Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit Diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia – Pokja HIV AIDS PB IDI Jl.G.S.S.Y. Ratulangie No.29 Jakarta 10350 Telp : 021-3150679 - 3900277, Fax: 021-3900473, email :
[email protected] ĞŬĞƌũĂƐĂŵĂĚĞŶŐĂŶWĞƌŚŝŵƉƵŶĂŶWĞŶĞůŝƟ,ĂƟ/ŶĚŽŶĞƐŝĂ;WW,/ͿĚĂŶWĞƌŚŝŵƉƵŶĂŶŽŬƚĞƌWĞĚƵůŝ /^;WW/Ϳ͕ĚĞŶŐĂŶďĂŶƚƵĂŶĚĂŶĂŚŝďĂŚĚĂƌŝƵƐƚƌĂůĂƐŝĂŶ^ŽĐŝĞƚLJĨŽƌ,/sDĞĚŝĐŝŶĞ;^,DͿ 2014
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
TIM PENYUSUN PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C
Da ar Penulis Prof. DR. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD KAI
Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI)
DR. dr. Rino A. Gani, SpPD KGEH
Perhimpunan Peneli Ha Indonesia (PPHI)
DR. dr. Evy Yunihastu , SpPD KAI
Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI)
dr. Irsan Hasan, SpPD KGEH
Perhimpunan Peneli Ha Indonesia (PPHI)
dr. Juferdy Kurniawan, SpPD KGEH
Perhimpunan Peneli Ha Indonesia (PPHI)
Pemeriksaan naskah Prof. DR. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD KAI
Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI)
DR. dr. Rino A. Gani, SpPD KGEH
Perhimpunan Peneli Ha Indonesia (PPHI)
Kontributor dr. Indri Oktaria Sukmaputri
Subdit AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan RI
dr.Nurhalina Afriana,M.Epid
Subdit AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan RI
dr. Yullita Evarini Y, MARS
Subdit Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kementerian Kesehatan RI
dr. Dyah Waluyo
Ikatan Dokter Indonesia – Pokja HIV AIDS PB IDI
dr. Alia Budi
ASHM
dr. Saut H. Nababan, SpPD
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
dr. Florence
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
dr. Stefanus Satrio Ranty
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
dr. Youdiil Ophinni
, Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
dr. Robert Kosasih, SpFK
HCPI
i
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
ii
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
KATA APENGANTAR
HepatitisBdaanHepatitisCmerupakanmasalahkesehatanyangserius H di Indonesia dengaan angka prevalensi dan n komplikasi yang cuku up tinggi. Diagnossis dantatalaksanapasieenHepatitis BdanHepaatitisC denggan tepat dan meenyeluruh daapat menekkan angka morbiditas m daan mortalitaas secara bermakkna. Meskipun begitu u, banyak hambatan yang dittemukan sehubungandengan ntatalaksanaapasienHep patitisBdanHepatitisC,baikdari d mahalnya biaya segi paasien sendirii seperti kepatuhan minum obat dan pengob batan maupun dari seggi tenaga kesehatan k b berupa massih tidak merataanyapengettahuanmenggenaiHepatiitisBdanHeepatitisCbaggiparadokte er,tenagam medislain daninsstansiyangtterkaitdalam mpenanganaankasusHep patitisBdanHepatitisCd diIndonesia. Seiring dengganmeningkkatnya insideensHIV,makaKoinfeksi HumanImm munodeficien ncyVirus (HIV) dengan viru us hepatitis B (VHB) dan virus hep patitis C (VHC) telah me enjadi masalah yang d di dunia. Berdasarkan laporan global UNAIDS tah hun 2013, In ndonesia semakkin banyak dijumpai menjaadisalahsatu unegaraden nganpeningkkatanangkakejadianinfeksiHIVterttinggidiAsia.Adanya kesam maancarapeenyebaranin nfeksiHIVdeenganvirush hepatitisB(V VHB)danvirrushepatitissC(VHC) menyeebabkantinggginyaangkaakejadianko oinfeksiHIVͲH Hepatitis. Saat ini obaat anti virus hepatitis daan obat antti virus HIV sudah tersedia. Dengan n strategi terapi dan pengob batan yang baik dan meengacu padaa guidelines yang telah dibuat d dapat dicapai nsterapiyan ngoptimaldeenganefekssampingobatyangminim mal. respon Pengurus Beesar Perhimpunan Peneliti Hati Indo onesia (PPHI) menyambut baik bekeerjasama dengaanHIV/AIDS PBIDIuntukkpenyusunanbukuPetu unjukKlinisK KoinfeksiHIV VdanVirusH Hepatitis. SayaaatasnamaPe engurusBesarPPHIingin nmengucapkanterimakkasihdanselamatkepad dasemua pihak yang terlibat dalam proses penye elesaian bukku Petunjuk Klinis Koinfeksi HIV dan Virus ukuinidapattbermanfaatbagiseluru uhdokter,teenagamedislaindan Hepattitisini.Harapankamibu instan nsiyangterkaaitdalampenanganankaasuskoinfekssiHIVdanViirusHepatitissdiIndonesiia.
GEH DR.drr.RinoA.Gaani,SpPD,KG KetuaUmum urusBesarPerhimpunanPenelitiHattiIndonesia Pengu
iii
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
iv
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
SAMBUTAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA Assalammualaikum. WrWb Salam Sehat Indonesia, Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga Buku Petunjuk Teknis Koinfeksi HIV dan Virus Hepatitis telah terbit. Indonesia sebagai salah satu. Negara di Asia dengan tingkat penularan HIV/AIDS tertinggi menjadi perhatian beberapa organisasi internasional maupun tingkat nasional untuk terlibat dalam menghambat dan menghentikan penularannya sehingga dapat menurunkan jumlah penderita. Dengan keterlibatan seluruh pihak diharapkan misi tersebut lebih mudah dijalani serta. targetnya diharapkan segera dicapai. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai salah satu organisasi kesehatan yang beranggotakan dokterdokter di seluruh Indonesia wajib terlibat serta memberikan kontribusi bermakna dalam misi penurunan jumlah kasus HIV/AIDS serta penyakit menular lainnya. IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang diakui berdasarkan Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran memiliki peran serta tanggung jawab memberikan panduan bagi seluruh anggotanya dalam menjalankan praktik kedokteran yang terbaik sesuai standar profesi. Panduan profesi terkait pelayanan kedokteran dibidang penyakit menular khususnya HIV/AIDS dan virus Hepatitis saat ini sangat dibutuhkan oleh dokter terutama di layanan primer sebagai gate keeper. Pelayanan di layanan primer harus dapat menyelesaikan sebagai besar permasalahan kesehatan sehingga tidak membebani pembiayaan di layanan sekunder yang besarannya tentu lebih besar. Terima kasih atas kerja keras serta. upaya tim penyusun Buku Petunjuk Klinis Koinfeksi HIV dan Virus Hepatitis atas terbitnya buku ini. Terima kasih juga. kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini. Semoga dengan keberadaan buku ini dapat menjadi acuan bagi dokter-dokter terutama di layanan primer untuk memberikan pelayanan bermutu bagi masyarakat. Mari bersama wujudkan Indonesia yang lebih sehat. Billahittaufiq wal Hidayah Wassalammualaikum WrWb Salam Sejawat
Dr. Zaenal Abidin, S.H, M.H Ketua Umum PB IN
v
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
vi
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
DAFTAR ISTILAH/ DAFTAR SINGKATAN ABC
Abacavir
ADV
adefovir
ALT
Alanine aminotransferase/SGPT
ARV/ART
obat An Retro Viral
ART
An Retroviral Therapy
AST
Aspartate aminotransferase/ SGOT
AUC
Area Under Curve
AZT
Zidovudin
CDC
Centers for Disease Control and Preven
CD4
Limfosit T CD4+
Cmax
Maximum concentra on
Cmin
Minimum concentra
DPL
Darah Perifer Lengkap
ddi
Didanosin
d4T
Stavudin
EFV
Efavirenz
ELISA
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
ET
Elastrogra Transien
ETR
Early of Treatment Response / Respon Terapi awal
EVR
Early Virological Response
FIs
Fusion Inhibitors
Ft4
Free Thyroxine
FTC
Emtricitabin
GDP
Gula Darah Puasa
GALT
Gut Associated Lymphoid Tissue
HIV
Human Immunode ciency Virus
IDU
Injec ng Drug User /Pengguna Napza Sun k
KHS
Karsinoma HepatoSelular
KTHIV
Konseling Tes HIV
KTIP
Konseling Tes atas
LdT
Telbivudine
n
Petugas Kesehatan
vii
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
LPV/r
Lopinavir/ritonavir
LSL
Laki laki yang berhubungan Seks dengan laki laki
MSM
Men who have Sex with Men
MMT
Methadone maintenance therapy / Terapi Rumatan Metadon
NRTIs
Nucleoside/Nucleo
NNRTIs
Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Penasun
Pengguna Napza
PegIFN
Pegylated Interferon
PIs
Protease Inhibitors
PITC
Provider Ini
PT
Prothrombin Time
RAL
Raltegravir
Riskesdas
Riset Kesehatan Dasar
RT PCR
Real Time Polymerase Chain reac on
RVR
Rapid Virological Response
SGOT
Serum Glutamic oxaloace
SGPT
Serum Glutamic pyruvate transaminase/ ALT
SSRI
Selec ve Serotonin Reuptake Inhibitor
SVR
Sustained Virological Response / Respon Virologis Menetap
TDF
Tenofovir disoproxil fumarate
TSH
Thyroid S mula
T3
Triiodothyronine
TMA
Transcrip on Mediated Ampli
UNAIDS
Joint United Na on Programmed on HIV AIDS
Viral Load
Hitung Jumlah Virus
VHC/HCV
Virus Hepa
C/Hepa
s Virus C
VHB/HBV
Virus Hepa
B/Hepa
s Virus B
VHD/HVD
Virus Hepa
D/ Hepa
s D Virus
WBP
Warga Binaan Pemasyarakatan
WPS
Wanita Pekerja Seks
WHO
World Health Organiza on / Organisasi Kesehatan Dunia
Window Period
Masa Jendela
3TC
Lamivudin
viii
Reverse Transcriptase Inhibitor k/IDU
ted Testing and Counseling/KTIP
transaminase / AST
g Hormone n
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
DAFTAR ISI TIM PENYUSUN PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS ............................ i KATA PENGANTAR DAN SAMBUTAN ...................................................................................... iii .................................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ix PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C ................................................... xi BAB I. EPIDEMIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH KOINFEKSI VIRUS HEPATITIS C DAN HIV ................................................................................................... I.1. Prevalensi Infeksi............................................................................................................ I.1.a. Prevalensi Infeksi Virus Hepa s C pada HIV di Dunia ........................................... I.1.b. Prevalensi Infeksi Virus Hepa C pada HIV di Indonesia ..................................... I.2. Transmisi Infeksi ............................................................................................................. I.3. Peran Koinfeksi............................................................................................................... I.3.a. Peran Infeksi HIV terhadap Infeksi Virus Hepa s C............................................... I.3.b. Peran Infeksi Virus Hepa s C terhadap Infeksi HIV .............................................. BAB II. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA KOINFEKSI VIRUS HEPATITIS C DAN HIV ........................................................................................................................ II.1. Diagnosis ................................................................................................................... II.1.a. Penilaian Risiko HIV dan Diagnosis HIV AIDS pada Pasien dengan VHC ............................................................................................................ II.1.b. Penilaian Risiko VHC dan Diagnosis Hepa s C pada Pasien yang Terinfeksi HIV ..................................................................................... ......... II.2. Tata laksana Pasien Koinfeksi Hep s C dan HIV...................................................... II.2.a. Inisiasi Terapi ........................................................................................................ II.2.a.1. Kondisi yang Tidak Membutuhkan Terapi ......................................................... II.2.a.2. Kondisi yang Membutuhkan Terapi Hepa s C saja ......................................... II.2.a.3. Kondisi yang Membutuhkan Terapi HIV AIDS saja ............................................ II.2.b. Monitoring Terapi ................................................................................................ II.2.b.1. Respons Virologis .............................................................................................. II.2.b.2. Tolerabilitas ....................................................................................................... II.2.b.3. Interaksi Obat .................................................................................................... BAB III. PENCEGAHAN............................................................................................................. BAB IV. KONSELING ................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS B ................................................... 39 BAB I. EPIDEMIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH KOINFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN HIV ............................................................................................................. 41 I.1. Epidemiologi ................................................................................................................ 41 .................................... 41 I.1.a. I.1.b. .............................. 41 I.2. Transmisi Infeksi ........................................................................................................... 41 I.3. Peran Koinfeksi............................................................................................................. 42 I.3.a. Peran HIV pada Perjalanan Alamiah VHB ............................................................. 42 I.3.b. Peran VHB pada Perjalanan Alamiah HIV ............................................................. 42 BAB II. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA KOINFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN HIV 44 II.1. Diagnosis ................................................................................................................. 44 II.1.a. Penilaian Risiko HIV dan Diagnosis HIV AIDS pada Pasien dengan VHB .............. 44 II.1.b. Terinfeksi HIV ....................................................................................................... 44 ................................................................... 45 II.1.c. II.2. ................................................ 46 II.3. Interaksi Obat ....................................................................................................... 48 II.4. Kontraindikasi Obat ............................................................................................. 50 II.5. Pemantauan dan Evaluasi pada Pasien Koinfeksi HIV-VHB ................................. 51 II.5.a ..................................................................................... 51 II.5.b Monitor ARV ....................................................................................................... 52 II.5.c Monitor Ketaatan Pasien dalam Mengkonsumsi Obat ....................................... 52 II.6. Hepatotoksisitas akibat ARV .............................................................................. . 52 II.7. Skrining Karsinoma Hepatoselular ...................................................................... 52 BAB III. PENCEGAHAN............................................................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 52
ix
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
x
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C
2014
xi
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
xii
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
BAB I EPIDEM MIOLOGI DAN D PERJA ALANAN ALAMIAH A KOIN NFEKSI HIV V DAN VIR RUS HEPATTITIS C I.1. Preevalensi Infeksi I.1.a. Prevalensi Inffeksi Virus HeƉĂƟƟs H C paada HIV di Dunia D VHC) telah menjadi salah satu ancam man terbesar terhadap keesintasan Inffeksi virus heepaƟƟs C (V pasien dengan inffeksi human n immunodeeĮciency virrus (HIV), yang y telah mendapatkaan terapi 1 nyebab utam ma kemaƟan pada pasien n dengan inffeksi HIV, anƟretroviral (ARV). VHC kini menjadi pen setelah h komplikasii terkait AID DS.1 3 Infeksii HIV telah diketahui memiliki m and dil dalam peerjalanan alamiah h infeksi VH HC, sementara bukƟ pen ngaruh VHC C terhadap infeksi HIV masih m belum m jelas.4 6 Pengaruh HIV padaa infeksi VHC C pada akhirn nya memenggaruhi kesinttasan pada pasien p dengaan infeksi HIV. Ad danya kesam maan moda transmisi antara HIV dan d VHC meenyebabkan ƟŶŐŐinya prevalensi koinfekksi HIV dan VHC. V Transmisi VHC yang paling eĮsieen adalah me elalui darah, dengan kem mampuan penyeb baran terseb but 10 kali lebih efekttif dibandingkan transm misi HIV. Hal ini menyyebabkan Ɵngginyya angka koinfeksi HIV VHC V pada pe enasun (90% %).1 Data pad da tahun 2010 menunjukkan 1/3 dari po opulasi pasien dengan infeksi HIV di Amerika Serrikat juga terinfeksi VHC C.1 Data terseebut juga menunjukkan total 7 juta pasien dengan koinfeksi HIV dan VHC di seluruh dunia.1 Lapo oran dari d PrevenƟŽn (CDC) pada tahun t 2013 menunjukkaan hal serupaa, dengan Centerss for Diseasee Control and 25% daari pasien peengidap HIV di Amerika Serikat men ngalami koin nfeksi dengaan VHC dan 80% dari pasien pengidap HIV yang men nggunakan narkoba n sunƟk mengalami koinfeksii dengan VH HC.7 Studi nagmi, et al terhadap 1487 pasien dengan HIV H di Indiaa Selatan lain yaang dilakukaan oleh Pon menunjukkan angkka kejadian koinfeksi k yan ng lebih rendah, yaitu 3,02%, dengaan mayoritass ŐĞŶŽƟƉ hepaƟƟs C adalah genottip 1.8 Bebeerapa studi di d Eropa dan Amerika Serikat S menunjukkan virus h prevaleensi koinfekssi HIV VHC beerkisar antarra 30 50%.8
Gambar 1.1. Angka kejadian koinfeksi HIV VHC di seluruh s dunia
1
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
I.1.b. Prevalensi Infeksi Virus HeƉĂƟƟs C pada HIV di Indonesia Indonesia menjadi salah satu negara di Asia dengan peningkatan angka kejadian infeksi human immunodeĮciency virus (HIV) terƟŶggi di Asia, berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2008. Diperkirakan peningkatan ini akan terus terjadi hingga tahun 2020, dengan moda penyebaran virus ini sebagian besar terjadi melalui hubungan seksual dan penggunaan narkoba dengan jarum sunƟk. Adanya kesamaan moda penyebaran infeksi HIV dengan virus ŚĞƉĂƟƟs C (VHC) menyebabkan ƟŶgginya angka kejadian koinfeksi HIV VHC. Studi yang dilakukan oleh YunihastuƟ et al. pada klinik Pokdisus AIDS Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian koinfeksi yang ƟŶŐŐŝ͘ Pada studi terhadap 3.613 pasien yang baru terdeteksi HIV, ditemukan anƟ VHC yang posiƟf pada 67,9% pasien. Koinfeksi HIV VHC dan virus hepaƟƟs B (VHB) ditemukan pada 6,9% kasus. I.2. Transmisi Infeksi Baik HIV maupun VHC memiliki moda transmisi utama yang sama, yaitu parenteral dan veƌƟkal (ibu ke anak). Kejadian transmisi infeksi melalui kontak langsung dengan darah sangat ƟŶggi, baik pada VHC maupun HIV. Hal ini terlihat dari ƟŶgginya prevalensi koinfeksi HIV VHC pada pengguna jarum sunƟk, yaitu sekitar 50 90%.9, 10 Frekuensi transmisi infeksi melalui kontak seksual lebih rendah pada VHC dibandingkan dengan HIV.11 Frekuensi transmisi monoinfeksi VHC melalui kontak seksual meningkat pada kelompok pasien berisiko, yaitu Laki laki berhubungan Seks dengan Laki laki (LSL) maupun pasien dengan pola seksual promiskuitas.11 Adanya koinfeksi HIV VHC akan meningkatkan risiko transmisi heƉĂƟƟs C dua kali lebih ƟŶŐŐŝ melalui kontak seksual jika dibandingkan infeksi hepaƟƟs C saja.12 NaƟonal InsƟtute of Health (NIH) memperkirakan bahwa ƟŶŐŬĂƚ penularan ŚĞƉĂƟƟs C pada pasangan seksual penderita infeksi VHC adalah 2 4%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi hepaƟƟs C pada koinfeksi HIV. Studi oleh KurniawaƟ (2008) di Pokdisus RSCM menemukan bahwa prevalensi pasangan seksual penderita koinfeksi HIV VHC mencapai 10,1%. Hal ini menunjukkan Ɵngginya transmisi seksual VHC pada koinfeksi HIV VHC.13, 14 Di sisi lain, studi di Eropa menunjukkan bahwa transmisi infeksi virus hepaƟƟs C meningkat pada penderita HIV pria LSL (74%).15 VHC ditemukan pada 4 8% anak yang lahir dari ibu yang menderita VHC dan adanya koinfeksi HIV VHC dapat meningkatkan kejadian transmisi kedua virus.16 Virus hepaƟƟs C dapat diisolasi dari cairan cervicovaginal/cervicovaginal Ňuid pada wanita koinfeksi HIV VHC, tetapi Ɵdak ditemukan pada wanita dengan hepaƟƟs C saja.17 Studi yang sama pada kelompok laki laki menunjukkan bahwa RNA VHC lebih sering ditemukan pada cairan semen laki laki dengan koinfeksi dibandingkan dengan infeksi hepaƟƟƐ C saja (37,8% vs. 18,4%; p = 0,033).18 Kedua hal ini mungkin dapat menjelaskan ƟŶgginya angka transmisi hepaƟƟs C melalui kontak seksual atau perinatal pada koinfeksi HIV VHC. I.3. Peran Koinfeksi I.3.a. Peran Infeksi HIV terhadap Infeksi Virus HeƉĂƟƟs C Pada pasien hepaƟƟs C kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepaƟƟs C.2 Suatu meta analisis dari 29 studi yang melibatkan 16.750 pasien menunjukkan bahwa pasien koinfeksi memiliki risiko Ɵga kali lebih ƟŶŐgi untuk terjadinya sirosis, penyakit haƟ dekompensata, kanker haƟ atau kemaƟan.6 Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit haƟ pada pasien koinfeksi HIV VHC mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
