LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL
PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 2015
LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL
PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 2015 Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Allah SWT atas berhasilnya Tim Peneliti Jasa, HKI dan Isu Baru, Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional dalam
menyusun
“Analisisis
Kemungkinan
Penerapan
Emergency
Safeguard Measures (ESM) dalam Perdagangan Jasa Indonesia”. Sebagaimana diketahui bahwa analisis ini merupakan salah satu analisis jangka pendek tahun 2015 yang memuat isu-isu strategis terbaru. Pada tahun 2015 ini topik yang diangkat berkaitan dengan ESM perdagangan jasa. ESM merupakan suatu hal yang sangat baru dalam perdagangan Jasa. Konsep ESM ini juga menjadi salah satu fokus yang belum disepakati pada Putaran Uruguay. Namun demikian, ke depan konsep ini akan
masih
menjadi
perhatian
dunia
terutama
negara-negara
berkembang. Melihat pentingnya isu ini maka disusunlah kajian ini. Kami menyadari
bahwa
dalam
melaksanakan
pengkajian
terdapat
keterbatasan-keterbatasan. Untuk itu kami mohon saran dan masukan serta kritik yang bersifat membangun dari para pembaca kajian ini.
Jakarta, Oktober 2015 Tim Peneliti Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
ii
ABSTRAK Sejak penandatanganan perjanjian GATS pada tahun 1994, secara umum belum terdapat perkembangan yang memuaskan terkait ESM. Pada awalnya penyelesaian komitmen ESM ditargetkan selesai dalam 3 tahun setelah kesepakatan WTO efektif dilaksanakan (Januari 1998). Karena kesepakatan yang tidak kunjung tercapai, maka The Working Party
GATS
Rules
(WPGR)
–
sebuah
badan
dibawah
Dewan
Perdagangan Jasa (Council for Trade in Services) – telah memundurkan batas waktu penyelesaian negosiasi. Sampai saat ini, isu ESM masih dalam proses pembahasan dan belum tercapai kesepakatan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kemungkinan penerapan ESM perdagangan jasa. Oleh karena konsep ESM masih baru dalam perdagangan jasa, maka kajian ini mengadopsi
konsep
ESM
perdagangan
barang.
Kajian
ini
juga
mengidentifikasi syarat minimal penerapan ESM perdagangan jasa dan menganalisa kesiapan Indonesia dalam penerapan ESM. Hasil kajian melalui studi literatur menyimpulkan bahwa untuk dapat menerapkan mekanisme safeguard perdagangan barang pada konteks perdagangan jasa, Sauve (2002) mengidentifikasi dua hal operasional mendasar yang harus terlebih dahulu diperjelas, yaitu (1) konsep impor jasa dan (2) konsep jasa sejenis atau substitusi langsungnya. Dalam konteks perdagangan jasa, konsep impor harus didefinisikan secara jelas terlebih dahulu karena terdapat 4 (empat) mode layanan jasa yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Sifat dasar perdagangan produk yang pada umumnya diberikan berdasarkan pesanan konsumen membuat penentuan klasifikasi produk tersebut menjadi sulit dilakukan. Selain itu, sifat produk jasa yang tidak memiliki spesifikasi yang jelas membuat sulit untuk diperbandingkan antara layanan jasa dalam negeri dan luar negeri. Kata kunci: Perdagangan Jasa, GATS, ESM JEL: F13, F14, F16, F21, F23
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... ii ABSTRAK .................................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................... iv DAFTAR TABEL ........................................................................................v BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4 1.4 Hasil Analisis ............................................................................ 4 1.5 Manfaat Penelitian..................................................................... 4 1.6 Sistematika Penulisan ............................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6 2.1 Konsep Emergency Safeguard Measures (ESM) Perdagangan Barang ............................................................... 7 2.2 Kerangka Ekonomi dari Safeguards ....................................... 11 2.3 Perkembangan ESM dalam Perundingan Putaran Doha ........ 14 2.4 Proposal ASEAN ..................................................................... 18 BAB III METODOLOGI ......................................................................... 21 BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................ 22 4.1 Penerapan ParadigmaSafeguard dalam GATT untuk Perdagangan Jasa ....................................................... 22 4.2 Alternatif Skenario Perundingan ESM Perdagangan Jasa ..... 25 4.3 Syarat Minimal Penerapan ESM Perdagangan Jasa ............. 28 4.4 Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia ....................... 31 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................ 35 5.1 Kesimpulan ............................................................................. 35 5.2 Rekomendasi Kebijakan ......................................................... 37 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 PDB Indonesia Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2010 – 2014 ...................................................................... 32 Tabel 2 Neraca Perdagangan Jasa Indonesia Tahun 2010 – 2014 ...................................................................... 33
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang Pada Juli 2002, sejumlah anggota WTO memasukkan permohonan
bilateral untuk sejumlah komitemen GATS kepada anggota WTO lainnya. Proses tabulasi dari permintaan awal ini merupakan langkah pendahuluan yang dipersyaratkan dalam deklarasi tingkat menteri Doha untuk menentukan arah tujuan dari putaran perundingan baru WTO. Negosiasi jasa sendiri telah dilakukan sejak bulan Februari tahun 2000. Sesuai dengan mandat aturan General Agreement on Trade in Services (GATS) pasal XIX mengenai liberalisasi progresif, negosiasi GATS dilaksanakan secara mandiri sebagai bagian dari putaran negosiasi perdagangan komprehensif. Selama beberapa tahun terakhir, negosiator di bidang perdagangan jasa disibukkan dengan upaya untuk mencapai persetujuan mengenai petunjuk negosiasi GATS dan penciptaan berbagai proposal sektoral dan horizontal. Hasil dan tujuan dari proses negosiasi jasa yang baru ini telah tergabung dalam proses negosiasi Doha Development Agenda (DDA) yang lebih komprehensif. Berkaitan dengan batas akhir negosiasi, mandat dari putaran Doha telah menetapkan batas waktu yang cukup ambisius. Batas akhir pertama adalah pada tanggal 30 Juni 2002, untuk memasukkan usulan awal permintaan liberalisasi. Batas waktu berikutnya adalah pada tanggal 31 Maret 2003, yang digunakan sebagai batasa akhir penawaran liberalisasi perdagangan jasa. Berbagai perhatian negosiasi saat ini terserap dalam proses kerja intensif untuk mengamankan sejumlah besar komitmen bound pada akses pasar dan national treatment dibawah negosiasi GATS. Para negosiator perdagangan bidang jasa harus memulai set kedua dari negosiasi GATS dengan berbagai hal yang belum selesai dibahas dari Putaran Uruguay (1986-1993). Beberapa tahun setelah Putaran Uruguay, sebagian besar prinsip dan kerangka dalam GATS masih dalam Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
1
proses pengembangan. Agenda-agenda GATS yang diberlakukan sejak tahun 1995 tidak hanya memerintahkan untuk dilakukan liberalisasi perdagangan secara progresif melalui komitmen-komitmen tambahan, namun negosiator juga didorong untuk menyelesaikan aturan-aturan dalam GATS yang belum dapat disepakati dalam Putaran Uruguay. Aturan-aturan tersebut meliputi: (1) emergency safeguard mechanism (ESM), (2) subsidi, (3) pengadaan barang/jasa pemerintah dan (3) peraturan domestik. GATS selayaknya dipandang sebagai sebuah proses yang terus berlanjut (Sauve, 2002). Hal ini tidaklah mengejutkan apabila dilihat dari keragaman aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan dalam sektor jasa serta
perkembangan
tekhnologi
dan
pendekatan
kebijakan
yang
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan peraturan-aturan pada sektor jasa. Negosiator-negosiator GATS telah menghadapi berbagai pilihan
kebijakan
yang
beragam,
mulai
dari
permintaan
untuk
memasukkan peraturan yang lebih komprehensif terkait investasi sampai dengan ketentuan persaingan usaha yang dapat berlaku umum dan terintegrasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan bisnis dunia usaha. Selain itu, terdapat juga usulan untuk mengembangkan aturan yang ditujukan untuk memfasilitasi perdagangan jasa melalui perangkat elektronik. Menyadari peningkatan perhatian terhadap pengembangan aturanaturan baru dan perhatian atas keterbukaan pasar, maka penting bagi negara-negara anggota GATS untuk menyelesaikan beberapa komitmen yang belum disepakati dalam Putaran Uruguay. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah satu komitmen tersebut adalah Emergency Safeguard Measures (ESM). Sejak penandatanganan perjanjian GATS pada tahun 1994, secara umum belum terdapat perkembangan yang memuaskan terkait ESM. Pada awalnya penyelesaian komitmen ESM ditargetkan selesai dalam 3 tahun setelah kesepakatan WTO efektif dilaksanakan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
2
(Januari 1998)1. Karena kesepakatan yang tidak kunjung tercapai, maka The Working Party GATS Rules (WPGR) – sebuah badan dibawah Dewan Perdagangan Jasa (Council for Trade in Services) – telah memundurkan batas waktu penyelesaian negosiasi. Sampai saat ini, isu ESM masih dalam proses pembahasan dan belum tercapai kesepakatan (Sauve, 2002). Perkembangan perundingan juga memperlihatkan bahwa negara maju yang lebih memiliki keuntungan komparatif dari segi kemampuan ekonomi dan kapabilitas sumber daya manusia serta penguasaan riset dan teknologi, terkesan “memaksa” negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk membuka pasar secara agresif sehingga memungkinkan negara-negara maju untuk mengakses pasar secara lebih luas. Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin terlihat lebih defensif dan berusaha “menghindar” dalam membuka pasar secara lebih jauh
sesuai
dengan
kehendak
negara-negara
maju.
