KRISIS KEPEMIMPINAN ISLAM DI INDONESIA: KRISIS IDEOLOGI Oleh: Saefur Rochmat1
Abstrak: Judul di atas begitu menyentak, mengingat dua presiden pertama Indonesia memerintah dalam kurun waktu yang lama dari tahun 1945-1998. Namun bila diamati lebih dalam maka suksesi keduanya berjalan tidak normal dan penuh kekerasan. Bahkan, dua presiden berikutnya yang dikenal dari kalangan Islam memerintah relatif singkat. Hal ini mendorong penulis mengajukan hipotesa bahwa krisis kepemimpinan terjadi karena masalah krisis ideologi. Kita sudah punya ideologi nasional Pancasila, tetapi Pancasila belum dimaknai secara benar. Pemerintah berusaha memonopoli penafsiran Pancasila sesuai dengan keinginannya mempertahankan kekuasaan selama-lamanya. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila hendaknya mengakomodasi semua pemikiran yang ada. Yang sering terjadi benturan antara agama dengan pemerintah yang memonopoli penafsiran nasionalisme, seolah-olah dari kelompok agama tidak dapat lahir nasionalisme. Pemerintah juga sering merasa terganggu dengan masalah desintegrasi, sehingga segan mengembangkan budaya lokal yang mengandung nilai-nilai moralitas dari agama. Sementara itu UUD 1945 sebagai dasar hukum negara masih mengandung banyak kelemahan karena tidak menegakkan prinsip check and balance di antara berbagai lembaga negara dan memberi kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga cenderung menghasilkan presiden yang otoriter. Kata-kata kunci: krisis kepemimpinan, ideologi, Pancasila, agama, budaya lokal.
A. Pendahuluan Gerakan reformasi telah menimbulkan berbagai harapan dan sekaligus kecemasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita memang sudah dapat keluar dari sistem pemerintahan yang otoriter; namun kita belum dapat keluar dari krisis multidimensional. Justru yang terjadi, dengan dibukanya kran kebebasan ibarat membuka pandora maka muncullah berbagai masalah yang begitu mencengangkan, yang selama ini telah terpendam di dalam pemerintahan yang menjalankan pendekatan stabilitas keamanan 1
Saefur Rochmat, MIR adalah dosen Sejarah pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
1
dengan mengesampingkan aspek kebebasan. Euforia kebebasan tidak dapat diatasi dengan perangkat hukum yang ada maupun para penegak hukum yang tersedia. Kekacauan melanda pada berbagai aspek kehidupan dengan akibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, bahkan pengangguran masih terus membengkak. Keadaan yang memprihatinkan tersebut menyebabkan sebagian orang mulai melirik pada sistem pemerintahan otoriter Soeharto. Kita tidak boleh ragu-ragu akan jalan kebebasan! Kebebasan merupakan modal utama bagi kemajuan, karena memungkinkan berbagai perbedaan pemikiran berkontes untuk mencari sinthesis yang paling memuaskan. Hukum dialektika thesis-antithesis-sinthesis telah teruji dalam sejarah, termasuk dalam sejarah Islam pada masa Nabi Muhammad SAW yang sering dituduh menggunakan cara berpikir yang dikotomis, tapi kenyataannya Nabi berpikir dialektis terhadap kedua unsur tersebut. Sebenarnya waktu lima puluh tahun sudah cukup untuk mengantarkan suatu bangsa menjadi maju. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah perkembangan bangsabangsa maju di dunia, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Jerman pada tahun 1870 mulai memodernisasi negaranya di bawah Bismark dan pada tahun 1919 sudah dapat mengalahkan Perancis dan negara-negara Eropa disekitarnya. Jepang mulai memodernisasi diri sejak dibuka paksanya politik pintu tertutup oleh Commodore Pery pada tahun 1854 dan tahun 1905 sudah dapat mengalahkan Rusia, suatu negara dari orang kulit putih yang dianggap superior itu. Sedangkan Amerika Serikat pada tahun 1895 mulai mengartikan politik luar negeri Pan-Americanisme secara global dan pada tahun 1945 sudah berhasil menjadi negara super power (Rochmat, 2003: 46-47).