2
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
a. Replikasi virus hepa s C lebih nggi. Meskipun mekanismenya belum jelas, studi-studi menunjukkan bahwa kadar RNA VHC di serum maupun intrahepa k pasien koinfeksi HIV-VHC lebih nggi dibandingkan infeksi VHC saja.19, 20 Tingginya kadar RNA VHC tersebut akan meningkatkan risiko transmisi dan menekan keberhasilan terapi hepa s C.21 Di sisi lain, kadar RNA VHC dalam serum dapat meningkat setelah mendapat pengobatan HIV.22 b. Klirens virus hepa s C lebih rendah. Studi-studi menunjukkan bahwa adanya koinfeksi HIV-VHC akan menekan sistem imun, sehingga klirens virus hepa s C menjadi lebih rendah dibandingkan pada infeksi hepa s C saja (10 – 20% vs. 30 - 40%).23 c. Progresi penyakit ha lebih cepat Pasien koinfeksi HIV-VHC lebih cepat berkembang menjadi sirosis dibandingkan infeksi hepa s C saja.24 Studi menunjukkan dalam 10-15 tahun, sekitar 15-25% pasien koinfeksi HIVVHC sudah berlanjut menjadi sirosis dibandingkan 2-5% pasien dengan infeksi hepa s C saja.25 Pasien dengan koinfeksi HIV-VHC memiliki risiko 2-3 kali lipat untuk mengalami sirosis ha , dibandingkan dengan monoinfeksi VHC.2, 6, 24 Studi mul senter di Amerika Serikat dan Kanada juga menunjukkan bahwa progresi menjadi karsinoma hepatoselular lebih cepat pada pasien koinfeksi HIV-VHC dan terjadi pada usia yang lebih muda26 dan memiliki angka kesintasan hidup yang lebih buruk.27 I.3.b. Peran Infeksi Virus Hepa s C terhadap Infeksi HIV Berbeda dengan pengaruh HIV pada infeksi dan replikasi virus hepa s C, maka pengaruh VHC pada perjalanan alamiah HIV belum sepenuhnya dapat dijelaskan. 3 Beberapa studi kohort menunjukkan bahwa infeksi hepa s C atau meningkatnya kadar RNA VHC berhubungan dengan progresi HIV menjadi AIDS atau kema an namun studi lain menunjukkan sebaliknya.4, 5 Studi-studi menunjukkan bahwa kadar RNA VHC yang meningkat berkorelasi dengan semakin beratnya derajat imunosupresi atau semakin rendahnya hitung CD4+ pada pasien koinfeksi.28, 29 Akan tetapi, studistudi juga menunjukkan bahwa dak terdapat perbedaan peningkatan hitung CD4+ antara pasien koinfeksi HIV-VHC dengan HIV saja setelah pemberian retroviral.30 Rangkuman VHC merupakan penyebab utama kema an pada pasien HIV setelah komplikasi terkait AIDS Angka koinfeksi HIV-VHC nggi karena adanya kesamaan moda transmisi Transmisi VHC melalui darah 10 kali lebih efek f dibandingkan transmisi HIV Hubungan seksual dan penggunaan narkoba dengan jarum sun k menjadi moda penyebaran VHC terbanyak pada pasien HIV Koinfeksi HIV-VHC meningkatkan risiko transmisi hepa seksual dibandingkan monoinfeksi VHC
s C 2 kali lebih
nggi melalui kontak
Prevalensi pasangan seksual penderita koinfeksi HIV-VHC sebesar 10,1 % di RSCM pada tahun 2008 Infeksi HIV berperan pen ng dalam perjalanan alamiah VHC. Pasien koinfeksi memiliki risiko ga kali lebih nggi untuk terjadinya sirosis, penyakit ha dekompensata, kanker ha atau kema an. Peran infeksi VHC pada perjalanan alamiah HIV belum sepenuhnya dimenger
3
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
BAB II DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C II.1. Diagnosis II.1.a. Penilaian Risiko HIV dan Diagnosis HIV AIDS pada pasien dengan VHC Semua pasien VHC dengan risiko (LSL, penasun, warga binaan pemasyarakatan (WBP), wanita pekerja seks (WPS) dianjurkan untuk mendapatkan konseling dan pemeriksaan HIV, karena memiliki rute transmisi yang sama.24 Selain itu, seperƟ disebutkan dalam bab sebelumnya, HIV berperan dalam proses perjalanan penyakit VHC. Pasien yang menolak pemeriksaan, penyedia layanan kesehatan harus menjelaskan alasan penƟngnya melakukan pemeriksaan pada pasien dan juga penƟngnya penanganan klinis yang tepat. Pasien tetap mempunyai hak untuk menolak dilakukan pemeriksaan dengan menandatangani surat penolakan.31, 32 Pemeriksaan awal untuk status HIV dilakukan dengan pemeriksaan serologis (ELISA dan/atau rapid test) untuk ĂŶƟďŽdi HIV. Setelah hasil didapatkan, dilakukan konseling post test untuk mengurangi perilaku yang berisiko, tanpa melihat hasil pemeriksaan HIV yang posiƟf ataupun negaƟf.32 Pemeriksaan klinis selanjutnya pada pasien yang terinfeksi HIV dibutuhkan untuk mengembangkan strategi penatalaksanaan klinis. Hal ini termasuk: Memeriksa gejala gejala yang ada Pemeriksaan Įsik Pemeriksaan status mental untuk persiapan tata laksana. Pemeriksaan laboratorium ruƟn. Penghitungan limfosit CD4 untuk menentukan keparahan dari imunodeĮsiensi. Pemeriksaan viral load jika tersedia Pemeriksaan kehamilan jika ada indikasi Pemeriksaan untuk komorbid seperƟ TB, ŚĞƉĂƟƟs B, dan kelainan psikiatri. Pemeriksaan lainnya sesuai indikasi32 Pemeriksaan Infeksi HIV A. Tes ŶƟďŽĚi HIV Tes anƟbodi terhadap infeksi HIV pada prinsipnya dilakukan dengan mendeteksi anƟbodi IgG terhadap anƟgen HIV di dalam serum. Uji ini dapat dilakukan melalui metode standar dan metode rapid tesƟŶg.33 1. Tes standar HIV Tes standar anƟďŽdi HIV adalah uji ĞŶnjLJŵĞ liŶked iŵŵƵŶŽƐŽƌďĞŶƚ assaLJ (ELISA), di mana anƟbodi HIV dideteksi menggunakan konjugat enzim. Tes ŬŽŶĮƌŵĂƐi yang juga umum dilakukan adalah uji Western Blot, bertujuan untuk mendeteksi anƟgen HIV gp120/160 dan p24 atau gp41 dengan metode elektroforesis gel. Hasil tes dapat berupa poƐŝƟĨ, negaƟf atau indeterminat.Kriteria tes posiƟf adalah uji ELISA yang posiƟf secara berulang (umumnya Ɵga kali) diikuƟ dengan uji Western Blot posŝƟĨ.33 35
4
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Akurasi tes anƟbodi HIV dapat dikatakan sangat ƟŶggi.Uji serologi ruƟn dengan ELISA dan Western Blot mencapai sensiƟvitas 99,3% dan spesiĮsitas 99,7%. Hasil negaƟf ataupun posiƟf palsu dikaitkan dengan kriteria diagnosƟŬ yang berlainan, gambaran pita yang sulit diinterpretasi pada Western Blot dan human error.35 Pada pasien dengan infeksi akut HIV, penyebab tersering negaƟve palsu tes serologi HIV adalah akibat adanya window period (periode jendela), yaitu jeda waktu antara transmisi virus masuk ke dalam tubuh dan terjadinya serokonversi. Seiring berkembangnya uji serologi hingga yang digunakan saat ini (generasi keempat), window period pada infeksi akut diperkirakan 3 12 minggu.34, 36 Hasil indeterminat terjadi apabila hasil ELISA posiƟf namun hanya ditemukan satu pita pada uji Western Blot (umumnya p24). Studi pada darah donor di AS didapatkan frekuensi indeterminat HIV sebanyak 1:5.000. Penyebab indeterminat antara lain serokonversi parsial pada infeksi akut HIV, infeksi lanjut dengan penurunan Ɵter anƟbodi p24, atau infeksi HIV 2. Penelusuran lengkap risiko transmisi pasien penƟng untuk dilakukan apabila hasil tes indeterminat.37 2. Rapid Test HIV Rapid test kini lebih dipilih untuk skrining HIV pada populasi luas. Pada tahun 2003, CDC mengimplementasikan rapid ƚĞƐƟŶŐ HIV untuk pertama kali dan menyebar kit tes ke seluruh penjuru AS. Keuntungan rapid test dibandingkan tes standar adalah:38, 39 1. Biaya tes lebih murah, 2. Hasil tes dapat keluar dengan cepat (5 40 menit) dan dapat langsung diinterpretasi, dan 3. Konseling HIV atau rujuk ke instalasi pusat dapat segera dilakukan setelah tes. Pada infeksi akut, rapid test kalah sensiƟf dengan uji serologi standar. Sebanyak 16:14.000 spesimen ditemukan negaƟf pada rapid test namun posiƟf pada ELISA.38 Ada banyak reagen yang tersedia untuk rapid test HIV, masing masing dengan spesiĮkasi yang berbeda beda; beberapa yang umum dipakai adalah OraQuick™, Uni Gold Recombigen HIV test dan MulƟspot HIV 1/HIV 2. Spesimen dapat berupa darah, plasma, atau saliva. SensiƟvitas dan spesiĮƐŝtas rapid test juga sangat baik walaupun hasil rapid test masih dianggap pemeriksaan awal dan perlu dikonĮrmasi dengan ELISA. Hasil negaƟf pada rapid test relaƟf lebih meyakinkan dan Ɵdak perlu dikonĮrmasi dengan uji lain.39, 40 B. Hitung Sel CD4 Hitung sel CD4 merupakan salah satu pemeriksaan utama dalam penanganan pasien HIV. Tujuan pemeriksaan hitung sel CD4 antara lain:41 43 Prediktor progresi penyakit akibat HIV, serta penentuan derajat penyakit. Waktu dimulainya terapi anƟretroviral (Gambar 2.1). Waktu dimulainya terapi proĮlaksis infeksi oportunisƟk (IO). Indikator keberhasilan terapi anƟretroviral/ ARV.
5
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Gambar 2.1. Algoritma pemberian ARV A berdasarrkan penilaian n klinis dan hittung sel CD4 berdasarkan b p panduan WHO W 2013.43
mlah sel T CD4+ C lebih banyak b dibaandingkan seel T CD8+ pada p individu imunokom mpeten. Jum Jumlah n normal sel CD4 C bervariaasi antar individu, yaitu 500 5 1400 seel/ʅL. Variabilitas yang tinggi ini dikarenaakan jumlah sel T CD4++ bergantung pada ƟŐĂ hal: jumlah h total leuko osit, persenttase sel limfosit, dan persentase limfositt dengan resseptor CD4. KeƟga variabel ini bisa bervariasi b paada Ɵap 4 44 42, individu,, dengan ataupun tanpa infeksi HIV. Pad da infeksi kro onik HIV, terjadi deplesi sel s T CD4+ dii gut associated lymphoid d Ɵssue (GALLT) yang diikuƟ p penurunan CD4 C di sirku ulasi darah perifer. Jum mlah sel T CD4+ C akan perlahan p berkurang sedangkan sel T CD8 8+ naik, sehin ngga rasio CD D4:CD8 menjjadi <1. HO merekom mendasikan pemeriksaan p hitung sel CD4 C dilakukaan untuk meenentukan mulainya m WH diberikan proĮůaksiss IO dan obaat ARV.Jumlaah CD4 juga dapat dipakkai untuk monitor keberhasilan terapi, n namun CD4 sendiri s Ɵdakk cukup dan perlu dipasttikan dengan n HIV RNA bila b tersedia.. Inisiasi ARV dilaakukan bila CD4 C <500 seel/ʅL (<350 sel/ʅL sebaggai prioritas) atau stadiu um klinis 3 4 tanpa tergantu ung jumlah CD4. Pada keadaan CD D4 <200 sel//ʅL, risiko in nfeksi oporttunisƟk lebih h Ɵnggi sehinggaa perlu dibeerikan prŽĮlaksis kotrim moksazol. Un ntuk pemantauan, jumlah CD4 disaarankan diulang sseƟap 3 6 bu ulan.43 Pad da koinfeksi HIV dan hepĂƟƟs C, terapi t hepattiƟs C dianjjurkan padaa CD4 <350 sel/ʅL. EfekƟvitas terapi he epaƟƟƐ C leebih kecil paada CD4 leb bih rendah, namun dapaat diperƟŵb bangkan
6
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
mengurangi risiko progreesi menuju gagal g haƟ serta risiko hepatotoksisitaas akibat ARV. Terapi untuk m VHC paada koinfeksi HIV/VHC dengan d CD4 >500 sel/ʅL dapat mene ekan kadar SGPT S ke nilai normal, eradikaasi RNA VHC C hingga 50 0%, menguraangi risiko fibrosis f sebaanyak 60% dan d risiko mortalitas m 45, 46 sebanyyak 16%.
C. Tes H Hitung RNA HIV/ Viral Lo oad Ku uanƟĮkasi RN NA HIV atau sering diseb but viral load d adalah pem meriksaan yang umum dilakukan d dalam manajemen n HIV AIDS.Studi menunjukkan Ɵteer RNA HIV V merupakan n prediktor progresi u AIDS dan mortalitas yang y indepeenden dari jumlah j CD4 4. RNA HIV dapat dipakkai untuk menuju menentukan inisiassi ARV dan monitoring respons terrapi, terutam ma untuk peerganƟan AR RV ke lini kedua. Pada kondisi tertentu (transmisi ( peerinatal, infeeksi akut), RNA R HIV jugaa dapat men negakkan diagnossis HIV lebih pasƟ diband dingkan uji seerologi.41, 43, 47
Gambaar 2.2. Algoritm ma pemberian n ARV berdasaarkan penilaiaan klinis dan hitung h sel CD4 4 berdasarkan panduan 4 43 WHO 2013.
7
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Pemeriksaan RNA HIV dilaporkan dalam Ɵter kopi/mL atau konversi logaritmiknya. Titer RNA HIV akan meningkat dengan pesat pada infeksi HIV akut, mencapai >100.000 kopi/mL (>5 log kopi/mL). Secara klinis, perubahan dalam Ɵter RNA HIV dianggap signiĮkan apabila peningkatan sebesar Ɵga kali lipat atau melebihi 0,5 log kopi. Panduan terbaru WHO menekankan penƟŶgnya akses pemeriksaan RNA HIV yang lebih terjangkau untuk membantu penegakan diagnosis HIV, pemantauan terapi serta penentuan kegagalan terapi secara virologis.48, 49 Titer RNA HIV berkorelasi dengan jumlah sel CD4, namun korelasi ini cenderung lemah. Semakin Ɵnggi CD4 maka semakin kecil Ɵƚer RNA HIV. Untuk CD4 berapapun, Ɵƚer RNA HIV dapat bervariasi hingga 3 log kopi atau 1000 kali lipat. Misalnya, pasien dengan CD4 200 sel/ʅL dapat menunjukkan RNA HIV sebesar 100 hingga 100.000 kopi/mL. Karena itu, Ɵter RNA HIV bukan dipakai untuk mengganƟkan peran CD4, tapi keduanya digunakan secara komplementer untuk pemantauan terapi. Hitung sel CD4 umumnya lebih prakƟs untuk menentukan inisiasi terapi ARV dan ƉƌŽĮůĂŬƐŝƐ IO, dan tentunya lebih terjangkau dibandingkan uji RNA HIV yang harganya dapat mencapai USD 80 240 per kali tes.49 51 D. Darah Perifer Lengkap, SGOT/SGPT, Ureum, Urinalisis, Gula Darah Puasa (GDP), ProĮl Lipid Pemeriksaan darah perifer lengkap pada HIV dapat bertujuan untuk membantu mendeteksi adanya kondisi komorbid atau efek samping dari terapi ARV. Darah perifer lengkap harus diperiksa saat baseline dan pada follow up seƟap 3 6 bulan sekali (Tabel 2.1). Pemantauan lebih peŶƟŶg pada penggunaan zidovudin yang dapat menyebabkan supresi sumsum tulang dalam 6 bulan pertama terapi. Anemia terkait zidovudin merupakan anemia normosiƟk normokrom dan secara klinis dapat menjadi berat atau gravis.43, 52 Tabel 2.1. Rekomendasi jadwal pemeriksaan laboratorium selama terapi ARV berdasarkan panduan panel Department of Human Health and Services (HHS US, AIDSinfo) tahun 2013.52 Kontrol pertama
Kontrol Inisiasi ARV Kontrol 2 8 SeƟĂp 3 6 sebelum minggu bulan inisiasi ARV setelah ARV
SeƟĂp 6 bulan
SeƟap 12 bulan
SGOT, SGPT, bilirubin DPL, hitung jenis
a
ProĮl lipid
b
Glukosa puasa Ureum, kreaƟnin, urinalisis a b c d e
8
: Jika AZT : Ulang seƟĂp 4 8 minggu bila ARV mempengaruhi lipid : Jika abnormal pada cek terakhir : Jika normal pada cek terakhir : Jika TDF
c c
d e
d
Ada indikasi klinis
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Fungsi ginjal berdasarkan ureum dan kreaƟnin darah perlu dimonitor pada pasien yang mendapatkan tenofovir untuk mengetahui adanya nefrotoksisitas. Urinalisis juga perlu pada pemberian indinavir karena adanya risiko nefroliƟasis. Pemantauan yang lebih ketat diperlukan pada kondisi kondisi tertentu misalnya pemberian nevirapin; pemeriksaan disarankan pada baseline, 2 minggu, 4 minggu, 8 minggu, 12 minggu, dan kemudian seƟap 3 bulan. Pada pasien dengan sindroma metabolik, prŽĮl lipid dan glukosa darah dimonitor saat baseline, 3 bulan, 6 bulan dan seterusnya seƟap tahun.43, 52, 53 Pada koinfeksi HIV dan hepaƟƟs C, skrining laboratorium harus mencakup hal hal berikut: RNA VHC, genoƟp VHC, bilirubin, alkalin fosfatase, darah perifer lengkap, PT (Prothrombin Time), albumin, glukosa darah sewaktu, kreaƟŶin, fungsi Ɵroid (Thyroid sƟmulaƟng hormone (TSH), free thyroxine (Ō4), Triiodothyronine (T3)), CD4 absolut dan persen, RNA HIV, dan tes kehamilan (pada wanita). Gejala klinis hepaƟƟs dan kadar aminotransferase harus dimonitor untuk mengetahui risiko perburukan atau hepatotoksisitas akibat nevirapin atau OAT (Obat AnƟ Tuberkulosis). Pada hepaƟƟs C kronik, aminotransferase secara persisten meningkat dengan pola SGPT > SGOT, walaupun kadar aminotransferase normal Ɵdak menghapuskan kemungkinan adanya penyakit liver. Pola SGOT>SGPT dapat menandakan konsumsi alkohol atau sirosis terutama bila trombosit rendah, PT (Prothrombin Time) memanjang, dan albumin rendah. ProĮů lipid pada baseline penƟng untuk diketahui karena interferon dapat menyebabkan eksaserbasi hipertrigliseridemia. Kadar glukosa puasa juga perlu karena resistensi insulin dikaitkan dengan respons terapi VHC yang lebih rendah. Selain itu, pemeriksaan kadar asam urat juga perlu dilakukan secara berkala karena biasanya terjadi peningkatan kadar asam urat pada pemberian pengobatan.54 E. Koinfeksi lain SeƟap pasien dengan koinfeksi HIV dan hepaƟƟs C harus diskrining adanya pajanan lama hepaƟƟs B (HBsAg, AnƟ HBs) dan hepaƟƟs A (IgG anƟbodi hepaƟƟs A) ;ĂŶƟ HAV total). Bila Ɵdak ditemukan adanya infeksi lama maka dapat diberikan vaksin terhadap virus hepaƟƟs B (VHB)(jadwal imunisasi) dan virus heƉĂƟƟs A (VHA).52 II.1.b. Penilaian Risiko VHC dan Diagnosis HepaƟƟs C pada Pasien yang Terinfeksi HIV Seluruh pasien dengan HIV AIDS dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan anƟ VHC.24 Pemeriksaan Infeksi Virus ,ĞƉĂƟƟƐ C A. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Status VHC Terdapat 2 jenis pemeriksaan yang digunakan dalam diagnosis dan tata laksana infeksi virus hepaƟƟs C, yaitu pemeriksaan serologi dan pemeriksaan molekuler. Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya anƟďodi terhadap virus hepaƟƟs C (anƟ VHC). Pemeriksaan ini digunakan untuk penapisan (Skrining) infeksi virus hepaƟƟs C. Nilai negaƟf palsu bisa didapatkan pada pasien dengan HIV, di mana terjadi imunosupresi.24
9
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Pemeriksaan molekuler merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya RNA virus hepa s C di dalam darah. Pemeriksaan ini dapat bersifat kualita maupun kuan ta f. Pemeriksaan as yang lebih namun pemeriksaan kuan ta f menggunakan kualita f memiliki sensi teknologi Real-Time Polymerase Chain Reac on (RT-PCR) dan transcrip on-mediated ampliĮca n (TMA), dengan kemampuan mendeteksi virus hingga 10-50 IU/mL, sehingga pemeriksaan kualita f sudah mulai di nggalkan. Jumlah virus dalam pemeriksaan kuan ta f dihitung dengan satuan IU/mL. Selain pemeriksaan an bodi VHC dan RNA VHC, pemeriksaan geno p virus hepa s C merupakan pemeriksaan yang pen ng untuk menentukan langka tatalaksana pada pasien koinfeksi 1-6. Penyebaran HIV-VHC. Geno p virus hepa s C terdiri atas 6 geno p mayor, yaitu geno geno p pada koinfeksi HIV-VHC dan monoinfeksi VHC dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Geno p VHC pada Koinfeksi HIV-VHC dan Monoinfeksi VHC32 Geno p 1
Geno p 2
3
Geno p 4
Monoinfeksi (%)
65
12
19
3
1
Koinfeksi (%)
60
5
26
8
1
Lain
Infeksi dengan geno p VHC lebih dari satu banyak terlihat pada pasien koinfeksi HIV-VHC, khususnya pada penasun dan pasien hemoĮlia. Geno p VHC diketahui memiliki peran sebagai prediktor respons virologis menetap (Sustained Virological Response/SVR), baik pada pasien dengan monoinfeksi VHC maupun koinfeksi HIV-VHC. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh (AIDS Clinical selain ge 1 dan 4 memiliki ngkat SVR yang nggi (73%). Trial Group) ACTG, SVR pada ge kat SVR yang rendah untuk geno p 1 dan 4, Studi lain yang dilakukan Barcelona menunjukkan 31 yaitu 38%. Diagnosis Infeksi VHC Akut dan Kronik pada pasien HIV Pasien dengan infeksi akut VHC pada umumnya membutuhkan waktu 8-12 minggu untuk membentuk an bodi terhadap VHC, sehingga pemeriksaan an odi VHC seringkali memberikan hasil nega . Pemeriksaan RNA VHC dapat dilakukan 2 minggu setelah pajanan. Interpretasi pemeriksaan an odi VHC dan RNA VHC dapat dilihat pada tabel 2.3.24 Tabel 2.3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan VHC
