SISTEM DETEKSI DINI KRISIS NILAI TUKAR DAN KRISIS PERBANKAN DI INDONESIA PERIODE 1995-2005
OLEH ULAN DANIH H14102026
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ULAN DANIH. H14102026. Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Perbankan di Indonesia Periode 1995-2005 (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR).
Dampak dari krisis sangat merugikan perekonomian, diantaranya mengakibatkan inflasi, pertumbuhan ekonomi yang berada pada posisi negatif dan biaya pemulihan yang mencapai 50 persen dari GDP. Salah satu modal untuk mengidentifikasi secara dini risiko-risiko yang mengganggu kestabilan keuangan dan berpotensi menyebabkan krisis adalah dengan dilakukannya analisis sistem deteksi dini yang memonitor perilaku indikator-indikator kerentanan sistem keuangan untuk menghindari timbulnya krisis seawal mungkin. Berbagai metode sistem deteksi dini diciptakan oleh para peneliti diseluruh dunia sebagai wujud solidaritas mereka terhadap kejadian krisis yang melanda kawasan Asia, salah satu metode yang digunakan yaitu Signal Approach Method (SAM). Dengan metode ini dapat diketahui kinerja suatu indikator dini untuk mendeteksi krisis melalui kriteria pengujian Type I Error, Type II Error, Noise to Signals Ratio dan Probability of Crisis. Indonesia telah sembilan tahun melewati masa krisis, sistem deteksi dini dengan adanya perpanjangan periode waktu ada kemungkinan tidak dapat mendeteksi keberadaan krisis berskala sama dengan krisis yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu penelitian tentang sistem deteksi dini dengan menggunakan SAM dengan tujuan untuk menganalisis periode terjadinya krisis nilai tukar dan krisis perbankan di Indonesia, melakukan evaluasi dan analisis atas kinerja indikator dini krisis perbankan dan nilai tukar, menghasilkan indikator dini yang dapat digunakan untuk membentuk indeks komposit kerentanan nilai tukar dan perbankan, dan menganalisis kinerja indeks komposit kerentanan perbankan dan nilai tukar. Hasil penelitian ini menunjukan periode krisis nilai tukar yang dapat diidentifikasi yaitu periode Agustus 1997 sampai Oktober 1998, berarti krisis nilai tukar terjadi selama 14 periode atau 1 tahun lebih dua bulan, satu bulan setelah terdevaluasinya Bath. Berdasarkan penelitian ini, Indonesia langsung terkena imbas dari krisis Asia tersebut karena pergerakan modal yang terbuka antara Indonesia dengan negara Asia lainnya. Hasil dari identifikasi krisis perbankan sesuai dengan kejadian krisis perbankan yang telah terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis yang melanda Asia, yaitu dimulai dari Agustus 1997 sampai dengan Mei 1999. Krisis yang tertangkap Agustus 1997 merupakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah. Sedangkan sejak Maret 1997, krisis perbankan yang sebenarnya telah terjadi dimana seluruh tekanan perekonomian telah saling berinteraksi termasuk dengan sektor perbankan. Kinerja indikator terbaik untuk krisis nilai tukar adalah nilai tukar rill (REER) dengan kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen. Indikator dengan
kontribusi terbesar berikutnya untuk mendeteksi krisis nilai tukar adalah kredit domestik (DC) dan jumlah uang beredar (M2), yang sinyalnya mampu memprediksi krisis nilai tukar sebanyak 66 persen. Indikator berikutnya adalah perubahan tingkat harga (CPI) dan pergerakan harga saham (EQ) dengan probabilitas sinyal yang dikeluarkanya menunjukan krisis 33 persen. Urutan rangking berdasarkan kinerjanya adalah REER, DC, M2, CPI dan EQ. Sedangkan untuk indikator dini krisis perbankan yang akan memberikan sinyal yang baik untuk memprediksi krisis perbankan, berdasarkan seluruh kriteria uji, yaitu nilai tukar (ER) menempati rangking pertama, disusul dengan DC, kewajiban perbankan terhadap luar negeri (FL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan CPI. Kemungkinan sinyal salah yang berarti sinyal tersebut ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selama 12 bulan kedepan yaitu sebesar 4 persen. Adapun peluang terjadinya krisis yang tidak diantisipasi oleh IMV adalah 85 persen. Hasil dari N/S ratio yaitu rasio dari jumlah sinyal yang salah (Type I error) terhadap sinyal benar (1-Type II Error) menunjukan nilai 0.25 persen yang berarti perbandingan antara sinyal yang benar dan sinyal yang salah yaitu satu berbanding empat. Yang terpenting dari kriteria pengujian ini adalah probabilitas terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan adalah sebesar 50 persen artinya jika IMV mengeluarkan sinyal terjadinya krisis maka kemungkinan 50 persen sinyal tersebut akan menunjukan krisis nilai tukar untuk 12 bulan kedepan. Evaluasi akurasi sinyal menunjukan kemungkinan krisis perbankan yang tidak diantisipasi oleh sinyal yaitu sebesar 79 persen. Sedangkan sinyal yang dihasilkan memiliki kemungkinan salah memprediksi krisis yaitu sebesar 1 persen. Sinyal memang jarang keluar untuk mengantisipasi krisis namun sekali sinyal tersebut keluar kemungkinan sinyal tersebut akan mendeteksi krisis perbankan dalam jangka waktu 12 bulan kedepan adalah 88 persen. Hal ini terbukti untuk periode krisis perbankan Agustus 1997-Mei 1999, dimana sinyal adalah benar mengindikasikan krisis. IBV telah mengeluarkan sinyal lima bulan sebelum terjadinya krisis yaitu pada bulan Maret 1997. Dengan sistem deteksi dini ini, setidaknya krisis setaraf periode tersebut apabila terjadi lagi di Indonesia kemungkinan besar akan didentifikasikan oleh sinyal 10 bulan sebelum terjadinya krisis nilai tukar dan 5 bulan sebelum terjadinya krisis perbankan, sehingga para pengambil kebijakan dapat dengan cepat melakukan tindakan pencegahan agar krisis tidak terjadi atau meskipun memang harus terjadi kurun waktu berlangsungnya krisis tidak akan terlalu lama. Selain itu, pemantauan terhadap pergerakan indikator yang memiliki kinerja akurasi sinyal yang baik dapat memudahkan proses identifikasi tingkat kerentanan nilai tukar dan perbankan setiap waktunya.
SISTEM DETEKSI DINI KRISIS NILAI TUKAR DAN PERBANKAN DI INDONESIA PERIODE 1995-2005
Oleh ULAN DANIH H14102026
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Ulan Danih
Nomor Registrasi Pokok
: H14102026
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Perbankan di Indonesia Periode 1995-2005
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec NIP. 131 803 656
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”SISTEM DETEKSI DINI KRISIS NILAI TUKAR DAN PERBANKAN DI INDONESIA
PERIODE 1995-2005” BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Ulan Danih H14102026
RIWAYAT HIDUP
Ulan Danih sebagai penulis, lahir pada tanggal 7 Oktober 1984 di Karawang dari pasangan Endang Sukino dan Jubaedah, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal pertama diselesaikan tahun 1996 di SDN Karawang wetan VII, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Karawang dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama diterima di SMU Negeri 1 Karawang dan pendidikan menengah tersebut dapat diselesaikan pada tahun 2002. Kemudian berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi pada tahun yang sama melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi berjudul ”Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Perbankan di Indonesia Periode 1995-2005” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini memerlukan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu, dengan setulus hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan wawasan dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr. Bambang Juanda, MS selaku penguji utama pada sidang skripsi yang telah memberikan saran dan kritikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, MSi, atas masukan dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Almarhum Papah yang menumbuhkan keyakinan penulis untuk mengambil konsentrasi moneter dan terima kasih atas kesabaran menunggu penulis pulang disaat papah sakit, teteh sayang papah. 5. Mamah, atas segala doa panjang yang diucapkan, sholat malam dan puasa yang tak terputus hanya untuk kesuksesan penulis dan perjuangan hidup yang mamah lakukan, entah kapan teteh bisa membalasnya. 6. Dedeku Winda yang selalu memotivasi dengan canda dan keceriaan dalam keseharian penulis. Semoga kehidupan kita menjadi lebih baik dimasa yang akan datang, Dede harus sabar dan kuat. 7. Aa Herdi yang selalu menemani selama mengerjakan skripsi, dengan sabar mendengarkan keluh kesah penulis dan tidak bosan memberikan kritikan demi perbaikan skripsi ini, terima kasih untuk waktu dan kesabaran yang diberikan.
8. Keluarga besar Johar dan Cinangoh atas segala bantuan, pengertian, kasih sayang dan doa tulus yang menyertai penulis. 9. Diana Setyawati yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar hasil penelitian skripsi dan sekaligus sebagai teman seperjuangan bersama Mela Setiana dan Siti Masyitho, terima kasih atas kebersamaan, diskusi, saran, kritik dan segala bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas. 10. Uthe dan Hani, atas segala pengertian menghadapi sikap penulis, dukungan disaat penulis merasa tidak mampu dan segala fasilitas yang disediakan selama proses penyelesaian skripsi ini. Serta untuk Siera, Rini, Rina, Fenny dan Mala, terima kasih telah berbagi kebahagiaan dan kesedihan dalam sebuah persahabatan indah yang tak akan pernah terlupakan. 11. Terima kasih untuk kalimat yang selalu memotivasi penulis: yakin, segala yang dikerjakan akan mengalami kegagalan, apabila kita tidak percaya diri dengan usaha yang telah dilakukan. 12. Sahabat dan teman-teman penulis, atas segala dukungan dan bantuan bahkan tanpa diminta saat penulis membutuhkan, serta pihak-pihak lain yang telah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga penyusunan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang membacanya dimasa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Bogor, September 2006
Ulan Danih H14102026
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ............................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ....................................................................
5
1.3.
Tujuan Penelitian ........................................................................
6
1.4.
Manfaat Penelitian ......................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
8
2.1.
Siklus Bisnis................................................................................
8
2.2.
Krisis Nilai Tukar ....................................................................... 14
2.3.
Krisis Perbankan ......................................................................... 15
2.4.
Signals Approach Method (SAM) ............................................... 18
2.5.
Penelitian Terdahulu ................................................................... 20
2.6.
Kerangka Pemikiran.................................................................... 23
II.
III.
METODE PENELITIAN........................................................................ 29 3.1.
Jenis dan sumber Data ................................................................ 29
3.2.
Metode pengolahan Data ............................................................ 33 3.2.1. Missing Data dan Perubahan Tahun Dasar..................... 33 3.2.2. Pembentukan Data Siklikal............................................. 35 3.2.3. Stasioneritas .................................................................... 36
3.3.
Metode Analisis .......................................................................... 37 3.3.1. Identifikasi Krisis Nilai Tukar dan Perbankan................ 38 3.3.2. Pemilihan Indikator Dini................................................. 40 3.3.3. Pembentukan Sinyal Krisis ............................................. 41 3.3.4. Evaluasi Akurasi Sinyal .................................................. 43 3.3.5. Kerangka Kerja analisis Signals Approach method (SAM)45
i
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 50 4.1.
Pergerakan Siklikal Variabel Krisis............................................ 50 4.1.1. Pergerakan Siklikal Variabel Krisis Nilai Tukar ............ 50 4.1.2. Pergerakan Siklikal Variabel Krisis Perbankan .............. 53 4.1.3. Pergerakan Siklikal Index of Speculative Pressures (ISP) 56 4.1.4. Pergerakan Siklikal Index of Banking Crisis (IBC) ........ 61
4.2.
Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar dan Perbankan .............. 66 4.2.1. Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar ........................... 66 4.2.2. Identifikasi Periode Krisis Perbankan............................. 69
4.3.
Kinerja Setiap Indikator dalam Menghasilkan Sinyal ................ 71 4.3.1. Stasioneritas dan Korelasi Silang Setiap Indikator ......... 71 4.3.2. Hasil Estimasi GARCH Setiap Indikator........................ 73 4.3.3. Kinerja Indikator dalam IMV Menghasilkan Sinyal....... 75 4.3.4. Kinerja Indikator dalam IBV Menghasilkan Sinyal ....... 77
4.4.
Kinerja Indeks Komposit dalam Menghasilkan Sinyal............... 80 4.4.1. Stasioneritas dan Korelasi Silang IMV dan IBV ............ 82 4.4.2. Hasil Estimasi GARCH IMV dan IBV ........................... 84 4.4.3. Kinerja IMV dalam Menghasilkan Sinyal ...................... 85 4.4.4. Kinerja IBV dalam Menghasilkan Sinyal ....................... 87
V.
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 89 5.1.
Kesimpulan ................................................................................ 89
5.2.
Saran ........................................................................................... 90
5.3.
Saran Penelitian selanjutnya ....................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 93 LAMPIRAN ..................................................................................................... 96
ii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
3.1. Deskripsi Data Penelitian ....................................................................... .... 29 3.2. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis ......................................... .... 43 4.1. Karakteristik Titik Balik ISP ..................................................................... . 58 4.2. Karakteristik Titik Balik IBC..................................................................... . 62 4.3. Nilai Threshold ISP dan IBC ..................................................................... . 66 4.4. Uji Stasioneritas dan Korelasi Silang Indikator dalam IMV ..................... . 72 4.5. Uji Stasioneritas dan Korelasi Silang Indikator dalam IBV ...................... . 72 4.6. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH untuk IMV............................ . 74 4.7. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH untuk IBV............................. . 75 4.8. Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator IMV .................................................... . 76 4.9. Rangking Akurasi Sinyal Indikator dalam IMV ........................................ . 77 4.10. Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator IBV ..................................................... . 77 4.11. Peringkat Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator dalam IBV .......................... . 79 4.12. Uji Stasioneritas dan Korelasi Silang IMV dan IBV ................................. . 82 4.13. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH IMV dan IBV ....................... . 85 4.14. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis IMV.................................... . 86 4.15. Evaluasi Akurasi Sinyal IMV .................................................................... . 87 4.16. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis IBV..................................... . 87 4.17. Evaluasi Akurasi Sinyal IBV ..................................................................... . 88
iii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Fluktuasi Siklus Bisnis............................................................................... ... 9 2.2. Fase-Fase dalam Siklus Bisnis................................................................... . 10 2.3. Kerangka Pemikiran Penenlitian................................................................ . 28 3.1. Kerangka Kerja Analisis SAM .................................................................. . 46 4.1. Siklikal Pertumbuhan Nilai Tukar ............................................................. . 51 4.2. Siklikal Pertumbuhan Cadangan Devisa.................................................... . 52 4.3. Siklikal Pertumbuhan Suku Bunga Deposito Tiga Bulan.......................... . 53 4.4. Siklikal Pertumbuhan Kredit Macet........................................................... . 54 4.5. Siklikal Pertumbuhan Kecukupan Modal Perbankan ................................ . 55 4.6. Fase Pergerakan ISP .................................................................................. . 57 4.7. Fase Pergerakan IBC.................................................................................. . 57 4.8. Siklikal ISP dan Threshold ISP.................................................................. . 67 4.9. Periode Krisis Nilai Tukar ......................................................................... . 67 4.10. Siklikal IBC dan Threshold IBC................................................................ . 70 4.11. Periode Krisis Perbankan ........................................................................... . 70 4.12. Siklikal IMV dan ISP................................................................................. . 81 4.13. Siklikal IBV dan IBC................................................................................. . 81
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data yang Digunakan dalam Analisis........................................................... . 96 2. Grafik Fluktuasi Siklikal .............................................................................. 102 3. Grafik Conditional Standard Deviation (CSD) dan Threshold .................... 104 4. Hasil Uji ADF pada Setiap Indikator............................................................ 105 5. Hasil Uji Korelasi Silang Setiap Indikator.................................................... 108 6. Hasil estimasi GARCH untuk Setiap Indikator ............................................ 113 7. Sinyal dan Crisis Window untuk Krisis nilai Tukar...................................... 119 8. Sinyal dan Crisis Window untuk Krisis Perbankan ...................................... 123 9. Hasil Evaluasi Kinerja Sinyal dengan SAM.................................................. 127
v
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktifitas perekonomian
dapat menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode. Meningkatnya aktifitas perekonomian akibat pertambahan investasi yang didorong oleh tingkat produktifitas dunia usaha, akhirnya dapat meningkatkan output nasional. Kegiatan investasi memerlukan suatu sarana yang dapat mengatur pergerakan modal dan penyalurannya kepada dunia usaha, yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Sektor perbankan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional melalui fungsinya dalam intermediasi dana yang menghubungkan antara pemilik dana dan pelaku usaha. Fungsi intermediasi ini harus terpelihara dengan baik karena akan mendorong perekonomian tumbuh dan berkembang pada tingkat yang lebih maju. Uang yang disimpan masyarakat (nasabah) oleh bank dipinjamkan kepada pihak yang ketiga (perusahaan dan masyarakat) dengan bunga yang lebih tinggi dari yang dibayarkannya kepada para penyimpan (nasabah). Dalam ekonomi modern, bank mempunyai peranan yang amat penting dalam proses transfer dana yang diperlukan oleh unit-unit produksi dalam sektor-sektor ekonomi. Pada proses pembangunan tahun 1970, perekonomian Indonesia tergantung pada sektor minyak bumi dan gas. Pendapatan devisa dari ekspor minyak bumi dan gas tersebut telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu tumbuh 7-8 persen pertahunnya, pada waktu itu perekonomian
2
dalam keadaan ekspansi dan baru saja mulai untuk membangun perekonomian bangsa. Indonesia menikmati keuntungan dari peningkatan harga minyak (oil booming) dan kondisi perbankan nasional ditandai dengan kelebihan dana murah. Oleh karena itu, perbankan kurang antusias mengumpulkan dan menyalurkan dana dari masyarakat melalui tabungan ataupun kredit. Akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghapus jaminan kredit, kebebasan menentukan suku bunga dan mengurangi kredit likuiditas dari Bank Sentral. Berakhirnya era oil booming yang ditandai dengan menurunnya harga minyak dunia pada awal tahun 1980-an, menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan dalam menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan peran swasta dalam perekonomian nasional melalui investasi, untuk tujuan tersebut pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Oktober pada tahun 1988 (Pakto 1988). Awal 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan cepat, mobilisasi dari masyarakat meningkat pesat dan ekspansi kredit tetap kuat. Ekspansi kredit berlebih juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing meningkat tajam yang mencerminkan posisi devisa negara mulai terancam. Perkembangan diatas menyebabkan perbankan nasional sangat rentan terhadap goncangan-goncangan yang terjadi dalam perekonomian. Indikator fundamental ekonomi merupakan indikator-indikator yang menunjukan ketahanan perekonomian menahan guncangan yang terjadi, seperti dampak krisis lanjutan dari Thailand. Indikator fundamental Indonesia pada waktu
3
itu diperkirakan cukup kuat untuk menahan goncangan. Perkiraan pemerintah tersebut meleset karena kenyataannya salah satu indikator yaitu nilai tukar sudah menjadi sangat tidak stabil karena mengingat terbukanya pergerakan aliran modal antara negara di kawasan Asia sehingga perubahan nilai tukar di negara lain akan mudah mempengaruhi nilai tukar rupiah (Claproth, 2004). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD mengakibatkan tanggungan atas utang valuta asing naik tajam, sehingga mempersulit kondisi likuiditas perbankan. Disisi lain turunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional mengakibatkan terjadinya penarikan sejumlah dana dari bank secara bersamaan, sedangkan dipihak debitur terjadi kesulitan dalam memenuhi kewajiban kepada perbankan sehingga kredit bermasalah menjadi semakin menumpuk. Besarnya kesulitan likuiditas menimbulkan krisis pada perbankan nasional yang tentunya menghambat proses intermediasi perbankan dalam penyaluran dana, akibatnya pertumbuahan kredit yang terhambat akan menurunkan investasi sehingga berdampak pada penurunan output nasional yang mengantarkan perekonomian pada periode resesi, mengakibatkan sektor rill mulai terganggu yang kemudian lumpuh dan menimbulkan krisis ekonomi. Biaya pemulihan dari krisis perbankan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan dan merehabilitasi perbankan pada waktu itu mencapai 50 persen dari GDP, berdasarkan data tahun 1999 GDP sebesar Rp.718 triliun dan biaya rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.431 triliun (Basri, 2002). Berbagai permasalahan yang timbul yang tidak terdeteksi secara dini akan
4
mengakibatkan masalah yang lebih luas, salah satunya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi atau resesi. Krisis dapat dihindari dengan menciptakan suatu stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan merupakan suatu rangkaian proses dan kegiatan yang diawali dengan pemantauan dan identifikasi kemungkinan timbulnya suatu krisis, sampai dengan pencegahan krisis itu sendiri, serta upayaupaya penyelesaian yang harus dilakukan apabila krisis tersebut sudah terjadi, rangkaian kegiatan
untuk memelihara kestabilan sistem keuangan dilakukan
menyeluruh meliputi lembaga keuangan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya (Agung et al., 2002). Salah satu modal untuk mengidentifikasi secara dini risiko-risiko yang mengganggu kestabilan keuangan dan berpotensi menyebabkan terjadinya krisis adalah dengan dilakukannya suatu pemantauan yang memonitor perilaku indikator-indikator kerentanan sistem keuangan untuk menghindari timbulnya krisis seawal mungkin. Oleh karena itu, dengan berprinsip kepada the present is the key to the past and the past is the key to the future, bahwa keadaan hari ini menjadi proses untuk mengetahui keadaan yang terjadi dimasa lalu, sehingga dengan mengetahui penyebabnya dapat dilakukan antisipasi agar proses dimasa lalu yang tidak diinginkan tidak terulang lagi dan kejadian dimasa depan yang diharapkan dapat ditentukan (Claproth, 2004). Analisis tentang sistem deteksi dini untuk krisis nilai tukar dan perbankan dengan pelajaran yang telah kita alami dimasa lalu sebagai tolak ukurnya, harus dilakukan agar menjadi alat memberikan peringatan sebelum krisis terjadi.
5
1.2.
Perumusan Masalah Proses pemulihan krisis di Indonesia termasuk paling lambat, jika
dibandingkan dengan negara kawasan Asia lainnya. Berbagai macam cara dilakukan, agar pengalaman krisis serupa tidak terulang kembali. Salah satunya dengan menciptakan sistem deteksi dini yaitu menciptakan indikator-indikator yang memiliki kemampuan untuk memprediksi terjadinya krisis. Berbagai metode sistem deteksi dini diciptakan oleh para peneliti diseluruh dunia sebagai wujud solidaritas mereka terhadap kejadian krisis yang melanda kawasan Asia. Pendekatan yang digunakan sebagai sistem deteksi dini dikelompokkan kedalam tiga pendekatan yaitu kualitatif, parametrik dan non-parametrik. Salah satu metode non-parametrik yang digunakan yaitu Signal Approach Method (SAM) yang dipelopori oleh Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998). Penelitian menggunakan metode ini telah dilakukan untuk studi kasus Indonesia oleh Agung, et.al (2002) dan Tambunan (2002). Penelitian dengan SAM untuk periode waktu terbaru hingga saat ini sangat jarang dilakukan, padahal suatu sistem deteksi dini harus terus menerus dilakukan karena ada kemungkinan suatu indikator tidak lagi memiliki kinerja yang memadai untuk mendeteksi krisis. Indonesia telah hampir sepuluh tahun melewati masa krisis yang terjadi, sehingga sistem deteksi dini yang telah diciptakan memiliki kemungkinan tidak dapat mendeteksi keberadaan krisis berskala sama dengan krisis yang terjadi sebelumnya apabila telah ada perpanjangan periode waktu. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya krisis yang sama dan mengetahui kinerja dari setiap indikator dini, penelitian tentang sistem deteksi dini harus dilakukan. Krisis yang
6
terjadi terdahulu didominasi oleh krisis nilai tukar dan krisis perbankan oleh karena itu penelitian ini membatasi jenis krisis yang diteliti hanya untuk krisis nilai tukar dan krisis perbankan. Sistem deteksi dini harus dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya krisis nilai tukar dan krisis perbankan. Dengan menggunakan salah satu metode sistem deteksi dini yaitu SAM dapat disimpulkan permasalahan yang akan diteliti antara lain: 1. Apakah periode krisis perbankan dan nilai tukar di Indonesia dapat dideteksi oleh sistem deteksi dini dengan SAM? 2. Bagaimana kinerja setiap indikator dini krisis nilai tukar dan krisis perbankan? 3. Bagaimana kinerja indek komposit dari indikator dini krisis nilai tukar dan krisis perbankan?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah pada penelitian ini,
tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan penelitian ini adalah: (1) menganalisis periode terjadinya krisis nilai tukar dan krisis perbankan di Indonesia; (2) melakukan evaluasi dan analisis atas kinerja indikator dini krisis nilai tukar dan krisis perbankan; (3) menghasilkan indikator dini yang dapat digunakan untuk membentuk indek komposit kerentanan nilai tukar dan indek komposit kerentanan perbankan; (4) menganalisis kinerja indek komposit kerentanan nilai tukar dan perbankan.
