BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM
NANEH MULYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ” Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Naneh Mulyani NRP 351060311
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor
BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM
NANEH MULYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul
: Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Nama : Naneh Mulyani NRP : G 351060311 Program Studi : Biologi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Tanggal Ujian: 6 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia serta ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium” ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. H. Ramlin S, MM selaku Kepala Madrasah MAN Cikarang atas dukungan dan kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Penelitian ini didanai oleh Departemen Agama RI yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suami, Ibu dan Adikadik atas do’a, perhatian dan dukungan yang diberikan. Demikian juga kepada teman-teman dan pengelola Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB IPB atas kerjasamanya selama penelitian ini dilaksanakan. Semoga tesis ini memberi manfaat.
Bogor, Agustus 2008 Naneh Mulyani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 16 Mei 1968 dari Ayah Moh. Senan (Alm) dan ibu Chaeroni. Penulis merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Tahun 1994 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada Universitas Negeri Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, mulai tahun 1995 hingga tahun 2006. Pada tahun 2007 hingga sekarang, penulis mengajar pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Pada bulan Juli 2006 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil Program Studi Biologi, Subprogram Ekologi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
RINGKASAN NANEH MULYANI. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan DEDE SETIADI. Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan A. atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan. Keistimewaan ulat sutera ini adalah sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Disamping itu benang suteranya tebal tetapi lembut dengan warna dan pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif. Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin. Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Penggunaan pakan lain sebagai pengganti (alternatif) dicoba terhadap daun yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (J. curcas L.) dan daun kaliki (R. communis L.). Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera (sericulture). Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapakan para breeder dalam program breeding ulat sutera secara intensif. Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi pakan larva yang menghasilkan daur hidup terpendek ngengat A. atlas. Sementara itu, kehilangan populasi A. atlas yang besar (50-55%) di alam terbuka terjadi karena serangan parasitoid dan predator. Untuk menghindarinya maka pemeliharaan ulat sutera ini dilakukan di dalam ruangan (Laboratorium). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen pada ngengat A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan. Di samping itu untuk mengetahui teknik pemeliharaan yang tepat di dalam kondisi ruangan sehingga dapat dihasilkan kokon dengan kualitas terbaik untuk aplikasi budidaya maupun untuk keperluan penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB. Tahap persiapan penelitian yaitu penanaman pohon jarak pagar dan kaliki; desinfeksi ruangan dan peralatan; pengumpulan dan pemilihan kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) lalu ditempatkan dalam kandang. Selanjutnya imago jantan dan betina yang muncul dibiarkan melakukan kopulasi. Tahap pelaksanaan penelitian diawali dengan analisa proksimat terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Uji proksimat dilaksanakan
di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB; selanjuutnya pengamatan imago yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya; lama hidup imago; fekunditas (keperidian), viabilitas, periode telur dan lama peletakan telur oleh imago; serta pemeliharaan larva. Larva instar I-III dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas. Parameter yang diamati terdiri dari: 1) Konsumsi pakan, 2) Pertumbuhan larva, 3) Daur hidup ngengat A. atlas, 4) Kualitas kokon, 5) Kualitas Filamen. Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral, selama satu jam. Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin. Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan filamen, satu perlakuan diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB. Berdasarkan kandungan nutrisinya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda. Sebaliknya daun tua memiliki protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Panjang, lebar dan rentang sayap imago berturut-turut dengan rataan (3.22±0.32), (2.53±0.33), (19052±0.93) cm pada jantan dan (4.25±0.42), (3.62±0.78), (20.1±1.07) cm pada betina. Lama hidup imago kawin dan tidak kawin berturut-turut dengan rataan (4.8±1.93), (7.7±1.42) hari pada jantan dan (5.6±1.84), (8.9±3.0) hari pada betina. Jumlah telur infertil dan fertil berturut-turut dengan rataan (192±81.59) dan (256±92.04) butir. Viabilitas dengan rataan 81.75±15.48 %. Periode telur dan lama peletakan telur dengan rataan (8.38±1.15) dan (3.5±1.18) hari. Ulat besar mengkonsumsi pakan sekitar 96-98 % per ekor, sedangkan ulat kecil sekitar 2-4 % per ekor dari keseluruhan total pakan selama stadia larva. Larva yang diberi pakan daun jarak pagar paling banyak mengkonsumsi pakan, sedangkan konsumsi terendah pada larva yang diberi pakan daun kaliki. Total konsumsi untuk masing-masing pakan tersebut adalah pakan daun jarak pagar sebanyak 155.09±0.68 gram, daun sirsak sebanyak 83.1±7.89 g dan daun kaliki sebanyak 47.82±11.61 g. Rataan bobot larva A. atlas pada akhir instar keenam berkisar antara 19.54120.742 g. Sedangkan rataan panjang larva A. atlas pada akhir instar keenam
berkisar antara 8.54-8.70 cm. Bobot dan panjang larva tiap akhir instar dibandingkan dengan bobot dan panjang awal larva saat menetas pertama kali. Kenaikan bobot larva instar keenam mencapai 6000 kali. Sedangkan penambahan panjang larva mencapai 17 kali. Hasil uji Anova pada keseluruhan instar menunjukkan bahwa pertambahan bobot dan panjang larva tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Rataan periode larva terpanjang dengan pakan daun sirsak (36.60±3.83 hari) dan terpendek pakan kaliki (32.10±4.35 hari). Lama periode pupa terpanjang dengan pakan daun sirsak (29.25±7.07 hari) dan terpendek pakan kaliki (24.45±4.88 hari). Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya berturut-turut adalah periode larva (4647%) dan periode pupa (35-37%). Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago (6.2-6.4%). Daur hidup A. atlas berbeda nyata pada stadia larva, pupa dan keseluruhan daur hidupnya. Akan tetapi stadia imago tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon, bobot kokon dan bobot kulit kokon berbeda nyata. Sedangkan persentase kulit kokon tidak berbeda nyata. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (80-83%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja. Panjang filamen kokon dan daya urai kokon berbeda nyata, sedangkan bobot filamen tidak berbeda nyata. Selama pemeliharaan berlangsung, suhu dan kelembaban ruangan laboratorium berkisar antara 25-28ºC dan 46-80%. Kisaran suhu tersebut sesuai untuk pemeliharaan ulat dan pengokonan. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. Kelas mutu kokon dan filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga: Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah ’C’ pada ketiga jenis pakan. Pakan larva berupa daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen, daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat dan daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva. Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas. Perlunya domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. Sebaiknya ruangan untuk pemeliharaan ulat kecil dipisahkan dengan ulat besar.
ABSTRACT NANEH MULYANI. Biology of Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) feeding by castor (Ricinus communis L.) and purging nut (Jatropha curcas L.) leaves in Laboratory. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and DEDE SETIADI. The wild silk moth A. atlas L. is being tried for sericulture in Indonesia. The objectives of this research to find out the feeding consumption, the larvae growth, life-cycle, cocoon and filament quality in A. atlas which is raised inside a room. This research was conducted from March 2007 to May 2008. The research comprises two steps: First, analytical proximate castor (R. communis L.) and purging nut (J. curcas L.) leaves; second, silk moth treatment which is done in the laboratory of Molecular Biology PPSHB IPB. The elements used in this research were: cocoon A. atlas and three types of leaves, which are, sirsak (A. muricata L.), castor and purging nut. The research uses Completely Randomize Design. The data resulted is analyzed by Analyze of Variance proceeded by Duncan Tes. The analyzed parameter is feeding consumption, life-cycle, larvae growth, cocoon and filament quality. The total largest food consumption on the larvae feeding on purging nut leaves is 155.09±0.68 g. The increase of larvae’s length and weight is not really present. The shortest life-cycle happen in larvae feeding on castor (60.80±8.37 days). The highest floss and weight decreasing along the cocoon process happens on larvae feeding on castor (66.22±5.85 %) and purging nut (64.53±4.18 %) leaves. The highest cocoon (9.46±1.70 g) and cocoon skin (1.74±0.79 g) weight are on larvae feeding on sirsak leaves. The percentage of cocoon silk does not differ much. The highest cocoon filament length is on the larvae feeding on sirsak leaves (146.84±138.83 m). The cocoon filament weight does not significantly different much. The lowest cocoon distangling capacity is on larvae feeding on castor leaves (12.20±6.65 %). Sirsak leaves feeding on the larvae is superior in filament and cocoon quality, castor leaves feeding on larvae is superior in the fastest life-cycle, and purging nut feeding on the larvae is superior in the largest feeding consumption. Key Words: Attacus atlas L., biology, alternative food, sericulture in laboratory.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Rumusan Masalah ........................................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................................ Manfaat Penelitian .......................................................................................... Hipotesis .......................................................................................................... Kerangka Penelitian ........................................................................................
1 3 4 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L. .......................................................................................... Klasifikasi ......................................................................................... Morfologi .......................................................................................... Siklus Hidup ...................................................................................... Pertumbuhan Larva ............................................................................ Ekologi A. atlas L. .......................................................................................... Sebaran ............................................................................................... Lingkungan dan Habitat .................................................................... Tanaman Inang .................................................................................. Faktor Penekan Pertumbuhan ........................................................... Kualitas Kokon ............................................................................................... Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ............................ Bobot Kokon Segar ............................................................................. Bobot Kulit Kokon .............................................................................. Persentase Kulit Kokon ....................................................................... Kualitas Filamen ............................................................................................. Panjang Filamen .................................................................................. Bobot Filamen ..................................................................................... Daya Urai Kokon ................................................................................ Tanaman Pakan Alternatif ............................................................................... Jumlah Daun Banyak ......................................................................... Kandungan Gizi Baik .......................................................................... Tanaman Mudah Dibudidayakan dan Dikembangkan ........................ Sesuai Bagi Larva ............................................................................... Contoh Tanaman Pakan Alternatif .................................................................. Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) ................................................... Kaliki (Ricinus communis Linn.) ........................................................ Budidaya dalam Ruangan ...............................................................................
6 6 6 8 10 11 11 11 11 12 13 13 13 14 14 14 14 15 15 15 15 16 16 16 17 17 18 20
ii
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi ........................................................................................... Bahan dan Alat ................................................................................................ Cara Kerja ....................................................................................................... Persiapan ............................................................................................. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ Rancangan Percobaan .........................................................................
21 21 21 21 22 25
HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar ............................................................. Konsumsi Pakan Larva .................................................................................. Pertumbuhan Larva ......................................................................................... Daur Hidup ..................................................................................................... Telur ............................................................................................................... Karakteristik Morfologi Imago ...................................................................... Lama Hidup Imago ........................................................................................ Kualitas Kokon .............................................................................................. Kualitas Filamen ............................................................................................ Suhu dan Kelembaban Ruangan .....................................................................
28 29 31 35 38 40 40 41 42 43
PEMBAHASAN Kualitas Daun .................................................................................................. Daur Hidup A. atlas ...................................................................................... Stadia Larva ........................................................................................ Stadia Pupa .......................................................................................... Stadia Imago ....................................................................................... Stadia Telur ........................................................................................ Kualitas Kokon A. atlas ................................................................................ Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ........................... Bobot Kokon Segar ............................................................................. Bobot Kulit Kokon .............................................................................. Persentase Kulit Kokon ....................................................................... Kualitas Filamen A. atlas ............................................................................... Panjang Filamen .................................................................................. Bobot Filamen ..................................................................................... Daya Urai Kokon (Reelability) ........................................................... Suhu dan Kelembaban Ruangan .................................................................... Budidaya dalam Ruangan ..............................................................................
45 46 46 49 51 53 54 55 56 56 57 58 59 60 60 63 64
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ......................................................................................................... 65 Saran ................................................................................................................ 65 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 66 LAMPIRAN ................................................................................................... 72
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium .......................................................................... 10 2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori ................................................ 13 3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan ............................................... 25 4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva .................. 26 5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen ................ 26 6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) .................................................... 26 7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda ................................ 28 8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua .................................... 28 9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas ........................ 29 10 Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ........................................ 30 11 Pertambahan bobot dan panjang larva pada tiap akhir instar dibandingkan dengan awal instar I ................................................................................... 33 12 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas ............... 34 13 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir instar ............................... 35 14 Kisaran daur hidup A. atlas ...................................................................... 35 15 Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas ................................................. 36 16 Persentase rataan daur hidup A. atlas ........................................................ 36 17 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas ................................ 38 18 Jumlah telur fertil dan infertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas ...................................................................................................... 39 19 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas ................................ 39 20 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas ............................................. 40 21 Lama hidup imago A. atlas ....................................................................... 41 22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas .................................................... 41 23 Komposisi kokon pada ulat sutera A. atlas ................................................ 42 24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan ................ 42 25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas .................................................. 43 26 Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan .............. 43
iv
27 Klasifikasi kokon A. atlas ......................................................................... 57 28 Klasifikasi filamen A. atlas ....................................................................... 61
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera ............................. 1 2 Telur A. atlas ............................................................................................. 7 3 Organ seksual dari pupa B. mori ............................................................... 8 4 Daur hidup A. atlas ................................................................................... 9 5 Pohon Jarak pagar (J. curcas) ................................................................... 17 6 Pohon Kaliki (R. communis) ...................................................................... 19 7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis pakan ......................................................................................................... 29 8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat bsar pada ketiga jenis Pakan ........................................................................................................ 30 9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar ........................................................................................................... 32 10 Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar .......................................................................................................... 32 11 Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar ......................................................................................................... 32 12 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar .......................................................................................................... 33 13 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar ................................. 37 14 Telur A. atlas fertil dan infertil .................................................................. 39 15 Peletakan telur A. atlas dalam kandang .................................................... 40 16 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) ................................................ 44 17 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) ..................................................................................... 44 18 Imago A. atlas jantan dan betina ............................................................. 51 19 Antena A. atlas jantan dan betina ............................................................. 52
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta penyebaran A. atlas (Peigler 19889) .................................................. 72 2 Tanaman inang larva A. atlas .................................................................... 72 3 Hasil analisa proksimat ............................................................................. 73 4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) ................... 74 5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) ................... 74 6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) .................... 74 7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ................................................. 75 8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ....................................... 82 9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ....................................... 83 10 Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar ................................................ 84 11 Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan .. 84 12 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas ............................................ 85 13 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar ............................................... 93 14 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar ............................................. 99 15 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan .................................................................................................. 99 16 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas ....................................... 100 17 Uji Anova daur hidup A. atlas .................................................................. 107 18 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas .......... 116 19 Periode telur A. atlas ................................................................................. 116 20 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas ............................................ 116 21 Ukuran abdomen dan sayap imago A. Atlas .............................................. 117 22 Hasil uji t panjang abdomen A. Atlas ........................................................ 117 23 Hasil uji t lebar abdomen A. Atlas ............................................................. 117 24 Hasil uji t rentang sayap A. Atlas .............................................................. 118 25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas ........................................... 118 26 Hasil uji t umur kawin A. atlas .................................................................. 118 27 Hasil uji t umur tidak kawin A. atlas ........................................................ 118 28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas ............................................................ 119 29 Uji Anova kualitas filamen A. atlas .......................................................... 124
vii
30 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB (2007) ................................................................. 127 31 Alat-alat dalam penelitian ......................................................................... 127
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan Attacus atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan (Atmosoedarjo et al. 2000). Pengembangan ulat sutera liar baru terbatas di sejumlah daerah antara lain Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Purwakarta dan Garut. Ngengat-ngengat penghasil sutera dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Atmosoedarjo et al. 2000
Gambar 1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera. Sutera liar memiliki struktur serat kokon dan kelenjar sutera yang berbeda dengan sutera alam atau sutera murbei (Bombyx mori). Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa cairan sutera dan kelenjar suteranya mengandung banyak vakuola dan pada serat kokonnya banyak ditemukan saluran-saluran halus (Akai 1997). Oleh karena itu, sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Dari hasil pengamatan di lapangan (CIFOR/Central from International Forestry Research – Bogor) tahun 2006, banyak ditemukan A. atlas pada tanaman sirsak (Annona muricata L.). Di daerah Purwakarta, A. atlas banyak ditemukan
2
pada tanaman teh dan kokonnya dapat dipintal menjadi benang sutera yang tebal tetapi lembut dengan warna serta pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif. Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin (Peigler 1989). Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera. Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapkan para breeder dalam pemanfaatan secara cepat atau jangka pendek, serta dalam jangka panjang pada program breeding ulat sutera secara intensif (Rao et al. 2006). Pemanfaatan ulat sutera
A. atlas dari alam (pengumpulan kokon dari
berbagai tanaman) telah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta dan di Purwakarta. Namun usaha ini memiliki kendala yaitu keberlangsungannya (kontinuitasnya) terbatas karena kokon dari alam tidak tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa usaha yang telah dilakukan langsung di alam, namun terdapat kehilangan populasi yang besar (50-55%) dari larva instar awal karena serangan parasitoid dan predator (Ojha et al. 1974). Beberapa penelitian mengenai budidaya A. atlas di dalam ruangan menggunakan pakan buatan dan berbagai pakan alami seperti daun keben (Baringtonia asiatica) (Partaya 2003; Rachman 2001; Wuliandari 2000) dan daun dadap (Erythrina lithosperma) (Zebua et al. 1997; Situmorang 1996) juga telah dilakukan. Namun demikian belum pernah dicoba budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun kaliki (Ricinus communis L.). Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam menurut Triplehorn & Johnson (2005) ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Daur hidup A. atlas pada tanaman dadap (Erythrina lithosperma Miq), yaitu sejak menetasnya telur hingga membentuk imago berlangsung rata-rata 61.99 (±14.78) hari dengan kisaran 40-
3
101 hari untuk betina dan 61.5 (±15.12) hari dengan kisaran 36-105 hari untuk jantan (Zebua et al. 1997), sedangkan pada tanaman kaliki dan jarak pagar belum banyak diketahui sehingga perlu diteliti. Keunikan lain larva A. atlas adalah dapat memakan daun tua meskipun dalam periode instar muda. Hal ini menjadi alasan lain yang menguntungkan bagi budidaya ulat sutera A. atlas karena dapat menghindari terjadinya penurunan produksi biji jarak pagar dan biji kaliki apabila daunnya digunakan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Di samping itu, sejalan dengan program pemerintah mengenai biodiesel (biji jarak pagar) dan pelumas (biji kaliki) memberikan ketersediaan daunnya yang melimpah. Selain dapat dipanen bijinya untuk sumber energi alternatif (biji jarak pagar) serta pelumas (biji kaliki), maka tanaman ini dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Dengan demikian petani jarak pagar dan kaliki akan mendapatkan tambahan penghasilan yang sangat berarti bagi kehidupannya (income bertambah) dari hasil sutera A. atlas. Aspek biologi dari ulat sutera liar A. atlas sangat luas. Akan tetapi, penelitian ini dibatasi
hanya pada pengamatan terhadap konsumsi pakan,
pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen. Rumusan Masalah Jenis pakan yang diujicobakan terdiri dari daun sirsak sebagai tanaman utama, daun kaliki dan jarak pagar sebagai perlakuan terhadap banyaknya konsumsi pakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: a) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap banyaknya konsumsi pakan larva A. atlas? b) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A. atlas ? c) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap daur hidup A. atlas? d) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas kokon A. atlas? e) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas filamen A. atlas? Penelitian di atas dilakukan dalam kondisi ruangan laboratorium.
4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Memilih jenis pakan yang paling sesuai bagi produksi ulat sutera A. atlas. 2. Mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen
pada A. atlas yang dipelihara di dalam
ruangan laboratorium. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Meningkatkan pendapatan bagi petani penanam jarak pagar dan kaliki yang bijinya digunakan sebagai biodiesel (jarak pagar) dan pelumas (kaliki) sedangkan daunnya untuk pakan ulat sutera. 2. Meningkatkan devisa negara dari bidang budidaya ulat sutera.
Hipotesis Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: H0 :
Perlakuan pemberian jenis pakan tidak berpengaruh terhadap
parameter yang diamati. H1 :
Perlakuan pemberian jenis pakan berpengaruh terhadap parameter
yang diamati.
5
Kerangka Penelitian Perkembangan A. atlas di alam mengalami kehilangan populasi yang besar, karena: - Musuh alami (predator & parasitoid) - Iklim
Budidaya di dalam ruangan
Pakan: - Pakan alami -
Pakan alternatif
Kondisi lingkungan optimum: - Kelembaban udara - Suhu
Teknik pemeliharaan yang tepat
- Kontinuitas produksi - Siklus hidup yang pendek - Keberhasilan hidup yang tinggi - Kualitas benang yang baik
Sumber bibit: - Breeding - Metode penetasan
TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L. Klasifikasi A. atlas digolongkan sebagai ngengat. Beberapa karakteristik seekor ngengat adalah sebagai berikut: sayap ngengat di saat istirahat berada dalam posisi horisontal terhadap tubuh, ngengat biasanya aktif pada malam hari, antena seekor ngengat tidak menggada, umumnya ngengat memiliki pupa yang dilindungi oleh kokon, serta ngengat tidak makan di saat fase dewasa. Sistematika ngengat A. atlas menurut Triplehorn & Johnson (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthopoda
Sub Filum
: Atelocerata
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Sub Ordo
: Ditrysia
Super Famili : Bombycoidea Famili
: Saturniidae
Sub Famili
: Saturniinae
Genus
: Attacus (Linnaeus)
Spesies
: A. atlas (Linnaeus)
Morfologi Imago A. atlas berukuran besar, mempunyai warna dasar sayap orange tua atau coklat. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Tubuh hewan jantan lebih kecil daripada yang betina dan warna lebih coklat kekuningan. Panjang sayap terentang hewan jantan 15-22 cm dan yang betina 16.5-24 cm (Situmorang 1996). Antena jantan lebih besar daripada yang betina dan warnanya coklat kekuningan. Panjang antena imago jantan adalah 20 mm dan lebar 9 mm, sedangkan yang betina panjangnya 20 mm dan lebar 4 mm (Peigler 1989). Seekor ngengat betina menarik perhatian ngengat jantan dengan melepaskan feromon yang dikeluarkan dari bagian ujung abdomennya. Fungsi antena pada yang jantan untuk mengenali feromon sebagai isyarat kimia yang ditebarkan oleh imago
7
betina. Imago jantan mampu mendeteksi feromon dari jarak sekitar 1 mil (1.6 km), selanjutnya pejantan tersebut menghampiri untuk kemudian melakukan kopulasi (Passoa 1999). Telur A. atlas menempel pada substrat dengan perekat (berupa gum) yang disekresikan oleh kelenjar betina (Passoa 1999). Suhu dan faktor genetik dari induknya menjadi kunci untuk menentukan lamanya waktu inkubasi telur. Ratarata waktu inkubasi berlangsung selama 7 hingga 14 hari, meskipun pada beberapa spesies diperlukan waktu yang lebih lama yaitu hingga mencapai empat minggu (Passoa 1999). Bentuk telur bulat pipih, dengan lebar sekitar 2.3 mm, panjang 2.7 mm dan tebal 2.1 mm (Peigler 1989) (Gambar 2). Telur-telur itu saat dikeluarkan dari induk betina diletakkan secara berjajar/berbaris, berkelompok atau melingkar pada daun-daun atau cabang-cabang dari tanaman yang menjadi pakan dari serangga tersebut (Passoa 1999). Menurut Chen (2003b), jumlah telur yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh ngengat betina digunakan sebagai indeks fekunditas, sedangkan rata-rata telur yang berhasil menetas (% penetasan) digunakan sebagai kriteria kualitas telur.
Gambar 2 Telur A. atlas (Foto: koleksi pribadi) Larva yang baru menetas mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya dengan kepala hitam. Warna tubuh pada umumnya putih pucat kehijau-hijauan (Dammerman 1929). Larva instar I, II dan III seluruhnya berwarna putih kekuningan. Larva instar IV dengan kepala berwarna kuning kehijauan, sedangkan instar V dan VI dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Larva A. atlas ini dilengkapi skoli (mirip duri-duri sebagai tonjolan dari daging) dan tuberkel (struktur kutikula yang membentuk seta/rambut) yang menonjol. Pada setiap segmen toraks terdapat kaki beruas.
