BAB II PEMAKNAAN SWASTIKA 2.1 Persebaran Swastika di Dunia Diberbagai belahan dunia Swastika di kenal dengan nama yang berbedabeda, walaupun pada akhirnya simbol ini diterima dengan nama sansekerta kunonya yakni Swastika. Awalnya Swastika di eja s-v-a-s-t-i-c-a dan s-u-a-s-t-i-k-a, namun kemudian pengejaannya baik dalam bahasa Inggris maupun Prancis menjadi s-w-a-s-t-i-k-a. Littre‟s French Dictionaries menjabarkan etimologi dari kata Swastika, bahwa secara etimologis Swastika merupakan sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang berarti kebahagiaan, kesenangan, dan nasib baik. Kata ini terbentuk dari “Su” yang berarti “baik”, dan asti yang berarti “menjadi”, “menjadi baik”, dengan suffik ka (Wilson, 1896). Selama ini yang melekat pada simbol Swastika adalah karakter sebagai sebuah simbol ucapan syukur, berkat, umur panjang, keberuntungan dan nasib yang baik. Karakter-karakter ini pun masih terbawa hingga masa modern saat ini. Terkait dengan awal persebaran Swastika di dunia, Wilson (1896) menyatakan; The Straight line, the circle, the cross, the triangle, are simply forms, easily made and might have been invented and re-invented in every age of primitive man and in every quarter of the globe... but Swastika was probably the first to be made with a definite intention and a continuous or consecutive meaning, the knowledge of which passed from person to person, from tribe, to tribe, from people, to people, and from nation to nation, until, with possibly changed meanings, it has finally circled the globe(Wilson, 1896, p.764) D‟Alviella (1891) dalam karyanya La Migration des Symboles mengutip pernyataan dari Max Muller mengenai awal kemunculan simbol Swastika. Muller
33
mengatakan bahwa simbol Swastika mulai sering digunakan di India tiga abad sebelum masehi, saat ajaran Buddha mulai menjadi ajaran yang paling populer di India. Namun menurut Muller nama Swastika sudah digunakan pada karya sastra Rsi Panini (salah satu Rsi dalam Agama Hindu) di pertengahan 400 tahun sebelum masehi, jauh sebelum simbol ini di populerkan oleh Buddha. Terkait dengan tahun hidup Rsi Panini ini masih menjadi sebuah perdebatan diantara para sarjana. Harshananda (2008) menyebutkan bahwa Rsi Panini hidup di masa kepemerintahan Raja Nanda, sekitar 5 abad sebelum masehi. Sedangkan referensi dari Brahma Purana (salah satu kitab kuno Hindu) mengatakan bahwa nama Rsi Panini ada pada jajaran nama-nama Sakandika, Atri dan Angira yang pada dasarnya diciptakan oleh pikiran Brahma (salah satu personifikasi Tuhan pencipta alam dalam kepercayaan Hindu) pada 155,5 triliun tahun yang lalu, pada awal penciptaan dari brahmanda (alam semesta), yang menunjukkan bahwa Panini juga merupakan guru kerohanian yang abadi (Saraswati, 2003). Dalam bukunya, The Swastika; The Earliest known symbol, and its migration; with observation on the migration of certain industries in prehistoric times, Thomas Wilson (1896) secara garis besar membagi persebaran Swastika di dunia menjadi 8 kelompok. Kelompok pertama ia sebut sebagai extreme orient (Timur-Jauh) yang mencakup persebaran Swastika di Jepang, Korea, Cina, Tibet, dan India. Kelompok kedua ia sebut dengan Clasical Orient yang mencakup persebaran Swastika di Babylonia, Asyiria, Chaldea, Persia, Phenicia, Lycaonia, Armenia, Caucasus; dan Asia Minor- Troy (Hissarlik). Kelompok ketiga adalah kelompok negara-negara Afrika seperti Mesir, Algeria, dan Ashantee. Kelompok
34
keempat ia namai sebagai Classical Occident- Mediteranian yang meliputi Yunani, Cyprus, Rhodes, Melos, dan Thera. Kelompok kelima merupakan temuan Swastika di Eropa. Kelompok keenam adalah persebaran Swastika di Amerika Serikat. Kelompok ketujuh adalah persebaran Swastika di Amerika Tengah, dan Kelompok terakhir membahas persebaran Swastika di Amerika Selatan. Dalam bukunya Wilson (1896) mengatakan bahwa penemuan Swastika di Jepang, Korea, Cina, Tibet dan India merujuk pada angka 11 abad sebelum masehi. Adapun bentuk-bentuk Swastika di daerah ini tidak hanya digunakan sebagai simbol religius semata namun juga sebagai ornamen sederhana dalam lukisan-lukisan, guci tembikar, uang koin, dan berbagai benda lainnya. Di Persia, Babylonia, Assyiria bentuk Swastika ditemukan dalam uang koin, sementara itu kaum Hitties di Lycaonia menempatkan Swastika pada pahatan Ibriz yang menggambarkan Swastika dalam pinggiran jubah seorang raja atau pendeta yang sedang mempersembahkan persembahan pada Tuhannya. Di Armenia dan Caucasus bentuk Swastika ditemukan pada kepala peniti (D‟alviella, 1891). Seorang arkeolog Dr. Schliemann (1880) menemukan banyak spesimen simbol Swastika dalam berbagai artefak di Asia Minor – Troy (Hissarlik), yang sebagian besar dalam bentuk kumparan lingkaran (spindle-whorl). Schliemann menyatakan terdapat 209 spesimen yang memiliki relasi terhadap simbol Swastika. Pada situs Troy ini ditemukan tujuh kota berbeda dengan kedalaman dan umur artefak yang berbeda. Pada kota yang pertama dengan kedalaman penggalian 13-16 meter meskipun banyak ditemukan kumparan lingkaran
35
(spindle-whorl) namun tak satupun artefak ini yang memiliki simbol Swastika. Pada kota yang kedua, bentuk Swastika masih belum juga ditemukan. Pada kota ketiga dengan kedalaman 7-10 meter ditemukan berbagai kumparan
lingkaran
(spindle-whorl)
dengan
bentuk
Swastika
sebagai
