HAMA PENGGULUNG DAUN PISANG Erionota thrax Linnaeus (LEPIDOPTERA: HESPERIDAE) DAN MUSUH ALAMINYA DI TEMPAT-TEMPAT DENGAN KETINGGIAN BERBEDA
Oleh: FATMA NOVIANTI A44103026
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK
FATMA NOVIANTI. Hama Penggulung Daun Pisang Erionota thrax Linnaeus (Lepidoptera: Hesperidae) dan Musuh Alaminya di Tempattempat dengan Ketinggian Berbeda. Dibimbing oleh PUDJIANTO. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat serangan hama Erionota thrax pada tanaman pisang di tempat yang ketinggiannya berbeda dan mengetahui jenis-jenis musuh alaminya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang ada tidaknya perbedaan serangan hama penggulung daun pisang di tempat-tempat yang ketinggiannya berbeda dan mengetahui peran musuh alaminya dalam mengatur populasi hama tersebut di lapangan. Penelitian ini dilakukan di empat kecamatan yaitu Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang serta di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari pertengahan bulan Februari sampai bulan Juni 2007. Dari setiap kecamatan, ditentukan delapan lokasi sebagai titik pengamatan. Dari setiap lokasi diamati tanaman pisang sebanyak 40 tanaman. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat wilayah (kecamatan) sebagai perlakuan dan delapan lokasi sebagai ulangan. Data diolah dengan menggunakan program SAS versi 6.12 dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%. Secara umum, tingkat serangan E. thrax di empat wilayah pengamatan mempunyai kecenderungan yang hampir sama. Tingkat serangan E. thrax di empat kecamatan selama 8 kali pengamatan berfluktuasi. Serangan E. thrax cenderung lebih tinggi di dataran rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi. Jenis pisang yang paling banyak terserang E. thrax di Kecamatan Ciampea dan Cisarua adalah pisang raja, sedangkan di Kecamatan Cipanas dan Cugenang adalah pisang ambon dan pisang nangka. Jenis parasitoid telur yang muncul berasal dari famili Encyrtidae dan Eulophidae, dan ditemukan menyebar di empat kecamatan. Parasitoid larva dari famili Braconidae dan Ichneumonidae tersebar di empat kecamatan, sedangkan parasitoid larva dari famili Tachnidae hanya ditemukan di Kecamatan Ciampea dan Cugenang. Selain itu, ditemukan pula hiperparasitoid dari famili Eulophidae dan Eurytomidae. Hiperparasitoid ini hanya ditemukan di tiga kecamatan yaitu Ciampea, Cisarua, dan Cipanas. Parasitoid pupa dari famili Chalcididae dan Ichneumonidae ditemukan menyebar di empat kecamatan. Parasitoid hama penggulung daun pisang, baik parasitoid telur, larva maupun pupa, lebih sering ditemukan di dataran rendah (Ciampea) yang serangan hama penggulung daunnya tinggi dibandingkan dengan di daerah yang lebih tinggi (Cisarua, Cugenang dan Cipanas).
HAMA PENGGULUNG DAUN PISANG Erionota thrax Linnaeus (LEPIDOPTERA: HESPERIDAE) DAN MUSUH ALAMINYA DI TEMPAT-TEMPAT DENGAN KETINGGIAN BERBEDA Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Oleh: Fatma Novianti A44103026
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Penelitian
: Hama Penggulung Daun Pisang Erionota thrax Linnaeus (Lepidoptera: Hesperidae) dan Musuh Alaminya di Tempat-tempat dengan Ketinggian Berbeda.
Nama Mahasiswa
: Fatma Novianti
NRP
: A44103026
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Pudjianto, MS. NIP. 131 475 578
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 November 1984, anak dari pasangan Budi Marhaeni dan Hari Kusumayati. Penulis merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah di Sekolah Dasar Negeri 2 Ciputat, SLTP Negeri 87 Jakarta dan SMU Negeri 2 Ciputat. Penulis diterima di IPB pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan terdaftar menjadi mahasiswa program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Pangan semester genap 2006-2007.
PRAKATA Alhamdulillah wa syukurillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, kasih sayang, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul ‘Hama Penggulung Daun Pisang Erionota thrax Linnaeus (Lepidoptera: Hesperidae) dan Musuh Alaminya di Tempat-tempat dengan Ketinggian Berbeda’. Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi antara lain: 1. Bapak Dr. Ir. Pudjianto, MS. yang telah membimbing dengan penuh ketekunan dan kesabaran serta pengarahan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, Msc.Agr. sebagai penguji tamu yang memberikan pengarahan kepada penulis. 3. Kedua orang tua dan keempat adik penulis Wishnu, Intan, Raka, dan Rangga atas kasih sayang yang tulus dan tanpa henti kepada penulis. 4. Muhamad Astrid atas ketulusan, kesabaran dan dukungannya kepada penulis. 5. Sahabatku Eneng Rina Agustina atas semangat dan dukungannya kepada penulis. 6. Teman-teman Ass-syaf ” Mega, Melly, Petit, Muzi, Rifa, Devi, Kurnia, Romi, Ai, Uji, Mba Indri, Mba Weni, Bety, Tantri, Mike dan Yuke atas bantuan dan dukungannya. 7. Seluruh anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator (Pak Slamet, Mba Atiek, Mba Nita, Pak Ucup, Mba Adha, Mba Lis, Ka Heri, Mas Jalu, Mas Bandung, dan rekan sepenelitian Ka Walu) atas bantuannya. 8. Departemen Proteksi Tanaman, staf dan dosen yang telah membantu baik selama pelaksanaan skripsi maupun sebelumnya. Dan pihak-pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan terima kasih. 9. Sahabat-sahabatku angkatan 40: Fahmi, Nendi, Dedi, Didi, winda dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas persaudaraan dan persahabatan kita selama ini. 10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Bogor, 21 Januari 2008
Fatma Novianti
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
x
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
1
Tujuan ..............................................................................................
2
Manfaat ............................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
Tanaman Pisang (Musa paradisiaca Linn) ...................................... Klasifikasi ............................................................................... Morfologi ................................................................................ Syarat Pertumbuhan ................................................................ Budidaya Pisang ......................................................................
3 3 3 4 5
Hama Pisang ....................................................................................
6
Hama Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax) ........................... Penyebaran .............................................................................. Gejala Serangan ...................................................................... Morfologi dan Biologi ............................................................ Musuh Alami .......................................................................... Pengendalian ...........................................................................
7 7 7 7 8 8
BAHAN DAN METODE .........................................................................
10
Tempat dan Waktu ...........................................................................
10
Bahan dan Alat ................................................................................. Pengambilan Sampel ............................................................... Pengamatan Tingkat Serangan Erionota thrax ....................... Pengamatan Parasitoid Telur .................................................. Pengamatan Parasitoid Larva .................................................. Pengamatan Parasitoid Pupa ................................................... Identifikasi Parasitoid ............................................................. Pengolahan Data .....................................................................
10 10 10 11 11 11 12 12
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
13
Serangan Erionota thrax Linnaeus ..................................................
13
Tingkat Serangan E. thrax Linnaeus ................................................
15
Tingkat Serangan E. Thrax pada berbagai jenis pisang ...................
18
Keanekaragaman Parasitoid ............................................................
23
Parasitoid Telur ....................................................................... Parasitoid Larva ...................................................................... Parasitoid Pupa ........................................................................................
24 27 30
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
32
Kesimpulan ......................................................................................
32
Saran ................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
33
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Luas serangan E. thrax di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas, dan Cugenang ..................................................................
16
2. Jumlah gulungan daun per tanaman di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang ..................................................
16
3. Persentase kelompok telur E. thrax terparasit di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang ...................................
25
4. Persentase telur E. thrax terparasit di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas Cugenang ..........................................................
26
5. Tingkat parastisasi larva E. thrax di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas, dan Cugenang ..................................................
28
6. Tingkat parasitisasi pupa di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang ..................................................................
30
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. (a) Gulungan E. thrax yang berukuran kecil; (b) Gulungan E. thrax yang berukuran besar ...................................
13
2. (a) telur E. thrax yang berwarna kuning (sehat); (b) telur E. thrax yang terparasit (hitam) .........................................
14
3. (a) Larva E. thrax yang sehat; (b) Larva E. thrax yang terparasit ....................................................
14
4. (a) Pupa E. thrax yang sehat; (b) Pupa E. thrax yang terparasit .....................................................
15
5. Intensitas serangan E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Ciampea .....................................................................
19
6. Tingkat serangan E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cisarua .......................................................................
20
7. Tingkat serangan E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cipanas .......................................................................
21
8. Tingkat serangan E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cugenang ...................................................................
22
9. Parasitoid telur E. thrax (a, Famili Encyrtidae; b, Famili Eulophidae) ........................................................................
