Pengaruh Waktu Inokulasi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) terhadap Kejadian Penyakit dan Pertumbuhan Vegetatif Tiga Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.)
WIWIN WIDIANINGSIH
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRAK WIWIN WIDIANINGSIH. Pengaruh Waktu Inokulasi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) terhadap Kejadian Penyakit dan Pertumbuhan Vegetatif pada Tiga Genotipe Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting di Indonesia. Produktivitas tanaman cabai yang masih rendah disebabkan oleh adanya gangguan hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting dalam budidaya cabai adalah virus tanaman. Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) telah menjadi kendala utama dalam peningkatan kualitas tanaman cabai. Kerugian akibat ChiVMV dapat menyebabkan kehilangan hasil antara 55 sampai 95%. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbedaan waktu infeksi ChiVMV terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai dan kejadian penyakit sehingga dapat diketahui masa kritis tanaman cabai terhadap infeksi ChiVMV. Hal tersebut merupakan salah satu komponen strategi untuk mengurangi adanya infeksi virus yaitu dengan melakukan pencegahan infeksi sedini mungkin. Inokulasi ChiVMV dilakukan pada tiga genotipe tanaman cabai dengan perbedaan waktu inokulasi, yaitu 1 minggu setelah pindah tanam (MSPT), 2 MSPT, dan 3 MSPT. Genotipe tanaman cabai yang digunakan adalah genotipe IPB C13, IPB C17, dan IPB C521. Persentase penghambatan tinggi tanaman menunjukkan bahwa waktu inokulasi ChiVMV berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai. Demikian pula hasil ELISA menunjukkan bahwa infeksi lebih awal pada tanaman cabai menyebabkan kejadian penyakit yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa waktu kritis tanaman cabai adalah 1 MSPT. Pada periode tersebut tanaman harus dijaga agar tidak terinfeksi ChiVMV terlebih pada genotipe tanaman cabai sangat rentan seperti IPB C13.
Pengaruh Waktu Inokulasi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) terhadap Kejadian Penyakit dan Pertumbuhan Vegetatif Tiga Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.)
WIWIN WIDIANINGSIH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Pengaruh Waktu Inokulasi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) terhadap Kejadian Penyakit dan Pertumbuhan Vegetatif pada Tiga Genotipe Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.)
Nama Mahasiswa
: Wiwin Widianingsih
NRP
: A34053888
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. NIP 19610708 198603 2 001
Diketahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 14 Maret 1987 dari Bapak Endang Ridwan dan Ibu Cicih. Penulis merupakan putri ketiga dari 3 bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kuningan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB dan mengikuti TPB (Tingkat Persiapan Bersama) IPB selama satu tahun. Pada tahun berikutnya penulis masuk Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, penulis pernah menjadi candidate of student technopreneurship program LRAMP IPB 2007. Penulis aktif menjadi pengurus HIMASITA (himpunan mahasiswa proteksi tanaman) Biro Kewirausahaan periode 2006-2007 dan menjadi pengurus harian reporter majalah metamorfosa.
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Pengaruh Waktu Inokulasi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV ) terhadap Kejadian Penyakit dan Pertumbuhan vegetatif Tiga Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) ” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, mulai dari kegiatan penelitian sampai dengan selesainya tugas akhir ini. Khususnya kepada: 1. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. yang telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan, masukan, serta nasehat kepada penulis sejak awal penelitian sampai akhir penyusunan tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan arahan, serta nasehat selama menjalani pendidikan di Departemen Proteksi Tanaman. 3. Ibu, dan Bapak tercinta atas dukungan moral maupun materil, kasih sayang dan do’a restu demi tercapainya cita-cita penulis untuk menjadi seorang sarjana. 4. Kakak-kakakku dan keponakanku, terutama teh Atin tercinta yang telah dengan tulus ikhlas berkorban demi kesuksesan penulis, memberikan dukungan moral maupun materil demi tercapainya cita-cita penulis untuk menjadi seorang sarjana. 5. Mbak Tuti, Bapak Empud, Bapak Edi dan semua Laboran Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan bimbingan dan pembelajaran dalam melaksanakan kegiatan penelitian di Rumah Kaca Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan. 6. Semua teman-teman seperjuangan DPT 42 dan teman-teman kostan atas kebersamaan yang indah memberi keceriaan kepada penulis. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasi.
Bogor, 9 September 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
x
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................
1
Tujuan Penelitian ................................................................
2
Manfaat Penelitian ..............................................................
2
Hipotesis Penelitian ............................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Cabai ..................................................
3
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ....................................
4
Kemaknaan ChiVMV pada Tanaman Cabai ........................
4
Kisaran Inang ChiVMV ......................................................
5
Gejala Infeksi ChiVMV ......................................................
5
Penularan ChiVMV ............................................................
5
Pengendalian ChiVMV .......................................................
6
Metode Deteksi berdasarkan teknik Serologi Metode Direct-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA)............................................. Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) ..........
6 7
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat .............................................................
8
Perbanyakan Sumber Inokulum ChiVMV ..........................
8
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai ....................
9
Inokulasi ChiVMV ............................................................
9
Deteksi dan Pengukuran Titer virus Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)...................................................... Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) ..........
9 10
Pengamatan ........................................................................
12
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................
12
]HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Waktu Inokulasi ChiVMV terhadap Persentase Penghambatan Tinggi Tanaman Cabai ................................
14
Metode Deteksi ChiVMV dengan Direct-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA) dan Dot Immunobinding Assay(DIBA) ......................................................................
16
Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Kejadian penyakit .......
19
Perbandingan Metode Deteksi DAS-ELISA dan DIBA .......
21
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
23
LAMPIRAN ..................................................................................
26
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Pengaruh inokulasi ChiVMV pada waktu yang berbeda (1 MSPT, 2 MSPT, dan 3 MSPT) terhadap rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai.....................
15
2. Pengaruh inokulasi ChiVMV pada genotipe cabai yang berbeda (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) terhadap ratarata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai..............
15
3. Pengaruh waktu inokulasi terhadap rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai yang diinokulasi pada 3 waktu yang berbeda...........................................................
16
4. Rata-rata nilai absorbansi cabai genotipe IPB C13 yang diinokulasi pada 3 waktu yang berbeda ...............................
