawah, jumlah benih yang digunakan berkisar antara 4080 kg per ha. Tingginya penggunaan benih disebabkan banyaknya jumlah bibit per lubang, yaitu antara 5-10 tanaman per lubang, serta seringnya dilakukan penyulaman. 72. Penggunaan pupuk sangat ditentukan oleh ketersediaan pupuk dan kemampuan petani membeli. Untuk tanaman padi sawah, umumnya petani menggunakan 3 jenis pupuk, yaitu Urea, SP-36, dan KCl dengan takaran yang bervariasi dan umumnya masih rendah. Takaran Urea berkisar antara 50 sampai 150 kg/ha, SP36 antara 40 sampai 130 kg/ha, dan KCl antara 4 sampai 60 kg/ha. 73. Untuk jagung, banyak petani yang tidak menggunakan pupuk. Namun demikian, sebagian petani menggunakan tiga jenis pupuk Urea, SP36, dan KCl, dan sebagian lagi dua jenis pupuk Urea dan KCl dengan takaran bervariasi, dan cenderung masih rendah. Bahkan untuk palawija lain seperti
xxv
kedelai dan kacang tanah, baik pada lahan sawah maupun lahan kering, umumnya petani tidak menggunakan pupuk. 74. Untuk tanaman tahunan, tidak ada petani yang menggunakan pupuk. Hal ini mencerminkan masih rendahnya tingkat penerapan teknologi. Pemupukan lebih intensif hanya dilakukan untuk tanaman tomat dan cabai, itupun dilakukan petani Desa Langaleso yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur. 75. Pestisida hanya digunakan secara intensif pada tanaman padi dan sayuran. Sedangkan pada palawija penggunaan pestisida sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya intensitas serangan hama pada tanaman palawija. p. Analisis Usahatani 76. Di Desa Langaleso, komoditas utama yang diusahakan adalah padi sawah dan tomat. Dengan tingkat penerapan teknologi yang ada, produktivitas padi, baik pada musim hujan maupun musim kemarau cukup baik, yaitu rata-rata 5.3 ton/ha. Pendapatan bersih dari usahatani padi rata-rata Rp 1,9 juta/ha pada musim hujan dan Rp 1,5 juta/ha pada musim kemarau, dengan R/C ratio 1,55 pada musim hujan dan 1,42 pada musim kemarau. 77. Pada tanaman tomat, keuntungan usahatani lebih tinggi lagi yaitu rata-rata Rp 4,2 juta/ha pada musim hujan dan Rp 2,9 juta/ha pada tanaman musim kemarau. R/C ratio yang dicapai 2,01 dan 1,83 berturut-turut pada musim hujan dan musim kemarau. Ini berarti bahwa keuntungan usahatani tomat pada musim hujan melampaui 100 persen dari biaya yang dikeluarkan. Untuk musim kemarau keuntungan tersebut sekitar 83 persen dari biaya yang dikeluarkan. 78. Di Desa Matantimali, tanaman utama yang diusahakan adalah jagung dan kacang tanah. Jagung merupakan tanaman untuk konsumsi keluarga, sedangkan kacang tanah untuk dijual. Dengan teknologi yang diterapkan petani, produktivitas jagung masing-masing 1,5 ton/ha pada musim hujan dan 1,1 ton/ha pada musim kemarau. Jika hasil jagung dijual pada harga pasar yang berlaku, maka pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani jagung adalah Rp 493 ribu pada musim hujan dan hanya Rp. 88 ribu pada musim kemarau. 79. Besarnya R/C ratio pada usahatani ini adalah 1,44 pada musim hujan dan 1,09 pada musim kemarau. Hasil analisis ini mencerminkan bahwa pendapatan bersih dari usahatani jagung sangat rendah. Namun demikian, karena jagung merupakan makanan pokok maka petani tidak memperhitungkan keuntungan finansial dari usahatani jagung. 80. Pada usahatani kacang tanah, terjadi kondisi sebaliknya. Meskipun tanpa pemupukan, usahatani kacang tanah secara finansial cukup menguntungkan dengan pendapatan bersih rata-rata Rp 1,87 juta/ha, dengan R/C ratio 2,56. Artinya bahwa petani kacang tanah mampu
xxvi