27
10. Parasitoid larva E. thrax (a, Braconidae; b, Tachinidae; c, Ichneumonidae) .............................................................................
29
11. Hiperparasitoid yang muncul dari kokon parasitoid larva (a,Eulophidae; b, Eurytomidae) ........................................................
29
12. Parasitoid pupa E. thrax (a, Famili Ichneumonidae; b, Famili Chalcididae) .......................................................................
31
PENDAHULUAN
Latar Belakang Buah pisang merupakan salah satu buah yang digemari masyarakat. Selain merupakan sumber zat pengatur, buah pisang juga merupakan sumber zat tenaga atau karbohidrat dan energi. Buah pisang juga mengandung zat pembangun atau protein. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, pisang dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti sale pisang, gaplek (tepung pisang), sari buah pisang, anggur pisang, keripik pisang, selai pisang, pati pisang, dan lain lain. Pisang mempunyai potensi dan nilai ekonomi yang cukup tinggi jika diusahakan dengan baik. Selain buahnya, tanaman pisang dapat dimanfaatkan mulai dari bonggol sampai daun (Satuhu & Supriyadi 1999). Dalam pengembangan agribisnis pisang di Indonesia, terdapat faktor-faktor yang menguntungkan diantaranya adalah ketersediaan sumber daya tanah (lahan) yang masih luas, kesesuaian iklim, potensi tenaga kerja (sumber daya manusia) yang berjumlah banyak dan peluang pemasaran produk yang masih terbuka luas (Rukmana 1999). Sebaliknya, berbagai faktor dapat menyebabkan kemerosotan produksi pisang, antara lain budidaya yang kurang baik, serta gangguan hama dan penyakit. Salah satu hama yang menyerang tanaman pisang adalah Erionota thrax L. (Lepidoptera: Hesperidae). Hama ini menyerang bagian daun pisang dan dikenal sebagai ulat penggulung daun pisang. Apabila dibiarkan, tanaman akan menjadi gundul dan hanya tampak tulang daunnya. Larva berwarna hijau muda dan ditutupi lapisan tepung berwarna putih, dan panjangnya sekitar 7 cm. Telur berwarna kuning dan diletakkan oleh serangga betina dewasa di bagian tepi permukaan bawah daun. Larva yang keluar dari telur akan memotong lamina daun mulai dari pinggir dan menggulungnya. Imago dewasa berwarna coklat, dan aktif pada sore dan pagi hari (Satuhu dan Supriyadi 1999). Kerusakan yang berat terutama terjadi pada musim kemarau. Pertanaman pisang di tempat yang terlindungi dari terpaan angin kerusakannya akan semakin berat (Kalshoven 1981).
Di daerah Jawa Barat, hama ini tersebar sangat luas dan menyebabkan kerusakan yang berat terutama pada musim kemarau yang pendek. Hama ini tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari petani karena tanaman pisang umumnya ditanam hanya sebagai tanaman pekarangan atau tanaman tegalan. Tanaman pisang ditanam tidak secara khusus melainkan dicampur dengan tanaman-tanaman lain sehingga kerusakan oleh hama ini tidak dirasakan secara langsung oleh pemiliknya (Rismunandar 1981 dalam Munif 1988).
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat serangan hama Erionota thrax pada tanaman pisang di tempat-tempat yang ketinggiannya berbeda dan mengetahui jenis-jenis musuh alaminya.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang ada tidaknya perbedaan serangan hama penggulung daun pisang di tempat-tempat yang ketinggiannya berbeda dan mengetahui peran musuh alaminya dalam mengatur populasi hama tersebut di lapangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pisang Klasifikasi Tanaman pisang termasuk dalam golongan Monocotyledonae, famili Musaceae, genus Musa. Tanaman pisang merupakan tanaman herbaceous dan berkembang biak secara vegetatif (Nakasone & Paull 1988). Widjono (1977 dalam Nurzaizi 1986) mengatakan bahwa tanaman pisang termasuk ke dalam Ordo Scitaminea yang meliputi tiga famili yaitu Musaceae, Canaceae dan Zingiberaceae. Famili Musaceae terdiri atas dua genus yaitu Musa dan Ensete. Genus Musa terdiri atas empat kelompok yaitu Australiamusa, Callimusa, Rhodochlamys dan Eumusa. Sebagian besar tanaman pisang yang buahnya dapat dimakan termasuk dalam kelompok Eumusa dengan spesies-spesiesnya Musa acuminata, Musa balbisiana, atau persilangan antara kedua spesies ini. Menurut jenisnya, tanaman pisang yang buahnya dapat dimakan dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) Musa paradisiaca var. sapientum dan Musa nona L. atau Musa cavendishii; (2) Musa paradisiaca var. formatika; dan (3) Musa brochycarpa. Pisang dari golongan 1, buahnya enak dimakan dalam keadaan segar seperti pisang mas, pisang ambon, pisang raja, pisang susu, dan lainnya. Pisang dari golongan 2, buahnya enak dimakan setelah dimasak dulu (direbus atau digoreng), seperti pisang kepok, pisang sobo, pisang siem, dan pisang tanduk. Pisang dari golongan 3 termasuk golongan pisang yang mempunyai biji, misalnya pisang klutuk atau pisang batu (Soedirdjoatmodjo 1985 dalam Munif 1988).
Morfologi Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan yang mempunyai sistem perakaran dan batang di bawah tanah. Pohon pisang berakar rimpang yang berpangkal pada umbi batang. Batang yang berdiri tegak di atas tanah dan terbentuk dari pelepah daun yang saling menelungkup dan disebut batang semu. Tinggi batang semu berkisar antara 3,5 – 7,5 meter (Satuhu & Supriyadi 2000).
Daun pisang letaknya tersebar. Helaian daun berbentuk lanset memanjang, dan mudah sekali robek oleh hembusan angin yang keras karena tidak mempunyai tulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun. Bunga berkelamin satu, berumah satu dan tersusun dalam tandan. Daun pelindung berukuran panjang 10 – 25 cm, berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok. Bunga tersusun dalam dua baris yang melintang. Bakal buah berbentuk persegi, sedangkan bunga jantan tidak ada. Setelah bunga keluar, bunga membentuk sisir pertama, kedua dan seterusnya (Satuhu & Supriyadi, 2000).
Syarat Pertumbuhan Pisang termasuk tanaman yang mudah tumbuh. Pisang merupakan tanaman yang terdapat di daerah dataran rendah di lingkungan yang basah (Nakasone & Paull 1998). Tanaman ini dapat tumbuh di sembarang tempat namun agar produktivitasnya optimal, sebaiknya ditanam di daerah dataran rendah dengan ketinggian tempat di bawah 1000 mdpl (di atas permukaan laut) (Satuhu & Suriyadi 1999). Pada umumnya, tanaman pisang tumbuh dan berproduksi secara optimal di daerah yang mempunyai ketinggian antara 400 – 600 m dpl (Rukmana 1999). Menurut Nakasone & Paull 1998, suhu yang baik untuk perkembangan buah pisang adalah berkisar antara 15 – 380C dengan suhu optimum 270C. Tipe iklim yang cocok adalah iklim basah sampai kering dengan curah hujan 1400 – 2500 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Tempat penanaman pisang yang baik adalah tempat yang mendapat sinar matahari atau terbuka. Di daerah atau tempat yang terlindung, tanaman pisang akan terhambat pertumbuhannya. Tiupan angin yang terlalu kencang kurang baik terhadap tanaman pisang karena dapat menyebabkan helaian daun sobek (Rukmana 1999). Tanaman pisang mempunyai sistem perakaran yang dangkal, sehingga untuk pertumbuhan yang optimal dibutuhkan lapisan tanah atas (top soil) yang subur, gembur, dan mengandung bahan organik (Rukmana 1999). Tanaman ini tahan terhadap kekeringan atau kekurangan air karena perakarannya banyak mengadung air. Pemberian air pada waktu musim kemarau sangat diperlukan terutama bila tanaman sedang berbuah dan berbunga. Pisang yang ditanam di tanah yang kritis juga dapat menghasilkan. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman
pisang adalah tanah liat yang mengandung kapur atau tanah alluvial dengan pH antara 4,5 – 7,5 sehingga tanaman pisang yang tumbuh di tanah berkapur sangat baik. Di daerah yang memiliki musim kering antara 4 – 5 bulan, tanaman pisang masih dapat tumbuh subur apabila kedalaman air tanah tidak lebih dari 150 cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman air tanah yang sesuai untuk tanaman pisang adalah 50 – 200 cm di bawah permukaan tanah (Satuhu & Supriyadi 1999).