8
Proleg (kaki palsu) yang dilengkapi kait terdapat pada segmen abdomen ke-3 sampai ke-6 dan segmen abdomen ke-10. Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh kutikula, yang dibentuk oleh epidermis. Kutikula mengalami pengerasan, oleh sebab itu kutikula tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti pertumbuhan larva (Peigler 1989). Pupa berwarna coklat kehitaman. Umumnya kokon berbentuk ovoid dengan serat sutera penggantung yang menempel pada tulang daun atau helai daun. Pada umumnya kokon tersembunyi di balik daun. Ukuran kokon bervariasi berkisar antara 5-9 cm, tidak termasuk tangkainya. Warna bervariasi antara orange sampai coklat tua, dan umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan luarnya kasar dan kadang keriput (Peigler 1989). Jenis kelamin pada ngengat dapat dikenali melalui ciri-ciri karakter tertentu pada pupa (Passoa 1999). Pada pupa B. mori betina ada garis vertikal yang memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8, sedangkan alat kelaminnya nampak di segmen ke-9. Sedangkan pada pupa jantan alat kelaminnya hanya ada di segmen ke-9 (Gambar 3). Selain itu pupa betina biasanya berukuran lebih besar daripada pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000).
Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)
Gambar 3 Organ seksual pada pupa B. mori Siklus Hidup A. atlas adalah serangga holometabola, yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut ”ulat”), pupa dan imago, yang lazim dikenal dengan istilah ”ngengat” (Triplehorn & Johnson 2005). Stadia telur pada ngengat A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larvanya satu bulan dan stadia pupanya berlangsung selama dua puluh lima hari (Dammerman 1929). Gambar 4 memperlihatkan daur hidup A. atlas.
9
Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun keben berkisar antara 25-38 hari dengan rataan 29.2 (±1.5) hari untuk betina dan 24-35 hari dengan rataan 27.5 (±1.7) hari untuk jantan. Antara larva jantan dan betina tidak dapat dibedakan. Keseluruhan stadium larva memerlukan waktu 3050 hari. Sedangkan masa pupasi berlangsung sekitar 8-58 hari (Situmorang 1996). Tabel 1 menunjukkan lama periode perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium.
Telur Larva instar 1 Larva instar 2 Larva instar 3
Larva instar 4 Imago
Pupa
Larva instar 6
Larva instar 5
Sumber: http://entweb.clemson.edu/museum/moth/exotic/moth1.htm. dan www.wormspit.com/Atlas
Gambar 4 Daur hidup A. atlas Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa. Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Chapman 1998). Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi (Beck 1980). Proses diapause (masa istirahat) atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler 1989).
10
Tabel 1
Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium Betina Jantan Tahap Perkembangan Interval Rataan Interval Rataan (hari) (hari) (hari) (hari) 6.9±1.8 5-11 6.9±0.1 5-11 Masa inkubasi* 2.7±0.1 2-6 2.7±0.1 2-5 Instar I 3.6±0.9 3-6 3.7±0.9 3-6 Instar II 3.8±0.9 3-6 3.9±0.9 3-6 Instar III 4.2±0.8 3-6 4.4±0.8 3-6 Instar IV 6.1±1.2 4-8 6.3±1.2 4-8 Instar V 7.0±1.2 5-9 7.1±1.2 5-9 Instar VI 27.0±1.7 24-35 28.2±1.5 25-38 Total periode larva 8-58 8-58 Periode Pupa* Sumber: Situmorang (1996); *) Belum terdiferensiasi
Pertumbuhan Larva Istilah pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan ukuran dan bobot ulat sutera (Veda et al. 1997). Serangga merupakan hewan yang memiliki rangka luar (eksoskeleton). Agar supaya ukuran tubuhnya menjadi lebih besar haruslah menanggalkan rangka luarnya dengan cara ganti kulit (ekdisis). Proses ganti kulit pada serangga diatur oleh dua hormon, satu dihasilkan oleh sel-sel neurosekretori dalam otak (hormon prothoracico tropic) dan lainnya oleh kelenjar prothoracic (ekdison). Tambahan lagi hormon juvenil (JH), yang disekresikan oleh corpora allata, di saat konsentrasinya tinggi, hormon ini menjamin bahwa larva tetap berkembang sesuai dengan kodratnya (stadia perkembangannya)
(Nair et al.
2005; Miranda 2002; Gullan & Cranston 2000). Berdasarkan hasil penelitian Chen (2003a), Konsentrasi tinggi NaF (Natrium Fluorida) pada perlakuan untuk menunda ganti kulit pada B. mori ternyata telah menghasilkan toksisitas yang serius pada larva dan secara dramatis menurunkan vitalitas dan viabilitas. Berdasarkan hasil penelitian Miranda et al. (2002), hormon juvenil (JH) seperti yang dicobakan pada B. mori telah berfungsi sebagai pengatur tumbuh serangga sehingga penggunaannya dapat meningkatkan produksi sutera. Hormon juvenil ini bila diberikan sedikit dan tepat (sesuai dengan kebutuhannya) maka akan meningkatkan lamanya periode larva, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsinya lebih banyak dan produksi suteranya juga akan meningkat. Sementara menurut
Faruki (2005) vitamin B-kompleks, gula, protein, asam
11
amino, dan mineral penting tertentu, bertanggung jawab dalam pertumbuhan dan perkembangan yang tepat pada ulat sutera B. mori. Di dalam laporan Miranda et al. (2002) juga dinyatakan bahwa setelah methoprene (sejenis JH) diberikan pada larva maka akan meningkatkan bobot larva. Hal ini sebagai efek fisiologis secara langsung akibat periode makan yang diperpanjang sehingga terjadi penambahan bobot larva. Cara pemberian hormon methoprene sebanyak 1 ng melalui penyemprotan atau pencelupan daun pakan sebelum diberikan kepada larva. Ekologi A. atlas L. Sebaran Attacus atlas merupakan spesies yang paling luas penyebarannya dari genus Attacus, dan merupakan satu dari saturniid yang paling luas penyebarannya di dunia, pada bentangan dari barat laut ke tenggara lebih dari 7000 km (Lampiran 1). Hasil pencatatan sebaran serangga ini yaitu di ujung daerah barat laut adalah di daerah Simla (India), sedangkan di ujung daerah timur laut adalah di daerah Okinawa (Jepang). Bagian utama dari bentangan penyebaran serangga ini meliputi seluruh dataran Asia Tenggara di benua Asia (mainland), Taiwan, Pulau Sunda Besar, Maluku dan Papua Nugini (Peigler 1989). Lingkungan dan Habitat Habitat, lingkungan atau ketetapan ekologi (ekotop) dalam sebuah organisme menggambarkan variabel bioma. Menurut Wolf, peta habitat penyebaran genus Attacus terdapat di lima tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, hutan hujan paratrofis, hutan gugur Microphyllous broad, hutan gugur Notophyllous broad dan hutan konifer campuran. Habitat untuk
A. atlas
bertambah luas karena sifat polifagus dari serangga tersebut dan melimpahnya tanaman pakan yang disukai oleh larva serangga ini. Oleh karena itu, ngengat A. atlas adalah spesies dalam genus Attacus yang paling eurytopic (dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan dengan rentangan geografik yang luas) (Peigler 1989). Tanaman Inang Pada lampiran 2 ditunjukkan bahwa larva A. atlas memakan 90 genus tanaman dari 48 familia (Peigler 1989). Menurut Kalshoven (1981) di Pulau Jawa terdapat 40 jenis tanaman inang yang menjadi makanan larva A. atlas,
12
diantaranya adalah teh, cinchona, dadap, mangga, jeruk, alpukat, dan lada. Di beberapa daerah seperti di Bogor, tanaman inang utama dari larva A. atlas adalah daun sirsak (A. muricata). Di daerah Purwakarta banyak ditemukan pada tanaman teh (Camellia sinensis), di daerah Yogyakarta dan Bantul banyak ditemukan pada tanaman keben (B. asiatica), sedangkan di Sumatera Barat ditemukan pada tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum). Holloway (1987) mencatat bahwa beberapa genus lain berperan sebagai tanaman inang untuk A. atlas di Asia, yaitu Anacardium, Spondias (keduanya merupakan Anacardiaceae), Artabotrys (Annonaceae), Michelia (Magnoliaceae), Embelia (Myrsinaceae), dan Mussaenda (Rubiaceae). A. atlas adalah serangga berukuran besar. Lepidoptera yang berukuran besar cenderung mempunyai kisaran tanaman pakan yang lebih luas. Di daerah tropis yang keanekaragaman tanamannya sangat melimpah, ngengat betina dewasa mempunyai banyak tanaman alternatif untuk meletakkan telurnya (Peigler 1989). Faktor Penekan Pertumbuhan Penekan pertumbuhan pada serangga A. atlas dapat berupa parasit dan predator. Parasit pada ngengat A. atlas dirangkum oleh Peigler (1989), sebagai berikut: Exorista sorbillans (Tachinidae) mematikan pupa, satu kokon inang dapat berisi 60 individu parasit. Beberapa spesies Chalcidoidea (Hymenoptera) seperti Anastasus colemani, Agiommatus attaci
dan Tetrastichus parasit pada telur.
Apanteles (Braconidae) parasit pada larva muda. Telur Enicospilus plicatus dan E. americanus (Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang dan memarasit inang tatkala inangnya dalam stadia kokon, sehingga hanya ada satu parasit per inang. Beberapa predator larva A. atlas seperti tawon, belalang sembah, capung, semut, lalat, laba-laba, tikus, kadal dan cicak mengancam keberadaan populasi tersebut. Sementara itu, kokon A. atlas dimakan oleh tikus. Memasuki stadia imago, predator berupa burung dan mamalia turut mengancam keberadaan populasi tersebut. Namun demikian karena ukuran ngengat A. atlas ini sangat besar maka predator tersebut akan mengurungkan niat untuk memangsa karena takut. Pola dan warna sayap dari A atlas bertindak sebagai bagian dari mekanisme pertahanan. Hal ini terlihat dari bentuk sayap depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Tingkah laku ngengat yang
13
terganggu, akan mengepakkan sayapnya ke bawah dan hal tersebut telah memberi kesan mirip kepala ular (Peigler 1989). Kualitas Kokon Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantatif dan kualitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti persentasi kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Sedangkan penilaian kuantitatif dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual dan uji laboratorium. Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh saat mengokon, bobot kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon. Sedangkan uji laboratorium (kualitas filamen) yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon. Penurunan Bobot Tubuh saat Mengokon Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut ”cocoon floss” (serabut serat). Floss dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan (misalnya membuat rangkaian bunga) serta hasil seni lainnya seperti lukisan. Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau ”cocoon shell” (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen dan di dalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Pada ulat sutera B. mori, komposisi kokon seperti terlihat pada Tabel 2. Persentase floss dan penurunan bobot tubuh saat mengokon pada B. mori yang diberi perlakuan alat pengokonan yang berbeda berkisar antara 45.7549.13% (Yuanita 2007). Tabel 2 Berat Kokon Kulit kokon Pupa Floss
Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori Kokon segar Kokon kering Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B Berat Berat Berat Berat Ratio Ratio Ratio Ratio nyata nyata nyata nyata (%) (%) (%) (%) (g) (g) (g) (g) 2.0934 100.0 2.050 100.0 0.793 100.0 0.820 100.0 0.3620
17.3
0.410
20.0
0.362
45.7
0.410
50.0
1.7190 0.0124
82.1 0.6
1.626 0.014
79.3 0.7
0.419 0.012
52.8 1.5
0.396 0.014
48.3 1.7
Ket. : A & B = Ras ulat sutera ; Floss = Lapisan luar kokon Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)
14
Bobot Kokon Segar Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase metamorfosa (proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon terdiri dari bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen di urai dari kokon). Kokon berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon berisi pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000). Hal ini terkait dengan ukuran ngengat betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan. Bobot Kulit Kokon Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Bobot kulit kokon, yaitu bobot kokon tanpa pupa. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti banyak mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benangnya lebih panjang dan lebih berat. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan (Atmosoedarjo et al. 2000). Persentase Kulit Kokon Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon. Nilai ini erat hubungannya dengan persentase filamen kokon. Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 18% sampai 22% (Atmosoedarjo et al. 2000). Kualitas Filamen Kualitas filamen didasarkan kepada uji laboratorium yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon. Dalam penentuan kelas kokon hanya diperlukan dua parameter saja yaitu panjang filamen dan daya urai kokon. Hal ini didasarkan atas standar kelas kokon internasional, yang hanya memperhitungkan dua parameter dalam penentuan kelas (Atmosoedarjo et al. 2000). Panjang Filamen Panjang filamen ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal. Penghitungan panjang filamen pada penelitian ini dilakukan dengan menggulung benang secara manual (dengan tangan) menggunakan kelos sebagai media
15
melilitkan benang sutera. Ukuran panjang benang dapat diketahui dari jumlah lilitan dikali dengan keliling kelos (2πr) tersebut atau mengukur langsung dengan meteran. Bobot Filamen Bobot filamen adalah bobot dari filamen yang diurai dari satu kokon tunggal. Bobotnya akan proporsional dengan bobot kulit kokon (kulit kokonnya lebih berat maka bobot filamennya juga akan tinggi). Pada sutera alam (B. mori), bobot filamennya berkisar antara 80-90% dari bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2000). Dari data bobot filamen dan panjang filamen maka akan diketahui ukuran filamen (denier) yaitu bobot filamen (gr)/[panjang filamen (m) x 9000]. Daya Urai Kokon Daya urai kokon (reelability) adalah kemudahan mengurai filamen sutera dari kokon. Daya urai kokon ditentukan oleh jumlah berapa kali putus filamen sutera tersebut selama kokon diurai. Hal tersebut merupakan karakteristik yang penting dalam proses pemintalan (reeling). Daya urai sangat tergantung pada varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan (Atmosoedarjo et al. 2000). Tanaman Pakan Alternatif Dalam pemeliharaan ulat sutera, pemilihan pakan yang baik perlu diperhatikan. Sebelum pakan diberikan pada larva, dilakukan pemilihan daun berkualitas sebagai pakan bagi larva A. atlas. Apabila kualitas pakan kurang baik yaitu sebagai akibat dari daun tidak sehat atau kekurangan hara tertentu maka ulat tidak mau makan. Menurut Chen (2003b) gejala fluorosis pada daun murbei dapat mempengaruhi akumulasi nutrisi pada larva B. mori. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah daun murbei yang dimakan oleh larva tersebut. Keadaan ini menjadi masalah serius pada serikultur karena dapat menurunkan produksi kokon. Kriteria tanaman inang alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan sutera liar, diantaranya: jumlah daun banyak, kandungan gizi baik, tanaman mudah dibudidayakan dan dikembangkan serta sesuai bagi larva. Jumlah Daun Banyak Dalam industri serikultur, ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan. Untuk menunjang keberhasilan usaha ini, harus
16
dipilih daun-daun yang ketersediaannya melimpah. Pohon-pohon perdu yang cepat tumbuh dan daunnya dapat segera dipanen menjadi prioritas utama untuk digunakan sebagai tanaman pakan alternatif. Kandungan Gizi Baik Tanaman yang daunnya digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, harus memiliki kandungan gizi yang baik (kualitas maupun kuantitasnya). Ulat sutera membutuhkan daun sebagai makanan terutama kandungan air dan protein yang tinggi. Air dalam daun sangat diperlukan oleh ulat sutera, karena ulat sutera tidak minum sehingga kebutuhan akan air didapat dari daun. Menurut Ekastuti (1999) kadar air minimal pada daun yang baik dijadikan pakan untuk larva B. mori adalah 65-85%. Daun murbei yang biasa dijadikan pakan ulat sutera B. mori mengandung kadar air berkisar antara 71.88-73.10% (Wageansyah 2007), sedangkan menurut Suriawiria (1966) kandungan airnya berkisar antara 66.378.25%. Kadar air daun ditentukan oleh varietas tanaman, lokasi tumbuh, cara budidaya dan pertumbuhan tanaman. Sedangkan kadar protein yang baik bagi ulat sutera adalah 24-36%. Protein yang
dibutuhkan
oleh
ulat
sutera
selain
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima 1978). Tanaman Mudah Ditangani dan Dikembangkan Faktor lain yang menjadi salah satu syarat untuk pemilihan pakan bagi ulat sutera adalah tanaman mudah ditangani dan dikembangkan. Untuk memenuhi syarat tersebut, sebaiknya dipilih tanaman-tanaman yang mudah tumbuh di berbagai kondisi tanah seperti tanah kering atau tandus. Mudahnya tanamantanaman tersebut untuk tumbuh dan berkembangbiak mendukung bagi usaha budidaya karena dapat beternak ulat sutera di banyak tempat. Tanaman pakan ulat yang baik, jika dipangkas haruslah daunnya cepat tumbuh kembali dan jumlahnya bertambah banyak. Sesuai Bagi Larva Sebelum larva yang baru menetas mulai makan, larva muda ini membutuhkan stimuli khusus. Hal tersebut dideteksi oleh kemoreseptor yang terdapat pada antena dan bagian mulut dari larva serangga (Common 1990).
17
Apabila pakan tersebut sesuai bagi larva, maka daun akan dimakan oleh ulat tersebut. Dalam hal ini, pakan yang sesuai bagi larva haruslah mengandung nutrisi lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera tersebut (Ahmad et al. 2006). Contoh Tanaman Pakan Alternatif Dalam usaha budidaya ulat sutera, pemilihan tanaman pakan bagi ulat sutera berdasarkan kriteria di atas sangat diperlukan. Hal ini akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi terutama dalam pengeluaran biaya dan tenaga. Beberapa contoh tanaman pakan alternatif yang kemungkinan dapat dikembangkan bagi pakan ulat sutera A. atlas adalah sebagai berikut: Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Sistematika tanaman jarak pagar (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta,
Subdivisi
Angiospermae,
Klas
Dicotyledonae,
Ordo
Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Jatropha dan Spesies J. curcas. Tanaman ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah (Weiss 1971).
Gambar 5 Pohon Jarak Pagar (J. curcas) Tanaman jarak pagar termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 5). Umur tanaman jarak pagar bisa mencapai 50 tahun (Nuralamsyah 2006). Tanaman
18
ini sesuai dibudidayakan di daerah tropika dan subtropika dengan ketinggian antara 0-800 m dari permukaan laut (dpl) dengan suhu optimum antara 20-26 ºC serta toleran terhadap kondisi kering, sehingga tanaman ini tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun (Soenardi 2000). Jarak pagar (J. curcas) adalah tanaman yang saat ini tengah banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan tanaman yang secara agronomis dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering (curah hujan < 500 mm per tahun) maupun pada lahan dengan kesuburan rendah (lahan marginal dan lahan kritis). Hal tersebut disebabkan tanaman ini tahan terhadap stress air. Strategi dari tanaman ini agar mampu bertahan terhadap stres air pada musim kemarau yaitu dengan menggugurkan daunnya, tetapi akarnya tetap mampu menahan air. Oleh karena itu, J. curcas dapat digolongkan sebagai tanaman pionir, tanaman penahan erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin (Prihandana & Hendroko 2006). Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak pagar di lahan kritis antara lain (1) menunjang usaha konservasi lahan, (2) memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani, (3) memberikan solusi pengadaan minyak bakar (biofuel), dan (4) menyediakan pakan bagi budidaya ulat sutera liar. Pohon jarak pagar berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 15-17 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah 23-45 helai. Sedangkan bobot ratarata satu daun muda antara 3-4 gram dan daun tua antara 7-8 gram. Dalam cara budidaya jarak pagar dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 3-4 bulan. Kaliki (Ricinus communis Linn.) Sistematika tanaman kaliki (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta,
Subdivisi
Angiospermae,
Klas
Dicotyledonae,
Ordo
19
Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Ricinus dan Spesies R. communis. Tanaman kaliki berasal dari Ethiopia (di Afrika) (Weiss 1971). Tanaman kaliki termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 6). Tanaman ini toleran terhadap kondisi kering dan tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun. Macam tanah tidak menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman kaliki. Pada tanah liat yang berat, kaliki dapat tumbuh baik sepanjang drainase dan aerasinya baik. Tetapi tanaman ini akan lebih sesuai pada tanah ringan, yaitu lempung berpasir dan tanah yang mempunyai aerasi yang baik. Tanaman ini juga ramah lingkungan dan dapat memperbaiki mikroklimat setempat (Soenardi 2000). Daerah penyebaran pohon kaliki terletak antara 40° LU dan 40° LS, meskipun ada pula beberapa varietas hasil seleksi di Rusia dapat tumbuh dan berproduksi sampai 52° LU (Weiss 1971). Jarak kaliki berakar tunggang yang dalam dan akar samping yang melebar dengan akar rambut yang banyak. Hal ini menandakan bahwa tanaman ini tahan terhadap angin dan kekeringan.
Gambar 6 Pohon Kaliki (R. communis) Pohon kaliki berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 21-33 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah 33-57 helai. Sedangkan bobot rata-rata satu daun muda antara 16-19 gram dan daun tua antara 38-54 gram. Dalam cara budidaya kaliki dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat
20
memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 2-3 bulan. Budidaya Dalam Ruangan Sutera A. atlas berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun demikian, perkembangan serangga ini di alam terkendala dengan serangan parasit yaitu sebesar 40-80% pada telur (Kalshoven 1981). Pada larva serangan parasit maupun predator mengurangi 50-55% populasi (Ojha et al. 1974). Oleh karena itu, pemeliharaan di dalam ruangan diharapkan dapat mengurangi kerugian ini serta produksi suteranya dapat ditingkatkan. Selain itu ruangan dan alat-alat untuk pemeliharaan harus dijaga kebersihannya. Alat yang telah selesai digunakan dicuci bersih dan dikeringkan lalu didesinfeksi dengan menyemprotkan larutan formalin 4% dan larutan kaporit (komposisi larutannya adalah 5 gram kaporit dalam satu liter air). Demikian juga kotoran dan bangkai larva harus segera dibuang dan dibersihkan. Faktor fisik lingkungan yaitu suhu dan kelembaban harus dikontrol dengan baik selama proses pemeliharaan. Menurut Samsijah & Kusumaputra (1978), suhu dan kelembaban ruangan selama pemeliharaan B. mori 25-26 ºC dengan kelembaban ±85% (untuk ulat kecil) dan 23-25 ºC dengan kelembaban 70-75% (untuk ulat besar). Menurut Veda et al. (1997) intensitas cahaya yang ideal untuk larva B. mori adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Kondisi iklim juga berpengaruh selama pengokonan. Ulat sutera B. mori yang sedang mengokon memerlukan suhu 23-25 ºC, kelembaban 60-75%, sirkulasi udara dengan kecepatan 0.2-1 m/s dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10-20 lux (Atmosoedarjo et al. 2000). Sedangkan menurut Kaomini & Andadari (2004) periode pada saat larva mengokon sampai selesai membuat kokon yaitu 70 jam (pada 23 ºC), 60 jam (pada 25 ºC) dan 50 jam (pada 28 ºC).
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kokon A. atlas dan tiga jenis daun yaitu, A. muricata (P1) sebagai kontrol, R. communis (P2) dan J. curcas (P3) sebagai tanaman alternatif. Untuk pemeliharaan digunakan kaporit (5 gram/liter), alkohol 70%, formalin 4%, label, tissue, kapas dan kapur anti semut. Sedangkan untuk perebusan kulit kokon digunakan NaOH, teepol dan sabun netral. Alat-alat yang digunakan antara lain: kandang ngengat, cawan petri, toples gelas, pisau, gunting, termometer, higrometer, timbangan digital AND HX-100 berskala 0.0001 gram, mistar, kelos dengan keliling (2πr) sebesar 5 cm, pemanas listrik, panci, dan pinset. Cara Kerja Persiapan a. Penanaman pohon jarak pagar dan kaliki. Keduanya ditanam melalui biji. Pemupukan pohon-pohon tersebut menggunakan pupuk kandang. Penyiangan terhadap gulma dilakukan seminggu sekali. Setelah tinggi pohon mencapai 1 meter, daun sudah dapat dipanen untuk pakan larva. Sedangkan tanaman sirsak telah tersedia di sekitar laboratorium. b. Kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) dikumpulkan dan diseleksi (dengan memilih kokon yang sehat yaitu tidak basah dan berbau). Kokon yang telah diseleksi ditempatkan pada kandang berukuran 60 x 60 x 60 cm3 dalam laboratorium PPSHB dengan luas ruangan 12 m2 dan dibiarkan sampai muncul imago. Jika muncul imago maka imago jantan dan imago betina setiap satu pasang dipindahkan ke dalam kandang berukuran 40 x 40 x 40 cm3 untuk
22
dibiarkan melakukan kopulasi. Setelah dekopulasi, telur yang diletakkan oleh imago betina dalam kandang tersebut dikumpulkan dan selanjutnya dipindahkan ke dalam cawan petri untuk ditetaskan. c. Desinfeksi ruangan dan peralatan. Peralatan yang digunakan dan ruangan laboratorium
untuk
pemeliharaan
dibersihkan
menggunakan
larutan
desinfektan berupa campuran 5 gram kaporit/liter air dan larutan formalin 4%. Pelaksanaan Penelitian a. Analisa proksimat Analisa proksimat dilakukan hanya terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Pengujian analisa proksimat (Lampiran 3) dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. b. Pengamatan morfologi imago Imago diamati morfologinya yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya. Pengukuran dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan sepuluh ekor imago betina sehingga total imago yang diamati sebanyak 20 ekor. c. Pengamatan lama hidup imago Pengamatan lama hidup imago dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan betina. Imago yang diamati meliputi baik imago jantan dan betina yang melakukan kopulasi maupun yang tidak berkopulasi. d. Pengamatan telur Pengamatan fekunditas (keperidian) dilakukan terhadap sepuluh ekor imago betina yang dibuahi (fertil) maupun tidak dibuahi (infertil). Lama peletakan telur dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir terutama pada betina yang dibuahi. Selanjutnya
pada telur yang dibuahi
(fertil) dilakukan pengamatan jumlah telur yang menetas (viabilitas). Lama penetasan telur dihitung sejak penetasan telur hari pertama hingga hari terakhir. Lamanya waktu (periode) sejak telur diletakkan oleh imago betina hingga telur tersebut menetas dicatat sebagai “lamanya masa telur” atau “periode telur”.
