Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA
TEGUH LARASATI ANDRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Teguh Larasati Andriani NIM G352070241
ABSTRACT TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Embryonic Development, Postponement of Egg Hatching, and Breaking of Pupal Dormancy. Under direction of DEDY DURYADI S and DAMIANA RITA E. Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) is a pledge silkworm because of its golden cocoon. The research aimed to know the embryonic development of C. trifenestrata and its bearing with the postponement of egg hatching and the influence of light intensity and pupal condition on pupal dormancy. The wet mount of each egg stadia (1-8 days) was made by soaking the egg in 5 M NaOH for 3 days. The postponement of egg hatching was done by preserve each stadia of egg for 3, 7, 14, 21, and 28 days in regrigerator (8 0C). Breaking of pupal dormancy was done by place unaked and naked pupae into incubator with 8, 18 and 23 watt lamps. Complete embryonic development of C. trifenestrata occured at the 6th day after oviposition. The postponement of egg hatching of 5, 6 and 7 days old egg could be done for three days. The 5 and 6 days old egg even could be postponed until seven days. The highest percentage of egg hatching was at 6 days old egg. Light intensity didn’t give significantly response to break pupal dormancy. Naked pupa gave positive response for breaking pupal dormancy. The naked pupa that placed incubator with 18 watts lamp showed the fastest breaking pupal dormancy. Keywords: Cricula trifenestrata, embryonic development, egg postpone, pupal dormancy
RINGKASAN
TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa. Dibimbing oleh DEDY DURYADI S dan DAMIANA RITA E. Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa. Kokonnya berbentuk seperti jarring dan tidak berbau. Permintaan kokon jauh lebih tinggi daripada ketersediaannya di alam. Oleh karena itu banyak penelitian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera jenis ini. Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah (5 - 10 0C). Dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata juga menjadi masalah karena menyebabkan siklus hidup menjadi lebih panjang. Perlu dipikirkan cara pemecahan dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata. Uji pendahuluan pembuatan preparat embrio dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat. Telur direndam dalam larutan kimia dengan lama perendaman 1 - 5 hari. Tujuan perendaman dalam larutan kimia adalah untuk membuat cangkang telur menjadi transparan dan lunak sehingga embrio dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Dari uji pendahuluan ini akan disimpulkan larutan kimia mana yang paling baik dapat digunakan dalam pembuatan preparat embrio C. trifenestrata. Studi embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga hari kedelapan setelah oviposisi. Setiap stadia umur (n = 5) dari perkembangan telur (embrio) dibuat preparatnya dengan cara merendam telur dalam larutan NaOH 5 M selama tiga hari pada suhu ruangan yaitu 28 0C. Embrio yang telah dikeluarkan dari cangkangnya kemudian disimpan dalam alkohol 70% yang berfungsi sebagai pengawet preparat sebelum difoto. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo Nikon WD 70 Plan Apo dan kamera Nikon D100 dengan adapter BR2. Telur yang digunakan dalam percobaan penundaan penetasan adalah telur fertil hasil dari perkawinan imago jantan dan betina. Selanjutnya telur tersebut
disucihamakan dengan formalin 4% selama lima detik, kemudian dibilas dengan air mengalir. Telur yang telah disucihamakan diletakkan di dalam cawan petri. Jumlah telur setiap cawan petri adalah 30 butir. Telur tersebut disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 8 0C selama 3, 7, 14, 21 dan 28 hari. Keempat puluh perlakuan tersebut diulang tiga kali. Selanjutnya dihitung mengenai jumlah dan persentase telur yang menetas setelah diberikan perlakuan. Kokon yang digunakan dalam percobaan pemecahan dormansi adalah kokon yang berasal dari alam yang tidak keluar menjadi imago setelah satu bulan. Kokon dimasukkan dalam kotak inkubasi dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 100 cm. Pada percobaan ini digunakan tiga kotak inkubasi dengan penyinaran lampu yang berbeda yaitu 8, 18, dan 23 watt. Lama penyinaran setiap harinya adalah selama 12 jam. Parameter yang diamati adalah (a) lamanya waktu munculnya imago dari kokon atau pupa, (b) efektivitas perlakuan, (c) suhu pada tiap perlakuan, dan (d) intensitas cahaya. Kelembaban udara di dalam kandang diatur menjadi 80%. Efektivitas perlakuan dihitung dengan cara membandingkan jumlah imago yang keluar dari kokon/pupa setelah diberikan perlakuan dengan jumlah keseluruhan kokon/pupa pada tiap perlakuan. Lama perendaman dalam larutan kimia mempengaruhi bentuk embrio. Perendaman dalam larutan kimia yang terlalu lama akan membuat embrio menjadi hancur, sebaliknya bila terlalu cepat perendamannya cangkang belum lunak hingga embrio belum dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Hasil terbaik dalam percobaan ini adalah perendaman dengan larutan NaOH 5 M selama 3 hari. Oleh karena itu metode ini dipilih untuk pembuatan preparat embrio C. trifenestrata. Pada pengamatan embrio hari pertama terlihat bahwa telah terjadi proses pembelahan yang diikuti dengan pembentukan blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari diferensiasi berlangsung pada hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima terjadi perkembangan diferensiasi dan organogenesis. Embrio secara sempurna terbentuk lengkap pada hari keenam. Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala, thoraks dan abdomen. Struktur ‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah terbentuk. Stadia hari berikutnya (tujuh dan delapan) merupakan pematangan embrio hingga saat penetasan telur terjadi. Telur C. trifenestrata dapat ditunda penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga dan tujuh hari, sedangkan pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak dapat menetas. Penundaan penetasan telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat dilakukan selama tiga hari untuk stadia umur telur lima, enam, dan tujuh hari. Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh hari, namun hanya untuk stadia umur lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur 1- 4 hari, telur tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena suhu tersebut adalah suhu yang mematikan untuk perkembangan embrio muda. Dalam perkembangan embrio dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu yang tidak sesuai akan mengganggu proses perkembangan embrio. Pada stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena persediaan kuning telur sebagai zat saat penyimpanan dingin telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi pada embrio tersebut lebih parah dari pada embrio umur tujuh hari dan enam hari. Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur enam hari.
Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan struktur yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh hari tidak menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8 pada penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan makanan dari kuning telur. Berdasarkan hasil uji anova, intensitas cahaya tidak memberikan respon yang nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun demikian terlihat bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan memberikan waktu keluarnya imago yang berbeda. Intensitas cahaya yang memberikan respon tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux (lampu 18 watt). Kokon atau pupa yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan lampu ini cenderung lebih cepat keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran lampu yang lain (8 dan 23 watt). Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa yang tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa. Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding yang terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat menerima rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang terbungkus kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa adalah cahaya. Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula pada pupa. Pada pupa yang terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa cahaya harus melewati kokon sebagai barier. Selanjutnya proses endokrin yang terjadi adalah proses pengaktifan hormone ekdison yang akan menyebabkan terjadinya pergantian kulit dari pupa menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan, terlihat perlakuan dengan 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon menunjukkan efektivitas perlakuan tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa ditemukan mati dan tidak menjadi imago karena parasitoid dan kering. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada perlakuan lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila dilihat jumlah ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Parasitoid yang ditemukan menyerang pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan Sarchopagidae. Kata kunci: Cricula trifenestrata, perkembangan embrio, penundaan penetasan telur, dormansi pupa.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA
TEGUH LARASATI ANDRIANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Bio Sains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Tri Atmowidi, Msi.
Judul
Nama NIM
: Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembanngan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa : Teguh Larasati Andriani : G 352070241
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua
Dr. drh. Damiana Rita E, MS Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Biosains Hewan
Dr. Bambang Suryobroto
Tanggal Ujian: 11 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini sebagaimana yang diharapkan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2008 sampai April 2009 adalah Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium PPSHB. Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Dr. drh. Damiana Rita E. selaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan. Semoga jasa baik Bapak dan Ibu mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan YME. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala MAN 1 Kudus yang telah memberi ijin dan dukungan selama melaksanakan studi di IPB. Kepada Pimpinan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB, Ketua Mayor BSH IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB. Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dana, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Sutrisno Hari atas diskusi tentang Saturniidae, Bapak Dr. drh. Adiwinarto dan Mbak Tini atas masukannya dalam pembuatan preparat embrio, Dr. Kikin Muttaqin atas bantuan dokumentasi embrio, Bapak Roni atas bantuan kokon, Ibu Aisyah dan Bapak Heri atas kerjasama dan dukungannya. Kepada keluarga terutama Bapak dan Ibu saya (Soejatmin dan Sumaryatun) yang senatiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan saya. Kakak-kakak dan adik saya (Mas Guh, Mbak Tik, Mas Sulis, Mbak Heni, Indah) serta keponakankeponakan tercinta (Niken, Ais, Aji, Melati, Eno, Ata). Teman-teman satu angkatan, teman-teman satu laboratorium, dan semua pihak yang mendukung penelitian ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik Bapak, Ibu dan saudara-saudara semuanya. Amin
Bogor, Agustus 2009 Teguh Larasati Andriani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 29 September 1974 sebagai anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan H. Soejatmin dan Hj. Sumaryatun. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri Jember 2 Kudus pada tahun 1987, SMP Negeri 2 Kudus pada tahun 1990 dan SMA Negeri 1 Kudus pada tahun 1993. Lulus dari Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro pada tahun 1999. Tahun 2007 memperoleh kesempatan melanjutkan program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Departemen Agama. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Kudus sejak tahun 2005 hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Permasalahan .................................................................................................. Hipotesis........................................................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................................ Manfaat Penelitian ........................................................................................... Kerangka Penelitian ........................................................................................
1 4 4 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Cricula trifenestrata ..................................................................... Distribusi C. trifenestrata ............................................................................... Biologi C. trifenestrata. .................................................................................. Telur ................................................................................................... Larva ................................................................................................. Pupa ................................................................................................... Imago ................................................................................................ Perkembangan Embrio Serangga .................................................................... Faktor Yang Mempengaruhi Metamorfosis Serangga .................................... Pengaruh Cahaya pada Metamorfosis ................................................ Strategi Serangga Untuk Bertahan di Musim Dingin ......................... Hormon Pengendali Metamorfosis .....................................................
6 6 7 7 8 8 9 10 14 15 16 16
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................... Alat dan Bahan Penelitian ................................................................................ Cara Kerja ....................................................................................................... Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ........................................... Pengamatan Embrio C. trifenestrata ................................................... Penundaan Penetasan Telur ............................................................... Pemecahan Dormansi Pupa ................................................................. Analisis Data ...................................................................................................
20 20 20 20 20 21 22 24
HASIL Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ...................................................... Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ................................................ Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu 8 0C ........................................................................................................ Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata ................................................. PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata ......................................................................... Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ................................................ Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu 8 0C ......................................................................................................... Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata ....................................................
