1
ASPEK KRONISITAS KANDIDIASIS MUKOKUTANEUS Made Swastika Adiguna Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar
Pendahuluan Kandida adalah anggota flora normal pada tubuh manusia ditemukan terutama pada saluran pencernaan, selaput mukosa, saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit, dan dibawah jari-jari kuku tangan dan kaki tanpa menimbulkan kerusakan jaringan. Kandida spesies adalah jamur patogen oportunistik utama pada tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada kulit, kuku, mukosa, saluran pencernaan dan dapat pula menyebar secara sistemik. Istilah kandidiasis banyak digunakan di Amerika, sedangkan kandidosis digunakan di Kanada dan negaranegara di Eropa. 1,2,3,4,5,6 Insiden infeksi jamur pada pria sama dengan wanita. Penyakit ini dapat mengenai semua usia, namun kejadian meningkat pada bayi dan orang tua. Dari data yang diperoleh, infeksi jamur diperkirakan mengenai sekitar 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada manusia. Di Indonesia sendiri berdasarkan laporan kasus di rumah sakit pendidikan kedokteran negeri utama tahun 2009 sampai dengan 2011 tercatat 4,1% - 26,4% kasus infeksi jamur di antara seluruh kelainan kulit, dengan proporsi dermatofitosis tertinggi diantara dermatomikosis lainnya, diikuti oleh pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutis. 1,7 Insiden infeksi jamur makin terus meningkat di dalam masyarakat dan menjadi salah satu masalah kesehatan khususnya di Indonesia. Hal tersebut terutama disebabkan karena perjalanan penyakitnya yang sering rekuren, durasi pengobatan yang cenderung lama dan didukung oleh iklim yang sesuai. Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi menyediakan suasana yang baik untuk pertumbuhan jamur sehingga diperkirakan insidens penyakit ini cukup tinggi di masyarakat. Selain itu dengan kondisi sosio-ekonomi 2
yang rendah tinggal di pemukiman padat, kebersihan yang kurang dan penggunaan pakaian tertutup meningkatkan resiko infeksi ini. 7 Peningkatan usia harapan hidup pada masa kini dan penggunaan obatobatan jangka panjang seperti kortikosteroid, immunosupresif, obat-obatan sitotoksik dan antibiotika spektrum luas. Penggunaan kontrasepsi oral, pasien diabetes melitus dan HIV juga akan meningkatkan resiko infeksi kandidiasis menjadi kronis dan resistensi terhadap pengobatan. Selanjutnya akan dibahas mengenai faktor parasit (agent)
yakni kandida itu
sendiri, faktor lingkungan (enviroment) dan faktor pejamu (host) dan sejauh mana interaksinya sehingga berperan dalam mekanisme timbulnya penyakit kandidiasis serta peranannya dalam aspek kronisitas penyakit.
Kandidiasis Infeksi kandida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langerbach (1839) menemukan jamur penyebab trush, kemudian Berhout (1923) memberi nama organisme tersebut kandida. Pada sediaan apus eksudat, kandida tampak sebagai ragi lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 µm, yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa). Kandida membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal melepaskan diri, menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang yang terjepit atau tertarik pada septasi-septasi antara sel. Candida albicans bersifat dimorfik, selain ragi-ragi dan pseudohifa, ia juga bisa menghasilkan hifa sejati. Kandida berkembang-biak dengan budding. 8
Etiologi Kandidiasis merupakan penyakit infeksi primer ataupun sekunder yang disebabkan oleh jamur genus Candida terutama Candida albicans. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 200 spesies Kandida yang telah teridentifikasi. Penyebab utama kandidiasis adalah C. albicans pada 70-80% kasus. Penyebab lain adalah C. glabrata, C. tropicalis, C. dubliniensis, C. parapsilosis, C. krusei, C. guilliermondii, C. kefyr, C. zeylanoides, C. lusitaniae, C. viswanathi, C. 3
stellatoidea, dan C. pseudotropicalis. Jamur ini bersifat saprofit yang biasanya ditemukan terbatas pada tubuh manusia dan hewan, tetapi bisa juga ditemukan pada lingkungan rumah sakit yakni pada lantai, ventilasi pendingin udara, alat bantu pernafasan maupun petugas kesehatan itu sendiri. Di alam bebas, jamur ini ditemukan di tanah, atmosfer, air, serangga dan tumbuhan. Pada individu yang sehat, didapatkan kolonisasi Kandida di mulut mencapati 50%, 40-65% di sampel feses, dan 20-25% di mukosa vagina.