23
e. Pemeliharaan larva Larva yang digunakan dalam pemeliharaan ini berasal dari telur yang menetas dengan masa telurnya sama yaitu 8 hari. Hal ini dipilih dengan tujuan keseragaman dari awal daur hidupnya. Larva yang dipakai dan dipilih secara acak adalah larva yang aktif dan sehat. Masing-masing perlakuan pakan diamati 20 ekor larva, sehingga diperlukan total untuk ketiga perlakuan tersebut adalah 60 ekor larva. Pemberian pakan dengan daun segar dilakukan tiga kali setiap hari yaitu jam 07.00, 13.00, dan 17.00 WIB. Sebelum daun diberikan pada larva, dilakukan dahulu pencucian dan perlakuan sterilisasi pada daun menggunakan alkohol teknis 70%. Penimbangan pakan dilakukan sebelum dan sesudah pakan diberikan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan. Larva instar I-III, dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun muda dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun tua secara utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas. f. Parameter yang diamati (Atmosoedarjo et al. 2000) terdiri dari: 1. Konsumsi pakan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor larva dihitung menggunakan rumus: x=
a-(b+c) n
x = banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor (g) a = total pakan hari ke-i (i = 1, 2, 3, 4,......) b = pakan sisa c = pakan sisa dikali faktor koreksi*) n = jumlah ulat yang berhasil hidup setiap akhir instar Ket: *) lampiran 4, 5 dan 6
2. Pertumbuhan larva. Hal ini diamati dengan mengukur bobot dan panjang larva pada setiap awal dan akhir setiap instar.
24
3. Daur hidup. Parameter ini diamati dengan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh ngengat A. atlas mulai periode telur, larva, pupa hingga imago. 4. Kualitas kokon. Pengujiannya meliputi: -
Penurunan bobot kokon selama proses mengokon (g), yaitu bobot akhir instar VI dikurangi bobot kokon segar.
-
Bobot kokon segar (g), yaitu bobot kokon tanpa floss (kulit + pupa).
-
Bobot kulit kokon (g), yaitu bobot kokon setelah pupa keluar dari kokon.
-
Persentase kulit kokon, yaitu perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon dikali 100%. % Kulit kokon=
Bobot kulit kokon Bobot kokon
x 100%
5. Kualitas filamen. Pengujiannya meliputi: Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral, selama satu jam (Awan 2007). Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin. -
Panjang filamen (m), yaitu ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal dengan tangan (secara manual).
-
Bobot filamen (g), yaitu bobot filamen dari satu kokon tunggal.
-
Daya urai kokon/Reelability (%), yaitu dihitung dari berapa jumlah kali putus filamen selama kokon tersebut diurai
g. Klasifikasi kualitas kokon dan filamen Di Indonesia, belum ada standar untuk mengklasifikasikan kualitas kokon dan filamen sutera liar. Klasifikasi dibuat berdasarkan data keadaan kokon dan filamen dalam penelitian ini. Penghitungan dilakukan berdasarkan data rata-rata populasi dari jenis serangga (seluruh data) dan jenis pakan (data terbaik tiap parameter uji). Dengan mencari standar deviasi pada masingmasing parameter uji diperoleh rentangan klasifikasi dalam 4 tingkatan (A, B, C dan D).
25
Rancangan Percobaan Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen, satu perlakuan diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB. Model linier dalam percobaan ini adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000): Yij
= µ + τ i + ε ij
Dengan: i = 1,2,3. dan j = 1,2,3; j = 1,2,3, ... 20; j = 1,2,3, ... 10. Yij
= Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke i = µi - µ
ε ij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Data dari setiap parameter yang diukur/diamati dapat dilihat pada Tabel 3,
4 dan 5. Sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan Perlakuan Ulangan P1 P2 1 Y11 Y21 2 Y12 Y22 3 Y13 Y23 Total Y1 Y2 Perlakuan (Y) Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.
P3 Y31 Y32 Y33 Y3
Total Keseluruhan Y
26
Tabel 4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 Total 2 Y12 Y22 Y32 Keseluruhan 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 20 Y120 Y220 Y320 Total Y1 Y2 Y3 Y Perlakuan (Y) Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas. Tabel 5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan filamen Perlakuan Ulangan P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 10 Y110 Y210 Y310 Total Y1 Y2 Y3 Perlakuan (Y)
Total Keseluruhan
Y
Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.
Tabel 6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Keragaman (db) Kuadrat (JK) Tengah (KT) Ulangan sama r1 = r2 = r3 Perlakuan t-1 JKP KTP Galat t (r – 1) JKG KTG Total Tr - 1 JKT Ulangan tidak sama r1 ≠ r2 ≠ r3 Perlakuan t-1 JKP KTP Galat ∑ (r1 - 1) JKG KTG Total ∑ r1 - 1 JKT
F Hitung KTP/KTG
KTP/KTG
Dari analisis sidik ragam di atas ada 3 hal yang dapat disimpulkan: 1. Perlakuan memberikan respon yang sama atau tidak dengan melihat nilai peluang pada tabel ANOVA, jika nilai peluang<α maka perlakuan memberikan respon yang berbeda. 2. Jika terdapat perbedaan, maka perlakuan yang sama atau berbeda dapat ditentukan dengan Uji Wilayah Duncan.
27
Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut: R p = rα ; p ;dbg S y S y = KTG / r
Dimana r
α;p;dbg
nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua
perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dbg. 3. Perlakuan mana yang memberikan respon tertinggi dapat dilihat dari nilai rataan untuk setiap perlakuan atau kombinasi perlakuan.
HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar Hasil analisis proksimat daun jarak pagar muda dibandingkan dengan daun jarak pagar tua adalah sebagai berikut: a) Kandungan air pada daun muda 82.74% dan daun tua 74.97%; b) Protein pada daun muda 8.61% dan daun tua 7.86%; c) Lemak pada daun muda 3.12% dan daun tua 5.65%; d) Serat pada daun muda 20.74% dan daun tua 18.36%. (Tabel 7 & 8). Daun jarak pagar muda lebih tinggi dalam kandungan air, protein dan serat, namun lebih rendah dalam kandungan lemaknya dibandingkan dengan daun jarak tua. Pada daun kaliki hasil analisis proksimatnya menunjukkan data sebagai berikut: a) Kandungan air pada daun muda 79.15% dan daun tua 80.51%; b) Protein pada daun muda 7.79% dan daun tua 10.14%; c) Lemak pada daun muda 5.34% dan daun tua 5.37%; d) Serat pada daun muda 29.15% dan daun tua 11.81%. (Tabel 7 & 8). Daun kaliki tua lebih tinggi dalam kandungan air dan protein, tetapi lebih rendah kandungan seratnya dibandingkan dengan daun kaliki muda. Hasil ini berlawanan dengan yang terjadi pada daun jarak pagar. Tabel 7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda Parameter analisis Sirsak** Kaliki* --------- (%) ---------Air 72.82 79.15 Protein 4.88 7.79 Lemak 1.04 5.34 Serat 6.07 29.15 Abu 0.93 8.09
Jarak Pagar* 82.74 8.61 3.12 20.74 13.06
*) Hasil penelitian ini; **) Awan (2007)
Tabel 8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua Parameter analisis Sirsak** Kaliki* Jarak Pagar* ---------- (%) ---------Air 69.88 80.51 74.97 Protein 4.86 10.14 7.86 Lemak 1.40 5.37 5.65 Serat 7.11 11.81 18.36 Abu 1.11 11.03 10.12 *) Hasil penelitian ini; **) Awan (2007)
Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis proksimat pada daun sirsak secara langsung tetapi menggunakan data Awan (2007) yang dilakukan pada laboratorium yang sama yaitu laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
29
dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Uji proksimat terhadap daun sirsak menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan daun kaliki dan daun jarak pagar dalam hal kadar air, protein, lemak dan seratnya (Tabel 7 & 8). Konsumsi Pakan Larva Ulat kecil (instar I-III) mengkonsumsi pakan 3.6805 g per ekor (pada daun sirsak), 1.502 g per ekor (pada daun kaliki), dan 3.3599 g per ekor (pada daun jarak pagar). Sedangkan ulat besar (instar IV-VI) mengkonsumsi pakan 79.5054 g per ekor (pada daun sirsak), 46.3177 g per ekor (pada daun kaliki), dan 151.733 g per ekor (pada daun jarak pagar) (Tabel 9). Tabel 9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas Sirsak (n=3) Kaliki (n=3) Jarak Pagar (n=3) Instar Rataan Persentase Rataan Persentase Rataan Persentase (g) (%)* (g) (%)* (g) (%)* Ulat kecil:
1 2 3 Jumlah Ulat besar:
4 5 6
0.3898 0.8041 2.4866 3.6805
0.47 0.97 2.99 4.43
0.1955 0.3546 0.9519 1.502
0.41 0.74 1.99 3.14
0.1626 0.2229 2.9744 3.3599
0.15 0.14 1.92 2.21
10.0356 8.3678 61.102 79.5054
12.06 10.06 73.45 95.57
2.8764 4.855 38.5863 46.3177
6.02 10.15 80.69 96.86
9.3710 27.592 114.77 151.733
6.04 17.79 74.00 97.83
100
155.093
100
Jumlah Total 83.1859 100 47.8197 Konsumsi ) * Terhadap total konsumsi pakan selama instar I-VI
Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan total konsumsi pakan setiap ekor larva A. atlas pada ulat kecil (Gambar 7) dan ulat besar (Gambar 8). 3.5
Konsumsi pakan (g)/ekor
3 2.5
Sirsak 2
Kaliki Jarak Pagar
1.5 1 0.5 0 1
2
3
Instar
Gambar 7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis pakan
30
140
Konsumsi pakan (g)/ekor
120 100
Sirsak Kaliki Jarak Pagar
80 60 40 20 0 4
5
6
Instar
Gambar 8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat besar pada ketiga jenis pakan Total konsumsi pakan larva pada masing-masing instar per ekor yang terbesar adalah pakan daun jarak pagar (155.09 g) dan terkecil adalah daun kaliki (47.82 g). Hasil uji statistik konsumsi pakan larva setiap instar ditunjukkan pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Sirsak (A) (n=3) Kaliki (B) (n=3) Jarak Pagar (C) (n=3) Larva ---------- gram ---------Instar I - Mean 0.39a 0.20b 0.16b - STDev 0.05 0.05 0.03 Instar II - Mean 0.80a 0.36b 0.22b - STDev 0.15 0.09 0.06 Instar III - Mean 2.49a 0.95b 2.97a - STDev 0.30 0.51 0.84 Instar IV - Mean 10.04a 2.88b 9.37a - STDev 1.10 0.25 1.22 Instar V - Mean 8.35a 4.86a 27.59b - STDev 1.75 2.65 10.05 Instar VI - Mean 61.10b 38.59c 114.77a - STDev 10.29 9.66 12.08 Total - Mean 83.17b 47.82c 155.09a - STDev 7.89 11.61 0.68 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
31
Larva instar pertama yang diberi pakan daun sirsak (rataan konsumsi 0.39±0.05 g) berbeda nyata terhadap larva yang diberi pakan daun kaliki (rataan konsumsi 0.20±0.05 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi 0.16±0.03 g). Demikian
halnya pada larva instar kedua dengan pakan daun sirsak (rataan
konsumsi 0.80±0.15 g) berbeda nyata terhadap larva dengan pakan daun kaliki (rataan konsumsi 0.36±0.09 g) dan daun jarak pagar (rataan konsumsi 0.22±0.06 g). Sedangkan larva instar ketiga menunjukkan bahwa konsumsi pakan larva berupa daun sirsak berbeda nyata hanya terhadap larva dengan pakan daun kaliki. Pada instar keempat, konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan 10.04±1.10 g) dan daun jarak pagar (rataan 9.37±1.22 g) berbeda nyata terhadap larva dengan pakan daun kaliki (rataan 2.88±0.25 g), sedangkan konsumsi antara pakan daun sirsak dan jarak pagar tidak berbeda nyata. Pada instar kelima konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan 8.35±1.75 g) dan daun kaliki (rataan 4.86±2.65 g) berbeda nyata terhadap larva yang memakan daun jarak pagar (rataan 27.59±10.05 g) (Tabel 10). Instar keenam,
konsumsi pakan larva berupa daun sirsak (rataan
61.10±10.29 g) berbeda nyata terhadap pakan larva berupa daun jarak pagar (rataan 114.77±12.08 g) dan daun kaliki (rataan 38.59±9.66 g). Bahkan pada instar ini juga konsumsi di antara ketiga macam pakan tersebut berbeda nyata (Tabel 10). Apabila pengelompokan berdasarkan stadia ulat besar dan ulat kecil diuji secara statistik maka ketiga macam perlakuan pakan tersebut tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Namun demikian pada signifikansi 90% didapatkan bahwa pada ulat kecil tidak berbeda nyata tetapi pada ulat besar berbeda nyata (Lampiran 9 & 10). Berdasarkan total konsumsi pakan pada keseluruhan instar (I hingga VI) didapatkan bahwa ketiganya berbeda nyata secara statistik pada taraf uji 95%. Pertumbuhan Larva Rataan bobot larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit ‘A’) dan akhir instar (sebelum ganti kulit ‘B’) untuk ulat kecil ditunjukkan pada Gambar 9, sedangkan untuk ulat besar ditunjukkan pada gambar 10 berikut ini.
32
1.8000
Rataan pertambahan bobot (g)
1.6000 1.4000 1.2000 Sirsak
1.0000
Kaliki 0.8000
Jarak Pagar
0.6000 0.4000 0.2000 1A
1B
2A
2B
3A
3B
Instar
Gambar 9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar 25
Rataan pertambahan bobot (g)
20
15
Sirsak Kaliki Jarak Pagar
10
5
0 4A
4B
5A
5B
6A
6B
Instar
Gambar 10 Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Pada awal instar pertama rataan bobot larva adalah 0.0032 g. Sedangkan pada akhir instar keenam, bobot larva mencapai grafik tertinggi dengan bobot rataan berkisar antara 19.541-20.742 g (Lampiran 10). Rataan panjang larva A. atlas pada awal instar (setelah ganti kulit ‘A’) dan akhir instar (sebelum ganti kulit ‘B’) ditunjukkan pada Gambar 11 dan 12 berikut
Rataan pertambahan panjang (cm
ini. 3 2.5 2
Sirsak
1.5
Kaliki Jarak pagar
1 0.5 0 1A
1B
2A
2B
3A
3B
Instar
Gambar 11 Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar
Rataan pertambahan panjang (cm
33
10 9 8 7
Sirsak Kaliki
6 5 4
Jarak pagar
3 2 1 0 4A
4B
5A
5B
6A
6B
Instar
Gambar 12 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar Rataan panjang larva pada awal instar pertama adalah 0.5 cm. Sedangkan pada akhir instar keenam, rataan panjang larva berkisar antara 8.54-8.70 cm (Lampiran 14). Pada akhir stadia instar pertama hingga instar keenam, bobot
dan
panjangnya bertambah dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas pertama kali. Pertambahan bobot dan panjang larva pada ketiga pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas pada tiap akhir instar dibandingkan dengan awal instar 1 Instar Pakan I II III IV V VI Bobot (kali) Sirsak 24 111 488 1231 2142 6184 Kaliki 16 55 527 1642 2313 6477 Jarak Pagar 20 83 369 1481 2360 6564 Panjang (kali) Sirsak 2 4 5 9 15 17 Kaliki 1.5 4 5 9 15 17 Jarak Pagar 2 4 5 9 15 17 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas dapat dilihat pada Tabel 12. Pertambahan bobot larva A. atlas selama pemeliharaan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada masing-masing instar (Instar I hingga instar V). Akan tetapi, instar keenam dan total stadium larva menunjukkan pertambahan bobot yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Pertambahan bobot larva pada instar kesatu dan kelima memperlihatkan perbedaan dengan pola yang sama yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih berat dari pada larva yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu, bobot larva yang diberi pakan daun kaliki lebih rendah daripada bobot larva yang
34
diberi pakan daun jarak pagar. Uji Anova terhadap total pertambahan bobot larva instar I hingga V menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada ketiga perlakuan pakan (Lampiran 12). Tabel 12 Larva Instar I - Mean - STDev Instar II - Mean - STDev Instar III - Mean - STDev Instar IV - Mean - STDev Instar V - Mean - STDev Instar VI - Mean - STDev Total - Mean - STDev
Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas Sirsak (A) Kaliki (B) J. Pagar (n=20) (n=20) (C) (n=20) ---------- Bobot (g) ----------
Sirsak (A) Kaliki (B) J. Pagar (n=20) (n=20) (C) (n=20) ---------- Panjang (cm) ----------
0.07a 0.01
0.05c 0.01
0.06b 0.01
0.34a 0.05
0.23c 0.04
0.29b 0.04
0.27a 0.09
0.12b 0.00
0.17b 0.12
0.97b 0.05
1.01a 0.03
1.00a,b 0.08
1.16b 0.40
1.47a 0.07
0.87c 0.26
0.40a 0.06
0.43a 0.04
0.41a 0.04
2.27b 0.29
3.49a 0.72
3.45a 0.27
1.90c 0.03
2.06a 0.05
1.99b 0.03
2.47a 0.49
1.69c 0.38
2.09b 0.28
2.90a 0.05
2.82b 0.07
2.89a 0.04
12.04a 1.26
12.53a 1.96
12.52a 1.44
0.98a 0.24
1.06a 0.31
1.06a 0.21
19.54a 1.94
20.43a 2.56
20.74a 1.82
8.04a 0.31
8.20a 0.38
8.20a 0.26
Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 12 di atas juga diketahui bahwa pertambahan panjang larva pada instar kesatu, kedua, keempat dan kelima berbeda nyata. Sedangkan instar ketiga, keenam dan total stadium larva menunjukkan pertambahan panjang yang tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan. Larva yang diberi pakan daun sirsak pada instar kesatu memperlihatkan pertambahan panjang tertinggi dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sementara itu, pertambahan panjang larva yang diberi pakan daun kaliki lebih rendah dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun jarak pagar. Tabel 13 berikut ini adalah hasil uji Anova bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar. Instar pertama dan terakhir menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan instar II hingga V menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
35
Tabel 13 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir intar Stadia Sirsak (A) (n=20) Kaliki (B) (n=20) Jarak Pagar (C) (n=20) ---------- g --------Instar I - Mean 0.0743a 0.0507a 0.0627a - STDev 0.0118 0.0092 0.1219 Instar II - Mean 0.3517c 0.1729a 0.2627b - STDev 0.1105 0.0195 0.0199 Instar III - Mean 1.5432a 1.6657a 1.1653b - STDev 0.4856 0.0871 0.2515 Instar IV - Mean 3.8343a 5.1801c 4.6795b - STDev 0.7095 0.7269 0.4489 Instar V - Mean 6.7688a 7.2974b 7.4565b - STDev 0.85088 0.6529 0.6053 Instar VI - Mean 19.5412a 20.4367a 20.7423a - STDev 1.9432 2.5596 1.8235 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Daur Hidup Kisaran daur hidup A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Kisaran tersebut mencakup stadia larva, pupa dan imago. Tabel 14 Stadia - Instar I - Instar II - Instar III - Instar IV - Instar V - Instar VI Larva (total) Pupa Imago Total
Kisaran daur hidup A. atlas Sirsak (n=20) Kisaran Rataan 5-6 4-5 4-5 4-7 4-8 8 – 12 30 - 42 24 - 51 3-8 60 - 89
5.80±0.410 4.55±0.510 4.50±0.513 5.20±0.894 6.75±1.333 9.80±1.105 36.60±3.83 29.25 ± 7.070 5.00 ± 1.257 70.85 ± 7.457
Kaliki (n=20) Jarak Pagar (n=20) Kisaran Rataan Kisaran Rataan ---------- hari --------4.75±0.444 4-5 4.35±0.489 4-5 4.05±0.510 3-5 3.50±0.513 3-4 4.25±0.444 4-5 4.25±0.550 3-5 4.60±0.503 4-5 4.45±0.887 3-6 6.55±0.887 5-8 6.05±1.191 5-8 10.15±0.988 9-12 9.50±1.50 8 – 12 34.35±2.08 31-38 32.10±4.35 27- 40 14 - 33 24.45 ± 4.883 18-34 26.35±3.910 2-7 4.25 ± 1.92 2-7 4.70±1.750 47 - 78 60.80 ± 8.370 52-76 65.40±5.679
Periode larva terpanjang dengan rataan 36.60±3.83 hari (pakan daun sirsak), dan terpendek dengan rataan 34.35±2.08
hari (pakan daun kaliki). Panjang
periode larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata dengan yang diberi makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan daun jarak pagar (Tabel 15).
36
Tabel 15
Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas Sirsak (A) Kaliki (B) Jarak Pagar (C) Stadia (n=20) (n=20) (n=20) ---------- hari --------Larva Instar (I-VI) - Mean 36.60a 32.10b 34.35ab - STDev 3.83 4.35 2.08 Pupa - Mean 29.25a 24.45b 26.35ab - STDev 7.07 4.88 3.91 Imago - Mean 5.00a 4.25a 4.70a - STDev 1.26 1.92 1.75 Total - Mean 70.85a 60.80c 65.40b - STDev 7.46 8.37 5.68 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Lama periode pupa terpanjang dengan rataan 29.25±7.070 hari (pakan daun sirsak) dan terpendek
dengan rataan 24.45±4.883 hari (pakan daun kaliki).
Lamanya periode pupa pada larva yang diberi makan daun sirsak berbeda nyata dengan yang diberi makan daun kaliki, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan daun jarak pagar (Tabel 15). Akan tetapi, periode imago nampak tidak berbeda nyata diantara ketiga macam pakan (Tabel 15). Periode imago terpanjang dengan rataan 5.00±1.257 hari (pakan daun sirsak) dan terpendek dengan rataan 4.25±1.92 hari (pakan daun kaliki) (Tabel 14). Tabel 16 Persentase rataan daur hidup A. atlas Sirsak (n-20) Kaliki (n=20) Stadia Rataan Persentase Rataan Persentase (hari) (%) (hari) (%) - Telur 8.00 10.15 8.00 11.63 - Larva 36.60 46.42 32.10 46.66 - Pupa 29.25 37.10 24.45 35.54 - Imago 5.00 6.34 4.25 6.17 - Total 78.85 68.80
Jarak Pagar (n=20) Rataan Persentase (hari) (%) 8.00 10.89 34.35 46.80 26.35 35.90 4.70 6.40 73.40
Persentase rataan daur hidup A. atlas pada ketiga macam pakan (daun sirsak, kaliki dan jarak pagar) ditunjukkan pada Tabel 16. Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya adalah periode larva dengan rataan 46.42-46.80% dan periode pupa dengan rataan 35.54-
37
37.10%. Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago dengan rataan 6.176.40%. Gambar 13 berikut ini adalah daur hidup ngengat A. atlas dengan pakan daun jarak pagar.