17
5. Rata-rata nilai absorbansi cabai genotipe IPB C17 yang diinokulasi pada 3 waktu yang berbeda ...............................
17
6. Rata-rata nilai absorbansi cabai genotipe IPB C521 yang diinokulasi pada 3 waktu yang berbeda ..............................
17
7. Kejadian penyakit berdasarkan hasil ELISA pada 3 genotipe tanaman cabai (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) yang diinokulasi dengan ChiVMV pada waktu yang berbeda……
19
8. Kejadian penyakit berdasarkan hasil DIBA pada 3 genotipe tanaman cabai (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) yang diinokulasi dengan ChiVMV pada waktu yang berbeda…….
20
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Membran nitroselulosa yang telah ditetesi sampel uji ........
11
2. Reaksi perubahan warna pada membran DIBA. Sampel terdiri atas jaringan daun dari tanaman dengan umur yang berbeda dengan berbagai waktu umur tanaman sampel, (A) inokulasi 1 MSPT; (B) inokulasi 2 MSPT; (C) inokulasi 3 MSPT ......
18
3.
Perbedaan signal pada membran DIBA; 1= signal sangat kuat, 2 = signal kuat, 3 =signal sedang, dan 4 = signal lemah .......
20
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis sidik ragam rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman ............................................................................
26
PENDAHULUAN
Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting di Indonesia. Cabai dapat ditanam di seluruh provinsi di Indonesia, serta dapat menjadi komoditas prioritas yang dapat dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Menurut data Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura (2009), luas panen cabai merupakan luas panen terbesar di antara tanaman sayuran lainnya yaitu 204.048 ha pada tahun 2007. Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produksi cabai. Produksi cabai di Indonesia mengalami penurunan yaitu berturut-turut 736.019 ton untuk tahun 2006 dan 676.828 ton pada tahun 2007. Rendahnya produksi cabai nasional dapat diakibatkan oleh adanya gangguan hama dan penyakit. Penyakit pada tanaman cabai yang mengakibatkan kerugian paling tinggi adalah virus. Kehilangan hasil akibat infeksi virus dapat mencapai 100 % (Berke et al. 2005) Sejauh ini telah dilaporkan terdapat 65 jenis virus yang dapat menyerang tanaman cabai di seluruh kawasan dunia (AVRDC 2001). Walaupun demikian prevalensi penyakit virus dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Hasil survei Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) tahun 1986 dan 1990 menunjukkan urutan tiga virus utama yaitu CMV (cucumber mosaic virus), PVY (potato virus Y) dan TEV (tobacco etch virus). Pada tahun 1992 dan 1995 urutan berubah menjadi CMV, ChiVMV (chilli veinal mottle virus) dan PVY (Setiawati 2003). ChiVMV merupakan salah satu virus yang banyak menyerang tanaman Capsicum sp. di Asia. Survei di 16 negara Asia menunjukkan 30% tanaman Capsicum sp. terinfeksi ChiVMV (Green 2005). ChiVMV telah menjadi kendala utama dalam peningkatan kualitas tanaman cabai di Asia Tenggara dan Afrika (Moury et al 2005). Kerugian akibat ChiVMV dapat menyebabkan kehilangan hasil antara 55 sampai 95% (Green 2005). Prevalensi ChiVMV yang sangat tinggi di lapangan, memerlukan usaha pengendalian yang mampu menanggulangi serangan ChiVMV. Pengendalian yang telah disarankan meliputi penanaman varietas cabai tahan, penggunaan
2
bahan kimia untuk menekan jumlah vektor virus, dan pengaturan waktu penanaman cabai (CABI 2005). Pengembangan varietas cabai tahan ChiVMV telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Millah dan Latifah (2007) telah diketahui beberapa genotipe yang memiliki respon tahan, tetapi eksplorasi ketahanan galur-galur cabai tahan ChiVMV masih perlu dilakukan pada berbagai genotipe cabai. Salah satu strategi untuk mengurangi infeksi virus dapat dilakukan dengan mencegah infeksi sedini mungkin. Sebagai contoh potato virus Y (PVY) pada kentang akan mudah menyebabkan infeksi sistemik bila tanaman terinfeksi pada awal pertumbuhan. Infeksi tidak akan menyebar bila tanaman terinfeksi pada fase pembentukan umbi (Akin 2006). Hal tersebut menunjukkan pentingnya informasi mengenai pengaruh waktu infeksi virus pada tiap-tiap fase pertumbuhan. Demikian pula perlu diketahui masa kritis fase pertumbuhan tanaman cabai terhadap infeksi ChiVMV. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari adanya pengaruh perbedaan waktu infeksi ChiVMV terhadap pertumbuhan vegetatif dan kejadian penyakit sehingga dapat diketahui masa kritis tanaman cabai terhadap infeksi ChiVMV.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi komponen rekomendasi dalam pengendalian terpadu terhadap penyakit pada tanaman cabai yang disebabkan ChiVMV bagi petani dan penelitian selanjutnya
TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Cabai Tanaman cabai pertama kali dibudidayakan di Meksiko dan Amerika Tengah, berasal dari spesies liar ‘Chiltepin’ (Capsicum annuum var aviculare). Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima spesies di antaranya telah dibudidayakan, yaitu C. annuum, C. chinense, C. frutescens, C. pubescens, dan C. baccatum (Pickersgill 1988 dalam Opriana 2009). C. annuum adalah spesies yang paling luas dibudidayakan. C. annuum berbunga tunggal dengan petal berwarna putih bersih. Cabai merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanah yang gembur, kaya akan bahan organik dan unsur hara yang seimbang merupakan media tanam yang sesuai bagi tanaman cabai. Menurut Widodo (2002), mediteran, gramosol, andosol, regosol, dan aluvial adalah jenis tanah yang cocok untuk ditanami cabai. Keadaan tanah sangat penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Derajat keasaman tanahnya (pH tanah) antara 6-7, tetapi akan lebih baik jika pH tanahnya 6,5 (Setiadi 2008). Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari 7, tanaman cabai akan menunjukan gejala klorosis, yakni tanaman kerdil dan daun menguning yang disebabkan oleh kekurangan unsur besi (Fe). Sebaliknya, pada pH kurang dari 5 tanaman cabai akan tumbuh kerdil, karena kekurangan unsur hara kalium (Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan Alumunium (Al) dan Mangan (Mn) (Knot 1962 dalam Taufik 2005) Tanaman cabai dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi pula oleh kondisi lingkungan dan jenis varietas yang digunakan. Benih cabai dapat diperoleh dari buah yang tua yang bentuknya sempurna, tidak cacat, dan bebas hama-penyakit. Benih yang berasal dari bagian tengah buah cabai yang telah matang penuh dapat menghasilkan tanaman cabai yang berproduksi tinggi (Welles 1990 dalam Sumarni 1996). Tanaman cabai telah siap panen pada umur 3-6 minggu setelah pembungaan. Buah dapat dipanen ketika masih berwarna hijau maupun merah tergantung dari jenis cabainya.
