Cinta Sepucuk Pinang Sebuah Antologi Puisi Penyair Kampus Seribu Jendela Jilid I
Yoseph Yapi Taum (Editor)
Iksana Murib, Eunike Zabrina AL, Yulani Wonge, Yulita Maizia, Rizki Valensi, A. Ria Puji Utami, Bayang Kalbu, Brigitha Dina Anggraeni, Elizabeth Ratnasari, Lidia Nathalia Trysnawati Rido, Ludgerdius Beldi, Mikail Septian A.V., Paskaria Tri Astanti, Paulina Vianty Eka Permata, Wendy Nugroho 2013
2
CINTA SEPUCUK PINANG, REPRESENTASI CINTA PARA PENYAIR KAMPUS Antologi puisi Cinta Sepucuk Pinang ini memuat puisi-puisi dari 15 orang penyair Kampus Seribu Jendela -- julukan untuk menyebut Kampus Universitas Sanata Dharma. Pada mulanya puisi-puisi ini merupakan hasil latihan dalam mata kuliah Penulisan Puisi, salah satu mata kuliah yang tergolong di dalam kelompok mata kuliah creative writing. Mata kuliah ini dirancang untuk memberikan ruang dan panggung bagi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Angkatan 2011 untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikapnya dalam bentuk puisi. Pengalaman menulis puisi merupakan sebuah pengalaman yang sangat personal sifatnya. Dengan alat yang sangat sederhana, yaitu kemampuan dan ketrampilan berbahasa, seseorang dapat menghasilkan sebuah karya seni dalam bentuk puisi maupun prosa. Ibarat seorang pematung, penyair juga menakik-nakik bahasa untuk membentuk sebuah sketsa kehidupan yang dapat dirasakan geloranya, semangatnya, rohnya, jiwanya. Sebagai ekspresi personal, setiap ungkapan puitis muncul dari moment-moment estetis yang juga berada pada ranah privat. Siapa pun tidak dapat mengatur irama puitis itu datang dan pergi. Yang dapat dilakukan dalam kuliah creative writing adalah menciptakan suasana dan menunjukkan sarana-sarana puitik yang bisa dan biasa digunakan para penyair untuk menghasilkan puisi-puisinya. Dengan situasi dan proses yang sama, para penyair memberikan hasil yang berbeda-beda, baik kuantitas maupun kualitasnya. Ada penyair yang hanya menghasilkan lima buah puisi, tetapi ada pula yang menghasilkan dua kali lipat daripada temannya. Keberanian beberapa penyair mengeksplorasi bentuk dan isi puisi-puisinya kadang mengagumkan, sekalipun banyak pula yang berpuisi dengan mengikuti pakem sastra yang sudah lazim. Hasil itu dapat dinikmati para pembaca dalam sajian antologi puisi ini: puisi-puisi yang diafan maupun yang prismatis tersaji di sini. Antologi ini diberi judul Cinta Sepucuk Pinang. Judul ini diambil dari judul salah satu puisi karya A. Ria Puji Utami. Puisi ini dijadikan semacam maskot bagi antologi ini karena dua alasan. Pertama, judul puisi Ria Puji Utami ini merupakan sebuah judul yang puitis, alegoris, dan analogis. Kedua, membaca puisi-puisi dalam antologi Cinta Sepucuk Pinang, kita seperti membaca semangat hidup. Selalu ada harapan, semangat, kerinduan, cahaya keilahian yang lembut dalam situasi batas tergelap sekalipun. Semangat hidup itu adalah cinta. Cinta dalam ekspresinya yang paling sederhana, cinta saat berempati terhadap nasib orangorang yang terpinggirkan, yang didera ketidakadilan, cinta kepada kampung halaman, ibu atau kekasih. Yang terakhir ini tak dapat dielakkan karena rata-rata usia mereka adalah usia remaja yang sedang menikmati indahnya cinta romantis.
3
Seperti terlihat pada puisinya, bagaimana pun, puisi “Cinta Sepucuk Pinang” merupakan sebuah puisi yang sangat berhasil. Puisi ini mengungkapkan rasa rindu dan kecintaan penyair pada negeri Melayu –tanah kelahirannya di Muara Bulian, Batanghari, Jambi, bekas kerajaan Sriwijaya. Tema rindu akan kampung halaman merupakan sebuah tema yang banyak digarap para penyair Indonesia. Kerinduan itu kemudian menjadi representasi berbagai ekspresi kerinduan lainnya, seperti telah disebutkan di atas. Berikut ini disajikan puisi „maskot‟ itu. Cinta Sepucuk Pinang Oleh A. Ria Puji Utami Negeriku indah Negeri penuh cinta Negeriku kurindu Negeri buah pinang masak Mengukir sejarah negeri Melayu Kerajaan Sriwijaya bertahtah Di bantaran sungai Batanghari Meninggalkan cerita lama Kini kujauh darimu Negeriku kurindu Ingin kukembali Bermain sampan di huluan sungai Pinang masak tlah membenam di ufuk senja Memejamkan mataku di akhir cerita Membawa rinduku ke dalam mimpi Mimpi tentang cinta sepucuk pinang
Penerbitan antologi ini merupakan penerbitan perdana dari serial Penyair kampus Seribu Jendela. Diharapkan agar setiap akhir mata kuliah Penulis Puisi, akan lahir antologi-antologi serupa yang diurutkan serial atau jilid-nya. Pentingnya menerbitkan antologi ini, antara lain, agar para calon penyair mempelajari kekuatan dan kelemahan puisi-puisi yang ada agar mereka dapat menghasilkan puisi-puisi yang lebih baik dan lebih bermutu di kemudian hari. Dalam mempersiapkan penerbitan antologi perdana ini, saya dibantu oleh Wendy Nugroho. Saya mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Semoga terbitan ini bermanfaat. Yoseph Yapi Taum Editor
4
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi 01 Iksana Murib (1) Sebasibisubisa (2) A dan A (3) Penampung (4) Terbalik (5) Sempit (6) Catatan Gelap (7) Liar (8) Matahari Bungkam (9) Tenggelam (10) Lenyap
02 Eunike Zabrina AL (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Kembali Pulang Cinta itu Sederhana Sajak Cahaya Sajak Lelaki Pecundang Sepiku Satu Sajak Kerinduan Mimpi
03 Yulani Wonge (1) (2) (3) (4) (5)
Kejahatan Burung-burung Kecil Untuk Kekasihku Takdir Anugerah
04 Yulita Maizia (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Sajak Alam Langit Gadisku yang Malang Sang Dewa Pencemburu Di Sisa Jawaban Alam pun Hidup Menyerah
5
05 Rizki Valensi (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Jam Tua Aku Kamu Bangkai Doa Untuk Pahlawan Doa di Ambang Petang Bintang yang Hilang
06 Ria Puji Utami (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Senyum Mentari Ibu Ketika Senja Elegi Hujan Sajak Pelangi Sepenggal Duka Sayap Amarah Aku Orang Kecil Cinta Sepucuk Pinang Sang Penguasa Puing-puing Kekejaman Sayap yang Patah Keindahan Cinta
07 Bayang Kalbu (1) (2) (3) (4) (5)
Kutukku Pohon Apel Seorang Putri Dia Sajak Puzzle
08 Brigitha Dina Anggraeni (1) Selamat Pagi Cinta (2) Wahai Kekasih (3) Hentikan Kekerasan di Muka Bumi (4) Kekecewaan (5) Banjir Darah Ayah (6) Aku Pelacurmu, Bung! (7) Aku Perempuan (8) :R (9) Tragedi (10) Dilema (11) Losmen (12) Aku Menunggumu R
6
09 Elizabeth Ratnasari (1) (2) (3) (4) (5)
Kekasihku Berikan Hidupku Sajak Adikku Malang Merapiku Perpisahan
10 Lidia Nathalia Trysnawati Rido (1) (2) (3) (4) (5)
Hilangmu, Dukaku Denting Rindu Kemiskinan Jika Kau adalah Aku Sanggupkah
11 Ludgerdius Beldi (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Segitiga Pekat Ballada Badu dan Budi Cuap-cuap Bro-Bra Anjing! Bee Suaka Kuasa
12 Mikail Septian A.V. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Penguasa Bocah Berbisa Pantai Koral Cinta Kopi Secangkir Ada-ada Sajak Kuning Tua Renta
13 Paskaria Tri Astanti (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kaca Kerinduan Sajak Tengkorak (Bukan) Pendosa Sajak Seonggok Mayat Ujung Pada Malam Pintu
7
14 Paulina Vianty Eka Permata (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Sajak Kerinduanku Ajari Aku Tikus Negara Kejamnya Dunia Penyesalan Tak Berujung Untukmu Ibu Goresan-goresan Rindu
15 Wendy Nugroho (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
11002722013 23.19/16413 02034/18.09 1744 04032013 0613 04032013 22032013/2041 808.080513 k20 2105.070513
8
01 Iksana Murib Iksana Murib, lahir 1 Agustus 1992 di Wamena, Papua. Tamat SD dan SMP (2007) di Timika, SMA Masehi II PSAK (2011) di Semarang , Jawa Tengah. Masuk Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta angkatan 2011. Sekarang sedang menempuh kuliah di USD.
9
Sebasibisubisa : Sutardji Calzoum Bachri Sebisabisu luka sebisubisa memori Sebasibisa hangan sebasibisu bayangan Sebisabisu sakit sebisubisa mati Sebisabasi hitam sebisubasi gelap Sebisubisa sebasibisu Sebisabisunya sebasibisa biasa Sebisubisa sebasibisu Sebisa bias menahan mati Sebisubisa sebasibisu Sebisabisu sebisubasi Sebisubasi sebasibisa Selesai bisanya menghantam usia
10
A dan A Dari A harus ke Z Dari Z tidak ke A Aku tidak harus Harus tidak aku Dari 1 harus ke 100 Dari 100 tidak ke 1 Kau tidak harus Harus tidak kau Dari lalu harus ke depan Dari depan tidak ke lalu Hidup tidak mati Mati tidak hidup
11
Penampung
Berdiri tegak di dalam tenang Geser bergerak Buka hidup Nikmati berkurang Keluar habis Sampai kosong saat itu Setelah itu ada lagi Masih ada Akan ada Ada seterusnya Sangat membutuhkan pelindung dan isi Mungkin pelindung akan habis Isi akan abadi Sampai mata tak melihat Tangan tak memegang Mulut dan lidah tak merasakan Nafas hilang Selamanya akan ada
12
Terbalik Tahun yang tua menjadi muda Lama menjadi baru Tahun yang muda menjadi tua Baru menjadi lama Dulu negeri ini negeri perjuangan Dulu negeri ini disanjung tinggi Darah menjadi bayarannya Kematian menjadi keharusan Namun, kini negeri ini menjadi lemah Dipermalukan dan dibodohkan Korupsi menjadi budaya Manipulasi menjadi motivasi Dan kita hanya bisa menjerit di dalam lubangnya.