Imago 4.70 (±1.75) hari
Telur 8.00 (±0.00) hari
Pupa 26.35 (± 3.91) hari
Larva 34.35 (±2.08) hari Gambar 13 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar (Foto: Koleksi pribadi) Hasil uji Anova tiap instar pada stadia larva ditunjukkan pada Tabel 17. Pada stadia larva instar kesatu, kedua dan keempat menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan pada stadia larva instar ketiga, kelima dan keenam memperlihatkan bahwa periode yang dilalui oleh masing-masing larva menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Daur hidup larva instar pertama dan kedua menunjukkan pola yang sama yaitu larva yang diberi pakan daun sirsak lebih panjang daur hidupnya
38
dibandingkan dengan yang diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan larva yang diberi pakan daun kaliki lebih pendek daur hidupnya dibandingkan dengan yang diberi daun jarak pagar (Tabel 17). Tabel 17 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas Stadia Sirsak (A) (n=20) Kaliki (B) (n=20) Jarak Pagar (C) (n=20) ---------- hari --------Instar I - Mean 5.80a 4.35c 4.75b - STDev 0.41 0.49 0.44 Instar II - Mean 4.55a 3.50c 4.05b - STDev 0.51 0.51 0.51 Instar III - Mean 4.50a 4.25a 4.25a - STDev 0.51 0.55 0.44 Instar IV - Mean 5.20a 4.45b 4.60b - STDev 0.89 0.89 0.50 Instar V - Mean 6.75a 6.05a 6.55a - STDev 1.33 1.19 0.89 Instar VI - Mean 9.80a 9.50a 10.15a - STDev 1.11 1.50 0.99 Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; *)Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Telur Telur A. atlas berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak kental berwarna merah kecoklatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur melekat pada substrat. Bentuk telur lonjong dan berwarna coklat tua sampai coklat muda. Panjang telur 2 mm dengan lebar 1 mm. Seekor ngengat betina meletakkan telur 80-380 butir (pada 20 ekor imago betina yang terdiri dari 10 ekor betina fertil dan 10 ekor betina infertil). Betina infertil didapat karena jumlah imago jantan terbatas sehingga tidak semua betina yang ada memiliki pasangan. Perbedaan antara telur fertil dengan telur infertil dapat dilihat pada Gambar 14. Telur yang dibuahi (fertil) berwarna coklat gelap, sedangkan telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat.
39
Telur fertil Telur infertil Gambar 14 Telur A. atlas fertil dan infertil Selama pemeliharaan, imago betina A. atlas menghasilkan telur
yang dibuahi (fertil)
dengan kisaran 126 hingga 380 butir dengan rataan
250.4±97.37 butir. Sedangkan imago betina yang tidak dibuahi (infertil) menghasilkan telur dengan kisaran 80 hingga 348 butir dengan rataan 192.1±81.590 butir (Tabel 18). Tabel 18 Jumlah telur infertil dan fertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas Telur Kisaran Rataan Telur infertil (butir) (n=10) 80-348 192.1±81.59 Telur fertil (butir) (n=10) 126-380 256±92.037 Persentase telur yang menetas (%) (n=10) 50.67-96.94 81.75±15.483 Tabel 19 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas Telur Kisaran Rataan ---------- hari ---------Periode telur (n=10) 6-10 8.376±1.148 Lamanya peletakan telur (n=10) 2-6 3.50±1.1785 Ket: - Periode telur adalah sejak telur dikeluarkan oleh induknya hingga menetas - Lamanya peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan oleh induk betina untuk meletakkan seluruh telurnya
Pada telur yang dibuahi (fertil), jumlah telur yang menetas berkisar antara antara 50.67-96.94% dengan rataan 81.75±15.483% (Tabel 18). Periode telur (Tabel 19) selama 6-10 hari dengan rataan 8.376±1.148 hari. Telur-telur dengan waktu peletakan yang sama akan menetas secara tidak bersamaan tetapi diperlukan waktu 3 – 7 hari periode penetasannya, dengan rataan 4.80±1.3166 hari. Perilaku imago betina dalam meletakkan telur-telurnya yaitu dengan meletakkan secara berkelompok atau secara
terpisah. Telur-telur tersebut
diletakkan pada dasar dan dinding kandang. Telur-telur yang berkelompok
40
jumlahnya bervariasi. Jumlah telur dalam satu kelompok dapat mencapai lebih dari 10 butir (Gambar 15).
Terpisah Berkelompok
Gambar 15 Peletakan telur A. atlas dalam kandang Karakteristik Morfologi Imago Ukuran rentang sayap dan panjang serta lebar abdomennya pada imago betina A. atlas dan imago jantan dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20
Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Imago Kisaran --------- cm ---------Jantan (n=10) 2.60-3.50 - Panjang abdomen 2.00-3.00 - Lebar abdomen 17.50-20.00 - Rentang sayap Betina (n=10) 3.50-5.00 - Panjang abdomen 2.60-5.00 - Lebar abdomen 19.00-22.50 - Rentang sayap
Rataan
3.22±0.322 2.53±0.327 19.05±0.926 4.25±0.425 3.62±0.781 20.10±1.075
Hasil uji statistik panjang abdomen pada imago betina nyata lebih panjang dibandingkan dengan abdomen pada imago jantan (Lampiran 22). Demikian pula lebar abdomen pada imago betina nyata lebih lebar dibandingkan dengan abdomen pada imago jantan (Lampiran 23). Akan tetapi, rentang sayap imago tidak berbeda nyata (Lampiran 24). Lama Hidup Imago Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas selama pemeliharaan ditampilkan pada Tabel 21. Hasil uji statistik umur imago yang melakukan kopulasi berbeda nyata, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan
41
dengan jantan (Lampiran 26). Sama halnya dengan umur imago yang tidak melakukan kopulasi, yaitu imago betina berumur lebih lama dibandingkan dengan jantan (Lampiran 27). Tabel 21
Jantan Betina -
Lama hidup imago A. atlas Imago Kisaran umur ------------ hari ------------
Rataan
Kawin (n = 10) Tidak kawin (n = 10)
3-10 3-9
4.8 ±1.932 7.70±1.418
Kawin (n = 10) Tidak kawin (n = 10)
6-10 5-16
5.60±1.838 8.90±2.998
Kualitas Kokon Tabel 22 berikut ini merupakan hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas. Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon terbesar dengan rataan 13.96±0.51 g (pakan daun kaliki) dan terkecil dengan rataan 10.96±0.44 g (pakan daun sirsak). Tabel 22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak (A) (n=10) Kaliki (B) (n=10) O (g) - Mean 10.96b 13.96a - STDev 0.44 0.51 P (g) - Mean 9.46a 7.32b - STDev 1.70 1.93 Q (g) - Mean 1.74a 1.07b - STDev 0.79 0.63 R (%) - Mean 19.35a 14.29a - STDev 11.32 6.77
J Pagar (C) (n=10) 13.76a 0.73 7.75b 1.69 1.16b 0.37 15.55a 5.76
Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%; (O = penurunan bobot tubuh selama proses mengokon [g]; P = Bobot kokon segar [g]; Q = Bobot kulit kokon dengan filamen [g]; R = Persentase kulit kokon [%])
Bobot kokon segar pada kokon yang berasal dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan bobot kokon segar yang berasal dari larva dengan pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Demikian pula halnya dengan bobot kulit kokon dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan bobot kulit
42
kokon dari larva dengan pakan daun kaliki dan daun jarak pagar. Akan tetapi, persentase kulit kokon tidak berbeda nyata pada ketiga macam pakan (Tabel 22). Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (78.89-82.19%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja (1.61-1.66%) dari total keseluruhan bobot kokon A atlas (Tabel 23). Tabel 23
Komposisi kokon ulat sutera A. atlas Bobot
Floss Kulit kokon pupa Kokon (tanpa floss) Kokon (dengan floss)
Sirsak Bobot Ratio nyata g % 0.16 1.66 1.74 18.09 7.589 78.89 9.46 98.34 9.62 100.0
Pakan Kaliki Bobot Ratio nyata g % 0.12 1.61 1.07 14.38 6.115 82.19 7.32 98.39 7.44 100.0
Jarak Pagar Bobot Ratio nyata g % 0.13 1.65 1.16 14.72 6.432 81.62 7.75 98.35 7.88 100.0
Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat pada tabel 24 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data kokon A. atlas dalam penelitian ini. Tabel 24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu kokon Bobot kokon Bobot kulit kokon Persentase kulit kokon - Jenis serangga A > 10.99 >2.83 >37.82 B 9.07-10.99 1.99-2.83 27.07-37.82 C 7.16-9.07 1.15-1.99 16.32-27.07 D <7.16 <1.15 <16.32 - Jenis pakan A > 11.07 >2.37 >26.8 B 9.61-11.07 1.85-2.37 21.49-26.8 C 8.15-9.61 1.34-1.85 16.18-21.49 D <8.15 <1.34 <16.18 Kualitas Filamen Tabel 25 berikut ini adalah hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa panjang filamen kokon dari larva dengan pakan daun sirsak berbeda nyata dengan panjang filamen kokon dari larva dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan bobot filamen dari ketiga macam perlakuan pakan tidak berbeda nyata.
43
Tabel 25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak (A) Kaliki (B) (n=10) (n=10) Bobot filamen (g) - Mean 0.38a 0.44a - STDev 0.18 0.11 Panjang filamen (m) - Mean 146.84a 33.96b - STDev 138.83 5.47 Daya urai kokon - Mean 43.90a 12.20b - STDev 14.35 6.65
Jarak Pagar (C) (n=10) 0.37a 0.26 34.53b 21.71 35.60a 30.92
Ket : Angka dengan huruf yang sama tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%;
Hasil uji Anova daya urai kokon menunjukkan bahwa jumlah kali putus selama pemintalan pada kokon kaliki (12.20±6.65 %) berbeda nyata terhadap kokon sirsak dan jarak pagar berturut-turut dengan rataan 43.90±14.35 % dan 35.60±30.92 % (Tabel 25). Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini. Rentangan kelas mutu didapat dari penghitungan data kokon A. atlas dalam penelitian ini. Tabel 26 Klasifikasi filamen berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan Kelas mutu Bobot Panjang filamen Daya urai kokon filamen filamen - Jenis serangga A > 0.53 >376.23 <25.25 B 0.37-0.53 254.32-376.23 25.25-48.50 C 0.21-0.37 132.41-254.32 48.50-71.75 D <0.21 <132.41 >71.75 - Jenis pakan A >0.50 >40.75 <30.75 B 0.35-0.50 36.55-40.75 30.75-41.5 C 0.20-0.35 32.35-36.55 41.5-52.25 D <0.20 <32.35 >52.25
Suhu dan Kelembaban Ruangan Suhu maksimum bulan Mei, Juni dan Juli berada pada kisaran 27-28ºC. Sedangkan bulan Agustus dan September suhu maksimum sebesar 28ºC. Suhu minimum bulan Mei berkisar antara 25-26ºC, bulan Juni 24-26ºC dan bulan Juli 24-25ºC. Akan tetapi suhu minimum bulan Agustus dan September sebesar 25ºC (Lampiran 30).
44
Kelembaban relatif
terendah sebesar 46% (siang hari pada bulan Juli)
Sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 80% (sore hari pada bulan Juli). Akan tetapi rataan kelembaban relatif terendah 56.70±6.21% (siang hari pada bulan Juni), sedangkan rataan kelembaban relatif tertinggi 74.10±2.41 (pagi hari pada bulan Mei) (Lampiran 30). Grafik rataan suhu maksimum-minimum dalam Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 16
Suhu (derajat Celcius)
berikut ini. 28.5 28 27.5 27 26.5 26 25.5 25 24.5 24 23.5 23
Min Max
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Bulan
Gambar 16 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) Intensitas cahaya dalam ruangan pemeliharaan sebesar 153-156 Lux. Besarnya
intensitas
cahaya
diperoleh
karena
penerangan
dalam ruang
pemeliharaan menggunakan 4 buah lampu tabung dengan daya masing-masing sebesar 20 Watt. Grafik rataan kelembaban dalam Laboratorium Biologi
Kelembaban (%)
Molekuler PPSHB IPB ditunjukkan pada Gambar 17 berikut ini. 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Bulan
Gambar 17 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007)
45
PEMBAHASAN Kualitas Daun Kualitas daun merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan (Samsijah & Kusumaputra 1976). Kualitas daun berhubungan dengan susunan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya seperti air, protein, lemak, serat dan abu. Menurut Samsijah & Andadari (1992), dikatakan bahwa ulat kecil pada B. mori (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang lebih rendah. Oleh karena itu berdasarkan kandungan airnya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda (Tabel 7 & 8). Sebaliknya berdasarkan kandungan proteinnya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun kaliki karena pada daun tua memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Pada B. mori, pakan dengan kadar air lebih rendah dari 65% berpengaruh kurang baik. Hal ini disebabkan karena larva membutuhkan usaha-usaha kompensasi meningkatkan suplai air dari metabolisme. Demikian pula apabila pakan mengandung kadar air lebih tinggi dari 85% juga berdampak kurang baik karena sedikit pakan yang masuk dan banyak energi yang hilang untuk homeostatis (Ekastuti 1999). Kadar air daun sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan, kecernaan, pertumbuhan dan produksi kokon (Ekastuti 2005). Waktu yang terbaik untuk pemeliharaan ulat sutera disesuaikan dengan hasil terbaik tanaman pakan. Hal ini disebabkan karena kualitas daun pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva ulat sutera (Atmosoedarjo et al. 2000).
46
Daur Hidup A. atlas Dalam daur hidup A. atlas, periode terlama adalah stadia larva (Tabel 16). Selama stadia ini, terjadi lima kali ganti kulit (molting) sehingga terjadi enam periode instar. Moltinisme dipengaruhi oleh nutrisi. Nutrisi yang tidak baik pada stadia larva, sering mengakibatkan frekuensi ganti kulit bertambah (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa dimana ulat makan daun (Chen 2003b & Passoa 1999), dan hal tersebut merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur. Dengan demikian kualitas daun merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap biologi dan perkembangan ulat sutera (Ahmad et al. 2006). Pada umumnya serangga-serangga polifagus mempunyai kemampuan detoksifikasi terhadap allelochemical yang lebih baik daripada serangga-serangga monofagus. Bahan-bahan seperti alkaloid, tanin dan terpenoid yang terdapat pada daun tumbuhan inang merupakan faktor seleksi bagi serangga. Dengan demikian kecocokan tanaman inang akan terkait dengan kemampuan adaptasinya terhadap kemampuan mentolelir bahan-bahan yang terdapat pada daun tersebut. Sifat polifagus ini juga dapat menyebabkan predator dan parasit berkurang kemampuannya dalam menemukan telur, larva dan kokon A. atlas yang tidak terbatas di tanaman tertentu saja (Peigler 1989). Stadium Larva Larva
A. atlas merupakan serangga yang aktif bergerak. Perilaku ini
berlangsung selama periode makan hingga pada saatnya molting (pergantian kulit). Menjelang ganti kulit, ulat menghentikan keaktifan dengan posisi istirahat (berbentuk C atau J). Ciri-ciri ulat menjelang fase istirahat yaitu nafsu makan berkurang atau tidak mau makan, ulat lebih banyak diam dan kepalanya sedikit diangkat ke atas (Samsijah & Kusumaputra 1975). Untuk mendapatkan pertumbuhan larva yang serempak, pemberian pakan dilakukan sedini mungkin disaat pakan terakhir sebelum ganti kulit. Sebaliknya pemberian pakan dilakukan selambat mungkin disaat pakan pertama sesudah ganti kulit (Atmosoedarjo et al. 2000).
47
Kecepatan pertumbuhan larva tergantung dari temperatur dan kelembaban. Pada B. mori, batas temperatur untuk pertumbuhan lebih tinggi dari 10ºC dan lebih rendah dari 28ºC. Selama pemeliharaan berlangsung, suhu ruangan berkisar antara 24-28ºC (Lampiran 30). Pertumbuhan biasanya lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Atmosoedarjo et al. 2000). Selain suhu, kelembaban dan kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditentukan oleh kesegaran dan tingkat pergantian udara. Pada umumnya, larva yang baru menetas mencerna sebagian atau seluruh kulit telurnya sehingga kebutuhan makan pertama kali dipenuhi dari tepung yang terdapat dalam kulit telurnya (Passoa 1999). Selanjutnya larva mulai makan daun yang cocok bagi kebutuhannya, terutama jenis dan ketersediaan bahan nutrisinya. Instar pertama dengan ciri-ciri yaitu kepala berwarna hitam dan tubuhnya berwarna kuning pucat. Serbuk putih (kapur) terdapat pada bagian punggungnya. Larva Attacus dan genera kerabatnya memiliki lilin putih berupa serbuk yang disekresikan oleh kutikula.
Kandungan utama dari lilin tersebut adalah 1-
triacontanol (Peigler 1989). Larva instar kedua berwarna kehijauan ditutupi tepung berwarna putih. Bagian kepala berwarna coklat gelap. Terdapat bercak berwarna sangat orange dipinggir metatoraks dari segmen kedelapan hingga segmen kesepuluh. Bercak warna orange ini berlanjut pada instar ketiga dan keempat. Sebelum ganti kulit berikutnya, tuberkel yang terdapat sepanjang punggungnya makin lama akan semakin tebal terselubungi oleh serbuk putih. Memasuki instar ketiga, tubuh berwarna hijau dan ditutupi tepung berwarna putih. Sejak instar ketiga hingga terakhir, larva memakan seluruh bagian daun dan tulang daun. Larva instar keempat dengan warna kepala putih kehijauan cerah. Bercak orange tubuh bagian belakang mulai memudar. Larva lebih rakus dan aktif. Larva instar kelima dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Tubuh bagian dorsal lebih putih sedangkan tubuh bagian ventral lebih kuning. Larva semakin rakus. Ciri morfologi larva instar kelima relatif sama dengan larva instar keenam.
48
Kaki di bagian dada biru kehijauan terang. Pada awal instar keenam, larva makan sangat rakus dan akan berkurang menjelang akhir instar (menuju periode pupa). Pada ngengat berukuran besar seperti A. atlas, larva disebut juga sebagai ”mesin pemakan” untuk meningkatkan berat badannya sampai beberapa ribu kali lipat (Tabel 11). Setiap kali ganti kulit terbentuk kutikula baru yang semula lunak sehingga dapat terentang seiring dengan pertumbuhan larva (Kalthoff 1996). Ketersediaan pakan sangat menentukan pertumbuhan larva. Konsumsi pakan selama periode ulat besar (instar III-VI) sangat tinggi (Tabel 9). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), konsumsi daun murbei selama periode ulat besar mencapai 90% dari total pakan yang dikonsumsi. Konsumsi pakan yang terbanyak di saat larva instar keenam (Tabel 9). Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup 40% dari total bobot tubuhnya dan simpanan energi yang dibutuhkan ketika memasuki fase pengokonan. Larva instar VI (Tabel 17) juga membutuhkan waktu paling panjang dibandingkan dengan instar lainnya. Keadaan tersebut disebabkan instar terakhir akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium larva. Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga membutuhkan waktu cukup lama karena: 1) terjadi pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu, 2) terjadi proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena dalam stadium pupa terjadi aktifitas istirahat (Chapman 1998). Pada periode larva dilakukan penyimpanan energi dalam bentuk lemak tubuh (Gullan & Cranston 2000). Lemak tubuh berfungsi dalam banyak aspek penyimpanan serta sintesis protein, lemak dan karbohidrat. Sel-sel dasar lemak tubuh adalah trofosit, atau adifosit, dan pada kebanyakan ordo sel-sel tersebut merupakan satu-satunya sel yang ada (Chapman 1998). Energi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh digunakan oleh ngengat untuk menyelesaikan stadia lain dalam daur hidupnya. Tanda-tanda larva akan mengokon dengan mengeluarkan feses yang lunak dan urin. Sebelum membuat serat-serat kokon, larva akan mengeluarkan sejenis
49
lendir serta tubuhnya berwarna hijau tua hingga hijau bersemu hitam. Gerakan larva relatif lamban.
Posisi istirahat larva dengan mengangkat bagian tubuh
depan, hanya tungkai bagian abdomen saja yang mencengkram ranting daun. Sedangkan menurut Passoa (1999), pada saat instar terakhir larva akan diam untuk mempersiapkan pupasi. Setelah larva berhenti makan, tubuhnya menjadi memendek yang selanjutnya diikuti dengan peristiwa ”mengokon”. Usus dikosongkan dari makanan (pengeluaran feces dan tidak makan/puasa), dan kadang terjadi perubahan warna. Seringkali sesudah bergerak mencari tempat yang nyaman (periode pengembaraan), ulat memintal kokon sutera dalam naungan warna coklat atau abu-abu pada tanaman yang menjadi makanannya. Serat yang dijalin beralur, menyilang dari pangkal ke ujung dan sebaliknya. Demikian seterusnya hingga seluruh tubuh tertutup serat sutera yang memakan waktu rata-rata 24-36 jam. Kokon berbentuk lonjong (ovoid) dan berwarna coklat. Periode larva terpanjang adalah pada larva dengan pakan daun sirsak (Tabel 15). Lama periode larva sirsak sesuai dengan hasil penelitian Awan (2007) yang menyatakan bahwa periode larva dengan pakan daun sirsak yaitu 39.55 hari dengan rataan ±4.38 hari. Lamanya periode ini disebabkan karena kandungan air pada daun sirsak lebih rendah dibandingkan dengan kandungan air pada daun kaliki dan daun jarak pagar. Rendahnya kadar air pakan akan menunda proses ganti kulit (molting) bagi larva (Ekastuti 2005). Sedangkan periode larva terpendek adalah pada larva dengan pakan daun kaliki (Tabel 15). Dalam usaha serikultur, semakin pendek daur hidup ulat sutera akan semakin baik. Hal ini dimaksudkan agar panen kokon menjadi lebih cepat. Stadium Pupa Periode pupa merupakan periode kedua terpanjang setelah periode larva (Tabel 16). Masa istirahat dan lamanya fase pupa menggambarkan sejumlah strategi evolusi.
Pola kemunculan yang demikian paling tidak memiliki dua
keuntungan evolusi: 1) sedikitnya hasil silang dalam (inbreeding) karena menurunnya kemungkinan perkawinan sibling, dan 2) tingkat populasi tidak akan turun banyak jika kondisi buruk (kekeringan atau topan) yang dapat membunuh sebagian besar larva dari satu generasi pada suatu wilayah (Peigler 1989).
50
Menurut Passoa (1989), pada saat stadium pupa terjadi beberapa proses pembentukan organ-organ baru seperti sayap, antena, mata, bagian-bagian mulut, tungkai-tungkai. Selama perkembangan tersebut, hanya sistem saraf saja yang tetap bertahan mulai dari stadium larva sampai dewasa. Beragam faktor seperti suhu, cahaya, curah hujan dan fotoperiodisme akan mempengaruhi terhadap kemunculan ngengat. Saat waktu yang tepat, maka serangga ini akan memulai daur hidupnya kembali. Sebelum ngengat keluar menjadi imago dewasa, ngengat berlindung terlebih dahulu dalam kokon sutera. Tahapan perlindungan imago di dalam pupa menimbulkan permasalahan lain yaitu diperlukan usaha imago keluar dari kokonnya. Pada B. mori dan ngengat sutera liar dinding kokon dilembutkan dan dilarutkan dengan cairan yang mengandung enzim proteolitik yang disekresikan dari mulut ngengat pada fase dewasa (Falakali & Turgay 1999). Sedangkan menurut Passoa (1999) saat imago berada di dalam kokon, imago memperbesar dirinya sendiri melalui penambahan tekanan udara dan darah agar supaya dapat merobek tempat pupa. Selanjutnya ngengat melepaskan enzim yang disebut dengan ”coconase” untuk merusak substansi yang ada pada kulit kokon dan filamen sutera. Enzim ini menghancurkan serisin yang mengikat filamen fibroin dari sutera. Begitu dinding kokon yang kuat mulai melemah, maka ngengat tersebut akan menambah tekanan dari dalam kokon agar dindingnya dapat robek (Passoa 1999). Pupa mempunyai kontribusi yang besar bagi daya tahan hidup mereka, sebab pembentukan tempat pupasi oleh larva sangat menentukan probabilitas daya tahan pupa (Veldtman et al. 2007). Menurut Danks (2004), kokon pada banyak spesies berperan penting dalam meningkatkan daya tahan bagi serangga selama musim dingin. Disamping itu, umumnya kokon sutera anti jamur dan anti bakteri. Pupa dapat menjadi imago beberapa minggu atau bulan setelah pupasi, atau setahun kemudian, atau bahkan lebih dari dua tahun kemudian (Peigler 1989). Fenomena ini menandakan bahwa terjadi diapause pada pupa A. atlas. Menurut Chapman (1998), morfogenesis mengalami penghentian selama diapause pada telur dan pupa, yang tercermin pada konsumsi oksigen yang berkurang. Indikator yang paling dipercaya dan konsisten dalam peristiwa diapause adalah musim,
51
yaitu panjang hari (fotoperiodisme) dan ini merupakan hal paling penting pada diapause yang mengawali stimuli. Intensitas cahaya selama fotoperiodisme tidak penting asalkan melampaui nilai ambang batas yang sangat rendah. Hal ini bervariasi pada spesies, tetapi umumnya sekitar 170 lux atau kurang. Demikian pula, suhu berperan dalam induksi diapause. Umumnya, pada daerah sedang, suhu tinggi menekan dan suhu rendah mempertinggi kecenderungan untuk memasuki diapause (Chapman 1998). Stadium Imago Imago keluar dari pangkal kokon, berwarna coklat kekuning-kuningan dengan gambaran berwarna coklat muda atau putih pada kedua pasang sayap. Rentang sayap A. atlas sangat besar (Tabel 20). Menurut Peigler (1989) ngengat A. atlas mempunyai rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya. Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar dari jantan (Gambar 18). Gigantisme imago menurut Peigler (1989), merupakan suatu strategi evolusi yang digunakan oleh Attacus dan genera kerabatnya. Jika ngengat diserang, di sini ada kemungkinan bahwa tubuh yang kecil akan terhindar dari bahaya karena dikelilingi oleh sayap yang lebar. Warna sayap dan pola sayap pada Attacus memberikan kesan suatu tatanan mekanisme pertahanan. Ketika ngengat diganggu, titik pada sayap menyerupai mata diekspos untuk mengejutkan atau menakuti predator (Passoa 1999).