2
Untuk membangun suatu bangsa yang maju, disamping diperlukan perangkat hukum (legal formal) yang dapat menjamin kepastian hukum dan didukung aparat hukum yang menjiwai substansi hukum yang legal formal tersebut, diperlukan juga suatu sistem yang bisa melahirkan pemimpin Islam yang punya legitimasi karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Untuk melahirkan pemimpin Islam tersebut perlu dipikirkan suatu ideologi yang bisa diterima semua umat Islam. Orang yang optimis adalah ciri orang yang punya identitas, yaitu orang yang selalu ingin mencari tahu masalah yang sedang menimpa bangsanya dan memikirkan solusi pemecahan masalah secara bijaksana. Orang semacam inilah yang tahu akan arah kehidupan yang dijalaninya, dan akan menjalani kehidupan dengan perasaan percaya diri. Memang kita akan dapat keluar dari krisis ini dengan cepat jika semua orang Indonesia mau menyelesaikan masalah ini dengan sungguh-sungguh. B. Perlunya Pemimpin Islam Keberhasilan ketiga bangsa dalam memodernisasi terjadi setelah mereka berhasil merumuskan suatu sistem budaya nasional dan dari situ dapat melahirkan pemimpin nasional yang acceptable. Dalam Islam pun, kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah Islam yang selalu diwarnai oleh dinamika politik untuk menciptakan salvation (keselamatan) di dunia ini, karena keselamatan di dunia juga yang memungkinkan sifat-sifat ketuhanan berfungsi efektif di dunia (Amstrong, 2000). Karena itu tidak mengherankan bila banyak orang beranggapan Islam adalah agama yang selalu terkait dengan politik. Berikut kesimpulan dari Armstrong (2000: ix) ‘nilai sejarah eksternal [politik] orang-orang Muslim bukan pusat
3
perhatian kedua, karena salah satu dari karakteristik utama Islam adalah pensakralan sejarah’. Akan tetapi Islam tidak identik dengan politik! Al-Qur’an bukanlah kitab politik, sehingga di dalamnya tidak ditemukan model sistem pemerintahan. Al-Qur’an hanya berisi aturan moral yang harus ditegakkan dalam kehidupan, termasuk dalam urusan politik. Lagi pula persoalan politik sangat dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu, serta sejarah perkembangan suatu komunitas politik tersebut. Mengingat Al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk pemerintahan yang Islami, maka sepeninggal Nabi Muhammad SAW terjadi suatu krisis dalam suksesi kepemimpinan Islam, namun berhasil diselesaikan dengan bijaksana oleh para sahabat Nabi (Wahid, 2000: 1). Memang bentuk pemerintahan kurang begitu penting bila dibandingkan dengan tegaknya prinsip-prinsip salvation dalam Islam di dunia ini. Memang sebagian dari umat Islam berobsesi kepada sistem kekhalifahan, karena sejarah awal yang gemilang di tangan Khulafaur Rasyidin (Jansen, 128-129). Namun bila kita mencermati sejarah kekhalifahan maka para ulama membolehkan adanya dua atau lebih kekhalifahan asalkan jaraknya berjauhan. Fakta sejarah itu seharusnya ditindaklanjuti oleh para khalifah dengan mengembangkan suatu model dialog bagi terwujudnya kerjasama. Bila kita mengabaikan realitas sejarah tersebut, berarti kita sedang berpikir dari kaca mata rasio dengan melupakan realitas sosio-politik umat Islam di Indonesia di dalam usaha mewujudkan aspek salvation (keselamatan) di dunia dan akherat. Sejarah juga menunjukkan umat Islam terkotak-kotak ke dalam beberapa kekhalifahan, dan kemudian ke dalam beberapa kesultanan. Hal tersebut menunjukkan
4
penerapan ajaran agama dipengaruhi oleh tradisi dari suatu masyarakat; dan itu berarti bahwa pemimpin Islam juga bersifat unik bagi suatu masyarakat tertentu. C. Krisis Pemimpin Islam di Indonesia Apakah sudah dipikirkan masalah kepemimpinan dalam Islam di Indonesia? Kepemimpinan Islam di Indonesia hendaknya bersifat keindonesian dan kita sudah punya dasarnya, yaitu Ideologi Pancasila. Pancasila jangan sampai menghambat perkembangan ideologi agama maupun memerankan diri sebagai pseudo-agama. Selama ini Pancasila telah disakralkan dan ditempatkan berhadap-hadapan dengan kelompok agama Islam tertentu. Umat Islam yang mengkritik dan menentang Pancasila dikejar-kejar, dihukum, dan kalau perlu