1
J OMPET K USWIDANANTO Solo Exhibition
Curated by Alia Swastika
2
Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin Words and Possible Movement installation 2013
P E N G A N TA R K U R AT O R I A L
Kesunyian dalam Keramaian Alia Swastika
Bagaimana memberi makna pada seluruh kegaduhan dan suarasuara yang tak selalu punya makna pada saat di mana kita memberi ruang pada kebebasan bersuara? Bagaimana kita masih percaya bahwa suara massa selalu punya daya tarik kuat, sebuah distribusi energi dan kekuatan untuk memberi keyakinan atas gagasan bersama? Dua pertanyaan itulah yang barangkali bisa menjadi titik awal untuk melihat karya-karya yang dipamerkan Jompet Kuswidananto dalam Order and After. Proyek ini merangkum, sekaligus menunjukkan pergeseran penting dari beberapa seri karya yang telah diciptakannya selama periode 2011 - 2013. Setelah proyeknya Java’s Machine, yang berbasis pada investigasinya atas identitas masyarakat Jawa - pembentukan, perubahan dan situasinya sekarang - dengan fokus pada persilangan budaya dan kondisi pasca-kolonial, Jompet melangkah untuk melihat realitas ketiga yang tercipta pada ruang antara. Proyek ruang ketiga ini dinamakannya sebagai “Third Realm.” Proyeknya Anno Domini (dipamerkan di Selasar Soenaryo Art Space, Bandung, dan di Asian Art Museum San Fransisco) pada 2011 dan 2012 bergeser juga pada bentuk dan pendekatan baru, yang terutama melibatkan ruang arsitektural dalam struktur karyanya. Masih
3
4
untuk merunut realitas ketiga, Jompet meneliti sepanjang jalan Anyer-Panarukan pada 2012, menghasilkan projek On Asphalt yang sempat dipamerkan di Taipei, Melbourne dan Jepang. Order and After adalah proyek terbaru Jompet yang berangkat dari pengamatan dan penelitiannya dari berbagai proyek terdahulu, dan bermuara pada pertanyaan situasi Indonesia 15 tahun pasca Reformasi. Lima belas tahun telah berlalu semenjak sebuah rezim dijatuhkan, dan harapan baru ditegakkan. Lebih dari mempertanyakan apakah harapan-harapan baru tersebut berhasil diwujudkan menjadi kenyataan, Jompet membangun premisnya dari janji atas terbangunnya demokrasi. Salah satu elemen penting dalam kehidupan demokrasi adalah “kebebesan bersuara,” sebuah metafor yang merujuk pada kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Menariknya, Jompet menarik gagasan kebebasan bersuara ini dalam pemahaman suara sebagai “bunyi,” tanpa harus keluar dari konteks sosial politiknya. Dalam demokrasi pasca reformasi, kehidupan (politik) masyarakat sehari-hari dipenuhi dengan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa mereka ‘ada,’ dan yang terpenting, didengarkan. Setelah Orde Baru menjadikan kehidupan politik sedemikian terkontrol, dan karenanya menjadi senyap, masyarakat melihat bunyi sebagai cara yang kuat untuk unjuk diri. Sebagian besar bebunyian ini diciptakan bersama, oleh sekelompok orang atau massa, sehingga terasa punya daya. Berbagai bunyi berbaur menjadi satu dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan ruang publik terasa gaduh dan, barangkali, ricuh. Setiap kelompok menciptakan dan menampilkan bunyi-nya sendiri, yang mereka percaya sebagai representasi dari nilai dan jalan yang mereka percaya, sehingga telinga kita terbiasa dengan kontestasi dari berbagai macam suara. Karya pertama, Kata-Kata dan Pergerakan yang Mungkin. Memasuki ruang pameran, pertama-tama Jompet menyambut pengunjung dengan rangkaian bendera-bendera dari berbagai lagu mars organisasi massa. Bendera ini digantung berwarnawarni, memberikan kesan yang festive, seperti sebuah perayaan kegembiraan. Pilihan Jompet untuk mentransformasikan lagu-lagu