7
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini umumnya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak
yang mengkaji tentang sistem deteksi krisis nilai tukar dan perbankan, dan pihak yang tertarik untuk mengamati perkembangan krisis ataupun para pencinta ilmu ekonomi yang gemar mengikuti perkembangannya. Secara khusus, penelitian ini akan berguna bagi para pengambil kebijakan ekonomi sebagai masukan untuk mengantisipasi terjadinya krisis dengan menghasilkan kebijakan yang terbaik karena adanya tenggat waktu antara keluarnya sinyal yang dapat mendeteksi krisis dengan periode terjadinya krisis, sehingga meskipun krisis memang tidak dapat dihindari namun setidaknya dampak terjadinya krisis tidak terlalu meluas dengan adanya tindakan antisispasi tersebut. Para pelaku ekonomi dapat menggunakan indek komposit yang dibentuk pada penelitian ini sebagai referensi untuk mengetahui kondisi nilai tukar dan perbankan di Indonesia, sehingga dapat menentukan tindakan yang harus dilakukan agar meminimalkan resiko yang dihadapi sesuai dengan kondisi nilai tukar dan perbankan tersebut. Selain itu, penulis berharap agar tulisan ini dapat menambah referensi dan informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitian lebih lanjut dimasa yang akan datang terutama bagi penelitian yang terkait dengan sistem deteksi dini krisis, dimana penelitian dengan topik tersebut harus dilakukan secara terus menerus. Dan terakhir, penelitian ini berguna bagi penulis sebagai penyelaras teori diperkuliahan dengan kondisi nyata yang sedang terjadi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kajian teori ini menjelaskan teori-teori yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian mengenai sisitem deteksi dini krisis, perlu disajikan teori tentang siklus bisnis selaku teori awal yang menciptakan adanya indikator dini dan pergerakan suatu siklus. Kajian tentang siklus bisnis menguraikan tentang definisi siklus bisnis, karakteristik indikator dalam suatu siklus dan perkembangan teori siklus bisnis hingga dapat terkait dengan teori sistem deteksi dini krisis. Kajian tentang krisis nilai tukar dan perbankan mengemukakan pengertian krisis dan indikator yang dapat menggambarkan kondisi krisis tersebut. Selain itu diuraikan secara singkat metode yang digunakan sebagai sistem deteksi dini dalam penelitian ini yaitu Signals Approach Method (SAM) beserta kelemahan ataupun kelebihanya. Penelitian-penelitian terdahulu yang diungkapkan adalah penelitian yang terkait topik yang diteliti yaitu sistem deteksi dini. Terakhir diuraikan tentang kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
2.1.
Siklus Bisnis Pertumbuhan ekonomi naik dan turun membentuk siklus bisnis. Ketika
perekonomian naik atau disebut ekspansi jumlah produksi barang dan jasa meningkat dan pertumbuhan aktual perekonomian berada diatas tingkat potensialnya. Sebaliknya ketika perekonomian turun atau resesi, pertumbuhan aktualnya berada dibawah tingkat potensial dimana penggunaan sumber daya
9
ekonomi belum digunakan sepenuhnya. Perekonomian turun dan mencapai titik baliknya disebut peak (lembah), kemudian naik menuju trough-nya (puncak), seperti yang terlihat didalam Gambar 2.1. Pergerakan yang terjadi tidaklah sesederhana gambar tetapi bervariasi dalam durasi, intensitas dan frekuensinya (Schiller, 1997). Variasi yang terjadi pada siklus dipengaruhi berbagai sebab, baik dari dalam ataupun luar negeri, berasal dari sektor ekonomi maupun non ekonomi.
Gambar 2.1. Fluktuasi Siklus Bisnis Sumber: McEachern (1999)
Peningkatan GDP rill mengindikasikan bahwa produksi agregat juga meningkat, lebih banyak produksi berarti jumlah barang dan jasa yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat bertambah. Penurunan GDP rill akan berimplikasi pada penurunan pendapatan, kesempatan kerja dan standar hidup. GDP rill tidaklah selalu meningkat atau menurun, tetapi naik dan turun secara bergantian membentuk fluktuasi yang tidak tetap dan berubah-ubah sepanjang waktu. Untuk menggambarkan fluktuasi pada produksi agregat yang diperlihatkan oleh naik dan turunnya GDP rill digunakan siklus bisnis (Hyman, 1992).
10
Gambar 2.2. Fase-Fase dalam Siklus Bisnis Sumber: Delurgro (1998)
Moffatt (2006) mendefenisikan siklus bisnis sebagai pergerakan naik dan turun secara berkala tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya, yang diakibatkan oleh fluktuasi pada GDP rill dan variabel makroekonomi lainnya. Siklus yang terjadi tidak seperti bandul jam yang bergerak berulang-ulang dan sama panjangnya sehingga dapat dengan mudah diketahui arah pergerakannya, melainkan berbentuk acak dan tidak dapat diprediksi (Parkin dan Bade, 1999). Fluktuasi GDP rill memang sulit untuk diprediksi namun dapat diidentifikasikan dengan karakteristik fase yang dilalui siklus bisnis seperti terlihat pada Gambar 2.2, yaitu prosperity, liquidation, recession dan recovery atau expansion. Fase-fase ini pertama kali dikenalkan oleh Wesley Mitchell (1874-1948), kemudian ditambah tahapan growth dan warning oleh peneliti lainnya (Delurgro, 1998).
11
Suatu indikator dapat digunakan untuk mengindikasikan bagaimana suatu hal yang kita amati akan berubah dimasa yang akan datang, yang nantinya dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Ketika suatu indikator ekonomi menyatakan bahwa ekonomi akan mengalami peningkatan dan perbaikan dimasa yang akan datang, para investor mungkin merubah strategi berinvestasinya. Adapun karakteristik yang dimiliki indikator pada siklus bisnis adalah: 1. Hubungannya terhadap siklus bisnis -
Procyclical, arah pergerakannya sama dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian. Ketika perekonomian membaik,
maka indikatornya akan
mengalami peningkatan. -
Countercyclical, arah geraknya berlawanan dengan perekonomian, ketika perekonomian membaik maka indikatornya akan mengalami penurunan.
-
Acyclical, indikator yang tidak memiliki hubungan dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian,meskipun perekonomian membaik ataupun memburuk, perubahan indikatornya tetap tidak terpengaruh dan tetap berada pada trend-nya sendiri.
2. Timing -
Leading, indikator yang berubah sebelum perekonomian berubah.
-
Lagged, sesuatu yang tidak akan mengalami perubah sampai beberapa waktu kedepan setelah perekonomian mengalami perubahan. Waktu terjadinya indikator ini yaitu setelah perekonomian bergerak.
-
Coincident, indikator yang bergerak dalam waktu yang bersamaan dengan perubahan ekonomi.
12
3. Frekuensi data Berdasarkan frekuensi datanya indikator-indikator yang digunakan memiliki waktu tayang yang berbeda-beda dalam memprediksi perekonomian. Indikator-indikator tersebut ada yang berbentuk tahunan, kwartalan, triwulanan, bulanan dan ada juga yang berubah setiap menitnya. Proses identifikasi titik balik untuk menentukan posisi lembah dan puncak dari suatu siklus, dapat ditentukan berdasarkan metode Bry-Broschan. 1. Periode dengan nilai tertinggi atau terendah dari nilai lainnya dalam rentang waktu lima bulan sebelum dan sesudahnya merupakan titik balik potensial. 2. Suatu fase (puncak ke lembah atau lembah kepuncak) memiliki durasi minimal lima bulan. Dan suatu siklus (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) memiliki durasi minimal 15 bulan. 3. Apabila terdapat dua titik balik sejenis dan berurutan, maka dipilih nilai pada puncak tertinggi atau lembah terendah. Dan apabila nilai tersebut memilki nilai yang sama maka titik balik terakhir yang dipilih. 4. Titik balik yang terdapat dalam waktu enam bulan atau kurang dari awal dan akhir periode
suatu series data, maka data tersebut tidak diperhitungkan
sebagai titik balik. Metode dan teknik yang digunakan untuk mendapatkan peak atau through dalam suatu siklus bisnis, sejak awal perkembangan teori siklus bisnis telah diperkirakan dapat mendeteksi suatu krisis. Seperti yang dikemukakan oleh peneliti-peneliti terdahulu dibawah ini dalam Niemira dan Klein (1994). Wesley Mitchell dianggap sebagai ujung tombak berdirinya pendekatan ini. Menurut
13
Mitchell, siklus bisnis memperlihatkan suatu patahan
yang dapat dianggap
periode krisis, sehingga analisis tentang siklus dapat lebih luas dipergunakan dalam berbagai hal. Pandangan Mitchell ini, mendorong peneliti-peneliti pada abad pertengahan melihat teori siklus bisnis sebagai suatu siklus statistik yang pada awalnya dipergunakan untuk melihat krisis perdagangan, sehingga pendekatan tentang siklus bisnis cukup fleksibel untuk digabungkan dengan pendekatan lainnya. Teori Debt and financial fragility yang dianut oleh Fisher (1933), Kindleberger (1978) dan Minsky (1977) mendefinisikan krisis sebagai titik balik dari business cysles sebagai respon kelebihan utang yang terjadi pada pasar keuangan. Adapun tanda-tanda krisis mulai terjadi adalah: meningkatnya pembiayaan pembangunan yang berasal dari utang, pergantian utang jangka panjang ke jangka pendek, meningkatnya kegiatan spekulasi di pasar asset, penurunan margin safety di lembaga keuangan, kenaikan suku bunga yang menyebakan kebijakan moneter yang kontraktif. Selama perkembangan teori siklus bisnis terus dikaji, berbagai siklussiklus lain akan mulai ditemukan. Seperti misalnya siklus bisnis untuk kawasan regional, siklus inflasi, siklus industri, siklus kredit, siklus moneter, siklus suku bunga dan siklus pasar saham. Salah satu dari turunan teori siklus bisnis tersebut akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu sistem deteksi dini untuk krisis yang menggunakan teknik dan teori dasar dalam siklus bisnis, seperti penentuan leading indicator, pola siklikal dan sebagainya.
14
2.2.
Krisis Nilai Tukar Krisis keuangan didefinisiskan sebagai situasi dimana permintaan uang
meningkat lebih cepat dibandingkan dengan penawaran uang. Menurut Kaminsky, et. al. (1998) krisis nilai tukar didefenisikan sebagai: ”A crisis is defined as a situation in which an attack on the currency leads to a sharp depreciation of the currency, a large decline in international reserves, or a combination of the two. A crisis so defined includes both successful and unsuccessful attacks on the currency. The definition is also comprehensive enough to include not only currency attacks under a fixed exchange rate but also attacks under other exchange rate regimes. For example, an attacks could force a large devaluation beyond the established rules of a prevailing crawling-peg regime or exchange rate band”.
Terdapat tiga jenis teori yang mendasari krisis nilai tukar, ketiga teori tersebut dapat dijelaskan berikut ini. 1. Model generasi pertama menunjukan bahwa krisis nilai tukar terjadi bukan karena
berusaha
mempertahankan
regim
nilai
tukar
tetapi
karena
memburuknya fundamental ekonomi. Penyebab utama krisis adalah kredit yang berlebihan untuk pembiayaan pembangunan maupun likuiditas terhadap perbankan. 2. Model generasi kedua memasukan kegiatan spekulasi sebagai salah satu penyebab krisis, sehingga krisis bisa saja terjadi tanpa ditandai dengan memburuknya fundamental ekonomi. Suatu negara dapat menjadi korban dari serangan spekulasi semata-mata karena adanya perubahan tingkat kepercayaan pasar yang tidak ada kaitannya dengan fundamental ekonomi. 3. Model generasi ketiga menggunakan pendekatan jalur neraca, baik agregat maupun sektoral. Penyebab krisis dari sudut pandang pendekatan ini adalah turunnya permintaan kreditor asing terhadap aset keuangan domestik yang dipicu oleh hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan negara, pemerintah,
15
sistem perbankan atau perusahaan dalam melunasi utang luar negeri yang kemudian mendorong lonjakan permintaan akan aset asing atau aset dalam bentuk mata uang asing. Selanjutnya yang terjadi adalah larinya modal asing secara besar-besaran, depresiasi nilai tukar, surplus neraca berjalan dan resesi.
2.3.
Krisis Perbankan Krisis
perbankan
bukan
merupakan
sebuah
periode
baru
pada
perekonomian karena telah terjadi berulang pada tahun-tahun yang lalu dan merugikan banyak negara. Karena bank menjadi pemain penting dalam suatu perekonomian, krisis perbankan akan memicu konsekuensi lanjutan seperti berkurangnya output, ketidakstabilan moneter dan efek non moneter lainnya. Industri perbankan yang memiliki fungsi intermediasi untuk mengatur sistem pembayaran, menimbulkan pandangan bahwa permasalahan di sektor perbankan dapat menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian yang dampaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan jatuhnya bidang industri lain. Dalam hal ini, kejatuhan sektor perbankan akan menyebabkan jatuhnya industri pada sektor lain yang memiliki hubungan dengan bank tersebut. Beberapa analisis menurut Hadad, Santoso dan Arianto (2003) mengutarakan alasan yang mendukung pernyataan bahwa industri perbankan merupakan industri yang memerlukan perhatian khusus. 1. rasio kas terhadap aset yang rendah; 2. rasio modal terhadap aset yang rendah; 3. rasio dana jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi.
16
Dengan memperhatikan kondisi diatas, penarikan dana dalam jumlah besar akan mengakibatkan bank-bank kesulitan untuk mengembalikan dana milik masyarakat tersebut. Sebagai solusinya bank-bank tersebut akan menjual aset yang ada dengan harga murah, kondisi ini akan menimbulkan tekanan yang besar pada perbankan dan menurunnya rentabilitas perbankan akan memicu timbulnya krisis. Kunt dan Detergiache (1998) dalam Hadad et. al. (2003) mendefinisikan krisis sebagai suatu keadaan dimana salah satu kondisi dibawah ini terpenuhi. 1. Asset non performing mencapai 10 persen dari total asset sistem perbankan. 2. Biaya untuk menyelamatkan sistem perbankan mencapai 2 persen dari GDP. 3. Terjadi pengalihan kepemilikan bank-bank secara besar-besaran kepada pemerintah. 4. Terjadi bank run yang meluas atau terdapat tindakan darurat yang dilakukan pemerintah dalam bentuk pembekuan simpanan masyarakat, penutupan kantor-kantor bank dalam jangka waktu yang cukup panjang, atau memberlakukan penjaminan simpanan yang meyeluruh. Hardy dan Pazarbasioglu (1999) mengatakan bahwa pada dasarnya permasalahan yang ada di industri perbankan dapat digolongkan kedalam dua kelompok besar, yaitu severe distress dan full-blown crisis. Severe distress atau permasalahan berat terjadi apabila permasalahan perbankan telah terakumulasi hingga mencapai suatu titik tertentu, namun belum mencapai satu kondisi yang dikemukakan diatas. Sementara itu full-blown crisis terjadi apabila salah satu kondisi telah tercapai.
17
Berdasarkan peraturan BI nomor 5/8/PBI/2003 yang sejalan dengan rekomendasi kesepakatan Basel II dalam Suseno dan Abdullah (2003), bank umum di Indonesia diharuskan mengatur dan mengelola segala risiko yang dihadapi, sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja internal dan operasi bank. Permasalahan yang muncul di sektor perbankan pada akhirnya bermuara pada kemampuan perbankan mengelola semua risiko yang berkaitan dengan operasi bank. Indikator kinerja perbankan selain dinilai dari cara pengelolaan risikorisiko, terdapat kerangka kerja yang berisi lima kunci pokok. 1. Capital Adequecy Ketersediaan kecukupan modal dapat mengurangi risiko yang dihadapi bank dan mengurangi kerugian. Dengan adanya modal maka ketika terjadi kegagalan pada bank akibat pinjaman nasabah yang tidak lancar, bank memiliki cadangan. Modal pun dapat mendukung posisi keuangan dan operasional bank, memberikan perlindungan kepada para nasabah, peminjam dan penanam modal. 2. Asset Quality Kualitas aset memainkan peranan yang penting dalam menentukan keuntungan (profitabilitas) bank untuk sekarang dan masa yang akan datang. Risiko kegagalan pinjaman dapat ditekan, karena kualitas aset bank akan memburuk ketika terdapat NPL (Non Performing Loan yang meningkat) yang banyak. Meningkatnya risiko kredit dan risiko lain pada sektor rill akan meningkatkan NPL. Dengan kondisi perekonomian yang terpuruk dan kualitas
18
pinjaman memburuk, lebih banyak NPL akan mengurangi penerimaan bank yang akhirnya mempengaruhi keuntungan bank. 3. Management Quality Kualitas management yang dimiliki oleh suatu bank akan mempengaruhi kondisi bank untuk masa yang akan datang, hal ini terlihat dari efisiensi dalam operasional bank yang terkait dengan pengelolaan biaya dan produktifitas pekerja. 4. Profitability Profitabilitas mengindikasikan bagaimana pengelola dan pekerja mampu mempertahankan pertumbuhan keuntungan dengan adanya peningkatanpeningkatan keuntungan. Pendekatan yang menunjukan tingkat profitabilitas adalah return on assets (ROA), return on equity (ROE) dan net interest margin (NIM). 5. Liquidity Bank memerlukan likuiditas untuk menyatukan proses penyaluran dana antara penyimpan dan para peminjam. Oleh karena itu, bank harus memiliki kemampuan untuk mengumpulkan modal yang dengan cepat dapat dicairkan agar menjadi cadangan ketika suatu saat diperlukan modal keluar yang banyak.
2.4.
Signals Approach Method (SAM) Metode ini mengasumsikan perilaku rata-rata dari leading indicator
mengalami perubahan pada saat menjelang krisis, sehingga dapat dijadikan sebagai sinyal peringatan (early warning). Pendekatan ini dipelopori oleh
19
Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998) dan dikembangkan oleh Garcia dan Herrera (1999). Indikator yang memiliki nilai menyimpang dari threshold tertentu dianggap sebagai warning signals adanya suatu krisis dalam jangka waktu tertentu. Threshold dipilih untuk membatasi risiko memberikan sinyal yang salah dan risiko kehilangan beberapa periode krisis yang terjadi. Sinyal yang diikuti oleh krisis selama jangka waktu yang dipilih atau crisis window (dalam penelitian ini menggunakan 12 bulan) disebut dengan good signals. Sedangkan sinyal yang tidak diikuti oleh krisis dalam 12 bulan kedepan maka bad signals. Dalam model ini threshold ditentukan secara relatif dan diperoleh dari persentil distribusi masing-masing indikator. Pengembangan ekstraksi sinyal kemudian dilanjutkan oleh Garcia dan Herrera (1999). Untuk memperoleh sinyal digunakan empat macam metode transformasi atau penyaringan yaitu: Hodrick-Prescott (HP filter), moving average (model chartist), penggunaan variabel dalam bentuk level atau data output tanpa dihitung tingkat pertumbuhannya, dan model Autoregrsive Moving Average (ARMA) yang dihitung residualnya. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, keunggulan pendekatan ini adalah: 1. Mampu menangkap sinyal dari berbagai variabel mengenai krisis yang akan terjadi dan menyediakan informasi mengenai sumber dan penyebab krisis. 2. Mencakup beberapa variabel ekonomi yang biasanya menandai timbulnya berbagai permasalahan ekonomi. 3. Dapat digunakan untuk mnganalisis sistem deteksi dini untuk satu negara saja.
20
Adapun kelemahan dalam penelitian ini adalah: 1. Indikator yang digunakan dalam bentuk tingkat pertumbuhan, sehingga apabila terdapat efek yang konstan, variabel-variabel tersebut tidak dapat digunakan. 2. Penentuan periode krisis dengan mengkombinasikannya kedalam suatu indeks kemudian priode krisis ditentukan berdasarkan apakah indeks tersebut melebihi threshold atau tidak, menghasilkan perbedaan periode untuk mengidentifikasi krisis.
2.5.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang dilakukan berhubungan dengan pembentukan
indikator dini krisis nilai tukar dan perbankan. Penelitian Hardy dan Pazarbasioglu (1999) menggunakan metode analisis multinomial logit model yang diestimasi dengan maximum likelihood pada observasi 253 krisis yang terjadi di berbagai negara. Hasil penelitiannya menemukan bahwa krisis perbankan berhubungan dengan: 1 menurunnya GDP rill yang bersifat lama dan terus menerus mengalami penurunan; 2 meningkatnya boom siklus inflasi, ekspansi kredit, dan capital inflow; 3 meningkatnya tingkat suku bunga rill dan penurunan capital output ratio; 4
menurunnya real exchange rate dan menyebabkan guncangan perdagangan yang sangat merugikan.
21
Penelitian Hadad, Santoso dan Arianto (2003) yang diberi judul: Indikator Awal Krisis Perbankan. Metode analisis yang digunakan adalah metoda maximum likelihood dalam model logit dan uji type I & type II error untuk melihat faktorfaktor yang memberikan kontribusi terhadap industri perbankan. Variabel-variabel indipenden yang digunakan terbagi kedalam tiga kelompok besar yaitu: variabel sektor rill untuk menjelaskan tingkat efisiensi penggunaan kredit perbankan dan perubahan repayment capacity, variabel sektor perbankan untuk menjelaskan tingkat ketahanan perbankan terhadap perubahan-perubahan yang signifikan pada sisi asset maupun liabilities, dan variabel shock yang digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor lain yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sektor rill. Berdasarkan hasil penelitiannya, diperoleh keterkaitan antara terjadinya krisis perbankan dengan pertumbuhan GDP rill, real effective exchange rate, pertumbuhan pemberian kredit kepada sektor rill, perubahan simpanan masyarakat, pertumbuhan konsumsi swasta. Dengan menggunakan uji type I & type II error indikator-indikator sektor rill, sektor perbankan dan shock dapat digunakan sebagai indikator awal krisis perbankan. Penelitian menggunakan Signal Approach Method (SAM), dipelopori oleh Kaminsky,et..al..(1998) yang menggunakan pendekatan ini untuk mendeteksi krisis nilai tukar. Adapun penggunaan crisis window-nya adalah 24 bulan dengan studi kasus beberapa negara yang mengalami krisis dengan menggunakan data panel. Penelitian ini menganalisis indikator keuangan yang dapat dijadikan indikator dini krisis nilai tukar. Kemudian indikator dikategorikan kedalam
22
indikator: capital account, debt profile, current account, international variabel, financial liberalization, real sector, fiscal variabel, structural factors dan political variabel dengan jumlah indikator yang diteliti yaitu 15 indikator. Garcia
dan
Herrera
(1999)
memperbaiki
kinerja
SAM
dengan
menambahkan empat metode filtering untuk mengekstraksi sinyal, selain itu setiap indikator dini tidak diuji setiap variabelnya, tetapi langsung diuji hasil agregasi setiap variabel dalam bentuk indeks kompositnya. Penelitian ini mengambil studi kasus untuk krisis yang dialami oleh Amerika Latin, dengan menggunakan crisis window 24 bulan. Penelitian dengan SAM digunakan oleh Agung et.al. (2002) untuk kasus Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Garcia dan Herrera (1999). Hasil penelitian ini menggunakan crisis window 24 bulan dengan hasil metode filtering yang terbaik dibandingkan dengan empat metode lainnya yaitu deviasi dari trend-nya dengan menggunakan HP filter dan GARCH. Penelitiannya hanya menganalisis kinerja indeks komposit tanpa menjelaskan kinerja masing-masing indikator karena tujuan dari penelitian ini hanya ingin mengetahui kinerja akurasi sinyal dari keempat metode filtering yang digunakan Garcia dan Herrera (1999) apabila diterapkan untuk kasus Indonesia. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Tambunan (2002) yang meneliti krisis nilai tukar untuk kasus Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Kaminsky,et..al. (1998) yaitu dengan menganalisis kinerja setiap indikator pembentuk indeks komposit. Penelitian yang dilakukan Agung,,et. al. (2002) menjadi masukan untuk menentukan metode filtering yang digunakan pada
23
penelitian ini, berbeda dengan penelitian tersebut yang menganalisis keempat metode filtering yang digunakan oleh Garcia dan Herrera (1999), penelitian ini hanya menggunakan satu metode filtering yang memiliki kinerja yang baik berdasarkan penelitian Agung et.al. (2002) tersebut yaitu metode filtering dengan mendeviasikan terhadap trend dengan Hodrick-Prescott filter kemudian diestimasi dengan model GARCH untuk menentukan threshold. Kinerja setiap indikator dini untuk krisis nilai tukar dan perbankan dianalisis
kinerjanya
untuk
menetukan
variabel
yang
memilki
kinerja
memprediksi yang baik seperti penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2002) dengan crisis window 12 bulan. Penelitian tentang sistem deteksi dini untuk kasus Indonesia hanya menganalisis sampai dengan periode 2002, padahal suatu sistem deteksi dini harus diperbaharui dan dipantau pergerakannya setiap saat. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis kinerja akurasi sinyal dengan SAM dengan adanya perpanjangan periode waktu sampai dengan 2005.
2.6.
