Lamunan Sang Rakyat Bergman Siahaan
Hak Cipta © 2013 oleh Bergman Siahaan Diterbitkan sendiri pertama kali pada Mei 2013 Foto, desain dan layout oleh Bergman Siahaan
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
"Hidup ini adalah sebuah kisah panjang yang terdiri dari potongan-potongan cerita pendek. Aku hanya ingin menyajikannya dalam kata dan kalimat yang sederhana tanpa harus tertawan oleh jeruji-jeruji paham yang tak membuat cerita itu lebih hebat dari kisah aslinya."
Daftar isi Pra Lamunan – 5 1.
Besuk – 7
2.
Bioalarm – 15
3.
Kisah Pedagang – 19
4.
Masa Tua – 21
5.
Let Your Dim Light Shine – 31
6.
Tumbuh di Jalanan – 39
7.
Relativitas Rasa – 41
8.
Lingkunganku – 43
9.
Veteran – 47
10. Padi – 51 11. Lahan Terbuka Hijau – 55 12. Mohon Dukungannya – 57 13. Lantai Empat – 75 14. Kebenaran – 113 15. Anak Kerbau – 125 Tentang Penulis – 137
Besuk ‘Jam besuk: 16.00-21.00’, bunyi sebuah papan pemberitahuan yang terpampang di pintu masuk rumah sakit itu. Sekali lagi kulihat jam tanganku, jam tangan buatan jepang yang Indonesia tak bisa buat, lima belas lewat tujuh. Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan sekarang. Hampir sejam lagi waktu besuk baru tiba dan aku harus menunggu untuk menuntaskan niat menjenguk wanita ini. Seorang wanita yang kukenal sedang dirawat inap di rumah sakit ini akibat sebuah kecelakaan. Sambil berpikir-
pikir
aku
berbalik
ke
tempat
parkir.
Masih
menimbang-nimbang, apakah akan menunggu di parkiran atau sore nanti aku datang kembali. Tanpa perintah yang tegas dari otak, kakiku terus melangkah hingga sampai di sisi mobil. Aku masuk, menutup pintu dan termenung. Wanita ini, kemarin ditabrak lari oleh seorang pengendara mobil. Kabarnya aku dengar dari rekanrekan sekerja tadi siang. Beritanya masih simpang siur, ada yang bilang cukup parah, tetapi aku belum tau kondisi sesungguhnya. Dia adalah teman sekantorku. Gadis lajang yang cukup enerjik. Bukan hanya tubuhnya yang bagus, kerjanya pun juga bagus. Setidaknya itu kata orang-orang. Di kantorku dia cukup dikenal dan disayangi atasan. Kadangkala aku harus jujur bahwa aku menyukainya. Tetapi gayung itu belum bersambut. Kalau kupikir-pikir, memang sih... aku yang belum pernah menyatakan rasa. Bagaimana juga aku bisa, kalau pada saat yang sama dia selalu membuatku jengkel? Kudengar dia punya teman cowok, entah itu pacar atau gebetan, aku sebenarnya tak begitu peduli. Tetapi cara dia memandang dan bicara padaku ...
Bioalarm Hari sudah beranjak siang. Sinar matahari mulai memanasi sebagian area lantai tempatku tiduran. Dengan malas tubuh kurusku pun kugeser. Rantai bergemerincing saat terseret di lantai. Aku mengingsut ke bagian yang terlindung dari panasnya cahaya mentari. Pagi, siang, sore, malam, hidupku datar setiap hari. Bagiku hampir tidak berlaku penghitungan hari dan tanggal yang diciptakan orang-orang pintar zaman dulu. Sama saja. Mau Senin, Selasa, Rabu atau Minggu, hampir tidak ada bedanya. Yang berbeda mungkin irama hidup keluarga yang tinggal di rumah ini. Kalau
hari Sabtu mereka bangun agak siang dan pakaiannya lebih indah dari hari-hari lain. Kalau hari Minggu mereka bangun lebih siang lagi dan pakaiannya paling jelek dalam seminggu itu. Pada hari Minggu mereka jarang keluar rumah, tetapi tetap saja tak membuat perbedaan bagiku. Ada atau tidak mereka di rumah, sama saja. Aku baru diberi makan saat surya sudah tinggi. Setumpuk nasi dingin dan beberapa cuil ikan atau daging sisa makanan mereka. Selain rasanya yang tidak karuan, banyaknya juga tidak cukup untuk memenuhi
rongga
lambungku.
