26
BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan besarnya penebangan kayu yang dilakukan setiap tahunnya dari waktu ke waktu. Produksi penebangan terdiri dari dua jenis pohon yakni pohon jenis lambat tumbuh dan pohon jenis cepat tumbuh. Berikut ini merupakan perkembangan produksi kayu yang dilakukan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sejak periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012.
6.1.1 Sebelum Tahun 1945 Pada periode sebelum tahun 1945 di lahan masyarakat telah ada pohon yang tumbuh alami tanpa adanya usaha penanaman. Kegiatan penanaman yang ada hanya terjadi pada tempat tertentu dan untuk tujuan tertentu seperti untuk pembatas lahan. Belum ada kegiatan persiapan lahan, persemaian bibit, penanaman, penebangan, maupun pemeliharaan. Lahan yang dimiliki petani tersebut merupakan lahan turun temurun sebagai warisan dari orang terdahulu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, pada periode ini lahan masih dikuasai oleh penjajah sehingga belum ditemukan adanya data produksi kayu dari hasil penebangan yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat. Selain itu, para petani belum memikirkan keberadaan hutan dan hasil hutan berupa kayu pun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh mayarakat. Namun secara perlahan, masyarakat ada yang mulai menanam tanpa tujuan tertentu, dimana hasil panen yang berupa kayu hanya dipakai untuk kayu bakar atau untuk membangun gubuk di sawah dan lain-lain (Djajapertjunda 2003). Keberadaan industri sawmill belum ada karena masih banyaknya hutan alam yang menyediakan kebutuhan kayu bagi mereka, sehingga perolehan kayu masih mudah. Selain itu sistem pengolahan hutan pada saat ini masih dikuasai oleh penjajah yang saat itu mengambil alih pemerintahan. Sistem pemasaran pada saat ini juga belum terjadi karena kayu belum diperhatikan. Namun pada saat itu,
27
apabila masyarakat melakukan penebangan hanya untuk memenuhi kebutuhan seperti untuk kayu bakar dan membangun rumah.
6.1.2 Masa Orde Lama (1945-1966) Pada periode tahun 1945 sampai tahun 1966 keberadaan hutan rakyat mulai diperhatikan, ini ditandai dengan adanya petani yang mulai menanam pohon. Hal ini didukung dengan adanya Gerakan Penghijauan pada tahun 1945 yang dilakukan oleh Kabinet RI pertama. Gerakan ini dimaksudkan untuk menanggulangi lahan kritis disekitar DAS. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang cukup penting dan menyebabkan munculnya hutan rakyat. Hal ini berkaitan dengan adanya penanaman yang mulai dilakukan oleh petani hutan rakyat pada tahun 1960 di daerah Cigudeg dan Leuwiliang. Jenis yang ditanam merupakan jenis buah-buahan seperti Durian, Nangka, dan ada beberapa jenis pohon Cengkeh, Puspa, Afrika, dan Sengon. Namun keberadaannya masih sangat sedikit. Walaupun hutan rakyat pada masa itu telah ada, pengelolaannya masih sangat sederhana seperti jarak tanam yang masih menggunakan perkiraan dari petani sendiri. Selain itu penanaman yang dilakukan petani pada saat itu belum menggunakan teknik penjarangan. Kegiatan penebangan hasil kayu pada masa ini sudah terjadi, tetapi hasil penebangan masih dalam jumlah sedikit dan biasanya hasilnya tersebut untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti membangun rumah ataupun menyumbang kayu untuk membangun Masjid. Petani hutan rakyat tidak akan menebang apabila tidak terlalu butuh dan tidak dalam kebutuhan yang mendesak. Selain itu pada periode ini petani hutan rakyat tidak menebang pohon kecuali apabila pohon telah berukuran cukup untuk ditebang. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 bersifat fluktuatif. Perkembangan produksi kayu untuk pohon jenis cepat tumbuh belum ada pada awal periode ini dan baru terlihat pada tahun 1960 sebesar 0,82 m3. Selanjutnya produksi kayu pada tahun 1966 sebesar 1,20 m3. Pada pohon jenis cepat tumbuh produksi kayu baru terlihat pada tahun 1960 yakni sebesar 28,27 m3 dan tahun 1966 sebesar
28
10,90 m3. Adanya produksi ini karena pada saat itu sudah ada pohon jenis lambat tumbuh dan pohon jenis cepat tumbuh yang tumbuh secara alami dapat ditebang. Kegiatan pemasaran kayu dan keberadaan sawmill pada periode ini belum ada. Petani hutan rakyat yang ingin menjual kayunya biasanya langsung ke pembeli. Namun petani hutan rakyat tidak akan menebang dan menjual kayunya apabila tidak dalam keadaan mendesak. Selain itu penebangan yang dilakukan petani juga masih sedikit.