1,3
Patogenesis Sumber utama infeksi kandida adalah flora normal dalam tubuh pada pasien itu sendiri yang menginfeksi secara oportunistik apabila terjadi gangguan sistem imun inang yang menurun. Dapat juga berasal dari luar tubuh secara eksogen, contohnya pada bayi baru lahir mendapat infeksi kandida dari vagina ibunya atau dari lingkungan rumah sakit.
Manifestasi klinis kandidiasis
merupakan hasil interaksi antara kandida, mekanisme pertahanan inang dan faktor pejamu baik endogen maupun eksogen. 4,9 Kandida adalah jamur dimorfik dimana virulensi jamur ini terjadi apabila ada perubahan dari sel ragi menjadi pseudohifa dan hifa yang banyak ditemukan saat stadium invasi pada sel-sel epitel. Virulensi C. albicans ditentukan oleh kemampuan tumbuh pada suhu tertentu, kemampuan untuk mengadakan perlengketan, kemampuan untuk tumbuh dalam bentuk filamen dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Faktor lain yang dilaporkan adalah tingkat keasaman pada kulit. Dikatakan bahwa kondisi kulit yang tertutup akan meningkatkan pH sehingga jamur kandida akan mudah tumbuh. 9, 10 Mekanisme patogenesis infeksi ini dimulai dengan perlengketan kandida pada sel epitel akibat glikoprotein pada permukaan kandida dan sel epitel. Kemudian kandida akan memproduksi enzim proteinase, hialuronidase, kondroitin sulfatase dan fosfolipase. Fosfolipase berfungsi menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel sedangkan protease dan enzim lain bersifat keratolik sehingga memudahkan penetrasi kandida ke dalam epidermis. 9, 11, 12 4
Pada dinding sel kandida yang mengandung mannan (komponen protein) berfungsi untuk mengaktivasi komplemen dan merangsang pembentukan antibodi. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida akan melindungi kandida dari imunitas inang. 13 Faktor predisposisi yang berperan pada infeksi kandida adalah faktor mekanik berupa trauma ( luka bakar, abrasi), oklusi lokal, kelembaban, maserasi, gigi palsu, bebat tertutup dan obesitas. Faktor nutrisi antara lain avitaminosis ( vitamin A dan C), defisiensi besi dan malnutrisi secara umumnya. Perubahan fisiologis tubuh berupa umur ekstrim (sangat muda atau sangat tua), menstruasi dan kehamilan (kandidiasis vulvovaginalis). Penyakit sistemik yakni sindrom down, akrodermatitis enteropatika, penyakit endrokrin (diabetes melitus, penyakti Cushing, hipoadrenalisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme), gagal ginjal akut (uremia), keganasan terutama hematolgi (leukemia akut) dan timoma, transplantasi organ padat (hati, ginjal), immunodefisiensi (AIDS, granulositopenia dan sebagainya). Iatrogenik contohnya pemasangan kateter, pemberian obat intravena,
rawat
imunosupresif,
inap
antibiotika,
berkepanjangan, kontrasepsi
obat-obatan
oral,
kolkisin,
(
kortikosteroid,
fenilbutason
dan
kemoterapi). Pada umumnya infeksi kandida dipengaruhi oleh kondisi yang panas dan lembab seperti di daerah lipatan kulit, daerah tertutup popok bayi maupun di daerah yang iklim tropis atau selama musim panas. Kondisi lain adalah penggunaan terapi kortikosteroid, antibiotik, pemakaian kontrasepsi oral, pasien diabetes melitus maupun HIV. 1, 14
Manifestasi Klinis Manifestasi kandidiasis dapat berupa akut, subakut maupun kronis. Kandidiasis kutan akut bisa tampak seperti intertrigo berupa eritema yang berat, edema, eksudat kental, dan pustul satelit di area lipatan kulit. Infeksi di daerah lain bisa lebih kronis, seperti di area interdigiti pada kaki yang tampak lapisan stratum korneum yang tebal. Secara garis besar, klasifikasi terdiri dari kandidiasis kutan, kandidiasis oral, kandidiasis mukosa genital, dan kandidiasis sistemik. 9 5
