KUALITAS Pengantar kuratorial
Kritikus Sanento Yuliman pernah mencatat suatu fenomena yang, disebutnya sebagai “Seni Patung Baru di Indonesia”.1) Istilah “baru” di situ tak perlu kita sangsikan lagi sebagai kata lain dari hadirnya gagasan seni modern. Untuk menegaskan garis perbedaannya dengan seni patung tradisional, atau katakanlah sebagai “seni patung lama” yang terkungkung dalam tradisi dan kepercayaan leluhur. Dalam pengamatannya, seni patung baru itu dimulai pada 1948, lewat pameran patung-patung tanah liat di Yogyakarta, menampilkan karya-karya antara lain; Affandi, Hendra Gunawan, Trubus, dan Edhi Sunarso. Namun, tak ada yang istimewa dari situ. Teknik dan material yang dipakai, sama saja dengan yang dipergunakan orang-orang pada masa lalu. Satu-satunya yang barangkali bisa dicatat sebagai hal baru adalah, dalam caranya memandang dan menempatkan seni patung itu sendiri dalam kehidupan. Ia hadir sebagai sesuatu yang memiliki otoritas atas dirinya sendiri. Affandi misalnya menggarap patung potret dirinya, sebagaimana dilakukannya juga dalam lukisan. Pemandangan itu, merupakan hal biasa dalam kehidupan modern, di mana orang melihat eksistensi dirinya. Tapi, tak biasa bagi orang-orang sebelumnya yang, harus meredam “ke-aku-an-”, demi kepentingan “ke-kita-an”. Hendra Gunawan, mempraktikkan seni pahat batu. Ia membuat patung “Jenderal Sudirman” dalam posisi berdiri sambil sebelah tangannya menggamit jas, sedang tangan lainnya mencekal tongkat. Hendra dengan segala kemampuannya mencoba merepresentasikan sosok pejuang yang, dalam keadaan sakit dan renta, terus bergerilya menghadapi tentara kolonial Belanda. Keinginan membuat patung serupa itu, juga merupakan tradisi dunia modern, sebagaimana monumen yang banyak dicontohkan kota-kota di Eropa. Keadaan yang serba terbatas, baik dalam pengetahuan anatomi, kemampuan teknik dan pengenalan bahan, membuat patung-patung yang dipamerkan pada 1948 itu, memiliki kelemahan dari segala segi. Patung-patung figur yang mereka kerjakan, memperlihatkan banyak sekali distorsi atau pemiuhan. Semua itu jelas bukan karena disengaja, tapi tersebab rumitnya media trimatra itu dikendalikan oleh para pematung yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pelukis itu. Masa demi masa berlalu, sampailah pengamatan Sanento tentang seni patung baru itu pada perkembangan sesungguhnya. Dalam arti pengucapan bahasa trimatra dipahami secara benar tata bahasanya, begitupun penanganan teknis, pengetahuan anatomi dan prinsip seni patung modern sebagaimana dipahami orang-orang Barat. Pengamatan itu tertuju pada pameran “11 Seniman
Bandung”, antara lain menampilkan patung-patung abstrak karya; Rita Widagdo dan G. Sidharta Soegijo. Pameran bersejarah itu berlangsung pada 1966, di awal bangkitnya semangat liberalisme, menyusul berakhirnya rezim Orde Lama dan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia. Patung-patung abstrak yang ditampilkan di sana, seperti menantang agar perubahan segera terjadi pada situasi perbatasan itu. Pameran tersebut membuka lebar-lebar mata para pematung kita yang, selama beberapa dekade terbiasa dengan pemandangan patung-patung realis. Dan, berbilang abad dengan patung-patung tradisional. Karya-karya abstrak G. Sidharta, sesungguhnya masih bertolak dari figur. Namun, figur dalam karya-karyanya, dimunculkan dalam sosoknya yang terpiuh di sana-sini. Tapi, pemiuhan di situ, tersebab oleh sebuah alasan estetis. Jadi sesuatu yang memang disengaja adanya. Ia, tersebab oleh penguasaan anatomi yang baik, dengan bebas memberi tekanan pada bagian bentuk tertentu, mengurangi bagian-bagian lainnya, atau bahkan menghilangkan