6.1.3 Masa Orde Baru (1967-1998) Pengusahaan hutan rakyat pada periode ini sudah mulai berkembang, ini ditandai dengan banyaknya petani hutan rakyat yang mulai menanam pohon. Penanaman yang dilakukan petani terjadi pada jenis tanaman buah-buahan dan Cengkeh. Selain itu pada tahun 1990-an mulai banyak petani hutan rakyat yang menanam pohon kayu-kayuan. Pohon yang ditanam biasanya jenis Sengon dan Afrika. Namun di daerah Tenjo dan Parung Panjang jenis pohon yang ditanam adalah jenis Akasia. Selain itu para petani juga sudah mengenal jarak tanam dan teknik penjarangan karena pada tahun 1970-an penyuluh mulai datang ke petani hutan rakyat. Produksi kayu petani hutan rakyat mulai banyak karena kegiatan menebang kayu juga mulai banyak terjadi. Jumlah pohon yang ditebang tidak lagi sedikit. Penebangan juga dilakukan setiap beberapa tahun ketika pohon tersebut dirasa cukup untuk ditebang. Usaha hutan rakyat mulai dilihat masyarakat sebagai usaha yang cukup menjanjikan. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa produksi kayu untuk pohon jenis lambat tumbuh pada periode ini berkembang cukup konstan seperti pada tahun 1980 sebesar 15,35 m3 dan pada tahun 1992 sebesar 12,89 m3. Hal ini disebabkan petani hutan rakyat lebih memilih tidak menebang pohon jenis lambat tumbuh yang sebagian besar jenis buah-buahan karena pertumbuhan pohon yang lama dan membutuhkan perawatan lebih, sehingga biaya produksi yang dibutuhkan besar. Pada pohon jenis cepat tumbuh terjadi fluktuasi sejak awal periode dan terjadi kenaikan mulai tahun 1975 sebesar 133,09 m3 dan terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 1988 sebesar 977,76 m3. Ini disebabkan karena pohon jenis cepat tumbuh mempunyai waktu yang cukup
29
cepat untuk ditebang. Selain itu pada tahun 1970 mulai ada pemasaran yang menyebabkan kayu mulai laku dijual. Namun perkembangan produksi pohon jenis cepat tumbuh juga terjadi penurunan karena lahan yang dimiliki petani hutan rakyat yang tidak terlalu besar sehingga ketersediaan pohon yang akan ditebang tidak selalu ada setiap tahunnya. Industri sawmill pada periode ini mulai bermunculan. Hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang yang muncul pada periode Orde Baru, yakni Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Kehutanan. UU tersebut menjelaskan tentang pemanfaatan hutan secara intensif dalam rangka pembangunan nasional. Pemanfaatan hutan secara intensif ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu: semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan kayu, semakin tingginya permintaan ekspor hasil hutan, dan semakin majunya industri plywood dan pulp. Dengan munculnya kebijakan untuk pemanfaatan hutan secara intensif, maka muncul kebijakan yang menyebutkan bahwa suatu pemegang HPH harus mempunyai industri pengolah kayu dan izin HPH akan dicabut apabila pemegang HPH tidak mendirikan suatu industri pengolahan kayu. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 1970. Kegiatan industri mulai digiatkan dan baru terealisasi pada tahun 1977. Namun keberadaan industri sawmill di wilayah Bogor Barat masih sedikit dan hanya dibeberapa tempat seperti pada tahun 1980 di Cibungbulang dan tahun 1990 di Leuwisadeng. Selain itu, berkembangnya sawmill ini dapat dilihat dari munculnya Chainsaw yang mulai digunakan pada tahun 1990-an. Dengan adanya Chainsaw, maka penebangan yang dilakukan oleh petani hutan rakyat mulai banyak terjadi. Kegiatan penebangan kayu yang mulai banyak terjadi menyebabkan makin banyaknya bermunculan para tengkulak. Penjualan kayu terjadi antara petani dan penjual dengan cara melihat pohon berdiri. Pada saat itu juga petani dan tengkulak menentukan harga yang disepakati kedua belah pihak. Biasanya petani hutan rakyat menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri. Apabila harga telah disepakati antara petani dan tengkulak, maka tengkulak langsung menebang dan menjualnya kembali ke sawmill. Pada saat itu kebanyakan petani menjual kayunya ke tengkulak karena masih sedikitnya keberadaan sawmill.
