5
Langkah Baru Petani Hutan Bringin Lesehan, sebuah kelompok studi mahasiswa di Jawa Timur, membantu petani hutan memulihkan lahan gersang dan meningkatkan kesejahteraan
6
RENDAHNYA penghasilan dan kerasnya perjuangan hidup petani di desa dekat hutan membuat para generasi muda pedesaan enggan menekuni pekerjaan bertani. Paryono adalah salah satu contohnya. Lelaki muda asal Desa Dampit, Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, ini pernah pergi dari kampungnya untuk mengejar impian memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mapan dengan bertransmigrasi ke Sumatera pada 1990. Pada awalnya ia memang dapat mewujudkan harapan itu. Tapi krisis ekonomi pada 1997 membuat berantakan kehidupan yang telah ia bangun. Terutama oleh fanatisme daerah di kalangan warga asli yang berujung pada ketegangan etnis dengan para pendatang, termasuk Paryono dan beberapa rekan sekampungnya yang pada saat itu ikut bertransmigrasi. Situasi tersebut membuat Paryono dan kawan-kawan sekampungnya asal Dampit tak lagi merasa aman. Dan akhirnya mereka pun memutuskan pulang kampung, kendati di benak mereka belum terlintas akan melakukan apa untuk menyambung hidup.
Dari 1998 hingga 2000, penjarahan kayu jati di hutan negara marak di hampir seluruh wilayah Jawa, tak terkecuali di hutan jati dekat kampung Paryono. Bagi Paryono dan warga Dampit yang menganggur, membabat kayu jati di hutan negara merupakan pilihan untuk mendapatkan penghasilan yang sulit dielakkan. Ratarata tiap orang bisa memperoleh pemasukan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu per hari dari berdagang kayu jati hasil curian. Kian hari makin banyak orang menjarah hutan jati. Peristiwa itu tak hanya berlangsung di Desa Dampit, melainkan juga di Desa Kenongorejo, dan Desa Bringin di kecamatan yang sama. Pada September 1998 massa menjarah dan merusak 5.000 hektare hutan jati yang dikelola Perum Perhutani di Wilayah Kabupaten Ngawi. Bentrok fisik antara massa dengan polisi pun pecah, mengakibatkan seorang warga tewas. Polisi menahan 115 orang. Akibatnya, hutan jati di Kecamatan Bringin ludes dalam sekejap. Kondisi alam pun berubah kering dan gersang di musim kemarau, sementara di musim hujan banjir dan tanah longsor mudah datang. Keadaan ini di luar
perhitungan Paryono dan para warga Dampit lainnya. Mereka miris melihat bencana alam yang datang menyusul gundulnya hutan di kampung mereka. Maka, ketika orang-orang masih terus menjarah isi hutan, Paryono dan rekan-rekan sekampungnya memutuskan berhenti ikut menguras kayu jati di hutan. Lebih-lebih ketika mereka menyadari bahwa menjarah hutan tak serta merta membuat hidup mereka lebih sejahtera. Bersama beberapa pemuda sekampungnya, Paryono lantas bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin yang gundul. Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi untuk ditanami tanaman pertanian. Inisiatif model penanaman selangseling yang lazim disebut “model plong” atau alley cropping ini datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan di Madiun. Bagi Paryono dan kawankawannya sesama penggarap lahan hutan, itu merupakan awal perjuangan mereka menghindarkan diri dari nasib para petani hutan pendahulu mereka.
