PENGARUH NAUNGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN DAYA HIDUP ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA
SKRIPSI DESMAWITA KRISTIN BARUS
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Desmawita Kristin Barus. D14062306. 2010. Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. Attacus atlas merupakan salah satu serangga yang memiliki potensi besar dalam bidang industri. Hasil olahan kokon dari ulat ini dapat dijadikan barang kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kebutuhan akan kokon ulat sutera liar jenis A. atlas untuk dijadikan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Pemenuhan kebutuhan kokon yang masih mengandalkan hasil dari alam menjadi kendala bagi industri pengolahan dalam sekala besar. Pembudidayaan ulat sutera A. atlas merupakan solusi dari keterbatasan komoditi tersebut. Budidaya A. atlas dapat dilakukan secara ekstensif dan intensif, namun untuk memperoleh hasil yang baik, perlu diketahui pengaruh faktor lingkungan (intensitas cahaya, temperatur, kelembaban, aliran udara, kecepatan angin, curah hujan dan jenis pakan) terhadap produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar (A. atlas). Salah satu informasi penting yang perlu dipelajari adalah cahaya karena memiliki pengaruh terhadap aktivitas hormon serangga. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh naungan terhadap produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar (Attacus atlas) yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Materi yang digunakan adalah 100 ekor ulat sutera liar A. atlas dengan instar yang berbeda-beda yang terdapat di perkebunan teh Purwakarta. Peubah yang diamati meliputi kelembaban (%), suhu (ºC), intensitas cahaya (Klux), pertambahan panjang (mm) , lebar (mm) dan bobot badan (g), mortalitas (%), jumlah pupa (ekor), dan jumlah imago (ekor). Data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram batang serta dianalisis secara deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Kisaran intensitas cahaya pada siang hari di lokasi dengan naungan lebih rendah (4,31-38,50 Klux) dibandingkan lokasi tanpa naungan (14,30-147,00 Klux). Perbedaan intensitas cahaya tersebut dikarenakan tanaman teh pada lokasi dengan naungan dinaunggi oleh pohon yang cukup rindang, sedang tanaman teh di lokasi tanpa naungan tidak dinaungi pohon maka cahaya matahari dapat mengenai tanaman secara langsung. Suhu dan kelembaban di kedua lokasi baik tanpa naungan (26,80-37,20 ºC dengan rataan 31,52 ºC ) maupun dengan naungan (26,70-38,40 ºC dengan rataan 32,23ºC) tidak jauh berbeda, namun suhu sudah mencapai di atas 30 ºC sehingga suhu sudah tidak nyaman bagi ulat, sama halnya dengan kelembaban yang berada dibawah 70% yang merupakan kondisi tidak nyaman bagi pertumbuhan dan daya hidup ulat. Intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan A. atlas baik per hari, per instar maupun dalam bentuk persentase, sehingga kondisi ini diperkirakan memiliki kaitan dengan kerja hormon pertumbuhan dan pengaruh kualitas pakan. Produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya maka dapat disimpulkan bahwa data suhu dan kelembaban hampir seragam,
namun kondisi tersebut tidak dapat ditoleransi oleh ulat sehingga mortalitas cukup tinggi (85%), disamping adanya predator dan masalah kualitas pakan yang rendah Kata-kata Kunci : Attacus atlas, naungan, produktivitas dan daya hidup
ABSTRACT Effect of Shade To Productivity and Survival Rate of Wild Silkworm (Attacus atlas) From Purwakarta Barus Desmawita K., A. M. Fuah and H. C. H. Siregar Attacus atlas is known as an insect which have high economic value. Various products made from cocoons of this wild silkworm, have been widely recognized, such as textile, ornaments, clothes and assecories. Nowdays cocoons were collected from natural environment which limited in numbers and uncountinuous production since it was depending seasons and its availability. Collecting the cocoons for industrial needs in a long period would probably decrease the population of the wild silkworm, therefore, any programmes for domestication and cultivation process is necessary. Environmental factors have significant influences on the survival rate of the insect such as light intensity, temperature, and humidity (Awan, 2007). Information on the effect of environment to the productivity and survival rate of A. atlas become important for handling the animal, one of those was light intensity. The aim of this study was to obtain information on the effect of shade to productivity and survival rate of wild silkworm (A. atlas). The results showed that light intensity in location without shade have a significant effect on productivity and survival rate of wild silkworm, indicated by the data of body-length, body-width and body-weight. The wild silkworm which was long exposed to light had better growth than those on shade location. The results also showed that mortality rate of the silkworm held under the natural environment was quite high of approximately 85%, especially during wet seasons, due to predator, extrime environment and also stress caused by environmental condition. Keywords : Attacus atlas, shade, productivity, survival rate
PENGARUH NAUNGAN TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN DAYA HIDUP ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA
DESMAWITA KRISTIN BARUS D14062306
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul : Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta Nama : Desmawita Kristin Barus NIM : D14062306
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS) NIP. 19541018 197903 2 001
(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) NIP. 19620617 199003 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 24 November 2010
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1988 di Galang, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rayat Barus dan Ibu Roberty Ginting. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1992-1993 di Yayasan Persatuan Perguruan Taman Siswa, Galang. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN 101981 Impres Lama , Galang. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 1 Pagar Merbau, Batu Delapan. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Lubuk Pakam. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa dalam Perhimpunan Mahasiswa Kristen (PMK) di Komisi Persekutuan (KOMPERS) pada tahun 2007, Penulis pernah mengikuti seminar budidaya peternakan tahun 2007, Penulis juga pernah mengikuti pelatihan pengolahan hasil peternakan pada tahun 2007, pelatihan softskill fakultas peternakan tahun 2007 dan Penulis juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan kepanitiaan mahasiswa kristen IPB. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) tahun 2009-2010 dan berhasil mandapat bantuan biaya penelitian serta biaya hidup selama satu tahun dari PT. Wide and Pin untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
KATA PENGANTAR Salam sejahtera dalam puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Naungan Terhadap Produktivitas dan Daya Hidup Ulat Sutra Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini didasari oleh cerahnya prospek budidaya ulat sutera liar Attacus atlas penghasil benang sutera yang bernilai ekonomi tinggi. Pembudidayaan A. atlas secara intensif sering kali terbentur pada masalah lingkungan pemeliharaan yang kurang sesuai, seperti kondisi suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Kondisi lingkungan ini mempengaruhi daya hidup dan produktivitas ulat. Produktivitas ulat sutera dinilai dari daya hidup ulat dan jumlah kokon yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan memelihara ulat dalam 10 kandang yang berisi lima ekor ulat baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan. Daya hidup ulat dilihat dari tingkat kematian yang diakibatkan faktor biotik (pakan, predator, parasit dan penyakit) dan abiotik (intensitas cahaya, kelembaban dan suhu). Faktor abiotik diukur tiga kali sehari saat pagi, siang dan sore hari, sedang produktivitas ulat dilihat dari pertambahan panjang, lebar dan bobot badan yang dicatat setiap empat hari sekali. Selama penelitian terdapat beberapa kendala yaitu kondisi curah hujan yang cukup tinggi, banyaknya predator alami ulat serta kondisi kebun teh yang banyak ditumbuhi rumput dan semak. Pepatah “Tak ada gading yang tak retak” berlaku untuk skripsi ini namun dalam segala kekurangannya, Penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan ilmu pengetahuan kita bersama. Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga tulisan ilmiah ini bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita, terutama pihak-pihak yang memerlukan informasi memgenai A. atlas. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan kasih-Nya kepada kita semua. Bogor, November 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ....................................................................................................
i
ABSTRACT.......................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................
vii
DAFTAR ISI......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL..............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xii
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan ....................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
3
Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) .......................................... Siklus Hidup .......................................................................................... Morfologi ............................................................................................... Telur ........................................................................................... Larva .......................................................................................... Kokon dan Pupa ......................................................................... Imago ......................................................................................... Pertumbuhan Ulat Sutera..................................................................... .. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Mortalitas A. atlas ....... Faktor Biotik .............................................................................. Tanaman Inang/ Pakan ................................................... Predator .......................................................................... Parasit ............................................................................. Penyakit .......................................................................... Faktor Abiotik ........................................................................... Daun Teh...................................................................................
3 3 4 4 5 7 7 9 10 10 10 11 11 11 11 13
MATERI DAN METODE .................................................................................
16
Lokasi dan Waktu .................................................................................. Materi ..................................................................................................... Prosedur ................................................................................................. Tahap Persiapan ......................................................................... Tahap Pengumpulan Data......................................................... . Rancangan dan Analisis Data................................................................
16 16 16 16 17 18
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................
20
Kondisi Umum Lokasi Penelitian .......................................................... Sejarah Lokasi Penelitian........................................................... Topografi dan Klimatologi ........................................................ Budidaya Teh ............................................................................. Pengaruh Faktor Lingkungan ................................................................. Populasi dan Mortalitas Attacus atlas .................................................... Populasi ...................................................................................... Mortalitas ................................................................................... Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan A. atlas .......................
20 20 21 21 22 24 24 28 31
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
41
Kesimpulan ............................................................................................ Saran ......................................................................................................
41 41
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
44
LAMPIRAN .......................................................................................................
47
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Rataan Suhu, Intensitas Cahaya dan Kelembaban di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan .................................................
22
2. Populasi A. atlas di Lokasi Dengan Naungan danTanpa Naungan .....
25
3. Mortalitas A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan ..
28
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Siklus Hidup Attacus atlas ..........................................................................
4
2. Telur Attacus atlas .....................................................................................
5
3. Larva Attacus atlas Instar I – Instar IV .......................................................
6
4. Kokon (A) dan Pupa (B) Attacus atlas .......................................................
7
5. Imago Betina (A) dan Jantan (B) Attacus atlas ..........................................
8
6. Pengukuran Panjang, Lebar dan Bobot Badan Attacus atlas ......................
17
7. Intensitas Cahaya di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (Klux)............................................................................................................
23
8. Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan ......................................................................................................
24
9. Panjang Badan Attacus atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm) ............................................................................................
31
10. Pertambahan Panjang Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari)..................................................................
32
11. Pertambahan Panjang Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor).................................................................
34
12. Persentase Pertambahan Panjang Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) ............................................................
35
13. Pertambahan Lebar Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari) .................................................................
35
14. Pertambahan Lebar Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor) ................................................................
36
15. Persentase Pertambahan Lebar Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) .........................................................................
37
16. Pertambahan Bobot Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/hari) .....................................................................
38
17. Pertambahan Bobot Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/ekor) ....................................................................
39
18. Persentase Pertambahan Bobot Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) ...........................................................................
39
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Kabupaten Purwakarta ...........................................................
47
2. Foto Kandang, Alat Ukur dan Attacus atlas ..................................
48
3. Sketsa Letak Kandang di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan ..........................................................................................
51
4. Data Rataan Panjang dan Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan A. atlas pada Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan .........................................................................................
52
5.
Data Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Kedua Lokasi .............................................................................................
