LAKON “Java : Praba Lana” Oleh : Reni Yuniwati Babak 1 Setting panggung malam di desa yang letaknya di pinggir hutan dengan sebuah gubuk yang berada di pinggir jalan dekat dengan hutan. Suasana sangat sepi karena pada saat itu cuaca sedang dalam keadaan mendung. Tidak nampak seorang pun yang ada disana, hanya semilir angin malam dan sahutan suara jangkrik serta hewan-hewan malam yang menambah kesunyian malam. Beberapa saat kemudian munculah seorang pemuda. Sukir
: “Owalah,desa kok ya sepi begini, (menengok ke kanan dan ke kiri)
Ini gubuk juga di pinggiran, mana ada yang mau kesini malam-malam begini. Apalagi dekat hutan, coba saja kalau Dek Lana, wah syahdu, Dek.” (membenarkan posisi duduk dan mengenakan sarung sembari menengok kanan dan kiri kemudian merebahkan diri) Tak beberapa lama kemudian munculah dua orang pemuda dengan membawa senter dan rantang makanan. Joko
: “Woi, Kir.” (menabok kaki Sukir)
Sukir
: (kaget dan sontak terbangun mengeluarkan jurus seperti akan
berkelahi) “Woalah, kampret. Tak pikir siapa, senggol-senggol. Lagi enak-enak ngobrol sama Dek Sumi malah mbok ganggu. Wuuuuu, ganggu saja.”
Pardi
: “Kamu ini ngobrol sama Dek Lana apa ngapain ? Kok wajahmu
wajah-wajah mesum begitu.” (meletakkan rantang dan duduk) Sukir
: “Ya jelas ngobrol sama Dek Lana. Mbok pikir ngapain lagi. Kamu ini
yang dikit-dikit mesum, dikit-dikit mesum. Sana mesum sama Kunti. Dah ditunggu di dalam hutan itu.” Pardi
: “Sialan, kamu pikir aku ini demit ?”
Joko
: “Hati-hati, Kir. Dek Lana itu kembang desa, banyak yang suka.
Jangan macam-macam sama Dek Lana kalau nggak mau berurusan sama Bapaknya.” (masih berdiri di dekat gubuk untuk kemudian naik dan duduk ditengah-tengah Sukir dan Pardi) Sukir
: “Wealah, Ko, Joko. Jodoh, hidup, mati, rejeki itu yang ngatur Gusti
Allah. Kalau Gusti Allah berkehendak Dek Lana itu jodohku kamu mau apa ? Bapaknya bisa apa ?” (tertawa sambil menyalakan rokok) Joko
: “Kamu ini lupa apa pura-pura lupa ? Sadar, Kir. Kamu itu siapa, Dek
Lana itu siapa. Inget Bapaknya Dek Lana itu siapa. Jangan menghayal tinggi-tinggi kalau nggak mau jatuh. Awas nanti kamu gila gara-gara mikirin Dek Lana. Nih, aku bawa ubi rebus. Makan dulu biar kuat ngadepin kenyataan kalau kamu itu nggak cocok sama Dek Lana.” (membuka rantang makanan) Pardi
: (menyomot ubi dalam rantang) “Iya, Kir. Mikir dulu kalau ngomong,
mikir dulu kalau mau ngapa-ngapain, jangan asal-asalan nanti nggak kesampaian bisa gila kamu.” Sukir
: (merokok dan memandang kearah langit) “Demi Dek Lana aku bakal
ngelakuin apa aja. Mau nyebrangi sungai, laut bahkan samudra pun aku mau. Jodoh
nggak ada yang tahu. Kalian jangan suka menebak-nebak kalau nggak tahu gimana akhirnya.” Joko
: “Bocah gemblung. Kir, kamu tahu nggak. Kemarin aku lihat Dek Lana
pulang diantar naik mobil sama Mas Praba. Anaknya pengusaha Jakarta yang kaya raya itu. Sudah kaya raya, pinter, ganteng, gagah pula. Perempuan mana yang nggak mau sama Mas Praba. Nah, kamu mau naik apa ? Naik sikil ?” (tertawa lepas) Pardi
: “Dengerin, Kir. Bukan cuma sekali ini aja Dek Lana dianterin Mas