di VHC dan RNA VHC
RNA VHC
Interpretasi
Posi f
Posi f
Infeksi akut atau kronik, tergantung gambaran klinis dan riwayat penyakit yang terdokumentasi
Posi f
Nega f
Resolusi VHC atau dalam kondisi infeksi VHC akut dengan jumlah virus yang sangat sedikit di dalam darah
Nega f
Posi f
Awal infeksi akut VHC, VHC kronik dalam kondisi imunosupresi, posi f palsu (dari apa)
Nega f
Nega f
Tidak adanya infeksi virus hepa
10
sC
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Pada pasien dengan hasil pemeriksaan ĂŶƟ VHC yang poƐŝƟĨ dan RNA VHC neŐĂƟĨ͕ pemeriksaan RNA VHC dilakukan 4 6 bulan keŵƵĚŝĂŶ͕ untuk menegakkan status inĨeksi virus hepaƟƟs C.24 AnƟ VHC juga dapat menunjukkan nilai negaƟĨ pada keadaan imunosupresi͕ sehingga pemeriksaan RNA VHC juga dilakukan pada abnormalitas pemeriksaan Ĩungsi haƟ atau terdapat kecurigaan terhadap penyakit haƟ.31͕ 32 Persistensi RNA VHC lebih dari 6 bulan setelah inĨeksi menjadi tanda inĨeksi virus hepaƟƟƐ C kronis.32͕ 55 B. Biopsi HaƟ Biopsi haƟ merupakan pemeriksaan yang sangat peŶƟŶg dalam diagnosis dan tata laksana pasien dengan inĨeksi virus hepaƟƟs C. Biopsi haƟ juga berperan ƉĞŶƟŶŐ dalam tata laksana inĨeksi virus hepaƟƟƐ C pada koinĨeksi HIV VHC. Pada koŝŶĨĞŬƐŝ HIV VHC͕ biopsi diindikasikan pada pasien genoƟp 1 atau 4 dengan muatan virus VHC yang Ɵnggi (> 8 x 105 IU/mL) dan komorďŝĚ͕ yaitu konsumsi alkohol yang berlebihan͕ koinĨeksi dengan VHB atau virus hepaƟƟs D(VHͿ͕ dan kecurigaan hepatotoksisitas). Biopsi Ɵdak diperlukan pada genoƟƉ 2 dan 3͕ genoƟp 1 dan 4 dengan muatan virus VHC rendah ( 8 x 105 IU/mL) maupun tanda klinis adanya sirosis haƟ. Melalui pemeriksaan biopsi͕ derajat nekroinŇamasi yang terjadi pada sel haƟ dan kekakuan haƟ dapat diukur. Terdapat beberapa sistem skoring yang digunakan pada pemeriksaan biopsi haƟ͕ antara lain skor METAVIR dan ISHAK (tabel 2.4).24 Pemeriksaan biopsi haƟ memiliki tujuan sebagai berikut: a. memberi inĨormasi mengenai derajat kerusakan sel haƟ b. menentukan waktu dimulainya terapi anƟvirus c. menentukan derajat Įbrosis atau sirosis sehingga turut berperan dalam menentukan waktu dimulainya surveilans karsinoma hepatoselular (KHS) Biopsi haƟ menjadi baku emas untuk menentukan derajat Įbrosis haƟ͕ namun ƟŶĚĂŬĂn ini merupakan Ɵndakan invasŝĨ. Selain itu͕ Ɵndakan ini juga memiliki beberapa kelemahan͕ seperƟ kemungkinan adanya sampling error pada pengambilan jaringan͕ dan perbedaan interpretasi antara ahli patologi anatomi satu dengan lainnya dalam satu pemeriksaan jaringan. Pemeriksaan jaringan haƟ menggunakan biopsi haƟ juga sulit digunakan untuk pemantauan keberhasilan terapi. Oleh karena hal ƚĞƌƐĞďƵƚ͕ dikembangkan metode non invasiĨ untuk menilai derajat kekakuan haƟ͕ seperƟ elastograĮ ƚƌĂŶƐŝĞŶ͕ acousƟc ƌĂĚŝĂƟŽŶ force impulse (ARFI)͕ skor APRI dan lain lain. Akan tetapi metode ini belum dapat mengganƟkan biopsi haƟ sepenuhnya.24 Walaupun demikian͕ elastograĮ transien (ET) banyak digunakan dalam diagnosis dan pemantauan derajat Įbrosis haƟ pada pasien hepaƟƟs B maupun C karena memiliki sensiƟvitas͕ spesiĮƐŝtas͕ maupun Area Under the Curve (AUC) yang cukup baik. Selain itu͕ pemeriksaan ini bersiĨat non invasiĨ dan Ɵdak memerlukan waktu yang lama͕ sehingga lebih mudah digunakan untuk memantau derajat Įďrosis haƟ pada pasien ŚĞƉĂƟƟs B maupun C yang mendapatkan tata laksana anƟvirus. ET bekerja dengan menggunakan prinsip ultrasonograĮ untuk mengukur kekakuan haƟ.56 Probe yang digunakan pada ET bekerja memancarkan getaran pada amplitudo menengah dan Ĩrekuensi rendah (50 Hz)͕ menghasilkan shear wave elasƟs yang bergerak menembus jaringan di bawah probe.56͕ 57 Shear wave tersebut diikuƟ dan diukur kecepatannya. 57 Semakin kaku jaringan haƟ͕ shear wave akan bergerak semakin cepat.56͕ 57 Pemeriksaan ET dilakukan pada regio kanan
11
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
hepar melalui ruang interkostal.56 Pasien berbaring dalam posisi terlentang dengan lengan kanan beradadalamabduksimaksimal.56Pemeriksaandilakukansebanyak10kali,kemudiannilaimedian dari10kalipemeriksaanmenggambarkanelastisitashati.56Rasiokeberhasilandihitungberdasarkan perhitunganvalidibagiolehtotalpemeriksaan.Rasiokeberhasilanyangdianggapdapatdipercaya adalah di atas 60%. Hasil diperoleh dalam satuan kilopascals (kPa). Nilai lain yang diperhatikan adalah interquartile range (IQR), yang menggambarkan variabilitas intrinsik dari ET, dengan nilai <30%medianmenggambarkanpemeriksaanyangsangatbaik.56ETmemilikiareapemeriksaanyang terbatas/region of interest (ROI), yaitu 25Ͳ65 mm dari permukaan. Jaringan parenkim hati yang sehatmemilikinilai2,5Ͳ5kPa. Pada hepatitis C, nilai AUC berkisar 0,77Ͳ0,90, dengan nilai ambang batas 6,2Ͳ8,7 kPa untuk fibrosis yang signifikan (Fш2) dan nilai AUROC berkisar 0,90Ͳ0,97 dengan nilai ambang batas 9,6Ͳ 14,8kPauntuk sirosis hati.56 Pada suatu studi di Korea Selatan nilai ambangbatas untuk fibrosis yangsignifikanadalah6,2kPadansirosispada11kPa,dimanahasilinilebihakuratdibandingkat parameter noninvasif lainnya,sepertiaminotransferase(AST)ͲtoͲplatelet ratio index(APRI).56 Dua studi prospektif yang dilakukan oleh Vergniol et al dan Ogawa et al menunjukkan pasien dengan hepatitis C kronik yang diterapi dengan kombinasi pegylated interferon dan ribavirin. Sustained VirologicalResponse(SVR)yangpositifmemilikinilaiETyanglebihrendahdibandingkanpadaawal terapi.PasiendenganSVRnegatifnamunmengalamiperubahannilailaboratoriumyanglebihbaik padaakhirterapijugamenghasilkannilaiETyanglebihrendah. Studi yang dilakukan oleh Castera et al. membandingkan ET dengan moda diagnostik nonͲ invasiflainnya(FibrotestdanAPRI)padapasienkoinfeksiHIVͲVHC,denganbiopsihatisebagaibaku emas.Penelitiandilakukansecaramultisenterterhadap116pasienkoinfeksiHIVͲVHC.Ujidiagnostik dilakukan untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, dan AUC pada derajat fibrosis Fш2 dan F4. Hasil penelitianmenunjukkan,ETmemilikikemampuandiagnostikyangbaikpadakeduaderajatfibrosis. PadaFш2,ETmemilikinilaiAUC=0,87,sementaranilai0,92didapatkanuntukF=4.Studilainyang dilakukan lebih awal terhadap kemampuan ET dalam menilai derajat fibrosis hati pada pasien koinfeksi HIVͲVHC dilakukan oleh de Ledinghen, et al. terhadap 72 pasien. Hasil penelitian menunjukkan hasil serupa, di mana nilai AUC untuk Fш2 adalah 0,72 dan F=4 adalah 0,97. Hasil beberapa penelitian digabungkan dan disusun dalam sebuah scoring card¸berisikan rentang nilai kPauntuktiapderajatfibrosispadaberbagaietiologi.Scoringcarddapatdilihatpadagambar2.3. Selain pemeriksaan di atas, diperlukan pemeriksaan lain untuk menilai progresivitas kerusakan hati. Diperlukan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang menyeluruh untuk menilai ada atau tidaknya sirosis, selain pemeriksaan biopsi. Pemeriksaan laboratorium meliputipemeriksaanenzimtransaminase,gammaglutamyltranspeptidase,bilirubin,albumin dan waktu protrombin. Penghitungan skor Child Pugh digunakan untuk menilai derajat keparahan sirosis hati dan memperkirakan prognosis pasien dengan penyakit hati kronik (tabel 2.5). Pasien dengan skor Child Pugh B memiliki kesintasan 80% dalam 5 tahun, sementarapasiendenganskorChildPughAmemilikikesintasanyanglebihbaik,yaitu90% dalam5tahun.PasiendenganskorChildPughCmemilikiangkakesintasanyanglebihburuk dibandingkanduaskorlainnya.Selainpemeriksaanfisikdanlaboratorium,
12
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Gambaar2.3.Scoring gcardpenentu uanderajatkeekakuanhatimenggunakan nelastografitransienpadaberbagai etio ologipenyakithati58 Tabel2.4.SkorAktivitassdanFibrosis KlaasifikasiMETAV VIR:skoringakktivitasdanfibrosis
Skoraktivvitas
Nekkrosisparcellarr
Tidakadaa(0) Minimal(1) Sedang(2) Berat(3 3)
Nekrosisslobular Tidakad da(0) A0 0 A1 1 A2 2 A3 3
A0:tidaakadaaktivitaashistologis A1:aktivitasminimal
Sedan ng(1) A1 A1 A2 A3
Berat((2) A2 A A2 A A3 A A3 A
A2:aktivitassedang A3:aktivitasberat
Skorfibrosis(F) F0:tiidakadafibrosiisportal F1:fibrosisstellarportaltanpasepta portaldenganb beberapaseptaa F2:Fibrosisp F F3:terdapatba anyakseptanam munbukansiro osis F4:sirosis
KlasifikasiISHAK:skoringfibrosis F0:tiidakadafibrosiisportal F1:fibrosisspadabeberap paareaportal F2:fibrosisp padahampirsem muaareaportaal F3:ffibrosispadahaampirsemuaareaportalkadaangͲkadangdiseertaiselyangneekrotik F4 4:fibrosispadaahampirsemuaaareaportaldaanditandaiden nganselͲselnekkrotik F5:siirosisinkomplitt(selͲselnekrottikdengankadaangͲkadangterd dapatbeberapaanodul) F6:sirosis
13
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
diperlukan pula pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat tandaͲtanda adanya sirosis hati, asites, maupunadanyanodulpadahati. Tabel2.5.SkorChildͲTurcotteͲPugh KlasifikasiChildͲTurcotteͲPugh
ParameterPoin 1
2
3
1Ͳ2mg/dL
2Ͳ3mg/dL
>3mg/dL
Albumin
>3,5g/dl
2,8Ͳ3,5g/dl
<2,8g/dl
Ascites
Tidakada
Sedang
Berat
Ensefalopati(derajat)
Tidakada
Sedang(stageIͲII)
Berat(stageIIIͲIV)
1Ͳ4detik memanjang <1,7
4Ͳ6detik memanjang 1,7Ͳ2,3
>6detik memanjang >2,3
1Ͳ4mg/dL
4Ͳ10mg/dL
>10mg/dL
Bilirubin
Prothrombintime AtauINR Bilirubin(padakasussirosis bilierprimer)
SirosisChildPughA=5–6poin SirosisChildPughB=7–9poin SirosisChildPughC=10–15poin Sirosishatiterkompensasi=sirosishatiChildPughAdanB Sirosishatiterdekompensasi=sirosishatiChildPughC
C.EvaluasiKomorbid GangguanPsikiatri Pasien dengan gangguan psikiatri berupa depresi sedang hingga berat perlu menunda tata laksana untuk virus hepatitis C. Penggunaan interferon dan ribavirin pada infeksi virus hepatitis C dapatmemicudepresi,dimanaterjadigangguanmood,gangguancemas,maupungangguanfungsi kognitif. Gangguan ini dijumpai lebih tinggi pada pasien yang memiliki gangguan depresi sebelumnya (21Ͳ58%).24 Pada pasien dengan penyakit kejiwaan ringan, tata laksana terkait gangguankejiwaandapatdilakukanbersamaandengantatalaksanauntukvirushepatitisC.32 KonsumsiAlkohol Penilaianterhadapkonsumsialkoholpentinguntukdievaluasi.Konsumsialkohollebihdari50 g/hari berkontribusi terhadap terjadinya fibrosis di hepar. Konsumsi ini sebanding dengan 5 kali atau lebih dari konsumsi regular per hari. Interaksi konsumsi alkohol ш80 ml/hari dan infeksi HBV danVHCkronikmemperberatderajatkerusakanhati,sehinggakonsumsialkoholdipertimbangkan sebagaikontraindikasirelatifuntukterapiberbasisIFN,terkaitdengankepatuhanberobat.32Secara psikologis, dukungan sosial dan medis harus dilakukan untuk mengurangi konsumsi alkohol ч10 g/hariataumenghentikankonsumsialkoholsamasekali.32 II.2.TataLaksanaPasienKoinfeksiHepatitisCdanHIV Kunci dalam tata laksana pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV adalah menentukan inisiasi terapi. Gangguan fungsi hati menjadi salah satu penyebab penting peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV, khususnya setelah munculnya ARV sebagai
14
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
terapi anti HIV.59 Pada sebuah analisis yang dilakukan terhadap 23.441 pasien dengan ARV untuk melihatefeksampingpengobatan,sebanyak50%pasienmeninggalkarenagagalhepar,meskipun telahmendapatkanterapiantiHIVyangadekuat.59 Standar pengobatan untuk hepatitis C kronik adalah pemberian pegylated interferon dan ribavirin.24 Kombinasi ini meningkatkan kesintasan selama 8 tahun dan respons yang lebih baik secarasignifikandibandingkanterapiinterferonstandar.2Meskipundemikian,pencapaianrespons virologis menetap pada pasien dengan koinfeksi hepatitis C dan HIV menurun sebesar 10Ͳ20% dibandingkanpasienmonoinfeksivirushepatitisC.2DurasipemberianterapiuntukvirushepatitisC pada koinfeksi virus hepatitis C dan HIV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotip yang menginfeksi.2 Adanya regimen obat baru untuk terapi hepatitis C, yaitu VHC NS3/4A protease inhibitor(PI)(boceprevirdantelaprevir)meningkatkanpersentasekeberhasilanterapi.Akantetapi, penggunaan obat baru ini pada koinfeksi hepatitis C dan HIV masih dalam penelitian, dan harus mempertimbangkaninteraksinyadenganobatARVyangdigunakan. Sebanyak lebih dari 20 obat antiretrovirus yang terbagi dalam 6 kelas dapat menjadi pilihan kombinasi. Enam kelas tersebut adalah nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nonͲnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), protease inhibitors (PIs), fusion inhibitors (FIs), CCR5 antagonists, dan integrase strand transfer inhibitors (INSTIs). Secara umum, kombinasi pengobatan terdiri atas 2 NRTI dengan 1 NNRTI/ PI (didahului pemberian ritonavir)/ INSTI/CCR5antagonis. IsuutamadalampengobatanpasienkoinfeksiHIVͲVHCadalahinteraksiobatyangdiperkirakan dapat mengurangi efikasi pengobatan untuk salah satu pihak dan efek samping yang dapat ditimbulkan melalui interaksi obat. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan pemberian obat antivirusuntukvirushepatitisCtidakmengurangiefikasidariARV,berdasarkantiterjumlahvirus. Pemberian pegylated interferon dan ribavirin pada beberapa studi bahkan terbukti membantu menurunkanjumlahvirusRNAHIVsebesar1log.2 EfeksampingyangperludiperhatikanpadaterapiuntukkoinfeksiHIVͲVHCadalahpemberian ribavirinmeningkatkanfosforilasididanosin,sehinggakonsentrasiobatmeningkat.2Sebanyak16% pasiendilaporkanmengalamitoksisitasmitokondriadalambentukasidosislaktatataupankreatitis pada studi RIBAVIC.2 Selain itu, dekompensasi hati juga dilaporkan terjadi pada studi APRICOT.2 Karena interaksi di atas, pada saatmemulaiterapiuntukVHC, diperlukanpenggantian terapidari didanosin menjadi obat antivirus lainnya. Selain itu ribavirin bersama dengan zidovudin dapat menyebabkan eksaserbasi anemia yang dipicu oleh ribavirin, sehingga penggunaan keduanya bersamaan dihindari.24, 52 Pengawasan ketat wajib dilakukan pada pasien dengan sirosis.2 Adanya sirosis dekompensata menjadi tanda untuk menghentikan terapi VHC. Pasien dengan sirosis hati dekompensata (Child Pugh Score B atau C) tidak menjadi indikasi terapi pegylated interferon dan ribavirin, dan transplantasi hati dapat dipikirkan.24 Selain tanda sirosis, pengukuran laktat berkala jugaperludilakukanterkaitefeksamping.2 Terapi untuk HIV dimulai ketika hitung jumlah CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3.60, 61Namun,beberapastuditerbarumenyebutkanpenggunaanARVdapatdimulaitanpa melihathasilhitungjumlahCD4pada pasiendengankoinfeksiHIVdanVHC,denganadanyastudi yang menyatakan penggunaan ARV pada jumlah CD4 di atas 500 sel/mm3 menunjukkan aktivitas nekroinflamasi yang lebih perlahan pada jaringan hati.2, 60 Hal lain yang memengaruhi waktu
15
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
memulai terapi adalah adanya peneli an lain menunjukkan e kasi terapi VHC yang berkurang pada pasien dengan CD4 kurang dari 500 sel/mm3.2 Hal ini diperkirakan karena fungsi imun yang masih baik dan belum dimulainya ARV, sehingga mengurangi insidensi terjadinya hepatotoksisitas.2 Pada kondisi dimana terapi HIV dan VHC dimulai bersama-sama, dianjurkan penggunaan ARV terlebih dahulu, menggunakan regimen yang dak menyebabkan terjadinya hepatotoksik. Terapi VHC dimulai setelah 1-2 bulan setelah dimulainya terapi ARV. II.2.a. Inisiasi Terapi Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi terapi pada pasien koinfeksi HIV-VHC didasarkan pada hitung jumlah CD4 (gambar 2.4). Terapi antar geno p VHC dimulai dengan syarat yang berbeda pada koinfeksi HIV-VHC (gambar 2.5). Hitung Jumlah CD4
350 sel/mm3
Stabil
> 350 sel/mm3 Apabila stabil dan perbaikan
Tata laksana HIV Terlebih Dahulu
Antibodi VHC (+), RNA VHC (+)
Antibodi VHC (+), RNA VHC(-)
Terapi hepatitis C diindikasikan apabila pemeriksaan histologi hati menunjukkan derajat fibrosis F2
Monitoring ketat tiap 6 bulan (pemeriksaan klinis dan fungsi hati) Monitoring histologi hati tiap 3 tahun
Gambar 2.4. Inisiasi terapi VHC pada pasien koinfeksi HIV-VHC
Kondisi stabil dide nisikan sebagai teratasinya infeksi oportunis k, peningkatan nilai CD4, dan teraturnya penggunaan ARV Ge
2 atau 3
p 1 atau 4
RNA VHC rendah: 8 x 105 IU/mL < 5,9 log kopi/mL
RNA VHC
gi:
> 8 x 105 IU/mL > 5,9 log kopi/mL
Ribavirin 1000 - 1200 mg/hari Ribavirin 800 mg/hari
Pegylated interferon 2a dengan dosis180 ʅg satu kali seminggu, atau 1,5 ʅg/kgBB per minggu untuk pegylated interferon 2b
Gambar 2.5. Inisiasi terapi VHC antar
16
p pada koinfeksi HIV-VHC
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
II.2.a.1.KondisiyangTidakMembutuhkanTerapi Pasien yang tidak membutuhkan terapi untuk HIV maupun hepatitis C adalah pasien dengan karakteristiksebagaiberikut: x HitungCD4>350sel/mm3dantidakmemilikiindikasilainuntukterapiARV x AntibodiVHCpositif,tetapitidakadatandareplikasiRNAVHC Pasien yang tidak membutuhkan terapi tetap memerlukan monitoring yang ketat setiap 6 bulan (pemeriksaanklinisdanfungsihati)dansetiap3tahununtukmelihathistologilesihati. II.2.a.2.KondisiyangMembutuhkanTerapiHepatitisCsaja Pasien yang membutuhkan terapi hepatitis C saja pada koinfeksi HIVͲVHC adalah pasien dengankarakteristiksebagaiberikut: x HitungCD4>350sel/mm3dantidakmemilikiindikasilainuntukterapiARV x HepatitisCakutataukronik Terapidapatdimulailebihawalpadapasienkoinfeksiapabiladidapatikondisikondisidimana progresivitas penyakit hepar berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi ARV. TerapidapatdimulaitanpamelihatjumlahvirushepatitisCpadagenotip 2dan 3.Sementaraitu, terapiuntukgenotip1dapatdimulaipadakondisijumlahvirusч8x105IU/mLtanpamelihathasil pemeriksaan histologi atau > 8 x 105 IU/mL dan dengan derajat fibrosis F3ͲF4 sesuai klasifikasi Metavir. Pada genotip 4, tata laksana dilakukan pada jumlah virus > 8 x 105 IU/mL dan dengan derajatfibrosisF3ͲF4sesuaiklasifikasiMetavir.Pasiendengangenotip2atau3,jumlahvirusч8x 105 IU/mL, tidak ditemui sirosis, umur < 40 tahun, nilai ALT lebih dari 3 kali batas atas normal memilikikemungkinanyanglebihbaikuntukmencapaiSustainedVirologicalResponse(SVR). PadainfeksihepatitisCakut,terapidilakukanuntukmencegahinfeksivirusmenjadikronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik, RNA VHC tidakdapatdieliminasisecaraspontan.Terapiterpilihuntukkondisiiniadalahpegylatedinterferon selama 6 bulan. Pada infeksi hepatitis C kronik, terapi terpilih adalah kombinasi pegylated interferon (ɲ2a atau ɲ2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk pegylated interferon ɲ2a adalah 180 ђg satu kali seminggu, atau 1,5 ђg/kgBB per minggu untuk pegylated interferon ɲ2b. Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV berbedaͲbeda, tergantungkepadajenis genotip.Untukgenotip 1dan4,dosisyangdianjurkanadalah1000Ͳ1200 mg/hari, sementara untuk genotip 2 dan 3, dosis ribavirin yang digunakan adalah 800 mg. Durasi terapi untuk semua genotip adalah 48 minggu. Alur terapi dapat dilihat pada gambar 2.4. Akan tetapi, terapi dihentikan apabila pada minggu ke 12, hasil pemeriksaan RNA VHC kuantitatif menunjukkan penurunan kurang dari 2 log. Kecilnya penurunan jumlah RNA VHC merujuk pada angkakeberhasilanterapiyangkecil(1Ͳ2%),tidakbergantungkepadagenotip. II.2.a.3.KondisiyangMembutuhkanTerapiHIVAIDSsaja Pasien koinfeksi yang membutuhkan terapi HIV AIDS saja adalah pasien dengan kategori sebagaiberikut: x HitungCD4ч350sel/mm3disertaigejalaklinisataumuatanvirus>1x105kopi/ml,dan
17
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
x
Dijumpai antibodi VHC namun tidak ada replikasi RNA VHC, atau tata laksana VHC dikontraindikasikan.