sama sekali. Sehingga, bentuk-bentuk yang hadir pada patungnya hanya menyarankan atau mengasosiasikan sesuatu menyerupai figur. Oleh Sanento, karya macam itu dikatagorikan sebagai abstrak yang tak mutlak abstrak. Sebab, bayang-bayang representasional masih tersisa di sana. Adapun karya-karya yang mutlak abstrak— kadang-kadang disebut abstrak murni, menurut Sanento, nampak pada karya Rita Widagdo. Dikatakan demikian, tersebab oleh caranya memulai berkarya yang, langsung merujuk pada bentukbentuk murni, kalau tidak silinder, bulatan, persegi empat, dan lain sebagainya. Dalam pameran “11 Seniman Bandung” itu umpamanya, Rita menampilkan patung kayu yang, dilihat dari bentuknya bertolak dari suatu silinder. Dengan praktik serupa itu, karya-karya tersebut melepaskan dirinya dari keinginan untuk menggugah, apalagi bercerita dan berteriak. Ia berbahasa atas dan untuk sesuatu yang lebih jauh. *** Dilihat dari sejumlah judul karya-karyanya, Rita sesungguhnya memahami dan mendekati realitas, tapi tidak menyalin dan juga tak melakukan abstraksi atasnya. Ia menafsirkan semua hal yang dipahaminya dengan prinsip-prinsip dasar geometris; garis, bidang dan ruang. Memang kita kerapkali terkesima, manakala menghampiri karya-karyanya dan menemukan dua hal yang kontras di situ, yakni; karya-karya di satu sisi yang memperlihatkan penjelajahan lanjut terhadap bentuk-bentuk geometris, dan oleh karena itu abstrak. Lalu, judul karya di sisi lain yang mengacu pada sesuatu yang sesungguhnya tidak abstrak. Oleh karenanya, senarai judul yang tertera pada karya-karyanya kerapkali memancing kita untuk bertanya: Apa realitas dalam bentuk sesungguhnya, dan apa realitas dalam karya-karya Rita? Sebuah karya berjudul “Ibu dan Anak”
misalnya, lalu yang mewujud pada karya tersebut adalah sebuah komposisi yang dibangun dari bentuk silinder, dan permainan ruang negatif dan positif yang sangat teratur dan rapih. Begitupun pada karya-karyanya yang lain, kita selalu menemukan bentuk-bentuk personal, tapi judulnya merujuk pada sesuatu yang umum, di mana kita telah terlanjur memiliki stereotype atasnya. Hal umum yang dimaksud di sini, berkaitan dengan pemahaman dan pengertian-pengertian kita mengenai pelbagai hal seperti; tumbuh, gerak, jiwa, hidup, lembut, tegas, dan lain-lain. Memang, dalam sejumlah karya yang lain, kita menemukan judul-judul yang bertolak dari peristilahan karya-karya itu sendiri, seperti; Relief 1, Relief 2, Relief 3, Dari dua dimensi ke tiga dimensi. Atau dengan dingin ia hanya menyebutkan wujud dari karya-karyanya seperti; Bentuk dan garis, Putih, abu-abu dan hitam. Ada juga hanya mengatakan gabungan dua bahan yang dipergunakannya, seperti; Batu bertemu logam. Betapa kontrasnya judul-judul tersebut bila disandingkan dengan judul karya yang lain seperti; Wanita muda, Keluarga, Gadis, Kegembiraan, Bahagia. Dengan mengambil kecenderungan formal, Rita melaksanakan penjelajahan yang lanjut ke wilayah bentuk, sampai semaksimal yang dapat dikejarnya. Bentuk-bentuk yang dibangun dari susunan garis dan bidang saling jalin menjalin, kerawang, cembung, cekung, bergelombang, dan seterusnya, merupakan unsur-unsur irama yang kerapkali kita temukan pada karya-karyanya. Hubungan antara bentuk-bentuk tersebut satu sama lain, mengantarkan kita pada sesuatu kesadaran mengenai adanya kekuatan tarik menarik, ketegangan, kelenturan dan segala reaksi dari hukum kausalitas. Ada soal-soal yang secara rasional dapat kita pahami sebagai sesuatu hukum alam di situ, di samping sensibilitas yang berkaitan dengan masalah estetik. Penjelajahan menuju sesuatu kesempurnaan bentuk, mendapat dukungan dari kecakapan teknik dan