25 30 33 35
39 39 41 42
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ......................................................................................................... 44 Saran ................................................................................................................ 44 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 45 LAMPIRAN ................................................................................................... 48
DAFTAR TABEL Halaman 1 Keberhasilan perkembangan embrio dan penetasan telur .......................... 34 2 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa ............................. 37 3 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa bila pupa yang mati karena parasit tidak masuk dalam perhitungan .................................. 38
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur kerangka penelitian ........................................................................... 5 2 Pembelahan nukleus .................................................................................... 11 3 Embrio dengan germ band .......................................................................... 11 4 Perkembangan ‘amnion cavity’ ................................................................... 12 5 Pembentukan saluran pencernaan ............................................................... 13 6 Perkembangan appendages serangga .......................................................... 14 7 Kotak inkubasi .......................................................................................... 23 8 Peletakan telur C. trifenestrata ................................................................... 25 9 Larva instar 1 .............................................................................................. 26 10 Larva instar 2 .............................................................................................. 26 11 Larva instar 3 .............................................................................................. 27 12 Larva instar 4 .............................................................................................. 27 13 Larva instar 5 .............................................................................................. 28 14 Kokon dan pupa .......................................................................................... 28 15 Imago jantan dan betina .............................................................................. 29 16 C. trifenestrata sedang berkopulasi............................................................. 30 17 Perkembangan embrio C. trifenestrata pada hari 1- 8 ................................ 32 18 Parasitoid pada pupa: A. Ichneumonidae; B. Sarchopagidae ..................... 35 19 Pupa yang mati kekeringan ......................................................................... 35
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Uji anova untukpengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap waktu keluarnya imago ............................................................................ 49 2 Uji anova pengaruh stadia umur telur dan lama penyimpanan terhadap prosentase penetasan telur .......................................................................... 50 3 Uji Duncan untuk stadia umur telur ........................................................... 51 4 Larutan laktofenol ...................................................................................... 51
PENDAHULUAN
Latar Belakang Industri sutera di Indonesia telah berkembang selama kurang lebih 80 tahun (mulai dari tahun 1930-an sampai sekarang) (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama perkembangan tersebut ulat sutera yang dibudidayakan adalah Bombyx mori yang tergolong dalam famili Bombycidae. Banyak kendala yang dihadapi dalam budidaya sutera ini, antara lain masih tergantungnya pasokan bibit ulat sutera berkualitas dari luar negeri dan adanya hambatan klimatik (karena Bombyx bukan ngengat asli Indonesia). Selain Bombyx mori, ada jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera yaitu Antheraea yamamai (dikembangkan di Jepang), Antheraea polypemu (dikembangkan di Amerika Utara), Antheraea pernyi (dikembangkan di China), Philosamia ricini (sutera eri dikembangkan di India), Antheraea mylitta (sutera tasar dikembangkan di India), dan Attacus atlas. Indonesia memiliki potensi penghasil sutera dari ulat sutera liar. Beberapa jenis ulat sutera liar yang daerah penyebarannya ada di Indonesia adalah Cricula trifenestrata, Attacus atlas dan Antherea spp (Paukstadt U & Paukstadt LH 2004) yang selama ini dianggap sebagai hama, ternyata mampu menghasilkan benang sutera yang bernilai ekonomis. Dibandingkan dengan Bombyx, ulat sutera liar asli Indonesia ini memiliki keunggulan yaitu relatif bebas dari hambatan klimatik. Salah satu jenis ulat sutera liar yaitu C. trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) yang lebih dikenal dengan nama ulat kipat atau ulat alpukat, merupakan ulat sutera yang bersifat polifag, menyukai berbagai jenis inang, seperti alpukat, jambu mente, kayumanis, kedondong, mangga, kenari, coklat, kina dan beberapa jenis tanaman lainnya (Kalshoven 1981; Holloway 1987). Di beberapa daerah seperti di Yogyakarta dan sekitarnya serta Bali, kepompongnya mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pupa diolah menjadi sumber nutrisi, sementara serat kokon dijadikan bahan kerajinan seperti ornamen, kembang dan hiasan lainnya (Wikardi & Djuwarso 2000;
Purwanti 2005). C. trifenestrata dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa.
Kokonnya
berbentuk seperti jaring (Kalshoven 1981) dan tidak berbau. Oleh karena itu banyak penelitian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera jenis ini. Selama ini para pengumpul C. trifenestrata mendapatkan kokon dengan cara mengumpulkannya dari alam karena memang belum ada upaya budidaya. Masalah yang dihadapi para pengumpul adalah bahwa kokon tidak ditemukan secara kontinyu sepanjang tahun.
Dugaan sementara kelangkaan kokon di masa-masa tertentu
disebabkan oleh strategi adaptasi dari serangga ini dengan melakukan aktivitas hidupnya hanya pada kondisi lingkungan yang kondusif (‘favorable’) bagi kehidupannya. Hampir semua serangga termasuk C. trifenestrata memiliki kemampuan untuk mengatasi kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan. Kendala yang utama bagi serangga adalah predator, parasit, parasitoid dan perubahan yang terjadi di lingkungan akibat pergantian musim (Gullan & Cranston 2000). Penyesuaian yang terjadi pada serangga dalam menanggapi perubahan musim mencakup antara lain modifikasi khas mengenai daur hidup.
Hal ini dilakukan dengan penyesuaian
perkembangan tanpa mengubah urutan rangkaian daur hidup, tetapi menyelaraskan perkembangan aktif dengan musim yang sesuai. Salah satu hal yang dilakukan oleh serangga adalah melakukan diapause (Denlinger 1986).
Sebagai contoh pada
serangga subtropis, diapause lebih merupakan suatu kasus khusus yaitu terhentinya perkembangan sebagai antisipasi dari datangnya kondisi alam yang tidak memungkinkan, dan hal ini dapat terjadi pada tahap manapun dari siklus hidup bergantung pada spesies. Umumnya diapause terjadi pada tahapan telur dan pupa (Willmer et al. 2005). Oleh karena itu diapause berkontribusi dalam memperpanjang siklus hidup serangga dan kemampuannya bertahan terus hidup walaupun iklim relatif kurang mendukung. Beberapa penelitian mengenai diapause pada serangga telah banyak dilakukan. Menurut Bradshaw et al. (2004), banyak tanaman tingkat
tinggi, hewan vertebrata, dan hewan arthropoda menggunakan lama pencahayaan atau fotoperiode untuk mensinkronisasikan pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dormansi, migrasi dengan perubahan musim. Selain itu kondisi iklim mikro terutama kelembaban dapat mempercepat keluarnya ngengat dari kepompong. Pada ngengat jenis lain, Rachman (2001) menyatakan lama periode pupa Attacus atlas di musim penghujan lebih pendek daripada di musim kemarau. Perlakuan fotoperiode dapat mempersingkat waktu periode pupa di musim kemarau dan sebaliknya dapat memperpanjang waktu periode pupa di musim penghujan. Demikian juga menurut William et al. (1964), diapause pupa Antherea pernyi dapat diperlambat pada suhu 25 0C dengan kondisi penyinaran pendek (fotofase 4 - 12 jam) dan dapat dipercepat dengan kondisi penyinaran panjang (fotofase 15 - 18 jam).
Ostrinia nubilalis
(Pyralidae) yang dipelihara dalam laboratorium, diapause fakultatif dapat terjadi saat diinduksi dengan penyinaran pendek (McLeod & Beck 1963). Wilayah tropis memiliki kondisi iklim yang berbeda dengan wilayah subtropis. Beberapa serangga pada daerah tropis melakukan penyesuaian kondisi iklim dengan melakukan dormansi. Denlinger (1986) menyatakan bahwa dormansi serangga tropis meliputi aestivasi (diapause di musim kering) dan pluviasi (diapause di musim basah). Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah (5 - 10 0C). Sebagai contoh pada Bombyx mori, telur dapat ditunda penetasannya pada suhu -2.5 0C hingga dua tahun (Shimizu et al. 1994). Dengan demikian langkah penting untuk domestikasi dan budidaya C. trifenestrata dapat dimulai dari studi
perkembangan embrio, penyimpanan telur yang tetap fertil dan ‘viable’ dan percepatan kemunculan imago dari fase pupa dengan berbagai cara.
Permasalahan Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana perkembangan embrio C. trifenestrata, pada tahap / umur embrio berapa hari dapat dilakukan penundaan penetasan telur dan bagaimana pengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata.
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah suhu 8 0C dapat digunakan untuk menunda penetasan telur C. trifenestrata; intensitas cahaya dan kondisi pupa memberikan pengaruh pada pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perkembangan embrio C. trifenestrata, melakukan upaya penundaan penetasan telur dan mengetahui pengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa pada pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata.
Manfaat Penelitian Penelitian
ini
bermanfaat
memberikan
informasi
C. trifenestrata untuk mendukung budidaya ulat sutera liar.
mengenai
biologi
Alur Kerangka Penelitian
Industri sutera (Bombyx) di Indonesia tergantung pasokan bibit berkualitas dari luar negeri, namun budidayanya menghadapai hambatan klimatik (Bombyx bukan ngengat asli Indonesia).
Perlu eksplorasi mengenai sumber benang sutera yang asli Indonesia selain dari Bombyx sehingga relatif bebas hambatan klimatik.
C. trifenestrata merupakan salah satu penghasil sutera liar asli Indonesia yang belum dibudidaya tetapi jumlahnya melimpah di alam.
Informasi biologi ulat sutera C. trifenestrata terbatas.
1. Perkembangan embrio 2. Cara penundaan penetasan 3. Pemecahan dormansi pupa
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Siklus hidup Pakan larva Pengolahan kokon Pemanfaatan kokon untuk keperluan lain Breeding Domestikasi
Budidaya C. trifenestrata sebagai penghasil sutera asli Indonesia.
Gambar 1 Alur kerangka penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Cricula trifenestrata Cricula trifenestrata termasuk dalam kelompok ngengat yaitu sejenis kupu nokturnal (aktif di malam hari) yang memiliki ciri-ciri antara lain antena pada jantan berbentuk quadripektinate sedang pada betina berbentuk bipektinate. Dalam genus Cricula, di antara spesies, terdapat perbedaan dalam hal warna. Spot mata pada sayap telah bermodifikasi, ocelus pada sayap belakang mereduksi menjadi titik kecil kehitaman atau jendela hyaline kecil yang bulat. Pada sayap depan, ocelus juga mereduksi, tapi terdapat satu, dua atau tiga spot yang mirip membentuk seperti sebuah kepulauan pada sayap. Terdapat seksual dimorfisme, betina selalu lebih besar dengan sayap yang membulat dan biasanya berwarna lebih gelap dari jantan. Warna sayap juga bervariasi dari coklat, merah gelap-oranye hingga coklat kekuningan (Nassig et al.1996). Dalam klasifikasi, C. trifenestrata
termasuk dalam kingdom Animalia,
phylum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Saturniidae, genus Cricula (Triplehorn & Johnson 2005).