Budidaya Pisang Perbanyakan tanaman pisang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan anakan (sucker) yang tumbuh dari bonggolnya, dan dengan bonggol tanaman pisang. Bibit anakan yang digunakan adalah bibit anakan dewasa karena paling cepat menghasilkan buah diikuti bibit anakan sedang, anakan muda, dan tunas anakan. Bibit pisang dipilih yang sehat dan baik (Satuhu & Supriyadi 1999). Pembuatan lubang tanam dilakukan 1 – 3 bulan sebelum penanaman. Ukuran lubang tanam yang baik adalah 60 cm x 60 cm x 50 cm bagi tanah yang subur, atau 80 cm x 80 cm x 50 cm bagi tanah yang kurang subur. Jarak tanamnya 6 m x 6 m untuk pisang bertajuk lebar, 5 m x 5 m untuk pisang bertajuk sedang, dan 4 m x 4 m untuk pisang bertajuk sempit. Sebulan sebelum penanaman, tanah galian dikembalikan. Tanah bagian bawah masuk lebih dahulu kemudian tanah bagian atas dicampur pupuk kandang 8 – 10 kg bagi lubang tanam yang berukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm dan 13 – 15 kg bagi lubang tanam yang berukuran 80 cm x 80 cm x 50 cm. Setelah itu, lubang tanam dibiarkan selama sebulan lalu ditanami bibit pisang (Satuhu & Supriyadi 1999). Waktu tanam yang paling baik adalah pada awal musim hujan karena pemeliharaan tanaman relatif mudah, terutama
pengairannya.
Penanaman
pada
musim
hujan
biasanya
akan
menghasilkan tandan buah yang besar karena periode pembuahannya pada musim hujan (Rukmana 1999). Tanah di sekitar tanaman pisang terlebih dahulu dibersihkan dari rumput pengganggu/gulma, sekaligus digemburkan dengan menggunakan cangkul kecil (koret). Penggemburan tanah tidak boleh terlalu dalam karena perakaran pisang dangkal. Penyiangan bagi tanah bukaan baru yang masih banyak ditumbuhi alangalang atau rumput liar dapat dilakukan dengan herbisida. Herbisida yang
digunakan misalnya DMA G, Totacol, Paracol, Herbisol (Satuhu & Supriyadi 1999). Pemupukan pisang sangat diperlukan agar tanaman pisang tumbuh dengan subur dan produktif. Pupuk yang diberikan meliputi nitrogen, phosfor, dan kalium. Unsur nitrogen berfungsi untuk membuat daun hijau segar, mempercepat pertumbuhan vegetatif dan menambah kandungan protein buah. Unsur phosfor diperlukan untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar sehingga dapat lebih banyak mengambil unsur hara dari dalam tanah. Selain itu, tanaman menjadi tidak mudah roboh, lebih cepat berbunga, merangsang pertumbuhan, dan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Kalium berfungsi untuk memperkuat batang tanaman, membantu proses fotosintesis dan meningkatkan kualitas buah serta menambah ketahanan tanaman (Satuhu & Supriyadi 1999). Pupuk yang diberikan berupa pupuk anorganik dan pupuk organik. Pupuk anorganik berupa 1000 gram ZA per pohon/tahun, 450 gram TSP per pohon/tahun, dan 500 gram KCl per pohon/tahun. Pupuk anorganik diberikan empat kali setahun, yaitu satu bulan setelah tanam dengan dosis ¼ bagian, lalu diulangi lagi setiap tiga bulan dengan dosis masing-masing ¼ bagian. Pupuk organik yang berupa pupuk kandang diberikan 2 – 3 kaleng minyak tanah per rumpun/tahun. Pupuk diberikan tiap tahun dimulai 1 bulan dan diulangi tiap tiga bulan masing-masing ¼ bagian.
Hama Pisang Hama-hama pisang yang paling penting di Indonesia adalah Cosmopolites sordidus
Germ.
(Coleoptera:
Curculionidae),
Nacoleia
octasema
Meyr.
(Lepidoptera: Pyralidae) dan Erionota thrax L. (Lepidoptera: Hesperidae). Selain ketiga jenis hama tersebut, hama-hama lain yang pernah atau sering menyerang pertanaman
pisang
adalah
Oidoporus
longicollis
Oliv.
(Coleoptera:
Curculionidae), Dacus dorsalis Hend. (Diptera: Trypetidae), Valanga nigricornis Burn. (Orthoptera: Acrididae), Anisodera sp. (Coleoptera: Hispidae) dan Achatina fulica Bowd. (Mollusca, kelas Gastropoda) (Kalshoven 1981).
Hama Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax Linnaeus) (Lepidoptera: Hesperidae) Penyebaran Daerah penyebaran E. thrax adalah di seluruh Asia Tenggara dan Timur termasuk Indonesia, Malaysia, Indocina, China dan Filipina (Satuhu & Supriyadi 1999). Hama ini juga tersebar di wilayah India dan Mauritius (Feakin 1972) . Di Malaysia, hama ini tidak dianggap penting karena tidak menimbulkan kerugian pada produksi buah pisang. Daerah yang sering menjadi sasaran serangan hama ini adalah daerah yang kering dan terlindung dari angin. (Satuhu & Supriyadi 1999).
Gejala Serangan Daun yang diserang ulat biasanya digulung sehingga menyerupai tabung, dan apabila dibuka akan ditemukan larva di dalamnya. Larva memotong bagian tepi daun kemudian digulung mengarah ke dalam. Larva yang masih muda memotong tepi daun secara miring, lalu digulung hingga membentuk tabung kecil. Apabila daun dalam gulungan tersebut sudah habis, maka larva akan pindah ke tempat lain dan membuat gulungan yang lebih besar. Di dalam gulungan tersebut larva akan memakan daun dan biasanya gulungan tersebut menjadi layu (Feakin 1972). Larva ditutupi oleh semacam lilin berwarna putih. Kepompongnya berwarna coklat. Apabila serangan berat, daun akan habis dan tinggal pelepah daun yang penuh dengan gulungan daun sehingga dapat menurunkan produksi pisang.
Morfologi dan Biologi E. thrax L. termasuk ke dalam famili Hesperidae, Ordo Lepidoptera. Telur berwarna kuning dan menetas setelah mencapai umur 5-8 hari setelah diletakkan (Satuhu & Supriyadi 1999). Imago meletakkan telur secara berkelompok kira-kira 25 butir pada permukaan bawah daun yang utuh pada malam hari (Kalshoven 1981).
Larva yang masih muda warnanya sedikit kehijauan dan tubuhnya tidak dilapisi lilin. Larva yang ukurannya lebih besar berwarna putih kekuningan dan tubuhnya dilapisi lilin. Larva muda yang baru menetas memotong daun pisang secara miring mulai dari bagian tepi daun lalu menggulung potongan tersebut (Kalshoven 1981). Satu larva hidup dalam satu gulungan daun (Feakin 1972). Stadium larva berlangsung selama 28 hari. Larva makan dari bagian dalam gulungan tersebut, kemudian membentuk gulungan yang lebih besar sesuai dengan perkembangan larva sampai instar akhir. Mortalitas larva cukup tinggi pada larva muda karena pada permukaan tubuhnya belum ditutupi lilin dan gulungan daunnya masih terbuka (Kalshoven 1981). Stadium prapupa lamanya adalah tiga hari, sedangkan stadium pupa selama tujuh hari. Serangga berkepompong dalam gulungan daun ( Samoedi & Indarto 1969 dalam Nurzaizi, 1986). Pupa berada di dalam gulungan daun, berwarna kehijauan dan dilapisi lilin. Panjang pupa lebih kurang 6 cm dan mempunyai belalai (probosis). Imago E. thrax adalah kupu-kupu berwarna coklat dengan bintik kuning pada kedua sayapnya. Panjang rentangan sayapnya kira-kira 7.5 cm (Feakin 1972). Imago menghisap madu atau nektar bunga pisang. Imago aktif pada sore hari dan pagi hari. Siklus hidup E. thrax di Bogor 5 – 6 minggu (Kalshoven 1981).
Musuh Alami Musuh alami E. thrax yang penting diantaranya adalah parasit telur Ooencyrtus erionotae Ferr. (Hymenoptera: Encyrtidae), Agiommatus sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) dan Anastatus sp. (Hymenoptera: Eupelmidae). Secara bersama-sama ketiga parasit tersebut dapat memarasit 50% - 70% telur. Parasit larva muda, yaitu Apanteles erionotae Wlk. (Hymenoptera: Braconidae), memarasit tidak melebihi 10%. Yang memarasit pupa adalah Brachymeria sp. (Hymenoptera:
Chalcididae)
Ichneumonidae) (Kalshoven 1981).
Pengendalian
dan
Xanthopimpla
sp.