diperangi; padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka tidak menyadari sebagai sesama Muslim, yang harus menjunjung tinggi kedamaian, tolong-menolong, dan kerjasama untuk mewujudkan salvation. Seharusnya mereka mengembangkan suatu dialog dalam rangka menyiarkan dakwah Islam kepada seluruh dunia. Namun banyak penguasa yang mengatasnamakan Islam bersikap tidak toleran terhadap kebebasan berpikir di dalam kalangan umat Islam sendiri, karena mereka takut kehilangan legitimasi politik, yang secara langsung maupun tidak langsung berarti kehilangan kekuasaan, sehingga mereka akan mematikan gerakan oposisi sejak dini. Sementara itu UUD 1945 sebagai dasar hukum negara masih mengandung banyak kelemahan karena tidak menegakkan prinsip check and balance di antara berbagai lembaga negara dan memberi kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga cenderung menghasilkan presiden yang otoriter (Mahfud, 2000: 146-147). Maksud baik saja tidak cukup untuk menegakkan sistem pemerintahan yang demokratis. UUD 1945 perlu diamandemen sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat kita, dan
5
disertai dengan usaha merumuskan hukum yang dapat menjamin upaya penegakkan hukum. Sampai sejauh ini penegakkan hukum masih sangat sulit diwujudkan karena berbagai kelemahan di dalam sistem hukum kita. Krisis tersebut hendaknya segera dipikirkan dasar ideologinya maupun segi praktisnya agar sistem politik dan proses suksesi di Indonesia dapat berjalan secara lancar dan stabil. Bila tidak segera dicarikan dasar ideologinya maka akan selalu terjadi krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia (Rochmat, 2005: 65). Islam di Indonesia ternyata belum punya dasar ideologi untuk melahirkan pemimpin pada tingkat nasional. Memang dua presiden pertama, Soekarno dan Soeharto, memerintah cukup lama dan hal tersebut menunjukkan mereka memiliki legitimasi yang kuat; namun harus diingat bahwa mereka tidak mendasarkan diri pada ideologi Islam. Memang mereka mencari dukungan kepada umat Islam untuk memperoleh legitimasi tersebut, dengan sedikit memberi konsesi sebagai imbalannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam hanya menjadikan pelengkap bagi ideologi negara. Konsesi-konsesi yang diberikan oleh Soekarno dan Soeharto memang kelihatan cukup signifikan bila di lihat dari simbol-simbol keagamaan yang mencuat dalam pentas perpolitikan nasional. Apakah kita puas dengan peran marginal tersebut? Konsesi tersebut hanya menunda permasalahan yang sebenarnya, mengenai peran agama dalam negara dan dalam proses modernisasi di dunia pada umumnya. Dalam peran yang pertama tersebut, Islam telah gagal melahirkan pemimpin yang Islami, dengan konsekuensi pada tingkat global bahwa umat Islam di Indonesia telah gagal pula mendakwahkan statement yang sudah menjadi klise bahwa Islam kompatibel dengan modernisasi. Kedua presiden pertama tersebut diturunkan secara paksa oleh kekuatan-
6
kekuatan ekstraparlementer secara tragis, karena dianggap telah gagal membawa nahkoda bangsa kepada aspek salvation (keselamatan). Baik Presiden Soekarno maupun Soeharto telah gagal melakukan transformasi di dalam tubuh umat Islam menuju modernisasi yang sesuai dengan identitas bangsa yang mayoritas beragama Islam. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibesarkan dalam tradisi Islam dan tidak tahu caranya memasukkan roh Islam ke dalam suatu paradigma baru yang sesuai dengan dunia modern. Paradigma baru sangat perlu supaya umat Islam dapat berpartisipasi secara maksimal, dengan disertai perasaan ikhlas yang menjadi ciri dari suatu agama. Mereka melakukan modernisasi model top-down (dari atas ke bawah) dengan menggerakkan perangkat birokrasi yang mendukung kekuasaannnya. Birokrasi menjadi suatu kelas tersendiri yang bukan melayani rakyat tetapi melayani kekuasaan. Birokrasi mempunyai misi untuk mengelabuhi rakyat yang masih bodoh agar dalam setiap pemilu mendukung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Birokrasi cenderung menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, dengan mengenalkan program-program pemerintah yang mendukung status quo, bukannya mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri masalahnya sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pembangunan (Wahid, 1999: 7). Kedua presiden tersebut tidak mempunyai afiliasi dengan suatu kelompok agama tertentu (memang mereka secara formal sebagai anggota ormas Muhammadiyah) dan mereka tidak merasa tertarik untuk melakukan transformasi di antara berbagai kelompok