Kerangka Pemikiran Krisis yang dialami Indonesia meninggalkan pelajaran yang sangat penting
yaitu penyelesaian krisis tersebut sangat kompleks dan berbiaya sangat mahal. Krisis Indonesia merupakan krisis terparah kedua di dunia dalam seperempat abad terakhir setelah krisis di Argentina (1980-1982) karena mengeluarkan biaya mencapai 51 persen sedangkan Argentina 55 persen dari PDB tahunannya. Pelajaran tersebut harus menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar
24
keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan. Menurut Batunanggar (2003) stabilitas sistem keuangan adalah kestabilan yang ditujukan untuk menciptakan lembaga dan pasar keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu tatanan perekonomian nasional. Sehingga tujuan dari analisis stabilitas sistem keuangan adalah menghindarkan gangguan terhadap sistem keuangan, adapun gangguan sistem keuangan yang utama adalah krisis perbankan dan krisis nilai tukar (Agung et. al., 2002). Dan perumusan yang umum dipakai untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan yaitu kebijakan untuk menghadapi krisis yang merupakan suatu rangkaian proses dan kegiatan yang diawali dengan pemantauan dan identifikasi kemungkinan timbulnya krisis, sampai dengan pencegahan timbulnya krisis atau yang disebut dengan crisis prevention dan upaya-upaya penyelesaian yang harus dilakukan apabila krisis tersebut sudah terjadi atau crisis resolution. Salah satu upaya pencegahan terjadinya krisis (crisis prevention) yaitu mengembangkan sistem deteksi dini dengan menganalisis indikator-indikator yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi krisis dan menggambarkan kondisi sistem keuangan yang rentan terhadap gejolak. Terdapat tiga pendekatan utama yang sering digunakan dalam penyusunan sistem deteksi dini, yaitu: 1. Pendekatan Kualitatif Secara kualitatif, sistem deteksi dini dapat dilakukan dengan membandingkan secara grafis fundamental ekonomi sebelum krisis, dengan perekonomian
25
disaat normal atau perekonomian
negara lain yang sebanding dan tidak
sedang dilanda krisis. 2. Pendekatan Parametrik (Ekonometrik) Pendekatan
ini
mengidentifikasi
mengestimasi
probabilitas
variabel-variabel
yang
terjadinya
bisa
krisis
memprediksinya
serta secara
signifikan dengan cara mengamati perubahan efek yang ditimbulkannya. Pendekatan ini memiliki kemudahan dalam mengevaluasi variabel-variabel yang digunakan, namun diperlukan sample ukuran besar dengan mengunakan data panel antar negara yang mengalami krisis untuk model ekonometrik menggunakan probit dan logit. 3. Pendekatan Non-Parametrik Pendekatan
yang
mengevaluasi
kegunaan
berbagai
indikator
dalam
memberikan sinyal kemungkinan terjadinya krisis dengan menggunakan nilai threshold
yang
ditentukan
memperlihatkan kemungkinan
untuk
setiap
indikator
sehingga
dapat
antara sinyal yang salah dan risiko tidak
terjadinya sinyal untuk mendeteksi krisis. Yang termasuk kedalam pendekatan ini adalah Signals Approach Method (SAM). Indikator fundamental ekonomi merupakan indikator-indikator yang menunjukan ketahanan perekonomian menahan guncangan yang terjadi seperti krisis keuangan. Indikator fundamental ekonomi sekurangnya ditentukan oleh tujuh faktor yaitu: GNP per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, inflasi, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Karena kerentanan nilai tukar dapat disebabkan oleh fundamental ekonomi maka variabel nilai tukar
26
yang mencerminkan kestabilan nilai tukar itu sendiri digunakan dalam penelitian ini, variabel utang luar negeri memperlihatkan bagaimana kondisi pembiayaan sebelum terjadinya krisis, kredit domestik, REER dan cadangan devisa, menjadi indikator-indikator yang digunakan untuk menganalisis nilai tukar. Menurut Hadad et. al. (2003) permasalahan yang timbul pada industri perbankan dapat berasal dari sisi internal maupun eksternal perbankan. Dari sisi internal perbankan, permasalahan yang timbul dapat terlihat dari perkembangan kinerja masing-masing bank maupun kinerja industri perbankan secara keseluruhan. Sementara itu, kondisi ekonomi makro dan perkembangan kinerja industri yang sumber pembiayaannya dari kredit perbankan dapat mempengaruhi kinerja perbankan dari faktor eksternal. Adapun variabel yang mewakili variabel internal perbankan yaitu LDR, ROA dan OCOR dan variabel eksternal yang mempengaruhi perbankan diambil dari beberapa indikator fundamental ekonomi yang menggambarkan kondisi perekonomian yang sedang terjadi yaitu utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, kredit domestik, pergerakan nilai tukar dan inflasi. SAM memerlukan suatu seri acuan untuk mengidentifikasi krisis. Seri acuan untuk krisis nilai tukar yaitu ISP (Index of Speculative Pressure) dan krisis perbankan yaitu IBC (Index of Banking Crisis). Kedua seri acuan ini ditentukan titik baliknya dengan mengacu pada kriteria Bry-Boschan untuk melihat pergerakan siklikal seri acuan. Setelah diperoleh nilai ISP dan IBC, tahap selanjutnya yaitu pemilihan komponen pembentuk komposit berdasarkan kriteria uji stasioneritas dan uji korelasi silang. Indikator pembentuk komposit yang lulus kedua uji tersebut akan dibentuk menjadi indeks kerentanan.
27
Indikator-indikator
dini
kandidiat
pembentuk
komposit
kemudian
diagregasi menjadi suatu indek. Indek untuk kerentanan nilai tukar disebut dengan IMV (Index of Market Vulnerability) dan untuk kerentanan perbankan disebut IBV (Index of Banking Vulnerability). Kedua indek tersebut dapat digunakan sebagai indikator dini untuk memprediksi adanya krisis dengan menggunakan evaluasi akurasi sinyal. Evaluasi akurasi sinyal terdiri dari kriteria pengujian Type I and II Error, Noise to signals Ratio (N/S Ratio) dan Probability of Crisis (Pc). Setiap tahapan memiliki prosedur dan bahan pertimbangannya masing-masing. Untuk lebih rincinya, penjelasan setiap tahapan dan SAM akan dijelaskan pada bab berikutnya, yaitu metodologi penelitian.
28
Stabilitas Sistem Keuangan Tujuan: menghindari gangguan dari sistem keuangan
Crisis Resolution (Penyelesaian)
Gangguan sistem keuangan
Crisis Prevention (Pencegahan)
Krisis Nilai
Sistem Deteksi Dini
Pendekatan Kualitatif
Pendekatan Ekonometrik
Krisis Perbankan
Leading Indicators
Pendekatan Non-Parametrik Signal Approach Method (SAM) Pembentukan Seri Acuan Krisis
Uji Stasioneritas Uji Korelasi silang
Pemilihan Komponen Pembentuk Komposit Pembentukan Indek Komposit Evaluasi Akurasi Sinyal
Type I Error
Type II Error
N/S Ratio
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pc
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data deret
waktu bulanan dari tahun 1995 hingga tahun 2005 yang dikumpulkan dari berbagai sumber, diantaranya dari Statistika Perbankan Indonesia (SPI) dan Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) yang merupakan publikasi dari Bank Indonesia (BI) dan International Financial Statistics (IFS) terbitan IMF. Ke 132 observasi mencakup delapan variabel untuk menganalisis sistem deteksi dini krisis nilai tukar, dan 11 variabel untuk krisis perbankan. Karena ada variabel yang digunakan untuk kedua analisis, keseluruhan variabel menjadi 15 variabel. Tabel 3.1. Deskripsi Data Penelitian No Variabel 1 ER Exchange Rate 2 I3 Interest International 3 IR Reserves 4 NPL Non Performing Loan 5 CAR Capital Adequecy Ratio Industrial Production 6 IPI Index 7 DC Domestic Credit 8
LDR
Loan to Deposit ratio
9
ROA
Return on Asset
10
OCOR
11
FL
12
REER
13
CPI
14 15
EQ M2
Operating Cost over Operating Revenue Foreign Liabilities Real Efective Exchange Rate Consumer Price Index Equity Money
Deskripsi Nilai tukar rupiah terhadap USD Suku bunga deposito tiga bulan
Sumber SEKI BI SPI BI
Cadangan devisa resmi
SEKI BI
Rasio kredit macet Kecukupan modal perbankan Pertumbuhan output produksi sebagai proksi dari GDP Pertumbuhan kredit domestik rill Rasio kredit yang diberikan terhadap dana pihak ketiga Laba kotor dibagi rata-rata total aktiva Biaya operasional terhadap pendapatan operacional Pertumbuhan pasiva valas rill
SPI BI SPI BI IFS SEKI BI SPI BI SPI BI SPI BI SEKI BI
Perubahan nilai tukar rill
BI
Laju inflasi
IFS
IHSG Pertumbuhan M2
SEKI BI SEKI BI
30
Data yang digunakan untuk menentukan krisis nilai tukar yaitu, pergerakan nilai tukar itu sendiri (ER), suku bunga deposito tiga bulan (I3) dan cadangan devisa (IR). Sedangkan data yang digunakan sebagai pembentuk indeks komposit terdiri dari variabel yang berpengaruh dalam guncangan nilai tukar yaitu tingkat perubahan harga (CPI) dan REER mewakili sektor eksternal, kredit domestik (DC) dan M2 yang dideflasikan terhadap cadangan devisa (M2) mewakili sektor keuangan, perubahan harga saham yang dideflasikan terhadap inflasi (EQ) mewakili sektor rill. Indeks komposit untuk nilai tukar tersebut disebut Index of Market Vulnerability (IMV). Data CPI yang berasal IFS menggunakan tahun dasar 2002, untuk menyamaratakan dengan REER yang menggunakan tahun dasar 2003, maka data CPI diubah tahun dasarnya. Variabel lain yang dapat digunakan sebagai indikator dini krisis nilai tukar adalah variabel dari sektor eksternal (variabel ekspor, impor, utang pemerintah, total utang dan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri), sektor keuangan (variabel perbedaan antara suku bunga kredit dan deposito, pinjaman bank sentral ke sektor perbankan, gap antara permintaan dan penawaran uang dan pertumbuhan uang), sektor rill (pertumbuhan PDB rill, tingkat pengangguran dan tingkat upah), dan sektor fiskal (konsumsi pemerintah dan kredit kepada sektor publik). Keempat variabel tersebut tidak digunakan seluruhnya dan hanya tiga sektor pertama yang digunakan karena kelima indikator yang dipilih dari ketiga sektor tersebut merupakan indikator fundamental ekonomi. Selain itu, keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dalam menyediakan data menjadi pertimbangan dalam pembatasan indikator tersebut.
31
Data yang digunakan untuk menentukan krisis perbankan yaitu, NPL, CAR dan suku bunga deposito tiga bulan. Indeks komposit untuk krisis perbankan disebut Index of Banking Vulnerability (IBV) yang terbagi menjadi data yang menggambarkan kondisi internal dan eksternal perbankan. Sehingga data yang digunakan adalah LDR, ROA dan OCOR, mewakili sektor internal perbankan, dan utang luar negeri, Industrial Production Index (IPI), kredit domestik, nilai tukar serta CPI untuk data eksternal perbankan. Seri data ROA dan OCOR pada beberapa periode tidak diterbitkan oleh BI maka dilakukan interpolasi mengingat penggunaan data tersebut penting untuk dianalisis. Interpolasi dilakukan untuk periode September-November 1997 dan periode Maret-November 2002. Selain data diatas, terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan indikator dini krisis perbankan yaitu Net Interest Margin (NIM) dan kredit properti, namun karena data untuk NIM tidak tersedia sekitar dua dekade dan menurut hasil penelitian Dewati, Sukawati dan Adiwibowo (2004), NIM tidak dapat dijadikan sebagai indikator sistem deteksi dini karena lebih merupakan hasil atau dampak dari krisis, memperkuat dikeluarkannya variabel tersebut dari analisis. Sedangkan untuk kredit properti data baru diolah oleh BI tahun 2000, sehingga ketersediaan series data tidak lengkap. Sistem nilai tukar terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana pemerintah menjaga nilai tukar berada pada suatu nilai tertentu, apabila nilai tukar menyimpang dari batas yang ditentukan akibat pergerakan jumlah permintaan dan penawaran mata uang asing maka akan menghasilkan perubahan pada jumlah cadangan devisa luar negeri
32
(international reserves) karena cadangan devisa tersebut digunakan pemerintah untuk menjual atau membeli mata uang asing. Nilai tukar bebas (free floating exchange rate) mengikuti keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar uang sehingga dimana nilai tukar bergerak bebas dan jumlah cadangan devisa tidak terpengaruh dan tidak mengalami perubahan. Terakhir yaitu sistem nilai tukar bebas terkendali (manage floating exchange rate) dimana nilai tukar dijaga pada suatu batas interval yang telah ditetapkan pemerintah, nilai tukar dapat bergerak bebas pada interval tertentu dan pemerintah masih dapat melakukan intervensi sehingga sistem nilai tukar ini merupakan penggabungan antara pergerakan nilai tukar yang bebas berubah dan perubahan pada jumlah cadangan devisa Selama periode 1995-2005 terdapat perubahan sistem nilai tukar dinegara kita yaitu nilai tukar bebas terkendali sampai dengan Agustus 1997 dan nilai tukar bebas setelahnya. Indonesia memasuki sistem nilai tukar bebas secara bertahap yaitu melalui pelebaran batas interval nilai tukar sedikit demi sedikit sampai akhirnya nilai tukar mengambang bebas secara penuh pada Agustus 2000. Penentuan threshold memerlukan nilai rata-rata dan deviasi dari variabel yang mengandung unsur nilai tukar oleh karena itu dilakukan pemisahan sample agar tidak terjadi bias karena terdapat perbedaan batas interval nilai tukar yang menggambarkan perbedaan pada struktural perekonomian. Variabel pada krisis nilai tukar dan krisis perbankan mengandung variabel nilai tukar maka pemisahan sample dilakukan pada kedua jenis krisis tersebut. 1. Periode pre floating dari Januari 1995 s/d Agustus 1997. 2. Periode post floating dari September 1997 s/d Desember 2005.
33
3.2.
Metode Pengolahan Data Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan paket
program Microsoft Excel dan Eviews 3.1. Untuk melihat bagaimana indeks kerentanan perbankan dan nilai tukar menghasilkan sinyal krisis dilakukan berbagai tahapan metode analisis data, tapi sebelumnya data harus melewati beberapa proeses pengolahan sebelum siap untuk dianalisis. Metode pengolahan data dilakukan untuk menghilangkan berbagai permasalahan dalam data yaitu adanya series data yang hilang (missing data) dan
perubahan tahun dasar
menggunakan tahun 2003, serta mempersiapkan data sehingga menjadi data yang siap untuk dianalisis. Tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data yaitu: pertama, melengkapi series data yang hilang; kedua, menyamakan tahun dasar untuk REER dan CPI; ketiga, merillkan data dengan CPI untuk data berbentuk nominal; keempat, melogaritmakan data untuk mengatasi perbedaan satuan untuk data yang tidak dalam bentuk persentase; kelima, pembentukan data siklikal karena data yang digunakan dalam analisis sistem deteksi dini dengan SAM ini harus mencerminkan pergerakan siklikalnya.
3.2.1. Missing Data dan Perubahan Tahun Dasar Fenomena data hilang sering terjadi dalam penelitian data sekunder, terutama untuk data yang jarang digunakan oleh suatu penelitian dan tidak diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. Hilangnya data dalam penelitian ini merupakan data yang menggambarkan kondisi internal perbankan. Ada banyak
34
alasan suatu data tidak dipublikasikan oleh instansi terkait, diantaranya karena data bersifat sangat rahasia, biaya dan tenaga untuk memproduksinya sangat tinggi, dan mungkin data sengaja tidak dipublikasikan agar kebenaran tidak terungkapkan. Seri data ROA dan OCOR pada beberapa periode tidak diterbitkan oleh BI karena bank-bank pada periode tersebut mendapatkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan keterangan terkait tentang BLBI bersifat rahasia oleh karena itu seri data ROA dan OCOR yang tidak dipublikasikan disebabkan data tersebut bersifat rahasia. Seri data ROA dan OCOR yang hilang dilengkapi dengan melakukan interpolasi. Interpolasi dilakukan untuk periode September-November 1997 dan periode Maret-November 2002. Adapun cara yang dilakukan untuk mengatasi hilangnya data tersebut, yaitu dengan membuat trend dari keseluruhan data dan meregresikannya terhadap waktu, kemudian data yang hilang diestimasi berdasarkan trend-nya tersebut pada waktu ke-i dimana missing data terjadi. REER merupakan suatu variabel yang dihitung dengan menggunakan nilai tukar Indonesia terhadap 8 negara mitra dagang utama Indonesia, yaitu Jepang, USA, Singapura, Korea, Cina, Taiwan, Jerman dan UK. Data REER yang diperoleh untuk penelitian ini berasal dari BI dengan tahun dasar 2003. Banyaknya variabel pembentuk REER tersebut menjadi alasan kenapa REER tidak diubah tahun dasarnya dan CPI lah yang mengalami perubahan tahun dasar dari 2000 menjadi 2003. Perubahan tahun dasar CPI dilakukan berdasarkan Aczel (1999), adapun prosedur yang dilakukan pertama yaitu menghitung rata-rata dari keseluruhan data pada tahun dasar baru, dalam hal ini CPI tahun 2003 yang
35
dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah bulan yaitu 12, perolahan angka tersebut merupakan index value of new base. Kemudian nilai indeks untuk bulan ke-i yang baru dihitung dengan: ⎡ ⎤ Old Index Value New Index Value = ⎢ ⎥ × 100 ⎣ Index Value of New Base ⎦
(3.1)
3.2.2. Pembentukan Data Siklikal Suatu data time series mengandung unsur siklikal, musiman, trend dan irregular sehingga, Zt = Pt + St + Ct + It. Zt merupakan variabel time series, Pt mengandung komponen trend, St adalah komponen yang mengandung unsur musiman, Ct melambangkan komponen siklikal dan It adalah komponen irregular. Data dengan series tahunan tidak memiliki komponen musiman dalam seriesnya, sedangkan data pertumbuhan atau pada tingkat first difference hanya memiliki komponen trend dan siklikalnya (Aczel, 1999). Sehingga untuk membentuk data siklikal pada tingkat pertumbuhannya hanya perlu dihilangkan pengaruh trendnya saja. Proses penghilangan pengaruh trend-nya atau yang biasa disebut proses detrending dilakukan dengan mendeviasikan data pertumbuhan dengan komponen trend-nya. Adapun metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai dari trendnya digunakan Hodrick-Prescott (HP) filter. Menurut Setiana (2006) metode HP filter merupakan alat analisis ekonomi yang sederhana, sangat fleksibel dan merupakan pilihan inti dari trend. Hasil dari estimasi merupakan komponen trend
36
yang bersifat stokastik tapi bergerak mulus sepanjang waktu dan tidak berhubungan dengan komponen siklikalnya. Misalkan ∆Zt adalah variabel time series dalam bentuk tingkat pertumbuhan yang telah hilang pengaruh musiman dan irregularnya dan Zpt adalah nilai dari komponen trend-nya. Maka dengan mendeviasikan ∆Zt terhadap Zpt akan diperoleh data siklikalnya (Zct). Setelah data berbentuk siklikal dilakukan proses standarisasi agar setiap variabel memiliki amplitudo yang sama. Proses standarisasi dilakukan dengan mengikuti prosedur yang dilakukan oeh Kaminsky et al. (1998), misalkan IZt adalah data siklikal yang sudah distandarisasi, dengan mendefinisikan α sebagai:
(
)
2⎤ ⎡T α p = ⎢∑ Zct − Zc ⎥ ⎣ i =1 ⎦
−0.5
(3.2)
maka: IZ t = α × Zct
(3.3)
3.2.3. Stasioneritas Salah satu syarat penting dalam penelitian yang menggunakan data deret waktu adalah stasioneritas. Data akan stasioner apabila tidak ada kecenderungan pola data yang mengalami pertumbuhan ataupun penurunan, dalam artian data harus konstan dan horizontal sepanjang deret waktu. Adapun salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat keberadaan stsioneritas adalah The Augmented Dicky Fuller (ADF) tes. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan data tersebut stasioner. Kriteria pengujian
37
yang dipilih yaitu dengan menggunakan Hannan-Quin Criterion dengan tingkat stasioner yang diharapkan yaitu pada satu persen.
3.3.
Metode Analisis Data Penelitian tentang sistem deteksi dini semakin berkembang setelah
terjadinya krisis di Indonesia, karena pengalaman krisis yang terjadi meninggalkan bekas biaya pemulihan yang sangat besar. Dengan harapan krisis seperti itu tidak akan terjadi lagi dimasa yang akan datang atau meskipun ada kemungkinan untuk terjadi, kita dapat mengantisipasinya dan segera menerapkan kebijakan terbaik, penelitian tentang berbagai jenis metode untuk sistem deteksi dini perlu dilakukan. Agung et al. (2002) telah menganalisis empat cara untuk mendapatkan sinyal yang bersumber dari penelitian Garcia dan Herrera (1999), untuk kasus di Indonesia dengan crisis window 24 bulan. Penelitian tersebut tidak menganalisis kinerja setiap indikator pembentuk komposit kerentanan, tetapi langsung menganalisis kinerja IMV dan IBV. Tambunan (2002) menggunakan metode percentile yang diperkenalkan oleh Kaminsky et al. (1998) untuk mendapatkan
sinyal dengan crisis window 12 bulan. Adapun metode analisis yang digunakan pada penelitian ini merupakan Signal Approach Method (SAM) yang dikembangkan pertama kali oleh penelitian
Kaminsky et al.(1998) dengan modifikasi mekanisme untuk mendapatkan sinyal menggunakan salah satu dari 4 cara yang dikembangkan oleh Garcia dan Herrera (1999) yaitu deviasi dari trend dengan menggunakan metode GARCH untuk
38
pengolahannya dan crisis window 12 bulan, pemilihan 12 bulan berdasarkan hasil penelitian Tambunan (2002) lebih efektif digunakan untuk kasus di Indonesia karena menggambarkan pengalaman krisis yang sebenarnya terjadi. Asumsi yang mendasari SAM adalah bahwa variabel-variabel ekonomi akan berperilaku tidak normal menjelang terjadinya krisis. Komposit dari beberapa variabel yang merupakan indikator dini krisis akan memiliki kesamaan perilaku sebelum terjadinya krisis. Jika suatu variabel memburuk sedangkan variabel lainnya justru membaik, maka bisa jadi indeks komposit tidak mengeluarkan sinyal yang mengindikasikan tidak terjadinya krisis. Penelitian diawali dengan menganalisis kinerja masing-masing indikator pembentuk indeks komposit kerentanan dalam menghasilkan sinyal dengan evaluasi akurasi sinyal SAM yang sekaligus menentukan variabel yang menjadi indikator dini terbaik. Kemudian setelah dihasilkan indikator terbaik berdasarkan kriteria pengujian, indikator-indikator tersebut dikompositkan menjadi IMV dan IBV. IMV dan IBV ini kemudian diuji kembali kinerjanya dalam menghasilkan sinyal dengan SAM juga, sehingga pengujian dilakukan berulang.
3.3.1. Identifikasi Krisis Nilai Tukar dan Perbankan Untuk mengidentifiksasi periode krisis nilai tukar umumnya digunakan pendekatan tekanan spekulatif dalam bentuk Index Speculative Pressure (ISP). Dalam hal ini, nilai tukar bisa saja tidak terdeviasi secara tajam karena berhasil dipertahankan oleh otoritas moneter melelui intervensi di pasar valas ataupun menaikan tingkat suku bunga. Sehingga depresiasi nilai tukar (ER) kenaikan suku
39
bunga dalam negeri (I3) atau penurunan cadangan devisa (IR) digunakan untuk mempertahankan nilai tukar domestik. Pembentukan ISP menggunakan variabel ER, I3 dan IR pada tingkat pertumbuhannya (∆ER, ∆I3 dan ∆IR) dan telah dihilangkan pengaruh dari trend-nya sehingga variabel tersebut hanya mengandung unsur siklikal. Variabel ER, I3 dan IR dalam bentuk siklikal dilambangkan dengan ∆IER, ∆II3 dan ∆IIR. Variabel dalam bentuk siklikal kemudian distandarisasi seperti persamaan (3.2) dan (3.3) menjadi data siklikal yang telah distandarisasi yang dilambangkan dengan α1∆IER, α2∆II3 dan α3∆IIR. Setelah distandarisasi ketiga variabel diagregasi menjadi ISP. ISP = α 1 ΔIER + α 2 ΔII 3 + α 3 ΔIIR
(3.4)
Berbeda dengan identifikasi nilai tukar, identifikasi krisis perbankan menggunakan pengalaman krisis untuk masing-masing negara. Sehingga berdasarkan penelitian BI dalam Agung, et al (2002) krisis perbankan di Indonesia menggunakan Indeks of Banking Crisis (IBC) dengan pengalaman krisis yang menangkap perilaku kenaikan NPL yang cukup tajam, penurunan kecukupan modal perbankan secara signifikan akibat memburuknya kualitas aktiva, dan kenaikan suku bunga untuk mempertahankan diri dari penarikan besar-besaran dana oleh masyarakat. Maka indeks krisis perbankan yang digunakan adalah IBC = α 1 ΔINPL − α 2 ΔICAR + α 3 ΔII 3
(3.5)
Sebelum diagregasi menjadi indeks krisis, masing-masing variabel indikator telah distandarisasi menggunakan persamaan (3.2) dan dalam bentuk
40
siklikalnya. Setelah mendapatkan nilai ISP dan IBC, ditentukan threshold untuk mendapatkan periode krisis, dimana threshold tersebut mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Kaminsky et.al.(1998) dan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan nilai rata-rata yang dijumlahkan dengan 1.5 standar deviasinya. Indonesia mengalami perubahan strukstur rezim nilai tukar maka sampel data dikelompokan kedalam dua periode sebelum nilai tukar bebas dan setelah nilai tukar bebas agar estimasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi nyata yang terjadi. Nilai data siklikal ISP atau IBC yang melebihi threshold-nya dikategorikan sebagai crisis date. Krisis kemudian didefinisikan sebagai berikut: Krisis = 1 jika ISP atau IBC > μ + 1.5σ
0 jika sebaliknya
3.3.2. Pemilihan Indikator Dini
Mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Dewati et al. (2004) calon indikator pembentuk indeks komoposit krisis nilai tukar atau disebut IMV menggabungkan indikator-indikator, sebagai berikut: IMV= α1∆IREER+ α2∆IDC+ α3∆IM2+ α4∆ICPI+ α5∆IEQ
(3.6)
Sedangkan kandidat indikator pembentuk komposit indikator untuk perbankan adalah IBV yang terdiri dari: IBV= α1∆ILDR+ α2∆IROA+α3∆IOCOR+α4∆IDC+α5∆IFL -α6∆IIPI+ α7∆IER+α8∆ICPI
(3.7)
41
Indikator-indikator tersebut ada kemungkinan tidak dijadikan komposit untuk IBV dan IMV apabila pengujian menunjukan variabel tersebut tidak efektif digunakan sebagai indikator dini. Adapun pengujian yang dilakukan; pertama, uji stasioneritas; kedua, uji korelasi silang untuk memastikan data bersifat leading indicator, dan yang digunakan sebagai series acuan disini adalah periode terjadinya krisis yang tercerminkan dari ISP dan IBC; kedua kriteria tersebut digunakan untuk memastikan data merupakan indikator yang baik. Selain itu dilihat juga Noise to Signals Rasio dari kriteria evaluasi krisis SAM, nilai N/S Ratio masing-masing indikator harus kurang dari satu karena apabila melebihi satu sinyal yang dihasilkan salah akan lebih besar kemungkinannya untuk keluar dibandingkan dengan sinyal yang benar. Indikator pada persamaan (3.6) dan (3.7) yang memenuhi kriteria indikator dini akan dikompositkan menjadi suatu indeks. Adapun indeks komposit yang menunjukan kerentanan dari nilai tukar yaitu IMV dan indeks komposit perbankan yaitu IBV.