ornamennya. Berbagai macam bentuk Swastika baik yang berlengan mengarah ke kanan maupun ke kiri ditemukan di hampir setiap artefak. Selain kumparan lingkaran terdapat pula artefak bola dunia yang terbagi empat segmen oleh garis equatorial dengan tanda titik, lingkaran, dan satu bagian dengan bentuk Swastika berlengan kiri. Bola tembikar ini disinyalir merujuk pada representasi Swastika untuk Zeus/ Indra/ dewa langit (Schliemann, 1880). Pada kota keempat dengan kedalaman 4-5 meter ditemukan berbagai artefak kumparan lingkaran (spindle whorl) dan juga bentuk kerucut sederhana dengan ornamen Swastika berlengan kanan dan lengan kiri. Bentuk ornamen Swastika dikota keempat ini lebih tegas dan memiliki variasi motif pendukung lainnya seperti lingkaran, garis, titik, dan sejenisnya. Tak banyak yang bisa ditemukan oleh Dr. Schliemann pada ekskavasinya di kota kelima, kedalaman 3-4 meter. Dalam karyanya Ilios Dr. Schliemann (1880) mengatakan: “Instead of the hundreds of axes I Gathered in the fourth city, I collected in all only two here. * * * the forms of terra-cotta whorls, too, are innumerable instances different here. These objects are of a much inferior fabric, and become elongated and pointed.” Pada kota keenam (Lydian city of Troy) dan ketujuh (Greek Ilium) banyak ditemukan kumparan lingkaran bikonis (dwi runjung), bola tanah liat, cakram tanah liat, bejana bulat, vas tanah liat, dan berbagai artefak lainnya. Selama
36
ekskavasinya di Bukit Hisarlik (situs troy, Turki), sekitar 1800 kumparan lingkaran (spindle-whorl) ditemukan oleh Dr. Schliemann. Terdapat 55 spesimen yang memiliki bentuk Swastika yang murni dan sederhana, sementara 420 lainnya di sinyalir memiliki keterkaitan pada bentuk Swastika. Salah satu temuan yang paling utama menurut Dr. Schliemann adalah penemuan patung dewi terbuat dari logam yang ditemukan di kedalaman 7 meter di reruntuhan kota ketiga (the burnt city), yang dipercayai sebagai patung “Artemis Nana of Chaldea” yang merupakan dewi utama dari Caréhemish (ibu kota
Hittie) dengan simbol
Swastika pada bagian tengah vulva patung tersebut (Schliemann, 1880). Swastika juga ditemukan pada situs Naukratis, Mesir Kuno pada abad 6-7 sebelum masehi. Namun meskipun ditemukan di wilayah Mesir Kuno, vas yang memiliki ornamen Swastika ini dikatakan bukanlah peninggalan Mesir, melainkan sebuah vas dari Yunani yang diimpor ke Mesir. Di Algeria bentuk Swastika ditemukan pada sebuah makam kuno. Bentuk Swastika juga ditemukan pada sebuah batang baja di Coomassee pada masa perang Ashantee (Wilson,1896). Bentuk Swastika juga ditemukan di wilayah Mediterania (Yunani, Pulau Cyprus, Rhodes, Melos dan Thera), dalam objek perunggu dan emas, barang tembikar, vas yang di lukis, patung tanah liat, dan berbagai artefak lainnya. Bentuk Swastika pada benda-benda artefak di Meditarania sangat jelas dan tegas. Baik Swastika dengan lengan kanan maupun kiri dapat ditemukan di berbagai ornamen vas maupun patung artefak di Mediterania (Goodyear, 1891). Dengan demikian, Swastika pernah menjadi simbol penting dalam peradaban Mediterania.
37
Penyebaran Swastika di Eropa diperkirakan mulai pada zaman perunggu yang berasal dari Timur-Jauh (extreme orient). Sehingga jika perunggu ini berasal dari Timur-Jauh, dan Swastika juga berasal dari sana, sebagaimana objek perunggu termasuk pada masa prehistorik dan menunjukkan hubungan dengan Timur, maka merupakan sebuah kesimpulan yang adil jika tanda Swastika yang ditemukan pada objek yang sama juga berasal dari Timur. Kesimpulan ini diperkuat dengan pembuatan dan kelanjutan penggunaan Swastika baik pada benda perunggu maupun guci, hingga secara praksis melingkupi dan dapat ditemukan diseluruh daratan Eropa di manapun budaya perunggu berlaku (Dennis, 1883). Di Eropa bentuk Swastika ditemukan dalam berbagai artefak seperti altar pembakaran, guci, barang tembikar, kancing peniti emas dan tembaga, mangkok perak, ujung tombak, lencana perak, ikat pinggang, pedang, sisir perunggu, bros, sarung pedang, perlengkapan kuda, altar batu, pahatan batu, koin, dan lain sebagainya. Di Swiss beberapa artefak barang tembikar ditemukan pola-pola Swastika yang sama persis, seperti dibuat dengan cara di stempel/ di cap dan di tempat yang sama pula ditemukan artefak berbentuk stempel Swastika yang cocok dengan pola di tembikar tersebut (D‟alviella, 1891). Di Amerika Serikat pada masa Pre-Columbian ditemukan bentuk Swastika dalam sebuah ornamen pada cangkang kerang. Artefak ini ditemukan di gundukan tanah kuno yang di gali di Pulau Fains, 3 mil dari Bainbridge, Jefferson County, Tenn. Selain itu ditemukan pula lima buah Swastika Aborigin dari tembaga tipis di gundukan tanah Hopewell di Ross County Ohio. Ornamen Swastika pada sebuah kendi air juga ditemukan di gundukan tanah kuno di Arkansas. Bagi Suku
38
Indian di Kansas, Swastika merujuk pada simbol angin badai dan lagu-lagu angin. Sementara itu, bagi Suku Sae Indian, Swastika atau yang mereka kenal sebagai “luck” atau “good luck” digunakan pada kalung dan pengikat kaus kaki (garters) oleh para “sun worshippers” yakni para pemuja Dewa Matahari (Surya) pada suku Sae Indian. Swastika bagi suku Sae Indian merupakan simbol yang suci dan hanya digunakan pada perayaan tertentu saja. Swastika digunakan pada Gourd (semacam alat musik berbentuk labu yang di dalamnya diisi kacang-kacangan atau kerikil untuk menimbulkan suara berderik-derik) oleh Suku Indian Pueblo saat melakukan dance rattle. Swastika juga ditemukan pada berbagai barang tembikar seperti mangkok dangkal dari Suku Indian Pueblo yang tinggal di Mesa Verde, bagian barat daya Colorada. Bentuk Swastika juga ditemukan pada lukisan kering milik Suku Navajo yang menetap di New Mexico. Terdapat 4 buah Swastika pada lukisan yang menggambarkan sebuah perayaan bagi Suku Navajo ini (Nadailac, 1884). Dengan penemuan ini, diduga berbagai etnis Indian telah menggunakan simbol Swastika sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan etnis mereka. Menariknya, Indian menggunakan dan memaknai simbol ini sama seperti makna aslinya yakni keberuntungan, kesejahteraan dan berbagai nilai positif lainnya. Penemuan lebih lanjut dari upaya memetakan persebaran Swastika di dunia, bahwa penggunaan Swastika ditemukan di daerah Amerika Tengah yang melingkupi Nikaragua, Yucatan, dan Costa Rica. Spesimen Swastika ditemukan di Nikaragua pada dasar pecahan sebuah batu metate yang besar dari Zapatero. Berdasarkan laporan dari Dr. Schliemann spesimen Swastika yang ditemukan di
39