52
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki beragam jenis plasma nutfah yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan. Melalui suatu proses budidaya dan pengolahan yang intensif, sumber hayati unggulan dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai jual di pasar bebas, salah satu sumber antara lain yang berasal dari ulat sutera liar Attacus atlas yang hidupnya masih di alam bebas. A. atlas tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia diantaranya pulau Bali, Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Kalimantan. Serangga ini memiliki potensi besar dalam bidang industri, beragam hasil olahan kokon dapat dijadikan berbagai produk kerajinan tangan, pakaian dan seni. Kebutuhan terhadap ketersediaan kokon bahan pembuat benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Harga kokon ulat sutra A. atlas mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000 sedang harga kokon ulat sutera murbai (Bombyx mori) hanya Rp. 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin & Asnath M. F, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dilakukan domestifikasi ulat sutera jenis A. atlas untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup potensial. Sebagai serangga yang bersifat polifagus, A. atlas dapat memakan banyak jenis tanaman, beberapa diantaranya adalah daun teh, daun cengkeh (Nazar,1990), dan daun sirsak (Awan, 2007). Salah satu tempat yang memiliki populasi A. atlas cukup besar adalah perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai hama pohon teh, sehingga selalu disemprot menggunakan pestisida. Kemampuan A. atlas hidup di alam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang terdiri dari berbagai faktor, antara lain temperatur, jenis pakan, kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, kecepatan angin, dan curah hujan. Faktor-faktor alam tersebut menentukan tingkat mortalitas dan daya hidup hewan ini sehingga untuk melestarikan spesies ulat sutra liar A. atlas adalah dengan melakukan pembudidayaan, baik secara intensif maupun ekstensif. Pemeliharaan intensif dilakukan dalam kandang dengan pemberian pakan serta mengkondisikan suhu,
kelembaban maupun cahaya kandang secara optimal, Sedangkan pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan A. atlas di alam melalui proses pengawasan. Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90% (Situmorang, 1996). Keberhasilan dalam budidaya serangga ini memerlukan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan yang sesuai sehingga dapat mendukung produktivitas dan daya hidup ulat sutera secara optimal. Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya adalah cahaya yang mempengaruhi sistem kerja hormon serangga. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi tentang pengaruh naungan terhadap daya hidup dan produktivitas A. atlas yang ditempatkan pada blok tanpa naungan dan blok dengan naungan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh naungan terhadap produktivitas dan daya hidup ulat sutera liar (Attacus atlas) yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Ulat sutera liar (A. atlas) adalah serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia. Terutama di wilayah Asia Tenggara, Asia bagian Selatan dan Asia Timur (Peigler, 1989). Penyebarannya hampir diseluruh wilayah Indonesia diantaranya pulau Bali, Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Kalimantan (Awan, 2007). Serangga ini mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Super famili
: Bombycoidea
Famili
: Saturniidae
Genus
: Attacus
Spesies
: Attacus atlas
Ulat sutera termasuk hewan polivoltin yang (memiliki lebih dari dua generasi per tahun) dan imago A. atlas mengalami metamorfosis sempurna. Ulat ini adalah pemakan daun seperti daun sirsak, jeruk, dadap, alpokat, teh, cengkeh, mangga dan tanaman dikotil lainnya. Siklus Hidup Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang biasa disebut Holometabola dengan tahapan mulai dari telur-larva-pupa-imago. Stadium larva berlangsung dalam enam instar. Instar pertama berlangsung selama 58 hari, instar kedua selama 5-7 hari, instar ketiga sampai instar keempat selama 4-6 hari, instar kelima selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung selama 10-12 hari. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar lain yang berlangsung 10-12 hari. Hal ini disebabkan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Masa inkubasi telur yaitu 10-12 hari, lama periode pupa adalah 2029 hari, kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah 27-29 hari dan 20-28 hari (Awan, 2007).
Imago
Telur 10-12 hari
Pupa: 20-29 hari
Instar I: 5-8 hari
Instar II: 5-7 hari
Instar VI: 10-12 hari
Instar III: 4-6 hari
Instar V: 6-8 hari
Instar IV: 4-6 hari
Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas Morfologi Telur Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak menetas menjadi larva. Ukuran telur yang dihasilkan oleh ngengat A. atlas, panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm, berbentuk oval dan agak datar atau gepeng (Peiger, 1989). Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna
Gambar 2. Telur Attacus atlas kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007). Ngengat betina biasanya menghasilkan telur dengan jumlah ratusan yang diletakkan secara individu atau berkelompok yang terdiri atas 3-10 butir dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997). Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi suhu untuk penyimpanan telur tidak boleh kurang dari 15 ºC (Butterfly Arc, 2003). Larva Fase larva dimulai dari instar satu hingga instar enam, dengan sistem pergantian kulit yang biasa disebut molting merupakan tanda dari pergantian masa instar. Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciriciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak. Bulu pada bagian punggung berupa duri halus, warna coklat kehitaman (Nazar, 1990) dan memiliki panjang rata-rata 0,5-0,9 cm saat baru menetas sedangkan menjelang molting panjangnya 1-1,3 cm (Awan, 2007). Larva instar kedua panjangnya rata-rata 1,31-1,7 cm (Awan, 2007) dan memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badan ditutupi oleh serbuk putih. Serbuk putih yang menutupi permukaan pungung ulat sutra disekresikan oleh kultikula dengan I-triacontanol sebagai kandungan utamanya (Peigler, 1989). Bagian tubuh samping memiliki tanda berwana oranye pada bagian metathorax di segmen 8-10, tanda ini akan ada sampai instar ketiga dan keempat. Ciri pada larva instar tiga pada dasarnya hampir sama dengan larva instar dua, hanya ukuran tubuh semakin besar dan panjang. Instar tiga awal panjangnya 1,71-3,00 cm dan panjang menjelang molting mencapai 3,5-3,8 cm (Awan, 2007). Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih dengan panjang larva awal 3,81 cm dan 5,5 cm di akhir instar (Awan, 2007). Instar lima dan enam memiliki ciri-ciri kepala yang berkilau warna hijau
terang, tubuhnya berwarna hijau (Peigler, 1989), pada badannya terdapat tonjolantonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan segmen badan panjang bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005). Panjang instar lima berkisar 5,51-8 cm, sedangkan panjang tubuh instar enam mencapai 8,1-12 cm. Pada instar lima pertambahan ukuran tubuh terlihat sangat nyata, seiring dengan kecepatan larva mengkonsumsi pakan daun teh. Daun yang dikonsumsi tidak hanya daun muda melainkan daun yang sudah tua juga dikonsumsi (Awan, 2007). Tuberkel atau duri-duri yang terdapat di sepanjang punggung ulat makin lama akan semakin tebal dan tertutupi oleh serbuk putih. Sejak instar ketiga sampai keenam larva sudah mampu memakan seluruh bagian daun dan tulang daun. Larva pada instar ketiga menjadi lebih aktif sedang menjelang larva instar lima dan keenam larva akan semakin banyak mengkonsumsi makanan (Mulyani, 2008). Larva yang telah mencapai pertumbuhan maksimal pada setiap tahapan instar, ditandai dengan adanya tingkah laku tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Tanda tersebut mengindikasikan bahwa larva akan melakukan pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kultikula dinding tubuh, mulai dari bagian kepala, trachea , usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror et al., 1992).
Instar I
Instar II
Instar VI
Instar V
Instar III
Instar IV
Gambar 3. Larva Attacus atlas Instar I – Instar VI Menjelang berakhirnya instar keenam tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan latral. Larva menjadi kurang
aktif makan dan cenderung bergerak ke sudut-sudut untuk bersiap mengokon. Pada instar keenam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa (Awan, 2007). Kokon dan Pupa Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutra, yang dibentuk sesuai dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh instar berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting. Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna. Biasanya daun dilipat dibagian ujung dan tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Kokon yang baru terbentuk masih agak basah sehingga lebih lemah, dengan adanya gerakan angin, panas matahari maka kokon akan cepat kering sehingga lebih kuat (Awan, 2007). Panjang kokon mencapai 3,54,5 cm dan lebar 0,8-1,2 cm (Nazar, 1990).
(A)
(B)
Gambar 4. (A) Kokon dan (B) Pupa Attacus atlas Imago Tubuh imago A. atlas terbagi atas tiga bagian yaitu kepala, thoraks dan abdomen, yang semuanya tertutupi oleh sisik bertumpuk. Thoraks terdiri dari tiga segmen yaitu prothoraks, mesothoraks dan metathoraks. Setiap segmen terdapat sepasang kaki thoraks sedangkan mesothoraks dan metathoraks masing-masing memiliki sayap. Terdapat delapan segmen pada abdomen imago jantan dan tujuh segmen pada abdomen betina (Atmosoedarjo et al., 2000). Pracaya (2005) menyatakan bahwa ukuran sayap pada A. atlas bisa mencapai 25-30 cm dan memiliki
warna coklat kemerahan pada sayap muka dan belakang dengan segitiga yang transparan. Imago yang baru keluar dari kokonnya masih dalam keadaan basah oleh cairan berwarna putih dan sayap yang belum sempurna. Lubang di ujung anterior kokon merupakan jalur keluarnya imago. Imago yang baru keluar akan segera mencari dahan untuk menggantungkan dirinya dengan posisi bagian abdomen dibagian bawah untuk menggembangkan sayapnya. Sayap akan mengembang setelah beberapa jam dan mengalami penguatan serta pengerasan sehingga imago dapat menerbangkan dirinya (Awan, 2007). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing, memiliki ukuran panjang antena 23-30 mm, lebar 10-13 mm (Peigler, 1989), betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Awan, 2007). Ngengat betina mengeluarkan feromon yang dapat dideteksi oleh ngengat jantan dengan kemoreseptor yang terdapat di bagian antena (Wikipedia, 2010). Imago betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007).
(A)
(B) (A)
(B)
Gambar 5. (A) Imago Betina dan (B) Jantan Attacus atlas
Pertumbuhan Ulat Sutera Terdapat tiga tipe pertumbuhan pada ulat sutera yaitu: 1. Peningkatan jumlah sel dengan ukuran relatif sama seperti sel-sel darah 2. Peningkatan ukuran sel seperti kelenjar sutera, kelenjar ludah 3. Peningkatan jumlah dan ukuran sel, antara lain jaringan lemak dan kulit. Pertumbuhan insekta dari embrio hingga dewasa meliputi dua proses yang berbeda yaitu pertumbuhan yang didasari peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel serta diferensiasi yang meliputi perubahan bentuk dan aktivitas metabolisme. Laju pertumbuhan pada tingkat larva sangat cepat, hal ini dapat terlihat pada pertumbuhan setiap instar larva. Perubahan terbesar terlihat pada instar ke lima ulat Bombyx mori, larva akan mencapai bobot maksimal sehari sebelum membentuk kokon Menurut Bursell (1970).