(Hymenoptera:
Pengendalian E. thrax dapat dilakukan dengan cara mekanis dan kimia. Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan telur, larva dan daun yang menggulung, kemudian melenyapkannya. Pengendalian ini kurang efisien karena tidak cocok pada pertanaman yang luas. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan insektisida racun kontak maupun racun perut misalnya insektisida yang mengandung bahan aktif diazinon, endosulfan, dieldrin dan dimethoathe. Penyemprotan dilakukan pada saat telur baru menetas (Satuhu & Supriyadi 1999). Menurut Feakin 1972, pengendalian serangga E. thrax secara kimia tidak menguntungkan karena larva terlindung atau berada di dalam gulungan daun. Pengendalian yang efektif dilakukan dengan mengumpulkan dan membakar bagian daun yang berisi larva atau pupa. Terdapat juga pengendalian alami terhadap E. thrax oleh musuh alaminya yaitu Ooencyrtus, Agiommatus dan Anastatus yang merupakan parasitoid telur E. thrax.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di pertanaman pisang di Kabupaten Bogor dan Cianjur. Di Kabupaten Bogor, dipilih dua kecamatan yaitu Kecamatan Ciampea untuk mewakili dataran rendah dan Kecamatan Cisarua untuk dataran menengah. Di Kabupaten Cianjur, juga ditentukan dua kecamatan yaitu Kecamatan Cugenang untuk dataran menengah dan Kecamatan Cipanas untuk dataran tinggi. Penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari pertengahan bulan Februari sampai bulan Juni 2007.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertanaman pisang rakyat, alkohol 70%, wadah plastik (toples), kain kassa. Alat yang digunakan adalah pisau, bambu (galah), alat-alat tulis, kantong plastik dan mikroskop.
Metode Penelitian
Pengambilan sampel Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Di setiap lokasi pertanaman pisang diamati sebanyak 40 tanaman pisang.
Pengamatan tingkat serangan hama Pengamatan dilakukan secara langsung dengan mengetahui terlebih dahulu jenis pisang dan jumlah daunnya pada setiap tanaman. Luas serangan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Luas serangan =
Jumlah tanaman yang terserang Jumlah tanaman yang diamati
x 100%
Dari setiap tanaman pisang dihitung jumlah daun yang telah membuka kemudian diamati ada atau tidaknya serangan penggulung daun E. thrax. Telur E. thrax diamati dengan melihat secara langsung ada atau tidaknya kelompok telur pada daun yang telah membuka. Pengamatan larva dilakukan dengan melihat gejala berupa gulungan daun. Jumlah gejala gulungan daun yang ada pada setiap tanaman dihitung. Gulungan tersebut kemudian dibuka untuk mengetahui tingkat perkembangan hama apakah sedang stadia larva atau pupa. Pengamatan dilakukan sebanyak 8 kali dengan interval pengamatan 2 minggu.
Pengamatan parasitoid telur Kelompok telur yang ditemukan dikumpulkan dan disimpan dalam wadah plastik kemudian dipelihara di laboratorium. Jumlah telur yang ditemukan pada setiap tanaman dikumpulkan. Setiap hari telur diamati untuk mengetahui apakah telur menetas atau timbul parasitoid. Parasitoid yang muncul diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Jumlah kelompok telur terparasit dihitung. Jumlah telur yang tidak terparasit dan yang terparasit pada setiap kelompok telur dihitung untuk mengetahui tingkat parasitisasinya.
Pengamatan parasitoid larva Larva yang ditemukan di lapangan dikumpulkan, dipelihara di laboratorium dan diamati setiap hari untuk mengetahui ada tidaknya parasitoid. Parasitoid yang muncul diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Jumlah larva yang terparasit dan yang tidak terparasit dihitung untuk mengetahui tingkat parasitisasinya.
Pengamatan parasitoid pupa Pupa yang ditemukan di lapangan dikumpulkan lalu disimpan dalam wadah plastik dan dipelihara di laboratorium untuk diamati ada tidaknya parasitoid. Jumlah pupa yang ditemukan pada setiap tanaman dikumpulkan. Parasitoid yang muncul diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Jumlah pupa yang terparasit dan yang tidak terparasit dihitung untuk mengetahui tingkat parasitisasinya.
Identifikasi Parasitoid Parasitoid yang keluar dari telur, larva atau pupa dimasukkan ke dalam alkohol 70%, kemudian dilakukan identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi serangga (Borror, Triplehorn, Johnson, 1996). Dalam melakukan identifikasi digunakan mikroskop cahaya. Parasitoid diidentifikasi sampai famili dan dikoleksi dalam bentuk koleksi kering dan basah.
Pengolahan Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 8 ulangan. Data diolah dengan program SAS versi 6.12 dan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Serangan Erionota thrax Serangan E. thrax ditunjukkan oleh adanya bagian tepi daun yang tergulung. Di lapangan, ditemukan gulungan yang berukuran kecil (Gambar 1a) maupun gulungan yang berukuran besar (Gambar 1b). Gulungan yang berukuran kecil biasanya berisi larva yang berukuran kecil (< 3 cm), dan tidak jauh dari gulungan kecil tersebut biasanya terdapat kelompok telur. Gulungan yang berukuran besar berisi larva yang berukuran besar atau pupa. Serangan E. thrax ditemukan di semua lokasi pengamatan dengan tingkat serangan yang berbedabeda. Jumlah gulungan dalam satu daun bervariasi antara 0 sampai 20 gulungan.
(a)
(b)
Gambar 1 (a) Gulungan E. thrax yang berukuran kecil; (b) Gulungan E. thrax yang berukuran besar . Telur E. thrax ditemukan pada permukaan atas dan permukaan bawah daun. Telur diletakkan dalam kelompok yang jumlahnya bervariasi berkisar antara 1 sampai 40 telur per kelompok. Telur yang ditemukan terkadang ada yang telah menetas dan biasanya masih terlihat bekasnya bahwa telur telah menetas. Pada waktu pengamatan ditemukan kelompok telur yang berwarna kuning (Gambar 2a), dan ada pula yang berwarna hitam keungu-unguan (Gambar 2b). Telur yang berwarna kuning biasanya tidak terparasit sedangkan telur yang berwarna hitam keungu-unguan biasanya terparasit. Telur akan diketahui terparasit atau tidak setelah telur dipelihara di laboratorium dan menetas menjadi larva atau muncul parasitoid.
(a)
(b)
Gambar 2 (a) telur E. thrax yang berwarna kuning (sehat); (b) telur E. thrax yang terparasit (hitam). Larva E. thrax ditemukan di dalam gulungan daun baik yang berukuran besar maupun kecil. Gulungan yang berisi larva rekatannya kurang kencang dan daunnya masih berwarna hijau. Larva yang ditemukan biasanya masih hidup dan tubuhnya berwarna hijau dan ditutupi tepung berwarna putih (Gambar3a). Larva yang berukuran kecil (< 3 cm) tubuhnya belum ditutupi oleh tepung berwarna putih. Di lapangan, ditemukan larva yang telah terparasit. Hal ini dapat diketahui dengan terdapatnya kokon parasitoid di dekat bangkai larva. Larva yang ditemukan terparasit tersebut berukuran kurang dari 3 cm (Gambar 3b). Mortalitas larva biasanya cukup tinggi pada larva yang masih muda karena permukaan tubuhnya belum ditutupi lilin dan gulungan masih terbuka (Kalshoven, 1981).
(a)
(b)
Gambar 3 (a) Larva E. thrax yang sehat; (b) Larva E. thrax yang terparasit Pupa E. thrax ditemukan di dalam gulungan yang berukuran besar. Daun yang menggulung sudah layu atau kecoklatan (kering), dan rekatannya lebih kuat dibandingkan dengan gulungan yang berisi larva. Pupa yang ditemukan ada yang
berwarna kuning (Gambar 4a) dan berwarna hitam (Gambar 4b). Pupa yang berwarna kuning biasanya tidak terparasit dan apabila disentuh pupa akan bergerak. Jika disentuh tidak bergerak, kemungkinan pupa tersebut telah terparasit. Di lapangan, ditemukan juga bekas pupa yang terparasit oleh parasitoid yang ditunjukkan oleh adanya lubang pada bekas pupa (Gambar 4b).