Distribusi C. trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) Di dunia ada sekitar 1200 - 1500 spesies dari famili Saturniidae dengan pusat keragaman ada di Neotropik, Asia Tenggara antara Peninsula Indomalaya dan New Guinea (70 spesies). Di Sumatra dan pulau kecil lain di sekitarnya terdapat sekitar 24 spesies (Nassig et al. 1996). Famili Saturniidae merupakan bagian dari superfamili Bombycoidea yang terdiri dari beberapa famili ngengat yang berukuran besar seperti Lasiocampidae, Euteroptidae, Anthelidae Australia, Carthaeidae Australia, Sabaliidae Africa, Lemoniidae Paleartic bagian barat, Apatelodidae Amerika, Endromididae Paleartic, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae (Nassig et
al. 1996). Tiga
spesies terdapat di Sumatra yaitu C. sumatrensis (spesies endemik), C. elaezia
(tersebar di paparan Sunda), dan C. trifenestrata (tersebar di daerah oriental). Malaysia barat diketahui memiliki 2 spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia. Borneo diketahui memiliki 3 spesies yaitu C. bornea (spesies endemik), C. elaezia (tersebar di paparan Sunda) dan C. trifenestrata. Jawa dan Bali diketahui memiliki 2 spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia (Nassig et al. 1996). C. trifenestrata merupakan spesies Cricula yang paling luas penyebarannya. Spesies ini dapat ditemukan sebagai subspecies yang berbeda di wilayah India selatan dan Asia Tenggara yang meliputi Philipina (C. t. treadawayi) dan Indonesia (Jawa yaitu C. t. javana; Sumatra yaitu C. t. javana; Sulawesi yaitu C. t. kransi & C. t. banggaiensis; Sumba yaitu C. t. tenggarrensis; Maluku yaitu C.t. serama &
C.
t. banggaiensis) (Nassig et al. 1996).
Biologi Cricula trifenestrata C. trifenestrata disebut juga ulat kipat bersifat polifag dan sangat rakus. Selain jambu mete larva ulat sutera ini juga menyerang alpukat, kenari, jambu, kedondong, mangga, kakao, dan kayumanis (Kalshoven 1981). C. trifenestrata termasuk serangga holometabola yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Siklus hidupnya terbagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva atau ulat, pupa atau kepompong dan imago atau ngengat dewasa (Gullan & Cranston 2000). Lamanya siklus hidup C. trifenestrata dari telur hingga imago rata-rata 63 – 77 hari (Deptan 1995).
Telur C. trifenestrata memiliki telur yang berkulit licin berwarna putih kekuningan, berbentuk bulat lonjong dengan panjang 2.27 ± 0.15 mm, lebar 1.86 ± 0.12mm (Rono et al. 2008).
Telur diletakkan oleh induknya secara teratur, disusun rapi pada
pinggiran daun sebelah bawah atau tangkai daun dalam jumlah yang banyak. Jumlah telur mencapai 200 - 325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas menjadi larva setelah 7 hari. Stadia telur sekitar 8 – 11 hari (Deptan 1995).
Larva Menurut Rono et al. (2008) larva C. trifenestrata terdiri dari lima instar dengan pergantian kulit empat kali.
Perubahan larva dari instar 1 ke instar 5
membutuhkan waktu masing-masing 5 hari, sehingga fase larva berlangsung kurang lebih 25 hari.
Larva instar 1 berwarna kuning hingga kuning kecoklatan yang
kemudian akan berubah menjadi kuning kemerahan dengan kepala hitam. Bagian thoraks terdiri dari 3 segmen dan tiap segmen terdapat sepasang kaki dan tubuhnya ditutupi rambut-rambut halus.
Bagian abdomen memiliki 5 pasang proleg yang
terdapat pada segmen abdomen ketiga hingga keenam dan segmen abdomen kesepuluh. Larva instar 2 berwarna kombinasi dari kuning, merah dan hitam dengan kepala coklat, tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus. Larva instar 3, warna tubuhnya adalah kuning kemerahan dengan kepala coklat, tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih dan bagian ventralnya berwarna merah. Larva ini bergerak lebih aktif, memakan lebih banyak dan ukuran bertambah dibandingkan 2 instar sebelumnya. Larva instar 4 berwarna mirip dengan instar 5 namun berbeda dalam ukuran. Larva instar 5 berwarna merah dengan kepala merah tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih agak kasar dan terdapat garis hitam melingkar mulai dari kepala sampai abdomen. Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran larva instar 1 hingga instar 5 menunjukkan peningkatan panjang rata-rata dari 4.08 ± 0.15 hingga 81.49 ± 0.23 mm dan lebar rata-rata dari 2.17 ± 0.18 hingga 11.22 ± 0.22 mm.
Pupa Prapupa merupakan suatu tahapan dimana larva instar 5 mulai berubah bentuk menjadi pupa.
Pada
awal periode prapupa, larva mulai berhenti makan, mulai
berkurang keaktifannya, tidak bergerak cepat lagi dan memilih tempat terlindung untuk pupasi.
Menurut Rojak (2001) dari instar 5 sampai menjadi prapupa
membutuhkan waktu 8 - 9 hari, sedangkan pupasi atau proses terbentuknya pupa berlangsung selama 3 - 5 hari. Ukuran pupa betina lebih panjang dan lebar dari pupa jantan.
Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran pupa menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata pupa jantan adalah 31.64 ± 0.37 mm dan 10.61 ± 0.31 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata pupa betina adalah 35.57 ± 0.40 mm dan 12.58 ± 0.31 mm. Pupa C. trifenestrata terbungkus dalam kokon yang berbentuk jala rapat berwarna kuning emas . Dalam keadaan normal stadia pupa antara 21 - 26 hari, tetapi apabila keadaan tidak menguntungkan dapat terjadi sampai 3 bulan (Deptan 1995). Penundaan perkembangan dari stadia pupa menjadi imago dikenal sebagai diapause. Masa istirahat yang relatif panjang ini dapat dihentikan dengan cara memberikan rangsangan fisik/ lingkungan berupa perlakuan fotoperiode (Rachman 2001). Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran kokon menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata kokon jantan adalah 41.98 ± 0.55 mm dan 12.31 ± 0.29 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata kokon betina adalah 50.89 ± 0.43 mm dan 16.22 ± 0.31 mm.
Imago Serangga dewasa C. trifenestrata adalah serangga nokturnal, berwarna kekuningan hingga kemerahan. Jantan memiliki dua spot gelap pada sayap depan, sedangkan betinanya memiliki tiga spot transparan yang tidak teratur pada sayap depan dan satu spot pada sayap belakang. Pada bagian dekat dasar sayap depan nampak garis hitam berombak. Kepala, torak, abdomen dan appendiks ditutup oleh sisik yang berwarna coklat kekuningan. Antena bipektin panjang dengan jumlah segmen yang tidak terdefinisi.
Antena jantan lebih lebar dari betina. Segmen
abdomen terakhir betina lebih lebar dari jantan. Ukuran tubuh betina lebih besar dari jantan. Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran imago menunjukkan bahwa panjang dan lebar rata-rata imago jantan adalah 22.35 ± 0.31 mm dan 32.02 ± 0.28 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata imago betina adalah 32.48 ± 0.34 mm dan 74.14 ± 0.36 mm.
Ngengat betina mulai bertelur satu hari setelah kawin. Ngengat betina yang tidak kawin juga bertelur pada hari kedua setelah keluar dari pupa namun telur yang dihasilkan adalah telur yang infertil. Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai lama hidup imago menunjukkan bahwa lama hidup imago jantan rata-rata adalah 2.90 ± 0.38 hari, sedangkan betinanya adalah 4.20 ± 0.42 hari.
Perkembangan Embrio Serangga Telur serangga adalah sebuah sel dengan dua lapis selaput bagian luar, satu selaput vitelin yang tipis yang mengelilingi sitoplasma dan korion bagian luar. Korion berupa kulit bagian luar dari telur tersebut yang keras. Telur mempunyai satu lubang yang kecil atau beberapa lubang (mikrofil) pada satu ujung, yang menjadi tempat masuknya sperma ke dalam telur. Di sebelah dalam selaput vitelin terdapat satu lapisan korteks, dimana di dalamnya terdapat kuning telur (‘egg yolk’) (Gambar 2 a) (Triplehorn & Johnson 2005). Embriogenesis adalah proses perkembangan yang dimulai setelah terjadi proses fertilisasi.
Embriogenesis meliputi pembelahan sel secara mitosis dan
pertumbuhan, pergerakan, dan differensiasi menjadi jaringan dan organ.
Telur
serangga banyak mengandung kuning telur. Pembelahan pada serangga dikenal sebagai pembelahan superfisial yaitu pembelahan yang terjadi pada sitoplasma yang mengelilingi kuning telur.
Sel tidak akan terbentuk hingga selesai pembelahan
nukleus. Nukleus yang mengalami pembelahan (disebut ‘energid’) berpindah ke bagian perifer dan terus mengalami pembelahan meskipun dalam kecepatan yang menurun (Gambar 2 b). Embrio pada saat ini disebut sinsitial blastoderm yang berarti semua nukleus terdapat di dalam sitoplasma yang sama (Gambar 2 c). ‘Nuclei’ yang terdapat pada bagian posterior dari sel telur kemudian dibungkus oleh membrane plasma baru dan disebut sel-sel kutub dari embrio (‘pole cells’). Sel-sel kutub ini akan berkembang membentuk sel-sel germ (‘germ cells’) pada hewan dewasa nantinya. Proses pertama dari perkembangan serangga adalah pemisahan bakal selsel germ (Gilbert 1985).
Gambar 2 Pembelahan nukleus
Gambar 3 Embrio dengan germ band
Setelah terbentuk sel-sel kutub, membran plasma dari telur akan melipat ke dalam di antara nuklei, sehingga tiap-tiap sel mempunyai satu nukleus yang disebut sel-sel blastoderm (Gambar 2 d) yang menyusun diri membungkus yolk dari embrio. Pada bagian ventral dari embrio, blastoderm akan membentuk penebalan yang merupakan bakal embrio nantinya (‘germ band’) yang kemudian akan memanjang dan berkembang menjadi embrio (Gambar 3), sedangkan sel blastoderm lainnya akan berkembang membentuk selaput ekstraembrionik. Daerah ventral yang akan menjadi embrio disebut ‘germ anlagen’ (Gilbert 1985). Pada sebagian besar serangga, lipatan pada daerah di luar pita lembaga tumbuh ke arah atas pita lembaga, nantinya bertemu sepanjang garis tengah longitudinal (Gambar 4 a). Lapis luar dan dalam dari satu lipatan bersatu dengan lapis yang sama dan lipatan lainnya (Gambar 4 b).
Lipatan dalam membentuk
amnion di sekeliling embrio yang berkembang dan lapis luar membentuk serosa yang mengelilingi kuning telur, amnion, dan embrio (Gambar 4 c).
Gambar 4 Perkembangan ‘amnion cavity’ (Chapman 1998)
Pada waktu pembentukan amnion dan serosa, terjadi juga proses gastrulasi, yang dimulai dengan invaginasi (melekuk ke dalam) bagian bawah (venter) ‘germ band’.
Sel-sel blastoderm yang merupakan hasil dari fase pembelahan, pada
gastrulasi akan melakukan perpindahan-perpindahan untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm.
