TIPOLOGI KECAMATAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK, SOSIAL, DAN AKSESIBILITAS SERTA KETERKAITANNYA TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN CIANJUR DAN SEKITARNYA
SWAESTI PRABA HARDANTI
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial, dan Aksesibilitas serta Keterkaitannya terhadap Penggunaan Lahan di Kecamatan Cianjur dan Sekitarnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Swaesti Praba Hardanti NIM A14090049
ABSTRAK SWAESTI PRABA HARDANTI. Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial, dan Aksesibilitas serta Keterkaitannya terhadap Penggunaan Lahan di Kecamatan Cianjur dan Sekitarnya. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan KHURSATUL MUNIBAH. Tipologi adalah studi pengklasifikasian tipe-tipe dengan karakteristik tertentu. Suatu wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipologi. Perbedaan karakteristik pada setiap tipologi akan menyebabkan perbedaan proporsi penggunaan lahan pada masingmasing tipologi. Tujuan penelitian ini adalah, membuat tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas, menganalisis penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2010, mengkaji keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan, dan mempelajari tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang. Metode yang digunakan adalah analisis cluster untuk membuat tipologi kecamatan, interpretasi visual untuk mengetahui penggunaan lahan aktual dan tumpang tindih untuk mengetahui keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan, serta pembandingan perencanaan ruang dan penggunaan lahan untuk mengetahui kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang. Tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas terbagi menjadi tujuh tipologi. Daerah penelitian memiliki luas sebesar 98.812 ha, dengan penggunaan lahan terluas adalah perkebunan 29.207 ha (29,56 %), kemudian sawah sebesar 28.028 ha (28,36 %). Setiap tipologi memiliki proporsi terhadap penggunaan lahan yang berbeda-beda. Pola penggunaan lahan pada setiap tipologi dipengaruhi oleh karakteristik pada setiap tipologi kecamatan, sehingga memiliki pola penggunaan lahan yang berbeda. Kecamatan yang memiliki proporsi penggunaan lahan yang sama dengan pola ruang terbesar adalah Sukaluyu dan Mande, tidak sama dapat berubah adalah Cianjur dan Cilaku, dan tidak sama adalah Cibeber dan Cipanas. Kata kunci: karakteristik fisik-sosial-aksesibilitas, penggunaan lahan, tipologi kecamatan
ABSTRACT SWAESTI PRABA HARDANTI. Sub-district Typology based on Physical Characteristics, Social, and Acsesibility and the Asosiation through the Land Uses in Cianjur and the Surounding Sub-district. Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and KHURSATUL MUNIBAH. Tipology is a study of classiffication types with spesific characteristics. Region has different characteristics, with that differences a region can be divided into several typologies. The difference characteristic on each typology will cause differences of land use proportion on each typology. The aim of this research are to make sub-district typology based on physical characteristic, social, and acsesibility, to analyse the actual land use/cover in 2010, to examines the asosiation between sub-district typology through the land uses proportion and studying the similarity of land use on the spatial pattern. The used method are cluster analysis to make a sub-district typology, visual interpretation to determine the actual land use and overlap to determine the asosiation between sub-district typology through the land use proportion, and comparison of the space utilization to determine the similarity of the land use and the spatial pattern. Sub-district typology based on physical characteristic, social, and acsesibility is divided to seven typologies. This study have 98.812 ha area, with the largest land use are 29.207 ha (29,56 %) of plantation and 28.028 ha (28,36 %) of paddy field. Each typology has a different land use proportion. The land use pattern in each typology is influenced by the characteristic of each sub-district typology, so each typology have a different land use pattern. Sub-district that have the highest level of similarity between land use proportion and spatial pattern are Sukaluyu and Mande, alterable similarity are Cianjur and Cilaku Sub-district, and land use that have difference with the spatial pattern are Cibeber and Cipanas Sub-district. Keywords: land use, physical characteristics-social-acsesibility, sub-district typology
TIPOLOGI KECAMATAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK, SOSIAL DAN AKSESIBILITAS SERTA KETERKAITANNYA TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN CIANJUR DAN SEKITARNYA
SWAESTI PRABA HARDANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial, dan Aksesibilitas serta Keterkaitannya terhadap Penggunaan Lahan di Kecamatan Cianjur dan Sekitarnya Nama : Swaesti Praba Hardanti NIM : A14090049
Disetujui oleh
Dr Ir Komarsa Gandasasmita, MSc Pembimbing I
Dr Khursatul Munibah, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, Msc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah berbagai karakteristik yang mempengaruhi proporsi penggunaan lahan, dengan judul Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial, dan Aksesibilitas serta Keterkaitannya terhadap Penggunaan Lahan di Kecamatan Cianjur dan sekitarnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Dr Ir Komarsa Gandasasmita MSc selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi utama atas bimbingan, arahan, masukan serta kesabaran dalam membimbing penulis selama ini sehingga penulis dapat meyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Dr Khursatul Munibah MSc selaku pembimbing skripsi kedua yang telah banyak memberi masukan, arahan serta kesabaran dalam membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. 3. Dr Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas masukan, saran terhadap perbaikan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. 4. Dra Meinar MS dari Kementerian Pertanian, yang telah membantu selama pengumpulan data. 5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Hartono dan Ibu Mari Sutarti Rara, adik tercinta Maulana Maharrizki serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih sayang. 6. Kepada teman- teman PPJ 46 (Sulis, Athu, Lusy, Nisa, Prapti, Dini, Vita dan Ega) Bang Farid, Ka Novia, Bang Barry, Bang Diki, Bang Lintang dan PPJ 47 atas canda, tawa, dan kebersamaannya selama ini. 7. Saudara-saudara MSL 46 (Ian, Karin, Teguh, Novia, Wilona, Eka, Wida, Aisyah) dan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, kaka dan abang MSL 44 dan 45. 8. Mba Reni, Mba Nurul, Mba Nina, dan Ka Rani dan seluruh staff bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, serta seluruh pegawai Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan serta semua pihak yang telah membantu. 9. Kepada teman serta sahabat “Pondok Jaika” (Esha, Satsat, Astri, Ikoh, Upeh, Reni, Najmi, Tanty dan Yaya) yang telah memberikan semangat, gelak tawa dan kebersamaan sejak masa perkuliahan sampai sekarang. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Swaesti Praba Hardanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
ABSTRACT
iii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Wilayah
2
Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan
3
Faktor Fisik yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan
3
Kawasan Perkotaan dan Perdesaan
4
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
5
METODE PENELITIAN
6
Lokasi dan Waktu Penelitian
6
Jenis Data dan Sumber Data
6
Prosedur Analisis Data
6
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
14
Letak Geografis
14
Fisik
15
Sosial dan Aksesibilitas
16
Perekonomian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial dan Aksesibilitas 17 Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010
20
Keterkaitan Tipologi Kecamatan dengan Proporsi Penggunaan Lahan
26
Kesamaan Penggunaan Lahan Aktual terhadap Pola Ruang
31
SIMPULAN DAN SARAN
36
Simpulan
36
Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
45
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Saluran spektral yang digunakan dalam sistem data Ikonos Tujuan penelitian, data, analisis dan keluaran yang diharapkan Karakteristik fisik yang digunakan dalam penelitian Karakteristik sosial dan aksesibilitas yang digunakan dalam penelitian Kesamaan Penggunaan Lahan aktual terhadap pola ruang Tipologi kecamatan dan karakteristiknya Proporsi penggunaan lahan di lokasi penelitian
6 7 9 9 10 19 20
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
17. 18. 19. 20.
Diagram alir penelitian Peta Lokasi Penelitian Peta kemiringan lereng Peta elevasi Dendogram hasil analisis gerombol Peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 (a) Kenampakan objek perkebunan yang memiliki tekstur halus pada citra, (b) Kenampakan objek perkebunan yang memiliki tekstur agak kasar pada citra, (c) Kenampakan objek perkebunan pada pengamatan lapang (a) Kenampakan objek sawah pada citra, (b) Kenampakan objek sawah pada pengamatan lapang (a) Kenampakan objek hutan pada citra, (b) Kenampakan objek hutan pada pengamatan lapang (a) Kenampakan objek pertanian lahan kering berupa tegalan dan (b) kebun campuran pada citra, (c) Kenampakan objek pertanian lahan kering berupa tegalan pada pengamatan lapang (a) Kenampakan objek lahan terbangun pada citra, (b) Kenampakan objek lahan terbangun pada pengamatan lapang Kenampakan objek semak/belukar pada citra Kenampakan objek badan air pada citra Kenampakan objek lahan terbuka pada citra Proporsi penggunaan lahan pada setiap tipologi kecamatan Pola/proporsi penggunaan lahan terhadap berbagai karakteristik pada lokasi penelitian, dimana (a) jarak dari pusat kota, (b) kemiringan lereng, (c) elevasi, (d) kepadatan penduduk, dan (e) kerapatan jalan Peta persebaran pola ruang di lokasi penelitian Peta persebaran spasial tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang Persentase tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan Persentase tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang terhadap jarak dari Kecamatan Cianjur
13 14 15 16 17 20
21 22 22
23 24 25 25 25 27
29 32 33 34 35
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil observasi lapang 2. Hasil foto pengamatan lapang 3. Proporsi karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas pada setiap kecamatan 4. Hasil analisis k-means clustering
39 40 41 44
PENDAHULUAN Latar Belakang Rustiadi et al. (2009), mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Suatu wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda seperti karakteristik fisik, sosial maupun aksesibilitasnya. Berdasarkan karakteristik tersebut wilayah dapat dikelompokan dan dibagi kedalam beberapa tipologi. Tipologi adalah studi pengklasifikasian tipe-tipe dengan karakteristik tertentu, dimana dalam penelitian ini menggunakan karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas. Tujuan dari pembuatan tipologi adalah untuk mengetahui wilayah mana saja yang memiliki kesamaan berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi dan menentukan pola penggunaan lahan di suatu wilayah. Menurut Barlowe (1986), faktor fisik yang menentukan penggunaan lahan meliputi ketinggian, kemiringan lereng, jenis tanah dan jenis penggunaan lahan sebelumnya, faktor ekonomi yang terdiri dari jarak pusat kota ke pusat desa dan kepadatan penduduk, dan faktor kelembagaan. Penggunaan lahan itu sendiri merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad 2010). Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatkan persaingan terhadap penggunaan lahan baik penggunaan lahan pertanian untuk menunjang kebutuhan pangan maupun penggunaan lahan permukiman untuk menunjang kebutuhan tempat tinggal. Oleh karena itu, keberadaan lahan pertanian yang merupakan penyedia bahan baku utama kebutuhan pangan akan semakin tersingkirkan oleh adanya pembangunan lahan permukiman. Fenomena di atas sering sekali terjadi terutama pada kawasankawasan perkotaan yang memprioritaskan permukiman sebagai penggunaan lahan utama sehingga menyebabkan penggunaan lahan pertanian akan bergeser ke kawasan di sekitar perkotaan / kawasan perdesaan. Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Undang-Undang terhadap penataan ruang untuk mengendalikan pemanfaatan ruang dan telah menetapkan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan berdasarkan penggunaan lahannya. Namun dengan adanya kawasan perkotaan, persaingan terhadap penggunaan lahan tersebut akan berdampak pada kawasan sekitarnya. Sehingga setelah kawasan perkotaan mulai padat, penggunaan lahan permukiman akan menyebar di sekitar kawasan perkotaan dan akan menggeser kembali penggunaan lahan pertanian. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi karena dikenal sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian (Bappeda Kabupaten Cianjur 2012). Produksi padi Kabupaten Cianjur pertahun sekitar 625.000 ton. Produksi padi tersebut terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur. Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur adalah di sektor pertanian yaitu sebesar 52.00 %, sehingga keberadaan lahan pertanian sangat penting untuk menunjang kehidupan warga Cianjur. Kepadatan penduduk
2 Kabupaten Cianjur pada tahun 2005 sekitar 548,94 jiwa per km 2. Laju pertumbuhan ini tidak merata di setiap wilayah Kabupaten Cianjur, terlihat bahwa sekitar 63,90 % penduduk Kabupaten Cianjur terkonsentrasi di bagian utara. Kesenjangan penyebaran penduduk secara geografis dimungkinkan berkaitan erat dengan faktor daya tarik wilayah, terutama aspek ekonomi serta ketersediaan sarana tempat tinggal yang memadai. Beberapa Kecamatan yang memperlihatkan kepadatan penduduk cukup tinggi di wilayah Cianjur utara antara lain, Kecamatan Kota Cianjur, Karangtengah, Pacet dan Sukaluyu (Bappeda Kabupaten Cianjur 2012). Sehingga penelitian ini difokuskan pada 12 Kecamatan di wilayah Cianjur utara, yaitu Pacet, Sukaresmi, CikalongKulon, Cugenang, Mande, Cianjur, Karangtengah, Sukaluyu, Warungkondang, Cilaku, Cibeber dan Cipanas. Tujuan Penelitian 1. Membuat tipologi kecamatan berdasarkan karakteristif fisik, sosial, dan aksesibilitas. 2. Menganalisis penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2010. 3. Mengkaji keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan 4. Mempelajari tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan.
TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Wilayah, seperti yang didefinisikan oleh Rustiadi et al. (2009) adalah suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Jonston (1976) dalam Rustiadi et al. (2009) memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaankesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat. Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor pencirinya yang menonjol di wilayah tersebut. Sumber-sumber kesamaan yang dimaksud dapat berupa kesamaan struktur produksi, konsumsi, pekerjaan, topografi, iklim, perilaku sosial, pandangan politik, tingkat pendapatan, dan lainlain (Rustiadi et al. 2009). Rustiadi et al. (2009) menerangkan bahwa konsep wilayah nodal adalah salah satu konsep wilayah fungsional/sistem yang sederhana karena memandang suatu wilayah secara dikotomis (terbagi atas dua bagian). Konsep wilayah nodal lebih berfokus pada peran pengendalian/pengaruh central atau pusat (node) serta
3 hubungan ketergantungan pusat (nucleus) dan elemen-elemen sekelilingnya dibandingkan soal batas wilayah (Richardson 1969 dalam Rustiadi et al. 2009). Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad 2010). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup (Assyakur et al. 2010 dalam As-Syakur 2011). Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objekobjek tersebut (Lillesand dan Kiefer 1997). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Menurut Arsyad (2010) penggunaan lahan pertanian dibedakan atas tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya, sedangkan penggunaan lahan non-pertanian dibedakan dalam penggunaan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Sedangkan penutupan lahan dapat dibedakan kedalam tiga kelas data secara umum, yaitu 1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia; 2) Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang; serta 3) Tipe pembangunan (LO, C.P 1995). Faktor Fisik yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor fisik dan biologi lahan yang meliputi ketinggian, kemiringan lereng, jenis tanah dan jenis penggunaan lahan sebelumnya, faktor ekonomi yang meliputi jarak dari pusat kota ke pusat desa dan kepadatan penduduk, dan faktor kelembagaan. Faktor fisik merupakan parameter dasar dalam penggunaan lahan. Faktor tersebut memberikan informasi tentang sumberdaya yang dimiliki, seberapa besarnya sumberdaya tersebut tersedia. Menurut Gandasasmita (2001), faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor- faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi iklim, sumberdaya air dan kemungkinan pengairan, bentuk lahan dan topografi serta karakteristika tanah. Iklim merupakan faktor fisik lahan yang sulit untuk dimodifikasi dan paling menentukan keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur iklim seperti hujan, penyinaran matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan ketersediaan air dan energi sehingga secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanaman (Mather 1986 dalam Gandasasmita 2001).
4 Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk didalamnya adalah perbedaan kecuraman, bentuk lereng dan panjang lereng. Dalam pemilihan tipe penggunaan lahan, lereng yang lebih curam selain menghendaki tenaga dan ongkos yang lebih besar dalam pengelolaannya juga akan menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besarnya masalah erosi yang dihadapi (Hardjowigeno 2007). Tanah merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan penggunaan lahan. Bersama dengan sumberdaya fisik wilayah yang lain seperti iklim, topografi, geologi dan lain-lain, sifat tanah sangat menentukan potensinya untuk berbagai jenis penggunaan (Hardjowigeno 2007). Tanah merupakan tempat berjangkarnya akar dan sumber berbagai hara yang dibutuhkan tanaman, oleh karena itu tanah merupakan salah satu faktor yang membatasi penggunaan lahan (Gandasasmita 2001). Kawasan Perkotaan dan Perdesaan Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa dan pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang No. 26 tahun 2007). Sedangkan menurut Branch (1995) dalam Kasikoen (2005) menyatakan bahwa kota adalah komunitas secara fisik, merupakan area-area terbangun yang terletak saling berdekatan yang meluas hingga ke daerah pinggiran kota. Dari segi sosial, kota dapat dilihat berdasarkan jumlah penduduk dan kegiatan sosial di dalamnya. Suatu kota merupakan tempat konsentrasi penduduk dalam jumlah besar dan membentuk kepadatan penduduk yang tinggi (Kasikoen 2005). National Urban Development Study (2000) dalam Kasikoen (2005) mengklasifikasikan tingkat perkembangan kota berdasarkan besaran penduduknya, yaitu : 1. Kota kecil, kota dengan jumlah penduduk < 100.000 jiwa. 2. Kota sedang, kota dengan jumlah penduduk 100.000- 500.000 jiwa. 3. Kota besar, kota dengan jumlah penduduk 500.000- 1.000.000 jiwa. 4. Kota metropolitan, kota dengan jumlah penduduk > 1000.000 jiwa. Kawasan perdesaan menurut Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya kehidupan di kota dan di desa sangatlah berbeda. Mayoritas masyarakat
5 pedesaan merupakan golongan menengah bawah dengan jenis kegiatan utama seperti pertanian, nelayan dan sebagainya. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1994 dalam Purwadhi 2001). Ada tiga kelompok utama objek permukaan bumi yang dapat dideteksi oleh sensor yaitu, air, tanah, dan vegetasi yang masing- masing memancarkan energi elektromagnetik dengan kemampuan pemetaan citranya tergantung pada karakteristik masing-masing citra satelit. Kanal dan karakteristik inilah yang digunakan oleh penginderaan jauh untuk mengenali objek-objek atau tipe-tipe liputan lahan yang ada di permukaan bumi (Suwargana 2013). Sementara itu, sistem informasi geografis adalah sistem informasi yang digunakan untuk memasukan, menyimpan, memmanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya (Murai 1999). Keterpaduan/integrasi penginderaan jauh dengan SIG yaitu bahwa data penginderaan jauh mampu memberikan data spasial yang cukup lengkap terutama data fisik lahan yang akurat dan cepat sebagai input dalam SIG, sehingga sangat memudahkan dalam pengolahan dan analisis data. Kombinasi antar keduanya mampu mengatasi permasalahan perencanaan dalam ketersediaan dan kebutuhan akan informai yang akurat dan lengkap, serta pengolahan data spasial sehingga mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada ( Khakhim 2009). Citra Ikonos Satelit Ikonos adalah satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh GeoEye berasal dari bawah Lockheed Martin Corporation sebagai Commercial Remote Sensing System (CRSS) satelit. Ikonos memiliki resolusi multispektral 4 meter dan inframerah dekat 0,88 mm pankromatik. Aplikasi dalam pemanfaatan citra Ikonos meliputi pemetaan pedesaan sumberdaya alam dan bencana alam, pemetaan pajak, pertanian dan analisis kehutanan, pertambangan, konstruksi, dan deteksi perubahan (Satelite imaging 2014) Satelit ikonos merekam permukaan bumi secara serempak dengan resolusi temporal periode 1,5 sampai 3 hari. Satelit ikonos sering disebut sebagai satelit penginderaan jauh generasi lanjutan karena memiliki resolusi spasial sangat tinggi yang hampir menyamai foto udara serta dapat mengahsilkan citra di mana saja di seluruh dunia (Martono 2007). Martono menjelaskan bahwa dengan resolusi spasial yang sangat tinggi ini tidak menutup kemungkinan citra ini dapat dimanfaatkan untuk penentuan posisi dan luas obyek di permukaan bumi dengan hasil yang relatif rinci dan teliti.