Praba. Beberapa hari lalu aku juga lihat Mas Yoko juga nganterin Dek Lana naik mobil juga. Inget, Kir. Dipikir-pikir lagi, sainganmu berat apalagi orang-orang itu orang-orang berpendidikan. Kabarnya Mas Praba dan Mas Yoko itu saingan buat dapatin Dek Lana.” Sukir
: “Terserah mau orang kaya, orang berpendidikan, orang berjas,
orang-orangan sawah sekalipun aku nggak takut. Aku bakal tetep memperjuangkan Dek Lana. Dek Lana itu sudah seperti bintang-bintang. Cantik, tinggi, berkilau bersinar-sinar dihatiku. Dek Lana ratu dihatiku. Oh Dek Lana.” Joko
: “Heh, Sukir. Bintang itu memang cantik, berkilau bersinar-sinar tapi
tinggi. Sama kayak kamu ini. Kamu nggak mungkin bisa pergi kesana buat ambil bintang itu. Ibarat peribahasa bagai pungguk merindukan bulan. Terlalu tinggi buat di ambil orang seperti kamu ini.” Pardi
: “Bener itu, Kir. Kamu harus lihat dulu siapa sainganmu. Bagaimana
sainganmu. Kamu harus sadar dulu kamu ini punya apa baru nanti kamu bisa deketin Dek Lana. Jangan hanya karna pernah disenyumin sekali kamu terus menganggap kalau Dek Lana itu juga suka sama kamu. Hahahaha ngarep.
Sukir
: (masih merokok lalu menoleh kearah Pardi dan Joko) “Aku itu punya
cinta dan kasih sayang.” (menyomot ubi dalam rantang) Joko
: “Cinta-cinta. Emangnya Dek Lana mau kamu kasih makan cinta.
Hahaha. Kamu itu makan cinta bisa kenyang nggak. Kentut bau ubi ngomongin cinta. Hahaha.” Sukir
: “Ashh, sudah-sudah kalian itu nggak bisa lihat temannya senang
sebentar saja. Aku mau balik dulu.” (berdiri membenarkan sarung) Pardi
: “Lho lho, kok balik to, Kir. Masih jam berapa ini. Biasanya juga tidur
disini.” Sukir
: “Tadinya aku mau tidur disini, tapi perasaanku mendadak nggak
enak. Kalian hati-hati disini. Tadi pagi kan ada yang meninggal. Aku balik dulu.” (pergi meninggalkan Pardi dan Joko) Pardi
: “Hati-hati, Kir. Awas nanti ketemu Kunti.” Joko yang menikmati rokok mendadak maju mendekati Pardi menghentikan
rokoknya dan memandang kearah Pardi. Pardi yang menikmai ubi rebus sama sekali tidak menghiraukan Joko. Joko
: “Woi, Par. Kamu dengar nggak dibelakang gubuk ada suara.”
Pardi
: (diam mendongakkan telinga keatas mencari sumber suara) “Suara
apa to, Ko. Aku sama sekali nggak dengar.” Joko
: “Masa kamu sama sekali nggak dengar ? Suaranya jelas dibelakang
gubuk ini lho.” Pardi
: “Suara apa memangnya ?” (berbicara dengan suara lirih)
Joko
: “Suaraaa…” (mendengarkan)
Pardi
: “Suara apa ?” (penasaran)
Joko
: “Suaraaaaaaa jangkriiiikkkk, Paaaaaarr.” (lari terbirit-birit menjauhi
gubuk dan tertawa keras) Pardi yang merasa kaget dikerjai pun ikut lari meninggalkan gubuk. Pardi
: “Tunggu, Ko. (berteriak sambil jatuh tersungkur ditanah ketakutan)
Babak 2 Setting pagi diruang tamu sebuah rumah. Ada seorang Ibu yang duduk dan menyulam sebuah kain kecil. Lana
: “Diminum, Bu.” (meletakkan teh dan camilan dimeja) Berdiri akan kembali kebelakang tetapi dipanggil.
Ibu
: “Duduk dulu, Lana. Ibu ingin bicara.” (masih menyulam)
Lana
: (kembali menuju tempat duduk dan meletakkan nampan di meja)
Ibu
: “Bagaimana Yoko ?”
Lana
: “Maksud Ibu ?”