Katsumata (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan ulat sutera
sangat cepat dan dramatis, berbentuk linier dengan pertumbuhannya dapat mencapai 10.000 kali dari berat ulat yang baru menetas. Selama pertumbuhan larva, pakan yang dikonsumsi dikonversikan menjadi lemak dan disimpan dalam bentuk sel lemak tubuh sehingga terjadi penumpukan cadangan energi yang sebagai lemak tubuh. Cadangan energi ini berguna pada periode tidak makan, karena setelah melewati masa larva, tidak ada aktivitas makan sampai larva menjadi ngengat dan untuk sintesa telur bagi betina (Rao, 1994). Sintesa protein dalam kelenjar ulat sutera sangat dipengaruhi oleh sistem hormonal (Izumi et al., 1984), yang merupakan pengontrol perkembangan ulat sutera (Akai, 1988). Hormon pada insekta dapat menghasilkan perubahan metabolisme karena adanya rangsangan terhadap sintesis protein dan asam nukleat akibat perubahan permiabilitas membran sel. Hormon juga mengatur proses-proses biokimia serangga yang mempengaruhi pertumbuhan metamorfosa. Hormon-hormon yang berhubungan dengan perkembangan dan metamorfosa adalah hormon protorasikotropik (Prothoracicotropic hormone (PPTH)), ecdison, juvenil, eclosion dan bursicon. Aktivitas awal dari kelenjar protorak adalah meningkatkan kerja siklik AMP (cAmp) dalam sel kelenjar. Aktivitasnya sama dengan hormon-hormon pituitari anterior pada vertebrata yaitu menstimulasi sintesa dan menghasilkan hormon-hormon steroid (Cymborowski, 1992). Ecdison disekresikan dari kelenjar protorak dan hormon juvenil dihasilkan oleh corpora allata (CA) yang merupakan
hormon terbesar dalam mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera terutama saat moulting (Akai, 1988). Aspek produktivitas ulat sutera adalah pembentukan kokon, berarti produksi dari kelenjar sutera. Kandungan protein kelenjar sutera sangat bervariasi sesuai dengan pola pakan yang dikonsumsi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Mortalitas A. atlas Kemampuan A. atlas untuk dapat tumbuh dan berkembang biak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, yang berasal dari dua unsur utama yakni: biotik dan abiotik, yang termasuk dalam faktor biotik adalah tanaman pakan, penyakit, predator dan parasit sangat mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat mortalitas ulat. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lama siklus perkembangan ulat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Tingkat mortalitas tergantung dari penanganan parasit, predator dan penyakit (Awan, 2007). Faktor Biotik Tanaman inang atau pakan Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan bertahan hidupnya ulat sutera A. atlas. A. atlas lebih menyukai pakan yang mengandung tannin yang cukup banyak, selain kandungan tannin yang tinggi kondisi pakan seperti kesegaran dan kebersihannya juga menjadi indikator tingkat kesukaan ulat sutera terhadap pakannya (Guntoro, 1994). Tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh A. atlas cukup banyak jenisnya (daun teh, daun cengkeh, daun sirsak dan daun dadap) karena serangga ini bersifat polifagus yang berarti dapat memakan banyak jenis tanaman. Beberapa jenis tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera adalah daun teh, cengkeh (Nazar, 1990), daun sirsak juga disukai larva tersebut (Awan, 2007). Kualitas pakan yang diberikan pada ulat sutera sangat mempengaruhi kondisi fisiologis, produktivitas telur, perkembangan, lamanya siklus hidup, kualitas kokon serta hasil sutera yang dihasilkan. Larva yang hidup pada inang yang kualitas pakannya kurang baik maka larva akan kekurangan gizi serta sakit sehingga hasil yang maksimum sulit dicapai meski pada periode berikutnya larva diberi pakan yang baik ( Wangsan-Min, 1989).
Predator Predator-predator alami ulat sutera pada umumnya lebih sering menyerang fase telur dan larva yang masih berukuran kecil (instar I-IV). Predator- predator yang biasa menyerang diantaranya golongan semut merah, semut hitam, ulat jenis lain, tawon, capung, dan burung. Larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya yang masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga pada fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007). Parasit Parasit yang biasanya menyerang larva A. atlas adalah familia Braconidae (Hymenoptera)
misalnya
Apanteles
dari
Familia
Ichneumonidae
seperti
Xanthopimpla konowi Kriger. Parasit-parasit ini lebih sering menyerang tahap larva. Fase telur juga tidak luput dari serangan parasit yang berasal dari anggota famili Chalcidoide (Hymenoptera) yaitu Anastatus menzeli Ferr yang mencapai 80% (Peigler, 1989). Penyakit Ulat sutera yang hidup di alam akan lebih rentan diserang oleh berbagai jenis penyakit dibanding ulat yang secara sengaja dibudidayakan pada ruangan. Jenis-jenis penyakit yang banyak menyerang ulat sutra biasanya disebabkan oleh cendawan, protozoa, bakteri dan virus. Penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan ditandai dengan munculnya hypha yang berwarna putih dan menutupi permukaan tubuh ulat (Samsijah, 1994). Faktor Abiotik Faktor abiotik merupakan kombinasi unsur-unsur lingkungan
yang
berpengaruh terhadap produktivitas dan keberlangsungan hidup A. atlas. Faktorfaktor tersebut diantaranya, suhu, intensitas cahaya, kelembaban, dan sirkulasi udara. Produktivitas akan menurun apabila faktor-faktor abiotik tersebut tidak sesuai dengan tingkat toleransi A. atlas. Tingkat stress pada larva dapat diakibatkan oleh kondisi suhu dan kelembaban yang tidak sesuai sehingga larva tidak mau makan dan hal ini akan mempengaruhi kelangsungan hidup serta produktivitas saat proses pengokonan. (Atmosoedarjo et al., 2000). Intensitas cahaya yakni pola aktivitas
harian serangga tampak nyata pada spesies serangga tertentu, kawin, makan, bergerak dan bertelur yang merupakan fenomena tingkah laku yang terjadi seharihari. Aktivitas tersebut telah lama diketahui dan diperkirakan diatur oleh temperatur harian, kelembaban dan intensitas cahaya. Beberapa serangga ( lalat, kumbang dan wereng) bertipe aktif pada siang hari, lainnya seperti kecoak, cendrung aktif pada malam hari (nocturnal) dan yang lain aktif pada pagi atau senja (crepuscular) (Beck, 1980). Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai tahap pigmentasi kepala dipengaruhi oleh cahaya. Ulat sutera merupakan hewan yang cendrung aktif pada malam hari (Beck, 1980). Fotoperiode didefeniskan sebagai siklus yang terdiri dari periode bercahaya dan periode gelap. Dijelaskan pula, bahwa fotoperiode tidak memberikan efek yang menguntungkan ataupun merugikan secara langsung seperti halnya faktor fisik dan lingkungan, tetapi hanya bertindak sebagai informasi sementara. Maksudnya, fotoperiode merupakan sinyal waktu yang diperlukan untuk penyesuain harian pada ritme tingkah laku endogenus (Beck, 1980). Intensitas cahaya dan lama panjang hari mempengaruhi pertumbuhan dari serangga. Panjang dan lebar tubuh atau biasa disebut morfometrik ulat terlihat berbeda terutama pada instar 3 dan 4 hal ini dikarenakan tahap tersebut merupakan masa optimal dimulainya pertumbuhan hormon pada serangga. Instar 4 pada serangga akan mencapai pertumbuhan maksimum saat suhu 20 ºC dengan berat ratarata 149,4 dan simpangan baku (sb) 11,3 mg. Pertumbuhan dan jumlah pakan yang dikonsumsi juga dipengaruhi temperatur. Semakin tinggi suhu maka konsumsi pakan akan menurun (Dolezal, 2007). Umumnya ulat sutera akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Intensitas cahaya larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux (Veda et al., 1997). Kelembaban yang baik untuk larva instar satu dan dua berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar tiga, empat dan lima adalah 70%. Faktor kelembaban baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan kemampuan hidup dari ulat sutra. Kelembaban yang terlau rendah akan mengurangi kualitas pakan sehingga ulat tidak aktif untuk mencari makan,sedangkan
rendahnya
kelembaban
akan
mendukung berkembangnya
pertumbuhan mikroba patogen yang mengakibatkan munculnya penyakit pada A .atlas (Veda et al., 1997).
Ulat sutera merupakan salah satu jenis hewan berdarah dingin dan secara alami suhu lingkungan akan mempengaruhi suhu tubuhnya. Suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1⁰C daripada suhu lingkungan di luar tubuhnya. Temperatur mempengaruhi aktivitas fisiologis ulat sutra, sehingga variasi pertumbuhan dapat terjadi pada ulat sutra tersebut. Suhu yang lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang tingkat kematian yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera (Awan, 2007). Stadium larva akan mengalami gangguan kesehatan dan sulit beradaptasi apabila suhu lingkungannya berubah secara ekstrim pada waktu yang cukup lama (Veda et al., 1997). Populasi merupakan sekumpulan individu organisme yang sama dari spesies yang sama dan menempati area atau wilayah tertentu pada suatu waktu. Parameter fundamental suatu polpulasi adalah densitas. Densitas dalam ekologi hewan biasa disebut dengan kepadatan. Salah satu penyebab berubahnya kepadatan suatu populasi adalah mortalitas (Leksono, 2007). Menurut Katsumata (1964) luas tempat pemeliharaan larva sangat berhubungan dengan kepadatan populasi dari larva yang dipelihara. Semakin padat larva yang dipelihara maka suhu dan kelembaban dapat menyebabakan akan semakin meningkat pula. Meningkatnya suhu dan kelembaban dapat menyebabakan kematian larva. Selain itu kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tesedia. Mulyani (2008) melaporkan suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva, sehingga tidak mau makan, energi menjadi banyak keluar dan kecepatan respirasi bertambah, pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisma meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Daun Teh (Camelia sinensis) Tanaman teh termasuk famili Theaceae (Thorne, 1995), merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian Indonesia, menurut (Nazaruddin dan Paimin, 1993) tanaman teh di Indonesia diusahakan oleh perkebunan negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Indonesia mulai mengenal tanaman teh sekitar tiga abad yang lalu yang pada saat itu dibawa oleh Camphuys ke Indonesia tahun 1700. Pada mulanya, tanaman teh ditanam sebagai
tanaman hias di halaman. Tanaman teh tersebut diperkenalkan di Indonesia sebagai tanaman budidaya oleh orang Belanda yang datang menjajah. Di Indonesia tanaman teh banyak ditanam di dataran tinggi dengan pH yang cukup rendah yaitu 4.0-5.5. Selain itu daun teh akan baik bila ditanam pada suhu lingkungan 13-19 ºC dan curah hujan berkisar antara 1.250-5.000 mm yang terjadi secara merata sepanjang tahun (Sukasman, 1988). Tanaman teh dan jenis tanaman semak lain dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis dengan ketinggian antara 200-2300 m di atas permukaan laut (Dalimartha, 2005). Tanaman teh mengandung 19% bahan kering, asam organik, mineral, vitamin C , K, A, B, B2, asam-asam nikotinad, asam-asam pantotenat dan yang cukup penting adalah daun teh mengandung protein dan asam-asam amino (Nasution dan Tjiptadi, 1985). Kandungan nutrien dan kadar air yang terkandung dalam daun teh (69,64%) memberi kecukupan bagi A. atlas menyebabkan tanaman teh menjadi makanan yang sangat disukai serangga tersebut. Daun teh yang diberikan pada ulat sutera liar menunjukkan keberhasilan hidup yang tinggi yaitu mencapai 100% selama daur hidupnya di ruangan dalam selang waktu 56-72 hari (Awan, 2007). Katsumata (1975) menyatakan bahwa kualitas pakan ulat sutera yang dibutuhkan pada setiap instar berbeda. Ulat kecil (instar I-III) memerlukan daun muda, lemas, kadar air tinggi, protein tinggi, karbohidrat dan mineral, sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan daun dengan kandungan air sedikit dan kaya protein. Guntoro (1994) menyatakan bahwa pakan pada fase ulat kecil (instar I-III) 5-8% dari kebutuhan, sedangkan fase ulat besar (instar IV-V) 92-95% dengan pemberian makan 4 kali sehari yaitu pagi, siang, sore dan malam hari. Reese dan Beck (1978) melaporkan bahwa larva Agros ipsilon yang diberi pakan yang sangat kering konsumsi pakan (bobot basah maupun bobot kering) menurun, dengan efisiensi konversi pakan (ECI) dan pakan yang tercerna (EDC) berbanding terbalik terhadap persen bahan kering pakan, artinya apabila pakan sangat kering larva enggan untuk makan, dan energi banyak terbuang karena kemungkinan larva lebih banyak mondar–mandir, oleh karena itu maka ECI dan EDC rendah. Scriber (1979) menyatakan bahwa daun yang memiliki kandungan air rendah memerlukan energi metabolisme yang lebih besar daripada daun yang kandungan
airnya cukup. Resse dan Beck (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan menurun bila kandungan bahan kering pakan sangat rendah atau tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Ekastuti, 1999) melaporkan bahwa kadar air pakan berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi pakan, pakan dengan kadar air 70% atau 75% lebih disukai dibandingkan dengan pakan berkadar air lebih tinggi (80%) atau pun lebih rendah (60% dan 65%).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan mulai dari bulan April sampai Juni 2010, dengan tahapan persiapan pada bulan April 2010 yang terdiri dari survey lapangan, persiapan kandang dan fasilitasnya, tahap penelitian dan pengumpulan data di mulai pada bulan Mei sampai Juni 2010 serta tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian dilakukan pada bulan juli sampai Oktober 2010. Penelitian dilakukan di Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalongwetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Pengolahan serta analisis data dilakukan di Laboratorium NRSH (Non Ruminansia dan Satwa Harapan) Fakultas Peternakan IPB. Materi Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 ekor ulat sutera liar Attacus atlas dengan instar yang berbeda-beda yang terdapat di perkebunan teh Purwakarta, dipilih secara acak dari masing-masing lokasi dengan naungan dan tanpa naungan. Lokasi dengan naungan dapat dikatakan sebagai lokasi teduh dan sebaliknya lokasi tanpa naungan disebut sebagai lokasi terik. Kegiatan penimbangan bobot badan dan pengukuran tubuh ulat menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan jangka sorong digital dengan ketelitian 0,01 mm. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan menggunakan termohygrometer dan luxmeter dengan selang 0,001-199,9 kilo lux (Klx). Kandang ditutup dengan kain kasa dan dilengkapi dengan fasilitas lain yang terdiri dari pelastik, kardus, spidol, senter, jas hujan, alat dokumentasi dan alat tulis untuk pencatatan data. Prosedur Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan survei pendahuluan untuk menentukan lokasi tanpa naungan dan lokasi dengan naungan yang menjadi tempat tinggal atau habitat ulat sutera A. atlas. Penentuan lokasi berdasarkan pada posisi letak pohon teh yang ditinggali ulat, untuk lokasi tanpa naungan, posisi pohon teh tidak dinaunggi oleh
pohon lain sehingga cahaya matahari secara langsung dapat menyinari pohon teh, sementara lokasi dengan naungan, pohon teh berada dibawah naunggan pohon lain yang lebih besar sehingga terhalang oleh sinar matahari. Pemilihan sampel 10 pohon teh di lokasi dengan naungan dan 10 pohon teh di lokasi tanpa naungan dilakukan secara acak. Panjang, lebar dan tinggi tiap pohon teh diukur untuk penentuan ukuran kerangka kandang yang terbuat dari bambu. Bagian sisi dan atas kerangka kandang ditutupi dengan kain kasa. Kain berfungsi sebagai pelindung bagi ulat dari serangan predator seperti tawon, ulat jenis lain, belalang dan burung. Setiap kandang berisi lima ekor ulat untuk diberikan perlakuan berupa intensitas cahaya. Tahap Pengumpulan Data Ulat sutera A. atlas di tiap kandang diamati dan dihitung setiap hari. Data suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya diambil dari lima sampel di tiap ulangan dengan menggunakan thermohygrometer dan lux meter. Pengukuran dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB. Pengukuran panjang, lebar dan bobot badan semua ulat percobaan dilakukan setiap empat hari dengan hati-hati untuk menghindari stress karena ulat sangat sensitive terhadap gangguan dari luar yang dapat menimbulkan stress. Panjang dan bobot badan ulat diukur dengan jangka sorong digital, sedangkan untuk bobot badan diperoleh dengan menimbang ulat dengan timbangan digital. Cara pengukuran dapat dilihat pada gambar 6.