4
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Cabai merupakan komoditas pertanian yang banyak mengalami gangguan hama dan penyakit. Adanya serangan hama dan penyakit pada pertanaman cabai menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi cabai. Beberapa hama yang dapat dijumpai pada pertanaman cabai diantaranya adalah Thrips (Frankliniella
occidentalis),
Kutudaun
(Myzus
persicae),
tungau
(Polyphagotarsonemus latus), ulat penggerek buah (Heliothis spp.), dan lalat buah (Dacus sp.). Penyakit-penyakit penting yang umum terdapat pada pertanaman cabai adalah bercak daun cabai (Cercospora capsici ), antraknosa (Colletotrichum capsici), busuk buah (Ascochyta Sp.), layu bakteri, dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus (Semangun 2000). Diantara beberapa penyakit yang paling penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah penyakit yang disebabkan virus. Infeksi virus akan mempengaruhi metabolisme sel dan mengakibatkan terjadinya perubahan biokimiawi dan fisiologi sel. Gangguan fisiologi tanaman mengakibatkan tanaman inang menunjukan gejala di seluruh bagian tanaman (daun, cabang, dan buah) seperti bantut (stunting), perubahan warna daun, perubahan ukuran, dan bentuk buah yang dihasilkan (Akin 2006).
Kemaknaan ChiVMV pada tanaman Cabai Salah satu kendala utama dalam budidaya cabai adalah serangan virus. Beberapa macam virus yang sering ditemukan pada pertanaman cabai diantaranya yaitu, cucumber mosaic virus (CMV), tobacco etch virus (TEV), tobacco rattle virus, potato virus A (PVA), potato virus Y (PVY), potato virus M (PVM), tomato ring spot virus (TRSV), dan chilli veinal mottle virus (ChiVMV). ChiVMV telah menjadi masalah utama di Korea, Malaysia, Taiwan, dan Thailand hingga 1979 (Brunt et al 1990), virus ini juga telah ditemukan di daerah Afrika Timur (Nono-Womdim et al. 2001) Kerugian akibat ChiVMV di Malaysia mencapai 60% dan menurunkan kualitas hasil (Roff & Ong 1992). Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh Opriana et al (2009) diketahui bahwa kejadian infeksi ChiVMV di Sumatera Barat mencapai 100%, sedangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
5
Kalimantan Selatan secara berturut-turut 60%, 53%, 33%, dan 50%. Prevalensi virus yang sangat tinggi di lapangan memerlukan upaya pengendalian untuk menanggulangi serangan ChiVMV.
Kisaran Inang ChiVMV Chilli veinal mottle potyvirrus (ChiVMV) dapat menginfeksi tanaman dari famili Solanaceae. Beberapa penulis melaporkan tanaman yang dapat menjadi inang bagi ChiVMV diantaranya adalah Capsicum annuum, Nicandra physalodes, Nicotiana megalosiphona, Physalis floridana, dan Nicotiana tabacum (CABI 2005). Kondisi
lingkungan
dan
faktor
fisiologis
tanaman
juga
dapat
mempengaruhi infeksi ChiVMV pada tanaman. Faktor-faktor tersebut mencakup umur tanaman, keragaman genetik tanaman inang, posisi daun pada tanaman, nutrisi tanaman, ketersediaan air, suhu, intensitas cahaya, musim, dan panjang hari (Bos 1990).
Gejala Infeksi ChiVMV Tanaman yang terinfeksi oleh ChiVMV menampakkan gejala khas pada bagian daun. Gejala utama ChiVMV yaitu belang pada daun dan penebalan tulang daun (Cerkaukas 2004). Gejala lain yang dapat ditemui pada beberapa kultivar cabai adalah daun yang menjadi kecil dan terdistorsi, gejala sebagian besar terlihat jelas pada daun yang muda. Selain itu, buah menjadi belang-belang sehingga mampu menurunkan produksi dan kualitas. Infeksi ChiVMV pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buah yang lebih sedikit dan lebih kecil (Shah & Khalid 2001) Keparahan gejala yang timbul dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor tanaman inang, strain virus, waktu inokulasi, dan kondisi lingkungan. Pada tomat misalnya, tipe gejala penyakit yang timbul meliputi belang-belang kuning atau bercak klorosis pada daun.
Penularan ChiVMV ChiVMV dapat ditularkan oleh vektor secara nonpersisten melalui vektor kutudaun (Ong et al 1995), diantaranya, Myzus persicae, Aphis gossypii, A.
6
craccivora, A. spiraecola, Rhopalosiphum maydis, Toxoptera citrida, dan Hysteroneura setariae (Cerkaukas 2004). Spesies kutudaun memiliki periode makan akuisisi untuk mendapatkan virus yang berlangsung dalam periode yang singkat, beberapa menit atau detik. Periode makan untuk menularkan virus dapat dilakukan segera setelah periode makan akuisisi. Vektor akan kehilangan kemampuan menularkan virus dalam waktu yang singkat. Kutudaun memiliki sayap sehingga dapat menularkan dengan cepat pada daerah yang luas. ChiVMV dapat ditularkan pula melalui luka mekanis yaitu dengan menggunakan cairan tanaman terinfeksi yang dioleskan ke tanaman sehat atau melalui penyambungan, namun tidak dapat terbawa melalui benih (Cerkaukas 2004).
