UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae)
DESMAWITA KRISTIN BARUS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Upaya Intesifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Desmawita Kristin Barus NIM D151110051
RINGKASAN DESMAWITA KRISTIN BARUS. Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae). Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH dan DAMIANA R. EKASTUTI. Ulat sutera liar Attacus atlas merupakan salah satu serangga asli Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kokon yang dihasilkan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan kokon dari jenis ulat sutera lain, sehingga hasil olahannya dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pemenuhan kebutuhan kokon yang masih terus-menerus diambil dari alam dapat mengakibatkan penurunan populasi A. atlas di alam, oleh karena itu perlu dilakukan budidaya dan intensifikasi pemeliharaan di dalam ruangan dengan penerapan manajemen perkawinan dan pakan yang sesuai sehingga produksi dapat ditingkatkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan upaya intensifikasi pemeliharaan ulat sutera liar A. atlas dengan mengatur perkawinan serta mengamati pengaruh jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan larva ulat sutera liar A. atlas. Penelitian ini terbagi dalam dua tahap : tahap pertama adalah manajemen perkawinan A. atlas dilakukan dengan lama perkawinan yang berbeda yaitu selama 3, 6, 12 dan 24 jam dan dilihat pengaruhnya terhadap peubah yang diamati meliputi waktu peletakan telur, jumlah telur, rataan bobot telur, waktu penetasan dan persentase daya tetas. Tahap kedua adalah pemberian dua jenis pakan alternatif (daun jambu biji dan daun kenari) dengan frekuensi pemberian yang berbeda (3 dan 4 kali sehari) dan pengaruhnya terhadap pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan waktu perkawinan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah telur. Jumlah telur dari hasil perkawinan selama 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata masing-masing 225.80 + 24.30 butir, 245.00 + 50.70 butir dan 288.40 + 77.63 butir, berbeda nyata dengan jumlah telur hasil perkawinan selama 3 jam yaitu 155.60 + 48.75 butir. Persentase daya tetas telur dipengaruhi sangat nyata (p<0.01) oleh lama waktu perkawinan yang berbeda dengan persentase rata-rata daya tetas sebesar 92.16 + 6.57 %. Persentase daya tetas telur tidak berbeda nyata antar waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tetapi berbeda nyata dengan persentase daya tetas telur saat perkawinan 3 jam. Lama perkawinan yang berbeda tidak mempengaruhi waktu peletakan telur (oviposisi) dengan rataan waktu 5,00 + 0,65 hari. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa lama perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap waktu tetas telur dengan nilai rata-rata 9.80 + 0.87 hari. Lama perkawinan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap bobot telur. Hasil penelitian pada tahap kedua yakni penerapan manajemen pakan menunjukkan bahwa larva A. atlas menyukai dua jenis daun yakni daun jambu biji dan daun kenari yang diberikan. Perlakuan pakan yang diberikan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap konsumsi pakan, kecernaan pakan, pakan yang tercerna, pertambahan bobot badan, pertambahan diameter badan, mortalitas serta periode instar. Jenis pakan dan frekuensi yang berbeda berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap rataan konsumsi larva dari instar I sampai instar IV. Larva instar I dan II
yang diberi daun kenari mengkonsumsi pakan (0.310 ± 0.021g/larva; 0.442 ± 0.033 g/larva) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan larva yang diberi pakan daun jambu biji (0,279 ± 0.010 g/larva; 0.392 ± 0.011 g/larva ). Saat instar III dan IV, hal sebaliknya terjadi, larva yang diberi daun jambu biji mengkonsumsi pakan lebih banyak yaitu 0.967± 0.098 g/larva dan 1.211 ± 0.189 g/larva. Kecernaan dan pakan tercerna dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh jenis dan frekuensi pemberian pakan. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari menghasilkan nilai kecernaan dan pakan tercerna yang lebih besar dibandingkan pemberian daun jambu biji. Sebaliknya larva instar III dan IV yang diberi daun jambu biji memiliki kecernaan dan pakan tercerna lebih tinggi dibandingkan daun kenari. Frekuensi pemberian pakan yang berbeda juga mempengaruhi kecernaan dan pakan tercerna. Nilai kecernaan dan pakan tercerna larva yang diberi pakan empat kali sehari lebih besar dibanding yang diberi pakan tiga kali per hari. Pertambahan bobot dan diameter badan larva juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh perlakuan. Pertambahan bobot dan diameter badan larva instar I dan II yang diberi daun kenari memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan larva yang mengkonsumsi daun jambu biji namun, saat instar III dan IV pertambahan bobot dan diameter badan larva yang diberi pakan jambu lebih besar dari daun kenari. Pertumbuhan larva juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh frekuensi pemberian pakan. Larva instar I sampai instar IV memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika diberi pakan dengan frekuensi empat kali per hari dibanding tiga kali sehari. Persentase kematian tertinggi di instar I terjadi pada larva yang diberi daun kenari tiga kali pemberian. Peningkatan kematian terjadi secara ekstrim saat instar III dan instar IV. Lama daur instar juga dipengaruhi secara nyata (p <0.05) oleh perlakuan terutama saat instar I.
Kata kunci: Attacus atlas, manajemen perkawinan, manajemen pakan, intensifikasi.
SUMMARY DESMAWITA KRISTIN BARUS. Intensification Effort Of Wild Silkworm Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) Rearing. Supervised by ASNATH MARIA FUAH and DAMIANA R EKASTUTI.
Wild silkworm Attacus atlas is one of Indonesian native insect which has high potential to be developed. The cocoons are superior compared with others types of silk, so various processed products can be made such as handicraft, clothes and art that has a high economic value. The cocoon retrieval from nature resulting in population decline of A. atlas in nature, therefore intensive indoor rearing of A. atlas with feed and mating management to increase production is necessary. The purpose of this research was to perform intensive effort of A. atlas rearing by examining the mating management and observed the effect of the feeding treatment on the growth of wild silkworm A. atlas. The research was divided into two phases. The first experiment focussed on mating management of A. atlas done by the different length of mating period of 3, 6, 12 and 24 hours to assess its effect on egg performance, including eggs laying period, number of eggs, the average weight of eggs, eggs hatching period and the hatchability. The second stage was the provision of two types of alternative feed (guava leaves and walnut leaves) with a different frequency of feeding (3 and 4 times a day) to observe its influence on larval growth. The results showed that the different of mating duration significantly affected (p<0.05) to number of eggs. The number of eggs of the mating for 6, 12 dan 24 hours was not significanly different for each 225.80 + 24.30 eggs, 245.00 + 50.70 eggs dan 288.40 + 77.63 eggs, significantly different from the number of eggs in mating for 3 hours was 155.60 + 48.75 eggs. The egg hatchability was significantly influenced (p<0.01) by different time mating with means 92.16 + 6.57 %. Percentage of eggs hatchability with mating time of 6, 12 and 24 hours were not significantly different, but significantly different from the time of mating for 3 hours. The different time of mating did not significantly affected (p > 0.05) egg laying period (oviposition) with an average time was 5.00 ± 0.65 days. The result also showed that different time of mating was not significantly different (p> 0.05) to the time of hatching eggs with an average value of 9.80 ± 0.87 days. Moths are mated in different time of mating produced eggs that were not significantly different weighy (p> 0.05). The results at the second research showed that larvae of A. atlas liked both types of the given leaves. Interaction of treatment types of feed and the feeding frequency significantly affected (p<0.05) feed intake, digestibility, digested food, weight gain, diameter increament, mortality and instar period. Difference in feed and feeding frequency significantly affected (p<0.05) the average of larvae’s consumption from instar I to instar IV. Larvae fed with walnut leaf consumpt 0.310 g/larva (instar I) and 0.442 g/larva (instar II) higher that fed with guava leaves (0,279 g/larva; 0.392 g/larva). At the third and fourth instars, larvae fed
with leaves of guava has the higher consumption average with 0.967± 0.098 g/larva and 1.211 ± 0.189 g/larva. Digestibility and digested feed were influenced significantly (p <0.05) by feed treatment. At instars I and II larvae that fed with walnut leaves have greater value of digestibility and digested feed than larvae feed with guava leaves while, the opposite happens at the third and fourth instars, larvae fed with leaves of guava has the higher value of digestibility and digested feed. Different feeding frequency also affects digestibility and digested feed. Value and digestibility of feed ingested larvae fed four times a day greater than those fed three times per day Weight gain and body diameter larvae were affected significantly (P <0.05) by treatment. Weight gain and diameter gain of the first and second instar larvae fed with walnut leaves have increament of four times higher than guava. When it get to the third and fourth instar, larvae weight gain fed with guava leaves were higher than larvae fed with walnut leaves. Highest percentage of death occurred in the first instar larvae fed on leaves walnut with three times feeding. Extreme increase of mortality occurred at the third instar and fourth instar. Stadia period also affected significantly (P <0.05) by treatment interaction, especially at instar I.
