"Via Dolorosa" Pengantar Kuratorial Di masa para pematung di sekitarnya berupaya mencari rujukan, pengucapan dan tema-tema baru yang terpenggal-penggal dalam puting-beliung seni kontemporer, patung-patung Dolorosa menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Patung-patungnya seluruhnya tampil utuh, figuratif, dengan pemiuhan secukupnya sehingga menambahkan nilai ekspresif pada ketunggalan tema dan kebersahajaan bentuknya. Kalau kita cermat mengamati kecenderungan pematung umumnya --yang bersemangat menggubah patung berukuran besar, juga kegemaran kita akan kebesaran monumen sejak lama-- skala rata-rata patung mungil Dolorosa pun terasa mengherankan. Dalam sifat ekspresif dan kecenderungannya pada sosok terpiuh, patung Dolorosa dapat mengingatkan kita akan semangat pematung moderen kita di masa dini perkembangan seni ini. Segera kita terkenang akan patung potret diri pelukis Affandi, umpamanya -dari tahun empat puluhan- yang dibuat dari tanah liat dengan teknik pijatan yang merekam greget emosi seniman yang kuat. Namun Dolorosa tidak menampilkan sebuah potret, yang dapat dikenali sebagai suatu ciri individu tertentu. Yang ditampilkan melalui pijatan jemarinya yang ekspresif adalah sosok orang-orang biasa, kesan rakyat jelata; bukan wajah seniman yang unik -seolah tak tergantikan- seraya menitipkan jiwa romantik kepada penontonnya. Pada masa lalu sampai hari ini, sejenis karya seni publik seperti patung atau monumen "pahlawan" adalah salah satu cara kita mendekatkan diri secara langsung untuk mengenali patung. Tentunya banyak orang akan keberatan jika sosok perempuan muram pada patung Dolorosa tergolong "pahlawan". Cerita yang lahir melalui karya patungnya adalah cerita biasa di garis "perjuangan" paling belakang yang terlalu kecil untuk diperhatikan: perempuan kerempeng yang geram mengangkat ujung roknya, raut wajah ibunda yang melongo atau penuh pasi memangku anak mati. Patung Dolorosa tak memanggul senjata atau memupus rantai memekikkan sesuatu untuk menghembuskan bara panas di sekelilingnya. Sosok perempuan-ibu dalam patungnya adalah simbol dan fungsi keteduhan naluriah: mendekap sang anak, menghisapnya dalam-dalam ke arah susunya, saling merengkuh atau menopang, atau mengantar kepergian. Jika tampak perempuan menenteng wajan kosong, mengepalkan tangan meninju udara hampa, mereka tidak menyodok namun menghirup seraya menagih janji kita sendiri. Ada kalanya kita bersua dengan sosok perempuan kurus bunting yang sedikit goyah atau imago pietatis dari perempuan yang merawat mayat setipis papan di haribaan pada patung "Pieta" (2002). Begitulah cara Dolorosa menggambarkan beban yang mustahil dapat dibagi, harus ditanggung oleh manusia sendirian jika saatnya tiba. Melalui kekosongan tubuh serta kehampaan semacam itu, anehnya kita merasakan getaran keperkasaan yang tidak semata fisikal serta gugahan kemanusiaan yang lebih universal. Jika patung-kelompok Dolo melahirkan serangkaian sosok, itu mirip rantai manusia yang menyerahkan tubuh mereka yang gepeng sebagai ambang eksistensi atau batas akhir. Penerobosan seakan hanya akan menemukan kesia-siaan atau kehampaan belaka. Beberapa patungnya yang sudah kita lihat dalam