Ibu
: “Kamu kemarin kan pergi sama Yoko. Maksud Ibu apa kamu tertarik
sama Yoko ? Kan Ibu memberimu ijin pergi dengan Yoko agar kamu bisa tahu bagaimana sifatnya Yoko. Jangan sampai kamu salah pilih, Lana. Ini bukan mainmain. “
Lana
: “Ibu, Lana belum mau memikirkan hal ini, Bu. Lana butuh waktu
tidak hanya sekali untuk mengetahui sifat-sifat laki-laki yang akan menjadi suami Lana. Lana belum bisa memutuskan sekarang, Bu.” Ibu
: (berhenti menyulam memandang kearah Lana) “Lana, dengarkan Ibu
baik-baik. Kamu sudah dewasa, kamu perempuan, kamu cantik, kamu pintar, banyak laki-laki didesa ini yang mau jadi suami kamu, Lana. Jangan biarkan orang-orang berpikiran tidak baik tentang kamu. Jangan sampai kamu dikira perawan tua karna tidak segera menikah. Ibu hanya ingin kamu memilih salah satu saja. Yoko atau Praba. Lana
: (diam)
Ibu
: “Lanaaa…”
Lana
: “Lana tidak tahu harus memilih siapa, Bu. Tetapi, Lana lebih tertarik
dengan Mas Praba.” (dengan suara lirih) Ibu
: “Praba memang baik dan sopan. Tetapi Ibu lebih tertarik dengan
Yoko. Dia gagah, bijaksana, dari penampilannya sudah terlihat kalau dia adalah lakilaki yang bertanggung jawab. Kalau Praba itu, dia baik, sopan, sumeh, tapi dia terlalu pendiam. Ibu tidak suka laki-laki yang pendiam. Terlihat tidak gagah dan bijaksana. Lebih baik kamu dengan Yoko. Ibu yakin dia bisa menjaga kamu.” (tersenyum) Lana
: “Lana tidak tertarik dengan Mas Yoko, Bu. Mas Praba adalah pilihan
Lana.” Ibu
: “Yasudah terserah kamu. Ibu tidak mau memaksa kamu untuk
menikah dengan sipapun. Terserah kamu memilih akan menikah dengan siapa yang terpenting Ibu berpesan jangan sampai kamu salah pilih apalagi sampai salah
langkah. Ibu sudah peringatkan kali ini. Ini adalah pernikahan, Lana. Pernikahan bukan main-main. Pernikahan adalah hal yang sangat sakral.” Seseorang menembangkan macapat Asmaradhana Asmaradhana Gegaraning wong akrami Dudu brana dudu warna Among ati pawitane Luput pisan kena pisan Yen gampang luwih gampang Yen angel, angel kelangkung Tan kena tinumbas arta
Babak 3 Setting rumah Praba. Ibu sedang memasak di dapur. Nina, adik perempuan Praba membantu Ibunya dan Praba duduk dimeja makan dengan membaca koran. Nina
: “Mas Praba kenapa calon istrinya tidak dibawa ke sini ?”
Praba
: “Nggak boleh, Dek. Meskipun Lana adalah wanita yang
berpendidikan tetapi didalam keluarganya bahkan daerah tempat tinggalnya masih sangat kental dengan adat istiadat dan tradisi masyarakat setempat. Dan menurut
kepercayaan mereka orang yang akan menikah tidak boleh dipertemukan terlebih dahulu. Istilahnya di Pingit.” Nina
: “Pingitan itu apa, Mas ?”
Praba
: “Pingitan itu tradisi sebelum pernikahan di Jawa.”
Nina
: “Kan sekarang sudah modern. Itu kan kepercayaan orang jaman
dulu, Mas. Orang jaman sekarang banyak sudah tidak terlalu memikirkan hal-hal yang seperti itu, Mas.” Ibu Praba
: “Tidak terlalu memikirkan bagaimana, Nin. Orang Jawa itu orang
yang berbudaya. Banyak kerajaan. Banyak warisan budaya yang ditinggalkan oleh kakek dan nenek moyang jaman dulu. Kamu nanti kalau sudah dewasa dan akan menikah juga harus menjalani ritual-ritual adat tradisi yang ada di Jawa.” (muncul dari dapur membawakan minuman teh dan camilan) Nina
: “Tapi kan sekarang sudah modern, Bu. Orang-orang udah lupa sama
yang begituan.” Ibu Praba
: “Enggak lupa lah, Nina. Jangan melupakan budaya sendiri hanya
karena kamu tinggal di lingkungan orang-orang yang mempunyai budaya yang berbeda denganmu.” (tersenyum) Nina
: “Memangnya harus menjalankan semua ritualnya ya, Bu ?”
