Kue Lupis, Muffin, dan Proudly Made In Indonesia, Cerita dari Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Oleh : Imam Suyudi Kamis, 01 Agustus 2013 01:02
KOPI - Ramadhan selalu identik dengan melimpahnya makanan. Bahkan makanan yang di hari-hari biasa tidak diketemukan, nongolnya justru di Ramadhan. Di Sumatera terutama Bagian Selatan ( Palembang, Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Riau, keanekaragaman makanan. Minuman hingga buah-buahan tersebut sering dilafalkan sebagai pabukoan ; perbukaan; makanan pembuka puasa. Takjil kata orang dari belahan Asia Timur sana .
Keanekaragaman makanan dan minuman bulan puasa so pasti diiringi tebaran pedagangnya baik asli ataupun musiman di seantero kota hingga desa-desa kecil di daerah pinggiran pinggir sekali. Negara pun seperti mendukung kehiruk-pikukan itu dan memfasilitasinya melalui konsep pasar bedug.
Nah, dalam rangka pabukoan itu sayalah salah satu pelanggan yang sudah berbilang tahun melakoninya. Maklum “jiwa” perantau dus status kontraktor (dikontrak saban tahun maksudnya dan pindah-pindah lagi) “memaksa” saya untuk menjalani puasa dari awal hinggal mendekati akhir selalu sendirian. Maka, jadilah berburu pabukoan di tanah Sumatera jadi rutinitas indah buat saya di ranah Sumatera sejak dari Padang, Jambi, Bengkulu, Riau hingga di Kendari sana (tapi lupa sebutannya), kecuali Bontang Balikpapan yang belum sempet ngerasain Ramadhannya.
Dari sekian ragam penganan, salah satu tujuan perburuan adalah Kue Lupis. Penganan tradisional yang hampir ditemui di semua daerah di Indonesia. Terbuat dari beras ketan (pulut) dibentuk segitiga kerucut yang kadang berwarna hijau bertabur parutan kelapa yang dimakan bersama dengan kuah dari gula aren berendam daun pandan berwarna coklat pekat. Mmmmm, saking doyannya, berapa potongpun kue lupis tersedia habis dilalap. Kue lupis juga jadi saksi masa bercinta ama mantan pacar (sekarang jadi nyonya lho) di Kota Padang dulu. Buka puasa berdua sambil menikmati kue lupis kemudian shalat Magrib kemudian makan di Mutiara Malam…mmmm…tak ada kata yang bisa mewakili indahnya hehehe… So, ya mak nyoss kue lupis lah…
1/5
Kue Lupis, Muffin, dan Proudly Made In Indonesia, Cerita dari Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Oleh : Imam Suyudi Kamis, 01 Agustus 2013 01:02
Namun sayang, seiring perkembangan waktu, perburuan saya mendapat kue lupis sering berakhir teronggoknya sisa-sisa potongan kue lupis yang tidak termakan. Jelas karena rasanya yang duuh jauh panggang dari api, Jangankan mencecap kuahnya, potongan kuenya meski masih aseli segitiga tapi warna hijaunya bikin kuatir jangan-jangan pake pewarna buatan. Rasa ketannya liat dan dingin karena jangan-jangan ada pengawetnya pulak! Kuahnya? Manis-manis pahit jelas ciri khas pemanis buatan (sari manis kata orang Merlung, Jambi; biang gula kata orang Bogor). Ibaratnya secuil gula dikepung puluhan mungkin ratusan butiran pemanis buatan dus pewarna coklat. Alhasil, warnanya jadi coklat muda, encer, dan manis pahit mengarah ke hambar. Kuah kencing kudo kata orang Lubuk Terap hiks. Tidak mengenakkan sangat, bhangett kata anakku. Dan yang ironisnya, kue lupis made in massal itu ditemui hampir di seluruh pasar-pasar bedug yang ada di Kota Jambi (semoga di kota lain masih nemuin yang asli bener-bener BENAR).
