AKTIVITAS ANTI-MIKROBIA KOKON Attacus atlas, L. ANTI-MICROBIAL ACTIVITY OF Attacus atlas’ COCOON Mukhlissul Faatih Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK
Penelitian untuk menguji daya anti mikrobia kokon Attacus atlas dilakukan
dengan menginokulasikan Aspergillus niger dan Bacillus subtilis pada media agar, kemudian diuji menggunakan metode agar difus. Hasil maserasi bubuk kokon dengan konsentrasi: 1,25%, 2,5%, 3,75%, dan 5% serta kontrol diteteskan ke dalam sumuran yang telah dibuat sebanyak 50ml, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Pada pengujian ini diamati pertumbuhan mikrobia dan zona penghambatannya. Pengujian lembaran dan bubuk kokon A atlas sebagai pembungkus dan bahan pengawet makanan dilakukan dengan membungkus makanan yang terbuat dari tepung beras murni tanpa bahan pengawet. Sebagai kontrol digunakan makanan uji yang sama sekali tidak dibungkus, dibungkus plastik, dibungkus kertas alumunium foil dan dibungkus kertas pembungkus kertas biasa. Analisa kualitatif dilakukan dengan mengamati lamanya penghambatan dan banyaknya genera morfologi koloni mikrobia yang tumbuh. Analisa kuantitatif didasarkan pada luasan penutupan mikrobia pada makanan uji. Hasil pengujian mikrobia tidak menghasilkan zone penghambatan, karena ekstrak kokon tidak dapat berdifusi ke dalam media agar. Sedangkan pada pengujian aplikasi diperoleh hasil bahwa makanan yang dibungkus dengan lembaran kokon yang ditaburi dengan bubuk kokon tidak ditumbuhi mikrobia serta tidak rusak bentuk fisiknya. Mikrobia tumbuh pada makanan yang dibungkus dengan bahan pembungkus plastik, kertas alumunium foil dan kertas pembungkus biasa. Hal ini disebabkan oleh konformasi amphipatik yang dimiliki serat sutera yang apabila berinteraksi dengan membran sel mikrobia akan mempengaruhi permeabilitasnya. Hal ini menyebabkan daya difusi maupun osmosisnya terganggu yang pada akhirnya akan mengganggu metabolisme mikrobia. Kata kunci: daya anti-mikrobia, kokon, Attacus atlas, L. Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
35
ABSTRACT
One of natural materials which potentially can change the chemical preserva-
tives is the external shapes of Attacus atlas silk-worm cocoon. The aim of this research is to know the anti-microbial activity of A. atlas cocoon. Aspergillus flavus, Aspergillus niger and Bacillus subtilis were inoculated, then tested with agarose difussion method. The cocoon powder with concentration: 1,25%, 2,5%, 3,75%, 5% and 0% (control) dripped into the hole. Then incubated during 48 hours at temperature 370C. This examination was perceived by observing the growth of microbes and the its resistance zone. The sheet as a packer and powder of A. atlas cocoon as a food preservative conducted with no-preservatives foods. As control used a test food which is un-wrapped, wrapped by a plastic, wrapped by paper of alumunium foil and wrapped by a ordinary packer paper. Qualitative analysist was conducted by perceiving the number of genera of microbe colonies. The result are, the resistance zone of cocoon powder. The microbes were not grow in the wrapped food with the cocoon sheet and scattered with cocoon powder. They did not destroy its physical form compared with plastic wrappings, paper of alumunium foil and ordinary packer paper. If amphipatic conformation of silk fibre has interaction with the microbe’s membrane cell will influence its permeability. Finaly it will causing disturbance of microbe metabolism. Keywords: anti-microbial activity, cocoon, Attacus atlas, L. PENDAHULUAN Bahan anti mikrobia adalah komponen alam semi sintetis atau sintetis yang mengganggu metabolisme dan menghambat pertumbuhan atau membunuh mikrobia. Bahan anti bakteri dapat berupa senyawa kimia sintesis atau senyawa yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, ataupun bahan-bahan kimiawi seperti phenol dan persenyawaan fenolat, alkohol, halogen, logam berat dan persenyawaannya, detergent, aldehid, kemosterilisator gas dan sebagainya (Hoeprich, 1992; Sulistio et al., 1987; Pelezar &Chan, 1988) Sebagai kelanjutan dari penelitian terdahulu mengenai pemanfaatan limbah kokon sutera, pada penelitian ini dilanjutkan dari mulai pengujian daya antibakteri dari kokon sampai menjadi bahan pengawet alami makanan yang tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, tidak berbau, tidak berasa, di samping tetap menimbulkan selera bagi konsumen. Bagian terluar dari kokon ulat sutera liar Attacu. atlas yang tidak dimanfaatkan sebagai bahan sutera mem36
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
punyai potensi menghambat proliferasi bakteri dan jamur. Dilihat dari tingkat kekerabatan yang cukup dekat, yaitu masih dalam satu familia dengan Antheraea pernyi dan Samia cinthia ricini. Pada penelitian sebelumnya, A. pernyi dan S. cinthia ricini menunjukkan adanya kemampuan menghambat proliferasi bakteri. Semakin meningkatnya dampak negatif yang timbul pada kesehatan manusia yang diakibatkan karena terlalu banyak mengkonsumsi bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet makanan telah mendorong banyak pihak untuk mencari alternatif bahan pengawet yang lebih sehat. Beberapa jenis bahan alami telah diteliti, namun demikian masih sangat sedikit yang layak dipergunakan karena sebagian besar bahan alternatif tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan bau, rasa, dan selera. Salah satu bahan alami yang mungkin dapat diharapkan sebagai alternatif yang cukup potensial untuk mengganti bahan pengawet kimia makanan adalah bagian terluar dari kokon/kepompong yang dihasilkan oleh ulat sutera liar Attacus atlas. Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. Attacus atlas L. merupakan salah satu penghasil bahan sutera yang dapat dimanfaatkan untuk industri sebagaimana anggota genus Attacus lainnya. A. atlas adalah jenis kupu-kupu yang berukuran besar, warna cokelat kelabu, panjang sayap terentang pada jenis jantan 13 – 15 cm dan pada jenis betina 18 – 20 cm. Kepompong berwarna cokelat kelabu, panjang 8 – 9 cm serta lebarnya 3 – 4 cm (Kalshoven, 1981). Kedudukan A. atlas dalam klasifikasinya menurut Peigler (1989) adalah : Phylum: Arthropoda; Classis: Insecta; Subclasssis: Pterygota; Divisio: Endopterygota; Ordo: Lepidoptera; Sub Ordo: Ditrysia; Super Familia: Bombycoidea; Familia: Saturniidae; Sub Familia: Saturniinae; Genus: Attacus; Species: Attacus atlas L. A atlas adalah jenis kupu-kupu yang berukuran besar, warna cokelat kelabu, panjang sayap terentang pada jenis jantan 13-15 cm dan pada jenis betina 18-20 cm. kepompong berwarna cokelat kelabu, panjang 8-9 cm serta lebarnya 3-4 cm (Kalshoven, 1981). Larva Attacus atlas L. menghasilkan kokon berwarna cokleat kusam. Lapisan pertama bagian terluar adalah lembaran daun kering yang digunakan untuk menempel pada batang atau tangkai tanaman bagian ini mudah dilepas, lapisan kedua adalah selapis tipis rangkaian serat. Lapisan ketiga adalah lapisan keras yang terdiri dari rajutan sutera yang padat dan kompak. Komposisi, Sifat, dan Struktur Serat Kokon Sutera Komposisi serat kokon sutera secara umum terdiri atas protein sutera yang meliputi fibroin dan serisin. Fibroin yang terkandung dalam serat sutera sebesar Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
37
70 – 80%, sedangkan serisin sebesar 20-30%. Unsur yang lainnya adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi serat kokon sutera Bombyx mori Komposisi
Kandungan (%)
Fibroin
70 – 80
Serisin
20 – 30
Materi lilin
0,4 – 0,8
Karbohidrat
1,2 – 1,5
Pigmen
0,2 (approx)
Bahan anorganik
0,7 (approx.)