3.3.3. Pembentukan Sinyal Krisis
Pembentukan sinyal krisis dilakukan dengan memfilter indikator agar mendapatkan sinyal. Indikator dini tidak akan efektif memberikan informasi terjadinya krisis tanpa adanya filtering. Adapun metode filtering yang digunakan adalah detrending terhadap level jangka panjang dengan Hodrick Presscott (HP). Model filtering ini menggunakan deviasi dari masing-masing variabel indikator pembentuk indeks komposit terhadap trend jangka panjangnya. Deviasi dari
42
masing-masing variabel terhadap trend-nya kemudian distandarisasi. Proses pengolahan ini telah dilakukan untuk setiap indikator yang akan dianalisis pada metode pengolahan data. Deviasi dari setiap variabel tersebut merupakan bentuk siklikal dari variabel indikator dini yang digunakan. Data siklikal yang telah distandarisasi (Izt) setiap variabel indikator selanjutnya diolah menggunakan metode GARCH. Demikian juga dengan indeks komposit IMV atau IBV setelah agregasi dari indikator dini terbaik dilakukan akan melalui proses ini. Dari hasil estimasi persamaan GARCH tersebut akan didapatkan variabel conditional variance yang kemudian dihitung conditional standard deviation-nya. IZ t = α + βIZ t −1 + et
(3.8)
et = v t σ t
(3.9) p
q
j =1
j =1
σ t2 = ω + ∑ β j σ t2− j + ∑ α j ε t2− j
(3.10)
Dalam penelitian ini, Conditional Standard Deviation (CSD) setiap indikator kemudian menjadi dasar pembentukan sinyal, karena threshold ditentukan dari rata-rata dan standar deviasi dari CSD tersebut. CSD setiap indikator komposit dan indeks komposit IMV atau IBV yang melebihi nilai threshold-nya akan menghasilkan signal date. Sinyal kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ada Sinyal = 1 jika IMV atau IBV > μ + 1.5σ 0 jika sebaliknya
43
3.3.4. Evaluasi Akurasi Sinyal
Tahap terakhir dari SAM adalah mengevaluasi sinyal, yaitu untuk menjawab sejauh mana krisis yang terjadi dapat dideteksi secara dini oleh indikator. Kriteria evaluasi menggunakan empat ukuran statistik yaitu ukuran Type I Error, Type II Error, Noise to Signals Ratio (N/S) dan probabilitas kemungkinan terjadinya krisis saat sinyal terjadi (Pc). Kemudian setiap indikator diranking untuk setiap uji untuk melihat indikator mana yang terbaik. Crisis Window merupakan jangka waktu sinyal dimana pada periode tersebut diharapkan setiap indikator memiliki kemampuan untuk mengantisipasi krisis. Penentuan crisis window mengacu pada penelitian yang telah dilakukan terdahulu yaitu 12 bulan, untuk melihat apakah dalam jangka waktu 12 bulan sinyal yang dihasilkan menangkap adanya krisis yang terjadi. Jika mengeluarkan sinyal dan krisis dalam periode 12 bulan setelah sinyal muncul dikategorikan sebagai ’sinyal yang baik’ (sel A). Sebaliknya jika mengeluarkan sinyal tetapi tidak terjadi krisis. Untuk memudahkan penghitungan kriteria evaluasi, sinyal yang dihasilkan dikelompokkan kedalam matrix dibawah ini: Tabel 3.2. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis Skenario Ada krisis (AK) Tidak ada krisis (TK) Ada sinyal (AS) A B Tidak ada sinyal (TS) C D Indikator dengan A>0 dan C=0 merupakan perfect indicator untuk memprediksi krisis artinya indikator dini tersebut akan memberikan sinyal yang akan diikuti terjadinya krisis dalam jangka waktu 12 bulan. Sedangkan indikator dengan B=0 dan dan D>0 berarti sinyal yang dihasilkan tidak akan menghasilkan krisis dalam
44
jangka waktu 12 bulan. Tentunya, perfect indicator tidak akan ditemukan karena kepastian seutuhnya hanya ketentuan Sang Pencipta. Hanya indikator yang mendekati nilai tersebutlah merupakan indikator krisis terbaik. 1. Type I and II Error Type I Error adalah peluang terjadinya krisis yang tidak diantisipasi oleh sinyal. Jika Type I Error mencapai 100 persen berarti tidak ada sinyal yang keluar setiap bulan berturut-turut selama 12 bulan sebelum terjadinya krisis, artinya terjadinya krisis tidak diantisipasi oleh sinyal atau tidak ada sinyal yang keluar sebagai peringatan terjadinya krisis. Indikator pembentuk sinyal terbaik apabila Type I Error-nya mendekati 0. Jika H0 : terjadi krisis dan H1: tidak terjadi krisis Type I Error =P[tolak H0│H0 benar]= C/A+C
(3.11)
Type I Error = peluang tidak ada sinyal padahal sebenarnya terjadi krisis, memutuskan tidak terjadi krisis (tolak H0) padahal sebenarnya terjadi krisis (H0 benar). Type II Error=P[tidak menolak H0│H0 salah]=B/B+D
(3.12)
Type II Error = peluang adanya sinyal tapi tidak terjadi krisis, memutuskan terjadi krisis (tidak menolak H0) padahal sebenarnya krisis tidak terjadi (H0 salah). Type II Error adalah peluang dihasilkannya sinyal yang salah. Peluang yang mencapai nilai 100 persen berarti sinyal yang dikeluarkan semuanya salah. Karena kedua evaluasi ini ingin diminimalkan maka kriteria yang akan dipilih adalah indikator dengan jumlah antara Type I Error dan Type II Error. Alternatif lain adalah memilih indikator dini yang menghasilkan Type I Error
45
terkecil mengingat resiko yang timbul akibat krisis yang tidak terdeteksi akan lebih berbahaya daripada resiko munculnya sinyal yang tidak diikuti oleh krisis. 2. Noise to Signals (N/S) Ratio N/S mengukur peluang dikeluarkannya jumlah sinyal yang salah (Type II Error) sebagai rasio terhadap sinyal yang benar (1-Type I Error), sehingga semakin kecil rasio ini indikator dini tersebut merupakan penghasil sinyal yang baik. N/S yang lebih dari 1 berarti indikator tersebut tidak dapat dijadikan indikator dini sama sekali.
N /S =
Type I Error = Type II Error
( (
B B+D A A+C
) )
(3.13)
3. Probabaility to Crisis (Pc) Peluang terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan yang bernilai semakin tinggi maka semakin baik indikator dini sebagai penghasil sinyal.
Pc =
A A+ B
(3.14)
3.3.5. Kerangka Kerja Analisis Signals Approach Method (SAM)
Pembentukan data siklikal mengikuti prosedur yang dikemukakan pada metode pengolahan data, dimana semua data yang akan digunakan baik data pembentuk ISP, IBC, IMV dan IBV, dihitung tingkat pertumbuhannya, dihilangkan pengaruh trend-nya dengan HP filter kemudian distandarisasi agar setiap variabel memiliki amplitudo yang sama. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah data siklkal yang siap digunakan untuk pengolahan pada tahap selanjutnya.
46
Pembentukan Data Siklikal
Input: Data olahan
Tahapan: - Menghitung tingkat pertumbuhan - Menghitung deviasi dari trend-nya - Proses standarisasi
Output: Data Siklikal
Identifikasi Krisis Input: Data siklikal variabel dalam ISP atau IBC
Tahapan: - Agregasi variabel menjadi ISP atau IBC - Menghitung threshold ISP atau IBC - Mengidentifikasi periode krisis
Output: - ISP atau IBC - Periode krisis
Pemilihan Indikator Komposit
Input: Data siklikal setiap variabel pembentuk IMV atau IBV
Tahapan: - Uji stasioneritas - Uji korelasi silang - Mencari CSD dengan estimasi GARCH - Menghitung threshold dari CSD - Mengidentifikasi sinyal setiap variabel - Evaluasi kinerja sinyal setiap variabel
Output: Indikator pembentuk indekss komposit
Pembentukan Indekss Komposit
Input: IMV atau IBV
Tahapan: - Uji stasioneritas - cross-corelation - Mencari CSD dengan estimasi GARCH - Menghitung threshold dari CSD - Mengidentifikasi sinyal IMV atau IBV - Evaluasi kinerja sinyal
Gambar 4. Kerangka Kerja Analisis SAM
Output: Evaluasi kinerja sinyal
47
Data siklikal pembentuk ISP yaitu data siklikal nilai tukar (IER), suku bunga deposito tiga bulan (II3) dan cadangan devisa (IIR) yang merupakan variabel untuk krisis nilai tukar. Sedangkan variabel untuk krisis perbankan yaitu data siklikal kredit macet (INPL), kecukupan modal perbankan (ICAR) dan suku bunga deposito tiga bulan (II3), akan diagreagasi menjadi ISP, suatu indeks yang menggambarkan kondisi perbankan yang secara kuantitatif dapat menentukan apakah resiko terjadinya krisis perbankan yang rendah atau tinggi. ISP dan IBC merupakan suatu indeks hasil agregasi dari variabel pembentuknya, semakin tinggi nilai ISP atau IBC maka kemungkinan untuk terjadiya krisis akan semakin besar. Untuk menentukan kapan terjadinya krisis nilai tukar ataupun perbankan di Indonesia pada periode yang diteliti, ISP atau IBC tersebut dihitung rata-rata dan standar deviasinya sebagai dasar pembentuk threshold. Threshold yang diperoleh kemudian digunakan sebagai batasan untuk mengidentifikasi periode krisis. ISP atau IBC pada suatu titik periode yang melewati nilai threshold-nya dikategorikan
sebagai
periode
krisis.
Sebagai
hasilnya,
periode
krisis
dilambangkan dengan satu (krisis=1) dan tidak terjadi krisis dengan nol (tidak krisis=0), seperti pembentukan series dummy. Series dummy periode krisis tersebut merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai series acuan untuk mengevaluasi akurasi sinyal pada tahap selanjutnya. Komponen lainnya yang diperlukan untuk analisis SAM adalah agregasi dari variabel yang merupakan indikator dini. Untuk menentukan apakah suatu variabel merupakan indikator dini atau indikator yang memiliki daya prediksi
48
krisis, digunakan uji stasioneritas dan korelasi silang. Data siklikal kandidat pembentuk IMV atau IBV, kemudian diuji kestasionerannya agar siklus yang dihasilkan bukan merupakan siklus yang palsu dan setelah diregresi akan menghasilkan hasil yang nyata. Setelah itu dilihat fase pergerakan setiap variabel dengan uji korelasi silang, variabel yang berbentuk leading dan stasioner yang akan digunakan sebagai pembentuk IMV atau IBV. Perbedaan penelitian ini dengan Agung et al. (2002) terletak pada pengevaluasian setiap variabel pembentuk IMV dan IBV untuk melihat diantara variabel yang memilki kinerja yang baik selain melihat kinerja indeks kompositnya. Oleh karena itu variabel terpilih yang bebas dari akar unit dan bersifat leading akan dilihat kemampuannya dalam menghasilkan sinyal dengan menggunakan kriteria SAM. Kemudian kinerja variabel tersebut diurutkan peringkat kinerjanya masing-masing, variabel dengan kinerja yang baik akan memiliki peringkat tertinggi. Tahap terakhir yaitu pembentukan indeks komposit dimana variabel yang terpilih sebagai indikator dini diagregasikan menjadi IMV atau IBV. IMV dan IBV merupakan suatu indeks yang menggambarkan kerentanan pasar uang yang menentukan kondisi nilai tukar dan kerentanan perbankan yang secara kuantitatif dapat mengklasifiksikan apakah suatu periode memilki resiko terjadinya krisis nilai tukar dan perbankan yang rendah atau tinggi. IMV dan IBV merupakan suatu indeks hasil agregasi dari variabel pembentuknya, semakin tinggi nilai ISP atau IBC maka kerentanan untuk terjadiya krisis akan semakin besar. Indeks komposit tersebut kemudian dihitung
49
threshold-nya dengan menggunakan estimasi GARCH. CSD IMV atau CSD IBV pada suatu titik periode yang melewati nilai threshold-nya dikategorikan sebagai sinyal krisis. Sebagai hasilnya, sinyal krisis dilambangkan dengan satu (ada sinyal=1) dan tidak ada sinyal krisis dengan nol (tidak ada sinyal=0), seperti pembentukan series dummy. Series dummy sinyal krisis tersebut merupakan salah satu komponen yang digunakan untuk mengevaluasi akurasi sinyal bersama dengan series dummy ISP dan IBC.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pergerakan Siklikal Variabel Krisis Krisis nilai tukar dan krisis perbankan yang dijadikan series acuan dalam
penelitian ini menggunakan multiple series yang mengagregasikan variabel ER, I3 dan IR untuk mengidentifikasikan krisis nilai tukar dan variabel NPL, CAR dan I3 untuk krisis perbankan. Semua variabel yang digunakan sebelumnya telah dihilangkan pengaruh trend dan musimannya supaya berbentuk data siklikal, kemudian distandarisasi agar siklikal setiap variabel memiliki amplitudo yang sama antara satu dengan lainnya. Pembahasan kali ini, bertujuan untuk melihat bagaimana pergerakan individual dari variabel-variabel tersebut selama krisis dan pergerakan ISP atau IBC yang telah ditentukan titik balik siklikalnya sehingga pembahasan akan difokuskan pada periode ekspansi atau kontraksi yang terjadi.
4.1.1. Pergerakan Siklikal Variabel Krisis Nilai Tukar Secara umum krisis nilai tukar dapat dilihat dari pergerakan nilai tukar itu sendiri. Meskipun terjadi depresiasi kalau pemerintah berusaha mempertahankan nilai tukar domestik dari adanya tekanan spekulatif, bisa jadi depresiasi tidak akan terjadi. Untuk mempertahankan nilai tukar yang dilakukan adalah meningkatkan suku bunga domestik dan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga cadangan devisa akan menurun. Oleh karena itu kondisi krisis nilai tukar dilihat dari pergerakan nilai tukar, kenaikan suku bunga dan penurunan cadangan
51
devisa. Sejak bulan Juli 1997 nilai tukar domestik terhadap USD terus melemah sampai akhirnya pada januari 1998 nilai tukar mencapai Rp.10.375/USD. .8 .6 .4 .2 .0 -.2 -.4 95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
IER
Gambar 4.1. Siklikal Pertumbuhan Nilai Tukar Fluktuasi nilai tukar terus terjadi hingga Oktober 2001, hal ini menunjukan masih tidak stabilnya nilai tukar domestik. Proses pemulihan likuiditas perbankan dan adanya perbaikan ekspektasi masyarakat telah berhasil menguatkan nilai tukar rupiah dari Rp.8950/USD pada awal tahun 1999 menjadi Rp.6725/USD pada pertengahan tahunnya. Laju pergerakan nilai tukar rupiah terhadap USD akan mencapai kestabilan atau deviasinya tidak terlalu jauh dari trendnya setelah tahun 2002 dengan fluktuasi yang tidak lebih dari lima persen. Kondisi ini membaik karena kestabilan politik mulai terjadi dengan terpilihnya pemerintahan demokratis pertama dan proses rehabilitasi perbankan telah berhasil memulihkan kondisi perbankan, sehingga mulai memulihkan kepercayaan masyakat. Cadangan devisa kita relatif stabil pada periode 1995-1996. Memasuki awal 1996 devisa kita semakin berkurang dan pada September 1996
52
penurunannya mencapai 5 persen hal ini akibat mempertahankan nilai tukar agar tetap berada pada interval band-nya, namun hal itu tidak berpengaruh karena rupiah semakin melemah. Sampai akhirnya Agustus 1997, sistem rezim nilai tukar diganti dengan mengambang terkendali, sehingga cadangan devisa bertambah sekitar 6 persen. Namun semakin besarnya tekanan spekulatif dengan menukarkan rupiah terhadap USD, Januari 1998 rupiah semakin melemah hingga nilai rupiah menjadi Rp.10.375/USD dari Rp.4.650/USD. .6
.4
.2
.0
-.2
-.4 95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
IIR
Gambar 4.2. Siklikal Pertumbuhan Cadangan Devisa Dengan meningkatnya inflasi, permasalahan nilai tukar semakin berimbas kepada sektor lainnya terutama sektor rill dan perbankan yang kemudian mengantarkan Indonesia kepada krisis ekonomi. Laju pertumbuhan cadangan devisa terus menurun pada masa krisis, hingga akhirnya bulan Oktober 1999 pertumbuhannya mulai meningkat kembali. Setelah itu meskipun masih terdapat penurunan cadangan devisa namun fluktuasi masih tetap terkendali. Hingga bulan Oktober 1998 kenaikan atau penurunan cadangan devisa tidak lagi melebihi 10
53
persen sehingga berfluktuasi disekitar garis trendnya yang artinya mulai berada pada tingkat yang stabil. .4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
II3
Gambar 4.3. Siklikal Perkembangan Suku Bunga Deposito 3 Bulan Penurunan tingkat suku bunga dalam negeri dapat mendukung upaya penyehatan perbankan serta memberikan dorongan bagi kebangkitan dunia usaha. Memasuki Februari 1998 suku bunga terus meningkat hingga 9 bulan kedepan yaitu Oktober yang mencapai 54.67 persen, sejalan dengan menurunnya tingkat inflasi dan perkembangan nilai tukar rupiah yang mulai membaik. Baru pada akhir 1998 suku bunga mulai menurun dan terus mengalami penurunan selama tahun 1999. Setelah itu suku bunga menuju kearah kestabilan dan tidak pernah berfluktuasi lebih dari 5 persen hingga saat ini.
4.1.2. Pergerakan Siklikal Variabel Krisis Perbankan Kondisi perbankan yang tidak sehat terlihat dari meningkatnya jumlah kredit bermasalah secara tajam, apabila kondisi kualitas aktiva tidak terpengaruhi
54
dengan banyaknya kredit macet tersebut, tentunya hal itu tidak akan membawa perbankan pada kondisi krisis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini krisis perbankan ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kredit bermasalah ditambah dengan adanya penurunan kecukupan modal yang tersedia pada bank-bank. Selain itu, bank yang kualitas aktivanya memburuk tentunya akan mengurangi dana pada masyarakat dan berusaha menambah modalnya, hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan suku bunga. Masyarakat tidak akan mempercayakan simpanannya pada bank-bank dalam jangka waktu yang panjang karena takut kualitas aktiva perbankan tersebut tidak akan berangsur pulih. Oleh karena itu simpanan dalam jangka pendeklah yang lebih memungkinkan untuk menarik
dana masyarakat. Sehingga,
pernggunaan variabel kredit bermasalah, kecukupan modal dan suku bunga deposito 3 bulan secara bersama akan memberikan gambaran tentang kondisi krisis perbankan. .4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 -.5 95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
INPL
Gambar 4.4. Siklikal Perkembangan Kredit Macet
05
55
Trend jangka panjang tingkat pertumbuhan yang berasal dari pengolahan dengan metode Hodrick-Prescott (HP) menunjukan tingkat kestabilan, sehingga pertumbuhan kredit bermasalah yang mengalami deviasi yang cukup tinggi dari trend jangka panjangnya menunjukan adanya ketidakstabilan atau kerentanan pada NPL yang mulai terjadi pada pertengahan tahun 1997 sampai 1999. Namun meningkatnya permasalahan kredit macet dimulai sejak Juni 1996 dimana NPL tidak pernah lagi mengalami penurunan hingga Februari 1998. Setelah itu NPL terus berfluktuasi sebagai respon terhadap proses restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Memasuki tahun 1999 fluktuasi yang terjadi tidak setinggi sebelumnya akan tetapi masih berada pada kondisi kerentanan. Sejak tahun 2002 fluktuasinya relatif stabil dengan tingkat penurunan dan pertumbuhan NPL yang tidak lebih dari dua persen, berarti permasalahan pada kredit macet mulai terselesaikan seiring dengan adanya perbaikan pada sektor rill. .8 .6 .4 .2 .0 -.2 -.4 -.6 95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
ICAR
Gambar 4.5. Siklikal Perkembangan Kecukupan Modal Perbankan
56
Kecukupan modal perbankan sampai dengan akhir tahun 1997 masih relatif stabil. Januari 1998 terjadi penurunan CAR sebesar tiga persen, kemudian berfluktuasi cukup tinggi dan terus mengalami pengurangan modal dari Juni 1998 sampai Februari 1998. Setelah adanya bantuan dari pemerintah untuk menambah permodalan perbankan tersebut pertumbuhannya meningkat tinggi hingga mencapai 66 persen pada Juli 1999. Kemudian setelah Okober 1999 CAR terus mengalami peningkatan dan berangsur-angsur menuju kondisi stabil dengan hanya berfluktuasi tidak lebih dari 5.9 persen hingga saat ini. Adapun suku bunga deposito mengalami peningkatan hampir 40 persen dari deviasinya dan tetap tidak kembali menurun pada kondisi krisis yaitu pertengahan 1998 sampai awal 1999. Setelah itu meskipun masih berfluktuasi tetapi kecenderungannya terus meningkat yang kemudian sejak tahun 2000 tetap berada pada tingkat kestabilannya.
4.1.3. Pergerakan Siklikal Index of Speculative Pressures (ISP) ISP merupakan indeks yang menggambarkan kondisi nilai tukar yang tercermin dari tekanan spekuatif, dimana nilai tukar tidak akan terdepresiasi apabila suku bunga dan cadangan devisa secara bersama-sama digunakan untuk mengatasi perubahan nilai tukar tersebut. Nilai ISP yang besar menunjukan tingginya tingkat tekanan spekulatif dan semakin kecil nilai ISP maka nilai tukar berada pada kondisi yang menguat. Fase pergerakan siklikal ditentukan berdasarkan metode Bry-Boschan routine untuk menentukan titik balik. sehingga periode tersebut dikelompokkan kedalam periode dimana fase pergerakannya ekspansi atau kontraksi.
57
58
Tabel 4.1. Karakteristik Titk Balik ISP Fase/Siklus Ekspansi Kontraksi Siklus 1 Ekspansi Kontraksi Siklus 2 Ekspansi
Lembah Desember 1996 Desember 1996 Februari 1999 Februari 1999 September 2003
Puncak Juni 1998 Juni 1998 Juli 2000 Juli 2000
Lembah Februari 1999 Februari 1999 September 2003 September 2003
Juni 2004
Durasi 18 bulan 8 bulan 26 bulan 17 bulan 38 bulan 55 bulan 9 bulan
Masa ekspansi pada penelitian ini menunjukan laju pergerakan ISP yang semakin meningkat yang berarti tekanan spekulatif terhadap nilai tukar semakin tinggi. Masa kontraksi menunjukkan penurunan ketegangan terhadap nilai tukar dan kondisi nilai tukar semakin membaik. Selama periode yang diteliti yaitu dari 1995 sampai 2005, ISP memiliki dua siklus dengan masing-masing durasinya yaitu 26 bulan dan 55 bulan. Titik balik yang dapat diperoleh berjumlah 6 titik balik, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak. Masa ekspansi pertama terjadi pada L1-P1 (Desember 1996-Juni 1998), yang diawali oleh besarnya pembiayaan pembangunan yang berasal dari utang luar negeri. Negara yang mengakumulasi utang luar negeri dalam jumlah besar bukannya semakin maju sesuai dengan cita-cita awal pembangunannya malah terperosok dalam belitan ekonomi yang tidak berkesudahan, dan akhirnya mengalami situasi debt trap, dimana jumlah utang luar negeri yang baru diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga utangnya. Bahkan untuk Indonesia situasi debt trap sudah dialami sejak tahun 1987 (Yustika,2002). Secara mendadak adanya tekanan spekulatif yang bermula dari kebijakan pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan bath terhadap USD yang sebelumnya bath dan USD dikaitkan satu sama lain dengan kurs tetap
59
menimbulakan tekanan pada kawasan Asia lainnya. Indonesia pada awalnya bertahan namun akhirnya rupiah terdevaluasi pada bulan Agustus 1997. yang memiliki implikasi yang sangat serius terhadap beban utang luar negeri, mengingat Indonesia memiliki utang yang sangat besar yaitu mencapai 150.887 miliar USD dan utang tersebut persentasenya mencapai 169 persen dari PDB tahun 1998. Akibatnya banyak perusahaan yang tutup karena tidak mampu membayar utang sehingga menimbulkan pengangguran. Selain itu, akibat perusahaan berhenti berproduksi, stok barang menjadi langka sehingga mengakibatkan inflasi. Inflasi Indonesia pada waktu itu mencapai angka 75 persen sehingga mengikis daya beli masyarakat karena harga pangan meningkat dua kali lipat mengakibatkan jumlah orang miskin menjadi 118.5 juta jiwa atau 60.6 persen jumlah penduduk. Selanjutnya terjadi kontraksi pada P1-L2 (Juni 1998-Februari 1999), yang diakibatkan oleh adanya bantuan yang diberikan oleh IMF dan perbaikan situasi politik yang mulai memasuki era reformasi setelah kerusuhan bulan Mei 1998 yang membuka jalan bagi pengunduran diri Presiden Soeharto. Ketika memasuki era reformasi perekonomian Indonesia sudah diambang kebangkrutan, dengan menggantungkan perekonomian terhadap IMF, tanggal 25 Agustus 1998 disetujui suatu Extended Fund Facility (EFF) yang dapat dicairkan sebesar 4.93 miliar USD. Cairnya pinjaman IMF tersebut memberikan sentiment positif bagi para pelaku pasar diantaranya dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp.7300/USD pada bulan Oktober 1998, peningkatan volume transaksi dipasar valas selama empat bulan berturut-turut (Oktober-1998-Januari-1999),
60
tingkat suku bunga juga merosot ke tingkat dibawah 20 persen dan perkembangan inflasi yang lebih baik. Fase kontraksi yang hanya berdurasi sembilan bulan, mengindikasikan perbaikan indikator-indikator tersebut masih bersifat sangat semu dan belum menunjukan titik balik pemulihan ekonomi yang rill. Deflasi yang berlangsung selama tujuh bulan berturut-turut tersebut karena pemerintah terlalu antusias menahan inflasi dengan cara membanjiri pasar dengan barang-barang yang dikuasai oleh Bulog untuk tujuan yang bersifat politis menyongsong pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR Oktober 1999, sementara itu penurunan tingkat suku bunga yang cukup signifikan tidak akan banyak berarti kalau sektor perbankan belum mengucurkan kredit ke dunia usaha (Basri, 2002). Awal bulan Maret 1999, rupiah kembali terdepresiasi akibat penundaan pembekuan beberapa bank dan beberapa mata uang regional terutama bath yang kembali melemah mengantarkan ISP kedalam fase pergerakan yang ekspansif dimana tekanan spekulatif memiliki kecenderungan untuk terus meningkat untuk durasi 17 bulan dari L2-P2 (Februari 1999-Juli 2000). Pada situasi ini pertimbangan ekonomi dan politik saling terkait, tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Perilaku pengambil keputusan dalam politik yang tidak disertai sikap kehati-hatian akan membuat perekonomian terperosok kejurang yang lebih dalam mengingat pemulihan ekonomi yang berarti belum cukup meyakinkan dan situasi politik yang mulai memanas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu permasalahan utama yang memperlambat gerak maju perekonomian Indonesia adalah merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah.