Pergeseran-pergeseran yang terjadi pada
gastrulasi ini meliputi seluruh embrio. Migrasi dari sel pada suatu bagian embrio harus terkoordinasi dengan pergerakan-pergerakan yang terjadi pada waktu yang sama (Gilbert 1985). Invaginasi pada proses ini akan mendatar ke arah luar dan pinggir-pinggir luarnya bertemu dan bersatu membentuk pita longitudinal dari sel-sel (lapis dalam) yang dikelilingi oleh lapis luar yaitu ektoderm. Tipe lain pembentukan lapisan dalam adalah mengendapnya pita longitudinal bawah ke dalam kuning telur, yang kemudian tumbuh membentuk sel-sel ‘germ band’ yang tertinggal. Tipe yang lain lagi, lapisan dalam berkembang dari proliferasi ‘germ band’. Kemudian lapisan dalam berkembang menjadi dua pita longitudinal lateral (mesoderm) dan ‘median strands’ dengan masa sel pada ujung anterior dan posterior yang akan menjadi endoderm (Triplehorn & Johnson 2005). Saluran pencernaan terbentuk oleh pelekukan ke dalam dari masing-masing ujung embrio, yang meluas sampai bersatu dengan usus tengah primitif (Gambar 5). Pelekukan ke dalam bagian anterior menjadi usus depan, pelekukan ke dalam bagian posterior menjadi usus belakang, dan bagian tengah (dilapisi dengan endoderm) menjadi usus tengah. Sel-sel yang melapisi usus depan dan usus belakang berasal dari ektoderm dan mensekresi kutikula (Triplehorn & Johnson 2005).
Gambar 5 Pembentukan saluran pencernaan (Chapman 1998)
Pada saat terbentuk mesoderm dan endoderm, terjadi alur-alur melintang sehingga embrio terbagi-bagi menjadi satu seri ruas-ruas yang berjumlah 20 ruas. Segmentasi atau peruasan ini terjadi secara bertahap, mulai dari anterior hingga posterior.
Pada saat yang sama terjadi invaginasi ektoderm, yang membentuk
‘appendages‘ tubuh (Gambar 6). Apabila segmentasi tubuh telah sempurna dan ‘appendages‘ telah terbentuk, bagian-bagian embrio akan membentuk ketiga tagmata tubuh serangga yaitu kepala, toraks, dan abdomen. Setelah pembentukan tiga lapisan (endoderm, mesoderm, dan ektoderm), masing-masing akan berkembang lebih lanjut dan membentuk berbagai jaringan dan organ-organ. Proses ini disebut organogenesis. Otot, jantung, dan aorta, jaringan lunak dan organ reproduksi berasal dari perkembangan
mesoderm.
Mesenteron
berasal
dari
endoderm,
sedangkan
stomodeum, proktodeum, otak, sistem saraf, sistem trakea, dan integumen berasal dari ektoderm (Triplehorn & Johnson 2005).
Gambar 6 Perkembangan appendages serangga (Chapman 1998)
Faktor Yang Mempengaruhi Metamorfosis Serangga Metamorfosis merupakan perubahan bentuk, struktur dan fungsi (morfologi, anatomi, dan fisiologi) organisme dari larva menjadi dewasa. Perubahan tersebut diawali dan diatur oleh signal hormon. Namun demikian tanggapan jaringan atau organ terhadap signal hormon tidak sama, tergantung pada stadium perkembangannya (Muller 1997). Faktor dalam (intrinsik) maupun faktor luar (ekstrinsik) seringkali berinteraksi mempengaruhi proses metamorfosis. Faktor dalam antara lain genetis dan hormonal, sedangkan faktor luar yang umum adalah pakan, suhu, kelembaban, dan cahaya (Gullan & Cranston 2000). Lamanya perkembangan suatu generasi dan lamanya suatu generasi bertahan hidup dipengaruhi oleh musim dan berbeda pada setiap spesies.
Kebanyakan
serangga di daerah subtropis mempunyai tipe siklus hidup yang heterodinamik yaitu serangga dewasa muncul selama waktu yang terbatas selama satu musim khusus. Sejumlah tahapan hidup diselesaikan dalam musim dingin dalam keadaan dorman/diapause. Tahapan melewati musim dingin mungkin dalam bentuk telur, nimfa, larva, atau imago. Serangga yang hidup di daerah tropis, mempunyai tipe siklus hidup homodinamik, yaitu perkembangan terus berlanjut tanpa ada periode istirahat untuk menyempurnakan siklus hidupnya (Gullan & Cranston 2000).
Banyak serangga memiliki lebih dari satu generasi dalam satu tahun. Serangga seperti ini melanjutkan reproduksinya sepanjang musim selama kondisi lingkungan sesuai dan pakan tersedia. Pada beberapa serangga, perkembangan dapat terhenti selama satu tahapan khusus dalam siklus tahunan. Periode ini secara genetik telah diprogram dan disebut diapause. Periode istirahat pada musim dingin disebut hibernasi dan periode istirahat selama suhu tinggi disebut aestivasi. Diapause pada serangga dikendalikan secara genetik, namun pada awal maupun akhir dari fase ini dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan seperti faktor fisik (suhu dan fotoperiode) dan faktor ketersediaan makanan (Hunter & McNeil 1997).
Pengaruh Cahaya pada Metamorfosis Fotoperiode merupakan istilah untuk pengukuran waktu selama 24 jam yang terdiri dari waktu terang dan waktu gelap.
Proporsi masing-masing bervariasi
tergantung musim dan posisi daerah menurut garis lintang. Periode terang (‘day length’) juga disebut sebagai fotofase yaitu periode bumi menerima cahaya matahari sejak matahari terbit sampai tenggelam.
Periode gelap (‘night length’), disebut
scotofase yaitu periode sejak matahari tenggelam sampai terbit (Beck 1980). Fotoperiode berfungsi dalam adaptasi biologi dengan menyediakan informasi lingkungan dalam bentuk signal ruang sementara.
Pada serangga pengaruh
fotoperiode antara lain pada aktivitas lokomotor, perilaku makan, dan perilaku kawin. Aktivitas motorik biasanya berakibat pada perilaku makan, kawin, dan bertelur. Puncak aktivitas hewan diurnal bervariasi tergantung spesiesnya, namun tetap pada fase terang. Pada hewan nokturnal, gelap merupakan rangsangan untuk aktivitasnya (Beck 1980). Perilaku makan pada larva Lepidoptera berirama dan sederhana, sedangkan serangga terbang seperti nyamuk atau penghisap darah lain, perilaku makannya sangat kompleks. Perilaku kawin kebanyakan serangga dikendalikan oleh ‘sex attractans’ (feromon) sebagai sarana komunikasi kimia antara kedua jenis kelamin tersebut. Serangga betina menghasilkan feromon yang disekresikan ke lingkungan sebagai pemanggil, selanjutnya serangga jantan datang menanggapi panggilan
tersebut. Sekresi feromon pada ngengat terjadi pada separo waktu akhir scotofase, pada spesies lain dapat terjadi sebaliknya atau dengan pola lain (Gullan & Cranston 2000). Strategi Serangga Untuk Bertahan di Musim Dingin Pada saat musim dingin banyak serangga mati. Namun beberapa serangga dapat memiliki toleransi dengan temperatur yang bisa membekukan dengan mengontrolnya menjadi kristal es atau menggunakan anti beku (‘anti freezing’). Suhu musim dingin dapat membekukan sel. Ketika hal ini terjadi partikel dalam cairan tubuh mengelilingi nukleus membentuk kristal es.
Jika kristal es terus
terbentuk tanpa intervensi, maka membran sel akan terpotong, sehingga merusak sel dan jaringan.
Kebanyakan organisme yang bertahan hidup pada musim dingin
memproduksi molekul antifreezing dan mengeliminasi sampah dari tubuh (untuk mengurangi sejumlah nukleus yang ada untuk menginisiasi formasi es) (Danks 2006). Molekul antifreezing yang paling umum adalah glukosa dan gliserol. Ketika ditemukan dalam tingkat konsentrasi yang tinggi, glukosa dapat mengurangi titik beku hingga 2 derajat centigrade. Kebanyakan serangga memproduksi sejumlah gliserol (Chapman 1998). Kebanyakan organisme juga memproduksi protein antifreezing (Antifreezing Proteins/AFPs) pada temperatur rendah.
Hormon Pengendali Metamorfosis Dalam menanggapi stimuli lingkungan, sel-sel neurosekretori dalam otak serangga mensekresi hormon peptida yang disebut prothoracicotropic hormone (PTTH).
Melalui sistem yang kompleks, PTTH kemudian merangsang kelenjar
prothoraks untuk mensintesis hormon steroid yang disebut ekdison. merupakan
hormon
yang
belum
aktif
(20-hydroxyecdysone).
menyederhanakan, dua-duanya kemudian disebut sama sebagai ekdison.
Ekdison Untuk Setiap
pergantian kulit dipicu oleh peningkatan kadar ekdison dalam hemolimfe (Kalthoff 1996; Muller 1997). Hormon juvenile (JH) merupakan suatu hormon yang terlarut dalam lemak, dihasilkan oleh sepasang kelenjar yang disebut corpora allata.
Corpora allata
berhubungan dengan otak sehingga sekresi JH juga dikendalikan oleh otak. Hormon juvenile secara esensial menghambat metamorfosis. Apabila konsentrasi JH dalam hemolimfe tinggi pada saat pergantian kulit, terbentuklah larva.
Penurunan
konsentrasi JH dalam hemolimfe pada saat pergantian akan menghasilkan pupa, dan ketika hormone juvenile dalam hemolimfe tidak ada sama sekali akan diperoleh imago (Kalthoff 1996). Keberadaan JH pada konsentrasi tinggi berperan dalam memelihara stadium larva dan mempengaruhi pertumbuhannya sehingga larva tumbuh menjadi semakin besar. Selama pertumbuhan larva, kutikula mengalami pengerasan sehingga suatu saat tidak mampu mengikuti pertumbuhan larva.
Akibatnya, kutikula tersebut
ditanggalkan dan diganti dengan kutikula baru yang telah disintesis sebelum pergantian kulit. Kutikula baru yang masih bersifat elastis selanjutnya juga akan mengalami pengerasan lagi seiring dengan pertumbuhan larva (Muller 1997). Menurut Wiggleworth (1997), gelapnya warna dan pengerasan kutikula dipengaruhi oleh bursicon yang dihasilkan ganglia thoracic.
Proses penanggalan kutikula
(ecdysis) tersebut terjadi beberapa kali di bawah pengaruh hormon ekdison. Pada larva C. trifenestrata terjadi empat kali ekdisis, sehingga terjadi lima instar. Proses pergantian kulit ini terjadi dengan terbentuknya lapisan endokutikula baru di bawah lapisan kutikula lama yang sudah mengeras. Sebelum kulit luar atau kutikula yang lama mengelupas, epikutikula dan prokutikula yang baru telah dipersiapkan oleh sel-sel hipodermis (sel-sel epidermis) yang ada di bawahnya, kemudian sel-sel hypodermis mengeluarkan ekdison untuk melancarkan proses pergantian kulit. Hormon ini mengandung enzim kitinase dan protease yang dapat melepaskan kutikula yang lama.
Pelepasan kutikula lama terjadi dengan cara
melarutkan lapisan endokutikula lama oleh hormon tersebut. Hasil pelarutan lapisan endokutikula lama itu diserap kembali oleh hypodermis. Kemudian kulit luar yang tersisa (eksokutikula) robek dan mengelupas terdorong oleh gerakan tubuh serangga yang membesar dan telah memiliki kulit baru. Proses membesarnya tubuh serangga sampai ukuran tertentu terjadi sebelum dinding tubuh atau kutikula baru mengalami proses pengerasan (sklerotisasi) (Gullan & Cranston 2000). Selain mempengaruhi
proses ekdisis, ekdison juga bertanggung jawab terhadap proses metamorfosis. Menurut Muller (1997), metamorfosis sempurna meliputi dua tahap utama yaitu sebagai berikut: tahap pertama adalah perubahan dari larva instar terakhir menjadi pupa yang tidak aktif dan tahap kedua keluarnya imago dari pupa. Selama stadium pupa terjadi beberapa organogenesis dan organolisis. Ketiadaan faktor lingkungan yang tepat dan sesuai, dapat menyebabkan hewan atau tumbuhan mengalami ‘tidur’. Keadaan demikian pada tumbuhan disebut dormansi, sedangkan pada hewan disebut hibernasi atau diapause.