(Rui, 1997) Fibroin dan serisin ini tersusun oleh asam amino yang dibedakan menjadi 3 macam residu asam amino berdasarkan daya adaptasi terhadap air. Ketiga jenis asam amino tersebut adalah asam amino rantai hidrofobik, rantai agak hidrofobik dan rantai hidrofilik. Asam amino utama penyusun fibroin adalah glisin, alanin, serin, dan tirosin. Sedangkan serisin terdiri atas sejumlah besar serin, asam aspartat, asam glutamat. Serisin terdiri atas lebih dari 70% asam amino hidrofilik, asam amino hidrofobik kurang dari 20%. Sebaliknya fibroin terdiri atas asam amino hidrofilik sekitar 18% dan asam amino hidrofobik lebih dari 78%. Hal tersebut mempengaruhi sifat kimia serat kokon, terutama kelarutannya. Serisin akan lebih mudah larut dalam air dibandingkan fibroin (Gui, 1997). Sebagai bahan tekstil sutera yang berasal dari sutera liar memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimilki oleh bahan sutera lain. yaitu serat sutera yang diperoleh lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas, dan anti bakteri (Akai, 1997). Pengawet Makanan Bahan pangan merupakan materi yang mudah rusak (perishable). Dengan sifat yang mudah rusak, maka bahan pangan mempunyai masa simpan yang terbatas. Bermacam-macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang marketable life komoditas hasil pertanian dan 38
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
bahan pangan. Diantaranya adalah pengeringan, pembekuan, iradiasi dan penggunaan bahan pengawet. Tujuan pengawetan pangan adalah untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan pangan, mempertahankan kualitas bahan, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan serta penyimpanan. Bahan pangan yang awet mempunyai nilai yang lebih tinggi karena terjadinya kerusakan dapat diperkecil. Namun demikian metode pengawetan tidak selalu dapat mempertahankan kualitas asal bahan pangan atau kandungan gizi dari komoditas yang diawetkan. Pada umumnya bahan makanan terdiri atas protein, karbohidrat dan lemak, karena itu bahan makanan merupakan subsrat bagi pertumbuhan mikrobia. Populasi mikrobia yang tumbuh diatas atau didalam bahan makanan terdiri atas bakteri, jamur, disamping itu sering pula terdapat hewan-hewan kecil (Juntono et al., 1971). Pertumbuhan mikrobia dalam bahan makanan menyebabkan perubahan yang bersifat kimia maupun fisika. Misalnya konsistensi bahan makanan dapat berubah dari padat menjadi lunak atau cair, terjadinya aroma tertentu, terjadinya pembentukan serta terbentuknya racun-racun tertentu (Juntono et al., 1971). Kokon ulat sutera diketahui memilki bahan anti mikrobia, menurut Akai (1997) kokon ulat sutera liar yang telah diketahui memiliki daya anti mikrobia yaitu dari Antheraea mylitta yang masih satu familia dengan Attacus atlas L, telah menunjukkan kemampuan penghambatan pertumbuhan jamur pada makanan yang dibungkus atau ditaburi dengan bubuk kokon atau potongan benang A. mylitta dan Bombyx mori. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya anti mikrobia bubuk dari bagian terluar kokon Attacus atlas L. Lalu di aplikasikan dalam upaya mencegah pertumbuhan mikrobia perusak makanan. Melalui penelitian ini diharapkan pemanfaatan sutera A. atlas khususnya bagian kokon akan lebih optimal karena bagian terluar dari kokon yang selama ini kurang dimanfaatkan dapat didayagunakan untuk dibuat menjadi pembungkus makanan yang menarik, awet, ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan. METODE PENELITIAN Bahan uji kokon Attacus atlas L yaitu cairan uji coba diperoleh dengan teknik maserasi, bubuk bagian terluar kokon dihancurkan dengan grinder sampai menjadi bubuk halus, sedangkan lembaran kokon (bagian terluar) diperoleh dengan pengepresan kertas. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan untuk konsentrasi bubuk kokon ditambah 1 kontrol dan 3 ulangan untuk uji anti mikrobia. Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
39