Permintaan
pembukaan akses pasar dari negara berkembang kepada negara - negara maju hanya sebatas pada mode 4 (movement of natural person), terutama untuk tenaga kerja yang berketrampilan menengah dan rendah2. Sementara itu, dewasa ini sektor jasa semakin memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia. Dalam periode tahun 2010 – 20143, sektor jasa tercatat tumbuh mendekati 20 persen per tahun. Sementara kontribusi sektor jasa terhadap PDB Indonesia pada periode tersebut tercatat rata-rata sebesar 45 persen. Menyadari semakin pentingnya peran sektor jasa dalam perekonomian, Indonesia memiliki kepentingan agar komitmen terkait ESM dalam GATS dapat segera diwujudkan sehingga dapat menjadi instrument yang dapat dipakai untuk 1
Sesuai dengan agenda pengembangan GATS dan tenggat waktu yang disepakati dalam The Doha Ministerial Declaration 2
Tim Perbankan dan Enquiry Point, 2010, “Emergency Safeguard Measures (ESM) Sebagai Jaring Pengaman Kebijakan Liberalisasi Sektor Jasa”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 4, No.2, Agustus 2010, Jakarta 3
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
3
meredam apabila terdapat banjir supply jasa impor yang dapat merugikan industri domestik. Namun demikian, konsep ESM perdagangan jasa sejauh ini masih dalam perdebatan. Masalah-masalah inherent dalam sektor jasa terutama pada negara berkembang seperti ketidaktersediaan data yang lengkap dan handal membuat upaya perumusan mekanisme ESM perdagangan jasa tidak semudah pada perdagangan barang.
1.2.
Perumusan Masalah Selama ini belum ada negara yang menerapkan ESM pada sektor
jasanya tetapi beberapa negara termasuk Indonesia mengganggap instrumen ini cukup penting. Untuk itu disusun kajian ini dengan pertanyaan
penelitian
yaitu
seperti
apakah
konsep
ESM
pada
perdagangan jasa.
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai kemungkinan penerapan ESM perdagangan jasa dengan bercermin pada konsep ESM perdagangan barang, melakukan identifikasi syarat minimal penerapan ESM perdagangan jasa dan menganalisa kesiapan Indonesia dalam penerapan ESM.
1.4.
Hasil Analisis Hasil analisis dari kajian ini adalah berupa laporan dan rekomendasi
kebijakan mengenai kemungkinan penerapan ESM pada sektor jasa Indonesia.
1.5.
Manfaat Penelitian Kajian ini dapat memberikan gambaran mengenai usulan awal dalam
penerapan ESM.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
4
1.6.
Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar belakang
1.2.
Perumusan Masalah
1.3.
Tujuan Penelitian
1.4.
Hasil Analisis
1.5.
Dampak/Manfaat
1.6.
Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep
Emergency
Safeguard
Measures
(ESM)
perdagangan barang 2.2.
Kerangka Ekonomi dari Safeguards
2.3.
Perkembangan ESM dalam Perundingan Putaran Doha
2.4.
Proposal ASEAN
BAB III METODOLOGI
BAB IV PEMBAHASAN 4.1.
Penerapan
Pardigma
Safeguard
dalam
GATT
untuk
Perdagangan Jasa 4.2.
Alternatif Skenario Perundingan ESM Perdagangan Jasa
4.3.
Syarat Minimal Penerapan ESM Perdagangan Jasa
4.4.
Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1.
Kesimpulan
5.2.
Rekomendasi Kebijakan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Emergency Safeguard Measures (ESM) perdagangan
barang Safeguard merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintan negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing. Pengaturan safeguard mengacu pada pasal XIX GATT (Emergency Action on Imports of Particular Products) Tahun 1947 yang telah disempurnakan dengan Agreement on Safeguard 1994 (Sood, 2011). Pada awalnya, mekanisme safeguard diatur dalam Pasal XIX GATT 1947, yang menyebutkan bahwa syarat untuk melakukan tindakan safeguard oleh negara-negara anggota WTO adalah harus bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskriminatif. Hal ini berarti bahwa tindakan diterapkan
setelah
terjadi
safeguard melalui pembatasan impor peningkatan
produk
impor,
sehingga
menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam negeri. Selain itu, syarat
lain
adalah
bahwa
negara
pengimpor
yang
mengenakan
mekanisme safeguard harus memberikan kompensasi kepada negara pengekspor. Selanjutnya ditentukan pula bahwa instrument yang dipakai dalam
mekanisme
safeguard
adalah
instrument
tarif,
walaupun
pembatasan kuantitatif (non-tariff barrier) juga diperbolehkan. Mengingat
persyaratannya
yang
sangat
ketat,
maka
sejak
perjanjian GATT 1947 penggunaan makanisme safeguard dianggap tidak memuaskan. Aturan untuk menerapkan safeguard sering tidak efektif sehingga mekanisme ini semakin jarang digunakan. Dengan sistem safeguard yang tidak memuaskan maka semakin banyak negara menggunakan tindakan di luar GATT untuk membendung impor. Merespon kondisi ini, negara-negara anggota WTO telah melakukan Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
6
beberapa kali putaran perundingan untuk menyempurnakan perjanjian terkait
safeguard.
Perundingan
lanjutan
tersebut
dimulai
dengan
perundingan di Punta del Este (uruguay) dari tahun 1986 sampai 1988, diikuti dengan sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 dan sidang tingkat Menteri di Brussels 1990. Putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati perjanjian multilateral di bidang safeguard. Ringkasan hasil perundingan Uruguay Round di bidang safeguard (pasal XIX GATT 1994) adalah sebagai berikut (Kartadjoemena, 1997): 1. Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious injury terhadap industri domestik. 2. Negara berkembang khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif. 3. Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan apabila: a. Ada bukti yang jelas bahwa peningkatan impor telah atau akan menimbulkan serious injury. b. Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan kerugian yang sulit diperbaiki. 4. Ketentuan seperti voluntary export restraints (VER) tidak boleh diterapkan. 5. Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali bila masih perlu untuk mencegah injury dan industri yang terkena sedang dalam restrukturisasi. 6. Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setengah tahun. 7. Safeguard tidak dikenakan untuk negara berkembang apabila pangsa negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total impor negara penerap safeguards dan apabila pangsa kolektif
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
7
negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total impor negara tersebut. Dalam Pasal 2 Agrement on Safeguard disebutkan bahwa syaratsyarat penerapan safeguard adalah sebagai berikut: 1. Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah tertentu, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung. 2. Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya. Kebijakan penerapan tindakan Pengamanan (safeguard) oleh negara pengimpor dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain melakukan penyidikan dan pembuktian, menentukan adanya kerugian atau ancaman kerugian, dan penerapan tindakan pengamanan. 1. Penyidikan dan Pembuktian Pasal 3 Agreement on Safeguard menyebutkan bahwa setiap negara anggota WTO dapat menerapkan tindakan pengamanan setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur dan diumumkan sesuai dengan Pasal X GATT 1994. Penyelidikan ini harus mencakup pemberitahuan kepada semua pihak yang berkepentingan sehingga para importir, eksportir dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan bukti dan pandangan mereka, apakah tindakan pengamanan melindungi kepentingan umum. Para pejabat yang berwenang selanjutnya akan menyampaikan
laporan
penyidikan
mereka
dan
memberikan
kesimpulan mengenai semua fakta dan hukum yang berlaku. 2. Penentuan Adanya Kerugian atau Ancaman Kerugian Sebelum tindakan safeguard diberlakukan, terlebih dahulu dilakukan pembuktian telah terjadinya kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat melonjaknya barang impor. Penentuan adanya
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
8
kerugian atau ancaman kerugian dimaksud, diatur dalam Pasal 4 Agreement on Safeguard sebagai berikut: a.
Terjadinya ”kerugian serius” yang diartikan dapat menghalangi perkembangan atau keberadaan industri dalam negeri;
b.
Adanya “ancaman kerugian serius” yang harus dipahami sebagai kerugian berat yang jelas akan terjadi, sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Penentuan adanya ancaman kerugian serius harus didasarkan pada fakta dan bukan pada tuduhan, dugaan atau kemungkinan yang tersamar lainnya.
Dalam menentukan kerugian atau ancaman tersebut, “industri dalam negeri” merupakan produsen secara keseluruhan yang memproduksi produk sejenis atau yang langsung bersaing yang beroperasi di dalam wilayah suatu anggota, atau hasil produksi atas produk sejenis yang secara langsung bersaing merupakan bagian terbesar dari total produksi. 3. Pengenaan tindakan Safeguard Pengenaan Tindakan Safeguard diatur dalam Agreement on Safeguard, yaitu Pasal 5 (tindakan Safeguard tetap) dan Pasal 6 (tindakan
Safeguard
sementara).
Kedua
pasal
tersebut
memperbolehkan kepada setiap negara anggota untuk menerapkan tindakan Safeguard sejauh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki kerugian serius guna mempermudah penyesuaian atau pemberian ganti kerugian. Tindakan Safeguard tersebut dapat dalam bentuk tarif, kuota dan kombinasi antara tarif dan kuota. a.
Tindakan Pengamanan (Safeguard) Sementara Bentuk tindakan safeguard sementara hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan safeguard tetap. Tindakan safeguard
sementara
dilaksanakan
semenjak
permulaan
proses penyidikan yang didahului oleh proses notifikasi. Tindakan ini dilakukan apabila terjadi keadaan darurat yang jika ditunda atau tidak dilaksanakan, akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki. Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
9
Tindakan safeguard sementara adalah berupa tarif (cash bond) yang berlaku maksimum 200 hari. Namun apabila tidak diketemukan
bukti
bahwa
impor
barang
mengakibatkan
kerugian serius atau ancaman terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri maka tarif yang akan dibayarkan harus dikembalikan kepada importir. Hal ini telah dinyatakan dalam Pasal 5 Agreement on Safeguard,
bahwa
tindakan
safeguard
sementara
dapat
dilakukan oleh negara pengimpor anggota WTO jika terjadi keadaan darurat dan apabila ditunda akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki. Tindakan safeguard sementara tidak boleh melebihi 200 hari, tindakan tersebut dilakukan
sesuai
dengan
penentuan
sementara
yang
membuktikan secara nyata bahwa impor yang meningkat telah menyebabkan atau mengancam kerugian berat terhadap indusri domestik. b.
Tindakan Pengamanan (Safeguard) Tetap Tindakan safeguard tetap dapat ditetapkan dalam tiga bentuk meliputi peningkatan bea masuk, penetapan pembatasan impor dan kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Jika tindakan safeguard tetap ditetapkan dalam bentuk kuota maka kuotanya tidak boleh lebih kecil dari impor rata-rata dalam tiga tahun terakhir (Barutu, 2007). Untuk kasus pengenaan kuota yang berbeda dari rata-rata impor tiga tahun terakhir diperlukan adanya bukti atau pembenaran secara khusus seperti ditegaskan dalam Pasal X:1 Agreement on Safeguard yang menyatakan bahwa “Setiap anggota
dapat
menerapkan
tindakan
safeguard
sejauh
diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki kerugian serius dan guna mempermudah penyesuaian atau pemberian ganti kerugian.