Yucatan terdapat pada sebuah mangkok tembikar. Spesimen lainnya menurut Le Plongeon (dalam Schliemann, 1884), ditemukan pada sebuah pecahan batu lemping di kota kuno suku Maya, Mayapan. Sementara itu, Laporan Schliemann juga mencatat penemuan Capt. J.M. Dow yang menemukan sebuah pecahan batu metate di sungai Lempa, Costa Rica yang bentuk Swastika nya mirip dengan yang ditemukan di Nicaragua. Di Amerika Selatan spesimen Swastika ditemukan di Brazil dan Paraguay. Wanita Suku Aborigin kuno di Brazil menggunakan tunga (perisai/ plat yang berbentuk segitiga, terbuat dari tembikar tipis, dengan tepi yang dibulatkan, digosok hingga halus dan di poles, yang digunakan untuk menutupi organ kelaminnya (vulva). Spesimen tunga ini menarik tidak hanya karena memiliki bentuk Swastika sebagai ornamennya, namun kemiripan dengan sebuah patung Arthemis Nana yang di temukan di situs Troy, Hissarlik, Turki. Ketika tunga ini digunakan oleh wanita suku aborigin, maka penggambarannya akan sama seperti patung Arthemis nana yang memiliki bentuk segitiga dengan ornamen Swastika pada bagian vulvanya. Sementara itu berdasarkan laporan Schliemann (dalam Wilson, 1896) menyatakan bahwa seorang pelancong dari Berlin Ethnological Museum menemukan sebuah botol berbentuk labu dari suku Lenguas di Paraguay yang menggunakan bentuk Swastika di bagian permukaannya. Lebih lanjut Wilson (1896) secara garis besar hanya memaparkan penemuan-penemuan Swastika di berbagai tempat, tanpa lebih jauh mencari makna dibalik simbol Swastika itu secara rinci di masing-masing tempat
40
penemuan ornamen ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault (1995) bahwa makna tidak stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan antarteks atau intertektualitas. Jika dilihat dari pemikiran Foucault yang mengatakan bahwa manusia hanyalah produk dari sejarah dan dalam hal politik kebenaran pun setiap masyarakat dianggap memiliki rezim kebenaran tersendiri. Pendapat ini yang memungkinkan membuat Wilson terkesan enggan menggali lebih jauh makna Swastika diberbagai rezim masyarakat berbeda di berbagai belahan dunia. Namun terlepas dari semua itu, Wilson masih tetap mencantumkan pemaknaan simbol itu sesuai dengan berbagai laporan yang telah ia himpun. Secara garis besar pemaknaan Swastika di setiap tempat ditemukannya lebih merujuk pada pemaknaan kemakmuran, nasib baik, keberuntungan dan kesuburan. Sementara untuk penggunaannya simbol Swastika selain sebagai ornamen, juga lebih sering digunakan sebagai simbol suci pada setiap seremoni atau upacara pemujaan. Makna dan kegunaan dari simbol Swastika di berbagai belahan dunia, sebagaimana ditemukan oleh Wilson, Schliemann dan sejumlah ahli lainnya menunjukkan makna yang sama dari Swastika yang lahir dari peradaban Veda, yakni kesuburan, kemakmuran dan keberuntungan. Di berbagai peradaban dunia di masa lalu, tepatnya sebelum tahun masehi, makna Swastika masih menunjukkan simbol keberuntungan.
41
2.2 Makna Swastika Bagi Hindu Swastika merupakan salah satu simbol penting dalam peradaban Hindu (Veda). Swastika merupakan salah satu dari 108 simbol dari Dewa Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta, kata Swastika dapat diuraikan menjadi Su artinya „good‟ (baik), asti „to be, to exist‟, ik artinya abadi dan selalu seperti itu. Swastika, secara termonologi kata juga diartikan su + asti = well + being (
+
, =
) atau all be well. Sementara, -ka adalah sufiks yang menandakan simbol. Sehingga Swastika menandakan simbol keberuntungan dan kemujuran. Selain itu, sejumlah pakar menyebutkan makna dalam dari Swastika adalah kejayaan selamanya (www.ancient-origins.net). Sementara itu Harshananda (2008) dalam A Concise Encyclopaedia of Hinduism Volume 3: R-Z memberikan sebuah definisi yang cukup komprehensif mengenai Swastika: The Svastika is a symbol of auspiciousness (Svasti= auspiciousness). It has been used as a symbol of the sun or of Viṣṇu or even Ganeśa. It also represents the world-wheel, the eternally changing world, round a fixed, unchanging centre or God. Svastika marks depicted on doors or walls of building or on animals, are believed to protect them from the wrath of evil spirits or furies of nature. Jadi Swastika bagi Hindu tidak saja melambangkan keberuntungan atau kemakmuran, melainkan simbol manifestasi Tuhan, yakni Surya, Visnu atau Ganesha1. Sehingga, simbol ini menjadi sesuatu yang sakral.
1 Teologi Hindu (Brahmavidya) terbagi dalam dua konstruksi besar yakni konsep Nirguna Brahman (Tuhan tanpa bentuk, tak berpribadi, tak tergambarkan) dan Saguna Brahman (Tuhan
42
Sejak jaman Veda, simbol ini digunakan sebagai simbol yang membawa karunia, keberuntungan dan menjadikan keberuntungan sebagai bagian dari kehidupan dalam peradaban Veda. Bahkan, Swastika berasal dari mantra Yajur Veda yang dikenal sebagai Svasti Vachan Mantra atau Swastika dikenal sebagai Swastika Reading Hymn
Om svasti na indro vṛddhaśravaḥ svasti naḥ pūṣā visvavedā svasti nastārkṣyo riṣṭanemiḥ svasti na bṛhaspatir dadhātu Yajurveda XXV.19 “Semoga Hyang Indra yang berjaya memberikan kedamaian kepada kami, Semoga Pūṣan yang mahatahu memberikan keselamatan kepada kami, Garuda yang bersayap kuat, yang bergerak cepat memberikan kedamaian kepada kami, Semoga Brhaspati, maha guru memberikan kesejahteraan kesejahteraan kepada kami.” (Titib, 2006: 364) Mantram tersebut dikenal sebagai, Svasti Vachan. Mantram ini merupakan mantra yang sangat terkenal dan populer digunakan dalam berbagai ritual. Sharma (2005) menyatakan mantram Yajur Veda tersebut telah termaktub dalam puluhan mantra lainnya. Di dalam Ganesh Purana dikatakan bahwa Swastika adalah perwujudan dari Dewa Ganesha. Terkait dengan Dewa Ganesha yang merupakan Dewa penghancur segala halangan dan rintangan, simbol Swastika wajib dibuat setiap sebelum memulai pekerjaan yang baik. Terkait dengan Swastika sebagai lambang kesejahteraan, kemakmuran dan kegembiraan, dapat pula ditemukan pada mantra-mantra Veda lainnya, seperti ;
Berpribadi). Dalam konteks Tuhan Berpribadi manifestasi beliau sangat banyak dan dapat pula direpresentasikan dalam simbol-simbol, diantaranya simbol Swastika. Dalam Teologi Hindu Surya adalah Dewa Matahari, Vishnu adalah Dewa pemelihara alam semesta dan Ganesha adalah Dewa yang menghancurkan halangan dan rintangan.