Untuk mengetahui daya anti mikrobia, digunakan 3 spesies mikrobia uji yaitu, Aspergillus flavus, Aspergillus niger dan Bacillus subtilis yang diperoleh dari suspensi biakan murni laboratorium bioteknologi, jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, fakultas Teknologi Pertanian UGM. Pengujian daya anti mikrobia dilakukan dengan inokulasi mikrobia pada media agar memakai metode agar difus dengan sumuran (Davidson et al.,1994). Hasil maserasi bubuk kokon dengan konsentrasi 1,25%, 2,5%, 3,75% dan 5% dan kontrol diteteskan kedalam lubang sumuran sebanyak 50 µ l. Biakan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Uji mikrobiologis dilakukan dengan mengukur luas zona penghambatan. Diameter zona penghambatan terbentuk dicari luasnya dengan rumus: L: phix2+0,5 phix keterangan: L = luas zona penghambatan phi = 3,14 x = diameter zona penghambatan Kemudian luas zona penghambatan yang diperoleh dibandingkan dengan luas Petri dish. Dengan rumus, Luas Zona Penghambatan/Luas Petridish x 100% Data yang menunjukkan efektifitas bubuk kokon A. atlas sebagai bahan anti mikrobia terhadap ketiga jenis mikrobia dianalisis dengan Anova dan diteruskan dengan DMRT dengan taraf p lebih kecil dari 0,05%. Pengujian lembaran dan bubuk kokon A. atlas murni sebagai pembungkus dan bahan pengawet makanan dilakukan dengan membungkus makanan yang terbuat dari tepung beras murni tanpa bahan pengawet. Sebagai kontrol digunakan makanan uji yang sama tanpa plastik, dibungkus plastik, dibungkus aluminium foil, dan dibungkus kertas. Pertumbuhan mikrobia dari setiap uji dicatat setiap hari dengan membandingkan lamanya penghambatan, jumlah dan besar koloni serta banyaknya genera yang tumbuh sampai pada hari pengamatan terakhir. Analisa dilakukan secara kualitatif berdasarkan lamanya penghambatan dan banyaknya genera dari pengamatan morfologi koloni bakteri yang muncul. Analisa secara kuantitatif didasarkan pada luasan penutupan mikrobia pada makanan uji. Analisa statistik zona penghambatan pada uji mikrobiologis bahan anti mikrobia terhadap ketiga jenis mikrobia dilakukan dengan uji Anova. Analisa daya antibakteri pada pembungkus bahan makanan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan lamanya penghambatan dan luasan penutupan mikrobia pada makanan uji. 40
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji-anti Mikrobia Ekstrak Bubuk Kokon Attacus atlas L. Uji daya anti mikrobia ekstrak bubuk kokon A. atlas dilakukan dengan menggunakan metode difusi secara sumuran, karena metode difusi merupakan metode umum yang praktis, cepat dalam pembacaan hasil mudah dan murah, sehingga cocok untuk digunakan didalam penelitian pendahuluan, walaupun pada metode difusi tersebut kadar bunuh minimal tidak dapat ditentukan, sehingga hasil yang dapat dilihat bersifat kualitatif saja. Suspensi mikrobia dengan konsentrsi 103 CFU/ml diinokulasikan ke dalam medium NA (untuk B. subtilis) dan SDAY (untuk A. flavus dan A. niger) dalam petridish yang masih cair (kurang lebih pada 50------oC) sambil digoyang-goyang supaya suspensi dapat tercampur rata. Pada media tersebut kemudian dibuat sumuran dengan diameter 6 mm sebanyak 3 buah untuk setiap konsentrasi dari media uji. Lalu sumuran ditetesi dengan ekstrak bubuk kokon sebanyak 50l dengan konsentrasi 1,25%, 2,5%, 3,75% dan 5% serta larutan kontrol untuk masing-masing mikrobia uji. Daya anti mikrobia diukur berdasarkan diameter zona radial dan perkembangan mikrobia disekitar sumuran. Tabel 1. Hasil Uji Mikrobiologis Bubuk Kokon Terluar A. atlas Berdasarkan Diameter Zona Penghambatan Setelah Masa Inkubasi 2 x 24 Jam No species 1 2 3
A. niger A. flavus B. subtilis
Konsentrasi ekstrak bubuk kokon A. atlas (mm) 1,25% 2,5% 3,75% 5% Kontrol 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-) 122,46 (-)
keterangan: (-) : tidak terbentuk adanya zona penghambatan disekitar sumuran Data hasil pengujian tidak menunjukkan beda nyata.