keakraban bahan-bahan dengan dirinya. Sehingga dengan itu, ia dapat menampilkan kesan saling berlawanan antara sifat-sifat material di satu sisi dengan keterampilan teknik yang tinggi di sisi lainnya. Ia umpamnya mengubah kesan keras dan padat pada material logam, menjadi sebaliknya, menjadi sesuatu yang lentur, lembut dan mudah dibentuk. Semua itu terlihat hampir pada seluruh karyanya, baik patung maupun relief. *** Rita Wizemann lahir pada 26 November 1938 di Rottwell, Jerman. Setelah menikah dengan Widagdo, seorang ahli desain interior, namanya lebih dikenal sebagai Rita Widagdo. Menempuh pendidikan di Sttatliche Akademie del Bildenden Kunste, Stuttgart, Jerman, sekolah seni yang dikenal menekankan metode pendidikan membangun inisiatif mahasiswanya. Di sekolah itu, Rita dibimbing oleh dua dosen sangat berpengaruh yang, satu sama lain berbeda
pandangan estetik, yaitu; Profesor Hannes Neuner yang cenderung pada karyakarya non-representaional. Dan, Profesor Otto Baum yang mengarah pada kecenderungan representasional. Rita belajar sebagai pematung di antara perbedaan prinsip dua gurunya itu. Selama masa pendidikan, ia pernah mendapat penghargaan, antara lain hadiah der Preis di Akademie Wettbewerb Stuttgart. Dan, di masa yang sama salah satu karyanya dikoleksi oleh Staatsgalerie, sebuah galeri milik negara. 2) Keyakinan estetik yang teguh, pengalaman masa kecil menyaksikan patungpatung klasik yang menekankan kesempurnaan di kota kelahirannya, tradisi kerja keras dan kesungguhan yang terbentuk semasa pendidikan, merupakan dasar yang kuat mendudukkannya sebagai seorang pematung. Selaku pematung modern, yang terus menerus memperbaharui diri, Rita pun tak berhenti hanya menjelajahi satu material dengan satu teknik. Sebuah masa datang padanya, menuntut untuk berubah dan berkembang lebih jauh. Ia paham, karya-karyanya dalam ukuran besar seperti monumen, mendesaknya untuk melakukan pembaharuan dalam material dan teknik. Dalam rentang beberapa tahun saja, Rita telah menjinakkan sejumlah material industri yang rumit untuk karya-karya patung maupun reliefnya. Material paling banyak diperguanakannya adalah kuningan dan baja tahan karat (Stainless Steel). Di lihat dari situ, perjalanan karya-karyanya, tentu saja bukan hanya gagasan mengenai seni abstrak, tapi pencapaian dalam segala hal yang berkait dengan karya itu sendiri; pengetahuan bahan dan teknik. Pindah ke Indonesia di awal 1965, saat situasi ekonomi, sosial dan politik di negri ini dalam keadaan payah. Persaingan kekuasaan di tingkat partai dan elit politik serta perseteruan terbuka di akar rumput, tengah berada pada titik kritis, kemudian berakhir dengan peristiwa politik berdarah 1965. Namun, situasi buruk tersebut justru membawa efek sebaliknya bagi Rita. Tak lama berselang, sebuah perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya, secara besar-besaran benar terjadi. Kaum teknokrat Orde Baru, mulai merancang sebuah Indonesia dengan paradigma pembagunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi ujung tombaknya. Keadaan inilah yang, kelak menjadi pintu gerbang masuknya karya-karya Rita dan teman-temannya di Bandung ke ruang-ruang publik. Karya-karya yang oleh banyak orang dikatakan paralel dengan kecenderungan “mainstream”, itu mendapat serangan dari mereka yang berbeda pandangan. Trisno Sumardjo, seorang kritikus yang tajam, menyebut kecenderungan karya-karya Rita dan teman-temannya sebagai “Laboratorium Barat”. 3) Namun, abstrakisme rupanya menjadi langkah alternatif, setelah kecenderungan realis pelan-pelan meredup dari panggung seni patung. Seperti gayung bersambut, bidang seni rupa ITB yang dibuka sekitar 1947 oleh pendidik dan pelukis Ries Mulder, kemudian melahirkan pelukis seperti; Ahmad