Key word: Attacus atlas, mating management, feed management, intensification
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
UPAYA INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae)
DESMAWITA KRISTIN BARUS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
Penguji: Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Judul Tesis : Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae). : Desmawita Kristin Barus . ama : D1511l0051 N IM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Drh Damiana R. Ekastuti, MS Anggota
Dr If. Asnath M. Fuah. MS Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Petemakan
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Tanggal Ujian: 23 Juli 2013
Tanggal Lulus:
iii
Judul Tesis : Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae). Nama : Desmawita Kristin Barus NIM : D151110051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir. Asnath M. Fuah, MS Ketua
Dr Drh Damiana R. Ekastuti, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian: 23 Juli 2013
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012- Februari 2013 ini ialah Ulat sutera, dengan judul Upaya Intensifikasi Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS dan Ibu Dr. Drh. Damiana R. Ekastuti, MS selaku pembimbing dan kepada penguji Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Terimakasih kepada teman-teman Pasca IPTP 2011 atas dukungannya dan kepada seluruh staf Laboratorium NRSH. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Desmawita Kristin Barus
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3 3
I MANAJEMEN PERKAWINAN Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran Daftar Pustaka
5 5 5 7 10 10
II MANAJEMEN PAKAN Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran Daftar Pustaka
12 12 12 19 27 28
PEMBAHASAN UMUM
30
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
32 32 32
DAFTAR PUSTAKA
33
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL Tabel 1 Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur................ 7 Tabel 2 Hasil analisis proksimat daun kenari dan daun jambu biji...................... 19 Tabel 3 Rataan konsumsi pakan segar daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas. ................................... 20 Tabel 4 Kecernaan pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas. ................................................... 21 Tabel 5 Pakan yang tercerna dengan pemberian daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda pada A. atlas ................................... 22
vi Tabel 6 Pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. .................................... 23 Tabel 7 Pertambahan diameter badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. .............................. 24 Tabel 8 Daur hidup larva A. atlas yang diberi pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda. ........................... 27
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran ........................................................... 4 Gambar 2 Perkawinan imago betina dan jantan A. atlas ......................................... 6 Gambar 3 Pola peletakan telur A. atlas pada lama perkawinan yang berbeda ........ 8 Gambar 4 Uji palabilitas pakan pada larva A. atlas .............................................. 14 Gambar 5 Bagan perlakuan pakan ......................................................................... 15 Gambar 6 Pengukuran bobot badan ...................................................................... 17 Gambar 7 Pengukuran diameter badan .................................................................. 17 Gambar 8Persentase mortalitas A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi berbeda. .......................................... 25 Gambar 9 Penyebab kematiaan larva A. Atlas ...................................................... 26
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki beragam jenis plasma nutfah dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggul. Melalui suatu proses budidaya dan pengolahan yang intensif, sumber hayati unggulan dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai jual di pasar bebas. Salah satunya adalah ulat sutera liar Attacus atlas yang hidupnya masih di alam bebas. Attacus atlas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia di antaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, (Peigler 1989). Serangga ini adalah hewan asli Indonesia dan memiliki potensi besar dalam bidang industri karena hasil olahan kokon dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kokonnya memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan kokon ulat sutra lainnya. Attacus atlas menghasilkan serat yang lebih kuat, benang yang panjang (bisa mencapai 2500 m/kokon), warna kokon yang bervariasi (coklat muda, coklat tua, keabu-abuan), tidak kusut, halus, tahan panas, anti alergi dan dapat dijadikan berbagai jenis bahan sandang (Faatih 2005; Indrawan 2007). Selain kokon yang berkualitas, larva A. atlas memiliki sifat yang menguntungkan yaitu polivotin, polyfagus (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010) dan cukup adaptif terhadap perubahan pakan dan lingkungan baru. Kelebihankelebihan tersebut menjadikan sutra liar ini banyak diminati dan pada akhirnya permintaan pasar tinggi sehingga menjadi suatu tantangan untuk dapat memenuhi tuntutan konsumen. Kebutuhan terhadap kokon dan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Harga kokon ulat sutra A. atlas mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000, sedangkan harga kokon ulat sutera murbai (Bombyx mori) hanya Rp. 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin dan Fuah 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dilakukan domestifikasi ulat sutera jenis A. atlas untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup potensial. Salah satu tempat yang memiliki populasi A. atlas cukup besar adalah perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai hama pohon teh, sehingga selalu disemprot menggunakan pestisida. Pembasmian terhadap larva ulat sutra ini menambah tingkat kematian di alam selain pengambilan kokon langsung dari alam untuk permintaan konsumen. Pengambilan kokon dari alam secara terus - menerus tanpa disertai langkah pembibitan tentunya akan mengakibatkan kepunahan plasma nutfah ini. Kemampuan A. atlas hidup di alam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Veda et al 1997) yang terdiri dari berbagai faktor, antara lain temperatur, jenis pakan, kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, kecepatan angin, curah hujan, predator dan parasit. Faktor-faktor alam tersebut menentukan tingkat mortalitas dan daya hidup hewan ini (Awan 2007). Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90% (Situmorang, 1996). Imago betina mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang tinggi, namun di alam populasi Attacus sangat rendah. Hal ini terjadi karena
2 40 – 80 % telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat terinfeksi parasitoid Anastatus menzeli Ferr., sedangkan pada stadium larva, Attacus juga dapat diserang oleh lalat Exorista sorbillans (Tachiniae : Diptera) dan Xanthopimpla (Ichneumonidae : Hymenoptera) (Situmorang, 1996). Oleh karena itu, perlu dilakukan program untuk meningkatkan produktivitasnya dengan cara domestikasi dan pemeliharaan secara intensif. Tahapan awal melakukan budidaya yaitu dengan domestikasi A. atlas, seleksi bibit unggul (breeding), habituasi pada pakan target (sirsak, daun kenari, teh, jambu biji dan budidaya dalam ruangan. Tahap berikutnya adalah intensifikasi dalam budidaya A. atlas. Pemeliharaan intensif dilakukan dalam kandang dengan cara mengatur sistem perkawinan, pemberian pakan, baik jenis, cara dan frekuensi pemberian pakan. Budidaya berkelanjutan dalam perjalanannya masih terbentur berbagai masalah diantaranya saat dikandangkan rasio imago jantan dan betina tidak seimbang. Imago jantan dibatasi umur hidup yang singkat sehingga perlu dilakukan pengaturan perkawinan untuk efisiensi pejantan dalam membuahi telur imago betina. Selain mengatur perkawinan, perlu pula mencari pakan alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan pakan secara cukup dan berkelanjutan. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk mendukung perlunya pemeliharaan secara intensif dengan pengaturan manajemen perkawinan dan pakan adalah: 1. Keluarnya imago jantan tidak bersamaan dengan imago betina. Umur jantan lebih pendek dari umur betina dan jumlah jantan lebih sedikit dari betina. Oleh karena itu seringkali telur tidak dibuahi sehingga steril. Hal ini perlu diatasi dengan pengaturan waktu perkawinan untuk efisiensi pejantan. 2. Pakan larva A.atlas yang telah diketahui memberikan pertumbuhan paling baik adalah daun teh dan sirsak, namun tanaman teh hanya dapat ditanam pada kondisi lingkungan tertentu. Tanaman sirsak memiliki produktivitas daun yang rendah dan bersaing dengan kebutuhan manusia karena digunakan sebagai bahan obat-obatan. Oleh karena itu perlu dicari tanaman alternatif yang produktivitas daunnya tinggi dan perbanyakan tanaman mudah dan cepat. 3. Larva A. atlas membutuhkan pakan yang segar untuk dikonsumsi sehingga mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan dan produksi. Dengan demikian dilakukan peningkatan frekuensi pemberian pakan Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan upaya intensifikasi pemeliharaan ulat sutera liar Attacus atlas dengan mengatur perkawinan serta mengamati pengaruh pemberian jenis dan frekuensi pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A. atlas
3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi peternak ulat sutra liar Attacus atlas terkait waktu perkawinan yang optimum, serta informasi tentang jenis dan cara pemberian pakan pada larva ulat sutra liar Attacus atlas. Ruang Lingkup Penelitian Perkembangan akan kebutuhan untuk kesejahteraan manusia saat ini menuntut segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah pemenuhan gaya hidup melalui sandang (pakaian). Saat ini bahan atau komponen dasar pembuatan pakaian menjadi penentu kualitas dan harga produk. Sutra merupakan bahan yang dikenal berkualitas, mewah dan dengan harga yang cukup fantastis jika dibandingkan bahan lain. Hal ini yang menjadi dasar tingginya permintaan kain sutra baik untuk lokal maupun internasional. Attacus atlas sebagai penghasil sutra berkualitas masih dipelihara di alam bebas dan belum diintensifikasi secara berkelanjutan. Harga sutra yang mahal dan permintaan yang tinggi sampai saat ini masih dipenuhi dengan pengambilan kokon secara terus-menerus tanpa adanya langkah pembibitan. Hal ini tentunya akan mengancam keberadaan plasma nutfah asli Indonesia tersebut, menjadi punah. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah awal yang konsisten yaitu pemeliharaan secara intensif. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Awan 2007 telah berhasil membuktikan bahwa larva A. atlas dapat didomestikasi dengan produktivitas kokon yang tinggi, mortalitas 0%, dan adanya perubahan tingkah laku larva dari yang liar menjadi jinak. Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan. Informasi tersebut menunjukkan bahwa larva Attacus memiliki sifat adaptasi yang baik terhadap perlakuan yang diberikan. Respon positif diperoleh dari hasil pemeliharan di ruangan, namun yang menjadi permasalahan adalah keluarnya imago jantan dan betina dari kokon terkadang tidak bersamaan. Rasio yang sering terjadi betina lebih banyak dibandingkan dengan jantan, terlebih umur jantan lebih singkat (2-4 hari) dari betina (2-10 hari). Selain itu saat di kandang terkadang jantan dan betina tidak melakukan perkawinan sehingga perlu dilakukan manajemen perkawinan dengan harapan dapat mengefisiensikan pejantan. Penelitian tentang manajemen perkawinan ini belum pernah dilakukan sehingga hal ini menjadi kebaharuan informasi bagi peternak dalam budidaya yang intensif. Dalam penelitian ini juga dilakukan pemberian pakan daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan dasar bahwa belum ada informasi terkait produktivitas kokon dari pemberian kedua jenis pakan tersebut. Alasan lainnya adalah daun kenari adalah tumbuhan yang pemanfaatannya tidak bersaing dengan manusia. Daun jambu biji dipilih karena produktivitas daun tinggi, mudah dibudidayakan dan daunnya tumbuh sepanjang tahun. Frekuensi pemberian pakan 3 dan 4 kali per hari diberikan karena larva lebih menyukai pakan yang segar, hal ini terkait kandungan kadar air daun. Kadar air daun menentukan palatabilitas pakan dan konsumsi larva. Semua penelitian yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan ini diharapkan mampu menjadi titik tolak peningkatan produktivitas (kokon dan telur) berkelanjutan serta membantu melestarikan plasma nutfah dari ancaman kepunahan. Lebih jauh diharapkan melalui domestikasi yang dilanjutkan dengan
4 intensifikasi dapat diwujudkan usaha pembibitan ulat sutra A. atlas sehingga lebih mudah untuk dijadikan ternak berpotensi.
Attacus atlas
Kepunahan
Tidak terjadi
Permintaan kokon dan benang tinggi Mencegah kepunahan
Domestikasi
I N T E N S I F I K A S I
1. Manajemen Perkawinan 2. Manajemen Pakan
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
Ternak
5
I MANAJEMEN PERKAWINAN Pendahuluan Attacus atlas merupakan serangga asli yang dimiliki Indonesia dan banyak tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Peigler 1989). Serangga ini memiliki beberapa potensi untuk dibudidayakan. A. atlas bersifat polivoltin yang berarti siklus hidupnya lebih dari satu generasi dalam satu tahunn dan jumlah telur yang dihasilkan per induk mencapai ratusan butir. Potensi lainnya adalah serangga ini polifagus dengan kata lain A. atlas mampu mengkonsumsi banyak jenis pakan diantaranya adalah daun teh, sirsak, ylang-ylang, dadap, cengkeh, jeruk, mangga, kayu manis, nangka, alpukat, kaliki (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Selain dari potensi fisiologis, A. atlas dapat menghasilkan kokon dengan kualitas baik (Faatih 2005; Indrawan 2007). Kokon dapat dijadikan berbagai macam produk baik berupa benang, pakaian, tas, asesoris, hiasan dan kerajinan tangan lainnya. Potensi-potensi yang dimiliki A. atlas menjadi dasar untuk pelaksanaan budidaya. Pelaksanaan budidaya dibutuhkan karena sampai saat ini belum ada yang mampu menyediakan bibit A. atlas baik perorangan maupun instansi. Lebih lanjut budidaya harus segera dilakukan karena hingga saat ini bibit A. atlas masih diperoleh dari alam. Proses budidaya yang dilakukan pada A. atlas tidak jarang mengalami beberapa permasalahan diantaranya adalah jumlah imago jantan dan betina yang tidak seimbang, munculnya imago jantan dan betina tidak bersamaan, umur imago jantan yang relatif lebih singkat dibandingkan imago betina, banyaknya telur infertil yang dihasilkan imago betina karena tidak dibuahi pejantan. Permasalahan yang dihadapi dalam proses budidaya ini perlu dicari pemecahannya. Salah satunya adalah dengan mengefisiensikan imago jantan. Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen perkawinan dalam waktu yang berbeda (3, 6, 12 dan 24 jam). Lama perkawinan yang berbeda diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi permasalahan budidaya A. atlas. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati pengaruh lama perkawinan terhadap performa telur ulat sutera liar A. atlas.