Jika
pembatasan
kuantitatif
digunakan,
maka
tindakan tersebut tidak boleh mengurangi jumlah impor di Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
10
bawah
tingkat
merupakan
suatu
rata-rata
periode impor
yang dalam
baru tiga
berlaku tahun
yang
terakhir
berdasarkan statistik yang tersedia, kecuali diberikan alasan yang jelas bahwa tingkatan yang berbeda yang diperlukan untuk mencegah atau memerbaiki kerugian yang serius. Para anggota harus memilih tindakan yang paling sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya negara yang melakukan tindakan safeguard dalam bentuk kuota dapat membuat kesepakatan dengan negara pengekspor terbesar mengenai alokasi kuota tersebut. Jika tidak ada kesepakatan kuota masing-masing negara ditentukan pada pangsa pasar ekspor masing-masing negara dalam periode tertentu. Persetujuan ini membenarkan tindakan dalam situasi khusus dimana negara-negara anggota mengadakan penyimpangan terhadap
aturan
non
diskriminasi
dalam
menerapkan
pembatasan kuota pada satu atau lebih negara yang impornya berasal dari negara tersebut meningkat persentase impornya secara tidak proposional dalam hubungannya dengan total peningkatan impor barang-barang dalam priode yang mewakili. Untuk memastikan bahwa tindakan dimaksud diambil dalam situasi yang khusus, persetujuan menetapkan bahwa para pihak
harus
melaksanakannya
setelah
melalui
proses
konsultasi dan disetujui oleh Komite Safeguard. Komite dibentuk melalui persetujuan.
2.2.
Kerangka Ekonomi dari Safeguards Keberadaan instrumen safeguard dalam perjanjian perdagangan
muncul dari adanya kebutuhan akan mekanisme pengamanan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tak terduga yang mungkin muncul sebagai
akibat
dari
diberlakukannya
liberalisasi
perdagangan.
Perlindungan terhadap industri dalam negeri merupakan tujuan eksplisit Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
11
dari dibentuknya mekanisme safeguard. Sebagai upaya untuk menangani kekhawatiran atas potensi "masalah yang tak terduga" safeguard memiliki tujuan ganda. Di satu sisi, keberadaan ESM dapat membantu membujuk industri domestik untuk menerima liberalisasi perdagangan yang lebih luas. Di sisi lain, safeguard juga dapat berfungsi sebagai ruang bernapas bagi industri dalam negeri untuk menyesuaikan diri dengan realitas kompetitif baru. Meskipun
demikian,
dengan
melihat
sejarah
implementasi
safeguard pada perdagangan barang, sulit dilakukan pembuktian secara empiris terhadap manfaat safeguard sebagai instrumen pengamanan atas liberalisasi perdagangan yang lebih luas serta sebagai faslitasi industri domestik dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kompetisi yang lebih berat (Messerlin, 1997). Sangat sedikit kisah sukses liberalisasi perdagangan yang dapat dihubungkan dengan keberadaan mekanisme safeguard
didalamnya.
Bukanlah
hal
yang
mengejutkan
apabila
negosiator lebih mementingkan tingkat sensitifitas industri domestik untuk memutuskan
menyetujui
sebuah
perjanjian
perdagangan
bebas
dibandingkan dengan keberadaan mekanisme safeguard dalam draft perjanjian tersebut. Lebih dari itu, perlu dipahami bahwa safeguard merupakan bagian dari konsekuensi atas kejadian yang tidak terduga, dimana negosiator bekerja dengan dasar pengukuran resiko atas kemampuan industri domestik dalam mengahadapi peningkatan kompetisi dengan pesaing mancanegara. Meskipun mekanisme safeguard tidak dianggap sebagai faktor penentu dalam pengamanan perdagangan bebas, namun keberadaannya dapat digunakan untuk meredam kemarahan dari pihak-pihak yang menentang perdagangan bebas. Sebagaimana dalam paket negosiasi perdagangan bebas umumnya, hasil perundingan dapat diuji dengan mengumumkannya didepan publik sebagai hasil yang berimbang, yang direfleksikan dengan nilai ekspor dan impor yang dapat dihasilkan. Pejabat berwenang dapat mengatakan bahwa skenario defensif telah diperhitungkan, yaitu dengan memasukkan klausul mengenai adanya Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
12
mekanisme safeguard dalam perjanjian. Bukanlah suatu kebetulan apabila terdapat
mekanisme
safeguard
pada
hampir
semua
perjanjian
perdagangan bebas. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan politik dalam proses perundingan perjanjian-perjanjian tersebut, walaupun sebenarnya keberadaan safeguard tidak memiliki peran yang signifikan terhadap industri yang terkena dampak perjanjian tersebut. Sementara itu, argumen bahwa ESM merupakan instrumen penyesuaian diri/adaptasi untuk memasuki persaingan yang lebih ketat dirasakan tidak cukup menarik. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat biaya ekonomi yang disebabkan oleh instrumen proteksi seperti safeguard. Tindakan safeguard cenderung membuat harga naik dan membebani konsumen dengan biaya tambahan yang nilainya lebih besar dari keuntungan yang didapat oleh industri domestik. Sehingga hal tersebut dapat menurunkan kesejahteraan secara keseluruhan (Baldwin, 1992). Pada level mikroekonomi, tidak terdapat bukti empiris yang signifikan bahwa pengenaan safeguard telah memicu proses adaptasi industri domestik terhadap persaingan yang lebih ketat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan safeguard mungkin dapat memenuhi keinginan jangka pendek dari industri domestik, namun tindakan ini terbukti bukan solusi atas masalah substansial terkait proses penyesuaian diri. Apabila dilihat secara spesifik ke perdagangan jasa, perdebatan antar
negara
anggota
WTO
sampai
saat
ini
belum
mampu
mengidentifikasi kondisi-kondisi dimana tindakan safeguard perlu untuk dikenakan. Diskusi terkait hal ini menunjukkan situasi yang semakin tidak pasti. Ini mungkin gambaran secara umum dari diskusi yang sedang berlangsung. Potensi untuk terjadi “situasi yang tak terduga” dianggap kecil karena implementasi GATS sendiri bisa dibilang masih seumur jagung. Selain itu terdapat pengecualian-pengecualian di berbagai bidang seperti telekomunikasi serta perjanjian-perjanjian yang ada masih cenderung ke status-quo (bahkan pada beberapa kasus lebih longgar lagi) sehingga
membuat
liberalisasi
perdagangan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
belum
berlangsung 13
sepenuhnya. Dalam konteks daftar komitmen yang telah dijadwalkan dalam perundingan, opsi untuk tidak membentuk komitmen yang mengikat masih menjadi salah satu pilihan. Implementasi tindakan safeguard untuk perdagangan jasa tidak akan pernah ada tanpa konsekuensi ekonomi yang menyertainya. Seperti pada perdagangan barang, keberadaan mekanisme safeguard akan membatasi akses penyedia layanan jasa asing dan secara umum akan membuat harga lebih tinggi dibanding ketika dalam kondisi persaingan yang terbuka. Hambatan terhadap suply jasa akan menimbulkan dampak ekonomi yang luas karena sektor jasa memegang peranan penting sebagai infrastruktur input dalam perekonomian. Dampak pemberlakuan safeguard terhadap perekonomian mungkin akan lebih besar lagi mengingat sebagian besar peningkatan produktivitas pada tahun-tahun terakhir ini sebenarnya ditopang oleh penurunan biaya transportasi dan telekomunikasi, infrastruktur keuangan yang lebih kuat serta perbaikan sistem distribusi dan logistik.
2.3.
Perkembangan ESM dalam Perundingan Putaran Doha Pembahasan mengenai meknisme safeguard untuk perdagangan
jasa sejauh ini masih mengalami kendala terkait dengan dasar argumen ekonomi yang dirasakan belum ada kejelasan. Selain itu, terdapat kendala baik secara konseptual maupun praktis terkait dengan bagaimana merancang mekanisme safeguard untuk perdagangan jasa. Ketidak jelasan argumen rasional dalam pembahasan mekanisme safeguard perdagangan jasa dapat membuat para negosiator menyerah dan menghentikan
upaya
untuk
mengembangkan
GATS
ESM.