Pengendalian ChiVMV Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus berbeda dengan patogen dari golongan lain. Pengendalian perlu dilakukan melalui pendekatan pengelolaan penyakit secara terpadu (Akin 2006). ChiVMV merupakan virus yang baru teridentifikasi di Afrika dan pengendalian yang ada belum bisa di evaluasi secara jauh. Di Asia, pengembangan varietas tahan menjadi salah satu komponen penting yang dapat dilakukan untuk menanggulangi serangan ChiVMV (AVRDC 1991). Genotipe cabai tahan ChiVMV telah teridentifikasi melalui penelitian yang dilakukan Millah (2007) dan Latifah (2007). Umumnya penetapan respon ketahanan tersebut didasarkan pada penampakan gejala dan hasil uji serologi (ELISA). Salah satu pengendalian lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara menekan jumlah vektor virus. Selain itu, pengendalian ChiVMV lebih efektif dengan mengatur waktu tanam atau budidaya tanaman (Ong 1984).
Metode Deteksi berdasarkan Teknik Serologi Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Metode ELISA merupakan metode serologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus tumbuhan. ELISA pertama kali digunakan pada tahun 1977 (Clark & Adam 1977). Dalam metode ini antiserum dikonjugasikan dengan enzim, sehingga bila ditambahkan substrat enzim maka
7
kompleks antigen-antibodi dalam jumlah yang sedikit saja dapat tervisualisasi. Hasil yang diperoleh dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer (ELISA reader). Metode ELISA dibedakan menjadi dua yaitu Indirect ELISA (I-ELISA) dan Direct ELISA (D-ELISA). Perbedaan kedua metode ini adalah pada tempat terikatnya enzim. Bila konjugasi enzim dilakukan pada imunoglobulin antivirus maka disebut DAS-ELISA. Tetapi bila konjugasi enzim dilakukan pada molekul yang mendeteksi imunoglobulin antivirus maka metode tersebut disebut I-ELISA. Keuntungan uji ELISA adalah kepekaannya yang sangat tinggi, dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, penggunaan antiserum yang sedikit, dan hasilnya dapat diperoleh secara kualitatif dasn kuantitatif, serta prosedur pengujian yang mudah. Karena keuntungan tersebut, ELISA dengan cepat menggantikan semua teknik seri diagnostik yang lain (Agrios 2005)
Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) Salah satu metode yang berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan yaitu metode DIBA yang digunakan untuk mendeteksi zucchini yellow mosaic potyvirus (ZYMV) (Somowiyarjo et al. 1989). Prosedur metode mirip dengan ELISA, tetapi substrat pengikat antigen-antibodi yang digunakan adalah membran nitroselulosa. Semua antigen yang dapat dideteksi oleh antibodi spesifik akan divisualisasikan menjadi berwarna nila sampai ungu oleh enzim penghidrolisis kompleks antigen-antibodi yang sudah terikat oleh mebran nitroselulosa (Wahyuni 2005) Teknik serologi ini telah digunakan secara luas dan berkembang pesat untuk mendeteksi dan mempelajari virus tumbuhan. Deteksi dan identifikasi virus tumbuhan juga dapat dilakukan dengan beberapa teknik molekular seperti hibridisasi asam nukleat, ekstraksi dsDNA/dsRNA, dan PCR/RT PCR (Matthews 2002).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Perbanyakan sumber inokulum ChiVMV dan perlakuan inokulasi tanaman cabai dilakukan di rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan, Darmaga. Deteksi ChiVMV dilakukan di laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Penelitian berlangsung mulai Februari 2009 sampai Juli 2009.
Metode Perbanyakan Sumber Inokulum ChiVMV Tanaman yang digunakan untuk perbanyakan sumber inokulumChiVMV adalah tanaman cabai sehat genotipe C99. Benih disemai di dalam baki yang berisi media semai. Setelah mencapai umur ± 3 minggu tanaman dipindah ke polibag. Metode penularan dilakukan menggunakan isolat ChiVMV asal Cikabayan yang merupakan koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Metode penularan adalah dengan metode inokulasi secara mekanis (Taufik 2005). Daun tanaman terinfeksi digerus dalam mortar steril. Larutan penyangga fosfat 0,01 M pH 7 ditambahkan dengan perbandingan 1 g daun terinfeksi virus per 5 ml larutan penyangga fosfat (1:5 b/v). Ekstrak tanaman (sap) segera diinokulasikan ke tanaman cabai. Setiap tanaman diinokulasi pada 2 helai daun termuda yang telah membuka penuh. Sebelum diinokulasi bagian permukaan atas daun diberi karborundum, kemudian sap dioleskan dengan cotton bud pada permukaan daun yang dimulai dari daun bagian bawah ke atas secara searah dengan tidak mengulangi pada daerah yang sama. Segera setelah pengolesan sap dilakukan pembilasan sisa-sisa sap yang masih melekat pada permukaan daun tanaman uji menggunakan air mengalir.
9
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai Genotipe cabai yang digunakan ialah IPB C13, IPB C17, dan IPB C521. Ketiga genotipe merupakan genotipe cabai hasil penelitian sebelumnya (Opriana 2009). Benih cabai disemai di dalam baki semai, tanaman cabai dipelihara sampai umur tanaman mencapai 30 hari setelah penyemaian dan siap dipindahkan ke dalam polibag volume 3 kg yang telah diisi dengan media tanah yang dicampur dengan pupuk kandang dan sekam dengan perbandingan 2:1:1. Pemeliharaan tanaman cabai dilakukan dengan melakukan pemupukan, penyiraman, dan perlindungan terhadap serangga maupun patogen yang sering berkembang di rumah kaca.
Inokulasi ChiVMV pada Genotipe Cabai Inokulasi ChiVMV dilakukan secara mekanis seperti yang telah disebutkan pada tahap perbanyakan inokulum. Sumber inokulum ChiVMV berasal dari tanaman cabai yang terinfeksi. Perlakuan inokulasi ChiVMV pada setiap tanaman cabai dilakukan pada 3 waktu yang berbeda, yakni 1 minggu setelah pindah tanam (MSPT), 2 MSPT, dan 3 MSPT. Sebagai kontrol, tanaman sehat diolesi dengan bufer fosfat. Semua perlakuan inokulasi diulang, dengan selang waktu satu minggu.