30
6.1.4 Masa Reformasi (1998-2012) Pengusahaan hutan rakyat pada periode ini semakin meningkat yang ditandai dengan semakin banyaknya petani yang menanam pohon terutama pohon yang menghasilkan kayu. Hal ini didukung dengan adanya otonomi daerah dengan keluarnya Keppres No. 96 Tahun 2000. Keppres tersebut menyebutkan bahwa izin bagi industri pengolahan kayu di luar Provinsi Papua hanya akan diberikan jika bahan baku yang berupa kayu bulat berasal dari non hutan alam seperti HTI atau hutan rakyat. Penanaman yang dilakukan petani hutan rakyatpun sudah mulai teratur yakni dengan banyaknya petani yang menggunakan jarak tanam. Selain itu, para petani juga melakukan penjarangan dan ada yang telah membuat persemaian sendiri untuk memenuhi kebutuhan penanaman lahannya. Produksi kayu pada periode ini meningkat yakni dengan banyaknya penebangan yang dilakukan petani yang hampir tiap tahun. Penebangan pada pohon jenis lambat tumbuh sudah terjadi sejak awal periode ini dan meningkat pada tahun 2000 sebesar 137,69 m3, selanjutnya pada tahun berikutnya terjadi penurunan produksi dan cukup konstan dan mulai meningkat lagi pada tahun 2006. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan yang signifikan dan menjadi produksi tertinggi sebesar 763,46 m3, kemudian menurun lagi sampai tahun 2012. Terjadinya kenaikan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2000 dan 2009 disebabkan karena banyaknya permintaan akan pohon jenis ini seperti pada industri pembuatan palet. Penurunan produksi yang terjadi disamping karena biaya produksi yang cukup mahal juga disebabkan telah adanya produksi besarbesaran pada tahun sebelumnya dan pertumbuhan pohon yang cukup lama, sehingga waktu menunggu pohon untuk ditebang cukup lama. Perkembangan produksi kayu untuk pohon jenis cepat tumbuh terjadi secara fluktuatif seperti pada periode sebelumnya. Produksi sudah terjadi pada tahun 1998 sebesar 500,52 m3 karena harga kayu yang mulai bagus pada tahun 2000 meningkat sebesar 1.429,14 m3. Tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan dan penurunan produksi kayu secara fluktuatif. Tahun 2011 terjadi peningkatan produksi tertinggi sebesar 1.460,17 m3. Selain karena harga kayu yang mulai bagus, peningkatan produksi pohon jenis ini juga disebabkan karena pertumbuhan pohon yang cepat, biaya produksi yang murah dan semakin banyaknya industri sawmill yang bermunculan.
31
Semakin banyaknya sawmill bermunculan menyebabkan permintaan kayu semakin meningkat, tetapi tidak didukung oleh luas lahan yang dimiliki petani. Luas lahan yang tidak terlalu besar menyebabkan jumlah pohon yang ditanam tidak banyak sehingga ketersediaan kayu yang dapat ditebang tidak dapat memenuhi permintaan sawmill. Hal inilah yang menyebabkan penurunan produksi kayu yang terjadi dari waktu ke waktu. Pada periode ini industri sawmill makin banyak bermunculan khususnya pada tahun 2000, dimana keberadaan sawmill semakin tersebar di wilayah Bogor Barat. Namun masih banyak petani hutan rakyat yang menjual kayunya ke tengkulak karena letak sawmill yang jauh dari lahan mereka. Letak sawmill yang jauh dianggap petani akan mengeluarkan biaya yang besar, sehingga petani tidak punya pilihan lain untuk menjualnya ke tengkulak. Penjualan kayu ke tengkulak dilakukan dengan melihat pohon berdiri. Selain itu petani hutan rakyat menjual kayunya apabila ada kebutuhan saja. Hal ini yang disebut dengan istilah daur butuh. Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat yang terjadi di wilayah Bogor Barat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012. 1600 1400
Volume (m3)
1200 1000 800 cepat tumbuh
600
lambat tumbuh
400 200 2011
2009
2007
2005
2003
2000
1998
1995
1992
1988
1985
1980
1969
1960
1945
0
Tahun
Gambar 2 Grafik perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 berdasarkan jenis pohon yang ditanam.