mars ini ke dalam bentuk teks, sebuah transformasi dari bunyi menjadi teks tak bersuara, ironisnya, merupakan satu gagasan tentang senyap. Ketimbang memperdengarkan lagu-lagu ini, Jompet
mengundang
para
pengunjung
untuk
berimajinasi,
membayangkan sebuah suasana riuh yang terbangun dari berbagai teks di atas bendera. Teks-teks yang berjajar ini menunjukkan kontestasi dari berbagai nilai, ideologi dan kepercayaan berbeda yang diperjuangkan oleh masing-masing kelompok. Lihat betapa beragamnya nilai-nilai itu: agama, partai politik, kelompok sepakbola, kelompok berbasis etnis, dan sebagainya. Lagu-lagu diciptakan untuk menimbulkan satu ikatan emosional atas ideologi bersama ini, dan, pada akhirnya, menjadi bagian dari ‘identitas kelompok.’ Strategi untuk menuliskan teks-teks ini dalam bendera juga berharga karena dengan demikian pengunjung dipaksa membaca - tidak lagi mendengar, dan pada akhirnya, seperti dikondisikan untuk menautkan makna teks dengan konteks. Melangkah lebih jauh di dalam ruang pamer, di bawah benderabendera itu, pengunjung dihadapkan pada motor-motor tua yang berjajar seperti sedang berparade. Bagi masyarakat Indonesia, imajinasi visual yang semacam ini dengan segera mengantarkan pada bayangan tentang keriuhan di jalanan ketika musim kampanye tiba, atau suasana ketika para penonton sepakbola merayakan kemenangan, atau bahkan sekumpulan anak-anak remaja baru lulus sekolah. Kita telah begitu terbiasa menerima suara bising dari puluhan sepeda motor sebagai bagian dari kegaduhan di ruang publik kita, sesekali terganggu, tetapi acap kali melihatnya sebagai sebuah atraksi yang menghibur. Amat sering kita jumpai, parade motor itu dilakukan untuk menegaskan identitas massa, dan oleh karenanya mereka berseragam, menunjukkan eksistensi di tengah kerumunan. Bagian terbesar, barangkali juga terpenting dari proyek ini adalah instalasi Memanggungkan Kolektivitas. Instalasi ini merupakan sekelompok ‘figur’--yang sebenarnya lebih tepat sebagai imaji figur, atau bahkan hantu - yang berada di dalam bak belakang sebuah truk tua. Imaji visual ini, sebagaimana parade sepeda motor tadi, juga biasa kita temui di musim tertentu, termasuk di antaranya pada peristiwa demonstrasi yang besar dari kelompok buruh, petani, dan sebagainya. Dan pada karya ini kita bisa
5
6
menemukan pekerjaan kinetik khas Jompet, di mana figur-figur ini bergerak seperti bertepuk tangan. Citra orang-orang dalam truk ini bisa ditemukan pada video On Asphalt #4, sebuah rekaman atas perjalanannya menyusuri jalanan Anyer-Panarukan. Di depan mobil yang ditumpanginya, sekelompok lelaki muda berpakaian santri berdesakan di dalam truk, dalam arah menuju entah. Massa selalu menampilkan ketegangan antara individual dan kolektif, antara “saya” dan “mereka,” juga “kita.” Karenanya, selalu ada yang tak dikenali, anonim ketika membicarakan diri kaitannya dengan massa. Suara personal sulit dikenali di antara belantara suara bersama. Ini dinyatakan oleh Jompet melalui karya Mengutip si Anonim, sebuah instalasi proyeksi teks, di mana ia mengutip dua teks dari hasil wawancaranya dengan “Anonim,” co-sutradara dari film “The Act of Killing.” Meski secara visual seluruh instalasi ini menyajikan citra gambar yang meriah, ruangan terasa senyap. Kali ini tidak ada yang berderap, berdentum atau bunyi instrumen musik. Keriuhan dihadirkan dalam cara yang diam, semua suara diminimalisir, termasuk pada semua video. Keseluruhan instalasi ini berbicara tentang ‘massa’ dan bagaimana mereka dimobilisasi dan diorganisir. Dalam pengakuan Jompet, istilah ‘mobilisasi’ ini sendiri, telah dihindari, bahkan ditolak, oleh beberapa aktivis politik masa kini yang sempat ditemuinya untuk meneliti subjek ini. Mereka menilai bahwa