Sadali, But Mochtar, Srihadi Soedarsono, Mochtar Apin, mengadaptasi seni modern kurang lebih seperti yang dipahami Rita. Tersebab kedekatan bahasa itu pula, Rita dan kelompok perupa Bandung, dengan mudah satu sama lain saling merapat. Persekutuan di antara mereka kemudian kerap disebut sebagai kelompok “Mazhab Bandung”. Bersama-sama G. Sidharta Soegijo yang pernah belajar seni patung di Jan Van Eyck Academie, Maastricht, Belanda (1956) dan But Mochtar, yang mendalami seni patung pada Sculpture Center of New York dan riset di Masschusetts Institute of Technology (MIT), USA (1961), Rita ikut mengembangkan pendidikan seni patung di bagian Seni Rupa ITB. Sebagaimana dicatat oleh Claire Holt dalam penelitiannya, pendidikan tinggi seni rupa (ASRI dan ITB) itu memang sama-sama memiliki kelemahan dalam pengajaran seni patung.4) Maka, bergabungnya Rita, tentu saja memperkuat fondasi seni modern yang diartikulasikan antara lain lewat seni patung abstrak di institusi tersebut. *** Pameran ini, merentang lebih dari seratus karya, dengan waktu terjauh diambil dari era 1960-an dan terdekat era 2000-an. Seluruh karya merupakan hasil pemeriksaan dari pelbagai tempat terpencar, sebagian ditampilkan sebagai karya utuh, sebagian lainnya disajikan dalam bentuk fotografi. Karya-karya yang ditampilkan utuh adalah patung dan patung relief. Sedangkan yang ditampilkan lewat media fotografi adalah karya-karya monumental di ruang publik, dan patung-patung dalam ukuran besar yang bersifat permanen ditempatkan dalam gedung perkantoran. Dalam pengumpulan karya-karya didapatkan kecenderungan, bahwa sejak era 70-an, produktifitas karya-karya Rita mulai memperlihatkan peningkatan pesat. Dan, perkembangan itu berlangsung secara konstan sampai saat ini. Sebagian besar karya yang ditampilkan dalam pameran ini, diciptakan pada era 90-an, terutama relief yang, erat kaitannya dengan lingkungan arsitektur. Era ini memang merupakan satu fase paling menonjol dalam pembangunan di bidang arsitektur, terutama ibukota Jakarta. Seni patung dan lingkungan arsitektur Di era 70-an, Indonesia mulai memasuki sebuah babak baru yang ditandai dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Sebuah Indonesia yang dibayangkan kuat dalam ekonomi dan terpandang di tengah pergaulan bangsabangsa di dunia. Gubernur DKI Ali Sadikin yang sangat populer saat itu, membayangkan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan budaya. Ia ingin menjadikan ibukota sebagai beranda bagi karya-karya seni modern, layaknya Tokyo, Paris, Berlin, New York, dan kota besar lainnya di dunia. Pada masa pemerintahannya
pula, dibangun Taman Ismail Marzuki (TIM), sebuah pusat kesenian yang memberi nafas bagi kehidupan metropolitan Jakarta. Sekitar 1974, untuk pertama kali patung abstrak karya Rita Widagdo “Dinamika Dalam Gerak”, terbuat dari bahan stainless steel, mengisi kawasan Slipi, Jakarta. Patung dengan posisi menjulang setinggi 8 meter, itu merupakan pengolahan bentuk-bentuk geometris yang mengesankan harmoni antara kelembutan dan ketegasan. Rita menghadirkan kualitas material padat dan keras; logam tahan karat dengan material alam berupa air yang mengalir dari permukaan tertinggi ke bagian terendah dari patung itu. Di samping sebagai penanda kawasan tersebut, patung itu juga untuk memberi keseimbangan kota Jakarta yang penuh sesak oleh lalu lalu lintas kendaraan bermotor. Sayangnya, patung itu hanya tegak beberapa tahun saja. Pada 1987 pemda DKI membongkarnya dengan alasan pelebaran ruas jalan layang di kawasan tersebut. Terbatasnya ruang-ruang