Kondisi pasar-pasar bedug di Jambi beberapa tahun belakangan memang tidak lagi memikat mata apalagi selera, menurut saya lho. Pasar Bedug Angso duo, Mesjid Nurdin Thehok, Pasar Bedug Chandra, pasar bedug depan Simpang Transito, s amo be isinyo . Deretan lapak-lapak yang ditunggu para ibu-ibu pencari berkah Ramadhan hanya menghadirkan pemandangan yang itu-itu aja mulai dari ragam, bentuk, dan warna kue-kuenya. Lupis, ongol-ongol, padamaran, surban haji, putu ayu, telempon, dadar gulung, onde, dan sebagainya. Pun halnya dengan minuman, mulai dari sop buah (potongan beberapa buah dikuahi sirup, susu, dan es batu), es buah. Hanya mungkin yang agak berbeda pasar bedug kaget di Telanai Unja. Minuman dan makanannya relatif bervariasi, kreatif, dan kebanyakan makanan olahan langsung semisal Burgo, Pempek, Cendol mmmm mungkin karena lingkungan di daerah itu relatif lebih menengah atas dengan banyak pejabatnya. Lainnya ya itu-itu aja. Bahkan kolak pun susah-susah gampang. Jika ada ya setali tiga uang nasibnya dengan kue lupis; serba massal. Padamaran pun senasib ( inget buatan bundanya teman yang selalu dibawa saat kumpul bareng. Rasanya mak nyoss banget ). Prinsipnya harga sama rata maka rasa pun jadinya ya sama aja, sami mawon .
Dan di pasar bedug yang berjarak tiga jam berkendara dari kota Jambi (baca: Merlung) pun sama; ya sama harga ya sama rasa. “Yo la pak, kami kan ambil dari toke di angso duo, ado pulak yang antar” Ketahuan deh. Pantesan. Hukum pasar;
2/5
Kue Lupis, Muffin, dan Proudly Made In Indonesia, Cerita dari Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Oleh : Imam Suyudi Kamis, 01 Agustus 2013 01:02
semakin massif suatu barang diproduksi maka sentuhan kualitas jadi berkurang. Kue lupis jadi barang massal ditambah sentuhan efisiensi waktu, biaya, dan tenaga jadilah kue lupis dus kue-kue lainnya menjadi seragam dari ujung pasar bedug ke ujung lainnya dengan harga yang sama dan rasa yang sama. Kue lupis dengan warna hijau atau semi hijau, ketan yang dingin dan liat, kuah encer dan manis pahit dus (kadang-kadang) hari ini ketannya masak sempurna lain hari agak dingin keras. Ampun deh.
Ironis memang di tengah gelontoran makanan asing dari Europa atau American baik berlabel ju nk food ala fred-fred-an sampe cemilan konon kesukaan pesohor-pesohor Inggris (muffin), makanan tradisional seperti terpuruk, teronggok tak berdaya di lapak-lapak tua bahkan di meja makan kita karena tak ter-di-makan yang salah satunya ya karena rasanya itu. Bandingkan dengan Muffin yang dengan gagah berani sering diiklankan via sms oleh bank saya (maksudnya saya nasabah kesayangannya karena seringnya dikirimin sms diskon-diskonan) hanya dua hari diskon 25% setiap pembelian dua potong seharga 250 ribu perak di … (tempat ternama lah)! Kue tradisional Inggris begitu tinggi dan bermartabat dihargai justru di (konon) surganya kuliner dunia. Ironis.