43
svastaya adityāso bhavantu nah Rgveda V.51.12 Sinar-sinar-Nya Sanghyang Surya, semoga kebahagiaan kepada kami.” (Titib, 2006 : 364).
menganugrahkan
Mantram ini menekankan bentuk kata Svasta yang merujuk pada Aditya atau Dewa Surya yang menganugrahkan kebahagiaan. Sehingga di berbagai belahan dunia, Swastika digunakan oleh para pemuja Surya sebagai sebuah simbol sakral. Akar pemujaan Surya dan Swastika berakar dari mantram Veda tersebut. svasti naḥ putrakṛtheṣu yoniṣu Rgveda X.63.15 “Semoga terhadap kesejahteraan untuk para wanita yang melahirkan putra-putri gagah berani.” (Titib, 2006 : 365). Mantram Veda tersebut diatas terkait dengan kata Svasti yang merujuk kepada kesejahteraan. Kata dasar Svastika, yakni yakni Svasti dan berbagai bentuk kata Sanskerta lainnya memang lebih umum merujuk kepada kesejahteraan. Kata Svasti ini juga muncul pada mantram Atharvaveda berikut. svasti mātra uta pitre no astu Atharvaveda I.31.4 “Semoga terdapat kesejahteraan untuk ibu dan ayah.” (Titib, 2006 : 366). Kata Svasti pada mantram diatas merujuk pada arti kesejahteraan yakni seorang putra yang mendoakan kesejahteraan bagi ibu dan ayah. Jadi kata Svasti dalam Veda lebih umum merujuk pada kesejahteraan dan keberuntungan. Namun selain itu, juga merujuk pada kata kegembiraan dalam bentuk kata yang lain, seperti mantra berikut.
44
svastidā manasā mādayasva arvācīno revate saubhagāya Rgveda X.116.2 “Dewata yang mendorong untuk berbuat baik, berbahagialah dan datanglah kepada kami untuk kemakmuran dan keberuntungan yang baik.” (Titib, 2006 : 372). Swastika merupakan desain garis yang ditemukan oleh Rsi (orang suci Hindu) jaman Veda. Merupakan sebuah geometri spesifik yang dipercaya memiliki hubungan dengan beberapa medan energi alamiah. Itu digambarkan sebagai sebuah tanda (+) yang memiliki lengan yang sama dengan ujung mengarah ke kanan dan berputar searah jarum jam. Berdasarkan sejumlah mantram Veda tersebut, Madhava Turumella (2013) yang mengikuti pemikiran orang suci jaman Veda, mengkonstruksi Swastika sebagai sebuah formulasi sakral, sebagai berikut ;
Gambar 2.1 Konstruksi Swastika Menurut Madhava Turumella (2013)
45
Jadi simbol Swastika merupakan simbol perlindungan dari Dewa Indra yang menganugrahkan kekuatan, Pūṣan2 yang memberikan keselamatan, Tarkshya3 memberikan kedamaian dan Brhaspati4 guru yang memberikan pengetahuan dan kesejahteraan
melalui
pengetahuan.
Simbol
dalam
tradisi
Veda
selalu
melambangkan kekuatan dari manifestasi Tuhan melalui Dewa tertentu sebagai penguasa kekuatan. Sehingga Swastika merupakan simbol mistis religius yang sangat dihormati dan diyakini memberikan perlindungan dan kebaikan. Konstruksi simbol Swastika tersebut juga mengandung makna Swastika sebagai lambang mistis sebagai simbol perlindungan dari Tuhan dan perputaran masa seperti digambarkan berikut ini ;
.
Gambar 2.2 Perputaran konstelasi perbintangan menurut astrologi Veda yakni Shrawan, Chitra, Pushya dan Revati
2 Pūṣan dalam Veda merupakan Dewa yang menjaga energi, memberikan perlindungan dan keselamatan dengan energi yang cukup. 3 Tarskhya merupakan burung Garuda wahana dari Dewa Vishnu 4 Brhaspati merupakan Guru dari para dewata. 46
Perputaran ini merupakan perputaran musim dalam ilmu astrologi Veda. Perputaran musim ini dianggap sangat penting untuk memberikan keberuntungan dan perlindungan bagi segenap planet. Selanjutnya Knapp (2003) menyatakan berdasarkan teks religius India, dijelaskan Swastika sebagai simbol dari tanah, api, air, udara, langit, pikiran, emosi dan perasaan. Sedangkan empat lengan dari Swastika melambangkan pada empat hal yang sangat penting. Representasi dari empat yuga atau era yakni Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga5. Menggambarkan empat Varnas-Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan Sudra6. Swastika juga melambangkan empat tahapan hidup manusia- Brahmacāri (masa menuntut ilmu), gṛhastha (berumah tangga), vānaprastha (melepaskan ikatan) dan Sannyāsa (hidup sebagai pertapa). Empat lengan Swastika juga merupakan simbol dari empat pencapaian dasar manusia yakni Dharma (kebajikan), artha (kemakmuran), kama (keinginan), dan moksa (pembebasan). Swastika juga melambangkan empat wajah Dewa Brahma dan empat Veda (Catur Veda), Rgveda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda. Juga sebagai simbol empat konstelasi perbintangan yakni Pushya, Chaitra, Shravan dan Revati. Sejak jaman dahulu, orang-orang Hindu telah menggunakan Swastika sebagai simbol keberuntungan dan berkah, sehingga simbol ini selalu digunakan
5 Satya Yuga siklus pertama dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran catur yuga. Treta Yuga merupakan siklus kedua dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran catur yuga . Dvapara Yuga adalah siklus ketiga dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran catur yuga . Kali Yuga adalah siklus keempat dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran catur yuga. 6 Dalam konsteks Varna ashrama Dharma (empat tatanan social dan tatanan spiritual Veda) Brahmana adalah golongan pendeta, ksatria adalah golongan administrator negara dan angkatan bersenjata, waisya adalah golongan pedagang, dan sudra adalah golongan buruh atau pekerja. 47
dalam acara yang penuh kebahagiaan seperti pernikahan, Lakshmi Puja7 dan berbagai kegiatan religius lainnya. Penggunaan Swastika pada pintu atau pada dinding bangunan
diyakini memiliki kekuatan proteksi untuk menghindari
pengaruh jahat yang dapat menganggu. Selain itu, Swastika juga digunakan sebagai obyek pemujaan yakni simbol dari Dewa Ganesha. Simbol sakral ini diyakini digunakan oleh seluruh umat Hindu di dunia sebagai sebuah simbol yang suci dan mistis. Bahkan Swastika telah lama menjadi simbol identitas Hindu, di mana dengan menggunakan simbol ini maka sebuah tempat akan diketahui sebagai tempat pemujaan atau milik dari orang Hindu. Umumnya orang-orang Hindu menggunakan Swastika dengan putaran ke kanan atau arah jarum jam. Penggunaan putaran ke kiri biasanya digunakan dalam tradisi Budha atau Tantra yakni pemujaan pada Shakti atau energi kosmis. Mengenai simbol Swastika lainnya, Donder dan Wisarja (2011 : 111) menyatakan bangunan Veda terdiri atas dua tumpuan kaki pengetahuan, yakni pada kaki kanan pengetahuan paravidya (pengetahuan sakral) yang berisikan sruti8 „spiritual‟ dan kaki kiri pengetahuan aparavidya berisikan smrti9. Kedua jenis pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan. Simbol Swastika dapat digunakan untuk memahami hakekat kedua jenis pengatahuan ini, dengan empat kuadran yuga-nya plus empat kuadran 7 Upacara pemujaan terhadai Dewi Lakshmi, dewi yang menganugerahkan kekayaan dan kesejahteraan. 8 Sruti menurut kodifikasi Veda adalah kitab-kitab utama dari Veda yang merupakan visi langsung dari para maharsi penerima Veda. Yang termasuk kitab sruti adalah Rgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. 9 Smrti adalah kitab-kitab pelengkap, penjelas, lampiran atau kitab tafsir dari kitab Sruti
48
matematiknya, serta dua macam asumsi perputarannya dapat menjelaskan bagaimana hubungan yang erat antara kedua pengetahuan ini. Melalui analisis matematis dan spiritual terhadap simbol dan arah perputaran Swastika, perputaran kuadran catur yuga dalam Swastika kearah kanan, yang searah dengan perputaran jarum jam diasumsikan sebagai arah perputaran spiritual. Sedangkan arah perputaran kekiri dari kuadran
matematik merupakan simbol aktivitas sains.