♂
♀
Gambar 18 Imago A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi) Imago jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri antenanya, dimana antena jantan lebih besar daripada antena betina (Gambar 19). Antena berfungsi untuk mendeteksi feromon seks yang dikeluarkan oleh betina. Menurut
52
Rogerst et al. (1997) fungsi antena adalah untuk mengenali bau feromon seks dan tumbuhan.
♂
♀
Gambar 19 Antena A. atlas jantan dan betina (Foto: koleksi pribadi) Senyawa-senyawa dalam feromon seks B. mori yaitu bombikol dan bombikal, kedua senyawa tersebut dihasilkan oleh ngengat betina (Grater et al. 2006; Syed et al. 2006). Sedangkan Grater et al. (2006) mengatakan bahwa feromon merupakan sarana komunikasi seksual yang terdapat pada serangga. Pada kebanyakan Lepidoptera betina, kelenjar yang memproduksi feromon daya tarik seks jantan terletak di bawah membran intersegmen pada segmen abdomen posterior, biasanya antara segmen delapan dan sembilan. Seringkali terletak di bagian ventral, tetapi pada beberapa spesies di bagian dorsal dan yang lainnya muncul sebagai cincin yang mengelilingi tubuh (Chapman 1998). Hidrokarbon alifatik digunakan sebagai komponen feromon oleh banyak serangga. Feromon daya tarik seks pada banyak Lepidoptera betina adalah hidrokarbon rantai lurus, umumnya dengan panjang rantai 12, 14 dan 16 atom karbon. Kebanyakan feromon ngengat adalah asetat. Feromon hidrokarbon pada banyak Lepidoptera, disintesis dari asam lemak dalam beberapa tahapan (Chapman 1998). Menurut Sinhsina et al. (1995), imago jantan mampu merasakan bau feromon seks secara berulang. Dalam kondisi letih, reaksi penggerak akan berhenti selama 5 hingga 6 detik sesudah itu kembali mendapat stimulus. Sensitifitas bau feromon seks berlangsung dalam 2-5 menit. Komunikasi seksual melalui feromon ini menurut Grater et al. (2006) dikembangkan dari sistem olfaktori pada serangga. Sedangkan menurut Rogers et al. (2001), ngengat Antheraea polyphemus mendeteksi bau melalui ikatan molekul bau untuk protein reseptor yang diekspresikan dalam saraf reseptor olfaktori. Molekul bau dihantarkan ke reseptor bau oleh protein ikatan bau (OBPs = Odorant Binding Proteins). Saraf reseptor
53
dan OBPs terdapat dalam struktur kutikula seperti rambut yang disebut sensila. Sensila olfaktori ini tersusun di sepanjang antena, yang merupakan organ olfaktori pada serangga. Periode imago adalah periode terpendek dalam daur hidup ngengat A. atlas (Tabel 15). Selama periode ini, imago melakukan aktifitas kawin jika bertemu dengan pasangannya. Ngengat jantan dan betina yang melakukan kopulasi berumur 2-4 hari. Kopulasi antara ngengat jantan dan betina terjadi pada malam hari. Selama pemeliharaan diketahui kopulasi terjadi antara jam 22.00-01.30 WIB dan selesai pada jam 19.00-21.00 WIB malam berikutnya. Lama kopulasi berkisar dari 21 hingga 23 jam. Sedangkan menurut Passoa (1999), lama kawin ngengat sutera antara 10 hingga 24 jam. Seks rasio A. atlas sangat bervariasi, yaitu kadang-kadang banyak jantannya dan sedikit betina atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya perkawinan menjadi sulit. Setelah kopulasi, ngengat betina mulai bertelur, sedangkan jantan mencari betina yang lain jika masih fit. Ngengat betina biasanya mulai meletakkan telur tiga hari sesudah keluar dari kokon, walaupun tidak dibuahi. Telur yang dibuahi (fertil) membutuhkan waktu 6-10 hari untuk menetas (Tabel 19), sedangkan telur-telur yang tidak dibuahi (infertil) tidak akan menetas. Stadium Telur Dalam industri sutera, fekunditas dan kesuburan betina adalah dua faktor utama karena keduanya berkorelasi secara langsung dengan produksi sutera yaitu menentukan jumlah keturunan yang ada serta produksi sutera mentah yang lebih banyak apabila keberhasilan hidup saat mencapai kokon tinggi (Faruki 2005). Fekunditas (keperidian) ngengat A. atlas dalam pengamatan ini cukup tinggi (Tabel 18), hal ini sesuai dengan pernyataan Peigler (1989) yaitu bahwa ngengat A. atlas memiliki fekunditas tinggi. Rataan persentase penetasan telur cukup tinggi (Tabel 18). Beberapa induk mengalami penetasan telur yang rendah. Hal ini disebabkan telur serangga dari imago pada awal dan akhir periode bermutu kurang baik, sehingga persentase penetasan relatif rendah dan kondisi larva yang menetas lemah, akibatnya mortalitas larvanya cenderung tinggi (Chapman 1998).
54
Periode peletakan telur berlangsung kurang dari satu minggu (Tabel 19). Menurut Dash et al. (1993), kecepatan peletakan telur pada Antheraea mylitta memperlihatkan perbedaan yang tidak signifikan dengan penambahan lama kawin. Daun jarak pagar merupakan daun yang paling banyak dikonsumsi oleh larva A. atlas. Kandungan air dan protein pada daun jarak pagar sesuai dengan kebutuhan larva. Akan tetapi, banyaknya konsumsi pakan berupa daun jarak pagar pada larva A. atlas tidak berbanding lurus dengan kualitas kokon dan filamen sutera yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pakan alternatif yang diberikan pada larva A. atlas masih dalam proses habituasi. Untuk mendapatkan produksi sutera yang maksimum, diperlukan upaya domestikasi secara terusmenerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Daur hidup paling singkat pada larva A. atlas dengan pakan daun kaliki. Hal ini dikarenakan kandungan air pada daun kaliki ’tua’ lebih tinggi dibandingkan dengan daun kaliki ’muda’. Padahal larva instar ke-1 sampai ke-3 memerlukan daun muda dengan kandungan air yang lebih tinggi dan sebaliknya larva instar ke4 sampai ke-6 memerlukan daun tua dengan kandungan air lebih rendah. Kondisi ini menjadi penyebab ganti kulit (molting) pada larva terjadi lebih cepat. Kualitas Kokon A. atlas Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokonnya (lapisan serat suteranya) keras kalau ditekan dan sedikit berat (Samsijah & Andadari 1992). Kokon yang berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor pada bagian dalam, kokon kotor pada bagian luar, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis dan kokon tergencet (Atmosoedarjo et al. 2000). Panen kokon yang baik dilakukan pada hari ke-6 dan ke-7 dihitung sejak larva mulai mengokon. Hal ini dimaksudkan agar pupa telah terbentuk dengan sempurna yang dicirikan dengan perubahan badan menjadi coklat serta kulit menjadi keras (Atmosoedarjo et al. 2000).
55
Masa yang paling penting selama pengokonan untuk mendapatkan filamen kokon terbaik mencakup waktu mulai larva mengokon sampai akhir berputarputar (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama larva berputar-putar membuat kokon, aerasi dan penurunan kelembaban penting agar kualitas filamen kokon meningkat terutama daya pintalnya. Hasil kokon yang baik juga dapat diperoleh dengan menggunakan hormon juvenil. Hal ini telah dilakukan oleh Mamatha et al. (2006) yang menyatakan bahwa penggunaan hormon juvenil seperti methoprene dan fenoxycarb pada pemeliharaan ulat sutera selama musim panas akan membantu untuk memperbaiki hasil kokon. Kondisi kering berpengaruh selama pemintalan, pada akhirnya juga berpengaruh terhadap hasil kokon yang lebih baik. Selama pemeliharaan ulat berlangsung, suhu maksimum ruangan laboratorium berkisar antara 27-28 ºC dan suhu minimum antara 24-26 ºC. Kondisi ini cukup optimal untuk produktifitas maksimum dari kokon. Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon cukup tinggi (Tabel 22). Hal tersebut terjadi karena pada saat akan mengokon, ulat sutera akan berputarputar terlebih dahulu untuk mencari tempat mengokon yang baik kemudian menetap di tempat yang telah dipilihnya dan membuat lapisan kokon tipis-tipis untuk menyangga kokonnya (disebut floss) (Atmosoedarjo et al. 2000). Penurunan bobot tubuh selama proses mengokon dapat dikurangi apabila tempat untuk mengokon baik sebab ulat tidak banyak berputar-putar untuk mencari tempat yang cocok untuk mengokon. Tempat untuk mengokon sangat mempengaruhi kenyamanan disaat larva akan mengokon, beberapa faktor diantaranya adalah bentuk dan kekakuan daun. Daun tua pada daun sirsak memiliki struktur yang lebih kaku dibandingkan dengan daun kaliki dan jarak pagar. Kesesuaian tempat mengokon akan mengurangi pengembaraan larva sehingga energi tidak banyak terbuang. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa, sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja dari total keseluruhan bobot kokon segar A. atlas (Tabel 23).
56
Bobot Kokon Segar Bobot kokon segar yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 6.47±0.8 g. Jika dibandingkan dengan pakan daun kaliki dan jarak pagar, bobot kokon segar dari larva dengan pakan daun sirsak lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena larva yang mengkonsumsi daun sirsak lebih efektif dan efisien pada saat pembuatan floss dan lebih sedikit mengalami penurunan bobot selama proses mengokon. Larva dengan pakan daun sirsak mungkin lebih nyaman pada saat mengokon sehingga efektif dalam penggunaan energi tubuhnya. Nilai simpangan baku yang tinggi, mengindikasikan bobot kokon segar yang bervariasi. Menurut Katsumata (1964), bobot kokon yang kurang seragam akan menghasilkan panjang dan tebal benang yang berbeda dan akan menyulitkan proses pemintalan menjadi benang sutera. Dalam
laporan
Ullal
&
Narasimhanna
(1987)
dikatakan
bahwa
pemeliharaan larva B. mori pada suhu tinggi disertai fluktuasi suhu yang cepat menyebabkan kualitas kokon menjadi rendah. Disamping itu, pemeliharaan ulat sutera Antheraea mylita pada musim hujan menghasilkan kokon berkualitas rendah.
Hal tersebut sebagai akibat dari curah hujan yang tinggi telah
mengganggu pemintalan serat suteranya (Dash et al. 1992). Bobot Kulit Kokon Bobot kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 1.15±0.3 g. Kulit kokon merupakan lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin. Kulit kokon sangat menentukan jumlah serat sutera yang akan dihasilkan pada saat dipintal. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan, maka semakin banyak banyak pula benang yang diperoleh (Atmosoedarjo et al. 2000). Tempat mengokon sangat berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dikeluarkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon memudahkan ulat dan
57
memerlukan sedikit serat-serat sutera untuk menempelkan floss-nya pada daun, oleh sebab itu sisa serat sutera yang akan digunakan untuk membuat kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi. Persentase Kulit Kokon Persentase kulit kokon yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 22). Nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kulit kokon segar pada pakan yang sama hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 15.23±2.3 %. Nilai persentase kulit kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan persentase filamen dan merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan (Atmosoedarjo et al. 2000). Persentase kulit kokon tidak dipengaruhi oleh perbedaan pakan pada larva akan tetapi sangat dipengaruhi oleh jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara selama proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (2004), jenis ulat B. mori yang baik mempunyai rasio kulit kokon 22-25 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini lebih rendah (Tabel 22). Hal tersebut disebabkan karena pengaruh lingkungan tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban kurang sesuai untuk proses pengokonan. Klasifikasi mutu kokon berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 27 berikut ini. Tabel 27 Klasifikasi kokon A. atlas Kualitas kokon Sirsak - Jenis serangga Bobot kokon B Bobot kulit kokon C Persen kulit kokon C - Jenis pakan Bobot kokon C Bobot kulit kokon C Persen kulit kokon C
Kaliki
Jarak Pagar
C D D
C C D
D D D
D D D
Berdasarkan Tabel 27 di atas, maka diketahui bahwa mutu kokon berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan adalah ’C’ pada kokon yang larvanya diberi pakan daun sirsak dan ’D’ pada kokon yang larvanya diberi daun kaliki dan jarak pagar.
58
Kualitas Filamen A. atlas Filamen (serat sutera) terdiri dari fibroin dan serisin (Sangwatanaroj et al. 2007; Strobin 2006; Ghosh 2004; Atmosoedarjo et al. 2000). Filamen tersebut dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera yang terdiri dari bagian depan (spinneret) sebagai saluran pengeluaran kelenjar, bagian tengah menghasilkan serisin (C15H23N5O8) sebagai perekat dan bagian belakang menghasilkan fibroin (C15H26N5O6) sebagai sutera cair (Sunanto 1997; Samsijah & Andadari 1992). Pada saat di dalam kelenjar sutera, serisin dan fibroin masih dalam bentuk cair (fluid) tetapi setelah dikeluarkan akan mengeras karena bersinggungan dengan udara luar. Serat sutera (filamen) dari sebutir kokon dapat digulung dengan tangan (cara manual) atau menggunakan mesin penggulung (tradisional maupun modern) setelah diproses terlebih dahulu. Menurut Sangwatanaroj et al. (2007), sutera yang digulung dengan tangan memperlihatkan nilai rendah dalam hal
whiteness
(tingkatan warna putih), birefringence (ketegaran), crystallinity (kadar kristal) dan softening (kelembutannya) dibandingkan dengan filamen yang digulung menggunakan mesin penggulung. Namun demikian, sutera yang digulung dengan tangan menunjukkan denier (satuan kehalusan filamen benang sutera yang dinyatakan dalam gram per 9000 m) dan fiksasi celupan lebih tinggi. Sutera yang digulung dengan mesin hasilnya lebih putih dibandingkan dengan yang digulung memakai tangan walaupun pada sutera yang sama. Menurut Strobin et al. (2006), makromolekul pada fibroin dibangun dari asam amino utama yang terdiri dari asam amino glisin, alanin dan serin dengan perbandingan 3:2:1. Sedangkan Ghosh (2004) menyatakan bahwa fibroin tersusun atas polipeptida yang dibangun dari 4 asam amino: glisin (38-41%), alanin (3033%), serin (12-16%) dan tirosin (11-12%). Struktur molekul fibroin pada sutera memiliki sifat mekanis yang baik, permeabilitas yang baik terhadap oksigen dan air, serta biokompatibilitas yang tinggi. Gen fibroin tersusun atas susunan pengganti dari elemen kristalin dan nonkristalin. Elemen kristalin tersusun atas sekuen 18 basa yang terdiri dari pengulangan unit peptida gly-ala-gly-ala-gly-ser serta elemen nonkristalin terdiri dari sekuen 30bp (Zama 2000).
59
Serisin adalah sebuah protein makromolekul. Protein serisin terbentuk dari 18 asam amino yang mempunyai kelompok sisi polar yang kuat seperti kelompok hidroksil, karboksil dan amino. Protein ini dapat dihilangkan, dengan materi makromolekul lainnya, seperti polimer sintesis untuk menghasilkan material dengan properti yang lebih bagus (Sarovart 2003). Sebagian besar serisin harus dilepas selama produksi sutera kasar pada pabrik pemintalan dan tahap lain pada pemrosesan sutera (Sarovart 2003). Penghilangan serisin dari sutera fibroin dilakukan dengan suatu proses yang disebut degumming. Bobot sutera akan berkurang setelah degumming, hal ini disebabkan karena hilangnya serisin sutera. Umumnya, bobot sutera berkurang sekitar 20% selama degumming. Berdasarkan laporan Sangwatanaroj et al. (2007), filamen sutera berkurang 18.4-22.4% setelah degumming. Perbedaan berkurangnya bobot filamen atau serisin antar varietas sutera bervariasi tergantung pada kandungan serisin masing-masing filamen (perbedaan induk genetik, konsumsi makanan dan iklim). Meskipun metode penggulungan juga berpengaruh terhadap jumlah serisin pada tiap-tiap varietas ulat sutera, akan tetapi pengaruhnya hanya sedikit dibandingkan dengan pengaruh genetik, konsumsi makanan dan iklim. Pada penelitian ini, filamen sutera berkurang 21.84% (pakan daun sirsak), 41.12% (pakan daun kaliki) dan 31.90% (pakan daun jarak pagar). Panjang Filamen Panjang filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak cukup tinggi (Tabel 23). Nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan panjang filamen dengan pakan yang sama pada hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 78.73 meter. Panjang filamen kokon memiliki hubungan yang sangat erat dengan bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2000). Panjang filamen kokon dengan pupa jantan cenderung lebih tinggi daripada betina, karena ukuran tubuh larva jantan lebih kecil dari betina sehingga lubang keluar sutera (spinneret) juga kecil. Semakin panjang serat yang dihasilkan dari sebutir kokon maka semakin baik kualitas filamennya. Perbedaan jenis pakan disaat larva, berpengaruh nyata terhadap panjang filamen (Tabel 23).
60
Cara menggulung filamen berpengaruh terhadap besarnya denier. Dalam laporan Sangwatanaroj et al. (2007) diketahui bahwa filamen B. mori (pada varietas sutera yang sama) yang digulung dengan mesin (nilainya 2.2-2.4 denier) lebih kecil ukuran deniernya bila dibandingkan dengan yang digulung dengan tangan (nilainya 2.4-2.5 denier). Bobot Filamen Bobot filamen yang berasal dari larva yang mengkonsumsi daun sirsak sangat rendah (Tabel 24) jika dibandingkan dengan bobot filamen dengan pakan yang sama pada hasil pengamatan Awan (2007) yaitu 4.84±0.71 gram. Perbedaan jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot filamen (Tabel 24). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen proporsional dengan bobot kulit kokon, semakin besar bobot kulit kokon yang dihasilkan maka akan semakin besar pula bobot filamennya. Daya Urai Kokon (Reelability) Perbedaan jenis pakan yang diberikan di saat larva berpengaruh nyata terhadap daya urai kokon (Tabel 23). Filamen kokon yang berasal dari larva pakan daun kaliki mengalami lebih sedikit jumlah putus selama pemintalan dibandingkan dengan filamen kokon yang berasal dari larva pakan jarak pagar dan sirsak. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) suhu, kelembaban dan arus udara berpengaruh terhadap daya urai kokon. Dua faktor diantaranya yaitu
kelembaban dan arus udara mempunyai
pengaruh yang paling kuat terhadap daya urai kokon. Kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah menyebabkan serat sutera banyak terputus. Kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kokon menjadi keras, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kokon menjadi lunak dan dapat menyebabkan cacat pada benang suteranya. Klasifikasi mutu filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga dan jenis pakan ditunjukkan pada Tabel 28 berikut ini. Berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga mutu filamen adalah ’C’ (pakan daun sirsak), dan ’D’ (pakan daun kaliki dan jarak pagar). Sedangkan berdasarkan rata-rata populasi dari jenis pakan mutu filamen adalah ’D’ (pakan daun sirsak, kaliki dan jarak
61
pagar). Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah daun sirsak. Tabel 28 Klasifikasi filamen A. atlas Kualitas filamen Sirsak - Jenis serangga Bobot filamen B Panjang filamen C Daya urai kokon B - Jenis pakan Bobot filamen B Panjang filamen A Daya urai kokon C
Kaliki
Jarak Pagar
B D A
B D B
B C A
B C B
Menurut Gosh (2004), kokon sutera Tasar (salah satu sutera liar) tidak perlu dipanaskan atau dipanggang terlebih dahulu sebelum dilakukan reeling (pemintalan sutera). Hal ini disebabkan karena ngengat sutera liar hanya membuka dinding serisinnya tanpa menghancurkan filamen fibroin suteranya disaat ngengat keluar dari kokonnya. Filamen sutera terpanjang pada kokon yang berasal dari larva A. atlas yang diberi pakan daun sirsak (kontrol/pakan utama). Tingginya produksi sutera ini berkaitan dengan lamanya daur hidup larva. Semakin panjang daur hidup larva, maka akan semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh larva. Lamanya daur hidup juga disebabkan oleh faktor kandungan air dan protein pada pakan. Daun sirsak memiliki kandungan air paling rendah dibandingkan dengan daun kaliki dan jarak pagar. Hal ini dapat menyebabkan tertundanya peristiwa ganti kulit dan dengan demikian periode makan menjadi lebih lama. Namun demikian, larva yang diberi pakan daun jarak pagar menunjukkan kenyataan yang bertolak belakang. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan cairan sutera pada larva diantaranya kemampuan larva untuk mencerna pakan. Daya cerna pada larva yang diberi pakan daun jarak pagar masih rendah. Hal ini disebabkan karena larva masih dalam proses adaptasi dan habituasi terhadap pakan alternatif. Dibutuhkan waktu yang cukup lama agar larva mampu beradaptasi terhadap pakan baru melalui breeding secara berkelanjutan. Daun sirsak (tanaman inang utama) dan daun kaliki (tanaman inang) dapat dicerna oleh larva secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dibuktikan dengan bobot larva akhir instar VI yang sama besarnya diantara ketiga perlakuan pakan.