publik dan area hijau, serta tak berimbangnya antara ruas jalan dengan jumlah kendaraan bermotor, membuat ibukota Jakarta seharihari sebagai ruang perkotaan yang kering, kumuh. Dan, tentu saja tak nyaman. Dari kenyataan itulah agaknya, sejumlah gedung perkantoran membangun ruang pengimbang di sekitar halamannya. Departemen Koperasi yang terletak di kawasan Semanggi umpamanya, pada 1998, membangun patung abstrak karya Rita Widagdo, di samping gedung utamanya. Patung berjudul “Synergy” itu, terbuat dari batu granit merah, dengan tinggi 8,15 meter. Karya-karya Rita juga berdiri di kawasan perusahaan-perusahaan raksasa dengan modal besar. Pada 1975 misalnya, perusahaan pupuk PUSRI III, membangun patung setinggi 6 meter, terbuat dari baja tahan karat, di kawasan cukup luas. Sehingga patung itu dapat dilihat dengan lebih leluasa. Kemudian pada 1989 Asean Aceh Fertilizer (AAF), membangun patung terbuat dari baja tahan karat, setinggi 12 meter di Lhokseumawe, Aceh, PT. Total Indonesia , pada 1998 membangun patung aluminium setinggi 8,3 meter, di Balikpapan, Kalimantan. Terakhir pada 2004 lalu, dibangun patung berjudul “Parameswara”, terbuat dari baja tahan karat dan aluminum, setinggi 17 meter, di Palembang. Patung-patungnya yang cukup besar, berukuran antara 3 sampai 6,5 meter, juga mengisi sejumlah perkantoran, universitas, hotel dan bank. Dua diantaranya yang paling menarik adalah patung aluminium, setinggi 6,5 meter di Universitas Atmajaya, Jakarta. Patung yang dibuat pada 2001, itu menggambarkan sesuatu bentuk seperti lembaran-lembaran pelepah yang bergerak dinamis dari bawah ke atas. Dan, satu lagi patung di Bank Indonesia, Batam(1997). Patung setinggi 3 meter, itu berbentuk setengah lingkaran yang, pada bagian tengahnya digambarkan kibasan bidang yang dibangun dari garis-garis terbuat dari kuningan. Relief
Memasuki akhir 80-an, kemudian semakin pesat pada era 90-an, relief untuk interior ruang-ruang perkantoran pemerintah, swasta dan rumah tinggal, mulai menjadi garapan baru Rita Widagdo. Rita kerap menyebut karyakarya jenis ini dengan istilah elemen estetis, karena dihadirkan untuk memberi nilai tambah atau sebagai pendukung arsitektur. Namun, pada kenyataannya karya-karya tersebut, kerapkali melampaui istilah yang disebutkannya. Kendati di lihat dari segi fungsi sebuah relief untuk memberi nilai tambah pada ruang bangunan. Namun, karya-karya Rita, seringkali tak berhenti sebagai sebuah pelengkap ruang kosong. Ia memiliki makna dan kualitas yang tak dapat ditarik begitu saja secara hirarki, hanya lantaran fungsi sesuatu. Sebuah contoh, reliefnya yang dibangun pada 1990 di dalam gedung Mahkamah Agung. Karya terbuat dari kuningan berukuran 7,2 X2, 25 meter, itu bertolak dari ide sebuah lingkaran. Di situ diperlihatkan sebuah bidang komposisi yang kuat dan memusat. Garis-garis tegas biasanya menonjol pada karya-karya Rita, dalam karya itu justru nampak liar seperti kobaran api. Namun semua nampak terkendali. Lingkaran itu dari garis-garis terjauh, bergerak makin mendekat menuju suatu inti lingkaran yang ada ditengah-tengahnya. Ada kesan gairah, semangat, dan keagungan di sana. Beberapa karya monumental interiornya yang lain dan cukup penting, terdapat di gedung Gedung Departemen Pendidikan Nasional (1989), Gedung BPPT (1993), keduanya di Jakarta, PT. Freeport Indonesia (1995), Timikia, Irian Jaya, dan Hang Nadim Airport (1995), Batam. Patung-patung relief berukuran antara 30 sampai 135 sentimeter, telah dimulainya pada era 70-an. Sebagian besar terbuat dari bahan logam. Seperti karya-karya lainnya, patung relief terus dikembangkan Rita sampai sekarang. Berbeda dengan