A. Kandidiasis kutan 1. Kandidiasis intertriginosa a. Kandidiasis popok b. Erosio interdigitalis blastomycetica c. Miliaria kandida d. Paronikia kandida B. Kandidiasis oral 1. kandidiasis pseudomembran akut 2. kandidiasis atrofik akut 3. kandidiasis atrofik kronis (denture stomatitis) 4. angular cheilitis C. Kandidiasis mukosa genital 1. Kandidiasis vulvovaginitis 2. Balanitis dan balanopostitis kandida D. Kandidiasis sistemik/diseminata
Klasifikasi kandidiasis lainnya menurut Rippon (1988) terdiri dari 2 kelompok yaitu penyakit infeksi dan reaksi alergi. 15 1. Penyakit infeksi A. Kandidiasis mukokutan: 1. Pada mulut: thrush, glositis, stomatitis, cheilitis, perleche 2. Vaginitis dan balanitis 3. Pada bronkhus dan paru-paru 4. Pada saluran pencernaan: esofagus, usus, dan perianal 5. Kandidiasis mukokutan kronis B. Kandidiasis kutan: 1. Intertriginosa dan kandidiasis generalisata 2. Paronikia dan onikomikosis 3. Diaper diseases (kandidiasis popok) 4. Granuloma kandida 6
C. Kandidiasis sistemik: 1. Infeksi traktus urinarius 2. Endokarditis 3. Meningitis 4. Septikemia 5. Kandidemia iatrogenik 6. Kandidiasis diseminata 2. Reaksi alergi: A. Kandidid B. Ekzema C. Asma D. Gastritis
Sistem Imun pada Kulit Mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi kandida terdiri dari perlindungan kulit lokal dan mukosa serta peranan sistem imun sistemik. Perlindungan lokal meliputi integritas stratum korneum kulit, persaingan dengan flora normal kulit lainnya, proliferasi epidermis dan deskuamasi kulit akibat peradangan dan penghambatan langsung dari epitel kulit terhadap pertumbuhan candida. 16,17,18 Respon imun sistemik terhadap infeksi kandida meliputi imunitas seluler maupun imunitas humoral. Polymorphonuclear leukocyte (PMN) dan makrofag berperan dalam proses fagositosis dan membunuh kandida. Imunitas selular lebih berperan dalam proses ini dibandingkan dengan imunitas humoral. 16, 19
Sistem Imun Alamiah Struktur Kulit dan Keratinisasi-Proliferasi epidermis Struktur fisik dan kimia kulit memberikan perlindungan terhadap invasi jamur patogen. Berdasarkan model “bricks and mortar” (Elias and Feingold., 1999) dan teori proses transisi corneocytes menjadi gepeng dan kehilangan 45-86% berat molekul kulit (Haake and Holbrook., 1999) memberikan perlindungan mekanik 7
pada infeksi jamur di permukaan kulit. Pemaparan sinar matahari, kelembaban yang rendah dan persaingan dengan flora normal bakteri akan mencegah penetrasi jamur kandida. Jamur kandida tidak membutuhkan keratin pada stratum korneum untuk hidup, tetapi kandida memproduksi protease yang dapat menghidrolisis keratin sehingga bisa tumbuh di lapisan ini. Beberapa sel imun sistem berperan juga di lapisan epidermis pada infeksi superfisial yakni neutrofil dan sejumlah kecil sel limfosit. 10,16 Pada kulit yang normal mempunyai proses pelepasan dan regenerasi kulit yang teraktur membuat perlindungan yang efektif terhadap kandida. Proses pengelupasan ini akan melepaskan sel jamur yang melekat pada kulit. Kandida akan mudah masuk apabila terjadi kerusakan pada kulit baik secara mekanik maupun oklusi. Flora normal kulit yang lain juga sebagai pesaing untuk konsumsi nutrisi dan perlengketan di epitel kulit serta menghasilkan toksin penghambat kandida. 10,16