pameran tunggalnya di Galeri Nasional, Jakarta (2001) mengesankan kita akan pokok serta pengucapan seperti itu: para perempuan dengan postur jangkung terpiuh, gelung permanen sekepal di kepala, dalam adegan sendirian yang dramatis atau merapatkan tubuh, saling menguatkan dengan genggaman tangan di mana tersembunyi rahasia kekuatan suatu ikrar. Dalam susunan serupa, kelompok tujuh sosok patungnya (suatu angka yang dianggap genting olehnya ) tidak lagi berdiri tetapi jongkok berhimpun seakan membetot sesuatu. Satu adegan dalam patung kelompok semacam ini tentunya sangat menyayat hati: yang enam tenggelam dalam kelimun menghadapi yang tunggal, yakni jasad yang terbujur dan terbagi rata di pangkuan, seakan kepiluan dan raungan masih berdaya menjeritkan kembali --tak cuma nama-- tapi ruh si mati. Itulah patung "The Grief" (2000) yang akan sering diingat orang. Tentu dengan karya semacam itu Dolorosa tidak membuat suatu potret pahlawan yang kekal sebagai monumen ingatan kolektif kita yang telah dibekukan. Siapa kenal sosok perempuan bunting dalam patungnya, sosok yang membujur kaku-mati dalam pangkuan ibu-ibu, atau tubuh kerempeng perempuan yang berkibar seperti orang mengenal baik-baik wajah dan sosok Jenderal Sudirman dalam baju jas tebal itu, misalnya? "Pahlawan" Dolorosa tampaknya dilahirkan dari lingkungannya sendiri, cukup ditangisi oleh kaum atau tetangga mereka di kanan kiri. Orang-orang yang berhimpun dalam persekutuan dan menghayati tapal-tapal hidup mereka dalam situasi batas semacam itu tentunya akan saling mengukir wajah dalam ingatan terdalam tanpa kenal nama dan peduli asal-usul mereka. Bahkan wajah patung Dolorosa tampak serupa: hidung nyaris rata, tebing persegi pada sepasang pipi, ceruk lebar dan memberat pada mata diikuti pusaran dangkal yang terkesan mengaduh atau mengeluh. Jika perempuan ditampilkan oleh Dolorosa sebagai penari atau pemain musik, tampak adegan dan suasananya lebih mirip ritual ketimbang suatu tarian yang mendisiplinkan raga. Makna atau perayaannya, kegembiraannya lebih penting ketimbang tariannya sendiri. Tarian seakan mengendurkan sejenak ruasruas tangan yang akan bertaut dan menegang kencang, barangkali bagian dari prosesi untuk melepas atau pun mengunjungi arwah si mati seraya menyadari kehadiran raga dalam momen keindahan yang sekejab. Setidaknya kita beroleh kesan semacam itu pada patung-patung "Dance of Solitude" (2003), "Dancer" (2003), dan "Penari Rebana" (2003) dalam pameran ini. Rupa yang disajikan patung Dolorosa adalah rupa yang tidak mulus: senantiasa terbetot oleh suatu daya dari dalam, menegang atau tertarik kencang dari suatu pusat desakan. Melalui kehadiran barik (tekstur) dikesankan juga olehnya: di situ, pada beberapa tempat tegangan itu berpusar atau seakan tarik-menarik, membayangkan lekuk, kerut di mana kekuatan dari luar dan dalam bertemu. Barik juga memberikan kesan apa yang boleh jadi bersifat tak menentu di balik selubung kulit atau kibaran kain yang dikenakan. Barik tampak membantu menegaskan watak dan sifat tertentu pada patung Dolorosa. Raut mulus, seperti umumnya sebuah potret gadis atau ibunda tersayang yang terpacak di dalam rumah jauh dari imajinasi Dolorosa tentang perempuan. Raut patungnya adalah raut ibu yang capai dan degil di kampung, simboksimbok di pasar, perempuan pekerja yang telah menghela seluruh hidupnya. Melanjutkan kecenderungan
itu, patung pengungsi atau urban gelandangan yang seakan terpental di sudut-sudut terjauh dalam pandangan mata kita di keseharian adalah pokok gubahannya yang baru, seperti "Leaving Home" (2003) dan "Will Find My Way " (2003). Kita telah menyinggung kecenderungan kemiripan raut wajah pada patung-patung sosok perempuan Dolorosa Sinaga. Apakah kemiripan pada segi ini adalah penampilan matrik dari suatu tatanan etis ataukah tertib jasmaniah? Demikianlah suatu kelompok sosial orang-orang dapat ditampilkan melalui aspek antropologisnya. Segi ini dianggap bisa tidak berhubungan dengan sifat-sifat khas dari suatu fisiognomi. Misalnya yang membuat wajah-wajah tampak mirip satu dengan yang lain bukan karena sama muram atau