(a)
(b)
Gambar 4 (a) Pupa E. thrax yang sehat; (b) Pupa E. thrax yang terparasit. Tingkat Serangan Erionota thrax Tingkat serangan E. thrax diukur dengan melihat luas serangan dan jumlah gulungan daun per tanaman. Luas serangan E. thrax di empat lokasi pengamatan selama 8 kali pengamatan selalu berfluktuasi. Secara umum, luas serangan E. thrax terendah berturut-turut terdapat di Kecamatan Cipanas, Cisarua, Ciampea dan Cugenang (Tabel 1). Hasil ini mengindikasikan bahwa luas serangan E. thrax cenderung lebih rendah di daerah yang lebih tinggi. Lokasi pengamatan di Kecamatan Ciampea terletak pada ketinggian 160 – 200 mdpl. Lokasi pengamatan di Kecamatan Cisarua, Cugenang dan Cipanas berturut-turut terletak pada ketinggian 680 – 800 mdpl, 750 – 850 mdpl dan 1020 – 1080 mdpl. Tingkat serangan E. thrax juga didasarkan pada jumlah gulungan daun per tanaman. Secara umum, jumlah gulungan daun dan luas serangan E. thrax di empat kecamatan mempunyai kecenderungan yang sama. Jumlah gulungan daun per tanaman terendah terdapat di Kecamatan Cipanas kemudian diikuti oleh Kecamatan Cisarua, Ciampea dan Cugenang. Jumlah gulungan daun oleh E. thrax di empat lokasi pengamatan selama 8 kali pengamatan selalu berfluktuasi (Tabel 2). Seperti halnya luas serangan, data tersebut menunjukkan bahwa jumlah gulungan daun E. thrax per tanaman cenderung lebih banyak di dataran rendah
dibandingkan dengan dataran tinggi. Tabel 1 Luas serangan E. thrax di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas, dan Cugenang.
a
Pengamatan ke-
Luas Srangan (%) Ciampea
Cisarua
Cipanas
Cugenang
1 2 3 4 5 6 7 8
18,13 ab 11,56 a 8,13 b 18,75 a 23,13 ab 25,63 a 26,88 a 11,88 a
16,56 ab 10,31 a 14,69 ab 10,00 a 8,75 b 24,64 a 11,56 b 12,50 a
10,00 b 5,94 a 8,44 ab 8,44 a 13,13 ab 4,38 b 6,25 b 10,31 a
24,38 a 5,00 a 16,25 a 18,13 a 28,13 a 22,19 a 14,69 b 21,56 a
Nilai pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%).
Tabel 2 Jumlah gulungan daun per tanaman di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang.
a
Pengamatan ke-
Jumlah gulungan daun/ tanaman Ciampea
Cisarua
Cipanas
Cugenang
1 2 3 4 5 6 7 8
0,76 a 0,43 a 0,33 a 0,46 a 1,14 a 0,70 a 0,68 a 0,28 a
0,41 a 0,39 a 0,41 a 0,30 a 0,28 b 0,73 a 0,34 ab 0,34 a
0,27 a 0,11 a 0,15 b 0,19 a 0,27 b 0,08 b 0,15 b 0,31 a
0,76 a 0,10 a 0,32 ab 0,58 a 1,06 ab 0,75 a 0,37 ab 0,68 a
Nilai pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). Secara umum, tingkat serangan E. thrax berfluktuasi pada setiap
pengamatan. Tingkat serangan E. thrax terendah terdapat di Kecamatan Cipanas, kemudian diikuti oleh Kecamatan Cisarua, Ciampea, dan Cugenang. Lokasi pengamatan di Kecamatan Cipanas terletak pada ketinggian 1020 – 1080 m dpl. Pisang ditanam di areal persawahan sebagai tanaman pendamping dari tanaman utama yaitu wortel, kubis, bawang daun, singkong, dan ubi jalar sehingga hasil produksi buah pisang tidak terlalu diutamakan. Rendahnya tingkat serangan E. thrax di Kecamatan Cipanas disebabkan oleh tiupan angin yang terlalu kencang
sehingga daun menjadi sobek. Daun pisang yang sobek kurang disukai oleh imago E. thrax untuk meletakkan telur. Imago E. thrax lebih banyak meletakkan telur pada daun yang masih utuh (Sipajung dalam Munif 1988). Selain itu, disebabkan oleh faktor topografi dimana letak pertanaman pisang yang lebih tinggi yaitu di perbukitan. Pisang sangat sensitif terhadap terpaan angin kencang yang dapat menyobek daunnya, menyebabkan distorsi tajuk atau merobohkan pohonnya. Lokasi pengamatan di Kecamatan Cisarua terletak pada ketinggian 680 – 800 m dpl. Pada umumnya, pisang ditanam sebagai tanaman pekarangan atau tanaman tambahan yang letaknya terkadang di bagian pinggir atau di areal persawahan. Tanaman utama yang ditanam adalah talas, ubi jalar, singkong, dan padi. Serangan E. thrax di Kecamatan Cisarua termasuk rendah setelah Kecamatan Cipanas. Rendahnya serangan E. thrax di Kecamatan Cisarua disebabkan oleh tiupan angin kencang sehingga membuat daun menjadi sobek. Serangan E. thrax terendah terdapat di areal persawahan dan tertinggi di areal pekarangan. Kebanyakan tanaman pisang di Kecamatan Cisarua ditanam di areal persawahan sehingga tidak terlindung dari terpaan angin. Imago E. thrax menyukai daun yang masih utuh untuk meletakkan telurnya. Lokasi Pengamatan di Kecamatan Ciampea terletak di dataran rendah dengan ketinggian 160 – 200 m dpl. Pada umumnya, tanaman pisang ditanam hanya sebagai tanaman pekarangan dan tanaman peneduh untuk tanaman utamanya, misalnya tanaman katuk yang tidak tahan terhadap cahaya matahari langsung. Tanaman pisang juga ada yang ditanam di areal persawahan. Tingkat serangan E. thrax di Kecamatan Ciampea lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cisarua dan Cipanas. Tingginya serangan E. thrax di Kecamatan Ciampea disebabkan oleh hama yang telah menyebar rata di seluruh pertanaman pisang. Tingkat serangan E. thrax tertinggi terjadi pada pertanaman pisang yang ditanam di areal persawahan dibandingkan dengan pisang yang ditanam di pekarangan. Hal tersebut mungkin disebabkan letak pertanaman pisang yang cenderung datar. Selain itu, angin yang bertiup di Kecamatan Ciampea tidak terlalu kencang apabila dibandingkan dengan dataran tinggi. Tingkat serangan yang tinggi juga disebabkan oleh petani yang tidak melakukan tindakan pengendalian apapun. Ada beberapa orang yang menggunakan larva atau pupa
sebagai umpan untuk memancing. Pengendalian tidak dilakukan oleh petani karena mereka menganggap bahwa serangan ulat ini tidak berpengaruh terhadap produksi buah pisang karena hanya merusak bagian daun. Kebanyakan dari mereka hanya mengambil buahnya saja. Hasil produksi pisang biasanya untuk konsumsi sendiri atau kadang-kadang dijual, tergantung pada hasil panen yang diperoleh. Lokasi pengamatan di Kecamatan Cugenang terletak pada ketinggian 750 – 850 m dpl. Tingginya serangan E. thrax di Kecamatan Cugenang disebabkan oleh kurangnya petani memperhatikan pemeliharaan tanaman pisang terutama pengendalian ulat penggulung
daun. Petani tidak
melakukan
tindakan
pengendalian hama dan penyakit pada tanaman pisang karena tanaman pisang hanya merupakan tanaman pelengkap atau sampingan. Hasil produksi pisang terkadang dijual tetapi kebanyakan untuk dikonsumsi sendiri. Pengendalian hama penggulung daun pisang yang dilakukan petani pada umumnya dengan memotong atau memangkas daun pisang yang terdapat banyak gulungan. Pengendalian ini sering dilakukan pada saat tanaman muda dan tanaman tidak terlalu tinggi. Pada tanaman yang tua dan sudah tinggi sulit untuk melakukan pengendalian mekanik tersebut. Tingginya serangan hama ini diduga juga disebabkan oleh adanya pohon-pohon yang lebih tinggi di sekitar tanaman pisang tersebut sehingga tanaman pisang terlindungi dari tiupan angin.
Tingkat Serangan E. thrax pada Berbagai Jenis Pisang Serangan E. thrax pada berbagai jenis pisang di Kecamatan Ciampea didapatkan berturut-turut adalah pisang ambon sebesar 0,74 gulungan/tanaman; pisang asem sebesar 0,51 gulungan/tanaman; pisang kapas sebesar 0,53 gulungan/tanaman; pisang lampeneng sebesar 0,75 gulungan/tanaman; pisang lampung
sebesar
1,76
gulungan/tanaman,
pisang
nangka
sebesar
0,81
gulungan/tanaman, pisang raja sebesar 1,91 gulungan/tanaman, pisang raja sere sebesar 0,95 gulungan/tanaman; pisang tanduk sebesar 0,63 gulungan/tanaman; pisang uli 0,18 gulungan/tanaman. Apabila dilihat serangan E. thrax pada berbagai jenis pisang, rata-rata serangan di Kecamatan Ciampea tertinggi terjadi pada pisang raja yang memiliki jumlah gulungan paling banyak, yaitu 1,91
gulungan/tanaman. Serangan E. thrax terendah terjadi pada pisang uli sebesar
Jumlah gulungan daun/ tanaman
0,18 gulungan/tanaman (Gambar 5).