Substansi antifungal Lipid di permukaan kulit yakni asam lemak bebas, lemak polar dan glycosphingolipids berperan sebagai antimikroba (Miller et al., 1988). Pada penelitian oleh Rothman et al, 1947 ditemukan asam lemak pada rambut orang dewasa berfungsi sebagai fungistatik melawan M. audouini. 16 Metal-Binding Proteins yakni transferrin yang tidak larut dalam serum yang dapat menghambat pertumbuhan jamur candida (Esterly et al., 1967). Letaknya pada dermis membuat jamur candida tetap pada epidermis, meskipun dalam keadaan radang bisa naik sampai lapisan epidermis. 16 Substansi antifungal lain seperti human β-defensin 2 (HBD2) yang terinduksi oleh invasi bakteri maupun sitokin yang mempunyai efek melawan kandida maupun bakteri. Substansi lain yang juga ditemukan di epidermis yang berperan
menghambat
invasi
jamur
adalah
cathelicidin,
granzyme
B,
adrenomedullin dan antileukoprotease. 16
8
Sel Fagosit dan Respon Radang Respon imun alamiah merupakan mekanisme pertahanan pertama melawan patogen dan tidak membutuhkan pengenalan pemaparan sebelumnya terhadap antigen mikroba. Sistem ini secara luas diperantai oleh leukosit yakni makrofag dan neutrofil yang memfagosit dan membunuh patogen. Peranan sel-sel fagosit diketahui sangat besar dalam infeksi jamur dimana pada pasien yang mengalami neutropenia akan rentan terhadap infeksi jamur terutama oleh kandida. 18
Khusus pada Candida albicans secara unik memproduksi glycolipid yang disebut phospholipomannan yang dapat menstimulasi Toll-like receptors (TLRs) melalui dendritic antigen-presenting cells yang secara aktif bersama-sama menghasilkan sitokin dan merangsang respon T sel. Jadi produk jamur itu sendiri perperan sebagai perantara antara imun alami dan adaptif. 16
Sistem Imun Adaptif Pada percobaan skin test pada penderita kandidiasis didapatkan reaksi hypersensitivitas tipe lambat yang negatif yang artinya terjadi kelainan pada sistem imun seluler. Sedangkan pada manusia normal didapatkan reaksi skin test yang positif. Skin test ini juga bisa digunakan sebagai penanda akan keberhasilan pengobatan terapi kandidiasis maupun sebagai tanda membaiknya fungsi sistem imunitas seluler. Respons imun humoral terhadap infeksi kandida tampaknya tidak begitu jelas, seperti ditunjukkan pada studi-studi awal bahwa antibodi spesifik kandida tidak berfungsi protektif. Antibodi terhadap C.albicans sering ditemukan tinggi pada pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik dimana pada sisi lain ternyata menunjukkan kelainan di sistem imun seluler. 16 Peranan respons imun adaptif terhadap infeksi kandida sangat dipengaruhi oleh respons imun seluler. Peranan sel-sel dalam sistem imun alamiah yang menghasilkan berbagai sitokin, kemokin atau molekul ko-stimulator yang akan mengarahkan respons imun adaptif melalui respons imun seluler ataupun respons humoral. Kontrol yang efisien dan eradikasi sel-sel jamur bergantung pada 9
aktivasi respons protektif Th1. Pengaktifan respons ini diawali dengan sekresi IL12 oleh sel dendritik dan sel fagosit. 9, 12 Bagian dari sel T limfosit yakni CD4 T helper dan CD8 T cytotoxic killer cells, dimana tipe mayor CD4 sel terdiri dari Th1 sel yang mensekresikan IL-2 dan IFN-γ sedangkan Th2 sel mensekresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin yang dihasilkan mempengaruhi respon imun yang dibutuhkan untuk melawan infeksi antigen dan secara normal menggurangi reaksi alergi maupun reaksi autoimun. Secara khusus, sitokin yang dihasilkan oleh Th1 akan mengaktivasi respon imun yang dimediasi sel termasuk aktivasi makrofag dan T sel sitotoxic sedangkan Th2 akan mengaktivasi sel B limfosit menghasilkan antibodi. Th1 dan Th2 akan saling menghambat satu sama lain. 19 Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa aktivasi Th1 mengaktifkan makrofag dan neutrofil yang mempunyai efek membunuh kandida sedangkan IL-4 sitokin dari Th2