Ibu Praba
: “Iya harus sesuai dengan adat istiadat dan tradisi dong.” (kembali ke
dapur untuk memasak) Nina
: “Pingitan itu apasih, Bu ?”
Ibu Praba
: “Pingitan itu kalau pada jaman dahulu, seorang perempuan harus
sangat menjaga kehormatan diri dan tidak boleh sembarangan keluar atau bertemu orang. Walaupun jaman sudah modern, sudah maju tetap yang namanya budaya adat istiadat dan tradisi itu penting dijaga. Jangan sampai kita terpengaruh dengan budaya luar yang bebas. Nanti kalau kamu menikah juga pasti akan dipingit.” Nina
: “Harus ya ?”
Praba
: “Ya begitulah.” (tersenyum)
Nina
: “Memangnya kepercayaan dibalik pingitan itu apa, Bu ?”
Ibu Praba
: “Kepercayaan pingitan itu sendiri begini, calon pengantin
mempunyai “darah manis” sehingga rentan dengan gangguan-gangguan yang sifatnya tidak terlihat. Lalu biar ketika dipertemukan di hari pernikahan, kedua mempelai terlihat “manglingi” dan agar dari calon pengantin perempuannya lebih terpancar auranya.” Nina
: “Manglingi apa ya, Bu ?”
Praba
: “Kamu ini orang Jawa, lahir di Jawa nggak tahu bahasa Jawa.
Kelamaan tinggal di Jakarta jadi lupa.” (meminum teh) Nina
: “Sirik. Nina tanya sama Ibu, bukan sama Mas Praba.” (mencibir)
Praba
: “Eh, nanti kalau kamu dewasa juga nikah makanya jangan kelamaan
di Jakarta. Kelamaan di Jakarta. Keseringan bergaul sama orang-orang Jakarta jadi lupa sama darah aslinya.” (tertawa sinis ke arah Nina dan berlalu pergi) Ibu Praba
: “Kalian ini, yang satu sudah mau nikah yang satu sudah kuliah kok
tingkah laku masih kaya anak-anak saja.” (kembali menuju dapur untuk membereskan peralatan memasak)
Nina
: “Nina mau tanya, Bu. Manglingi itu apa, ya ?” (berjalan mendekat
kearah Ibu dengan suara lirih dan membantu membereskan peralatan dapur.” Ibu Praba
: “Manglingi itu biar keliatan beda dari aslinya. Biar yang melihat itu
kagum, lupa karena keliatan beda dari biasanya.” Nina
: “Manglingi sama pingitan apa hubungannya, Bu ?” (mengikuti
pergerakan ibunya) Ibu Praba
: (sadar karena diikuti, menoleh kea rah Nina) “Kamu ini kenapa ?”
(tersenyum) Nina
: “Nina penasaran banget, Bu. Kan ini pertama kalinya Ibu punya
menantu, pertama kalinya juga pernikahan di keluarga ini. Nina penasaran banget, Bu. Nina pengen tahu. Kan suatu saat Nina juga bakal begini kan, Bu.” Ibu Praba
: “Kan kamu bisa baca di internet. Tadi siapa juga yang bilang jaman
udah modern, banyak orang yang nggak percaya seperti itu lagi. Kok sekarang penasaran. (tersenyum, berjalan kearah ruang keluarga, duduk) Nina
: “Tapi kan sekarang internet dah banyak yang nambah-nambahin,
Bu. Meskipun jaman sudah maju tapi budaya adat istiadat dan tradisi tetaplah “old”.” Ibu Praba
: “Ritual pernikahan Jawa itu banyak, salah satunya pingitan tadi
tujuannya supaya tidak terkena marabahaya sebelum pernikahan, supaya keduanya ada rasa saling kangen, rindu ketika terpisah dan tidak boleh bertemu selama beberapa waktu. Tujuan lain dari pingitan yaitu supaya lebih sehat karna tidak terlalu sering kemana-mana. Sebelum acara Ijab Qabul kan pengantinnya dirias dulu, nah menurut kepercayaan, perias pengantin itu sampai harus menjalankan ritual
puasa biar pengantin perempuannya terlihat manglingi saat dirias. Karena dipingit tadi auranya terpancar. Nina
: “Jadi makin cantik dari sebelumnya ya, Bu.”