sama degilnya. Matrik dari wajah-wajah manusia dalam hal ini tergambar kembali --misalnya melalui representasi karya seni-bukan dari suatu tatanan etis (yang bisa terdiri atas suatu komunitas sejumlah intensi), melainkan oleh tertib jasmaniah melalui faktor-faktor identitas darah atau turunan (blood) serta makanan (food). Suatu identitas antropologis akan membentuk suatu wajah setelah proses sedimentasi yang panjang yang mengakumulasikan semua karakteristik dari partikularitas kekhasan sosial di dalam suatu kelas (usianya, ukurannya, morfologinya, keriputnya serta urat-uratnya). 1) Kita akan cenderung mengatakan bahwa kelompok raut wajah yang serupa --juga segi-segi kesamaan lain dalam semua kecenderungan anatomis karya itu-- dalam patung-patung Dolorosa adalah kehadiran suatu matrik yang tersusun dari komunitas intensi yang memang dimaksudkan oleh si senimannya. Yakni, suatu dorongan intensi yang tentu lebih abstrak yang tampaknya dihasratkan mengatasi identitas antropologisnya namun tidak perlu serta-merta mengabaikannya. Di dalam dunia atau "kampung" perempuan Dolorosa semacam itu rupanya hanya ada penyair atau orang suci. Bahkan keduanya terasa tak juga nyata: kita tahu sang penyair atau orang suci berada dalam penghilangan misterius tanpa akhir atau pengasingan yang sunyi. Pada pamerannya kali ini kita mengenalinya sebagai penyair yang gigih menentang suatu rejim dengan senjata puisi, Wiji Thukul ("Satu Kata Saja: Lawan" (2003)). Atau sosok Dalai Lama untuk mengingatkan kehadirannya pada pamerannya tunggal Dolorosa yang pertama (2001). Maka kita kini terdorong untuk menjadi lebih dekat akan kecenderungan Dolorosa Sinaga: pada patungnya, perempuan tampil lebih nyata mendedahkan suara dari dunia atau komunitas mereka sendiri. Simpati dan suara perempuan tampaknya tak bisa lain kecuali direpresentasikan dari dan oleh mereka sendiri. Dengan ini mungkin kita dapat menggali makna yang lebih khusus pada patung-patung perempuan Dolorosa. +++ Pengalaman sosial yang hadir pada patung Dolorosa adalah pengalaman sosial di mana perempuan menorehkan kepedihan, menanggungkan kesendirian dan bergerak dalam sejumlah tekanan. Dalam relung-relung sempit dan muram itu, kegigihan dan suara mereka tetap tampil.
Siapa dapat mewakili suara sosok perempuan yang terbungkam, yang tubuhnya melekat separuh pada tembok ("Fear no Power", 2003)? Bukankah kita tak tahu apa yang telah dikatakannya dan apa yang akan dikatakannya? Tetapi tidakkah sosok perempuan itu menyilangkan sepasang tangannya kencangkencang sebagai simbol ringkas yang masih ingin berbicara sesuatu kepada kita? Apakah ini efek yang harus ditanggungkan dari suatu keriuhan suara, dari suatu langkah "avante" tanpa suatu jaminan apa pun akan keberhasilannya ? (perhatikan karya "Avante!" (2003)). Tetapi juga perhatikan kritik Dolorosa terhadap perempuan dalam "The "Drama" Wanita" (2002) serta "Namboru...Namboru" (2003). Lima perempuan semampai dalam baju-baju yang tampak halus dan tertib gestur yang jelas dibuat-buat berbaris sisi menyisi. Samakah situasi "drama" pada patung ini dengan drama yang didedahkan oleh pengungsi atau perempuan yang terbungkam mulutnya? Kenapa suatu kata yang penuh makna pada "dharma" terpeleset menjadi "drama" pada patung ini? Nada kritik yang sama dikenakan lagi terhadap kecenderungan keseragaman --karena itu kita tidak dapat merasakan subyektifitas yang unik dan luapan pasi pada setiap sosoknya-- ditampilkan oleh Dolorosa melalui patung "Namboru...Namboru" (2003). Giwang besar yang seakan ingin melompat dari tempatnya serta tas yang tergantung pada setiap lengan memperhalus penampilan sosok "namboru". Di masa