62
Meskipun besarnya pakan yang dikonsumsi amat berbeda nyata diantara ketiga perlakuan. Sebagai pakan alami, kedua daun tersebut sudah terbiasa Kemampuan larva A. atlas untuk mengkonsumsi daun jarak pagar sebagai tanaman alternatif telah membuktikan sifat polifag pada larva. Sedangkan besarnya jumlah pakan yang dikonsumsi disebabkan karena kandungan air yang baik pada daun. Larva A. atlas sangat menyukai pakan dengan kadar air yang tinggi. Hal ini membuka peluang untuk melakukan budidaya ulat sutera berdampingan dengan program pemerintah mengenai biodiesel. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, sedangkan bijinya digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Bobot filamen yang tinggi tidak berbanding lurus dengan panjang filamennya. Hal ini disebabkan karena panjang filamen berkaitan juga dengan kehalusan dari filamen tersebut. Jika suatu filamen dengan bobot yang rendah menghasilkan panjang filamen yang tinggi saat dipintal, maka filamen yang dihasilkan sangat halus. Pada dasarnya, antara sutera B. mori dengan sutera A. atlas memiliki perbedaan karakteristik daya urai. Filamen sutera A. atlas didapati terputus-putus meskipun dilakukan pencegahan kemunculan imago dari kokon. Hal ini disebabkan karena kokon A. atlas berlubang. Sedangkan pada sutera B. mori, untuk mendapatkan serat filamen yang tidak terputus maka dilakukan upaya untuk mencegah kemunculan imago dari kokon dengan cara mematikan kokon melalui pemanasan. Penyeratan atau penguraian filamen dari sebuah kokon dapat dilakukan menggunakan alat pemintal modern, alat pemintal sederhana (hand spun) dan secara manual. Dalam penelitian ini, penyeratan dilakukan secara manual. Alat pintal yang umum digunakan oleh para petani sutera di Indonesia adalah hand spun. Di Indonesia, saat ini belum memiliki alat pemintal modern. Dengan mesin gulung modern, panjang filamen dari sebuah kokon dapat diurai mencapai 2500 m (dengan ketebalan tipis). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Awan (2007), jika dipintal menggunakan hand spun panjang filamen sebuah kokon A. atlas mencapai 83.61 m (pada F3 dengan pakan daun teh) dan 78.73 m (pada F3 dengan pakan daun sirsak). Dalam penelitian ini, penyeratan
63
dilakukan secara manual (tanpa alat pemintal). Hasilnya adalah 146.84 m (pakan daun sirsak), 33.96 m (pakan daun kaliki) dan 34.53 m (pakan daun jarak pagar). Suhu dan Kelembaban Ruangan Suhu ruangan selama pemeliharaan berkisar antara 24-28ºC dengan kelembaban 46-78%. Pada ulat sutera B. mori, suhu untuk pemeliharaan ulat kecil antara 25-28ºC dengan kelembaban 80-90%, sedangkan ulat besar membutuhkan suhu 23-24ºC dengan kelembaban 65-75% (Atmosoedarjo et al. 2000). Jika suhu lebih dari 30ºC menyebabkan pakan cepat layu dan tidak disukai oleh larva. Sebaliknya jika suhu lebih rendah dari 20ºC kelembaban menjadi tinggi dan dapat menimbulkan patogen penyakit meskipun pakan menjadi segar. Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh iklim di lokasi pemeliharaan diantaranya yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran udara dan
cahaya. Keadaan cuaca di luar ruang pemeliharaan juga sangat
berpengaruh tidak saja pada iklim mikro, akan tetapi juga kepada nilai gizi dari daun. Kondisi suhu yang terlalu rendah ( <20 ºC ), memerlukan pemanasan ruang pemeliharaan. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi sering melampaui batas ketahanan ulat, sehingga perlu adanya pendingin ruangan pemeliharaan. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada larva. Larva yang stres tidak mau makan. Energi menjadi banyak keluar dan kecepatan respirasi akan bertambah disertai meningkatnya kontraksi pembuluh darah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisme meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Selain suhu dan kelembaban nisbi, kecocokan iklim mikro di tempat pemeliharaan ulat sutera juga ditetapkan oleh kesegaran udara dan tingkat pergantian udara. Bila ventilasi baik, maka kisaran suhu dan kelembaban nisbi yang dapat ditahan menjadi lebih luas. Meskipun udara panas dan lembab, namun bila ventilasi tempat pemeliharaan baik maka kepadatan/kesesakan dapat dikurangi dan evaporasi dari tubuh ulat sutera dapat ditingkatkan sehingga ulat mendapat kesejukan. Bila cuaca dingin dan lembab, maka dengan pemanasan dan ventilasi yang baik kenaikan suhu dan penurunan kelembaban dapat tercapai sekaligus.
64
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa pada ulat sutera B. mori, instar I dapat dikatakan sebagai tingkat pengumpulan air. Sedangkan instar II sampai IV sebagai tingkat penahanan air dan instar V sebagai tingkat pelepasan. Oleh karena itu, pemeliharaan larva A. atlas pada instar I dilakukan pada lingkungan lembab dan diberi pakan daun dengan kandungan air tinggi. Sebaliknya, pemeliharaan pada instar VI dilakukan pada lingkungan relatif lebih kering dengan ventilasi baik. Ulat sutera adalah binatang berdarah dingin, maka secara alami suhu tubuhnya terpengaruh oleh suhu tempat pemeliharaannya. Kelembaban nisbi dan aliran udara lingkungan juga mempengaruhi suhu tubuhnya. Bila tidak ada aliran udara di atas tempat pemeliharaannya, suhu tubuh ulat akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan atau kelembaban nisbi. Budidaya dalam ruangan Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas. Akan tetapi, pemeliharaan di dalam ruangan tidak sepenuhnya bebas dari serangan parasit atau patogen sutera liar. Hal tersebut telah dialami oleh Situmorang (1996) pada saat memelihara larva A. atlas di dalam laboratorium dan menemukan bahwa daun keben sebagai pakan (B. asiatica) terkontaminasi oleh patogen-patogen yang mungkin berupa virus, bakteri dan protozoa sehingga dapat mengakibatkan kematian larva. Untuk menghindari kejadian tersebut maka setiap daun harus dicuci bersih dengan desinfektan agar pemeliharaan di laboratorium terhindar dari patogen-patogen tersebut. Ulat sutera dapat hidup normal pada suhu 20-30ºC bahkan dapat bertahan pada suhu 33-35ºC asalkan tidak berlangsung lama (Atmosoedarjo et al. 2000). Suhu dan kelembaban dalam ruangan selama pemeliharaan larva A. atlas adalah 24-28ºC dan 46-78%. Kondisi tersebut sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. 2. Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. 3. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah ’C’ pada ketiga jenis pakan. 4. Pakan larva berupa: - Daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen. - Daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat. - Daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva. 5. Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Saran 1. Domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. 3. Perlunya ruangan yang terpisah untuk pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad I, Ar-Rasyid MH, Salim S, Hosen MJ, Elora B. 2006. Effect of feeding on the larval growth and development of silkworm, Bombyx mori L. Race: Nistari (M). Int J Sustain Agril Tech 2(2):66-68. Akai H. 1997. Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Makalah dalam Seminar Proyek Pengembangan Ulat Sutera Liar Indonesia dan Prospek Kerjasama Propinsi DIY-Kyoto. Pusat Studi Jepang, UGM. Yogyakarta. Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Awan A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Beck SD. 1980. Insect Photoperiodism. 2nd Ed. New York: Academic Press. Chapman RF. 1998. The Insects Structure and Function. 4th edition. United Kingdom: Cambridge Universities Press. Chen Y (a). 2003. Variable tolerance of the silkworm Bombyx mori to atmospheric fluoride pollution. Fluoride. 36(3):157-162. Chen Y (b). 2003. Differences in fluoride effects on fecundity among variety of the silkworm Bombyx mori. Fluoride. 36(3):163-169. Common IFB. 1990. Moth of Australia. Australia: Melbourne University Press Dammerman KW. 1929. The Agricultural Zoology of The Malay Archipelago. Amsterdam: JH de Bussy Ltd. Danks HV. 2004. The roles of insect cocoons in cold conditions. Eur J Entomol. 101:433-437. Dash AK, Mishra CSK, Nayak BK, Dash MC. 1993. Effect of mating duration on oviposition rate and hatchability of the Indian Tasar Silk Moth Antheraea mylitta (Saturniidae) in different seasons. Journal of Research on the Lepidoptera. 32:75-78. Dash AK, Nayak BK, Dash MC. 1992. The effect of different foodplants on cocoon crop performance in the Indian tasar silkworm Antheraea mylita Drury (Lepidoptera: Saturniidae). Journal of Research on the Lepidoptera. 31(1-2):127-131.
67
Ekastuti DR. 2005. Pengaruh kadar air pakan terhadap pertumbuhan dan produktifitas ulat sutera (Bombyx mori). Jurnal Medis Veteriner Indonesia. 9(2):47-53. Ekastuti DR. 1999. Pengaruh kadar air pakan terhadap katabolisme nutrien, pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) [disertasi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Faruki SI. 2005. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry silkworm, Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2:28-31. Falakali B, Turgay G. 1999. Some morphological fatures of the rectal sac of the silkworm (Bombyx mori, Bombycidae). Tr J of Zoology. 23:427-432. Ghosh P. 2004. Fibre Science and Technology. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Grater F, Xu W, Leal W, Grubmuller H. 2006. Pheromone discrimination by the pheromon-binding protein of Bombyx mori. Structure. 14:1577-1586. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects an Outline of Entomology. Second Edition. London: Blackwell Science Ltd. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Jilid II. Jakarta:Yayasan Sarana Wana Jaya. Holloway JD. 1987. The moth of Borneo: superfamily Bombycoidea: families Lasiocampidae, Eupterotidae, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae. Southdene Sdn. Bhd. Malaysia: Kuala Lumpur . Hui-peng Y, WU Xiao-feng, Gokulamma K. 2006. Antiviral activity in the mulberry silkworm, Bombyx mori L. Journal of Zhejiang University Science A, 7(suppl.II):350-356. Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru – Van Hoeve. Kalthoff K. 1996. Analysis of Biological Development. New York: Mc Graw Hill Inc. Kaomini M, Andadari L. 2004. Penanganan Kokon. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Katsumata F. 1964. Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo Mamatha DM, Cohly, Raju AHH, Rao MR. 2006. Studies on the quantitative and qualitative characters of cocoons and silk from methoprene and fenoxycarb
68
treated Bombyx mori (L) larvae: African Journal of Biotechnology. 5(15):1422-1426. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan. Dengan Aplikasi SAS Dan MINITAB. Jilid 1. Bogor: IPB Press. Miranda JE, Bortoli SA, Takahashi. 2002. Development and silk production by silkworm larvae after tropical application of methoprene. Scientia Agricola, 59(3):585-588. Nair KS, Yun-Gen M, Komar SN. 2005. Differential response of silkworm, Bombyx mori L. to phytoecdysteroid depending on the time of administration. J Appl Sci Environ. 9(3):81-86. Nazar A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada tanaman cengkeh. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 16(1): 35-37. Nuralamsyah A. 2000. Biodiesel Jarak Pagar. Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka. Ojha NG, Sinha SS, Singh MK, Sharan SK. 1974. Rearing and cocooning of tropical tasar silkworm, Antheraea mylitta, in indoor condition. Int of Wild Silkmoth & Silk. 1(2): 257-260. Passoa VA. 1999. Magnificent wild silk moths. Carolina Biological Supply Company. 62(4):15-18. Partaya, Bintari SH, Priyono B. 2003. Pertumbuhan dan kualitas kokon ulat sutera atakas Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) pada beberapa jenis pakan alami dan buatan [tesis]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Peigler RS. 1989. A Revision of The Indo-Australian Genus Attacus. California: The Lepidoptera Research Fondation, Inc. Prihandono R, Hendroko R. 2006. Petunjuk Budidaya Jarak Pagar. Tangerang: PT Agromedia Pustaka. Rachman A. 2001. Pengaruh fotoperioda pada perioda pupa Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae)[tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Shekaraiah C. 2006. Evaluation of genetic potential of the polyvoltine silkworm (Bombyx mori L.) germplasm and identification of parents for breeding programme. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 7(3):213-220.
69
Rogers ME, Krieger J, Vogt RG. 2001. Antennal SNMPs (Sensory Neuron Membrane Protein s) of Lepidoptera define a unique family of invertebrate CD36-like proteins. National Science Foundation. 47-62. Rogerst ME, Sun M, Lerner MR, Vogt RG. 1997. Snmp-1, a novel membrane protein of olfactory neurons of the silkmoth Antheraea polyphemus with homology to the CD 36 family of membrane proteins. The Journal of Biological Chemistry. 272(23):14792-14799. Samsijah, Andadari L. 1992. Teknik Pengolahan Kokon dan Benang Sutera. Informasi Teknis No. 27. Bogor: Pusat Penelitian Pengembangan Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS. 1978. Pembibitan ulat sutera [Laporan Penelitian]. Bogor: lembaga Penelitian Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS. 1976. Pengaruh pemberian makan ulat kecil dan ulat besar dengan daun yang berbeda jenisnya terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon [Laporan Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. Samsijah, Kusumaputra AS. 1975. Pengaruh penggunaan pupuk tunggal dan majemuk terhadap produksi daun murbei dan efeknya untuk pemeliharaan ulat sutera [Laporan Penelitian). Bogor: Lembaga Penelitian Hutan Sangwatanaroj U, Puicharoen P, Kiatkamjornwong S. 2007. Properties of industrial Thai silks reeled by hand and by machine. The Journal of the Royal Institute of Thailand. 32(1):134-148. Sarovart S, Sudatis B, Meesilpa P, Grady BP, Magaraphan R. 2003. The use of sericin as an antioxidant and antimicrobial for polluted air treatment Rev adv Mater Sci. 5:193-198. Sinhsina EE, Shumilova EV. 1995. Peculiarities of olfactory analyzer response in Bombyx mori (L) under repeated action of sex pheromone odor. Pheromones. 5(3-4):119-130. Situmorang J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas L. using Baringtonia leaves as plant fooder. Int J of Wild Silkworm and Silk. 2: 55-57. Soenardi. 2000. Budidaya Tanaman Jarak. Tanaman Serat, Malang.
Balai Penelitian Tembakau dan
Strobin G, et al. 2006. Biomaterials containing chitosan and fibroin. Polish Chitin Society. Monograph XI. Sunanto H. 1997. Budi Daya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Yogyakarta: Kanisius
70
Suriawiria U. 1966. Pengantar dalam Memelihara Ulat Sutera. Ed ke-1. Badan Pembina Bahan Baku Pertekstilan, Jawa Barat. Syed Z, Ishida Y, Taylor K, Kimbrell DA, Leal WS. 2006. Pheromone reception fruit flies expressing a moth odorant receptor. The National Academy of Sciences of the USA. 103(44):16538-16543. Tazima, Y. 1964. The Genetics of The Silkworm. Japan: Logos Press Academic Press. Tazima Y. 1978. The Silkworm:An Important Laboratory Tool. Tokyo: Kodansha Ltd. Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insect. Seventh Edition. USA: Tomson Brooks/Cole. Ullal SR, Narasimhanna MN. 1987. Handbook of Practical Sericulture. 3rd Ed. Bangalore: Central Silk Board. Veda K, I Nagai, M Horikomi. 1997. Silkworm Rearing. Translated From Japanese. New Hampshire: Science Publisher Inc. Veldtman R, McGeoch MA, Scholtz CH. 2007. Fine scale abundance and distribution of wild silkmoth pupae. Bulletin of Entomological Research. 97:15-27. Wageansyah DR. 2007. Pengaruh pemberian berbagai jenis daun murbei (Morus spp.) terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon di Pusat Serikultur Sukamantri Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Wangsadimiarta, Wibowo A. 1963. Pedoman Pemeliharaan Ulat Sutera – Pengolahan Hasil Sutera. Bandung: Arena Tekstil. Weiss EA. 1971. Castor, Sesame and Safflower. London: Lionard Hill. Wuliandari JR. 2000. Pengaruh pakan dan tempat pemeliharaan di dalam dan di luar ruangan terhadap masa perkembangan dan pertumbuhan larva Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae) [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Yuanita. 2007. Daya tahan hidup larva dalam alat pengokonan, kualitas kokon dan filamen ulat sutera (Bombyx mori L.) pada alat pengokonan yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Zama M. 2000. Discontinuous translation and mRNA structure of the coding region. Nucleic Acid Symposium Series. 44:91-92
71
Zebua TU, Situmorang J, Jati WN. 1997. Daur hidup (Attacus atlas L.) dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina lithosperma Miq.) di Laboratorium. Biota. II(2):67-72.
LAMPIRAN
72
Lampiran 1 Peta penyebaran A. atlas (Peigler 1989)
Lampiran 2 Tanaman inang larva A. atlas No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jenis Ailanthus altissima Aleurites montana Alstonia scholaris Annona muricata A. squamosa Ardisia sp. Artemisia vulgaris Averrhoa carambola Berberia vulgaris B. asiatica B. thunbergii Betula platyphylla Bischofia javonica Bradleia ovata
No. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Jenis D. indica Erythrina spp. E. subumbrana Euphorbia longana Ficus variegate Fraximus spp. Glochidion velutinum Hibiscus spp. Ilex sinensis Ipomoea batatas Kalmia latifolia Lagerstroemia indica Lannea grandis Lantana camara
No. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74.
15.
Camellia sinensis
45.
Leucosceptrum canum
75.
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Canangium odoratum Canarium indicum Carpinus betulus Ceiba pentandra Cinchona succirubra Cinnamomum camphora
46. 47. 48. 49. 50. 51.
Ligustrum spp. Litchi sinensis Lonicera javonica Malus spp. Mangifera indica Melastoma malabatricum
76. 77. 78. 79. 80. 81.
22.
C. iners
52.
Meyna grisea
82.
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
C. zeylanicum Clerodendron serratum C. viscesum Clidemia hirta Coffea arabica Cupuliferae Curcuma viridiflora Dillenia pentagyna
53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
Milnea roxburghiana Morus spp. Naucle rotundifolia Nephelium lappaceum Nerium oleander Nicolaia speciosa Parkia intermedia Persea Americana
83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
Jenis P. pyriformis Piper sp. Phylianthus emblica Populus spp. Prunus spp. Quercus spp. Quisqualis indica Rhododendron spp. Ricinus communis Rosa spp. Salix spp. Sandoricum koetjape Sapium insigne S. sebiferum Sarcostemma brunonianum Sassafras albidum Schefflera octophylla S. oleosa Seisbania grandifolia Setaria viridis Spathodea campanlata Stachytarpheta cayennensis Swietenia mahagoni Symplocos paniculata Syringa vulgaris Syzygium aquaeum S. malaccense Teucrium macrostachyum Theobroma cacao Uncaria gambir
73
Lampiran 3 Hasil analisa proksimat
74
Lampiran 4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Perlakuan Muda Tua Muda Tua A1 0.20 0.020 A2 0.31 0.031 A3 0.83 0.083 Lampiran 5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Perlakuan Muda Tua Muda Tua A1 0.83 0.083 A2 0.33 0.033 A3 1.49 0.149 Lampiran 6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) Bobot air yang hilang (g) Faktor kadar air (%) Perlakuan Muda Tua Muda Tua A1 1.12 0.112 A2 3.34 0.334 A3 3.24 0.324 Keterangan: Faktor koreksi adalah banyaknya bobot air yang hilang untuk setiap gram. A1 = daun sirsak, A2 = daun kaliki, A3 = daun jarak pagar.