61
Persoalan kepercayaan ditentukan oleh tiga hal legitimasi, kredibilitas dan kejelasan serta ketajaman visi pemerintah. Dengan terpilihnya kepemimpinan nasional demokratis pertama ketiga hal tersebut dapat diperjuangkan karena legitimasi telah terpenuhi dengan terpilihnya presiden dari partai yang mendapat dukungan mayoritas. Namun perbaikan kepercayan yang merupakan modal untuk memulihkan perekonomian menjadi terkorbankan ketika politik menjadi panglima, permasalahan ekonomi tersisihkan dari kemelut politik yang ada. Sejak tahun pertama terbentuknya pemerintahan tersebut, habis hanya untuk pergulatan politik, yang justru membuat masyarakat bertanya-tanya tentang makna demokratis itu sendiri (Basri, 2002). Resiko terjadinya krisis nilai tukar kembali menurun pada periode Juli 2000 sampai dengan September 2003, yang merupakan fase pergerakan kontraktif dari L2-P3. Proses pemulihan ekonomi berangsur-angsur membaik dan secara perlahan aktivitas politik dengan aktivitas sektor rill mulai berjalan terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Fase terakhir pada periode 1995-2005 adalah fase ekspansif dari P3-L3 (September 2003-Juni 2004) dimana tekanan spekulatif terhadap nilai tukar
kembali meningkat menjelang Pemilu 2004 dan
meningkatnya harga minyak dunia.
4.1.4. Pergerakan Siklikal Index of Banking Crisis (IBC) Selama periode 1995-2005 diperoleh dua siklus yang menggambarkan kondisi perbankan dengan siklus pertama berdurasi 31 bulan dan siklus kedua selama 49 bulan. Masa ekspansi berjumlah tiga periode sedangkan masa kontraksi
62
dua periode, dengan jumlah titik balik yang diperoleh berdasarkan Bry-Boschan routine adalah enam titik balik. Fase ekspansi menggambarkan kondisi perbankan menuju titik puncak yang menggambarkan tingkat kesehatan perbankan semakin memburuk dengan resiko terjadinya krisis yang semakin meningkat. Fase pertama yaitu ekspansi dari L1-P1 (Desember 1996-Juni 1998), kondisi perbankan yang cenderung menuju kerentanan dengan IBC yang semakin tinggi disebabkan oleh banyaknya kredit macet yang dialami bank-bank nasional. Tabel 4.2. Karakteristik Titk Balik IBC Fase/Siklus Ekspansi Kontraksi Siklus 1 Ekspansi Kontraksi Siklus 2 Ekspansi
Lembah Desember 1996 Desember 1996 Juli 1999 Juli 1999 Agustus 2003
Puncak Juni 1998 Juni 1998 Maret 2001 Maret 2001
Lembah Juli 1999 Juli 1999 Agustus 2003 Agustus 2003
Mei 2005
Durasi 18 bulan 13 bulan 31 bulan 20 bulan 29 bulan 49 bulan 21 bulan
Jika ditelusuri akar permasalahannya kredit macet meningkat karena adanya Pakto 1998 yang memudahkan berdirinya bank-bank baru yang umumnya didirikan oleh siapa saja yang memiliki banyak uang sehingga bank didirikan untuk kepentingan mereka sendiri. Banyaknya bank-bank baru yang didirikan akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan nasabah, mulanya bank-bank akan bersaing dalam tingkat bunga kemudian muncul persaingan nonbunga, dimana hanya bank-bank besar yang mampu menanggung biaya yang akan menang dan mengakibatkan bank-bank kecil berguguran. Bank-bank besar akan mendominasi mobilisasi dana dari masyarakat dan sebagian besar pemilik bankbank tersebut adalah kelompok-kelompok usaha (konglomerat). Bagaimanapun, pembatasan penyaluran kredit dan kecenderungan untuk mengalokasikan pinjaman hanya kepada anggota kelompoknya sendiri akan
63
semakin besar, maka penguasaan aset ekonomi nasional akan terpusat pada kelompok-kelompok usaha ini, akibatnya penyaluran kredit untuk sektor-sektor yang produktif dan kompetitif semakin terbatas. Selain itu, persaingan yang keras antar bank tersebut membuat bank-bank menjadi berani untuk membiayai usaha yang beresiko tinggi dan berjumlah besar seperti sektor properti. Besarnya pemberian kredit kepada kelompok usaha yag terkait dengan bank telah mendorong tingginya resiko kredit macet. Situasi ini diperburuk dengan rendahnya kualitas pengelola, manajemen dan pemilik bank-bank yang tidak mengerti manfaat bank dengan baik sehingga pengelolaan bank menjadi tidak maksimal dan menimbulkan banyak penyimpangan. Penyaluran kredit yang terlalu ekspansif dan beresiko tinggi juga dipicu oleh pemasukan dana luar negeri jangka pendek yang sangat rentan terhadap gejolak perekonomian, hal ini diakibatkan adanya perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri yang cukup besar sehingga meningkatkan kredit luar negeri yang kemudian disalurkan oleh bank-bank nasional kepada sektor usaha beresiko tinggi tersebut. Akibatnya ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, bank-bank tidak dapat membayar kewajibannya tersebut. Pemerintah meredam guncangan perekonomian dengan berusaha menahan pertumbuhan kredit perbankan melalui penghentian penyaluran dana kepada bank-bank. Akibatnya bank-bank meningkatkan suku bunga depositonya untuk menambah aliran dana dan meningkatkan suku bunga kredit untuk melindungi modal bank karena situasi perekonomian yang melemah akan meningkatkan resiko usaha tinggi pada para nasabah. Akhirnya, sektor dunia usaha mengalami
64
kesulitan likuiditas dalam mendapatkan pinjaman baru dan tidak dapat mengembalikan kredit yang terdahulu sehingga sektor perbankan pun mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas mengakibatkan kredit macet semakin meningkat hingga menjadi lebih dari 20 persen dan aset yang dikuasai bank nilainya mulai menurun. Hal ini paling parah dialami oleh bank-bank yang banyak menyalurkan kreditnya ke sektor properti (Sugema et.al. 2005). Menurunya kualitas aset yang dimiliki perbankan
membuat sistem kepercayaan
masyarakat
melemah,
masyarakat mulai menarik simpanannya dari bank yang kemudian mengantarkan Indonesia ke puncak krisis perbankan. Selanjutnya memasuki fase kontraksi dari P1-L2 (Juni 1998-Juli 1999), kondisi perbankan mulai menunjukan perbaikan akibat upaya penyehatan perbankan. Pemerintah mengambil alih kepemilikan bank dan menutup bank-bank yang tidak sehat. Kebutuhan modal baru untuk menyehatkan perbankan diperkirakan mencapai Rp.257.5 triliun dan 80 persen dari jumlah tersebut harus disediakan pemerintah. Pada bulan Desember 1998, modal industri perbankan telah mencapai defisit Rp.80 triliun sampai Rp 90 triliun (Sugema et.al. 2005). Kemudian dimulai siklus yang kedua dengan fase ekspansi dari L2-P2 (Juli 1999Maret 2001) dan berdurasi selama 20 bulan. Meskipun ada kecenderungan IBC yang semakin meningkat, namun fase ekspansi ini lebih mendatar dibandingkan fase ekspansi sebelumnya seperti terlihat pada gambar, hal ini menandakan fluktuasi pada sektor perbankan tidak terlalu besar.
65
Setelah itu kembali memasuki fase kontraksi dari P2-L3 (Maret 2001Agustus 2003) dimana perbankan sudah mulai stabil karena restrukturisasi perbankan terus dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat dan sektor rill mendukung upaya proses pemulihan tersebut. Kinerja keuangan perbankan mengalami perbaikan signifikan, sisi kualitas aset semakin membaik yang terlihat pada kenaikan kecukupan modal perbankan secara bertahap hingga berada di atas 20 persen, dan ada kecenderungan penurunan kredit macet dari periode ke periode. Meskipun telah terjadi peningkatan kinerja perbankan, kepercayaan yang mulai dibangun masyarakat masih menyisakan keraguan, kondisi tersebut akan sangat rentan terhadap adanya gejolak yang mungkin terjadi dan dapat dengan mudah menghancurkan kembali kepercayaan masyarakat tersebut. Fase terakhir yaitu ekspansi dari L3-P3 (Agustus 2003-Mei 2005) yang diakibatkan oleh menurunnya
tingkat
kepercayaan
masyarakat
tersebut.
Ledakan
kasus
pembobolan Bank Negara Indonesia lewat Letter of Credit (L/C) fiktif dan Bank Rakyat Indonesia lewat kredit yang diduga diaguni dari deposito fiktif membuat masyarakat ragu menyongsong masa depan perbankan nasional, dimana kasus kejahatan perbankan itu akan membajak program pemulihan perbankan (Supriyanto, 2003). Masih belum lancarnya proses intermediasi perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor usaha terlihat dari rendahnya LDR meskipun CAR-nya tinggi.
66
4.2.
Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar dan Perbankan Identifikasi periode krisis dilakukan dengan menetapkan threshold dari
rata-rata ISP atau IBC yang dijumlahkan dengan 1.5 standar deviasinya. ISP atau IBC yang mengalami kenaikan sampai dengan batas threshold yang ditentukan akan diidentifikasikan sebagai periode terjadinya krisis. Periode yang digunakan dalam penelitian mengalami sistem nilai tukar yang berbeda yaitu fixed exchange rate dan floating exchange rate oleh karena itu digunakan dua threshold untuk periode pre floating (Januari 1995-Agustus 1997) disebut threshold 1 dan periode post floating (September 1997-Desember 2005) adalah threshold 2. Tabel 4.3. Nilai threshold ISP dan IBC Variabel ISP IBC
Periode pre floating Standar Threshold Rata-rata deviasi 1 0.01089 0.073374 0.099169 0.02561 0.064843 0.07166
Periode post floating Standar Threshold Rata-rata deviasi 2 0.003377 0.097229 0.149221 0.007938 0.186008 0.28695
4.2.1. Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar Agregasi variabel ER, IR dan I3 dalam bentuk data siklikal yang sebelumnya telah dihitung tingkat pertumbuhannya, dihilangkan pengaruh trendnya agar hanya menghasilkan bentuk siklikalnya, setelah itu dinormalisasi agar amplitudo siklikal yang besar tidak akan mendominasi ketika dilakukan proses agregasi. Agregasi dari ketiga variabel yang mengidentifikasikan krisis nilai tukar tersebut dilambangkan dengan Index Speculative Pressures (ISP). Ketika pemerintah tidak berhasil menurunkan nilai tukar berarti tekanan spekulatif semakin tinggi yang tercermin dari meningkatnya ISP.
67
68
Hasil identifikasi nilai tukar yang dipresentasikan dari ISP yang melebihi nilai threshold-nya untuk periode 1995-2005 yang dapat diperoleh yaitu periode Agustus 1997 sampai Oktober 1998, berarti krisis nilai tukar terjadi selama 14 periode atau 1 tahun lebih dua bulan. Satu bulan setelah terdevaluasinya Bath, berdasarkan penelitian ini, Indonesia langsung terkena imbas dari krisis Asia tersebut akibat pergerakan modal yang terbuka antara Indonesia dengan negara Asia lainnya. Episode krisis nilai tukar tersebut, merupakan dampak dari krisis Asia yang sebelumnya melanda Thailand, yang harus mendevaluasi kurs Bath/USD pada Juli 1997. Perubahan ekspektasi keuntungan bagi investor membuat mereka menarik dananya dari kawasan Asia termasuk Indonesia, yang akhirnya memberikan tekanan pada kurs Rupiah. Setelah upaya untuk mempertahankan kurs
mengambang
terkendali
mengalami
kegagalan,
diputuskan
untuk
mengambangbebaskan nilai tukar rupiah, nilai tukar mengambang bebas secara penuh pada tanggal 14 Agustus 2002. Setelah keputusan itu, kurs rupiah terus terdepresiasi sehingga mengakibatkan posisi utang luar negeri melonjak tajam yang selanjutnya mengakibatkan masalah serius bagi sektor swasta dan sektor perbankan. Permasalahan pada sektor swasta terus berlanjut pada ketidaklancaran pembayaran kewajiban utang dan meningkatkan NPL sektor perbankan. Peningkatan NPL perbankan mengakibatkan fenomena credit crunch yang makin memberatkan sektor rill.
69
4.2.2. Identifikasi Periode Krisis Perbankan Index Banking Crisis (IBC) merupakan agregasi dari variabel NPL, CAR dan I3, pergerakan ketiga variabel ini memburuk menjelang adanya krisis. Jumlah kredit bermasalah meningkat secara tajam, kondisi kualitas aktiva memburuk yang terpengaruhi oleh banyaknya kredit macet, dan suku bunga meningkat sebagai langkah antisipasi yang dilakukan oleh bank-bank agar menambah modal untuk memperbaiki kualitas aktivanya. IBC menggambarkan kondisi perbankan, ketika IBC mengalami peningkatan maka kondisi kesehatan perbankan mengalami penurunan. Hasil dari identifikasi krisis perbankan yang berhasil diperoleh berdasarkan model ini, sesuai dengan kejadian krisis perbankan yang telah terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis yang melanda Asia, yaitu dimulai dari Agustus 1997 sampai dengan Mei 1999. Krisis yang tertangkap Agustus 1997 merupakan dampak dari kenaikan nilai tukar rupiah. Sedangkan sejak Maret 1997, krisis perbankan yang sebenarnya telah terjadi dimana seluruh tekanan perekonomian telah saling berinteraksi termasuk dengan sektor perbankan. Seluruh tekanan pada perekonomian saling berinteraksi dengan moral hazard dan adverse selection membuat sebagian debitur tidak lagi membayar kewajiban kepada bank tepat waktunya. Hal ini mengakibatkan NPL meningkat tajam yang menurunkan tingkat kepercayaan debitur tehadap keamanan dananya sehingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran secara umum polanya adalah ditariknya simpanan dari bank-bank swasta nasional ke bank asing atau bank pemerintah yang dianggap aman.
70
71
4.3.
Kinerja Setiap Indikator dalam Menghasilkan Sinyal ISP dan IBC menjadi series acuan untuk melihat pergerakan dari masing-
masing indikator komposit . Untuk melihat bagaimana hubungan masing-masing series acuan untuk krisis nilai tukar (ISP)
dan perbankan (IBC) digunakan
struktur korelasi silang. Suatu variabel dikatakan leading indikator jika mencapai titik balik sebelum mencapai the rest of the economy sehingga indikator ini dikatakan memiliki daya prediksi (Masyitho, 2006). Agar dapat mendeteksi krisis dimasa yang akan datang, tentunya setiap indikator komposit harus memiliki daya prediksi tersebut, sehingga indikator komposit yang memiliki fase pergerakan leading-lah yang akan digunakan untuk membentuk indeks komposit kerentanan. Selain itu penggunaan data siklikal yang stasioner pun menjadi alasan pemilihan indikator karena menurut Garcia dan Herrera (1999), the Hodrick-Prescott filter induces spurious cycle behavior when applied to non-stationary data so we have to be aware of this phenomenon.
4.3.1. Stasioneritas dan Korelasi Silang Setiap Indikator Data yang diuji adalah data siklikal dari tingkat pertumbuhan untuk setiap variabel yang digunakan. Pengujian dilakukan dilakukan dua kali, pertama dengan uji ADF untuk melihat stasioneritas data, selanjutnya dilakukan uji korelasi silang Pengujian dilakukan pada keduanya agar variabel yang digunakan untuk indikator dini kerentanan memang memiliki daya prediksi tinggi dan bukan merupakan hasil regresi yang palsu. Berdasarkan uji stasioneritas semua variabel yang digunakan, meskipun sudah dalam bentuk siklikal namun masih tetap stasioner,
72
Nilai ADF statistiknya menunjukan nilai yang lebih kecil dari nilai kritis 1 persen. Dan fase pergerakan semua variabel berbentuk leading, maka semua variabel pembentuk indeks komposit akan digunakan sebagai indikator dini yang menunjukan kerentanan nilai tukar. Tabel 4.4. Uji Stasioneritas dan Korelasi Silang Indikator dalam IMV Korelasi Silang dengan ISP
Uji Stasioneritas Variabel IMV IREER IDC IM2 ICPI IEQ
Nilai ADF
Nilai Kristis McKinnon 1 persen
Keterangan
Fase
Lead/Lag Time
Coef
-8.785495 -10.20585 -10.11411 -4.417978 -8.869741
-3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173
Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1%
Leading Leading Leading Leading Leading
5 5 5 1 2
0.4275 0.4199 0.3489 0.4048 0.3706
Tabel 4.5. Uji Stasioneritas dan Korelasi silang Indikator dalam IBV Korelasi Silang dengan IBC
Uji Stasioneritas Variabel IBV ILDR IROA IOCOR IFL IIPI IDC IER ICPI
Nilai ADF
Nilai Kristis McKinnon 1 persen
Keterangan
Fase
Lead/Lag Time
Coef
-14.18620 -5.188319 -5.248009 -9.775907 -3.153170 -10.20585 -8.998236 -4.417978
-3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173 -3.4812173
Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1% Tidak Sta. 1% Stasioner 1% Stasioner 1% Stasioner 1%
Leading Lagging Lagging Leading Leading Leading Leading Leading
2 4 6 5 4 12 5 4
0.3323 0.5483 0.4108 0.3234 0.1673 0.3366 0.4495 0.5750
Fase pergerakan yang dihasilkan untuk indikator yang digunakan dalam krisis perbankan ada beberapa yang memiliki fase pergerakan lagging, yaitu ROA dan OCOR. Hal ini berarti ROA dan OCOR lebih merupakan hasil atau dampak dari krisis itu sendiri dan tentunya tidak bisa digunakan dalam analisis kerentanan perbankan yang digunakan sebagai sistem deteksi dini. Oleh karena itu, menurut hasil uji cross correlation ROA dan OCOR harus dikeluarkan dalam komposit pembentuk IBV.
73
IIPI tidak stasioner pada tingkat level, kestasioneran merupakan hal yang penting dalam analisis ini karena meskipun dipaksakan untuk dianalisis akan menghasilkan hasil regresi yang tidak baik dan tidak menggambarkan kejadian nyata yang terjadi. Selain itu, meskipun IIPI berbentuk leading namun nilai koefisisen korelasinya paling kecil diantara semuanya yaitu 0.1673. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka indikator pembentuk indeks komposit kerentanan perbankan yaitu LDR, FL, DC, ER dan CPI.
4.3.2. Hasil Estimasi GARCH setiap Varibel dalam IMV dan IBV Data siklikal yang telah memenuhi kriteria untuk dijadikan indikator komposit kerentanan melalui uji unit root dan uji korelasi silang, kemudian dicari threshold setiap indikator tersebut agar evaluasi kinerja setiap indikator dapat diketahui. Adapun threshold berasal dari nilai rata-rata ditambah dengan 1.5 standar deviasi dari conditional standar deviation (CSD) setiap indikator. Dimana Izt adalah variabel pembentuk komposit IMV atau IBV dalam bentuk siklikal yang telah distandarisasi. σ t2 adalah conditional variance yang nantinya akan dihitung untuk mendapatkan CSD. Pada literatur-literatur keuangan conditional stándar deviation dari model GARCH menunjukan volatilitas (Mirwan, 2003). Dalam berbagai referensi volatilitas biasa disimbolkan dengan σt, secara statistik volatilitas ini sama dengan standar deviasi (Putra, 2004). Sehingga proses filtering dengan menggunakan CSD untuk mendapatkan sinyal berdasarkan pada volatilitasnya yang berubah mengikuti waktu (Garcia dan Herrera, 1999). Volatilitas pada penelitian ini
74
menunjukan tingkat kerentanan setiap indikator, kerentanan yang semakin meningkat dan melebihi threshold yang ditentukan merupakan periode dimana sinyal krisis akan dihasilkan. Tabel4.6. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH untuk IMV
IREER
C ARCH(1)
Persamaan Ragam Coef Std.Erros 0.001112 9.60E-05 1.321573 0.032607
IDC
C ARCH(1)
0.005552 0.207974
0.000242 0.125189
0.0000 0.0967
IM2
C ARCH(1)
0.005996 0.180687
0.000421 0.164854
0.0000 0.2731
ICPI
C ARCH(1)
0.003860 0.212853
0.009100 0.113900
0.9077 0.0000
IEQ
C ARCH(1)
0.006973 0.074926
0.000626 0.123506
0.0000 0.5441
Variabel
Nilai-P 0.0000 0.0000
Berdasarkan tabel diatas, dengan tingkat kepercayaan 90 persen kerentanan setiap variabel yang akan dijadikan komposit tersebut menunjukan nilai probabilitas 0.0000 yang berarti threshold yang dihasilkan 90 persen adalah benar. Sedangkan untuk IREER dan IDC apabila sudah terjadi peningkatan kerentanan satu persen, kemungkinan besar kerentanan tersebut akan terus meningkat dibulan yang akan datang sebesar 1.32 persen dan 0.20 persen. Berdasarkan koefisien ARCH-nya secara berturut-turut variabel yang akan mudah terpengaruhi apabila terjadi guncangan atau volatil adalah REER, CPI, DC, M2, dan EQ dengan kenaikan kerentanan sebesar 1.32 persen, 0.21 persen, 0.20 persen, 0.18 persen dan 0.07. Kerentanan pada indikator pembentuk komposit IBV dipengaruhi oleh kerentanan pada bulan sebelumnya, hal ini mengindikasikan sekali saja terdapat peningkatan kerentanan maka kerentanan tersebut akan terus meningkat dibulan-
75
bulan berikutnya. Berdasarkan koefisien ARCH-nya variabel yang reaktif terhadap guncangan adalah ER, LDR, FL, CPI, dan DC. Variabel yang peningkatannya paling besar atau yang volatilitasnya tinggi adalah ER dengan kenaikan sebesar 3.45 persen apabila kerentanan satu bulan sebelumnya meningkat satu persen. Tabel 4.7. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH untuk IBV Variabel ILDR IFL IDC IER ICPI
C ARCH(1) C ARCH(1) C ARCH(1) C ARCH(1) C ARCH(1)
Persamaan Ragam Coef Std.Erros 0.001122 0.000143 3.193179 0.562862 0.004385 0.000380 0.471736 0.107637 0.005552 0.000242 0.207974 0.125189 0.000177 4.36e-05 3.455911 0.417914 0.003860 0.000281 0.212853 0.090132
Nilai-P 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0967 0.0000 0.0000 0.0000 0.0182
4.3.3. Kinerja Indikator dalam IMV Menghasilkan Sinyal Setiap variabel yang akan digunakan untuk membentuk IMV dihitung tingkat pertumbuhannya dan mengalami proses filtering menggunakan HP., kemudian data distandarisasi dalam rata-rata dan ragamnya. Setelah melalui proses pengolahan tersebut, uji unit root perlu dilakukan agar memperoleh hasil regresi yang baik pada estimasi metode GARCH. Berdasarkan uji korelasi silang semua indikator yang dipilih dalam IMV merupakan leading indicator dan menurut kriteria N/S Ratio setiap indikator memiliki persentase lebih dari satu, berarti indikator yang digunakan memiliki jumlah sinyal yang benar (good signals) lebih banyak dibandingkan dengan sinyal yang salah (bad signals).
76
Adapun kinerja indikator dengan akurasi sinyal terbaik untuk krisis nilai tukar adalah REER dengan kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen hal ini menandakan nilai tukar negara lain sangat mempengaruhi nilai tukar Indonesia karena dengan semakin bebasnya pergerakan modal, apabila terjadi guncangan pada satu negara akan dengan mudah mempengaruhi yang negara lainnya. REER mengandung komponen perubahan nilai tukar 8 negara mitra dagang utama Indonesia, dengan kata lain sinyal terbaik bagi krisis nilai tukar di Indonesia adalah pergerakan nilai tukar mata uang negara lain tersebut. Tabel 4.8. Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator IMV Indikator
Type I Error
Komposit REER DC M2 CPI EQ
C/(A+C) 0.77 0.81 0.81 0.88 0.92
Type II Error B/(B+D) 0.03 0.03 0.03 0.06 0.04
1-Type II Error
N/S Ratio
Pc
A/(A+C) 0.23 0.19 0.19 0.12 0.08
[B/(B+D)/A/(A+C)] 0.13 0.15 0.15 0.50 0.50
A/(A+B) 0.67 0.63 0.63 0.33 0.33
Indikator dengan kontribusi terbesar berikutnya untuk mendeteksi krisis nilai tukar adalah kredit domestik dan jumlah uang beredar (M2), yang sinyalnya mampu memprediksi krisis nilai tukar sebanyak 63 persen. Indikator
berikutnya
adalah IHK dan IHSG dengan probabilitas sinyal yang dikeluarkanya menunjukan krisis hanya 33 persen. Tetapi kemungkinan sinyal yang diikeluarkan IHK salah yaitu 50 persen sedangkan untuk IHSG sebesar 80 persen maka IHSG merupakan indikator yang kinerjanya dinilai paling rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewati, et al. (2004) dimana ditemukan efek dua arah antara gejolak nilai tukar dan gejolak pasar modal adalah rendah, dan pasar modal merupakan bagian dari sistem keuangan yang relatif terisolir dari sektor keuangan lainnya.
77
Tabel 4.9. Peringkat Akurasi Sinyal Indikator dalam IMV Peringkat
Type I Error
Type II Error
Sum of Error
N/S Ratio
Pc
1 2 3 4 5
REER DC M2 CPI EQ
REER DC M3 CPI EQ
REER DC M2 CPI EQ
REER DC M2 CPI EQ
REE DC M2 CPI EQ
Berdasarkan kriteria tersebut maka indikator yang memiliki kinerja terbaik yaitu REER untuk setiap kategori. Urutan peringkat menunjukan peringkat untuk setiap kriteria pengujian juga, maka apabila diurutkan berdasarkan kinerjanya memprediksi krisis adalah REER, DC, M2, CPI dan EQ.