Diapause
merupakan istilah yang sering digunakan untuk kelompok serangga. Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa. Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan, dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi.
Laju
metabolism yang diukur dengan laju konsumsi oksigen selama diapause turun sampai 3% (Beck 1980). Rendahnya laju pengambilan O2 pada diapause pupa dikaitkan dengan aktivitas enzim oksidatif mitokondria.
Pada kajian klasik terhadap diapause
Hyalophora cecropia (Saturniidae), ditunjukkan bahwa status diapause diatur secara humoral. Tidak adanya prothoracicotropic hormon (PTTH), kelenjar prothoraks tidak menghasilkan hormon ecdyson sehingga perkembangan serangga menjadi stadium dewasa terhenti. Diapause pupa yang terjadi dan dipertahankan akibat tidak adanya stimulus PPTH pada kelenjar prothoraks, mengakibatkan diapause segera berakhir bila mendapat ekdison eksternal (Beck 1980). Pada beberapa kasus, berakhirnya diapause dirangsang oleh pemaparan suhu rendah (<10
0
C), untuk beberapa minggu.
Pada beberapa jenis serangga
perkembangan diapause dirangsang oleh temperatur rendah atau fotoperiode. Rangsangan perkembangan diapause dengan temperatur rendah atau fotoperiode terang panjang, lebih merupakan akibat dari pengaruh faktor-faktor tersebut pada sistem neuroendokrin di otak daripada sistem organ-organ lain. Pembedahan atau pengambilan otak pupa diapause dapat menghasilkan diapause permanen.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium PPSHB (Pusat Penelitian dan Sumber Daya Hayati) Institut Pertanian Bogor, berlangsung dari bulan Pebruari 2008 hingga Maret 2009. Alat dan Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kokon dan telur C. trifenestrata, larutan kimia: HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat glacial, formalin 4%, dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah cawan petri berdiameter 11 cm, kandang imago dan kandang perlakuan berupa kotak berukuran panjang x lebar x tinggi = 40 cm x 40 cm x 100 cm, lampu Philips SL 8, 18, 23 watt, lemari pendingin, pengatur waktu (‘timer’), hygrometer, lux meter dan termometer maksimum-minimum. Cara Kerja . Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata meliputi pengamatan telur, larva, pupa dan imago. Pengamatan dilakukan di lapangan dan di laboratorium.
Pengamatan Embrio C. trifenestrata Uji pendahuluan pembuatan preparat embrio dilakukan dengan menggunakan berbagai larutan kimia yaitu larutan HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat glacial. Telur direndam dalam larutan kimia dengan lama perendaman yang berbeda (1 - 5 hari). Tujuan perendaman dalam larutan kimia adalah untuk membuat cangkang telur menjadi transparan dan lunak sehingga embrio dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Dari uji pendahuluan ini akan disimpulkan larutan kimia mana yang paling baik dapat digunakan dalam pembuatan preparat embrio C. trifenestrata.
Studi embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga hari kedelapan setelah oviposisi (telur C. trifenestrata menetas pada hari ke 8 - 10 setelah oviposisi). Setiap stadia umur (n = 5) dari perkembangan telur (embrio) dibuat preparatnya dengan cara merendam telur dalam larutan NaOH 5 M selama tiga hari pada suhu ruangan yaitu 28 0C.
Larutan NaOH 5 M
berfungsi untuk
menghancurkan cangkang telur dan membuat embrio menjadi transparan. Embrio yang telah dikeluarkan dari cangkangnya kemudian disimpan dalam alkohol 70% yang berfungsi sebagai pengawet preparat sebelum difoto.
Pengamatan embrio
dilakukan pada preparat embrio mulai dari hari pertama hingga hari ke delapan pada stadia telur. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo Nikon WD 70 Plan Apo dan kamera Nikon D100 dengan adapter BR2.
Penundaan Penetasan Telur Telur yang digunakan dalam percobaan ini adalah telur fertil hasil dari perkawinan imago jantan dan betina.
Selanjutnya telur tersebut disucihamakan
dengan formalin 4% selama lima detik, kemudian dibilas dengan air mengalir. Telur yang telah disucihamakan diletakkan di dalam cawan petri berdiameter 11 cm yang telah disterilkan. Jumlah telur setiap cawan petri adalah 30 butir. Selanjutnya telur inilah yang akan diberikan perlakuan penundaan penetasan. Telur tersebut disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 8 0C. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan faktorial dengan faktor pertama adalah umur telur dengan delapan taraf yaitu umur satu hari hingga delapan hari, dan faktor kedua adalah lama penyimpanan dengan lima taraf yaitu 3, 7, 14, 21, dan 28 hari sehingga jumlah semua perlakuan adalah 40 perlakuan.
Faktor
Umur telur
U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8
H3 U1H3 U2H3 U3H3 U4H3 U5H3 U6H3 U7H3 U8H3
Lama penyimpanan H7 H14 H21 U1H7 U1H14 U1H21 U2H7 U2H14 U2H21 U3H7 U3H14 U3H21 U4H7 U4H14 U4H21 U5H7 U5H14 U5H3 U6H7 U6H14 U6H3 U7H7 U7H14 U7H3 U8H7 U8H14 U8H3
H28 U1H3 U2H3 U3H3 U4H3 U5H3 U6H3 U7H3 U8H3
Dimana : U1: Stadia umur telur 1 hari U2: Stadia umur telur 2 hari U3: Stadia umur telur 3 hari U4: Stadia umur telur 4 hari U5: Stadia umur telur 5 hari U6: Stadia umur telur 6 hari U7: Stadia umur telur 7 hari U8: Stadia umur telur 8 hari H3: Lama penyimpanan 3 hari H7: Lama penyimpanan 7 hari H14: Lama penyimpanan 14 hari H21: Lama penyimpanan 21hari H28: Lama penyimpanan 28 hari Keempat puluh perlakuan tersebut diulang tiga kali dengan masing-masing ulangan sebanyak 30 telur sehingga total telur yang dipakai adalah 40 x 3 x 30 (3600 butir). Selanjutnya dilakukan penghitungan mengenai jumlah dan persentase telur yang menetas setelah diberikan perlakuan.
Pemecahan Dormansi Pupa Kokon yang digunakan dalam penelitian ini adalah kokon yang berasal dari alam yang tidak keluar menjadi imago setelah satu bulan. Menurut Rojak (2001) masa pupa normal adalah 13-15 hari.
Kokon yang mengalami dormansi ini
kemudian diberikan perlakuan pemecahan dormansi pupa hingga imago keluar dari kokon. Kokon dimasukkan dalam kotak inkubasi dengan ukuran 40 cm x 40 cm x
100 cm (Gambar 7). Pada percobaan ini digunakan tiga kotak inkubasi dengan penyinaran lampu yang berbeda yaitu 8, 18, dan 23 watt. Lama penyinaran setiap harinya adalah selama 12 jam.
Gambar 7 Kotak inkubasi
Rancangan percobaan yang digunakan adalah faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu pemberian penyinaran lampu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 8 watt, 18 watt, 23 watt; dan faktor kedua adalah kondisi pupa yang terdiri dari dua level yaitu pupa terbungkus kokon dan pupa tidak terbungkus kokon sehingga total semua perlakuan adalah enam perlakuan. Setiap perlakuan diulang 20 kali sehingga diperlukan 120 kokon. Faktor
Lampu
A1 A2 A3
Kondisi pupa B1 B2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A2B1 A2B2
Dimana : A1 penyinaran lampu 8W A2 penyinaran lampu 18W A3 penyinaran lampu 23 W B1 kondisi pupa terbungkus kokon B2 Kondisi pupa tidak terbungkus kokon Parameter yang diamati adalah (a) lamanya waktu munculnya imago dari kokon atau pupa, (b) efektivitas perlakuan, (c) suhu pada tiap perlakuan, dan (d)
intensitas cahaya. Kelembaban udara di dalam kandang diatur menjadi 80%. Semua hasil pengamatan dicatat di dalam tabel pengamatan. Efektivitas perlakuan dihitung dengan cara membandingkan jumlah imago yang keluar dari kokon/pupa setelah diberikan perlakuan dengan jumlah keseluruhan kokon/pupa pada tiap perlakuan.
Efektivitas perlakuan =
Jumlah imago yang keluar dari kokon/pupa pada tiap perlakuan Jumlah keseluruhan kokon/imago pada tiap perlakuan
x 100%
Analisis Data Untuk pemecahan dormansi pupa dan penundaan penetasan telur, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS 13 (Santosa 2008). disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Kemudian
HASIL
Pengamatan Siklus Hidup C. trifenestrata Telur C. trifenestrata pada saat pertama kali diletakkkan oleh betina berwarna putih dan biasanya diletakkan berderet rapi dengan arah yang teratur pada tepi daun (permukaan bawah daun) (Gambar 8). Bintik transparan (pada salah satu ujung yang merupakan tempat keluarnya larva) seluruhnya menghadap ke bagian pinggir daun. (Gambar 8). Bila telur tersebut fertil maka akan terjadi perubahan warna dari putih menjadi putih kelabu. Perubahan warna yang jelas mulai nampak pada hari ketujuh pengamatan sejak telur tersebut diletakkan oleh induknya. Bila telur tersebut steril maka akan terlihat perubahan bentuk menjadi cekung pada bagian tengahnya, sedang warnanya tetap dan tidak berubaha menjadi putih kelabu.
Bintik Gambar 8 Peletakkan telur C. trifenestrata Telur C. trifenestrata yang fertil akan keluar pada hari ke 8 sampai 10 setelah diletakkan. Larva instar pertama akan keluar dari telur melalui bintik transparan yang ada di salah satu ujung telur dengan memakan kulit telur (Gambar 9). Larva biasanya berada di bawah permukaan daun, sendiri atau seringnya bergerombol.
Gambbar 9 Larvaa instar 1 S Setelah 5 haari larva insttar pertama akan bergannti kulit mennjadi larva instar i 2. Larrva i instar 2 berw warna kuninng dengan kepala k coklaat, dan rambbut-rambut berwarna b puttih y yang mulai terlihat denngan jelas (G Gambar 10). Panjang laarva 5 – 6 mm m dan lebbar 1mm.
Gambaar 10 Larvaa instar 2 L Larva instarr 2 akan bergganti kulit menjadi m larvaa instar 3 settelah 5 hari. Larva instarr 3 b berwarna ku uning kemerrahan dengaan kepala coklat dan rambut-rambbut putih yaang p panjang di seluruh tubuhh (Gambar 11). Panjang larva 10 mm m dan lebar 1 – 1.5 mm.