6 Tabel 1 Saluran spektral yang digunakan dalam sistem data Ikonos Kanal (Sensor)
Panjang Gelombang (µm)
Resolusi spasial (m)
Biru
0,45 - 0,53
4
Hijau
0,52 - 0,61
4
Merah
0,64 - 0,72
4
infra merah
0,77 -0,88
4
Pankromatik
0,45 - 0,90
1
Karakteristik penetrasil maksimum pada air, berguna untuk pemetaan batimetri perairan dangkal berfungsi untuk mengindera puncak pantulan vegetasi berfungsi untuk memebedakan absorbsi klorofil dan tipe vegetasi untuk menentyukan kandungan biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai bermanfaat untuk identifikasi objek lebih detail
(Sumber : http://www.spaceimaging.com/products/ikonos/index.htm)
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cianjur bagian utara dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Kecamatan Cianjur dan 11 kecamatan sekitarnya yaitu Kecamatan Cibeber, Warungkondang, Cilaku, Sukaluyu, Mande, Karangtengah, Cugenang, Pacet, Cipanas, Sukaresmi dan Cikalongkulon. Posisi geografis terletak antara koordinat 6º 36’ 0” – 7º 0’ 30” LS dan 106º 58’ 10” – 107º 20’ 40” BT. Analisis data dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Mei 2013 sampai Januari 2014. Jenis Data dan Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder meliputi citra Ikonos tahun 2010, Peta Adminstrasi, Peta Topografi, Peta Jalan, Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031, Peta Greatgroup Tanah Tahun 2010 , Peta Isohyet Curah Hujan tahun 1998-2010, Data Kabupaten Cianjur Dalam Angka tahun 2012 dan Survei Pertanian Kabupaten Cianjur tahun 2013. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa software, seperti Erdas Imagine 9.1, Arc View 3.3, Arc Gis 9.3, Google Earth, Statistica 7 dan Microsoft Office 2010. Prosedur Analisis Data Penelitian ini secara umum terdiri dari tahap persiapan, pengumpulan data, dan analisis data. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan topik penelitian, studi pustaka, pembuatan. Tahap pengumpulan data dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil interpretasi visual citra ikonos dengan resolusi spasial 1x1m yang sudah dilakukan proses fusi terlebih dahulu meliputi daerah penelitian dan pengecekan lapang. Sedangkan data
7 sekunder berupa Kabupaten Cianjur dalam angka 2012, Survei Pertanian Kabupaten Cianjur 2013. Data spasial yang digunakan adalah peta administrasi, peta tanah, peta jalan, peta curah hujan, peta topografi dan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031. Analisis data yang meliputi interpretasi visual untuk mengetahui penggunaan lahan aktual, analisis cluster untuk membuat tipologi kecamatan, tumpang tindih antar peta penggunaan/penutupan lahan dengan tipologi kecamatan untuk mengetahui keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan, serta pembandingan pemanfaatan ruang untuk mengetahui kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang. Pengecekan lapang dilakukan untuk mengetahui kebenaran hasil interpretasi visual dan mengetahui karakteristik yang ada pada lokasi penelitian. Tabel 2 Tujuan penelitian, data, analisis dan keluaran yang diharapkan Tujuan
Data
Analisis
Keluaran
Analisis clustering dengan menggunakan software statistica 7
Tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas
Interpretasi visual citra ikonos dengan pendekatan 9 unsur interpretasi Tumpang tindih hasil interpretasi dengan peta administrasi
Proporsi penggunaan/penutupan lahan pada setiap
Analisis tumpang tindih
Keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan
Tumpang tindih antara hasil keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan pada setiap tipologi kecamatan dengan peta RTRW Analisis pembandingan penggunaan lahan dengan pola ruang
Tingkat kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan
a).Peta administrasi b).Peta kemiringan lereng 1. Membuat tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas
2. Menganalisis penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2010 3. Mengkaji keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan
4. Mempelajari tingkat kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan
c).Peta elevasi d).Peta tanah e).Peta curah hujan f).Kabupaten Cianjur dalam angka g).Survei Pertanian Kabupaten Cianjur h).Peta Jalan a).Citra ikonos multispektral dengan resolusi spasial 4 meter b).Peta administrasi a).Tipologi Kecamatan b).Peta penggunaan/penutupan lahan
a).Hasil keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan pada setiap kecamatan
b).Peta RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031
Tahap Analisis Data Tahap ini meliputi pengolahan citra Ikonos tahun 2010 dengan melakukan interpretasi visual dengan pendekatan 9 unsur interpretasi meliputi rona, warna, bentuk, tekstur, pola, ukuran, bayangan, situs, dan asosiasi dan didukung dengan pengecekan lapang untuk memperoleh penggunaan/ penutupan. Overlay (tumpang
8 tindih) antara peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta administrasi untuk mendapatkan proporsi penggunaan lahan pada setiap kecamatan. Ekstraksi peta topografi untuk memperoleh peta elevasi yang selanjutnya dibuat DEM (digital elevation model) untuk memperoleh peta kemirirngan lereng. Analisis Clustering Analisis ini menggunakan teknik pewilayah, yaitu untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan karakteristik tertentu dari suatu hamparan wilayah. Teknik ini dapat digunakan untuk menetapkan kelompok/batas wilayah berdasarkan tingkat perkembangannya (konsep wilayah nodal), atau mengelompokkan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik fisik (konsep wilayah homogen). Teknik pewilayahan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis gerombol untuk menentukkan tipologi wilayah berdasarkan karakteristik fisik, social, dan aksesibilitas. Panuju dan Ernan (2012) menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua metode penggerombolan dalam analisis gerombol yaitu : 1. Metode berhirarki dan 2. Metode tidak berhirarki. Menurut Murtagh (1983) dalam Panuju dan Ernan (2012) metode berhirarki lebih sesuai dan menonjol karena dianggap lebih sedikit asumsi dan campur tangan pelaku analisis. Dalam analisis gerombol, beberapa ukuran jarak antara lain : jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan (city-block), jarak chebcycev, power distance, dan percent disagreemment. Ukuran jarak yang sering digunakan adalah Eucledian distance (jarak eucledian). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik gerombol adalah : √∑(
)
Dimana merupakan jarak antara titik data 1 dan data 2 atau gerombol 1 dan 2, i=1,2,3,... p adalah banyaknya variabel yang menjadi karakteristik penciri untuk mengetahui kemiripan antara unit pengamatan 1 dan 2. Dengan demikian jarak di hitung dari sejumlah p karakteristik yang digunakan sebagai ukuran pembeda pengamatan 1 dan 2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berhirarki dan metode tidak berhirarki. Hasil analisis gerombol dengan metode berhirarki berupa diagram pohon disajikan pada Gambar 1. Penetapan jumlah kelompok optimum dapat dilakukan dengan mengamati jarak terpanjang (Linkage Distance) dari satu pautan ke pautan lainnya. Menurut Rustiadi et al. (2006), suatu kelompok objek dikatakan optimal jika memiliki jarak antar kelompok paling jauh dan jarak antar objek dalam kelompok paling dekat. Semakin dekat jarak antar objek, maka akan semakin besar kemiripan antar objek dalam satu kelompok. Tahap selanjutnya adalah menggunakan metode tidak berhirarki untuk menentukkan jumlah tipologi/pengelompokan yang di inginkan berdasarkan pada hasil dendogram.
9 Tabel 3 Karakteristik fisik yang digunakan dalam penelitian kemiringan lereng (%) 0-8 8-15 15 - 25 25 - 40 > 40
luas (ha) 43791,61 18275,65 20739,85 15504,80 500,36
elevasi (mdpl)
luas (ha)
200- 500 500- 1000 1000- 1500 1500- 2000 >2000
48571,49 35770,89 10191,35 2706,20 1572,32
curah hujan (mm/thn)
luas (ha)
1.900 - 2.200
734,45
2.200 - 2.500
7222,73
2.500 - 2.800
25118,73
2.800 - 3.100
56088,16
3.100 - 3.400
9648,20
tanah (greatgroup) Dystropepts Eutropepts Paleudults Tropaquepts (blank)
luas (ha) 36980,57 32313,26 25387,78 240,97 3889,48
Tabel 4 Karakteristik sosial dan aksesibilitas yang digunakan dalam penelitian kepadatan penduduk (jiwa/km²) 529,44
Sosial kepadatan rumah tangga pertanian (kk/km²) 58,32
Aksesibilitas kerapatan jalan (km/km²) 0,45
747,84
81,50
0,39
Sukaluyu
1438,94
147,91
0,86
Cianjur
4887,66
94,30
2,08
Cilaku
2046,67
165,28
1,02
Karangtengah
2431,19
130,85
1,22
Warungkondang
686,25
61,31
0,59
Cibeber
981,17
123,09
0,62
Cipanas
1338,95
81,63
2,33
Cugenang
1292,11
121,12
0,82
Pacet
2054,51
129,39
1,00
796,09
91,09
0,32
Kecamatan Cikalong Kulon Mande
Sukaresmi
10 Analisis Spasial Analisis spasial yang dilakukan adalah melakukan proses tumpang tindih peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 dengan hasil tipologi kecamatan untuk mengetahui keterkaitan antara tipologi kecamatan dengan penggunaan/penutupan lahan. Analisis pembandingan pemanfaatan ruang Langkah awal yang dilakukan dalam proses ini adalah melakukan proses tumpang tindih antara hasil analisis keterkaitan tipologi kecamatan dengan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031. Setelah didapatkan hasil tumpang tindih, dilakukan analisis pembandingan mengenai tingkat kesamaan penggunaan lahan tersebut terhadap peruntukan pola ruangnya. Tabel 5 Kesamaan Penggunaan Lahan aktual terhadap pola ruang Penggunaan Lahan tahun 2010
Badan Air
Hutan
Lahan Terbangun
Pola Ruang tahun 20112031 Hutan konservasi Hutan Produksi Pemukiman Pedesaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan Sempadan Sungai Waduk Cirata Hutan konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan Sempadan Sungai Sesuai Hutan Lindung Waduk Cirata Hutan konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan Pemukiman Perkotaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan RTH Perkotaan Sempadan Sungai Sesuai Hutan Lindung Waduk Cirata
Kesamaan
sama
Keterangan
dikatakan sama karena, keberadaan badan air pada berbagai peruntukan pola ruang dan interpretasi peta RTRW secara general
penggunaan lahan eksisting sama dengan peruntukan pola ruang sama
dikatakan sama karena kondisi penggunaan lahan sama dengan peruntukan pola ruang
sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat di kembalikan sesuai peruntukan pola ruang
tidak sama sama
tidak sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang penggunaan lahan eksisting dan peruntukan pola ruang sama-sama sebagai lahan terbangun
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
11 Tabel 5 Lanjutan Penggunaan Lahan tahun 2010
Pola Ruang tahun 2011-2031 Hutan konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan
Semak Belukar
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan
sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang dan sama-sama sebagai lahan pertanian
RTH Perkotaan
tidak sama
Sempadan Sungai
sama
Sesuai Hutan Lindung Waduk Cirata Waduk Cisokan Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan Sesuai Hutan Lindung
tidak sama
tidak sama
sama
Sempadan Sungai Hutan konservasi Hutan Produksi
Lahan Terbuka
Keterangan
tidak sama
Pemukiman Perkotaan
Perkebunan
Kesamaan
tidak sama
Pemukiman Pedesaan Pemukiman Perkotaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan
sama
Sempadan Sungai
sama
Waduk Cirata
tidak sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang penggunaan lahan eksisting masih diperbolehkan asalkan tidak menganggu fungsi sungai penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
penggunaan lahan eksisting masih diperbolehkan asalkan tidak menganggu fungsi sungai penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
penggunaan lahan eksisting masih diperbolehkan asalkan tidak menganggu fungsi sungai penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
12 Tabel 5 Lanjutan Penggunaan Lahan tahun 2010
Pola Ruang tahun 20112031
Kesamaan
Keterangan
Hutan konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman Perkotaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan RTH Perkotaan Sesuai Hutan Lindung
tidak sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang dan sama-sama sebagai lahan pertanian
tidak sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
sama
penggunaan lahan eksisting masih diperbolehkan asalkan tidak menganggu fungsi sungai
tidak sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
Waduk Cirata Sempadan Sungai Hutan konservasi Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Pemukiman Pedesaan
Sawah
Pemukiman Perkotaan Perkebunan/Tanaman Tahunan Pertanian Tanaman Hortikultura Pertanian Tanaman Pangan RTH Perkotaan Sesuai Hutan Lindung
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang sama
tidak sama
penggunaan lahan eksisting masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang dan sama-sama sebagai lahan pertanian
penggunaan lahan eksisting masih diperbolehkan asalkan tidak menganggu fungsi sungai
Waduk Cirata Sempadan Sungai
sama
penggunaan lahan eksisting tidak sama dan tidak dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruang
Peta elevasi
Karakteristik fisik pada setiap kecamatan
TUMPANG TINDIH
Peta curah hujan
Tree diagram
Analisis gerombol
k-means clustering
Karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas pada setiap kecamatan
Peta tanah
Editing data tabular
Peta administrasi
Jumlah rumah tangga pertanian setiap kecamatan
Survei Pertanian Kabupaten Cianjur
Cek lapang
Citra ikonos tahun 2010 Interpretasi visual
Panjang jalan setiap kecamatan
Peta Jalan
Kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan
Keterkaitan tipologi kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan Peta RTRW tahun 2011-2031
TUMPANG TINDIH
Penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 TUMPANG TINDIH
Tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas
Jumlah penduduk setiap kecamatan
Kabupaten Cianjur Dalam Angka
Gambar 1 Diagram alir penelitian
Peta kemiringan lereng
DEM
Peta topografi
13
14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak sekitar 65 Km dari Ibu Kota Provinsi Jawa Barat (Bandung) dan 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta), dan terletak di antara 6º21’ – 7º25’ Lintang Selatan dan 106º42’ – 107º25’ Bujur Timur. Secara geografis wilayah ini terbagi dalam 3 bagian yaitu Cianjur Bagian Utara, Bagian Tengah dan Bagian Selatan, dan yang menjadi lokasi dalam penelitian ini adalah 12 kecamatan yang termasuk ke dalam Cianjur Bagian Utara yaitu : Kecamatan Cianjur, Cibeber, Cikalong Kulon, Cilaku, Cipanas, Cugenang, Karangtengah, Mande, Pacet, Sukaluyu, Sukaresmi, dan Warungkondang. Cianjur Bagian Utara merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian 2.962 meter. Sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan pesawahan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Lokasi penelitian memiliki batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta - Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi - Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Campaka - Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bandung -
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
15 Fisik Keadaan alam daerah Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian sekitar 200- 2.962 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang mendominasi pada lokasi penelitian adalah 200-500 mdpl yang berada di bagian timur hingga keselatan daerah penelitian kemudian di ikuti dengan ketinggian 500-1.000 mdpl yang berada dibagian barat lokasi penelitian yang termasuk kedalam wilayah Taman Nasional Gunung Gede. Kemiringan lereng 0-8 % yang berada pada bagian tengah lokasi penelitian dan 15-25 % yang menyebar dibeberapa wilayah lokasi penelitian, sedangkan kemiringan lereng > 40 % memiliki proporsi 0,51 % dari total luas lokasi penelitian. Dengan kondisi fisik seperti di atas maka sebaran curah hujan rata-rata pertahun pada lokasi penelitian yang terbesar berkisar 2.800-3.100 mm.