GELIAT PINGGIR HUTAN Langkah Panjang Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa
Lesehan, sebuah kelompok studi mahasiswa di Madiun, mengunjungi Desa Bringin, yang warganya banyak turut serta dalam aksi penjarahan hutan jati milik Perhutani. Lesehan menawarkan kerjasama serta inisiatif untuk menyelesaikan perselisihan antara warga desa dengan Perhutani. Dengan model plong, kawasan hutan Perhutani dibagi dua jalur, jalur tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Pada jalur pertanian, para petani mendapat bercocok tanam tanaman produksi berusia pendek. Itu sebagai konsesi atas tenaga mereka ikut menanam dan memelihara jati atau mahoni yang merupakan tanaman “wajib” di jalur kehutanan. Selain memperoleh lahan plong selebar sembilan meter, melalui kerjasama ini, tiap keluarga petani hutan berhak pula bagi hasil 25 % atas penebangan akhir daur pada jalur kehutanan. Sedangkan pada jalur pertanian, Perhutani mendapat bagian sebesar 5 % atas hasil penebangan akhir daur, dan 5 % untuk petugas lapangan Perhutani atas pemanenan tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan kayu bakar. Dalam proses penyelesaian perselisihan antara petani dengan Perhutani, Lesehan meneliti penyebabnya, melakukan pemetaan bersama untuk memastikan batas tanah milik warga desa dengan tanah negara yang dikelola Perhutani. Pada intinya, model plong memberi ruang lebih luas bagi petani. Untuk membantu petani memahami model penanaman plong, Lesehan mengantar mereka berkunjung ke Dungus di wilayah KPH Madiun. Di situ, mereka diajak melihat dari dekat model plong yang telah dilakukan lebih. Baru setelah itu mereka berani melangkah lebih mantap, dengan menegosiasikan lahan 192 hektare di kawasan hutan Petak 81 di KPH Saradan. Tapi sebenarnya petani tak melulu memanfaatkan jalur pertanian untuk menanam tanaman semusim. Mereka juga membudidayakan aneka jenis tanaman yang untuk memenuhi kebutuhan lebih panjang. Di situ
Langkah Baru Petani Hutan Bringin
mereka menanam gmelina serta tanaman keras penghasil buah seperti nangka dan mangga. Gmelina adalah tanaman kehutanan yang kayunya dapat dibuat perkakas dan bisa dipanen pada umur 10 tahun. Menurut petani, mereka juga berencana menanam tanaman obat-obatan atau empon-empon pada jalur atau plong pertanian. Lembaga Swadaya Masyarakat Lesehan membantu Paryono dan petani hutan setempat mengembangkan rencana peraturan pengelolaan hutan. Di situ para petani dibimbing memetakan sendiri berbagai kawasan untuk mengembangkan usaha pertanian. Dengan inisiatif dan pendampingan intensif oleh Lesehan, petani hutan tersebut juga merancang kawasan bagi kelompok tani, dengan batas wilayah yang tegas antara kelompok dan antara pedesaan. Mereka lantas beranjak pada langkah mencari berbagai jenis tanaman dan teknik bertani untuk diujicobakan di lahan mereka. Para kelompok tani itu juga membuat analisis tentang bisnis pertanian yang dipilah-pilah untuk jangka 10 tahun, lima tahun, dan dua tahun. Untuk melengkapi pengetahuan dan pengalaman para petani di bidang pertanian, Lesehan memperkenalkan mereka dengan para petani di Malang Selatan, khusus untuk belajar tentang pupuk organik, sebuah usaha bisnis yang mereka bawa pulang dan mereka kembangkan di Bringin. Lesehan mendampingi penduduk desa melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang lebih baik dengan Perhutani. Lesehan juga memperkenalkan kelompokkelompok tani di Dampit pada sistem organisasi untuk mewadahi aspirasi para petani hutan. Dari situlah kemudian muncullah organisasi tingkat desa: Lembaga Rembug Desa dan Paguyuban Petani Bumi Lestari untuk tingkat kecamatan di Bringin. Kedua organisasi tersebut kini sudah mampu mengurus dirinya dengan baik, lengkap dengan peraturan yang dirumuskan sendiri secara bersama-sama oleh anggotanya. Bersama pemerintahan desa serta Badan Perwakilan Desa, para petani bekerjasama menyusun peraturan pengelolaan hutan untuk tingkat desa. Peraturan ini mencakup semua aspek
pengelolaan pertanian di lahan hutan, seperti penanaman, pemeliharaan, pemanenan, serta pengamanan. Kini, peraturan tingkat desa tersebut sedang dipelajari dan dikonsolidasikan melalui proses formal Peraturan Desa. Penggundulan hutan yang mencapai titik terburuk pada 1998 bukan satusatunya persoalan yang dihadapi masyarakat Desa Dampit. Sebelum itu, mereka bahkan sempat cerai-berai akibat pembangunan Waduk Pondok pada 1996 yang membelah desa itu. Areal sawah dan lahan hutan terendam. Seketika, munculnya waduk membuat warga sulit menjalani kegiatan sehari-hari. Namun lambat-laun mereka menjadi terbiasa. Semangat petani penggarap hutan pun tak surut, sekalipun mereka harus menyeberangi waduk untuk pulang-pergi dari rumah menuju lahan garapan mereka di hutan. Bahkan mereka sanggup membentuk organisasi Lembaga Rekso Wono Dampit (LRWD). Keberhasilan inisiatif menghutankan kembali kawasan Dampit juga akan menambah eksotisme Waduk Pondok. Perpaduan unsur hutan dan danau buatan tersebut dapat menjadi obyek wisata. Tinggal bagaimana warga dan pemerintah setempat mengelolanya hingga menarik bagi masyarakat di sekitarnya.