4.3.4. Kinerja Indikator dalam IBV Menghasilkan Sinyal Indikator dini yang digunakan untuk memprediksi kerentanan perbankan yaitu indikator yang mewakili sektor internal perbankan yang menunjukan bagaimana industri perbankan tersebut beroperasi adalah LDR, ROA dan OCOR. Namun karena ROA dan OCOR tidak memenuhi kriteria sebagai leading indicator maka hanya LDR yang mewakili sektor internal perbankan. Variabel lainnya merupakan variabel eksternal perbankan dalam hal ini yang digunakan adalah indikator fundamental makroekonomi. Tabel 4.10. Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator IBV Indikator Komposit LDR FL DC ER CPI
Type I Error C/(A+C) 0.91 0.85 0.79 0.76 0.88
Type II Error B/(B+D) 0.03 0.03 0.01 0.00 0.05
1-Type II Error
N/S Ratio
Pc
A/(A+C) 0.09 0.15 0.21 0.24 0.12
[B/(B+D)/A/(A+C)] 0.34 0.20 0.05 0.00 0.43
A/(A+B) 0.50 0.63 0.88 1.00 0.44
78
Berdasarkan Tabel 4.10, ER memiliki nilai Pc terbesar yaitu 100 persen, berarti setiap sinyal yang dikeluarkan oleh ER memiliki kemungkinan 100 persen terjadinya krisis. Peluang terjadinya krisis yang tidak diantisipasi oleh sinyal sebesar 76 persen, namun krisis nilai tukar yang terjadi terdahulu dapat diantisipasi oleh sinyal yang dikeluarkan IMV sehingga setidaknya krisis dengan ukuran atau setarap dengan krisis terdahulu dapat diantisipasi sebelumnya. Type II Error IMV bernilai nol persen berarti setiap sinyal yang dikeluarkan tidak berpeluang sinyal tersebut salah, hal ini menunjukan meskipun nilai tukar jarang mengantisipasi sinyal tapi setiap sinyal dari ER keluar maka sinyal tersebut akan menunjukan krisis perbankan. Indikator yang memberikan kontribusi terbesar lagi yaitu kredit domestik yang sinyalnya dapat memprediksi krisis sebesar 88 persen, kemudian disusul dengan utang terhadap luar negeri dengan peluang sinyalnya memprediksi krisis sebesar 63 persen. Indikator internal perbankan yang menunjukan kinerja yang baik adalah LDR, dimana sinyalnya akan berpeluang 50 persen menghasilkan krisis. Keempat indikator ini merupakan indikator yang sinyalnya dapat memprediksi lebih dari 50 persen. Sehingga pergerakannya harus diperhatikan dengan seksama apabila sudah menunjukan adanya penurunan menuju kerentanan. Kinerja indikator dini untuk krisis perbankan, seperti terlihat dalam gambar bervariasi untuk setiap kriteria pengujian. Kecuali untuk tiga peringkat teratas yaitu ER, DC dan FL dalam setiap kriteria mereka konsisten dalam peringkatnya. LDR memiliki Pc dan N/S Ratio yang baik, namun jumlah
79
kesalahan
yang
mungkin
dihasilkannya
adalah
yang
terbanyak.
CPI
menggambarkan inflasi yang terjadi, kemungkinan CPI menjadi suatu indikator dini awal terjadinya krisis memang kecil namun karena kemampuan sinyalnya yang relatif besar yaitu 44 persen berarti kemungkinan CPI memprediksi krisis yang telah berlangsung tetap ada. CPI menunjukan semakin terpuruknya krisis yang berlangsung. Adapun kemampuan CPI mengantisipasi terjadinya sinyal dengan dikeluarkannya krisis lebih baik dibandingkan dengan LDR. Dengan pertimbangan tersebut CPI dimasukan kedalam komposit pembentuk indeks kerentanan perbankan dengan peringkat kinerja terakhir. Tabel 4.11. Peringkat Evaluasi Akurasi Sinyal Indikator dalam IBV Peringkat
Type I Error
Type II Error
Sum of Error
N/S Ratio
Pc
1 2 3 4 5
ER DC FL CPI LDR
ER DC FL LDR CPI
ER DC FL CPI LDR
ER DC FL LDR CPI
ER DC FL LDR CPI
Indikator yang akan memberikan sinyal yang baik untuk memprediksi krisis perbankan, berdasarkan hasil peringkat seluruh kriteria uji, yaitu ER menempati peringkat pertama, disusul dengan DC, FL, LDR dan CPI. Pergerakan utang luar negeri Indonesia masih mempengaruhi kerentanan perbankan kita, mengingat sumber pembiayaan masih banyak yang berasal dari bantuan asing dan kita masih memiliki cicilan utang luar negeri. Indikator yang berasal dari faktor internal perbankan ternyata bukan merupakan sinyal kerentanan perbankan terbaik, hal ini berarti harus dilakukan pencarian indikator-indikator yang mewakili sektor internal perbankan yang memiliki daya prediksi untuk krisis perbankan.
80
4.4.
Kinerja Indeks Komposit dalam Menghasilkan Sinyal Indeks komposit kerentanan nilai tukar atau IMV merupakan agregasi dari
indikator-indikator dini yang memiliki daya prediksi terhadap krisis nilai tukar yang terdiri dari perubahan nilai tukar rill, tingkat pertumbuhan kredit domestik, jumlah uang beredar, kenaikan harga dan pergerakan harga saham. Adapun indeks yang menunjukan kerentanan perbankan atau IBV merupakan komposit dari rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan, kewajiban terhadap luar negeri, kredit domestik, pergerakan nilai tukar dan kenaikan harga. Kedua indeks tersebut memperlihatkan kerentanan nilai tukar dan kondisi perbankan terhadap adanya goncangan. Ketika kerentanan meningkat maka ada kemungkinan krisis akan terjadi karena peningkatan kerentanan yang telah melewati threshold adalah sinyal akan terjadinya krisis. Threshold yang digunakan berasal dari rata-rata CSD dijumlahkan dengan 1.5 standar deviasi dari CSD-nya. CSD IMV atau IBV yang melewati threshold menandakan tingginya volatilitas yang terjadi pada periode tersebut artinya deviasi dari nilai kerentanan terhadap kestabilannya sangat besar. Periode ketika volatilitas yang tinggi melewati threshold merupakan sinyal yang dikeluarkan untuk memprediksi krisis. Pada IMV dan IBV juga dilakukan uji stasioneritas dan uji korelasi silang. Adapun jarak antara sinyal yang dikeluarkan dengan krisis yang terjadi dan keakuratan sinyal tersebut dalam memprediksi krisis akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan.
81
82
4.4.1. Stasioneritas dan Korelasi Silang IMV dan IBV Indikator yang menjadi komposit IMV adalah IREER, IDC, IM2, IEQ dan ICPI, kelima indikator tersebut kemudian diagregasi sehingga menghasilkan IMV. IMV yang merupakan indeks komposit kerentanan terlebih dahulu harus bebas dari akar unit agar siklus yang dibentuk IMV bukan merupakan siklus yang palsu. Selain itu, threshold IMV diperoleh dari estimasi GARCH yang merupakan salah satu analisis deret waktu dimana stasioneritas data merupakan kriteria yang harus terpenuhi agar hasil regresi menunjukan hasil yang nyata. Tabel 4.12. Uji Stasioneritas dan Korelasi Silang IMV dan IBV Variabel Nilai ADF IMV IBV
-10.34564 -9.324941
Uji Stasioneritas Nilai Kristis Keterangan McKinnon 1 persen -3.481623 Stasioner 1 % -3.481623 Stasioner 1 %
Korelasi Silang dengan IBC Fase
Lead/Lag Time
Coef
Leading Leading
10 5
0.3528 0.5328S
Berdasarkan uji ADF, nilai kritis McKinnon lebih besar dari nilai ADF statistiknya yaitu bernilai -10.34564 sehingga dengan nilai kritis 1 persen (3.481623) IMV merupakan deret data yang stasioner. IMV yang merupakan leading indicators untuk krisis nilai tukar harus memiliki fase pergerakan leading, untuk melihat apakah IMV bergerak lebih dulu dari krisis nilai tukar (ISP) digunakan uji korelasi silang, dari uji ini akan diperoleh juga jangka waktu antara sinyal dan krisis yang seharusnya digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk melakukan pencegahan agar kerentanan yang menimpa nilai tukar segera diatasi sehingga krisis nilai tukar tidak terjadi. Berdasarkan hasil uji tersebut, IMV memiliki koefisien korelasi 0.3528 dengan fase pergerakan leading dengan lead time bulan ke-10. Hasil pengujian ini mengindikasikan IMV dapat memprediksi adanya krisis nilai tukar, namun
83
ketepatan dalam memprediksinya belum diketahui. Apabila dilihat pada Gambar 4.12, pergerakan siklikal IMV mendahului pergerakan ISP berarti IMV dapat dijadikan indikator dini untuk memprediksi pergerakan ISP atau kerentanan nilai tukar. IBV merupakan indeks komposit yang menunjukan pergerakan kerentanan perbankan, dan yang menjadi komposit IBV adalah ILDR, IFL, IDC, IER dan IDC. Indikator komposit tersebut merupakan indikator yang telah diseleksi pada pembahasan sebelumnya, sehingga indikator yang terpilih merupakan indikator yang memiliki daya prediksi terhadap adanya krisis. Dengan terkompositnya indikator-indikator tersebut maka diharapkan IBV itu sendiri merupakan suatu indikator dini yang memiliki daya prediksi tinggi dan akurasi sinyal yang baik. Asumsi yang mendasari diagregasikannya indikator terpilih menjadi indeks yaitu perilaku indikator-indikator komposit yang tidak normal menjelang krisis bergerak kearah yang sama, sehingga dengan mengkompositkan indikatorindikator tersebut apabila terdapat indikator komposit yang tidak bergerak kearah yang sama, maka angka IBV tidak berubah dan tidak akan ada sinyal yang muncul, demikian halnya juga untuk IMV. Threshold yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari proses filtering dengan menggunakan CSD dari estimasi GARCH oleh karena itu diperlukan uji ADF untuk melihat kestasioneran deret data IBV. Adapun hasilnya yaitu deret data dari IBV yang merupakan penjumlahan dari semua indikator kompositnya merupakan deret data yang stasioner. Nilai ADF statistiknya yaitu -9.324941 yang lebiih kecil dibandingkan dengan -3.481623 yang merupakan nilai kritis
84
McKinnon pada tingkat 1 persen. Uji korelasi silang menunjukan nilai yang memuaskan dengan koefisien korelasi sebesar 0.5328 dan fase pergerakan IBV tehadap IBC yaitu leading pada lead time bulan ke-5. Gambar 4.13 memperlihatkan pergerakan IBV lebih dulu bergerak dibandingkan dengan IBC, terlihat jelas ketika IBV meningkat beberapa periode kemudian IBC mengalami peningkatan juga. Berdasarkan hasil uji korelasi silang IBV merupakan indeks kerentanan perbankan yang memiliki daya prediksi terhadap pergerakan krisis perbankan dan mengindikasikan sinyal yang nantinya dihasilkan oleh IBV merupakan sinyal terjadinya krisis yang dapat dipercaya.
4.4.2. Hasil Estimasi GARCH Evaluasi akurasi sinyal pada IMV atau IBV memerlukan threshold untuk menghasilkan sinyal. IMV atau IBV mengeluarkan sinyal jika terjadi volatilitas yang tinggi pada suatu periode yang melewati threshold yang ditentukan. Volatilitas dalam penelitian ini merupakan hasil dari proses filtering untuk mendapatkan sinyal dengan menggunakan model GARCH sehingga volatilitasnya digambarkan dengan pergerakan dari CSD. Adapun threshold berasal dari nilai rata-rata dijumlahkan dengan 1.5 standar deviasi dari CSD Volatilitas IMV atau IBV pada waktu ke-t diduga pada waktu ke (t-1) sehingga volatilitas yang tinggi menunjukan deviasi yang besar antara IMV atau IBV pada waktu ke-t terhadap tingkat pertumbuhannya pada waktu ke (t-1). Proses ini akan memfilter sinyal terjadinya krisis dengan landasan sinyal akan keluar apabila terjadi perbedaan yang sangat jauh antara tingkat pertumbuhan
85
IMV dengan satu bulan sebelumnya. Untuk memperoleh CSD harus dilakukan estimasi Garch adapun hasil estimasi ditunjukan dalam Tabel 5.13. Tabel 4.13. Persamaan Ragam Hasil Estimasi GARCH IMV
IMV
C ARCH(1)
Persamaan Ragam Coef Std.Erros 0.015943 0.002079 0.475020 0.196240
Nilai-P 0.0000 0.0155
IBV
C ARCH(1)
0.013468 1.686954
0.0000 0.0000
Variabel
0.002654 0.336316
Secara matematis, ragam IMV adalah σ t2 =0.015943+0.475020 ε t2−1 , yang berarti tingkat volatilitas dari IMV dipengaruhi bulan sebelumnya, jika ε t2−1 dari IMV relatif besar maka tingkat volatilitas untuk bulan berikutnya akan cenderung meningkat.
Sedangkan
ragam
bersyarat
IBV
secara
matematis
adalah
σ t2 =0.013468+1.686954 ε t2−1 , berarti tingkat volatilitas dari IBV dipengaruhi oleh besarnya ε t2−1 IBV pada bulan sebelumnya. Jika terjadi kerentanan yang semakin tinggi kemungkinan besar kerentanan akan menjadi lebih besar untuk bulan selanjutnya, hal ini menandakan baik IMV ataupun IBV sangat volatil dan volatilitas IBV lebih tinggi dibandingkan demgam IMV, oleh karena itu kestabilan perbankan harus tetap dijaga.
4.4.3. Kinerja IMV dalam Menghasilkan Sinyal CSD yang tinggi dan melebihi threshold-nya akan menghasilkan suatu periode dimana sinyal dikeluarkan. Sinyal yang dihasilkan keluar pada 8 observasi, sedangkan periode krisis dengan menggunakan crisis window 12 bulan
86
mengeluarkan 26 periode yang termasuk kedalam periode krisis dan 104 periode dimana tidak terjadi krisis. Matriks skenario hubungan sinyal dan krisis menunjukan dari 8 sinyal yang dikeluarkan, 4 sinyal menunjukan adanya krisis (A) dan adanya sinyal tapi tidak terjadi krisis dengan jumlah yang sama yaitu 4 observasi. Sedangkan untuk skenario C yaitu tidak ada sinyal tapi terjadi krisis jumlah observasinya yaitu 22. Skenario D menunjukan tidak adanya sinyal ataupun krisis yang terjadi berarti kondisi dimana nilai tukar berada dalam kestabilan yaitu selama 100 periode atau 8.25 tahun, dimana 1.5 tahun sebelum terjadinya krisis dan 6.75 tahun dari Juli 1999 sampai Desember 2005. Tabel 4.14. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis IMV Skenario Ada sinyal (AS) Tidak ada sinyal (TS)
Ada krisis (AK) A=4 C=22
Tidak ada krisis (TK) B=4 D=100
Hasil dari matrik skenario antara sinyal dan krisis, kemudian digunakan untuk menghitung evaluasi kinerja sinyal dari IMV terhadap terjadinya krisis nilai tukar yang diidentifikasikan berdasarkan ISP. Evaluasi kinerja sinyal dihitung berdasarkan kriteria Type I dan II Error, Noise to Signals ratio dan Probabilitas terjadinya krisis. Sinyal yang dikeluarkan IMV berbentuk sinyal tenang (S=0) dan sinyal terjadinya krisis (S=1). Kemungkinan sinyal krisis untuk salah yang berarti sinyal tersebut ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selam 12 bulan kedepan yaitu sebesar 4 persen, berarti IMV mengeluarkan sinyal kemungkinan 96 persen sinyal tersebut dalam jangka waktu 12 bulan kedepan adalah benar menunjukan adanya ketidakstabilan nilai tukar. Adapun peluang terjadinya krisis yang tidak diantisipasi oleh IMV adalah 85 persen.
87
Tabel 4.15. Evaluasi Akurasi Sinyal IMV Indeks Komposit IMV
Type I Error C/(A+C) 0.85
Type II Error B/(B+D) 0.04
1-Type II Error
N/S Ratio
Pc
A/(A+C) 0.15
[B/(B+D)/A/(A+C)] 0.25
A/(A+B) 0.50
Hasil dari N/S Ratio yaitu rasio dari jumlah sinyal yang salah (Type I Error) terhadap sinyal benar (1-Type II Error) menunjukan nilai 0.25 persen yang berarti perbandingan antara sinyal yang benar dan sinyal yang salah yaitu satu berbanding empat. Yang terpenting dari kriteria pengujian ini adalah probabilitas terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan adalah sebesar 50 persen artinya jika IMV mengeluarkan sinyal terjadinya krisis (S=1) maka kemungkinan 50 persen sinyal tersebut akan menunjukan krisis nilai tukar.
4.4.4. Kinerja IBV dalam Menghasilkan Sinyal Threshold yang digunakan dalam penelitian ini mampu memfilter 8 sinyal krisis (S=1) dari CSD IBV. Berdasarkan crisis window 12 bulan, krisis yang dihasilkan berjumlah 33 periode, jika dibandingkan dengan krisis nilai tukar, periode krisis perbankan lebih lama. Tabel 4.16. Skenario Hubungan antara Sinyal dan Krisis IBV Skenario Ada sinyal (AS) Tidak ada sinyal (TS)
Ada krisis (AK) A=7 C=26
Tidak ada krisis (TK) B=1 D=96
Rasio antara sinyal krisis yang dihasilkan adalah benar menunjukan krisis perbankan terhadap jumlah sinyal yang salah adalah sebesar 21 persen yang berarti kemungkinan sinyal yang benar relatif lebih besar terjadi dibandingkan dengan sinyal yang salah. Adapun probabilitas sinyal yang dihasilkan akan
88
mendeteksi terjadinya krisis yaitu sebesar 88 persen akan menunjukan krisis perbankan. Tabel 4.17. Evaluasi Akurasi Sinyal IBV Indeks Komposit IBV
Type I Error C/(A+C) 0.79
Type II Error B/(B+D) 0.01
1-Type II Error
N/S Ratio
Pc
A/(A+C) 0.21
[B/(B+D)/A/(A+C)] 0.05
A/(A+B) 0.88
Evaluasi akurasi sinyal menunjukan kemungkinan krisis yang tidak diantisipasi oleh sinyal yaitu sebesar 79 persen. Sedangkan sinyal yang dihasilkan memiliki kemungkinan salah memprediksi krisis yaitu sebesar 1 persen. Hal ini berarti, dari 31 persen sinyal yang keluar untuk mengantisipasi krisis, 88 persen sinyal tersebut akan menunjukan adanya krisis perbankan. Sinyal memang jarang keluar untuk mengantisipasi krisis namun sekali sinyal tersebut keluar kemungkinan sinyal tersebut akan mendeteksi krisis perbankan dalam jangka waktu 12 bulan kedepan adalah hampir mendekati 100 persen. Hal ini terbukti untuk periode krisis perbankan Agustus 1997-Mei 1999, dimana sinyal adalah benar mengindikasikan krisis. IBV telah mengeluarkan sinyal lima bulan sebelum terjadinya krisis yaitu pada bulan Maret 1997. Dengan sistem deteksi dini ini, setidaknya krisis setaraf periode tersebut apabila terjadi lagi di Indonesia kemungkinan besar akan didentifikasikan oleh sinyal 5 bulan sebelum terjadinya krisis sehingga para pengambil kebijakan dapat dengan cepat melakukan tindakan pencegahan agar krisis tidak terjadi atau meskipun memang harus terjadi kurun waktu berlangsungnya krisis tidak akan terlalu lama.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1. Sistem deteksi dini dengan SAM dapat mendeteksi terjadinya krisis di Indonesia dengan periode krisis nilai tukar yaitu dari Agustus 1997-Oktober 1998 dan periode krisis perbankan yaitu Agustus 1997-Mei 1999. Hal ini berarti SAM memiliki kinerja yang baik sehingga apabila terjadi krisis di masa yang akan datang dan serupa dengan krisis pada periode tersebut, metode ini diperkirakan akan mampu memprediksi terjadinya krisis. 2. Kinerja indikator terbaik untuk krisis nilai tukar adalah REER dengan kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen. Indikator dengan kontribusi terbesar berikutnya untuk mendeteksi krisis nilai tukar adalah kredit domestik dan jumlah uang beredar (M2), yang sinyalnya mampu memprediksi krisis nilai tukar sebanyak 66 persen. Indikator berikutnya adalah IHK dan IHSG dengan probabilitas sinyal yang dikeluarkanya menunjukan krisis 33 persen. Urutan ranking berdasarkan kinerjanya adalah REER, DC, M2, CPI dan EQ. Sedangkan untuk indikator dini krisis perbankan yang akan memberikan sinyal yang baik untuk memprediksi krisis perbankan, berdasarkan seluruh kriteria uji, yaitu ER menempati ranking pertama, disusul dengan DC, FL, LDR dan CPI. 3. Kemungkinan sinyal salah dari IMV yang berarti sinyal tersebut ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selam 12 bulan kedepan yaitu sebesar 4 persen, berarti IMV mengeluarkan sinyal kemungkinan 96 persen
90
sinyal tersebut dalam jangka waktu 12 bulan kedepan adalah benar menunjukan adanya ketidakstabilan nilai tukar. Adapun peluang terjadinya krisis yang tidak diantisipasi oleh IMV adalah 85 persen. Probabilitas terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan adalah sebesar 50 persen artinya jika IMV mengeluarkan sinyal terjadinya krisis maka kemungkinan 50 persen sinyal tersebut akan menunjukan krisis nilai tukar untuk 12 bulan ke depan. 4. Evaluasi akurasi sinyal menunjukkan kemungkinan krisis perbankan yang tidak diantisipasi oleh sinyal yaitu sebesar 79 persen. Sedangkan sinyal yang dihasilkan memiliki kemungkinan salah memprediksi krisis yaitu sebesar 1 persen. Hal ini berarti, dari 31 persen sinyal yang keluar untuk mengantisipasi krisis, 88 persen sinyal tersebut akan menunjukan adanya krisis perbankan. Sinyal memang jarang keluar untuk mengantisipasi krisis namun sekali sinyal tersebut keluar kemungkinan sinyal tersebut akan mendeteksi krisis perbankan dalam jangka waktu 12 bulan kedepan adalah hampir mendekati 100 persen.
5.2.
Saran
1. Pergerakan siklikal ISP menunjukkan tekanan spekulatif terhadap nilai tukar, dengan memperhatikan pergerakan siklikal ISP kondisi nilai tukar Indonesia dapat diketahui. Pergerakan siklikal IBC menunjukkan kondisi perbankan sehingga apabila terjadi pergerakan ISP dan IBC yang terus meningkat, para pengambil kebijakan harus mengantisipasi dan secepatnya melakukan perbaikan.
91
2. Pemerintah agar melakukan pemantauan pergerakan variabel yang mampu memprediksi krisis nilai tukar dan perbankan yang terbaik untuk mengantisipasi krisis sedini mungkin, terutama dengan variabel yang berhubungan dengan nilai tukar karena dari krisis nilai tukar maupun krisis perbankan yang memiliki kemampuan memprediksi yang baik adalah variabel REER dan ER. 3. Meskipun IMV mampu mengikuti pergerakan siklikal dari ISP, tetapi nilai koefisien hanya 0.35 persen, lebih kecil dibandingkan dengan nilai koefisien IBV terhadap IBC yang mencapai 0.53 persen. Hal ini berarti diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama penggunaan data baru untuk IMV agar hasilnya lebih relevan dengan kondisi perekonomian yang terus berubah. 4. Pergerakan siklikal IMV dan IBV mampu memprediksi krisis nilai tukar dan krisis perbankan dimasa datang yang kekuatan krisisnya sama dengan krisis terdahulu dan bisa menyajikan selang waktu sebelum krisis terjadi. Selang waktu tersebut dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk meminimumkan kerentanan yang terjadi pada kondisi nilai tukar dan perbankan setidaknya untuk tingkat domestik masih ada waktu untuk melakukan antisipasi.
5.3.
Saran Penelitian Selanjutnya Untuk penelitian lebih lanjut mengenai sistem deteksi dini dengan Signal
Approach Methode (SAM) disarankan hal-hal sebagai berikut:
92
1. Analisis menggunakan indikator-indikator dini yang baru agar keakuratan IMV dan IBV menjadi lebih baik, terutama untuk variabel yang mewakili sektor internal perbankan dan sektor fiskal. 2. Pemilihan threshold yang berbeda-beda harus dilakukan untuk mendeteksi tingkat kerentanan nilai tukar atau perbankan, misalnya untuk threshold dengan 0.5 dikalikan standar deviasi atau 1 dan 2 dikali standar deviasinya. Dengan adanya pembagian threshold tersebut tidak hanya krisis yang dapat diantisipasi melainkan juga tingkat stadium-stadium kerentanan nilai tukar dan perbankan. 3. Adanya penelitian dengan penambahan periode waktu dan metode filtering yang berbeda untuk kasus di Indonesia sehingga dengan banyaknya sistem deteksi dini yang digunakan terdapat lebih banyak acuan untuk memprediksi krisis.