7
agama ke arah modernisasi. Sebaliknya mereka mengembangkan suatu sumber kekuasaan tersendiri untuk mempertahankan kekuasaannya. D. Krisis Ideologi Islam di Indonesia Dua presiden berikutnya mewakili dua kelompok Islam yang berbeda; Presiden B.J. Habibie mewakili suatu kelompok Islam ICMI dan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur mewakili kelompok ormas keagamaan NU. Keduanya hanya bertahan sebentar dalam kursi krepresidenan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka kurang mempunyai legitimasi di kalangan umat Islam secara keseluruhan karena adanya krisis ideologi di tubuh umat Islam Indonesia. Lebih parah lagi karena persaingan di tubuh umat Islam tidak diselesaikan secara legal formal. Secara selintas krisis kepemimpinan tersebut merupakan masalah politik, tetapi bila dikaji lebih mendalam lagi hal tersebut berhubungan dengan krisis ideologi di kalangan umat Islam di Indonesia, yang disebabkan selama ini kita tidak membiasakan dialog antar ideologi. Berbeda dengan Kristen, sebenarnya Islam adalah suatu agama yang tidak menekankan segi ideologi (beliefs/keyakinan), tetapi lebih menekankan pada peran akal untuk mengatur alam semesta yang diamanatkan kepada kita untuk menjalankan peran sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Islam adalah hasil sintesa dari Yahudi yang menekankan hukum (law) dan Kristen yang menekankan keyakinan (beliefs) (Nasr, 1994: 146-147) Persoalan ideologi kurang begitu kental bila dibandingkan dengan persoalan politik dalam bongkar pasang kepemimpinan Islam di zaman reformasi sekarang ini. Akar permasalahan lebih kepada kekhawatiran dari kelompok-kelompok Islam lainnya terhadap kelompok Islam yang sedang memerintah kalau-kalau dia tidak memperhatikan
8
kepentingan kelompok-kelompok Islam tersebut. Hal tersebut menghendaki adanya usaha saling memahami tradisi dari berbagai kelompok yang berbeda, untuk kemudian di rumuskan suatu peraturan yang bersifat legal-formal sebagai pedoman di dalam tata cara pergaulan di antara mereka. Namun ada kecenderungan untuk bersifat eksklusif pada gerakan-gerakan radikal keagamaan yang tidak memperjuangkan aspirasi ideologinya tidak melalui partai politik melainkan melalui pressure groups. Dalam era reformasi ini, banyak dari kalangan mereka yang membentuk partai-partai politik baru yang menyempal dengan alasan ideologi yang tidak begitu kental, namun dalam jangka panjang dapat membahayakan integritas bangsa karena mereka dapat memanfaatkan kelemahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah kabupaten dijadikan batu loncatan dalam memperjuangkan ideologinya. Konsekuensinya Indonesia akan terbagi ke dalam daerah-daerah ideologi yang masing-masing bersifat eksklusif. Bila tidak diwaspadai, hal itu akan menyebabkan krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia. Krisis kepemimpinan bermula dari krisis ideologi, sedangkan krisis ideologi bermula dari masalah reinterpretasi ajaran agama Islam. Reinterpretasi ajaran agama bukan pekerjaan mudah karena banyak faktor yang menyebabkan hasil interpretasi berbeda-beda dan kadang saling bertentangan. E. Gagalnya Kebangkitan Islam Indonesia Untuk dapat menyelesaikan permasalah krisis ideologi dalam Islam di Indonesia maka kita perlu tahu sekresi dalam gerakan Islam tersebut. Hal itu akan sangat membantu di dalam memetakan persoalan keagamaan secara menyeluruh, dan selanjutnya dibuat format yang dapat mengatasi krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia, dengan
9