Pada
kenyataannya, skenario inilah yang dikehendaki oleh beberapa negara, khususnya negara-negara maju anggota OECD. Sebagian besar negaranegara tersebut mengangap bahwa GATS sudah cukup menyediakan mekanisme untuk menghadapi segala jenis hambatan balik yang tak terduga (Sauve, 2002).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
14
Kondisi
ketidak
jelasan
argumen
ekonomi
terkait
ESM
perdagangan jasa tersebut akan meniadakan realitas politik perundingan ESM yang masih terus berjalan dan mengabaikan perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang terkait mekanisme ESM perdagangan jasa. Walaupun beberapa negara anggota WTO, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mungkin tidak mengakui adanya argumen ekonomi dalam pengembangan mekanisme ESM, namun mereka tidak dapat mengelak dari dua hal. Pertama, kewajiban secara
ekonomi
politik
untuk
mengembangkan
mekanisme
ESM
perdagangan jasa sebagai sebuah disiplin ilmu (Gauther et al, 2000 dan Bosworth, 2000) dan kedua, komitemen dalam GATS untuk merancang dan mengembangkan mekanisme khusus terkait safeguard. Kedua alasan tersebut menjadikan hubungan antara pengembangan mekanisme ESM dan kesuksesan perundingan kesepakatan spesifik baru dalam GATS menjadi semakin penting. Memperhatikan hal-hal diatas, safeguard bisa berfungsi sebagai kebijakan penjamin dengan mendorong negara-negara anggota GATS untuk menjalankan komitmen perdagangan bebas yang lebih terbuka dibanding ketika mekanisme ESM tidak diberlakukan. Terlebih lagi, banyak negara yang lebih cenderung untuk terikat dengan peraturanperaturan status quo dibanding harus terikat oleh komitmen-komitmen baru yang belum diatur oleh peraturan-peraturan di level domestik mereka. Beberapa negara yang lebih memilih jalur aman akan mengendurkan perundingan dengan cara menekankan kembali perhatian beberapa negara-negara berkembang untuk mengamankan industri jasanya yang baru tumbuh dari kerasnya persaingan dengan kompetitor asing. Jelas sekali bahwa area-area baru liberalisasi ini memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi dan cenderung akan menimbulkan penolakan dalam perundingan multilateral. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Hasil perundingan Putaran Uruguay telah membuat negara-negara anggota WTO terikat kontrak untuk menyelesaikan kesepakatan ESM
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
15
pada 19984, sehingga dapat diasumsikan bahwa kemungkinan beberapa Negara maju telah menyadari bahwa instrument ESM dalam GATS yang merupakan komitmen Putaran Uruguay bagaimanapun pada akhirnya harus disepakati bersama. Dalam konteks negosiasi yang saat ini sedang berjalan, saat ini bukan hanya negara-negara anggota ASEAN, namun juga beberapa negara seperti Brazil dan India telah melajutkan untuk mengadopsi instrumen ESM dalam perundingan (Sauve, 2002). Apabila negara-negara anggota WTO, khususnya negara maju mengabaikan komitmen penyelesaian perjanjian khusus ini, maka hal ini dapat melemahkan kepercayaan negara-negara berkembang untuk membuat komitmen-komitmen khusus berikutnya serta menjadikan keseriusan komitmen
negara
maju
terhadap
“Agenda
Pembangunan
Doha”
dipertanyakan5. Negara-negara maju harus menunjukkan komitmennya secara ekonomi politik untuk mendukung ESM. Dalam putaran Doha yang saat ini sedang berjalan, Uni Eropa dan Amerika Serikat telah menunjukkan posisi yang jelas untuk memperdalam akses pasar serta mendukung komitmen kepentingan nasional negara berkembang. Jadi, meskipun secara keseluruhan negara-negara maju anggota OECD tidak memandang ESM sebagai instrument yang desirable dan feasible, namun mereka diharapkan dapat menciptakan suasana yang mendukung agar keinginan sebagian besar negara berkembang untuk mewujudkan perjanjian ESM dapat terlaksana.
4
Pasal X:1 GATS
5
Sesuai dengan guidelines negosiasi GATS dan Doha Ministrial Declaration, negara-negara maju seharusnya memberikan perlakuan khusus terhadap negara berkembang terkait dengan beberapa element. Namun pada kenyataannya terdapat tanda-tanda bahwa Negara maju tidak akan mewujudkan harapan ini. Sebagai contoh, ketentuan terkait penilaian terhadap kondisi perdagangan jasa sebelum dilakukan negosiasi apapun – sebagaimana diamanatkan oleh pasal XIX:3 GATS dan guidelines negosiasi bagian III – sampai saat ini belum dilaksanakan. Padahal ketentuan tersebut ditujukan untuk membantu negara berkembang dalam menentukan posisinya dalam perundingan. Selain itu, negara berkembang juga tidak mendapatkan dukungan teknis yang memadai dalam rangka drafting permintaan-permintaan awal.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
16
Secara singkat dapat dikatakan bahwa hasil perundingan terkait GATS ESM akan semakin bergantung dengan komitmen-komitmen negara-negara berkembang terhadap perdagangan bebas lanjutan lainnya. Hubungan sebab akibat ini didukung juga oleh kenyataan bahwa pada negosiasi Putaran Doha, request and offer yang diajukan saat ini sudah tidak lagi terlalu terkotak - kotak. Request and offer yang diajukan pemerintah Amerika Serikat pada bulan Okotber 2001 memberikan ultimatum yang telah memicu reaksi dari negara berkembang 6. Dalam dokumen tersebut, Amerika Serikat dengan jelas mengemukakan bahwa mereka tidak akan bersedia melanjutkan perundingan terkait ESM, apabila negara-negara
berkembang
tidak
bersedia
untuk
meningkatkan
komitmennya dalam perundingan terkait akses pasar7. Selain itu, Amerika Serikat juga mengungkapkan bahwa komitmen terkait ESM seharusnya dibuat secara terpisah dan tidak dibuat sebagai kelanjutan dari Putaran Uruguay. Pernyataan tersebut tidak mendapatkan sambutan antusias dari negara-negara berkembang. Isu ini harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah hasil perundingan yang tidak terpisahkan, dimana perundingan ESM dianggap sebagai bagian dari proses lanjutan perundingan perdagangan bebas. Kesepakatan ESM sampai dengan tingkat tertentu sangat tergantung dengan penilaian negara maju terkait kemungkinan kesediaan negara berkembang untuk membuat komitmen baru dalam GATS ketika perjanjian
pengamanan
perdagangan
tidak
terwujud.
Kelanjutan
perundingan ESM saat ini sangat bergantung dengan perundingan terkait komitmen-komitmen spesifik lainnya dan kenyataan menunjukkan bahwa perundingan saat ini mengarah pada putaran yang lebih komprehensif. Adanya dorongan baru juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa pemunduran deadline keempat kalinya dapat disetujui oleh negara-negara
6
Dokumen WTO S/WPGR/W/37 (2 Oktober 2001), Komunikasi dari Amerika Serikat.
7
Bridges Weekly Trade News Digest, Vol. 5 , No. 40, 28 Nopember 2001dan Bridges Weekly Trade News Digest, Vol. 5, No. 41, 4 Nopember 2001
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
17
pendukung ESM karena pihak-pihak yang berunding berjanji untuk mengadakan pembicaraan lanjutan pada Ministerial Meeting ke-lima pada tahun 2003 serta pihak-pihak tersebut sepakat untuk membuat program kerja dalam Working Party on GATS Rules (WPGR) yang bertujuan untuk merancang kegiatan terkait masa depan perundingan
ESM dan
menyusun sebuah draft mode perundingan sesegara mungkin.
2.4.
Proposal ASEAN Dalam prespektif negara-negara anggota ASEAN, yang dimotori
oleh Thailand, liberalisasi perdagangan jasa dipandang akan membawa konsekuensi-konsukeusi
tak
terduga
yang
berpengaruh
kepada
perekonomian domestik suatu negara. Belajar dari dampak liberalisasi sektor keuangan pada saat krisis keuangan Asia tahun 1998, Negaranegara anggota ASEAN memandang perlunya instrumen pengamanan perdagangan (safeguard) untuk menahan lonjakan supply jasa dari luar negeri yang berlebihan. Proposal mekanisme safeguard dari negara-negara ASEAN yang dipresentasikan didepan WPGR (The Working Party GATS Rules) pada bulan Oktober 2000 menggunakan standar yang sama seperti diterapkan pada
mekanisme
safeguard
untuk
perdagangan
barang
dalam
menentukan tingkat kerugian serius yang diderita oleh industri domestik pada semua jenis mode layanan jasa. Sehingga mekanisme tersebut membutuhkan pembuktikan bahwa kerugian atau ancaman kerugian yang diderita oleh industri domestik disebabkan oleh lonjakan supply dari penyedia
jasa
luar
negeri.
Beberapa
negara
telah
berulangkali
menyampaikan rasa skpetisnya terkait penerapan mekanisme safeguard untuk sektor jasa. Mereka beralasan bahwa data-data jasa yang diperlukan, terutama di negara-negara berkembang, sangatlah tidak lengkap bahkan tidak tersedia sehingga menyulitkan untuk dilakukan pembuktian adannya kerugian dan sebab-sebab kerugian pada industri jasa dometik. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulakan penyelewengan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
18
dalam
penerapan
mekanisme
safeguard
dan
kemungkinan
akan
mendapatkan tantangan secara terus menerus dalam siding-sidang WTO. Negara-negara ASEAN merancang proposal mekanisme safeguard yang cenderung menguntungkan bagi negara-negara berkembang. Proposal tersebut apabila disetujui akan melarang pengenaan safeguard bagi negara berkembang yang hanya menguasai sebagian kecil pangsa pasar produk jasa yang dimaksud. Proposal tersebut juga akan memungkinkan negara berkembang untuk mengenakan safeguard dalam jangka waktu yang lebih lama tergantung dari tingkat keparahan dari kerugian yang ditimbulkan. Mode layanan jasa yang paling sulit untuk dikenakan mekanisme safeguard adalah mode layanan jasa jenis 4, yaitu perusahaan asing yang sudah mendirikan kantor perwakilannya disuatu negara untuk melayani kebutuhan para pelanggannya. Hal ini karena sangat sulit untuk melarang/membendung
supply
jasa
yang
diberikan
oleh
suatu
perusahaan yang sudah beroperasi resmi di suatu negara. Proposal negara-negara ASEAN memberikan tiga alternatif pilihan untuk mengatasi masalah ini. Pilihan-pilhan tersebut dapat digunakan apabila tidak terjadi kesepakatan antara negara-negara terkait tentang begaimana mekanisme pengenaan safeguard yang dapat diberlakukan. Pilihan pertama, least restrictive, menjamin perusahaan yang sudah beroperasi di suatu negara dapat melanjutkan dan mengembangkan bisnis jasa-nya, pelarangan hanya dilakukan terhadap pendatang baru yang berkeinginan untuk masuk ke dalam industri. Pilihan kedua, melarang pengembangan bisnis dan tambahan investasi dari penyedia jasa asing dengan cara membatasi pengembangan bisnis untuk penyedia jasa asing. Pilihan ketiga merupakan opsi yang lebih ketat lagi yaitu dengan membatasi hak-hak kepemilikan usaha bagi pihak-pihak yang dikenakan safeguard. Salah satu perdebatan yang mungkin muncul terkait isu ini adalah mengenai kemungkinan proposal yang diajukan negara-negara ASEAN tersebut menyalahi prinsip Most Favoured Nation (MFN) karena pengenaan hambatan lebih besar kepada perusahaan pendatang baru Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
19
dibanding
perusahaan
yang
sebelumnya
mengoperasikan
kantor
perwakilannya di sautu negara. Kemungkinan menyalahi prinsip MFN disebabkan perusahaan baru dari semua negara akan menghadapi hambatan yang sama apabila mekanisme safeguard dikenakan. Meskipun demikian, proposal telah memberikan alasan kepada WPGR bahwa hal tersebut tidak menyalahi prinsip MFN. Proposal ASEAN belum mendapatkan dukungan penuh dari negera-negara
berkembang.