mobilisasi merupakan terma Orde Baru, yang merujuk pada kontrol yang langsung dari atas pada masyarakat bawah. Sebaliknya, sekarang ini, semua individu dalam massa bisa melakukan pengerahan massa untuk mendapatkan dukungan. Jompet melihat bahwa berbeda dengan masa Orde Baru yang melihat massa sebagai bagian dari formalitas politik, maka pada masa kini, massa menjadi kendali utama bagi mesin politik itu sendiri. Pada situasi hari ini, mesin politik menyaratkan kehadiran massa, sehingga organisasi-organisasi ini berupaya sekuat tenaga menggalang massa. Jompet tertarik untuk melihat massa sebagai sekumpulan energi, daya, dan kekuatan sebagai sesuatu yang terus bergerak dan menggerakkan. Dalam pernyataannya, Jompet menyebut
7
Words and Possible Movement (detail) installation 2013
bahwa demokrasi adalah sebuah proses organik dimana setiap kelompok kepentingan menggambar posisinya sendiri di dalam peta, di mana garis yang mereka gambar acapkali bertabrakan dengan kelompok kepentingan lain. Dalam perbenturan ini, tak jarang massa digunakan untuk menegaskan garis dan posisi bagi kelompok tertentu. Seluruh strategi yang digunakan Jompet pada presentasi projeknya kali ini, sebagaimana proyek-proyek sebelumnya, sangat dekat dengan teater dan panggung. Semua instalasi di sini mempunyai dimensi performatif, memindahkan apa yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dengan pendekatan separuh abstraksi separuh mendekati kenyataan. Seperti selalu, ia menggunakan barang-barang temuan, hampir semuanya bekas pakai, bahkan hampir terlihat seperti rongsokan, yang memang ia sengaja untuk memberi kesan tua. Dengan situasi ruangan yang nyaris ‘dramatik’, beberapa pembesaran dan penegasan atas peristiwa, ingatan kita atas persentuhan kita dengan fenomena-fenomena yang melibatkan massa ini dipertegas, agar kita sendiri merasakan energi dan daya yang ingin digemakan oleh sang seniman. Kita lebih terlibat pada pengerahan daya ini ketimbangan ketegangan politik yang sesungguhnya mendasari semua perpindahan orang banyak ini.
8
Words and Possible Movement (detail) installation 2013
Peristiwa
keseharian,
yang
kadangkala
lebih
performatik
dan dramatik ketimbang peristiwa panggung, sebagaimana yang ditegaskan Richard Schechner, memang terasa sebagai ‘tontonan’. Filsuf Slavoj Zizek merujuk fenomena-fenomena ini sebagai “ideologico-critical spectacles”, yang merujuk pada situasi di mana yang ideologis berada di antara tampak dan tidak tampak (visible and invisible). Lebih lanjut, Zizek menyatakan bahwa kepastian ideologis lebih sering tersembunyi, seperti tersimpan dalam kotak kaca, dalam kehidupan masyarakat kontemporer yang penuh gairah konsumtif. Subjek dan individu dalam masyarakat tidak lagi berdiri atas nama identitas ideologis yang besar, tetapi langsung menjadi subjek kesenangan (subject of pleasures), sehingga identitas ideologis yang ingin ditampilkan menjadi tersembunyi. Individu-individu dalam karya Jompet ini, meski menggunakan seragam dan penanda identitas lain untuk menegaskan kekhasan kerumunannya, sesungguhnya tidak secara langsung merepresentasikan ideologi dan kepercayaan mereka, karena sekarang ini setiap atribut yang dipakai seseorang menjadi bagian dari pertarungan kuasa dan kepentingan. Pertarungan kuasa ini menuntut kedewasaan untuk melihat perbedaan dan menumbuhkan sikap toleran , sebagaimana yang di awal disebut oleh Jompet, sehingga semua mendapat tempat dalam peta. Pertarungan atas nama ideologi mempunyai harga mahal yang harus dibayar, dimana Zizek menyebut harga ini sebagai keriuhan di latar belakang (background noise) dan bagi Zizek menghapus keriuhan ini hampir menjadi sesuatu yang utopis.