Metode Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan selama enam bulan mulai dari bulan September 2012 sampai Februari 2013. Bertempat di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah ulat sutra liar A. atlas yang diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta dan bahan kimia yang digunakan adalah formalin 4% dan aquades. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah kandang kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3,cawan petri dan wadah pemeliharaan.
6
Prosedur Analisis Data Kokon ulat sutra yang dibawa dari alam diletakkan dalam kandang kasa. Imago jantan maupun betina yang keluar dibiarkan kawin selama 3, 6, 12 dan 24 jam. Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Imago betina yang telah kawin dipisahkan dari jantan untuk selanjutnya dipelihara dalam wadah plastik untuk oviposisi. Telur yang diperoleh dihitung jumlahnya, ditimbang bobotnya dan dicatat lama waktu menetas.
Gambar 2 Perkawinan imago betina dan jantan A. atlas Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan (lama perkawinan: 3,6, 12 dan 24 jam), masing-masing terdiri dari lima ulangan. Model matematik yang digunakan menurut (Mattjik dan Sumertajaya 2000): Yij = + Pi + Yj+ ij Keterangan : Yij : Variabel respon akibat pengaruh kelompok (blok) ke-i dan lama perkawinan yang berbeda ke-j µ : Nilai rataan umum Pi : Pengaruh kelompok (blok) ke-i YJ : Pengaruh lama perkawinan ke-j ij : Pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-i dalam lama perkawinan ke-j. Peubah yang diamati adalah: 1. Waktu Peletakan Telur (hari) Waktu peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan ngengat betina untuk meletakkan telur sampai tidak menghasilkan telur lagi. 2. Jumlah Telur per Induk (butir) Jumlah telur dihitung secara manual untuk setiap induk per perlakuan. 3. Waktu Penetasan Telur (hari)
7
Lamanya telur menetas dihitung dari waktu pada saat induk oviposisi sampai telur menetas menjadi larva 4. Persentase Daya Tetas Telur (%) Dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang dihasilkan dan dikalikan 100%. 5. Rataan Bobot Telur perbutir (mg) Rataan diperoleh dengan menimbang telur yang dihasilkan Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur per induk ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh lama perkawinan A. atlas terhadap waktu peletakan telur, jumlah telur, waktu tetas telur, daya tetas telur dan bobot telur Peubah
Perkawinan (jam) 12 5.20 ± 0.45a
WPT ( hari)
3 4.60 ± 0.55a
6 5.20 ± 0.84a
24 5.00 ± 0.63a
JT (butir/imago)
155.60 ± 48.75b
225.80 ± 24.30ab
245.00 ± 50.70a
288.40 ± 77.63a
WTT (hari)
9.91 ± 0.93a
9.57 ± 0.99a
9.94 ± 1.14a
9.77 ± 0.59a
DTT (%)
82.06 ± 5.18b
94.89 ± 1.23a
95.28 ± 0.82a
96.41 ± 2.08a
BT (mg/butir)
6.90 ± 0.20a
7.00 ± 0.70a
6.80 ± 0.20a
6.90 ± 0.60a
Keterangan : WPT : Waktu peletakan telur; JT : Jumlah telur ; WTT : Waktu tetas telur ; DTT : Daya tetas telur; BT: Bobot telur. Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang beda berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Waktu Peletakan Telur (Oviposisi) Hasil penelitian pada Tabel 1. menunjukkan bahwa lama waktu perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap waktu peletakan telur. Waktu peletakan telur untuk lama kawin 3 jam yaitu 4.60 ± 0.55 hari, 6 jam: 5.20 ± 0.84 hari, 12 jam: 5.20 ± 0.45 hari dan 24 jam: 5.00 ± 0.63 hari. Waktu peletakan telur dari hasil penelitian ini lebih seragam jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, Awan (2007) 2-10 hari, Desiana (2008) 2-5 hari. Menurut Dewi (2010) semakin banyak telur yang dioviposisikan pada awal peletakan maka semakin pendek masa bertelur. Keseragaman waktu peletakan telur merupakan hal yang baik dalam proses budidaya.
8
Gambar 3 Pola peletakan telur A. atlas pada lama perkawinan yang berbeda Pola peletakan telur (oviposisi) pada lama perkawinan yang berbeda terlihat pada Gambar 3. Pola peletakan telur yang terjadi pada lama perkawinan yang berbeda cendrung menurun setiap harinya. Pola ini terjadi dikarenakan energi yang dimiliki ngengat untuk melakukan oviposisi mulai menurun. Ngengat betina umumnya menghasilkan telur dengan jumlah ratusan dan diletakkan secara individu atau berkelompok dengan jumlah 3-10 butir (Adria dan Idris, 1997). Ngengat betina akan melakukan oviposisi atau peletakan telur setelah perkawinan, peletakan telur dapat berlangsung selama 4-6 hari (Goswami dan Singh 2012). Ngengat betina akan meletakkan telur tidak hanya di satu tempat tetapi secara acak. Jumlah Telur Per Induk Jumlah telur dipengaruhi secara nyata (P<0.05) oleh lama waktu perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1, terjadi peningkatan jumlah telur seiring dengan peningkatan lama perkawinan (3, 6, 12 dan 24 jam). Ngengat betina yang dikawinkan selama 24 jam menghasilkan jumlah telur terbanyak yaitu 288.40 +77.63 butir dan diikuti ngengat yang dikawinkan selama 12 jam (245.00 + 50.70 butir), 6 jam (225.80 + 24.30 butir) dan 3 jam (155.60 + 48.75 butir). Jumlah telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. Jumlah telur yang dihasilkan pada penelitian ini 155 – 288 butir tidak berbeda dengan hasil penelitian di alam oleh Nazar (1990) yaitu 286 butir. Lama perkawinan antara 3 dan 6 jam memiliki selisih waktu yang cukup singkat sehingga jumlah telur yang dihasilkan dari kedua waktu perkawinan tersebut tidak berbeda nyata. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan ngengat untuk bertelur. Sing et al (2003) menyatakan bahwa proses peneluran tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormonal, lingkungan, fisik dan tingkah laku. Kondisi fisik yang kurang baik dari ngengat akan mempengaruhi tingkah laku kawin dan perkawinan sangat penting dalam pembentukan telur ulat sutera. Jumlah telur dipengaruhi oleh kualitas pakan yang
9
dikonsumsi ngengat selama masih menjadi larva dan juga dipengaruhi oleh sifat betina (maternal effect). Jumlah telur yang dihasilkan ngengat betina dapat menentukan jumlah larva baru yang akan menetas. Semakin banyak jumlah telur maka semakin banyak pula bibit baru yang tersedia. Jumlah telur yang dihasilkan merupakan salah satu faktor penting bagi peternak ulat sutra dalam menopang keseimbangan populasi dan produksi. Waktu Telur Menetas Waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan (P>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tetas telur untuk lama perkawinan 3 jam adalah 9.91 ± 0.93 hari, 6 jam: 9.57 ± 0.99 hari, 12 jam: 9.94 ± 1.14 hari dan 24 jam : 9.77 ± 0.59 hari. Waktu tetas telur dari semua lama perkawinan terlihat lebih seragam jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya: 7-13 hari (Adria dan Idris 1997) dan 10-12 hari (Awan 2007). Waktu tetas yang seragam mempermudah peternak dalam pemeliharaan. Waktu tetas telur dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan saat inkubasi berlangsung, hormon ekdison dan juvenile dan adanya aktivitas enzim (Triplehorn dan Johnson 2005) sedangkan menurut Yusuf (2009) perbedaan waktu penetasan dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan dalam proses pembentukan embrio setiap individu. Proses perkembangan embrio telah sempurna pada hari ke 6-7, namun larva belum mampu membuka cangkang telur. Oleh karena itu sesuai hasil penelitian untuk semua perlakuan lama perkawinan, telur menetas 9.80 + 0.87 hari maka embrio yang dihasilkan telah sempurna. Waktu tetas telur perlu diketahui oleh peternak agar dapat dilakukan persiapan dalam penyediaan pakan, tempat pemeliharaan dan penyesuaian kondisi lingkungan. Daya Tetas Telur Lama perkawinan yang berbeda sangat mempengaruhi (P<0.001) persentase daya tetas telur A. atlas. Persentase daya tetas telur dengan waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan waktu perkawinan 3 jam. Persentase daya tetas telur tertinggi terjadi pada lama kawin 24 jam (96.41 + 2.08 %) dan terendah pada lama kawin 3 jam (82.06 + 5.18). Penelitian Adria dan Idris (1997) memperlihatkan bahwa daya tetas telur A. atlas di alam sebesar 72.06%. Proses penetasan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan telur, hormon ekdison dan juvenil (Triplehorn dan Johnson 2005). Lama perkawinan memberikan banyak kesempatan ngengat betina menerima sperma untuk disimpan dan membuahi telur. Banyaknya sperma yang ada akan meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas, sehingga lama perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Tingginya persentase daya tetas telur dan keseragaman waktu tetas telur merupakan hal yang penting dalam proses pemeliharaan ulat sutra. Kedua hal tesebut dijadikan tolok ukur terhadap kualitas bibit ulat sutra. Rataan Bobot Telur Lama perkawinan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rataan bobot telur karena pada dasarnya rataan bobot telur lebih dipengaruhi oleh
10 genetik dan kualitas pakan yang dikonsumsi ngengat betina selama masih menjadi larva. Rataan bobot telur secara berturut dari hasil perkawinan 3, 6, 12 dan 24 jam yaitu 6.90 ± 0.20 mg/butir, 7.00 ± 0.70 mg/butir, 6.80 ± 0.20 mg/butir dan 6.90 ± 0.60 mg/butir. Kualitas dan kuantitas pakan yang rendah akan mempengaruhi berbagai proses fisiologis serangga sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan pada imago yang mengakibatkan produksi dan mutu telur berkurang.
Simpulan dan Saran Simpulan 1. Lama perkawinan yang berbeda (3, 6,12 dan 24 jam) mempengaruhi jumlah telur dan tingginya persentase daya tetas telur yang dihasilkan. 2. Jumlah telur dan persentase daya tetas telur pada lama kawin 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. 3. Waktu perkawinan yang optimum adalah 6 jam 4. Lama perkawinan yang berbeda tidak mempengaruhi waktu peletakan telur, waktu tetas telur dan rataan bobot telur.