Beberapa
negara
berkembang
telah
menyuarakan kekhawatirannya bahwa GATS ESM justru akan merugikan mereka terkait dengan perdagangan jasa tenaga kerja, yang merupakan sektor jasa andalan negara-negara berkembang yang mereka harapkan dapat diliberalisasi melalui perundingan - perundingan GATS yang saat ini sedang berlangsung. Dari empat jenis layanan jasa yang dapat dikenakan safeguard, perdagangan jasa tenaga kerja merupakan jenis layanan jasa yang paling mudah untuk dikenakan safeguard, misalnya melalui pengaturan quota masuk tenaga kerja asing. Terkait hal ini, proposal ASEAN telah mengusulkan adanya larangan hambatan masuk tenaga kerja dari negara berkembang apabila presentasi mereka kurang dari sekian persen dari total pasar tenaga kerja.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
20
BAB III METODOLOGI
Kajian ini menggunakan beberapa pendekatan dalam mencapai tujuan penelitian sebagaimana disebutkan sebelumnya. Pertama, analisis literatur
dengan
menganalisa
konsep-konsep
ESM
baik
pada
perdagangan barang maupun alternatif konsep ESM perdagangan jasa yang sejauh ini telah diajukan dan dibahas dalam perundingan GATS, termasuk juga analisa ekonomi terkait ESM perdagangan jasa. Kedua, kajian ini akan menggunakan analisa data industri jasa Indonesia untuk mengukur urgensi dan manfaat penerapan ESM perdagangan jasa bagi Indonesia serta mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi industri domestik dalam menghadapi liberalisasi perdagangan jasa.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
21
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Penerapan Pardigma Safeguard dalam GATT untuk Perdagangan Jasa Apabila anggota WTO menggangap bahwa GATT pasal XIX dapat juga diadopsi pada perdagangan jasa, maka terdapat hal-hal operasional mendasar yang harus terlebih dahulu dipahami sebelum ketentuan tersebut diimplementasikan (Sauve, 2002). Perlu dicatat bahwa GATT pasal XIX yang menggunakan konsep “perkembangan tak terduga”, tidak lagi diadopsi dalam agreement on safeguard dalam Uruguay Round. Agreement on Safeguards menyebutkan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi sebelum dikenakan tindakan safeguard secara lebih detail. Kondisi tersebut meliputi: (1) impor mengalami peningkatan secara absolut maupun relatif terhadap produksi domestik. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya lonjakan impor atau kenaikan drastis pangsa pasar produk impor. (2) impor menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis atau substitusi langsungnya. Konsep pertama yang harus dipahami adalah “impor”. Dalam konteks perdagangan jasa, konsep impor tidak jelas didefinisikan karena terdapat 4 (empat) mode layanan jasa8. Oleh karena itu, Sebelum mengadopsi GATT pasal XIX dalam perdagangan jasa, negosiator harus memutuskan apakah mekanisme safeguard dapat diterapkan pada kondisi yang secara umum dianggap sebagai impor (layanan jasa antar negara) dan harus juga diputuskan apakah mekanisme
safeguard dapat
diterapkan pada kondisi yang melibatkan layanan jasa yang dipasok melalui salah satu dari tiga mode lainnya. Mode layanan jasa jenis 1 (layanan jasa antar negara) tidak memiliki kendala yang berarti karena mode layanan ini mengandung konsep impor 8
Pasal I GATS mendefinisikan perdagangan jasa dalam 4 jenis mode layanan : (i) layanan jasa antar negara, (ii) konsumsi jasa di luar negeri, (iii) pendirian kantor perwakilan, dan (iv) migrasi tenaga kerja.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
22
menurut pengertian tradisional dan mekanisme hambatan perdagangan dapat dikenakan dengan cara menutup layanan jasa yang diberikan oleh pemasok asing di negara pengimpor. Untuk mode layanan jasa jenis 2 (konsumsi jasa di luar negeri), kegiatan impor berlangsung di negara eksportir karena disini konsumen yang bepergian ke luar negeri untuk menikmati layanan jasa di luar negeri. Hambatan perdagangan jasa untuk kondisi mode 2 ini dapat dilakukan dengan membatasi kemampuan konsumen dalam mengkonsumsi layanan jasa di luar negeri. Mode layanan jasa jenis 3 (pendirian kantor perwakilan) bahkan lebih kompleks lagi karena transkasi impor layanan jasa terjadi di negara pengimpor. Ada dua jenis importasi dalam mode 3 ini yaitu pendirian kantor perwakilan asing di negara pengimpor dan pelayanan jasa atau kegiatan operasional dari kantor perwakilan asing yang sudah berdiri di negara pengimpor. Untuk jenis importasi pertama, hambatan perdagangan dapat dilakukan dengan membatasi investasi asing. Namun untuk jenis importasi kedua sebenarnya secara konseptual tidak dapat dikategorikan sebagai impor jasa. Sementara itu terakit mode layanan jasa jenis 4 (migrasi tenaga kerja), pemberlakukan konsep impor untuk mode layanan jasa ini dirasakan agak ganjil. Karena tujuan awal dari ESM adalah untuk memberi pembebasan dari ancaman produk jasa impor dalam jangka pendek kepada industri domestik, pihak yang paling berhak untuk mengajukan komplain adanya ancaman tentunya adalah industri domestik. Dalam konteks industri jasa, industri domestik dapat berisi gabungan dari perusahaan-perusahaan lokal dan perusahaan asing yang memiliki kantor perwakilan di dalam negeri. Terkait hal ini, muncul pertanyaan apakah istilah industri domestik merupakan gabungan semua perusahaan yang beroperasi di wilayah suatu negara atau perusahaan asing yang memiliki kantor perwakilan di dalam negeri harus dikeluarkan dari kelompok industri domestik. Apabila definisi kedua yang dipakai, maka negosiator harus mengklasisfikasikan layanan jasa dari kantor perwakilan asing sebagai impor dan dapat dikenakan tindakan safeguard. Namun demikian, pengecualian kantor Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
23
perwakilan asing sebagai bagian dari industri domestik juga akan menimbulkan masalah terkait konsep national treatment. Masalah berikutnya yang harus diselesaikan oleh anggota WTO adalah terkait “layanan jasa sejenis atau substitusi langsungnya”. Sifat dasar perdagangan produk jasa membuat penentuan klasifikasi produk tersebut menjadi sulit dilakukan. Hal ini karena kebanyakan layanan jasa diberikan sesuai dengan permintaan konsumen. Selain itu, sifat produk jasa yang tidak memiliki spesifikasi yang jelas membuat sulit untuk diperbandingkan antara layanan jasa dalam negeri dan luar negeri. Konsep “layanan jasa sejenis atau substitusi langsungnya” juga menyulitkan dalam menentukan apakah produk jasa dari luar negeri memiliki nilai yang sama dengan layanan yang disediakan dengan mode layanan jasa lainnya. Penentuan batasan industri domestik dan “layanan jasa sejenis” sangatlah penting untuk menentukan apakah impor telah menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik suatu negara. Pengukuran kerugian yang dianggap serius juga merupakan sebuah tantangan tersendiri, khususnya dalam menentukan penyebab kerugian tersebut. Tantangan lainnya adalah dalam menentukan apakah terjadi lonjakan impor atas produk jasa sejenis atau substitusi langsungnya. Penentuan adanya lonjakan impor dan pengukuran tingkat kerugian yang ditimbulkan menjadi lebih sulit karena data statistik produk jasa yang dibutuhkan umumnya tidak tersedia secara memadai. Pengukuran apapun hanya akan bermanfaat apabila mekanisme safeguard benar-benar dapat diterapkan secara administratif. Ada beberapa masalah terkait hal ini yang harus dijawab terlebih dahulu. Sebagai contoh, bagaimana mekanisme safguard dapat dikenakan pada layanan jasa yang menggunakan jaringan elektronik melalui mode layanan jenis 1 dan 2? Bagaimana seharusnya anggota GATS memandang perdagangan berbasis elektronik yang semakin penting dalam pengembangan ketentuan safeguard? Bagaimana menilai sebuah perusahaan yang dapat dikelompokkan dalam mode layanan jasa jenis 3 Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
24
namun tidak melakukan transaksi antar negara? Selain itu, apakah tindakan safeguard mencakup juga pengehentian atau divestasi operasi perusahaan asing yang sudah berdiri atau hanya akan dikenakan untuk calon investor baru saja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan masalah-masalah yang berpotensi timbul apabila ESM perdagangan jasa akan mengadopsi konsep safeguard konvensional perdagangan barang. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam perundingan terkait ESM diperlukan pendekatan yang lebih baik untuk mengurai kerumitan dalam GATS, khususnya terkait masalah-masalah yang muncul terkait mode layanan jasa yang beragam. Selian itu, perlu lebih dipertimbangkan mengenai kondisi persaingan pada industri jasa dan menyeimbangkan berbagai kepentingan yang saling bersaing.