7
8 Mulai 2003 Lesehan mendapat dukungan Program Kehutanan Multipihak (Multistakeholder Forestry Programme, MFP) yang disalurkan pada masyarakat untuk mengembangkan strategi mengelola lahan yang lebih baik. Sementara itu, Desa Bringin terletak di timurlaut Kecamatan Bringin dan merupakan salah satu desa terluar di Kabupaten Ngawi karena berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro. Desa seluas 950 hektare ini bertopografi landai dan tandus karena banyak mengandung tanah kapur. Dari wilayah seluas itu, sekitar 700 hektare di antaranya merupakan kawasan hutan milik negara yang dikelola Perum Perhutani. Dengan kepemilikan tanah rata-rata 0,4 hektare tiap keluarga, sebagian besar warga desa menggantungkan penghasilannya pada hutan.Terutama untuk kebutuhan pangan, kayu bakar, dan kayu untuk perkakas. Tak lebih dari 25% warga desa mengandalkan sawah. Itu pun sawah tadah hujan, yang hanya bisa digarap pada saat air hujan melimpah. Pembangunan Waduk Pondok di sisi timur desa tak berarti apa-apa bagi petani di Desa Bringin. Praktis mereka hanya bisa menikmati irigasi dari waduk
selama tiga tahun pertama setelah waduk dibangun. Penggundulan hutan yang menyebabkan turunnya debit air tanah serta pendangkalan waduk akibat erosi membuat permukaan air di Waduk Pondok surut tajam. Lahan gundul di hutan milik negara inilah yang kemudian digarap masyarakat petani di desa itu untuk bercocok tanam. Mereka menanam palawija – jagung, kedelai, kacang tanah, cabai, dan pisang – dengan pola tumpangsari di antara tanaman pokok Perhutani. Selain tanaman semusim, petani juga menanam tanaman kayu keras seperti gmelina serta tanaman bahan baku obat tradisional (empon-empon). Khusus tentang gmelina, tanaman ini dipilih petani hutan lantaran beberapa hal. Pertama, karena dia mudah dikembangbiakkan. Selain itu, tanaman yang kulit batangnya putih halus ini menghasilkan kayu keras yang bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan rumah maupun perkakas. Lebih-lebih gmelina juga memiliki karakter lain yang menguntungkan petani, yakni pertumbuhannya yang cepat. Gmelina sudah siap dipanen pada usia 8 hingga 15 tahun. Ketika itu, garis tengah batang gmelina bisa mencapai 20 sentimeter dan sudah bisa dijadikan bahan baku perkakas atau bahan bangunan, serta memiliki nilai ekonomis memadai, sekitar Rp 400 ribu per meter kubik. Dengan hibah MFP, penduduk desa mendirikan organisasi pertanian yang menjadi kendaraan dalam serangkaian pertemuan multipihak. Antara lain dengan Perhutani, pejabat kabupaten, dan penduduk desa. Karena nilai ekonomis gmelina, petani sepakat membagi hasilnya dengan Perhutani. Atas dasar kesepakatan kedua pihak pada 2004 itu, petani berhak atas 85% dari hasil gmelina, dan sisanya menjadi bagian Perhutani. Selain untuk memantapkan kerjasama antara petani dengan Perhutani, kesepakatan bagi hasil gmelina ini juga untuk mengimbangi konsep bagi hasil kedua pihak untuk tanaman pada jalur kehutanan. Di situ petani penggarap mendapat bagian 10% dari hasil kayu jati. Kesepakatan itu juga menyebutkan bahwa bagi hasil atas komoditas hutan diberikan dalam bentuk uang, bukan kayu.