patung-patung tunggalnya yang kebanyakan tegak menjulang, patung-patung relief lebih banyak mengambil bentuk persegi empat dan memanjang. Salah satu contohnya karya “Bidang yang timbul”, 62 X 74 sentimeter. Karya terbuat dari kuningan pada tahun 1994, itu merupakan bidang persegi empat yang, bagian tengahnya diberi ketinggian dari bidang lainnya. Garis-garis sensitif sebagai ciri khas karya-karyanya, nampak menjadi aksen atau tekanan yang bersifat dinamis, di tengah bidang statis. Patung Ketika awal di Bandung Rita banyak membuat patung dengan teknik pahat di atas kayu dan batu, tradisi itu berlangsung sampai sekarang. Karya-karya pahatan kayu seperti inilah yang pernah ditampilkan pada pameran “11 Seniman Bandung” tahun 1966. Dalam kaitannya dengan teknik pahat, Rita cukup beragam mempergunakan bahan dari alam antara lain; batu granit, granit merah, batu onyx, marmer Carrara, marmer Padalarang, marmer Jawa Timur, kayu sonokeling, kayu mahagony, dan kayu jati.
Karya-karya pahatan kayu Rita, tak memperlihatkan efek tekstur. Ia cenderung menampilkan permukaan yang bersih dan rapih, kira-kira tak jauh berbeda dengan pemandangan pada pahatan batu, dan patung-patung logamnya. Sebuah pahatan di atas kayu sonokeling berjudul “Pasangan”, setinggi 144 sentimeter, dibuat pada 1998, memperlihatkan kenyataan itu. Pada karya yang mengambil posisi tegak menjulang, itu ia memperlihatkan dua sisi bentuk yang hampir-hampir menyatu. Dan, menyisakan semacam celah yang sangat sensitif. Kita bisa melihat permukaan yang sama dalam pahatan batu dalam “Putih, abuabu dan hitam”. Karya berukuran 73,5 X 87,5 sentimeter, itu terbuat dari campuran batu granit dan marmer Carrara, dibuat pada tahun 2000. Karya tersebut memperlihatkan elemen bidang persegi empat, garis-garis bebas dan sejumlah titik-titik putih di atas hitam. Kecenderungan Rita mengekspos kekuatan visual pada bahan, dan memberi judul sebagaimana yang tampak di situ, ditampilkan pada beberapa karya dalam pameran ini, seperti; “Keindahan Marmer”, berukuran 69,5X64 sentimeter (2001). Di era 70-an, ia mulai intensif mengembangkan karya-karyanya dengan material logam, baik relief, maupun patung-patung dalam ukuran besar seperti monumen. Material logam yang dipergunakannya sangat luas, mulai dari perunggu, kuningan, aluminium, tembaga, emas, baja tahan karat (stailess steel) dan plat besi. Karya-karya berbahan logam bisa kita temukan dalam “Harmoni”, terbuat dari kuningan. Karya yang dikerjakan tahun 1995, berbentuk sekumpulan potongan bidang-bidang yang tegak menjulang, itu memperlihatkan permainan irama yang hamonis. Bidang yang satu seperti menahan bidang yang lainnya, dan dibagian tengah nampak semacam ada tegangan atau efek tarik menarik . Di luar material sebagaimana disebut di atas, Rita juga mengembangkan karyakaryanya dengan menggunakan lebih dari satu bahan, dengan pelbagai teknik, misalnya dalam hal ini resin electroplating. Di kalangan pematung masa kini, penggunaan resin cukup luas dilakukan. Di samping lebih ringan, pengerjaan dan bahannya jauh lebih murah ketimbang logam. Dengan teknik electroplating patung jadi yang terbuat dari resin, dapat dilapisi tembaga. Teknik melapisi atau menyepuh ini, dipraktekkan juga oleh Rita, ketika ia hendak memberi efek warna pada bahan aluminium. Lihat misalnya karya berjudul “Semangat”. Karya setinggi 183 sentimeter, itu menggambarkan tiga potong material terbuat dari aluminium yang disela-selanya diperlihatkan garisgaris bergelombang merah, meyiratkan sesuatu yang berkobar atau bergerak. Bagian merah di situ adalah aluminium yang dengan campuran bahan kimia tertentu menghasilkan warna merah.