4.2 Alternatif Skenario Perundingan ESM Perdagangan Jasa Sauve (2002) mengidentifikasi beberapa elemen utama yang perlu diperhatikan guna kelanjutan pengembangan dan adopsi perjanjian ESM dalam konteks perdagangan jasa. Pertama, perjanjian yang hendak dirundingkan seharusnya bukan merupakan duplikasi dari komponenkomponen safeguard yang telah disepakati dalam GATS, khususnya terkait komitmen penjadwalan yang telah ditetapkan dalam pasal XXI, ketentuan-ketentuan terkait prinsip-prinsip kehati-hatian yang telah disepakati, neraca pembayaran dan hal-hal yang dikecualikan secara umum. Kedua, menurut analisa terhadap GATT pasal XIX , pengenaan safeguard sementara diperkirakan akan sulit diadopsi dalam konteks perdagangan jasa. Ketiga, negosiator harus diinformasikan mengenai aspek ekonomi politik dari pemberlakuan instrument pengamanan perdagangan, sehingga harus dipastikan bahwa aturan-aturan baru yang diinisiatifkan tidak akan menghilangkan atau menghambat tujuan utama yaitu liberalisasi perdagangan. Empat, perlu diberikan perhatian khusus mengenai kriteria-kriteria dasar, khususnya terkait hubungan antara tujuan ESM sebagai instrumen penyesuaian diri/adaptasi dan liberalisasi Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
25
perdagangan sebagai tujuan akhir, serta prinsip-prinsip non-diskriminasi yang harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan draft perjanjian ESM. Kelima, perlu diperhitungkan mengenai keberagaman sektor-sektor jasa serta kenyataan bahwa produk jasa diperdagangkan melalui 4 jenis mode layanan jasa. Aspek ekonomi politik tetap saja tidak mungkin dihilangkan dalam pengembangan perjanjian ESM (Gauthier et al, 2000; Bosworth, 2000). Aspek tersebut adalah terkait fungsi penjamin kebijakan dari ESM yang diperlukan untuk memastikan negara-negara anggota GATS akan menjalankan komitmen perdagangan bebas yang lebih maju dibanding ketika perjanjian ESM tersebut tidak tersedia. Oleh karena itu safeguard harus menyediakan perangkat yang mendorong komitmen perdagangan bebas yang lebih maju, khususnya kepada Negara-negara berkembang. Instrumen pengamanan perdagangan diharapkan akan dapat membantu memperlancar jalannnya perundingan perdagangan bebas, yang oleh negara-negara berkembang dianggap memiliki ketidakpastian yang cukup tinggi dan mendapatkan tantangan keras dari berbagai pihak. Ketika telah disepakati bahwa semua negara anggota WTO menghendaki adanya perjanjian ESM, maka terdapat 3 alternatif skenario yang dapat diajukan guna mewujudkan perjanjian ESM perdagangan Jasa (Sauve, 2002). Skenario pertama, pengembangan rezim safeguard secara penuh sebagaimana proposal yang diajukan oleh negara-negara ASEAN. Skenario ini mendapat dukungan dari cukup banyak negara-negara berkembang. Alternatif kedua adalah dengan meminta masing-masing negara anggota GATS untuk mengajukan jadwal komitmen pemberlakuan safeguard untuk setiap sektor jasa beserta syarat atau kriteria yang mereka gunakan (Gauthier et al, 2000). Tindakan safeguard untuk setiap sektor tersebut harus memenuhi ketentuan: 1. Bersifat menunda liberalisasi secara sementara (misal dengan tidak mengizinkan tindakan pelarangan secara permanen); 2. Tindakan hanya dapat dikenakan sekali dengan durasi terbatas (misal dengan periode yang singkat dan ditetapkan secara jelas) Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
26
dan dapat juga dengan memasukan klausul terkait liberalisasi secara progresif. 3. Dikenakan secara non diskriminatif, dinilai berdasarkan kondisi obyektif dan dengan menggunakan hasil statistik (misal dengan menggunakan prosedur domestik yang transparan). 4. Mensyaratkan adanya pemberitahuan yang memadai serta adanya kewajiban pelaporan (sebagaimana dimodelkan dalam pasal 12 Agreement on Safeguards). 5. Diterapkan dengan basis MFN. 6. Mensyaratkan ketentuan khusus untuk setiap sektor dan setiap jenis mode layanan jasa. Untuk mode layanan jasa jenis 3, tidak diperkenankan
untuk mengenakan
kewajiban
divestasi
bagi
perusahaan asing yang sudah terlanjur berdiri di suatu negara. Ketentuan terkait kompensasi harus juga dicantumkan dalam perjanjian. Hak untuk mendapatkan kompensasi merupakan prinsip penting untuk menjamin hasil perundingan dapat berimbang. Ketentuan kompensasi juga dapat digunakan untuk mencegah pengenaan tindakan safeguard yang tidak dapat sepenuhnya dibenarkan. Meskipun demikian, isu ini kemungkinan akan dihubungkan dengan perpanjangan durasi pengenaan ESM. Isu lain harus yang dihadapi adalah terkait adanya kesulitan-kesulitan dalam pengukuran. Selain itu, isu-isu lain yang mungkin
muncul
pengembangan
dalam
pengujian
pengembangan yang
efektif
perjanjian terkait
ESM
dampak
adalah terhadap
kepentingan publik pada level domestik, dan juga ketentuan terkait klausul-klausul durasi pengenaan yang pendek, tidak dapat diperpanjang dan prinsip sunset (Bosworth, 2000). Alternatif skenario ketiga adalah dengan melakukan eksperimen pengenaan instrument safeguard terhadap sektor-sektor yang berpotensi kuat mengalami gangguan apabila diberlakukan liberalisasi perdagangan dan investasi. Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, selanjutnya negara-negara anggota GATS dapat memutuskan untuk menerapkan pendekatan yang telah digunakan dalam eksperimen untuk sektor-sektor Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
27
lainnya atau menggunakan eksperimen tersebut sebagai dasar untuk mengembangkan instrument pengamanan perdagangan yang bersifat generik. Sektor jasa keuangan sepertinya merupakan sektor yang paling cocok untuk dikenakan eksperimen tersebut. Hal ini karena sektor keuangan sangat membutuhkan kondisi persaingan yang teratur guna menjaga keamanan dan kestabilan sistem keuangan (Sauve and Gillespie, 2000). Sektor keuangan juga merupakan sektor yang oleh negara-negara anggota ASEAN, pendukung utama GATS ESM, dianggap sangat membutuhkan ketentuan pengamanan perdagangan melalui mekanisme ESM.
4.3 Syarat Minimal Penerapan ESM Perdagangan Jasa Walaupun kerangka ekonomi dari safeguard cenderung masih ambigu,
namun
merancang
negara-negara
ketentuan
anggota
operasional
untuk
GATS
diharapkan
mengatasi
hal
dapat
tersebut.
Meskipun demikian, jelas sekali bahwa secara politik sebagian besar negara berkembang anggota GATS menginginkan adanya mekanisme perundingan yang dapat disepakati pada saat batas waktu perundingan yang terakhir telah terlewati. Untuk itu, harus diidentifikasi beberapa kriteria yang perlu diperhatikan (Sauve, 2002). Pertama, perundingan harus memperjelas kondisi-kondisi yang dipersyaratkan agar tindakan safeguard dapat dikenakan. Sampai saat ini, kondisi yang disebutkan dengan jelas dan relevan hanya berbunyi “kerugain tak terduga akibat adanya perjanjian perdagangan bebas”. Ini merupakan
kewajiban
negara-negara
berkembang
pendukung
kesepakatan safeguard untuk mengajukan argumen, khususnya terkait metode-metode
objektif
untuk
mengidentifikasi/mengukur
kondisi
dimaksud dihubungkan dengan adanya kendala mengenai konsep “impor”, “layanan jasa sejenis”, dan “penyedia jasa sejenis” serta kendala ketidaktersediaan data yang memadai. Sementera itu sebagian besar negara-negara maju anggota OECD, yang sejak awal tidak percaya bahwa ESM itu desirable dan feasible, Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
28
diperkirakan akan mengambil posisi quid pro quo. Perundingan terkait ESM akan selalu dikaitkan dengan perundingan komitmen liberalisasi lainnya oleh negera-negara berkembang. Hal ini tidak berarti bahwa kesepakatan akhir terkait ESM hanya akan ada dalam komitmen liberalisasi yang baru, namun isue-isue ini hendaknya dilihat secara komprehensif, dimana ESM merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmen perdagangan bebas lanjutan yang merupakan tujuan utama dari perundingan-perundingan jasa terbaru sebagaimana diamanatkan oleh GATS pasal XIX. Kedua, penting juga untuk menyeimbangkan antara ESM yang ditujukan untuk memenuhi tujuan aslinya sebagai instrumen pengamanan bagi negara-negara yang sudah memiliki komitmen perdagangan bebas pada sektor jasa mereka dengan ESM sebagai alat yang dapat disalahgunakan menjadi instrumen proteksi perdagangan. Ketiga, penting untuk diperhitungkan dampak negatif dari pengenaan safeguard baik terhadap penyedia jasa domestik maupun luar negeri. Harus disadari bahwa pengenaan safeguard bertujuan untuk memberi waktu kepada industri domestik dalam menghadapi kemungkinan penurunan kinerja akibat kondisi persaingan yang lebih berat. Oleh karena itu, pengenaan tindakan safeguard harus dalam waktu yang terbatas serta membuka kemungkinan bagi liberalisasi perdagangan yang lebih terbuka. Selain itu, isu utama penerapan mekanisme safeguard dalam perdagangan jasa adalah apakah ESM harus diterapkan pada 4 jenis mode layanan jasa tanpa terkecuali. Apabila ESM tidak harus diterapkan pada semua jenis mode layanan jasa, maka akan muncul pertanyaan terkait efektivitas dan keadilan dalam pelaksanaan ESM perdagangan jasa. Mengingat bahwa sektor-sektor jasa yang dimiliki oleh tiap negara tidak seragama serta potensi kerugian tak terduga kemungkinana tidak muncul secara merata pada semua jenis layanan jasa, maka hal ini menimbulkan ketidakjelasan terkait keadilan pemberlakuan mekanisme GATS ESM. Penerapan ESM terhadap salah satu jenis layanan jasa saja juga berpotensi menimbulkan ketidak adilan karena hal tersebut akan Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
29
membuat perusahaan-perusahaan yang hanya mampu melaksanakan satu jenis layanan jasa lebih dirugikan dibanding perusahaan-perusahaan yang mampu atau memiliki kapasitas untuk mendiversifikasi bisnisnya dalam berbagai jenis layanan. Hal tersebut tentunya akan membuat perusahaan-perusahaan yang dirugikan mempertanyakan diskriminasi yang diterima. Apabila ESM hanya dikenakan pada salah satu jenis mode layanan jasa, efektifitasnya juga dapat berkurang karena perusahaan terdampak dapat mengalihkan mode pelayanannya ke jenis yang lain yang tidak sedang dikenakan hambatan ESM. Sejauh ini pengenaan ESM yang paling problematik adalah untuk mode layanan jasa jenis 3 yaitu kantor perwakilan asing. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dikemukanan terkait pernyataan tersebut. 1. Harus ditentukan secara jelas apakah penerapan ESM dapat membuat investasi asing yang sudah masuk dihentikan operasinya, misalnya dengan melakukan divestasi terhadap perusahaan asing yang sudah beroperasi di suatu Negara. Dari sudat pandang ekonomi maupun kebijakan, sangat sedikit pembenaran yang dapat digunakan untuk mendukung ketentuan tersebut. Bukan hanya bahwa perusahaan asing tersebut pada dasarnya telah mendorong berjalannya
kativitas
ekonomi
domestik,
namun
juga
sulit
dibayangkan bahwa divestasi tersebut akan dapat mendorong perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk beradaptasi dengan persaingan yang lebih ketat sebagaimana tujuan awal dari penerapan ESM. 2. Penerapan ESM untuk kantor perwakilan asing juga dapat mengurangi daya tarik suatu negara terhadap foreign direct investment (FDI). Dalam situasi dimana semua negara saling berlomba untuk menarik FDI, maka penerapan ESM untuk kantor perwakilan asing bukanlah pilihan yang tepat baik secara ekonomi maupun kepentingan pembangunan suatu negara. 3. Banyak anggota WTO yang terikat dengan perjanjian perlindungan investasi bilateral yang melarang negara tersebut untuk melakukan Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
30
divestasi secara sepihak terhadap investasi asing dan mewajibkan negara tersebut untuk membayar kompensasi apabila hal tersebut dilakukan. Hal-hal tersebut di atas memunculkan pertanyaan apakah penggunaan anggaran negara untuk membantu industri domestik beradaptasi dengan persaingan yang lebih ketat tidak lebih sederhana dan lebih efisien dibanding harus membeli kembali investasi asing yang telah terlanjur ditanamkan. Dengan asumsi bahwa divestasi perusahaan asing secara sepihak tidak mungkin dilakukan, maka pertanyaan kemudian adalah apakah mode layanan jasa jenis 3 harus dimasukkan dalam cakupan ESM untuk semua jenis situasi, termasuk juga situasi perdagangan jasa yang melibatkan jenis layanan antar negara. Masalah yang muncul kemudian adalah terkait hubungan antara mode layanan jasa jenis 1 dan 3, karena apabila mode layanan jasa jenis 3 tidak dapat dikenakan tindakan ESM, maka perusahaan dengan layanan jasa jenis 1 yang berpotensi terkena ESM dapat dengan mudah berpindah ke jenis 3 dengan cara mendirikan kantor perwakilan di negara pengimpor untuk menghindari pengenaan ESM.