Desa Bringin juga memiliki hutan wengkon desa yang terbuka bagi masyarakat untuk memanfaatkannya. Melalui perjanjian kerjasama dengan Lembaga Kelestarian Hutan Bringin (LKHB), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Saradan mempercayakan lahan hutan wengkon tadi dikelola bersama masyarakat melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dewasa ini masyarakat berupaya memperjelas hak-haknya dalam pengelolaan hutan tersebut, dengan menyusun rencana kelola. Langkah yang telah mereka lakukan adalah mendata jumlah populasi tanaman sebagai data awal untuk menghitung hak dan kewajiban kedua pihak di kemudian hari. Seperti Desa Dampit dan Bringin, Desa Kenongorejo juga memiliki kawasan hutan negara. Hutan di Dusun Pule bahkan merupakan pertemuan tiga kesatuan pemangkuan hutan (KPH). Antara lain KPH Saradan, KPH Ngawi, dan KPH Padangan. Sekalipun begitu, hutan di situ tak luput ikut menjadi korban penjarahan pada 1998. Yang tersisa hanya tanaman yang garis tengah batangnya tak lebih dari 10 sentimeter. Bagi masyarakat Kenongorejo, hutan juga menjadi tumpuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mereka bertani dan ikut menggarap lahan hutan bersama Perhutani. Tapi tak sedikit pula petani Pule yang menggarap sawahnya untuk bertanam padi.Yang agak membedakan dengan warga Dampit dan Bringin, petani Kenongorejo juga mencoba menjalankan usaha kredit pupuk yang mereka jual dengan harga kompetitif dan melalui cara yang mudah. Mereka menyalurkan pupuk pada musim tanam padi, dan menerima pembayarannya di saat panen. Dalam waktu dua tahun, Kelompok Pule berhasil mengembangkan modal awal, dari lima kuintal menjadi 6,2 ton. Keberhasilan mereka ditunjang oleh usaha lain dengan berbisnis menjual gabah serta gaplek, ubi singkong yang dikeringkan. Pasalnya, sering kali petani membayar pinjaman pupuk dengan gabah. Dan untuk memacu perkembangan kelompok di tiga dusun lain –Kaliwuluh, Bareng, dan Prodo – masyarakat membentuk lembaga tingkat desa yang mereka beri label Lembaga Rembug Wono Kenongorejo (LRWK).
GELIAT PINGGIR HUTAN Langkah Panjang Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa
Antusiasme masyarakat terhadap kegiatan membangun kembali hutan ini membangkitkan perhatian Pemerintah Kabupaten Ngawi. Pada April 2004, Multistakeholder Forestry Programme yang mendanai kegiatan Lesehan, mengundang Pemerintah Kabupaten Ngawi yang diwakli Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perhutani, sejumlah lembaga swadaya masyarakat lokal, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta parapihak lainnya mendiskusikan beberapa skema menyangkut fenomena yang berlangsung di Kecamatan Bringin. Hasilnya, Pemerintah Kabupaten Ngawi sepakat memprioritaskan mengadopsi peraturan desa tersebut ke tingkat kabupaten. Jelas saja perkembangan itu membuat hati Paryono dan kawan-kawannya berbunga-bunga.Tapi tetap saja ada satu persoalan yang masih mengganjal.Yakni belum adanya pengakuan resmi Perhutani terhadap Rencana Peraturan Pengelolaan Hutan yang dilontarkan masyarakat. Masalah yang masih membuat gundah para petani adalah kekhawatiran bahwa mereka akan dipaksa keluar dari lahan garapannya di hutan, tempat mereka sempat menggantungkan harapan di hari tua. Untuk mencari jalan keluar, diselenggarakan pertemuan lanjutan dengan pemerintah dan beberapa parapihak yang memiliki peran besar dalam persoalan ini, pada Mei 2004. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah munculnya beberapa mekanisme untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat desa hutan lainnya untuk mempelajari beberapa jalan keluar yang praktis. Ini terutama untuk mewadahi semangat menggebu para pemuda Desa Dampit yang ingin melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri. Dalam kamus Lesehan, inisiatif yang mereka lakukan bersama masyarakat tani hutan di Bringin sejauh ini masuk dalam kategori pemberdayaan hutan desa (wengkon). Dalam pelaksanaannya, mereka memadukan pengelolaan hutan ke dalam pembangunan wilayah pedesaan. Pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang sarat penduduk tak dapat dipisahkan dari pembangunan desa secara utuh. Itu lantaran tingkat kebutuhan masyarakat desa terhadap hutan, terutama lahan, sangat besar.