Saran 1. Perkawinan dalam waktu singkat (6 jam) dapat dilakukan saat ratio ngengat jantan yang muncul jauh lebih sedikit dibanding ngengat betina sehingga efisiensi pejantan tercapai. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh suhu, kelembaban dan cahaya saat pengambilan data perkawinan. 3. Perlunya ruangan yang terpisah untuk pemeliharaan imago dan pemeliharaan larva. Daftar Pustaka Adria dan Idris H. 1997. Aspek Biologis Hama Daun Attacus atlas pada Tanaman Ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. III (2). No. 35-48 Adria 2010. Populasi dan Intensitas Serangan Hama Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Aspidomorpha miliaris (Coleoptera : Chrysomelidae pada Tanaman Ylang-ylang). Jurnal Litri Vol. 16 No. 2: 77 – 82. Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi S. 2009. Pertumbuhan larva dan produktivitas kokon A. atlas pada jenis pakan (sirsak, kayu manis, alpukat) dan kepadatan yang berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Dewi A. 2010. Pengaruh penyimpanan dan hari oviposisi terhadap waktu penetasan dan daya tetas telur A. atlas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
11
Desiana R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur A. atlas asal Purwakarta pada berbagai jenis kandang pengawinan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Faatih M. 2005. Aktivitas Anti-Mikroba Kokon Attacus atlas, L. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 6. No. 1. 35-48. Goswami D. & Singh HI. 2012. Bioecological Studies of Indian Golden Silk Moth, Antheraea assamensis Helfer (Lepidoptera: Saturniidae). Munis Entomology & Zoology, 7 (1): 274-283]. Indrawan, Muhammad. 2007. Karakter Sutra Ulat Jedung (Attacus atlas L.) yang Dipelihara pada Tanaman Pakan Senggugu (Clerodendron serratum Spreng). J. Biodiversitas. Volume 8, No. 3. Hal: 215-217. Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Rincinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropa curca L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nazar A. 1990. Beberapa Aspek Biologi Ulat Perusak Daun (Attacus atlas Linn) pada Tanaman Cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. XVI (1); 35-37. Peiger R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Leptidoptera Research Foundation. California (ID): Inc. Beverly Hills. Singh,T., B. Saratchandra and H.S.P.Raj. 2003. Physiological and Biochemical Modulations During Oviposition and Egg Laying in the Silkworm, Bombyx mori L. J. Indust. Entomol. 6(2) 115-123. Situmorang J. 1996. An Attemp to Produce Attacus atlas L. Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. Of Wild Silkmoth and Silk. 1. 25-29. Triplehorn, C. A. and N. F. Johnson. 2005 Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insects. 7th Edition. Tomson, Australia. Yusuf Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L. (Lepidoptera: saturniidae). Skripsi. Jurusan Biologi. IPB.
12
II MANAJEMEN PAKAN Pendahuluan Attacus atlas merupakan salah satu serangga penghasil sutra terbaik dan masih hidup di alam. Larva ulat sutra bersifat polivoltin dan polifagus yang artinya dapat mengkonsumsi banyak jenis daun. Daun yang dikonsumsi diantaranya adalah daun teh, sirsak, ylang-ylang, dadap, cengkeh, jeruk, mangga, kayu manis, alpukat, kaliki (Peigler 1989; Nazar 1990; Situmorang 1996; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Perbedaan kualitas daun yang dikonsumsi akan mempengaruhi lama siklus hidup larva dan kualitas kokon yang dihasilkan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Awan 2007 bahwa siklus hidup yang dipelihara di dalam ruangan dan diberi makan secara intensif mampu memperpendek siklus hidup larva. Selain siklus hidup produktivitas juga mengalami peningkatan dan tingkah laku liar menjadi lebih jinak. Kemampuan Attacus mengkonsumsi banyak jenis pakan menjadi suatu potensi untuk dikembangkan. Pemeliharaan larva juga harus diiringi dengan penyediaan pakan dengan palatabilitas yang baik. Pakan yang dipilih sebaiknya dapat dibudidayakan dalam waktu singkat dan memiliki produktivitas daun tinggi. Oleh karena itu eksplorasi pakan perlu dilakukan. Selain jenis pakan, kualitas daun juga perlu diperhatikan karena larva lebih menyukai pakan dalam kondisi segar ( Nazar 1990 ; Ekastuti 1999; Awan 2007) seperti di alam maka frekuensi pemberian pakan untuk pemeliharaan di dalam ruangan perlu ditingkatkan. Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90%, sehingga walaupun imago betina mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak, namun di alam populasi Attacus sangat rendah. Hal ini terjadi karena 40 – 80% telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat terinfeksi parasitoid Anastatus menzeli Ferr, sedangkan pada stadium larva Attacus juga dapat diserang oleh lalat Exorista sorbillans (Tachiniae : Diptera) dan Xanthopimpla (Ichneumonidae : Hymenoptera). Pemeliharaan secara intensif di dalam ruangan juga menjadi dasar untuk mengurangi mortalitas akibat predator maupun parasitasi. Pengendalian kondisi lingkungan selama pemeliharaan juga mengurangi mortalitas (Situmorang 1996; Veda et al 1997; Atmosoedarjo et al 2000; Dolezal 2007). Olehkarena itu perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif dengan penerapan manajemen pakan serta frekuensi pemberian pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian jenis pakan dan frekuensi yang berbeda terhadap pertumbuhan ulat sutra Attacus atlas. Metode Lokasi dan Waktu Penelitian tahap dua dilakukan selama enam bulan mulai dari bulan September 2012 sampai Februari 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.
13
Alat dan Bahan Bahan yang digunakan pada tahap ini adalah adalah ulat sutera liar Attacus atlas, pakan berupa daun kenari dan jambu biji. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah kandang kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3 ,cawan petri, tempat pemeliharaan yang berukuran 25 x 25 x 20 cm3, thermohygrometer digital, digital caliper, lux meter, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, dan oven. Tahap persiapan 1.
Persiapan kandang Ruangan tempat pemeliharaan beserta seluruh peralatan kandang, rak dan alat dibersihkan. Sumber pakan yang akan digunakan berupa daun jambu biji diletakkan serta dirawat dekat ruangan pemeliharaan. 2.
Uji palabilitas Larva Attacus atlas instar V dan VI yang diambil dari Perkebunan Teh di Purwakarta diberi beberapa jenis daun yaitu daun kenari, kunyit, daun bunga kembang sepatu, jambu biji dan ketapang. Eksplorasi pakan dilakukan untuk melihat pakan yang lebih tinggi palatabilitasnya. Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa daun jambu biji dan daun kenari palatabilitasnya tertinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 3. 3.
Persiapan bibit Kokon yang diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta, kemudian ditempatkan di dalam kandang kasa sampai menjadi imago. Imago jantan dan betina yang keluar dibiarkan kawin dalam kandang kasa, kemudian induk betina dipisahkan dan dipelihara dalam sebuah wadah untuk bertelur (oviposisi). Telur yang diperoleh dari imago betina direndam dalam larutan desinfektan formalin 4% selama 1-2 menit dan dibilas dengan air mengalir. Telur dikeringkan dengan menggunakan tissue kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Telur yang diinkubasi akan menetas dalam 7-10 hari. Telur yang menetas dan menghasilkan larva pada hari yang sama dipindahkan ke beberapa cawan petri sesuai perlakuan pakan masing-masing. Tiap cawan yang merupakan unit percobaan berisi 15 ekor larva ulat sutera.
14
Gambar 4 Uji palabilitas pakan pada larva A. atlas (A) Daun kenari; (B) Daun jambu biji; (C) Daun ketapang; (D) Daun bunga kembang sepatu; (E) Daun kunyit Prosedur Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial, dengan perlakuan sebanyak 2 faktor, yaitu: 1). pemberian dua jenis pakan (daun jambu biji dan daun kenari), 2). Frekuensi pemberian pakan (3 kali dan 4 kali sehari). Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali dengan pola: 2x2x5. Perlakuan pakan berupa daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian pakan yang dilakukan sebanyak tiga kali per hari yaitu pukul 08.00, 12.00 dan 17.00 WIB dan empat kali per hari pada pukul 08.00, 11.00, 14.00 dan 17.00 WIB.
15
Gambar 5 Bagan perlakuan pakan Pengambilan data bobot dan diameter badan dilakukan dengan cara mengambil sampel larva secara acak sebanyak 50% dari total populasi tiap tempat pemeliharaan dari masing-masing perlakuan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 08.00-09.00), siang hari (pukul 12.0013.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00) WIB. Peubah yang Diamati 1. Konsumsi pakan segar (g/larva/instar) Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan seekor larva ulat sutera per tahap instar. Jumlah pakan yang diberikan pada larva pada hari itu ditimbang (a). Sisa pakan keesokan harinya ditimbang kembali (b). Perhitungan konsumsi dihitung dengan memasukkan faktor koreksi. Faktor koreksi (penguapan kandungan air pakan) didapatkan dengan memisahkan daun (sampel daun) dari daun yang diberikan pada larva. Daun ditimbang diletakkan pada wadah terpisah dan ditempatkan berdekatan dengan perlakuan. Sampel daun tersebut ditimbang kembali keesokan harinya. Perhitungan faktor koreksi yaitu berat awal sampel
16 daun dikurangi berat akhir sampel daun dibagi berat awal daun. Konsumsi pakan segar per larva per hari (X) dihitung menggunakan rumus :
Keterangan : X = konsumsi pakan segar per ekor per hari a = pakan segar yang diberikan setiap hari b = pakan sisa c = faktor koreksi n = jumlah larva yang berhasil hidup hari tersebut Konsumsi pakan segar per larva per instar dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Konsumsi pakan segar = X1+X2+X3+ ………..+ Xi 2. Kecernaan pakan (%) Kecernaan adalah persentase pakan yang dicerna oleh tubuh. Kecernaan dapat dihitung dengan cara selisih antara berat kering (BK) pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses dibagi dengan berat kering pakan yang dikonsumsi. Rumus yang digunakan :
3. Pakan tercerna (g/larva) Pakan tercerna adalah jumlah pakan segar yang dapat dicerna larva dari pakan yang dikonsumsi. Perhitungan jumlah pakan tercerna untuk mengetahui jumlah pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Perhitungan jumlah pakan tercerna dengan cara mengalikan jumlah konsumsi pakan dengan besarnya daya cerna. Rumus yang digunakan : Pakan tercerna = kecernaan x konsumsi pakan segar 4. Pertambahan bobot badan (g) Pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal instar. Pengukuran bobot badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan ditimbang tiap larva seperti pada Gambar 5. Pertambahan bobot badan setiap tahap instar diperoleh dari selisih antara bobot badan pada akhir instar dengan penimbangan bobot badan awal instar. Rumus yang digunakan yaitu: Pertambahan bobot badan = BBx – (BBx - i) Keterangan : BBx : rataan bobot badan pada akhir instar BBx-i : rataan bobot badan pada awal instar
17
Gambar 6 Pengukuran bobot badan 5. Pertambahan Diameter badan (cm) Pengukuran diameter badan yaitu selisih antara diameter badan akhir instar dengan awal instar. Pengukuran diameter badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan diukur tiap larva. Pertambahan diameter badan per instar diperoleh dari selisih antara diameter badan pada akhir instar dengan diameter awal instar. Rumus yang digunakan yaitu: Pertambahan diameter badan = PDx – (PDx - i) Keterangan : PDx : rataan diameter badan pada akhir instar PDx-i : rataan diameter badan pada awal instar
Gambar 7 Pengukuran diameter badan 6. Mortalitas (%) Mortalitas dihitung setiap dilakukan pergantian pakan dan persentase mortalitas dilihat setiap akhir instar. Persentase mortalitas diperoleh dengan membagi selisih jumlah larva pada awal tahapan instar dengan jumlah individu akhir instar dikalikan seratus persen. Rumus yang digunakan yaitu :
18 Rancangan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial). Perlakuan yang diberikan adalah jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan. Masing-masing perlakuan diberikan ulangan lima kali dan setiap ulangan terdiri atas 15 ekor larva. Model matematik yang digunakan menurut (Mattjik dan Sumertajaya 2000) : Yijk = + Pi + Yj+ PYij + ijk Keterangan : Yijk : Variabel respon akibat pengaruh frekuensi pemberian pakan ke-i dan pakan yang berbeda ke-j pada ulangan ke-k µ : Nilai rataan performa pertumbuhan pada larva ulat sutera liar Pi : Pengaruh frekuensi pemberian pakan pada taraf ke-i YJ : Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda (daun kenari dan jambu biji) pada taraf ke-j Pyij : Pengaruh interaksi antara frekuensi pemberian pakan ke-i dengan jenis pakan yang berbeda ke-j ij : Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika pada analisis ANOVA didapatkan hasil yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.