menunjukkan efek menghambat eliminasi terhadap kandida
lewat proses fagosit. Dengan demikian dibutuhkan keseimbangan koordinasi antara Th1 dan Th2 untuk melawan infeksi jamur ini. 16,17,19 Pada tikus percobaan telah menunjukkan bahwa inokulasi di kulit oleh jamur Candida albicans telah mengaktivasi respon imun seluler (Moser et al.,1980). Percobaan kandidiasis kutis pada hewan yang terinfeksi kemudian menunjukkan adanya sensitisasi sehingga pada infeksi yang kedua menimbukan respon lebih cepat dibandingkan dengan infeksi yang pertama yakni percobaan pada hewan tikus (Wilson and Sohnle., 1986) dan hewan babi (Sohnle et al., 1976). 16 Candida albicans tergantung pada kondisi lingkungannya dapat tumbuh sebagai spora atau bentuk filamen yang lebih invasif. Dengan demikian memungkinkan respon imun yang berbeda-beda terhadap dua fase tersebut. Pada penelitian oleh Sundstrom and Kenny, 1984 menunjukkan antigen spesifik pada kultur hifa yang berbeda dengan antigen yang terdapat pada spora. 16
10
Aspek Kronisitas Kandidiasis Faktor Agen Jamur kandida adalah flora normal dalam tubuh manusia, yang dalam perjalanannya berubah menjadi patogen oportunistik apabila keadaan lingkungan sekitar yang menfasilitasi pertumbuhan dan perubahaan jamur dari bentuk nonpatogen spora menjadi bentuk patogen pseudohifa maupun hifa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fisher dkk, pada tahun 1987 pada pasien kandidiasis mukokutan kronis, ditemukan karbohidrat antigen dari Candida Albicans yakni mannans yang persisten dalam serum pasien. Akumulasi mannan dalam
serum
penderita
kandidiasis
mukokutan
kronis
menunjukkan
ketidakmampuan tubuh dalam mengendalikan mannan oleh monosit. Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa mannans berperan dalam menghambat proliferasi limfosit sehingga mengganggu sistem imun seluler pada penderita kandidiasis mukokutan kronis. Meskipun demikian, dikatakan juga bahwa kandidiasis mukokutan kronis yang disertai dengan suatu sindrom, kemungkinan mempunyai sistem imun yang sudah abnormal sebelumnya karena mekanisme yang lain sehingga akhirnya mengganggu fungsi imunitas seluler dalam proses penghancuran kandida. 16, 19 Penelitian lain yang dilakukan oleh Sardi dkk tahun 2013 mengemukakan bahwa peningkatan insiden infeksi jamur sekarang ini semakin meningkat dikarenakan pembentukan biofilm oleh jamur. Biofilm diartikan suatu komunikasi biologi yang kompleks dimana mikroorganism membentuk struktur, koordinat dan fungsi komunikasi antara blastokonidia terdekat. Pembentukan biofilm ini juga berkaitan dengan tingginya tingkat resistensi antimikroba. Kemampuan spesies kandida dalam membentuk biofilm ini berperan penting sebagai potensial patogen dalam infeksi kandida pada manusia. Dari lima spesis kandida yang dilakukan percobaan, hanya spesis Candida albicans yang menunjukkan paling aktif membentuk biofilm diatas stratum korneum kulit, diikuti oleh C. Parapsilosis, C. Tropicalis dan C. Stellatoidea. 5, 6, 13, 20
11
Faktor Lingkungan Berbagai faktor mempengaruhi perubahan jamur saprofit menjadi jamur patogen, namun hal ini masih belum sepenuhnya dipahami dengan jelas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui secara pasti perubahan ini. Dikatakan bahwa faktor faktor lingkungan yang berperan menyediakan sarana untuk perubahan jamur dari bentuk spora ke bentuk hifa yang patogen, antara lain suhu yakni suhu diatas 35 ͦC, tekanan oksigen yang rendah, media cairan, adanya polisakarida karbon, serum dan pH diatas 7,5.