Kerjasama antara sains dan spiritual dapat dilihat melalui gradien positif itu diperoleh suatu titik yang ditarik membagi dua sama besar bidang kuadran IV matematik (kuadran I dalam catur yuga), garis itu kemudian ditarik kebawah dengan sudut 45o menuju dan membagi dua bagian yang sama besar bidang kuadran II matematik (kuadran III dalam catur yuga).
Kertayuga 4800 Tahun Deva I
Kaliyuga 1200 Tahun Deva IV
Dvap. yuga 2400 Tahun Deva III
Tretayuga 3600 Tahun Deva II
Gambar 2.3 Konstruksi Swastika yang dikaitkan dengan Perputaran Yuga (Donder, 2007)
49
Lebih lanjut dikatakan, melalui analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dua jenis pengetahuan Veda yakni sains dan sakral sama pentingnya bagi manusia. Sehingga simbol Swastika bagi Hindu tidak saja melambangkan keberuntungan dan kebaikan tetapi juga menjelaskan pohon pengetahuan Veda dalam arah ke kanan yang melambangkan pengetahuan spiritual dan ke kiri melambangkan pengetahuan profan, yang keduanya perlu saling mendukung. Dengan demikian simbol Swastika bagi tradisi, peradaban dan pengetahuan Hindu sangat luas dan kuat mengakar serta telah digunakan oleh para Rsi sejak jaman lampau. 2.3 Makna Swastika Bagi Nazi Hakenkreuz atau Swastika merupakan lambang yang sulit dipisahkan sebagai identitas Nazi Jerman. Swastika digunakan hampir disetiap tampilan Nazi seperti pada bendera partai, emblem, lencana, dan berbagai benda-benda lainnya. Penggunaan simbol ini berserta pemaknaannya dalam Nazi sendiri sangatlah berkaitan dengan beberapa tokoh seperti Michael Zmigrodski, Heinrich Schliemann, Josseph Gobbels, dan Adolf Hitler. Michael Zmigordski adalah seorang Pustakawan Polandia, pemburu Swastika yang juga merupakan seorang yang Anti-semitik, yang mengangkat dirinya sendiri untuk mempromosikan Swastika sebagai heraldic device (alat yang berkaitan dengan ilmu perlambangan) dari keluarga Aryo-Germanic. Dalam The Swastika; Constructing The Symbol, Malcom Quinn (2005) mengatakan Zmigrodski memiliki kepercayaan bahwa Leluhurnya (orang Indo-European) merupakan ras unggul;
50
He compared the Swastika to a fly trapped in amber, its unchanging form representing the preservation of a racial essence over time, and his declared aim was to prove that „in a very ancient epoch, our IndoEuropean Ancestors Professed Social and Religious ideas more noble and elevated than those of other races…. The Swastika was recognised and cognitively „recovered‟ from all that it was not (manyarmed, contextually-coded, ornamenal, Semitic, etc.) and the chosen emblem, like the chosen race, existed in a condition of „negative visibility‟. (Quin: 2005, p.22). Menurut Heidtmann (1991) Ketertarikan Zmigrodski akan „Aryan‟ Swastika didorong oleh penemuan objek-objek yang memiliki tampilan Swastika di bukit Hissarlik, Turkey oleh seorang arkeologis, Heinrich Scliemann. Schliemann mengaitkan simbol ini dengan simbol serupa yang ditemukan pada sebuah guci kuno di Jerman, lalu berspekulasi bahwa Swastika merupakan sebuah “simbol keagamaan yang signifikan dari leluhur jauh bangsa Jerman”. Spekulasi ini tidak serta merta muncul. Kepercayaan Swastika sebagai sebuah simbol kejayaan bangsa Jerman berdasar pada sebuah teori yang di kemukakan oleh ilmuan penerjemah teks-teks India kuno, William Jones dan Max Muller. Namun sebenarnya penggunaan nama Swastika bagi objek yang ditemukan oleh Schliemann ini tidaklah di sambut baik oleh Max Muller, seorang Peneliti Asiatik yang mencetuskan Teori Arya. Bahkan melalui sebuah surat, Max Muller (yang kemudian di kutip oleh Schliemann dalam Ilios, 1880) memberi peringatan pada Schliemann bahwa ia harus waspada terhadap kekeliruan penafsiran kata „Swastika‟ dengan sebuah „gambar temuan‟ arkeologis: I do not like the use of word Svastika outside India. It is a word of Indian origin, has its history and definite meaning in India. I know the temptation is great to transfer names, with which we are familiar, to similar objects which come before us in the course of our researches. But it is a temptation which the true student ought to resist, except, it may be, for the sake of illustration. The mischief arising from the 51
promiscuous use of technical terms is very great (Schliemann, 1880, p.346). Penggunaan kata „Aryan‟ oleh Max Muller merujuk pada kelompok bahasa Indo-European. Ia secara sangat sederhana mengatakan bahwa ia berbicara mengenai bahasa, di mana menurut Muller bahasa dan ras adalah dua hal yang sangat berbeda. Namun tanpa disadari Muller telah memberikan para Rasialis Jerman sebuah kata dan sebuah konsep yang bisa mereka gunakan sebagai tempat menggantungkan kefanatikkan mereka. Seperti yang diungkapkan Bishop dan warner (2002) dalam German Insignia of World War II; In 19th century Europe the racial and political ideas which were to shape much of the character of Nazi Germany were focused around the confusion between the Indo-European languages and the so-called Indo-European race…. „Aryan‟ came to mean nobility of blood, incomparable beauty of form and mind, and a superior breed. Swastika was a Sanskrit word, Sanskrit being the oldest of the IndoEuropean Languages, and thereby acquired its „Aryan‟ racial association (Bishop, 2002, p.115). Namun bagi Schliemann (1880) Swastika tidak hanya merepresentasikan bagian dari sebuah bahasa saja, melainkan keseluruhan cara berbicara (logat), dan ras. Dari pemikiran inilah kemudian ia berusaha menciptakan hubungan antara mitologi Veda dan mitologi Homeric yang ia harap bisa bersatu. Pada proses ini Schliemann menginterpretasikan Swastika sebagai sebuah sistem isyarat pembentukkan-diri (self-generating signalling system), sistem di mana simbol menjadi sebuah alat pembentuk identitas seseorang. Gambaran sederhananya swastika sebagai sistem isyarat pembentukan diri adalah, jika engkau orang Arya kau akan mengenali dan menamai simbol itu sebagai Swastika, sementara jka kau
52