Langkah Baru Petani Hutan Bringin
9
“Sejak 2003, PHBM di Ngawi telah berhasil menarik dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah kabupaten. Inisiatif ini memang perlu dukungan, kesinambungan, dan kekuatan.” Rahmanta Setiahadi, Lesehan Revitalisasi sistem wengkon merupakan tawaran untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan kelestarian hutan. Agenda yang ada di situ adalah peningkatan penghidupan masyarakat desa hutan yang merupakan napas utama dari pembangunan wilayah pedesaan. Inisiatif lain Lesehan dalam proses pendampingannya di masyarakat petani di Ngawi adalah rencana kelola pelestarian hutan (RKPH) masyarakat, sebuah model pengelolaan hutan kolaboratif. Garis besarnya, inisiatif ini masih berkaitan dengan pembagian lahan antara masyarakat dengan Perum Perhutani melalui model plong. Namun secara rinci RKPH ini juga dilengkapi rencana pengembangan ekonomi berbasis kehutanan dan pertanian. Hasilnya, RKPH dan serangkaian upaya pengembangan ekonomi mulai berjalan dan mendatangkan manfaat nyata bagi para petani miskin di sekitar hutan Bringin, Ngawi. Penyusunan rencana dan implementasinya, selain dikawal oleh kelompok–kelompok dusun dan desa, menjadi semakin kuat dengan terbentuknya organisasi petani hutan Bringin yang bernama Paguyuban Bumi Lestari (PBL).
Organisasi yang berdiri pada Juni 2002 ini beranggota petani desa-desa hutan di Kecamatan Bringin. Antara lain Desa Kenongorejo, Bringin, Dampit, dan Gandong. Pada awalnya, kegiatan organisasi ini masih terbatas pada arisan dan diskusi kecil tidak formal pada pertemuan rutin bulanan tiap tanggal 10. Kini Paguyuban Bumi Lestari berkembang menjadi sarana perjuangan bersama menjembatani kepentingan para petani hutan Kecamatan Bringin. Mereka merangkul parapihak dari luar untuk mengusung misi pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan petani hutan. Hasilnya, Pemerintah Kabupaten Ngawi mulai menaruh kepercayaan pada Paguyuban Bumi Lestari untuk pengadaan 100 ton pupuk organik dalam proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRHL) Kabupaten Ngawi. Dan secara bertahap Paguyuban Bumi Lestari terus memperjuangkan perlindungan hak para petani hutan Kecamatan Bringin. Itu mereka lakukan dengan menjalin komunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ngawi dan parapihak lain. Dan selama seluruh proses tersebut berlangsung, Lesehan terus memberi dukungan inisiatifnya. Perjalanan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kabupaten Ngawi yang didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) sejak 2003 kini memasuki pembuktian apakah bisa berjalan terus atau berhenti di tengah jalan.
10
Di luar itu, sejak 20002 Lesehan juga aktif dalam forum multipihak di Kabupaten Ngawi, Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Ngawi. Forum Komunikasi ini efektif mendorong pelembagaan pengelolaan hutan berasama masyarakat di Ngawi, dan Lesehan memegang peran penting di forum tersebut. Dari 2004 hingga 2005 forum ini berhasil menumbuhkan kesepakatan para pihak untuk mendorong pengelolaan hutan bersama masyarakat dan mengalokasikan anggaran untuk pengembangannya. Itu termasuk penguatan kelembagaan masyarakat dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ngawi.
Lembaga Resko Wono Dampit (LRWD) berdiri untuk mengefektifkan inisiatif dalam kerjasama mengelola hutan di Desa Dampit. Menyikapi terpisahnya kawasan hutan dengan pemukiman penduduk akibat pembangunan Waduk Pondok, LRWD mengajukan permohonan transportasi perahu kepada Bupati Ngawi. “Tadinya saya merasa sumpek dan kesal dengan berbagai kegiatan macam itu.Tapi perasaan itu kini berubah begitu melihat betapa kritis pandangan-pandangan masyarakat sekarang,” kata Slamet, seorang mandor Perhutani.“Saya juga melihat bahwa inisiatif ini berpeluang ikut memberi sumbangan untuk membangun kembali hutan tanpa harus menunggu Perhutani melakukan sesuatu.”