9, 10
Penelitian yang dilakukan Vylkova dkk pada tahun 2011 menyatakan kondisi pH yang basa mendukung pembentukan miselium jamur yang patogen. Beberapa teori lain, seperti pemakaian antibiotik spektrum luas yang lama juga sebagai salah satu faktor predisposisi penyebab meningkatkan insiden infeksi kandida. Dikatakan bahwa pemakaian antibiotik spektrum luas selain membunuh kuman penyebab, juga akan membunuh bakteri flora normal terutama bakteri penghasil asam. 12 Pada oral kandidiasis yakni kandidiasis atrofi kronis merupakan bentuk tersering ditemukan pada pasien pemakaian gigi palsu yakni (1 diantara 4 pemakai) dan 60% diatas usia 65 tahun. Gambaran khas berupa eritema kronis dan edema di sebagian palatum di bawah prostesis maksilaris. Onikomikosis juga merupakan salah satu infeksi kandida yang kronis. Predisposisi onikomikosis pada kuku tangan paling sering adalah dipengaruhi oleh gaya hidup atau pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam air. 1, 9, 21
Faktor Pejamu Kronisitas pada kandidiasis sangat dipengaruhi oleh gagalnya sistem imun seluler. Dimana pada penelitian yang melaksanaan test kulit dengan ekstrak jamur kandida yang dilakukan pada pasien dengan jumlah sel T limfosit yang normal biasanya tidak menunjukkan kelainan pada respon hipersensitivity tipe lambat tetapi beberapa pasien dengan kandidiasis mukokutan yang kronis ditemukan mempunyai kelainan sistem imun seluler. Namun meskipun demikian tes kulit bisa juga memberikan hasil negatif yang dilakukan pada manusia sehat yang 12
belum mempunyai riwayat menderita kandidiasis superfisial kronik. Hal ini bisa terjadi karena ada
kemungkinan akibat kurangnya paparan terhadap antigen
kandida ini sebelumnya. 18, 19 Gangguan pada sistem imun seluler ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor genetik maupun faktor bawaan. Faktor genetik contohnya pada penelitian yang dilakukan oleh Oederni dkk pada tahun 2013 terhadap pasien dengan defisiensi IL-12 (IL-12Rβ1) ternyata menunjukkan bahwa infeksi kandidiasis cenderung menjadi kronik dan persisten, sehingga dari data ini bisa dijadikan penanda dimana infeksi kandidiasis sebagai awal manifestasi klinik pada pasien-pasien dengan defisiensi reseptor IL-12
ini. Hal ini bisa juga
disebabkan karena keterlibatan kelainan pada fungsi IFN γ dan IL-17. Laporan kasus oleh Ling dkk pada 3 pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik berhubungan dengan defisiensi autosomal resesif IL-17RC. 14, 22, 25, 26 Faktor genetik lainnya banyak ditemukan pada kandidiasis mukokutan kronik. Kandidiasis mukokutan kronis merupakan sindrom oleh invasi masif C. albicans yakni infeksi kandida superfisial yang mengenai kulit, kuku, dan orofaring. Karakteristik sindrom ini adalah perjalanan penyakit yang kronis, resisten terhadap pengobatan, rekuren dan persisten. 9, 23, 27 Pada kandidiasis mukokutan kronis yang terjadi pada usia muda adalah kandidiasis mukokutan kronis autosomal resesif, kandidiasis mukokutan kronis autosomal dominan, kandidiasis mukokutan kronis idiopatik, serta kandidiasis mukokutan kronis dengan poli endokrinopati yang dikenal dengan sindroma autoimmune polyendocrinopathy-candidiasis-ectodermal dystrophy (APECED). Dikatakan bahwa kelainan genetik diatas mempunyai kelainan pada fungsi imun sistem seluler sehingga kelompok ini rentan terhadap infeksi kandida. Ada kasus kandidiasis mukokutan kronik yang hanya mengenai kuku pada lima generasi di keluarga Italia, ditemukan serum intercellular adhesion molecule (ICAM-1) yang rendah. Kelainan ini berkaitan pada kromosom 11 pada region 19cM pericentromic. Sedangkan kandidiasis mukokutan kronik yang timbul pada usia dewasa yakni kandidiasis mukokutan kronis dengan timoma terletak pada kromosom 2p. Penyakit dapat terjadi secara familial dan sporadis. 1, 23 13