13
Sempit Wajah memucat Mulut gementar Hati gelisa Keringat membasahi baju Ayah tergeletak di atas darah Rumah hitam Matahari dan bunga tak lagi bicara Ayah, diam tanpa kata Beku semuanya Angin tak lagi menari Rumah asam diikat Kanan buntut Kiri buntut Pintu-pintu tak mau konfomi Kunci tanpa bunyi Jendela patung Dan hanya bisa bergetar
14
Catatan Gelap Tersimpan Lalu memori Memori kemudian simpan Hati dan pikiran Bumi Matahari Diam Kau menyapa diriku Cukup hanya aku Andaikan bibir tak kaku Cukup untuk aku Andaikan hati bertindak
15
Liar Dendam membara Cemburu pemburu Dan kau puas menjadi serigala Rasamu mati Otak hilang Kejar darah sampai puas Manusia menjadi makanan Dimana nilainya? Tidak kah kau puas Serigala
16
Matahari Bungkam
Jauh tak terlihat Semakin mendekat tak nampak Dekat tak jelas Semakin depan mala hilang Tetapi tangan tak sampai Penasaran dengan rasa Akan kudapat Dalam waktu yang sama Dan tangan ini akan sampai Dengan dirimu Harum bunga Mengantarkanmu mewakili aku
17
Tenggelam Rasa terpendam Bayangan gelap Tak begitu nampak Dan rasa ini mulai tak tentu Kau akan ada dalam bungkusan hati Yang selalu diam Di pikirkan Kau mengalir dalam pikiranku Bunga sakura berguguran Aku di bawa Rasa akan terungkap Di sini
18
Lenyap
Bagaikan semu rupamu Tak terpikir hingga nampak Akhirnya wajahmu hanyut Dalam bayang bayangan-bayangan Sebagai otak aku tak mampu Menampung wajamu yang semu Tetapi sepertinya aku paham Bahwa kau selamanya akan semu Seperti memori yang dicut
19
02 Eunike Zabrina AL Eunike Zabrina AL, lahir di Semarang, 3 Juli 1993. Tinggal di Jl. Soka No. 36 Baciro, Yogyakarta. No.telp/e-mail 081804107375/
[email protected]. Beragama Katolik. Hobiku nonton TV, baca novel, baca majalah, tidur. Cita-cita menjadi penulis, editor. Moto “Jangan pernah menutup bolpoin sebelum ujian selesai!” Kini menjadi mahasiswi USD dan belum menikah. Pendidikan (1) SD Tarakanita 1, Jakarta; (2) SMP Tarakanita 5, Jakarta dan SMP Kalam Kudus Jayapura, Papua; (3) SMA Stella Duce 1, Yogyakarta; dan kini (4) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
20
Kembali Pulang Jika kau datang lagi Dengan tulus hati Aku masih setia Kau yang dulu t‟lah bermetamorfosis menjadi seorang yang kukagumi Bagai ulat yang menjadi kupu-kupu tataplah wajahku Jika kau datang lagi Hanya untukku cintamu kauberi Dengan kaca pun aku tak mau berbagi
21
Cinta itu Sederhana Saat itu adalah hari yang sangat berarti hanya ada kau dan aku di sebuah taman kecil yang indah dihiasi bunga-bunga berwarna-warni Burung-burung beterbangan menghiasi langit biru cerah Bunga-bunga bermekaran menandakan cintaku kepadamu Cinta itu cinta kita yang semakin indah Aku terhanyut dalam suasana romantis itu hanya ada kau dan aku di sebuah taman kecil yang indah dihiasi oleh bunga-bunga yang berwarna-warni Aku menggenggam tanganmu erat-erat Dan tak akan kulepaskan Sayang, kau tampak begitu mempesona Senyummu… Tawanmu… Candamu… Semua yang ada pada dirimu Kau tampak indah dan menawan di mataku Kau tampak sempurna di mataku Seperti bunga-bunga yang bermekaran Di bawah langit biru cerah Aku sangat mencintaimu lebih dari yang kau tahu Kadang, aku merasa kesal sikapmu kekanak-kanakan Tapi aku sadar… rasa kesal itu berubah menjadi cinta yang tak menuntut kesempurnaan Cinta yang penuh kesederhanaan Cinta itu, hanya kau dan aku Cinta itu sederhana
22
Sajak Cahaya Aku berdiri seorang diri Diantara ribuan laki-laki pembunuh Aku berteriak sekencang-kencangnya Tapi tak seorang pun mendengar Malam begitu dingin dan mencekam Aku melihat ayahku sudah tak berdaya Ku goyang-goyangkan badannya Tapi tak ada reaksi Aku berteriak lagi sekencang-kencangnya Dan tak seorang pun mendengar Kali ini bintang pun tak mau menampakkan dirinya Aku takut! Aku mencoba melarikan diri Tapi selalu gagal Mereka bagaikan tameng yang sulit dihancurkan Sekali lagi aku berteriak Kali ini aku sadar Ada seseorang yang mendengarku Aku melihat ke langit Ada setitik cahaya yang muncul Aku tahu aku akan terbebas Dari kerumunan pembunuh ayahku Semakin kencang aku berteriak Semakin banyak cahaya yang timbul Ah, Aku sadar akan satu hal Aku melihat wajah ayahku Dalam cahaya itu
23
Sajak Lelaki Pecundang Tubuh mungilnya tergeletak di lantai Hei, tunggu! Apa aku salah lihat?! Mana tangannya? Mana kakinya? Aku tahu kau sangat membenci adikku Tapi…kau apakan tubuhnya?? Tubuhnya bak kertas yang di sobek-sobek Yang tak dapat disatukan kembali Kau laki-laki biadab! Kau tega memotong-motong tubuh adikku Tubuh mungilnya yang dulu selalu ia rawat Sekarang kau hancurkan begitu saja Kau sungguh laki-laki pecundang! Tak punya hati apalagi perasaan! Kau rela membuang potongan tubuhnya ke jalanan Seperti sampah yang di urak-arik oleh anjing jalanan Kau dan perempuan itu adalah manusia paling hina! Manusia yang tak ber-Tuhan!
24
Sepiku Satu Malam seperti membisikkan sesuatu padaku Tetapi yang kudengar hanya gumaman sendu Kulihat bintang Tetapi bintang menundukkan kepalanya Seakan malu melihatku Kulihat bulan Bulan pun membalikkan badannya Agar tidak melihatku Malamku terasa pahit Berteman pada bulan dan bintang pun tak mungkin Aku mencium bau melati di sekitarku Ah! untuk apa aku hidup
25
Sajak Kerinduan Setiap detik kutengok layar ponselku Waktu berjalan sangat lamban Jantungku berdebar tak karuan Menunggu kabar darimu Jam dinding seakan menertawakanku Aku tak peduli ! Tawanya semakin keras Aku makin tak peduli !
Dadaku sesak ditikam oleh 1000 pisau Mataku seperti mengeluarkan nanah bening Tubuhku seperti hilang nyawa Karena menunggu ketidakpastian darimu Ku tengok lagi layar ponselku Senyumku sinis pada jam dinding Tubuhku sudah bernyawa lagi Pisau-pisau tak lagi menembus dadaku Kabar yang kutunggu akhirnya datang darimu Jam dinding pun menyembunyikan mukanya Karena tak mampu melihatku Yang sedang berbunga-bunga
26
Wajahnya merah bak udang rebus Seikat mawar merah darimu Mampu membuat tubuhnya terpaku Air mata menetes dari pelupuk mata Air mata bahagia Air mata masa depan Orang itu seperti cupid Yang mampu menaklukan hatinya Hati yang dulu seperti batu Kini lembut bagai kapas putih
27
Mimpi Mimpiku pada bulan Mimpiku pada malam Larut dalam cahaya lilin yang meredup
Harapan tergantung pada bulan Cita-cita menjadi yang utama seperti malam Waktu seperti berlari mengejar Atau kita yang mengejar waktu ? Bulan tak selalu terang Malam tak selalu gelap Dengan keyakinan yang kuat Berlandas mimpi, harapan, cita-cita
28
03 Yulani Wonge Yulani Wonge lahir di Jara-jara, Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara, tanggal 16 Oktober 1993. Pendidikan: SD: Sekolah Dasar Negri , Kec. Maba. Kab, Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara (1999-2004) SMP: Sekolah Menengah Pertama Negri Kec. Maba. Kab, Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara (2005-2007) SMEA: Sekolah Menengah Ekonomi Atas, Tobelo Halmahera Utara, Prov. Maluku Utara (2008-2011), Kuliah pada tahun 2011 di Universitas Sanata DharmaYogyakarta, jurusan Sastra, prodi Sastra Indonesia hingga saat ini.
Catatan; sejak SD sampai SMP saya bercita-cita menjadi seorang polwan (polisi wanita) tapi cita-cita saya tidak terwujud karena ketika saya duduk dikelas tiga SMP saya mengalami rabun jauh yang menyebabkan saya harus memakai kacamata sampai sekarang, sehingga cita-cita saya tidak terwujud, saya lalu melanjutkan pendidikan saya di SMEA Tobelo Halmahera Utara. Pada tahun 2010 saya pernah mendapat juara 1 umum di SMEA Tobelo Halmahera Utara, dan mendapat juara 1 kelas sampai menamatkan pendidikan saya, dan saat SMA saya bercita-cita menjadi perawat, tapi karena saya mengira kalau lulusan SMEA tidak diterima di sekolah perawat akhirnya saya bercita-cita lagi menjadi seorang wartawan, dan sampai saat ini saya memilih kuliah di Sanata Dharma dan mengambil jurusan Sastra Indonesia. Awalnya saya merasa bingung karena saya belum sama sekali mengenal dunia kesastraan, dari kecil saya tidak perna diajari dunia sastra tapi ketika saya mendapatrkan mata kuliah puisi, saya mulai tahu sosok saya sebenarnya. Ternyata saya juga punya bakat dalam menciptakan puisi dan karya-karya lainya. Semoga dengan mata kuliah penulisan puisi, yang sudah saya dapatkan, bisa menambah pengetahuan dan ketrampilan yang lebih baik lagi dalam berpuisi.
29 Kejahatan Ketika jiwa-jiwaku terus menari-nari dan tenggelam Membawa diri ku hanyut dalam keheningan Tanpa terasa waktu terus bergulir menggrogoti duniaku Menelan perlahan-lahan semua impianku Satu per satu jiwa berguguran meninggalkan nama Meneteskan air mata yang mengalir deras ke bumi Menancapkan batu nisan yang termakan oleh kejahatan Datangnya kegelapan dan kehampaan Menyelimuti hati dan melenyapkan cahayaku Menggemparkan Bumi yang hangus dengan gelora kekejaman Yang terus berjalan membuntuti raksasa-raksasa dunia Sang mentari dan rembulan tak harmonis lagi Ketika kelembutan cinta terenggut keganasan nafsu Ketika kehangatan kasih sayang tercabik oleh kebencian Membutakan kebenaran dan berkuasanya kejahatan Raksasa-raksa telah menelan jiwa-jiwa kebenaran Mengikuti alur kehidupan yang mengarah pada kehancuran Menghembuskan suasana kehinaan yang merambat ke jiwa dan menusuk jiwa dengan kesedihan dan kepahitan hidup
30
Burung-burung Kecil Burung kecil yang selalu hinggap di ranting pohon dalam taman kampus entah dari jenis dan kelompok mana riang berkicau menatap hari pagi selalu memberi salam pada matahari burung-burung kecil terbang di sore hari menuju arah selatan bersama-sama adakah sesuatu yang menarik di sana sepertinya tidak ada yang ingin mengetahui bukankah alam terbentang semesta semata semua adalah milik-Nya
31
Sajak untuk Kekasihku Semoga hari ini. Hatimu secerah hari ini. Secerah matahari bersinar. Langkah yang kau tapak selalu membawa kebahagiaan. Biarkan musim berganti. Tinggalkan kesan yang mendalam. tak mudah dilupakan dari mata jernihmu yang berkaca. Lihat aku.. Yang selau bisa membaca pikiranmu. Mengisi jiwamu menyapamu menghias hari-harimu. Lihat senyumku... Dengarkan suaraku... Akan teduhkan jiwamu. Karena aku mencintamu dengan kesungguhanku.
32
Takdir Telah kutuliskan bahwa air itu dingin bahwa api itu panas dan keduanya selalu berlawanan. Telah kutuliskan bahwa siang pasti terang bahwa malam selalu gelap dan keduanya saling berganti peran. Telah kutuliskan bahwa bumi seperti ibu dan matahari sebagai ayah dan keduanya meniupkan nafas kehidupan. Telah kutuliskan bahwa kepalsuan dan pengkhianatan adalah milik manusia, orang yang terpercaya, yang menyimpan rencana dan perhitungan. Telah kutuliskan bahwa sejarah akan berulang tanpa disadari, tanpa dimengerti, dia datang tanpa ada kemampuan dan tanpa mungkin dipahami Karena takdir merupakan suatu kejadian suatu peristiwa yang sejak lama telah kutuliskan.
33
Anugerah Tuhan melihatku lapar Dia hamparkan sawah seluas pandanganku Tuhan melihatku dahaga Dia sediakan laut lepas yang tidak terjangkau Tuhan melihatku dalam kegelapan Dia ciptakan matahari dan bulan Tuhan melihatku penuh persoalan Dia mengajariku arti kesabaran
34
04 YULITA MAIZIA Yulita Maizia, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, pada tanggal 19 Mei 1993. Mulai tahun 2011 ia menjalani pendidikan di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma. Hobinya mendengarkan musik, bernyanyi, nonton film, browsing, dan isengin orang. Cita-citanya ingin menjadi seorang yang terkenal. Motto hidupnya adalah Kebahagiaan yang kamu dapatkan akan jauh lebih bermakna jika diawali dengan kejujuran.