Teknik pelapisan untuk bahan aluminium ini dalam seni patung disebut dengan anodize. Pada bahan seperti tembaga dan kuningan, pelapisan bahan kimia untuk mendapatkan pelbagai efek warna, biasa disebut dengan patina. Praktik itu bisa kita lihat dalam “Pasangan IV”. Karya setinggi 85 sentimeter, itu memperlihatkan bentuk kira-kira setengah silinder berdiri tegak. Pada karya yang dibuat pada1987, itu bahan utamanya adalah kuningan. Sedangkan efek warna lain yang melekat disitu, merupakan hasil dari proses patina. Teknik pelapisan lainnya diperlihatkan juga oleh Rita, misalnya pada “Lembut&Tegas”. Karya setinggi 78 sentimeter, dibuat tahun 2002, itu menggambarkan bentuk organis tegak lurus yang pada bagian tengahnya hitam, sementara di sebelah kiri dan kanannya berwarna kuning keemasan. Karya ini mengalami tiga kali pelapisan dari material dasarnya resin, yaitu electroplating, sepuh emas dan brownir, sebagai lapisan terakhir. Dukungan teknologi sangat banyak membantu terciptanya karya-karya baru dengan pelbagai campuran bahan dan teknik. Hampir segala gagasannya dapat dicapai dengan kemampuan teknik tersebut. Untuk sejumlah karya yang terbuat dari logam misalnya, ia menggunakan teknik electroplating, patina, dan anodize. Di era 70-an ini juga, Rita banyak menciptakan patung-patung dalam ukuran atau standar ruang pameran. Patung-patung pribadi itu umumnya berukuran antara 30 sentimeter sampai 225 sentimeter. Penutup Setelah empat dekade berlalu, Rita nampak tetap pada keyakinan seni abstrak, kendati rekan-rekannya yang lain telah bermuhibah ke sana ke mari, mengikuti perkembangan yang tengah terjadi, terutama dengan adanya dukungan yang serba boleh dari seni kontemporer. Perjalanan estetik Rita yang cenderung lurus selama rentang waktu tersebut, justru melahirkan sejumlah varian dalam karyakaryanya. Dari dua arus besar karya-karyanya; satu ke arah patung, dan lainnya ke arah relief, berkembang menjadi; patung monumental untuk ruang publik yang besar dan patung-patung untuk ruang terbatas pada sebuah pameran. Dari patungpatung relief yang, berukuran kecil, berlanjut ke monumental interior atau relief dalam skala lebih besar. Ia bergerak di antara silih berganti varian yang diciptakannya itu. Rita adalah pematung yang hampir-hampir tak membedakan antara karya-karya untuk keperluan sebuah proyek yang berkaitan dengan arsitektur, dan berarti fungsional, dengan karya-karya pribadi yang diyakini sebagai karya bebas.
Asikin Hasan Kurator
Dalam tulisan pengantar “Pameran Pertama Patung Kontemporer Indonesia 1973” , di TIM, Jakarta, Sanento Yuliman menulis tentang seni patung baru Indonesia. Tulisan ini dimuat kembali dalam buku “Dua Seni Rupa”, Sepilihan tulisan Sanento Yuliman, Editor; Asikin Hasan, Kalam, 2001. ) Tinjauan Patung Karya Rita Widagdo, Muksan Ahmad, ITB, 1981. ) Trisno Sumarjo, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, Siasat, 5 Desember 1954. ) Art in Indonesia: Continuities and Change, Claire Holt, Ithaca, New York, Cornell University Press, 1967 )