19
Hasil dan Pembahasan Uji proksimat dilakukan pada daun jambu biji dan daun kenari yang digunakan sebagai pakan larva A. atlas. Daun yang diuji terdiri dari enam sampel yaitu daun jambu biji dan daun kenari yang muda, sedang, dan tua. Pembagian uji ini disesuaikan dengan kondisi daun yang diberikan saat pemeliharaan instar awal (I dan II) daun muda, sedangkan untuk instar III dan IV diberi daun sedang, dan Instar V diberi daun tua. Pembagian kondisi daun muda, sedang dan tua dilihat dari urutan daun pada tangkai. Hasil uji proksimat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil analisis proksimat daun kenari dan daun jambu biji Kode Sampel
Kadar Abu Lemak Protein Serat Air Kasar .................................................................%.......................................... Daun jambu biji Muda 74.29 1.40 0.88 3.65 4.10 Daun jambu biji Sedang 68.85 1.84 1.04 4.34 6.14 Daun jambu biji Tua 61.13 1.98 1.43 5.21 6.00 Daun kenari Muda 81.26 0.92 0.55 3.10 2.67 Daun kenari Sedang 77.1 1.18 0.61 3.51 5.19 Daun kenari Tua 59.74 4.49 0.82 4.64 7.61
BETN
15.68 17.79 24.25 11.50 12.41 22.70
Suhu, kelembaban dan cahaya ruang pemeliharaan Temperatur dan kelembaban harian ruangan pemeliharaan Attacus atlas berfluktuasi baik pagi, siang dan sore hari. Suhu rata-rata pada pagi hari 27,44 ± 0.38 oC, siang hari 28,21 ± 0.45 oC dan sore hari 27.52 ± 52 oC. Suhu maksimum dan minimum yang tercatat selama pemeliharaan secara berurutan adalah 28.9 oC pada siang hari dan 26.2 oC pada sore hari. Kelembaban pagi, siang dan sore hari berturut turut yaitu 83.93 ± 3.37%, 75.33 ± 6.57% dan 82.42± 5.14%. Kelembaban minimum 56,9% yang terjadi di siang hari dan kelembaban maksimum 91,7% di sore hari. Cahaya pagi 0.009±0,004 Klux, siang 0.015 ± 0.008 Klux dan sore 0.008± 0.017 Klux. Cahaya minimum terjadi di sore hari 0.001 Klux dan maksimum di siang hari 0.029 Klux. Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna Larva A. atlas Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas mengkonsumsi kedua jenis pakan perlakuan yang diberikan yaitu daun jambu biji dan daun kenari. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa A. atlas merupakan serangga yang polipagus (Peigler 1989; Awan 2007; Indrawan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Adria 2010). Konsumsi pakan segar dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis data menunjukkan bahwa jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan konsumsi pakan segar tiap ekor larva A. atlas. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih besar dibandingkan dengan larva yang mengkonsumsi daun jambu biji yaitu sebesar 0.310±0.021 g/larva. Frekuensi pemberian pakan yang diberikan kepada larva instar I dan II sebanyak empat kali sehari menghasilkan rataan konsumsi pakan yang lebih besar dibandingkan larva yang hanya diberi pakan tiga kali sehari.
20 Konsumsi pakan tertinggi pada larva instar I dan II terjadi saat larva diberi daun kenari dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari dengan masingmasing nilai konsumsi sebesar 0.317 ± 0.015 g/larva dan 0.459 ± 0.015 g/larva. Tabel 3 Rataan konsumsi pakan segar daun kenari dan jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas. Instar Instar I
Instar II
Instar III
Instar IV
Frekuensi 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan
Daun kenari (g) 0.304 ± 0.010b 0.317 ± 0.015a 0.310 ± 0.021a 0.425 ± 0.039b 0.459 ± 0.015a 0.442 ± 0.033a 0.815 ± 0.038c 0.924 ± 0.050b 0.869 ± 0.085b 0.918 ± 0.125b 1.025 ± 0.162b 0.972 ± 0.148b
Jambu (g) 0.274 ± 0.012c 0.284 ± 0.003c 0.279 ± 0.010b 0.392 ± 0.012c 0.392 ± 0.012c 0.392 ± 0.011b 0.935 ± 0.040b 1.000 ± 0.010a 0.967 ± 0.098a 1.132 ± 0.217b 1.291 ± 0.132a 1.211 ± 0.189a
Rataan (g) 0.289 ±0.011b 0.300 ±0.012a P < 0.05 0.408 ±0.032b 0.422 ±0.037a P < 0.05 0.875±0.115b 0.962±0.091a P < 0.05 1.025±0.201b 1.158±0.197a P < 0.05
Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Hal yang sebaliknya terjadi pada instar III dan IV. Larva instar III dan IV yang diberi pakan daun jambu biji memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih tinggi dibandingkan dengan larva yang diberi daun kenari. Frekuensi pemberian pakan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap raatan konsumsi pakan segar larva instar III dan IV. Hal ini terlihat dari larva yang diberi makan empat kali perhari memiliki rataan konsumsi pakan segar yang lebih banyak dibanding tiga kali sehari yaitu sebesar 0.962±0.091 g/ larva untuk instar III dan 1.158±0.197 g/larva untuk instar IV. Konsumsi pakan tertinggi pada larva instar III dan IV terjadi saat larva diberi daun jambu biji dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari dengan masing-masing nilai konsumsi sebesar 1.000 ± 0.010 g/larva dan 1.291 ± 0.132 g/larva. Larva yang diberi pakan empat kali sehari memiliki rataan konsumsi pakan yang lebih besar dibandingkan dengan larva yang diberi pakan tiga kali sehari. Hal ini disebabkan larva A. atlas lebih menyukai pakan dalam kondisi segar, dimana kandungan yang terdapat pada daun seperti kadar air, protein, lemak dan serat masih baik (Ekastuti 1999; Awan 2007; Mulyani 2008; Dewi 2009; Hamamura 2001). Daun yang berkualitas baik dan segar mengeluarkan aroma dari zat yang terkandung di dalamnya sehingga meningkatkan selera dan aktivitas makan larva (Mulyani 2008). Uji proksimat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa daun kenari muda memiliki kadar air lebih tinggi (81.26%) dibandingkan daun jambu biji muda (74.29%). Kandungan serat kasar daun jambu biji lebih banyak (4.10%) dibanding daun kenari (2.67%) tetapi kadar proteinnya tidak jauh berbeda. Pada awal instar biasanya kebutuhan akan kadar air menjadi sangat penting, namun serat kasarnya tidak terlalu tinggi. Hal ini yang menyebabkan awal instar lebih banyak
21
mengkonsumsi daun kenari dibandingkan daun jambu biji. Pakan yang sesuai bagi larva harus mengandung nutrisi lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera (Ahmad et al 2006). Instar III dan IV lebih menyukai daun jambu biji dikarenakan kebutuhan larva berubah. Larva membutuhkan serat kasar yang lebih besar dan kadar air yang tidak terlalu tinggi. Banyak atau sedikitnya pakan segar yang dikonsumsi larva bukan menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Selain jumlah pakan yang dikonsumsi kecernaan pakan juga perlu diketahui. Hasil uji statistik terhadap kecernaan dari dua jenis pakan dan frekuensi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kecernaan pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda pada A. atlas. Instar Instar I
Instar II
Instar III
Instar IV
Frekuensi 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan
Daun kenari (%) 25.90 ± 0.010b 27.60 ± 0.012a 26.75 ± 0.011a 26.10 ± 0.027b 28.10 ± 0.027a 27.10 ± 0.025a 27.50 ± 0.006c 29.70 ± 0.005b 28.60 ± 0.006b 30.70 ± 0.006b 31.50 ± 0.007b 31.10 ± 0.009a
Jambu (%) 21.70 ± 0.003c 22.60 ± 0.004c 22.15 ± 0.005b 22.90 ± 0.009c 23.40 ± 0.005c 23.15 ± 0.008b 29.70 ± 0.007b 31.70 ± 0.004a 30.70 ± 0.007a 32.50 ± 0.008a 35.50 ± 0.008a 34.00 ± 0.007b
Rataan (%) 23.80 ± 0.007b 25.10 ± 0.008a P < 0.05 24.50 ± 0.019b 25.75 ± 0.018a P < 0.05 28.6 ± 0.010b 30.7 ± 0.012a P < 0.05 31.6 ± 0.012b 33.5 ± 0.013a P < 0.05
Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan kecernaan pakan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa rataan kecernaan pakan instar I dan instar II lebih besar dihasilkan saat larva diberi daun kenari. Frekuensi pemberian pakan empat kali sehari menghasilkan rataan kecernaan pakan yang lebih tinggi dengan nilai 25.10±0.008% untuk instar I dan 25.75±0.018% instar II. Larva instar I yang diberi daun kenari sebanyak empat kali sehari menghasilkan kecernaan pakan tertinggi, begitu juga dengan larva instar II. Rataan kecernaan pakan pada larva instar III dan IV dipengaruhi oleh jenis pakan dan frekuensi pemberian. Nilai kecernaan pakan berubah saat instar III dan IV. Larva yang diberi pakan daun jambu biji memiliki kecernaan pakan yang lebih besar dibanding larva yang diberi daun kenari. Namun, untuk frekuensi pemberian empat kali tetap lebih baik dibanding pemberian tiga kali sehari. Larva instar III dan IV yang menghasilkan nilai kecernaan tertinggi adalah saat larva diberi daun jambu biji dengan frekuensi pemberian empat kali sehari. Rataan kecernaan pakan pada larva instar I dan II yang diberi daun kenari lebih baik dibandingkan daun jambu biji. Hal ini disebabkan daun jambu biji memiliki struktur daun yang lebih keras dibandingkan dengan daun kenari sehingga larva kecil lebih menyukai daun kenari, hal ini sesuai dengan pernyataan
22 Vonny dan Nugroho (2005) yang menyatakan bahwa kondisi permukaan epidermis dan struktur daun mempengaruhi preferensi pakan dan kesukaan makanan pada larva A. atlas sedangkan, daun dengan struktur keras dan adanya trikoma mempersulit aktivitas makan larva sehingga kurang disukai oleh larva muda A. atlas. Daun yang disediakan empat kali sehari memiliki kecernaan pakan yang lebih baik dibanding tiga kali sehari. Frekuensi pemberian pakan yang lebih sering (empat kali sehari) menjaga kesegaran daun dan kadar air yang cukup tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pertumbuhan larva Lepidoptera sangat tergantung kadar air pakan (Elzinga 2004). Persentase kecernaan daun jambu biji dari mulai instar I sampai V mengalami peningkatan, sebaliknya persentase kecernaan daun kenari di awal tinggi dan menurun di instar selanjutnya. Hal ini karena nutrient yang terkandung dalam daun mempengaruhi pakan yang tercerna. Pada Tabel 5. memperlihatkan bahwa perlakuan jenis dan frekuensi pemberian pakan mempengaruhi (p<0.05) pakan yang tercerna. Pengukuran pakan yang tercerna bertujuan untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang dicerna tubuh. Tercernanya pakan di dalam organ pencernaan tergantung dari kandungan yang ada di dalam pakan. Tabel 5 Pakan yang tercerna dengan pemberian daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda pada A. atlas Instar
Frekuensi
Daun kenari (g)
Jambu (g)
Rataan (g)
Instar I
3 kali
0.067 ± 0.004b
0.048 ± 0.003c
0.057 ± 0.003a
0.071 ± 0.006a 0.069 ± 0.007a
0.050 ± 0.002c 0.049 ± 0.004b
0.060 ± 0.004a P < 0.05
Instar II
4 kali Rataan 3 kali
0.111 ± 0.012b
0.093 ± 0.014c
0.102 ± 0.013b
0.133 ± 0.012a 0.122 ± 0.011a
0.095 ± 0.005c 0.094 ± 0.012b
0.114 ± 0.013a P < 0.05
Instar III
4 kali Rataan 3 kali
0.229 ± 0.008c
0.290 ± 0.037b
0.260 ± 0.041b
0.287 ± 0.023b 0.258 ± 0.026b
0.331 ± 0.009a 0.310 ± 0.033a
0.309 ± 0.038a P < 0.05
Instar IV
4 kali Rataan 3 kali
0.283 ± 0.042c
0.378 ± 0.070a
0.331 ± 0.071b
4 kali Rataan
0.323 ± 0.051b 0.303 ± 0.049b
0.432 ± 0.044a 0.405 ± 0.065a
0.378 ± 0.073a P < 0.05
Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Pakan yang tercerna pada awal instar I dan II yang diberi daun kenari lebih besar dibanding larva yang diberi daun jambu biji. Larva instar I dan II akan menghasilkan pakan tercerna yang tertinggi saat diberi daun daun kenari dengan empat kali pemberian pakan dengan masing-masing nilai sebesar 0.071±0.006 g/larva dan 0.133±0.012 g/larva . Namun, pada instar I larva yang diberi pakan dengan frekuensi pemberian tiga dan empat kali sehari menghasilkan pakan tercerna yang tidak berbeda nyata. Pada saat instar II besarnya pakan yang tercerna dari frekuensi pemberian empat kali lebih baik dibanding tiga kali sehari.