Gambaar 11 Larvaa instar 3 S Setelah 5 haari larva insttar 3 akan beerganti kulit menjadi larrva instar 4. Larva instarr 4 b berwarna merah m dengaan kepala merah m dan rambut-ram mbut putih yang panjaang d diseluruh tu ubuh. Terdaapat garis hitam h melinngkar hitam m di sepanjang abdom men ( (Gambar 12)). Panjang laarva 12 – 15 mm dan lebbar 2 mm.
Gambaar 12 Larvaa instar 4 L Larva instarr 4 akan bergganti kulit menjadi m larvaa instar 5 settelah 5 hari. Larva instarr 5 m memiliki cirrri yang sam ma dengan instar 4 yaitu berwarna b merah dengann kepala merrah d rambut--rambut putihh panjang dii seluruh tubbuh. Instar 4 (Gambar 122) dan instarr 5 dan ( (Gambar 13) berbeda daalam hal ukuuran. Larva instar i 5 relattif lebih besaar dari instarr 4 k karena lebih h rakus, sehiingga dapat menyebabkkan tanaman menjadi guundul. Panjaang l larva 20 mm m dan lebarnyya 5 - 7 mm.
Gambaar 13 Larvaa instar 5 Padaa pengamatann di alam, menjelang m m masa prapupaa, larva mennyebar mencari t tempat untu uk membentuuk pupa. Teempat membbentuk pupaa bisa beruppa pohon yaang b bukan poho on inang unntuk larvanyya. Pupasi berlangsung b di dalam kokon. k Pupaasi m masih dapat terbentuk meskipun m tidaak dalam kookon. Masa pupasi p berlanngsung selam ma 5 - 6 hari. Kokon K dibuatt dari serat-sserat halus berwarna kunning yang dikeluarkan dari m mulutnya (G Gambar 14). Biasanya kookon berada secara senddiri atau berkkelompok paada d daun tanam man atau padda ranting tanaman. t Juumlah kokonn yang berkkelompok biisa h hingga 80 ko okon.
Gambarr 14 Kokonn dan pupa
Imag go akan keluuar dari kokoon setelah 144 - 16 hari. Biasanya B imaago keluar dari k kokon pada malam harii. Salah satuu ujung kokon berlubanng sebagai jaalan keluarnnya i imago. Seteelah keluar dari kokon,, imago akaan berdiam diri dan seecara perlahhan m mengemban ngkan sayapnnya hingga sempurna. s B Biasanya janttan dan betinna akan segeera m melakukan kopulasi. Kopulasi K bisaa tetap berlaangsung hinngga pagi dan d siang haari. B Betina yang g telah dikaw wini jantan akan meletaakkan telur sehari setelaahnya. Jumllah t telur per induk rata-ratta 200 butirr. Betina yaang tidak diikawini janttan juga dappat m meletakkan telur, namun telurnya tidak fertil. Masa M hidup imago jantaan dana betiina r rata-rata adaalah lima hari. h Imago jantan dan betina dapaat dibedakann dari ukurran t tubuh, bentu uk abdomenn, warna saayap, jumlah bintik traansparan paada sayap dan d b bentuk antenna (Gambaar 15). Ukuuran tubuh betina b relatiif lebih besaar dari jantaan. B Bentuk abdo omen betinaa lebih lebar dari jantan. Tubuh imaggo ditutupi sisik s berwarrna c coklat kemeerahan. Sayaap betina berwarna cokllat terang hiingga gelap. Terdapat tiiga b buah bintik transparan pada p sayap depan d dan satu s bintik trransparan yaang lebih keecil p pada sayap belakang. Sayap S jantann berwarna lebih l terangg dari betinaa.Terdapat dua d b buah bintik k transparann pada sayaap depan. Tipe antenaa jantan kuuadripektinaate, s sedangkan antena a betinaa bipektinatee.
Gambar 155 Imago janttan dan betinna
Gambar 16 C.trifenestrata yang sedang kopulasi Jumlah C.trifenestrata di alam sangat dibatasi oleh pengendali biologinya seperti predator dan parasitoid. Dalam masa pengamatan di alam, predator larva yang teramati adalah burung. Terdapat parasitoid bagi telurnya yaitu Schelio sp (Hymenoptera:
Scelionidae)
dan
parasitoid
pupa
yaitu
Xanthopimpla
sp
(Hymenoptera: Ichneumonidae) dan (Diptera: Tachinidae).
Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata Dalam pengamatan embrio C. trifenestrata, dilakukan uji pendahuluan mengenai pembuatan preparat embrio dengan menggunakan berbagai larutan kimia: HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat memperlihatkan bahwa larutan kimia yang paling bagus membuat preparat embrio ini adalah larutan NaOH 5 M dengan lama perendaman tiga hari. Larutan HCl 37% membuat telur menjadi berwarna lebih gelap dan tidak terlihat transparan. Laktofenol dan asam asetat dapat membuat telur menjadi transparan, namun larutan NaOH 5 M lebih cepat membuat telur menjadi transparan. Pengamatan embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga hari kedelapan setelah oviposisi (telur C. trifenestrata menetas 8 - 11 hari setelah oviposisi). Hasil pengamatan embrio selama delapan hari dapat dilihat pada Gambar 17.
1 mm
1 mm Hari pertama
1 Hari ketiga
1 mm Hari kelima
Hari ke-6 (dibuka dari kulit telur)
Hari kedua
1 Hari keempat
1 mm Hari keenam (embrio dalam telur)
Hari ketujuh (dibuka dari kulit telur)
H kedelap Hari pan (dibuka dari kulit tellur) G Gambar 17 Perkembanngan embrio C. trifenestrrata pada haari 1 - 8
Padaa pengamatann embrio haari pertama, diduga d telahh terjadi prosses ‘cleavagge’. H ini terliihat dari benntuk kuningg telur dan perluasan ‘germ Hal ‘ band’. ‘Cleavagge’ a adalah prosses pembelaahan nukleuus zigot. Haasil dari ‘clleavage’ addalah ‘sinsitial b blastoderm’ yaitu kumppulan masa nukleus n di dalam d sitoplaasma yang saama. ‘Sinsitial b blastoderm’ akan bermiigrasi ke baagian periferr dan membentuk lapisaan blastoderrm. ‘Nuclei’ yan ng berada pada p bagiann posterior akan a membentuk sel-seel kutub yaang n nantinya akaan berkembaang menjadi ‘germ bandd’. Padaa embrio harri kedua terrlihat ‘germ band’ yangg lebih luas dibandingkkan h hari pertama. Pada stadia ini diduuga mulai terjadi t prosees diferensiaasi yang akkan m menghasilka an bakal salluran penceernaan setelaah terbentukk tiga ‘germ m layer’ yaitu e ektoderm, mesoderm m daan endoderm m. Posisi em mbrio pada saat s ini masiih belum tettap a masih terjadi pergerrakan (blastookinesis). atau Padaa embrio haari ketiga mulai m terjadi proses seggmentasi meeskipun beluum t terlihat jelass. Diduga proses p blastookinesis telaah selesai berlangsung. b Blastokinesis m menyebabka an posisi ataau kedudukann embrio meenjadi tetap (Dow et al. 1998; Panfilio 2 2007). Bagiaan anterior dan d posterioor embrio meenjadi stabil kedudukannnya. Selan njutnya padda embrio hari keem mpat, mulai nampak terlihat nyaata s segmentasi dan pembeentukan struuktur ‘appenndages’ padda tubuh em mbrio. Diduuga p proses organ nogenesis jugga telah terjaadi pada staddia ini.
Pada embrio hari kelima, organ-organ dalam diduga mulai nampak terbentuk sebagai kelanjutan dari organogenesis. Bagian tungkai juga mulai bisa diamati, begitu juga dengan bagian kepala yang mulai jelas dapat diamati. Pada embrio hari keenam, bentuk embrio semakin lengkap, bahkan struktur scoli mulai terlihat dengan jelas. Pada bagian kepala berwarna lebih gelap. Struktur larva telah lengkap. Pada embrio hari ketujuh dan kedelapan merupakan proses penyempurnaan bentuk larva, antara lain terlihat pada bagian kepala, pada embrio hari ketujuh terjadi perubahan warna kepala menjadi lebih gelap dan semakin berwarna gelap pada embrio hari kedelapan. Terlihat bagian kepala semakin mengeras berkaitan dengan fungsinya untuk mendorong kulit telur saat proses penetasan terjadi. Struktur kepala yang kuat diperlukan untuk membantu keluarnya larva dari telur.
Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu 8 0C Pada percobaan ini dilakukan penyimpanan telur pada suhu 8 0C dengan lama penyimpanan 3, 7, 14, 21, dan 28 hari. Hasil percobaan menyatakan bahwa telur yang dapat menetas adalah telur pada lama penyimpanan tiga dan tujuh hari. Sedangkan telur pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, tidak ada yang menetas. Oleh karena itu data yang dianalisis adalah data penyimpanan tiga dan tujuh hari saja. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa hanya stadia telur umur enam, lima, dan tujuh hari dengan lama penyimpanan tiga hari yang memberikan hasil adanya perkembangan dan penetasan telur. Dari perlakuan ini, prosentase penetasan telur tertinggi didapat pada stadia telur umur enam hari yaitu sebesar 24.86%. Stadia telur ini masih dapat memberikan prosentase penetasan telur yang baik dibandingkan stadia telur yang lainnya pada lama penyimpanan tujuh hari yang hanya sebesar 18.40%. Pada stadia telur umur tujuh hari dengan lama penyimpanan tujuh hari, tidak ada telur yang menetas. Tapi pada stadia telur ini (tujuh hari) dengan lama penyimpanan tiga hari larva masih dapat berkembang dan menetas (16.52%). Terlihat
penurunan angka prosentase penetasan telur seiring dengan penambahan waktu penyimpanan. Tabel 1 Keberhasilan perkembangan embrio dan penetasan telur Prosentase telur Umur telur Lama penyimpanan Kontrol (menetas (hari) setelah hari ke-8) 3 hari 7 hari 1 0 0 71.63 ± 9.73 2 0 0 3 0 0 4 0 0 a a 1.64 ± 0.48 5 8.77 ± 3.54 6
24.86 b ± 8.42
18.40 b ± 9.62
7 8
16.52 a ± 5.36 0
0 0
Angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (Duncan)
Pada telur yang tidak disimpan dalam lemari pendingin atau dalam hal ini sebagai kontrol, menetas setelah hari ke- 8 dengan prosentase penetasan sebesar 71.63%. Prosentase kontrol ini lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase telur yang diberikan perlakuan. Hasil uji anova yang dilakukan pada data tersebut di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada faktor umur telur (p = 0 < 0.05), lama penyimpanan (p = 0.01 < 0.05) dan interaksi antara kedua faktor (p = 0.02 < 0.05). Kombinasi yang memberikan respon terbaik yaitu stadia umur telur enam hari dengan lama penyimpanan dalam ruang pendingin (8 0C) selama tiga hari. Uji Duncan dilakukan untuk mengetahui umur telur yang memiliki prosentasi tetas lebih tinggi setelah penyimpanan tiga dan tujuh hari yaitu telur yang berumur enam hari.