35 Sajak Alam Riuh rendah suara ombak Terasa tenang bila kumenikmatinya Burung camar pun ikut bersua menyambutnya Sambil menerobos langit yang terkoyak Sayup-sayup sasando berkumandang Sambil diliputi serbuan angin lembut yang datang Memaksaku untuk menyimaknya dengan seksama Suara yang begitu indah dan menyejukkan di dada Nyiur melambai-lambai bagaikan penari hula-hula Mengajakku untuk bergoyang dan berdendang Tak habis kupikir mereka mengajakku dengan penuh gembira Saling berpandangan dan melenggang Namun saat ini tak lagi kutemukan mereka Mereka yang begitu ramah padaku Kini hanya padang pasir yang fana Panas mencekik membuat hatiku menggerutu
36
Langit Langit siang yang indah Kau menari-nari di sana bersama raja siang Kagum kumelihatmu begitu kau mempesona Kuingin kau menghampiriku mengajakku berdansa bersama kalian Namun ada penyihir jahat mengubah langit menjadi gelap Tampaknya ia iri padamu kawan Kau menangis dan basahlah bumi Hingga sungai-sungai memuntahkan isi perutnya Bunga-bunga bersorak riang dan menari-nari menyambut tangisanmu Katak bernyanyi menikmati tangisanmu Bagi manusia tangisanmu membawa pilu Takut akan muntahan sungai Memporak-porandakan gubuk mereka Langit terus berkobar-kobar Ia terus menghajarmu, ia iri padamu Karena kau indah dan menyejukkan hati Hatimulah yang membuat langit gelap menjadi langit berwarna
37
Gadis Kecilku yang Malang
Ribuan senjata Menghadangku, menakutiku Menenggelamkanku Seakan membuatku jatuh Terperosok ke jurang kematian Hentakkan jantung ini Tak jua tenang Aku berteriak Aku menangis Nafasku tersenggal-senggal Tak ada yang menggendongku Ataupun mempedulikanku Jari-jari kecil ini Hanya sanggup terkulum di mulutku Menyaksikan orang terkasihku Disentuh oleh bambu besi Perasaanku terguncang Ketika kau mengacungkan senjata itu Dan melepaskan biji besi itu ke kepalanya Lidahku kelu menghadang Apa yang membuatku tertahan Betapa hinakah ia Jahatkah ia hingga kalian menghentikan hidupnya Tangisku seketika terhenti Melihat orang terkasihku Bermandikan tinta merah Dan ia hilang Tinggalkan aku sendiri
38
Sang Dewa Pencemburu Taman ini terlihat sepi Hanya dihuni makhluk berakar tua Awan putih itu sungguh ramai Bergerombol bagaikan kawanan domba Matahari terlalu semangat berolahraga Cucuran keringatnya jatuh ke tubuhku Aku haus Aku gerah Dan kau pun begitu Setangkai es krim Membuat matahari ngiler Menjatuhkan panas sinis Melihat aku dan kamu Di bawah pohon beringin Yang rindang ini Menikmati panas Yang tak kita suka Biar saja sang dewa Cemburu pada kita Yang terpenting aku dan kamu Tak terganggu
39 Di Sisa Jawaban Ini apa... Itu apa... Aku tak lagi mengenalnya Dulu yang kuanggap bongkahan emas Kini telah menjelma sekat menjulang Lapangan luas dilahap gedung-gedung pencakar langit Jalan kampung tergilas aspal keras Aku menebarkan kehidupan kau merubahnya menjadi rumah mewah Apa yang kupunya kawan Hanya kaki tak terawat Wajah penuh lukisan kepiluan Kain pembungkus luka yang menggangga Kunikmati keterisakan tangis di wajahku Kurasakan sayatan batin yang tlah mendarah daging di batinku Tak ada kenyamanan Tak ada keindahan Bagaimana dengan nasibku Nasib yang tak pernah diperjuangkan
Aku bagaikan tulang-belulang yang tak berguna Tunggang-langgang ke sana kemari Mencari asa yang tertunda Manusia lebih kejam dari dunia ini Yang bisa melakukan banyak hal Melebihi mahkluk lainnya Apa yang kudapatkan kawan Hinaan Cacian Kesengsaraan Kemunafikan Keserakahan Tragis...
40
Alam pun Hidup Di ujung senja sana Kulihat bongkahan batu yang kokoh Sungguh pemandangan penuh panorama Menjamu langit yang memerah Berjuta bintang melukis langit Indah dan tak bercelah Semakin membuatmu terpesona genit Memanjakan dirimu yang mulai marah Langit di ujung sana mendadak gelap Mendung disertai hujan dan petir menampar Tak mampu mulut ini untuk berucap Hanya tangis dan jantung yang mengempar Batu kokoh tak juga lagi kulihat Hanya butiran debu yang tak bernilai Bersenyawa dengan air laut menggeliat Menambah haru biru dunia ini
41
Menyerah Tak pernah aku tahu kapan semuanya akan berakhir Itu bukan hal yang tabu walau terasa hambar Gambaran tentangku di matamu sulit kutemukan sulit kulukiskan Hanyalah bayangan semu yang tak pernah terungkapkan Terasa begitu miris tersaji tak beralasan genggaman khayalan yang tak bertuan Hempasan makna pedih menyakitkan melengkapi suasana di ruang pesakitan Apa yang kuinginkan Apa yang kuwujudkan Remang-remang lampu ini mengikuti alur hatiku Aku merasa semakin sepi keadaan yang benar-benar meracuniku Ingin aku berontak tapi aku bisa berbuat apa Keadaan sungguh menguasaiku dengan membentak hilang tersaji di pelupuk mata Apa yang kupunya Apa yang kurasa Indah Bahagia Damai Tidak...!!! Semakin terpuruk
42
05 Rizki Valensi Rizki Valensi lahir di Lubuklinggau, Palembang, 15 Juni 1991, beragama Islam, suku Palembang. Alamat Jl. Cendana Blok G No 116 Perumnas Lubuk Tanjung Lubuklinggau Sumatera Selatan 085378326665 dan E-mail:
[email protected] FB :
[email protected];
twitter
:
@valend_olive Orang tuanya: Adi Sumaryanto dan Rayu Sumarti; Rizki anak kedua dari tiga bersaudara Pendidikan:SD Negri NO 47 Perumnas; Lubuktanjung Lubuklinggau Sumsel; SMP Xaverius Lubuklinggau Sumsel; SMA Xaverius Lubuklinggau Sumsel; dan sekarang mahasiswa di Jurusan Sastra Indonesia 2011Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
43
Jam Tua TIK. . . tok. . . tik. . . tok Jam tua berbunyI Dalam kegelapan malam Menusuk setiap jiwa Seolah memberi petanda TIK. . . tok. . . tik. . . tok Lagi jam itu berbunyi Dalam terik matahari Menerobos masuk kedalam raga Petanda sebagai semangat Rumput-rumput berbau surga Lantai berbau neraka Siang kita di taman Malam kita di kamar Kau dan aku dalam dekapan Membangun kekokohan cinta Dan jam tua menjadi saksi
44
Aku Kamu Cinta adalah setia Izinkan aku untuk mencintaimu Berharap cinta yang tulus Seperti air yang menemani hujan Hatiku adalah kamu Di hatiku ada namamu Berharap jodohku adalah kamu Seperti lebah dan madu Bumi adalah tempatku berpijak Ada hujan ada matahari Begitu pula dengan cinta Aku ada karna kau telah tercipta
45
Bangkai Bunga tumbuh karna adanya air Jika tak ada air maka ia akan kering Begitu juga “Kau” Kau tumbuh subur dan makmur Hanya harta yang kau cari Bumi hanya menerimamu sesaat Uang hanya lewat sebentar saja Daun beterbangan dibawa angin Kau hanya duduk manis Bersama teman-temanmu yang kejam Kau berada di tingkatan tinggi Sedangkan kami berada di bawah Kau dan kami bagaikan langit dan bumi Kau tak ada apa - apanya tanpa kami Kau jadikan kami korban Matahari menatapmu dengan sinis Ia tahu kaulah penyebabnya Banyak orang kelaparan Banyak juga orang mati Terciumlah bangkai dimana-mana Kau penghancur bumi Kau tikus rakus, kau juga siluman Kau tak henti-hentinya menggerogoti Hingga kami semua musnah Hancurlah tanah airku
46
Doa Untuk Pahlawan Suara hujan terdengar diluar sana Riuh – riuh angin menerbangkan atap – atap rumah Kubungkam mulutku dengan tanggan Agar ayah tak mendengar tangisku Mereka terus menyakiti ayahku Seperti burung yang sedang menyantap bangkai Darah segar mengalir deras Seperti derasnya hujan di luar Ayah terus merintih Aku tak kuat melihat ini Pemandangan buruk dan sangat menyedihkan Aku melihat sendiri pintu kematian Detik – detik dimana aku akan kehilangannya Aku benci mereka! Mereka adalah musang liar Andai bisa kuhentikan waktu Hendak kubawa lari ayah jauh – jauh Sejauh kakiku berlari Meninggalkan bumi yang kejam ini Asal aku tetap bersama ayah Aku memohon dengan suara lirih “ Tuan . . . jangan bunuh ayahku “ “ Bunuhlah aku saja“ “ Aku ingin ayah hidup“ “ Hidup selama – lamanya“ Aku hanyalah gadis kecil Tak banyak yang bisa aku perbuat selain berdoa Ya Allah . . . Hanya satu pintaku: lindungi ayahku Selamatkan pahlawan keluargaku
47
Doa di Ambang Petang Dari terbit Hingga tenggelamnya matahari Dari terang Hingga gelapnya langit Kau tak kunjung pulang Aku, bapak dan ibu Mencari kau kemana-kemana Di bantu juga warga dan pak polisi Kau tetap tak kami temui Tiga hari berlalu Satu minggu berlalu Satu bulan pun berlalu Kau masih tak pulang Saat kota ini diramaikan Saat potongan mayat ditemukan Bau amis berlalu – lalang di hidung Membuat goa mulut ingin memuntahkan Aku, bapak dan ibu Segera datang ke sana Melihat apakah itu kau Kau yang slama ini kami cari Kaki terasa lemas Jantung berhenti Mata hendak meloncat Dan nadi tak mampu berdenyut Ternyata itu kau! Kau adikku sayang Kau seperti binatang jalang Terlihat tiada artinya Keparat . . . Sampah keluar dari mulutku Siapa yang kejam melakukan ini Apa salah adiku ? Kami kaum miskin Kami kaum kumuh
48 Dan kami pula kaum menderita Apa kami punya salah ? Mengapa adikku menjadi korban Gadis yang tak tahu apa – apa Dunia ini membuatku semakin muak Muak akan perlakuan manusia Manusia yang serupa dengan setan!! Adik . . . Aku berjanji Selalu berdoa untukmu Dengan hati yang pilu Dengan badan berserah diri
49
Bintang yang Hilang Bintang ke manakah engkau kutunggu setiap malam aku memandang angkasa luas berharap dapat temukan sinarmu Mungkin kau sedang terluka Bersembunyi mencari obat Jika sembuh keluarlah Temui aku melalui sinarmu Aku merenung seorang diri sepertinya aku tahu apa penyebabmu menghilang Dunia dan isinya ini diciptakan dengan indah tapi manusia merubahnya Hingga kau tak mau menampakkan diri lagi
50
Syair Hembusan Rindu Kamu di sana Kamu jauh di sana Sedangkan aku Aku hanya di sini Kesadaranku hilang Hilang entah kemana Mungkin aku diterpa angin Mungkin aku dibawa bintang malam Diam adalah aku Aku diam menantimu Berharap kita bertemu Seperti kemarin Sejuknya udara pagi ku hirup dalam-dalam Kurasakan tiap hembusan Berharap beraromakan engkau Hanya foto yang dapat kupandangi Hanya bayangmu hadir bersamaku Hanya ketulusan yang membuatku bertahan Bertahan atas nama cinta
51
06 A Ria Puji Utami A Ria Puji Utami, Saya lahir di Bulian Baru, 08 agustus 1993 sebagai anak bungsu dari pasangan suami istri Gregorius Leo Sunarya dan Theresia Sri Susila Wati. Kakak saya bernama Yohana Danik Setia Wati dan Christina Wiwin Andriana. Saya berasal dari Provinsi Jambi. Saya beragama Khatolik Roma. Saya orangnya cerewet dan humoris, saya suka menggambar untuk menghilangkan kejenuhan, membuat puisi sekarang menjadi hobi saya. Saya Alumni SMAN 1 Batang Hari dan diterima di Sanata Dharma, Jurusan Sastra Indonesia, angkatan 2011. Dari kecil saya bercita-cita ingin menjadi pelukis. Namun hobi membaca dan mengoleksi komik menjadikan saya ingin memiliki perpustakaan dan penerbitan buku sendiri agar dapat menerbitkan buku-buku yang bisa mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Itulah sebabnya saya memilih Jurusan Sastra Indonesia. Walaupun sebenarnya saya menginginkan Jurusan Seni Lukis tetapi Jurusan Sastra sebagai pilihan pertama saya jalani dengan serius hingga sekarang saya sudah menjalani studi sampai semester empat. Di Prodi Sastra Indonesia saya suka belajar tentang sastra: drama, sastra lisan, bahasa serta belajar membuat puisi walaupun saya tidak ahli dalam membuat puisi, belajar membuat surat, banyak hal yang saya pelajari semoga ini menjadi bekal masa depan saya. Harapan saya adalah dapat menyelesaikan studi empat tahun. Dan saya berharap setelah lulus nanti saya bisa bekerja sesuai dengan bidang yang saya ambil yaitu Sastra Indonesia.