Beberapa penelitian menyatakan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan respon imun seluler antara Th1 dan Th2. Pada pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik ditemukan peningkatan produksi IL-6 maupun IL-10 dan penurunan produksi IL-12 dan natural killer (NK) sehingga sistem imun yang lebih dominan adalah Th2. Kondisi ini menekan kerja Th1 yang berperan sebagi pertahanan imun yang utama terhadap invasi jamur kandida sehingga pasien ini rentan terhadap infeksi jamur ini. 15,28 Faktor bawaan banyak menyerang pasien usia tua. Usia yang ekstrim sangat muda maupun tua mempunyai sistem imun yang tidak sempurna sehingga sangat rentan terhadapat infeksi kandida. Insiden infeksi kandidiasis juga meningkat pada usia tua yang banyak disebabkan karena penyakit sistemik maupun penyakit immunodefisiensi yang dihubungkan secara khusus karena gangguan penurunan fungsi imun seluler. Hal lain dikaitkan juga karena peningkatan usia harapan hidup dimana terjadi penggunaan obat-obatan jangka panjang seperti antibiotik spektrum luas, kortikosteroid, imunosupresif dan obatobatan sitotoksik. Penggunaan kontrasepsi oral, pasien diabetes melitus dan HIV juga akan meningkatkan resiko infeksi kandidiasis menjadi kronis dan resistensi terhadap pengobatan. 20, 24,29,30
14
Ringkasan
Kandida adalah anggota flora normal pada tubuh manusia yang lebih banyak mendiami kulit dan atau mukosa manusia sehat tanpa menimbulkan kerusakan jaringan. Akan tetapi apabila terjadi ketidakseimbangan dalam tubuh, terjadi perubahan morfologi dari bentuk sel ragi menjadi filamen ataupun bentuk hifa yang sesungguhnya sehingga kandida sebagai patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit. Patogenesis infeksi ini dimulai dengan perlengketan Kandida pada sel epetel , kemudian Kandida memproduksi enzim-enzim yang dapat mempermudah penetrasi Kandida kedalam epidermis. Dinding Kandida sendiri mengandung mannan (komponen protein) berfungsi untuk mengaktifkan komplemen dan merangsang pembentukan antibodi. Kompleks antigen-antibodi dipermukaan sel Kandida akan melindungi Kandida dari imunitas sel inang . Insiden kandidiasis
makin terus meningkat di dalam masyarakat dan
menjadi salah satu masalah kesehatan khususnya di Indonesia. Hal tersebut terutama disebabkan karena perjalanan penyakitnya yang sering rekuren, kronis, durasi pengobatan yang cenderung lama dan didukung oleh iklim yang sesuai. Hal ini juga didukung oleh meningkatnya usia harapan hidup dan penggunaan terapi kortikosteroid, antibiotik, pemakaian kontrasepsi oral, pasien diabetes melitus dan HIV. Sesunguhnya masalah pada kandidiasis kronis merupakan akibat yang ditimbulkan oleh ketidak-seimbangan
antara agent, environment dan host,
sehingga dibutuhkan penangganan yang holistic untuk mencegah kronisitas pada penyakit ini. Mengembalikan homeostasis tubuh merupakan kunci utama dalam penanganan dan pencegahan infeksi oportunistik jamur kandida.
15
Daftar Pustaka 1.