(A)
(B)
(C)
Gambar 6. (A) Pengukuran panjang (B) Pengukuran lebar badan (C) Pengukuran bobot badan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yaitu kelompok dengan naungan dan tanpa naungan dengan 10 ulangan per kelompok. Tiap ulangannya terdiri dari lima ulat. Data diolah dengan program Microsoft Excel 2007, lalu ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram batang serta dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati : Kelembaban merupakan persentasi jumlah uap air yang terkandung dalam udara yang diukur dengan alat thermohygrometer. Suhu (ºC) adalah tingkat atau derajat kepanasan dari suatu kondisi atau benda yang berkaitan
dengan
pergerakan
molekul,
yang
diukur
menggunakan
thermohygrometer. Intensitas Cahaya (Klux) adalah absorbsi energi matahari per cm 2/menit yang diperoleh dengan alat Lux meter. Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan ; Pertambahan panjang badan (ppb), lebar (plb) dan bobot badan (pbb) diperoleh dengan menghitung selisih panjang, lebar dan bobot badan pada saat mengukur (t) dengan nilai pada pengukuran sebelumnya (t-1). Pertambahan panjang (ppb), lebar (plb) dan bobot (pbb) dihitung dengan tiga cara yaitu : 1. Pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per hari (mm/hari, mm/hari, g/hari) : 2. Pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per instar (mm/instar, mm/instar, g/instar) :
PB/LB/BBIt – PB/LB/BBIt-1
3. Prsentase pertambahan panjang, lebar dan bobot badan (%/instar) : × 100%
Mortalitas yakni angka kematian ulat yang terjadi dalam suatu kelompok kandang. Angka mortalitas merupakan perbandingan antara jumlah ternak mati dan jumlah ternak total yang diplihara. Mortalitas diukur dengan: ×100% Jumlah pupa diperoleh dengan menghitung pupa secara manual di setiap kandang yang berada pada kondisi bernaungan dan tanpa naungan. Jumlah imago merupakan banyaknya imago jantan dan betina yang diperoleh dengan menghitung secara manual dan menentukan jenis kelamin imago.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Sejarah Lokasi Penelitian Perkebunan Nusantara VIII merupakan perkebunan milik negara, Republik Indonesia, yang sebelumnya dikenal dengan nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Lama. Dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan dalam lingkup PPN-Lama dan PPN-Baru menjadi : PPN Kesatuan Jawa Barat I, PPN Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat III, PPN Kesatuan Jawa Barat IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V. Pada periode 1963 – 1968, diadakan reorganisasi dengan tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih baik, dengan dibentuknya PPN Aneka Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka Tanaman IX dan PPN Aneka Tanaman X, yang mengelola tanaman teh dan kina, serta PPN Aneka Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman XII mengelola tanaman karet. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, pada periode 1968 – 1971, PPN yang ada di Jawa Barat diciutkan menjadi tiga Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) meliputi 68 perkebunan. Perkebunan PNP XI berkedudukan di Jakarta (24 perkebunan), PNP XII berkedudukan di Bandung (24 perkebunan), PNP XIII berkedudukan di Bandung (20 perkebunan). Kondisi ini sangat cocok untuk habitat serangga ulat sutera liar A. atlas. Sejak tahun 1971, PNP XI, PNP XII dan PNP XIII berubah status menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan (Persero), dan dalam rangka restrukturisasi BUMN Perkebunan mulai 1 April 1994 sampai dengan tanggal 10 Maret 1996, pengelolaannya terintegrasi di bawah manajemen PTP Group Jabar, yang kemudian dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero). Perkebunan ini merupakan BUMN yang bergerak pada sektor perkebunan dengan kegiatan usaha meliputi pembudidayaan tanaman, pengolahan, dan penjualan komoditi perkebunan seperti teh, karet dan sawit sebagai komoditi utamanya, serta kakao dan kina sebagai komoditi pendukungnya. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII adalah salah satu diantara perkebunan milik Negara yang didirikan pada tahun 1996 dengan tujuan untuk menyelenggarakan usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan untuk menghasilkan barang atau
jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas (http://www.pn8.co.id). Tofografi dan Klimatologi Perkebunan Teh Nusantara VIII terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, sekitar 80 km di sebelah timur Jakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Karawang di bagian Barat dan sebagian wilayah Utara, Kabupaten Subang di bagian Utara dan sebagian wilayah bagian Timur, Kabupaten Bandung di bagian Selatan, dan Kabupaten Cianjur di bagian Barat Daya. Kondisi iklim di Kabupaten Purwakarta termasuk pada zona iklim tropis, dengan rata-rata curah hujan 3.093 mm/tahun dan terbagi ke dalam dua wilayah zona hujan, yaitu: zona dengan suhu berkisar antara 22-28 oC dan zona dengan suhu berkisar 17-26 oC. Wilayah pegunungan terletak di tenggara dengan ketinggian 1.100 sd 2.036 m diatas permukaan laut (dpl), meliputi 29,73% dari total luas wilayah Purwakarta (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purwakarta). Budidaya Teh Tanaman teh yang merupakan salah satu komoditi utama perkebunan menjadi perhatian yang penting dalam sistem pemeliharaannya. Pohon teh diberi pupuk akar menggunakan Urea, KCl, dan TSP sebanyak 3-4 kali dalam setahun. Pemupukan daun dilakukan dua bulan setelah pemangkasan dan penyemprotan ZnSO4 1%, satu bulan sebelum pengambilan stek, dilanjutkan dengan kegiatan penyemprotan bulanan dengan ZnSO4 0-5% sampai pohon induk terbebas dari stek. Kegiatan pemangkasan tanaman teh dilakukan secara reguler yakni sekali dalam kurun waktu 4-6 bulan. Selain pemeliharaan akar dan daun, teh juga disemprot dengan pestisida untuk mengatasi masalah hama terutama hama ulat. Jenis insektisida yang biasa digunakan adalah Kanon 400 EC dengan bahan aktif berupa dimetoat 400g/l untuk hama ulat, Mospilan 30 EC, bahan aktif asetamiprid 30g/l untuk ulat penggulung daun dan Proclaim 5 SG, bahan aktif emamektrin benzoat 5% untuk hama ulat. Pihak perkebunan dan masyarakat setempat menganggap ulat sutera A. atlas merupakan hama pengganggu bagi tanaman teh. Ulat tersebut tidak memakan pucuk daun, namun untuk menjaga performa tanaman teh maka ulat tersebut dibasmi.
Pengaruh Faktor Lingkungan Dalam
penelitian ini
faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap
Pertumbuhan dan daya hidup A. atlas antara lain : intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan Waktu Peubah Intensitas Cahaya (Klux) Suhu (ºC)
Kelembaban (%)
Lokasi Dengan Naungan
Lokasi Tanpa Naungan
kisaran
Rataan
kisaran
rataan
Pagi
3,13-22,80
9,04
11,60-58,10
34,94
Siang
4,31-38,50
19,02
14,30-147,00
80,70
Sore
0,01-0,19
0,08
0,02-2,31
0,19
Pagi
24,50-30,80
26,32
25,30-32,20
27,74
Siang
26,80-37,20
31,52
26,70-38,40
32,23
Sore
24,06-27,80
25,58
21,80-26,80
24,99
Pagi
77,30-99,00
91,99
63,00-99,80
88,89
Siang
49,60-81,50
68,65
50,60-83,30
66,86
Sore
83,00-98,50
92,44
85,40-98,80
92,66
Keterangan : Waktu pengamatan pagi (07.00), siang (12.00) dan sore (17.00) pada bulan Mei-Juni 2010
Tabel 1 memperlihatkan intensitas cahaya di lokasi dengan naungan dan tanpa naungan, dengan kisaran lebih rendah pada siang hari di lokasi dengan naungan (4,31-38,50 Klux), dibandingkan lokasi tanpa naungan (14,30-147,00 Klux). Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh adanya naungan pada pohon teh oleh pohon besar yang cukup rindang (Acacia sp (akasia), Leucaena sp (lamtoro/pete cina) , Grevillia robusta (oaks)) sehingga cahaya matahari tidak secara langsung mengenai tanaman. Tanaman teh di lokasi tanpa naungan tidak dinaungi pohon maka cahaya matahari dapat mengenai tanaman secara langsung.