Deteksi dan Pengukuran Titer Virus Deteksi dan pegukuran titer virus pada tanaman cabai uji dilakukan dengan metode DAS- ELISA (Direct-Enzyme Linked Immunosorbent Assay) (Van Regenmortel & Dubs 1993) dan Metode DIBA (Dot Immunobinding Assay) (Mahmood et al 1997). Metode Direct-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA) Tahapan deteksi dengan DAS-ELISA dilakukan terlebih dahulu dengan mengambil secara individual daun kedua, ketiga dan keenam dari tiap-tiap tanaman uji sebanyak 0,1 g. Daun dimasukkan ke dalam plastik gerus dan disimpan dalam lemari pendingin -80oC.
10
Antiserum ChiVMV dipersiapkan pada konsentrasi 1:1000 dengan mencampur coating buffer (pH 9,6). Tiap sumuran plat mikrotiter diisi dengan 100µl campuran tersebut. Plat mikrotiter ELISA yang telah terisi diinkubasi selama satu malam pada suhu 4oC. Setelah itu plat mikrotiter dicuci dengan menggunakan phosphate buffer saline tween (PBST) sebanyak 5 kali. Selanjutnya sumuran diisi dengan 100µl sap tanaman terinfeksi dicampur dengan general extract buffer (pH 7,4) dengan perbandingan 1:5 (b/v). Plat mikrotiter ELISA diinkubasi selama satu malam, kemudian dicuci kembali dengan PBST sampai 5 kali. Setiap sumuran kemudian diisi dengan enzim konjugat (alkaline phosphate conjugate, sigma) sebanyak 100 µl dengan perbandingan 1:1000 (v/v) dan diinkubasi selama 2-4 jam pada suhu 37oC. Plat mikrotiter ELISA kembali dicuci seperti sebelumnya. Setiap sumuran selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan PNP (para nitriphenil phosphate). Selanjutnya plat mikrotiter diinkubasi pada suhu ruang selama 30-60 menit sambil diamati perubahan warna yang terjadi yaitu berubah warna menjadi kuning. Lama pengamatan terhadap perubahan warna PNP konsisten selama pengujian ELISA. Apabila larutan telah berwara kuning maka reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl NaOH 3 M untuk tiap sumuran. Analisis hasil ELISA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Ambang batas yang digunakan sebagai standar penentuan hasil positif dan negatif yaitu 2 kali nilai kontrol negatif. Jika panjang gelombang yang diperoleh lebih besar atau sama dengan 2 kali kontrol negatif maka hasil uji tersebut dinyatakan positif. Nilai absorban dipakai untuk mengetahui titer virus yang berbeda dalam tanaman uji.
Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA) Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al (1997). Tahapan deteksi ChiVMV menggunakan metode DIBA dilakukan dengan tahapan merendam membran nitroselulosa (HybondTM –P, Amersham Biosciences UK)
11
dalam metanol 100% selama 10 detik kemudian direndam dalam tris buffer saline (TBS: Tris-HCL 0,02 M dan NaCl 0,15 M, pH 7,5) dan dikeringanginkan. Jaringan daun tanaman terinfeksi digerus dalam TBS dengan perbandingan 1:10 (b/v), kemudian disentrifugasi 2000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya sap tersebut diteteskan ke membran nitroselulosa sebanyak 10 µl untuk setiap sampel yang diuji (Gambar 1). Setelah tetesan sampel kering, kemudian membran direndam dalam 10 ml larutan blocking TBS 2% non fat milk yang mengandung 2% Triton X-100. Membran diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang menggunakan EYELA multi shaker MMS dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam. Membran selanjutnya dicuci 5 kali dengan dH20, setiap pencucian berlangsung selama 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm.
Gambar 1. Membran nitroselulosa yang telah ditetesi sampel uji
Selanjutnya membran direndam dalam larutan TBS 2% non fat milk yang mengandung antibodi (1:2000). Membran diinkubasi selama semalam pada suhu 4oC. Membran kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan tris buffer saline tween (TBST) sambil digoyang selama 3 menit dengan kecepatan 100 rpm. Membran direndam kembali dalam larutan TBS 2% non fat milk
yang mengandung
konjugat (goat anti rabbit-IgG, sigma, USA) pada konsentrasi 1:5000. Membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm, setelah itu membran dicuci kembali dengan TBST. Membran kemudian direndam selama 5 menit dalam10 ml buffer substrat (Tris-HCl 0,1 M, NaCl 0,1 M dan MgCl2 5mM)
12
yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT) 30 µl dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 µl. Pembacaan hasil reaksi positif akan terlihat dari perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan perasan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dalam dH20.