23
Sama halnya dengan konsumsi pakan dan kecernaan pakan, jumlah pakan tercerna dari larva yang diberi daun jambu biji semakin meningkat saat memasuki instar III dan IV. Terlihat bahwa rataan pakan tercerna daun jambu biji lebih tinggi (0.310 ±0.033 g/larva dan 0.405 ± 0.065 g/larva ) dibanding daun kenari (0.258 ± 0.026 g/larva dan 0.303 ± 0.049 g/larva), begitu juga dengan frekuensi pemberian pakan empat kali berbeda nyata dibanding pemberian tiga kali sehari. Larva instar III dan IV memiliki kecernaan pakan tertinggi saat diberi pakan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian empat kali sehari. Larva yang diberi pakan daun kenari memiliki pakan tercerna yang lebih kecil hal ini menyebabkan daya tahan tubuh berkurang sehingga menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan larva dan mengakibatkan kematian. Pertumbuhan Larva A. atlas Pertumbuhan larva dapat dilihat melalui pertambahan bobot badan. Bobot badan menjadi indikator eksternal terhadap palatabilitas pakan, tingkat kecernaan dan pakan yang tercerna. Tabel 6 merupakan hasil uji statistik untuk pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun jambu biji dan daun kenari dengan frekuensi yang berbeda. Tabel 6 Pertambahan bobot badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. Instar Instar I
Instar II
Instar III
Instar IV
Frekuensi 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4kali Rataan
Daun kenari (g) 0.033 ± 0.001b 0.037 ± 0.001a 0.035 ± 0.002a 0.102 ± 0.005a 0.121 ± 0.004a 0.111 ± 0.005a 0.209 ± 0.015c 0.221 ± 0.019c 0.215 ± 0.017b 0.380 ± 0.035b 0.499 ± 0.035b 0.439 ± 0.071b
Jambu (g) 0.017 ± 0.001d 0.019 ± 0.002c 0.018 ± 0.002b 0.023 ± 0.001b 0.033 ± 0.002b 0.028 ± 0.002b 0.354 ± 0.060b 0.527 ± 0.016a 0.440 ± 0.100a 0.428 ± 0.062b 0.660 ± 0.215a 0.544 ± 0.193a
Rataan (g) 0.025 ± 0.009b 0.028 ± 0.010a P < 0.05 0.062 ± 0.052b 0.077 ± 0.050a P < 0.05 0.281 ± 0.087b 0.374 ± 0.162a P < 0.05 0.404 ± 0.054b 0.580 ± 0.168a P < 0.05
Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Pertambahan bobot badan dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh jenis pakan dan frekuensi pemberiannya. Rataan pertambahan bobot badan larva instar I dan II berbeda nyata antara daun kenari dan jambu. Larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari memiliki rataan pertambahan bobot badan yang lebih besar dibanding larva yang mengkonsumsi daun jambu biji. Pertambahan bobot badan juga dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh frekuensi pemberian pakan. Pertambahan bobot badan larva yang diberi pakan empat kali sehari lebih besar dibanding larva yang hanya diberi pakan tiga kali sehari. Lebih lanjut terlihat bahwa pertambahan bobot badan tertinggi saat instar I sebesar 0.037±0.001
24 g/larva dan instar II sebesar 0.121±0.004 g/larva terjadi saat larva mengkonsumsi daun kenari dengan pemberian pakan empat kali per hari. Memasuki instar III dan IV pertambahan bobot badan yang tertinggi terjadi pada larva yang diberi daun jambu biji dengan pemberian empat kali per hari, masing-masing dengan nilai 0.527±0.016 g/larva dan 0.660±0.215 g/larva. Daun jambu biji yang diberikan pada instar III dan IV menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih besar dibandingkan daun kenari. Frekuensi pemberian empat kali juga menghasilkan pertambahan bobot yang lebih besar dibanding pemberian tiga kali sehari. Pertambahan bobot badan berkorelasi positif dengan besarnya konsumsi pakan, pakan tercerna dan kecernaan pakan. Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, suhu, fotoperiode dan kepadatan populasi. Kekurangan pakan akan menurunkan produktivitas larva (Elzinga 2004). Sama halnya dengan pertambahan bobot badan, pertambahan diameter tubuh larva juga memperlihatkan perkembangan stadia. Pertambahan diameter badan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pertambahan diameter badan A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi yang berbeda. Instar Instar I
Instar II
Instar III
Instar IV
Frekuensi 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan 3 kali 4 kali Rataan
Daun kenari (cm) 0.161 ± 0.017b 0.187 ± 0.016a 0.174 ± 0.030a 0.211 ± 0.024a 0.267 ± 0.011a 0.239 ± 0.018a 0.345 ± 0.030c 0.365 ± 0.054c 0.355 ± 0.042b 0.287 ± 0.052c 0.280 ± 0.052c 0.284 ± 0.049b
Jambu (cm) 0.113 ± 0.017c 0.117 ± 0.011c 0.115 ± 0.017b 0.132 ± 0.008b 0.137 ± 0.010b 0.134 ± 0.011b 0.680 ± 0.063b 0.806 ± 0.098a 0.743 ± 0.102a 0.440 ± 0.165b 0.597 ± 0.094a 0.518 ± 0.151a
Rataan (cm) 0.137 ± 0.052b 0.152 ± 0.067a P < 0.01 0.172 ± 0.027b 0.202 ± 0.021a P < 0.01 0.513 ± 0.183b 0.586 ± 0.244a P < 0.01 0.364 ± 0.141a 0.438 ± 0.182a P < 0.01
Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Pertambahan diameter badan larva A. atlas dipengaruhi secara nyata (p<0.01) oleh jenis pakan dan frekuensi pakan yang berbeda. Tabel 7 menunjukkan bahwa larva instar I dan II yang diberi pakan daun kenari dengan frekuensi pemberian empat kali sehari memiliki pertambahan diameter badan yang lebih besar dibanding yang diberi daun jambu biji. Larva yang mengkonsumsi daun jambu biji dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari berbeda nyata dari pemberian tiga kali sehari. Larva yang diberikan pakan empat kali sehari memiliki pertambahan diameter badan yang lebih tinggi dengan nilai pertabahan sebesar 0.152 ± 0.067 cm untuk instar I dan 0.202 ± 0.021 cm untuk instar II.
25
Peningkatan tahapan larva menjadi instar III memperlihatkan bahwa terjadi pertambahan diameter yang tinggi dari larva yang mengkonsumsi daun jambu biji yang diberi pakan empat kali sehari, sedangkan pertambahan larva yang diberi daun kenari hanya mengalami sedikit pertambahan diameter badan. Larva instar III yang diberi makan daun jambu biji empat kali sehari memiliki pertambahan diameter tertinggi (0.806±0.098 cm) dan diikuti larva yang diberi makan daun jambu biji tiga kali sehari (0.680±0.063 cm). Rataan pertambahan diameter badan larva yang diberi makan 4 kali sehari juga lebih besar dibandingkan yang diberi makan tiga kali sehari, sedangkan untuk jenis pakan, rataan diameter badan yang lebih besar terjadi saat larva diberi daun jambu biji dibandingkan daun kenari. Pertambahan diameter larva di instar IV mengalami penurunan untuk semua perlakuan yang diberikan. Nilai pertambahan diameter badan antar jenis daun dan frekuensi pemberian berbeda nyata. Pertambahan diameter larva tertinggi masih dihasilkan dari pemberian daun jambu biji dengan empat kali pemberian diikuti dengan tiga kali pemberian. Terjadinya penurunan kelipatan pertambahan diameter badan di instar IV disebabkan kondisi lingkungan yang fluktuatif dan kualitas daun yang menurun menyebabkan kegiatan makan berkurang sehingga diameter tidak terlalu bertambah banyak. Mortalitas A. atlas Persentase kematian larva Attacus atlas untuk pemberian dua jenis pakan yaitu daun jambu biji dan daun kenari dengan frekuensi pemberian tiga dan empat kali digambarkan dengan bentuk grafik pada Gambar 7 berikut.