Gambar 6. Intensitas Cahaya di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (Klux) Gambar di atas memperlihatkan bahwa kisaran intensitas cahaya di lokasi tanpa naungan sangat besar, kisaran yang besar terjadi karena pada siang hari awan sering menutupi sinar matahari dalam beberapa waktu dan kembali terhembus angin. Awan yang muncul terlalu sering dikarenakan saat penelitian merupakan musim penghujan, sehingga cuaca sering mendung. Selama dua bulan penelitian tercatat 21 hari mendung dan 27 hari hujan turun. Cuaca mendung dan terkadang hujan lebih sering terjadi di pagi hari pada awal penelitian, sedangkan memasuki akhir penelitian mendung dan hujan sangat sering terjadi di sore hari namun untuk cuaca di siang hari terkadang mendung sesaat dan kembali cerah karena adanya pergerakan awan oleh angin. Kondisi ini mengakibatkan fluktuasi intensitas cahaya di awal penelitian sangat kecil, berbeda saat di akhir penelitian. Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa meskipun intensitas cahaya sangat berbeda di kedua lokasi, ternyata suhu dan kelembabannya tidak jauh berbeda, baik dalam kisaran maupun rataannya. Hal ini diduga karena pergerakan atau sirkulasi angin yang cukup lancar sehingga intensitas cahaya yang membawa panas dengan cepat dihembus atau dibawa oleh angin. Gambar di bawah memperlihatkan pola suhu dan kelembaban yang diperoleh selama penelitian. Pola suhu dan kelembaban pada gambar diukur sebanyak tiga kali setiap harinya.
Gambar 7. Suhu (ºC) dan Kelembaban (%) di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan Kedua gambar di atas memperlihatkan bahwa suhu dan kelembaban di lokasi dengan naungan maupun tanpa naungan tidak berbeda nyata baik pada waktu pagi, siang dan sore. Sirkulasi udara yang lancar di lokasi penelitian mempengaruhi intensitas cahaya yang relatif tinggi, tidak berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban yang ada di kedua lokasi, begitu juga dengan kelembabannya yang relatif sama. Populasi dan Mortalitas Attacus atlas Populasi Pada awal penelitian ulat yang banyak ditemukan di lokasi dengan naungan maupun tanpa naungan ialah ulat kecil (Instar II-IV) dengan jumlah pada masingmasing ulangan adalah 50 ekor. Saat akhir penelitian hanya tersisa empat ekor
ngengat (8%) di lokasi dengan naungan dan 11 ekor ngengat (22%) di lokasi tanpa naungan. Tabel 2 memperlihatkan jumlah A. atlas pada awal dan akhir penelitian. Tabel 2. Populasi A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan Stadium
Dengan Naungan Awal
Tanpa Naungan
Akhir
Awal
Akhir
ekor
%
ekor
%
ekor
%
ekor
%
Instar II
19
38
0
0
23
46
0
0
Instar III
24
48
0
0
23
46
0
0
Instar IV
7
14
0
0
4
8
0
0
Instar V
0
0
0
0
0
0
0
0
Instar VI
0
0
0
0
0
0
0
0
Pupa
0
0
4
0
0
0
11
0
Jumlah
50
100
4
8
50
100
11
22
Tingkat mortalitas yang sangat tinggi ini disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik yang sulit dikendalikan. Situmorang (1996) yang memelihara A. atlas pada tanaman mahoni dan keben mendapatkan tingkat kematian mencapai 90%. Widyarto (2001) juga melaporkan bahwa tingkat keberhasilan A. atlas pada tanaman dadap sampai masa pupasi hanya 19,17% di tanaman dadap dan pada tanaman gempol 4,58%. Menurut Situmorang (1996) tingkat kematian yang tinggi pada penelitian mereka disebabkan oleh suhu dan kelembaban yang fluktuatif atau di luar kondisi nyaman ulat. Sedangkan dalam penelitian suhu dan kelembaban di kedua lokasi baik tanpa naungan (26,80-37,20 ºC dengan rataan 31,52 ºC ) maupun dengan naungan (26,70-38,40 ºC dengan rataan 32,23ºC) tidak begitu jauh berbeda, namun suhu sudah mencapai di atas 30 ºC sehingga suhu sudah tidak nyaman bagi ulat, hal ini sesuai dengan penelitian (Awan, 2007) yang menyatakan bahwa kondisi suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologia dan pertumbuhan ulat sutera. Sama halnya dengan suhu, rataan kelembaban hasil dari penelitian di lokasi dengan naungan waktu pagi, siang dan sore hari berturut-turut adalah 91,99, 68,65,
92,44% sedang di lokasi tanpa naungan yaitu 88,89, 66,86, 92,66% , nilai tersebut tidak jauh berbeda diantara kedua lokasi namun sudah di luar batas kondisi nyaman ulat, yaitu dibawah 70%. Hal ini sesuai dengan pendapat Veda et al., (1997) yang menyatakan bahwa kelembabab yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%, sehingga kuat dugaan bahwa selain intensitas cahaya yang fluktuatif, suhu dan kelembaban yang di luar batas nyaman ulat mengakibatkan tingginya mortalitas di alam. Predator merupakan faktor biotik yang menyebabkan mortalitas tinggi pada ulat. Dalam penelitian ini kain kasa digunakan untuk mencegah agar predator burung tidak dapat memakan ulat. Berbeda dengan predator semut yang lebih banyak menyerang ulat karena semut masih bisa masuk ke dalam kandang. Biasanya larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007). Sedangkan predator seperti ulat jenis lain lebih memicu terjadinya persaingan makanan. Tingkat kematian yang tinggi saat pemeliharaan ulat sutera tidak hanya dikarenakan faktor biotik maupun abiotik. Ulat juga akan mengalami stress saat ia merasa terganggu dengan rangsangan dari lingkungannya baik yang dilakukan secara sengaja (perlakuan manusia) mau pun tidak sengaja (gangguan dari predator seperti semut, tawon, belalang). Larva yang merasa terancam atau terganggu akan menggoyang-goyangkan tubuh bagian belakangnya dan mengeluarkan cairan bening seperti keringat dari tubuhnya sampai mengeluarkan kotoran padat atau cair serta memuntahkan cairan berwarna hijau pekat dari mulutnya yang mengakibatkan tubuhnya melemah dan bahkan menyebabkan kematian. Kematian yang disebabkan oleh gangguan predator seperti semut terjadi saat ulat dalam kondisi lemah, maka koloni semut akan menghampiri ulat dan mulai menggigiti ulat sampai ulat mati. Tubuh ulat akan digigiti sampai cairan dalam tubuh ulat habis dan warna tubuh berubah menjadi hijau kekuningan. Kematian juga dapat diakibatkan oleh kualitas tanaman yang dikonsumsi ulat. Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil sutera yang dihasilkan. Ulat Attacus atlas biasanya lebih menyukai pakan yang mengandung tanin yang tinggi, ulat ini memiliki enzim selulosa untuk memecah
serat kasar dari daun yang mengandung tanin. Tanin disukai dikarenakan selain mengikat karbohidrat, tanin juga mengikat protein dalam proses metabolismenya. Kokon yang terbuat dari protein serat diikat oleh tanin sehingga terlindung dari predator-predator seperti semut yang tidak dapat mengkonsumsi protein yang terlindungi oleh tanin. Selain perlindungan terhadap kokon, kualitas pakan juga berpengaruh terhadap kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan ulat. Ulat akan lebih memilih pohon teh dengan daun dalam kondisi subur dimana jumlah daun teh yang muda seimbang dengan daun teh tua. Ulat yang hidup pada inang yang kualitas pakannya kurang baik maka larva akan kekurangan gizi serta sakit sehingga hasil yang maksimum sulit dicapai meski pada periode berikutnya larva diberi pakan yang baik (Wangsan-Min,1989). Kondisi teh pada saat penelitian lebih dominan daun tua ketimbang daun muda, sehingga yang lebih mampu bertahan adalah ulat dengan ukuran besar dan hal ini memicu bertambahnya mortalitas diawal instar. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di ruangan/laboratorium yang dapat mencapai keberhasilan 100% seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Awan (2007). Keberhasilan tersebut dikarenakan faktor abiotik (intensitas cahaya, suhu dan kelembaban) ruangan dapat dikondisikan seideal mungkin dan faktor biotik (predator, penyakit dan cendawan) dapat dicegah dan dikontrol. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan terdapat beberapa ulat yang mati akibat gagal molting. Pergantian kulit (molting) pada setiap instar akan terjadi apabila larva menjelang tahap akhir instar dan biasanya larva akan memilih tempat yang dirasa cocok untuk melakukan molting. Tempat yang sering dijadikan larva untuk melepas kulitnya adalah di ranting dan daun teh yang letaknya berada dipinggir pohon, dengan tujuan agar proses pengeringan kulit baru dapat berlangsung cepat. Proses molting berlangsung dalam waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 1/2 jam namun hal ini tergantung dari ukuran tubuh ulat. Semakin panjang dan lebar ukuran tubuh ulat maka proses molting akan berlangsung lebih lama dan sebaliknya. Proses pergantian kulit merupakan tahapan yang rentan menimbulkan kematian bagi larva dikarenakan pada tahap ini ulat sangat lemah dengan kondisi kulit yang basah, tubuh terlihat lebih bening dan ringkih, sehingga rentan dari
serangan predator. Predator - predator yang biasa menyerang diantaranya golongan semut merah dan semut hitam. Proses molting yang tidak sempurna atau bahkan gagal terjadi karena kulit lama hanya terkelupas sebagian dan lengket ditubuh larva maka akan menyebabkan larva mati lemas akibat tenaga yang habis untuk bergerak-gerak agar kulit lama terkelupas dan larva ini biasanya menjadi sasaran predator seperti semut. Larva yang mampu melakukan proses pergantian kulit dengan sempurna biasanya akan menggantungkan dirinya pada daun atau ranting dekat kulit lamanya dengan posisi tiga pasang kaki depan dan kepala menggantung sedang lima pasang kaki bagian belakang berpegangan erat pada ranting atau daun. Ulat akan terus dalam posisi menggantung sampai tubuhnya kembali kering dan cukup kuat berjalan untuk mencari daun teh yang akan dikonsumsi. Mortalitas Mortalitas dalam penelitian ini tidak terjadi secara serempak. Tabel 3 memperlihatkan pola mortalitas berdasarkan instar. Tabel 3. Mortalitas A. atlas di Lokasi Dengan Naungan dan Tanpa Naungan Stadium
Dengan Naungan
Tanpa Naungan
Ekor
%
ekor
%
Instar II
0
0
0
0
Instar III
7
14
7
14
Instar IV
33
66
18
36
Instar V
6
12
9
18
Instar VI
0
0
5
10
Pupa
0
0
0
0
Jumlah
46
92
39
78
Baik di lokasi dengan naungan maupun tanpa naungan tingkat kematian terbesar terjadi pada fase ulat kecil, terutama instar IV yaitu 66% di lokasi dengan naungan dan 36% (18 ekor) di lokasi tanpa naungan. Instar II tidak memiliki catatan mortalitas dikarenakan pada saat pengambilan data dimulai dari instar II tahap akhir,