Ibu Prabu
: “Ya seperti itu kiranya. Karena ritual pernikahan itu banyak dan
mempunyai makna disetiap ritualnya.” Nina
: “Contohnya apa saja, Bu ?”
Ibu Prabu
: “Yaitu tadi salah satunya, pingitan.”
Nina
: “Lainnya pingitan apa, Bu ?”
Ibu Prabu
: “Ada banyak, ada midodareni, upacara injak telur, acara pangkuan,
dulang-dulangan, dsb. Nina
: “Banyak ya, Bu ?”
Ibu Prabu
: “Wo, yaiya jelas itu semua harus dilalui sesuai adat istiadat, tradisi
dan budaya Jawa. Maka dari itu pernikahan itu sakral. Tidak untuk main-main. Tidak boleh sembarangan dan harus hati-hati dalam memilih pasangan. Jangan terburuburu. Lihat bibit, bebet, dan bobotnya. Harapannya biar pernikahan itu bertahan sekali seumur hidup. Tidak ada orang yang mau menikah untuk cerai, kan ?” Nina
: (menggeleng)
Ibu Prabu
: “Naa, semua pasangan pasti berharap pernikahan yang disiapkan,
dan dijalani ini adalah pernikahan yang sekali seumur hidup. Jadi harus dipersiapkan sejak awal bertemu, saling dekat dan akhirnya memutuskan untuk menikah.” Lampu dimatikan, suasana gelap. Penataan setting selanjutnya.
Babak 4 Setting kembali disebuah gubuk desa tempat tinggal Lana. Joko
: “Par, denger-denger Lana sudah dipingit sama orang Jakarta. Itu
siapa namanya. Prabu.. Prabu..” Pardi
: “Prabu Siliwangi.”
Joko
: “Kok Prabu Siliwangi to. Praba.” (memukul punggung Pardi)
Pardi
: “Maksudnya juga itu. Hahaha. (tertawa)
Joko
: “Wah, kalau Sukir tahu pasti dia kecewa ini. Telat sih. Bilangnya
usaha nggak tahunya apa.” Pardi
: “Kan dari awal juga sudah kelas, Ko. Dek Lana itu nggak cocok sama
Sukir. Hambok Sukir mendadak jadi kaya to kalau Dek Lana itu mau. Tetep nggak bakalan mau sama Sukir. Lha wong Dek Lana itu pernah sekolah sampai kuliahan kok mau sama Sukir.” Joko
: “Iya to. Kasian Sukir, Par. Kan dia suka sama Dek Lana dah dari dulu.
Eh nggak tahunya.” Pardi
: “Ya biarkan saja. Salah juga Sukir yang kepedean hanya karena
pernah disenyumi Dek Lana dikira Dek Lana suka.” (menjulurkan lidahnya) Joko
: “Kenapa orang kota itu mau nikah sama Dek Lana ya, Par. Kan Dek
Lana tinggalnya di desa.” Pardi
: “Namanya saja jodoh. Jodoh yang ngatur Gusti Allah. Mau apa kalau
sudah dijodohkan. Lagian Dek Lana itu kan pintar, cantik. Cocok sama orang kota itu.”
Joko
: “Beruntung ya, Par bisa nikah sama Dek Lana.”
Pardi
: “Kamu juga bisa nikah, Ko sama Dek Lana.”
Joko
: “Kok bisa, aku kan tidak seperti orang kota itu, pintar, ganteng,
gagah, kaya. Cuma orang desa begini gimana bisa nikahi Dek Lana.” Pardi
: “Bisa, Ko.” (menghisap rokok)
Joko
: “Bagaimana ?” (penasaran)
Pardi
: “Dalam mimpi.” Terlihat orang berjalan dari kejauhan, Sukir berjalan kearah gubuk tempat
Joko dan pardi berada disana dengan raut muka kecewa, sedih. Joko dan Pardi yang tidak menyadari kehadiran Sukir hanya diam memandang ke arah hutan dan sawah yang ada dideka gubuk itu sambil menikmati rokok mereka. Kebetulan siang itu cucanya cerah. Sukir berjalan masuk ke hutan tanpa menghiraukan Joko dan Pardi. Joko dan Pardi tidak menyadarinya. Joko yang lebih dulu menoleh kearah Sukir terkejut dan berteriak kearah Sukir. Joko
: “Kiiirrr, Sukir.. Mau kemana kamu ?” (berteriak) Tidak dihiraukan oleh Sukir. Masih terus berjalan masuk kearah hutan.