Maaf, saya tidak bermaksud mengambinghitamkan perilaku bangsa kita yang udah dari sononya punya penyakit gengsi dengan falsafah makin barat makin bule makin dipandang . Barang impor adalah segalanya sementara produk dalam negeri ya terima nasib aja. Dan perilaku ini maaf bukan cuma rahayatnya, petinggi-petingginya 11-12. Mulut mereka teriak-teriak proudly made in Indonesia tapi kakinya terbungkus Bally import langsung dari Italia. Jadilah slogan proudly hanya jadi simbol untuk menarik komisi-komisi atas nama proyek pembangunan. Gimana mo bangga, wong nyebutnya istilahnya aja susah gerutu temen meng-kritisi slogan proudly made in Indonesia. Bener juga yak kenapa bukan bangga produk Indonesia aja J
Lalu siapa si kambing? dengan perspektif yang lebih luas, Berkaca kasus lupis, mungkin bisa jadi acuan kenapa rakyat jadi kurang meminati produk-produk lokal. Intinya adalah kualitas. Seharusnya memassalkan produk dengan motto sama harga sama rasa, kualitas jadi kekuatan. Muffin, Fred chicken, Coca Cola dan sederetan kuliner impor lain memiliki rasa yang sama
3/5
Kue Lupis, Muffin, dan Proudly Made In Indonesia, Cerita dari Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Oleh : Imam Suyudi Kamis, 01 Agustus 2013 01:02
sejak dari negara asalnya sana sampe masuk Jambi. Harga tergantung manajemennya lah ditambah strategi marketing maka jadilah saksi “kemenangan” penganan bule. Era 90an, Mestika Zed, sejarawan asal ranah Minang penah melontarkan pertanyaan tentang beda antara Mc Donald dan sejarah Indonesia. Jawabannya singkat, Mc Donald sama rasa sama harga sama manajemen sementara sejarah Indonesia ya tergantung siapa yang berkuasa hehehe…
Kembali ke kasus lupis, makanan tradisional kita. Harga makanan lokal yang murah dan kualitas tidak berubah disertai sentuhan menejerial bukan tidak mungkin akan mampu bersaing dengan muffin, pizza, spagetti, dan fred-fred-an ala ayam yang konon jauh lebih miskin gizinya ketimbang makanan lokal kita. Apalagi mikrokosmos belanja orang Indonesia yang masih saja lebih mengedepankan harga padahal makrokosmosnya sudah mulai ingin back to nature. Klop, tapi kenapa ya….
Kasus lupis juga bisa ketemu di produk-produk lain yang made in Indonesia. Peralatan elektronik milik tetangga rumah yang digadang-gadangkan produk Indonesia baru hitungan bulan sudah jebol padahal saya punya tapi produk luar (ehem) sudah hampir tahunan masih aktif beroperasi. Belum lagi kasus jeruk disuntik, nangka dicat warna kuning. Huah, jangan sampe ada kue lupis made in cina. Oh Indonesiaku…
Jalan Lintas Timur Sumatera Jambi-Riau masih lengang di sore menjelang magrib. Megapro merah kupacu sedang menuju rumah, tepatnya mes perusahaan ding perkebunan swasta tempat kerjaku. Di sudut jalan desa, seorang gadis kecil duduk manis di depan meja yang menghampar beberapa penganan. Hmm, goreng bakwan bisa jadi teman minum kopi untuk buka puasa. Tapi bercak minyak di kertas koran alas gorengan dan rasa dinginnya menghilangkan selera. Ups, ada beberapa potong lupis bertabur kelapa dengan kuah coklat kehitamannya berbungkus plastik.
“Buat dewek yo? (buatan sendiri ya?)
“Yo pak, bikin dewek” (ya pak, bikin sendiri)
“…”
4/5
Kue Lupis, Muffin, dan Proudly Made In Indonesia, Cerita dari Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Oleh : Imam Suyudi Kamis, 01 Agustus 2013 01:02
“…!”
“Cubolah agak limo ikok be..” (beli lima potong aja)
Berpacu sedang kembali ke mes perusahaan. Saat kumandang adzan magrib selepas kumur dan minum segelas air putih, harap-harap cemas kucecap lupis beserta kuahnya…
Rasa gula aren yang kental, tidak terlalu manis, segar dan harum di mulut ditambah ketan masak yang kenyal, wangi bercampur parutan kelapa asli melepaskan dahagaku. Rasa manis yang tidak menggigit tidak membuatkanku terbatuk. Sungguh nikmat. Mmmm lima potong lupis tandas.
Sambil mengunyah teringat Teori Antropologi Klasik Difusi Kebudayaan Frans Boas bahwa kebudayaan asli selalu ditemui di daerah pinggiran peradaban karena di tengah-tengahnya sudah tergerus oleh modernisasi dan pertukaran antarkebudayaan luar. Benarkah? Jika YA, malanganya kue lupis….
Merlung, 28 Juli 2013
Buat Umi Essy dan Khalila Zahra Maharani atas kesabarannya
5/5