Gambar 3 Peta kemiringan lereng
16
Gambar 4 Peta elevasi Sosial dan Aksesibilitas Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 berjumlah 2.210.267 jiwa, dimana sebesar 1.125.538 jiwa atau sebesar 50,92 % berada pada wilayah lokasi penelitian. Menurut Bappeda Kabupaten Cianjur (2012), bahwa 63,90 % penduduk Kabupaten Cianjur terkonsentrasi di Cianjur Bagian Utara. Kesenjangan penyebaran penduduk yang terjadi ini dimungkinkan berkaitan erat dengan faktor daya tarik wilayah, terutama aspek ekonomi serta ketersediaan sarana tempat tinggal. Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur adalah di sektor pertanian sebesar 52,00 %, sehingga keberadaan lahan pertanian sangat penting untuk menunjang kehidupan warga Cianjur. Pada tahun 2010, luas lahan sawah pada lokasi penelitian sebesar 28.028 ha tetapi pada tahun 2011 menurun menjadi 22.074 ha, dengan jumlah rumah tangga pertanian berjumlah > 5.000 sampai 15.000 keluarga. Keberadaan jalan pada Kabupaten Cianjur cukup baik. Kabupaten Cianjur dilalui jalan Kabupaten sebesar 1.290 km, jalan Provinsi 178.961 km dan jalan Negara 73.796 km. Perekonomian Indikator dalam menggambarkan kondisi ekonomi pada suatu wilayah adalah berupa PDRB atau Pendapatan Domestik Regional Bruto. Berdasarkan distribusi PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Cianjur tahun 2010, sektor
17 pertanian masih memberikan kontribusi yang paling besar yaitu sebesar 38,14 %. Sektor kedua yang memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 26,06 %. Suasana alam kawasan Puncak-Cipanas yang sejuk dan indah menjadikan andalan objek wisata Cianjur dengan Taman Bunga Nusantara dan Kebun Raya Cibodas sebagai prima-donanya. Suasana tersebut menjadikan banyaknya tamu yang datang baik asing maupun domestik ke wilayah tersebut, sehingga meningkatkan pendapatan daerah dari segi wisata. Tercatat bahwa jumlah hotel terbesar terletak di Kecamatan Cipanas dengan jumlah 73 kemudian Pacet dengan jumlah 32.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tipologi Kecamatan berdasarkan Karakteristik Fisik, Sosial dan Aksesibilitas Setiap kecamatan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu diperlukan suatu pengelompokan wilayah yang bertujuan untuk mengelompokan kecamatan yang memiliki karakteristik yang sama dan tidak menghilangkan karakteristik khas masing-masing wilayah. Pengelompokan kecamatan tersebut berdasarkan kedekatan jarak terhadap proporsi berbagai karakteristik.
Gambar 5 Dendogram hasil analisis gerombol
18 Gambar 5 adalah hasil tree diagram dari analisis clustering. Berdasarkan gambar tersebut, penentuan anggota masing-masing tipologi ditentukan dari jarak (linkage distance), di mana bila antar objek memiliki kedekatan jarak yang paling dekat maka dapat dikatakan berkelompok atau membentuk satu tipologi, sebagai contoh adalah kelompok Cipanas, Cugenang dan Pacet. Ketiganya memiliki kedekatan jarak dibanding dengan kelompok yang lain. Penentuan tipologi kecamatan dalam penelitian ini menggunakan 7 faktor, yaitu 4 faktor karakteristik fisik yang berupa proporsi kemiringan lereng, elevasi, greatgroup tanah dan curah hujan, dua faktor karakteristik sosial yang berupa kepadatan penduduk dan kepadatan rumah tangga pertanian, dan satu faktor aksesibilitas berupa kerapatan jalan. Berdasarkan 7 faktor tersebut setelah dilakukan analisis gerombol, diperoleh tujuh tipologi kecamatan (Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 tersebut selain di ketahui 7 tipologi kecamatan, dapat diketahui juga bahwa beberapa tipologi memiliki kesamaan karakteristik. Tipologi yang memiliki kesamaan karakteristik antara lain tipologi 1 dan tipologi 7 yaitu proporsi greatgroup tanah yang terbesar adalah dystropepts, curah hujan rata-rata pertahun 2.500-2.800 mm, kepadatan penduduk yang kurang dari 1.000 jiwa/km², kepadatan rumah tangga pertanian yang kurang dari 100 kk/km² dan kerapatan jalan yang kurang dari 0,5 km/km², tipologi 2 dan tipologi 3 yaitu jumlah proporsi kemiringan lereng yang terbesar adalah (0-8 %), elevasi yang tergolong rendah (200-500 mdpl) dan greatgroup tanah paleudults. Tidak hanya dari segi karakteristik fisik saja, kedua tipologi ini memiliki kesamaan dalam segi kepadatan rumah tangga pertaniannya, dan tipologi 4 dan tipologi 5 memiliki kesamaan proporsi elevasi yang terbesar adalah 500-1.000 mdpl, curah hujan ratarata pertahunnya sebesar 2.800-3.100 mm, dan kerapatan jalan yang kurang dari 1 km/km² sedangkan tipologi 6 tidak memiliki kesamaan karakteristik dengan tipologi yang lainnya.
19 Tabel 6 Tipologi kecamatan dan karakteristiknya Tipologi 1
Cikalongkulon
2 Mande Sukaluyu
3 Cianjur Cilaku Karangtengah
4
warungkondang
5
Cibeber
6 Cipanas Cugenang Pacet
7
Sukaresmi
Karakteristik FISIK, didominasi oleh kemiringan lereng agak curam (44,31 %) dan datar (27,22 %) dengan kondisi elevasi sampai 500 mdpl (86,54 %), dengan persebaran greatgroup tanah terbesar adalah dystropepts (55,42 %) dan curah hujan rata-rata pertahun 2.500-2.800 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 529 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 58 kk/km², memiliki kerapatan jalan 0,45 km/km². FISIK, kemiringan lereng pre- dominan adalah datar (79,94 %) dengan elevasi rendah (89,73 %). Persebaran tanah terbesar adalah paleudults dan dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.500- 3.100 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 796 sampai 1.438 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 82 sampai 148 kk/km², memiliki kerapatan jalan <1 km/km². FISIK, wilayah yang 98,38 % memiliki kemiringan lereng datar dan merupakan dataran rendah karena memiliki elevasi 200-500 mdpl sebesar 92,74 %. Persebaran greatgroup tanah terbesar adalah paleudults (63,32 %0 dan dengan curah hujan rata-rata pertahun adalah 2.800 sampai 3.100 mm (96,80 %). SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 2.046 sampai 4.887 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 94 sampai 165 kk/km². Memiliki kerapatan jalan 1,02 sampai 2,08 km/km². FISIK, kemiringan lereng pre-dominan adalah datar (50,79 %) dengan elevasi 500-1000 mdpl (72,70 %). Persebaran greatgroup tanah terbesar adalah eutropepts dan dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.800 sampai 3.100 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 686 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 61 kk/km². Memiliki kerapatan jalan 0,59 km/km². FISIK, didominasi oleh kemiringan lereng agak curam (30,00 %) dan lereng datar (29,72 %) dengan elevasi 500- 1000 mdpl (59,57 %). Persebaran greatgroup tanah terbesar adalah dystropepts dan curah hujan rata-rata pertahun 2.800 sampai 3.100 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 981 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 123 kk/km² dan memiliki kerapatan jalan 0,62 km/km². FISIK, didominasi oleh kemiringan lereng landai (29,31 %) dan curam (26,84 %) dengan 40,35 % wilayahnya merupakan dataran tinggi dengan elevasi >1000 mdpl dan 39,83 % merupakan elevasi 500-1000 mdpl. 72,37 % wilayahnya memiliki greatgroup tanah eutropepts dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.800 sampai 3.400 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 1.292 sampai 2.054 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 82 sampai 129 kk/km², memiliki kerapatan jalan 0,8 sampai 2,33 km/km². FISIK, didominasi oleh kemiringan lereng landai (47,10 %) dan agak curam (24,00 %) dengan elevasi 500-1000 mdpl (79,13 %). Persebaran gratgroup tanah terbesar adalah dystropepts (66,30 %) dan curah hujan rata-rata pertahun 2.500 sampai 3.100 mm. SOSIAL DAN AKSESIBILITAS, memiliki kepadatan penduduk 769 jiwa/km² dengan kepadatan rumah tangga pertanian 91 kk/km², memiliki kerapatan jalan 0,32 km/km².
20 Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 Berdasarkan interpretasi visual citra ikonos yang didukung dengan pengecekan lapang, diperoleh 8 kelas penggunaan/penutupan lahan, yaitu Hutan, Lahan terbangun, Perkebunan, Pertanian lahan kering, Sawah, Badan air, Lahan terbuka, dan Semak/belukar. Proporsi penggunaan lahan tersebut di sajikan pada Tabel 7. Daerah penelitian memiliki luas 98.812 ha, dengan proporsi penggunaan lahan terbesar adalah perkebunan 29.207 ha (29,56 %) dan sawah 28.028 ha (28.36 %), kemudian diikuti oleh hutan 15.188 ha (15,37 %), pertanian lahan kering 10.116 ha (10,24 %) dan lahan terbangun 7.181 ha (7,27 %), sedangkan untuk penggunaan lahan yang memiliki luas terendah adalah lahan terbuka sebesar 101 ha (0,10 %). Tabel 7 Proporsi penggunaan lahan di lokasi penelitian Penggunaan Lahan Badan Air (BA) Hutan (HTN) Lahan Terbangun (LT) Lahan Terbuka (LTB) Perkebunan (PKBN) Pertanian Lahan Kering (PLK) Sawah (SWH) Semak/ Belukar (S/B) Total
Luas (ha) 3.889 15.188 7.181 101 29.207 10.116 28.028 5.101 98.812
Persentase (%) 3,94 15,37 7,27 0,10 29,56 10,24 28,36 5,16 100
Gambar 6 Peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2010
21 Perkebunan Perkebunan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama dua tahun dengan pemanenan dapat dilakukan setelah satu tahun atau lebih (SNI 2010). Kenampakan perkebunan pada citra ikonos memiliki rona agak gelap-terang, warna hijau tua sampai muda, tekstur agak halus sampai agak kasar, bentuk tidak beraturan sampai berpetak-petak halus, berasosiasi dengan pemukiman atau kebun campuran. Perkebunan merupakan penggunaan lahan dengan proporsi luasan terbesar di daerah penelitian yaitu sebesar 29.207 ha. Persebaran penggunaan lahan perkebunan apabila dilihat pada Gambar 6 tersebar di kecamatan sekitar Cianjur yaitu sebesar 30,12 % sedangkan perkebunan pada Kecamatan Cianjur hanya sebesar 13,12 %. Keadaan di lapang yang ditemui, perkebunan yang ada di lokasi penelitian antara lain perkebunan teh, karet dan sawit.
(a)
(b)
(c) Gambar 7 (a) Kenampakan objek perkebunan yang memiliki tekstur halus pada citra, (b) Kenampakan objek perkebunan yang memiliki tekstur agak kasar pada citra, (c) Kenampakan objek perkebunan pada pengamatan lapang Sawah Sawah dideskripsikan sebagai areal pertanian yang digenangi air atau diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur pendek (SNI 2010). Menurut Badan Pertanahan Nasional 1997, tanah persawahan adalah areal tanah pertanian basah dan atau kering yang digenangi air secara periodik dan atau terus menerus ditanami padi dan atau diselingi dengan tanaman tebu, tembakau dan atau tanaman semusim lainnya. Kenampakan sawah pada citra ikonos memiliki rona cerah, pola yang teratur, bentuk yang berpetak-petak, tekstur halus, dekat dengan jalan atau saluran irigasi seperti sungai, memiliki pematang dan berada pada kondisi lereng datar. Sawah merupakan penggunaan
22 lahan yang memiliki proporsi terbesar kedua yaitu sebesar 28.028 ha. Persebaran lahan sawah ini terletak pada bagian tengah sekitar Kecamatan Cianjur, Kecamatan Cianjur sendiri memiliki lahan sawah sebesar 50,71 % sedangkan kecamatan sekitar Cianjur sebesar 27,59 %. Hal ini didukung oleh kondisi fisik pada bagian tengah yang didominasi oleh kemiringan lereng datar dan elevasi yang tergolong rendah, sehingga akan sangat sesuai untuk sawah.