52
Senyum Mentari Ibu Terik mentari terasa amat menusuk Deru kendaraan memecah siang Butiran debu berpadu dengan asap Menjadikan siang kian abu-abu Terasa penat di dada Namun senyum manismu Menyejukkan keringnya jiwa ini Rimbun atas hutan cinta Mengukir ketulusan di setiap sisi kehidupan Bunda, dirimu telah mengajarkan cinta Bagai keagungan bumi Yang membernafas tanpa batas Tanpa akhir dan tanpa ujung Mengajarkan cinta dengan harapan dan mmpi-mimpi Kedamaian yang diberkati Seperti titik-titik air di atas tunas mengalir menghidupi Bunda, kasihmu bagaikan waktu yang berdetak begitu pelan dan akan selalu berdetak.. Tanpa senyum hidup terasa sepi Bunda dirimu adalah kata-kata Dirimu adalah lirik-lirik doa Drimu adalah cerita-cerita cinta Bunda, jiwamu adalah kupu-kupu Dengan seribu sayap kebebasan Arenamu seluas langit Tamanmu cahaya-cahaya pelanggi
53
Ketika Senja Ketika senja menghias langit Terselip cerita antara aku dan mama Ketika kita duduk bersama di bawah semilir bayu senja Mama memandangku dengan tatapan tajam kebencian Di sudut kedua bola matamu terlihat Seperti ada bayangan luka masa lalu Entah apa yang mama rasakan Namun jantungku berdetak kencang. Darahku mengalir menghujam seluruh tubuhku Melebihi dentingnya jarum jaman Pandangan mama yang semakin kuat Tapi di sudut matamu mama, kutemukan arti cinta yang tak pernah mama tunjukkan Aku juga menemukan arti indahnya bersamamu Indah matamu, bagaikan pelangi di langit senja.
54
Elegi Hujan Air mata duka Menangisi kebiadaban dunia Kematian seorang manusia Menusuk hati yang terdalam Tak banyak yang kuperbuat Selain menangis tak beraturan Nada gila menyeruak Menghancurkan hidup ayahku Hujan berhiaskan petir Ikut memberontak Ikut merasakan Pedihnya jantung yang perlahan berhenti berdetak Aku hanya bisa menyaksikan Tubuh tak bernyawa tergeletak Meninggalkan aku sendiri Dalam dunia yang penuh dengan kegelapan
55
Sajak Pelangi
Mengapa perbedaan sering dipermasalahkan? Bukankah perbedaan itu indah seperti pelangi yang menghiasi langit sehabis hujan dengan berbagai warnanya yang berbeda. Karena dengan perbedaan itu dunia menjadi berwarna Yang akan menghiasi jejak-jejak sejarah. Mengapa perbedaan sering kali menjadi jurang pemisah di antara dua dunia? Bukankah kita dilahirkan memang untuk berbeda? Jikalau perbedaan menjadi masalah, tidak akan ada seorang pun yang mau berbeda Dia, aku, ataupun kau pasti tak mau berbeda Tapi mengapa perbedaan menjadi musuh yang harus dilawan? Bukankah kita hidup untuk mengasihi? Mengapa perbedaan seakan-akan menjadi seperti layang-layang hias yang berlomba-lomba menari indah di langit Tapi tak terlihat saat terbang tinggi seperti layaknya kehidupan ini. Mengapa kita tak seperti layang-layang itu yang indah tapi dengan sendirinya terbang tinggi tak terlihat Bahkan tau mau melihat? Akankah negara kita akan terus seperti ini yang tinggi akan semakin tinggi yang rendah akan semakin rendah tidakkah bisa kita menjadi pelanggi yang indah dengan perbedaan warnanya?
56
Sepengal Duka Adikku kecil Adikku sayang Adikku malang Meninggalkan sepengal duka Diam membisu dengan lumuran darah Terbungkus plastik yang terpoles oleh lumpur Di antara kertas-kertas terserak Tak satupun memandang dirimu Darah mengalir dalam bara jalanan Dan daging adalah tumpukan batu Yang tergeletak sampai akhir Baru kutemukan dirimu Diperbatasan hitam dan putih Antara dosa dan amarah Tangan setan mencabik-cabik tubuhmu Memotong di setiap sudut kehidupanmu Begitu banyak penthil-penthil setan Yang meniup dosa melenyapkan benih cintamu Ketika matahari menyingsing Mencuci darah dalam bungkusan
57
Sayap Amarah Ijinkan aku sesaat meluapkan kemarahanku Yang terpedam didalam dada ini Mengalir dan membanjiri semua aliran darah dalam tubuh Untuk sebuah duka tak bertahta Bagai lautan lepas Mengombakkan suara gemuruh Mengunyah dosa terkutuk Mengeliat di sekujur tubuh Kau…kau bagai binatang jalang Berlumur darah yang mematikan jiwa Terlepas terkelupas dari jasad Tergeletak tak bernyawa Kau hancurkan tulang belulangku Lantas kau bakar luka di atas deritaku Kobaran amarah teramat sulit kuungkapkan Ibarat binatang kau paling terhina Kau cabik-cabik tubuh itu Tak peduli jeritan bergema di telingamu Kau kepakan sayap kemenangan mu Ketika fajar menyingsing
58
Sajak Orang Kecil
Tak seorang pun mau memandangku Tubuh kurus kering keronta Dengan pakaian lusuh Aku berjalan menyusuri trotoar Keeping demi keping ku cari Senyum getir mengais harapan Demi sebutir nasi untuk bertahan Ku terus melangkah Di antara mobil-mobil mewah Dan gedung-gedung tinggi Menuju sisi kota Ya.. perkampungan kumuh Itulah tempat tinggal ku Dimana aq Lahir dan dibesarkan Mungkin sampai matahari terbit dari barat
59
Cinta Sepucuk Pinang
Negeriku indah Negeri penuh cinta Negeriku kurindu Negeri buah pinang masak Mengukir sejarah negeri Melayu Kerajaan Sriwijaya bertahtah Di bantaran sungai Batanghari Meninggalkan cerita lama Kini kujauh darimu Negeriku kurindu Ingin kukembali Bermain sampan di huluan sungai Pinang masak tlah membenam di ufuk senja Memejamkan mataku di akhir cerita Membawa rinduku ke dalam mimpi Mimpi tentang cinta sepucuk pinang
60 Sang Penguasa Dua sudut mata Mengalir kan tatapan tajam Menatap setiap sisi kehidupan Berlutut, menanti sang penguasa Dia… Mengunyah untaian sumpah Mengancingkan benang keadilan Mengikiskan iman hingga tuhan terasingkan Dalam tahta kekuasaan Duduk menjarah sisi pengharapan Bertingkah menyeduh keringat sudut kota Mengingkari amanah Sembari berlutut Mencoba melihat sebatang lilin Membakar dirinya hingga secercah Meleleh setiap sudut segitiga Di sisi gelap malam Satu bintang bersinar Menemani sang rembulan Cukup melukiskan sepenggal untaian janji
61 Puing-puing
Kekejaman
Waktu mengukir jejak kaki Suka dan duka menghias sejarah Semua akan bermakna dan indah Seperti pelangi sehabis hujan Pandanglah ke depan Karena hidup ini akan terus berjalan Bagai nelayan mendayung perahunya Sampai ke ujung lautan Tapi buatku hidup itu ibarat bunga, yang menyeruak di tengah lebatnya semak Tumbuh di tengah reruntuhan Bermain-main dengan puing-puing kepedihan Berkejaran dengan debu dan panas matahari Membakar aura kebencian Seperti tungku-tungku yang memanaskan Menghujam kejamnya hidup
62 Sayap yang Patah : Kahlil Gibran Aku lelah menanti Aku lelah menunggu jawaban yang tak pasti yang kutahu tak pernah keluar dari mulutmu Apa yang kaumau.. Kau mempermainkan perasaanku Kau bunuh aku dengan semua sikapmu Kau menganggapku seakan-akan aku tak ada Apa yang kau mau.. Deritaku kah Atau air mataku Percuma kau kusayang Jika nyatanya aku tak di hatimu Lebih baik aku menghilang menghancur impianku tuk bersamamu Apakah kau tahu Remuk hatiku Dengan gumpalan luka yang kauberi Aku muak dengan semua lakumu Ku tak ingin lagi menuai luka membuat aku jera tuk mencinta.
63
Keindahan Cinta
Aku dipertemukan pada cinta yang terpilih Sosok yang hadir untuk memenangkan hatiku Cintamu bagaikan semilir angin yang berhembus di kala terik Sejuk, tenang dan selasa kurindukan Kau bisikkan cinta senada nyanyian alam Membingkai hatiku bagai taman bunga Kelembutan hatimu membuatku terpana Melihat keindahan rembulan Seperti melihat keindahan di wajahmu Cinta,.. Di sela hatiku Kudengar suara hatimu Menggema lembut dalam kalbuku
64
07 Bayang Kalbu Bayang Kalbu (dipanggil Bay) lahir di Blitar, 22 Juli 1991. Saya mulai masuk sekolah di SDN OO1 Kecamatan Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur tahun 1998. Kemudian lulus tahun 2004 dengan nilai yang cukup memuaskan. Saya lanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya di SMP N 4 PPU di tahun yang sama. Sekolah yang satu ini berada tepat di depan rumah saya. Bahkan sekolah ini berada di ruang lingkup rumah saya (atau justru sebaliknya rumah saya yang berada di lingkup sekolah)
.
Tahun 2006 saya kembali lulus sekolah dengan nilai yang cukup memuaskan, dan di tahun itu juga saya langsung melanjutkan sekolah saya di SMA Katholik W.R. Soepratman 020 Samarinda. Sekolah ini membimbing saya hingga lulus di tahun 2009, dengan nilai baik. Ibunda saya, yang seorang guru di sekolah menengah pertama di tempat saya dahulu bersekolah, yang sangat disegani, serta Ayah saya yang seorang petani dan pemburu bersahaja tidak mampu membendung niat saya yang kuat untuk menjadi seorang pengangguran. Maka, pengangguranlah saya selama dua tahun. Setelah dua tahun yang melelahkan menjadi pengangguran, saya melanjutkan sekolah saya keperguruan tinggi Universitas Sanata Sharma tahun 2011. Dan tanpa ragu saya memilih Sastra Indonesia (yang kelak akan membuat saya ragu).