Dalam
perspektif
kebijakan
perdagangan,
kondisi
tersebut
menjadikan mekanisme ESM tampak seperti TRIM yang merupakan instrument yang biasa digunakan untuk mendorong masuknya FDI. Contoh-contoh kasus terkait hal tersebut banyak terjadi dalam konteks perdagangan barang, yang paling layak dicatat adalah aturan anticircumvention dari Uni Eropa. Sekilas memang ada alasan yang kuat untuk memasukkan mode layanan jenis 3 dalam cakupan mekanisme ESM. Paling tidak untuk menghindari adanya distorsi investasi. Terkait masalah ini, pelarangan investasi asing baru pada jenis industri tertentu di suatu negara adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan.
4.4 Perkembangan Perdagangan Jasa Indonesia Sektor jasa semakin memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Menurut data tahun 2010, sektor jasa Indonesia tercatat senilai Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
31
Rp.312,997 triliun atau sekitar 53,48 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) yang tercatat sebesar Rp.585,103 trilun. Kontribusi sektor jasa terhadap PDB tersebut secara rinci terdiri dari jasa konstruksi (6,70%), perdagangan, hotel dan restoran (17,67%), Pengangkutan dan komunikasi (9,87%), keuangan, real estate dan jasa perusahaan (9,63%) serta jasa-jasa lainnya (9,61%). Selama periode tahun 2000 - 2010, sektor jasa Indonesia juga menunjukkan perumbuhan pertumbuhan yang menggembirakan. Selama periode tersebut sektor jasa tumbuh 97,41 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan PDB sendiri yang tercatat sebesar 66,81. Sektor jasa yang memiliki pertumbuhan paling tinggi adalah jasa pengangkutan dan komunikasi dimana selama periode tahun 2000 – 2010 tercatat tumbuh 243,14 persen. Selanjutnya diikuti oleh jasa konstruksi yang tumbuh 94,67 persen, kemudian berturut-turut jasa keuangan, real estate dan jasa perusahaan 90,52 persen, jasa perdagangan, hotel dan restoran 74,04 persen dan terakhir jasa-jasa lainnya 72,68 persen. Pertumbuhan sektor jasa serta kontribusinya terhadap PDB secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 1. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Sektor Ekonomi Periode Tahun 2010– 2014 dalam juta rupiah Lapangan Usaha 1. PERTANIAN, 2. PERTAMBANGAN DAN 3. INDUSTRI 4. LISTRIK, GAS, DAN AIR 5. B A N G U N A N 6. PERDAGANGAN, 7. PENGANGKUTAN DAN 8. KEUANGAN, 9. JASA - JASA PRODUK DOMESTIK PRODUK DOMESTIK Sumber: BPS (2015), diolah
2010 985.471 719.710 1.599.073 49.119 660.891 882.487 423.172 466.564 660.366 6.446.852 5.941.952
2011 1.091.447 876.984 1.806.141 55.882 753.555 1.023.725 491.287 535.153 785.014 7.419.187 6.795.886
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
2012 1.193.453 972.458 1.972.524 62.272 844.091 1.148.791 549.105 598.433 889.799 8.230.926 7.589.809
2013*
2014**
1.310.427 1.026.297 2.152.803 70.340 907.267 1.301.175 635.303 682.973 1.000.692 9.087.277 8.419.134
1.446.722 1.058.750 2.394.005 81.131 1.014.541 1.473.560 745.648 771.962 1.108.610 10.094.929 9.391.537
32
Walaupun secara umum kinerja sektor jasa pada perekonomian Indonesia cukup menggembirakan, namun apabila dianalisa lebih dalam ditemukan bahwa daya saing industri jasa dalam negeri relatif masih lemah. Berdasarkan data neraca perdagangan jasa Indonesia tahun 20102014, diketahui bahwa perdagangan jasa Indonesia selalu mengalami defisit pada kurun waktu tersebut. Defisit tertinggi terjadi pada tahun 2008 dimana neraca perdagangan jasa Indonesia mengalami defisit sebesar USD 12.998 juta. Pada tahun 2008 tersebut defisit tertinggi terjadi pada sektor jasa transportasi, bisnis lainnya serta jasa royalti dan imbalan lisensi, dimana masing-masing mengalami defisit berturut-turut sebesar USD 11.094 juta, USD 1.645 juta dan USD 1.300 juta.
Tabel 2. Neraca Perdagangan Jasa Indonesia Periode Tahun
2010-
2014 Sektor jasa
2010
2011
A. Jasa manufaktur
-216,02 1.081,18
B. Jasa pemeliharaan dan perbaikan
-159,19
C. Transportasi D. Perjalanan E. Jasa konstruksi F. Jasa asuransi dan dana pensiun G. Jasa keuangan H. Biaya penggunaan kekayaan intelektual I. Jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi J. Jasa bisnis lainnya K. Jasa personal, kultural, dan rekreasi L. Jasa pemerintah
-123,57
dalam juta rupiah 2012 2013 2014 396,74
430,10
425,02
-458,15
-247,66
-376,03
-6.007,31 -8.693,14 -8.678,69 -8.928,43 -8.183,55 563,37 1.741,39 1.553,11 1.444,31 2.579,17 -72,43 53,83 230,91 -4,69 51,73 -1.131,16 -1.266,88 -1.072,44 -1.028,89 -209,46
-303,20
-469,25
-453,31
-938,43 -397,85
-1.556,90 -1.709,17 -1.742,04 -1.684,40 -1.802,25
108,56
136,77
-149,50
-507,41
-480,66
-1.146,69
-704,31
-108,95 -1.031,05
-939,56
-28,50
-53,88
-70,97
-79,56
-94,42
65,23
37,71
5,03
20,50
147,14
Meskipun dalam kurun waktu tahun 2010 – 2014 terdapat beberapa sektor jasa yang mengalami surplus perdagangan seperti sektor perjalanan dan jasa pemerintah, namun secara umum data defisit neraca perdagangan jasa menunjukkan adanya 2 kondisi terkait industri jasa Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
33
nasional. Pertama, mayoritas produk industri jasa nasional memiliki daya saing yang lemah. Hal ini dibuktikan dengan tingginya impor produkproduk jasa tertentu demi memenuhi kebutuhan jasa domestik. Contoh industri jasa yang mengalami kondisi tersebut adalah jasa transportasi. Kedua, mayoritas industri jasa nasional rentan mengalami keterpurukan apabila dihadapkan dengan persaingan yang lebih ketat sebagai akibat dari kebijakan liberalisasi sektor jasa. Khusus menganai neraca perdagangan jasa transportasi, defisit tertinggi terjadi pada sektor transportasi barang. Data tahun 2010 – 2010 menunjukkan bahwa transportasi barang memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arah neraca perdagangan jasa transportasi secara keseluruhan. Ketika terjadi defisit neraca perdagangan jasa transportasi tertinggi pada tahun 2008, data menunjukkan bahwa kontribusi terbesar berasal dari sektor jasa perdagangan barang. Defisit dalam neraca jasa transportasi barang salah satunya dikarenakan jasa pengiriman barang ekspor dari Indonesia tidak dalam C.I.F (Cost, Insurance and Freight) tetapi F.O.B (Freight On Board), yang berarti negara eksportir dalam hal Indonesia tidak menanggung transportasi pengiriman barang dan asuransinya, tetapi diurus oleh negara importir. Karena Indonesia mengekspor barang dalam FOB berarti biaya hanya sampai diatas kapal. Dengan demikian, Indonesia hanya memperoleh penghasilan dari ekspor barang, tetapi tidak memperoleh pemasukan dari jasa transportasi dan asuransi, padahal nilai jasa pengiriman barang dan asuransi cukup besar9. Apabila ekspor Indonesia dengan CIF, defisit perdagangan jasa transportasi Indonesia berpotensi untuk semakin kecil karena
Indonesia
mendapatkan
tambahan
pemasukan
dari
jasa
transportasi yang dapat dikerjakan oleh perusahaan domestik.
9
Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional. “Perkembangan JasaJasa dan Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS ke depan”,. BAPPENAS. 2003
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
34
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan Instrumen safeguard dalam perjanjian perdagangan muncul dari adanya kebutuhan akan mekanisme pengamanan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tak terduga yang mungkin muncul sebagai akibat dari diberlakukannya
liberalisasi
perdagangan.