93
DAFTAR PUSTAKA
Agung, J., E. Sukawati, R. Morena, D. Hermawan dan B. mukti. 2002. Desain Sistem Deteksi Dini dalam Rangka Monitoring Stabilitas Sistem Keuangan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta. Aczel, A. D. 1989. ”Time Series, Forecasting and Index Number”. Complete Business Statistic. Homewood: Irwin, inc., United States. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Erlangga, Jakarta. Batunagar, S. 2003. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan. Pengembangan Perbankan, Edisi 99 Maret-April, Jakarta. Brooks, C. 2002. Introductory Econometrics for Finance. Cambridge University Press, United Kingdom. Claproth, R. 16 April 2004. Krisis Multidimensi Kembali Berulang?. www.dadangsolihin.com/idea/claproth.doc [18 Agustus 2006]. Delurgro, S. A. 1998. ”Cyclical Forecasting Methods”. Forecasting Principles and Applications, chapter 14: 583-623. Irwin Mcgraw Hill, United States. Dewati, W , E. Sukawati dan D. H. Adiwibowo. 2004. Indikator Dini Kerentanan Sektor Keuangan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta. Djiwandono, J. S. 23 Maret 2004. Menuju Sistem Perbankan untuk Mendukung Pembangunan [Kolom Pakar Online]. http://kolom.pacific.net.id/ind [7 Maret 2006]. Hadad, M. D, W. Santoso dan B. Arianto. 2003. Indikator Awal Krisis Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta. Hardy, D. C. dan C. Pazarbasioglu. 1999. Determinants and Leading Indicators of Banking Crisis: Further Evidence. IMF Staff Papers, 46:247-258. Herrera, S. Dan Garcia, C. September 1999. User’s Guide to An Early Warning System for Macroeconomic Vulnerability in Latin American Countries.Worl Bank Working Paper 2233.
94
Hyman, D. N. 1992. “Business Cycles, Unemployment and Economic Growth”. Economics, chapter 25: 619-643, Edisi ke-2. Irwin, Inc., United States. Kaminsky, G. dan C. M. Reinhart. 1996. The Twin Criss: The Causes of Banking and Blance-of- Payment Problems. Board of Governors of Federal Reserve System, September, Washington D.C. Kaminsky, G., S. Lizondo dan C. M. Reinhart. Maret 1998. Leading Indicators of Currency Crisis. IMF Staff Papers, Vol 45, No. 1. Kaminsky, G. Juli 2000. Currency and Banking Crises: The Early Warning of Distress. George Washington University. Mankiw, N. G. 1999. Teori Makroekonomi. Edisis ke-4. Erlangga, Jakarta. Marwan, B. A. 2003. Permodelan Ragam Indek Harga Saham Sektor Keuangan Menggunakan Model GARCH [Skripsi]. Fakulatas Matematika dan Ilmu Oenetahuan Alam, IPB: Bogor. Masyitho, S. Analisis Pengaruh Uang terhadap Busisness Cycle Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB: Bogor. McEachern, W. A. 1999. ”Introduction to Macroeconomics”. Economics: A Contemporary Introduction, chapter 5: 90-110, Edisi ke-5. SouthWestern College Publishing, United States. Moffat, M. 2006. Business Cysles: What are Economic Indicators?. http//economics.about.com/cs/businesscysles/a/economic_ind.htm [2 Maret 2006] Niemira, M. P., dan P. A. Klein. 1955. Forecasting Financial and Economic Cysles. A Wiley Finance Edition, John Wiley and Sons, Inc, USA. Putra, C. F. 2004. Perbandingan Model GARCH dan Model EWMA untuk Mengukur Resiko Berinvestasi pada Saham Sektor Keuangan [Skripsi]. Bogor: IPB. Schiller, B. R. 1997. “The Business Cycles”.The Macro Economy Today, Chapter 8, Edisi ke-7. Irwin McGraw Hill, United States. Setiana, M. 2006. Analisis Leading Indicators untuk Business Cycles Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
95
Sugema, I., R. Mulyana, A. Munir, E. S. Hartati, D. A. Purwanto dan U. Hidayat. 2005. Bank BRI Keluar dari Krisis: dari Restrukturisasi Sampai IPO. INDEF. Supriyanto, E. B. 2003. Pete Kekuatan Perbankan Setelah Enam Tahun Krisis. BEI News Edisi 17 Tahun IV, November-Desember 2003. Suseno dan P. Abdullah. Desember 2003. Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Seri Kebanksentralan No.7. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia, Jakarta. Tambunan, T. September 2002. Building An Early Warning System for Indonesia with The Signal Approach. Thailand Development Research Institute. Bank Indonesia. Juni 2005. Analisa Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta. Yustika, A. E. 2002. Pembangunan dan Krisis: Memetakan Perekonomian Indonesia. Grasindo, Jakarta.
Lampiran 1. Data yang Digunakan dalam Analisis
Periode 1995
1996
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 2207.00 2212.00 2219.00 2227.00 2236.00 2246.00 2256.00 2266.00 2276.00 2285.00 2296.00 2308.00 2311.00 2322.00 2338.00 2342.00 2354.00 2342.00 2353.00 2363.00 2340.00 2352.00 2368.00 2383.00
ISP i3mo (%) 14.69 15.35 15.92 16.39 16.73 17.09 17.42 17.61 17.60 17.41 17.25 17.15 17.20 17.22 17.29 17.38 17.38 17.35 17.35 17.26 17.25 17.18 17.18 17.03
IR (miliar $) 16806.00 16821.90 17139.10 17061.70 17069.30 18415.40 19502.40 18967.50 18975.50 18452.50 18804.20 18786.50 18245.50 20245.30 20554.30 20540.80 19771.70 20708.20 20944.40 20686.80 20471.80 20701.20 22479.10 25528.60
REER (%) 115.77 117.04 112.08 112.19 112.16 113.34 115.62 118.85 119.86 121.41 121.24 122.87 126.72 125.79 124.03 123.33 125.42 125.81 124.55 125.24 127.39 128.17 127.54 127.86
DC (Miliar Rp) 190234.00 192747.00 196149.00 199529.00 203039.00 207762.00 211764.00 216765.00 220859.00 224260.00 226378.00 234611.00 235032.00 238267.00 242423.00 248996.00 253492.00 260755.00 264554.00 267443.00 273395.00 278099.00 281985.00 292921.00
IMV M2 (Miliar Rp) 176227.00 179789.00 181701.00 182737.00 185164.00 192126.00 196820.00 202085.00 206079.00 211148.00 215788.00 222638.00 222865.00 227948.00 232493.00 238004.00 242153.00 249443.00 253392.00 255284.00 259926.00 268320.00 277359.00 288632.00
IBC CPI (%) 31.74 32.16 32.34 32.89 33.05 33.10 33.34 33.44 33.57 33.79 33.93 34.20 35.25 35.72 35.48 35.58 35.81 35.55 35.80 35.78 35.85 35.99 36.14 36.26
EQ (%) 433.83 453.58 428.64 416.45 475.28 492.28 512.06 500.75 493.24 488.45 481.73 513.85 578.56 585.21 585.71 623.91 617.47 594.26 536.03 547.61 573.94 568.03 613.01 637.43
NPL (%) 13.46 13.14 12.94 13.16 13.04 12.74 13.23 12.88 12.59 12.70 12.81 11.13 11.52 11.47 11.34 11.48 11.82 11.82 11.34 11.38 11.25 10.87 10.87 9.54
CAR (%) 11.70 11.47 10.43 11.47 11.14 10.84 10.81 10.84 10.78 10.88 12.07 11.85 12.47 12.34 11.98 11.94 11.97 12.02 12.05 11.87 11.78 11.77 12.04 11.82
LDR (%) 81.82 82.59 81.73 82.64 81.70 81.00 81.44 81.15 80.89 81.32 82.35 81.07 80.59 82.11 80.60 80.27 80.23 81.14 78.95 79.37 79.34 78.23 77.67 78.31
ROA (%) 0.64 0.59 0.54 0.53 0.55 0.60 0.52 0.51 0.43 0.60 1.15 1.75 1.18 1.17 1.15 1.22 1.22 1.20 1.24 1.24 1.23 1.14 1.15 1.22
IBV OCOR FL (%) (Miliar Rp) 0.88 22276.00 0.92 22473.00 0.90 23445.00 0.91 23520.00 0.91 22709.00 0.90 23431.00 0.91 23195.00 0.91 24134.00 0.91 24119.00 0.91 23591.00 0.91 25786.00 0.92 26952.00 0.87 25672.00 0.92 26903.00 0.91 27062.00 0.90 26543.00 0.91 26676.00 0.90 26712.00 0.91 27556.00 0.92 27596.00 0.92 26494.00 0.92 27533.00 0.92 29443.00 0.92 29744.00
IPI (%) 64.21 61.04 57.68 65.84 68.52 72.77 74.25 74.48 74.50 76.19 75.59 73.28 75.58 62.47 79.93 82.97 88.63 87.90 92.28 90.50 89.02 93.69 89.47 83.91
Lampiran 1. Lanjutan Periode 1997
1998
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 2396.00 2406.00 2419.00 2433.00 2440.00 2450.00 2599.00 3035.00 3275.00 3670.00 3648.00 4650.00 10375.00 8750.00 8325.00 7970.00 10525.00 14900.00 13000.00 11075.00 10700.00 7550.00 7300.00 8025.00
ISP i3mo (%) 16.85 16.66 16.47 16.25 16.06 15.93 15.84 21.73 26.22 27.73 26.51 23.92 22.86 24.00 27.26 29.40 32.95 40.63 43.01 44.35 47.38 54.67 53.06 49.23
IR (miliar $) 26959.90 26889.80 26611.50 27432.30 28657.50 28854.20 28573.20 27535.50 27558.60 24590.00 24073.00 21418.20 19063.30 16333.70 16589.80 17744.80 19026.70 18805.00 19527.40 19914.10 20540.60 21743.10 22770.50 23599.20
REER (%) 131.45 130.80 132.66 131.56 128.11 127.11 121.65 109.72 100.08 92.81 96.93 69.46 31.97 50.33 54.49 60.14 45.86 37.54 46.07 58.35 60.88 80.20 84.16 76.80
DC (Miliar Rp) 294317.00 298153.00 306125.00 311361.00 317737.00 328808.00 340028.00 358369.00 368517.00 384551.00 375767.00 378134.00 511132.00 480080.00 476841.00 468715.00 527455.00 626465.00 581650.00 543976.00 535975.00 471368.00 469571.00 487426.00
IMV M2 (Miliar Rp) 290853.00 293240.00 294581.00 299277.00 303667.00 312839.04 317533.00 325911.00 329074.00 340744.00 330558.75 355642.86 450697.00 430240.69 449824.29 453396.25 493908.75 565784.77 556551.74 540860.74 550404.00 531977.48 550936.00 577381.33
CPI (%) 36.88 37.16 37.17 37.32 37.43 37.42 37.72 38.06 38.48 39.02 39.32 40.00 42.75 48.20 50.85 53.16 56.02 58.62 63.64 67.65 70.19 70.00 70.05 71.05
EQ (%) 691.12 705.37 662.24 652.05 696.03 724.56 721.27 493.96 546.69 500.42 401.71 401.71 485.94 482.38 541.43 460.14 420.47 445.92 481.72 342.44 276.15 300.77 386.27 398.04
IBC NPL CAR (%) (%) 9.84 11.98 9.99 12.10 10.14 12.19 10.10 11.19 9.78 11.12 9.21 9.80 8.83 9.84 8.76 9.74 9.10 9.62 9.12 9.49 8.87 9.35 8.15 9.19 8.91 6.93 10.19 7.25 13.12 4.28 16.84 4.30 23.12 7.24 28.82 6.03 33.26 4.84 36.27 1.11 40.51 -0.18 44.21 -5.41 47.02 -7.61 53.79 -15.70
LDR (%) 79.76 77.33 79.57 80.67 80.89 93.25 79.38 83.15 82.61 81.91 81.04 86.43 85.24 83.17 83.17 88.07 89.93 87.36 84.69 82.33 81.06 74.75 72.85 72.39
ROA (%) 1.15 1.17 1.17 1.11 1.13 1.12 1.27 1.18 1.11 1.03 0.95 1.37 2.01 1.40 0.38 -0.51 0.65 1.88 -0.92 -4.50 -5.64 -9.88 -11.21 -18.76
IBV OCOR (%) 0.93 0.94 0.93 0.93 0.92 0.91 0.90 0.93 0.93 0.94 0.94 0.95 0.96 0.97 1.01 1.02 1.03 1.02 0.96 1.09 0.94 1.20 1.29 1.45
FL (Miliar Rp) 29818.00 29594.00 32640.00 33187.00 33187.00 32722.00 38977.00 46247.00 49011.00 54027.00 53065.00 70434.00 153484.00 132796.00 119856.00 108933.00 143453.00 189467.00 164614.00 133417.00 127312.00 91060.00 86915.00 97842.00
IPI (%) 85.61 67.45 88.00 85.98 88.48 89.22 90.18 89.79 89.37 87.96 78.65 81.40 66.53 58.54 74.57 70.46 68.05 73.07 76.10 75.93 75.62 77.55 70.93 74.40
Lampiran 1. Lanjutan Periode 1999
2000
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 8950.00 8730.00 8685.00 8260.00 8105.00 6726.00 6875.00 7565.00 8386.00 6900.00 7425.00 7100.00 7425.00 7505.00 7590.00 7945.00 8620.00 8735.00 9003.00 8290.00 8780.00 9395.00 9530.00 9595.00
ISP i3mo (%) 45.50 38.20 34.85 34.09 31.20 27.39 23.45 19.06 15.88 13.37 12.91 12.95 12.85 12.64 12.40 12.16 11.81 11.69 11.79 12.36 12.84 13.09 13.17 13.24
IR (miliar $) 24625.00 24277.30 25817.40 26004.20 25967.30 26897.10 26587.50 26797.60 26911.10 27137.40 27479.20 27305.00 28021.50 28157.60 29728.70 29477.80 29139.20 29759.30 27404.30 27450.90 28094.20 28735.60 29023.50 29393.70
REER (%) 71.22 75.40 76.47 79.78 81.25 97.68 92.94 80.24 72.20 86.87 82.16 85.71 83.81 85.10 80.89 78.94 73.42 71.99 72.59 78.01 73.80 70.14 71.07 72.53
DC (Miliar Rp) 504282.00 499938.00 366543.00 287877.00 277602.00 251262.00 249428.00 257575.00 263262.00 242979.00 247284.00 225133.00 225990.00 228745.00 223235.00 228777.00 237929.00 240135.00 246026.00 241913.00 248994.00 260677.00 265190.00 269000.00
IMV M2 (Miliar Rp) 592305.55 602666.00 603325.11 613140.00 628260.00 615411.00 627207.00 636529.00 652289.00 628896.00 639347.00 646205.00 650597.00 653334.00 656451.00 665651.00 683477.00 684335.00 689934.75 685602.00 686453.00 707447.00 720261.00 747028.00
CPI (%) 73.16 74.08 73.90 73.44 73.24 72.99 72.22 71.55 70.96 71.00 71.18 72.41 73.37 73.42 73.09 73.49 74.11 74.48 75.44 75.82 75.78 76.66 77.67 79.18
EQ (%) 411.93 396.09 393.63 495.22 585.24 662.03 597.87 567.03 547.94 593.87 583.77 676.92 636.37 576.54 583.28 526.74 454.33 515.11 492.19 466.38 421.34 405.35 429.21 416.32
IBC NPL CAR (%) (%) 59.42 -16.02 60.93 -24.64 54.99 -24.64 46.71 -24.64 47.11 -48.30 45.66 -57.25 45.43 -25.14 45.62 -14.31 44.38 -20.81 43.23 -23.18 41.83 -9.44 36.86 -8.12 37.63 -6.31 37.25 -2.94 35.28 -0.97 35.13 0.89 33.08 2.66 32.20 4.33 31.49 5.90 29.77 7.38 28.23 8.78 27.47 10.09 25.06 11.31 19.43 12.46
LDR (%) 72.17 71.92 71.92 71.92 39.80 41.18 30.03 30.52 31.42 30.17 30.12 26.03 25.47 26.65 28.64 29.07 29.50 29.93 30.36 30.79 31.23 31.66 32.09 33.41
ROA (%) -19.86 -21.81 -22.59 -23.92 -26.11 -28.94 -25.90 -17.31 -17.26 -13.04 -12.01
-6.14 -6.13 -3.29 -2.56 -1.88 -1.27 -0.71 -0.21 0.24 0.64 0.99 1.30 1.56
IBV OCOR FL (%) (Miliar Rp) 1.20 102851.00 1.53 99990.00 1.70 93568.00 1.64 95362.00 1.62 90704.00 1.63 72542.00 1.70 70666.00 1.68 78838.00 1.48 86340.00 1.40 69991.00 1.36 74630.00 1.52 74623.00 1.05 77185.00 1.07 76128.00 1.13 73157.00 1.09 78511.00 1.05 81185.00 1.02 80762.00 1.00 83339.00 0.99 73191.00 0.98 79173.00 0.98 80442.00 0.98 92319.00 0.98 92675.00
IPI (%) 54.13 66.70 77.53 78.18 79.67 78.68 83.36 82.36 85.62 86.83 87.21 85.64 62.59 80.84 86.82 81.84 90.51 90.11 94.49 97.22 96.34 97.85 96.02 82.11
Lampiran 1. Lanjutan Periode 2001
2002
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 9450.00 9835.00 10400.00 11675.00 11058.00 11440.00 9525.00 8865.00 9675.00 10435.00 10430.00 10400.00 10320.00 10189.00 9655.00 9316.00 8785.00 8730.00 9108.00 8867.00 9015.00 9233.00 8976.00 8940.00
ISP i3mo (%) 13.83 14.35 14.86 14.93 14.92 15.00 15.14 15.62 16.16 16.67 17.06 17.24 17.39 17.24 17.02 16.57 16.24 15.85 15.26 14.77 14.36 13.94 13.76 13.63
IR (miliar $) 29256.80 29091.10 28672.70 28713.40 28593.90 28638.20 28938.20 28555.00 28957.10 28595.90 28022.10 28015.80 27771.40 27937.00 28003.50 28151.20 28756.00 29278.70 30323.70 30156.40 30040.80 29896.90 29994.50 32037.00
REER (%) 73.83 72.14 71.02 63.94 66.27 66.91 81.99 85.26 78.76 74.53 76.64 80.09 82.99 85.39 88.29 90.93 95.94 93.87 91.33 93.17 93.62 91.72 95.82 95.28
DC (Miliar Rp) 264915.00 274533.00 285375.00 306011.00 301905.00 306333.00 289661.00 287890.00 304420.00 318735.00 303018.00 307594.00 302022.00 302504.00 302776.00 303155.00 303247.00 312018.00 322600.00 331429.00 341172.00 347788.00 356705.00 365410.00
IMV M2 (Miliar Rp) 738731.00 755898.00 766812.00 792227.00 788320.00 796440.00 771135.00 774037.00 783104.00 808514.00 821691.00 844053.00 838022.00 837160.00 831411.00 828278.00 833084.00 838635.00 852718.00 856835.00 859706.00 863010.00 870046.00 883908.00
CPI (%) 79.44 80.13 80.85 81.22 82.13 83.50 85.28 85.10 85.64 86.22 87.69 89.11 90.89 92.25 92.23 92.01 92.75 93.08 93.85 94.11 94.62 95.12 96.88 98.05
EQ (%) 425.61 428.30 381.05 358.23 405.86 437.62 444.08 435.55 392.48 383.74 380.31 392.04 451.64 453.25 481.78 534.06 530.79 505.01 463.67 443.67 419.31 369.04 390.43 424.95
IBC NPL CAR (%) (%) 19.21 13.72 18.35 14.74 18.62 14.19 19.00 14.21 18.03 15.41 16.84 15.80 15.76 17.43 15.63 19.44 14.47 19.04 14.21 18.96 13.53 19.01 11.66 19.93 11.43 23.42 11.94 23.38 12.42 24.20 12.84 23.18 11.92 23.43 11.27 23.25 11.69 23.48 11.06 23.17 10.08 24.04 9.90 23.03 9.55 22.77 7.57 22.44
LDR (%) 31.51 31.08 32.11 33.57 33.77 34.60 33.85 34.00 35.14 35.60 33.71 33.01 32.25 32.49 33.19 33.44 33.37 34.36 34.91 35.83 36.90 37.03 38.22 38.24
ROA (%) 0.96 1.03 1.24 1.04 1.02 0.19 0.36 0.49 0.72 1.62 1.55 1.45 1.31 1.53 1.76 1.77 1.77 2.16 1.96 1.81 1.92 1.99 1.86 1.96
IBV OCOR (%) 1.01 0.99 1.01 1.01 0.94 1.03 1.05 1.04 1.05 0.98 0.98 0.98 1.00 0.98 0.96 0.97 0.97 0.94 0.96 0.98 0.97 0.96 0.97 0.95
FL (Miliar Rp) 82403.00 79277.00 81710.00 92880.00 86075.00 86340.00 72577.00 63578.00 69293.00 72944.00 70136.00 68406.00 67091.00 64147.00 62899.00 59516.00 49752.00 46421.00 46781.00 45792.00 49588.00 50998.00 51726.00 51895.00
IPI (%) 84.19 85.89 90.24 89.49 95.40 96.11 97.34 98.75 96.50 99.40 96.15 72.45 87.76 80.65 89.60 95.78 97.08 96.86 102.87 102.53 101.07 104.32 102.37 76.98
Lampiran 1. Lanjutan Periode 2003
2004
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 8876.00 8905.00 8908.00 8675.00 8279.00 8285.00 8505.00 8535.00 8389.00 8495.00 8537.00 8465.00 8441.00 8447.00 8587.00 8661.00 9210.00 9415.00 9168.00 9328.00 9170.00 9090.00 9018.00 9290.00
ISP i3mo (%) 13.49 13.15 12.90 12.48 12.02 11.55 10.65 9.58 8.58 7.96 7.58 7.14 6.68 6.38 6.11 6.01 6.17 6.31 6.49 6.54 6.61 6.65 6.66 6.71
IR (miliar $) 32181.90 32217.80 32578.20 33626.40 34162.20 34056.60 33733.40 33539.70 34067.60 34841.50 35114.10 36295.70 35975.40 36000.70 37419.20 37080.70 36469.60 34851.00 34810.50 34821.90 34802.20 35353.20 35927.40 36320.40
REER (%) 96.64 96.71 96.90 99.43 103.19 104.67 101.83 101.59 100.01 99.31 100.19 100.40 99.72 100.59 97.51 99.11 93.03 92.29 95.82 93.01 94.77 93.89 93.57 91.42
DC (Miliar Rp) 358084.00 366467.00 376141.00 382175.00 384158.00 390563.00 397187.00 403544.00 411696.00 421295.00 432230.00 437942.00 432738.00 437040.00 446589.00 454854.00 471063.00 486067.00 488407.00 505243.00 513223.00 525648.00 531689.00 553548.00
IMV M2 (Miliar Rp) 873683.00 881215.00 877776.00 882808.00 893029.00 894213.00 901389.00 905498.00 911224.00 926325.00 944647.00 955692.00 947277.00 935745.00 935247.00 930831.00 952961.00 975166.00 975091.00 980223.00 986806.00 995935.00 1000338.0 1033527.0
CPI (%) 98.85 99.03 98.82 98.95 99.14 99.22 99.26 100.12 100.47 101.07 102.04 103.04 103.62 103.60 103.97 104.99 105.92 106.42 106.84 106.93 106.95 107.55 108.51 109.63
EQ (%) 388.44 399.22 398.00 450.86 494.78 505.50 507.99 529.68 597.65 625.55 617.08 691.90 759.93 761.08 735.68 783.41 732.52 732.40 756.98 754.70 820.13 860.49 977.77 1000.23
NPL (%) 7.94 7.66 7.62 7.39 7.51 7.11 7.24 6.65 6.65 6.62 7.08 6.77 8.20 8.10 7.80 7.70 7.80 7.50 7.30 6.70 6.90 6.70 6.60 5.75
IBC CAR (%) 23.90 25.30 23.44 23.77 23.07 22.86 22.28 22.80 20.44 19.01 20.39 19.43 23.79 23.32 23.49 22.46 21.68 21.08 20.70 20.72 20.78 20.44 19.77 19.42
LDR (%) 37.79 38.05 39.26 39.43 39.88 40.34 40.76 41.10 42.23 42.90 44.14 43.52 42.39 42.88 43.70 44.92 45.56 46.39 46.81 47.87 48.13 49.13 49.49 49.95
ROA (%) 2.13 2.14 2.18 2.04 2.31 2.24 2.33 2.37 2.27 2.24 2.21 2.63 2.59 2.35 2.71 2.83 2.57 2.67 2.71 2.80 2.96 2.91 3.03 3.46
IBV OCOR (%) 0.94 0.94 0.94 0.93 0.92 0.92 0.91 0.90 0.91 0.90 0.91 0.88 0.90 0.93 0.90 0.90 0.90 0.90 0.83 0.86 0.84 0.85 0.81 0.77
FL (Miliar Rp) 50855.00 47997.00 46355.00 47188.00 47030.00 38685.00 39791.00 39532.00 39644.00 27150.00 27769.00 31458.00 29807.00 30477.00 43713.00 45622.00 47039.00 43500.00 40993.00 40978.00 43041.00 43800.00 44971.00 49327.00
IPI (%) 94.44 93.19 100.85 94.93 97.45 102.49 106.08 105.31 107.04 106.85 88.41 102.96 101.51 93.02 100.10 97.63 100.50 102.38 107.94 108.90 112.08 116.15 93.35 106.39
Lampiran 1. Lanjutan Periode 2005
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
ER (Rp/$) 9165.00 9260.00 9480.00 9570.00 9495.00 9713.00 9819.00 10240.00 10310.00 10090.00 10035.00 9830.00
ISP i3mo (%) 6.71 6.74 6.93 6.87 7.03 7.19 7.41 7.71 8.51 9.38 10.72 11.75
IR (miliar $) 36092.20 36542.10 36030.10 36428.80 34612.60 33865.40 32208.38 31180.30 30318.00 32646.09 33239.80 34723.69
REER (%) 94.68 92.78 93.45 91.72 93.89 93.40 93.35 89.68 90.22 100.54 103.95 104.62
DC (Miliar Rp) 549017.00 560753.00 576380.00 587805.00 609330.00 622602.00 635959.00 659571.00 673242.00 678351.00 679466.00 689669.00
IMV M2 (Miliar Rp) 1015874.0 1012144.0 1020693.0 1044253.0 1046192.0 1073746.0 1088376.0 1115874.0 1150451.0 1165741.0 1168267.0 1203215.0
CPI (%) 111.20 111.01 113.05 113.52 113.75 114.32 115.21 115.84 116.64 126.79 128.45 128.39
EQ (%) 1045.44 1073.83 1080.17 1029.61 1088.17 1122.38 1182.30 1050.09 1079.28 1066.22 1096.64 1162.64
NPL (%) 5.90 6.00 5.60 5.70 7.30 7.90 8.50 8.90 8.80 8.40 8.70 8.30
IBC CAR (%) 22.35 22.09 21.75 21.21 20.03 19.51 18.45 18.94 19.43 19.44 19.69 19.30
LDR (%) 49.50 50.52 51.22 51.31 52.90 53.09 53.85 54.48 54.16 54.76 54.07 59.66
ROA (%) 3.42 3.35 3.41 3.52 3.33 2.20 2.25 2.18 1.97 2.01 2.15 2.55
IBV OCOR (%) 0.75 0.81 0.81 0.81 0.81 0.89 0.95 0.89 0.90 0.91 0.91 0.90
FL (Miliar Rp) 47377.00 47667.00 54603.00 55087.00 62349.00 57484.00 56152.00 60463.00 62185.00 62188.00 58671.00 55791.00
IPI (%) 103.54 102.91 107.30 101.05 105.23 105.67 107.07 110.71 112.52 119.41 104.36 108.61
102
Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Siklikal A. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel ISP .8
.4
.6
.3
.6
.4
.2 .4
.1
.2
.2
.0 .0
-.1
.0
-.2 -.2
-.2
-.3
-.4
-.4
-.4 1996
1998
2000
2002
2004
1996
Pergerakan Siklikal Nilai Tukar (IER)
1998
2000
2002
2004
1996
Pergerakan Siklikal Suku Bunga Deposito 3 Bulan (II3)
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Cadangan Devisa (IIR)
.5 .4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Tekanan Spekulatif (ISP)
B. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel IBC .4
.8
.4
.3
.6
.3
.4
.2
.2 .1 .0
.2
-.1
.0
.1 .0 -.1
-.2
-.2
-.2
-.3 -.4
-.4
-.3
-.6
-.5 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal NPL (INPL) 0.8
0.4
0.0
-0.4
-0.8
-1.2 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Kondisi Perbankan (IBC)
-.4 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal CAR (ICAR)
1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Suku Bunga Deposito 3 Bulan (II3)
103
Lampiran 2. Lanjutan C. Grafik Fluktuasi Siklikal IMV .4
.6
.2
.4
.0
.2
-.2
.0
-.4
-.2
-.6
-.4
.4
.2
.0
-.2
-.8
-.4
-.6 1996
1998
2000
2002
2004
-.6 1996
Pergerakan Siklikal REER (IREER)
1998
2000
2002
2004
1996
Pergerakan Siklikal Kredit Domestik (IDC)
.6
.3
1.0
.5
.2
0.8
.4
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Jumlah Uang Beredar (IM2)
0.6
.1
0.4
.3 .0
0.2
.2 -.1
0.0
.1 -.2
.0 -.1
-.3
-.2
-.4 1996
1998
2000
2002
2004
-0.2 -0.4 -0.6 1996
Pergerakan Siklikal IHK (ICPI)
1998
2000
2002
1996
2004
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Kerentanan Nilai T ukar (IIMV)
Pergerakan Siklikal IHSG (IEQ)
D. Grafik Fluktuasi Siklikal IBV .4
.6
.4
.2
.4
.2
.0
.2
-.2
.0
-.4
-.2
-.6
-.4
.0
-.2
-.8
-.4
-.6
-.6 1996
1998
2000
2002
2004
1996
Pergerakan Siklikal LDR (ILDR) .6
1998
2000
2002
1996
2004
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Sikliakl OCOR (IOCOR)
Pergerakan Siklikal ROA (IROA) .3
.6
.2
.4
.1
.2
.0
.0
-.1
-.2
-.2
-.4