Kundu RV, Garg A. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis) Versicolor, and Malasezia (Pityrosporum) Folliculitis. In : Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Woll K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: MacGraw-Hill; 2012.p.2298-2311. 2. James WD, Berger TG, Elson DM. Viral Disease. In: Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Canada: Elsevier; 2006.p.297-300. 3. Hall JC, Hall BJ. Skin Infection: Diagnosis and Treatment. New York: Cambridge University Press; 2009.p.. 4. Hay RJ, Asbee HR. Mycology. In: Burn T, Breathnoch S, Cox N, Griffith C, eds. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Blackwell: Science ltd; 2010.p.36.56 5. Sardi et al. Candida spesies: current epidemiology pathogenicity, biofilm formation,natural antifungal products and new therapeutic options. Journal of Medical Microbiology. 2013; 62: 10-24. 6. Katragkou A, et al. In Vitro interactions between farnesol and fluconazole, amphotericin B or micafungin against Candida albicans biofilms. J antimicrob Chemother. 2014; 10: 374-384. 7. Adiguna MS. Epidemiology Dermatomikosis Superfisialis di Indonesia. Dalam: Bramono, dkk. Dermatomikosis Superfisialis. Ed ke-2. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2013.h.1-7. 8. Anaissie, EJ. The Changing Epidemiology of Candida infection. Available from URL: http://www.medscape.com/ viewprogram/7208_pnt. 2007; 2-6, 1015. 9. Astari L, Cholis M. Imunopatogensis Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Bramono, dkk. Dermatomikosis Superfisialis. Ed ke-2. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2013.h.1-7.15-18. 10. Faergemann BR, Larko O. Experimental Candida albicans Lesions in Healthy Humans: Dependence on Skin pH. Acta Derm Venereol; 2000; 80: 421-424. 11. Naglik JR, Challacombe SJ, Hube B. Candida albicans Secreted Asparthyl Proteinases in Virulence and Pathogenesis. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 2003; 67(3): 400-428. 12. Laszlo MK. Chronic Candidiasis – Pathogenesis, Symptoms, Diagnosis and Treatment. UDC. 2009; 116: 267-274. 13. Jabra RMA, Falker WA, Merz JWG, Kelley JL, Maqui AAMA, Meiler TF. Fungal Biofilms and Drug Resistence of Candida albicans. Emerg Infect Dis. 2004; 10: 3-19. 14. Ling Y, et al. Inherited IL-17RC Deficiency in Patients with chronic Mucocutaneous Candidiasis. J Clin Immunol. 2014; 34: 139-515. 15. Rippon JW. Candidiasis. Dalam: Monsiewiz M,, Kilmer D, Editor. Medical Mycology. Edisi ke-3. Philadelphia: W. B. Saundes; 1988. h.536-575. 16. Srinivasan S, Wagner DK, Sohnie PG. Immunology of Cutaneous Candidiasis. In: Fidel P, Huffnagle GB, ed. Fungal Immunology from an organ perpective. New York: Springer Science & Business Media Inc; 2005.p.422-436. 16
17. Mayer FL, Wilson D, Hube B. Candida albicans Pathogenicity Mechanisms. Virulence. 2013; 4 (2): 119-128. 18. Kundu RV, Garg A. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis) Versicolor, and Malasezia (Pityrosporum) Folliculitis. In : Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Woll K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: MacGraw-Hill; 2012.p.2298-2311. 19. Toth A, et al. Candida albicans and Candida parapsilosis Induce Different TCell Responses in Human Peripheral Blood Mononuclear Cells. The Journal of Infectious Disease. 2013; 208: 690-698. 20. Wang H, et al. The epidemiology, antifungal use and risk factors of death in elderly patients with candidemia: a multicentre retropective study. BMC Infectious Diseases. 2014; 14: 609-708. 21. Roseff SA, Sugar AM. Oral and esophageal candidiasis. In: Bodey GP, eds. Candidiasis, pathogenesis, diagnosis and treatment. 2nd ed. New York: Raven Press; 1993. p. 185-203. 22. Ouederni et al. Clinical features of candidiasis in patients with inherited interleukin 12 receptor β1 deficieny. Clinical Infectious Disease. 2014; 58(2): 204-213. 23. Kirkpatrick CH, Denver MD. Chronic mucocutaneous candidiasis. J Am Acad Dermatol. 1994; 31: S14-17. 24. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, ed. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. London: Blackwell Publishing; 2008. p. 36.56-70 25. Ng et al. Impaired Th17 responses in patients with chronic mucocutaneous candidiasis with and without autoimmune polyendocrinopathy-candidiasisectodermal dystrophy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 126: 1006-1015. 26. Toth et al. Candida albicans and Candida parapsilosis Induce Different T-Cell Responses in Human Peripheral Blood Mononuclear Cells. The Journal of Infectious Diseases. 2013; 208: 690-698. 27. Rabson AR. Chronic mucocutaneous candidiasis-an imunological mystery. N Eng J Med. 2007; 97:11. 28. Koga T. Immune Surveillance against dermatophyte infection. In: Fidel PL, Huffnagle GB, eds. Fungal Immunology from an organ perspective. New York: Springer Science & Business Media Inc; 2005.h.443-449. 29. Lilic D, Haynes K. Candida. In: Brown GD, Netea MG, eds. Immunology of fungal infection. Netherlands: Springer; 2007.p.361-368. 30. Fungal infection in oncology patients: update on epidemiology, prevention, and treatment. Curr Opin Oncol 2010;22(2):138-142.
17