Pengamatan Variabel pengamatan untuk mengetahui pengaruh infeksi ChiVMV terhadap pertumbuhan vegetatif cabai adalah persentase penghambatan tinggi tanaman dan kejadian penyakit. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap satu minggu sekali sejak penularan sampai tanaman berumur 6 minggu setalah pindah tanam (MSPT). Penghitungan persentase penghambatan tinggi tanaman menggunakan rumus sebagai berikut: % Penghambatan = Tinggi tanaman kontrol - Tinggi tanaman perlakuan X100% Tinggi tanaman kontrol Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan hasil deteksi di laboratorium terhadap sampel daun yang diambil sebanyak 5 kali, yaitu 4, 6, 8, 11, dan 13 minggu setelah pindah tanam (MSPT). Untuk mengukur jumlah kejadian penyakit yang terjadi pada tanaman digunakan rumus: KP =
n x100% N
Keterangan: KP : kejadian penyakit n
: jumlah tanaman positif ELISA
N : jumlah tanaman yang diuji
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial dalam acak lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu waktu inokulasi dengan 4 taraf (1 MSPT, 2 MSPT, 3 MSPT, dan tidak diinokulasi) dan genotipe tanaman uji dengan 3 taraf (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521). Jumlah tanaman pada tiap perlakuan masing-masing 5 tanaman yang terdiri dari 3 ulangan. Pada masing-masing
13
perlakuan terdapat dua tanaman kontrol sehat. Analisis data diolah melakukan Statistical Analysis System (SAS) versi 6.12. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lamjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Persentase Penghambatan Tinggi Tanaman Cabai Perbedaan waktu inokulasi virus memberikan pengaruh terhadap persentase penghambatan tinggi tanaman. Dalam hipotesis penelitian dinyatakan bahwa penundaan waktu inokulasi ChiVMV terhadap tanaman cabai secara umum dapat mengurangi kejadian penyakit sehingga mendukung pertumbuhan vegetatif. Hipotesis tersebut dapat diterima bila variabelnya persentase penghambatan tinggi tanaman. Persentase penghambatan tinggi tanaman ke 3 genotipe uji yang diinokulasi pada waktu berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata. Fenomena tersebut diduga berkaitan dengan tipe gejala infeksi ChiVMV yaitu tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil dan memiliki garis hijau gelap pada batang dan cabangnya. Beberapa bunga rontok sebelum sempat menjadi buah. Kadangkadang tanaman masih dapat memproduksi buah namun dalam jumlah yang sangat sedikit dan permukaan buah yang agak belang (Matthews 2002). Kendala utama selama penelitian adalah terjadinya serangan Thrips yang mengakibatkan daun, pucuk, serta tunas-tunas barunya akan mengeriting, menggulung ke dalam, dan kadang pada daun timbul benjolan seperti tumor. Akibatnya pertumbuhan tunas akan berhenti dan beberapa tanaman menjadi kerdil (Setiadi 2008). Perlakuan waktu inokulasi 1, 2, dan 3 MSPT menyebabkan rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman yang berbeda nyata. Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan waktu inokulasi pada usia tanaman lebih muda dapat menyebabkan penghambatan pertambahan tinggi lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi pada usia lanjut. Infeksi virus biasanya dapat menyebabkan penurunan jumlah zat pengatur tumbuh (hormon), juga menyebabkan peningkatan kadar senyawa penghambat pertumbuhan (Agrios 2005).
15
Tabel 1 Pengaruh inokulasi ChiVMV pada waktu yang berbeda (1 MSPT, 2 MSPT, dan 3 MSPT) terhadap rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai Waktu inokulasi (minggu setelah pindah tanam/MSPT)
Rata-rata persentase penghambatan tinggi
1 MSPT
29,90a
2 MSPT
27,70ab
3 MSPT
22,62b
*
Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam satu kolom berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%.
Tabel 2 Pengaruh inokulasi ChiVMV pada genotipe cabai yang berbeda (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) terhadap rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai Genotipe
Rata-rata persentase penghambatan tinggi
IPB C13
36,60a
IPB C17
27,07b
IPB C521
16,56c
*
Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam satu kolom berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%.
Inokulasi ChiVMV secara nyata menghambat tinggi tanaman masingmasing genotipe. Rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman tertinggi terjadi pada genotipe IPB C13 (36,60%) dan paling rendah pada genotipe IPB C521 (16,56%). Respon IPB C13 tersebut dapat dihubungkan dengan respon sangat rentan seperti yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Opriana 2009). Diketahui pula bahwa genotipe IPB C17 dan IPB C521 termasuk berturut-turut sebagai genotipe tahan dan sangat tahan (Opriana 2009). Hasil uji secara statistik dengan mengkaitkan interaksi antara perlakuan waktu inokulasi dan genotipe tanaman uji menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3). Persentase rata-rata penghambatan tinggi tertinggi terjadi pada genotipe IPB C13 (46,54%) dan paling rendah pada genotipe IPB C521(9,75%).
16
Tabel 3 Pengaruh waktu inokulasi terhadap rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman cabai yang diinokulasi pada 3 waktu yang berbeda Waktu inokulasi Rata-rata Persentase Genotipe (minggu setelah pindah tanam/MSPT) penghambatan tinggi IPB C13
IPB C17
IPB C521
*
1 MSPT
34,63ab
2 MSPT
46,54a
3 MSPT
28,62bcd
1 MSPT
23,49bcde
2 MSPT
25,40bcde
3 MSPT
32,32bc
1 MSPT
9,75e
2 MSPT
17,78cde
3 MSPT
22,16cde
Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam satu kolom berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%.
Metode Deteksi ChiVMV dengan DAS-ELISA dan DIBA Hasil deteksi dengan metode DAS-ELISA menggunakan sampel daun yang berbeda umurnya memberikan gambaran mengenai proses replikasi dan penyebaran virus pada jaringan tanaman. Tabel 4 menunjukkan bahwa inokulasi 1 MSPT memiliki nilai titer virus paling tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai titer virus cenderung meningkat jika diinokulasi pada awal pertumbuhan tanaman (1 MSPT). Hal lain yang dapat diamati yaitu semakin tua umur tanaman pada waktu inokulasi titer virus cenderung menurun. Pada genotipe IPB C17 dan IPB C521 tidak ada perbedaan titer virus pada tanaman yang diinokulasi pada waktu yang berbeda. Demikian pula titer virus tampak tidak meningkat dalam jaringan tanaman. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi virus di dalam tanaman yang tidak berkembang karena respon ketahanan yang dimiliki oleh tanaman itu sehingga infeksi tidak berkembang. Goodman et al. (1986) menyatakan bahwa kemampuan virus untuk bermultiplikasi dan menimbulkan gejala berbeda-beda pada setiap tanaman, dalam hal ini tergantung pada kultivar dan umur tanaman serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit.