(a) (b) Gambar 8 (a) Kenampakan objek sawah pada citra, (b) Kenampakan objek sawah pada pengamatan lapang Hutan Kenampakan hutan pada citra ikonos adalah memiliki rona gelap, warna hijau muda dengan tekstur kasar, memiliki pola tidak teratur, berukuran relatif besar dan bersifat mengelompok/berkumpul. Penggunaan lahan hutan merupakan penggunaan lahan dengan proporsi terbesar ketiga di daerah penelitian. Persebaran hutan pada lokasi penelitian tersebar pada bagian barat dan utara di kecamatan sekitar Cianjur, hal ini karena pada bagian ini memiliki kemiringan lereng > 15 % sampai > 40 %. Selain itu bagian barat lokasi penelitian termasuk ke dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sedangkan di Kecamatan Cianjur tidak terdapat penggunaan lahan hutan.
(a) (b) Gambar 9 (a) Kenampakan objek hutan pada citra, (b) Kenampakan objek hutan pada pengamatan lapang Pertanian Lahan Kering Pertanian lahan kering merupakan areal yang dimanfaatkan untuk pertanian dengan jenis tanaman semusim. Pertanian lahan kering ini biasanya berupa tegalan atau ladang dan kebun campuran. Ladang adalah areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman selain padi, tidak memerlukan pengairan secara ekstensif, memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang
23 kelangsungan hidupnya, sedangkan kebun campuran ditanami tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang menghasilkan bunga, buah, dan getah. Kebun campuran di Indonesia biasanya berasosiasi dengan permukiman perdesaan atau pekarangan (SNI 2010). Pada citra ikonos, kenampakan tegalan atau ladang memiliki pola tidak beraturan, rona terang dan tekstur agak kasar, berasosiasi dengan sawah atau permukiman, sedangkan kebun campuran memiliki rona gelap dengan warna hijau tua dan memiliki pola tidak teratur dan tekstur kasar. Pertanian lahan kering lebih besar berada di kecamatan sekitar Cianjur sebesar 10,37 %, sedangkan di Kecamatan Cianjur hanya sebesar 6,47 %.
(a)
(b)
(c) Gambar 10 (a) Kenampakan objek pertanian lahan kering berupa tegalan dan (b) kebun campuran pada citra, (c) Kenampakan objek pertanian lahan kering berupa tegalan pada pengamatan lapang Lahan Terbangun Lahan terbangun merupakan areal yang telah mengalami substitusi penutup lahan alami ataupun semi alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen (SNI 2010). Lahan terbangun di daerah penelitian termasuk di dalamnya adalah sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian, industri ataupun pemerintahan. Pada citra ikonos, kenampakan lahan terbangun berupa permukiman perkotaan atau perkampungan memiliki rona terang, tekstur kasar dengan pola yang teratur, sedangkan permukiman perkampungan memiliki pola yang tidak teratur. Lahan terbangun berupa kawasan industri memiliki rona terang, warna putih, pola teratur, tekstur halus dengan bentuk memanjang, sedangkan sebagai kawasan pemerintahan atau perkantoran memiliki rona terang dengan warna kecoklatan, pola yang teratur, tekstur kasar dengan membentuk pola tertentu. Kenampakan lahan terbangun pada citra ikonos biasanya berasosiasi terhadap jalan. Gambar 6 menunjukan persebaran spasial penggunaan/penutupan lahan, dimana lahan terbangun bersifat mengumpul dan membentuk pola tertentu di
24 bagian tengah dan barat laut lokasi penelitian. Bagian tengah lokasi penelitian termasuk di dalamnya adalah Kecamatan Cianjur sebagai Ibukota dari Kabupaten Cianjur, dimana pemusatan kegiatan dan pemerintahan terjadi. Hal tersebut sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk yang akan mendorong perkembangan lahan terbangun. Bagian barat laut lokasi penelitian termasuk di dalamnya adalah Kecamatan Cipanas yang dikenal dengan wisatanya, yaitu Hutan Wisata Mandalawangi, Taman Nasional G. Gede Pangrango, Istana Presiden dan Kebun Raya Cibodas, selain itu memiliki aksesibilitas jalan yang menghubungkan Puncak-Cipanas sehingga mendorong keberadaan lahan terbangun. Lahan terbangun tersebut selain sebagai permukiman juga terdapat beberapa hotel atau penginapan.
(a)
(b) Gambar 11 (a) Kenampakan objek lahan terbangun pada citra, (b) Kenampakan objek lahan terbangun pada pengamatan lapang Semak/belukar Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan, semak/belukar merupakan kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Semak/belukar di Indonesia biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakan lagi bekas atau bercak tebangan. Proporsi penggunaan lahan semak/belukar pada lokasi penelitian sebesar 5.101 ha dan tersebar di dekat dengan hutan. Kenampakan semak/belukar pada citra ikonos memiliki rona agak gelap dengan pola yang tidak beraturan, tekstur kasar dan berlokasi/situs dekat dengan hutan.
25
Gambar 12 Kenampakan objek semak/belukar pada citra Badan Air Badan air pada lokasi penelitian memiliki proporsi sebesar 3.889 ha dan diinterpretasikan sebagai waduk/danau dan sungai. Waduk/danau adalah areal perairan dengan penggenangan air dalam dan permanen serta penggenangan dangkal, sedangkan sungai adalah tempat mengalirnya air yang bersifat alamiah yang dapat bersifat musiman atau sepanjang tahun (SNI 2010). Pada citra ikonos, kenampakan badan air berupa waduk adalah memiliki rona terang, tektur halus dan memiliki pola yang teratur dan memiliki bentuk tertentu, sedangkan sungai memiliki pola yang berkelok-kelok dengan rona cerah, memanjang dan bertekstur halus.
Gambar 13 Kenampakan objek badan air pada citra Lahan Terbuka Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 2010 tentang klasifikasi penutupan lahan mendeskripsikan bahwa lahan terbuka sebagai lahan tanpa tutupan baik bersifat alami, semi alami maupun artifisial. Proporsi lahan terbangun pada lokasi penelitian hanya sebesar 101 ha dan apabila di lihat pada Gambar 6, persebarannya secara spasial tidak terlalu terlihat. Kenampakan lahan terbuka pada citra ikonos memiliki rona terang, berwarna coklat dengan tekstur yang halus dan pola yang tidak beraturan, berasosiasi dekat dengan pemukiman atau semak/belukar.
Gambar 14 Kenampakan objek lahan terbuka pada citra
26 Keterkaitan Tipologi Kecamatan dengan Proporsi Penggunaan Lahan Setiap tipologi memiliki proporsi terhadap penggunaan lahan yang berbedabeda berdasarkan karakteristik pada setiap tipologi tersebut. Penggunaan lahan yang memiliki proporsi terbesar pada tipologi 1 adalah hutan, kemudian perkebunan lalu diikuti oleh semak/belukar. Proporsi penggunaan lahan tersebut berkaitan dengan karakteristik pada tipologi ini, walaupun pada tipologi kecamatan ini sebagian besar wilayahnya termasuk ke dataran rendah tetapi kondisi lereng pada tipologi ini termasuk ke dalam kemiringan lereng agak curam. Oleh karena itu, hutanlah yang memiliki proporsi terbesar hal ini dikarenakan dengan kondisi fisik yang demikian akan sangat memerlukan usaha yang tinggi apabila memanfaatkan penggunaan lahan yang lainnya. Selain itu, tipologi ini tidak memiliki kepadatan penduduk yang tinggi yaitu < 1.000 jiwa/km² Tipologi 2 merupakan kecamatan dengan kondisi lereng yang paling dominan adalah datar dan termasuk ke dalam dataran rendah dengan kepadatan rumah tangga pertanian mulai dari 80 sampai > 100 kk/km². Penggunaan lahan pertanian sangat mendominasi dengan proporsi terbesar adalah perkebunan dan sawah lalu diikuti oleh pertanian lahan kering. Tipologi 3 merupakan kecamatan yang memiliki kondisi lereng datar dan merupakan dataran rendah, dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibanding tipologi lain dan memiliki ketersediaan aksesibilitas yang memadai. Kondisi karakteristik yang demikian, menyebabkan keberadaan lahan sawah memiliki proporsi paling tinggi. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2010) menjelaskan bahwa kesesuaian lahan untuk sawah adalah pada kemiringan lereng < 3 % dan berada pada ketinggian < 500 mdpl. Selain itu, tipologi ini memiliki proporsi lahan terbangun yang lebih banyak dibandingkan dengan tipologi yang lainnya. Hal ini dikarenakan, pada tipologi ini terdapat Kecamatan Cianjur sebagai Ibukota Kabupaten Cianjur sehingga lahan terbangun banyak terkonsentrasi pada kecamatan ini. Tipologi 4 merupakan kecamatan dengan karakteristik fisik yang didominasi oleh lereng datar dan pre- dominan atau yang paling dominan adalah elevasi > 500 mdpl dengan curah hujan rata- rata 2.800- 3.100 mm/tahun. Penggunaan lahan yang memiliki proporsi terbesar adalah perkebunan, sawah dan kemudian hutan. Walaupun kecamatan ini memiliki lereng yang datar tetapi elevasi yang sangat mendominasi adalah elevasi > 500 mdpl dan kepadatan penduduk < 1.000 jiwa/km², dengan kepadatan rumah tangga pertanian < 100 kk/km² dan kerapatan jalan < 1km/km² sehingga keberadaan penggunaan lahan yang membutuhkan aktifitas yang tinggi akan sangat membutuhkan usaha. Tipologi 5 merupakan kecamatan dengan proporsi penggunaan lahan terbesar adalah perkebunan, yaitu 69,19 %. Hal ini karena didukung oleh karakteristik fisik. Kecamatan pada tipologi ini memiliki persebaran kemiringan lereng datar yang cukup besar yaitu 29,72 %, tetapi kemiringan lereng yang agak curam lebih besar yaitu 30 %. Selain itu, kepadatan penduduk pada tipologi ini sebesar < 1.000 jiwa/km² dan dengan kerapatan jalan < 1 km/km², sehingga keberadaan penggunaan lahan yang banyak terdapat kegiatan di dalamnya akan sangat membutuhkan usaha yang berat dalam pengelolaan lahan yang membutuhkan kegiatan yang intensif, seperti halnya sawah.
27
69,19 57,76 37,55 26,31
31,25
23,56 14,28
18,94 15,74
11,05
30,13 30,26 25,34
31,04 25,53
35,5
18,86
25,96 21,76
14,29
1
2
3
4
5
6
SWH
PKBN
PLK
PKBN
SWH
HTN
S/B
SWH
PKBN
HTN
SWH
PKBN
LT
PKBN
SWH
PLK
SWH
PKBN
S/B
4,8
PKBN
80 70 60 50 40 30 20 10 0
HTN
Proporsi Penggunaan Lahan (%)
Tipologi 6 merupakan kecamatan-kecamatan yang memiliki kemiringan lereng landai dan agak curam berturut-turut, yaitu 29,31 % dan 26,84 % dengan kondisi elevasi di atas 500 mdpl, sehingga penggunaan lahan yang memiliki proporsi terbesar adalah hutan. Selain itu, sebagian wilayah pada tipologi ini termasuk ke dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa tipologi ini memiliki kemiringan lereng landai yang cukup besar sehingga penggunaan lahan yang memiliki proporsi terbesar kedua adalah sawah. Tipologi 7 merupakan kecamatan yang didominasi oleh penggunaan lahan pertanian dengan proporsi terbesar adalah pertanian lahan kering, dan diikuti oleh perkebunan dan sawah. Hal ini karena tipologi ini memiliki kemiringan lereng landai yang cukup besar, yaitu 47,10 %.
7
Tipologi Gambar 15 Proporsi penggunaan lahan pada setiap tipologi kecamatan Berdasarkan penjelasan pada sub bab tipologi kecamatan tentang persamaan tipologi-tipologi antar kecamatan ternyata kesamaan tipologi tersebut tidak menjamin persamaan terhadap proporsi penggunaan lahannya. Tipologi 1 dan tipologi 7 memiliki proporsi kemiringan lereng dan elevasi yang berbeda. Perbedaan tersebut kemudian akan membedakan terhadap proporsi penggunaan lahan pada kedua tipologi ini. Tipologi 1 memiliki proporsi penggunaan lahan terbesar adalah hutan, sedangkan tipologi 7 memiliki proporsi penggunaan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering. Hal ini kerena pada tipologi 1 memiliki kemiringan lereng yang tergolong agak curam dibandingkan dengan tipologi 7 yang memiliki kemiringan lereng yang landai. Perbedaan karakteristik yang menyebabkan perbedaan proporsi penggunaan lahan pada tipologi 2 dan 3 adalah curah hujan rata-rata pertahun dan yang sangat membedakan adalah kepadatan penduduk dan kerapatan jalan sehingga proporsi penggunaan lahan di tipologi 2 adalah perkebunan sedangkan tipologi 3 yang memiliki perbedaan persebaran curah hujan, kepadatan penduduk dan kerapatan jalan yang lebih besar akan memiliki proporsi penggunaan lahan terbesar adalah sawah. Tipologi 4 dan 5 dibedakan berdasarkan proporsi kemiringan lereng, greatgroup tanah, kepadatan penduduk, dan kepadatan rumah tangga pertanian,
28 tetapi perbedaan ini tidak menyebabkan perbedaan terhadap proporsi penggunaan lahannya. Pada kedua tipologi ini memiliki proporsi penggunaan lahan yang terbesar adalah perkebunan. Hal ini karena perkebunan masih tergolong sesuai dan masih dapat bertahan pada kemiringan lereng yang agak curam. Tipologi 6 tidak memiliki kesamaan karakteristik dengan tipologi yang lainnya, dikarenakan kemiringan lereng pada tipologi ini didominasi oleh kemiringan lereng landai dan agak curam. Selain itu tipologi 6 memiliki ketinggian/elevasi yang lebih tinggi dibanding tipologi yang lainnya. Hal tersebut karena tipologi ini berada pada kaki Gunung Gede dan sebagian wilayahnya masuk ke dalam Taman Nasional Gunung Gede Panggrango. Pola/Proporsi Penggunaan Lahan pada berbagai Karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas Gambar 16 menerangkan tentang pola/proporsi penggunaan lahan pada berbagai karakteristik yaitu jarak terhadap pusat kota, kemiringan lereng, elevasi, kepadatan penduduk dan kerapatan jalan. Proporsi penggunaan lahan (%)
60 40 20 0 5
10
15
20
25
30
Jarak buffer dari pusat kota (km) HTN
LT
SWH
proporsi penggunaan lahan (%)
100 80 60 40 20 0
80
PKBN
0-8
15 25
25 40
> 40
kemiringan lereng (%)
HTN
(a)
PKBN
SWH
SWH
(b)
100 80 60 40 20 0
proporsi penggunaan lahan (%)
100 80 60 40 20 0
proporsi penggunaan lahan (%)
HTN
8-15
elevasi (mdpl) PKBN SWH
(c)
LT
kepadatan penduduk (jiwa/km²) HTN PKBN SWH LT
(d)
29 proporsi penggunaan lahan (%)
100 80 60 40 20 0 <0,5
0,5- 1
1- 2
>2
kerapatan jalan (km/km²) HTN
PKBN
SWH
LT
(e) Gambar 16 Pola/proporsi penggunaan lahan terhadap berbagai karakteristik pada lokasi penelitian, dimana (a) jarak dari pusat kota, (b) kemiringan lereng, (c) elevasi, (d) kepadatan penduduk, dan (e) kerapatan jalan Menurut Undang-Undang No 26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa dan pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan pada daerah perkotaan lebih banyak sebagai lahan terbangun dan keberadaan lahan pertanian akan semakin sedikit. Lahan sawah lebih banyak berada pada jarak yang dekat dengan pusat kota dan akan semakin menurun dengan meningkatnya jarak (Gambar 16a). Hal ini dikarenakan pada lokasi penelitian penggunaan lahan sawah banyak ditemui di bagian tengah yaitu sekitar daerah perkotaan dan apabila lebih bergeser ke selatan atau utara lokasi penelitian, akan ditemui kondisi lereng yang lebih curam dibanding pada bagian tengah lokasi penelitian sehingga keberadaan lahan sawah akan semakin menurun. Pola penggunaan lahan sawah seperti ini mungkin tidak terjadi pada semua lokasi, karena pola yang biasa terjadi adalah penggunaan lahan sawah akan semakin meningkat dengan semakin jauhnya jarak dari pusat kota. Hal tersebut dikarenakan semakin dekat dengan pusat kota maka kegiatan utama yang terjadi adalah sebagai pusat pelayanan jasa, pemerintahan dan permukiman perkotaan sehingga keberadaan sawah akan semakin menurun. Selain itu, keberadaan lahan sawah akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kemiringan lereng (Gambar 16b) dan elevasi (Gambar 16c). Menurut Gandasasmita (2001), penggunaan lahan sawah membutuhkan teras yang benarbenar datar sehingga sangat dibatasi oleh kecuraman lereng. Selain itu menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2010), kesesuaian lahan sawah berada pada kemiringan lereng < 3 % dan ketinggian < 500 mdpl. Hal ini merupakan pola umum yang biasa terjadi pada setiap lokasi. Penggunaan lahan sawah akan meningkat hingga kepadatan penduduk 2.000–3.000 jiwa/km² (Gambar 16d) dan kerapatan jalan 1-2 km/km² (Gambar 16e). Hal tersebut terjadi karena, dengan semakin meningkatnya kepadatan penduduk maka kebutuhan akan lahan terbangun semakin besar dan hal itu akan berdampak pada kebutuhan akan aksesibilitas yang lebih memadai. Lahan terbangun akan semakin menurun dengan semakin jauhnya jarak dari pusat kota (Gambar 16a) dan meningkatnya kemiringan lereng (Gambar 16b).
30 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kawasan perkotaan merupakan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa dan pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan lahan terbangun menempati daerah perkotaan dan sekitar/penggiran kota. Sementara itu, keberadaan lahan terbangun pun akan semakin menurun dengan meningkatnya kemiringan lereng, hal ini dikarenakan akan sangat membutuhkan tenaga dan usaha yang besar untuk membangun atau mendirikan lahan terbangun pada daerah yang memiliki kemiringan lereng lebih curam. Keberadaan lahan terbangun terhadap elevasi (Gambar 16c) akan meningkat pada elevasi 1.000-1.500 mdpl. Hal tersebut karena pada elevasi tersebut merupakan kawasan Puncak-Cipanas yang dikenal sebagai kawasan pariwisata dengan berbagai tempat wisatanya sehingga untuk mendukung keberadaan kawasan wisata tersebut banyak bermunculan berbagai kawasan terbangun baik sebagai tempat tinggal masyarakat sekitar atau berbagai hotel maupun penginapan. Hal ini mungkin dapat terjadi pada lokasi lainnya yang memiliki kawasan wisata yang terletak pada daerah dengan elevasi yang tergolong tinggi, tetapi pola umum lahan terbangun akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya elevasi. Menurut hasil penelitian Hudayya (2010) pola sebaran permukiman di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 akan semakin menurun dengan meningkatnya elevasi, selain itu pada elevasi 750-1.000 mdpl keberadaan permukiman akan meningkat karena banyaknya pembangunan rumah peristirahatan di wilayah Puncak. Semakin meningkatnya kepadatan penduduk maka keberadaan lahan terbangun akan semakin meningkat (Gambar 16d), selain itu lahan terbangun akan semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan jalan (Gambar 16e). Lahan terbangun merupakan lokasi dengan intensitas kegiatan penduduk yang paling tinggi sehingga daerah dengan kepadatan penduduk tinggi akan di jumpai di lokasi-lokasi dengan intensitas kegiatan yang tinggi pula. Selain itu, daerah yang memiliki intensitas kegiatan yang tinggi akan sangat membutuhkan aksesibilitas yang tinggi pula untuk menunjang kegiatan di dalamnya sehingga daerah yang memiliki aksesibilitas yang tinggi maka keberadaan lahan terbangun juga akan tinggi. Hal tersebut merupakan pola umum keberadaan lahan terbangun terhadap lepadatan penduduk dan kerapatan jalan. Perkebunan akan meningkat pada jarak 15 km dari pusat kota (Gambar 16a), kemiringan lereng 8-15 % (Gambar 16b) dan elevasi 500-1.000 mdpl (Gambar 16c). Hal tersebut terjadi karena keberadaan perkebunan akan menurun dengan meningkatnya jarak dari pusat kota, kemiringan lereng dan elevasi. Hal tersebut karena pada pusat kota akan lebih diprioritaskan sebagai lahan terbangun, sedangkan pada kondisi kemiringan lereng yang lebih curam dan elevasi yang lebih tinggi akan digantikan dengan penggunaan lahan hutan Selain itu, keberadaan perkebunan akan semakin menurun dengan meningkatnya kepadatan penduduk (Gambar 16d) dan kerapatan jalan (Gambar 16e), karena akan digantikan oleh penggunaan lahan yang memerlukan intensitas pemanfaatan yang tinggi. Hutan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jarak dari pusat kota (Gambar 16a), kemiringan lereng (Gambar 16b) dan elevasi (Gambar 16c) karena dengan semakin meningkatnya karakteristik tersebut akan menyulitkan untuk keberadaan penggunaan lahan lainnya yang lebih membutuhkan kegiatan intensif
31 dalam pemanfaatannya. Lain halnya dengan keberadaan hutan pada kepadatan penduduk dan kerapatan jalan, dimana keberadaan hutan akan mengalami peningkatan pada kepadatan penduduk 1.000-2.000 jiwa/km² (Gambar 16d) dan kerapatan jalan > 2 km/km² (Gambar 16e). Hal ini karena pada kepadatan penduduk 1.000-2.000 jiwa/km² dan kerapatan jalan > 2 km/km² tersebut terdapat di dalamnya adalah Kecamatan Cipanas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Kecamatan Cipanas merupakan kawasan wisata yang banyak terdapat lahan terbangun dan dilalui oleh jalan antar kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Bogor dan Cianjur sehingga memiliki kepadatan penduduk dan kerapatan jalan yang tinggi. Selain itu, Kecamatan ini memiliki sebagian wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi sehingga keberadaan hutan masih tinggi. Pola penggunaan lahan hutan pada kepadatan penduduk dan kerapatan jalan ini merupakan pola khusus yang terjadi di lokasi penelitian, sedangkan pola umum penggunaan lahan hutan akan semakin menurun dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan kerapatan jalan karena akan digantikan dengan penggunaan lahan lainnya seperti lahan terbangun. Menurut hasil penelitian Willannisa (2014) luas hutan di Kota Cilegon dan sekitarnya semakin menurun pada kepadatan penduduk yang tinggi, bahkan pada kepadatan penduduk 2.000 jiwa/km² keberadaan hutan sudah habis Penggunaan lahan yang di dalamnya terdapat kegiatan yang tinggi dalam pemanfaatannya maka akan terkonsentrasi pada lereng dengan kemiringan datar, elevasi rendah, kepadatan penduduk dan kerapatan jalan yang tinggi, contohnya adalah sawah dan lahan terbangun. Sebaliknya, penggunaan lahan lainnya akan semakin bergeser ke kondisi lereng yang lebih curam, elevasi yang lebih tinggi dengan kepadatan penduduk dan kerapatan jalan yang rendah hal ini berlaku untuk perkebunan dan hutan. Kesamaan Penggunaan Lahan Aktual terhadap Pola Ruang Peruntukan pola ruang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur pada lokasi penelitian yang paling besar adalah perkebunan/tanaman tahunan sebesar 24.093 ha (24,38 %) kemudian diikuti oleh pertanian tanaman hortikultura sebesar 17.553 ha (17,76 %), pertanian tanaman pangan sebesar 17.261 ha, hutan produksi 10.555 ha, sedangkan peruntukan yang lainnya berjumlah kurang dari 10.000 ha. Peruntukan pola ruang sebagai perkebunan menyebar pada seluruh wilayah kecamatan dan kecamatan yang memiliki peruntukan perkebunan terbesar adalah pada Kecamatan Cibeber sebesar 3.912 ha. Kecamatan yang memiliki peruntukan sebagai pertanian tanaman hortikultura terbesar adalah Kecamatan Sukaresmi sebesar 3.372 ha, kecamatan yang memiliki peruntukan pola ruang sebagai pertanian tanaman pangan adalah Karangtengah sebesar 3.202 ha, peruntukan pola ruang sebagai hutan produksi terbesar berada pada Kecamatan Cikalongkulon sebesar 3.378 ha. Peruntukan permukiman perkotaan yang terbesar berada pada Kecamatan Cianjur sebesar 3.128 ha kemudian diikuti oleh Kecamatan Cilaku, Cugenang, Karangtengah dan Mande, sedangkan peruntukan pola ruang sebagai permukiman perdesaan terbesar adalah Kecamatan Cibeber sebesar 1.035 ha. Persebaran spasial dan proporsi peruntukan pola ruang pada lokasi penelitian di sajikan pada Gambar 17.
32
Gambar 17 Peta persebaran pola ruang di lokasi penelitian Tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang pada lokasi penelitian dibagi menjadi 3 yaitu sama, tidak sama dapat berubah dan tidak sama. Penggunaan lahan dikatakan sama apabila penggunaan lahan aktual tersebut sama dengan peruntukan pola ruangnya. Penggunaan lahan dikatan tidak tidak sama dapat berubah apabila penggunaan lahan aktual tidak sama tetapi masih dapat berubah fungsi sesuai peruntukan pola ruangnya. Sedangkan penggunaan lahan dikatan tidak sama apabila penggunaan lahan aktual tidak sama dan tidak dapat berubah fungsi kembali sesuai peruntukan pola ruang. Persebaran spasial tingkat kesamaan penggunaan lahan aktual terhadap pola ruang di sajikan pada Gambar 18. Kesamaan Penggunaan Lahan Aktual terhadap Pola Ruang di Kecamatan Cianjur dan Sekitarnya Kecamatan Cianjur memiliki tingkat kesamaan penggunaan lahan aktual terhadap pola ruang yang terbesar tergolong sebagai tidak sama dapat berubah sebesar 67,03 % sedangkan tingkat kesamaan penggunaan lahan aktual terhadap pola ruang yang tergolong sebagai sama dan tidak sama masing-masing sebesar 31,13 % dan 1,84 % (Gambar 19). Penggunaan lahan aktual yang dikatakan tidak sama dapat berubah terhadap pola ruang yang terbesar adalah sawah dan peruntukan pola ruangnya sebagai permukiman perkotaan sehingga dikatakan tidak sama dapat berubah. Hal tersebut dapat terjadi karena kecamatan Cianjur merupakan Ibukota Kecamatan Kabupaten Cianjur dan pusat kegiatan terpusat pada kecamatan ini sehingga peruntukannya akan lebih diprioritaskan sebagai permukiman perkotaan. Penggunaan lahan aktual yang dikatakan sama terhadap pola ruang pada Kecamatan Cianjur yang terbesar adalah lahan terbangun dan peruntukan pola
33 ruangnya sebagai permukiman perkotaan. Kecamatan Cianjur seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah Ibukota Kecamatan Kabupaten Cianjur sehingga keberadaan lahan terbangun akan lebih banyak berada pada kecamatan ini, selain itu juga peruntukan pola ruang yang terbesar pada kecamatan ini adalah sebagai permukiman perkoataan. Penggunaan lahan aktual yang dikatakan tidak sama terhadap pola ruang yang terbesar adalah lahan terbangun dan peruntukan pola ruangnya sebagai RTH perkotaan.
Gambar 18 Peta persebaran spasial tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang Kecamatan sekitarnya memiliki tingkat penggunaan lahan aktual yang sama dengan pola ruang di dominasi di Kecamatan Sukaluyu dan Kecamatan Mande dengan persentasi masing-masing sebesar 83,93 % dan 77,08 %. Penggunaan lahan yang dikatakan sama terhadap pola ruang yang terbesar pada Kecamatan Sukaluyu khususnya adalah penggunaan lahan aktual sawah dengan peruntukan pola ruangnya sebagai pertanian tanaman pangan sedangkan pada Kecamatan Mande adalah perkebunan dengan peruntukan pola ruangnya sebagai perkebunan/tanaman tahunan. Kecamatan Sukaluyu memiliki proporsi kemiringan lereng yang terbesar adalah datar (0-8 %) dengan persentase 98 % dan keseluruhan elevasi pada kecamatan ini adalah 200-500 mdpl sehingga keberadaan penggunaan lahan dan peruntukan pola ruang yang terbesar adalah untuk sawah. Penggunaan lahan aktual yang tidak sama dapat berubah dengan pola ruang di dominasi di Kecamatan Cilaku dan Karangtengah dengan persentasi masing-masing sebesar 26,85 % dan 20,80 %. Penggunaan lahan aktual yang
34 dikatakan tidak sama dapat berubah terhadap pola ruang pada dua kecamatan ini khususnya adalah penggunaan lahan sawah dengan peruntukan pola ruangnya adalah sebagai permukiman perkotaan. Peruntukan pola ruang yang terbesar pada Kecamatan Cilaku adalah sebagai permukiman perkotaan sedangkan pada Kecamatan Karangtengah, peruntukan pola ruang sebagai permukiman perkotaan berada pada posisi kedua setelah pertanian tanaman pangan. Hal ini terjadi karena letak administratif kedua kecamatan tersebut yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Cianjur, sehingga kedua kecamatan tersebut mengalami pengaruh yang lebih besar dari Kecamatan Cianjur. Penggunaan lahan aktual yang tidak sama dengan pola ruang di dominasi di Kecamatan Cibeber dan Cipanas masing-masing sebesar 24,69 % dan 18,77 %. Penggunaan lahan aktual yang dikatakan tidak sama terhadap pola ruang terbesar pada Kecamatan Cibeber khususnya adalah penggunaan lahan perkebunan sedangkan peruntukan pola ruangnya sebagai hutan produksi sedangkan Kecamatan Cipanas adalah penggunaan lahan sebagai lahan terbangun tetapi peruntukan pola ruangnya sebagai pertanian tanaman hortikultura. Kecamatan Cibeber merupakan kecamatan dengan kemiringan lereng yang mendominasi adalah agak curam dan datar dengan elevasi 500-1.000 mdpl sehingga peruntukan pola ruangnya lebih banyak sebagai hutan produksi. Sedangkan Kecamatan Cipanas merupakan kawasan wisata yang dilalui oleh jalan utama yang menghubungkan Puncak-Cipanas-Cianjur, sehingga keberadaan lahan terbangun akan semakin banyak, tetapi hal ini tidak sesuai karena kecamatan ini lebih banyak di peruntukan sebagai pertanian tanaman hortikultura dan sebagai hutan konservasi.
100%
Persentase
80% 60% 40%
2,59 1,84 1,62 4,23 2,52 5,30 13,60 13,90 13,89 15,84 13,48 18,77 24,28 14,93 10,80 26,85 20,80 24,69 7,08 39,29 21,42 12,37 12,84 67,03
64,69
77,08 83,93
20%
76,68 75,30 62,47 68,86 70,42 71,47 59,08 68,91 31,13
6
Sukaresmi
Pacet
5
Cugenang
4
Cipanas
Cibeber
3
Karangtengah
Cilaku
Cianjur
Sukaluyu 2
tidak sama antara pl* dengan pola ruang
Warungkondang
1
Mande
Cikalong Kulon
0%
7
Kesamaan
tidak sama dapat berubah antara pl* dengan pola ruang sama antara pl* dengan pola ruang
*pl = penggunaan lahan
Gambar 19 Persentase tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang pada setiap tipologi kecamatan Tingkat kesamaan antara penggunaan lahan aktual dengan peruntukan pola ruang yang terbesar pada lokasi penelitian adalah perkebunan dengan peruntukan pola ruang sebagai pertanian tanaman hortikultura sebesar 5.560 ha, walaupun
35 penggunaan lahan aktual dengan peruntukan pola ruangnya berbeda tetapi masih sama pemanfaatannya yaitu sebagai lahan pertanian sehingga dikatakan sama. Tingkat tidak sama yang dapat berubah adalah pada penggunaan lahan sawah dengan peruntukan pola ruang sebagai permukiman perkotaan sebesar 4.501 ha, penggunaan lahan tersebut dikatakan sama karena penggunaan lahan aktual masih dapat dikembalikan sesuai peruntukan pola ruangnya. Tingkat penggunaan lahan yang tidak sama terhadap pola ruang adalah lahan terbangun yang peruntukan pola ruangnya sebagai perkebunan sebesar 1.317 ha, dikatakan tidak sama karena dengan penggunaan lahan aktual sebagai lahan terbangun maka tidak akan bisa lagi dikembalikan sesuai peruntukan pola ruangnya.
Persentase Kesamaan %
30 25 20 15 10 5 0 5
10
15
20
25
Jarak dari Kecamatan Cianjur (km) sama
tidak sama dapat berubah
tidak sama
Gambar 20 Persentase tingkat kesamaan penggunaan lahan terhadap pola ruang terhadap jarak dari Kecamatan Cianjur Tingkat kesamaan penggunaan lahan aktual dengan pola ruang akan meningkat sampai jarak 5 km dari Kecamatan Cianjur kemudian menurun kembali dengan semakin jauhnya jarak dari Kecamatan Cianjur, hal ini dimungkinkan karena kurangnya pengawasan dan jangkauan dari pemerintah unutk mengawasi pola pemanfaatan ruang oleh masyarakat. Tingkat penggunaan lahan aktual yang tidak sama dapat berubah dengan pola ruang akan semakin menurun dengan semakin jauhnya jarak dari Kecamatan Cianjur, hal ini dapat terjadi karena dengan semakin dekatnya jarak dari Kecamatan Cianjur maka peruntukan pola ruangnya lebih banyak sebagai permukiman perkotaan sedangkan pada jarak tersebut masih banyak terdapat lahan pertanian baik berupa pertanian tanaman hortikultura atau pertanian tanaman pangan sehingga masih dapat dikembalikan sesuai peruntukannya. Sedangkan tingkat penggunaan lahan aktual yang tidak sama dengan pola ruang akan meningkat tajam pada jarak 10-15 km dari Kecamatan Cianjur, hal ini terjadi karena pada jarak tersebut terdapat Kecamatan Cibeber dan Cipanas yang memiliki tingkat penggunaan lahan yang tidak sama dengan peruntukan pola ruangnya, sehingga akan meningkat pada jarak tersebut.
36
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tipologi kecamatan berdasarkan karakteristik fisik, sosial dan aksesibilitas terbagi menjadi tujuh tipologi, dari ketujuh tipologi tersebut terdapat 3 tipologi yang beranggotakan lebih dari satu kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut membentuk tipologi yang sama karena memiliki proporsi karakteristik yang hampir seragam. Pada kenyataannya setiap kecamatan memiliki karakteristik yang beragam, contohnya adalah karakteristik fisik baik kemiringan lereng, elevasi, greatgroup tanah maupun curah hujannya. Sehingga karakteristik masing-masing kecamatan menjadi lebih di generalisasi dengan proporsi karakteristik yang tertinggi. Penggunaan lahan pada daerah penelitian yang memiliki proporsi terbesar adalah perkebunan lalu di ikuti oleh sawah. Penyebaran penggunaan lahan sawah paling besar berada pada bagian tengah lokasi penelitian, sedangkan perkebunan menyebar hampir diseluruh lokasi penelitian. Penggunaan lahan yang memiliki proporsi terbesar di Kecamatan Cianjur adalah sawah lalu di ikuti oleh lahan terbangun, sedangkan di kecamatan sekitarnya lebih didominasi oleh perkebunan dan sawah. Setiap tipologi memiliki proporsi penggunaan lahan yang berbeda-beda. Pola penggunaan lahan pada setiap tipologi dipengaruhi oleh karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas yang berbeda pada setiap tipologi kecamatan sehingga memiliki pola penggunaan lahan yang berbeda. Peruntukan pola ruang sebagai permukiman perkotaan terbesar berada pada Kecamatan Cianjur dan sebagian kecamatan sekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan perkembangan lahan permukiman di kecamatan sekitarnya, tetapi dampak tersebut tidak terlalu besar pengaruhnya. Hal tersebut karena penggunaan lahan aktual yang tidak sama dengan peruntukan pola ruang tersebar jauh dari Kecamatan Cianjur. Bentuk ketidaksamaan penggunaan lahan aktual yang telah menjadi lahan terbangun terbanyak berada di Kecamatan Cipanas, hal tersebut karena Kecamatan Cipanas merupakan daerah wisata tetapi kecamatan tersebut lebih banyak di peruntukan sebagai pertanian tanaman hortikultura dan hutan konservasi. Saran Perlu analisis lanjutan mengenai tipologi wilayah dengan menggunakan unit administrasi yang lebih kecil (tingkat desa/kelurahan) agar memberikan hasil yang lebih nyata serta tidak hanya menganalisis keterkaitan tipologi tersebut terhadap proprosi penggunaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. As-syakur Abd. Rahman. 2011. Perubahan penggunaan lahan di Provinsi Bali. Jurnal Ecotrophic. 6(1):2011.
37 Barlowe R. 1986. Land Resources Economic. New Jersey (US): 4rd Pretice Hall inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Cianjur Dalam Angka 2012. Cianjur (ID): BPS Kabupaten Cianjur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Hasil Survei Pertanian Kabupaten Cianjur 2013. Cianjur (ID): BPS Kabupaten Cianjur. [BSN] Badan Standar Nasional Indonesia. 2010. Klasifikasi Penutupan Lahan. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional. Gandasasmita, K. 2001. Analisis penggunaan lahan sawah dan tegalan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Pr. Hudayya Rizma. 2010. Aplikasi sistem informasi geografis (SIG)untuk analisis pola sebaran dan perkembangan permukiman (studi kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kabupaten Cianjur. 2012. Sekilas Cianjur (internet). (diunduh 2014 Febuari 21). Tersedia pada: http://www.cianjurkab.go.id/Content_No_Menu_15_3.html. Kasikoen Ken Martina. 2005. Kajian keterkaitan perkotaan-perdesaan di Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Khakim Nurul. 2009. Kajian Tipologi fisik pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendukung pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir [disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Lillesand T.M., dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Lo C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Bambang Purbowaseso, penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr. Martono Dwi Nowo. 2007. Kajian ketelitian planimetrik bagunan rumah menggunakan citra satelit ikonos tipe geomono. jurnal penginderaan jauh. C4(5vb):18-33. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Naisonal. 1997. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1997 tentang pemetaan penggunaan tanah perdesaan, penggunaan tanah perkotaan, kemampuan tanah dan penggunaan simbol/warna untuk penyajian dalam peta. Jakarta (ID): Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Murai S. 1999. GIS Work Book (Fundamental Course). Tokyo (JP): University of Tokyo. National Space Development Agency Of Japan. Wilaannisa Novia. 2014. Keterkaitan antara penggunaan.penutupan lahan, infrastruktur, dan kepadatan penduduk Kota Cilegon dan kecamatan sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Panuju dan Ernan Rustiadi. 2012. Teknik analisis perencanaan pengembangan wilayah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Pemerintah Republik Indonesia. Purwadhi Sri H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): Grasindo.
38 Rustiadi E, Wigena AH, Sumarti T, Rachmina D, Rusli S. 2006. Penyusunan tipologi perdesaan dalam rangka pengembangan keberdayaan masyarakat di daerah perbatasan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. , Panuju DR, Saefulhakim Sunsun. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Pr. Satellite Imaging Corporation. 2014. Ikonos satellite sensor (0,82m). (diunduh 2014 Mei 2). Tersedia pada: http://www.satimagingcorp.com/satellitesensors/ikonos. Suwargana Nana. 2013. Resolusi spasial, temporal dan spketral pada citra satelit landsat, spot dan ikonos. Jurnal ilmiah WIDYA. 1(2).
39 Lampiran 1 Hasil observasi lapang kode
4CIPHTN
X
elevasi
106,992 1463
penggunaan lahan HTN
-6,708 106,993 1453
keterangan
HTN
4CIPHTN2
berlereng agak curam- curam dan merupakan dataran tinggi
-6,708
1SKRSPLK
107,095 834
PLK
-6,733 107,082 812
SWH
1SKRSSWH2 -6,733 2KRGSWH
2KRGSWH2
107,174 366
berlereng datarlandai dan merupakan dataran rendah, aksesibilitas yang kurang memadai (jalan rusak)
SWH
-6,801 107,173 360
SWH
-6,795 107,174 369
SWH
berlereng datar dan merupakan dataran rendah, aksesibilitas yang mudah (dilalui jalur utama)
2KRGSWH3 -6,812
3CKLGPKBN
107,215 347
PKBN
-6,729 3CKLGPKBN2 3CKLGPKBN3 1CIBPKBN
1CIBSWH 1MANSWH 2CIANJSWH
2CIANJBPT 2CIANJALN
107,220 410
PKBN
-6,736 107,224 351
PKBN
-6,751 107,119 508
PKBN
-6,929 107,122 484
SWH
-6,901 107,214 289 -6,768
SWH
107,119 529
SWH
-6,816 107,139 468
Kantor Bupati
-6,822 107,139 463 -6,821
Alun- alun
berlereng agak curam- curam, keadaan aksesibilitas yang tidak memadai (banyak jalan rusak) berlereng dataragak curam, keberadaan aksesibilitas yang kurang memadai (jauh dari pusat kota) berlereng datar dan merupakan dataran rendah, aksesibilitas yang mudah (dilalui jalur utama)
foto
Sawah di Kecamatan Cianjur
Kondisi jalan di Kecamatan Cianjur
Kondisi jalan di Kecamatan Cipanas
Kondisi jalan di Kecamatan Cikalong Kulon
PLK di Kecamatan Sukaresmi
Lampiran 2 Hasil foto pengamatan lapang
Kondisi jalan di Kecamatan Cianjur
Masjid Agung Cianjur
40
27,22
62,19
97,69
95,15
100,00
100,00
50,79
29,72
20,50
31,58
19,06
10,15
Mande
Sukaluyu
Cianjur
Cilaku
Karangtengah
Warungkondang
Cibeber
Cipanas
Cugenang
Pacet
Sukaresmi
0-8 %
Cikalong Kulon
Kecamatan
47,10
35,85
32,09
20,00
13,54
17,26
0,00
0,00
4,85
2,31
7,81
18,27
8- 15 %
24,00
14,91
12,68
26,46
30,00
18,85
0,00
0,00
0,00
0,00
10,66
44,31
15- 25 %
Lereng
18,76
30,06
19,63
30,83
26,74
13,06
0,00
0,00
0,00
0,00
19,34
10,20
25- 40 %
0,00
0,12
4,02
2,21
0,00
0,04
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
>40 %
17,73
0,00
0,45
0,00
39,31
8,01
100,00
100,00
78,23
100,00
79,46
86,54
200- 500
79,13
31,44
66,91
21,15
59,57
72,70
0,00
0,00
21,77
0,00
20,48
13,30
3,14
41,72
20,10
59,24
1,12
14,67
0,00
0,00
0,00
0,00
0,05
0,16
0,00
12,36
6,77
15,04
0,00
4,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14,47
5,77
4,56
0,00
0,62
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1000- 1500 1500- 2000 >2000
Elevasi (mdpl) 500- 1000
Lampiran 3 Proporsi karakteristik fisik, sosial, dan aksesibilitas pada setiap kecamatan
41
Jenis Tanah (greatgroup)
Curah Hujan (mm/thn)
55,42
36,50
0,00
15,63
17,15
0,00
34,33
72,01
18,07
15,00
16,05
66,30
Mande
Sukaluyu
Cianjur
Cilaku
Karangtengah
Warungkondang
Cibeber
Cipanas
Cugenang
Pacet
Sukaresmi
27,29
69,29
85,00
62,80
14,95
65,63
1,71
7,53
68,02
0,00
9,21
15,60
6,41
14,62
0,00
19,05
13,04
0,00
98,29
75,32
16,35
99,30
40,36
13,74
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,04
0,00
0,08
0,00
0,04
0,00
0,00
0,00
0,70
0,00 13,93
1,33 13,91
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,04
3,70
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10,93
32,00
73,40
0,00
0,00
4,53
0,00
0,00
9,60
0,00
0,00
65,21
36,30
55,26
22,90
44,86
70,75
46,21
100,00
91,86
90,40
100,00
100,00
34,79
52,77
8,70
0,00
55,14
29,25
49,27
0,00
8,14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Dystropepts Eutropepts Paleudults Tropaquepts (blank) 1.900 - 2.200 2.200 - 2.500 2.500 - 2.800 2.800 - 3.100 3.100 - 3.400
Cikalong Kulon
Kecamatan
Lampiran 3 Lanjutan
42
2054,51
Pacet
796,09
1292,11
Cugenang
Sukaresmi
1338,95
2431,19
Karangtengah
Cipanas
2046,67
Cilaku
981,17
4887,66
Cianjur
Cibeber
1438,94
Sukaluyu
686,25
747,84
Mande
Warungkondang
529,44
kepadatan penduduk (jiwa/km²)
Cikalong Kulon
Kecamatan
91,09
129,39
121,12
81,63
123,09
61,31
130,85
165,28
94,30
147,91
81,50
58,32
kepadatan rumah tangga pertanian (kk/km²)
Sosial
Lampiran 3 Lanjutan
0,32
1,00
0,82
2,33
0,62
0,59
1,22
1,02
2,08
0,86
0,39
0,45
kerapatan jalan (km/km²)
Aksesibilitas
43
44 Lampiran 4 Hasil analisis k-means clustering
45
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1991, putri pertama dari Ayah Hartono dan Ibu Mari Sutarti Rara dan memiliki satu orang adik laki- laki bernama Maulana Maharrizki. Penulis menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 81 Jakarta pada tahun 2006, dan pendidikan menengah atas di SMU Muhammadiyah 4 Jakarta pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah menjabat sebagai anggota komisi advokasi pada Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian periode tahun 2010- 2011. Selama perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Geomorfologi dan Analisis Lansekap, mata kuliah Sistem Informasi Geografis dan Pengantar Ilmu Tanah. Penulis juga aktif dan terlibat didalam berbagai kepanitiaan baik dalam lingkup departemen maupun dalam lingkup IPB.