Sebagai
upaya
untuk
menangani kekhawatiran atas potensi "masalah yang tak terduga", safeguard memiliki tujuan ganda. Di satu sisi, keberadaan ESM dapat membantu membujuk industri domestik untuk menerima liberalisasi perdagangan yang lebih luas. Di sisi lain, safeguard juga dapat berfungsi sebagai ruang bernapas bagi industri dalam negeri untuk beradaptasi dengan realitas kompetitif baru. Pembahasan mengenai meknisme safeguard untuk perdagangan jasa dalam forum perundingan multilateral sejauh ini masih mengalami kendala terkait dengan dasar argumen ekonomi yang dirasakan belum ada kejelasan. Selain itu, terdapat kendala baik secara konseptual maupun praktis terkait dengan bagaimana merancang mekanisme safeguard untuk perdagangan jasa. Walaupun beberapa negara anggota WTO, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mungkin tidak mengakui adanya argumen ekonomi dalam pengembangan mekanisme ESM, namun mereka tidak dapat mengelak dari dua hal. Pertama, kewajiban secara
ekonomi
politik
untuk
mengembangkan
mekanisme
ESM
perdagangan jasa sebagai sebuah disiplin ilmu (Gauther et al, 2000 dan Bosworth, 2000) dan kedua, komitemen dalam GATS yang telah disepakati untuk merancang dan mengembangkan mekanisme khusus terkait safeguard. Dua hal yang tersebut yang menjadikan perjanjian safeguard bagaimanapun pada akhirnya akan tetap disepakati sebagai bagian tak terpisahkan dari komitmen perdagangan bebas sektor jasa. Dalam prespektif negara-negara berkembang khususnya negara anggota ASEAN, mekanisme safeguard merupakan instrumen yang Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
35
penting karena liberalisasi perdagangan jasa dipandang akan membawa dampak tak terduga yang berpengaruh kepada perekonomian domestik suatu negara. Proposal mekanisme safeguard perdagangan jasa dari negara-negara ASEAN menggunakan standar yang sama seperti diterapkan pada perdagangan barang dalam menentukan tingkat kerugian serius yang diderita oleh industri domestik pada semua jenis mode layanan jasa. Untuk dapat menerapkan mekanisme safeguard perdagangan barang pada konteks perdagangan jasa, Sauve (2002) mengidentifikasi dua hal operasional mendasar yang harus terlebih dahulu diperjelas, yaitu (1) konsep impor jasa dan (2) konsep jasa sejenis atau substitusi langsungnya. Dalam konteks perdagangan jasa, konsep impor harus didefinisikan secara jelas terlebih dahulu karena terdapat 4 (empat) mode layanan jasa yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Sedangkan
terkait
konsep
“layanan
jasa
sejenis
atau
substitusi
langsungnya”. Sifat dasar perdagangan produk yang pada umumnya diberikan berdasarkan pesanan konsumen membuat penentuan klasifikasi produk tersebut menjadi sulit dilakukan. Selain itu, sifat produk jasa yang tidak memiliki spesifikasi yang jelas membuat sulit untuk diperbandingkan antara layanan jasa dalam negeri dan luar negeri. Syarat lainnya agar mekanisme ESM dapat diterima/diberlakukan oleh semua negara adalah ESM harus menghilangkan unsur diskriminasi berdasarkan struktur ekonomi dan melihat kepada struktur industri. Dengan lebih memberi perhatian kepada struktur industri maka negara yang secara setruktur ekonomi termasuk kedalam kelompok negara maju namun memiliki struktur industri jasa tertentu yang lebih lemah daya saingnya dibanding industri jasa yang sama pada negara berkembang dimungkinkan untuk mengenakan tindakan safeguard terhadap supply jasa impor yang masuk dari negara berkembang. Begitu pula sebaiknya, negara berkembang dengan struktur industri jasa yang kompetitif tidak akan mendapatkan fasilitas perlakukan khusus untuk dapat masuk ke pasar jasa negara lain. Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
36
Apabila semua negara anggota WTO telah sepakat akan perlunya perjanjian ESM, maka terdapat 3 alternatif skenario yang dapat diajukan guna mewujudkan perjanjian ESM perdagangan Jasa (Sauve, 2002). Skenario pertama, pengembangan rezim safeguard secara penuh sebagaimana proposal ASEAN. Alternatif kedua adalah dengan meminta masing-masing
negara
anggota
GATS
untuk
mengajukan
jadwal
komitmen pemberlakuan safeguard untuk setiap sektor jasa beserta syarat atau kriteria yang mereka gunakan (Gauthier et al, 2000). Alternatif skenario ketiga adalah dengan melakukan eksperimen pengenaan instrument safeguard terhadap sektor-sektor yang berpotensi kuat mengalami gangguan apabila diberlakukan liberalisasi perdagangan dan investasi. Kemudian berdasarkan hasil eksperimen tersebut, negaranegara anggota GATS dapat memutuskan untuk menerapkan pendekatan yang sama untuk sektor-sektor lainnya atau menggunakan eksperimen tersebut sebagai dasar untuk mengembangkan instrumen pengamanan perdagangan yang bersifat generik.
5.2 Rekomendasi Data neraca perdagangan jasa Indonesia menunjukkan bahwa daya saing industri jasa domestik relatif lemah sehingga rentan mengalami kerugian apabila dihadapkan dengan situasi persaingan yang lebih ketat akibat liberalisasi perdagangan. Untuk meredam potensi kerugian tersebut, pemerintah Indonesia diharapkan untuk tetap pada posisi
awal,
yaitu
mendorong
terwujudnya
perdagangan jasa dalam kerangka GATS.
mekanisme
safeguard
Safeguard merupakan
instrumen yang tepat untuk memberi ruang kepada industri domestik dalam beradaptasi dengan persaingan yang lebih ketat. Selain itu, mekanisme safeguard juga dapat dijadikan bahan argumen pembuat kebijakan dalam menghadapi kritik publik terkait kebijakan liberalisasi perdagangan jasa yang diambil. Indonesia sebagai salah satu negara inisiator proposal ASEAN juga diharapkan
untuk
terus
memperkuat
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
argumen
terkait
pentingnya 37
safeguard perdagangan jasa serta memperjelas konsep-konsep teknis terkait implementasi safeguard. Secara teknis sebenarnya Indonesia sendiri belum terlalu siap untuk menerapkan mekanisme safeguard perdagangan jasa dalam waktu dekat ini. Ketidaktersediaan data yang memadai merupakan masalah yang sejauh ini belum terselesaikan. Untuk mengukur adanya kerugian serius pada industri jasa dalam negeri minimal diperlukan data rinci mengenai ukuran pasar jasa dalam negeri serta persentase pangsa pasar yang mampu dipenuhi oleh industri jasa dalam negeri. Berdasarkan data tersebut selanjutnya dapat ditentukan impor jasa yang wajar sehingga apabila terjadi lonjakan impor melebihi batas tertentu pemerintah dapat mengenakan tindakan pengamanan secara rasional. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan untuk memperkuat sistem arsitektur industri jasa nasional sehingga data gambaran riil dari industri jasa dalam negeri dapat disediakan secara memadai. Selain itu, perlu juga ditetapkan standard kualitas produk jasa yang dapat dijual ke pasar dalam negeri. Selain untuk kebutuhan perlindungan konsumen, standarisasi ini penting untuk dapat membandingkan kualitas produk jasa dalam negeri dan produk jasa impor. Karakteristik produk jasa yang kebanyakan diproduksi berdasarkan pesanan merupakan tantangan untuk dilakukan pengelompokan produk jasa sejenis. Oleh karena itu, standarisasi produk jasa mutlak diperlukan guna mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan pada bagian kesimpulan, mekanisme ESM harus dapat diberlakukan oleh semua negara dan menghilangkan unsur diskriminasi antara negara maju dan negara berkembang dengan cara lebih mementingkan struktur industri suatu negara dibandingkan dengan struktur ekonomi negara tersebut. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, direkomendasikan agar sebelum ESM diberlakukan oleh suatu negara perlu diperjelas mengenai pendefinisian beberapa komponen ESM antara lain definisi produk sejenis (like product), struktur pasar jasa, perilaku industri jasa, pola konsumsi serta pola perilaku supplier jasa lokal. Komponen-komponen tersebut penting untuk diperjelas baik definisi Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
38
maupun kriteria pengukurannya agar terjadinya masalah/kerugian tak terduga pada industri domestik akibat liberalisasi perdagangan dapat ditentukan dengan pasti dan tidak diskriminatif.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
39
DAFTAR PUSTAKA Baldwin, Robert E. 1992. Assesing the Fair Trade and Safeguards Laws in Terms of Modern Trade and Political Economy Analysis. The World Economy, Vo., 15 No. 2. Massachusets; Barutu, Christhophorus. 2007. Ketentuan Antidumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO). Cet. I. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung; Bosworth, Malcolm. 2002. “comment”; pada: Sauve, Pierre and Robert M. Stern (eds.): GATS 2000, New Directions in Services Trade Liberalisation. Brookings Institution Press. Washington; Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional. 2003. Perkembangan Jasa-Jasa dan Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS ke depan. BAPPENAS. Jakarta; Gauthier, Gilles et al,. 2000. Deja Vu or New Beginning for Safeguards and Subsidies Rules in Service Trade?; pada: Sauve, Pierre and Robert M. Stern
(eds.):
GATS 2000,
New
Directions in
Services
Trade
Liberalisation. Brookings Institution Press. Washington; Kartadjoemena, 1997. H. S, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Cet. Pertama. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta; Sauve, Pierre. 2002. Completing The GATS Framework: Addressing Uruguay Round Leftovers. Aussenwirtschaft, 57. Jahrgang, Heft III. Zurich; Sauve, Pierre and James Gillespie. 2000. Financial Services and The GATS 2000 Round; pada: Litan, Robert E. and Anthony Santomero (eds.): Brookings-Wharton Papers on Financial Services 2000. Brookings Institution Press. Washington D.C.; Sood, Muhammad. 2011. Kebijakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) di Sektor Perdagangan Dalam Rangka Melindungi Industri Dalam Negeri. Mataram University Press. Mataram; Tim Perbankan dan Enquiry Point. 2010. Emergency Safeguard Measures (ESM) Sebagai Jaring Pengaman Kebijakan Liberalisasi Sektor Jasa. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 4, No.2, Agustus 2010. Jakarta;
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
40