Serangkaian perkembangan di Ngawi ini membuat petani memiliki optimisme menatap masa depan. Kesepakatan dengan Perhutani bahwa masyarakat ikut memiliki andil atas hasil tanaman jati memberi kepastian bagi masyarakat. Kendati mereka harus menunggu hingga jati tumbuh dewasa dan memiliki nilai ekonomis yang berarti hingga siap ditebang pada umur 35 tahun.
Dalam forum multipihak yang diselenggarakan di Balai Kecamatan Bringin, Perhutani KPH Saradan menyampaikan bahwa proses pengelolaan hutan bersama masyarakat di Bringin dan sekitarnya berawal dari kehancuran hutan pada 1998 dan terasa sekali akibatnya pada 2000. Pada tahun itu juga, Perhutani memulai pembangunan hutan di Kabupaten Ngawi.
Sejauh ini beberapa kalangan masyarakat juga merasakan ekonomi mereka meningkat. Setidaknya, mereka puas dengan proses negosiasi parapihak dalam soal pengelolaan hutan kali ini. “Pertemuan dengan Perhutani dan Pemerintah Daerah berlangsung akrab dan hangat, serasa pertemuan keluarga. Kami tak pernah mengalami peristiwa ini dalam pembicaraan dengan pemerintah sebelum ini,” kata Musyafir, petani Bringin.
Lembaga Kelestarian Hutan Bringin (LKHB) berdiri pada 12 November 2004. Lembaga beranggota lima kelompok dusun ini bertugas membantu pemerintah desa mengelola hutan di wilayah Desa Bringin. Pada 2004, LKHB mencapai kesepakatan dengan Perhutani KHP Saradan soal lahan hutan 225,9 hektare menjadi hutan wengkon desa.
Di kalangan masyarakat juga muncul harapan program pengelolaan hutan bersama masyarakat ini bisa mengembalikan fungsi ekologis hutan. Sebelum ini, hutan jati di Bringin berperan membantu menahan laju air curahan hujan, dan kemudian mengalirkan air ke Waduk Pondok yang merupakan jantung bagi pengairan persawahan di kawasan itu. Di musim kering pun, masyarakat tak cemas akan kekurangan air. Tapi sejak penjarahan hutan pada 1998, debit air di waduk tersebut tak pernah sampai luber. Dasar waduk pun kian dangkal terisi Lumpur akibat erosi.
Dari pihak Perhutani pun muncul pemikiran senada. Sejak penjarahan hutan sekitar 1998 itu Perhutani tak membayangkan masih ada kesempatan menghutankan kembali lahan yang telanjur botak tersebut. Perhutani juga sempat menaruh prasangka pada setiap inisiatif dari luar, baik yang muncul dari lembaga swadaya masyarakat maupun masayarakat sendiri. Tapi kebekuan itu kini telah cair, sejak petugas Perhutani mengikuti serangkaian pertemuan dengan masyarakat dan Lesehan.
Persoalan yang harus dituntaskan: 1. Pelaksanaan kesetaraan posisi antara lembaga desa hutan (LMDH) dengan Perhutani, 2. Pembukaan akses hutan negara oleh Perhutani bagi petani, 3. Pengelolaan LMDH, 4. Pengamanan hutan wengkon desa, 5. Partisipasi pemerintah lokal dalam PHBM, 6. Efektivitas PHBM meningkatkan kesejahteraan warga. Pemerintah Kabupaten Ngawi pun memberi respon postif pada sistem pengelolaan hutan yang didukung Multishareholder Forestry Programme (MFP) ini. Dengan bangga, Pemerintah Kabupaten Ngawi bahkan menganjurkan masyarakat desa hutan lain di wilayah itu ikut menerapkan proses pembangunan hutan multipihak seperti di Bringin. Pemerintah Kabupaten Ngawi juga menekankan pentingnya masyarakat tani hutan mencari jalan keluar dari perselisihan mereka dengan Perhutani, meningkatkan pengelolaan lahan, serta memperbaiki taraf hidup mereka agar lebih sejahtera. (*)
GELIAT PINGGIR HUTAN Langkah Panjang Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa