Pengantar kuratorial Genesis: Kayu “When looking at mountains from afar you see the outline or form of the mountain, but when you go to the mountain and lie back on the grass to take a nap, you become a part of the overall outline. Your perceived outline of the mountain and the actual contour of the mountain are out of sync. At times like this, it seems as though you exist somewhere between the ground and the swaying leaves of the trees. This is an extremely pleasurable experirnce. I have a number of such images of the woods. It is not a question of the configuration of woods. Rather, I simply felt the closest affinity to woods when considering the problems of surfaces, or the form of the surfases my works were to take” 1) Ungkapan Shigeyo Toya, seorang pematung terkemuka Jepang yang pernah dikunjungi oleh Anusapati di studionya di Chicibu, pada 1997, sedikit banyak dapat menggambarkan kedekatan hubungan antara kedua seniman mengenai perlakuan dan pandangan terhadap material alam yang sama yang selalu digunakan untuk berkarya: kayu. Persepsi fenomenologis terhadap gunung yang berbeda dengan situasi psikologis yang dialami ketika berada di dalamnya -dalam ungkapan yang disitir di atas-- telah menciptakan jarak sekaligus sensasi antara bentuk luar yang dapat dipahami (perceived outline), dan kontur alam yang sesungguhnya (actual contour ) yang secara personal dihayati. Pemahaman Toya terhadap pohon, misalnya tidak dapat dipisahkan dari pemahamannya terhadap habitatnya, yakni lingkungan hutan atau sebuah landskap. Ia tidak dapat membayangkan pohon hanya sebagai pohon semata. Pohon-pohon itu selalu membawa juga suasana seperti dikatakannya, yakni atmosfir antara tanah dan daun-daun yang bergoyang. Jarak antara persepsi tentang bentuk yang muncul ketika mengamati sesuatu dan interaksi langsung dengan kenyataan telah mengguncangkan seniman. Karya-karya patung Toya dari kayu yang berukuran besar yang meninggalkan jejak-jejak pahatan dari sayatan chain saw yang tajam menunjukkan keintimannya terhadap suasana di dalam hutan, tidak sebatas pemahamannya tentang pohon atau kayu. Material kayu tidak pernah dibayangkan sebagai sebuah benda mati yang kemudian dibunuh untuk kedua kalinya setelah memisahkannya dari habitatnya tatkala seorang seniman mulai berkarya. Seperti dikatakan oleh Anusapati: “ Kalau kita bekerja dengan kayu, maka terjadi sebuah interaksi. Mulai dari bau kayunya, kekerasannya, serat-seratnya yang merupakan dokumentasi dari “riwayat hidup” pohonnya, dan sebagainya. Hal ini tidak bisa dihindarkan. Pengalaman ini bagi saya membentuk suatu pengertian dan penghayatan tersendiri terhadap pohon, dan tentunya terhadap alam” 2). Dengan membuat analogi seperti diungkapkan oleh seniman Shigeyo Toya di atas, maka bekerja dengan kayu bagi Anusapati tidak hanya merupakan suatu upaya untuk mengamati bentuknya yang sudah ditentukan oleh pohon (perceived outline), tetapi juga ikut terlibat mengalami dan membaca “riwayat” (actual contour) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sang kayu.
Lebih dari itu, perwujudan karya-karya patung kayu Anusapati mampu memberikan kepada kita sebuah kesan yang mendalam dan pandangan yang mencerahkan yang berasal dari pemikiran dan kepekaan seorang seniman mengenai bentuk dan material yang digunakan yang bersumber dari lingkungan sehari-hari dan krisis yang diamati. Seniman ini telah menggunakan kayu untuk menggubah semua karya patungnya sejak awal ‘90-an. Ia dengan sadar memanfaatkan hanya potongan-potongan atau limbah kayu dari pohon yang telah rubuh atau ditebang orang yang meninggalkan sisa potongan kayu itu setelah mempergunakan bagiannya yang lebih utuh dan besar untuk berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Tak jarang, patung-patungnya juga dibuat dari jenis kayu murah yang biasa digunakan sebagai kayu bakar, seperti misalnya jenis kayu mindi. Ia terkadang bahkan membiarkan retakan atau rusak pada kayu-kayu yang dipahatnya, membiarkannya seperti aslinya: bukan sebuah koinsidensi atau bahkan aksidensi yang dapat diterima begitu saja sebagai keterbatasan di dalam karyanya, melainkan lebih-lebih karena menyadari akan adanya sebuah kontinum yang mengalir tak terputus dari ruangruang aktual atau habitat material itu sendiri yang melahirkan “narasi” dalam karyanya. Tak jarang ia juga menggunakan kayu-kayu yang belum lagi mengering karena ia percaya, bahwa di dalam suatu siklus alam, bahkan suatu karya seni pun suatu saat harus kembali kepada alam. Retak dan patahan yang dibiarkan pada patungnya diharapkannya dapat mengkomunikasikan aura spiritual yang dikandung oleh kayu dan sekaligus merupakan sebuah gambaran mengenai takdir alam. Keputusan itu sesungguhnya merupakan sebuah pernyaaan etis yang penting dan bernilai ekologis dari seorang seniman yang memutuskan untuk tidak menebang kayu demi kepuasan individual memperoleh kelimpahan dan kesempurnaan material bagi karya patungnya. Tapi tidakkah ini juga kritik tajam yang tertanam di dalam pandangan dan proses berkarya yang bersifat “kontekstual”, yang harus kita temukan sendiri sebelum menegangkan telunjuk protes terhadap berton-ton kayu gelondongan ilegal yang bebas berkeliaran keluar hutan setiap hari, hancurnya eksosistem dan “budaya” hutan akibat ribuan hektar hutan tropis yang hangus terbakar setiap tahun? Berbeda dengan Toya yang menghadirkan bentuk-bentuk patung mirip figur-figur ambigu yang berukuran besar dengan sayatan-sayatan ganas yang dibuatnya dengan chin saw, Anusapati menghasilkan patung-patung kayu yang sekarang dapat kita bayangkan sebagai bentuk-bentuk artefak yang pernah ada, dekat dan berguna pada suatu lingkungan masyarakat di masa lampau yang belum terasa jauh jaraknya dengan kita sekarang. Terhadap pertanyaan, apakah bentuk-bentuk artefak yang telah memberikannya inspirasi utama bagi patung-patungnya di masa kini merupakan lingkungannya juga, ia mengatakan, “Tidak sepenuhnya. Bagaimanapun saya adalah orang kota yang dibesarkan di lingkungan modern. Tapi kalau kita melihat kehidupan masyarakat pedesaan (yang merupakan sebagian besar dari rakyat Indonesia), di mana artefak-artefak tersebut masih ada dan dipakai, maka terasa bahwa inilah realitas yang sebenarnya dari masyarakat kita.Bukankah itu merupakan bagian dari kita juga?” Dalam sebuah ungkapan yang lain, karyanya yang merupakan sebuah “rekaan baru” yang diilhami oleh barang-barang perabot yang digunakan oleh masyarakat pedesaan yang terus-menerus berada dalam
ambang batas peminggiran, ingin menunjukkan “spirit kebersahajaan yang mencerminkan kesadaran kosmologis tradisional”. Ia menggunakan peralatan-peralatan sederhana seperti digunakan oleh masyarakat pengguna kayu di sekitarnya pada umumnya, lingkungan yang mempersembahkan juga bahan-bahan kayu untuk mematung, di sekitar desa Pakem, beberapa kilometer arah utara kota Yogyakarta: gergaji dan kapak kecil untuk membuat potongan-potongan kasar dan secukupnya dari batang pohon, beberapa pisau pahat untuk mencipta bentuk dan ruangruang dalam bentuk itu, alat pengebor untuk membuat lubang pasak-pasak yang dipasang yang mengaitkan dan menyambung satu bentuk atau elemen dengan bentuk lainnya dalam kesinambungan organik atau mekanik. Semua itu tampaknya berkaitan dengan kerinduan seniman akan kosmologi masyarakat tradisional yang menyimpan apa yang pernah disebut seorang ahli kebudayaan sebagai “daya bumi” atau “daya desa”, semangat yang menghasilkan bentuk-bentuk seni yang melekat dengan sistem budaya masyarakat itu secara keseluruhan. +++ Dengan material kayu itu, sebenarnya Anusapati juga menyadari dirinya berada dalam arus perubahan yang tak terputus. Di dalam tegangan aliran yang kencang itu, ia berupaya memberikan kontribusinya dengan mengedepankan pandangannya yang dianggap hakiki, melakukan refleksi yang cukup untuk mengomentari perubahan itu dan menghasilkan sebuah harmoni atau sintesa bahasa yang baru dalam perwujudan karyanya. Pada karyanya selalu dapat kita temui dua wajah atau dua ungkapan yang menyatu dan saling melamurkan batas-batasnya sendiri: pada satu sisi wajahnya adalah seorang seniman yang selalu ingin menyambungkan ekspresi individunya kembali dengan suatu ruang kesadaran kosmologis- kolektif yang pernah ada, dan pada sisi yang lain adalah posisi yang diambil untuk berdiri di tengah kehidupan kontemporer yang pengaruhnya datang bertubi-tubi tanpa dapat dielakkannya, dan selalu menariknya ke luar semakin jauh dari lingkungan lama itu, bersama semua salurannya yang monolit dan pandanganpandangannya yang cenderung memperbarui untuk menguasai. Hanya dengan cara itulah agaknya seorang seniman dapat mengatasi dilema antara yang lama dan yang baru, antara kelenturan, keunikan, bahkan keotentikan daya hidup dan bayangan serta “cap kematian” pada tradisi, mendekatkan jarak antara progres dan semangat kekinian dengan kekayaan masa lampau yang masih dapat dibaca. Kesinambungan yang kreatif telah dipilih oleh Anusapati daripada keadaan dilema yang kaku yang bersifat membatasi: pada aras itulah identitasnya -yang mau tak mau akan bersifat paradoks- sebagai seniman ditemukan atau dibentuk. Kalau kita berada di suatu tempat seperti di New York, di mana “everyone is a stranger'“ maka persoalan identitas akan jadi krusial. Untuk bisa jadi “seseorang”, maka persoalan '“who am I'“ menjadi penting. Nah, mulailah saya membongkar apa saja yang kita miliki, dan yang pernah kita miliki, “ itulah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan mengenai permulaan pencarian bentuk-bentuk yang
memberikan identitas baru pada karya-karya patungnya. Kembali dari belajar di “School of Art and Design, PRATT Institute”, Brooklyn, Amerika Serikat selama dua tahun (1988-1990), pada awal ‘90-an, Anusapati merasakan kesulitan dan keterbatasannya untuk bekerja dengan menggunakan bahan-bahan mematung yang berasal dari dunia dan lingkungan budaya industri seperti besi,baja serta peralatan las, sebagaimana umumnya digunakan oleh para pematung moderen di sekitarnya pada masa itu. Kesulitan itu membuatnya berupaya menemukan alternatif material untuk patung yang dekat dengan dirinya sendiri. “Besi termasuk bahan yang mahal, menggunakan las tidaklah mudah, saya berusaha menemukan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan saya,” ujarnya. Tetapi juga terlontar kritiknya yang lebih tajam mengenai pengunaan bahan-bahan yang serba mengkilat dan luks yang menjadi kecenderungan utama para pematung pada masa itu. Tak dapat dihindari keputusan untuk memilih kayu juga merupakan kritik sosiologis terhadap budaya masyarakat dalam mengonsumsi barangbarang yang memancarkan nilai kemoderenan dan kemewahan. “Obyek-obyek orang desa menjadi inspirasi saya, ketika saya berpihak kepada mereka sebagai representasi dari counter terhadap segala sesuatu yang bersifat gebyar. Ya, bangsa kita sekarang memiliki kecenderungan seperti itu. Begitulah, sampai estetika patung moderen serba mengkilat seperti itu”, kata Anusapati. 3) Pulang ke Indonesia, Anusapati mengumpulkan informasi tentang alat-alat dan perlengkapan yang menjadi bagian dari kehidupan dusun-dusun di Jawa sejak lama , mengenali sejarah dan makna mistiknya yang mengelilingi peralatan atau benda-benda itu dan segera berkarya berdasarkan refleksinya terhadap bentuk-bentuk perlengkapan itu, seperti misalnya bentuk-bentuk perahu, lesung, alu, alat-alat musik dan peralatan pertanian dan perikanan dan sebagainya. Ia menyisihkan elemen fungsi yang pernah memberikan eksistensi pada benda-benda itu dan mengamati strukturnya yang esensial. Ia sama sekali tidak bermaksud mereproduksi bentuk-bentuk itu, melainkan bentuk-bentuk itulah yang menciptakan atau menginspirasikan karyanya untuk dibuat. Obyek-obyek yang menarik perhatiannya adalah bentuk-bentuk metaforis yang dapat menggungah apa yang mengendap jauh di dalam pikirannya. 4) “Orang cenderung melihat sisi romantik dari karya-karya saya, yang dipandang sekedar 'meratapi masa lalu yang hilang' , 'good old days, when life was simple'. Tapi bagi saya, semua itu adalah realitas yang masih tersisa, yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bukankah saudara kita di Papua masih pakai koteka? Orang Dayak masih cari makan pakai panah dan sumpit? Tetangga saya masih pakai lumpang kayu? Kita memang kehilangan akar, mau memulai sesuatu yang baru tetapi tampaknya belum siap. Sekarang kita lihat, manakah ciptaan kita? Dalam hal produk, kita ternyata sangat konsumtif. Dulu orang membuat sesuatu berdasarkan kebutuhan, sekarang kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan produk-produk baru itu”. Ia mencontohkan datangnya gelombang produk kebudayaan baru (contohnya: kloset duduk) yang telah diciptakan orang lain sehingga semua orang harus menyesuaikan diri dengan produk itu.
Kendati Anusapati bukanlah satu-satunya seniman di lingkungan seni patung moderen atau masa kini yang memusatkan perhatiannya pada wilayah material kayu, namun sikap atau kecenderungan pemujaannya terhadap material kayu dan orientasi serta penjelajahannya pada bentuk-bentuk artefak tak urung menempatkannya sebagai seniman penting yang telah memberikan arah dan kesadaran baru pada perlakuan terhadap material dan teknik yang digunakannya untuk memperlakukan kayu. Ia bahkan adalah perintis dalam gerakan baru dalam seni patung semacam itu yang memuati karyanya dengan warna budaya lokal pada dekade ‘90-an. Kecenderungan untuk menyertakan warna lokal itu bukanlah dengan menjelalajahi ragam hias, tetapi dengan mengamati benda-benda pakai yang digunakan oleh masyarakat tradisional untuk kebutuhan seharihari. 5). Demikianlah maka seni rupa kontemporer merupakan sebuah hasil dari perjumpaan dengan tradisi dan budaya-budaya yang bersifat historis, bahkan juga produk konfrontasi dengan Barat di masa yang lebih moderen dalam perubahan ekonomi, teknologi dan informasi yang cepat yang mendorong ke arah budaya global dengan interaksi yang lebih besar. Hasil pelibatan dengan budaya-budaya di masa lalu ini ternyata melahirkan pluralitas bentuk-bentuk seni rupa dan menjadi tantangan penting bagi kebudayaan di masa depan. 6) Pernyataannya tentang situasi krisis, baik yang bernada kritik sosiologis terhadap kehidupan masyarakat maupun kritik estetiknya terhadap penggunaan material tertentu dalam kecenderungan seni patung memang dapat mengingatkan kita pada “krisis Sidharta” pada awal tujuh puluhan lalu. Sidharta, pematung senior yang berada di garis depan dalam perintisan perkembangan seni patung kontemporer dan yang membawa istilah itu dalam wacana seni patung di Indonesia sejak dekade ‘70-an berusaha mencari jalan keluar dari impase seni patung moderen yang monolitik dan memuja sedemikian rupa sifat-sifat hurufiah dari penggunaan material untuk menonjolkan esensinya. Ia merasa perlu menengok kepada tradisi mewarnai patung-patung tradisi atau benda-benda tiga dimensi seperti dapat ditemui hampir di mana saja di wilayah Nusantara untuk melawan fetishism terhadap material oleh para pematung moderen. Merasa berada dalam satu jalur dengan pematung senior itu, revitalisasi atau upaya menghidupkan lagi tradisi-tradisi untuk sebuah tujuan dan arah yang baru dalam wacana seni rupa atau secara khusus seni patung kontemporer merupakan titik sambung antara “krisis Sidharta” dan “kerinduan kosmologis Anusapati”. Budaya moderen, seni rupa moderen maupun peradaban industri yang cenderung memproduksi barang-barang dan seni yang berjarak dengan material alam ternyata belum atau tidak melumatkan kesederhanaan dan kesejatian kayu menjadi gundukan abu, sebaliknya kayu berubah bara api yang menyulut kepekaan seorang seniman untuk menunjukkan -sekali lagi-- paradoks identitasnya. +++ Karya Anusapati dalam “Genesis”
Pada karya “Genesis” (2001)yang merupakan sebuah karya seri terdiri dari 6 buah patung kayu berbentuk telur masing-masing seukuran kepala manusia dewasa (mengingatkan kepala-kepala-telur patung-patung Brancusi), Anusapati membuat bentuk-bentuk yang relatif stabil dari bentuk-bentuk evolutif oval yang diulang dan ditampilkan bersama-sama sehingga melahirkan irama. Muncul tampilan raut-raut relief baru di dalam telur yang menegaskan adanya dinamika dari bentuk-bentuk geometris segi empat dan setengah lingkaran bertumpuk atau bertaut, berundak atau bertingkat tidak beraturan, dengan sudut-sudut tajam yang menunjukkan paradoks dengan ujud luar ovalnya. Penggabungan secara tak terduga yang menimbulkan tegangan antara form (bentuk oval) telur yang sudah kita kenal (dan dapat kita khayalkan kendati rautnya terkorupsi) dan shape (yakni wujud dengan menampilkan massa) juga menciptakan ilusi wajah-wajah dengan fisiognomi yang menyimpan misteri. Kejutannya muncul pada seri dua telur terakhir yang dibuat dari material kayu yang memiliki jenis, karakter dan warna berbeda. Potongan berbentuk oval pada sebuah telur menjadi utuh oleh setengah potongan yang lain, seakan datang dari dunia lain, menonjolkan sebuah pasak yang menembus keduanya, sebelum beakhir menjadi sebuah telur dengan ceruk geometris yang menjadi hitam seluruhnya. Tidak seperti biasanya, Anusapati juga menampilkan permainan warna melalui pemilihan dua jenis kayu dalam karyanya “Genesis” (2001) ini. Melihat karya ini seakan selalu kita dihadapkan pada dua “wajah” dari suatu kemungkinan: wajah akhir yang juga memilkiki wajah permulaan dan demikian pula sebaliknya. Tetapi mengapa genesis? Mengenai karya ini, yang kemudian menjadi judul pameran, Anusapati berujar, “ genesis dapat berarti memulai sesuatu kemungkinan yang baru, suatu konstruksi baru atau hubungan yang baru. Mungkin saja itu bernama rekonsiliasi”. Pada karya yang berjudul “Artefact #2” (2001), Anusapati menampilkan bentuk yang mengesankan potongan setengah perahu dan menyambungnya dengan batang-batang kayu seperti lengan-lengan yang sejajar berjumlah empat buah, dengan cara mempertautkannya sekaligus dengan pasak yang menembusnya dari arah yang berbeda. Potongan batangbatang kayu yang tidak sama panjang itu membayangkan sebuah gerak yang meluncur ke sebuah arah tertentu dengan “kecepatan” yang tidak sama. Begitulah maka muncul semacam tarik-menarik antara elemen dan bentuk-bentuk yang organik (mengesankan adanya pertumbuhan dan gerak hidup, seperti umumnya dikesankan oleh sebagian besar bentuk patung-patungnya) dan “mekanik” (kecenderungan untuk bergerak secara otomatis, dalam ketertiban, keteraturan dan keterarahan). Kritikus Clement Greenberg menandai sebuah kecenderungan baru dalam teknik pembentukan patung yang disebutnya sebagai “konstruksi” sebelum pertengahan abad ini. Teknik ini berasal dari bentuk-bentuk kolase dalam lukisan kubisme yang kemudian menjadi unsur yang terbebas dari representasi dan kedalaman ilusi, berkembang menjadi sebuah relief timbul yang seakan lepas pada bidang dua dimensi (lukisan) sebelum menjadi sebuah “kontruksi” seperti dipraktekkan oleh para pematung “konstruktivis” (seperti misalnya patung-patung Picasso yang muncul dalam tahap perkembangan lebih
belakangan, karya patung Lipchitz, Gonzales dan Giacometti). 7) Kecenderungan untuk mengkonstruksi ini, dapat dibedakan dengan kecenderungan memahat atau membentuk atau menyusun seperti tradisi patung sebelumnya. Dengan kecenderungan ini pula, bahkan perbedaan antara memahat dan membentuk model menjadi tidak lagi relevan menurut Greenberg, karena sebuah karya patung atau bagianbagiannya dapat dicetak, dilas, dipotong atau sekadar ditaruh bersama-sama. Kecenderungan inilah yang agaknya juga ditampakkan oleh Anusapati dalam beberapa karyanya dengan mempertentangkan antara yang ”organik’ dan “mekanistik” seperti yang sudah disebutkan di atas, antara unsur-unsur berwajah alam yang wajar dan bentuk baru dari suatu penerapan atau pemasangan teknik konstruksi, menyambungkan antara satu bagian raut patungnya yang “jadi” dengan unsur lain dari alam yang ditemukan seperti pada karya patung yang berjudul “Confession” (2000) untuk memberi hidup atau daya organik pada bentuknya atau memberikan kekuatan naratif pada sifat statis dan monolitiknya. Dalam hal penggunaan teknik pasangan-pasangan dan penggunaan pasak kayu inilah kita teringat pada sebuah adagium dalam ranah arsitektur, “dari sesambunganlah lahir kebijaksanaan”. Hubungan antara benda-benda pakai dan suatu bentuk arsitektur dapat dijelaskan oleh kata-kata Anusapati, mengingatkan kita akan peran dan kedudukan para wastuwidyawan yang menggubah atau merencanakan sebuah ujud bangunan atau tata ruang yang mengejawantahan tata nilai dan budaya yang kontekstual dari suatu masyarakat. 8) “Ya, memang pada dasarnya saya amat tertarik pada arsitektur, terutama arsitektur tradisional. Di masa lalu, pembuatan bangunan dan pembuatan barang-barang tidaklah terlalu terpisah”.9) Imaji atau citra wadah, lesung, perahu atau peralatan musik sederhana seringkali muncul dalam karya tiga dimensi Anusapati, tetapi kosa bentuk-bentuk itu telah digubah melalui sebuah renungan untuk melahirkan metafora dengan konteks baru. Kita membayangkan bentuk mirip payung atau jamur besar yang datar dalam karya “Imbalance” (2001). Sebuah batang kayu menembus dan menyangga lingkaran kayu yang besar--tidak tepat di tengah-tengahnya-- yang memiliki ketebalan tidak sama. Ujung pasak berbentuk tirus seperti ujung pinsil itu mengakhiri batang kayu yang dipahat dengan bentuk melintir sehingga terkesan tidak statis bertumpu di atas lantai. Ketika ditempatkan dalam ruangan pameran, di sekitar patung itu dibubuhkan serbuk kayu melingkar dengan meninggalkan kesan jejak dari gerak atau tenaga sentripetal yang bersumber dari poros lingkar patung, menunjukkan kecenderungan gagasan instalatifnya. Aktualitas bukanlah jejak atau arus yang dapat kita rasakan secara langsung dalam representasi karya-karya patungnya, yang secara verbal dapat memberikan petunjuk mengenai rangkaian kejadian atau krisis yang berlangsung di sekitar kita yang menjadi wilayah pengamatan Anusapati. Konteks peristiwa atau aktualitas selalu membayang samar-samar dalam karyanya, tetapi konteks itu ternyata sangat penting untuk kita perhatikan pada dataran yang lebih sublim dalam karyanya. Seperti dikatakannya,
“sebuah karya yang bagus bagi saya mempunyai banyak persoalan dan pemikiran yang mendalam. Bentuk-bentuk hanya merupakan alat untuk menyampaikan komunikasi”. Baginya, tidak mungkinlah suatu karya seni terlepas dari soal-soal di sekitarnya. “Social content itu selalu ada pada karya saya, kendati tidak langsung menunjuk pada kejadiankejadian. Sublimasi yang terjadi pada karya seni menurut saya bukan hanya dalam wujud, tetapi juga persoalan-persoalannya”. 10). Maka sesungguhnya penyederhanaan bentuk pada karya Anusapati bukanlah sebuah “reduksi modernis” yang dengan sadar berkeinginan menyingkirkan berbagai isi pengalaman kemanusiaan yang kaya dari gugusan bentuk-bentuk murni yang ingin dicapai oleh seorang seniman. Dalam karyanya selalu terpancar atau mengalir sebuah nilai kehidupan: melalui kayu, melalui raut sederhana artefak yang berhasil menggugah “memori kolektif” kita dan melalui jejak pahatan yang kasar yang menciptakan irama dan melahirkan kembali kehidupan di dalam karyanya. Tak heranlah kalau kita dapat merasakan “kesatuan” antara obyek apa yang kita lihat dengan diri kita sendiri, seperti seorang seniman merasakan harmoni antara dirinya sendiri dengan sebuah kayu, pohon atau alam yang dihadapinya dengan mengatasi jarak antara apa yang tampak dan apa yang ada di dalam seperti contoh yang disinggung pada awal tulisan ini. Dengan demikian makna metaforik “genesis” yang menunjuk pada saat-saat permulaan, kelahiran, atau proses menjadi, yang menjadi judul pameran ini -- menampilkan karyakarya terbarunya dan karya-karya dari tahun 1997 dan 2000 yang sangat jarang ditampilkan-- lebih dari sekadar sebuah judul dalam sebuah karya serinya memiliki perspektif makna yang membawa kita kepada tafsir lebih luas dan kaya. 11) +++ (Hendro Wiyanto) Jakarta, 3 Juli 2001. Catatan: 1.Shigeyo Toya (lahir 1947) adalah salah seorang pematung terkemuka Jepang yang pernah dikunjungi oleh Anusapati di studionya di Chicibu ketika mengakhiri “Sai-noKuni Saitama Artist-in -Residence Program, di Saitama, Jepang, 1997. Toya dikenal sebagai pematung yang sangat fanatik mengunakan kayu untuk karya-karya patungnya, termasuk ke dalam generasi para seniman yang bereaksi terhadap aliran minimalisme Mono-ha di Jepang yang cenderung mengatakan “benda-benda ada sebagaimana adanya mereka”. Terhadap literalisme ini, Toya telah bereraksi dengan “menunjukkan kehidupan dari material itu dengan cara meninggalkan tanda-tanda pahatannya” (Lihat: Akira Tatehata, “Contemporary Japanese Art, Three Aspects”, Art and Adia Pacific, Sample Issue, 1993). Seniman ini juga mengomentari kecenderungan Anusapati yang dianggapnya berkarya dengan kecenderungan dan minat yang khusus pada bentuk-bentuk tradisi maupun primitif yang pernah ada yang diwujudkan kembali pada patungnya, dengan mengatakan bahwa perlu juga Anusapati memunculkan secara bersama-sama unsur moderen dalam karya itu.
Anusapati menjawab komentar itu, bahwa ada perbedaan antara apa yang terjadi di negeri Toya di mana tradisi masih berjalan dengan kuat dibandingkan dengan Indonesia, yang menurutnya “ posisi tradisi (termasuk nilai dan kearifan-kearifan yang ada di dalamnya) dalam keadaan tergusur, sehingga kita kehilangan pegangan, karena sementara itu kita merasa gamang terhadap nilai-nilai yang bisa jadi penggantinya” (Wawancara e-mail dengan Anusapati, 1 Juli 2001). 2. Ibid. 3. Wawancara dengan Anusapati, 24 Juni 2001 4. Lihat: Miyako Hirayama, “Anusapati, Artist from Indonesia”, “Reconstruction” (katalog) 5. Jim Supangkat, “Trienal Jakarta II: Warna Lokal”, Kompas Minggu, Maret 1998. 6. Caroline Turner: Internationalism and Regionalism: Paradoxes of Identity”, dalam’Tradition and Change, Contemporary Art of Asia and the Pacific, University of Queensland Press, 1993. 7. Clement Greenberg, “The New Sculpture”, dalam Lee Jacobus, “Aesthetics and the Arts”, (McGraw-Hill, 1968). Tentu saja unsur konstruksi hanyalah bagian kecil yang memberi makna pada karya Anusapati, bukan untuk menampilkan tanda-tanda modernis, melainkan lebih bersifatr kontekstual. 8. Istilah ini pernah diusulkan oleh Romo Mangunwijaya (alm) untuk menggantikan kata “asrsitek” yang cenderung mempunyai makna lebih sempit, yakni sekadar “tukang atau ahli bangunan”. 9. Wawancara dengan Anusapati, 1 Juli 2001 10. Wawancara dengan Anusapati, 24 Juni 2001 11. Akhirnya, saya tidak tahan untuk tidak mengutip kalimat-kalimat yang bagus dan mendalam dalam sebuah tulisan mengenai “kelahiran” (natality) dan “permulaan” “...keajaiban yang menyelamatkan dunia dari kehancuran adalah adanya kenyataan tentang kelahiran...” Bahwa “kapasitas manusia untuk memulai sesuatu yangbaru, mengakar di kelahiran. Kelahiran memberi kepercayaan dan harapan karena manusiamanusia baru setiap waktu lahir ke dunia. Setiap manusia yang baru lahir itu unik, dan masing-masing mampu menghadirkan inisiatif baru yang dapat menghentikan atau membelokkan rantai kejadian yang digerakkan oleh tindakan-tindakan manusia sebelumnya...” (Karlina Leksono, “Sebuah Warisan Tanpa Wasiat”, “Bentara”, Kompas, 2 Februari 2001. Dalam tulisan itu, penulisnya menguraikan pemikiran-pemikiran politik seorang filsuf Hannah Arendt, antara lain dalam buku “The Human Condition”).