Gambar 8 Persentase mortalitas A. atlas yang diberikan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi berbeda. Pemberian jenis daun dan frekuensi pemberian yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase mortalitas larva instar I. Tingkat kematian larva yang diberi daun jambu biji tiga kali per hari memiliki persentase kematian tertinggi yaitu sebesar 13.3±0.105 %. Persentase kematian larva instar II untuk semua perlakuan pemberian jenis daun dan frekuensi pemberiannya tidak berbeda. Memasuki instar III larva yang diberi daun kenari dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari memiliki tingkat kematian tertinggi dibanding yang
26 lainnya yaitu 40.1±0.087 %. Hal ini dikarenakan saat awal instar (I dan II) konsumsi pakan, kecernaan pakan dan pakan tercerna larva lebih sedikit. Larva instar awal cendrung lebih rentan mati bila kebutuhan nutrient di awal tidak tercukupi (Indrawan 2007). Larva instar IV yang diberi daun kenari dengan frekuensi pemberian tiga dan empat kali mengalami tingkat kematian yang ekstrim yaitu 100%. Mortalitas larva yang diberi daun jambu biji tiga dan empat kali per hari tidak berbeda nyata. Di akhir instar V semua larva yang diberi daun jambu biji untuk tiga dan empat kali pemberian daun per hari tidak berpengaruh nyata (p>0.05). Pada instar V semua larva mati.
(A)
(B)
(C) Gambar 9 Penyebab kematiaan larva A. Atlas (A) keluarnya cairan hijau kehitaman dari dubur (kotoran cair); (B) gagal motling; (C) penyakit Persentase kematian yang ekstrim pada larva yang diberi daun kenari terjadi saat memasuki pertengahan instar III, sedangkan larva yang diberi daun jambu biji mengalami tingkat kematiaan ekstrim saat akhir instar IV. Suhu ratarata pada pagi hari yang cukup tinggi yaitu 27.44 ± 0.38 oC dan meningkat di siang hari menjadi 28.21 ± 0.45 oC serta sore hari 27.52 ± 52 oC diikuti dengan kelembaban pagi, siang dan sore hari yaitu 83.93 ± 3.37%, 75.33 ± 6.57% dan 82.42± 5.14%. Nation (2008) menyatakan kebutuhan larva akan air sangat dipengaruhi dan berhubungan erat dengan keadaan lingkungan hidupnya terutama kelembaban, suhu dan ketersediaan air pada pakan. Attacus atlas termasuk hewan poikiloterm (Nation 2008) sehingga fluktuasi suhu dan kelembaban sangat menentukan keberhasilan hidup larva selama rearing. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva, sehingga tidak mau makan, daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit dan mati (Wulandari dan Situmorang 2002).
27
Stadia Larva A. atlas Pertumbuhan larva A. atlas diamati sampai instar IV. Perubahan instar selalu ditandai dengan adanya pergantian kulit atau biasa disebut dengan molting. Kisaran lama per instar yang diberi pakan daun jambu biji dan daun kenari dengan frekuensi pemberian tiga dan empat kali per hari dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Daur hidup larva A. atlas yang diberi pakan daun kenari dan daun jambu biji dengan frekuensi pemberian yang berbeda. Stadia
Daun jambu biji Daun kenari 3x 4x 3x 4x Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan .................................................................................. (hari) ........................................................................
Instar I
5-6
Instar II
4-5
Instar III
3-4
Instar IV
4-5
5,6 ± 0,62b (n = 65) 4,7 ± 0,48a (n = 56) 3,7 ± 0,48a (n = 50) 3,7 ± 0,67a (n = 38)
5-6 4-5 3-4 4-5
5,8 ± 0,42b (n = 72) 4,9 ± 0,58a (n = 65) 3,9 ± 0,32a (n = 61) 3,7 ± 0,48a (n = 49)
4-5 4-5 4-6 5-6
3,6 ± 0,52a (n = 74) 3,7 ± 0,48a (n = 65) 4,6 ± 0,52a (n = 38) 4,6 ± 0,52a (n = 0)
3-5 4-5 4-6 5-6
3,9 ± 0,31a (n = 75) 3,9 ± 0,57a (n = 70) 4,9 ± 0,32a (n = 57) 4,9 ± 0,58a (n = 0)
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang Duncan).
Berdasarkan analisis ragam interaksi perlakuan yang diberikan yaitu dua jenis pakan daun jambu biji dan daun kenari beserta frekuensi pemberiaannya berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap periode larva instar I. Rataan periode instar I dengan pakan daun jambu biji dan daun kenari berbeda nyata. Larva yang mengkonsumsi daun kenari tiga kali (3,6 ± 0,52 hari) dan empat kali (3,9 ± 0,31 hari) sehari memiliki rataan periode lebih singkat dibandingkan larva yang makan daun jambu biji tiga kali (5,6 ± 0,62 hari) dan empat kali per hari (5,8 ± 0,42 hari). Lama atau singkatnya periode perubahan instar dipengaruhi oleh pemenuhan zat yang dibutuhkan tubuh. Saat tubuh sudah merasa cukup maka dengan sendirinya molting terjadi untuk mengganti kulit lama menjadi baru. Periode instar I yang diberi daun kenari lebih singkat dibandingkan larva yang memakan daun jambu biji hal ini sesuai dengan tingkat konsumsi, kecernaan pakan dan pakan tercerna, pertambahan bobot serta pertambahan diameter badan yang tinggi dibandingkan daun jambu biji. Pergantian kulit ini disebabkan volume tubuh bertambah sehingga keelastisan kulit berkurang oleh karena itu kulit mengelupas dan segera berganti dengan kulit yang lebih elastis. Simpulan dan Saran Simpulan 1. Pemberian dua jenis pakan yaitu daun jambu biji dan daun kenari berpengaruh nyata terhadap konsumsi, kecernaan dan pakan tercerna, bobot, diameter, mortalitas dan periode instar A. atlas. 2. Frekuensi pemberian berpengaruh nyata terhadap rataan konsumsi, kecernaan, pakan tercerna, bobot, diameter, mortalitas dan periode instar A. atlas. 3. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat mortalitas larva A. atlas.
28
Saran Perlunya pemisahan tempat pemeliharaan setiap instar karena tiap instar memiliki kebutuhan suhu, kelembaban dan cahaya yang berbeda-beda. Daftar Pustaka Adria 2010. Populasi dan Intensitas Serangan Hama Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Aspidomorpha miliaris (Coleoptera : Chrysomelidae pada Tanaman Ylang-ylang). Jurnal Litri Vol. 16 No. 2: 77 – 82. Ahmad I, Ar-Rasyid MH, Salim S, Hosen MJ, Elora B. 2006. Effect of Feeding on The Larval Growth and Development of Silkworm, Bombyx mori L. Race: Nistari (M). Int J Sustain Agril Tech 2(2): 66-68. Atmosoedarjo H, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi S. 2009. Pertumbuhan larva dan produktivitas kokon A. atlas pada jenis pakan (sirsak, kayu manis, alpukat) dan kepadatan yg berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ekastuti DR. 1999. Pengaruh kadar air pakan terhadap katabolisme nutrien, pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae.) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Elzinga, R. J. 2004. Fundamentals of Entomology. Sixth Edition. Departement of Entomology. Kansas State University. Pearson Pretince Hall, New Jersey. Hamamura Y. 2001. Silkworm Rearing on Artificial Diet. New Hampshire : Science Publisher. Indrawan, Muhammad. 2007. Karakter Sutra Ulat Jedung (Attacus atlas L.) yang Dipelihara pada Tanaman Pakan Senggugu (Clerodendron serratum Spreng). J. Biodiversitas. Volume 8, No. 3. Hal: 215-217. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid 1. Bogor: IPB Press. Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Rincinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropa curca L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nation, J. L. 2008. Insect Physiology and Biochemistry Second Edition. CRC Press, London. Nazar A. 1990. Beberapa Aspek Biologi Ulat Perusak Daun (Attacus atlas Linn) pada Tanaman Cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. XVI (1); 35-37. Peigler R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Leptidoptera Research Foundation. California (ID): Inc. Beverly Hills. Situmorang J. 1996. An Attemp to Produce Attacus atlas L. Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. of Wild Silkmoth and Silk. 1. 25-29.
29
Wulandari, J. R dan J. Situmorang. 2002. Pengaruh pakan dan Tempat Pemeliharaan yang Berbeda terhadap Masa Perkembangan Larva Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae). J. Teknosains. 15 (2). Hal 367-378. Veda, K.I. Nagai, & M. Harikomi. 1997. Silkworm Rearing. Science Publisher Inc, U.S.A Vonny and L.H. Nugroho. 2005. Comparison of Surface Ultra Structure of the Epidermis and the Anatomical Structure of The Young Leaves Bitterness, Gempol, Soursop and Mahogany as A Fodder Crop Wild Silkworm Attacus atlas (L.). Sigma 8 (2): 171-177.