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 pa pas pka pla
pl
pn
pr
prs
pt
pu
Jenis pisang
Gambar 5 Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Ciampea (Keterangan: pa = pisang ambon; pas = pisang asem; pka = pisang kapas; pla = pisang lampeneng; pl = pisang lampung; pn = pisang nangka; pr = pisang raja; prs; pisang raja sere; pt = pisang tanduk; pu = pisang uli). Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada berbagai jenis pisang di Kecamatan Cisarua didapatkan berturut-turut adalah pisang ambon sebesar 0,32 gulungan/tanaman; pisang angleng sebesar 0,69 gulungan/tanaman; pisang emas sebesar 0,29 gulungan/tanaman; pisang kapas sebesar 0,27 gulungan/tanaman; pisang lampung sebesar 0,45 gulungan/tanaman; pisang nangka
sebesar
0,58
gulungan/tanaman;
pisang
papan
sebesar
0,17
gulungan/tanaman; pisang raja sebesar 0,85 gulungan/tanaman; pisang raja bulu sebesar 0,06 gulungan/tanaman; pisang raja sere sebesar 0,21 gulungan/tanaman; pisang tanduk sebesar 0,53 gulungan/tanaman dan pisang uli sebesar 0,20 gulungan/tanaman. Serangan E. thrax tertinggi terdapat pada pisang raja memiliki jumlah gulungan yang paling banyak, yaitu 0,85 gulungan/tanaman. Serangan E. thrax terendah terdapat pada jenis pisang raja bulu karena memiliki jumlah gulungan paling sedikit yaitu sebesar 0,06 gulungan/tanaman (Gambar 6).
Jumlah gulungan daun/ tanaman
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 pa pang pe
pk
pl
pn
pp
pr
prb
prs
pt
pu
Jenis pisang
Jumlah gulungan daun/ tanaman
Gambar 6 Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cisarua (Keterangan: pa = pisang ambon; pang = pisang angleng; pe = pisang emas; pk = pisang kepok, pl = pisang lampung; pn = pisang nangka; pp = pisang papan; pr = pisang raja; prb = pisang raja bulu; prs = pisang raja sere; pt = pisang tanduk; pu = pisang uli).
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 pa
pal
ps
pt
pu
Jenis pisang Gambar 7 Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cipanas (Keterangan: pa = pisang ambon; pal= pisang ambon lumut; ps = pisang susu; pt = pisang tanduk; pu = pisang uli). Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada berbagai jenis pisang di Kecamatan Cipanas didapatkan berturut-turut adalah pisang ambon
sebesar 0,26 gulungan/tanaman; pisang ambon lumut 0,07 gulungan/tanaman; pisang
susu
0,00
gulungan/tanaman;
pisang
tanduk
sebesar
0,14
gulungan/tanaman dan pisang uli sebesar 0,04 gulungan/tanaman. Serangan E. thrax tertinggi terdapat pada jenis pisang ambon karena memiliki jumlah gulungan paling banyak yaitu 0,26 gulungan/tanaman. Serangan E. thrax terendah terdapat pada jenis pisang susu karena memiliki jumlah gulungan paling sedikit (Gambar 7). Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada berbagai jenis pisang di Kecamatan Cugenang didapatkan berturut-turut adalah pisang ambon sebesar 0,50 gulungan/tanaman; pisang ambon lumut sebesar 0,38 gulungan/ tanaman; pisang jepang sebesar 0,39 gulungan/tanaman; pisang nangka sebesar 1,50 gulungan/tanaman; pisang raja sere sebesar 0,81 gulungan/tanaman; pisang siem sebesar 0,97 gulungan/tanaman dan pisang uli sebesar 0,82 gulungan/ tanaman. Serangan E. thrax tertinggi terdapat pada jenis pisang nangka karena memiliki jumlah gulungan paling banyak,yaitu 1,50 gulungan/tanaman. Serangan terendah terdapat pada jenis ambon lumut karena memiliki jumlah gulungan
Jumlah gulungan daun/tanaman
paling sedikit sebesar 0,38 gulungan/tanaman (Gambar 8).
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 pa
pal
pj pn Jenis pisang
prs
psi
pu
Gambar 8 Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada beberapa jenis pisang di Kecamatan Cugenang (Keterangan: pa = pisang ambon; pal = pisang ambon lumut; pj = pisang jepang; pn = pisang nangka; prs; pisang raja sere; psi = pisang siem; pu = pisang uli).
Jumlah gulungan daun per tanaman oleh E. thrax pada pisang ambon dapat dilihat bahwa serangannya cukup tinggi di setiap kecamatan. Di Kecamatan Ciampea, rata-rata serangan E. thrax pada pisang ambon 0,74 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,32 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cipanas sebesar 0,26 gulungan/tanaman dan di Kecamatan Cugenang sebesar 0,50 gulungan/tanaman. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang tanduk di setiap kecamatan menunjukkan serangan yang berbeda-beda. Di Kecamatan Ciampea sebesar
0,63
gulungan/tanaman;
di
Kecamatan
Cisarua
sebesar
0,53
gulungan/tanaman; di Kecamatan Cipanas sebesar 0,14 gulungan/tanaman; sedangkan di Kecamatan Cugenang tidak terdapat jenis pisang tanduk. Serangan paling tinggi terdapat di Kecamatan Ciampea. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang nangka di Kecamatan Ciampea sebesar 0,81 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,58 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cugenang sebesar 1,50 gulungan/tanaman; sedangkan di Kecamatan Cipanas tidak terdapat jenis pisang nangka. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang lampung di Kecamatan Ciampea sebesar 1,76 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,45 gulungan/tanaman; sedangkan di Kecamatan Cipanas dan Cugenang jenis pisang ini. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang raja di Kecamatan Ciampea sebesar 1,91 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,85 gulungan/tanaman; sedangkan di Kecamatan Cipanas dan Cugenang tidak terdapat pisang raja. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang raja sere di Kecamatan Ciampea sebesar 0,95 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,21 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cugenang sebesar 0,81 gulungan/tanaman: sedangkan di Kecamatan Cipanas tidak terdapat pisang raja sere. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang uli di Kecamatan Ciampea sebesar 0,18 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cisarua sebesar 0,2 gulungan/tanaman; di Kecamatan Cipanas sebesar 0,04 gulungan/tanaman dan di Kecamatan Cugenang sebesar 0,82 gulungan/tanaman. Serangan E. thrax pada pisang ambon di setiap kecamatan cukup tinggi. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang tanduk di Kecamatan Ciampea dan Cisarua hampir sama, sedangkan di Kecamatan Cugenang lebih rendah. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang nangka di Kecamatan Ciampea dan Cisarua hampir
sama sedangkan di Kecamatan Cugenang lebih tinggi. Rata-rata serangan pada pisang lampung tertinggi terdapat di Kecamatan Ciampea dibandingkan dengan Kecamatan Cisarua. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang raja lebih tinggi diantara jenis pisang lainnya di Kecamatan Ciampea dan Cisarua. Rata-rata serangan E. thrax pada pisang raja sere di Kecamatan Ciampea dan Cugenang hampir sama dan rendah di Kecamatan Cisarua. Serangan E. thrax pada pisang uli hampir sama di setiap kecamatan dan tidak terlalu tinggi. Serangan E. thrax terdapat pada semua jenis pisang sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis pisang tidak berpengaruh pada serangan E. thrax. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa serangan hama penggulung daun pisang terutama tinggi pada jenis pisang raja seperti yang terjadi di Kecamatan Ciampea dan Cisarua. Di Kecamatan Cugenang dan Cipanas, lokasi yang tidak ada jenis pisang raja, serangan E. thrax tinggi berturut-turut pada pisang nangka dan pisang ambon.
Keanekaragaman Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang hidup dengan jalan menumpang dan makan di dalam atau pada tubuh serangga lain. Serangga yang diparasit akhirnya mati ketika parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya. Dari pemeliharaan telur, larva, dan pupa E. thrax dari 8 kali pengamatan di lapang, diperoleh 2 spesies parasitoid yang muncul dari telur, 3 spesies dari larva, dan 2 spesies dari pupa. Selain itu, didapatkan juga 2 spesies hiperparasitoid pada larva yang muncul dari kokon parasitoid.