65
Kutukku
Hei Keparat ! Jangan tertipu matamu aku bukan ayam belenggu tak membunuh hidup mati tak berarti Dengar! Sungai kepedihanmu takkan bermuara lembah kesepian akan mengungkungmu Istri meninggalkanmu saat puncak cinta anak dan cucumu membuangmu merayap dalam kubang lintah menghisap habis darah hanya itu, hanya itu kawanmu kamu mati!
66
Pohon Apel
ia adalah pohon apel sumber cinta dan hidup yang menyempurnakan
mengakar kuat sumber teguh tegar tubuh batangnya indah penuh hasrat daun-daun mahkotanya dan buahnya ranum menggoda memanggil yang hidup padanya
ia adalah pohon apel sumber cinta dan hidup yang menyempurnakan
ia adalah sumber hidup ia adalah mahakarya penyempurna ia adalah yang tercinta
67
Seorang Putri Aku bingung harus berkata apa jika ini bisa terucap, jantungku sakit nafasku sesak otakku selalu merekam dengan seksama seperti bulan bagi yang tersesat bintang bagi pelaut seorang putri memakukan pandangku memakukan pikirku ya, aku melihat seorang putri anggun jelita sempurna hanya dia yang mampu mengguncangkan duniaku dan putri itu kamu
68
Dia
Kemanakah kita seharusnya ketika Tuhan pergi meninggalkan kita jatuh tersungkur bangkit lagi terpelanting lagi jatuh merangkak bangkit berlari terseok, menyeret langkah mengejar Tuhan yang entah pergi kemana
69
Sajak Puzzle Potong dipotong dipotong potong adikku wahai semesta raya dimana rasamu dunia semakin kanibal manusia semakin tak bermoral menjadikan manusia potongan sesama manusia menjadikan kerabatnya potongan seperti puzzle puzzle manusia langit hujan darah
70
08 Brigitha Dina Anggraeni Nama lengkap saya Brigitha Dina Anggraeni, saya lahir di Ternate. Pada tanggal 12 Oktober 1993 dari pasangan Bapak Ignatius Edi Purwanto dan Ibu Mariana Frederika Matanubun. Saya berkebangsaan Indonesia dan beragama Katholik. Saya tinggal di Beneran RT 02 RW 023 Purwobinangun Pakem Sleman Yogyakarta. Adapun riwayat pendidikan saya, yaitu pada tahun 2004 lulus dari SD Negeri Karanganyar Donokerto Turi Sleman Yogyakarta. Kemudian melanjutkan di SMP Dominicus Savio Larat (Maluku Tenggara Barat) dan lulus pada tahun 2007. pada tahun 2011 lulus dari SMK Sanjaya Pakem dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Fakultas Sastra Program Studi Sastra Indonesia. Pada tahun 2010 saya ditugaskan sebagai sekretaris Orang Muda Katholik di Paroki Pakem. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan saya mengenai berorganisasi, saya selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan kampus maupun kegiatan-kegiatan di luar kampus. Pada tahun 2011 saya diberi kepercayaan dari wilayah paroki untuk menjadi pendamping PIA (Pendamping Iman Anak). Dan pada tahun 2011 juga, saya bergabung dengan komunitas sendra tari “Aburing Kupu-Kupu Kuning” yang bertempat di Jalan Kaliurang Km. 17 Yogyakarta. Selain itu, saya juga aktiv dalam membuat puisi. Puisi-puisi saya antara lain: “Selamat Pagi Cinta,” “Wahai Kekasihku,” “Hentikan Kekerasan di Muka Bumi,” “Kekecewaan,” “Banjir Darah Ayah,” “Aku Pelacurmu Bung!” “Aku Perempuan,” “R,” “Tragedi,” “Dilema,” “Losmen,” dan “Aku Menunggumu R.”
71
Selamat Pagi Cinta
Semoga hari ini Hatimu secerah pagi ini Secerah matahari bersinar Langkah yang kau tapak selalu bawa kebahagiaan Biarkan musim berganti Tinggalkan kesan yang mendalam Tak mudah dilupakan dari mata jernihmu yang berkaca Lihat aku.. Yang selalu bisa baca pikiranmu Mengisi jiwamu Menyapamu menghiasi hari-harimu Lihat senyumku Dengarkan suaraku Akan teduhkan jiwamu Karena aku mencintaimu dengan kesungguhan
72
Wahai Kekasihku Wahai malam Jangan kau redupkan sinar di hatinya tuk slalu menjadi cahaya cinta di hatiku Ungkap segala gundah dan resah dalam jiwa Mekarkan bunga-bunga kerinduan dalam asmara Wahai sepi Jangan kau sembunyikan cintanya dariku Karena yang kuharap sayangnya kepadaku Bangunkan rindu yang resah dalam kalbu Usik lamunan di gelap asa yang tak mengaku Wahai dingin Jangan kau bekukan kerinduan di antara kami Karena dia selalu hadir dalm mimpi-mimpi Getarkan dawai-dawai cinta dalam hati Nyanyikan desir angin di tiap sudut sepi Wahai kekasih Berikan aku setangkai kelembutan jiwa tuk ungkapkan tirai-tirai asa tersisa Sampaikan ungkapan jiwa dalam relung-relung rindu kepadamu
73
Hentikan Kekerasan di Muka Bumi Jangan teruskan, hentikan ! Aku muak dengan kekerasan dan tawuran Emosi dan ambisi menghujam setiap sudut negeri Pemaksaan dan kebengisan terus terjadi Beda pendapat bagai timah panah liar tak terkendali Keringat darah membasahi raga..
Tolong, anggaplah kami sebagai manusia Jika kami bertanya tolong jawab dengan cinta Di jalanan, kami sandarkan cita-cita Karena hidup kami adalah di jalanan Apakah pantas mereka memikul semuanya? Korban nyawa terus berjatuhan Mari segera hentikan, jangan terlalu banyak bicara Nyawa terus melayang Mari kita rangkul mereka dengan cinta dan kasih sayang Anak Indonesia harus diselamatkan dari tawuran Karena mereka adalah generasi muda bangsa….
74
Kekecewaan
Pendidikan tak ubahnya pembentukan Pembentukan pribadi-pribadi yang baik Tetapi di antara yang baik ada bibit yang tidak baik Merekalah yang akan jadi penyakit Di tengah kemerdekaan yang nestapa Masih adakah secerca cahaya disama? Cahaya bagai jelata yang tak tahu apa-apa Cahaya tuk si kecil yang terlantar di sana Apakah kebebasan ini benar-benar nyata? Ataukah hanya ancaman? Kami butuh cahaya yang sebenarnya Cahaya kemerdekaan yang nyata Bukan hanya cahaya yang menyilaukan mata Tetapi cahaya yang memberikan kami kepastian
75
Banjir Darah Ayah
Musim dingin paling keras dalam kehidupan Darah berceceran Menjelma hujan darah selangit Bara api membakar langit Hangus jadi sehamparan tanah hitam Di mana demi tahta aturan ngawur diberlakukan Banjir darah Ayah adalah tarikh paling hitam dan pedih ketika kuasa beralih Kejam sekali, Siapa pun yang dianggap lawan dan bersalah Dengan sadis ditumpasnya habis
Banjir darah Ayah Kemanusiaan meremah musnah Sesak sekali dada ini Bila angan bayangkan tragedi itu
76
Aku Pelacurmu, Bung ! Aku pelacur yang mencintaimu, Bung! Saat mataku menutup dan hidungku menghirup bau hewan Keluar dari keringat tubuhmu hingga membanjiri malam Yang setiap tetesnya mengalirkan lembaran-lembaran uang Aku pelacur yang mencintaimu, Bung! Memijat seluruh badanmu yang lelah karena pekerjaamu Dan membuat jariku melepuh dan kesakitan Tajamnya mengiris habis daging kebenaran hingga limit Licinnya menjebak perempuan melacurkan cinta serendah tumit Membelai tubuhmu hingga lumat Sembari kau tulis berlembar-lembar undang-undang perzinahan dan pelacuran Sementara mulutmu mendesih nikmat Aku pelacur yang mencintaimu, Bung! Setelah kau tanam benih rasa di rahim kusam ini Dan ketika lahir kau panggil anak haram Aku pelacur yang tubuhnya hendak kau pasung dengan undang-undang yang kau buat. Aku adalah pelacur yang mencintaimu, Bung!
77
Aku Perempuan
Aku bisa membunuhmu, tapi bukan dengan tusukan belati Aku membunuhmu dengan setetes cinta, yang akan meracuni tubuhmu Berhati-hatilah, Bung, aku ini perempuan Aku perempuan yang mampu mengangkat kamu setinggi langit Dan aku juga sanggup menjatuhkan martabatmu serendah telapak kaki Berhati-hatilah bung, dalam elok tubuhku sesekali tersimpan desis ular yang siap membelit Terasa menyenangkan ketika kau letakkan tubuhku bersama derit di kasur itu Tapi jangan pernah kau jatuhkan harga diriku Karena jika semuanya itu terjadi, maka akan membuatmu mati dengan telanjang Aku bukan wanita, aku perempuan!
78 : R
Ingatkah kau tentang kejadian dulu kala itu? Kita memojok untuk memadu cinta Mulut kitapun mulai berpagutan Setan lewat cuatkan hasrat Tubuhku dan tubuhmu pun mulai merapat Mengerang, mengejang Benih kasih pun tertanam Beberapa bulan kemudian Terdengan isak tangis bayi dari dalam rumah Ada yang terdengar di selokan Di tempat sampah Di jalanan Dan di kebun
79 Tragedi
Tragedi lagi-lagi tragedi Terdengar jelas suara tembakan itu dan Terdengar jelas pula suara ledakan itu Pem-Boman, penembakan, banjir, tanah longsor, mutilasi, Pembunuhan, gusur-menggusur kian menjamur Pongah merambah bawah Ruahkan susah ruahkan amarah Kucucurkan air mata Bahkan maburkan nyawa Tragedi lagi-lagi tragedi Mengundang kebencian suarakan makian Rakyat miskin terdera hidupnya dan teraniaya Penipuan, pemelaratan, pemerasan semakin tambah jelas Tragedi lagi-lagi tragedi Pilukan kalbu
80
Dilema
Seharusnya senang, Ada nafsu yang terjadi Semalam tadi. Seharusnya happy, Seorang pria melata Sedekat tanah Mestinya puas, Gelapnya malam Mempermudahkanku untuk melakukan Ternyata masih ada, Perempuan meratapi sempat kekasih Yang hilang tergesa Tanpa pesan
81
Losmen
Bibir kita saling bersentuhan Mata kita redup Seperti keasyikan menyeruput susu coklat panas Dari cangkir tanpa ditiup Ini malam kita berdua, bukan malammu saja Tanganmu mulai rakus menjarah Tubuh ringkih gerayangi sarangmu Aku binal karena amarah Kalau saja, Kutemukan cara bersih untuk keluar dari belenggu korupsi ini Dengan tak melayani nafsu-nafsu bejat pejabat negara Tentu saja akan mudah Melepaskan bibir-bibir yang melekat ini
82
Aku Menunggumu R Aku menunggumu R Diantara langkah-langkah yang bergegas Sebuah kendaraan yang kutunggu tak kunjung datang juga Detik berganti detik berlalu Berguguran sepi dan galau Aku masih saja setia pada apa yang tak bisa ku katakan Waktu telah menunjukkan kesedihan Terkikis kelengangan yang menghempas Seolah isyarat waktu yang tak terungkap
Daun-daun berguguran Namun ada yang tetap terjaga Menunggu datangnya dirimu suatu ketika
83
09 Elizabeth Ratnasari Elizabeth Ratnasari, lahir di Klaten , 23 Januari 1993. Beralamat di Ngepeh, Pasung, Wedi, Klaten. Pendidikan: TK Pertiwi Pasung, SDN Pasung 1, SMP N 1 Wedi, SMA N 1 Jogonalan. Orang tua: Ig.Suratno & Th.Sri Wulandari
84
Kekasihku Kekasihku .... Sudahkah kau dengar suara angin yg membawa rinduku? Lihatlah nanti hujan mengalirkan air rinduku hingga ke tempatmu Oh kekasihku ... Sesungguhnya kita tak pernah jauh Kita masih menatap langit yang sama Dan merasakan terik matahari yang sama Kekasihku ... Pergilah, namun kelak jangan kau salah berjalan pulang
85
Berikan Hidupku Lihatlah kami di sini Langit menangis melihat duka anak-anak negeri Tidak malukah kau makan hak kami? Kami yang seharusnya menikmati damainya hidup di khatulistiwa Tapi kau belenggu kami dengan jerat duri Kau persulit kami menghirup oksigen di negeri sendiri Setelah ini apalagi? Mau kau gadaikan gunung dan pulau di negeri ini?