Apakah daya massa selalu ada dalam kutub yang positif? Saya
tertarik
untuk
melihat
bagaimana
gerakan-gerakan
mengatasnamakan massa mempunyai dampak sosial politik yang besar untuk membawa perubahan. Akan tetapi, apakah berubah saja sudah cukup? Bagaimana dengan arah dari perubahan itu sendiri, masihkah semua peduli pada tujuan-tujuan masa depan? Filsuf muda Jerman yang mendalami studi arsitektur, Markus Miessen, mengetengahkan pandangan menarik berkaitan dengan bahayanya menggunakan massa sebagai garda depan demokrasi. Kasus-kasus seperti Occupy Wall Street, yang menginspirasi berbagai gerakan massa besar-besaran beberapa tahun belakangan menunjukkan ketegangan yang disebut Miessen sebagai pasca-konsensus. Dalam bukunya, The Nightmare of Democracy, Miessen menyebut bahwa model konvensional dalam partisipasi berdasar pada asumsi protokol sosial demokrasi di mana setiap suara dari setiap orang punya beban yang sama dalam masyarakat egaliterian. Partisipasi, terutama dalam waktu krisis, dilihat dan dirayakan sebagai
penyelamat
mempertanyakan,
dari
apakah
para ada
setan.
Miessen
kemungkinan
kemudian
untuk
melihat
partisipasi sebagai bentuk kekerasan yang lain, praktik nondemokratis, dan model yang oportunistik atas intervensionisme? Ia telah melakukan serangkaian penelitian dan percobaan yang berangkat dari premis dan pertanyaan di atas, terutama berkaitan dengan penggunaan ruang publik sebagai ruang dasar partisipasi politik, tidak dalam tujuan untuk menyatakan ketidakpercayaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi lebih untuk mempresentasikan dan memancing perubahan yang kritis dan produktif. Karya-karya Jompet dengan tepat menampilkan ketegangan antara model konvensional partisipasi dengan kritisisme yang dibawa Miessen. Tidak secara langsung ia melihat partisipasi massa sebagai kekerasan, tetapi kita merasa ada pertanyaan kritis yang diajukan di sana. Cara-cara yang ia gunakan untuk menggarisbawahi perpindahan massa, dalam sudut pandang tertentu,
menyarankan
kita
untuk
mengajukan
pertanyaan-
pertanyaan terhadap hal yang kita terima sebagai “sudah wajar adanya”.
9
10
Ruang Ganti Hamlet (detail) Hamlet’s Dressing Room installation 2013
Bagian terakhir dari instalasi di ruang pamer adalah kotak hitam yang berisi artifak-artifak penghasil suara dan perekam bunyi. Memberi penegas atas teater sebagai rujukannya, Jompet memberi judul karya ini sebagai Ruang Ganti Hamlet. Puluhan loud speaker, drum bekas pakai, pemutar musik bekas pakai, serta berbagai macam kostum dan atribut yang biasa dipakai orang-orang pada waktu berkumpul bersama. Semua disatukan seperti gudang atau ruang arsip. Karya ini berangkat dari satu bagian dari naskah Hamlet Machine-nya Heiner Müller, di salah satu monolognya Hamlet di mana dia berbicara setelah ia menanggalkan perannya sebagai Hamlet. Ruang ini seperti menyimpan sejarah dan percikan kenangan tentang peristiwa -peristiwa bersama skala besar di luar publik, tentang bagaimana suara-suara dan kehadiran orang-orang, yang seringkali berujung pada berubahnya sejarah masyarakat, pada akhirnya (di) bisu(kan). Jompet Kuswidananto menghadirkan kesenyapan itu di tengah-tengah hiruk pikuk berkumpulnya massa, memberi ruang jeda di antara diri dan dunia. *
C U R AT O R I A L I N T R O D U C T I O N
Silence in the Crowd Alia Swastika
How do we give meaning to all the noise and voices that do not always have meaning at that moment we give them space and freedom to speak? How can we still believe that the voice of the masses has appeal; distribution of energy and strength to provide certainty that we are thinking together? These two questions may represent a starting point from which to see the works exhibited by Jompet Kuswidananto in “Order and After.” The project embraces, as well as represents, important changes from several series of works created in the period 20112013. After his Java’s Machine project, which was based on investigations into the identity of Javanese society – its forms, changes and current situations – with a focus on cross-cultural and post-colonial conditions, Jompet has moved on to look at the third reality that is created in the spaces in between. This third space project is called the “Third Realm”. His Anno Domini project (exhibited at Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, and Asian Art Museum San Fransisco) in 2011 and 2012 also shifted his work towards new forms and approaches, in particular involving architectural spaces in his work. Still tracing the third reality, Jompet investigated the length of Anyer Panarukan street in 2012, resulting in the On Asphalt project that was exhibited in Taipei,