InisiasiARVpadapasienkoinfeksiHIVͲVHCdilakukanmengikutirekomendasimonoinfeksiHIV yang berlaku saat ini, yaitu terapi dimulai pada saat jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3. PemberianARVpadaCD4diatas200sel/mm3dilakukanapabilapasienmenunjukkangejalaklinis atau muatan virus > 1 x 105 kopi/ml.62 Penelitian yang dilakukan oleh ART Cohort Collaboration (ARTͲCC) terhadap 45.691 pasien dari 18 studi kohort menunjukkan progresivitas menuju AIDS dan/atau kematian lebih tinggi ketika pemberian ARV menunggu hingga 251Ͳ350 sel/mm3 dibandingkan ARV diberikan pada jumlah sel CD4 351Ͳ450 sel/mm3. Akan tetapi ketika hanya kematian, mortalitas di antara kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan. Oleh karena itu terapiARV tetapdapatdipikirkanpadajumlahCD4 200 – 350 sel/mm3 bila terdapatjumlah virus lebihdari100.000kopi/ml,penurunandengancepatjumlahCD4,ataumunculnyatandadangejala klinis,meskipunhasilpenelitianmenunjukkanpenurunanangkamortalitasbelumjelas.60,62 Terapiumumdalamtata laksanaHIVAIDSadalah atas2NRTIdengan1NNRTI/PI (didahului pemberian ritonavir)/ INSTI/ CCR5 antagonis. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memulaiterapiARVantaralain: x Kondisikomorbid pasien (penyakit kardiovaskuler, ketergantungan, gangguanfungsi ginjal danhati,gangguanpsikiatri,atautuberkulosis) x Kemungkinanterjadinyaefeksamping x Interaksiobat x Kehamilan x Hasilpemeriksaanresistensiobat x MuatanvirusHIVawal x JeniskelamindannilaiCD4sebelummemulaiterapijikamenggunakannevirapin x Preferensipasiendankenyamananpasien Kombinasi 2 NRTI yang disarankan adalah tenofovir dan emtricitabin. Kombinasi lainnya, fumarat dan emtricitabin menunjukkan efektivitas yang lebih rendah dibandingkan kelompok kombinasi pertama. Akan tetapi tenofovir tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, tenofovir juga memicu penurunan densitas tulang. Kombinasi evafirenz dengan tenofovir dan emtricitabin merupakan kombinasi terbanyak yang diteliti. Regimen ini tersediadalamtabletdandapatdikonsumsi1kalisehari.Regimenlainyangdapatdigunakanadalah ritonavirͲboosted atazanavir + tenofovir disoproxil fumarat + emtricitabin, ritonavirͲboosted darunavir + tenofovir disoproxil fumarat + emtricitabin, atau raltegravir + tenofovir disoproxil fumarate+emtricitabin.Regimenlengkapdapatdilihatpadatabel2.6,sementaradosisARVuntuk dewasadanadolesensdapatdilihatpadatabel2.7.
18
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Tabel 2.6. Pilihan regimen anƟretroviral lini pertama untuk dewasa dan adolesens.43 ARV lini pertama untuk dewasa (termasuk wanita hamil dan menyusui, dan pasien koinfeksi TB dan HBV) Regimen yang disarankan
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Regimen alteƌŶĂƟf
AZT + 3TC + EFV (atau NVP)
Keadaan khusus
b
a
Regimen mengandung ABC, d4T dan boosted-PI
ARV, ĂŶƟretroviral; TDF, tenofovir; 3TC, lamivudin; FTC, emtricitabin; EFV, efavirenz; AZT, zidovudin; NVP, nevirapin; ABC, abacavir; d4T, stavudin; PI, protease inhibitor. a Penggunaan d4T sebagai alternaƟf lini pertama hendaknya dikurangi atau dipilih hanya apabila ARV lain ƟĚĂk dapat digunakan. Durasi terapi d4T hendaknya dibatasi sesingkat mungkin dan dengan pemantauan yang ketat. b Keadaan khusus berarƟ keadaan di mana regimen yang disarankan atau regimen alternaƟf ƟĚĂŬ dapat digunakan karena hal-hal berikut: risiko efek samping signiĮkan, interaksi antar obat, masalah pengambilan atau ketersediaan obat dan alasan lainnya. Tabel 2.7. Dosis obat ĂŶƟƌetroviral untuk dewasa dan adolesens. Nama generik
Dosis Nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NRTI)
Emtricitabin (FTC) Lamivudin (3TC) Stavudin (d4T) Zidovudin (AZT)
1 x 200 mg 2 x 150 mg atau 1 x 300 mg 2 x 30 mg 2 x 250-300 mg NucleoƟde reverse-transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tenofovir (TDF)
1 x 300 mg Non-nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI)
Efavirenz (EFV) Nevirapin (NVP)
1 x 600 mg 1 x 200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2 x 200 mg
Lopinavir + ritonavir (LPV/r)
2 x 400 mg + 100 mg
Protease inhibitor (PI)
Strategi terapi selain bergantung kepada jumlah CD4, juga bergantung kepada sudah dimulainya atau belum terapi ARV. Apabila pasien sudah terlebih dahulu memulai terapi ARV, memerlukan stabilisasi kondisi selama beberapa bulan sebelum terapi VHC dapat dimulai. Apabila terapi sudah dapat dimulai, ARV dapat diteruskan, namun penggunaan obat ddI, ZDV atau d4T perlu diubah sebelum memulai terapi ribavirin. Pemberian zidovudin bersama ribavirin meningkatkan risiko terjadinya anemia, sehingga zidovudin sebaiknya diganƟkan dengan NRTI lain pada saat pengobatan VHC dimulai.60, 62 Obat lain yang memiliki interaksi dengan ribavirin adalah didanosin (ddI), di mana pemberian keduanya bersamaan meningkatkan risiko asidosis laktat, pankreaƟƟs, dan sirosis dekompensata. Kombinasi ini dikontraindikasikan.60, 62 Selain itu pada pasien dengan sirosis haƟ, terapi dengan didanosin juga dikontraindikasikan. Pemberian ARV yang cukup aman pada terapi Peg-IFN dan ribavirin adalah evĂĮrenz. Akan tetapi pemberian evaĮrenz Ɵdak boleh bersamaan dengan Peg-IFN karena akan memicu gangguan psikiatri. Interupsi ARV dapat dilakukan apabila pasien menghendaki pengobatan terapi hepaƟƟs C dan nilai CD4 pasien Ɵdak pernah kurang dari 200 sel/mm3. Pada kondisi ini, regimen terapi dikembalikan kepada regimen awal pada akhir terapi VHC atau bila nilai CD4 kurang dari 200 sel/mm3.
19
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
ApabilapasienbelummemulaiterapiARV,terapiVHCdisesuaikandenganjumlahCD4.Apabila jumlahhitungCD4lebihdari350sel/mm3,terapiVHCdilakukanterlebihdahulu.32,61Apabilahitung CD4 ч350 sel/mm3, di mana terapi ARV diindikasikan, terapi ARV dimulai terlebih dahulu, baru kemudiandilanjutkandenganterapiVHCsetelahkondisistabil. PadapasienyangmenggunakankombinasiPegͲIFNdanribavirin,pemberianproteaseinhibitor (boceprevirdantelaprevir)harusdiperhatikan,karenadiperkirakanakanmenurunkankemungkinan terjadinya SVR positif pada akhir terapi infeksi virus hepatitis C. Penggunaan boceprevir dikontraindikasikan digunakan bersamaͲsama dengan ATV/r, DRV/r, LPV/r, maupun evafirenz, karena menurunkan konsentrasi ATV/r, DRV/r, LPV/r, dan evafirenz di dalam plasma, sehingga mengurangi efikasi obat.1, 52 Pemberian telaprevir juga tidak direkomendasikan pada penggunaan bersamaͲsama dengan DRV/r, FPV/R, maupun LPV/r untuk alasan yang sama. Penggunaan boceprevir tidak diperlukan apabila pasien memiliki genotip IL28B cc atau nilai RNA VHC yang rendah (kurang dari 4 x 105 IU/mL).52 Pasien dengan kedua faktor tersebut memiliki prognosis keberhasilan terapi VHC yang baik. Penggunaan boceprevir maupun telaprevir dapat direkomendasikanpadapasiendengansyarat: a. PasienbelummenggunakanARV b. Pasienmenggunakanraltegravir(RAL)+2NRTI c. PasienyangmenggunakanATV/rdan2NRTIhanyadapatmenggunakantelaprevirdengan dosisstandar d. Pasien yang menggunakan EFV dan 2 NRTI hanya dapat menggunakan telaprevir dengan dosisyangditingkatkansebesar1.125mgper7Ͳ9jam. II.2.b.MonitoringTerapi Monitoring terapi koinfeksi HIVͲVHC diperlukan untuk memantau keberhasilan terapi, efek sampingdaninteraksiobatyangdapatterjadi.Pemeriksaanyangdilakukanmencakuppemeriksaan darahrutin,CD4,ThyroidStimulatingHormone(TSH),RNAVHCkuantitatifmaupunkualitatif. II.2.b.1.ResponsVirologis Pemeriksaan untuk menilai respons virologis dilakukan menggunakan pemeriksaan RNA VHC kuantitatif pada awal terapi dan minggu ke 12 terapi. Pemeriksaan pada minggu ke 24 dan 48 setelahmemulaiterapidan24minggusetelahterapiselesaidilakukanmenggunakanpemeriksaaan RNAVHCkualitatif.Beberapaistilahyangperludipahamidalampenilaianresponsvirologisantara lain: a. RapidVirologicalResponse(RVR) Respons virologis cepat (RVR) merupakan hasil pemeriksaan RNA VHC pada minggu keͲ4 setelah awal terapi. RVR bernilai positif apabila RNA VHC tidak terdeteksi. RVR juga digunakanuntukmemprediksiresponsterapi. b. EarlyVirologicalResponse(EVR) Respons virologis awal (EVR) merupakan hasil pemeriksaan RNA VHC pada minggu ke 24 setelahawalterapi.EVRbernilaipositifapabilaterjadipenurunanjumlahviruslebihdari2 log dibandingkan hasil pemeriksaan RNA VHC awal sebelum terapi. EVR bernilai negatif apabilapenurunankurangdari2log.
20
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
c. End of Treatment Reponse (ETR) Respons akhir terapi (ETR) merupakan hasil pemeriksaan RNA VHC pada akhir terapi. ETR bernilai posiƟf apabila Ɵdak ditemukan RNA VHC pada pemeriksaan. d. Sustained Virological Response (SVR) Respons virologis menetap (SVR) merupakan hasil pemeriksaan RNA VHC pada 24 minggu setelah akhir terapi. SVR bernilai posiƟf apabila Ɵdak ditemukan RNA VHC pada pemeriksaan. Pemeriksaan RNA VHC pada koinfeksi HIV-VHC dilakukan dengan jadwal sebagai berikut: a. Awal terapi b. Minggu ke 4 terapi c. Minggu ke 12 terapi Pada pasien dengan penurunan jumlah virus lebih dari 2 log, tata laksana VHC dilanjutkan hingga minggu ke 48. Akan tetapi, pada penurunan kurang dari 2 log pada minggu ke 12, tata laksana dianjurkan untuk dihenƟkan, karena risiko kegagalan terapi cukup Ɵnggi, dengan angka non-SVR mencapai 99-100%. d. Minggu ke 24 terapi Pasien dengan RNA VHC yang tetap ada hingga minggu ke-24 dianjurkan untuk menghenƟkan pengobatan, karena Ɵngginya angka non-SVR mencapai 100% e. Minggu ke 48 terapi f. Minggu ke 24 setelah selesai terapi Pemeriksaan RNA VHC pada minggu ke 24 setelah terapi menentukan kemungkinan terjadinya rekurensi. Pasien dengan RNA VHC negaƟf pada pemeriksaan RNA VHC di minggu ke 24 setelah terapi (SVR posiƟf) memiliki ƟŶŐkat rekurensi yang sangat rendah. II.2.b.2. Tolerabilitas Pemeriksaan untuk melihat efek samping terapi dilakukan pada minggu 1, 2, 4 dan selanjutnya seƟĂp bulan selama terapi. Pemeriksaan yang dilakukan melipuƟ pemeriksaan darah lengkap, enzim transaminase dan kadar bilirubin serum. Pemeriksaan CD4 perlu dilakukan seƟap bulan untuk menentukan waktu dimulainya ARV. Mayoritas pasien dengan pegylated interferon dan ribavirin menunjukkan efek samping terhadap pengobatan. Pemantauan yang ketat diperlukan untuk menentukan perlunya pengaturan dosis atau pemberhenƟan terapi untuk menghindarkan efek samping yang lebih berat. Anemia Efek samping anemia dilaporkan terjadi pada 30% pasien dengan pegylated interferon dan ribavirin. Lebih lanjut, kejadian anemia meningkat dengan penggunaan pegylated interferon dan ribavirin bersama dengan zidovudin, sehingga terapi dengan zidovudin dihindarkan bersama-sama dengan pegylated interferon dan ribavirin. Selain anemia, neutropenia juga dijumpai pada lebih dari 50% pasien dengan pegylated interferon dan ribavirin. Pengaturan dosis ribavirin dan pegylated interferon dilakukan seperƟ pada tabel 2.8.
21
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Tabel2.8.Pengaturandosisribavirindanpegylatedinterferon PenurunanDosis Ribavirinmenjadi 600mg
Penghentian Ribavirin
Penurunandosis pegylatedinterferon bertahap (70%Ͳ50%Ͳ25%)
Hitungneutrofil absolut
<750/mm
Hitungtrombosit
8,5Ͳ10g/dL Penurunan ш2g/dLdalam 4minggu
Parameter
Kadarhemoglobin: Ͳtanpapenyakit kardiovaskuler Ͳpenyakit kardiovaskuler
3
Penghentian pegylated interferon 3
Penghentian pegylated interferondan ribavirin
<500/mm
25Ͳ50.000/mm
<25.000/mm
<8,5g/dL
<12g/dLdalam4 minggusetelahdosis diturunkan
3
3
Padakondisidimanaabnormalitasnilaitidakdidapatkankembali,dosisribavirinditingkatkan bertahap, yaitu 600 mg/hari menjadi 800 mg/hari. Pengembalian dosis ribavirin menjadi dosis semula tidak direkomendasikan. Pada pasien dengan intoleransi terhadap ribavirin, monoterapi menggunakanpegylatedinterferondapatdilakukan. FluͲlikeSyndrome Efek samping lain yang banyak dijumpai adalah gejala fluͲlike dan mual. Pasien dengan gangguan fluͲlike dapat menggunakan paracetamol sebelum injeksi pegylated interferon. Penggunaan asam asetil salisilat, natrium diklofenak atau ibroprofen dikontraindikasikan relatif pada kondisi trombositopenia. Gangguan mual dapat diatasi dengan pemberian metoklopramid3x10mg. Depresi Pasien dengan riwayat depresi minor dapat memulai terapi antidepresan sebelum memulai terapi.Obatdandosisyangdigunakanadalah: a. SSRI(SelectiveSerotoninReuptakeInhibitor),dengandosisawal20mg/hari b. Antidepresansepertidoxepindengandosisawal50mg/hari Pemantauan dan penentuan pengobatan depresi memerlukan kerjasama dengan psikiater. Pada pasien dengan riwayat dirawat akibat depresi mayor, pemberian pegylated interferon dikontraindikasikan. Gangguanfungsitiroid Gangguan fungsi tiroid dijumpai pada 7% pasien dengan terapi pegylated interferon. Akan tetapi gangguan ini tidak memerlukan pengaturan dosis atau pun penghentian terapi pegylated interferon. Apabila terjadi gangguan fungsi tiroid, tata laksana untuk gangguan fungsi tiroid dilakukanbersamaandenganpenatalaksanaanVHC. Secarakeseluruhan,monitoringterapidilakukanuntukmenilaiefikasidantolerabilitaspasien koinfeksiHIVͲVHC,denganjadwalsepertipadatabel2.9.
22
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
T Tabel2.9.Mon nitoringtatalaksanaVHCp padapasienko oinfeksiHIVͲV VHC
Sebelum m terapi
2
4
8
12
16
20
24
28 8
32
34
36
48
72
9
(Minggu) 9 9 9
9
9
9
9
9
9 9
9
9
9
9
9
9
9
9 9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
DPLL
CD4 4
TSH H
Muatanvirus RNAV VHC (Kuantitatif)
9
RNAV VHC Kualittatif
Toleransi Efikasi
1
9
Obat II.2.b.33.InteraksiO AR RV memiliki banyak inteeraksi dengan berbagai jenis j obat. Akibat A dari adanya a intervensi ini, beberapa jenis obaat perlu mengalami pen nyesuaian do osis atau tid dak dapat digunakan bersamaan. denganobathepatitis Padabagianini,intteraksiobatyyangakandiibahasadalaahinteraksiaantaraARVd hatlebihjelasspadatabel2.10. Cdantterapisubstittusiopioid.Interaksiobaatdapatdilih Tabel2.10.InteraksianttarobatpadaterapihepatitisCdanHIV Tenofo ovir
NRTTI
Zidovu udin
Stavud din
Lamivu udin
Emtriccitabin
Efavire enz
Ribavirin
Bocep previr
PeegͲIFN
NNRTI
Neviraapin
Telaprevir
PI Lopinaavir
Ritonaavir
Metad don
Opiioid
N/A A
=keduaobattidakbolehdiberikanbersama(adabuktikliinisdan/atautertulis dillabel) =ked duaobattidakbolehdiberikanbersama(secarateorittis,belumadaabukti klin nis/tidaktertulisdilabel) =mu ungkinterjadiiinteraksi;perlupemantauanketat,pengaturandosissatau
23
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
peru ubahanwaktu upemberiano obat(adabukttiklinisdan/atautertulisdilabel) =mun ngkinterjadiinteraksi;perlupemantauanketat,pengaaturandosisaatau peru ubahanwaktu upemberiano obat (seccarateoritis,b belumadabukktiklinis/tidakktertulisdilab bel) =tidaakadainterakssiklinisyangssignifikan(adaabuktiklinis) =tidakadainterakssiklinisyangssignifikan(seccarateoritis,b belumadabukkti klinis) N/A=belumadadata
Keterangganinteraksi: Ribavirin n Tenofoviir –Tidak ada perub bahan pada farmakokineetik; namun dilaporkan kejadian gagal hati dͲPugh>6)p padakoinfekksiHIVͲVHCd dengansirosisdalampen ngobatankombinasi (Child tenoffovir dan ribavirin. Monitor ketat munculnya gejala deko ompensasi hati h dan 63,64 pertimbangkanp penurunando osisribavirin nbilagejalam memburuk. Zidovudin –Risiko o anemia dan neutropeenia meninggkat pada pemberian p b bersamaan (5% dan 15%)) dibandingkkan tanpa zid dovudin (1% % dan 5%). Interaksi dap pat terjadi hingga h 2 bulan n setelah rib bavirin distop karena waaktu paruh ribavirin r yang panjang. Monitor M ketatthasilpemerriksaandarah.64 –Risiko o overlap toksisitas t mitokondria; m insidens paankreatitis dan d asidosiss laktat Stavudin menccapai 3% pada p pembeerian secara bersamaan n. Tidak ada perubahan pada farmakokinetik.644 f laamivudine, namun tidaak ada perrubahan Lamivudin –Ribavvirin dapat menekan fosforilasi farmakokinetikatauefeksam mpingyangsignifikan.64 o gagal hati dilaporkan lebih tinggii pada pemb berian bersaamaan dengan pegͲ Emtricitaabin –Risiko IFN/R RBV.Pantaumunculnyaggejalagagalhatidananeemia.64 Boceprevvir Tenofoviir –Teno ofovir akan meningkatkkan AUC dan n Cmax bocceprevir sebanyak 8% dan d 5%; boceeprevir meningkatkan Cm max sebanyaak 32% nam mun tidak ad da perubahaan pada kliren ns ginjal. Tid dak ada rekkomendasi perubahan p dosis; koadm ministrasi dilaaporkan aman n.67 Zidovudin –Studiiklinismenu unjukkanpen nambahanboceprevirmeningkatkan nrisikoanem miapada terap pi pegͲIFN/R RBV. Monitor ketat tand da anemia pada pemberrian bocepreevir dan zidovvudin.68 min bocepre evir sebesar 8%, 19% dan 44% Efavirenzz –EFV dapat meneekan Cmax, AUC dan Cm ngga mengu urangi efek terapeutik boceprevir. Di lain haal, Cmax daan AUC sehin efavirenzmeninggkat11%dan n20%.67,69 Nevirapin b d dapat menurun dan nevvirapine n – Serupa dengan efavirenz, konsentrasi boceprevir mberian berrsamaan, akkibat efek masingͲmasin m ng obat dapaat meningkat pada pem 69 terhaadapCYP3A4 4. Lopinavirr – Pem mberian lopin navir/ritonavvir akan mengurangi AU UC, Cmax daan Cmin bocceprevir sebanyak 45%, 50% 5 dan 57% %. AUC, Cma ax dan Cmin n lopinavir ju uga berkuran ng 34%, 68,6 69 30%dan43%.