17
Tabel 4 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA untuk genotipe IPB C13 pada waktu panen dan perlakuan berbeda Waktu panen
Inokulasi 1 MSPT
Inokulasi 2 MSPT
Inokulasi 3 MSPT
4 MSI
0,14d
0,81ab
0,33d
6 MSI
0,59abcd
0,56abcd
0,37abcd
8 MSI
0,84a
0,53abcd
0,34d
0,71abc
0,27d
0,33d
11 MSI *
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%. Minggu setelah pindah tanam (MSPT) Minggu setelah reinokulasi (MSI)
** ***
Tabel 5 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA untuk genotipe IPB C17 pada waktu panen dan perlakuan berbeda Waktu panen
Inokulasi 1 MSPT
Inokulasi 2 MSPT
Inokulasi 3 MSPT
4 MSI
0,11b
0,22ab
0,14b
6 MSI
0,17b
0,34a
0,14b
8 MSI
0,19b
0,19ab
0,14b
11 MSI
0,15b
0,19b
0,14b
13 MSI
0,13b
0,19b
0,17b
*
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%. Minggu setelah pindah tanam (MSPT) Minggu setelah reinokulasi (MSI)
** ***
Tabel 6 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA untuk genotipe IPB C521 pada waktu panen dan perlakuan berbeda Waktu panen
Inokulasi 1 MSPT
Inokulasi 2 MSPT
Inokulasi 3 MSPT
4 MSI
0,07d
0,33abc
0,23bcd
6 MSI
0,12d
0,51a
0,16cd
8 MSI
0,17bcd
0,39ab
0,18cd
11 MSI
0,25bcd
0,12d
0,08d
13 MSI
0,16cd
0,15d
0,09d
* ** ***
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%. Minggu setelah pindah tanam (MSPT) Minggu setelah reinokulasi (MSI)
Tanaman yang tahan terhadap virus mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan gejala, sehingga
18
konsentrasi virus di dalam tanaman menjadi rendah (Agrios 2005). Sebaliknya tanaman yang rentan adalah tanaman yang tidak mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman yang dicirikan dengan konsentrasi virus yang tinggi dan munculnya gejala yang cepat.
Umur tanaman
Genotipe C13 A B C
Perlakuan inokulasi Genotipe C17 A B C
Genotipe C521 A B C
4 MSPT
6 MSPT
8 MSPT
11 MSPT
13 MSPT
-
Kontrol positif Kontrol negatif Gambar 2 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA. Sampel terdiri atas jaringan daun dari tanaman dengan umur yang berbeda dengan berbagai waktu umur tanaman sampel, (A) inokulasi 1 MSPT; (B) inokulasi 2 MSPT; (C) inokulasi 3 MSPT Deteksi dengan menggunakan Metode DIBA, hanya berhasil memberikan reaksi positif pada 2 genotipe dengan waktu umur tanaman yang berbeda. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran (Gambar
19
2). Setiap genotipe cabai memberikan respon yang berbeda. Genotipe IPB C 13 yang bersifat sangat rentan menunjukan reaksi positif (signal) yang kuat pada tiap umur sampel. Reaksi paling kuat pada 8 MSPT untuk tiap perlakuan inokulasi. Hasil tersebut sesuai dengan hasil ELISA (Tabel 4). Sebaliknya, genotipe IPB C 17 dan IPB C521 yang bersifat tahan dan sangat tahan menunjukkan signal yang lemah dengan tiap perlakuan inokulasi.
Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Kejadian Penyakit Pengaruh waktu inokulasi terhadap kejadian penyakit diamati berdasarkan hasil deteksi dengan metode DAS-ELISA dan DIBA. Persentase kejadian penyakit berdasarkan hasil ELISA pada perlakuan inokulasi yang berbeda menunjukkan hasil cukup beragam pada masing-masing genotipe (Tabel 7). Genotipe IPB C13 merupakan genotipe rentan terhadap ChiVMV dengan kejadian penyakit mencapai 100%. Genotipe IPB C17 merupakan genotipe tahan dengan kejadian penyakit berkisar 0% - 66 %, dan genotipe IPB C521 merupakan genotipe sangat tahan dengan kejadian penyakit paling banyak 66%. Tabel 7 Kejadian penyakit berdasarkan hasil ELISA pada 3 genotipe tanaman cabai (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) yang diinokulasi dengan ChiVMV pada waktu yang berbeda* Kejadian penyakit (%)** Waktu inokulasi
IPB C13
IPB C17
IPB C521
A
B
C
A
B
C
A
B
C
1 MSPT
100
100
100
33
33
0
33
66
66
2 MSPT
100
100
33
66
0
33
100
66
0
3 MSPT
66
66
100
0
0
0
66
66
0
* **
ELISA dilakukan berturut-turut pada 8 (A), 10 (B), dan 13 (C) minggu setelah pindah tanam (MSPT) KP= Jumlah tanaman positif ELISA/ total tanaman yang diuji x 100%
Hasil ELISA menunjukkan bahwa inokulasi ChiVMV pada tanaman usia lanjut menyebabkan kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan inokulasi pada tanaman usia lebih muda. Pada perlakuan waktu inokulasi 3 MSPT genotipe IPB C17 dapat dinyatakan tidak terinfeksi ChiVMV. Hal tersebut menunjukkan adanya mekanisme ketahanan tanaman terhadap infeksi virus. Semakin tua
20
tanaman saat terinfeksi virus, makin terbatas penyebaran virus dalam tanaman (Akin 2006). Tabel 8 Kejadian penyakit berdasarkan hasil DIBA pada 3 genotipe tanaman cabai (IPB C13, IPB C17, dan IPB C521) yang diinokulasi dengan ChiVMV pada waktu yang berbeda* Kejadian penyakit (%)** Waktu inokulasi
IPB C13
IPB C17
IPB C521
A
B
C
A
B
C
A
B
C
1 MSPT
100
100
33
0
0
0
0
0
33
2 MSPT
66
66
66
0
0
0
0
0
33
3 MSPT
66
66
66
0
0
0
33
33
0
* **
DIBA dilakukan berturut-turut pada 8 (A), 11 (B), dan 13 (C) minggu setelah pindah tanam KP= Jumlah tanaman positif DIBA/ total tanaman yang diuji x 100%
Perbedaan waktu ELISA yang dilakukan berturut-turut pada sampel daun 8, 10, dan 13 minggu setelah pindah tanam pada masing-masing perlakuan inokulasi menunjukkan kecenderungan pengurangan persentase kejadian penyakit. Hal tersebut diduga disebabkan karena terjadinya penurunan titer virus dalam jaringan tanaman. Kondisi tersebut menjelaskan fenomena recovery pada tanaman yang telah terinfeksi virus (Agrios 2005). Deteksi dengan menggunakan metode DIBA, memberikan hasil kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan hasil deteksi dengan DAS-ELISA. Infeksi ChiVMV hanya terdeteksi pada genotipe IPB C13 dan IPB C521 (Tabel 8). Penentuan reaksi positif pada metode DIBA dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan membandingkan signal seperti terlihat pada Gambar 3. Signal hasil DIBA tersebut sangat beragam mulai dari signal sangat kuat hingga lemah. Hal tersebut menyebabkan penentuan reaksi positif bersifat sangat subyektif. 2
1
3
4