30
PEMBAHASAN UMUM Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga yang bersifat polypagus dan polyvoltin sehingga memiliki potensi untuk dibudidayakan. Budidaya A. atlas di dalam ruangan membutuhkan manajemen baik untuk proses perkawinan maupun pemberian pakan. Proses budidaya A. atlas saat ini dalam perjalanannya masih menghadapi kendala diantaranya adalah keluarnya imago jantan tidak bersamaan dengan imago betina. Umur imago jantan lebih pendek dari umur betina dan jumlah jantan lebih sedikit dari betina. Oleh karena itu seringkali telur tidak dibuahi sehingga telur menjadi steril. Di alam ngengat A. attacus akan melakukan perkawinan selama 24 jam bahkan lebih apabila tidak diusik. Lamanya waktu perkawinan tersebut menyebabkan hanya sedikit betina yang dapat kawin. Telur yang dihasilkan oleh betina yang tidak kawin tidak dapat menetas. Oleh karena itu perlu penerapan manajemen perkawinan agar dapat mengefisiensikan imago jantan. Hasil penelitian tahap pertama (manajemen perkawinan) menunjukkan bahwa lama perkawinan yang berbeda (3, 6 , 12 dan 24 jam) berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah telur dan daya tetas telur, namun lama perkawinan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap waktu peletakan telur, waktu tetas telur dan bobot telur. Lama perkawinan mempengaruhi rata-rata jumlah telur per induk. Semakin lama ngengat kawin maka jumlah telurnya juga meningkat. Tabel 1. ratarata telur hasil perkawinan 3, 6, 12 dan 24 jam meningkat seiring lama waktu perkawinan. Jumlah telur terbanyak dihasilkan ngengat yang dikawinkan selama 24 jam yaitu sebanyak 288.40 +77.63 butir dan jumlah telur paling sedikit dihasilkan saat ngengat dikawinkan selama 3 jam yaitu sebanyak 155.60 + 48.75 butir. Jumlah telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. Banyaknya jumlah telur yang dihasilkan ngengat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormonal, lingkungan (pakan), fisik, maternal effect dan tingkah laku (Sing et al 2003). Daya tetas telur juga dipengaruhi oleh lama perkawinan. Daya tetas tertinggi yaitu sebesar 96.41 + 2.08 % terjadi saat ngengat dikawinkan selama 24 jam. Persentase daya tetas telur dengan waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan waktu perkawinan 3 jam. Hal ini dikarenakan lama waktu perkawinan menentukan banyaknya proses ejakulasi atau transfer sperma yang terjadi saat perkawinan. Banyaknya sperma yang diejakulasi akan meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas, sehingga lama perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Ejakulasi terjadi 30 menit setelah perkawinan, ejakulasi kedua terjadi setelah 1-1,5 jam kemudian. Ejakulasi yang optimal terjadi pada empat jam pertama perkawinan yaitu ejakulasi I,II dan III. Proses penetasan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan telur, hormon eksdison dan juvenil (Triplehorn dan Johnson 2005). Waktu peletakan telur (oviposisi) tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan tetapi lebih dipengaruhi oleh hormon yang bekerja saat pelepasan telur dan kondisi lingkungan pemeliharaan. Waktu peletakan telur untuk semua lama waktu perkawinan lebih seragam. Waktu penetasan telur juga tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan ngengat. Waktu penetasan telur lebih dipengaruhi oleh suhu
31
lingkungan saat inkubasi berlangsung, hormon eksdison dan juvenil. Bobot telur juga tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan yang berbeda. Bobot telur yang dihasilkan ngengat lebih dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan. Selain manajemen perkawinan, dalam budidaya A. atlas juga diperlukan manajemen pakan. Perkembangan setiap instar sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan. Kualitas pakan yang baik yaitu pakan dalam kondisi segar. Daun jambu biji dan daun kenari merupakan dua pakan alternatif yang ternyata disukai larva A. atlas. Instar I dan II merupakan awal instar dimana larva yang baru menetas akan langsung mencari makanan dan biasanya larva kecil akan memakan kerabangnya. Oleh karena itu ada baiknya larva langsung diberi pakan sesaat setelah menetas. Larva instar I dan II lebih banyak mengkonsumsi dan menyukai daun kenari daripada daun jambu biji. Larva instar I dan II yang diberi daun kenari dengan pemberian empat kali sehari menghasilkan konsumsi pakan segar tertinggi. Larva instar III dan IV yang diberi daun jambu biji memiliki konsumsi pakan yang lebih besar jika dibandingkan dengan larva yang diberi daun kenari. Konsumsi pakan pada larva dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari lebih besar jika dibandingkan dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali sehari. Hasil uji proksimat kadar air dari daun kenari muda yang diberikan lebih tinggi (81.26%) dibandingkan kadar air daun jambu biji muda (74.29%). Selain kandungan nutrien lain, air merupakan kandungan yang penting karena larva tidak minum sehingga kebutuhan akan cairan hanya dapat dipenuhi dari pakan segar. Serat kasar yang terkandung dalam daun kenari lebih rendah (2.67%) dari daun jambu biji (4.10%), sehingga saat instar awal larva yang makan daun kenari lebih cepat berkembang. Larva yang mengkonsumsi daun jambu biji di awal instar kurang terpenuhi kebutuhan airnya sehingga pada grafik mortalitas (Gambar 8) terlihat banyak instar I yang mati. Sebaliknya saat instar III dan instar IV daun jambu biji lebih banyak dikonsumsi hal ini dikarenakan pada tahap ini instar lebih membutuhkan banyak nutrien lain selain air, yaitu protein dan serat kasar. Oleh karena itu konsumsi pakan saat instar III dan IV larva lebih banyak makan daun jambu biji daripada daun kenari. Sesuai hasil uji proksimat instar III dan IV diberi pakan daun jambu biji dan daun kenari sedang, dimana kandungan protein jambu lebih banyak (4.34%) daripada daun kenari (3.51%). Selain itu serat kasar jambu juga lebih tinggi (6.14%) dibandingkan daun kenari (5.19%). Selain konsumsi pakan, kandungan yang terdapat pada daun jambu biji dan daun kenari juga mempengaruhi kecernaan pakan dan pakan yang tercerna. Daun yang memiliki kualitas baik dan sesuai dengan kebutuhan tahapan instar tentunya akan menentukan kecernaan dan pakan tercerna. Hasil penelitian juga menemukan hal yang sama terjadi pada pertambahan bobot dan diameter badan. Banyaknya konsumsi pakan, tingginya kecernaan dan besarnya jumlah pakan yang tercerna secara nyata akan terlihat dari pertambahan bobot dan diameter badan larva. Kebutuhan nutrien yang terpenuhi oleh pakan akan mempercepat pergantian kulit. Sebaliknya kualitas pakan yang buruk dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai akan memperlama molting dan lama stadia larva. Larva instar I yang mengkonsumsi daun kenari memiliki kisaran waktu yang lebih singkat dibandingkan larva yang memakan daun jambu biji. Selama pemeliharan larva terjadi perubahan suhu dan kelembaban yang fluktuatif baik pada waktu pagi, siang maupun sore. Suhu rata-rata ruangan
32 pemeliharaan cukup tinggi yaitu 27,44 ± 0.38 oC di pagi hari, siang hari 28,21 ± 0.45 oC dan sore hari 27.52 ± 52 oC. Kelembaban pagi, siang dan sore hari yaitu 83.93 ± 3.37%, 75.33 ± 6.57% dan 82.42± 5.14%. Kondisi lingkungan yang tidak menentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan tingkah laku makan larva. Pada dasarnya setiap instar membutuhkan kondisi lingkungan yang berbeda – beda. Larva awal yaitu instar I dan II membutuhkan kelembaban sekitar 8095%, sedangkan untuk instar III, IV dan V, 70%. Apabila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim maka hal ini dapat menyebabkan kesehatan larva memburuk. Kelembaban yang tinggi sebenarnya dapat menjaga kesegaran pakan namun jika terlalu tinggi maka akan meningkatkan pertumbuhan mikroba patogen penyebab penyakit. Hal yang sama juga terjadi apabila temperatur terlalu tinggi maka larva akan mengurangi aktivitas makan dan kualitas daun menurun karena layu (Veda et al 1997; Awan 2007). Kualitas pakan yang menurun akan mengurangi aktivitas makan larva sehingga daya tahan tubuh menurun. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan larva terkena penyakit dan menyebabkan kematian.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Lama perkawinan berpengaruh nyata terhadap jumlah dan persentase daya tetas, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap waktu peletakan telur, waktu tetas telur dan bobot telur. Jumlah daya tetas telur pada lama perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. Waktu perkawinan yang optimum adalah 6 jam. Jenis pakan dan frekuensi pemberian berpengaruh nyata terhadap konsumsi, kecernaan, pakan tercerna, bobot larva, diameter larva, mortalitas dan periode instar A. atlas. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat mortalitas larva A. atlas.
Saran Perkawinan dalam waktu singkat (6 jam) dapat dilakukan saat ratio ngengat jantan lebih sedikit dibandingkan ngengat betina. Sebaiknya di awal pemeliharaan instar I dan II larva diberi makan daun kenari dengan empat kali pemberian dan ketika memasuki instar III dan IV larva diberi pakan daun jambu biji dengan empat kali pemberian per hari. Perlunya pemisahan tempat pemeliharaan setiap instar larva dan perlunya penelitian lebih lanjut terkait suhu, kelembaban dan cahaya pada saat perkawinan.
33
DAFTAR PUSTAKA Adria, Idris H. 1997. Aspek Biologis Hama Daun Attacus atlas pada Tanaman ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. III (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Adria 2010. Populasi dan Intensitas Serangan Hama Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Aspidomorpha miliaris (Coleoptera : Chrysomelidae pada Tanaman Ylang-ylang). Jurnal Litri Vol. 16 No. 2: 77 – 82. Ahmad I, Ar-Rasyid MH, Salim S, Hosen MJ, Elora B. 2006. Effect of Feeding on The Larval Growth and Development of Silkworm, Bombyx mori L. Race: Nistari (M). Int J Sustain Agril Tech 2(2): 66-68. Atmosoedarjo H, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi S. 2009. Pertumbuhan larva dan produktivitas kokon A. atlas pada jenis pakan (sirsak, kayu manis, alpukat) dan kepadatan yg berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi A. 2010. Pengaruh penyimpanan dan hari oviposisi terhadap waktu penetasan dan daya tetas telur A. atlas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Desiana R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur A. atlas asal purwakarta pada berbagai jenis kandang pengawinan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Desianda. 2011. Domestikasi ulat sutra liar (A.atlas) dengan pakan daun jarak (jatropha curcas L.) dan daun sirsak (annona muricata L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ekastuti DR. 1999. Pengaruh kadar air pakan terhadap katabolisme nutrien, pertumbuhan dan kinerja produksi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae.) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Elzinga, R. J. 2004. Fundamentals of Entomology. Sixth Edition. Departement of Entomology. Kansas State University. Pearson Pretince Hall, New Jersey. Faatih M. 2005. Aktivitas Anti-mikroba Kokon Attacus atlas, L. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 6. No. 1. 35-48. Goswami D. & Singh HI. 2012. Bioecological Studies of Indian Golden Silk Moth, Antheraea assamensis Helfer (Lepidoptera: Saturniidae). Munis Entomology & Zoology, 7 (1): 274-283]. Hamamura Y. 2001. Silkworm Rearing on Artificial Diet. New Hampshire : Science Publisher. Indrawan, Muhammad. 2007. Karakter Sutra Ulat Jedung (Attacus atlas L.) yang Dipelihara pada Tanaman Pakan Senggugu (Clerodendron serratum Spreng). J. Biodiversitas. Volume 8, No. 3. Hal: 215-217. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid 1. Bogor: IPB Press.
34 Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Rincinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropa curca L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nazar A. 1990. Beberapa Aspek Biologi Ulat Perusak Daun (Attacus atlas Linn) pada Tanaman Cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. XVI (1); 35-37. Nation, J. L. 2008. Insect Physiology and Biochemistry Second Edition. CRC Press, London. Peigler R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Leptidoptera Research Foundation. California (ID): Inc. Beverly Hills. Triplehorn, C. A. and N. F. Johnson. 2005 Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insects. 7th Edition. Tomson, Australia. Situmorang J. 1996. An Attemp to Produce Attacus atlas L. Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. of Wild Silkmoth and Silk. 1. 25-29. Solihin, D. D. & Asnath M. Fuah. 2010. Budi Daya Ulat Sutera Alam. Edisi ke-1. Penebar Swadaya. Jakarta. Sulistyaningrum, Mega. 2012. Performa ulat sutra liar (Attacus atlas) Instar I-III dengan pemberian pakan daun sirsak (Annona muricata) daun nangka (Artocarpus heterophylus) dan daun kenari (Canarium cummune L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Singh,T., B. Saratchandra and H.S.P.Raj. 2003. Physiological and Biochemical Modulations during Oviposition and Egg Laying in The Silkworm, Bombyx mori L. J. Indust. Entomol. 6(2) 115-123. Wulandari, J. R dan J. Situmorang. 2002. Pengaruh pakan dan Tempat Pemeliharaan yang Berbeda terhadap Masa Perkembangan Larva Attacus atlas (L.) (Lepidoptera: Saturniidae). J. Teknosains. 15 (2). Hal 367-378. Yusuf Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L. (Lepidoptera: saturniidae). Skripsi. Jurusan Biologi. IPB. Veda, K.I. Nagai, & M. Harikomi. 1997. Silkworm Rearing. Science Publisher Inc, U.S.A Vonny and L.H. Nugroho. 2005. Comparison of Surface Ultra Structure of the Epidermis and the Anatomical Structure of The Young Leaves Bitterness, Gempol, Soursop and Mahogany as A Fodder Crop Wild Silkworm Attacus atlas (L.). Sigma 8 (2): 171-177.
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 4 Desember 1988 dari Bapak Rayat Barus dan Ibu Roberty Ginting. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP). Selanjutnya tahun 2011 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti program Beasiswa Unggulan pendidikan Pascasarjana dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementrian Pendidikan Indonesia dan mengambil Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.