86
Sajak Adikku Malang Hari itu, aku tak dapat lagi melihatmu Aku tak pernah tahu Kenapa kau pergi secepat itu ? Tubuhmu begitu suci Tubuhmu yang begitu mungil Dicacah tanpa belas kasihan Darahmu bercucuran Mengalir, mengampiri kematian Kini aku tak dapat memelukmu Hatiku terluka, kau diperlakukan kejam Mereka telah mengambilmu dari aku Selamat jalan adikku Tertawalah engkau di Surga Bersama Tuhan kita
87
Merapiku Sejukmu ... Suaramu ... Pesonamu ... Menyita seluruh rinduku Namun murkamu membawa pilu Ada air mata di sana Ada pula dukaku di situ Jangan kau marah lagi Kembalilah pada damaimu Kembalilah pada indahmu Agar kami tenang di sisimu
88
Perpisahan Perpisahan Ada perpisahan Antara masa lalu dengan masa depan Ada percakapan Antara pagi dengan malam Ada perjanjian Antara lonceng doa angelus dan siang hari Ada pertemuan Saat kau melihat dan bertanya Siapakah yang duduk di altar gereja itu ? Tertunduk dan mengepal tangannya Melafalkan doa yang begitu indah Dan dia larut dalam percakapnnya bersama Tuhan Hening
89
10 Lidia Nathalia Trysnawati Rido Nama: Lidia Nathalia Trysnawati Rido. TTL: Waikabubak-Sumba Barat (NTT), 14 Desember 1991. Asal: Sabu (NTT). Tamat pendidikan: TK: Kemala Bayangkari (1997) SD: Sekolah Dasar Masehi -Waikabubak (2003-2004) SMP: Sekolah Menengah Pertama Kristen- Waikabubak (20062007) SMA: Sekolah Menengah Atas Negeri 1– Waikabubak (20072008), selanjutnya saya menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1Kupang (2010). Kuliah pada tahun 2011 di Universitas Sanata DharmaYogyakarta, jurusan Sastra, prodi Sastra Indonesia hingga saat ini. Aktivitas Sastra: - Sejak TK, saya sering mengikuti lomba baca puisi. Tetapi saya bergaul dengan puisi sudah sejak kelas 3 SD. Walaupun, pada saat itu saya belum bisa menghasilkan sebuah karya, tetapi saya sangat senang ketika guru-guru selalu melibatkan saya dalam berbagai kegiatan maupun perlombaan puisi. Tak sedikit piala, piagam dan sertifikat yang saya peroleh. - Tidak hanya di sekolah pada tahun 1997, saya mendapat juara pertama deklamasi puisi antar GBI (Gereja Bethel Indonesia) se-kabupaten Sumba Barat. Walaupun saya bukan pemeluk agama ini, tapi saya selalu dipakai untuk mengikuti perlombaan. - Di SMP, saya sempat menulis sebuah cerpen dengan judul “Ayah, Mengapa Aku”, tetapi cerpen ini tidak sempat diterbitkan oleh Pos Kupang. Selanjutkan, saya menulis puisi dengan judul “Akar Pahit”, “Bak Anak Tiri” dan “Kasih Sayang”, dan puisi-puisi ini juga tidak sempat diterbitkan. Masa-masa SMP inilah prestasi-prestasi sastra saya semakin membludak. Saya semakin terkenal dan bisa mengharumkan nama keluarga saya. - Selanjutnya saya mulai serius menekuni dunia sastra pada saat SMA. Di SMA saya mengambil jurusan Bahasa, jadi saya bisa bergaul karib dengan puisi-puisi. Saya sempat menulis sebuah novel yang berjudul “Kisahku, Kisahmu” tetapi novel ini belum selesai saya tulis karena berbagai halangan yang saya hadapi. Harapan: setelah saya mengikuti matakuliah penulisan puisi, maka saya akan tetap berkarya bahkan keinginan saya harus tercapai untuk menghasikan kumpulan antologi sendiri. Sekian dan terima kasih.
90
Hilangmu, Dukaku
Di keheningan malam ini, Datang secercah harapan Untuk menyambut jiwamu datang kembali
Sudah dua tahun aku merasa hidup tanpamu Namun, ini harus kujalani Walaupun ragaku tak sanggup
Di beranda rumah Kududuk merenung Mengingat canda tawamu Sebelum kau pupus ditelan Senjata bejat-bejat itu Ayah…. Ingin rasanya kuberjumpa denganmu Walau hanya dalam mimpiku Walau hanya memandang wajahmu Di bingkai usang ini.
O.Tuhan, jaga dia selalu di sana Bahagiakan dia di sisimu Karena dia, sang pejuang.
91
Denting Rindu
Kabut malam terasa menyesakkan Bergemuruh badai malam, menggetarkan Diantara ribuan debu dan kabut Saat bertemu, tak bertemu terasa sesat
Kupandangi ransel kusamku Ingin kuisi bekal rinduku Dan kubawa berlari Arungi gelap jalanan cintaku Gontai jalanku iringi rinduku
92
Kemiskinan Negaraku kaya Tapi banyak orang miskin berserakan Atau kemiskinan ini Milik negaraku? Ataukah kaum miskin yang tak mau berubah Atau negaraku kumpulan orang miskin! Tidak, kulihat banyak orang berpangkat Hidup mewah dan hampir memeluk dunia O kemiskinan….. Pergilah kau dari negeriku Indonesia Pergilah kau para insan yang membuat kemiskinan Siumanlah kau Para pembuat kemiskinan! Buka mata hatimu Wahai orang-orang yang membuat negara ini miskin Indonesia bukan milik kau saja Anak cucu juga ingin Menikmati kekayaan negaraku Negara Indonesia…
93 Jika Kau Adalah Aku
Jika kau adalah aku.. Akan banyak puing terajut Jika kau adalah aku…. Aku tersadar begitu banyak cinta terselip dalam doa sepanjang nafas Jika kau adalah aku… takkan pernah bertanya kapan janji akan terpenuhi aku „kan selalu ada untukmu hingga tak terlewati dalam tiap langkah semampaimu. Tapi… Aku harus menunggu sekian zaman Agar kau menganggap aku ada untukmu “jika kau adalah aku”!
94
Sanggupkah Terdiam merenung sendu bersenandung lagu rindu Terbayang perjalanan waktu Sebuah kenangan masa lalu Tiada lagi nyanyian yang ku lantunkan Tiada lagi penghibur laraku Tiada lagi ketenangan dalam jiwa Yang ada hanya bintang berduka Yang ada hanya langit tergores luka Seakan ku hendak berkata Inilah nadi kehidupanku Senyuman pun hendak membeku Dalam dinginnya pekat malam Tangisan kian melarut pilu Dalam harunya lautan malam Sanggupkah kulalui badai pasir rindu Sanggupkah kulupakan indahnya ribuan pesona mimpi Sanggupkah kulangkahkan kaki melewati panas bumi Sanggupkah kubenamkan diriku dalam lautan kelam Sanggupkah kubertahan dinginnya hembusan angin salju Hanya ada satu jawaban hati akan kulalui dan kujalani dengan kasih murni setulus hatiku.
95
11 Ludgerdius Beldi Ludgerdius Beldi lahir di Pontianak, 26 Maret 1992. Alamat asal Jalan Gajahmada, Gg. Gajahmada X, No 6, Pontianak, Kalimantan Barat Nomor Telepon : 0896 7625 020 Alamat email :
[email protected] Alamat web: https://soundcloud.com/mrlood/mrlood Deskripsi diri: Young, Wild and Free.
96 Segitiga Pekat Waktu itu di Ujung Darat pagi belum bisa melihat api dari dekat Namun tameng kami tiba-tiba hancur diseruduk banteng sesat Terkilat tangan kasar legam ramai meledakkan mataku sesaat Terlukis dari dekat Raja kami layu dihantam laknat Lima watt yang berada dekat, berkedip cepat melawan gerakan padat Aku terjaga hangat dibalut bunda beradu vibra pelan menyudut ke bale-bale gelap Sambil mencuri tatap, kepungan serta hantaman memeriahkan raut Raja kami di bawah 5 watt Serentak aku memuntahkan tanya, "Apa salah Raja kami tuan-tuan Ujung Darat?" Kalap, aku yang masih belum bisa melihat siang hampir kalap Tersungkur Rajaku kutatap terlelap padat di bawah pusat 5 watt Tangis air mata tak bisa lewat untuk menyusup keluar melihat Hanya sontakkan membelalak mengiring hayat Raja kami terlelap Ohh Penguasa kolong dan atap Terlalu banyak cara menyadap diriMu yang hebat! Terlalu banyak suara telat saat tak tau siapa yang didaulat! Bahkan terlalu banyak yang bersyahdat menciptakan satu yang tetap! Sekarang bisa kau lihat ! Rajaku menatap merana tanpa gerakan yang terlihat Knights Templar yang dulu kuat, kini hina terikant diantara orang-orang Ujung Darat! Knights Templar yang dulu kuat, kini rapat menutup kisah Trilogo para penjilat! Dan, Knights Templar yang dulu memberiku belaian hangat, kini hanya dingin yang mengikat Jawablah aku wahai Baphomet sang penerima surat! Apa kau masih pekat sewaktu kami selalu bersyahdat? Bicaralah ! Apa kau takut disalib dan dikatakan sudah bertobat ? Sesungguhnya, ketika kau rapat seperti mayat. Trilogimu sudah tamat !
97
Ballada Badu dan Budi Ini kisah tentang hari ini Badu dan Budi Putra Indonesia asli Pagi tadi Badu pergi bersekolah Dengan sepeda bagus tapi tak sebagus katanya Sesampai di Sekolah Badu kena marah kepala sekolah Itu karena Badu belum bayar uang sekolah Sesampai di rumah, belum sempat makan Badu disuruh kerja Sama mak Ratih, Ibu tiri istri kedua ayahnya Badu bekerja menjadi pengais sampah Dari siang sampai sore Badu baru pulang ke rumah Pagi tadi Budi pergi ke sekolah Naik kijang istimewa beraroma mewah Sesampai di sekolah Budi bertemu temannya Badu namanya, teman sekelasnya Ketika bertem, Budi menutup hidungnya Karen Badu badannya beraroma sampah Badu bingung, lalu ia bertanya : "Budi temanku, apa aku terlihat berbeda ?" Budi menjawab marah : "Ia! Badanmu itu, bau sampah!" "Gara-gara kamu, aku jadi malas sekolah!" "Pergi kamu, dasar Tukang sampah!"
Ohhh... Indonesia Inilah potret wajahmu dari dekat Ohhh... Indonesia Hitam jiwamu masih pekat Ohhh... Indonesia Sudikah kau menyimak suara dari dekat ?
98 Cuap-cuap Bro-Bra Kata Bro itu : Segitiga, banyak setannya Garis bentuk jendela, kafir orangnya Lengkungan bentuk bulan, teroris orangnya Kata Bra itu : Cewek, sopan... Kadang membuka Cewek, "KAMI SEKARANG DI ATAS!" Cewek, penjaga... Susah dijaga Cewek, ada uang... Ada barang
99 Anjing ! Anjing ! Aku menghasut makananmu Banyak maksud peluru untukmu Ini bukan logika untuk memaksa Gendong-menggendong tulang ? Arhgg, tersiksa Njing ! Anjing ! Kau memang penggonggong Biji sesawi celoteh, kau lahap juga Bukan pedang untuk memotong Tapi kau melolong kosong arti Anjing ! Keluar kandang lagi Njing ? Buka suara memesan suara sama Njing ? Kupukul kau besok merah, Njing ! Biar betina tua mu tak pusing lagi, Njing ! Anjing ! ga suka kau Njing ? Petantang kencing invasi wilayah Ngentot otak kau Njing! Goblok ! Jantan tuamu, tak seperti Anjing !