11
12
Melbourne and Japan. ‘Order and After’ is a new project for Jompet that departs from observations and research from a number of earlier projects, and voices questions about the situation in Indonesia 15 years postReformation. Fifteen years have past since a regime was toppled and new hope was born. More than simply questioning whether those hopes were successfully realised, Jompet builds his premise from the promises of democratic development. One important element in the life of democracy is “free speech”, a metaphor that refers to freedom to express thoughts and opinions, both verbally and in writing. Interestingly, Jompet draws this concept of free speech into his understanding of voice as “sound”, without having to remove it from its socio-political context. In post Reformation democracy, the every-day (political) life of the people is filled with efforts to show that they “are”, and most importantly, to be heard. After the New Order’s creation of a political life that was highly controlled, and because of this silent, society came to see sound as a strong way of displaying itself. The majority of this noise is created together, by groups of people or masses, so that there is a sense of power. Various sounds blur to become one in every-day life, generating public spaces that seem noisy and even chaotic. Each group constructs and displays its own sound, that they believe represents the values and path that they believe in, until the ear becomes accustomed to this contestation from so many different voices. On entering the exhibition space, Jompet at first welcomes visitors with a series of flags and marching songs from mass organisations. The flags hang colourfully, giving a festive impression, like a happy celebration. Jompet’s choice to transform the marching songs into text form, a transformation from sound to mute text, ironically constructs conceptual silence. Rather than listening to these songs, Jompet invited visitors to imagine – visualise – a clamorous atmosphere constructed from the various texts on the flags. These rows of texts indicate the contestation of diverse values, ideologies and beliefs that are championed by each group. See how varied these values are: religion, political parties, soccer supporters, ethnic groups and so on. The songs are created
to evoke emotional ties to joint ideologies and eventually, the song becomes a part of their ‘group identity.’ The strategy of writing these texts on the flags is valuable because it forces visitors to read – not to listen – and ultimately seems to condition them to link the meaning of the text to the context. Moving further into the exhibition space, visitors are faced with old motorbikes that are lined up as if on parade. For Indonesian society, visual imaginaries such as these immediately conjure up visions of the commotion in the street when the campaign season begins, or the atmosphere when soccer fans celebrate a win, or even a group of teenagers who have just graduated. We have become used to accepting the sound of tens of motors as a part of the noise of our public spaces; occasionally it is disturbing, but frequently we see it as a kind of entertaining attraction. Most often when we meet a motorbike parade it is underway to stress a mass identity; because of this they are uniformed, displaying their existence in within the throng. The largest and most important part of this project is the nearly 30 ‘figures’ that are places in the tray of an old truck. Some of them are waiting to get in the back of the truck, as though they don’t care that they will be jostled once inside. This visual image, like that of the motorbike parade, is also one we encounter during particular seasons, among them incidences of large demonstrations by labourers, farmers and others. The mass consistently present tense relations between individuals and the collective, between ‘me’ and ‘them’ as well as ‘us’. Thus,