24
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Ritonavir Metadon
Telaprevir Tenofovir Zidovudin
Efavirenz
Nevirapin Lopinavir Ritonavir Metadon
– Pemberian ritonavir saja (tanpa lopinavir) bersama boceprevir akan mengurangi CmaxdanAUCboceprevirsebesar27%dan19%.67 – Boceprevir dapat mengurangi AUC dan CͲmax metadon sebesar 16% dan 10%, namun studi menyarankan tidak perlu dilakukan pengaturan dosis metadon saat memulai boceprevir. Waspadai efek samping pemanjangan interval QT akibat metadon.70 –Lamakerja tenofovir meningkat30%pada pemberianbersamatelaprevir.Monitor ketatfungsiginjal;aturdosisataustoptenofovirbilamunculgangguanginjal.71,72 – Efek telaprevir pada UDPͲglukoroniltransferase dapat meningkatkan konsentrasi plasma zidovudin dan meningkatkan risiko anemia terkait zidovudin. Monitor hemoglobin.73 –Cmax,AUCdanCminakan berkurang9%, 26%dan47%untuktelaprevirdan16%, 7%dan2%untukefavirenz.SCPEropamerekomendasikandosistelaprevirdijadikan 1125mgsetiap8jambiladiberikanbersamaefavirenz.71,75 – Konsentrasi telaprevir dapat berkurang akibat nevirapine namun belum ada bukti klinis.74 – Cmax, AUC dan Cmin telaprevir berkurang 53%, 54% and 52% sehingga koadministrasitidakdisarankan.Tidakadaperubahansignifikanuntuklopinavir.71,74 – Pemberian ritonavir saja (tanpa lopinavir) bersama telaprevir terbukti mengurangi CmaxdanCmintelaprevirsebanyak15%dan32%.76 – Koadministrasi dengan telaprevir dapat mengurangi lama kerja metadon sebanyak 30Ͳ40%namuntidakadaanjuranpengaturandosis.PemantauanEKGbaselinedan rutin harus dilakukan pada pemberian metadon karena telah dilaporkan kejadian pemanjanganintervalQTdantorsadesdepointes.74,77
PegͲInterferon Tenofovir – Telah dilaporkan kejadian gagal hati pada koinfeksi HIVͲVHC dengan sirosis dalam pengobatan kombinasi tenofovir dan pegͲIFN. Monitor gejala gagal hati dan anemia.78 Zidovudin –Terdapatrisikosignifikanterjadinyaanemiasehinggapemberianzidovudinbersama pegͲIFN/RBVtidakdianjurkan.78 Stavudin –Insidens pankreatitis dan asidosis laktat mencapai 3% pada pemberian secara bersamaandenganpegͲIFN/RBV.78 Lamivudin –Tidakadainteraksifarmakokinetiknamuntelahdilaporkankejadiangagalhatipada koinfeksi HIVͲVHCdengansirosisdalam pengobatankombinasilamivudin danpegͲ IFN.Monitorgejalagagalhatidananemia.78 Emtricitabin – Risiko gagal hati dilaporkan lebih tinggi pada pemberian bersamaan dengan pegͲ IFN/RBV.Pantaumunculnyagejalagagalhatidananemia.78 Metadon –PemberianpegͲIFNalfaͲ2a(180mcgpermingguselama4minggu)padapasienVHC dalammethadonemaintenancetherapyterbuktimeningkatkankadarmetadon10Ͳ 15%. Tidak diketahui adanya signifikansi klinis. Pantau EKG rutin untuk deteksi adanyatoksisitasmetadon.78
25
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Rangkuman x Semua pasien VHC dengan risiko (LSL, penasun, WPS, WBP) dianjurkan mendapatkan konselingdanpemeriksaanHIV x SeluruhpasiendenganHIVAIDSdianjurkanuntukmelakukanpemeriksaanantiVHC x Pemeriksaan infeksi HIV meliputi tes antibodi HIV, hitung sel CD4, tes hitung RNA HIV, dan pemeriksaan darah perifer lengkap, SGOT/SGPT, Ureum, Urinalisis, Gula Darah Puasa, dan ProfilLipid. x Setiap pasien koinfeksi HIVͲVHC harus diskrining adanya pajanan lama hepatitis B dan hepatitisA.VaksinasihepatitisAdanBdiberikanapabilatidakditemukanadanyainfeksilama x PemeriksaaninfeksiVHCmeliputipemeriksaanserologidanpemeriksaanmolekuler x Pemeriksaan serologi infeksi VHC, antiͲVHC, dapat digunakan untuk penapisan infeksi virus hepatitisC x PemeriksaanmolekulerterdiriataspemeriksaanRNAVHCkuantitatifdankualitatif. x PenentuaninfeksiVHCakutmaupunkronikdilakukanmelaluipemeriksaanantiVHCdanRNA VHC x Genotip 1 merupakan genotip VHC terbanyak pada pasien koinfeksi HIVͲVHC maupun monoinfeksi x Pasiendengangenotip1dan4memiilikiangkaSVRyanglebihrendahdibandingkangenotip lainnya x Pemeriksaanbiopsihatidiindikasikanpadapasiengenotip1atau4denganmuatanvirusVHC yang tinggi (> 8 x 105 IU/mL) dan komorbid (konsumsi alkohol yang berlebihan, koinfeksi denganVHBatauVHD,dankecurigaanhepatotoksisitas) x Pemeriksaanbiopsihatimerupakanbakuemasuntukmenentukanderajatfibrosishati x PemeriksaannonͲinvasifyangdapatdigunakanuntukmenentukanderajatfibrosishatiantara lain ARFI, ET, APRI maupun pemeriksaan ini belum dapat menggantikan biopsi hati sepenuhnya x Evaluasikomorbidmeliputigangguanpsikiatridankonsumsialkoholharusdilakukansebelum memulaiterapihepatitisC x Inisiasi terapi pada pasien koinfeksi HIVͲVHC dilakukan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium x Pasien koinfeksi HIVͲVHC dengan nilai CD4 ч350 sel/mm3 perlu mendapatkan terapi ARV hinggakondisistabilsebelummendapatkanterapiuntukhepatitisC x Kondisi stabil: peningkatan nilai CD4, teratasinya infeksi oportunistik, konsumsi ARV yang teratur x TerapihepatitisCpadapasiendenganHIVͲVHCdapatdimulaiapabilanilaiCD4>350sel/mm3 x Regimen terapi hepatitis C pada pasien dengan HIVͲVHC meliputi pegylated interferon ɲ2a atauɲ2bdanribavirinselama12bulan.Dosispegylatedinterferonɲ2aadalah180ђg1kali seminggu, sementara dosis ɲ2b adalah 1,5 ђg/kgBB per minggu. Dosis ribavirin tergantung kepadagenotip,dimanagenotip2dan3mendapatkandosis800mg/hari,dangenotip1dan 4tergantungkepadanilaiRNAVHC.Pasiendengangenotip1dan4denganRNAVHCrendah (ч8x105IU/mL)mendapatkandosis800mg/hari,sementarapasiendenganRNAVHCtinggi
26
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
mendapatkandosis1000Ͳ1200mg/hari x Terapi umum dalam tata laksana HIV AIDS adalah 2 NRTI dengan 1 NNRTI/PI (didahului pemberianritonavir)/INSTI/CCR5antagonis x Kombinasi ARV yang disarankan adalah tenofovir dan emtricitabin (NRTI) atau lamivudine ditambahdenganefavirens x Pemberian proteaseinhibitordapatdiberikanapabila pasienbelummenggunakanARVatau menggunakan raltegravir dan 2 NRTI. Telaprevir memerlukan penyesuaian dosis dan boceprevirdikontraindikasikanpadapasienyangmenggunakanATV/rdanEFV x Pasien perlu diperiksakan darah rutin, CD4, TSH, RNA VHC kuantitatif atau kualitatif untuk monitoringselamamendapatkanterapiuntukHIVdanVHC x Pasien dengan penurunan jumlah muatan virus VHC kurang dari 2 log pada minggu ke 12 terapidianjurkanuntukmenghentikanterapiuntukVHC,karenarisikokegagalanyangsangat tinggiyaitu99Ͳ100%
x Pemantauan efek samping seperti anemia, fluͲlike syndrome, depresi, maupun gangguan fungsitiroidperludilakukanselamapasienmendapatkanterapiVHC x ARV memiliki banyak interaksi dengan berbagai jenis obat, termasuk obat hepatitis C dan terapisubstitusiopioid
27
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
BABIII PENCEGAHAN PencegahanyangakandibahaspadababiniadalahpencegahaninfeksivirushepatitisCpada pasien yang telah terinfeksi HIV. Pencegahan didasarkan atas pola transmisi infeksi baik virus hepatitis C maupun HIV. Seperti yang telah disebutkan di atas, transmisi infeksi VHC dan HIV memilikimodatransmisiutamayangsama,yaituparenteraldanvertikal.Angkakejadiankoinfeksi HIVͲVHC yang tinggi terlihat pada pasien penasun, yaitu sekitar 50Ͳ90%. Kontak seksual pada monoinfeksiVHCmemilikirisikopenularanVHCyanglebihkecildibandingkanpadapasiendengan koinfeksi HIVͲVHC. Transmisi ini semakin meningkat pada pasien koinfeksi HIVͲVHC yang berhubunganseksualdengansesamapria. Berdasarkanmodatransmisidiatas,makabeberapatindakanpencegahanpadaberbagailevel perludilakukanpadapasiendenganHIVuntukmencegahterjadinyatransmisiinfeksivirushepatitis C,yaitu: a. PencegahanPrimer Pencegahan primer dimaksudkan untuk mencegah pasien dengan HIV agar tidak tertularvirushepatitisC.Padatahapini,pencegahanyangperludilakukanserupadengan pencegahan terhadap penularan monoinfeksi HIV, karena moda transmisi yang sama dan infeksiHIVmeningkatkanrisikotransmisiVHC.Selainitu,padatahapini,vaksinasihepatitis A dan B juga perlu dilakukan. Dengan demikian, yang termasuk ke dalam pencegahan primerantaralain: x Konselingdanedukasimengenaitransmisiinfeksi(lihatBabIV) x SkriningVHCpadakelompokberisiko(lihatBabIV) x VaksinasivirushepatitisAdanB b. PencegahanSekunder Pencegahan sekunder dimaksudkan untuk mencegah penularan pasien dengan koinfeksi HIVͲVHC maupun mencegah terjadinya perburukan kondisi. Program ini kelanjutandariprogrampencegahansekunder.Programinimeliputi: x Konselingdanedukasimengenaitransmisiinfeksi(lihatBabIV) x Tatalaksanadinisesuaidenganwaktuinisiasiterapi(gambar2.1.) Rangkuman x Pasien HIV perlu mendapat pengetahuan mengenai pencegahan penularan/tertularnya virus hepatitisC,karenatingginyaangkakoinfeksiHIVVHCakibatkesamaanmodatransmisi x PencegahanterhadaphepatitisCpadapasienHIVmelingkupipencegahanprimerdansekunder x PencegahanprimerditujukanuntukmencegahpasiendenganHIVtidaktertularvirushepatitis C,sepertimelaluikonselingdanedukasimengeaitransmisiinfeksidanskriningVHCpada kelompokberisiko x VaksinasivirushepatitisAdanBjugatermasukdidalampencegahanprimer x PencegahansekunderditujukanuntukmencegahpenularanpasienkoinfeksiHIVͲVHCdan mencegahperburukankondisi.Pencegahansekundermencakupkonselingdanedukasi mengenaitransmisiinfeksidantatalaksanadinisesuaidenganwaktuinisiasiterapi
28
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
BABIV KONSELING Konseling dan tes pada HIV kini semakin ditekankan sebagai strategi pencegahan pada populasi, baik di negara berkembang ataupun negara sumber daya terbatas. WHO mengestimasi setengah dari individu HIV positif di dunia tidak mengetahui status HIVͲnya, menekankan pentingnya konselingdantessecaradini. CDC juga melaporkan konselingdantesHIVmerupakan programdenganalokasibiayapalingbesardalamupayapenanggulanganHIVnasionaldiAS,sejak tahun1992hinggakini.TujuanutamadalamprogramkonselingdantesHIVadalah:43,79 1. Memberikan kesempatan pada setiap individu untuk mengetahui status HIV mereka dan, bilaterinfeksi,memperolehpelayananmedisdanpsikososialyangsesuai. 2. Melakukankonselingagarindividudapatmelakukanperubahanperilakuuntukmenghindari infeksiatau,bilaterinfeksi,mencegahpenularankeoranglain. Metode konseling dan tes HIV yang kini direkomendasikan adalah Konseling Tes atas Inisiatif PetugasKesehatan(KTIP).BerbedadenganKonselingTesHIV(KTHIV),padaKTIPtenagakesehatan berperanaktifdalammenawarkankonselingdantesHIVkepadaklien(Tabel4.1).KTIPhendaknya dilakukan pada segala jenis layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan primer (Puskesmas), rawatjalanmaupuninap,klinikbedah,klinikantenataldankesehatanibuͲanak(KIA),klinikTBserta IMS. Konseling juga penting sebagai pencegahan sekunder pada pasien HIV; konseling pada pasangan serodiskor dan terbukti mengurangi frekuensi hubungan seksual tidak aman serta meningkatkanpenggunaankondomdibandingkanpasangantanpakonseling.79,80 Tabel4.1.PerbandinganmetodeKTIPdanKTHIV.80 KonselingTesatasInisiatif KonselingTesHIV PetugasKesehatan(KTIP) (KTHIV) Konselingdantesdisarankandandilakukanoleh Klienyangmemilihuntukmenjalanikonseling tenagamedis,sebagaibagiandaripelayanan dantes. medis. Pelayanandiberikansecararahasiadan didokumentasikandalamrekammedis. Fokusutamaadalahidentifikasipasienterinfeksi HIVdanmenghubungkanmerekadengan layanankesehatan. Consentverbalharusdiperolehdan didokumentasikandalamrekammedis.
Kliendapatmemilihapakahpelayanan diberikansecararahasiaatauanonim. FokusutamaadalahmencegahinfeksiHIV secaraindividualdenganidentifikasidan manajemenrisiko. Klienharusmemberikanconsenttertulis dengantandatanganataucapjari.
Hasiltespertamadilihatolehtenagamedis untukmenentukandiagnosisdantatalaksana berikutnya.
Hasiltespertamadilihatolehkliendan konseloruntukmenentukankeputusan secarapersonal.
29
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Selain KTIP, WHO merekomendasikan adanya community based konseling dan tes pada populasi kunci, yaitu: pengguna NAPZA sunƟk (IDU)/ penasun, pasangan dari IDU, lelaki berhubungan seksual dengan lelaki (LSL), transgender, wanita pekerja seks (WPS) dan warga binaan pemasyarakatan (WBP). Konseling dan tes pada populasi ini harus lebih ketat, lebih komprehensif dan direkomendasikan diulang seƟap 6 12 bulan.43 Pada hepaƟƟs C, cara opƟmal untuk deteksi infeksi VHC adalah skrining adanya riwayat pajanan terhadap virus dan melakukan tes pada individu dengan faktor risiko (rekomendasi kelas I, level B). Skrining infeksi VHC disarankan pada populasi berikut:81 Individu yang pernah menggunakan NAPZA sunƟk (IDU), termasuk yang pernah melakukan penyunƟkan walaupun hanya sekali dan Ɵdak menganggap diri mereka sebagai IDU. Individu dengan kondisi medis lain yang dikaitkan dengan peningkatan prevalensi hepaƟƟƐ C: o HIV posiƟf o HemoĮůŝa yang mendapatkan transfusi faktor pembekuan berulang o Pernah menjalani hemodialisa o Mengalami peningkatan kadar enzim transferase yang ƟĚak diketahui jelas penyebabnya Resipien transfusi darah atau transpantasi organ, termasuk dari donor yang baru setelahnya diketahui terinfeksi hepaƟƟs C. Anak dari ibu ŚĞƉĂƟƟs C posiƟf. Petugas kesehatan yang tertusuk jarum atau terpajan cairan ke mukosa dari sumber hepaƟƟs C posiƟf. Pasangan seksual dari individu heƉĂƟƟs C posiƟf. Pasien yang diketahui terinfeksi HIV dan/atau hepaƟƟs C harus diberikan konseling mengenai risiko penyebaran infeksi kepada orang lain. Pajanan darah yang terinfeksi dan kontak seksual merupakan transmisi utama HIV dan hepaƟƟs C, sehingga pasien harus diinformasikan agar selalu menghindari kontak darah sendiri dengan orang lain, terutama pada pengguna NAPZA sunƟk (intravenous drug users, IDU), serta melakukan beberapa perubahan perilaku untuk menekan transmisi HIV, hepaƟƟs dan infeksi menular seksual lainnya (Tabel 4.2.).81, 82
30
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Tabel4.2.PesanperubahanperilakuyangdapatdiberikansaatkonselingpasienHIV.82 KonselingperilakupadapasienHIVpositif KeuntunganuntukpasienHIVpositif Perilakuhubunganseksual GunakankondomdanlubrikanbilaAndaakan KondomdapatmelindungiAndadariIMSdan melakukanhubunganseksual(vaginalatau infeksivirushepatitisyangmemerlukan anal). pengobatanlebihlanjut. Pemeriksaanrutinmemungkinkandeteksidan LakukanpemeriksaanrutinIMSatauinfeksi pengobatandiniIMSdaninfeksiviruslain. virushepatitispadaAndadanpasanganAnda. PenggunaanobatͲobatanterlarang SebaiknyaAndaberhentimenggunakanobatͲ BerhentimenggunakanobatͲobatanakan obatanterlarangsegera. meningkatkankesehatanAndasecaraumum, sertamengurangikemungkinanmasalahpsikis sertasosialdidalamlingkungankeluargadan pekerjaanAnda.AndadapatmeminumARV denganlebihrutindanterkontrol. Haliniakanmengurangiinteraksiberisiko antaraobatͲobatantersebutdenganARV. CarapenggunaanobatͲobatanterlarang KalaupunAndamemutuskaningin Dengantidakmenyuntik,Andamengurangi menggunakanobatͲobatanterlarang,lakukan risikoterinfeksivirushepatitissertainfeksikulit tanpapenyuntikan(misaldengandihisap). danjaringanlunak. JikaAndatetapinginmenyuntik,gunakan Dengantidakberbagijarumsuntik,Anda mengurangirisikoterinfeksivirushepatitis. jarumsuntiksteriluntuksetiappenyuntikan danjanganberbagijarumsuntikdenganorang lain. Minumalkoholdanmerokok Stopkonsumsialkohol Menghentikanminumalkoholakan meningkatkankesehatanAndasecaraumum, mengurangikemungkinankecelakaan,masalah psikososial,meningkatkankepatuhanminum obatdanmenekangejalamualͲmuntahakibat ARV. Menghentikanminumalkoholjugamembantu tidurAndadanmenekanperasaandepresi. Stopmerokok Merokokterbuktimeningkatkanrisikountuk terjadinyakarsinomahepatoselularpadapasien dengankoinfeksiHIVͲVHC.
31
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
Rangkuman x
KonselingpadapasienHIVbertujuanuntukmemberiinformasistatusHIVpasiendanbila terinfeksimemperolehpelayananmedisdanpsikososialyangsesuaidanmendorong pasienuntukmelakukanperubahanperilakuuntukmenghindariinfeksimaupun mencegahpenularaninfeksikeoranglain
x
KonselingdantesHIVyangkinidirekomendasikanadalahproviderͲinitiatedtestingand counseling(PITC),dimanatenagakesehatanberperanaktifdalammenawarkankonseling dantesHIVkepadaklien
x
PITCdianjurkanuntukdilakukanpadaseluruhlevellayanankesehatan
x
WHOmerekomendasikankonselingdantesHIVpadakomunitaskunci,yaituLSL,penasun, pasanganpenasun,transgender,WPS,danWBP.Konselingdantesdirekomendasikan diulangtiap6Ͳ12bulan
x
SkrininghepatitisCjugaperludilakukanpadapopulasikunci
DAFTARPUSTAKA 1. 2. 3.
4. 5.
6.
7. 8.
9.
Taylor LE, Swan T, Mayer KH. HIV coinfection with hepatitis C virus: evolving epidemiology andtreatmentparadigms.ClinInfectDis.2012;55:33Ͳ42. CowieB,DoreG,SasadeuszJ,editors.CoͲinfection:HIV&ViralHepatitis,AGuideforClinical Management.4thed.Darlinghurst:AustralasianSocietyforHIVMedicine(ASHM);2010. Andreoni M, Giacometti A, Maida I, Meraviglia P, Ripamonti D, Sarmati L. HIVͲHCV coͲ infection:epidemiology,pathogenesisandtherapeuticimplications.EurRevMedPharmacol Sci.2012;16(11):1473Ͳ83. SulkowskiMS,MooreRD,MehtaSH,ChaissonRE,ThomasDL.HepatitisCandprogressionof HIVdisease.JAMA.2002;288(2):199Ͳ206. Greub G, Ledergerber B, Battegay M, Grob P, Perrin L, Furrer H, et al. Clinical progression, survival, and immune recovery during antiretroviral therapy in patients with HIVͲ1 and hepatitisCviruscoinfection:theSwissHIVCohortStudy.Lancet.2000;356(9244):1800Ͳ5. Deng LP, Gui XE, Zhang YX, Gao SC, Yang RR. Impact of human immunodeficiency virus infectiononthecourseofhepatitisCvirusinfection:ametaͲanalysis.WorldJGastroenterol. 2009;15(8):996Ͳ1003. NationalCenterforHIVAIDSVH,STD,andTBPrevention.HIVandViralHepatitis.Centersfor DiseaseControlandPrevention;2013. Ponamgi SP, Rahamathulla S, Kumar YN, Chandra M, Lakshmi N, Habibullah CM, et al. PrevalenceofhepatitisCvirus(HCV)coinfectioninHIVinfectedindividualsinsouthIndiaand characterizationofHCVgenotypes.IndianJMedMicrobiol.2009;27(1):12Ͳ6. Alter MJ, Hadler SC, Judson FN, Mares A, Alexander WJ, Hu PY, et al. Risk factors for acute nonͲA, nonͲB hepatitis in the United States and association with hepatitis C virus infection. JAMA.1990;264(17):2231Ͳ5.
32
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
10.
11. 12. 13. 14.
15.
16.
17.
18. 19.
20.
21.
22.
23. 24.
Gani RA, Budihusodo U, Waspodo A, Lesmana LA, Hasan I, Akbar N, et al. Seroepidemiology and risk factors of HepaƟƟƐ B and C virus infecƟons among drug users in Jakarta, Indonesia. Med J Indones. 2002;11(1). Tohme RA, Holmberg SD. Is sexual contact a major mode of hepaƟƟs C virus transmission? Hepatology. 2010;52(4):1497 505. Zylberberg H, Thiers V, Lagorce D, Squadrito G, Leone F, Berthelot P, et al. Epidemiological and virological analysis of couples infected with heƉĂƟƟs C virus. Gut. 1999;45(1):112 6. Tahan V, Karaca C, Yildirim B, Bozbas A, Ozaras R, Demir K. Sexual transmission of HCV between spouses. Am J Gastroenterol. 2005;100:821 4. KurniawaƟ SA. Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian hepaƟƟs C pada pasangan seksual pasien koinfeksi human immunodeĮciency virus dan hepaƟƟs C virus. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. van de Laar T, Pybus O, Bruisten S, Brown D, Nelson M, Bhagani S, et al. Evidence of a large, internaƟŽŶĂů network of HCV transmission in HIV posiƟve men who have sex with men. Gastroenterology. 2009;136(5):1609 17. Zaneƫ AR, Tanzi E, Paccagnini S, Principi N, Pizzocolo G, Caccamo ML, et al. Mother to infant transmission of hepaƟƟs C virus. Lombardy Study Group on VerƟcal HCV Transmission. Lancet. 1995;345(8945):289 91. Minosse C, Calcaterra S, Abbate I, Selleri M, ZanirĂƫ MS, Capobianchi MR. Possible compartmĞŶƚĂůŝnjĂƟŽŶ of ŚĞƉĂƟƟs C viral replicaƟŽn in the genital tract of HIV 1 coinfected women. J Infect Dis. 2006;194(11):1529 36. Briat A, Dulioust E, Galimand J, Fontaine H, Chaix ML, Letur Konirsch H, et al. ,ĞƉĂƟƟs C virus in the semen of men coinfected with HIV 1: prevalence and origin. Aids. 2005;19(16):1827 35. MaƩhews Greer JM, Caldito GC, Adley SD, Willis R, Mire AC, Jamison RM, et al. Comparison of ŚĞƉĂƟƟs C viral loads in paƟents with or without human immunodeĮciency virus. Clin Diagn Lab Immunol. 2001;8(4):690 4. Bonacini M, Govindarajan S, BlĂƩ LM, Schmid P, Conrad A, Lindsay KL. PaƟents co infected with human immƵŶŽĚĞĮĐiency virus and hepaƟƟs C virus demonstrate higher levels of ŚĞƉĂƟĐ HCV RNA. J Viral Hepat. 1999;6(3):203 8. Dore GJ, Torriani FJ, Rodriguez Torres M, Brau N, Sulkowski M, Lamoglia RS, et al. Baseline factors prognosƟc of sustained virological response in paƟents with HIV ŚĞƉĂƟƟƐ C virus co infecƟon. Aids. 2007;21(12):1555 9. Cooper CL, Cameron DW. Eīect of alcohol use and highly ĂĐƟǀĞ anƟretroviral therapy on plasma levels of hepaƟƟƐ C virus (HCV) in paƟents coinfected with HIV and HCV. Clin Infect Dis. 2005;41:105 9. Danta M, Semmo N, Fabris P, Brown D, Pybus OG, Sabin CA, et al. Impact of HIV on host virus interacƟŽŶƐ during early ŚĞƉĂƟƟs C virus infecƟon. J Infect Dis. 2008;197(11):1558 66. Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeī LB, American AssociĂƟŽŶ for the Study of Liver D. Diagnosis, management, and treatment of ŚĞƉĂƟƟs C: an update. Hepatology. 2009;49(4):1335 74.