100
Bee Ada kalanya waktu itu kita berbincang penuh Mungkin hasilnya tak seperti ini Engkau terbang dari bungaku Dan sekarang hinggap di bunga lain, lalu pergi Ada kalanya juga waktu itu kita becermin, di aliran sungai yang jernih Mungkin sayap kita bisa segar, kemudian bersama terbang menghisap sari Aku memang kecewa ... Lukisan yang kau kirimkan Mengingatkan tingkah saat kita bercerita Dimana canda, tawa membuat iri ekor mereka Tapi setelah itu kau menitipkan goresan sukar Masih fasih aku merekam pidatomu itu : tak bisa, tak bisa. Kita beda boo
101
Suaka Kuasa Ini aku, Bung ! Tak perlu mancung, tuk garang Banyak cakap seragam pakaian Penyeleksi guna hailee sellasie dan machiavelli Semoga hari ini atau esok kalian masih menganggap aku ini sebagaimana tadi kalian mengenal dan sempat mengorek isi telingaku ini dengan suara. Jangan anggap ini sebagai suatu kabut yang tak bisa kalian hapus dengan sekali hembusan. Anggap ini hanya serangkaian pemeriksaan sebelum terbaptis kenyataan. Datanglah kemari sekarang, datangi aku dengan pertanyaan yang selalu kalian siapkan setiap melihat aku bersilat dihadapan kalian. Analisa aku dengan berbagai teori yang sudah kalian pelajari untuk mengungkap siapa aku ini. Perangi aku dan lawan aku dengan mental '98 yang kalian banggakan, sumpal aku dengan kebenaran hasil pedagogis kepercayaan kalian.
Ohh, para Bigot, hantarkan aku dengan des sein ala machiavelli. Manjakan telingaku dengan kidung hikayat keagungan para penganut Haile Selassie dan bangunkan aku dengan derajat wewangian pemahaman kalian. Jangan cari aku, ketika kalian belum bisa menemukan rasa hambar di taik kucing !
102
12 Mikail Septian A. V. Nama : Mikail Septian A.V. Lahir : Balikpapan, Kalimantan Timur 8 September 1993 Riwayat pendidikan : TK Ignatius Slamet Riyadi SD Ignatius Slamet Riyadi I SMP Ignatius Slamet Riyadi SMA Sedes Sapientiae Bedono Masa SMA merupakan masa yang menyenangkan. Saya mengenal puisi lebih lanjut ya pada masa SMA ini. Sempat membuat puisi yang kemudian dijadikan lagu oleh teman saya. Alhasil puisi saya terkenal seisi sekolah. Dari situ saya dikenal cukup mahir membuat puisi. Atas dorongan itulah yang membuat saya terus mencoba menulis puisi ketika ilham menghampiri otak saya. Dalam menulis puisi saya lebih condong kearah puisi yang memiliki kata-kata puitis cinta dan sejenisnya. Namun saya juga ingin suatu waktu bisa menulis puisi dengan tema yang berbeda. Selain senang menulis puisi saya juga senang bermain game. Tiada hari tanpa game. Game bagi saya adalah pelipur lara bagi para kaum jomblo. Game mengerti saya begitu pula saya mengerti game. Terima kasih.
103
Penguasa
Penguasa terbang jauh di langit biru Mencari harta duniawi Penguasa bermigrasi ke segala penjuru Menikmati harta sendiri
Di tanah hanya rakyat melata Mengais sisa-sisa asa Di tanah hanya rakyat berduka Mengucap doa sebisanya
Penguasa merajai segala bumi Rakyat menanggung segala duri
104
Bocah Berbisa Hei kamu! Iya kamu yang menembus tubuh ayahku Dengan pisau terdorong kebenaranmu! Hei bapak suci! Sadarkah dirimu atas tindakan itu? Memutuskan kebahagiaanku dan ayah yang kini tiada Tinggal seorang diri menjalani hidup Lalu lalang mencari-cari kebebasan Yang hanya ada dalam cerita pengantar tidur Nyatanya aku hidup dalam bayang kegelisahan Entah salah apa ayahku! Ayah salah? Lalu kalian benar? Buktikan! Karna kepercayaan ayah berbeda dengan kebanyakan kaliankah? Justru aku berharap semua tiada beda,
105
Pantai
Kala pasir putih memangku manja Ayunan ombak menyentuh hangat Dibuatnya terlena dalam damai
Kala semilir angin laut bersenandung Burung-burung ikut bersua juga Dibuainya teduh dalam mewangi
Di sinilah tempat terkenang Kala di pantai
106
Koral Cinta Hamparan koral itu Embun beraroma, sejukkan batin Hamparan koral itu Kamu ada, cinta terjalin Seakan menyentuh dasar Koral laut menjejalkan kaki tegas Seakan menyentuh dasar Hadirmu di sini beri bias Senyum terlintas Tawa mengisi Koral hanya alas Namun tegar berdiri
107
Kopi Secangkir
Secangkir kopi duduk bertiga Merapat hal dalam satu meja Bicara luas namun bermakna Sejumput kemajuan meraih asa
Kopi menari di atas lidah Membasuh kering kerinduan Sejenak pikiran kembali terarah Merangkum cara kemajuan
108
Ada-ada Sajak
Terangkai sepasang kata Terurai dari sejuta ada Tercipta untuk semua Tersampaikan lewat nada irama
Mungkin ini bual belaka Bagi dia yang tak peduli Tapi ini pesan bermakna Bagi dia yang mencari arti
Ini hidup harus mengayuh Ditemani kata pendorong jiwa Ada-ada sajak dimana kita berada Setiap dari mereka punya arti Ada-ada sajak yang mewarnai masa Akan terus hidup menjulang tinggi
Hingga pada ujungnya Sajak akan menyapa kita Hingga akhir langkahnya Sajak slalu memberi asa
109
Kuning
Tiada lagi elegi Saat kurasa hadirmu Semua begitu tepat Indah pada dirimu
Kuning di kala matahari terik Kuning di kala langit sore Membuatnya padu waktu itu Menjadikan sempurna menutup hari
Kau dan aku tenggelam Dalam naungan kuning di atas Kau dan aku bercerita Saat kuning masih setia meneduhkan
110
Tua Renta
Kepada para petani Terik mencabik-cabik punggung renta itu Melemahkan raga senja Tirai langit tak cukup membantu Meneduhkan niat baja
Namun tekad tiada hilang berlari Mencari rejeki pangan Tenaga terkuras mengurai kulit bumi Menanam benih penghidupan
Semua orang menikmati hasilnya Tanpa tahu upayanya Berjuanglah pahlawan tak terkenal Berjuanglah untuk kelangsungan manusia
111
13 Paskaria Tri Astanti Paskaria Tri Astanti lahir di Mempawah, 8 April 1993, Kalimantan Barat, beragama Katolik, asal Kalimantan Barat. Riwayat pendidikan: SD 05 Mempawah Hilir, SMPN 01 Mempawah Hilir, SMAN 01 Mempawah Hilir, sekarang menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Sastra Indonesia Hobby: membaca, bernyanyi, menulis, makan dan tidur, melihat pemandangan Cita-cita : (dulu ingin menjadi politisi) sekarang, jurnalis perempuan, editor, dosen sastra Indonesia, penulis. Penyair Favorit : Chairil Anwar, Sapardi djoko Damono Novel Favorit : Merahnya Merah (Iwan Simatupang) Sastrawan idola : Seno Gumira Ajidarma
112
Kaca Kerinduan Angin mendesah-desah sumbang pada helai butiran kerinduan Termangu-mangu di posisi penuh adaptasi dan dulu kita sempat beradu penuh sensasi karena cinta yang kita sebut murni Malam semakin ingin memakan Teradakan cahaya gelap dan hembusan nafas semakin ke kanan kutatap kabut pada cermin kemudian menyiratkan ketika ada luruh perasaan Menatap penasaran pada sebuah wajah mengeluarkan angka-angka yang penuh gairah mengatakan rindu membara, kemudian bulan mengaca
113
Sajak Tengkorak Tanah itu bau darah Menggendong bau-bau anyir pecah Udara pun terasing tak mau kenal Tak mau satu, bau darah ingin menyatu Pegi duduk pada siang Siang duduk merangkul paksa malam Tak ada waktu, tak melihat itu Waktu kering dimakan manusia perang Benci sudah menjadi tirai menggerogoti yang hidup jadi brutal Teruslah begini hai makhluk ! Dunia sebentar lagi Museum tengkorak
114
(Bukan) Pendosa Bangku kosong menempati muka gelisah Mendekat di pintu, mataku jadi pucat resah Kubisa lihat Mata sejuknya tertanam lebam Wajah damainya ternganga darah Kubisa lihat Bicaranya tersendat menahan tangis Lututnya bergegar tersandung tendangan Kubisa lihat Lebih dari 20 kali kepalan mendarat tanpa permisi Tak terhitung cacian mencabik-cabik Tak tercatat ludahan tercecer-cecer Ku bisa lihat Tuhan diam Sanubari berteriak, dosa inikah yang dikecam dan kulihat, tapi Dia diam.
115
Sajak Seonggok Mayat Adikku kecil, Adikku mungil Jadi seonggok mayat kemudian terpotong-potong Seonggok mayat itu terhantam tajam Sekarang kecil terpencar-pencar mungilku tidak haram kecilku bukan cacar Siapa gerangan saksi Ketika maut tak mampu berbunyi sabit itu bungkam meredam, memilah tubuh suci Entah apa itu manusia, jadi binatang teruji Darah hilang terhisap jalan seonggok mayat menunggu hidup dari mati suri itu bukan mayat kan ? Sudah pasti… yang disebutkan terseok-seok berteriak pada bulan Kecil memeluk raganya yang lepas pangkuan tanpa daya. Sang sabit dan parang hilang waras Mungil kecil jadi mata saksi, kebinatangan berkuasa di bumi keras
116
Ujung Pada hari terujung , aku masih tidak tahu Kusinggahi rumah, kubiarkan jejak menginjak bekas perjalananku Berjalanku pada aspal kalian, membeberkan jejak lelah kakiku Berhenti bilamana waktu, pada persimpangan beberapa sandiwara tragedi Mencari diam atau beraksi, bahkan cuma jadi saksi belahan peristiwa kini Ingatanku tanpa batas, sampai aku lenyap habis terbabat Aku tidur, masih mencium amis kelakuan-kelakuan lalu Aku bangun, masih mencakar pilar-pilar masa laluku Aku mimpi, serasa mereka menghisap habis sukma tubuhku nikmati jam mati, waktumu mungkin menunggu
117
Pada Malam Malam larut berlari kembali pada semesta Pada dingin gelap tanpa cahaya Lihat kiri, kanan, samping, atas, lalu tengadah bulu lengkung kemudian menari seketika Apa yang salah pada sebuah kaca melihat sendiri termangu sepintas cahaya Ketika tiap sudut mengoceh nada-nada Telungkupku dalam selimut domba sedangkan anjing melolong entah gembira entah gila
118
Pintu Pintu menatap, menoleh sekejap Ukiran yang sebenarnya jadi kunci tak teradaptasi Terayun ganggang, membuka dimensi Tak terkejap, pintu menatap Berbicara pada kegaduhan Ramai, keabadian mungkin hilang Rupanya sekali lagi terlihat Pintu masih menatapku
119
14 Paulina Vianty Eka Permata Paulina Vianty Eka Permata lahir di Desa Sindang Jaya, 07 Juni 1993 beragama Katolik. Suku asal: Sumatera. Riwayat Pendidikan: SD: Sekolah Dasar Negeri 31 Sindang Jaya SMP: Sekolah Menengah Pertama Negeri 02 Sindang Kelingi SMA: Sekolah Menengah Atas Xaverius Curup Sekarang sedang menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Pengalaman: Dari kecil saya mempunyai cita-cita menjadi seorang guru olahraga. Jujur hingga saat ini cita-cita itu masih ada di dalam diri saya. Saya mempunyai cita-cita tersebut karena saya menyenangi semua bidang olahraga. Pengalaman pertama saya ketika saya masuk Sastra Indonesia ini pertama memang saya merasa kalau saya salah jurusan. Terlalu susah bagi saat pertama saya mengikuti semua mata kuliah yang ada. Tetapi setelah saya bertahan hingga mendapatkan beberapa semester saya sudah mulai nyaman dan yakin atas apa yang telah pilih. Di samping dosen-dosen yang sangat memperdulikan saya, teman-teman juga selalu memberi semangat sehingga saya dapat bertahan hingga saat ini.