bukanlah orang Arya, engkau tidak akan melihat sesuatu itu sebagai sebuah „karya dekoratif yang tergesa-gesa dan tanpa makna religius sama sekali‟. Terlepas dari kebenaran akan keberadaan bangsa Arya serta superioritasnya, bagi Foucault kebaruan Sosialisme Nasional yang dianut oleh Nazi memang terletak pada caranya mengartikulasikan „pengagungan darah yang seperti impian‟, pengagungan tanah air, serta kemenangan ras dengan cara yang sangat sinis dan naïf (Foucault, 1997). Lebih lanjut lagi Foucault bahkan melihat bahwa Nazisme menetapkan sejumlah intervensi permanen kedalam tingkah laku individu di dalam populasi (bangsa Arya/masyarakat Jerman kala itu) dan mengartikulasikannya dengan sebuah „perhatian mitos terhadap darah dan kemenangan ras‟. Foucault mengindikasikan keadaan ini dengan permainan gembala-jemaat dan permainan kota-warga yang kemudian dirubah menjadi penggolongan eugenis (genetika) terhadap keberadaan biologis yang kemudian diartikulasikan melalui tema-tema kemurnian darah serta mitos tanah air. Simbolika „darah mulai menghendaki mandi-darah‟ yang digunakan oleh Foucault (1997) dalam Il faut defender la société merujuk kepada pernyataan bahwa tindakan merampas hak untuk hidup dari ras-ras lain selain ras Arya merupakan hal yang perlu untuk dilakukan demi terpeliharanya kehidupan ras Arya yang superior. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa dalam mencapai tujuan akhirnya yaitu superioritas bangsa Arya, Nazi membentuk „solusi terakhir‟ bagi bangsa-bangsa selain bangsa Arya, yaitu mati di tangan Jerman. Melalui genosida terhadap kaum Yahudi Nazi melihat bangsa lain selain Bangsa Arya sebagai lebensunwertes Leben (tidak pantas hidup). 53
Teoritisi Strukturalis mengatakan bahwa makna dari sebuah simbol tidaklah stabil bahkan selalu berada dalam proses. Derrida (1972) mengatakan bahwa pemaknaan dari sebuah simbol selalu tidak pasti dan tidak stabil. Sebuah simbol atau signifier (petanda) tidak selalu merujuk pada satu penanda (signified) saja, melainkan dapat mengacu pada berbagai penanda (signified) lainnya atau penafsiran lainnya. Bahkan lebih ekstrem lagi Foucault (1995) dengan tegas mengatakan bahwa makna dari sebuah simbol tak hanya selalu berubah namun bisa dibentuk dan diatur oleh sebuah rezim melalui relasi power. Keberadaan bahwa pemaknaan sebuah simbol selalu berubah tergantung dengan rezim kebenaran tiap zaman yang berbeda inilah yang terjadi pada simbol Swastika. Simbol (petanda) Swastika bagi Nazi tidak merujuk pada makna (penanda) kemakmuran dan kesejahteraan dan simbol sakral seperti pemaknaan simbol ini pada sebagian besar masyarakat yang menggunakannya, utamanya masyarakat Hindu, melainkan meloncat pada pemaknaan (penanda) lain menurut Nazi yaitu sebagai lambang superioritas bangsa Arya. Hitler menganggap Swastika sebagai sebuah simbol atas superioritas bangsanya (ras Jerman, bangsa Arya) seperti yang ia kemukakan dalam bukunya berjudul Mein Kampf (1992) : in the Swastika [we see] the mission of the struggle for victory of the Aryan Man, and, by the same token… the idea of creative work, which as such always has been and always will be anti-Semitic (Hitler, 1992, p/452) Seperti yang dijelaskan oleh Quinn (2005) bahwa dalam usahanya membentuk citra Swastika sebagai sebuah simbol dari “Kemenangan bagi Bangsa Arya,” Hitler telah mendeskripsikan sebuah alat yang menjelaskan mengenai 54
perlambangan (heraldic device) yang mengumumkan sebuah ketiadaan rujukan, simbol dari sebuah kejadian yang bahkan belum pernah terjadi. Swastika memang „berdiri untuk‟ partai Nazi; namun partai ini pun seolah memfasilitasi „misi‟ yang di labelkan Hitler padanya, yaitu mempersatukan gambaran orang-orang yang membenci suku bangsa lain (merujuk pada bangsa anti-Semitik) dengan sebuah identitas rasial Arya. Sejarahwan Francis King (1976) berpendapat mengenai permulaan penggunaan dan makna dari Swastika pada bendera partai Nasional-Sosialis. Hitler awalnya sempat meminta beberapa desain bendera baru partainya pada anggota-anggota partai Nazi, kemudian dia memilih desain yang dibuat oleh Dr. Friedrich Krohn, seorang dokter gigi dari Stanberg yang juga merupakan anggota aktif dari Thule-Gesellschaft (semacam perkumpulan elit di Jerman). Dalam bukunya, Satan and Swastika: The Occult and the Nazi Party (1976) Francis King mengatakan: The one finally adopted...was designed by Dr. Friedrich Krohn, a dentist from Sternberg... Krohn's design, the Swastika on a white disk against a red background, was intended to symbolize the ideology of the movement - in red its social ideal, in white its nationalism, and in the Swastika "the struggle for the victory of Aryan man". But Krohn's flag featured a right-handed Swastika, traditional symbol of good fortune, spiritual evalution and the triumph of spirit over matter. Hitler insisted on it being replaced by the left-handed Swastika, regarded by occultists as the equivalent of a reversed crucifix, an evocation of evil, spiritual devolution and black magic! (King, 1976, p. 117). Namun disisi lain pendapat dari Kings bahwa Hitler sengaja memilih untuk membalikkan bentuk Swastika yang diajukan oleh Krohn agar merujuk pada kejahatan dan ilmu hitam ketimbang keberuntungan, tidak sepenuhnya dapat
55
diterima oleh para sarjana. Ide pembalikan Swastika ini ditentang oleh seorang Jurnalis, Ken Anderson sebagaimana ditulis oleh Nicholas Goodrick-Clarke dalam bukunya The Occult Roots of Nazism (1985). Anderson mengemukakan dua alasan penentangannya, yaitu: Firstly we must remember that Hitler himself had very little time for occult mumbo-jumbo, and was certainly not the practicing black magician many occultist claim him to have been; and secondly, the idea that Hitler Considered himself „evil‟ (as he would have had to have done in order to take the step of reversing a positive symbol to a negative one), or that evil was an attractive concept for him is ridiculous (Goodrick-Clarke 1985 p.108). Sebagai lambang yang paling sering muncul selama kependudukan Nazi di Eropa, Nazi sendiri sadar akan kemungkinan komersialisasi bentuk Swastika di Eropa saat itu, utamanya di daerah yang ia kuasai. Bentuk Swastika digunakan di berbagai produk untuk menambah omset penjualannya.
Saat itulah untuk
membendung hal tersebut Jossef Goebles, mengeluarkan peraturan yang mengatur penggunaan Swastika. Peraturan itu mengatur pelarangan penggunaan Swastika pada benda-benda yang bisa saja mengurangi nilai keagungan Swastika itu sendiri. misalnya penempatan Swastika pada bola mainan anak-anak, yang pada nantinya akan ditendang. Foucault (1995) mengatakan bahwa pemberian makna tidak dapat dilepaskan dari power si pembuat makna serta alat yang digunakannya. Seberapa besar power yang dimiliki untuk kemudian menciptakan sebuah wacana, seberapa kuat rekonstruksi makna sebuah simbol dapat disebarluaskan menentukan seberapa besar dampak dari wacana dan rekonstruksi makna tersebut. Langkah yang dilakukan Jossef Goebles merujuk pada pembuatan dominan discourse
56
(wacana dominan) bahwa Swastika adalah lambang kebanggaan, simbol pride, superioritas bangsa Arya, sehingga tempat di mana simbol itu ditempatkan haruslah juga menjaga pemaknaan lambang ini sesuai dengan yang diinginkan oleh rezim Nazi. Nazi menempatkan Swastika sebagai sebuah simbol yang sangat dihormati, sebuah simbol kebanggaan, simbol kejayaan dan superioritas bangsa Arya. Sebuah simbol yang melekat pada hampir seluruh cinderamata, lencana penghargaan, bendera dan berbagai pernak-pernik Nazi. 2.3.1 Teori Arya sebagai Dasar Penggunaan Swastika bagi Nazi Teori Arya merupakan salah satu dasar rujukan akan bangkitnya superioritas bangsa Jerman, dibawah Third Reich. Third Reich mempercayai dan menganggap diri mereka, bangsa Jerman adalah keturunan dari ras Arya, ras yang kuat, yang menaklukkan berbagai daerah dan melahirkan kebudayaan lebih tinggi di setiap tempat yang ditaklukkannya. Ras Arya yang menaklukkan daerah India kuno dan melahirkan kebudayaan Veda di tanah India. Teori invasi Arya merupakan teori yang sangat populer di Indonesia. Bahkan beberapa tahun yang lalu diajarkan sebagai sebuah materi resmi pada pelajaran agama Hindu sebelum akhirnya dihilangkan. Teori invasi Arya itu sangat terkait dengan sejarah keberadaan agama Hindu dan Veda di India. Sujarweni (2012 : 15) menguraikan teori ras Arya ini sebagaimana standar teori yang diketahui secara luas di publik bahwa agama Hindu pertama dianut 57
oleh bangsa Arya, yaitu suku bangsa yang berasal dari Indo Jerman. Bangsa ini merupakan bangsa atau ras yang unggul di bidang sastra dan kebudayaan. Mereka mempunyai ciri fisik kulit putih, badan tinggi, dan hidung mancung. Menurut artikel-artikel peradaban dunia, bangsa Arya merupakan salah satu bangsa tertua di dunia. Dalam perkembangan peradaban, bangsa Arya melakukan migrasi ke India, tepatnya di Mahenjodaro dan Harappa, mereka datang secara bergelombang. Kala itu, suku bangsa asli penghuni Mahenjodaro dan Harappa adalah suku bangsa Dravida. Ciri masyarakat Dravida adalah berbahasa Dravida, berhidung pesek, bibir tebal, kulit hitam dan kebudayaanya lebih rendah daripada bangsa Arya. Kedatangan bangsa Arya di India telah memberi pengaruh besar dalam sejarah perkembangan bangsa India. Bangsa Dravida yang sebelumnya telah menempati India memberi tiga reaksi atas kedatangan bangsa Arya. Kelompok pertama ialah mereka yang menolak kedatangan bangsa Arya dengan melakukan perlawanan sampai mati. Kelompok kedua adalah mereka yang akhirnya menyingkir ke daerah
selatan. Sedangkan,
kelompok ketiga
melakukan asimilasi dengan bangsa Arya, yang kemudian melahirkan budaya baru. Kebudayaan yang dihasilkan atas asimilasi tersebut dikenal sebagai kebudayaan Indo-Arya. Bangsa Arya mempunyai kepercayaan terhadap banyak dewa, sedangkan bangsa Dravida mempunyai kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Perpaduan
58
kedua bangsa ini melahirkan berbagai budaya, seperti bahasa sansekerta, upacara keagamaan dan hal-hal sakral lainnya. Selain itu, perpaduan ini ditandai dengan kemunculan dan berkembangnya agama Hindu yang menjadi agama terbesar di India sekarang. Tulisan Sujarweni tersebut merupakan tulisan standar yang masih dijumpai dalam buku-buku teks sejumlah pelajaran di Indonesia. Teori ini jelas menegaskan bahwa lahirnya agama Hindu, lahirnya Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Veda atas jasa kedatangan bangsa luar yang berkebudayaan tinggi, sementara ras India dianggap berkebudayaan lebih rendah. Dalam beberapa puluh tahun belakangan, para ahli baik di Timur (India) dan Barat melakukan riset mempertanyakan keberadaan teori tersebut. Teori penyerangan Arya atau Aryan Theory sesungguhnya sudah dinyatakan gugur baik oleh ilmuwan India maupun Barat yang dalam beberapa puluh tahun melakukan penelitian komprehensif seperti melibatkan teks otentik Veda, geologis, arkeologis, genetik, biomolekuler maupun keotentikan sejarah India. Dr. David Frawley peneliti terkenal tentang teks India kuno dari American Institute Of Vedic Studies adalah orang yang dikenal berhasil merobohkan teori Arya (The Aryan Theory), melalui sejumlah pertemuan ilmiah, publikasi ilmiah, esai dan sejumlah buku-buku yang menolak keberadaan teori Arya.