33
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
25. SotoB,SanchezͲQuijanoA,RodrigoL,delOlmoJA,GarciaͲBengoecheaM,HernandezͲQuero J, et al. Human immunodeficiency virus infection modifies the natural history of chronic parenterallyͲacquiredhepatitisCwithanunusuallyrapidprogressiontocirrhosis.JHepatol. 1997;26(1):1Ͳ5. 26. Brau N, Fox RK, Xiao P, Marks K, Naqvi Z, Taylor LE, et al. Presentation and outcome of hepatocellular carcinoma in HIVͲinfected patients: a U.S.ͲCanadian multicenter study. J Hepatol.2007;47(4):527Ͳ37. 27. PuotiM,BrunoR,SorianoV,DonatoF,GaetaGB,QuinzanGP,etal.Hepatocellularcarcinoma in HIVͲinfected patients: epidemiological features, clinical presentation and outcome. Aids. 2004;18(17):2285Ͳ93. 28. DaarES,LynnH,DonfieldS,GompertsE,HilgartnerMW,HootsWK,etal.Relationbetween HIVͲ1 and hepatitis C viral load in patients with hemophilia. J Acquir Immune Defic Syndr. 2001;26(5):466Ͳ72. 29. Ghany MG, Leissinger C, Lagier R, SanchezͲPescador R, Lok AS. Effect of human immunodeficiency virus infection on hepatitis C virus infection in hemophiliacs. Dig Dis Sci. 1996;41(6):1265Ͳ72. 30. PetersL,MocroftA,SorianoV,RockstrohJK,LossoM,ValerioL.HepatitisCviruscoͲinfection does notinfluence the CD4cell recovery in HIVͲ1Ͳinfected patients with maximum virologic suppression.JAcquiImmuneDeficSyndr.2009;50(5):457Ͳ63. 31. CollinsS,SwanT.GuidetoHepatitisCforPeopleLivingwithHIV.USA:HIViͲBaseandTAG; 2013. 32. WorldHealthOrganization.ManagementofHepatitisCandHIVCoinfectionͲClinicalProtocol fortheWHOEuropeanRegion:WHOEurope;2009. 33. GürtlerL.DifficultiesandstrategiesofHIVdiagnosis.Lancet.1996;348(9021):176Ͳ9. 34. SteklerJD,SwensonPD,CoombsRW,DragavonJ,ThomasKK,BrennanCA,etal.HIVtestingin a highͲincidence population: is antibody testing alone good enough? Clin Infect Dis. 2009;49(3):444Ͳ53. 35. Jackson JB, Parsons JS, Nichols LS, Knoble N, Kennedy S, Piwowar EM. Detection of human immunodeficiencyvirustype1(HIVͲ1)antibodybywesternblottingandHIVͲ1DNAbyPCRin patientswithAIDS.JClinMicrobiol.1997;35(5):1118Ͳ21. 36. Janssen RS, Satten GA, Stramer SL, Rawal BD, O'Brien TR, Weiblen BJ, et al. New testing strategy to detect early HIVͲ1 infection for use in incidence estimates and for clinical and preventionpurposes.JAMA.1998;280(1):42Ͳ8. 37. LewJ,ReichelderferP,FowlerM,BremerJ,CarrolR,CassolS,etal.Determinationsoflevels of human immunodeficiency virus type 1 RNA in plasma: reassessment of parameters affectingassayoutcome.JClinMicrobiol.1998;36(6):1471Ͳ9. 38. Greenwald JL, Burstein GR, Pincus J, Branson B. A rapid review of rapid HIV antibody tests. CurrInfectDisRep.2006;8(2):125Ͳ31. 39. ShresthaRK,ClarkHA,SansomSL,SongB,BuckendahlH,CalhounCB,etal.CostͲeffectiveness of finding new HIV diagnoses using rapid HIV testing in communityͲbased organizations. PublicHealthRep.2008;123(Suppl3):94.
34
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
40. Reimann KA, O'Gorman MR, Spritzler J, Wilkening CL, Sabath DE, Helm K, et al. Multisite comparison of CD4 and CD8 TͲlymphocyte counting by singleͲversus multipleͲplatform methodologies: evaluation of Beckman Coulter flowͲcount fluorospheres and the tetraONE system.ClinDiagnLabImmunol.2000;7(3):344Ͳ51. 41. O'BrienWA,HartiganPM,MartinD,EsinhartJ,HillA,BenoitS,etal.ChangesinplasmaHIVͲ1 RNA and CD4+ lymphocyte counts and the risk of progression to AIDS. N Eng J Med. 1996;334(7):426Ͳ31. 42. DouekDC,BrenchleyJM,BettsMR,AmbrozakDR,HillBJ,OkamotoY,etal.HIVpreferentially infectsHIVͲspecificCD4+Tcells.Nature.2002;417(6884):95Ͳ8. 43. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treatingandpreventingHIVinfection:recommendationsforapublichealthapproach.Kuala Lumpur:WHO;June2013. 44. Kahn JO, Walker BD. Acute human immunodeficiency virus type 1 infection. N Eng J Med. 1998;339(1):33Ͳ9. 45. SorianoV,SulkowskiM,BerginC,HatzakisA,CacoubP,KatlamaC,etal.Careofpatientswith chronic hepatitis C and HIV coͲinfection: recommendations from the HIVͲHCV International Panel.Aids.2002;16(6):813Ͳ28. 46. Torriani FJ, RodriguezͲTorres M, Rockstroh JK, Lissen E, GonzalezͲGarcía J, Lazzarin A, et al. Peginterferon AlfaͲ2a plus ribavirin for chronic hepatitis C virus infection in HIVͲinfected patients.NEngJMed.2004;351(5):438Ͳ50. 47. Katzenstein DA, Hammer SM, Hughes MD, Gundacker H, Jackson JB, Fiscus S, et al. The relationofvirologicandimmunologicmarkerstoclinicaloutcomesafternucleosidetherapyin HIVͲinfected adults with 200 to 500 CD4 cells per cubic millimeter. N Eng J Med. 1996;335(15):1091Ͳ8. 48. Witt DJ, Kemper M, Stead A, Ginocchio CC, Caliendo AM. Relationship of incremental specimen volumes and enhanced detection of human immunodeficiency virus type 1 RNA withnucleicacidamplificationtechnology.JClinMicrobiol.2000;38(1):85Ͳ9. 49. Mulder J, McKinney N, Christopherson C, Sninsky J, Greenfield L, Kwok S. Rapid and simple PCR assay for quantitation of human immunodeficiency virus type 1 RNA in plasma: applicationtoacuteretroviralinfection.JClinMicrobiol.1994;32(2):292Ͳ300. 50. Foulongne V, Montes B, DidelotͲRousseau MͲN, Segondy M. Comparison of the LCx human immunodeficiencyvirus(HIV)RNAquantitative,RealTimeHIV,andCOBASAmpliPrepͲCOBAS TaqMan assays for quantitation of HIV type 1 RNA in plasma. J Clin Microbiol. 2006;44(8):2963Ͳ6. 51. RevetsH,MarissensD,DeWitS,LacorP,ClumeckN,LauwersS,etal.Comparativeevaluation of NASBA HIVͲ1 RNA QT, AMPLICORͲHIV monitor, and QUANTIPLEX HIV RNA assay, three methods for quantification of human immunodeficiency virus type 1 RNA in plasma. J Clin Microbiol.1996;34(5):1058Ͳ64. 52. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of antiretroviralagentsinHIVͲ1infectedadultsandadolescents.AIDSinfo;2013.
35
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
53. Balakrishnan P, Solomon S, Kumarasamy N, Mayer KH. LowͲcost monitoring of HIV infected individuals on highly active antiretroviral therapy (HAART) in developing countries. Indian J MedRes.2005;121(4):345Ͳ55. 54. YeeHS,ChangMF,PochaC,LimJ,RossD,MorganTR,etal.Updateonthemanagementand treatmentofhepatitisCvirusinfection:recommendationsfromtheDepartmentofVeterans AffairsHepatitisCResourceCenterProgramandtheNationalHepatitisCProgramOffice.Am JGastroenterol.2012;107(5):669Ͳ89;quiz90. 55. FranciscusA.AGuideto:HIV/HCVCoinfection.SanFrancisco:HCVadvocate;2012. 56. Jung KS, Kim SU. Clinical applications of transient elastography. Clin Mol Hepatol. 2012;18(2):163Ͳ73. 57. MasuzakiR,TateishiR,YoshidaH,SatoT,OhkiT,GotoT,etal.Assessinglivertumorstiffness bytransientelastography.HepatolInt.2007;1(3):394Ͳ7. 58. Echosens. Clinical Handbook Fibroscan. 2010:1Ͳ19. Available from : http://aspͲindus.secureͲ zone.net/v2/index.jsp?id=955/1196/3607&lng=en 59. MaricD,KlasnjaB,FilipovicD,BrkicS,RuzicM,BugarskiV.Minimalhepaticencephalopathy inpatientswithdecompensatedlivercirrhosis.ActaClinCroat.2011;50(3):375Ͳ80. 60. European Association For The Study Of The Liver. EASL Clinical Practice Guidelines: managementofhepatitisCvirusinfection.JHepatol.2011;55(2):245Ͳ64. 61. OmataM,KandaT,YuM,YokosukaO,LimS,JafriW,etal.APASLconsensusstatementsand managementalgorithmsforhepatitisCvirusinfection.HepatolInt.2012. 62. Gad YZ, Zaher AA, Moussa NH, ElͲdesoky AE, AlͲAdarosy HA. Screening for minimal hepatic encephalopathy in asymptomatic drivers with liver cirrhosis. Arab J Gastroenterol. 2011;12(2):58Ͳ61. 63. Ramanathan S, Cheng A, Mittan A, Ebrahimi R, Kearney BP. Absence of clinically relevant pharmacokinetic interaction between ribavirin and tenofovir in healthy subjects. J Clin Pharmacol.2006;46(5):559Ͳ66. 64. ScheringCorporation.RebetolUSPrescribingInformation.November2009.Availablefrom: https://www.merck.com/product/usa/pi_circulars/r/rebetol/rebetol_pi.pdf. 65. SolasC,PambrunE,WinnockM,SalmonD,PoizotͲMartinI,DominguezS,etal.Ribavirinand abacavir drug interaction in HIV–HCV coinfected patients: fact or fiction? Aids. 2012;26(17):2193Ͳ9. 66. AmorosaVK,SlimJ,MounzerK,BrunoC,HoffmanͲTerryM,DoreyͲSteinZ,etal.Theinfluence ofabacavirandotherantiretroviralagentsonvirologicresponsetohepatitisCvirustherapy amongantiretroviralͲtreatedHIVͲinfectedpatients.AntivirTher.2010;15(1):91. 67. Kasserra C, Hughes E, Treitel M, Gupta S, O'Mara E, editors. Clinical pharmacology of boceprevir:Metabolism,excretion,anddrugͲdruginteractions.Programandabstractsofthe 18thConferenceonRetrovirusesandOpportunisticInfections(CROI)Boston,MA;2011. 68. KwoPY,LawitzEJ,McConeJ,SchiffER,VierlingJM,PoundD,etal.Efficacyofboceprevir,an NS3proteaseinhibitor,incombinationwithpeginterferonalfaͲ2bandribavirinintreatmentͲ naive patients with genotype 1 hepatitis C infection (SPRINTͲ1): an openͲlabel, randomised, multicentrephase2trial.Lancet.2010;376(9742):705Ͳ16.
36
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
69. Merck Sharp & Dohme Ltd. Victrelis Summary of Product Characteristics. March 2012. Available from : http:// www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/EPAR_Ͳ _Product_Information/human/002332/WC500109786.pdf. 70. Hulskotte EG, Feng HP, Bruce RD, Webster LR, Xuan F, Lin WH, et al. Pharmacokinetic interactionbetweenHCVproteaseinhibitorboceprevirandmethadoneorbuprenorphinein subjectsonstablemaintenancetherapy.JGastroenterolHepatol.2012;27:169Ͳ70. 71. Van Heeswijk R, Vandevoorde A, Boogaerts G, Vangeneugden T, De Paepe E, Polo R, et al., editors. Pharmacokinetic interactions between ARV agents and the investigational HCV proteaseinhibitorTVRinhealthyvolunteers.Programandabstractsofthe18thConference onRetrovirusesandOpportunisticInfections(CROI)Boston,MA;2011. 72. Van Heeswijk R, Gysen V, Boogaerts G, De Paepe E, Vangeneugden T, De Backer K, editors. The pharmacokinetic interaction between tenofovir disoproxil fumarate and the investigational HCV protease inhibitor telaprevir. 48th Annual ICCAC/IDSA 46th Annual Meeting,WashingtonDC;2008. 73. McHutchison JG, Everson GT, Gordon SC, Jacobson IM, Sulkowski M, Kauffman R, et al. Telaprevir with peginterferon and ribavirin for chronic HCV genotype 1 infection. N Engl J Med.2009;360(18):1827Ͳ38. 74. JanssenͲCilag Ltd. Incivo Summary of Product Characteristics. March 2012. Available from :http://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/EPAR__Product_Information/hu man/002313/WC500115529.pdf. 75. Garg V, Chandorkar G, Yang Y, Adda N, McNair L, Alves K, editors. The effect of CYP3A inhibitorsandinducersonthepharmacokineticsoftelaprevir.6thInternationalWorkshopon ClinicalPharmacologyofHepatitisTherapy,Cambridge,MA;2011. 76. GargV,LuoX,McNairL,vanHeeswijkR,KauffmanR.TheeffectoflowͲdoseritonavironthe pharmacokinetics of the investigational HCV protease inhibitor telaprevir in healthy volunteers.Group.2011;5500:6000. 77. VanHeeswijkR,VandevoordeA,VerbovenP,BoogaertsG,DePaepeE,VanSolingenͲRisteaR, et al. The pharmacokinetic interaction between methadone and the investigational HCV proteaseinhibitortelaprevir.JHepatol.2011;54:S491ͲS2. 78. Schering Corporation. PegIntron US Prescribing Information. January 2010. Available from :http://depts.washington.edu/ hepstudy/presentations/uploads/67/hcv_rx_peg_2bmaster.pdf. 79. Weinhardt LS, Carey MP, Johnson BT, Bickham NL. Effects of HIV counseling and testing on sexual risk behavior: a metaͲanalytic review of published research, 1985Ͳ1997. Am J Public Health.1999;89(9):1397Ͳ405. 80. MakhungaͲRamfolo N, Chidarikire T, Farirai T, Matji R. ProviderͲinitiated counselling and testing(PICT):Anoverview.SAJHIVMED.2011;12(2):6,8,10,1. 81. Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis, management, and treatment of hepatitisC:anupdate.Hepatology.2009;49(4):1335Ͳ74. 82. GerbertB,DanleyDW,HerzigK,ClanonK,CiccaroneD,GilbertP,etal.Reframing"prevention withpositives":incorporatingcounselingtechniquesthatimprovethehealthofHIVͲpositive patients.AIDSPatientCareSTDS.2006;20(1):19Ͳ29.
37
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV-VHC
38
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS B
2014
39
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
40
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
BAB I EPIDEMIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS B I.1. I.1.a.
Epidemiologi Epidemiologi Infeksi Virus HepaƟƟs B pada HIV di Dunia Koinfeksi Human ImmuŶŽĚĞĮĐŝĞŶĐy Virus (HIV) dengan virus hepaƟƟƐ B (VHB) menjadi masalah yang banyak dijumpai di dunia.1 Terdapat sekitar 350 juta penderita (5 7% dari populasi di dunia) dengan monoinfeksi VHB dan seƟap tahunnya sebanyak 600.000 (0,2%) yang berkembang menjadi karsinoma hepatoselular (KHS). Negara Asia Tenggara dan Afrika termasuk dalam negara dengan endemik ƟŶggi infeksi virus hepaƟƟs B, didapatkan sekitar 70% 90% dari total populasinya terinfeksi virus hepaƟƟs B.2 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, menunjukkan prevalensi nasional heƉĂƟƟs B klinis adalah sebesar 0,6%. Sebanyak 13 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi di atas nasional dan terƟnggi di provinsi Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.3 Sebanyak 70% pasien HIV terbukƟ mengalami infeksi hepaƟƟs B akut maupun kronik dan didapatkan 5 10% pasien HIV terbukƟ mengalami infeksi hepaƟƟs B kronik, yang dibukƟkan dengan hasil pemeriksaan HBsAg yang posiƟf selama lebih dari 6 bulan. Infeksi VHB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV di dunia.4 Angka bersihan spontan VHB pasien koinfeksi HIV VHB lebih sedikit dibandingkan dengan monoinfeksi VHB. Berbeda dengan pasien monoinfeksi VHB, hanya 50% dari pasien VHB dengan HIV yang mengalami klirens spontan. Oleh karena itu, 5 10% pasien VHB dengan HIV akan mengalami infeksi kronik, atau 10 kali lebih Ɵnggi dibandingkan populasi sehat I.1.b.
Epidemiologi Infeksi Virus HeƉĂƟƟs B pada HIV di Indonesia Berdasarkan laporan global UNAIDS tahun 2013, Indonesia menjadi salah satu negara dengan peningkatan angka kejadian infeksi HIV terƟŶggi di Asia. Data Riskesdas tahun 2012 menunjukkan ĞƐƟmasi prevalensi HIV di Indonesia sebesar 591.823. Diproyeksikan angka ini akan terus meningkat pada tahun 2025, dengan peningkatan terbesar pada populasi perempuan dan lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Adanya kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan virus hepaƟƟs B (VHB) menyebabkan ƟŶgginya angka kejadian koinfeksi HIV VHB. Data dari klinik UPT HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2004 2009 menunjukkan angka kejadian koinfeksi yang Ɵnggi. Pada studi terhadap 3.613 pasien yang baru terdeteksi HIV, ditemukan HBsAg posiƟf sebesar 11,7%. Selain itu, data di tempat yang sama didapatkan ŚĞƉĂƟƟs B oĐĐƵlt sebesar 25 (8,1%) dari 309 sampel HBsAg negaƟĨ.3 Transmisi Infeksi Moda transmisi infeksi virus hepaƟƟs B pada pasien dengan HIV adalah melalui kontak darah, baik melalui kontak seksual, injeksi jarum sunƟk maupun transmisi veƌƟŬĂů͘ SeƟap negara dimungkinkan memiliki moda penularan yang berbeda. Studi yang dilakukan terhadap populasi di negara Asia dan Afrika menunjukkan infeksi VHB kronik pada populasi HIV melalui transmisi veƌƟkal pada pajanan awal kehidupan.1 Angka kejadian koinfeksi HIV VHB melalui perinatal di negara Asia mencapai 90%, lebih ƟŶggi dibandingkan dengan negara Amerika dan Eropa, di mana mayoritas transmisi HIV VHB pada negara tersebut terjadi melalui infeksi seksual LSL. Di Indonesia, koinfeksi HIV VHB ditemukan lebih banyak pada populasi LSL, mungkin disebabkan karena Ɵngginya ƟŶŐkat transmisi verƟkal monoinfeksi ŚĞƉĂƟƟs B, sehingga banyak bayi laki laki yang telah terinfeksi hepaƟƟs B sejak di dalam kandungan. Oleh karena itu, transmisi koinfeksi HIV VHB melalui hubungan LSL menjadi lebih ƟŶggi. Tidak ditemukan perbedaan cara transmisi antara populasi pasien dengan koinfeksi HIV VHB dan monoinfeksi VHB.5 I.2.
41
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Tabel 1.1. Transmisi infeksi virus hepaƟƟs B berdasarkan studi di negara Barat 3 Cara transmisi Besar populasi Kontak seksual Heteroseksual 4 6% Lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) 9 17% Transmisi verƟkal Penularan dari ibu ke anak pada kehamilan 10 90% dan kelahiran (perinatal) Parenteral Pengguna narkoba dengan jarum sunƟk 7 10% Peran Koinfeksi Peran HIV pada Perjalanan Alamiah VHB Pada pasien hepaƟƟs B kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepaƟƟs B. Pasien dengan infeksi HIV dan VHB kronik memiliki DNA VHB yang lebih ƟŶggi dan kemungkinan klirens spontan VHB yang lebih rendah.1 Adanya HIV berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya sirosis haƟ pasien dengan hepaƟƟs B kronik, sehingga pada akhirnya penyakit haƟ berperan sebagai penyebab terbesar kemaƟan pasien dengan HIV, khususnya setelah ditemukannya terapi anƟretroviral/anƟretroviral therapy (ART).1, 6 8 Adanya HIV juga meningkatkan risiko pasien dengan infeksi hepaƟƟs B kronik mengalami karsinoma hepatoselular.6 8 Pasien koinfeksi HIV VHB memiliki risiko mortalitas akibat penyakit haƟ sebesar 2 3 kali lipat dibandingkan dengan pasien monoinfeksi HIV dan 17 kali lipat dibandingkan dengan pasien monoinfeksi VHB. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit haƟ pada pasien dengan koinfeksi HIV VHB mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Peningkatan replikasi virus hepaƟƟs B Pada pasien koinfeksi HIV VHB, virus ŚĞƉĂƟƟs B dengan kondisi imunokompromais berat mungkin mempengaruhi secara langsung efek sitopaƟŬ tetapi jarang terjadi dan dapat menyebabkan suatu kondisi yang unik yaitu Įďrosing cholestaƟĐ heƉĂƟƟs. Kondisi tersebut berhubungan dengan ƟŶgginya kadar DNA VHB. b. Penurunan kejadian klirens spontan HBeAg Pada pasien koinfeksi HIV VHB mengalami penurunan kejadian klirens spontan lima kali lipat dibandingkan monoinfeksi VHB. c. Peningkatan risiko infeksi ŚĞƉĂƟƟs B kronik Setelah terinfeksi virus hepaƟƟs B, pasien HIV mempunyai risiko enam kali lipat untuk terjadinya infeksi ŚĞƉĂƟƟs B kronik. Berdasarkan studi retrospekƟf yang dilakukan oleh Bodsworth et al. dari 77 pasien yang terdiagnosa hepaƟƟs B kronik, didapatkan 31 pasien yang sebelumnya telah terinfeksi HIV. Dari pasien HIV, 23% berkembang menjadi hepaƟƟs B kronik dibandingkan dengan 4% dari pasien yang Ɵdak terinfeksi HIV. Dengan catatan, nilai hitung rata rata sel T CD4+ lebih rendah pada pasien terinfeksi HIV yang berkembang menjadi ŚĞƉĂƟƟs B kronik dibandingkan dengan pasien HIV yang Ɵdak berkembang menjadi hepaƟƟs B kronik.9 d. Peningkatan progresi penyakit haƟ Ɵologi mengenai peningkatan progresi penyakit haƟ pada pasien koinfeksi HIV VHB masih belum jelas, mungkin berkaitan dengan faktor faktor seperƟ ŇĂre terkait restorasi imun, toksisitas anƟretroviral, peningkatan patogenisitas VHB, dan kemungkinan secara langsung efek HIV terhadap Įďrosis.9 I.3. I.3.a.