Dari tabel di atas terlihat bahwa ekstrak serbuk kokon sutera liar A. atlas tidak menunjukkan adanya zona penghambatan dari pertumbuhan B. subtilis, A. flavus dan A. niger setelah masa inkubasi 2 x 24 jam pada seluruh hasil pengujian (tidak berbeda nyata). Hal ini disamping disebabkan sangat sedikitnya ekstrak uji yang diperoleh dari hasil maserasi yaitu kurang lebih hanya 10 ml dari 30 gr bubuk kokon dalam 600 ml ethanol sehingga untuk pengujiannya hanya dilakukan dengan konsentrasi rendah, juga disebabkan karena ekstrak yang diperoleh beberapa larutan dengan syarat-syarat halus tersebut sebagian Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
41
besar tersusun oleh protein fibroin yang mempunyai sifat hidrofobik meupun hidrofilik dimana sifat hidrofobiknya jauh lebih besar dibandingkan sifat hidrofilik, sehingga sulit terdifusi dalam agar. Dengan demikian walaupun dibuat dalam berbagai konsentrasi ekstrak, tidak akan terbentuk adanya zona penghambatan disekitar sumuran. Meski demikian mikrobia dipastikan tidak tumbuh di dalam sumuran. Disini terjadi suatu proses penghambatan pertumbuhan mikrobia. Penghambatan ini disebabkan karena serat sutera merupakan protein serabut dengan sifat semi hidrofiliknya dengan struktur konformasi amphibolik haliks. Konformasi tersebut apabila kontak langsung dengan membran sel bakteri akan menyebabkan fungsi sistem membran sel mikrobia akan terganggu karena sifat amphiboliks yang akan mengganggu proses osmosis meupun difusi pada membran sel mikrobia tersebut. Uji selanjutnya adalah uji fisik yang merupakan uji apilikasi bubuk kokon dan kokon bagian luar yang dibuat lembaran seperti kertas yang digunakan untuk membungkus mekanan uji. Pengujian dilakukan dengan membandingkan pengaruh penghambatan mikrobia yang tumbuh pada makanan uji yang dibungkus kokon lembaran dan bubuk A. atlas dengan yang tidak dibungkus dengan aluminium foil, dibungkus dengan plastik, dan dibungkus dengan kertas. adapun hasil dari uji perlakuan secara fisik ini dijelaskan pada tabel 2. sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Uji Aplikasi Kokon dan Lembaran Bagian Terluar dari Kokon A. atlas Dibandingkan dengan Beberapa Pembungkus Makanan yang Lain
No 1 2 3 4 5 6
Jenis pembung
Tidak dibungkus Alumunium foil Plastik Kertas pembungk Taburan bubuk k Lembaran kokon
Keterangan: * : Koloni kecil + : koloni besar
42
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
Pada hari ke-1 setelah perlakuan semua makanan uji mempunyai potensi yang sama untuk ditumbuhi mikrobia. Hal ini didasarkan pada cara memasak (pengukusan), Penyimpanan sampai cara perlakuan pada waktu pengujian. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap makanan uji yang tidak dibungkus (kontrol) sejak hari-1 sampai hari ke-4 setelah perlakuan menunjukkan pertumbuhan mikrobia yang lebih banyak dari pada makanan uji yang dibungkus lainnya. Pertumbuhan mikrobia didominasi oleh Aspergillus spp. Pertumbuhan yang baik disebabkan sebagian besar faktor kehidupan dari mikrobia pada makanan sebagai mikrobia pada makanan sebagai media tumbuhnya terpenuhi (suhu yang optimum, nutrisi yang tersedia, kondisi kelembaban ruang yang mendukung dan beberapa faktor pendukung lain). Disamping itu karena tidak ada pelindung yang mampu mengurangi atau menghambat kontaminasi dari lingkungan disekitarnya, sehingga memungkinkan mikrobia perusak makanan dalam jumlah banyak baik jenis maupun populasinya dapat tumbuh dengan baik. Pada perlakuan dengan menggunakan pembungkus alumunium foil pertumbuhan mukroba sudah mulai terlibat pada hari ke-1 setelah perlakuan meningkat sampai pada hari terakhir pengamatan. Pertumbuhan mikrobia pada hari ke-1 setelah pengamatan ditunjukkan oleh adanya koloni bakteri yang membentuk spot seperti lendir pada tepi makanan uji, yang kemidian diikuti dengan pertumbuhan mikrobia jenis lain sampai akhirnya terdapat sedikitnya 8 spesies mikrobia yang tumbuh pada makanan uji pada hari terakhir pengamatan. Pertumbuhan mikrobia tersebut sampai hari ke-4 