Joko
: “Wooooiiii, kiiirrrr, Sukiiirrrr.” Masih belum dijawab, tanpa menunggu aba-aba, Joko segera turun dari
gubuk dan berlari kearah Sukir yang sudah masuk dalam hutan. Pardi yang terkejut mendadak mengikuti larinya Joko.
Joko
: “Kir.” (tangan sukir ditarik oleh Joko)
Sukir
: “Kenapa ?” (menghempaskan tangan Joko)
Joko
: “Kamu ini mau kemana siang-siang begini ke hutan?”
Sukir
: “Kalian pasti sudah tahu kalau Dek Lana akan menikah dengan orang
Jakarta itu.” Joko
: “Lah, memang. Bukannya kamu juga sudah tahu.” Pardi muncul.
Pardi
: “Kalian ini mau kemana ?”
Sukir
: “Aku mau bunuh diri saja kalau Dek Lana jadi menikah dengan orang
Jakarta itu.” (duduk ditanah) Pardi
: “Kamu ini gila ? Wah, benar kan, Joko. Sukir benar-benar gila karena
keinginannya untuk menikah dengan Dek Lana tidak terkabul. Aku bilang juga apa, Kir. Kamu itu harus lihat dulu siapa saja sainganmu itu, lihat. Mas Praba sebentar lagi akan menjadi suami Dek Lana. Kamu jangan gila mau bunuh diri segala, Dek Lana nggak bakalan mencegah kamu.” (tertawa keras) Joko
: “Hahaha. Owalah, Kir. Begitu saja kok loyo. Masih banyak
perempuan lain yang lebih cantik dari Dek Lana, Kir. Dan tentunya yang mau sama kamu juga maish banyak. Jangan khawatir.” (jongkok dan memegangi pundak Sukir) Sukir
: “Kalian ini, tidak tahu rasanya patah hati.” (menutup muka dengan
dua tangan) Joko
: “Kau ini. Laki-laki loyo begitu. Jodoh itu yang mengatur Gusti Allah,
Kir. Tidak usah khawatir. Doakan saja pernikahan Dek Lana dan Mas Prabu itu lancer,
biar mereka hidup bahagia. Dek Lana sudah menemukan jodohnya. Kamu juga bakal menemukan jodohmu, Kir. Tapi entah kapan.” (tertawa) Pardi
: “Yasudah ayo balik. Jangan berpikiran buat bunuh diri lagi, Kir. Nanti
kamu nyesel lho masuk neraka gara-gara bunuh diri. (tertawa) Pardi dan Joko membawa Sukir keluar hutan. Lampu mati. Babak 5 Setting di rumah Lana. Diruang keluarga. Bapak, Lana. Bapak duduk disebuah kursi goyang menembangkan sebuah lagu yang tak jelas liriknya dengan mata terpejam sembari menggoyang-goyangkan kursi goyangnya. Lana
: (menaruh minuman di meja) “Bapak, ini tehnya.” (beranjak berdiri)
Bapak
: “Duduk dulu, Lana. Bapak ingin berbicara sedikit.” (membenarkan
posisi duduk tegap) Lana kembali dan duduk di kursi dekat dengan Bapak. Bapak
: “Bagaimana kabarnya Praba ?” (mengambil teh di meja dan
meminumnya sedikit lalu dikembalikan lagi) Lana
: “Semoga baik-baik saja, Bapak.”
Bapak
: (tertawa kecil) “Tadi Praba telepon, menanyakan kabarmu, Bapak
bilang Bapak tidak tahu, lalu ditutup teleponnya.” Lana
: (tertawa) “Mungkin Mas Praba malu, Pak berbicara agak lama
dengan Bapak.”