Peran VHB pada Perjalanan Alamiah HIV Hingga saat ini, data yang dikumpulkan terkait peran VHB dalam perjalanan alamiah HIV masih kontroversial.1, 10 Beberapa studi menunjukkan adanya peranan VHB dalam perjalanan alamiah HIV yaitu meningkatkan replikasi virus HIV sehingga mempercepat HIV menjadi AIDS, meningkatkan hepatotoksik akibat terapi ĂŶƟƌetroviral (ARV), menurunkan CD4 pada pasien dengan I.3.b.
42
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
sirosis dan hipersplenisme.11 Namun, berdasarkan studi terbaru menunjukkan ƟĚĂŬ ada data yang kuat bahwa VHB memiliki pengaruh dalam respons HIV terhadap ARV, perkembangan HIV menjadi AIDS dan menurunkan CD4.5 7, 12 Rangkuman Sebanyak 70% pasien HIV terbukƟ mengalami infeksi hepaƟƟƐ B akut maupun kronik Infeksi VHB menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien HIV di dunia Pasien HIV dengan infeksi VHB akut memiliki risiko 10 kali lipat lebih Ɵnggi untuk mengalami infeksi kronik dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi VHB Kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan virus hepaƟƟs B (VHB) menyebabkan ƟŶgginya angka kejadian koinfeksi HIV VHB Moda transmisi infeksi VHB pada pasien HIV adalah melalui kontak darah (kontak seksual dan injeksi jarum sunƟk) dan transmisi verƟkal Koinfeksi HIV VHB ditemukan lebih banyak pada populasi LSL di Indonesia HIV memiliki peran bermakna dalam perjalanan alamiah virus ŚĞƉĂƟƟs B. Pasien koinfeksi HIV VHB memiliki DNA VHB yang lebih ƟŶggi dan kemungkinan bersihan spontan VHB yang lebih rendah serta meningkatkan risiko terjadinya sirosis haƟ dan karsinoma hepatoselular. Peran hepaƟƟƐ B dalam perjalanan alamiah HIV masih kontroversial
43
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
BAB II DIAGNOSIS DAN TATTALAKSAN NA II.1. Diagnosis enilaian Risikko HIV dan Diagnosis D HIV V AIDS padaa Pasien denggan VHB II.1.a. Pe Daapat dilihat pada p bab seb belumnya. Koinfekssi lain Skkrining anƟb bodi virus heepaƟƟƐ C (V VHC) dan heepaƟƟs A (IgG anƟbodi ŚĞƉĂƟƟs A) A harus dilakukan pada seƟaap pasien deengan koinfeksi HIV dan n hepaƟƟs B. B Bila ƟĚĂk ditemukan adanya h infeksi laama maka dapat diberikan vaksin virrus heƉĂƟƟss A (VHA). Vaaksinasi terhadap virus hepaƟƟs C hinggaa saat ini belu um ditemukaan. II.1.b. Peenilaian Risikko VHB dan Diagnosis HepaƟƟƐ B paada Pasien yang Terinfekksi HIV Seemua pasien dengan HIV V dilakukan pemeriksaan p n HBsAg. Passien dengan HBsAg posittif harus dilakukan pemeriksaaan HBeAg, hitung h jumlah virus DNA VHB, pemerriksaan fungssi haƟ sepertti enzim u protrombin n/ Prothromb bin Ɵme (PT)), dan tromb bosit. Pemeriiksaan ini diggunakan transaminase, waktu m kondiisi haƟ sebeelum terapi dan d juga meenentukan waktu w dimulaainya terapi.. Pasien untuk menilai dengan HBsAg negaaƟf dianjurkkan dilakukan pemeriksaaan anƟbodi HBc dan anƟbodi a HBss untuk dak adanya infeksi di maasa lampau. Pasien denggan ĂŶƟďodi HBc memiliki risiko menilai ada atau Ɵd mengalaami reakƟfasi, khususnyaa pada keadaaan imunosupresi. Gambar 2.1. 2 Fase fasse infeksi virus hepaƟƟs B kronik
n yang jelas mengenai perjalanan n alamiah infeksi VHB B kronik daan hasil Pemahaman interprettasi hasil pemeriksaan serologis s VHB B diperlukan n sebelum memulai m teraapi. Terdapatt empat fase pad da infeksi VHB kronik, yaitu: Fasee imunotoleran Fasee ini ditandaai dengan kadar DNA VHB V yang Ɵn nggi dengan kadar alaniin aminotran nsferase (ALTT) yang norm mal, Fasee imunoklireens Pad da fase ini teerjadi perlaw wanan terhaadap virus oleh sistem imun, sehinggga terjadi fluktuasi f nilai ALT dan DN NA VHB, r Fasee pengidap inakƟf/ Low replicaƟve Fasee ini ditandaai dengan DN NA VHB yang rendah (<2xx103 IU/mL), nilai ALT no ormal dan kerusakan hati minimal,
44
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Fase reak fasi Pasien pada fase pengidap inak f dapat mengalami fase reak fasi, dimana DNA VHB kembali naik mencapai >2x103 IU/mL dan i amasi ha kembali terjadi. II.1.C.Pemeriksaan Virus He s B (VHB) Lanjut A. Pemeriksaan Klinis Untuk Gejala Penyakit Pemeriksaan klinis untuk gejala adanya penyakit ha sangat diperlukan. Ada atau dak adanya sirosis menjadi kunci untuk strategi pengobatan pada pasien koinfeksi HIV-VHB. Gejala sirosis melipu : Pembesaran dan perubahan struktur ha , Hipertensi portal (ensefalopa hepa k, perdarahan saluran cerna, dan splenomegali), Terjadinya pelebaran kapiler darah supe sial (spider Ŷaevi), kemerahan pada telapak tangan (palŵar erLJtheŵa), Ikterus, asites, dan edema. B. Pemeriksaan Tes Serologi dan Molekuler Untuk Status VHB Pada pasien dengan koinfeksi HIV-VHB, petugas pelayanan kesehatan harus menger dalam menginterpretasi hasil tes serologi dengan demikian akan lebih mudah dalam menentukan terapi yang akan dipilih (tabel 2.2).
Taďel 2.2. Interpretasi Tes Serologi Penanda HBsAg An -HBs Masa Inkubasi Infeksi Akut Infeksi Lampau Infeksi Kronik Imunisasi
IgM An HBc +
HBeAg
An -HBe
DNA VHB
±
-
+
+
-
An -HBc Total +
-
+
+
-
-
±
-
+ -
+
+ -
± -
± -
± -
+ -
C. Biopsi ng dalam diagnosis dan tatalaksana pasien Biopsi ha merupakan pemeriksaan yang sangat dengan infeksi virus hep s B. Biopsi ha juga berperan pe ng dalam tatalaksana infeksi virus hepa s B pada koinfeksi HIV-VHB. Melalui pemeriksaan biopsi, derajat nekroin amasi yang terjadi pada sel ha dan kekakuan ha dapat diukur. Penjelasan mengenai biopsi ha yang lebih mendalam dapat dilihat pada bab sebelumnya. Pemeriksaan jaringan menggunakan biopsi ha sulit digunakan untuk pemantauan keberhasilan terapi. Oleh karena hal tersebut, dikembangkan berbagai metode non-invasif yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Namun, terdapat perbedaan nilai AUC pemeriksaan AST to Platelet o IŶĚex (APRI) dan Fibroscan antara koinfeksi HIV-VHC dengan koinfeksi HIV-VHB. Suatu studi meta analisis dilakukan terhadap 9 studi untuk menilai kemampuan skor APRI untuk menilai derajat brosis ha pada pasien dengan koinfeksi HIVVHB. Studi menunjukkan nilai Area hŶĚer the Ƶƌve (AUC) untuk derajat brosis F3 dan F4 adalah 0,79 and 0,75. Nilai ambang batas 0,5 menunjukkan sensi tas sebesar 84% dan spes sitas sebesar 41%. Nilai ambang batas sebesar 1,5 menurunkan sensi tas sebesar 49% dan meningkatkan spesi sitas sebesar 84%. Nilai Area hŶder aŶ ROC Ƶƌǀe (AUROC) kurang dari 80% menunjukkan penggunaan skor APRI belum dapat menggan kan teknik biopsi sepenuhnya. 13 Meskipun metode di atas belum dapat menggan kan biopsi ha , elastogra transien (ET) banyak digunakan dalam diagnosis dan pemantauan derajat brosis ha pada pasien hepa s B
45
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
maupun C karena memiliki sensii tas, spesi sitas, maup pun Area Under the Curvve (AUC) yang cukup m baik. Seelain itu, pemeriksaan ini bersifat non-invasif dan dak memerlukan waktu yang lama, sehinggaa lebih mudah digunakaan untuk me p s B emantau deerajat brosiis ha pada pasien hep maupun C yang men ndapatkan taatalaksana an virus. Mekanisme pem meriksaan ETT dapat dilih hat pada nfeksi HIV daan VHC. bab sebeelumnya membahas koin Seelain pada paasien dengan n monoinfeksi hepa s B dan hepa s C, penggu unaan ET jugga dapat diterapkkan pada passien koinfekssi HIV dan VHB. V Studi yaang dilakukaan terhadap 62 pasien kkoinfeksi n VHB dilakukan untuk membandingkan kemaampuan diaggnos k ET dengan biopsi ha HIV dan sebagai standar baku emas. Hassil peneli an menunjukkan nilai AUC C yang baik untuk u se ap derajat OC untuk F 2 sebesar 0,,85, F 3 sebesar 0,92, dan F4 sebesar 0,96. brosis ha , di mana nilai AURO F F3, dan F4) berturutt-turut sebessar 5,9; 7,6; dan d 9,3. Nilai opttimal untuk s ap derajaat brosis ( F2, Sensi ttas untuk see p derajaat brosis menggunakan m n ET juga baik, b dengan n nilai untukk se ap derajat ffibrosis bertu urut-turut ad dalah 81%, 85%, dan 92% %.14 Seelain pemerriksaan di atas, a diperlukan pemeeriksaan lain n untuk menilai progrresivitas kerusakaan h . Dipeerlukan pemeeriksaan k dan laboratorium yangg menyeluruh h untuk men nilai ada atau aaknya sirosiss, selain pem meriksaan biiopsi. Penghitungan skorr Child Pugh h dapat dilihat pada bab sebeelumnya. morbid D. Evaluasi Kom Dapat diilihat pada bab sebelumn nya. s B dan HIV II.2. Tataalaksana Passien Koinfeksi He Tu ujuan tatalaaksana padaa pasien koinfeksi k HIV-VHB adalah menuru unkan progresiĮtas berkemb bangnya sirosis, mencegah dekompensasi ha , men ncegah terjjadinya karrsinoma hepatoseelular. Target terapi ko oinfeksi HIV V-VHB adalaah menekan n secara e sien dan persisten replikasi VHB dan menghen m kaan progresifiitas penyakit, baik komplikasi maup pun kema an a yang penyakit hatii.15, 16 Terapi an virus un ntuk infeksi vvirus hepa tis t B kronik pada p pasien dengan terkait p koinfekssi HIV dan VH HB dilakukan n terus menerus seumur hidup.16 Haal ini disebabkan karenaa pasien miliki kemunggkinan kecil untuk menggalami serokkonversi dengan koinfeksi HIV dan VHB hanya mem H 16 HBsAg dan munculnyya an bodi HBs. pa obat mem miliki ak vitass an HIV dan VHB. Hal in ni dapat dilih hat pada skema berikut: Beberap
Pemberiian entecaviir pada pasien HIV dengan infeksi VHB kronik yang dak mendapatkkan ARV dapat m memicu muttasi M184V yang akhirn nya menyeb babkan resisstensi terhadap lamivud din dan emtricitaabin.6 Pada pasien p dengaan terapi VHB dan HIV diindikasikan, pilihan penggobatan VHB B adalah dengan menggunakkan tenofoviir dengan kombinasi k laamivudin ataau emtricitaabin.6-8, 15, 166Apabila terjadi rresistensi laamivudin, reegimen teraapi an -HIV harus ditambah denggan tenofovir, atau menggan n salah satu NRTI denggan tenofovir.15, 17 Pembeerian tenofo ovir pada koiinfeksi VHB dan d HIV memilikii hasil yang cukup c baik, dengan supresi VHB DN NA >90%, hilaangnya HBeA Ag pada 46% % kasus, dan hilaangnya HBsA Ag sebesar 12% pada kasus HBsA Ag posi f seetelah terapi selama 5 tahun.8
46
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Penggu unaan obat ini Ɵdak boleeh dihenƟkan, karena ob bat obat tersebut merup pakan ARV yang y juga memiliki efek anƟvirus terhad dap VHB, se ehingga pen nghenƟan ob bat tersebutt memicu teerjadinya s sehingga tenofo ovir ƟĚĂk kerusakkan hepatosselular akibaat reakƟfasi.6 Apabila oleh karena sesuatu dapat d digunakan, alternaƟf a terapi yang direkomendasi adalah menggunakan n entecavir ditambah d dengan n ĂŶƟretroviiral yang akttif menekan n replikasi VHB V atau mo onoterapi peeg IFN atau adefovir dikomb binasi dengaan lamivudin n atau emtricitabin atau u telbivudin ditambah dengan d anƟrretroviral yang ju uga akƟĨ men nekan replikaasi VHB.6 P Penggunaan telbivudin pada p terapi koinfeksi HB BV dan HIV termasuk dii dalam reko omendasi yang dianjurkan d oleh (American Associatiion for the Study of Liver Diseasess) AASLD, (EEuropean Associa aƟon of Sino ological Libra arians) EASL, namun pen neliƟan in vittro yang dilaakukan oleh Lin et al. menunjukkan rend dahnya akƟfiitas telbivud din terhadap p HIV, sehinggga memungkinkan pen nggunaan H Akan tettapi Low, obat ini pada pasien HIV dengan risiko yangg rendah akaan munculnya resistensi HIV. melaporkan hal h sebaliknyya, dimana teerdapat pasieen dengan nilai n RNA HIV V yang rendah setelah et al. m terapi kkombinasi ad defovir dan telbivudin. Nilai N ini melo onjak segeraa setelah pen nghenƟan teelbivudin, sehinggga dipikirkan n mungkin telbivudin mem miliki peran dalam terap pi HIV.18 P PeneliƟan laain dilakukan n oleh Milaazzo et al. terhadap t 3 pasien koin nfeksi HIV VHB V yang mendapatkan mon noterapi telb bivudin selam ma 6 bulan. Hasil peneliƟan menun njukkan kem mampuan ukup baik teerhadap viru us hepaƟƟƐ B dan ƟĚakk adanya akkƟvitas terhaadap HIV telbivudin yang cu g terhadap obat ARV yang teerjadi.19 maupun resistensi genoƟpik P Pasien dapatt berada dalam kondisi dengan d nilaii DNA VHB dan d anƟ HBcc posiƟf serta derajat nekroin nŇĂmasi yan ng ƟŶggi, naamun HBsAgg Ɵdak terdeeteksi. Kond disi ini diseb but occult VHB. Oleh karena itu, diperlukan pemerikksaan HBsAgg dan anƟ HBC, dan hitu ung muatan virus DNA VHB V pada h pasien den ngan HIV. Pasien P dengaan seluruh hasil h pemeriksaan negattif, dianjurkaan untuk seluruh mendapatkan vaksiinasi hepaƟttis B, dengan kondisi nilai CD4 lebih dari d 200 sel/m mm3. d dilihat pada gambaar dan tabel di bawah ini:20 Panduaan susunan tatalaksana dapat
d keegagalan terrapi hepaƟƟss B dengan te enofovir.TDFF = tenofovir, EFV = *Saaat ini belum dilaporkan effavirens, PeggIFN = pegylaated interfero on, ADV= ad defovir, LPV/rr = lopinavir//ritonavir, 3TTC = lamivudin,, FTC = emtricitabine, ETV V = entecavir, LdT = telbivudine, AZTT = zidovudin
47
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Taabel 2.5. Dossis obat anƟretroviral un ntuk remaja dan dewasaa. Nam ma generik Dosis Nuccleoside reverse transcrip ptase inhibito or (NRTI) Emttricitabin (FT TC) 1 x 200 0 mg Lam mivudin (3TC 2 x 150 0 mg atau 1 x 300 mg NuccleoƟde reverrse transcrip ptase inhibito or (NtRTI) Tenofovir (TDF)) 1 x 300 0 mg efovir (ADV) 1 x 10 mg Ade Non n nucleoside reverse tran nscriptase inh hibitor (NNRTI) Efavvirenz (EFV) 1 x 600 0 mg T Target terap pi dalam pen ngobatan koinfeksi HIV VHB V adalah kadar DNA VHB V kurang dari 60 IU/mL (<<300 kopi/m mL) setelah pengobatan p selama 24 minggu m dan selama mon nitor selang 6 bulan DNA VHB Ɵdak terde eteksi. 2.3. Inteeraksi Obat Beerikut adalah tabel yang menunjukkkan berbaggai interaksi obat NRTI (nucleoside reverse transcrip ptase inhibito ors) dengan obat lainnyaa : 2 Interaksi antar obat hepĂƟƟs h B dan HIV Tabel 2.6. Adefovir
Telbivvudin
Obat Hep pĂƟƟs B Adefovir Telbivudin PEG interrferon alfa HIV NRTI Tenofovirr Zidovudin n
N/A
Stavudin
N/A
Lamivudin n Abacavir
N/A
Emtricitab bin
N/A
HIV NNRTTI
48
Efavirenz
N/A
Nevirapin n
N/A
Peg interrferon alfa
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
HIV PI Lopinaviir
N/A
Ritonaviir Opioid Metadon
N/A A
N/A
k obat tidak t boleh diberikan d berrsama (ada b bukƟ klinis daan/atau tertulis di label) = kedua = kedua obat ƟĚĂŬ boleh h diberikan bersama (ssecara teorittis, belum ada a ďƵŬƟ kliinis/Ɵdak ttertulis di lab bel) =m mungkin terjadi interaksii; perlu pem mantauan kettat, pengaturan dosis atau perubahaan waktu p pemberian o obat ((ada bukƟ kliinis dan/atau u tertulis di label) =m mungkin terj rjadi interakssi; perlu pem mantauan kettat, pengatu uran dosis attau perubahaan waktu p pemberian o obat ((secara teoriƟs, belum ad da bukƟ kliniis/Ɵdak tertu ulis di label) = tidak t ada interaksi klinis yang signiĮkkan (ada bukƟ klinis) = tidak t ada interaksi klinis yang signiĮkkan (secara teeoriƟƐ͕ belum m ada bukƟ klinis) N/A = belum b ada data ngan interakksi: Keteran Adefovvir Telbivu udin: Pemb berian adefo ovir (10 mg/h hari) Ɵdak mengubah farrmakokineƟkk plasma stea ady state telbivvudin (600 mg/hari), dan d sebalikn nya. Koadministrasi ked dua obat diitoleransi denggan baik.24 Peg IFN N: Studi farmakokin neƟk PEG intterferon alfaa menunjukkkan variabilitas yang Ɵn nggi pada berian bersaamaan dengaan adefovir; hasil studi inkonklusif. i Jalur J eliminaasi kedua pemb obat memang berbeda nam mun disarankkan monitorr efek samping yang leb bih ketat N alfa.25 padaa koadministrasi adefovirr dan PEG IFN Tenofo ovir: Tidakk ada perubaahan farmakokineƟk yang signiĮkan pada p koadministrasi adeefovir dan tenofovir. Namun n, keduanya Ɵdak direko omendasikan n untuk diberrikan bersam ma.25,26 Lamivu udin: Tidakk ada interakksi ƐŝŐŶŝĮkan n pada koadm ministrasi ad defovir 10 mg m dan lamivvudin 100 mg.255 Nevirap pin: Tidakk ada interakksi signiĮkan pada koadm ministrasi ade efovir 10 mgg dan nevirap pin.25 Efavirenz: Tidakk ada interakksi signiĮkan pada koadm ministrasi ade efovir 10 mgg dan efavirenz.25 Tidakk ada perbeedaan konseentrasi ritonavir yang bermakna b siggniĮkan anttara grup Ritonavvir: terap pi dengan daan tanpa ade efovir. AUC adefovir a ƟĚaak berbeda signiĮkan s anttara grup 27 terap pi dengan daan tanpa ritonavir. udin Telbivu Peg IFN N:
Adefovvir:
Uji klinis menunjukkan adanya a pen ningkatan risiko r neuro opaƟ perifeer pada dministrasi telbivudin daan peg IFN; kedua obaat ini dikonttraindikasikaan untuk koad diberrikan bersam maan.28,29 Farm makokineƟk steady s statee telbivudin Ɵdak berub bah pada ko oadministrasi dengan 24,28 adefo ovir, dan seb baliknya.
49
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Lamivudin:
Tenofovir:
Studi fase II menunjukkan respon terapi pada kombinasi telbivudin dan lamivudine lebih rendah dibandingkan monoterapi telbivudin. Tidak ada perubahan farmakokŝŶĞƟŬ yang signiĮkan pada kedua obat, namun keduanya dikontraindikasikan untuk diberikan bersamaan.24,28 FarmakokineƟk steady state telbivudin ƟĚak berubah pada koadministrasi dengan tenofovir, dan sebaliknya.28,30
Peg Interferon alfa Adefovir: Studi farmakokineƟk PEG interferon alfa menunjukkan variabilitas yang ƟŶggi pada pemberian bersamaan dengan adefovir; hasil studi inkonklusif. Jalur eliminasi kedua obat memang berbeda namun disarankan monitor efek samping yang lebih ketat pada koadministrasi adefovir dan PEG IFN alfa.25 Telbivudin: Uji klinis menunjukkan adanya peningkatan risiko neuropaƟ perifer pada koadministrasi telbivudin dan peg IFN; kedua obat ini dikontraindikasikan untuk diberikan bersamaan.28,29 Tenofovir: Telah dilaporkan kejadian gagalhaƟ pada koinfeksi VHC HIV dengan sirosis dalam pengobatan kombinasi tenofovir dan peg IFN. Monitor gejala gagal haƟ dan anemia.30 Zidovudin: Terdapat risiko signiĮkan terjadinya anemia sehingga pemberian zidovudine bersama peg IFN/RBV Ɵdak dianjurkan. 30 Stavudin: Insidens pankreaƟƟs dan asidosis laktat mencapai 3% pada pemberian secara bersamaan dengan peg IFN/RBV. 30 Lamivudin: Tidak ada interaksi farmakokineƟŬ namun telah dilaporkan kejadian gagal haƟ pada koinfeksi HIV VHC dengan sirosis dalam pengobatan kombinasi lamivudin dan peg IFN. Monitor gejala gagal haƟ dan anemia. 30 Abacavir: Beberapa studi melaporkan respon terapi peg IFN/RBV berkurang pada pemberian bersama abacavir, namun masih kontradikƟf dengan hasil studi lain.30 Emtricitabin: Risiko gagal haƟ dilaporkan lebih Ɵnggi pada pemberian bersamaan dengan peg IFN/RBV. Pantau munculnya gejala gagal haƟ dan anemia.30 Metadon: Pemberian peg IFN alfa 2a (180 mcg per minggu selama 4 minggu) pada pasien VHC dalam methadone maintenance therapy terbukƟ meningkatkan kadar metadon 10 15%. Tidak diketahui adanya signiĮkansi klinis. Pantau EKG ruƟn untuk deteksi adanya toksisitas metadon. 30 II.4. Kontraindikasi Obat Kontraindikasi dari masing masing obat untuk pengobatan koinfeksi HIV dan VHB adalah: 9 1. Kontraindikasi penggunaan IFN maupun Peg IFN : Kontraindikasi absolut : Hamil dan menyusui Penyakit haƟ terdekompensasi (meningkatkan risiko thrombopenia, kemaƟan karena gagal haƟ atau sepsis); Penyakit psikiatri Ɵdak terkontrol Leukopenia signiĮkan atau thrombositopenia (<50.000); Penyakit arteri koroner ƟĚak stabil, diabetes atau hipertensi; atau Gangguan kejang ƟĚak terkontrol Kontraindikasi reůĂƟĨ : Penyakit autoimun Riwayat depresi atau penyakit psikiatri 2. Kontraindikasi adefovir (ADV) adalah hamil dan nefrotoksisitas. Tidak ada data mengenai interaksi ADV dengan obat yang lain.