sehingga yang tercatat dimulai dari kematian instar III. Kematian ulat kecil di lokasi dengan naungan (92%) lebih tinggi dibandingkan di lokasi tanpa naungan (78%), hal ini dikarenakan ulat kekurangan cahaya dan banyak ditumbuhi jamur saat hujan turun. Mortalitas pada fase ulat besar sangat rendah, bahkan tidak ada sama sekali pada lokasi dengan naungan. Hal ini merupakan kebalikan dari ulat kecil yang tingkat kematiannya banyak di lokasi tanpa naungan dibanding di lokasi dengan naungan. Ulat kecil (instar III-IV) lebih sensitif terhadap faktor biotik maupun abiotik. Faktor abiotik seperti suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi daya hidup ulat sutera liar. Hal ini dikarenakan larva yang masih dalam fase awal lebih sering diserang karena tubuhnya yang masih sangat lemah dan berukuran kecil, sehingga pada fase ini terjadi mortalitas yang cukup tinggi (Awan, 2007). Oleh karena itu dalam menejemen pemeliharaan ulat pada instar awal, perlu lebih diperhatikan kondisi biotik dan abiotik untuk menekan tingkat kematian diawal instar. Suhu dan intensitas cahaya yang tinggi secara tiba-tiba akan menghasilkan kelembaban yang rendah, hal ini menjadikan larva stress akibat dehidrasi karena kondisi daun teh yang juga ikut mengering dengan kadar air yang berkurang sehingga ulat akan terlihat lebih sedikit mengkonsumsi makanannya dan tubuhnya menjadi lebih kuning bening. Stadium larva akan mengalami gangguan kesehatan dan sulit beradaptasi apabila suhu lingkungannya berubah secara ekstrim pada waktu yang cukup lama (Veda et al., 1997). Stadium larva sangat rentan terhadap stress yang diakibatkan oleh perubahan cuaca. Perubahan cuaca seperti fluktuatifnya faktor suhu, kelembaban dan intensitas cahaya mampu menurunkan ketahanan hidup larva. Perubahan kondisi alam secara ekstrim dari cuaca panas menjadi penghujan mengakibatkan kelembaban yang tinggi dan mendukung munculnya jamur, protozoa dan bakteri patogenyang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutra (Veda et al., 1997). Parasit-parasit lebih sering menyerang tahap larva. Fase telur juga tidak luput dari serangan parasit yang berasal dari anggota famili Chalcidoide (Hymenoptera) yaitu Anastatus menzeli Ferr yang mencapai 80% (Peigler,1989). Curah hujan yang tinggi juga meningkatkan kadar air pada daun teh sebagai pakan sehingga menurunkan konsumsi pakan ulat dan tubuh ulat akan berwarna
kuning sampai putih pucat. Sama halnya dengan kelembaban yang terlalu tinggi, kelembaban yang terlalu rendah juga berdampak negatif bagi pertumbuhan ulat sutera. Ulat sutera yang hidup di alam akan lebih rentan diserang oleh berbagai jenis penyakit dibanding ulat yang secara sengaja dibudidayakan pada ruangan. Jenis-jenis penyakit yang banyak menyerang ulat sutra biasanya disebabkan oleh cendawan, protozoa, bakteri dan virus. Penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan ditandai dengan munculnya hypha yang berwarna putih dan menutupi permukaan tubuh ulat (Samsijah,1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulat kecil masih sangat sensitif terhadap lingkungan biotik maupun abiotik karena kondisi tubuh yang masih lemah. Oleh karena itu sebaiknya ulat kecil dipelihara di ruangan atau laboratorium lapang sehingga untuk faktor biotik dan abiotik dapat dikendalikan untuk mencegah kematian di awal instar. Berbeda halnya dengan ulat besar yang lebih nyaman hidup di alam karena tingkah laku ulat suka berjalan-jalan di batang pohon teh. Tingkah laku ini menyebabkan ulat lebih suka berada di bagian bawah pohon yang lebih lembab. Kelembaban mampu memunculkan jamur sehingga untuk mensiasatinya perlu dilakukan pemangkasan yang teratur di bagian bawah pohon terutama rumputrumput di sekitar pohon. Ukuran tubuh ulat yang besar memampukan ulat untuk bertahan dan menakuti predator lainnya, sehingga tingkat kematian akibat serangan predator lebih kecil. Menurut Katsumata (1964) luas tempat pemeliharaan larva sangat berhubungan dengan kepadatan populasi dari larva yang dipelihara. Semakin padat larva yang dipelihara maka suhu dan kelembaban dapat menyebabakan akan semakin meningkat pula. Oleh karena itu kepadatan dan luasan kandang perlu diperhitungkan dalam memelihara ulat sutera untuk setiap tahapan instar yang berbeda. Selain masalah kepadatan faktor biotik dan abiotik juga perlu diperhatikan dalam sistem memenejemen pemeliharaan ulat sutera liar ini sehingga mengurangi tingkat kematian (mortalitas) dan mampu menghasilkan produktivitas yang baik. Produktivitas akan menurun apabila faktor-faktor abiotik tersebut tidak sesuai dengan tingkat toleransi A. atlas (Atmosoedarjo et al., 2000). Kualitas pakan perlu diperhatikan karena pakan juga menentukan produktivitas yang dihasilkan ulat dan mempengaruhi pertumbuhan ulat melalui aktivitas molting.
Attacus atlas memiliki enam tahap perubahan instar dalam siklus hidupnya yaitu dari instar satu sampai enam, dalam setiap tahap perubahan instar akan ditandai dengan terjadinya pergantian kulit molting (Nazar, 1990). Molting bertujuan untuk mengganti kulit lama dengan kulit baru, sehingga kulit lama yang terbentuk dari kitin dan sudah mengeras akan terkelupas untuk digantikan kulit baru yang sifatnya lebih elastis sehingga pakan yang dikonsumsi dapat ditampung oleh tubuh. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kultikula dinding tubuh, mulai dari bagian kepala, trachea, usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potonganpotongan melalui anusnya (Borror et al., 1992). Proses molting menandakan bahwa akan terjadi pertambahan panjang, lebar dan bobot badan ulat ke tahap selanjutnya. Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot badan A. atlas Panjang badan merupakan salah satu bagian dari morfologi tubuh hewan, selain lebar dan bobot badan. Panjang, lebar dan bobot badan merupakan morfologi yang bersifat kuantitatif karena dapat dikonversi dalam bentuk angka berdasarkan hasil pengukuran. Di bawah ini merupakan grafik yang menunjukkan perbedaan panjang badan ulat sutera A. atlas di lokasi tanpa naungan dan dengan naungan.
Gambar 8. Panjang Badan Attacus atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm) Panjang badan A. atlas diperoleh dengan mengukur panjang badan ulat dari instar dua sampai instar enam di kedua lokasi, yaitu tanpa naungan dan dengan
naungan. Gambar 5 menunjukkan bahwa ulat dengan instar dua sampai instar lima yang berada pada lokasi dengan naungan rata-rata memilki ukuran yang lebih panjang dibanding ulat yang berada di lokasi tanpa naungan, hanya pada instar enam ukuran panjang badan lebih panjang di lokasi tanpa naungan. Selisih panjang badan antara ulat di tanpa naungan dan dengan naungan tidak terlalu besar. Panjang badan yang terdapat digambar tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Awan (2007) yaitu 1,31-1,7 cm untuk instar dua, 3,5-3,8 cm instar tiga, 3,81 cm diawal dan 5,5 cm di akhir instar empat, 5,51-8 cm instar lima dan 8,1-12 cm instar enam. Ulat pada lokasi dengan naungan lebih panjang dari lokasi tanpa naungan diduga karena faktor pertumbuhan yang lebih mengarah pada perpanjangan tubuh dibanding dengan pertambahan bobot badan. Performa ulat di lokasi dengan naungan terlihat panjang namun lebih kurus dibanding ulat pada lokasi tanpa naungan. Perhitungan terhadap pertambahan panjang, lebar dan bobot badan dilakukan dengan tiga cara yaitu pertambahan per hari, per instar dan perhitungan persentase pertambahan. Pertambahan per hari mampu memberi gambaran dalam menejemn pemberian pakan tiap harinya pada setiap instar yang pertumbuhannya berbeda-beda. Pertambahan per instar menunjukkan tahapan pertumbuhan yang dapat dikaitkan dengan menejemen pemberian pakan dan luasan kandang. Sedangkan persentase pertambahan memperlihatkan pola pertambahan instar yang terkecil dan terbesar di setiap tahapannya.
Gambar 9. Pertambahan Panjang Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari)
Gambar 9 memperlihatkan bahwa pertambahan panjang badan A. atlas yang terlihat jelas terdapat pada instar tiga dan instar lima, baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan. Hal ini dikarenakan saat instar tiga merupakan masa dimana ulat mengalami pertambahan panjang yang diakibatkan pola konsumsi yang lebih banyak, sedang pada instar V pertambahan ukuran tubuh terlihat sangat nyata, seiring dengan kecepatan larva mengkonsumsi pakan daun teh. Daun yang dikonsumsi tidak hanya daun muda melainkan daun yang sudah tua juga dikonsumsi (Awan, 2007). Instar V sudah memiliki pola makan yang teratur, yaitu dengan memakan daun setengah bagian dan bagian kiri serta kanan tulang daun, dari pangkal sampai ke ujung daun. Pertambahan panjang pada instar II dan IV tidak terlalu nyata. Oleh karena pada periode tersebut pemeliharaannya tidak memerlukan kandang dengan luasan yang besar, menjelang instar III dan V luasan kandang ditambah agar kematian akibat kepadatan dapat dicegah. Selain itu jumlah pakan perlu ditingkatkan saat ulat memasuki instar III dan V. Pertambahan panjang badan per hari pada ulat sutera yang di beri pakan daun teh secara keseluruhan memperlihatkan bahwa pertambahan panjang badan per hari dari instar II sampai instar IV di lokasi tanpa naungan lebih tinggi dibanding ulat yang hidup di lokasi dengan naungan hal ini disebabkan adanya pengaruh faktor cahaya matahari. Intensitas cahaya dan lama panjang hari mempengaruhi pertumbuhan dari serangga melalui rangsang hormon-hormon pertumbuhan (Dolezal, 2007). Hormon-hormon yang berhubungan dengan perkembangan dan metamorfosa adalah hormon protorasikotropik (Prothoracicotropic hormone (PPTH)), ecdison, juvenil, eclosion dan bursicon (Cymborowski, 1992).
Jumlah
pakan yang dikonsumsi juga dipengaruhi temperatur. Semakin tinggi suhu maka konsumsi pakan akan menurun (Dolezal, 2007).
Gambar 10. Pertambahan Panjang Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor) Pertambahan panjang badan yang diukur per instar baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan menggambarkan bahwa semakin besar instar maka pertambahan panjang badan juga semakin meningkat. Katsumata (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan ulat sutera sangat cepat dan dramatis, berbentuk linier dengan pertumbuhannya dapat mencapai 10.000 kali dari berat ulat yang baru menetas. Hal ini disebabkan pertumbuhan insekta dari embrio hingga dewasa meliputi dua proses yang berbeda yaitu pertumbuhan yang didasari peningkatan jumlah dan ukuran selsel serta diferensiasi yang meliputi perubahan bentuk dan aktivitas metabolisme (Bursell, 1970). Semakin meningkat tahapan instar, pertumbuhan semakin cepat termasuk panjang badan ulat, sama hal nya dengan pertambahan panjang. Jenis ulat yang berbeda akan mempengaruhi sistem menejemen luasan kandang dan pakan, oleh karena itu dalam tatalaksana perlu dilakukan penambahan luasan kandang atau penempatan jumlah ulat pada satu pohon teh dan peningkatan jumlah pakan yang disediakan seiring pertumbuhan panjang instar dari instar awal sampai akhir.
Gambar 11. Persentase Pertambahan Panjang Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) Persentase pertambahan panjang badan A. atlas yang terbesar terdapat pada instar V baik di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan, hasil yang sama terjadi dengan pertambahan panjang badan per hari dan per instar. Persentase yang besar di instar V diduga karena pertambahan panjang dari instar IV ke instar V cukup nyata. Pada instar V ulat sudah memiliki pola makan yang teratur dan mengkonsumsi daun tua dan muda untuk pembentukan organ yang dipersiapkan untuk menyimpan serat-serat sutera, dan selanjutnya instar VI merupakan akhir masa instar, untuk pembentukan kokon.