75
Lampiran 7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas Larva instar 1 (X1) One-way ANOVA: X1 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 0.04356
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 0.09036 0.01139 0.10175
MS 0.04518 0.00190
R-Sq = 88.81%
Mean 0.38967 0.19533 0.16267
StDev 0.05164 0.04562 0.03075
NYATA
F 23.81
P 0.001
R-Sq(adj) = 85.08%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(-----*-----) (------*-----) (-----*-----) +---------+---------+---------+--------0.10 0.20 0.30 0.40
Pooled StDev = 0.04356
DUNCAN 1 2 3
A B B
Residual Plots for X1 Residual Plots for X1 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.050 Residual
Percent
90 50 10 1 -0.10
0.000 -0.025 -0.050
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
0.2
Histogram of the Residuals
0.050
3
0.025
2 1 0
0.3 Fitted Value
0.4
Residuals Versus the Order of the Data
4
Residual
Frequency
0.025
0.000 -0.025 -0.050
-0.06 -0.04 -0.02 0.00 0.02 Residual
0.04
0.06
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
76
Larva instar 2 (X2)
NYATA
One-way ANOVA: X2 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 0.1071
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 0.5566 0.0688 0.6254
MS 0.2783 0.0115
R-Sq = 89.00%
Mean 0.8040 0.3550 0.2230
StDev 0.1467 0.0941 0.0637
F 24.26
P 0.001
R-Sq(adj) = 85.33%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) -------+---------+---------+---------+-0.25 0.50 0.75 1.00
Pooled StDev = 0.1071
DUNCAN 1 2 3
A B B
Residual Plots for X2 Residual Plots for X2 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 0.1 Residual
Percent
90 50 10 1
0.0 -0.1
-0.2
-0.1
0.0 Residual
0.1
0.2
0.2
Histogram of the Residuals
0.4
0.6 Fitted Value
0.8
Residuals Versus the Order of the Data
3
Residual
Frequency
0.1 2 1
0.0 -0.1
0
-0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 Residual
0.10
0.15
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
77
Larva instar 3 (X3)
NYATA
One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 0.5925
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 6.682 2.107 8.789
MS 3.341 0.351
R-Sq = 76.03%
Mean 2.4867 0.9523 2.9747
F 9.52
P 0.014
R-Sq(adj) = 68.04%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (--------*-------) (--------*-------) (--------*-------) ---------+---------+---------+---------+ 1.0 2.0 3.0 4.0
StDev 0.3011 0.5076 0.8396
Pooled StDev = 0.5925
DUNCAN 3 1 2
A A B
Residual Plots for X3 Residual Plots for X3 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 0.5 Residual
Percent
90 50 10 1
-0.5
0.0 Residual
0.5
1.0
1.0
Histogram of the Residuals
1.5
2.0 Fitted Value
2.5
3.0
Residuals Versus the Order of the Data 0.5
3
Residual
Frequency
-0.5 -1.0
-1.0
4
2 1 0
0.0
0.0 -0.5 -1.0
-1.00 -0.75 -0.50 -0.25 0.00 Residual
0.25
0.50
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
78
Larva instar 4 (X4)
NYATA
One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 0.9570
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 93.869 5.495 99.364
MS 46.935 0.916
R-Sq = 94.47%
Mean 10.036 2.877 9.371
StDev 1.098 0.246 1.217
F 51.25
P 0.000
R-Sq(adj) = 92.63%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(----*-----) (-----*----) (----*-----) ----+---------+---------+---------+----2.5 5.0 7.5 10.0
Pooled StDev = 0.957 DUNCAN 1 3 2
A A B
Residual Plots for X4 Residual Plots for X4 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
1.0 Residual
Percent
90 50 10 1
0.0 -0.5 -1.0
-2
-1
0 Residual
1
2
2
Histogram of the Residuals
4
6 Fitted Value
8
10
Residuals Versus the Order of the Data
3
1.0
2
Residual
Frequency
0.5
1
0.5 0.0 -0.5 -1.0
0
-1.5
-1.0
-0.5 0.0 Residual
0.5
1.0
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
79
Larva instar 5 (X5) NYATA One-way ANOVA: X5 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 6.087
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 899.4 222.3 1121.8
MS 449.7 37.1
R-Sq = 80.18%
Mean 8.351 4.855 27.592
F 12.14
P 0.008
R-Sq(adj) = 73.57%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(-------*--------) (--------*-------) (--------*-------) ----+---------+---------+---------+----0 10 20 30
StDev 1.753 2.650 10.054
Pooled StDev = 6.087
DUNCAN 3 1 2
A B B
Residual Plots for X5 Residual Plots for X5 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
5 Residual
Percent
90 50 10 1
-5 -10
-10
-5
0 Residual
5
10
5
Histogram of the Residuals
10
15 20 Fitted Value
25
Residuals Versus the Order of the Data
3
5
2
Residual
Frequency
0
1
0 -5 -10
0
-12.5 -10.0 -7.5
-5.0
-2.5
Residual
0.0
2.5
5.0
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
80
Larva instar 6 (X6)
NYATA
One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 10.73
Level 1 2 3
N 3 3 3
SS 9190 690 9881
MS 4595 115
F 39.95
R-Sq = 93.02%
Mean 61.10 38.59 114.77
StDev 10.29 9.66 12.08
P 0.000
R-Sq(adj) = 90.69%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(----*----) (----*----) (----*----) --+---------+---------+---------+------30 60 90 120
Pooled StDev = 10.73
DUNCAN 3 1 2
A B C
Residual Plots for X6 Residual Plots for X6 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 10 Residual
Percent
90 50
0
10 1
-10 -20
-10
0 Residual
10
20
40
Histogram of the Residuals
60
80 Fitted Value
100
120
Residuals Versus the Order of the Data 10
1.5
Residual
Frequency
2.0
1.0
0
0.5 0.0
-10 -10
-5
0 5 Residual
10
15
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
81
Konsumsi pakan seluruh instar
NYATA
One-way ANOVA: konsumsi total versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 6 8
S = 8.142
Level 1 2 3
SS 17929.1 397.8 18326.9
MS 8964.6 66.3
R-Sq = 97.83%
N 3 3 3
Mean 83.17 47.82 155.09
StDev 7.98 11.61 0.68
F 135.23
P 0.000
R-Sq(adj) = 97.11%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(---*--) (---*--) (--*---) +---------+---------+---------+--------35 70 105 140
Pooled StDev = 8.14
DUNCAN 3 1 2
A B C
Residual Plots for konsumsi total Residual Plots for konsumsi total Residuals Versus the Fitted Values 10
90
5 Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1
-20
-10
0 Residual
10
20
50
Histogram of the Residuals
75
100 125 Fitted Value
150
Residuals Versus the Order of the Data 10 5
3
Residual
Frequency
-5 -10
4
2 1 0
0
0 -5 -10
-15
-10
-5 0 Residual
5
10
1
2
3
4 5 6 7 Observation Order
8
9
82
Lampiran 8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ULAT kecil The GLM Procedure Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
10
22.83181259
2.28318126
6.13
0.0007
Error
16
5.95865859
0.37241616
Corrected Total
26
28.79047119
R-Square
Coeff Var
Root MSE
konsumsi Mean
0.793034
64.28793
0.610259
0.949259
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
daun
8
3.55727785
0.44465973
1.19
0.3614
blok
2
19.27453474
9.63726737
25.88
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
daun
8
3.55727785
0.44465973
1.19
0.3614
blok
2
19.27453474
9.63726737
25.88
<.0001
83
Lampiran 9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ULAT Besar The GLM Procedure Dependent Variable: konsumsi konsumsi pakan Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
10
28410.42263
2841.04226
8.80
<.0001
Error
16
5167.96990
322.99812
Corrected Total
26
33578.39253
R-Square
Coeff Var
Root MSE
konsumsi Mean
0.846092
58.28021
17.97215
30.83748
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
daun
8
5933.79585
741.72448
2.30
0.0747
blok
2
22476.62678
11238.31339
34.79
<.0001
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
daun
8
5933.79585
741.72448
2.30
0.0747
blok
2
22476.62678
11238.31339
34.79
<.0001
84
Lampiran 10 Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar Sirsak Kaliki Instar Kisaran
I - Awal - Akhir II - Awal - Akhir III - Awal - Akhir IV - Awal - Akhir V - Awal - Akhir VI - Awal - Akhir
Rataan
Kisaran Rataan ---------- gram ----------
Jarak Pagar Kisaran
Rataan
0.0027-0.0034 0.0616-0.0966
0.0032±0.0002 0.0743±0.0118
0.0028-0.0034 0.0404-0.0699
0.0032±0.0002 0.0507±0.0092
0.0027-0.0034 0.0542-0.0775
0.0032±0.0002 0.0627±0.1219
0.0646-0.0982 0.2187-0.5429
0.0770±0.0118 0.3517±0.1105
0.0432-0.0754 0.1609-0.1897
0.0529±0.0092 0.1729±0.0195
0.0574-0.6104 0.2501-0.2852
0.0934±0.1219 0.2627±0.0199
0.2617-0.5921 1.0199-2.6428
0.3829±0.1105 1.5432±0.4856
0.1725-0.2414 1.4893-1.8214
0.1970±0.0195 1.6657±0.0871
0.2689-0.3422 0.889-1.715
0.2940±0.0199 1.1653±0.2515
1.0271-2.6523 3.1921-5.1489
1.5630±0.4856 3.8343±0.7095
1.4973-1.8506 4.0223-6.4664
1.6875±0.0871 5.1801±0.7269
0.8918-1.7325 4.023-5.548
1.2251±0.2515 4.6795±0.4489
3.5109-5.6172 6.0183-8.1425
4.2954±0.7095 6.7688±0.8508
4.6975-6.8765 6.1764-8.7437
5.6081±0.7269 7.2974±0.6529
4.7692-6.0453 6.4393-8.8201
5.3677±0.4489 7.4565±0.6053
6.5869-8.9463 17.462-23.765
7.5001±0.8509 19.541±1.943
7.0387-9.1876 16.343-24.659
7.9094±0.6529 20.437±2.560
7.1864-9.321 19.322-25.613
8.2213±0.6053 20.742±1.823
Lampiran 11 Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan Sirsak X Larva baru ditetaskan Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Instar 6
Kaliki Y
X
Y
Jarak Pagar X Y
0.00316
-
0.00316
-
0.00316
-
0.07428 0.35168 1.5432 3.8343 6.7688 19.541
24 x 111 x 488 x 1213 x 2142 x 6184 x
0.05066 0.17292 1.6657 5.1801 7.2974 20.437
16 x 55 x 527 x 1642 x 2313 x 6477 x
0.06274 0.26266 1.1653 4.6795 7.4565 20.742
20 x 83 x 369 x 1481 x 2360 x 6564 x
Ket.: X = Bobot terberat sebelum ganti kulit pada setiap instar; Y = Penambahan bobot
85
Lampiran 12 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas
NYATA
Instar 1 One-way ANOVA: instar 1 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.009530
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.0055800 0.0051771 0.0107571
MS 0.0027900 0.0000908
R-Sq = 51.87%
Mean 0.071125 0.047505 0.059585
StDev 0.012020 0.009006 0.006848
F 30.72
P 0.000
R-Sq(adj) = 50.18% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(---*---) (----*---) (----*---) -------+---------+---------+---------+-0.050 0.060 0.070 0.080
Pooled StDev = 0.009530 DUNCAN 1 3 2
A B C
Residual Plots for instar 1 Residual Plots for instar 1 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.02
90
Residual
Percent
99
50 10
-0.030
-0.015
0.000 Residual
0.015
0.030
0.050
Histogram of the Residuals
0.055 0.060 0.065 Fitted Value
0.070
Residuals Versus the Order of the Data
16
0.02
12 Residual
Frequency
0.00 -0.01
1 0.1
0.01
8
0.01 0.00
4 -0.01 0
-0.008
0.000 0.008 Residual
0.016
0.024
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
86
Instar 2
NYATA
One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.08964
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.24952 0.45802 0.70754
MS 0.12476 0.00804
R-Sq = 35.27%
Mean 0.27461 0.12000 0.16925
StDev 0.09434 0.00319 0.12328
F 15.53
P 0.000
R-Sq(adj) = 32.99%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(------*-----) (------*------) (-----*------) -------+---------+---------+---------+-0.120 0.180 0.240 0.300
Pooled StDev = 0.08964
DUNCAN 1 3 2
A B B
Residual Plots for instar 2 Residual Plots for instar 2 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 0.2
99.9
0.0
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-0.6
-0.4
-0.2 0.0 Residual
0.15
0.20 Fitted Value
0.25
Residuals Versus the Order of the Data 0.2
40
0.0
30
Residual
Frequency
-0.4 -0.6 0.10
0.2
Histogram of the Residuals
20 10 0
-0.2
-0.48
-0.32 -0.16 Residual
0.00
0.16
-0.2 -0.4 -0.6
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
87
Instar 3
NYATA
One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 0.2762
Level 1 2 3
N 20 20 20
DF 2 57 59
SS 3.5701 4.3474 7.9175
MS 1.7851 0.0763
R-Sq = 45.09%
Mean 1.1603 1.4687 0.8713
StDev 0.3974 0.0737 0.2558
F 23.40
P 0.000
R-Sq(adj) = 43.16% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(----*----) (----*----) (----*----) +---------+---------+---------+--------0.75 1.00 1.25 1.50
Pooled StDev = 0.2762 DUNCAN 2 1 3
A B C
Residual Plots for instar 3 Residual Plots for instar 3 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 1.0
99.9
90
Residual
Percent
99
50 10 1
0.0 -0.5
0.1
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
1.0
1.0
Histogram of the Residuals
1.2 Fitted Value
1.4
Residuals Versus the Order of the Data 1.0
20 15 Residual
Frequency
0.5
10
0.5 0.0
5 0
-0.5 -0.6
-0.3
0.0 0.3 Residual
0.6
0.9
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
88
Instar 4
NYATA
One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.4751
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 19.286 12.866 32.152
MS 9.643 0.226
R-Sq = 59.99%
Mean 2.2713 3.4926 3.4544
StDev 0.2870 0.7222 0.2704
F 42.72
P 0.000
R-Sq(adj) = 58.58%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---*----) (---*---) (---*---) ---------+---------+---------+---------+ 2.50 3.00 3.50 4.00
Pooled StDev = 0.4751
DUNCAN 2 3 1
A A B
Residual Plots for instar 4 Residual Plots for instar 4 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
1.0
90
0.5
Residual
Percent
99.9
50 10 1
-1
0 Residual
1
2.5
Histogram of the Residuals
3.0 Fitted Value
3.5
Residuals Versus the Order of the Data
16
1.0
12 Residual
Frequency
-0.5 -1.0
0.1
8 4 0
0.0
0.5 0.0 -0.5 -1.0
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
1.0
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
89
Instar 5
NYATA
One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.3925
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 6.150 8.782 14.931
MS 3.075 0.154
F 19.96
R-Sq = 41.19%
Mean 2.4735 1.6893 2.0889
StDev 0.4935 0.3764 0.2775
P 0.000
R-Sq(adj) = 39.12%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(----*-----) (-----*-----) (-----*----) +---------+---------+---------+--------1.50 1.80 2.10 2.40
Pooled StDev = 0.3925
DUNCAN 1 3 2
A B C
Residual Plots for instar 5 Residual Plots for instar 5 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
1
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
0
-1 -1
0 Residual
1
1.6
Histogram of the Residuals
1.8
2.0 2.2 Fitted Value
2.4
Residuals Versus the Order of the Data 1
12
Residual
Frequency
16
8
0
4 0
-1 -1.0
-0.5
0.0 0.5 Residual
1.0
1.5
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
90
Instar 6
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 1.584
Level 1 2 3
N 20 20 20
DF 2 57 59
SS 3.11 143.01 146.12
MS 1.56 2.51
R-Sq = 2.13%
Mean 12.041 12.527 12.521
F 0.62
P 0.542
R-Sq(adj) = 0.00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(-------------*-------------) (--------------*-------------) (-------------*--------------) ---+---------+---------+---------+-----11.50 12.00 12.50 13.00
StDev 1.257 1.964 1.445
Pooled StDev = 1.584
DUNCAN 2 3 1
A A A
Residual Plots for instar 6 Residual Plots for instar 6 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
4
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0 -2 -4 12.00
5.0
Histogram of the Residuals
4
15
2
10 5 0
-3.2
-1.6
0.0 1.6 Residual
3.2
12.15
12.30 Fitted Value
12.45
12.60
Residuals Versus the Order of the Data
20
Residual
Frequency
2
0 -2 -4
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
91
Total pertambahan bobot instar 1 hingga instar 5 (g) NYATA One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.005258
Level J K S
N 20 20 20
SS 0.0001841 0.0015759 0.0017600
MS 0.0000921 0.0000276
R-Sq = 10.46%
Mean 0.023361 0.022468 0.026549
StDev 0.004637 0.005410 0.005672
F 3.33
P 0.043
R-Sq(adj) = 7.32%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(--------*---------) (---------*--------) (--------*---------) +---------+---------+---------+--------0.0200 0.0225 0.0250 0.0275
Pooled StDev = 0.005258
DUNCAN 1 2 3
A A,B B Residual Plots for transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.010
90
0.005
Residual
Percent
99.9
50 10 1
-0.02
-0.01
0.00 Residual
0.01
0.02
0.023
Histogram of the Residuals
0.024 0.025 Fitted Value
0.026
0.027
Residuals Versus the Order of the Data 0.010
10.0 7.5
Residual
Frequency
-0.005 -0.010
0.1
5.0 2.5 0.0
0.000
0.005 0.000 -0.005 -0.010
-0.010
-0.005
0.000 Residual
0.005
0.010
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
92
Total pertambahan bobot seluruh instar (g)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: pertambahan bobot all versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 2.133
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 15.58 259.39 274.98
MS 7.79 4.55
R-Sq = 5.67%
Mean 19.538 20.434 20.739
F 1.71
P 0.190
R-Sq(adj) = 2.36%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(-----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*-----------) --------+---------+---------+---------+19.20 20.00 20.80 21.60
StDev 1.943 2.560 1.823
Pooled StDev = 2.133
DUNCAN 3 2 1
A A A
Residual Plots for pertambahan bobot all Residual Plots for pertambahan bobot all Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
5.0
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0.0 -2.5 -5.0 19.5
5.0
Histogram of the Residuals
5.0
15
2.5
10 5 0
-4
-2
0 2 Residual
4
19.8
20.1 20.4 Fitted Value
20.7
Residuals Versus the Order of the Data
20
Residual
Frequency
2.5
0.0 -2.5 -5.0
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
93
Lampiran 13 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar Instar 1
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 2.397
Level J K S
N 20 20 20
DF 2 57 59
SS 433.22 327.60 760.82
MS 216.61 5.75
R-Sq = 56.94%
Mean 16.109 20.274 13.778
F 37.69
P 0.000
R-Sq(adj) = 55.43%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---*----) (---*---) (---*---) ---------+---------+---------+---------+ 15.0 17.5 20.0 22.5
StDev 1.657 3.197 2.067
Pooled StDev = 2.397
DUNCAN 2 3 1
A A A Residual Plots for transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 5.0
99.9
2.5
90
Residual
Percent
99
50 10
-8
-4
0 Residual
4
8
14
Histogram of the Residuals 16 12
2.5
8 4 0
16 18 Fitted Value
20
Residuals Versus the Order of the Data 5.0
Residual
Frequency
-2.5 -5.0
1 0.1
0.0
0.0 -2.5 -5.0
-6
-4
-2 0 Residual
2
4
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
94
Instar 2 NYATA
One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 3.236
Level J K S
N 20 20 18
DF 2 55 57
SS 6467.7 576.1 7043.8
MS 3233.8 10.5
R-Sq = 91.82%
Mean 14.561 33.703 9.104
F 308.74
P 0.000
R-Sq(adj) = 91.52%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (-*-) (-*-) (-*-) ---------+---------+---------+---------+ 14.0 21.0 28.0 35.0
StDev 1.134 3.440 4.384
Pooled StDev = 3.236
DUNCAN 2 3 1
A B C
Residual Plots for transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 6 Residual
Percent
90 50 10
3 0 -3 -6
-8
-4
0 Residual
4
8
10
Histogram of the Residuals 6
9
Residual
Frequency
30
Residuals Versus the Order of the Data
12
6 3 0
20 Fitted Value
3 0 -3 -6
-6
-3
0 3 Residual
6
1
5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 Observation Order
95
Instar 3 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.2157
Level J K S
N 20 20 20
SS 1.5076 2.6514 4.1589
MS 0.7538 0.0465
R-Sq = 36.25%
Mean 0.1294 0.5090 0.3901
StDev 0.2184 0.0518 0.2986
F 16.21
NYATA
P 0.000
R-Sq(adj) = 34.01%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(------*-----) (------*-----) (-----*-----) --------+---------+---------+---------+0.15 0.30 0.45 0.60
Pooled StDev = 0.2157
DUNCAN 2 1 3
A A B Residual Plots for transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.50
90
0.25
Residual
Percent
99.9
50 10
-0.25
1 0.1
-0.50
-0.25
0.00 0.25 Residual
-0.50
0.50
Histogram of the Residuals
0.2
0.3 0.4 Fitted Value
0.5
0.50
15
Residual
Frequency
0.1
Residuals Versus the Order of the Data
20
10 5 0
0.00
0.25 0.00 -0.25
-0.4
-0.2
0.0 0.2 Residual
0.4
0.6
-0.50
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
96
Instar 4 One-way ANOVA: transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.03208
Level J K S
N 20 20 20
SS 0.05459 0.05864 0.11323
MS 0.02729 0.00103
R-Sq = 48.21%
Mean 0.46389 0.44303 0.51485
StDev 0.02280 0.03377 0.03776
F 26.53
NYATA
P 0.000
R-Sq(adj) = 46.39%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(----*---) (----*---) (----*---) -------+---------+---------+---------+-0.450 0.480 0.510 0.540
Pooled StDev = 0.03208
DUNCAN 1 3 2
A B C Residual Plots for transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.06 0.03
90
Residual
Percent
99
50 10
-0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
0.44
Histogram of the Residuals
0.46
0.48 Fitted Value
0.50
0.52
Residuals Versus the Order of the Data 0.06
12
0.03 9
Residual
Frequency
-0.03 -0.06
1 0.1
0.00
6 3 0
0.00 -0.03 -0.06
-0.06
-0.03 0.00 Residual
0.03
0.06
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
97
Instar 5 One-way ANOVA: Transform versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.002692
Level J K S
N 20 20 20
SS 0.0000971 0.0004129 0.0005100
MS 0.0000485 0.0000072
R-Sq = 19.03%
Mean 0.011524 0.012255 0.014513
F 6.70
NYATA
P 0.002
R-Sq(adj) = 16.19%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) -+---------+---------+---------+-------0.0105 0.0120 0.0135 0.0150
StDev 0.002060 0.002717 0.003179
Pooled StDev = 0.002692
DUNCAN 1 2 3
A B B Residual Plots for Transform Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.0050
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-0.010
0.0000 -0.0025 -0.0050
-0.005
0.000 Residual
0.005
0.010
0.012
Histogram of the Residuals
0.0050
7.5
0.0025
5.0 2.5 0.0
0.013 Fitted Value
0.014
Residuals Versus the Order of the Data
10.0 Residual
Frequency
0.0025
0.0000 -0.0025 -0.0050
-0.004
-0.002
0.000 0.002 Residual
0.004
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
98
Instar 6 One-way ANOVA: respon versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
SS 0.0000000 0.0000005 0.0000005
S = 0.00009124
Level J K S
MS 0.0000000 0.0000000
R-Sq = 7.04%
F 2.16
TIDAK NYATA P 0.125
R-Sq(adj) = 3.78%
N
Mean
StDev
20 20 20
0.00032159 0.00034931 0.00038147
0.00005947 0.00011626 0.00008900
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+-------(---------*----------) (---------*----------) (---------*----------) +---------+---------+---------+--------
0.000280
0.000320
0.000360
0.000400
Pooled StDev = 0.00009124
DUNCAN 1 A 2 A 3 A Residual Plots for respon Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.0002
90
Residual
Percent
99
50 10
0.1
-0.00015
0.00000 Residual
0.00015
-0.0002 0.00032
0.00030
Histogram of the Residuals
0.00038
0.0002
12
Residual
Frequency
0.00034 0.00036 Fitted Value
Residuals Versus the Order of the Data
16
8 4 0
0.0000 -0.0001
1
-0.00030
0.0001
0.0001 0.0000 -0.0001
-0.0001
0.0000 0.0001 Residual
0.0002
-0.0002
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
99
Lampiran 14 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar Instar
Kisaran
Sirsak Rataan
Kisaran
Kaliki Rataan
Kisaran
Jarak Pagar Rataan
---------- sentimeter ---------I - Awal - Akhir II - Awal - Akhir III - Awal - Akhir IV - Awal - Akhir V - Awal - Akhir VI - Awal - Akhir
0.5-0.5 0.8-0.9
0.5 ± 0 0.841 ± 0.050
0.5-0.5 0.7-0.8
0.5 ± 0 0.725 ± 0.044
0.5-0.5 0.7-0.8
0.5 ± 0 0.785 ± 0.037
0.9-1 1.8-2
0.940 ± 0.050 1.912 ± 0.047
0.8-0.9 1.8-1.9
0.825 ± 0.044 1.835 ± 0.049
0.8-0.9 1.8-2
0.885 ± 0.037 1.882 ± 0.051
2-2.1 2.4-2.6
2.070 ± 0.047 2.465 ± 0.074
2-2.1 2.4-2.6
2.035 ± 0.049 2.466 ± 0.075
2-2.1 2.4-2.6
2.055 ± 0.051 2.465 ± 0.074
2.5-2.7 4.4-4.6
2.565 ± 0.074 4.465 ± 0.074
2.5-2.7 4.5-4.7
2.560 ± 0.075 4.615 ± 0.087
2.5-2.7 4.5-4.7
2.565 ± 0.074 4.555 ± 0.060
4.5-4.7 7.4-7.6
4.565 ± 0.074 7.468 ± 0.082
4.6-4.8 7.4-7.7
4.715 ± 0.087 7.536 ± 0.093
4.6-4.8 7.4-.7
4.655 ± 0.060 7.546 ± 0.076
7.5-7.7 8.2-9.2
7.560 ± 0.082 8.540 ± 0.314
7.5-7.8 8-9.3
7.635 ± 0.093 8.695 ± 0.384
7.5-7.8 8.5-9.4
7.645 ± 0.076 8.700 ± 0.264
Tabel 15 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan Sirsak Kaliki Jarak Pagar X Y X Y X Y Ulat baru 0.5 0.5 0.5 ditetaskan Instar 1 0.84 2x 0.725 1.5 x 0.785 2x Instar 2 1.91 4x 1.835 4x 1.88 4x Instar 3 2.465 5x 2.46 5x 2.45 5x Instar 4 4.465 9x 4.615 9x 4.555 9x Instar 5 7.46 15 x 7.535 15 x 7.545 15 x Instar 6 8.54 17 x 8.695 17 x 8.7 17 x Keterangan: X = Panjang badan (cm); Y = penambahan panjang
100
Lampiran 16 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas
NYATA
Instar 1 One-way ANOVA: instar 1 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.04413
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.13233 0.11100 0.24333
MS 0.06617 0.00195
R-Sq = 54.38%
Mean 0.34000 0.22500 0.28500
StDev 0.05026 0.04443 0.03663
F 33.98
P 0.000
R-Sq(adj) = 52.78%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (----*----) (----*----) (----*----) ---------+---------+---------+---------+ 0.240 0.280 0.320 0.360
Pooled StDev = 0.04413 DUNCAN A B C
1 3 2
Residual Plots for instar 1 Residual Plots for instar 1 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.05
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-0.1
0.0 Residual
0.25
0.30 Fitted Value
0.35
Residuals Versus the Order of the Data
16
0.05
12
Residual
Frequency
-0.05 -0.10
0.1
Histogram of the Residuals
8 4 0
0.00
-0.08
-0.04
0.00 Residual
0.04
0.08
0.00 -0.05 -0.10
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
101
Instar 2
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: instar 2 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.05453
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.01633 0.16950 0.18583
MS 0.00817 0.00297
R-Sq = 8.79%
Mean 0.9700 1.0100 0.9950
StDev 0.0470 0.0308 0.0759
F 2.75
P 0.073
R-Sq(adj) = 5.59%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) --+---------+---------+---------+------0.950 0.975 1.000 1.025