Tentang Aspal #4 On Asphalt #4 (detail) 5 channels video (partly screenedl 2012
13
14
Ruang Ganti Hamlet Hamlet’s Dressing Room installation 2013
there will always be an unknown, anonymous when talking about the self in relations to the mass. Personal voices are undisclosed in the midst of collective sounds. This is stated by Jompet through his work ‘Quoting the Anonymous’ - an installation of text projectionswhich he quoted from his interview with The Anonymous, codirector of the film ‘The Act of Kiling’. All of this installation speaks of the ‘masses’ and how they are mobilised and organised. Jompet acknowledges that the phrase mobilisation itself is one avoided, or even rejected by the contemporary political activists he has had the opportunity to meet during his investigations on this subject. They consider mobilisation a term of the New Order, referrring to a kind of direct control from above over society below. On the contrary, these days, all of the individuals within the mass can mobilise a mass in order to gain support. For Jompet the difference in the New Order eras was one which saw the mass as a kind of political formality, whereas now the masses are one of the controlling forces of the political machine itself. In today’s situations, the political machine requires the presence of the masses, so these organisations try as hard as they can to establish a mass as a pool of energy, power and strength that continues to be moved and to move. In his enquiries, Jompet mentions democracy as an organic process where each group’s interests describe their own position on the map, where the lines they draw often collide with the interests of other groups. All of the strategies Jompet uses in his project this time, as in his previous projects, are very close to theatre and the stage. All of his installations here have a performative dimension, shifting
what we see in our everyday lives, with an approach that is half abstract and half near reality. As always he uses found objects, almost all re-used, many even seeming like rubbish, it does indeed give the impression of being old. In the situation of this almost ‘dramatic’ space, our memories of encounters that involve the masses are reinforced, so that we feel the energy and strength that the artist echoes. We are more involved in the mobilisation of this power than in the political tensions that are the real basis for the movement of all these people. Everyday events, that are sometimes more performative and dramatic than the events on stage, as explained by Richard Schechner, do really seem like a ‘spectacle.’ The philosopher Slavoj Zizek referred to these phenomena as “ideologico-critical spectacles” that refer to a situation where ideology is in between the visible and the invisible. Further, Zizek states that the ideological conviction is more often hidden, as though stored in a glass box, within the lives of contemporary societies filled with a consuming passion. The subject and individual in society no longer stand against the name of a major ideology, but immediately become the “subjects of pleasure”, so the ideological identity that desires to be displayed becomes hidden. The individuals in Jompet’s work here, although they wear uniforms and other signs of identity to stress the uniqueness of their throng, are actually indirectly representing their ideologies and beliefs, because this is now an attribute used by the person to become a part of the contest for power and importance. This power contest demands enough maturity to see difference and develop a tolerant attitude, such as that which Jompet has begun to discuss, so that all may find their place on the map. To fight in the name of ideology carries a uanvoidably high price; Zizek calls this price ”background noise, for him the obliteration of this noise is almost a kind of utopia. Is the power of the mass always at the negative extreme? I was interested to see how movements in the name of the masses have a strong socio-political effect in bringing about change. In his book The Nightmare of Democracy, Miessen says that conventional models of participation depend on the assumptions of socially democratic principle whereby every voice from every person has equal weight in an egalitarian society. Participation, especially in