memperoleh keuntungan sekitar 156 persen dari biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi usahatani kacang tanah ini hanya diusahakan pada luasan antara 0,1 sampai 0,25 ha per petani. 81. Di Desa Sumari, komoditas utama yang diusahakan adalah padi sawah pada sawah irigasi sederhana, serta jagung dan kacang tanah pada sawah tadah hujan dan lahan kering. Dengan teknologi yang diterapkan petani, produktivitas padi sawah rata-rata 3,8 ton/ha. Pendapatan bersih dari usahatani padi mencapai sekitar Rp 2,42 juta/ha dengan R/C sebesar 2,12. Ini berarti bahwa keuntungan dari usahatani padi mencapai 112 persen dari biaya yang dikeluarkan. 82. Untuk usahatani jagung, produktivitas rata-rata 2,16 ton/ha pada musim hujan dan 1,04 ton/ha pada musim kemarau. Meskipun produktivitas jagung pada musim hujan dua kali lipat dibandingkan dengan musim kemarau, namun pendapatan bersih yang dicapai pada musim hujan (Rp 619 ribu/ha) justru sedikit lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau (Rp 649 ribu/ha). Hal ini disebabkan oleh besarnya biaya yang dikeluarkan pada musim hujan. Pada musim kemarau petani tidak melakukan pemupukan, dan pemeliharaan juga tidak intensif sehingga biaya produksinya rendah. 83. Di Desa Lende, komoditas utama yang diusahakan petani adalah padi sawah. Petani menanam padi dua kali dalam setahun. Dengan penerapan teknologi yang ada di tingkat petani, produktivitas padi rata-rata 4,7 ton/ha pada musim hujan dan 3,0 ton/ha pada musim kemarau. 84. Pendapatan bersih dari usahatani padi sebesar Rp 2,54 juta/ha pada musim hujan dan Rp 1,85 juta/ha pada musim kemarau, dengan R/C ratio sebasar 1,96 pada musim hujan dan 2,04 pada musim kemarau. Lebih kecilnya R/C untuk musim hujan antara lain disebabkan oleh tingginya biaya pestisida pada musim hujan. 85. Di Desa Lumbudolo, komoditas tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung. Tingkat penerapan teknologi di desa ini sangat sederhana, yaitu tidak menggunakan pupuk dan pestisida. Rendahnya tingkat penerapan teknologi berakibat pada rendahnya produktivitas jagung. Produktivitas jagung hanya rata-rata 0,84 ton/ha pada musim hujan dan 0,78 ton/ha pada musim kemarau. 86. Jika jagung dijual pada harga pasar yang berlaku, maka pendapatan bersih dari usahatani jagung hanya mencapai rata-rata Rp 165 ribu/ha pada musim hujan dan Rp 131 ribu/ha pada musim kemarau, dengan R/C masing-masing 1,22 dan 1,18. q. Struktur Pendapatan Rumah Tangga 87. Sumber pendapatan utama rumah tangga petani contoh di Kabupaten Donggala adalah dari usahatani (On-Farm), yang memberi kontribusi sebesar 65,51 persen dari seluruh pendapatan rumah tangga tani. Dari
xxvii
seluruh usahatani, usaha perkebunan (tanaman keras) memberi kontribusi terbesar, diikuti usahatani palawija, ternak, usahatani padi dan sayuran. 88. Sumber pendapatan kedua adalah dari luar usahatani (Non-Farm), dengan kontribusi pendapatan sekitar 30,42 persen dari total pendapatan rumah tangga. Kegiatan di luar usahatani yang paling umum dilakukan adalah berdagang, usaha/buruh industri, dan tukang/buruh bangunan. Sedangkan usaha berburuh tani hanya memberi kontribusi pendapatan sebesar 4,06 persen. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat desa contoh di Kabupaten Donggala masih sangat tergantung pada sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama. r. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga 89. Dari sisi pengeluaran rumah tangga, sebagian besar (57,74%) pengeluaran rumah tangga dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dari kebutuhan pangan, beras dan jagung masih menempati urutan tertinggi, yaitu mencapai 21,28 persen dari seluruh pengeluaran. Tingginya proporsi pengeluaran untuk pangan pokok (beras dan jagung) merupakan cerminan dari kondisi masyarakat miskin. 90. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan non-pangan mencapai 42,26 persen dari total pengeluaran. Dari pengeluaran nonpangan, pengeluaran untuk pendidikan merupakan bagian yang paling tinggi. Hal ini mencerminkan kesadaran petani akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 91. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 telah meningkatkan angka kemiskinan baik secara nasional maupun tingkat Provinsi Sulawesi Tengah. 92. Pada tahun 2003, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 23,03 persen dari jumlah penduduk provinsi ini dan menduduki urutan ke 6 termiskin dari 26 provinsi. Penduduk miskin terkonsentrasi di pedesaan yang umumnya bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu, untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan maka sektor pertanian harus dibangun secara intensif, menyeluruh dan berkelanjutan. 93. Sarana jalan dari kabupaten dan kecamatan menuju desa umumnya cukup baik dan hampir seluruhnya beraspal. Namun demikian, jalan usahatani di seluruh desa contoh belum memadai. Oleh karena itu, hampir semua desa yang mendapat bantuan dana P4M2I di Kabupaten Donggala memprioritaskan investasi desa pada pembangunan jalan usahatani yang sekaligus berfungsi sebagai jalan tembus antar dusun atau antar desa.
xxviii
94. Kelembagaan kelompok tani yang ada hanya berperan pada saat ada acara penyuluhan, atau pertemuan untuk perencanaan tanam. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengadaan sarana produksi atau pemasaran hasil secara kolektif. Lembaga penyuluhan menjadi tidak jelas, sejak Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) tidak lagi diprogramkan menjadi lembaga penyuluhan di tingkat kecamatan. Lembaga keuangan yang bisa diakses petani secara mudah juga belum tersedia, sehingga petani lebih banyak meminjam pada tengkulak. Demikian juga lembaga pemasaran hasil belum ada. 95. Pola tanam di setiap desa berbeda karena adanya perbedaan agroekosistem. Pada lahan irigasi pedesaan, pola tanam petani umumnya padipadi; padi-palawija atau padi-sayuran. Pada lahan kering petani umumnya menanam jagung-jagung atau jagung-kacang tanah. 96. Penerapan teknologi tanaman semusim tergolong masih sederhana, bahkan ada yang tidak melakukan pemupukan, baik untuk jagung maupun kacang tanah. 97. Dengan tingkat penerapan teknologi yang ada, produktivitas padi berkisar antara 3 ton sampai 5,3 ton/ha. Pendapatan usahatani padi berkisar antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2,54 juta/ha per musim. 98. Produktivitas jagung berkisar antara 0,78 ton sampai 2,16 ton/ha per musim, dengan pendapatan bersih berkisar antara Rp 88 ribu sampai Rp 649 ribu/ha per musim. 99. Produktivitas kacang tanah berkisar antara 879 kg sampai 920 kg/ha per musim, dengan pendapatan bersih antara Rp. 1,87 juta sampai Rp. 2,01 juta/ha per musim. Peluang peningkatan produktivitas masih sangat besar dengan penerapan teknologi yang lebih maju. 100. Produktivitas tomat antara 7,4 ton sampai 8,4 ton/ha per musim, dengan pendapatan bersih antara Rp 2,98 juta sampai Rp 4,20 juta/ha per musim. 101. Implikasinya ialah bahwa pemberdayaan petani miskin harus dilakukan secara terpadu mulai dari penyediaan infrastruktur sampai penyediaan teknologi usahatani yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik dan sosial ekonomi petani. 102. Pemberdayaan petani secara terintegrasi seperti P4M2I dapat dijadikan model pembangunan pedesaan di masa mendatang. Namun dalam pelaksanaannya memerlukan sistem pengawasan yang memadai agar tujuan proyek dalam memberdayakan masyarakat petani dapat dicapai secara efektif dan efisien.
xxix