setelah pengujian didominasi oleh Rhizopus spp. Dan Aspergilus spp. Species mikrobia dibedakan berdasarkan perbedaan morfologi koloni mikrobia. Pertumbuhan mikrobia pada makanan yang dibungkus dengan alumunium foil dapat berlangsung dengan baik. Disebabkan karena sifat alumunium foil yang sangat rapat dan kedap air yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerap air yang berada di sekitarnya (dalam hal ini makanan yang dibungkus) sehingga kondisi kelembaban pada makanan yang dibungkus cukup baik untuk pertumbuhan mikrobia. Disamping suhu dan pH lingkungan yang terjaga serta nutrisi yang tersedia cukup. Walaupun demikian alumunium foil memiliki daya oligodinamik karena berbahan dasar logam yang sebenarnya berpotensi menghambat perumbuhan mikrobia terutama bakteri. Pada pengujian dengan mengunakan pembungkus plastik menunjukkan pertumbuhan yang tidak jauh berbeda dengan pengujian yang menggunakan pembungkus alumunium foil. Hal ini disebabkan sifat plastik sebagai pembungkus yang sama dengan alumunium foil, yaitu sangat rapat dan kedap air yang mengakibatkan uap air pada makanan uji tidak dapat keluar sehingga menimbulkan kondensasi. Kondensasi yang terjadi dapat meningkatkan kelembaban bahan Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
43
makanan sehingga mikrobia tumbuh dengan baik. Pengujian dengan menggunakan pembungkus kertas menunjukkan pertumbuhan mikrobia yang relatif lebih lambat dibandingkan pertumbuhan mikrobia pada makanan yang dibungkus dengan plastik dan alumunium foil. Hal ini disebabkan oleh sifat higroskopis kertas yang mampu menyerap air dari makanan yang akhirnya akan lepas ke udara sekitar melawati pori-pori kertas karena kadar uap air udara lebih rendah dari pada kertas pembungkus. Dibandingkan dengan pembungkus sebelumnya yang merupakan bahan pembanding menunjukkan bahwa bubuk kokon dan lembaran kokon A atlas yang dipergunakan sebagai bahan pembungkus mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikrobia yang lebih baik dalam jangka waktu yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan pertumbuhan mikrobia yang baru terlihat pada hari ke-3 untuk makanan uji yang dibungkus dengan bubuk kokon pada hari ke-4 untuk makanan yang dibungkus dengan menggunakan kokon lembaran. Pada pengujian dengan menggunakan taburan bubuk kokon A atlas, mikrobia terhambat pertumbuhannya sampai hari ke-2 dan mulai tumbuh pada hari ke-3 setelah perlakuan. Hal ini dikarenakan bubuk kokon sukar untuk ditaburkan secara merata, sehingga ada bagian yang berupa celahcelah yang tidak terlindungi oleh bubuk kokon tumbuhi mikrobia lebih cepat. Hasil uji aplikasi menggunakan pembungkus lembaran kokon mampu memberikan gambaran adanya peranan struktural sebagai pelindung juga mempunyai sifat hidrofilik disamping sifat hidrofobiknya (sifat amphipatik), Sifat ini sama seperti sifat yang dimiliki oleh cecaprin yang merupakan protein antibakteri yang dikenal mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada haemolymph Antheraen pernyi. Konformasi amphipatik tersebut apabila bereaksi dengan membran sel bakteri akan mempengaruhi permeabilitas membran yang menyebabkan difusi maupun osmosisnya terganggu yang pada akhirnya akan mengganggu metabolisme bakteri. Pada hari ke-3 setelah perlakuan mikrobia mulai terlihat pertumbuhannya, hal ini disebabkan karena sifat serat yang dapat jenuh sehingga kemampuan amphipatik menjadi menurun yang berarti penghambatan terhadap mikrobia menjadi berkurang. Pada pengujian dengan menggunakan lembaran kokon, pertumbuhan baru dapat dilihat setelah hari ke-4. Mekanisme penghambatannya sebenarnya sama seperti pada bubuk kokon, hanya saja pada kokon yang berbentuk lembaran. Selain komponen utama fibroin, juga terdapat protein yang lain yaitu p25 dan serisin. Serisin merupakan protein serat sutera yang menyelubungi permukaan fibroin, dengan sifatnya yang amphipatik disamping mampu memberikan hambatan yang lebih besar, juga mampu memberikan proteksi yang lebih baik terhadap pengaruh lingkungan sehingga mikrobia tidak cepat tumbuh. 44