Percuma
juga
sebenarnya mereka beri banyak kalau tetap tak sanggup kutelan semua nasi yang nyaris tanpa lauk itu. Sepanjang hari aku hanya berbaring di lantai ini. Yah, kadang tiduran miring, kadang telungkup. Berdiri dan berputar-putar radius dua meter adalah hiburanku, sebab rantai berkarat keparat ini membatasi daya jelajahku yang barangkali tak pernah kumiliki. Kupikirpikir, meski yang dipasangkan cuma seutas tali plastik pun toh aku takkan bisa memutusnya. Energi dan kemampuan ototku mungkin tidak akan cukup untuk melakukannya. Jangankan meronta dan berlari, berdiri saja aku lunglai. Bahkan aku bisa menghitung tulang ...
Masa Tua Aku adalah seorang wanita yang sangat beruntung, di saat yang sama aku merasa wanita yang sangat malang. Bulan depan genap delapan puluh empat tahun usiaku. Aku beruntung karena bisa menikmati dunia dengan segala ceritanya ini lebih dari delapan puluh tahun. Ragaku masih sehat dan seluruh fungsi tubuh masih bekerja dengan baik. Orang bilang ini adalah berkat yang spesial dari Yang Maha Kuasa karena hampir semua teman-teman sebayaku sudah beristirahat dari hiruk pikuknya dunia ini.
Aku wanita yang sangat malang karena suamiku telah pergi meninggalkanku beberapa tahun lalu. Tempatku berbagi suka dan duka selama lebih dari lima puluh tujuh tahun kini telah tiada. Aku merasa kesepian. Lalu semua orang akan bertanya, kemana anak-anakku? Mereka masih ada. Mereka ada di suatu tempat sedang menjalani hidupnya masing-masing. Mereka sibuk. Terlalu sibuk untuk membiarkanku mengganggu kenyamanan mereka. Terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu menemaniku menghabiskan sisa usia ini. Dunia modern nan kejam tak memungkinkan mereka untuk selalu bisa merawatku. Itu sebabnya aku berada di sini, bersama orang-orang yang senasib, menanti uluran tangan orang lain untuk merawat, mengurus ataupun sekedar mengajak kami berbincangbincang. Namun aku jenuh. Kegiatan yang berulang-ulang kami lakukan itu membuatku jengah. Bangun pagi, dimandikan, makan, ngobrol-ngobrol, tidur, begitu berulang-ulang setiap hari. Beruntung bagiku masih bisa berjalan-jalan keliling panti. Kakek tua yang ada di sebelahku sekarang tidak seberuntung itu. Dokter bilang sendi-sendinya tak kuat lagi menopang ...
Let Your Dim Light Shine Ponselku berdering lagi untuk ke sekian kalinya, kujumput dari saku kemeja di dada, bos lagi... "Iya, pak," jawabku pada panggilan itu. "Sudah dimana?" "Iya Pak, sudah jalan pak." "Cepat ya, meeting sudah mau dimulai nih. Pak Gubernur bentar lagi tiba." "Ya
Pak,
sebentar
saya
sampai."
Kutambah
kecepatan mobil. Panik mulai merambat. Genting! Bahan presentasi ada di notebookku. Seandainya pun
tidak, Bos harus selalu kudampingi dalam pertemuanpertemuan penting seperti ini agar jiwanya tenang. Dari jauh
kulihat timer
traffic
light
berwarna
hijau
menunjukkan angka tiga belas. Sial! Umpatku dalam hati. Kalau sampai lampu merah menyala, bakalan hilang waktuku dua ratus empat puluh detik di perempatan ini menunggu lampu kembali hijau. Kutambah suntikan bensin ke ruang pembakaran dengan menekan pedal gas lebih dalam. Becak yang ada di depanku terpaksa kusalip dari kiri. Penunjuk waktu di traffic light kini memperlihatkan angka sembilan. Hanya sekitar dua puluh meter lagi aku akan melewati tiang lampu lalu lintas itu, namun kendaraan melambat karena ramai. Klakson kubunyikan agar kendaraankendaraan di depan mempercepat pergerakannya. Hectic benar hari ini. Baru setengah jam yang lalu aku menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk berhenti, memeriksa ban yang kempes dan mencari tukang tempel ban. Tubeless memang, tapi bila lalai memperhatikannya tetap saja udaranya bisa habis. Sebelum peristiwa gembos itu terjadi aku juga telah menghabiskan seratus dua puluh menit untuk ke dokter, mengantar anakku—yang dilaporkan sakit ...