Pemecahan Dormansi Pupa C. trifenestrata Dari percobaan didapatkan hasil bahwa dari enam perlakuan,
perlakuan
pencahayaan dengan lampu 23 watt dan dengan kondisi pupa tidak terbungkus kokon memberikan keberhasilan pemecahan dormansi pupa sebesar 65% sedangkan perlakuan yang lainnya di bawah 50% (Tabel 2). Sejumlah kokon/pupa tidak keluar menjadi imago karena ditemukan mati oleh parasitoid (Ichneumonidae dan Sarchopagidae) (Gambar 19) dan kekeringan (Gambar 20).
A
B
Gambar 18 Parasitoid pada pupa: A. Ichneumonidae; B. Sarchopagidae
Gambar 19 Pupa yang mati kekeringan
Bila kokon atau pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan menjadi seperti pada Tabel 3. Penyinaran lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon adalah pelakuan yang paling
efektif (100%), karena dari semua kokon yang diberi perlakuan semuanya keluarnya imago. Perlakuan yang memberikan rangsangan tercepat untuk keluarnya imago adalah perlakuan A2B2 yaitu penyinaran dengan lampu 18 watt terhadap pupa yang tidak terbungkus kokon dengan rata-rata waktu keluarnya imago 21.67 hari. Intensitas cahaya tertinggi adalah pada kotak inkubasi dengan lampu 23 watt, sedang terendah pada lampu 8 watt. Demikian juga pada pengukuran suhu, nilai tertinggi pada kotak inkubasi dengan lampu 23 watt dan terendah pada lampu 8 watt. Terjadi peningkatan intensitas cahaya dan suhu seiring dengan meningkatnya ukuran watt lampu. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap waktu keluarnya imago. Hasil uji anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada faktor intensitas cahaya (p = 0.133 > 0.05), terdapat perbedaan yang nyata pada faktor kondisi pupa (p = 0.015 < 0.05), dan tidak ada perbedaan yang nyata pada interaksi antara faktor intensitas cahaya dan faktor kondisi pupa (p = 0.707 > 0.05). Untuk kondisi pupa, perbandingan nilai rata-rata menunjukkan bahwa munculnya imago pada kondisi pupa tidak terbungkus kokon lebih cepat (nilai ratarata = 23.67) dibanding kondisi pupa terbungkus kokon (nilai rata-rata = 31.67).
Tabel 2 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa Perlakuan Daya lampu (watt)
Kondisi pupa
Intensitas Suhu cahaya (celcius) (lux)
Jumlah imago yang muncul
Jumlah pupa yang mati 13 (13 parasitoid) 15 (10 parasitoid, 5 kering)
Waktu keluarnya imago (hari)
Efektivitas Perlakuan (%)
39.57 ± 6.68
35%
27.85 ± 16.81
25%
8
terbungkus kokon
29
151
7
18
terbungkus kokon
29.5
240
5
23
terbungkus kokon
30
350
13
7 (5 parasitoid, 2 kering)
30.86 ± 14.44
65%
8
tidak terbungkus kokon
29
151
11
9 (1 parasitoid, 8 kering)
26.80 ± 8.53
45%
18
tidak terbungkus kokon
29.5
240
7
35%
23
tidak terbungkus kokon
30
350
7
13 21.67 ± 7.54 (2 parasitoid, 11 kering) 13 24.00 ± 9.06 (2 parasitoid, 11 kering)
35%
Tabel 3 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa bila pupa yang mati karena parasitoid tidak masuk dalam perhitungan Perlakuan Daya lampu (watt) 8 18 23 8 18 23
Suhu (celcius)
Intensitas cahaya (lux)
Jumlah imago yang muncul
Jumlah pupa yang kering
Waktu keluarnya imago (hari)
Efektivitas Perlakuan (%)
29 29.5 30 29 29.5 30
151 240 350 151 240 350
7 5 13 11 7 7
0 5 2 8 11 11
39.57 ± 6.68 27.85 ± 16.81 30.86 ± 14.44 26.80 ± 8.53 21.67 ± 7.54 24.00 ± 9.06
100% 50% 87% 73% 39% 39%
Kondisi pupa terbungkus kokon terbungkus kokon terbungkus kokon tidak terbungkus kokon tidak terbungkus kokon tidak terbungkus kokon
PEMBAHASAN
Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima instar dengan lama masing – masing instar berlangsung selama kurang lebih lima hari. Masa pupa berlangsung sekitar 14 – 16 hari. Imago C. trifenestrata mengalami rudimenter pada alat pencernaannya. Oleh karena itu imagonya hanya bertahan kurang lebih lima hari. Keberadaan C. trifenestrata di alam dibatasi oleh predator dan parasitoid. Pemeliharaan di dalam ruangan akan mengurangi resiko serangan predator atau parasitoid. Keberhasilan pemeliharaan dalam ruangan ditentukan oleh ketepatan kondisi pemeliharaan meliputi suhu dan kelembaban ruangan. Suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan adalah 28 - 29 0C dan 80 %.
Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata Perkembangan embrio diawali setelah terjadi proses fertilisasi yaitu peleburan antara sperma dan ovum yang menghasilkan zigot. Menurut Muller (1997) & Gilbert (1985) tahapan yang terjadi setelah terbentuk nukleus zigot adalah ‘cleavage’ atau pembelahan yang menghasilkan ‘energid’. Telur serangga termasuk telur sentrolesital yaitu sel telur dimana yolknya terkumpul di bagian tengah dari sel telur dengan sitopasma sebelah luar. Jumlah dan cara tersebarnya kuning telur (‘egg yolk’) dalam sel telur akan mempengaruhi jalannya pembelahan sel. Tipe pembelahan serangga termasuk tipe pembelahan superfisial yaitu pembelahan yang terjadi pada sitoplasma yang mengelilingi kuning telur (Gilbert 1985; Triplehorn & Johnson 2005). ‘Energid’ hasil pembelahan akan bergerak (migrasi) ke bagian perifer telur, selanjutnya akan berpisah diikuti sitokinesis, dan masing-masing akan dibungkus oleh membran sel. Lapisan sel ini disebut lapisan blastoderm. Sebagian sel-sel ini akan membesar dan menebal membentuk ‘germ cell’ atau ‘germ band’ (‘ventral plate’), sedang pada sisi
yang lain akan membentuk serosa yang selanjutnya akan menjadi bagian dari ‘yolk sac’. Sel-sel serosa akan mengelilingi ‘germ band’ dan membungkus embrio membentuk membran amnion. Tahapan berikut yang terjadi adalah tahap diferensiasi yaitu meliputi bentuk awal tubuh, penentuan anterior posterior, pembentukan segmen tubuh hingga spesialisasi struktur dan ‘appendages’. Studi mengenai penentuan longitudinal axis yang dilakukan pada Drosophila (Drosophilidae) menyatakan bahwa penentuan ini terkait dengan maternal (Chapman 1998). Saat oocyte masih berada di dalam ovarium, troposit memproduksi spesifik mRNA yang ditransfer ke oocyte dan terakumulasi pada anterior end. Segera setelah telur diletakkan, terjadi translasi mRNA yang menghasilkan protein yang dikenal sebagai protein ‘bicoid’. Perbedaan konsentrasi protein akan menyebabkan ekspresi gen yang berbeda pada zigot nukleus. Pada ‘posterior end’ telur, aktivitas RNA ini ditiadakan oleh gen lain yang disebut ‘nano’, yang juga diproduksi dalam troposit. Segmentasi dihasilkan dari diferensial efek konsentrasi protein pada serangkaian gen. Penentuan dorso-ventral axis pada embrio juga hampir sama seperti pada longitudinal axis, hanya saja pada penentuan dorso-ventral axis, signal inisiasi diproduksi oleh oosit saat masih berada dalam ovarium. Signal ini menyebabkan sel folikel memproduksi ligand, yang menghasilkan protein yang disebut dorsal pada telur. Protein ini lebih aktif diambil oleh nukleus pada sisi lain pada blastoderm yang akan menjadi sisi ventral (Chapman 1998). Gastrulasi merupakan proses dimana mesoderm dan endoderm terinvaginasi dalam ektoderm. Gastrulasi akan menghasilkan terbentuknya tiga lapisan yaitu ektoderm,
mesoderm,
dan
endoderm.
Sel-sel
ektoderm
selanjutnya
akan
berdiferensiasi membentuk epidermis, otak, sistem saraf dan sistem trakea. Sel-sel mesoderm akan berdiferensiasi membentuk organ dalam seperti otot, kelenjar, jantung, darah dan lemak tubuh serta organ reproduksi. Sedangkan endoderm akan menghasilkan midgut. Pada C. trifenestrata, fertilisasi terjadi saat telur masih berada dalam tubuh betina. Selanjutnya telur akan diletakkan oleh induknya. Beberapa proses yang terjadi
kurang dari 24 jam setelah oviposisi adalah ‘cleavage’ dan pembentukan blastoderm. Hal yang sama terjadi pada Bombyx mori, ‘cleavage’ dan pembentukan blastoderm terjadi pada 3 – 4 jam dan 10 – 12 jam setelah oviposisi. Pada pengamatan embrio hari pertama telah terjadi proses pembelahan diikut dengan terbentuknya lapisan blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari diferensiasi berlangsung pada hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima terjadi perkembangan diferensiasi dan organogenesis. Embrio secara sempurna terbentuk lengkap pada hari keenam. Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala, thoraks dan abdomen. Struktur ‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah terbentuk. Hal yang sama terjadi dengan Bombyx mori (Bombycidae), stadia telurnya 9 – 10 hari, embrionya telah lengkap terbentuk pada hari keenam (Tazima 1978). Stadia hari berikutnya merupakan pematangan embrio hingga saat penetasan telur terjadi.
Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam Suhu 8 0C Berdasarkan
hasil
percobaan,
telur
C.
trifenestrata
dapat
ditunda
penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga dan tujuh hari, sedangkan pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak dapat menetas. Penundaan penetasan telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat dilakukan selama tiga hari untuk stadia umur telur lima, enam, dan tujuh hari. Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh hari, namun hanya untuk stadia umur lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur 1- 4 hari, telur tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena suhu tersebut adalah suhu yang mematikan untuk perkembangan embrio muda. Pada perkembangan embrio dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu yang tidak sesuai akan mengganggu proses perkembangan embrio. Hal yang sama terjadi pada telur Cactoblastis cactorum (Pyralidae) yang berumur satu hari, ketika disimpan pada suhu 0 0C dan 5 0C, tidak dapat berkembang (McLean 2006). Pada stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena persediaan kuning telur sebagai zat saat penyimpanan dingin telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi pada embrio tersebut lebih parah dari
pada embrio umur tujuh hari dan enam hari (Phillips & Lardy 1940, Hammadeh et al. 2001). Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur enam hari. Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan struktur yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh hari tidak menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8 pada penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan makanan dari kuning telur.