Bapak
: “Kamu yakin dengan Praba, Nduk ?” (menarik badannya kedepan
dan melipat kedua tangannya didepan) Lana
: “Kenapa tidak yakin, Pak. Kan Bapak dan Ibu sudah tahu Mas Praba
dan menurut mbah putri, Lana cocok dengan Mas Praba. Ada apa lagi, Pak ?” (melihat kearah Bapak) Bapak
: “Tidak, bapak hanya memastikan saja kamu tidak akan menyesal
setelah Praba mengucapkan ijab qabul.” (memandang kearah depan) Lana
: “Memangnya ada apa, Pak ? Sepertinya Bapak mengetahui sesuatu
yang berhubungan dengan Mas Praba ?” Bapak
: (tertawa memandang kearah Lana) “Tidak, Lana. Tidak ada apa-apa.
Sudah sana istirahat.” (kembali merebahkan tubuhnya di kursi goyang dan kembali menyanyikan lagu yang samar-samar liriknya) Lana meninggalkan panggung dan lampu mati. Babak 6 Setting disebuah gudang yang gelap. Lana terbaring dengan tangan dan kaki yang terikat serta mulut tersumbat kain. Dia berusaha keras untuk bangun tetapi sangat susah sekali. Dia berteriak meminta tolong dengan susah payah tetapi tidak ada yang menjawabnya. Terdengar pintu terbuka. Dia diam dan menutup mata. Seseorang berjalan kearahnya dan jongkok tepat didepannya. Seseorang
: “Kamu beruntung, Lana. Kamu mempunyai paras yang cantik dan
pintar. Aku yakin Praba pasti senang dapat menikah denganmu. Tapi apa mungkin Praba akan menerima kamu seutuhnya setelah tahu kamu tidak lagi perawan ?” (tangan seseorang itu memegang dagu Lana dan mendongakkan keatas)
Seseorang
: “Tapi tenanglah, aku tidak akan melakukan itu karena aku yakin
Praba pasti akan datang kesini mencarimu. Jika dia benar-benar mencintaimu. (tertawa, menghempaskan tubuh Lana ke lantai) Lana hanya bisa menangis dan berteriak semampunya karena teriakkannya tidak jelas dan tidak ada satupun orang yang mendengar suaranya. Seseorang
: “Tidak akan ada orang yang mendengarmu, Lana. Aku kan sudah
pernah bilang aku dan Praba akan bersaing secara sehat, tetapi sepertinya kamu lebih memilih dia ya. Bahkan besuk adalah hari pernikahanmu dan bagaimana reaksi orang-orang terdekatmu mendapati anak gadis yang akan dinikahkannya tidak ada dirumah dihari pernikahan dan acara akan pernikahan dibatalkan ? Hahaha.” (tertawa keras) “Aku tahu, Lana orangtua kamu pasti juga merestui kamu menikah dengan Praba. Ingat Lana, Shinta saja bisa dibawa pergi oleh Rahwana sebelum hari pernikahan mereka. Lalu apa yg terjadi dengan Rama ? Rama mencari Shinta dan membunuh Rahwana. Hahaha aku yakin Rama-mu itu pasti bersikeras menemukanmu. Tetapi aku tidak akan berakhir seperti Rahwana yang mati di tangan Rama. Rama lah yang akan mati ditanganku, Lana. Nikmati hadiah pernikahanmu ini, Lana. Haha (tertawa keras) Babak 7 Setting disebuah gubuk tempat Pardi, Joko dan Sukir berkumpul. Siang itu cuaca sedikit mendung. Pardi
: “Kasian sekali ya Lana dan Praba. Belum juga acara pernikahan
dimulai sudah batal.” (sambil menghisap rokoknya) Sukir
: “Kan sudah ku bilang, Lana itu cocok denganku. Jika dia menikah
denganku, dia tidak akan seperti ini. Pesta pernikahan batal dan yang terpenting
trauma. Kalau sudah begitu siapa yang mau menikahi Lana. Meskipun tidak dihamili tapi siapa yang tahu ?” (cibir Sukir dengan menghisap rokoknya dan menghembuskan keudara) Joko
: “Eh, Sukir. Kamu tahu darimana si Lana sudah tidak gadis lagi ?