Gambar 12. Pertambahan Lebar Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/hari) Pertambahan lebar badan per hari A. atlas yang diukur dalam satuan mm/hari pada gambar 13 di atas mengindikasikan bahwa pertambahan lebar badan yang
sangat nyata atau signifikan terjadi pada saat instar III baik di lokasi tanpa naungan mau pun dengan naungan. Hal ini jika dihubungkan pada pertambahan panjang badan per hari juga memeperlihatkan pada instar III terjadi pertambahan panjang yang besar. Maka dapat dikatakan bahwa pada instar III merupakan tahap dimana ulat mengalami pertambahan panjang dan lebar tubuh yang nyata dibandingkan instar lainnya. Penyebab pertambahan yang nyata pada instar III dikarenakan pada tahap ini merupakan masa dimana ulat mengalami pertambahan lebar yang diakibatkan pola konsumsi yang lebih banyak dan dengan frekuensi teratur dibanding saat instar II. Pertambahan lebar juga diikuti pertambahan panjang badan perhari, sehingga tahap ini performa ulat terlihat secara nyata lebih besar dan panjang dibanding instar II. Ulat di lokasi tanpa naungan mulai dari instar II sampai instar V mengalami pertambahan lebar per hari lebih besar jika dibandingkan dengan ulat yang hidup di lokasi dengan naungan. Perbedaan pertambahan lebar tersebut diduga karena pengaruh faktor cahaya yang menyeimbangkan kadar air pada daun teh yang tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit sehingga memicu peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ulat yang berada di lokasi tanpa naungan. Ekastuti (1999) melaporkan bahwa kadar air pakan berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi pakan, pakan dengan kadar air 70% atau 75% lebih disukai dibandingkan dengan pakan berkadar air lebih tinggi (80%) atau pun lebih rendah (60% dan 65%).
Gambar 13. Pertambahan Lebar Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (mm/ekor)
Gambar 13 memperlihatkan bahwa pertambahan lebar badan per instar ulat sutera mengalami peningkatan pada instar IV dan V. Pertambahan lebar badan instar II sampai instar V lebih besar saat ulat hidup di lokasi tanpa naungan dibanding ulat yang berada di lokasi dengan naungan. Rataan pertambahan lebar yang lebih tinggi di lokasi tanpa naungan dipengaruhi oleh faktor cahaya. Pertambahan lebar pada instar IV dan V disebabkan oleh ulat yang aktif mengkonsumsi pakan sehingga tubuh membentuk rongga-rongga tubuh menjadi lebih besar, yang digunakan untuk menyimpan kelenjar sutera. Kandungan protein kelenjar sutera sangat bervariasi sesuai dengan pola pakan yang dikonsumsi. Pertambahan panjang per instar terjadi pada tahap instar V dan pertambahan lebar per instar terjadi pada instar IV dan V, maka terkait dengan sistem pemeliharaan untuk budidaya ulat sutera, penambahan luas kandang dan penambahan jumlah pakan lebih diperhatikan pada saat ulat memasuki instar V dimana panjang dan lebar mengalami peningkatan. Kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tesedia Katsumata (1964), sehingga tingkat kematian akibat kepadatan (densitas) dan kekurangan pakan dapat dicegah demi peningkatan produktivitas yang diharapkan.
Gambar 14. Persentase Pertambahan Lebar Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) Persentase pertambahan lebar badan yang terlihat dari gambar 14 menunjukkan bahwa ulat yang hidup pada lokasi dengan naungan saat instar II, III, dan IV mengalami peningkatan persentase pertambahan lebar badan yang lebih tinggi dibanding dengan ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan, namun saat instar
V pertambahan lebar cendrung terjadi pada ulat di lokasi tanpa naungan. Ulat di lokasi tanpa naungan yang mengalami persentase peningkatan lebar badan terbesar terjadi saat instar III.
Gambar 15. Pertambahan Bobot Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/hari) Pertambahan bobot badan per hari pada ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan dan dengan naungan berbeda sangat nyata, mulai dari instar II sampai instar IV, namun saat menjelang instar V bobot badan di kedua lokasi terlihat relatif sama, yang erat kaitannya dengan kelembaban, suhu serta perbedaan intensitas cahaya pada kedua lokasi. Ulat di lokasi dengan naungan tidak terlalu banyak mengkonsumsi dau teh, karena kadar air yang tinggi dan kondisi lembab sehingga ulat lebih sering berjalan-jalan untuk memilih daun yang akan dimakan dan energi banyak terbuang yang mengakibatkan bobot badan ulat di lokasi dengan naungan jauh lebih rendah. Pada sistem pemeliharaan perlu diperhatikan kondisi lingkungan abiotik seperti suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Perhatian lebih diutamakan untuk ulat instar II,III, dan IV yang kecendrungan lebih menyukai lingkungan dengan kondisi tanpa naungan, sedang untuk instar V hidup di kondisi tanpa naungan maupun dengan maungan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot badan A. atlas.
Gambar 16. Pertambahan Bobot Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (g/ekor) Tidak jauh berbeda dengan pola pertambahan bobot badan per hari, pertambahan bobot badan per instar pun memiliki pola yang hampir sama. Pertambahan bobot badan per instar yang tertinggi terlihat pada instar IV dan V untuk ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan, sedang untuk ulat di lokasi dengan naungan pertambahan bobot badan per instar meningkat tinggi di instar V. Penyebab hal ini sama dengan pemicu pertambahan bobot badan per hari yaitu adanya penharuh faktor abiotik terutama intensitas cahaya.
Gambar 17. Persentase Pertambahan Bobot Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan (%) Persentase pertambahan bobot badan ulat sutera pada gambar 17 menggambarkan bahwa instar IV di lokasi tanpa naungan maupun dengan naungan memiliki persentase terbesar dalam peningkatan bobot badan. Ulat yang hidup di lokasi tanpa naungan memiliki persentase peningkatan bobot badan yang lebih besar
dibanding ulat di lokasi dengan naungan. Hal ini juga dipengaruhi kondisi lingkungan terutama intensitas cahaya lokasi tanpa naungan dan dengan naungan yang berbeda dengan kondisi suhu serta kelembaban yang tidak terlalu beragam.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Intensitas
cahaya
mempengaruhi
pertumbuhan
ulat
sutera
hal
ini
diindikasikan oleh data pertambahan panjang, lebar dan bobot badan per hari dan per instar. Persentase ukuran tubuh ulat lebih besar di lokasi tanpa naungan dibandingkan ulat yang berada di lokasi dengan naungan. 2. Intensitas cahaya mempengaruhi kerja hormon pertumbuhan dan kualitas pakan sehingga pertumbuhan dan produktivitas ulat di lokasi tanpa naungan lebih baik dibandingkan dengan lokasi dengan naungan. 3. Tingkat mortalitas (85%) yang tinggi berkaitan dengan faktor abiotik antara lain, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di luar batas nyaman ulat dan faktor biotik yakni predator (terutama semut), dan tanaman teh yang tua serta gagalnya proses molting. Saran 1. Perlu dilakukan pembersihan rumput atau semak di area perkebunan teh tempat ulat A. atlas dipelihara agar predator seperti semut (semut hitam dan semut merah) tidak terlalu banyak sehingga tingkat kematian dapat dikuranggi. 2. Dibutuhkan penelitian lanjutan tentang kandungan nutrisi pakan ulat sutera A. atlas yang ada di perkebunan teh.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari doa, bantuan, serta dukungan berbagai pihak yang memberi kekuatan kepada Penulis, dan dengan ketulusan hati Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS. selaku pembimbing skripsi utama dan Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi., selaku pembimbing skripsi anggota atas segala waktu, kepercayaan, nasehat, dan arahan yang diberikan dengan penuh kesabaran kepada Penulis dari penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih kepada Ir. Anita Sardiana, M.Rur., Sc, kepada Ir. Dwi Joko Setyono, MS., dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si, selaku dosen penguji sidang serta Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian MS., selaku penguji seminar yang telah memberikan banyak saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Perkebunan Teh Nusantara VIII, Kab. Purwakarta, Jawa Barat dan kepada Bapak Nursam sekeluarga yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung, serta terima kasih Penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar Laboratorium Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) (Mas Winarno, Mbak Ani, Mbak Vivin, Mbak Rani dan Mas Muri) atas bantuannya selama ini. Terimaksih kepada Ahmad Yani, STP., MSi selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan motivasi. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Rayat Barus dan Ibunda tersayang Roberty Br Ginting beserta kakak (Ramaya Sovianty Barus) dan adik (Ewi Mellisa Barus) atas semua doa, motivasi, kasih sayang yang memberi kekuatan kepada Penulis untuk berjuang menggapai ilmu, semoga kasih Tuhan melingkupi keluarga tercinta. Terima kasih kapada tim ulat sutera Yuliana Fajar atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian, serta sahabat-sahabat terkasih Angelina Vanda. A, Susi J. Sianturi, Irwan Sembiring Kembaren, Dewi Sunaryo, Justian Reinardi, Yori, Nurma, Dewi, Khamariah, Aip Wiyana, Yuli, Melisa, Citra, Mawas, Rhida, Sofi, Izna, ,Glen, Verla, Arfan, Besta, Dani, mbak Ninu dan mbak Early. Terima kasih kepada teman-teman My Feno-Feno (Dina, Yomi, Icha, Popy, Wiwi, Silvia,
Debo, Cory, Tika, Septi, Alda, Eci dan Desy) serta teman di Wisma Novia IC, Badoneng. Akhir kata, Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, khususnya kepada teman-teman IPTP 43 atas segala keceriaan dan persahabatannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan dunia peternakan. Amin. Ahoy!.
Bogor, November 2010 Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Adria & H. Idris. 1997. Aspek biologis hama daun Attacus atlas pada tanaman ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. III (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Akai, H. 1988. Hormonal Regulation of Larvae Development and Its Utilization in Silk Production by Bombyx Silkmoth. JARQ. 22 ; 128-134. Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh & W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Studi Sains Veteriner SPS. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Beck, S. D. 1980. Insect Photoperiodism. 2nd Edit. Academic Press. New York. Borror, D. J., C. A. Triplehorn, & N. F. Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Terjemahan: S. Partosoedjono & M. D. Brotowidjoyo. Edisi ke6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Brusell, E. 1970. An Introduction to Insect Physiology. Academic Press London and New York. 193p. Butterfly Arc. 2003. Breeding of cobra butterfly (Attacus atlas – Philiphines). http://www.butterflyarc.it/portal/eng/pg.php?pg=3b.[10 Agustus 2010]. Chapman, R. F. 1969. The Insect Structure and Function. The English Universities Press Ltd. London. Cymborowski, B. 1992. Insect Endocrinology. P.W.N. Polish Scientific Publishers. Warsawa. Dalimartha, S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Trubus Agriwidya. Jakarta. Dolezal, P., Oxana Habustova & Frantisek Sehnal. 2007. Effect of photoperiod and temperature on the rate of larval development, food conversion efficiency, and imaginal diapause in Leptinotarsa decemlineata.J. 849-857. Ekastuti, D. R. 1999. Pengaruh Kadar Air Pakan Terhadap Katabolisme Nutrien, Pertumbuhan dan Kinerja Produksi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae.) Disertasi S3 Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Guntoro, K. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Cetakan Pertama. Kanisius, Yogyakarta.