mempertimbangkan tradisi dari masing-masing gerakan Islam, karena di dalam mengatasi masalah kita berangkat dari realitas bukan dari teks-teks al-Qur’an yang akan melahirkan multi tafsir. Berbagai kelompok keagamaan telah menetapkan truth claim (klaim kebenaran) bagi kelompoknya dan menutup wacana dialog yang sebenarnya dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai hadits yang nampak kontradiktif untuk dicarikan sinthesisnya, disamping adanya hadits yang berbunyi “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Sekresi yang paling umum dalam Islam di Indonesia adalah santri-abangan (Maarif, 1988: 14). Kelompok santri menganggap kelompok abangan tidak peduli dengan konsep umat yang mensyaratkan pelaksanaan syariah dalam negara, sebaliknya kelompok abangan tidak merasa dibela kepentingannya oleh kelompok santri tersebut. Kalau persepsi tersebut jalan terus maka kedua blok tersebut tidak akan pernah dalam satu bahasa dalam perjuangan politik dan akan terus terjadi persaingan tidak sehat antara ‘partai nasionalis’ (kelompok abangan) dengan ‘partai agama’, dimana selalu dimenangkan oleh pihak nasionalis. Ironiskan? Apakah mereka yang notabene bergabung dalam partai nasionalis mau dianggap tidak memperdulikan agamanya? Saya yakin tidak! Mereka semua tidak mau digolongkan sebagai atheis dan mereka masih mengikuti tradisi keagamaan yang diterima secara umum. Mereka dapat saja meniru negara Islam sekuler Turki. Bagi mereka urusan politik harus dibedakan dengan urusan agama. Pada dasarnya kelompok “nasionalis” dan “agamis” mempunyai misi yang sama hendak mewujudkan aspek salvation berupa negara adil dan makmur. Membentuk negara adil dan makmur berhubungan dengan
10
peradaban yang melibatkan semua orang baik dari umat agama yang berbeda maupun sesama umat beragama yang berbeda aliran. Penciptaan peradaban itu berkaitan dengan urusan politik, dan agama dapat mengantarkan orang untuk melakukan aktivitas politik secara ikhlas untuk Allah. Gejala sekresi dapat dilihat lebih awal lagi semenjak Islam memasuki kontak dengan peradaban modern Barat. Pertamakali lahir gerakan Islam yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi. Organisasi yang bercorak ekonomi itu menjelma menjadi partai Sarekat Islam pada tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Walaupun HOS Cokroaminoto dibesarkan dalam sistem pendidikan modern (Barat), namun dia mendapat dukungan baik dari umat Islam yang berlatar belakang perkotaan maupun pedesaan karena umat Islam sedang menantikan munculnya seorang pemimpin, walaupun mereka membawa persepsi yang bermacam-macam. Hal itu telah dicermati oleh pihak Belanda untuk menja-lankan politik devide et impera (memecah-belah) dengan mengakui cabang-cabang SI sebagai organisaasi yang otonom dari pusat (Central Sarekat Islam) (Kartodirjo, 1993, 108). Di dalam SI berkembang berbagai macam pemahaman tentang Islam, dan sikap revolusionernya digerakkan oleh konsep Imam Mahdi (milleniarisme atau mesianisme) dan konsep-konsep komunisme yang radikal itu. Ketika SI (dari sayap dasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep komunisme dengan diberlakukannya monoloyalitas maka SI mengalami perpecahan ke dalam SI Putih dan SI Merah. Hal itu menandai kemunduran SI karena banyak rakyat yang sudah terpengaruh konsep radikal komunisme tidak siap untuk dicap sebagai atheis sehingga tidak mau masuk ke dalam SI Merah karena mengandung resiko yang tidak
11
ringan, sedangkan mau masuk ke dalam SI putih tidak at home karena tidak memberikan jaminan ideologis terhadap keinginannya yang radikal, walaupun pemahaman Islam HOS Cokroaminoto sudah menerima sosialisme. Perpecahan dalam tubuh SI sekaligus menghapus kesempatan Islam untuk tampil sebagai meanstream ideologi politik di Indonesia karena kepemimpinan politik nasional segera diambil alih oleh ideologi nasionalisme. Hal itu terjadi karena nasionalisme bersifat open minded (terbuka) dan tidak mau menghakimi pemahaman keaga-maan seseorang dengan hukum wajib dan dosa. Dorongan dari agama selalu ada di dalam pribadi mereka yang dituduh tidak Islami, seperti terungkap dari pengakuan Hasan Raid (2001: 452-455) yang terjun ke dalam PKI sejalan dengan petunjuk surat al-Ra’du ayat 11, yaitu tentang usaha suatu kaum merubah keadaan, dari kaum tertindas menjadi kaum tak tertindas. Dia