32
6.2 Analisis Faktor-faktor Perkembangan Produksi kayu Petani Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat telah terjadi dari dulu sampai sekarang. Pengelolaan ini dilakukan oleh petani hutan rakyat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Baik dari segi umur, pendidikan, pekerjaan utama, dan luas lahan yang dimiliki. Dari segi umur, pengelolaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat dilakukan oleh petani hutan rakyat mulai dari yang berumur muda sampai yang telah berumur tua. Petani termuda yang mengelola hutan rakyat berumur 29 tahun yakni di Pamijahan sedangkan petani paling tua berumur 77 tahun yakni di Leuwiliang. Selain umur, tingkat pendidikan petani hutan rakyat juga berbeda-beda, mulai dari ada yang tidak bersekolah sampai ada yang lulus D3/S1. Petani hutan rakyat merupakan pekerjaan sampingan yang banyak diminati masyarakat wilayah Bogor Barat. Sebagian besar petani hutan rakyat memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Selain itu, pekerjaan utama lainnya adalah sebagai peternak, wiraswasta, maupun pegawai negeri. Luas lahan yang dimiliki petani juga berbeda-beda. Lahan yang dimiliki petani tidak terlalu luas. Sebagian besar petani memiliki lahan sebesar 0,5-1,5 hektar. Adanya perbedaan dari segi umur, pendidikan, pekerjaan utama, dan luas lahan yang dimiliki tidak membedakan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat dalam mengelola lahannya. Sebagian besar petani hutan rakyat telah menggunakan jarak tanam dalam mengelola lahannya dan ada juga yang telah menggunakan teknik penjarangan, walaupun hanya beberapa petani saja. Sistem pemasaran yang dilakukan para petani juga tidak berbeda, sebagian besar dari petani menjual kayunya ke tengkulak. Ini membuktikan bahwa adanya perbedaan tersebut tidak membedakan cara pengelolaan hutan rakyat. Selain itu, produksi kayu yang dihasilkan oleh para petani juga tidak berbeda. Produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat merupakan hasil penebangan pohon yang dilakukan oleh petani hutan rakyat. Produksi kayu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat perkembangan yang fluktuatif baik untuk pohon jenis lambat tumbuh maupun pohon jenis cepat tumbuh. Peningkatan produksi pada pohon jenis lambat tumbuh dikarenakan adanya permintaan yang cukup tinggi akan pohon jenis tersebut. Peningkatan produksi juga terjadi pada pohon jenis
33
cepat tumbuh yang disebabkan karena waktu pertumbuhan pohon cepat tumbuh yang cepat, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk ditebang. Selain itu biaya produksi untuk pohon jenis cepat tumbuh cukup murah karena biaya perawatan yang murah. Harga kayu yang mulai bagus dan adanya teknologi seperti semakin banyaknya penggunaan chainsaw dan semakin banyaknya sawmill juga menyebabkan produksi kayu meningkat. Penurunan produksi pada pohon jenis lambat tumbuh disebabkan waktu pertumbuhan pohon jenis ini yang cukup lama, sehingga membutuhkan waktu untuk ditebang.
Selain itu biaya perawatan yang mahal menyebabkan biaya
produksi pohon jenis ini menjadi mahal. Sedangkan pada pohon jenis cepat tumbuh, luas lahan yang dimilki petani hutan rakyat yang tidak terlalu luas menyebabkan tidak tersedianya pohon setiap tahun untuk ditebang. Hal ini terjadi karena luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat yang berbeda-beda dengan jarak tanam yang berbeda juga. Seperti petani hutan rakyat di Cibungbulang yang hanya memiliki luas lahan 0,01 hektar dengan jarak tanam 3m×3m sehingga jumlah pohon yang ditanam kurang lebih hanya 10 pohon. Lain halnya petani hutan rakyat di Ciampea yang memiliki lahan 15 hektar dengan jarak tanam 2,5m×2,5m sehingga pohon yang ditanam lebih banyak yakni sebesar 24.000 pohon. Hal ini menunjukkan bahwa dengan luas lahan dan jarak tanam yang berbeda dapat menyebabkan jumlah pohon yang ditanam berbeda sehingga jumlah pohon yang ditebang pada setiap petani hutan rakyat juga berbeda. Keterangan diatas dapat dilihat pada Lampiran 1. Perkembangan produksi petani hutan rakyat juga dipengaruhi oleh tujuan petani menebang kayu. Petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat dari dulu sampai sekarang menebang pohon apabila ada kebutuhan saja. Selain itu, sebagian besar petani menganggap bahwa usaha hutan rakyat hanya sebagai tabungan yang suatu saat dapat dipergunakan. Pada periode sebelum tahun 1945 dan periode Orde Lama (1945-1966), petani hutan rakyat hanya menebang pohon untuk memenuhi kebutuhannya saja yakni untuk kayu bakar atau untuk membangun rumah dan Masjid, sehingga pada periode-periode ini jumlah pohon yang ditebang masih sedikit. Berbeda dengan periode Orde Baru (1967-1998) dan periode Reformasi (1998-2012) jumlah pohon yang ditebang sudah banyak. Hal ini terjadi
34
karena banyak petani hutan rakyat yang sudah mulai menebang pohon untuk dijual sehingga banyak petani yang menanam pohon yang cepat tumbuh seperti Sengon. Selain itu, hal ini juga didukung dengan munculnya pemasaran pada tahun 1970-an dan harga kayu yang membaik pada tahun 1999. Namun walaupun jumlah pohon yang ditebang sudah banyak, petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat masih menebang sesuai dengan kebutuhan.