15
16
times of crisis, is seen and celebrated as a saviour from demons. Miessen then asks, is it possible to see participation as another kind of violence, a non-democratic practice and an opportunistic model of interventionism? He undertakes a series of research experiments that depart from the premise of the above question, in particular connected to the use of public space in political participation, not with the intention of expressing his mistrust of the principles of democracy, but more to represent and invite change and productive criticism. Jompet’s works precisely display the tension between conventional models of participation and the criticisms brought up by Miessen. He does not directly see mass participation as violence, but we sense there is a critical question proposed here. The methods he uses to underline mass movement, from a particular perspective, suggests that we ask questions about issues that we accept as “inevitable.” The final part of this installation in the exhibition space is a black box which contains artefacts of voice and sound recordings. Confirming theatre as his reference point, Jompet gives this work the title Hamlet’s Dressing Room. Tens of loudspeakers, secondhand drums, second hand instruments and a variety of costumes and attributes that are often used by people when they gather together, are united in a kind of warehouse or archive. The work is inspired by a scene in Heiner Müller’s Hamlet Machine when Hamlet is dressing off his costume to end his act. This space seems to collect history and spark memories of large scale collaborative events outside of the public, of how the voices and presence of people, which often peaks at points of change in a society’s history, are eventually silenced. Jompet Kuswidananto places silence in the middle of the commotion of the masses, giving space for an interlude between the self and the world. *
References: 1. Slavoj Zizek. Denial: The Liberal Utopia dalam Lacan.com 2009 (English) 2. Markus Miessen. The Nightmare of Participation. Staenberg Press, 2011 3. Literatur tentang karya Jompet dan wawancara dengan seniman
17
The Artworks
Mengutip si Anonim Quoting the Anonymous projected texts on wall 2013 (detail)
18
18
Kata-Kata dan Pergerakan Yang Mungkin Words and Possible Movement installation 2013
(detail)
19
20
Ruang Ganti Hamlet Hamlet’s Dressing Room installation 2013
21
(detail)
Ruang Ganti Hamlet Hamlet’s Dressing Room installation 2013
22
Tentang Aspal #4 On Asphalt #4 5 channels video (partly screenedl 2012
(detail)
23
Sesi menggambar bersama seniman muda tentang Organisir/Mobilisir Drawing session with a younger artist on Organisir/Mobilisir 9 ink on paper, 40cm x 40cm each, in Collaboration with Timoteus Anggawan Kusno 2013
(detail)
24
(detail)
Memanggungkan Kebersamaan Staging Collectivism linstallation 2013
25
26
Merekam latihan dua orang aktor dalam La Lecture-nya Henri Fantin –Latour Taping a Rehearsal of Two Actors on Henri Fantin-Latour’s La Lecture Video recorded performance in collaboration with Theodorus Christanto and MN. Qommarudin 2013
27
The Opening
28
Exhibition ExhibitionView View
29
30
Jompet Kuswidananto
C U R R I C U L U M V I TA E
Born in 1976, in Yogyakarta Lives and works in Yogyakarta-Indonesia
EDUCATION 1995-1999 Gadjah Mada University, Faculty of Social and Politics Science, Yogyakarta, Indonesia
SOLO EXHIBITION 2012 2011 2011 2010 2010 2009 2008
On Asphalt, Project Fulil Art Space, Taipei Third Realm, Independent project at 54th Venice Biennale, Venice, Italy Java’s Machine: Family Chronicle, Selasar Sunaryo, Bandung Third Realm, Para-site Art Space, Hongkong Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Hongkong Java’s Machine: Phantasmagoria, Osage Gallery, Singapore Java’s Machine: Phantasmagoria, Cemeti Art House, Yogyakarta
SELECTED GROUP EXHIBITIONS 2013
WE = ME, Asean Art Exhibition, Art Centre of Silpakorn University, Bangkok
2012
Taboo, Museum of Contemporary Art, Sydney, Australia Rally, Eko Nugroho and Jompet Kuswidananto, Indonesian Contemporary Art, National Gallery of Victoria, Melbourne Taipei Biennale, Taipei Fine Art Museums, Taipei Moscow Biennale for Young Art, Moscow Phantoms of Asia, Asian Art Museum, San Francisco
2011
Jakarta Biennale, National Gallery, Jakarta Jogjakarta Biennale XI, Jogja National Museum, Jogjakarta Global Contemporary, Art Movement Since 1989, ZKM Karlsruhe, Germany Indonesian – Eye, Saatchi Gallery, London Motion / Sensation, Edwin Gallery, Jakarta Inlux, Ruang Rupa, Jakarta
2010
Mental Archieve, Cemeti Art House, Yogyakarta Kuandu Biennale, Kuandu museum of ine arts, Taiwan Art Forte, Gana art Center, Seoul Media Landscape, Zone East, Contemporary Urban Culture, Liverpool Contemporaneity, Shanghai Museum of Contemporary Art, China Loss of the Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung The Tradition of The New, Shaksi Gallery, Mumbai
2009
Jogjakarta Biennale X, Jogja National Museum, Jogjakarta Beyond the Dutch, Centraal Museum Utrecht, The Netherlands 10th Lyon Biennale, Musee d’art contemporaine, Lyon, France Perang, Kata dan Rupa, Salihara Gallery, Jakarta Jakarta Biennale, Indonesian National Gallery, Jakarta
2008
Yokohama Triennale, Yokohama, Japan Landing Soon, Group exhibition, Erasmus Huis, Jakarta Manifesto, Group Exhibition, National Gallery, Jakarta
2007
Jogjakarta Biennale, Taman Budaya Yogyakarta ‘Equatorial Rhythms’, Stenersen Museum, Oslo, Norway ‘OK Video #3, MILITIA’, Indonesian National Gallery, Jakarta ‘Anti Aging’, Gaya Fusion Art, Ubud-Bali
2005
Fukuoka Asian Art Triennale, Fukuoka Asian Art Museum, Japan CP Bienalle, Indonesian Bank Museum, Jakarta Revolution Ugly, No Beauty, Cemeti Arts House, Yogyakarta
THEATRE AND DANCE PERFORMANCE 2012 2010 2009 2006
Restaurant of Many Orders, in collaboration with Hiroshi Koike, Japan Third Bodies, On Embracing the In-Between, collaboration with Yudi Ahmad Tajudin and Teater Garasi. ‘Garibaba’s Strange World’, Dance Theatre with Pappa Tarahumara and Hiroshi Koike ‘King’s Witch’, a contemporary orchestra with Tony Prabowo and Garasi Theatre Laboratory
HONORS AND AWARDS 2011 2010 2008
Lecturis Award Finalist, Art Amsterdam, The Netherlands Asia Art Award Finalist, Loop Gallery, Seoul, South Korea Academic Art Award, Yogyakarta Institute of Art, Yogyakarta
RESIDENCY 2012 2010 2007 2006
Nagareyama City Lifelong Learning Center, Japan Geumcheon Art Space, Seoul, South Korea Cemeti Art House, Yogyakarta Kawasaki Factory, Japan
PUBLIC COLLECTION Akili Museum of Art, Jakarta, Indonesia National Gallery of Victoria, Melbourne Australia Gallery of Modern Art, Brisbane, Australia Singapore Art Museum, Singapore Michael Jacobs collection, New York, Kardis Art Foundation, San Francisco, USA Museum of Contemporary Art Photography, Chicago, USA
31
32
JOMPET
WOULD LOVE
TO THANK TO:
Nurkholis (Brekele) Warsito dan Kru PissOne Ipung (Muh. Habib Syaifullah) Danang Luthi Kotot Ragil Binsar Theodorus Christanto MN. Qomarrudin Timoteus Anggawan Kusno Risky Summerbee Andri Nur latif Jamaludin Latief Banjar Tri Andaru Cahyo Adi Wisanggeni Dodok Putra Bangsa Andreas Ari ‘Inyonk’ Dwianto Yudi Ahmad Tajudin Dewa Ngakan Ardana Teater Garasi Nindityo Adipurnomo dan Proyek Pseudo Partisipatif The Anonymous of The Act Of Killing Kelompok Simtotduror Al-Jannah Bil Iman Pekalongan Suporter Kalong Mania Persip Pekalongan
ORDER AND AFTER Jompet Kuswidananto Solo Exhibition December 11 2013 - January 5 2014 Curated by Alia Swastika Translator: Elly Kent Photographer: Stanislaus Yangni Irvin Domi
Exhibition Venue Ark Galerie Jl. Suryodiningratan 36A, Yogyakarta 55141 Published by Ark Galerie www.arkgalerie.com aRK
aRK
ark ark
aRK ark
Enquiries +62 274 388162
[email protected]