tidak sendirian masuk PKI, karena ada beberapa haji yang ikut masuk seperti H. Misbach, H. Datuk Batuah yang masuk PKI. Hasan Raid sependapat dengan Mansour Fakih yang ingin mewujudkan masyarakat tauhidi, suatu konsep masyarakat tanpa kelas. Menurut Masdar F Mas’udi (Raid, 2001: 439-444), Al-Qur’an sebagai petunjuk bukan ditentukan oleh metode atau prosedur pemahamannya, tetapi oleh komitmen kemanusiaan yang ada pada mufassir tersebut. Pemahaman al-Qur’an yang terpenting adalah persoalan paradigma dan komitmen kemanusiaan mufassir sendiri. Tafsir alQur’an harus bersifat transformatif, yaitu untuk memihak kepada mayo-ritas manusia yang menginginkan perubahan. Yakni keberpihakan kepada kaum tertindas, karena dia yakin bahwa perlawanan terhadap Nabi Muhammad SAW oleh kaum kapitalis Makkah sebenarnya lebih karena ketakutannya terhadap doktrin egalitarian yang disampaikan
12
Nabi. Persoalan yang timbul antara kelompok elit Makkah dan Muhammad SAW sebenarnya bukan seperti banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan keyakinan agama, akan tetapi lebih bersumber kepada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi dari doktrin Nabi Muhammad SAW yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan atau monopoli harta. Mansour Fakih mengkritik paradigma pembaharu dengan wataknya yang “elitisme” yang lebih menekankan ‘reformasi’ dan bukan ‘transformasi’ sosial yang dapat melakukan perubahan secara mendasar. Apalagi paradigma fundamentalisme, karena wataknya yang lebih merupakan ‘teologi untuk kebesaran Tuhan’, yang tidak mempunyai makna terhadap perubahan nasib kaum miskin dan tertindas. F. Penutup Memang kita telah mempunyai ideologi Pancasila sebagai suatu dasar negara, namun Pancasila disakralkan oleh regim Orde Lama dan Orde Baru sehingga yang lahir hanyalah tafsir Pancasila yang mendukung kekuasaannya, bukan berupa peraturan perundang-undangan yang legal-formal sebagai patokan di dalam menjalankan kekuasaan negara. Sebagai konsekuensinya pada zaman reformasi sekarang ini, dengan dibukanya kran kebebasan, telah memunculkan berbagai gerakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam. Gerakan penerapan syariah Islam oleh kelompok Islam fundamental boleh-boleh saja, asal dilakukan secara damai karena tidak ada agama yang menganjurkan umatnya melakukan kekerasan. Pancasila akan bertahan sebagai ideologi bangsa jika dapat memerankan diri sebagai identitas bangsa. Gerakan sempalan yang selalu saja muncul dalam sejarah hendaknya dijadikan bahan untuk mengkoreksi ideologi bangsa supaya
13
menjadi lebih bagus lagi. Gerakan ini telah melahirkan gerakan yang bersifat anti-thesis Jaringan Islam Liberal (JIL). Memang sudah menjadi sunatullah bahwa orang selalu ingin mencari salvation dengan mengikuti pola dialektika thesis-antithesis-synthesis, yang mana synthesis ini sekaligus memerankan diri sebagai thesis baru. Proses itu akan berkembang alami bila tidak ada campur tangan kekerasan di dalamnya. Dengan demikian perlu disusun mekanisme kehidupan yang demokratis, dengan didukung berbagai perangkat hukum yang dapat menjamin kepastian hukum semua warga negara.
Daftar Rujukan: Armstrong, Karen, 2000, Sepintas Sejarah Islam, A.b. Ira Puspito Rini, Yogyakarta: Ikon Teralitera. Jansen, G.H., 1979, Militant Islam, London: Pan Books. Kartodirdjo, Sartono, 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II, Jakarta, Gramedia. Maarif, Syafii, 1988, Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta, IAIN Suka Press. Mahfud MD, Moh, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin. Raid, Hasan, 2001, Pergulatan Muslim Komunis, Yogyakarta: LKPSM-SYARIKAT. Rochmat, Saefur, 2005, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi, Vol. 3, Th. 17. _____________, 2003, “Perubahan Kurikulum Perguruan Tinggi pada Era Otonomi Daerah”, Fondasia, Vol. 1, No. 3. Wahid, Abdurrahman, 2000, “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?”, dalam Shaleh Isre ed., Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LkiS.
14
__________________, 1999, Prisma Pemikiran Gus Dur, dalam Shaleh Isre ed., Yogyakarta: LKIS.
15