Parasitoid Telur Parasitoid telur adalah parasitoid yang inangnya stadium telur. Parasitoid meletakkan telur dalam telur inangnya dan larva parasitoid hidup dan berkembang dalam telur inang. Telur yang sudah diparasit akan mati dan embrionya tidak akan berkembang. Telur E. thrax yang terparasit dan yang tidak terparasit dapat dibedakan dari warnanya. Telur yang tidak terparasit berwarna kuning, kemudian pada bagian atasnya timbul titik berwarna pink, dan kemudian berwarna hitam lalu
muncul larva. Telur yang terparasit berwarna hitam, berawal dari warna merah jambu kemudian ungu lalu menjadi hitam. Setelah dipelihara di laboratorium, dari telur yang berwarna hitam akan muncul parasitoid. Dalam setiap kelompok telur, tidak semua telur terparasit, dan dari satu telur dapat muncul lebih dari satu individu parasitoid. Persentase kelompok telur E. thrax terparasit di Kecamatan Ciampea berfluktuasi, yaitu berkisar antara 50% sampai 100%, di Kecamatan Cisarua berkisar antara 33,33% sampai 100%, di Kecamatan Cipanas berkisar antara 33,33% sampai 80% dan di Kecamatan Cugenang, berkisar antara 50% sampai 75% (Tabel 3). Tabel 3 Persentase kelompok telur E. thrax terparasit di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang. Pengamatan ke-
Kelompok telur E. thrax terparasit (%) Ciampea
Cisarua
Cipanas
Cugenang
1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
75,00 (n = 40) 66,67 ( n = 6 ) - (n=0) 50,00 ( n = 2 ) 54,17 (n = 24) 66,67 ( n = 3 ) - ( n =0 ) 100 ( n = 2 ) 51,56
62,50 (n = 8) - (n = 0) - (n = 0) - (n = 0) 33,33 (n = 9) 50,00 (n = 4) - (n = 0) 100 (n = 1) 30,73
33,33 (n = 3) - (n = 0) - (n = 0) - (n = 0) - (n = 1) - (n = 0) 80,00 (n = 5) - (n = 0) 14,17
- (n=0) 50,00 ( n = 2 ) - (n=4) - (n=0) 75,00 ( n = 4 ) - (n=4) 62,50 (n = 16) - (n=0) 23,44
(n) jumlah kelompok telur (-) tidak ditemukan kelompok telur. Persentase kelompok telur yang terparasit cukup tinggi. Hampir di setiap kelompok telur yang ditemukan terparasit. Secara umum, rata-rata persentase kelompok telur terparasit diatas 50% dan beberapa ada yang sekitar 30%. Persentase kelompok telur terparasit yang tertinggi di Kecamatan Ciampea terdapat pada pengamatan ke-8 sebesar 100%, di Kecamatan Cisarua pada pengamatan ke-8 sebesar 100%, di Kecamatan Cipanas pada pengamatan ke-7 sebesar 80%, dan di Kecamatan Cugenang pada pengamatan ke-5 sebesar 75%. Tingkat parasitisasi telur E. thrax setiap pengamatan selalu berfluktuasi. Secara umum, tingkat parasitisasi paling tinggi terjadi di Kecamatan Ciampea sedangkan terendah terjadi di Kecamatan Cipanas. Tingginya tingkat parasitisasi
telur di Kecamatan Ciampea disebabkan oleh jumlah parasitoid yang melimpah dan menyebar rata di tempat tersebut. Parasitoid yang menyebar di Kecamatan Ciampea mungkin terjadi karena letak geografi yang relatif datar sehingga parasitoid mudah menyebar ke daerah yang lain. Jumlah parasitoid di suatu daerah disebabkan oleh faklor kondisi lingkungan dimana suhu, curah hujan dan kelembaban berpengaruh dalam kelangsungan hidup parasitoid tersebut. Ketersediaan makanan juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup parasitoid. Selain itu, penyemprotan pestisida yang dilakukan petani juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup parasitoid. Di Kecamatan Ciampea, tingkat parasitisasi telur tertinggi terjadi pada pengamatan pertama sebesar 26,86%, di Kecamatan Cisarua, pada pengamatan pertama sebesar 13,04%, di Kecamatan Cipanas, tingkat pada pengamatan ke-7 sebesar 17,44%, dan di Kecamatan Cugenang pada pengamatan ke-7 sebesar 17,53% (Tabel 4). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa parasitisasi telur E. thrax lebih tinggi di dataran rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi. Selain frekuensi penemuan parasitoid telur, tingkat parasitisasi kelompok telur dan tingkat parasitisasi telur E. thrax lebih tinggi di dataran rendah (Ciampea), diikuti dengan dataran dengan ketinggian sedang (Cisarua dan Cugenang), dan paling rendah di dataran tinggi (Cipanas). Tabel 4 Persentase telur E. thrax terparasit di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang.
a
Pengamatan ke-
Telur E. thrax terparasit (%) Ciampea
Cisarua
1 2 3 4 5 6 7 8
26,86 a 8,51 a 2,50 a 12,80 a 7,94 a 13,07 a
13,04 ab 9,96 a 7,97 a 6,25 a
Cipanas 1,19 b 0a 17,44 a -
Cugenang 0,36 a 0a 7,73 a 0a 17,53 a -
Nilai pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). (-) tidak ditemukan telur.
Parasitoid yang muncul dari telur terdiri dari 2 spesies yang berasal dari Ordo Hymenoptera, yaitu satu spesies dari famili Encyrtidae dan satu spesies dari famili Eulophidae. Spesies pertama (famili Encyrtidae) mempunyai ciri-ciri yaitu tubuhnya kecil (panjang tubuhnya sekitar 1 - 2 mm), berwarna hitam, mesopleura dan mesonotum cembung (Gambar 9a). Spesies kedua (famili Eulophidae) mempunyai ciri-ciri ukuran panjang tubuhnya 1 – 3 mm, tubuhnya berwarna biru metalik, antena 5 segmen, dan memiliki tarsi 4 ruas (Gambar 9b). Identifikasi parasitoid tersebut sesuai dengan buku identifikasi serangga (Borror et al. 1996). Parasitoid jenis ini ditemukan di empat kecamatan dan telah menyebar rata.
(a)
(b)
Gambar 9 Parasitoid telur E. thrax (a, Famili Encyrtidae; b, Famili Eulophidae).
Parasitoid Larva Parasitoid larva adalah parasitoid yang inangnya stadium larva. Parasitoid meletakkan telur dalam tubuh inang ketika inang pada stadia larva dan parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya dalam tubuh larva inang. Larva E. thrax yang terparasit dan yang tidak terparasit dapat dibedakan dari warnanya. Biasanya larva yang tidak terparasit masih berwarna hijau dan kemudian berkembang menjadi pupa. Larva yang terparasit warnanya berubah menjadi hitam. Larva yang terparasit biasanya masih hidup kemudian lama kelamaan akan mati. Parasitoid keluar dari dalam tubuh larva E. thrax kemudian membentuk kokon berwarna putih dan keluar imago parasitoid. Tingkat parasitisasi larva pada setiap pengamatan selalu berfluktuasi (Tabel 5). Secara umum, tingkat parasitisasi larva tertinggi terdapat di Kecamatan Cipanas sebesar 58,33% pada pengamatan pertama. Pada pengamatan selanjutnya,
tidak ditemukan larva yang terparasit. Tingkat parasitisasi larva di Kecamatan Cisarua dan Cugenang cukup tinggi berturut-turut sebesar 37,50% dan 36,67%, sedangkan di Kecamatan Ciampea paling rendah diantara empat kecamatan lainnya. Akan tatapi, hampir di setiap pengamatan di Kecamatan Ciampea ditemukan larva yang terparasit. Tingginya frekuensi ditemukannya parasitisasi larva di Ciampea kemungkinan berkaitan dengan tingginya tingkat serangan E. thrax di daerah ini. Tabel 5 Tingkat parastisasi larva E. thrax di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas, dan Cugenang.
a
Pengamatan ke-
Tingkat Parasitisasi Larva (%) Ciampea
Cisarua
Cipanas
Cugenang
1 2 3 4 5 6 7 8
13,98 b 3,13 a 1,42 a 0,50 a 0,00 b 4,17 a 0,69 a 6,71 b
18,75 b 0,30 a 12,92 a 4,17 a 0,00 b 0,00 a 0,12 b 37,50 a
58,33 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 b 4,17 a 0,00 b 0,00 b
3,58 b 1,79 a 0,00 a 0,78 a 36,67 a 0,00 a 0,00 b 0,00 b
Nilai pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%). Parasitoid larva yang muncul terdiri dari 3 spesies yaitu 2 spesies berasal
dari Ordo Hymenoptera dan 1 spesies berasal dari Ordo Diptera. Hymenoptera spesies pertama tergolong dalam famili Braconidae dengan ciri-ciri panjang tubuh 3 mm, berwarna hitam, ovipositor pendek, antena tipe filiform (Gambar 10a). Larva yang terparasit oleh Braconidae ini biasanya dicirikan oleh adanya kokon berwarna putih di sekitar bangkai larva. Larva yang terparasit oleh Braconidae biasanya masih hidup kemudian baru mati. Hymenoptera spesies kedua tergolong dalam famili Ichneumonidae dengan ciri-ciri ukuran tubuhnya tidak begitu besar (ukurannya 13 mm), berwarna hitam, antenanya panjang dan memiliki 16 ruas (Gambar 10b). Parasitoid yang berasal dari famili Ichneumonidae ini juga dapat diketahui dari warna, ukuran, bentuk tubuh dan sayapnya. Selain itu, ciri-ciri yang dimiliki Parasitoid Ichneumonidae ini biasanya menyerang larva E. thrax yang berukuran < 3 cm. Larva yang terparasit mati, dan lama kelamaan menjadi kering.