kini, karya seni yang dibuat oleh perempuan dianggap membawa perbedaan. Tetapi perbedaan ini tidak bersifat tunggal dan sekadar bermakna "berbeda dari...". Setiap upaya untuk mengisi kekosongan frase itu dipercayai akan menjadi suatu norma yang menghilangkan kemajemukan perbedaan-perbedaan itu sendiri. Politik representasi semacam ini karenanya tidak merujuk kepada suatu esensi perempuan. Di sana-sini akan selalu muncul paradoks dari mereka sendiri. Kaum feminin lebih merupakan suatu posisi bahasa (linguistik) dan atau psikis yang dianggap akan memaknai suatu kemungkinan filosofis perihal pengubahan, perbedaan atau ekses. Makna kehadiran kaum perempuan --menurut perspektif feminis-akan menandai tempat perbedaan itu di dalam suatu hirarki yang pengertian-pengertian dominannya adalah pengertian-pengertian kaum maskulin. Perempuan adalah "other" (yang lain), "beyond" (di luar) di dalam suatu sistem yang tidak dapat didefinisikan. 2) Dolorosa mengatakan dengan sebuah contoh lain, bagaimana posisi "di luar" itu dialami oleh perempuan. Karena perempuan merasa takut berhadapan dengan dunia kebebasan, karenanya tak banyak perempuan yang tertarik untuk memasuki dunia kesenian. "Kalau kita lihat ada perempuan yang kemudian menjadi seniman, bagi saya itu sudah sebuah pembebasan. Persoalannya, bagaimana menggunakan bahasa seni ini untuk pembebasan perempuan?" 3) Dengan meyakini bahwa suatu praktek artistik dapat menjadi semacam interupsi semiotik, suatu pembaruan, atau bahkan revolusi yang membangkitkan negativitas kaum feminin untuk menciptakan
kemungkinan baru bagi makna maka pada karya seni pun dapat ditemukan selalu suatu "garis tipis antara fungsionalisasi seni dan estitisasi politik". Apakah perspektif pencarian posisi yang serba paradoks -bukan suatu esensi- juga dapat kita gunakan untuk melihat patung-patung Dolorosa? Pencarian esensi dapat berarti sebagai pencarian "suatu pengertian yang tajam perihal identitas perempuan dan kolektivitas mereka" yang tak henti-hentinya didekonstruksi oleh kaum perempuan sendiri. Tetapi penjelajahan perbedaan-perbedaan adalah "suatu pengakuan yang lebih pedih tidak hanya pengakuan yang membelah dan melepaskan kolektivitas perempuan, melainkan juga pengakuan akan kondisi struktural perihal pengertian "perempuan". 4) Dolorosa Sinaga tidak membuat sosok-sosok patungnya menantang kita secara frontal. Ia menghela kepala patung-patungnya ke samping, seakan tertampik oleh angin, seakan menghindar selalu dari tatapan. Atau kelelahan yang sangat oleh beban yang mencencang tak terlihat dimana bahu - kapan pun-- tetap akan memikul. Kalau ia membuat sosoknya nyaris tegak, kita melihatnya seakan tumbuh bergoyang-goyang dengan dua kaki kecil menapak di atas bumi. Pada karyanya, bukankah terbersit dua "jalan"? Jalan penderitaan atau "via Dolorosa" yang harus dilalui dulu oleh perempuan untuk mencapai intensi mereka sendiri dalam hegemoni dan tekanan pengertianpengertian. Tetapi jalan itu sekarang ini dapat kita tapaki melalui pijatan tangan penuh greget dari seorang pematung bernama Dolorosa Sinaga.+++ (Hendro Wiyanto). ----------------------------------------------------1. Dipetik dari Roland Barthes, "The Worls as Object", dalam "Calligram, Essays in New Art History from France" (edited by Norman Bryson, Cambridge University Press, 1988) 2. Uraian sangat ringkas ini berasal dari "Generations and Geographies in the Visual Arts" (Feminist Readings), "Preface", hal. xii- xx (edited by Griselda Pollock, Routledge, 1996). 3. "Media Seni untuk Pembebasan Perempuan", ("Swara") "Kompas", 21 April 2003. 4. "Generations and Geographies in the Visual Arts", idem