Pemecahan Dormansi Pupa C. trifenestrata Berdasarkan hasil analisis statistik, intensitas cahaya tidak memberikan respon yang nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun demikian terlihat bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan memberikan waktu keluarnya
imago (masa ‘emerge’) yang berbeda. Intensitas
cahaya yang memberikan respon tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux (lampu 18 watt). Kokon atau pupa yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan lampu ini cenderung lebih cepat keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran lampu yang lain (8 dan 23 watt). Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa yang tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa. Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding yang terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat menerima rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang terbungkus kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa adalah cahaya (William et al. 1964). Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula pada pupa. Pada pupa yang terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa sebelumnya harus melewati kokon sebagi barier. Selanjutnya proses endokrin yang terjadi adalah proses pengaktifan hormone ekdison yang akan menyebabkan terjadinya pergantian kulit atau ‘molting’ dari pupa menjadi imago. Hormon ekdison adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar prothoraks setelah mendapatkan
prothoraksikotropik (PTTH). Hormon PTTH sendiri dihasilkan oleh ‘corpora cardiaca’. Proses berubahnya pupa menjadi imago selain karena hormon ekdison juga disebabkan karena kandungan hormone juvenile yang mendekati nol. Kendala yang dihadapi dalam percobaan ini adalah adanya pupa yang rentan mengalami kekeringan (untuk pupa yang tidak terbungkus kokon) dan adanya parasit. Baik pupa yang mengalami kekeringan ataupun yang terkena parasit akan mati sehingga tidak dapat keluar menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan, terlihat perlakuan dengan 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon menunjukkan efektivitas perlakuan tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa ditemukan mati dan tidak menjadi imago karena parasitoid dan kering. Hal yang sulit untuk membedakan pupa yang telah terkena parasitoid dan yang tidak apalagi dalam kondisi terbungkus kokon. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada perlakuan lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila dilihat jumlah ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Sehingga berdasarkan hal itu maka perlakuan yang paling efektif adalah perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Alasan mengapa pupa yang mati karena parasitoid tidak dimasukkan dalam perhitungan adalah pupa tersebut mati bukan pengaruh perlakuan tapi mungkin karena parasitoid telah terbawa masuk ke dalam tubuh pupa sejak larva atau sejak awal pupa. Parasitoid yang ditemukan menyerang pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan Sarchopagidae, sehingga pada penelitian berikutnya perlu dipastikan bahwa kokon atau pupa yang menjadi sampel benar - benar bebas dari parasitoid. Pada percobaan ini juga telah dilakukan pengukuran intensitas cahaya dimana intensitas cahaya tertinggi adalah 350 lux (23 watt) dan terendah 151 lux (8 watt). Suhu kotak inkubasi berkisar antara 29 – 30 0C (saat lampu menyala) dan 27 0C (saat lampu mati). Peningkatan suhu terjadi seiring dengan peningkatan ukuran watt lampu.
SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa embrio C. trifenestrata berkembang membentuk struktur larva lengkap pada hari keenam setelah oviposisi. Perkembangan embrio pada hari berikutnya merupakan proses penyempurnaan struktur dalam hingga terjadi proses penetasan. Penundaan penetasan telur dapat dilakukan pada stadia telur umur lima, enam dan tujuh hari.
Lama
penundaan ini dapat dilakukan hingga tiga hari. Pada stadia telur lima dan enam hari bahkan dapat ditunda penetasannya hingga tujuh hari. Stadia umur telur yang paling tinggi memberikan persentase penetasan telur adalah stadia umur enam hari. Intensitas cahaya tidak memberikan respon yang nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C.trifenestrata. Kondisi pupa tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa. Kombinasi perlakuan yang paling cepat memecah dormansi pupa adalah penyinaran dengan lampu 18 watt dengan kondisi pupa tidak terbungkus kokon, sedang perlakuan yang paling efektif adalah pernyinaran dengan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon.
SARAN Perlu dilakukan kajian lebih teliti mengenai perkembangan embrio C.trifenestrata dengan membandingkan perkembangan pada setiap jamnya menggunakan metode preparat irisan dan SEM. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis cahaya yang paling tepat serta rentang intensitas cahaya yang lebih luas dalam upaya memecahkan dormansi pupa. Perlu juga dilakukan penelitian tentang hubungan dormansi pupa dengan faktor eksternal lain selain cahaya misalnya kelembaban. Kemungkinan diadakan penyimpanan kokon/pupa untuk mendukung domestikasi dan budidaya karena penanganan fase telur jauh lebih susah.
DAFTAR PUSTAKA Atmosoedarjo HS, Junus, Kaomini M, Wardono, Wibowo. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Beck SD. 1980. Insect Photoperiodism. Second Edition.. New York: Academic Press. Bradshaw WE, Fujiyama S, Holzapel CM. 2004. Adaptation to temperate climates. Evolution 58:1748-1762. Chapman RF. 1998. The Insects Structure and Function. Australia: Cambridge University Press. Denlinger DL. 1986. Dormancy in tropical insects. Ann Rev Entomol 31:239-264 Danks HV. 2006. Insect adaptations to cold and changing environment. Can Entomol 138:1-26. [Deptan]. Departemen Pertanian. 1995. Pengenalan & Identifikasi Hama Penyakit Tanaman Jambu Mete. Bogor: Deptan. Dow RC, Carlson SD, Goodman WG. 1998. A scanning electron microscope study of the developing embryo of Manduca sexta (L.) (Lepidoptera: Sphingidae). Int J of Insect Morphol and Embryol 138:231-242. Gilbert SC, 1985. Developmental Biology. USA: Sinauer Associated Inc. Sunderland Mass. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects An Outline of Entomology. Second Edition. London: Blackwell Science Ltd. Hammadeh ME, Greiner S, Rosenbaum P, Schmidt W. 2001. Comparison between hman sperm preservation medium and test-yolk buffer on protecting chromatin and morphology integrity of human spermatozoa in fertile and subfertile men after freeze-thawing procedure. J of Andro 6:1013 – 1018. Holloway JD. 1987. The moth of Borneo Part 3: Superfamily Bombycoidea: families Lasiocampidae, Eupterotidae, Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae. Kualalumpur; Southene Shn Bhd. Hunter MD, McNeil JN. 1997. Host-plant quality influences diapause and voltinism in a polyphagous insect herbivore. Ecology 78:977-986.
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru/Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Kalthoff K. 1996. Analysis of Biological Developtment. New York: Mc Grawh Hill. Kawamura N. 1978. The early embryonic mitosis in normal and cooled eggs of the silkworm, Bombyx mori. J Morphol 158:57-72. Kobayashi Y. 1998. Embryogenesis of the fairy moth nemophora Albiantennela iisiki (Lepidptera: Adelidae) with special emphasis on its phylogenetic implication. Int J of Insect Morphol and Embryol 10:157-166. Mclean CS, Bloem AK, Bloem S, Hight SD, Carpenter JF. 2006. Effect of temperature and length of exposure time on percent egg hatch of Cactoblastatis cactorum (Lepidoptera: Pyralidae). Flo Entomol 89:340347. Mcleod DGR, Beck SD. 1963. Photoperiodic termination of diapause in an Insect. Bio Bull 124: 84-96. Muller WA. 1997. Developtmental Biology. New York: Springer-Verlag. Nassig WA, Lampe REJ, Kager S. 1996. Heterocera Sumatrana. Vol. 10. Germany: Heterocera Sumatrana Society. Panfilio KA. 2007. Extraembryonic development in insects and the acrobatics of blastokinesis. Dev Biol 313:471-491. Paukstadt U, Paukstadt LH. 2004. Zur Verbreitung der sudostasiatischen wilden Seidenspinner, sowie ei Diskussionsbeitrag zu den zoogeographischen Zonen im indonesischen Archipel (Lepidoptera : Saturniidae). Beitrage zur Kenntnis der wilden Seidenspinner 2:3-55 Phillips PH, Lardy HA. 1940. A yolk-buffer pabulum for preservation of bull semen. J Dairy Sci 23:399-404.
Purwanti. 2005. Analisis Kadar Protein dan Lemak kepompong Ulat Sutera Emas (Cricula trifenestrata) [skripsi]. Malang: Departemen Biologi Universitas Muhammadiyah Malang. Rachman A. 2001. Pengaruh Fotoperioda pada Perioda Pupa Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae) [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Rojak
A. 2001.Teknik pengamatan kemamampuan makan hama trifenestrata Helf. pada Jambu Mete. Bul Teknik Pertanian 7:18-20.
Cricula
Rono MMA, Ahad MA, Hasan MS, Uddin MF, Islam AKMN. 2008. Morphometrics measurement of mango defoliator Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae). Int. J. Sustain. Crop Prod 3:45-48. Santoso S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Shimizu K, Kosegawa E, Shimizu F. 1994. Studies on the development of a method for long-term storage of diapausing silkworm eggs and selection of coldtolerant varieties of the silkworm, Bombyx mori. Bull Natl Inst Seric Entomol Sci 11: 45-52. Tazima EY. 1978. The Silkworm: An Important Laboratory Tool. Tokyo: Kodansha. Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insects. Ed ke-7. Australia: Tomson. Wiggleswoth VB. 1970. Insect Hormones. San Fransisco; W.H. Freeman and Company. Wikardi EA, Djuwarso T. 2000. Parasitoid yang menyerang telur Cricula trifenestrata Helf (Lepidoptera: Saturniidae). Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian; Cipayung 16-18 Okt 2000. Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia. Willmer P, Stone G, Johnston I. 2005. Environmental Physiology of Animals. London: Blackwell publishing. Williams CM, Adkisson PL, Walcott C. 1964. Physiology of insect diapause. XIV. An endocrine mechanism for the photoperiodic control of pupal diapause in the oak silkworm,Antheraea pernyi. Biol Bull 127:511-525.
LAMPIRAN
LAMPIRAN Lampiran 1: Uji anova untukpengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap waktu keluarnya imago Faktor antara subyek
intensitas cahaya
kondisi pupa
18 watt 23 watt 8 watt tertutup tidak tertutup
N 22 14 12 27 21
Tes antara pengaruh subyek
Sumber Model terkoreksi Intersep intensitascahaya kondisipupa intensitascahaya * kondisipupa Galat Total Total terkoreksi
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
db
Fhitung
Sig.
1473.603(a)
5
294.721
2.329
.059
35699.758 536.315 815.640
1 2 1
35699.758 268.157 815.640
282.102 2.119 6.445
.000 .133 .015
88.595
2
44.297
.350
.707
5315.064 44870.000 6788.667
42 48 47
126.549
Lampiran 2: Uji anova pengaruh stadia umur telur dan lama penyimpanan terhadap prosentase penetasan telur.
Faktor antara subyek N umur
1hari 2hari 3hari 4hari 5hari 6hari 7hari 8hari penyimpanan 3hari 7hari
6 6 6 6 6 6 6 6 24 24
Tes antara pengaruh subyek
Sumber Model terkoreksi Intersep umur penyimpanan umur * penyimpanan Galat Total Total terkoreksi
Jumlah kuadrat 3003.396(a) 923.657 2454.970 170.103
15 1 7 1
Kuadrat tengah 200.226 923.657 350.710 170.103
Fhitung 15.634 72.119 27.384 13.282
Sig. .000 .000 .000 .001
378.323
7
54.046
4.220
.002
409.834 4336.887 3413.230
32 48 47
12.807
db
Lampiran 3: Uji Duncan untuk stadia umur telur Duncan umur 1hari 2hari 3hari 4hari 8hari 5hari 7hari 6hari Sig.
N 6 6 6 6 6 6 6 6
1 .0000 .0000 .0000 .0000 .0000
Subset 2
3
5.2050 8.2600 1.000
Lampiran 4: Larutan laktofenol Bahan larutan laktofenol: 1. Gliserin 40 ml 2. Asam laktat 20 ml 3. Fenol 20 ml 4. Aquades 20 ml
.149
21.6283 1.000