Parasitoid berpupa di dekat tubuh larva E. thrax tersebut. Kokon Ichneumonidae berwarna coklat. Spesies ketiga yang berasal dari Ordo Diptera tergolong dalam famili Tachinidae (Gambar10c) dengan ciri-ciri abdomen mempunyai sejumlah rambut-rambut yang kasar. Lalat Tachinidae ini relatif mudah dikenali, karena ukuran tubuhnya cukup besar, berambut dan penampilannya seperti lebah atau tabuhan. Larva E. thrax yang diparasit oleh Tachnidae biasanya akan menjadi lebih besar (gemuk) dan berwarna hitam. Parasitoid dari famili Ichneumonidae dan Braconidae ditemukan menyebar rata di empat kecamatan, sedangkan famili Tachinidae hanya ditemukan di Ciampea dan Cugenang. Melimpahnya jumlah parasitoid disebabkan faktor iklim, curah hujan dan tersedianya makanan sehingga sudah menyebar rata. Pada musim hujan biasanya tersedia sumber makanan yang cukup banyak (Hidayat & Sosromarsono 2003).
(a)
(b)
(c)
Gambar 10 Parasitoid larva E. thrax (a, Braconidae; b, Ichneumonidae; c, Tachinidae). Pada waktu pengamatan di lapang, ditemukan kokon parasitoid dari famili Braconidae. Kokon dipelihara di laboratorium dan muncul spesies hiperparasitoid. Hiperparasitoid adalah parasitoid yang inangnya berupa parasitoid lain. Spesies pertama (famili Eulophidae) mempunyai ciri-ciri ukuran panjang tubuhnya sekitar 2 mm, tubuh berwarna metalik, antena 5 segmen, dan tarsi 4 ruas (Gambar 11a). Spesies kedua (famili Eurytomidae) mempunyai ciri-ciri yaitu ukuran tubuhnya berukuran
4
mm,
berwarna
hitam,
puncture
banyak
(Gambar
11b).
Hiperparasitoid ini ditemukan di ketiga kecamatan yaitu Ciampea, Cisarua, dan Cipanas.
(a)
(b)
Gambar 11 Hiperparasitoid yang muncul dari kokon parasitoid larva (a, Eulophidae; b, Eurytomidae).
Parasitoid Pupa Parasitoid pupa adalah parasitoid yang memarasit inang ketika inang pada stadium pupa. Parasitoid meletakkan telur dalam tubuh inang ketika inang pada stadia pupa, dan parasitoid menyelesaikan perkembangan pradewasanya dalam tubuh pupa inang. Pupa
yang terparasit dan yang tidak terparasit dapat dibedakan dari
warnanya. Pupa yang tidak terparasit berwarna kuning muda, kemudian berubah menjadi coklat tua atau coklat kehitam-hitaman kemudian menjadi imago. Pupa yang tidak terparasit apabila dipegang akan bergerak, pupa yang terparasit diam (tidak bergerak) pada saat disentuh atau dipegang, dan warnanya hitam. Tabel 6 Tingkat parasitisasi pupa di Kecamatan Ciampea, Cisarua, Cipanas dan Cugenang. Pengamatan ke-
Ciampea
Cisarua
Cipanas
Cugenang
1 2 3 4 5 6 7 8
17,61 a 0,00 a 0,18 a 3,13 b 1,55 b 3,76 a 3,24 a 12,78 a
9,57 a 0,00 a 20,82 a 13,96 a 0,00 b 0,89 ab 0,75 a 0,86 b
12,73 a 3,75 a 4,17 a 0,00 b 14,40 a 0,00 b 12,50 a 0,78 b
3,55 a 8,33 a 0,00 a 0,00 b 0,45 b 0,21 ab 0,00 a 0,00 b
a
Tingkat Parasitisasi Pupa (%)
Nilai pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%).
Tingkat parasitisasi pupa selalu berfluktuasi. Secara umum, tingkat parasitisasi pupa tertinggi terjadi di Kecamatan Cisarua, sedangkan terendah terjadi di Kecamatan Cugenang. Hal ini mungkin disebabkan karena parasitoid kurang menyebar di Kecamatan Cugenang. Namun demikian, frekuensi penemuan parasitoid pupa tertinggi terjadi di Kecamatan Ciampea. Hal ini diduga juga berkaitan dengan tingginya serangan E. thrax di Kecamatan Ciampea dibandingkan dengan Kecamatan lainnya. Terdapat 2 spesies parasitoid yang muncul dari pupa. Spesies pertama tergolong dalam famili Ichneumonidae dengan ciri-ciri tubuh yang besar dengan ukuran sekitar 10 – 14 mm, mempunyai antena yang panjang dengan 16 ruas, dan ovipositor panjang (Gambar 12a). Famili Ichneumonidae ini juga dapat diketahui dari warna, ukuran, bentuk tubuh dan sayapnya. Spesies kedua tergolong dalam famili Chalcididae dengan ciri-ciri tubuh yang berukuran panjang 5 mm, femur belakang menggembung dan bergeligi, berwarna hitam dengan tanda berwarna kuning (Gambar 12b). Parasitoid tersebut telah menyebar rata di empat kecamatan. Faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya parasitoid adalah letak geografis yang membatasi penyebaran parasitoid tersebut. Jumlah parasitoid yang melimpah dapat disebabkan karena parasitoid tersebut sudah menyebar ke daerah yang lain. Selain itu, disebabkan oleh jumlah makanan yang terpenuhi bagi kelangsungan hidup parasitoid tersebut. Penelitian dilakukan pada musim hujan sehingga persediaan makanan cukup tersedia. Menurut Hidayat & Sosromarsono (2003), pada musim hujan biasanya tersedia sumber makanan yang banyak.
(a)
(b)
Gambar 12 Parasitoid pupa E. thrax (a, Famili Ichneumonidae; b, Famili Chalcididae).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Secara umum, tingkat serangan E. thrax di empat kecamatan mempunyai kecenderungan yang hampir sama. Tingkat serangan E. thrax di empat kecamatan selama 8 kali pengamatan berfluktuasi. Serangan E. thrax cenderung lebih tinggi di dataran rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi. Jenis pisang yang paling banyak terserang E. thrax di Kecamatan Ciampea dan Cisarua adalah pisang raja, sedangkan di Kecamatan Cipanas dan Cugenang adalah pisang ambon dan pisang nangka. Jenis parasitoid telur yang muncul berasal dari famili Encyrtidae dan Eulopidae. Parasitoid larva yang muncul berasal dari famili Braconidae, Tachinidae dan Icheumonidae. Jenis parasitoid pupa yang muncul berasal dari famili Chalcididae dan Ichneumonidae. Terdapat pula hiperparasit pada larva yang berasal dari famili Eulopidae dan Eurytomidae. Parasitoid hama penggulung daun pisang baik parasitoid telur, larva maupun pupa, lebih sering ditemukan di dataran rendah (Ciampea) yang serangan hama penggulung daunnya tinggi dibandingkan dengan di daerah yang lebih tinggi (Cisarua, Cugenang dan Cipanas).
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat parasitisasi dari setiap jenis parasitoid yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA Borror DJ, et al. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Feakin SD. 1971. Pest Control in Bananas Pans Manual No.1. London. England. Hidayat P & Sosromarsono S. 2003. Pengantar Entomologi. Bogor: IPB Press. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Infonesie. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke-2. Bogor: IPB Press. Munif A. 1988. Serangan Erionota thrax Linneaus (Lepidoptera: Hesperidae) dan Anisoderma sp. (Coleoptera: Hispidae) pada tanaman pisang (Musa sp.) jenis Angleng dan Apu di Desa Sukalaksana dan Sukarame, Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur Jawa Barat [Laporan Praktek Lapang]. Bogor: Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nakasone HY & Paull RE, editor. 1998. Tropical Fruits. London: CAB International. Nurzaizi H. 1986. Pengamatan hama Nacoleia octasema Meyrick (Lepidoptera: Pyralidae) dan Erionota thrax Linnaeus (Lepidoptera: Hesperidae) pada tanaman pisang di Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon Jawa Barat [Laporan Praktek Lapang]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Satuhu S, Supriyadi H. 1999. PISANG: Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Jakarta: Penebar Swadaya. Pena JE, Sharp JL. 2002. Tropical Fruit Pests and Pollinators Biology, Economic Importance, Natural Enemies and Control. Florida: Tropical Research and Education Center. Rukmana R. 1999. 1999. Usaha Tani Pisang. Yogyakarta: Kanisius.
Walpole RE. 1992. Pengantar Statistik. Ed ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.