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
Potensi Kokon A. atlas sebagai Bahan Pengemas Makanan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfologi makanan yang dibungkus dengan bubuk kokon dan lembaran kokon terlihat lebih baik dibandingkan dengan morfologi makanan yang dibungkus dengan bahan lain. Dengan dibungkus lembaran kokon maupun bubuk kokon, tekstur makanan tidak berubah sebelum dan setelah perlakuan. Kekerasan makanan yang dibungkus dengan kokon dan bubuk kokon juga menunjukkan kekerasan yang cukup baik. Walaupun makanan setelah dibungkus dengan dengan bubuk kokon maupun lembaran kokon lebih keras dari keadaan semula, namun kekerasannya masih di antara kekerasan makanan yang dibungkus plastik dan aluminium foil yang dibungkus kertas dan tidak dibungkus (kontrol). Di masyarakat, plastik aluminium foil maupun kertas telah lama dikenal dan dipilih sebagai bahan pengemas berbagai jenis makanan. Hal itu disebabkan bahan-bahan pengemas tersebut mudah diperoleh, di samping harganya murah. Plastik dikenal sebagai bahan pengemas yang paling umum karena harganya yang murah, mudah diperoleh dan praktis, selain itu plastik merupakan pembungkus yang transparan, sehingga makanan yang terbungkus di dalamnya dapat terlihat. Plastik juga mampu menjaga kekenyalan bahan makanan basah dan kerenyahan bahan makanan kering karena strukturnya yang kedap air dan elastis. Meskipun demikian plastik juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu non biodegradable yaitu suatu bahan yang sukar diurai di alam. Plastik juga dikhawatirkan akan menimbulkan racun pada makanan/bahan makanan karena adanya bahan-bahan tambahan plasticizer, antioksidan, stabilisator panas dan cahaya. Berbeda dengan plastik dan kertas, aluminium foil dapat dikatakan sebagai bahan pengemas yang lebih baik. Hal ini didukung oleh permeabilitas yang sangat rendah terhadap air dan gas, tidak beracun, mampu mempertahankan suhu optimum dalam bungkus, ringan dan dapat didaur ulang bersama-sama dengan bahan logam lainnya. Meski demikian aluminium foil sampai sekarang masih kurang umum digunakan masyarakat, terutama masyarakat desa, karena selain harganya lebih mahal dibanding kertas dan plastik, aluminium foil juga kurang mudah diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibandingkan dengan bahan pengemas yang telah umum lainnya, kokon bagian terluar dari ulat sutera liar A. atlas berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengemas makanan khususnya makanan setengah basah. Kondisi ini didukung dengan sifat bahannya yang biodegradable, memiliki permeabilitas yang rendah terhadap air, tidak reaktif terhadap bahan kimia, tahan terhadap keasaman dan alkalinitas serta tahan terhadap pengaruh agen oksidasi, murah karena dapat diperoleh di Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
45
alam, terutama di Indonesia. Hanya saja bahan pembungkus makanan yang berasal dari kokon lebih baik bersifat lembaran, dan tidak berupa bubuk. Dilihat dari segi estetika makanan yang diselubungi dengan bubuk dipandang kurang menarik dan tidak menarik, tetapi sebaliknya makanan yang dibungkus dengan lembaran kokon justru lebih menarik karena juga didukung tekstur serat lembaran yang indah. Dari hasil tersebut didapat pemikiran bahwa kokon limbah bisa dijadikan suatu pola usaha yang baru, yaitu sebagai bahan pengawet atau pengemas makanan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1993 sudah mulai dicanangkan kokon wasted sebagai bahan untuk handicraft. Selanjutnya kokon wasted (limbah) menjadi industri benang spunsilk dan tidak termasuk ke industri benang dan kain. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Bubuk kokon dan lembaran kokon A. altas mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikrobia perusak makanan. 2. Hasil pengujian mikrobiologis tidak menunjukkan adanya zone penghambatan disebabkan sifat-sifat hidrofobik yang lebih besar dari hidrofilik dari ekstrak serat sehingga tidak dapat berdifusi ke media agar. 3. Lembaran kokon dapat digunakan sebagai alternatif pembungkus makanan yang lebih menarik, awet, ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi manusia. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metode mikrobiologis yang lebih tepat sehingga dapat diperoleh senyawa aktif yang mampu menghambat pertumbuhan mikrobia. DAFTAR PUSTAKA Akal, H., 1997. Anti-bacteria Function of Natural Silk Materals. Int. Journal Wild Silkmoth & Silk 3, Japan. p. 79-81. Ballesteros, S.A., Chirife, J., and Bazzini, J.P., 1992. Anti-bacterial Effects and Cell Morphological Changes in Staphylococcus aureus Subjected to Low Ethanol Concentration. J. Food Sci. 58(2). p. 435-438. 46
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48
Donatus, L.A., D. Makhfoeld. 1994. Toksin Pangan. PAU Pangan & Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Engstrom, Y. 1992. Insect Immune Systems. 7, 125-131 In. J.M. Crampton & P. Eglesson, ed. Insect Molecular Science. Royal Enthomological Society of London. 12-13 Sept 1991. England. Hoeprich, P.D. 1992. Antifungal Agents in Encyclopedia of Mikrobiologiy. vol. 1. Academic Press Inc, hal. 107. Hyrabayashi, K., M. Aral, K. Chen, Z.H. Ayub, S. Terauchi, H. Akal. 1994. Tusser Silk Food and Its Functionality (Abstract). Second International Conference on Wild Silkmoths, Nagano, Japan. Jawetz, E. 1958. Review of Medical Microbiology. Third edition. Lange Medical Publication Los Altos, California. hal. 147. Joetono, J. Soedarsono, Sri Hartadi, S. Kabirun, Suhadi D., Soesanto. 1971. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Departemen Mikrobiologi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jolly, M.S., S.K. Sen, T.N. Sonwalkar, G.K. Prasad. 1979. Non-mulberry Silks. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Kalshoven, L. G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translated by P. A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta. Kamarijani, S. 1990. Dasar-dasar Pengemasan. PAU Pangan & Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kobayashi, K. C. Nashuno, M. Fukushimo, L Shiobara, and M. Kodena. 1988. Anti Bacterial Activity of Pisiferic Acid and its Derivates Against Gram Negatif and Gram Positif Bacteria. J. Agr. Biol. Chem. 52 (I); p. 77-83. Lehninger, A. L. 1990. Dasar-dasar Biokimia (Jilid 1). (Terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta. Marwan, A. G. and C. W. Nagel. 1986. Microbial Inhibators Of Cranberries. J. Food Sci. 5 (4); 1009-1013. Minglan, J.,Zhong, Westian. 1994. Studies on Artificial Cultural of Cordceps Militaris with Tussah Pupa (Abstract). Second International Conference On Wid Sikhmoths, Nagano, Japan. Nagoshi, Y. A. Haga, M. Becker, and J. Nagoshi. 1984. New Methods for The production of Spun Wild Silk for Dress (Abstract). Second International Conference On Wid Sikhmoths, Nagano, Japan. Aktivitas Anti-Mikrobia Kokon Attacus atlas, L (Mukhlissul Faatih)
47
Parish, M. E. P. M. Davidson, 1994. Methods For Evaluation. In. P. M. Davidson, A. L, Branen, ed. Antimicrobials in Foods. Marchels Dekker. Inc. USA. Peigler, R.S. 1989. Revision of the Indo-Australian genus Attacus. The Lepidopteran Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California. Pelezar, M. J. E. C. S. Chon, 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit UI. Jakarta. Hal 447-458. Phongpaichit, S.., E. F. Scheneider, J. T. 1993. Inhibator of Fungal Growth By an Aqueous Extract from Leaves of Moesa Ramentacca. J. Biochem, Sys. and Ecol. 2 (1); 17-25. Ristanto. 1989. Kursus Singkat Fisiologi Bakteri. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal. 24-27. Rui, H. G. 1997. Silk reeling (Cocoon Silk Study). Science publisher Inc, USA. Xiao Song. 1975. A. Study of Solubility Rate of Sericin, its Structure & Characteristic. Japan Silkworm Test Centre Report. 26 (3): 135-256. In Huang Gui Rui. 1997. Silk Reeling (Silk Cocoan Study). Science Publisher, USA.
48
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 6, No. 1, 2005: 35 - 48