Emangnya kamu lihat sendiri ?” Sukir
: “Kamu ini tidak perlu tanya pasti orang akan menganggap seperti
itu. Kamu pikir mereka Ramayana ? Shinta yang diculik oleh Rahwana kembali dalam keadaan suci ? Ini beda, Ko. Siapapun perempuan yang pernah diculik pasti kembali dalam keadaan seperti itu. Sok membela.” Joko
: “Bukannya membela, lihat, Shinta saja kembali dalam keadaan suci
dan Rama menerimanya kembali menjadi istrinya kok. Kenapa tidak dengan Lana ? Kabarnya Lana itu disana disekap dan ditinggal pergi begitu saja. Tidak diberi makan dan minum sama sekali. Syukurlah Lana kuat tidak mati karena kelaparan.” Pardi
: “Kir, kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Buktinya Shinta diterima
kembali menjadi istri Rama dan Rahwana dibunuh oleh Rama. Nah kalau ini begini, Lana diculik oleh Yoko, Polisi membantu Praba menyelamatkan Yoko dan Praba menjebloskan Yoko ke penjara. Kalau ini Ramayana versi modern, Kir. Hahaha.” Sukir
: “Apa hubungannya sama Ramayana, ini kenyataan, dasar edan.”
Joko
: “Kir, sudahlah jangan memebuat berita yang tidak benar mengenai
Lana, buktinya Lana sendiri cerita dia tidak diapa-apain sama Borokokok itu. Dia diculik dan ditinggalkan digudang tanpa dikasi makan sama minum.” Sukir
: “Wuuuuu, kalian tidak tahu sih.”
Pardi
: “Joko benar, Lana yang cerita sendiri. Korbannya kan Lana bukan
kamu, Kir.” Sukir
: “Sialan kalian semua. Ngomongin Lana aja disangkut-sangkutin sama
Ramayana. Tidak mungkin Sendratari Ramayana berubah jadi Sendratari Prabalana. Jangan macem-macem sama budaya kita kalian itu.” Joko
: “Siapa yang macem-macem sama budaya ? Kita juga tidak lupa, Kir
sama budaya dulu. Hahaha.” Sukir
: “Harusnya dulu Lana menikah denganku jadi tidak seperti ini
akhirnya.” Pardi
: “Heh, kamu mau berurusan dengan Yoko ? Hahaha beruntung Mas
Praba tidak dibunuh sama Yoko. Bayangin aja kalau kamu yang ada di posisinya Mas Praba, kamu mau apa, haa ? Hahaha.” Sukir
: “Haha, setidaknya Dek Lana tidak dicap sebagai wanita yang
ternodai sebelum menikah.” Joko
: “Hahaha. Kebanyakan menghayal kamu ini, Kir.”
Sukir
: “Ah sudah-sudah, kalian ini memang bukan teman yang baik. Bisa-
bisanya memojokkan aku begitu.” Pardi
: “Tidak memojokkan, Kir. Kamu kan tahu Dek Lana dan Mas Praba itu
cocok dan jodoh jadi jangan dipisahkan. Gusti Allah yang memisahkan dulu dan Gusti Allah lah yang mempertemukan mereka kembali. Haha jadi jangan salah sangka dulu, Kir. Ingat kamu dulu pernah mau bunuh diri gara-gara Dek Lana menikah dengan Mas Praba. Lha ini merekan nikah lagi, kamu nggak ada rencana bunuh diri lagi gitu ? Haha.”
Sukir
: “Siapa bilang aku mau bunuh diri ? Orang tadinya aku mau pergi ke
hutan mencari kayu bakar.” Joko
: “Yakin mencari kayu bakar. Kok sampai putus asa bilang mau bunuh
diri segala. Hahaha.” Suasana desa itu cerah ketika acara pernikahan Lana dan Praba dilaksanakan. Seperti yang terjadi sebelumnya meskipun Lana mengalami depresi berat akibat penculikan yang dilakukan oleh Yoko tetapi Lana kembali dalam keadaan suci dan kemudian menggelar pernikahannya kembali dengan Praba. meskipun sempat diberitakan telah dihamili oleh Yoko tetapi Lana mengaku dia baik-baik saja. Setting di sebuah tempat pernikahan Praba dan Lana. Ketika mereka melakukan ritual sungkeman. Ibu Praba
: “Selamat Praba. Semoga langgeng.” (mencium pipi kanan dan kiri)
Ibu Lana
: “Selamat Lana semoga kalian bahagia.” (mencium pipi kanan dan
kiri) Bapak
: “Semoga kalian selalu dalam keadaan selamat.” Tamat