Izumi, S, K. Kiguchi & S. Tomino. 1984. Hormonal Regulation of Byosynthesis of Major Plasma Protein In Bombyx mori. Zool. Sci. 1 : 223-228. Katsumata F. 1964. Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo. . 1975. Textbook of Tropical Sericulture. Japan Overseas Cooperation Volunteers. Hiroo, Sibuya-ku, Tokyo, japan. 594 p. Leksono AS. 2007. Ekologi Pendekatan deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia Publishing, Malang. Mulyani, N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) Dengan Pakan Daun Kaliki (Rincinus communis L.) dan Jarak Pagar (Jatropa curca L.) di Laboratorium. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nasution, Z. & W. Tjiptadi. 1985. Pengolahan Teh. Agroindustri Press. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nazaruddin & FB Paimin. 1993. Pembudidayaan dan Pengelolaan Tanaman Teh. Penebar Swadaya, Jakarta. Nazar, A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada tanaman cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Indusrti. Vol. XVI (1); 3537. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Peiger, R. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Leptidoptera Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California. Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Rao, P.U. 1994. Chemical Composition and Nutritional Evaluation of Spent Silkworm Pupae. Journal of Agricultural and Food Chemistry 42 : 22022203. Reese, J. C. & S. D. Beck. 1978. Interrelationships of nutritional indices and dietary moisture in the black cutworm (Agrotis ipsilon) digestive efficiency. J. Insect Physiol., 24: 473-479. Samsijah, 1994. Sutera Alam. Hutan dan Kehutanan, Pusat Dokumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti, Jakarta. Scriber, J. M. 1979. Effect of leaf water supplementation upon post-ingestive nutritional indices of forb-shurb-,vine-, and tree feeding lepidoptera. Ent. Exp. & appl. 25: 240-252. Ned Entomol. Ver. Amsterdam. Situmorang J, 1996. An Attemp to Produce Attacus atlas L. Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. Of Wild Silkmoth and Silk. 1. 25-29.
Solihin, D. D. & Asnath M. Fuah. 2010. Budi Daya Ulat Sutera Alam. Edisi ke-1. Penebar Swadaya. Jakarta. Sukasman. 1988. Pemangkasan pada tanaman teh. Seminar Pemangkasan Teh. Balai Penelitian Teh dan Kina, Gambung. Thorne. 1995. Green tea extract. http://www.thorne.com/green tea.htm. [10 Agustus 2010]. Veda, K.I. Nagai, & M. Harikomi. 1997. Silkworm Rearing. Science Publisher Inc, U.S.A. Wang San, M. 1989. Silkworm Egg Production. FAO Agriculture Service Bulletin 3. FAO United Nation Rome, Italy.pp. 9-11. Widyarto, 2001. Keberhasilan Hidup Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) Pada Pakan Daun Gempol dan Keben di Lapang. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purwakarta [31 Agustus 2010]. http://www.pn8.co.id/pn8/index.php?option=comcontent&task=view&id=166&Itemi d=76 [15 September 2010].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Kabupaten Purwakarta Sumber : www.wikipedia.com
Lampiran 2. Foto Kandang, Alat Ukur dan Attacus atlas
Pembuatan Kandang
Kandang di Lokasi Tanpa Naungan
Kandang di Lokasi Dengan Naungan
Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran Suhu dan Kelembaban
Pengukuran Lebar Badan
Pengukuran Panjang Badan A. a
Telur yang Berjamur
Ulat yang Sehat
Penimbangan Bobot Badan A. a
Predator Semut Hitam
Ulat yang Terkena Penyakit
Ulat yang Gagal Molting
Proses Awal Pengokonan
Keluarnya Ngengat dari Kokon
Ulat dengan Molting Sempurna
Kokon yang Telah Tertutup
Penimbangan Bobot Badan
Lampiran 3. Sketsa Letak Kandang di Lokasi Tanpa Naungan dan Dengan Naungan
Lampiran 4. Panjang, Lebar, Bobot Badan dan Pertambahan Panjang, Lebar dan Bobot Badan Attacus Atlas. Rataan Panjang Badan A. atlas pada Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (mg)/Ekor Stadium
Lokasi Tanpa Naungan
Lokasi Adanya Naungan
Instar II
15,81±1,33
17,08±3,03
Instar III
27,74±3,48
27,90±0,96
Instar IV
43,09±4,14-47,54±2,82
42,66±2,38-53,44±1,13
Instar V
61,01±3,05-72,53±1,00
61,98± 4,00-72,03±2,15
Instar VI
84,62±2,54-117,43±1,30
87,01±1,41-113,94±0,83
Pertambahan Panjang Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (mm/hari) Stadium
Tanpa Naungan 2,72 ±1,05
Adanya Naungan 2,88 ± 0,28
KK Tanpa Naungan 38,60
KK Adanya Naungan 9,72
Instar II Instar III
3,6 ±0,78
3,60 ± 0,41
21,67
11,39
Instar IV
2,30 ±0,39
2,18 ± 0,21
16,95
9,63
Instar V
3,63 ±0,25
3,08 ± 0,12
6,89
3,89
Pertambahan Panjang Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (mm) Stadium
Tanpa Naungan 10,90 ± 4,22
Adanya Naungan 11,59 ± 1,11
KK Tanpa Naungan 38,71
KK Adanya Naungan 9,58
Instar II Instar III
16,03 ± 2,83
18,85 ± 6,04
17,65
32,04
Instar IV
26,75 ±6,31
26,16 ±2,54
23,59
9,71
Instar V
56,84 ± 4,15
49,32 ± 2,01
7,30
4,07
Persentase Pertambahan Panjang Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (%) Stadium
Tanpa Naungan 67,10 ± 25,99
Adanya Naungan 69,98 ± 7,54
KK Tanpa Naungan 38,73
KK Adanya Naungan 10,77
Instar II Instar III
55,76 ± 11,29
68,08 ± 24,16
20,25
35,49
Instar IV
61,71 ±17,46
57,83 ± 10,80
28,29
18,67
Instar V
94,19 ± 13,11
76,45 ± 5,32
13,92
6,96
Pertambahan Lebar Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (mm/hari) Stadium
Tanpa Naungan 0,22 ± 0,10
Adanya Naungan KK Tanpa Naungan 0,21 ± 0,11 45,45
KK Adanya Naungan 52,38
Instar II Instar III
0,89 ± 0,23
0,73 ± 0,36
25,84
49,31
Instar IV
0,44 ± 0,12
0,42 ± 0,12
27,27
28,57
Instar V
0,35 ± 0,09
0,24 ± 0,09
25,71
37,5
Pertambahan Lebar Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (mm/ekor) Stadium
Tanpa Naungan 0,91 ± 0,42
Adanya Naungan 0,86 ± 0,42
KK Tanpa Naungan 46,15
KK Adanya Naungan 48,84
Instar II Instar III
4,01 ± 1,37
3,77 ± 1,73
34,16
45,89
Instar IV
5,19 ± 1,64
5,09 ± 1,45
31,59
28,49
Instar V
5,53 ± 1,53
3,78 ± 1,46
27,67
38,62
Persentase Pertambahan Lebar Adanya Naungan (%)
Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan
Stadium
Tanpa Naungan
Instar II
14,94 ± 7,43
Adanya Naungan KK Tanpa Naungan 16,39 ± 8,62 49,73
KK Adanya Naungan 52,59
Instar III
57,45 ± 24,21
62,18 ± 27,87
42,14
44,82
Instar IV
48,20 ± 17,23
61,03 ± 28,50
35,75
46,69
Instar V
37,71 ± 11,79
30,49 ± 14,75
31,26
48,38
Pertambahan Bobot Badan Per Hari A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (g/hari)
Stadium
Tanpa Naungan 0,48 ±0,28
Adanya Naungan 0,20 ±0,07
KK Tanpa Naungan 58,33
KK Adanya Naungan 35,00
Instar II Instar III
0,72 ±0,33
0,37 ±0,10
45,83
27,03
Instar IV
0,81 ±0,21
0,40 ±0,18
25,92
45,00
Instar V
0,58 ±0,24
0,57 ±0,08
41,38
14,03
Pertambahan Bobot Badan Per Instar A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (g/ekor) Stadium
Tanpa Naungan 2,14 ±1,57
Adanya Naungan 0,80 ±0,27
KK Tanpa Naungan 73,36
KK Adanya Naungan 33,75
Instar II Instar III
3,41 ± 1,95
1,94 ±0,82
57,18
42,27
Instar IV
9,70 ±2,54
4,90 ±2,08
26,18
42,45
Instar V
8,63 ± 2,76
9,09 ±1,25
31,98
13,75
Persentase Pertambahan Bobot Badan A. atlas di Lokasi Tanpa Naungan dan Adanya Naungan (%) Stadium
Tanpa Naungan 53,78 ±29,19
Adanya Naungan 23,70 ± 8,67
KK Tanpa Naungan 54,28
KK Adanya Naungan 36,58
Instar II Instar III
73,43 ±55,70
48,21 ± 28,44
75,85
58,99
Instar IV
123,34 ± 47,68
87,25 ± 45,89
38,66
52,59
Instar V
71,25 ±49,80
49,80 ± 29,75
69.89
59,74
Lampiran 5. Rataan Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban di Kedua Lokasi. Rataan Intensitas Cahaya pada Pagi, Siang dan Sore di Kedua Lokasi Pagi
Siang
Sore
Adanya Naungan 3,13 3,13 3,56 3,81 5,69 3,86 7,51 7,81 10,32 10,43 12,11 15,32 17,14 22,80
Tanpa Naungan 11,60 12,10 17,10 19,30 21,50 33,80 33,90 37,95 38,60 39,65 45,60 46,50 53,60 54,80 58,10
Adanya Naungan 4,31 4,31 10,31 10,81 11,20 11,21 12,60 19,27 20,46 20,50 27,45 36,80 38,50 38,50
Tanpa Naungan 14,30 15,70 16,40 22,40 29,70 65,25 87,80 89,55 92,90 96,60 119,30 127,10 139,50 147,00 147,00
Adanya Naungan 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,15 0,15 0,19
Tanpa Naungan 0,02 0,03 0,07 0,07 0,07 0,14 0,15 0,17 0,17 0,17 0,31 0,41 1,59 1,88 2,31
9,04
34,94
19,02
80,70
0,08
0,504
Rataan Suhu pada Pagi, Siang dan Sore di Kedua Lokasi Pagi Adanya Naungan 24,50 24,50 24,60 24,60 24,90 25,30 25,45 25,50 25,80 26,00 26,70 27,10 28,40 30,50 30,80
Tanpa Naungan 25,30 25,30 25,30 25,50 25,60 26,50 26,75 26,85 27,05 27,50 30,10 30,10 30,30 31,80 32,20
26,31
27,74
Siang Adanya Tanpa Naungan Naungan 26,80 26,70 27,30 26,90 28,30 27,50 28,40 27,60 29,50 28,80 30,50 30,80 31,20 31,25 31,40 31,50 31,40 31,80 32,10 33,70 34,10 34,80 34,10 37,70 34,30 38,00 36,20 38,00 37,20 38,40 31,52
32,23
Sore Adanya Naungan 24,06 24,20 24,30 24,60 24,70 25,20 25,30 25,40 25,40 25,45 26,30 26,50 26,70 27,80 27,80
Tanpa Naungan 21,80 23,00 23,00 23,70 24,20 25,10 25,20 25,30 25,30 25,40 26,40 26,50 26,50 26,70 26,80
25,58
24,99
Rataan Intensitas Cahaya pada Pagi, Siang dan Sore di Kedua Lokasi Pagi Adanya Naungan 77,30 80,40 85,90 86,00 91,90 93,20 94,30 95,30 96,50 98,40 98,70 99,00 99,00
Tanpa Naungan 63,00 72,70 77,30 78,30 80,20 91,30 92,70 93,35 94,65 95,40 98,30 98,50 98,50 99,30 99,80
91,99
88,89
Siang Adanya Tanpa Naungan Naungan 49,60 50,60 55,90 53,30 56,50 55,20 56,50 56,20 67,45 59,50 67,80 64,80 70,50 65,20 72,75 65,75 76,50 65,80 78,60 67,15 78,60 78,10 80,30 78,10 81,50 78,60 81,30 83,30 68,65
66,86
Sore Adanya Naungan 83,00 84,90 85,50 87,20 91,80 92,30 92,60 93,40 98,00 98,00 98,20 98,30 98,50
Tanpa Naungan 85,40 86,50 87,30 87,90 89,00 91,80 91,85 92,05 92,70 93,20 98,20 98,30 98,30 98,60 98,80
92,44
92,66