Pooled StDev = 0.0545
DUNCAN 2 3 1
A A
B B
Residual Plots for instar 2 Residual Plots for instar 2 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.10
90
Residual
Percent
99
50 10 1
-0.2
-0.1
0.0 Residual
0.1
-0.05
0.2
0.97
Histogram of the Residuals
0.98
0.99 Fitted Value
1.00
1.01
Residuals Versus the Order of the Data
30
0.10
20
Residual
Frequency
0.00
-0.10
0.1
10 0
0.05
0.05 0.00 -0.05 -0.10
-0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
102
Instar 3
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: instar 3 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
SS 0.00900 0.14500 0.15400
S = 0.05044
Level 1 2 3
N 20 20 20
MS 0.00450 0.00254
R-Sq = 5.84%
Mean 0.39500 0.42500 0.41000
StDev 0.06048 0.04443 0.04472
F 1.77
P 0.180
R-Sq(adj) = 2.54%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(-----------*----------) (----------*-----------) (----------*----------) ----+---------+---------+---------+----0.380 0.400 0.420 0.440
Pooled StDev = 0.05044 DUNCAN 2 3 1
A A A
Residual Plots for instar 3 Residual Plots for instar 3 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.10
90
Residual
Percent
99
50 10 1
-0.1
0.0 Residual
-0.05
0.1
0.40
Histogram of the Residuals
0.41 Fitted Value
0.42
Residuals Versus the Order of the Data
30
0.10
20
Residual
Frequency
0.00
-0.10
0.1
10 0
0.05
0.05 0.00 -0.05 -0.10
-0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
103
Instar 4
NYATA
One-way ANOVA: instar 4 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.03918
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.24233 0.08750 0.32983
MS 0.12117 0.00154
R-Sq = 73.47%
Mean 1.9000 2.0550 1.9900
StDev 0.0324 0.0510 0.0308
F 78.93
P 0.000
R-Sq(adj) = 72.54%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(---*---) (---*---) (---*---) ----+---------+---------+---------+----1.900 1.950 2.000 2.050
Pooled StDev = 0.0392 DUNCAN 2 3 1
A B C
Residual Plots for instar 4 Residual Plots for instar 4 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.10
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
0.00 -0.05 -0.10
-0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
1.90
Histogram of the Residuals
0.10
30
0.05
20 10 0
1.95 2.00 Fitted Value
2.05
Residuals Versus the Order of the Data
40
Residual
Frequency
0.05
0.00 -0.05 -0.10
-0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
0.10
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
104
Instar 5
NYATA
One-way ANOVA: instar 5 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
SS 0.07033 0.17950 0.24983
S = 0.05612
Level 1 2 3
N 20 20 20
MS 0.03517 0.00315
R-Sq = 28.15%
Mean 2.8950 2.8200 2.8900
StDev 0.0510 0.0696 0.0447
F 11.17
P 0.000
R-Sq(adj) = 25.63%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(------*------) (------*------) (------*------) -+---------+---------+---------+-------2.800 2.835 2.870 2.905
Pooled StDev = 0.0561
DUNCAN 1 A 3 A 2 B
Residual Plots for instar 5 Residual Plots for instar 5 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.10
90
0.05
Residual
Percent
99.9
50 10
-0.2
-0.1
0.0 Residual
0.1
0.2
2.82
Histogram of the Residuals
2.84
2.86 Fitted Value
2.88
2.90
Residuals Versus the Order of the Data 0.10 Residual
30 Frequency
-0.05 -0.10
1 0.1
0.00
20 10
0.05 0.00 -0.05 -0.10
0
-0.10
-0.05 0.00 Residual
0.05
0.10
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
105
Instar 6
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: instar 6 versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.2585
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.0803 3.8095 3.8898
MS 0.0402 0.0668
R-Sq = 2.07%
Mean 0.9800 1.0600 1.0550
StDev 0.2419 0.3119 0.2114
F 0.60
P 0.552
R-Sq(adj) = 0.00%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(--------------*-------------) (-------------*--------------) (--------------*-------------) --+---------+---------+---------+------0.880 0.960 1.040 1.120
Pooled StDev = 0.2585
DUNCAN 2 3 1
A A A
Residual Plots for instar 6 Residual Plots for instar 6 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.50
90
0.25
Residual
Percent
99.9
50 10
0.1
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
1.0
0.98
Histogram of the Residuals
1.00
1.02 Fitted Value
1.04
1.06
Residuals Versus the Order of the Data
20
0.50
15 Residual
Frequency
-0.25 -0.50
1
10 5 0
0.00
0.25 0.00 -0.25 -0.50
-0.6
-0.4
-0.2 0.0 Residual
0.2
0.4
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
106
Pertambahan panjang seluruh instar
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: all instar versus perlakuan Source prlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.3244
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.331 5.998 6.329
MS 0.166 0.105
F 1.57
R-Sq = 5.23%
Mean 8.0400 8.1950 8.2000
StDev 0.3136 0.3845 0.2636
P 0.216
R-Sq(adj) = 1.91%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(-----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*-----------) --+---------+---------+---------+------7.92 8.04 8.16 8.28
Pooled StDev = 0.3244
DUNCAN 3 A 2 A 1 A
Residual Plots for all instar Residual Plots for all instar Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 0.8
99.9
0.4
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
Histogram of the Residuals
8.05
8.10 8.15 Fitted Value
8.20
Residuals Versus the Order of the Data 0.8 0.4
12
Residual
Frequency
-0.4 -0.8
1.0
16
8 4 0
0.0
-0.6
-0.4
-0.2 0.0 0.2 Residual
0.4
0.6
0.0 -0.4 -0.8
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
107
Lampiran 17 Uji Anova daur hidup A. atlas
NYATA
Larva instar 1 (X1) One-way ANOVA: X1 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.4492
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 22.433 11.500 33.933
MS 11.217 0.202
R-Sq = 66.11%
Mean 5.8000 4.3500 4.7500
StDev 0.4104 0.4894 0.4443
F 55.60
P 0.000
R-Sq(adj) = 64.92%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(---*---) (---*---) (---*---) -------+---------+---------+---------+-4.50 5.00 5.50 6.00
Pooled StDev = 0.4492 DUNCAN 1 3 2
A B C
Residual Plots for X1 Residual Plots for X1 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.5
90
Residual
Percent
99
50 10
0.0 -0.5
1 0.1
-1
0 Residual
-1.0
1
Histogram of the Residuals
6.0
0.5 Residual
Frequency
5.0 5.5 Fitted Value
Residuals Versus the Order of the Data
30 20 10 0
4.5
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 Residual
0.2
0.4
0.6
0.0 -0.5 -1.0
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
108
Larva instar 2 (X2)
NYATA
One-way ANOVA: X2 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.5113
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 11.033 14.900 25.933
MS 5.517 0.261
R-Sq = 42.54%
Mean 4.5500 3.5000 4.0500
StDev 0.5104 0.5130 0.5104
F 21.10
P 0.000
R-Sq(adj) = 40.53%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(-----*----) (----*-----) (----*-----) --------+---------+---------+---------+3.60 4.00 4.40 4.80
Pooled StDev = 0.5113
DUNCAN 1 3 2
A B C
Residual Plots for X2 Residual Plots for X2 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
1.0 0.5
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-1
0 Residual
1
2
3.50
3.75
4.00 4.25 Fitted Value
4.50
Residuals Versus the Order of the Data 1.0
20
0.5
15
Residual
Frequency
-0.5 -1.0
-2
Histogram of the Residuals
10 5 0
0.0
0.0 -0.5 -1.0
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
1.0
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
109
Larva instar 3 (X3)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: X3 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.5044
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 0.833 14.500 15.333
MS 0.417 0.254
R-Sq = 5.43%
Mean 4.5000 4.2500 4.2500
StDev 0.5130 0.5501 0.4443
F 1.64
P 0.203
R-Sq(adj) = 2.12%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (----------*----------) (-----------*----------) (-----------*----------) ---------+---------+---------+---------+ 4.20 4.40 4.60 4.80
Pooled StDev = 0.5044
DUNCAN 1 2 3
A A A
Residual Plots for X3 Residual Plots for X3 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 1.0
99.9
0.5
90
Residual
Percent
99
50 10
-1
0 Residual
1
4.3
Histogram of the Residuals
4.4 Fitted Value
4.5
Residuals Versus the Order of the Data 1.0
30
0.5 20
Residual
Frequency
-0.5 -1.0
1 0.1
0.0
10
0.0 -0.5 -1.0
0
-1.0
-0.5 0.0 Residual
0.5
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
110
Larva instar 4 (X4)
NYATA
One-way ANOVA: X4 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 0.7830
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 6.300 34.950 41.250
MS 3.150 0.613
R-Sq = 15.27%
Mean 5.2000 4.4500 4.6000
F 5.14
P 0.009
R-Sq(adj) = 12.30%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) --------+---------+---------+---------+4.40 4.80 5.20 5.60
StDev 0.8944 0.8870 0.5026
Pooled StDev = 0.7830 DUNCAN 1 3 2
A B B
Residual Plots for X4 Residual Plots for X4 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 2
99.9
90
Residual
Percent
99
50 10
0 -1
1 0.1
1
-2
-1
0 Residual
1
2
4.4
Histogram of the Residuals
5.0
5.2
Residuals Versus the Order of the Data
15
Residual
Frequency
4.8 Fitted Value
2
20
10 5 0
4.6
1 0 -1
-1.6
-0.8
0.0 0.8 Residual
1.6
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
111
Larva instar 5 (X5)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: X5 versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 1.152
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 5.20 75.65 80.85
MS 2.60 1.33
R-Sq = 6.43%
Mean 6.750 6.050 6.550
StDev 1.333 1.191 0.887
F 1.96
P 0.150
R-Sq(adj) = 3.15%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 6.00 6.50 7.00 7.50
Pooled StDev = 1.152
DUNCAN 1 3 2
A A A
Residual Plots for X5 Residual Plots for X5 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
2
90
Residual
Percent
99
50 10
-2
1 0.1
0
-4
-2
0 Residual
2
4
6.0
Histogram of the Residuals
6.4 Fitted Value
6.6
6.8
Residuals Versus the Order of the Data
16
2
12 Residual
Frequency
6.2
8 4 0
0
-2 -2
-1
0 Residual
1
2
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
112
Larva instar 6 (X6)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: X6 versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 1.219
Level 1 2 3
N 20 20 20
DF 2 57 59
SS 4.23 84.75 88.98
MS 2.12 1.49
R-Sq = 4.76%
Mean 9.800 9.500 10.150
StDev 1.105 1.504 0.988
F 1.42
P 0.249
R-Sq(adj) = 1.42%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) -+---------+---------+---------+-------9.00 9.50 10.00 10.50
Pooled StDev = 1.219
DUNCAN 3 1 2
A A A
Residual Plots for X6 Residual Plots for X6 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
2
90
Residual
Percent
99
50 10
0 -1
1 0.1
1
-4
-2
0 Residual
2
-2
4
Histogram of the Residuals
9.60
9.75 9.90 Fitted Value
10.05
10.20
Residuals Versus the Order of the Data 2
12 Residual
Frequency
16
8 4 0
1 0 -1
-2
-1
0 1 Residual
2
-2
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
113
Pupa (Y)
NYATA
One-way ANOVA: Pupa (Y) versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 5.450
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 233.7 1693.2 1927.0
MS 116.9 29.7
R-Sq = 12.13%
Mean 29.250 24.450 26.350
StDev 7.070 4.883 3.911
F 3.93
P 0.025
R-Sq(adj) = 9.05%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(---------*---------) (---------*---------) (--------*---------) --+---------+---------+---------+------22.5 25.0 27.5 30.0
Pooled StDev = 5.450
DUNCAN 1 3 2
A A
B B
Residual Plots for Y Residual Plots for Y Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
20
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-20
0 Residual
10
20
25
Histogram of the Residuals
26
27 Fitted Value
28
29
Residuals Versus the Order of the Data 20
15
Residual
Frequency
0 -10
-10
20
10 5 0
10
10 0 -10
-8
0 8 Residual
16
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
114
Imago (Z)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: Z versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 1.665
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 5.70 157.95 163.65
MS 2.85 2.77
R-Sq = 3.48%
Mean 5.000 4.250 4.700
StDev 1.257 1.916 1.750
F 1.03
P 0.364
R-Sq(adj) = 0.10%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(-----------*------------) (------------*-----------) (-----------*------------) --+---------+---------+---------+------3.60 4.20 4.80 5.40
Pooled StDev = 1.665
DUNCAN 1 3 2
A A A
Residual Plots for Z Residual Plots for Z Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
3.0
90
Residual
Percent
99
50 10 1 0.1
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0.0 -1.5 -3.0
5.0
Histogram of the Residuals
3.0
9
1.5
6
4.4
4.6 Fitted Value
4.8
5.0
0.0 -1.5
3 0
4.2
Residuals Versus the Order of the Data
12
Residual
Frequency
1.5
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
-3.0
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
115
Daur hidup total (larva, pupa dan imago)
NYATA
One-way ANOVA: total versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 57 59
S = 7.255
Level 1 2 3
N 20 20 20
SS 1012.4 3000.6 4013.0
MS 506.2 52.6
R-Sq = 25.23%
Mean 70.850 60.800 65.400
StDev 7.457 8.370 5.679
F 9.62
P 0.000
R-Sq(adj) = 22.61%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -----+---------+---------+---------+---(------*-----) (------*-----) (------*-----) -----+---------+---------+---------+---60.0 65.0 70.0 75.0
Pooled StDev = 7.255
DUNCAN 1 3 2
A B C
Residual Plots for total Residual Plots for total Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values 20
99.9
90
Residual
Percent
99
50 10
-20
-10
0 Residual
10
20
60.0
Histogram of the Residuals
65.0 67.5 Fitted Value
70.0
Residuals Versus the Order of the Data
12
Residual
Frequency
62.5
20
16
8 4 0
0 -10
1 0.1
10
10 0 -10
-8
0 8 Residual
16
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
116
Lampiran 18 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas Prosentase Kode_sampel Jumlah telur Jumlah menetas menetas (%) 1 331 228 68.88 2 227 207 92.1 3 298 254 85.23 4 371 188 50.67 5 133 123 92.48 6 126 114 90.48 7 380 331 88.95 8 205 128 62.4 9 292 261 89.38 10 197 191 96.94 Lampiran 19 Periode telur A. atlas Tersingkat Terlama Kode_sampel ----- hari ----8 13 1 9 12 2 8 11 3 8 12 4 8 12 5 8 10 6 8 13 7 6 8 8 7 10 9 8 11 10 Lampiran 20 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas Kode_sampel Peletakan telur Penetasan ----- hari ----1 4 6 2 6 7 3 3 5 4 3 5 5 3 5 6 3 3 7 5 6 8 3 4 9 2 4 10 3 3
117
Lampiran 21 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas Panjang Kode_sampel Lebar abdomen abdomen ---------- cm --------J1 3 2.5 J2 3 2.8 J3 3.5 2.3 J4 3.1 2.5 J5 3.5 2.2 J6 3.5 2.5 J7 3.5 3 J8 3 2.5 J9 2.6 2 J10 3.5 3 B1 5 5 B2 4 3 B3 4.5 4.5 B4 4 3.4 B5 4.5 4 B6 4.5 3 B7 3.5 2.6 B8 4 3.2 B9 4.5 4.3 B10 4 3.2
Rentang sayap 19 18.5 20 18.5 18 20 20 19 17.5 20 22.5 20 20 20 20.5 20 19 19 21 19
Lampiran 22 Hasil uji t panjang abdomen A. atlas t
Sig. (2tailed)
df -6.105956278
18
Mean Difference
0.0000
-1.03
Std. Error Difference 0.168687746
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-1.3844
-0.6756
Lampiran 23 Hasil uji t lebar abdomen A. atlas t
Sig. (2tailed)
df -4.069418541
18
0.0007
Mean Difference -1.09
Std. Error Difference 0.267851534
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-1.6527
-0.5273
118
Lampiran 24 Hasil uji t rentang sayap A. atlas t
Sig. (2tailed)
df
Mean Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error Difference
Lower -2.339761261
18
0.0510
-1.05
0.448763734
-1.9928
Upper -0.1072
Lampiran 25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas Kopulasi Tidak kopulasi Kode_sampel Jantan Betina Jantan Betina ---------- hari ---------1 10 8 6 9 2 3 8 3 9 3 4 6 4 16 4 4 8 9 10 5 4 6 6 8 6 4 6 6 7 7 4 9 4 6 8 5 10 7 9 9 5 9 7 5 10 5 7 4 10 Lampiran 26 Hasil uji t umur imago A. atlas ‘kawin’ t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
-3.8263
18
0.001236861
-2.9
0.757921133
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -4.4923
-1.3077
Lampiran 27 Hasil uji t umur imago A. atlas ‘tidak kawin’ t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
-2.9675
18
0.008247996
-3.3
1.11206
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -5.6363
-0.9637
119
Lampiran 28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas
NYATA One-way ANOVA: Penurunan Bobot Saat Mengkokon versus Perlakuan (N)
NYATA Source Perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.5727
Level
N
DUNCAN J 10 1K B10 2S A10 3 A
SS 56.201 8.854 65.055
MS 28.100 0.328
R-Sq = 86.39%
Mean 13.764 13.955 10.961
StDev 0.729 0.510 0.438
F 85.69
P 0.000
R-Sq(adj) = 85.38%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+----(---*--) (---*--) (---*--) ----+---------+---------+---------+----11.0 12.0 13.0 14.0
Pooled StDev Residual Plots =for0.573 penurunan bobot saat mengokon (g)
Residual Plots for Penurunan bobot saat mengokon Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 1.0 Residual
Percent
90 50
0.0 -0.5
10 1
0.5
-1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
-1.0
1.0
Histogram of the Residuals
11
12 13 Fitted Value
14
Residuals Versus the Order of the Data 1.0
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
0.5 0.0 -0.5
-0.5
0.0 0.5 Residual
1.0
-1.0 2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
120
One-way ANOVA: Bobot kokon dengan floss versus perlakuan (O)
NYATA Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.03699
Level J K S
N 10 10 10
SS 0.01278 0.03694 0.04973
MS 0.00639 0.00137
R-Sq = 25.71%
Mean 0.36175 0.37412 0.32547
StDev 0.03759 0.04466 0.02641
F 4.67
P 0.018
R-Sq(adj) = 20.20%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---------*--------) (---------*--------) (--------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 0.325 0.350 0.375 0.400
Pooled StDev = 0.03699
DUNCAN 1 B 2 A 3 A Residual Plots for bobot kokon dengan floss (g) Residual Plots for Bobot kokon hasil transformasi Residuals Versus the Fitted Values 0.08
90
0.04
Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1 -0.10
-0.05
0.00 Residual
0.05
-0.04 -0.08
0.10
Histogram of the Residuals 8 6
0.04
4 2 0
0.33
0.34
0.35 0.36 Fitted Value
0.37
Residuals Versus the Order of the Data 0.08
Residual
Frequency
0.00
0.00 -0.04 -0.08
-0.08 -0.06 -0.04 -0.02 0.00
Residual
0.02 0.04 0.06
2
4
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
121
Bobot kokon segar (P)
NYATA
One-way ANOVA: P (g) versus perlakuan Source perlakuan Error Total S = 1.777
Level 1 2 3
N 10 10 10
DF 2 27 29
SS 25.68 85.25 110.93
MS 12.84 3.16
R-Sq = 23.15%
Mean 9.463 7.324 7.745
StDev 1.701 1.929 1.691
F 4.07
P 0.029
R-Sq(adj) = 17.46%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+---------+ (---------*--------) (---------*---------) (---------*--------) ---------+---------+---------+---------+ 7.2 8.4 9.6 10.8
Pooled StDev = 1.777 DUNCAN 1 3 2
A B B
Residual Plots for P (g) Residual Plots for P(gr) Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
4
Residual
Percent
90 50 10
2 0 -2
1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
5.0
7.5
Histogram of the Residuals
8.0
8.5 Fitted Value
9.0
9.5
Residuals Versus the Order of the Data 4
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
2 0 -2
-2
-1
0
1 2 Residual
3
4
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
122
Bobot kulit kokon (Q)
NYATA
One-way ANOVA: Q (g) versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.6214
Level 1 2 3
N 10 10 10
SS 2.656 10.424 13.081
MS 1.328 0.386
R-Sq = 20.31%
Mean 1.7446 1.0734 1.1630
F 3.44
P 0.047
R-Sq(adj) = 14.41%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) ---+---------+---------+---------+-----0.80 1.20 1.60 2.00
StDev 0.7886 0.6293 0.3747
Pooled StDev = 0.6214
DUNCAN 1 3 2
A B B
Residual Plots for Q (g) Residual Plots for Q(gr) Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
2
Residual
Percent
90 50
1 0
10 1
-1
0 Residual
1
-1
2
Histogram of the Residuals
1.4 Fitted Value
1.6
1.8
Residuals Versus the Order of the Data
7.5
Residual
Frequency
1.2
2
10.0
5.0 2.5 0.0
1.0
-0.8 -0.4 0.0
0.4 0.8 Residual
1.2
1.6
2.0
1 0 -1 2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
123
Persentase bobot kulit kokon thdp bobot kokon segar (R)
TIDAK NYATA
One-way ANOVA: R (%) versus perlakuan - Transformasi akar kuadrat Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.9137
Level 1 2 3
N 10 10 10
SS 1.753 22.543 24.296
MS 0.877 0.835
R-Sq = 7.22%
Mean 19.349 14.288 15.547
StDev 11.317 6.766 5.760
F 1.05
P 0.364
R-Sq(adj) = 0.34%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+---------+(------------*-------------) (-------------*------------) (-------------*------------) --------+---------+---------+---------+12.0 16.0 20.0 24.0
Pooled StDev = 8.307
DUNCAN 1 3 2
A A A
Residual Plots for R (%) Residual Plots for Trans R Residuals Versus the Fitted Values 3
90
2 Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1
1 0 -1
-2
-1
0 1 Residual
2
3.8
Histogram of the Residuals
4.2
Residuals Versus the Order of the Data 3
10.0
2
7.5
Residual
Frequency
4.0 Fitted Value
5.0 2.5
1 0 -1
0.0
-1
0 1 Residual
2
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
124
Lampiran 29 Uji Anova kualitas filamen A. atlas
TIDAK NYATA
Bobot filamen (S) One-way ANOVA: S (g) versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.1955
Level 1 2 3
N 10 10 10
SS 0.0326 1.0319 1.0646
MS 0.0163 0.0382
R-Sq = 3.07%
Mean 0.3762 0.4407 0.3663
StDev 0.1842 0.1079 0.2628
F 0.43
P 0.657
R-Sq(adj) = 0.00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+--(------------*-----------) (------------*------------) (------------*-----------) ------+---------+---------+---------+--0.30 0.40 0.50 0.60
Pooled StDev = 0.1955 DUNCAN 1 3 2
A A A
Residual Plots for S (g) Residual Plots for S(g) Residuals Versus the Fitted Values 0.4
90
0.2
Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1 -0.50
-0.25
0.00 Residual
0.25
-0.2 -0.4 0.36
0.50
Histogram of the Residuals
0.4
6
0.2
4 2 0
-0.3
-0.2
-0.1
0.0 0.1 Residual
0.2
0.38
0.40 0.42 Fitted Value
0.44
Residuals Versus the Order of the Data
8
Residual
Frequency
0.0
0.3
0.0 -0.2 -0.4
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
125
Panjang filamen (T)
NYATA
One-way ANOVA: T (m) versus perlakuan - dilakukan transformasi akar kuadrat Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 0.02160
Level 1 2 3
N 10 10 10
SS 0.013785 0.012597 0.026382
MS 0.006893 0.000467
R-Sq = 52.25%
Mean 146.84 33.96 34.53
F 14.77
P 0.000
R-Sq(adj) = 48.72%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(-------*--------) (--------*-------) (--------*--------) ---+---------+---------+---------+-----0 60 120 180
StDev 138.83 5.47 21.71
Pooled StDev = 81.19
DUNCAN 1 3 2
A B B
Residual Plots for T (m) Residual Plots for Trans T5 Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.050 Residual
Percent
90 50
1 -0.050
-0.025
0.000 0.025 Residual
-0.050
0.050
Histogram of the Residuals
1.12
1.14 Fitted Value
1.16
Residuals Versus the Order of the Data
8
0.050
6 Residual
Frequency
0.000 -0.025
10
4 2 0
0.025
0.025 0.000 -0.025
-0.04
-0.02
0.00 0.02 Residual
0.04
0.06
-0.050 2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
126
Daya urai kokon (U)
NYATA
One-way ANOVA: U versus perlakuan Source perlakuan Error Total
DF 2 27 29
S = 20.05
Level 1 2 3
N 10 10 10
SS 5404 10855 16259
MS 2702 402
F 6.72
R-Sq = 33.24%
Mean 43.90 12.20 35.60
StDev 14.35 6.65 30.92
P 0.004
R-Sq(adj) = 28.29%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(-------*--------) (--------*--------) (--------*-------) -+---------+---------+---------+-------0 15 30 45
Pooled StDev = 20.05
DUNCAN 1 3 2
A A B
Residual Plots for U Residual Plots for U Residuals Versus the Fitted Values 60
90
40 Residual
Percent
Normal Probability Plot of the Residuals 99
50 10 1
20 0 -20
-50
-25
0 Residual
25
50
10
Histogram of the Residuals
20
30 Fitted Value
40
Residuals Versus the Order of the Data 60 40
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
20 0 -20
-20
0
20 Residual
40
60
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
127
Lampiran 30 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB (Tahun 2007) Bulan
Suhu ( ºC ) Maksimum Minimum Kisaran Rataan Kisaran Rataan
1. Mei - Pagi 27-28 27.58±0.50 25-26 25.23±0.43 - Siang 27-28 27.58±0.50 25-26 25.23±0.43 - Sore 27-28 27.58±0.50 25-26 25.23±0.43 2. Juni - Pagi 27-28 27.74±0.45 24-26 25.70±0.54 - Siang 27-28 27.58±0.45 24-26 25.70±0.54 - Sore 27-28 27.58±0.45 24-26 25.70±0.54 3. Juli - Pagi 27-28 27.19±0.40 24-25 24.87±0.34 - Siang 27-28 27.19±0.40 24-25 24.87±0.34 - Sore 27-28 27.58±0.45 24-25 24.87±0.34 4. Agustus - Pagi 28 28.00±0.00 25 25.00±0.00 - Siang 28 28.00±0.00 25 25.00±0.00 - Sore 28 28.00±0.00 25 25.00±0.00 5. September - Pagi 28 28.00±0.00 25 25.00±0.00 - Siang 28 28.00±0.00 25 25.00±0.00 25.00±0.00 - Sore 28 28.00±0.00 25 Ket: Pagi jam 07.00 WIB; Siang jam 13.00 WIB; Sore jam 17.00 WIB.
Kelembaban ( % ) Kisaran
Rataan
70-78 55-75 55-79
74,10±2,41 61,71±5,69 68,29±5,62
55-75 50-75 55-80
69.04±4.03 56.70±6.21 63.22±6.07
60-77 46-75 55-75
69.58±4.54 57.42±5.93 62.84±6.07
63-75 50-70 60-75
68.29±3.49 61.35±5.86 65.90±4.21
64-70 59-66 60-68
66.45±2.12 61.91±2.88 64.73±2.01
Lampiran 31 Alat-alat dalam penelitian A. Kandang ngengat
Ket: terbuat dari kain kasa sebagai tempat kopulasi ngengatdewasa.
128
B. Cawan petri
Ket: untuk pemeliharaan ulat kecil (instar 1-3) C. Toples gelas
Ket: untuk pemeliharaan ulat besar (instar 4-6) dan pengokonan.