120 Sajak Kerinduanku Malam semakin larut Tiada bintang dalam malam kegelapan Hanya ada rindu yang semakin membara Dapatkah kau menyampaikannya Dalam keheningan malam Hati ini bergemuruh bak tsunami yang datang menerjang Hingga mataku sayap dan fikiranku melayang Hingga tetesan airmata ini jatuh untuk kau yang selalu kurindukan Semusim kini telah terlewati Setumpuk rindu kini telah membukit Alunan rinduku, untaian rinduku Tak henti menjerat alam pikiranku Harap dilema rindu kan terlepas Walau hanya sesaat saja
121 Ajari Aku Ajari aku untuk membencimu Seperti ketika kau mengajari aku untuk membencimu Ajari aku tuk melupakanmu Seperti ketika kau ajari aku untuk mengingatmu Aku tahu kau tak bisa memberikan utuh cintamu padaku Karena sudah ada penghias hatimu Tapi haruskah aku menanggung rasa ini Kau lukai hati ini Dengan rasa cintamu
122
Tikus Negara Sungguh malang nasib negeri kita Memiliki para koruptor yang telah merajalela Bukankah kebanyakan dari mereka para pendiri banasa? Atau malah, pembawa derita untuk kita? Uang seolah remot negara kita Suap, sudah menjadi tradisi negeri kita Jabatan dan keadilan sungguh membohongi kita Mau jadi apa negeri kita? Polisi tak lagi menggayomi Jabatan tinggi hanya pamor masa kini Rakyat pun tak ditangani Hanya berpikir untuk diri sendiri Agar istana tetap kokoh berdiri Kini tikus pun tegap berdiri Sembari tertawa dan berkata Akulah penguasa negeri ini
123
Kejamnya Dunia Derai deritamu Derai air mataku Kau lemah tak berdaya Kejamnya dunia bagimu Kejamnya hidup untukmu Saat kau jamah nyawa tanpa dosa Dia yang lemah dan tak berdaya Senyuman indah itu telah menjadi derai air mata Nyawa manusia tiada arti baginya Kau kejam Kau sungguh kejam Kau bukanlah manusia Kau tak lebih dari binatang Yang tak pantas hidup di dunia
124
Penyesalan Tak Berujung Saat senja datang Menyambut indahnya rembulan Ku berjalan dalam kegelapan malam Meratapi hidup penuh keluh kesah dan amarah Saat senja datang Berharap rembulan Relungkan kelembutan tangannya Bagi diriku manusia terhina Kehancuran ini memenjarakanku Bayangan kalbu selalu menghantuiku Memperbudak aku hingga tak berdaya Pantaskah aku bersujud di kaki-Mu Memohon belas kasih-Mu Atas segala dosa-dosaku
125
Untukmu Ibu Ibu, mengenangmu, adalah telaga yang sejuk Dalam kerinduan ini kukirim alunan puisi untukmu Ibu, walau orang mencibirmu Tapi kau bagai cahaya surgaku Hinaan, cemoohan selalu kau dapatkan Tapi bagiku engkau wangi bak melati Ibu, rasakanlah kerinduan hati ini Aku ingin, kita bercerita tentang hidup di bawah temaram sinar rembulan Aku rindu nasehatmu tentang kerasnya hidup Ibu, ingin aku tidur dalam dekapanmu yang hangat Yang selalu memberikan semangat hidup bagiku.
126 Goresan-goresan Rindu Kabut hitam terkatup membisu Menawan rembulan yang pucat pasi Sementara sepi menghimpit kesunyian Lahirkan guratan-guratan perih di hati Aku semakin tak berdaya Terpinggirkan oleh ribuan rasa sepi Dan jiwaku menggigil Tenggelam dalam putaran tanpa akhir Batinku menghamba Pada bayang- bayang tanpa makna Pada lentera yang mulai redup Dan rindu yang tak berujung Langit malam menemaniku Melukis indah rona wajahmu Menghiasi asaku dalam penantian Penantianku akan datangnya hadirmu Kini aku kembali disini Di pelabuhan terakhir saat kau pergi
127
15 Wendy Nugroho Wendy Nugroho lahir di Temanggung pada 28 Mei 1993. Playgroup, TK, SD, SMP Masehi Temanggung, SMAN 1 Temanggung. SMA masuk ke jurusan bahasa dan jatuh cinta pada sastra. 2011 Kuliah di USD Sastra Indonesia. Pernah menjadi aktor teater Bengkal Sastra pada semester 2. Selama berkarya di bidang sastra tidak ada karyanya yang diberi judul.
128
Dudukku atasi batu Memandangi selebur putih kapur Tak kutebang cemara buat selembar saja Biarlah tegak berdiri Hempas bayu teruskan hembus kataku Lumut-lumut menyelimut batu, Menggelitikku, pantatku, Menghantu daku jujurkan kalbu 11002722013 Pringgodani Sleman, Yogyakarta
129
mengapa mulutØnya berbusa? liurnya meranggas bagai pohon ketika gugur tuan tahu mengapa mulutØnya berbisa? busa atau bisa? bisa iya seingatku busa, atau bisa? busa berkerumun memenuhi lubang selokan itu busa dari mana? busa dari mulutØnya bisa bisa busa berbisa tapi bisa bisa tidak berbisa atau busaØnya yang berbisa? yang jelas busaØnya mengerumuni lubang selokan itu sampai-sampai tahi-tahi sulit keluar memang banyak yang mengeluh sakit memang busaØnya berbisa tahi-tahi protes karena jalannya dihalang-halangi busa ada yang bawa clurit, ada yang bawa gada, ada yang hanya berteriak-riak, ada yang membawa nyali belaka mereka meminta busa itu segera disingkirkan tapi mulutØnya tetap berbusa dan mereka tetap terbisa dari busa Mengapa mulutØnya tetap berbusa? Mereka bilang kalau tidak berbusa, rusa-rusa tidak terkena bisa, maka lapar sudah mereka Jadi busa buat bunuh rusa lalu busa yang ini? W/114114002 23.19/16413
130
Tuan lihat? jalanan ini bergumaman bising sekali ketika klakson ricuh menyemangati tekanan darah mereka yang membatu di kepala Tuan lihat? jalanan ini bergumaman banyak yang nyawanya melayang orang bilang wis ngati-ati ning wong liya ra ngati-ati yo podho wae Tuan lihat? jalanan ini bergumaman katanya kita banyak hutang tapi jalan itu bergumaman sampai-sampai orang berjalan seperti diincim sampai-sampai tidak ada orang berjalan yang terlihat di jalanan mungkin mereka takut takut oleh rasa malu takut oleh mata orang lain Tuan lihat? bau bensin mengatmosfer kini kita telah berevolusi tak lagi air yang membasahi kerongkongan, tapi bensin yang mengeringkan kerongkongan kini kita lumpuh, tak lagi otot yang menopang kaki, tapi roda yang bergulir ke mana kita akan pergi Tuan bisa apa? w/002 02034/18.09
131
Keparat itu menghantam pengada daku, Ya keparat, hanya kubisik saja Lalu ditusuknya dada kirinya, rerenggut nyawa busukkan pengada daku Meyatukan dirinya pada tanah yang memperbusuk pengada daku Aturan tetap aturan Air asin memang tercecap, Air asin tetap air asin Selaku air asin di samudera yang dihardik sinar terik lalu menguapkan diri Menjadi uap lalu... Gelap sudah, mendung sangat Ia bukan lagi menangis, ia mengencingiku dengan jarum-jarum Yang menusuk siapapun yang dijatuhi, tapi hanya aku dan pengada daku Sekali lagi keparat itu belum puas Ya keparat, cukup kubisikkan saja Jadi jangan sekali-kali kau bilangkan Atau habislah daku Di luar salju basah bukan oleh air Oleh cairan amis pekat yang tercurah Ketika puluhan mata pisau berkarat menjadi saksi mata Jurang terlihat pada tubuh pengada daku Kulihat sungai di dalam jurang, sungai yang dialiri cairan amis pekat Cukup kulihat saja 1744 04032013 Pringgodani, Sleman, Yogyakarta
132
Dugadugadugadug tiang rimbun gugur jadilah bangku Dugadugadugadug tiang-tiang rimbun gugur jadilah tusuk gigi Dugadugadugadug rebah sudah jadi rumah Grokogrokogrokogrok tiap helai daun rontok karena gorok Grokogrokogrokogrok tiap buah talok busuk karena kepala suku ambruk Grokogrokogrokogrok sudah, cukup Grukugrukugrugugrug makin dalam sudah bukit gunung Grukugrukugrugugrug makin melambung sudah gedung Grukugrukugrugugrug bunyinya menelusur orang awam Tingkah mereka tetap saja lucu padahal sudah bukan bocah Harusnya jam 4 sore tapi lihat Langit terlalu gelap Karena asap mereka yang sedang membakar harapan tetangga
0613 04032013 Pringgodani, Sleman,Yogyakarta
133
Lepas bajumu sebelum bicara akan ini Sebelum tumpah darah anyir kami Sebelum kujur membangkai lalu terhembus angin Sebelum serpihan busuk merasuk nafas Sebelum paru digaruk akar murka Sebelum para nelayan salah penjuru, berlayar lalu terdampar dan lapar Sebelum para petinggi melambung diri melepas lenyap di langit Sebelum para anak berseragam seragam saudara Sebelum para raja turun tahta hanya karna bajumu belum tanggal Sebelum bedug mendengkur bersama domba-domba berjenggot Sebelum kaubabtis Chupacabra ini dengan darah manis semanis pahit Lepas bajumu cepat!
w/114114002 22032013/2041 Pringgodani/Mrican
134
Kisah gunduk pasir dan pak mandor menaungi hati Kami warga gunduk pasir, kami bergunduk-gunduk Kami terpencar kecil-kecil, kami yang mati Pak mandor memerintahkan anak buahnya Sambil menunjuk kami, mukanya keras darah Para kuli mengangguk sambil matanya gemerincing receh Pak mandor membawa sekop, lalu melemparkan kepada salah satu kuli Para kuli menyiapkan sekop-sekopnya dan saringan Segera lekas mereka bergerak "Jangan takut" berubah jadi "ayo takut" Kami telah mati, takperlu kau cabik lagi Satu mata sekop menghantam guncukan kecil di sana Sebelum giliranku, kulihat si kecil ditusuk sekop Ujung kepala jadi tambun, lalu potongannya dilempar Ke saringan, jadi keping-keping memori Tiba giliranku
808.080513 k20
135
kumpulan bocah-bocah di seberang jalan sedang beradu asap mulutnya menjadi knalpot kecemasan dan kerakusannya akan diri atas bumi mereka telah berevolusi lihat saja kakinya yang selidi tak pernah mendaki hidup lihat saja kakinya, berukir pola-pola bergerigi, sedikit hitam mencuat dan di pinggirnya berlogo merk kaki yang bergulir bukan berlangkahan kaki yang menggilas kemalasan dan mencandu diri, mengatapi diri dari udara siap hirup mereka telah berevolusi lihat saja mulut yang menghamburkan asap bumi, mulut yang mengenalpoti diri, mulut yang kadang juga minum bumi mulut yang menyucup setiap tetes, bahkan yang harusnya cucupanku bukan lagi air dalam botol minum tapi cair dalam tangki maklum udah modern, manfaatkan sekitar yang memang benar modern ya mereka telah berevolusi lihat saja kepalanya yang berlembar-lembar, bersampul kepalanya dicoret-coret sesuka-sukanya katanya biar ingat tapi tak seagenda ada di kepala, maksudku..tetap ada di kepalanya yang sekarang tapi ketika kepalanya terlalu besar untuk lewat lorong, dia seperti amnesia seesoknya setelah pasang kepala lagi baru kelabakan
114114002 2105.070513 Pringgodani Sleman DIY