50
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
3.
4.
5.
Kontraindikasi lamivudin (3TC) adalah hipersensiƟĮtas dan terdapat interaksi lamivudin dengan cotrimoxazole, stronƟƵm 89 chloride, sulphametoxazole, trimethoprim. Lamivudin dikontraindikasikan untuk digabung dengan pemberian emtricitabine dikarenakan keduanya meningkatkan risiko untuk terjadinya immune ƌĞĐŽŶƐƟƚƵƟŽŶ syndrome. Kontraindikasi emtricitabin + tenofovir adalah penggunaan untuk prŽĮůĂksis pada individu dengan HIV 1 posiƟf atau dengan status yang ƟĚak diketahui. Indikasi kombinasi emtricitabin dan tenofovir adalah hanya untuk pasien terinfeksi HIV dengan kombinasi regimen anƟretroviral lainnya. Kontraindikasi entecavir adalah hipersensiƟĮƚĂƐ͘21 Namun perlu diperhaƟkan efek sampingnya yang dapat menyebabkan kemaƟan yaitu asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan steatosis. Pada pasien koinfeksi HIV VHB yang Ɵdak diterapi dengan anƟretroviral, penggunaan entecavir masih ƟĚak direkomendasikan karena berpotensi menyebabkan resistensi.
II.5. Pemantauan dan Evaluasi pada Pasien Koinfeksi HIV VHB II.5.a. Pemantauan heƉĂƟƟs B Tujuan dari pemantauan pasien selama terapi adalah untuk menilai keamanan penggunaan obat, ketaatan minum obat, dan respon terapi. Respon terapi hepaƟƟs B yang baik ditandai dengan: Serum ALT yang tetap normal Kadar DNA VHB yang terus menurun (seƟĚaknya menurun <1 log DNA VHB setelah 3 bulan terapi dan jumlah virus <200 IU/mL dalam waktu jangka panjang) Pemantauan terapi dilakukan dengan jadwal sebagai berikut Sebelum Bulan Bulan Bulan Terapi Pertama Kedua KeƟga Serum ALT Kadar DNA VHB
^ĞƟĂƉ 3 bulan
SeƟap 6 bulan
Respons terapi hepaƟƟs B pada pasien koinfeksi HIV VHB serupa dengan monoinfeksi VHB, yang melipuƟ: a. Complete Virological Response ĞĮŶŝƐŝ compleƚe virologic response adalah kadar DNA VHB kurang dari 60 IU/mL (<300 kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Untuk pasien dengan compleƚe virologic response, terapi dilanjutkan dengan obat yang sama dan tetap dilakukan monitor selang 6 bulan. b.
ParƟĂů Virological Response ĞĮŶŝƐŝ parƟĂů virologic response adalah kadar DNA VHB kurang dari 2000 IU/mL (<4 log10 kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Pada pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan obat yang low ŐĞŶĞƟĐ barrier (contoh: lamivudine), ditambahkan obat kedua yang Ɵdak cross resisƚanƚ untuk mencegah munculnya resistensi dan lonjakan virus. Pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan obat yang high geneƟc barrier (contoh: entecavir) harus monitor ulang selang Ɵga bulan dan teruskan terapi selama 48 minggu. Pada pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan DAA dan high barrier ƌĞůĂƟĨ (contoh: adefovir), harus monitor ulang selang ƟŐa bulan, pengobatan dilanjutkan 48 minggu, jika setelah 48 minggu tetap hasilnya Ɵdak adekuat maka harus mengganƟ terapi. Namun, jika setelah 48 minggu responnya menjadi komplit maka pengobatan diteruskan.
51
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
c.
Inadequate Virological Response De nisi inadequate virologic response adalah kadar DNA VHB lebih dari atau sama dengan 2000 IU/mL ( 4 log10 kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Pasien dengan respon yang dak adekuat memerlukan penggan an terapi, jika masih tersedia dapat diberikan obat cross-resistant. Setelah pengga an terapi, monitor tetap dilanjutkan kedua yang selang 3 bulan.
II.5.b. Monitor ARV Hitung CD4 sebaiknya dimonitor ap 3-6 bulan dan jumlah virus HIV (jika tersedia) dimonitor ap 6 bulan. II.5.c. Monitor Ketaatan Pasien dalam Mengkonsumsi Obat Pasien harus diberitahu oleh petugas pelayanan kesehatan mengenai efek samping dan toksiksitas dari obat ARV sehingga pasien dak menghen kan sendiri pengobatannya. II.6. Hepatotoksisitas akibat ARV Toksisitas dapat terjadi pada pasien yang menerima NRTI, yang dapat menyebabkan mikrosteatosis berat dengan asidosis laktat. Kondisi ini berpotensi parah dengan ngkat kema an yang nggi maka dalam keadaan tersebut disarankan menggan dengan ARV yang lain. Komplikasi terkait ha dapat terjadi akibat are ak vitas VHB, disk nuasi ARV, atau toksisitas ARV yang dapat mempengaruhi terapi HIV. Beberapa di antaranya adalah:26 FTC, 3TC, dan TDF juga memiliki vitas an viral terhadap VHB. Diskon nuasi obat-obat ini dapat menyebabkan kerusakan hepatoselular yang berat akibat reak fasi VHB. Entecavir ak f terhadap HIV. Penggunaan entecavir sebagai terapi VHB pada pasien koinfeksi tanpa ARV dapat menyebabkan mutasi seleksi pada M184V, menghasilkan resistensi terhadap 3TC dan FTC.6 Entecavir hendaknya hanya digunakan pada pasien dalam regimen ARV dengan virus tersupresi pada kasus koinfeksi HIV/VHB. Apabila 3TC digunakan sebagai obat tunggal pada koinfeksi, resistensi VHB terhadap 3TC ditemukan pada 40% kasus terapi 3TC setelah 2 tahun dan 90% setelah 4 tahun. 3TC dan FTC harus digunakan dalam kombinasi dengan an -HBV lainnya. Rekons tusi imun setelah inisiasi terapi HIV dan/atau HBV dapat menyebabkan peningkatan transaminase, karena VHB merupakan penyakit dipengaruhi oleh sistem imun. Beberapa ARV dapat menyebabkan peningkatan transaminase dan derajat serta progresinya pada koinfeksi VHB. Pada koinfeksi, peningkatan transaminase dapat dikaitkan lebih dengan serokonversi HBeAg akibat rekon tusi imun, sehingga penyebab peningkatan ini harus dipas kan sebelum memutuskan untuk menghen kan terapi. Serokonversi harus dinilai dari kadar HBeAg, an -Hbe dan DNA VHB. II.7. Skrining Karsinoma Hepatoselular Infeksi virus hepa s B sangat berhubungan dengan berkembangnya menjadi kanker ha bahkan tanpa adanya sirosis. Rekomendasi dari PPHI menunjukkan pe ngnya dilakukan skrining untuk karsinoma hepatoselular se p 6-12 bulan dengan modalitas pemeriksaan alfa-fetoprotein (AFP) dan USG pada kelompok berisiko, termasuk pasien dengan hepa B kronik yang berusia lebih dari 30 tahun.22
52
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
Rangkuman SeƟap pasien VHB dianjurkan untuk melakukan penilaian risiko dan diagnosis HIV mengingat adanya kesamaan moda transmisi Skrining anƟďodi VHC dan hepaƟƟs A harus dilakukan pada seƟap pasien koinfeksi HIV VHB. Vaksinasi virus hepaƟƟs A diberikan kepada pasien koinfeksi HIV VHB yang Ɵdak menunjukkan adanya infeksi lama virus hepaƟƟs A untuk mencegah infeksi VHA Semua pasien HIV perlu memeriksakan status infeksi VHB dengan pemeriksaan HBsAg Pasien koinfeksi HIV VHB perlu melakukan pemeriksaan HBeAg dan hitung jumlah virus DNA VHB untuk menentukan fase infeksi virus hepaƟƟs B dan juga melakukan pemeriksaan fungsi haƟ untuk menilai kondisi haƟ sebelum terapi Pemeriksaan serologi ŚĞƉĂƟƟƐ B yang menyeluruh perlu dimengerƟ oleh seluruh petugas pelayanan kesehatan untuk menentukan status infeksi VHB pasien Tata laksana pasien koinfeksi HIV VHB memiliki tujuan untuk menurunkan progreƐŝĮƚĂƐ berkembangnya sirosis, mencegah dekompensasi haƟ, dan mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular Target terapi koinfeksi HIV VHB adalah menekan secara eĮƐŝensi dan persisten replikasi VHB dan menghenƟkan progresiĮtas penyakit, baik komplikasi maupun ŬĞŵĂƟĂŶ yang terkait penyakit haƟ Terapi VHB pada pasien koinfeksi HIV VHB dilakukan terus menerus seumur hidup karena kemungkinan kecil mengalami serokonversi HBsAg dan munculnya anƟďŽdi HBs Target terapi dalam pengobatan koinfeksi HIV VHB adalah kadar DNA VHB kurang dari 60 IU/mL setelah pengobatan selama 24 minggu dan selama monitor selang 6 bulan DNA VHB ƟĚĂŬ terdeteksi `Pasien koinfeksi HIV VHB dengan indikasi ARV mendapatkan terapi lini pertama untuk ARV berupa tenofovir + lamivudin/emtricitabine + efavirenz. Selain sebagai ARV, tenofovir juga menjadi terapi anƟvirus untuk heƉĂƟƟƐ B. Hingga kina belum dilaporkan kegagalan terapi hepaƟƟs B menggunakan tenofovir Pasien koinfeksi HIV VHB dengan indikasi ARV yang mendapatkan terapi lini pertama dan mencapai target DNA VHB (<60 IU/mL setelah pengobatan selama 24 minggu) namun target CD4/VL HIV Ɵdak tercapai mendapatkan pengubahan lini terapi menjadi zidovudin + tenofovir + lamivudine/emtricitabin + lopinavir yang didahului dengan pemberian ritonavir Pada pasien HIV VHB yang Ɵdak mencapai target DNA VHB namun target CD4/VL HIV tercapai mendapatkan pengubahan regimen terapi berupa entecavir + tenofovir + lamivudine/emtricitabin + efavirens. Pilihan lain adalah dengan mengganƟ entecavir dengan pegylated interferon atau adefovir atau telbivudin Apabila pada pasien HIV VHB kedua target pengobatan hepaƟƟs B dan HIV ƟĚĂŬ tercapai, pasien segera dirujuk ke ahli hepatologi dan HIV PerhaƟĂŶ khusus diperlukan dalam pemberian obat ARV, mengingat banyaknya interaksi dan kontraindikasi obat ARV dengan obat lainnya Pemantauan dan evaluasi pasien koinfeksi HIV VHB melipuƟ pemantauan terapi hepaƟƟs B dan HIV Pemantauan terapi hepaƟƟs B melipuƟ efek samping penggunaan obat, ketaatan minum obat dan respons terapi. Skrining terhadap KHS juga perlu dilakukan seƟap 6 12 bulan Pemantauan terapi HIV melipuƟ peningkatan nilai hitung CD4, ketaatan pasien mengonsumsi obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi seperƟ hepatotoksisitas
53
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
BAB III PENCEGAHAN Pasien dengan HBsAg yang posiƟf perlu mendapatkan penyuluhan mengenai alur transmisi virus hepaƟƟƐ B, karena VHB lebih infeksius dibandingkan HIV. Selain pasien, pasangan seksual, anggota keluarga yang Ɵnggal serumah, anak anak yang memiliki kontak erat dengan pasien, dan pemakai jarum sunƟk secara bersamaan dengan pasien perlu mendapatkan skrining VHB dan vaksinasi.6, 16 Vaksinasi dilakukan pada pasien HIV yang ƟĚak memiliki anƟbodi HBs, hasil pemeriksaan HBsAg negaƟf, dan ƟĚĂŬ memiliki occult VHB. Meskipun demikian, hasil vaksinasi pada pasien HIV menunjukkan hasil yang kurang dibandingkan dengan pasien tanpa HIV, di mana pembentukan anƟbodi HBs yang protekƟf setelah vaksinasi hanya mencapai 18 71%, dibandingkan dengan 90% pada pasien yang ƟĚak terinfeksi HIV.16 Selain itu, HIV juga dihubungkan dengan kecepatan penurunan Ɵter ĂŶƟďŽdi HBs yang lebih cepat. Pemberian dosis vaksinasi 2 kali lipat dari dosis normal dihubungkan dengan peningkatan efekƟvitas dibandingkan dosis normal (20 mcg), yaitu 47% vs 34%.16 Pemberian vaksinasi memberikan efek terbaik pada pasien dengan hitung CD4 lebih dari 350 sel/mm3, namun pemberian vaksinasi Ɵdak perlu menunggu hitung CD4 hingga mencapai batas tersebut, karena beberapa individu terbukƟ tetap dapat membentuk anƟbodi meskipun hitung CD4 rendah.16 Titer anƟbodi diperiksa 1 2 bulan setelah seri vaksinasi, dengan Ɵƚer terbaik adalah 10 IU/L. Vaksinasi ulang dapat dilakukan apabila target Ɵdak tercapai, dan revaksinasi dilakukan dengan dosis 2 kali lipat dari dosis normal.16 Edukasi Pasien Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien harus berheŶƟ mengkonsumsi alkohol Menginstruksikan kepada pasien agar ƟĚĂŬ menggunakan sikat gigi, gunƟŶŐ kuku, jarum sunƟk, dan alat alat lainnya yang berisiko terjadi penularan untuk dipakai bersama sama dengan orang lain maupun keluarga Keluarga terdekat pasien dianjurkan untuk vaksinasi hepaƟƟs B Bagi pasien wanita hamil dianjurkan untuk melakukan konsultasi kepada dokter ahli hepatologi agar dapat menurunkan risiko penularan terhadap janin Menginstruksikan kepada pasien maupun dokter ahli di bidang lain untuk Ɵdak menghenƟkan pengobatan ŚĞƉĂƟƟs B tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter ahli hepatologi karena dapat memicu eksaserbasi akut (Ňare).23
Rangkuman Pasien dengan HBsAg posiƟf perlu mendapatkan penyuluhan mengenai alur transmisi virus ŚĞƉĂƟƟs B Pasangan seksual, anggota yang ƟŶggal serumah, dan anak dengan kontak erat dengan pasien dengan HBsAg posiƟf, serta pemakai jarum sunƟk bersamaan dengan pasien perlu mendapatkan skrining VHB dan vaksinasi VHB Vaksinasi VHB pada pasien HIV yang Ɵdak memiliki infeksi VHB dianjurkan untuk dilakukan, meskipun efek protekƟf berkurang dibandingkan dengan pasien tanpa HIV
54
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7. 8.
9. 10. 11.
12. 13.
14.
15. 16.
Luetkemeyer A. HepaƟƟs B and HIV CoinfecƟon: University of California; 2010 [updated October 2010; cited 2014 10 February]. Available from: ŚƩƉ͗ͬͬŚŝvinsite.ucsĨ͘ĞĚƵͬ/ŶSite? page=kb 05 03 04. Zuckerman AJ. HepaƟƟs Viruses. Baron S, editor. Galveston: The University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996. ScienƟĮc CommiƩĞĞ on AIDS and STI (SCAS) Hongkong. RecommendaƟon on the management of human immunodeĮciency virus and ŚĞƉĂƟƟs B infecƟon. In: Health Do, editor. Hongkong: Center for health protecƟŽŶ͖ 2008. Wandeler G, Gsponer T, Bihl F, Bernasconi E, Cavassini M, Kovari H, et al. ,ĞƉĂƟƟs B virus infecƟon is associated with impaired immunological recovery during anƟretroviral therapy in the Swiss HIV cohort study. J Infect Dis. 2013;208(9):1454 8. Lacombe K, Rockstroh J. HIV and viral hepaƟƟs coŝŶĨĞĐƟŽns: advances and challenges. Gut. 2012;61:47 58. Panel on AnƟƌĞƚƌoviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of anƟretroviral agents in HIV 1 infected adults and adolescents. 2013. Available from: hƩƉ͗ͬͬĂidsinfo.nih.govͬŽŶƚĞntFilesͬAdultandAdolescentGL.pdf. European AssociaƟon For The Study Of The L. EASL clinical pracƟce guidelines: Management of chronic heƉĂƟƟƐ B virus infecƟŽŶ. J Hepatol. 2012;57(1):167 85. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Chan HLY, Chien RN, Liu CJ, et al. Asian Paci c consensus statement on the management of chronic hepaƟƟs B: a 2012 update. Hepatol Int. 2012:531 561. Cowie B, Dore G, Sasadeusz J, editors. Co infecƟŽŶ: HIV & Viral HepaƟƟs, A Guide for Clinical Management. 4th ed. Darlinghurst: Australasian Society for HIV Medicine (ASHM); 2010. Arbune M, Georgescu C. CharacterisƟcs of HepaƟƟƐ B and Disease EvoluƟon in HIV PosiƟve Paediatric PaƟents in Romania. Balkan Med J. 2013;30:263 7. Panel on AnƟƌĞƚƌoviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of anƟretroviral agents in HIV 1 infected pregnant women and prevenƟon of perinatal. AIDSinfo; 2013. Fix OK, Locarnini SA, Peters MG. Virology and clinical management of ŚĞƉĂƟƟs B and HIV coinfeĐƟŽŶ͘ 2007;11:20 7. Jin W, Lin Z, Xin Y, Jiang X, Dong Q, Xuan S. ŝĂŐŶŽƐƟĐ accuracy of the aspartate aminotransferase to platelet raƟo index for the predicƟon of hepaƟƟs B related Įbrosis: a leading meta analysis. BMC gastroenterology. 2012;12:14. Miailhes P, Pradat P, Chevallier M, Lacombe K, Bailly F, CoƩe L, et al. WƌŽĮciency of transient elastography compared to liver biopsy for the assessment of Įbrosis in HIVͬ,V coinfected paƟents. J Viral Hepat. 2011;18(1):61 9. Perhimpunan PeneliƟ HaƟ Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan HepaƟƟs B di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan PeneůŝƟ HaƟ Indonesia; 2012. Luetkemeyer A. HepaƟƟs B and HIV CoinfecƟon: University of California; 2010 [updated October 2010; cited 2014 10 February]. Available from: ŚƩƉ͗ͬͬŚŝvinsite.ucsĨ͘ĞĚƵͬ/ŶSite? page=kb 05 03 04.
55
PETUNJUK KLINIS KOINFEKSI HIV DAN VHB
17. Born P, Rosch T, Triptrap A, Frimberger E, Allescher HD, O R, et al. Long term results of percutaneous transhepa biliary drainage for benign and malignant bile duct strictures. Scand J Gastroenterol. 1998;33(5):544 9. 18. Lin K, Karwowska S, Lam E, Limoli K, Evans TG, Avila C. Telbivudine Exhibist No Inhibitory against HIV 1 Clinical Isolates In Vitro. An microb Agents Chemother. 2010:2670 3. 19. Milazzo L, Caramma I, Lai A, Violin M, De Maddalena C, Cesari M, et al. Telbivudine in the treatment of chronic hepa s B: experience in HIV type 1 infected pa ents naive for an retroviral therapy. An vir Ther. 2009;14(6):869 72. 20. <ĞĞīĞ EB, Zeuzem S, Koī RS, Dieterich DT, Esteban Mur R, Gane EJ, et al. Report of an interna workshop: Roadmap for management of receiving oral therapy for B. Clin Gastroenterol Hepatol. 2007;5(8):890 7. chronic he 21. Na onal Ins tutes of Health HHS. Daily med current medica Bethesda: Squibb & Sons; 2014. Available from: h p://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/ 046e61c9 9298 4b2e b76e b26b81fecd20. lookup 22. Perhimpunan Peneli Ha Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepa s B di Indonesia. Akbar N, editor. Jakarta: PPHI; 2012. 23. Fox R. s B Infec on. In: Services USDoHaH, editor. United States of America: HRSA; 2011. 24. Zhou XJ, Fielman B, Lloyd D. Pharmacokine cs of telbivudine in healthy subjects and absence of drug interac on with lamivudine or adefovir dipivoxil. An microb Agents Chemother 2006; 50: 2309 15. 25. Gilead Sciences Inc. Hepsera: Summary of Product Characteris cs and US Prescribing Informa . Oktober 2009. Available from: h p://www.medicines.org.uk/emc/ medicine/12438/SPC/Hepsera+10+mg+tablets/. 26. Kearney B, Ramanathan S, Cheng A. Systemic and renal pharmacokine cs of adefovir and tenofovir upon coadministra on. J Clin Pharmacol 2005; 45: 935 940. 27. Fletcher C, Acosta E, Cheng H. Compe ng drug drug interac ons among mul rug an retroviral regimens used in the treatment of HIV infected subjects: ACTG 884. AIDS 2000; 14: 2495 2501. Tyzeka: US Prescribing Informa . Desember 2011. Available from: 28. Novar s Pharmaceu h w.pharma.us.n s.com/product/pi/pdf/tyzeka.pdf. Desember 2011. 29. Roche Products Ltd. Pegasys: Summary of Product and Characte Available from: h p://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/EPAR_ _Product_Informa on/human/000395/WC500039195.pdf. Agustus 2010. 30. Novar s Pharmaceu cals UK Ltd. Sebivo: Summary of Product Characteri Available from: h ww.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/ EPAR_ _Product_Informa on/human/000713/WC500049337.pdf. 31. Genetech USA Inc. Copegus: US Prescribing Informa on. June 2010. Available from: h ://www.gene.com/download/pdf/copegus_prescribing.pdf.
56