Lingkunganku Aku tumbuh di lingkungan ini, sejak duduk di sekolah dasar hingga di bangku perguruan tinggi. Aku menyaksikan proses perubahannya, perlahan tapi pasti seperti metamorfosis pada kepompong, mengikuti era kapitalisme bangsa ini. Aku menyaksikan lapangan bola satu-satunya di lingkungan ini—tempat anak muda dan bapak-bapak bersatu hampir setiap sore bermain bola atas nama persahabatan, tempat aku dulu sering berlatih bersama bapakku di pagi hari sebelum fajar menyingsing—telah dibongkar dan diratakan untuk kemudian diletakkan tumpukan rumah toko diatasnya.
Aku juga menyaksikan tepat disamping rumah kami tanah
kosong—yang
dulunya
dijanjikan
taman
bermain anak dan kolam renang oleh pengembang, meski
tidak
terealisasi
namun
masih
dapat
dimanfaatkan warga untuk bermain voli dan anak-anak untuk bermain sepakbola atau layangan—kini telah ditumbuhi tembok-tembok rumah hasil marketing yang sukses dari pihak pengelola. Aku juga menyaksikan sebuah lembah berawa tak jauh dari rumahku—tempat aku pernah melarikan diri dan termangu di tepinya, tempat yang kukira menjadi pelarian biawak peliharaan kami yang lepas, tempat jatuhnya limpahan air hujan dari jalan dan rumahrumah warga—kini diurug dengan puluhan truk tanah untuk kemudian diatasnya ditanam beton-beton bangunan. Habis sudah ruang terbuka, habis sudah tempat anak-anak bersosialisasi satu sama lain, habis sudah kesempatan masyarakat berolahraga menghilangkan stres dan menjalin silaturahmi, habis sudah rumah bagi jutaan spesies yang membantu menyeimbangkan ekosistem, habis sudah areal serapan air, habis sudah tempat tumbuhan hijau berkumpul dan ...
Mohon Dukungannya "Pak, ada yang cari." Ayu salah seorang karyawati administrasi memanggilku. "Oh, ya? Suruh masuk." Ayu keluar dari ruang kerjaku dan dalam beberapa detik muncul dua orang lelaki
dari
balik
pintu.
Usianya
sekitar
awal
tigapuluhan. "Silahkan masuk, Pak. Ada yang bisa dibantu?" sambutku
sambil
berdiri
dari
balik
meja
mempersilahkan mereka duduk dengan gerakan tangan. Mereka menjulurkan tangan masing-masing.
"Saya Dedi, Pak." "Atmodjo." "Endro." "Silahkan." Mereka duduk di seberang meja kerjaku. "Langsung saja ya, Pak." Seorang yang berkumis tipis dan berambut lurus berbicara. "Kami dari Partai Hidup Makmur, Pak. Sehubungan dengan Pilkada dua hari lagi, kami kebetulan menjadi tim sukses Calon Bupati Pak Handriawan dan Calon Wakil Bupati Pak Marwan. Jadi, Partai HM calonnya pun HM..." Dia tersenyum lebar. Aku
manggut-manggut
sambil
tersenyum
menghargai leluconnya. "Jadi terus terang saja, Pak. Yah, kami memohon kiranya Bapak bisa mendukung calon HM ini dengan mengerahkan pegawai-pegawai Bapak." Aku kembali tersenyum setelah mengerti akan maksudnya. Walaupun begitu kutanya untuk lebih jelasnya,
"Kira-kira
dukungannya?"
bagaimana
ya,
bentuk
"Jadi begini, Pak," pria yang disebelahnya—yang mengenakan batik coklat dan berambut tipis—angkat bicara. "Kami punya dana Pak, untuk disalurkan ke calon pemilih. Nah, kami bisa salurkan ke karyawan bapak di sini. Hanya saja kami minta tolong, Bapak sampaikan kepada seluruh karyawan bahwa dana bantuan ini dari pasangan Pak Handriawan dan Pak Marwan, oleh karena itu mohon suaranya diberikan pada waktu pemilihan besok. Begitu pak." Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum standar khas seorang salesman. "Maaf, Pak kalau boleh tahu berapa jumlah karyawan Bapak di sini?" Si kumis tipis yang bernama Dedi itu bersuara lagi. "Hmm... Sekitar seratus," jawabku. Sebenarnya tidak tepat seratus tetapi kurasa itu tidak terlalu penting bagi mereka. "Baik, Pak. Kalau begitu, kita bisa turunkan dana delapan juta. Nanti Bapak bisa distribusikan ke karyawan. Kami hanya perlu tanda terimanya saja nanti, Pak." Aku mengalihkan pandangan sejenak ke dinding ...