59
Swami Prakashananda Saraswati (2003) dalam bukunya The True History and The Religion of India : A Concise Encyclopedia of Authentic Hinduisme, mengulas dengan tegas dan jelas bagaimana cara
kerja
para
peneliti
bayaran
di
Asiatic
Researcher
mengkonstruksi The Aryan Theory dengan tujuan spekulasi keberadaan ras Asia Tengah. Saraswati (2003 : 245) menyatakan skema dari awal direncanakan oleh Dr. William Jones yang diangkat sebagai presiden Asiatic Society Bengal (Calcuta) tahun 1822. Jones menyampaikan gagasan awal bahwa bahasa Sansekerta (bahasa Veda) merupakan bahasa luar yang menghasilkan spekulasi imajinasi dari keberadaan beberapa ras Asia Tengah yang berbicara bahasa Sanskrit dan membawa bahasa Sanskrit ke India saat mereka masuk ke India. Kisah penyerangan ini dibesar-besarkan oleh ilmuwan Max Muller sebagai sebuah teori standar di kalangan akademik. Salah satu fakta yang ditulis oleh Saraswati adalah dalam Manusmrti mendeskripsikan bahwa lokasi yang sesungguhnya dari Aryavarta yakni sebelah Selatan Himalaya dan semua jalan menuju Samudra India. Para penduduknya disebut Arya. Wilayah teritorial dari Aryavarta dalam perang Mahabharata (3139 SM) sampai Iran. Bukti lain menunjukkan, di dalam sejarah Bhartiya (India) ada deksripsi penyerangan Shaka dan Hun, juga penyerangan Muslim, akan tetapi tidak ditemukan dalam teks manapun atau catatan otentik
60
mengenai penyerangan Arya. Tentang kepalsuan teori ini juga diungkapkan oleh Stephen Knapp dalam bukunya The Universal Path to Enlightenment- The Eastern Answers to the Mysteries of Life (1992). Diungkapkan Knapp (1992) bahwa teori Arya tidak memiliki dasar-dasar yang kuat dan bukti-bukti apapun. Disebutkan sejumlah ahli sejarah juga menggugurkan teori ini karena tidak didukung oleh bukti ilmiah. Bahkan Sir John Marshal pimpinan penggalian situs Mahenjo-Daro membuktikan peradaban yang ditemukan justru merupakan agama Veda yang keberadaanya sangat jauh dari teori kedatangan Arya yang diajukan oleh orang-orang Asiatic Researcher. Lebih lanjut dikatakan, dalam teks-teks Veda, yang dimaksud dengan kata Arya adalah orang beradab yang lebih menunjukkan pada golongan ksatria yang melindungi peradaban dan menganut ajaran Veda, bukan ras pendatang yang masuk ke India. Dalam sejumlah publikasi juga disampaikan keunggulan ras Arya sebagai ras tertua, berkebudayaan tinggi, ahli dalam literatur dan superioritas lainnya. Adolf Hitler mempercayai teori keunggulan ras ini dan menganggap dirinya sebagai orang Arya. Simbol Swastika digunakan sebagai simbol superioritas ras Arya yang dianggap sebagai ras terunggul di dunia. Hitler menganut teori fiksi tentang ras Arya dan menegakkan superioritas Arya dibawah naungan simbol Swastika.
61
2.4 Makna Swastika Pasca Fasisme Nazi Kuatnya penggunaan simbol Swastika oleh Nazi membuat lambang ini di sejumlah benua lebih dikenal sebagai lambang Nazi dibanding sebagai simbol sakral dalam peradaban Hindu. Penggunaan simbol Swastika oleh Nazi sebagai lambang utama yang selalu ada disetiap kegiatannya berakibat pada kemelekatan Swastika sebagai identitas Nazi di setiap tempat yang pernah diduduki. Masyarakat yang mengalami tindakan kekerasan selama rezim Nazi pun kemudian
mengasosiasikan
bentuk
Swastika
sebagai
identitas
Nazi.
Pengasosiasian ini berujung pada pemikiran mereka mengenai simbol Swastika sebagai simbol kekerasan dan kejahatan. Seperti yang dikatakan oleh seorang holocaust-survivor, Freddie Knoller, 93 tahun, dalam sebuah artikel yang di terbitkan oleh BBC pada 23 Oktober 2014 (news.bbc.com), For the Jewish people the Swastika is a symbol of fear, of suppression, and of extermination. It‟s a symbol that we will never ever be able to change. …. if they put the Swastika on gravestones or synagogues, it puts a fear into us. Surely it shouldn‟t happen again….. For the people who went through the Holocaust, we will always remember what the Swastika was like in our life - a symbol of pure evil. Luka psikis ini berdampak langsung pada simbol Swastika. Pasca keruntuhan rezim Nazi segala bentuk simbol yang berkaitan dengan Nazi termasuk Swastika dilarang ditampilkan di arena publik pada beberapa negara, termasuk di Jerman sendiri, tempat di mana pada rezim Nazi Swastika pernah dicintai dan diagung-agungkan. Penempatan Hakenkreuz atau Swastika di tempat-tempat publik (kecuali untuk alasan ilmiah) di Jerman dan Austria merupakan tindakan ilegal. Semenjak tahun 1947 lambang Swastika Nazi (Hakenkreuz) sudah dilarang di Austria. 62
Meskipun demikian peraturan Austria tidak memberlakukan pelarangan pada simbol Swastika yang sudah ada sebelum tahun 1947. Sekitar 500.000 batu nisan di Austria yang mayoritasnya merupakan makam para tentara Nazi saat mereka menganeksasi Austria, masih memiliki simbol Hakenkreuz di atasnya karena peratuan pengecualian itu (www.foxnews.com). Pelarangan terhadap simbol Swastika Nazi di Austria merupakan sebuah respon atas sejarah hitam aneksasi Jerman atas Austria pada tahun 1938. Hungarian Criminal Code pasal 269 juga menetapkan pelarangan atas tindakan yang menampilkan simbol totaliter termasuk Swastika di ruang publik. Penggunaan Swastika hanya diperbolehkan jika terkait dengan alasan pendidikan, kesenian, ataupun jurnalistik (www.bpsz.hu). Sementara itu tahun 2008 Parlemen Lithuania menetapkan bahwa tampilan publik dari simbol Nazi, termasuk Swastika merupakan pelanggaran administratif dengan hukuman denda Lt. 500 1000 Lithuania. Sedangkan di Polandia tampilan publik dari simbol Nazi termasuk Swastika merupakan tindak pidana yang diancam hukuman hingga delapan tahun penjara (Day, 2009). Sebagian besar negara yang pernah mengalami kekejaman langsung Rezim Fasisme Jerman ini mengalami semacam ketakutan yang berlebihan (fobia) terhadap lambang yang menjadi ciri khas Nazi yaitu Swastika atau Hakenkreuz. Pada tahun 2005 foto Pangeran Harry dari Inggris yang menggunakan sebuah emblem di lengannya dengan lambang Hakenkreuz atau Swastika Nazi dalam sebuah pesta kostum menjadi headline diberbagai surat kabar dan majalah seluruh dunia. Kejadian ini memicu kemarahan politisi konservatif di Jerman yang
63
kemudian mengusulkan pelarangan Swastika di seluruh Eropa pada EU‟s Justice and home affairs commissioner. Kelompok Liberal dalam parlemen EU berargumen bahwa seluruh Eropa menderita karena kejahatan dari Nazi sehingga merupakan sebuah keharusan untuk melakukan pelarangan simbol Swastika ini diseluruh benua Eropa. Seperti statement
wakil presiden kelompok Liberal,
Silvana Koch-Merin yang dikutip dalam berita BBC pada 17 januari 2005, “All of Europe has suffered in the past because of the crimes of the Nazis, therefore it would be logical for Nazi symbols to be banned all over Europe (news.bbc.co.uk)”. Dengan reaksi ini, Swastika lebih dikenal sebagai simbol Nazi yang dianggap mewakili simbol kekejaman sehingga penggunaan simbol ini pada sebuah pesta kostum oleh Pangen Harry telah menyulut reaksi dan diwacanakannya pelarangan Swastika di seluruh benua Eropa yang dianggap telah menderita oleh kekejaman rezim Nazi.
64