Gambar 3 Perbedaan signal pada membran DIBA; 1= signal sangat kuat, 2 = signal kuat, 3 =signal sedang, dan 4 = signal lemah
21
Perbandingan Metode Deteksi DAS-ELISA dan DIBA Perbandingan terhadap beberapa faktor utama yang diperhatikan dalam penentuan deteksi virus bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode DAS-ELISA dan DIBA untuk mendeteksi ChiVMV. Dilihat dari segi objektivitas hasil, metode DAS-ELISA dapat memberikan hasil yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Untuk memastikan hasil DAS-ELISA dapat dilakukan analisis menggunakan ELISA reader sehingga analisis hasil dapat dilakukan secara kuantitatif. Tahapan dasar yang tidak berbeda jauh dapat dilakukan tanpa menggunakan peralatan yang canggih. Hasil uji dapat ditentukan dengan membandingkan warna substrat antara sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif. Dari segi biaya, metode DIBA lebih unggul daripada DAS-ELISA, karena metode DIBA memerlukan biaya yang jauh lebih rendah. Keunggulan lain dari metode DIBA adalah memiliki kapasitas sampel yang lebih banyak dalam satu kali pengujian. Satu lembar membran ukuran plat mikrotiter DAS-ELISA dapat digunakan untuk menguji 60 sampel (bila dilakukan duplo), sedangkan satu plat mikrotiter DAS-ELISA terdiri dari 96 lubang sumuran sehingga dalam satu kali pengujian data dapat diuji 45 sampel (bila dilakukan duplo). Namun metode DIBA memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada metode DAS-ELISA. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, dibutuhkan
ketrampilan yang tinggi.
Ketrampila dalam melakukan berbagai pengujian dapat diperoleh melalui latihan yang intensif sehingga hasil pengujian yang diperoleh akan optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inokulasi ChiVMV berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai. Demikian pula hasil ELISA yang menunjukkan bahwa infeksi lebih awal pada tanaman cabai menyebabkan kejadian penyakit yang lebih tinggi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa waktu kritis tanaman cabai adalah pada 1 MSPT. Pada periode tersebut tanaman harus dijaga agar tidak terinfeksi ChiVMV terlebih pada genotipe tanaman cabai sangat rentan seperti IPB C13.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan data pengaruh waktu inokulasi terhadap pertumbuhan generatif tanaman hingga panen buah.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology Ed. Ke-4. Florida: Academic Press. Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. Berke T, Black TT, Talekar NS. 2005. Suggested cultural practices for chilli pepper. AVRDC Bos, L. 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Virology.
Brunt, A., K. Crabtree, and A. Gibbs. 1990. Viruses of tropical plants. CAB International, Wallingford, UK. 707 pp. [CABI]. 2005. Croop Protection Compendium. CPC Press. Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzymelinked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of General Virology 34:475-785. Cerkaukas R. 2004. Pepper Disease Chilli veinal mottle virus. AVRDC. [Ditjen Hort] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas panen hortikultura tahun 2000-2009. http://database.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. [16 Agustus 2009]. Green SK. 2005. Pepper lines resistant to chilli veinal mottle virus. Taiwan. AVRDC. Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite. Plant Dis 81:250-253. Matthews, R.E.F 2002. Plant Virology. London: Academic Press Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognallans P, Souche S et al. 2005. Serological, molecular and pathotype diversity of Pepper veinal mottle virus and Chilli veinal mottle virus. Phytopathology 95(3):227-232. http:www.apsnet.org/phyto/pdfs/2005/PHYTO-95-0227.pdf [9 Mei 2008]. Nono-Womdim, R., I.S. Swai, M.L Chadha, K. Gebre-Selassie, and G. Marchoux. 2001. Occurrence of chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Disease 85: 801.
24
Opriana E. 2009. Metode Deteksi untuk Pengujian Respon ketahanan Beberapa Genotipe Cabai terhadap Infeksi Chilli veinal mottle potyvirus [Tesis]. Bogor: Departemen Proteksi tanaman, Fakultas pertanian IPB Roff M , Ong CA. 1992. Epidemiology of aphid-borne virus disease of chilli in Malaysia and their management. Proceedings of the conference on Chilli Pepper production in the Tropics, Kuala Lumpur, 13-14. 1992. MARDIAVRDC, p.130-140. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya. Setiawati, Muharam. 2003. Buku Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Cabai Merah (Pengenalan dan Pengendalian Hama-Hama Penting pada Tanaman Cabai Merah). Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikuluta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lembang-Bandung. Shah H, Khalid S, Ahmad I. 2001. Prevalence and of Four Pepper Viruses in Sindh, Punjab, and North West Frontier Province. Journal of General Biological Sciences 1(4): 214-217. Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam deteksi TMV dengan DIBA. J Perlind Tan Indo 1:1-5. Sumarni. 1996. Budidaya tanaman cabai merah. Dalam: Duriat AS, Hadisoeganda AWW, Soetiarso TA, Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang:Balitsa. Ong CA. 1995. Symptomotic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Taufik M. 2005. Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus : karakterisasi isolat cabai dan strategi pengendaliannya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wahyuni WS. 2005. Dasar-dasar Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Widodo WD. 2002. Memperpanjang Umur Produksi Cabai (60 Kali Petik). Jakarta :Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
26
Lampiran 1 Analisis sidik ragam rata-rata persentase penghambatan tinggi tanaman Sumber Perlakuan Genotipe Waktu Inokulasi Interaksi Galat Total
Db 8 2 2 4 126 134
JK 13367,16 9038,09 1255,16 3073,92 26811,38 40178,55
KT 1670,90 4519,04 627,58 768,48 21,79
Fhit
Ftabel
21,24 2,95 3,61
0,0001 0,0560 0,0080