.5 .4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3
-.3 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Utang Luar Negeri (IFL) .8
-.6 1996
1998
2000
2002
2004
.6
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Kredit Dom estik (IDC) 2.0
.5
.6
1996
Pergerakan Siklikal T ingkat Produksi (IIPI)
1.5
.4 .4
1.0
.3
.2
.2
0.5
.1
.0
0.0
.0 -.2
-0.5
-.1
-.4
-1.0
-.2 1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Nilai T ukar (IER)
1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Sikikal IHK (ICPI)
1996
1998
2000
2002
2004
Pergerakan Siklikal Kerentanan Perbankan (IBV)
104
Lampiran 3. Grafik Conditional Standar Deviation (CSD) dan Threshold A. Grafik CSD dan Threshold IMV .24
.8
.7
.7
.6 .20
.6
.5
.5
.16
.4
.4 .3
.12
.3
.2
.2
.08 .1
.1 .04
.0 1996
1998
2000
CSD_IREER
2002
.0 1996
2004
1998
2000 CSD_IDC
T REER
.20
2002
2004
1996
1998
T DC
2000
CSD_IM2
2002
2004
T M2
.7
.13
.18
.6
.12 .16
.5 .11
.14
.4 .12
.10 .3
.10 .09
.2
.08
.1
.08
.06 1996
1998
2000
CSD_ICPI
2002
2004
1996
T CPI
1998
2000
CSD_IEQ
2002
1996
2004
1998
2000
CSD_IIMV
T EQ
2002
2004
T IMV
B. Grafik CSD dan Threshold IBV 1.4
.36
1.2
.32
.24
.20
.28
1.0
.24
0.8
.16
.20 0.6
.12
.16 0.4
.12 .08
0.2
.08
0.0
.04 1996
1998
2000
CSD_ILDR
2002
2004
.04 1996
1998
T LDR
2000 CSD_IFL
1.4
.20
1.2
.18
1.0
.16
0.8
.14
0.6
.12
0.4
.10
0.2
.08
2002
2004
1996
T FL
1998
2000
CSD_IDC
2002
2004
T DC
2.0
1.6
1.2
0.8
0.4
0.0
.06 1996
1998
2000 CSD_IER
2002 T ER
2004
0.0 1996
1998
2000
CSD_ICPI
2002
2004
T CPI
Lampiran 4. Hasil Uji ADF pada Setiap Indikator Siklikal
1996
1998
2000
CSD_IBV
2002 T IBV
2004
105
A. Uji ADF untuk Setiap Indikator IMV a. IREER Null Hypothesis: IREER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.785495 Test critical values: 1% level -3.482035 5% level -2.884109 10% level -2.578884 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
b. IDC Null Hypothesis: IDC has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.20585 Test critical values: 1% level -3.481217 5% level -2.883753 10% level -2.578694 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
c. IM2 Null Hypothesis: IM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.11411 Test critical values: 1% level -3.482035 5% level -2.884109 10% level -2.578884 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
d. ICPI Null Hypothesis: ICPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.417978 Test critical values: 1% level -3.484198 5% level -2.885051 10% level -2.579386 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0005
e. IEQ Null Hypothesis: IEQ has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.869741 Test critical values: 1% level -3.481623 5% level -2.883930 10% level -2.578788 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Lanjutan
Prob.* 0.0000
106
d. IMV Null Hypothesis: IIMV has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.34564 Test critical values: 1% level -3.481623 5% level -2.883930 10% level -2.578788 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
B. Uji ADF untuk Setiap Indikator IBV a. ILDR Null Hypothesis: ILDR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -14.18620 Test critical values: 1% level -3.481217 5% level -2.883753 10% level -2.578694 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
b. IROA Null Hypothesis: IROA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.188319 Test critical values: 1% level -3.484198 5% level -2.885051 10% level -2.579386 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
c. IOCOR Null Hypothesis: IOCOR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 10 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.248009 Test critical values: 1% level -3.485586 5% level -2.885654 10% level -2.579708 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
d. IFL Null Hypothesis: IFL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.775907 Test critical values: 1% level -3.481623 5% level -2.883930 10% level -2.578788 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Lanjutan
Prob.* 0.0000
107
e. IIPI Null Hypothesis: IIPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 12 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.153170 Test critical values: 1% level -3.486551 5% level -2.886074 10% level -2.579931 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0254
f. IDC Null Hypothesis: IDC has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.20585 Test critical values: 1% level -3.481217 5% level -2.883753 10% level -2.578694 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
g. IER Null Hypothesis: IER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.998236 Test critical values: 1% level -3.481623 5% level -2.883930 10% level -2.578788 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
h. ICPI Null Hypothesis: ICPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.417978 Test critical values: 1% level -3.484198 5% level -2.885051 10% level -2.579386 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0005
i. IIBV Null Hypothesis: IIBV has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on HQ, MAXLAG=12) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.324941 Test critical values: 1% level -3.481217 5% level -2.883753 10% level -2.578694 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 5. Hasil Uji Korelasi Silang Setiap Indikator
Prob.* 0.0000
108
A. Hasil Uji Korelasi Silang Setiap Indikator IMV dengan ISP a. IREER Date: 08/27/06 Time: 10:55 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IREER,ISP(-i) . |*. . |** . | . **| . .*| . . | . . |*** . |*. . |*. . | . . | . . |*. . |***
IREER,ISP(+i) | | | | | | | | | | | | |
. |*. .*| . .*| . .*| . **| . ****| . **| . . | . . | . ***| . **| . .*| . .*| .
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag 0.0780 0.1611 0.0339 -0.2134 -0.1000 0.0234 0.2689 0.1010 0.1342 -0.0142 -0.0362 0.0876 0.3114
lead 0.0780 -0.1464 -0.0752 -0.0737 -0.1867 -0.4275 -0.1538 -0.0266 0.0041 -0.3087 -0.2412 -0.0712 -0.0471
b. IDC Date: 08/21/06 Time: 11:54 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IDC,IBC(-i) . |*. .*| . . | . .*| . **| . ***| . ***| . **| . .*| . .*| . **| . **| . **| .
IDC,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
. |*. . | . **| . . | . . |*** . |*** . |*. . |*. . |** . |** .*| . . |*** . |***
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag 0.1469 -0.0451 -0.0403 -0.0496 -0.1599 -0.2475 -0.3366 -0.1715 -0.0650 -0.1441 -0.2414 -0.1758 -0.2344
lead 0.1469 0.0332 -0.1757 0.0024 0.2704 0.2677 0.1123 0.0717 0.1598 0.2091 -0.0691 0.2676 0.3395
c. IM2 Date: 08/27/06 Time: 10:58 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IM2,ISP(-i) . |*. . |*. . | . **| . . | . . | . . |** . |*. . |*. .*| . .*| . . |*. . |***
IM2,ISP(+i) | | | | | | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan
. |*. **| . .*| . .*| . **| . ****| . . | . . |*. . |*. **| . **| . .*| . . | .
i
lag 0.1369 0.1460 0.0039 -0.2396 -0.0375 -0.0118 0.2186 0.0645 0.0902 -0.0753 -0.0807 0.0557 0.3201
lead 0.1369 -0.1872 -0.1011 -0.0976 -0.2077 -0.3489 -0.0316 0.0664 0.0747 -0.2195 -0.1484 -0.0673 0.0081
109
d. ICPI Date: 08/27/06 Time: 11:00 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations ICPI,ISP(-i) . . . . . . . . . . . . .
|*** |*** |*** |*** |*** |**** |*** |** |*. | . | . |*. | .
ICPI,ISP(+i) | | | | | | | | | | | | |
. |*** . |**** . |*** . |*** . |*** . |*. .*| . .*| . . | . **| . ****| . *****| . *****| .
i | | | | | | | | | | | | |
lag
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0.3242 0.3063 0.2620 0.2869 0.3294 0.3950 0.3395 0.1784 0.0694 0.0446 0.0425 0.0776 -0.0405
lead 0.3242 0.4048 0.3515 0.3343 0.2815 0.0685 -0.0857 -0.0965 0.0036 -0.2075 -0.4276 -0.4975 -0.5402
e. IEQ Date: 08/27/06 Time: 11:01 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IEQ,ISP(-i) **| . .*| . ****| . **| . .*| . . | . . | . . |*. . |*. . |*. . |*. . | . . | .
IEQ,ISP(+i) | | | | | | | | | | | | |
**| . ****| . ****| . .*| . .*| . . | . . | . . | . . | . . |** . | . . | . . |*.
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag -0.2112 -0.0722 -0.3461 -0.2447 -0.0588 0.0429 -0.0075 0.0771 0.1192 0.0780 0.0628 0.0283 -0.0146
lead -0.2112 -0.3686 -0.3706 -0.1192 -0.0839 0.0183 -0.0153 -0.0307 0.0016 0.1725 -0.0071 -0.0355 0.0984
f. IMV Date: 08/27/06 Time: 11:02 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IIMV,ISP(-i) . |** . |*** . | . .*| . . |*. . |** . |** . |*. . |*. .*| . .*| . . |*. . |*.
IIMV,ISP(+i) | | | | | | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan
. |** .*| . .*| . . |*. . |*. .*| . .*| . . | . . | . **| . ****| . ***| . **| .
i
lag 0.1981 0.3245 0.0434 -0.0813 0.1518 0.1637 0.2436 0.1497 0.1519 -0.0714 -0.0586 0.0586 0.1532
lead 0.1981 -0.1105 -0.0532 0.0984 0.0576 -0.1456 -0.0921 -0.0310 0.0279 -0.2103 -0.3528 -0.2745 -0.1765
110
B. Hasil Uji Korelasi Silang Setiap Indikator IBV dengan IBC a. ILDR Date: 08/27/06 Time: 11:03 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations ILDR,IBC(-i) .*| . . |*. . |*. . |*. . | . .*| . .*| . ***| . .*| . .*| . **| . ***| . **| .
ILDR,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
.*| . . | . . |*** . |** . |*. . |** . |** . |*. . | . . |*. . |*. .*| . . |**
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag -0.1057 0.1434 0.0867 0.0558 -0.0365 -0.1425 -0.0736 -0.3128 -0.1090 -0.1420 -0.1479 -0.2908 -0.2137
lead -0.1057 -0.0037 0.3323 0.1801 0.0759 0.1640 0.1777 0.0901 -0.0148 0.1153 0.0903 -0.0821 0.1581
b. IROA Date: 08/27/06 Time: 11:03 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IROA,IBC(-i) ****| . *****| . ***| . ***| . ******| . *****| . ****| . ***| . **| . .*| . . |*. . | . . |*.
IROA,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
****| . .*| . . | . . | . . |*. . |*. . |** . |*** . |** . |*. . |*. . |*** . |**
i
lag -0.4382 -0.4635 -0.2821 -0.2666 -0.5483 -0.5329 -0.4412 -0.2731 -0.2338 -0.1131 0.0995 -0.0221 0.1377
lead -0.4382 -0.0659 -0.0198 0.0066 0.1022 0.0843 0.2087 0.2667 0.2471 0.1487 0.0629 0.2610 0.2305
c. IOCOR Date: 08/27/06 Time: 11:04 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IOCOR,IBC(-i) . | . . |*. . |**** . | . . |*. . |*** . |**** . |*. .*| . . |** . |*. . | . .*| .
IOCOR,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan
. | . .*| . . |** . |*. **| . ***| . . | . . |*. **| . **| . . | . . | . .*| .
i
lag -0.0309 0.1318 0.4078 0.0191 0.0932 0.3012 0.4108 0.1456 -0.0474 0.2309 0.1186 -0.0342 -0.0576
lead -0.0309 -0.1234 0.1726 0.1160 -0.2206 -0.2689 0.0429 0.0812 -0.1674 -0.1927 0.0160 0.0153 -0.1329
111
d. IFL Date: 08/27/06 Time: 11:05 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IFL,IBC(-i) .*| . ***| . .*| . . |*. .*| . **| . .*| . .*| . . | . . | . . | . .*| . **| .
IFL,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
.*| . . | . .*| . .*| . . |*. . |*** . |** . | . . |*. . |*** . |*. . |*** . |***
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag -0.1274 -0.2837 -0.0718 0.0584 -0.1128 -0.1916 -0.1456 -0.0780 -0.0154 -0.0114 -0.0147 -0.0435 -0.1571
lead -0.1274 0.0356 -0.0584 -0.1338 0.0760 0.3234 0.2017 0.0446 0.1293 0.2793 0.0789 0.2649 0.3179
e. IIPI Date: 08/27/06 Time: 11:06 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IIPI,IBC(-i) . | . . | . . |*. .*| . . | . . |*. . |*. .*| . .*| . . |** . | . . | . . |*.
IIPI,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
. | . .*| . . |*. . |*. **| . .*| . . | . . | . .*| . .*| . . | . . | . . | .
i
lag 0.0135 0.0023 0.0766 -0.1293 -0.0102 0.0516 0.0648 -0.1231 -0.0969 0.1980 0.0182 0.0163 0.0792
lead 0.0135 -0.0583 0.0526 0.1111 -0.1673 -0.1241 0.0257 -0.0089 -0.1121 -0.1288 0.0221 0.0461 -0.0292
f. IDC Date: 08/27/06 Time: 11:07 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IDC,IBC(-i) . |*. .*| . . | . .*| . **| . ***| . ***| . **| . .*| . .*| . **| . **| . **| .
IDC,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan
. |*. . | . **| . . | . . |*** . |*** . |*. . |*. . |** . |** .*| . . |*** . |***
i
lag 0.1469 -0.0451 -0.0403 -0.0496 -0.1599 -0.2475 -0.3366 -0.1715 -0.0650 -0.1441 -0.2414 -0.1758 -0.2344
lead 0.1469 0.0332 -0.1757 0.0024 0.2704 0.2677 0.1123 0.0717 0.1598 0.2091 -0.0691 0.2676 0.3395
112
g. IER Date: 08/27/06 Time: 11:07 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IER,IBC(-i) . | . **| . .*| . . |*. .*| . **| . **| . .*| . . | . . | . .*| . .*| . **| .
IER,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
. . . . . . . . . . . . .
| . |*. | . | . |** |**** |*** |*. |** |*** | . |** |***
i | | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
| | | | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
lag -0.0407 -0.2145 -0.0412 0.1070 -0.1103 -0.1730 -0.2015 -0.0766 -0.0172 0.0065 -0.0636 -0.0769 -0.1794
lead -0.0407 0.1042 0.0065 -0.0141 0.2211 0.4495 0.2619 0.0795 0.1873 0.3521 0.0438 0.2381 0.2910
h. ICPI Date: 08/27/06 Time: 11:08 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations ICPI,IBC(-i) . |*** . |*** . |** . |** . |*. . |*. . | . .*| . .*| . **| . .*| . .*| . **| .
ICPI,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
. |*** . |**** . |**** . |***** . |****** . |**** . |** . |*. . |** . |*. . | . **| . ****| .
i
lag 0.3180 0.2640 0.1674 0.1626 0.1253 0.0714 0.0126 -0.0827 -0.1047 -0.1653 -0.1200 -0.0914 -0.1648
lead 0.3180 0.4349 0.4268 0.5176 0.5750 0.4394 0.1974 0.1106 0.1920 0.1003 -0.0170 -0.2245 -0.3497
i. IBV Date: 08/27/06 Time: 11:09 Sample: 1995:01 2005:12 Included observations: 131 Correlations are asymptotically consistent approximations IIBV,IBC(-i) . |*. .*| . . | . . |*. .*| . **| . **| . **| . .*| . **| . **| . **| . ***| .
IIBV,IBC(+i) | | | | | | | | | | | | |
. . . . . . . . . . . . .
|*. |** |** |** |**** |***** |*** |*. |** |*** | . |*. |**
i
lag 0.0619 -0.0440 0.0327 0.1083 -0.0954 -0.2214 -0.2414 -0.2339 -0.1009 -0.1479 -0.1904 -0.2199 -0.3077
lead 0.0619 0.1958 0.1723 0.1790 0.3949 0.5328 0.3082 0.1285 0.2118 0.3423 0.0411 0.1503 0.2453
Lampiran 6. Hasil Estimasi GARCH untuk Setiap Indikator
113
A. Hasil Estimasi GARCH untuk Indikator IMV a. IREER Dependent Variable: IREER Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 12:31 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 23 iterations Variance backcast: ON Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C IREER(-1)
-0.001944 -0.079003
0.003733 0.032607
-0.520747 -2.422903
0.6025 0.0154
C ARCH(1)
0.001112 1.321573
11.57818 5.163181
0.0000 0.0000
Variance Equation
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
-0.006538 -0.030503 0.089378 1.006533 199.0852
9.60E-05 0.255961
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-1.61E-05 0.088045 -3.001311 -2.913079 1.877727
b. IDC Dependent Variable: IDC Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 12:33 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 48 iterations Variance backcast: ON C IDC(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.002601 0.113334
0.007166 0.113834
0.363005 0.995602
0.7166 0.3194
22.95979 1.661282
0.0000 0.0967
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.005552 0.207974 0.009775 -0.013802 0.088613 0.989396 143.4044 1.997981
Lampiran 6. Lanjutan
0.000242 0.125189
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000222 0.088008 -2.144683 -2.056451 0.414592 0.742813
114
c. IM2 Dependent Variable: IM2 Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 14:41 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 84 iterations Variance backcast: ON C IM2(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.000229 0.066201
0.008994 0.123357
-0.025465 0.536663
0.9797 0.5915
14.23840 1.096040
0.0000 0.2731
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.005996 0.180687 -0.009236 -0.033266 0.089492 1.009104 139.2939
0.000421 0.164854
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-8.76E-05 0.088039 -2.081445 -1.993213 2.177553
d. ICPI Dependent Variable: ICPI Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 12:36 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 56 iterations Variance backcast: ON C ICPI(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.001055 0.616501
0.009100 0.113900
-0.115886 5.412644
0.9077 0.0000
13.75059 2.361573
0.0000 0.0182
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.003860 0.212853 0.293247 0.276419 0.074803 0.705035 167.0340 2.050558
Lampiran 6. Lanjutan
0.000281 0.090132
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000378 0.087938 -2.508216 -2.419984 17.42666 0.000000
115
e. IEQ Dependent Variable: IEQ Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 12:37 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 43 iterations Variance backcast: ON C IEQ(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.000979 0.111025
0.008474 0.100942
-0.115517 1.099884
0.9080 0.2714
11.13953 0.606660
0.0000 0.5441
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.006973 0.074926 0.012874 -0.010629 0.088506 0.987003 133.8291 1.945850
0.000626 0.123506
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-8.55E-05 0.088040 -1.997370 -1.909139 0.547773 0.650547
f. IMV Dependent Variable: IIMV Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 12:58 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 19 iterations Variance backcast: ON C IIMV(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.004405 0.004540
0.011149 0.119499
-0.395066 0.037994
0.6928 0.9697
7.668935 2.420613
0.0000 0.0155
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.015943 0.475020 0.000244 -0.023560 0.164899 3.426152 61.59169 1.799909
Lampiran 6. Lanjutan
0.002079 0.196240
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000345 0.162990 -0.886026 -0.797794 0.010254 0.998570
116
B. Hasil Estamasi GARCH untuk Indikator IBV a. LDR Dependent Variable: ILDR Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 06:22 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 93 iterations Variance backcast: ON Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C ILDR(-1)
-0.011328 -0.402478
0.003514 0.078350
-3.223447 -5.136906
0.0013 0.0000
C ARCH(1)
0.001122 3.193179
7.838870 5.673114
0.0000 0.0000
Variance Equation
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.006572 -0.017081 0.088783 0.993195 173.0100 1.545541
0.000143 0.562862
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000117 0.088035 -2.600154 -2.511922 0.277849 0.841298
b. FL Dependent Variable: IFL Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/14/06 Time: 08:37 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 15 iterations Variance backcast: ON Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C IFL(-1)
-0.000815 0.033144
0.006611 0.097979
-0.123254 0.338270
0.9019 0.7352
C ARCH(1)
0.004385 0.471736
11.54164 4.382656
0.0000 0.0000
Variance Equation
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.003706 -0.020015 0.088921 0.996268 146.3542 1.899939
Lampiran 6. Lanjutan
0.000380 0.107637
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3.95E-05 0.088044 -2.190065 -2.101833 0.156233 0.925501
117
c. DC Dependent Variable: IDC Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/14/06 Time: 08:38 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 48 iterations Variance backcast: ON C IDC(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.002601 0.113334
0.007166 0.113834
0.363005 0.995602
0.7166 0.3194
22.95979 1.661282
0.0000 0.0967
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.005552 0.207974 0.009775 -0.013802 0.088613 0.989396 143.4044 1.997981
0.000242 0.125189
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000222 0.088008 -2.144683 -2.056451 0.414592 0.742813
d. ER Dependent Variable: IER Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/14/06 Time: 08:38 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 23 iterations Variance backcast: ON C IER(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.003357 0.042483
0.001415 0.020575
-2.373072 2.064726
0.0176 0.0389
4.060037 8.269431
0.0000 0.0000
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.000177 3.455911 0.003671 -0.020051 0.088922 0.996288 217.0594 1.905281
Lampiran 6. Lanjutan
4.36E-05 0.417914
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-4.87E-05 0.088043 -3.277836 -3.189605 0.154759 0.926455
118
e. CPI Dependent Variable: ICPI Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/14/06 Time: 08:39 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 56 iterations Variance backcast: ON C ICPI(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.001055 0.616501
0.009100 0.113900
-0.115886 5.412644
0.9077 0.0000
13.75059 2.361573
0.0000 0.0182
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.003860 0.212853 0.293247 0.276419 0.074803 0.705035 167.0340 2.050558
0.000281 0.090132
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000378 0.087938 -2.508216 -2.419984 17.42666 0.000000
f. IBV Dependent Variable: IIBV Method: ML - ARCH (Marquardt) Date: 08/15/06 Time: 06:24 Sample(adjusted): 1995:03 2005:12 Included observations: 130 after adjusting endpoints Convergence achieved after 28 iterations Variance backcast: ON C IIBV(-1)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-0.015692 0.456209
0.009335 0.040864
-1.681017 11.16405
0.0928 0.0000
5.073826 5.015979
0.0000 0.0000
Variance Equation C ARCH(1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.013468 1.686954 -0.035777 -0.060439 0.293097 10.82415 8.942172
0.002654 0.336316
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-0.001196 0.284622 -0.076033 0.012198 2.487157
Lampiran 7. Sinyal dan Crisis Window untuk Krisis Nilai Tukar
119
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
1995
Indikator Komposit
imv
reer
dc
m2
cpi
eq
mar
0
0
0
0
0
0
apr
1
0
0
0
0
1
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
1
0
jul
0
0
0
0
0
0
Periode krisis ISP
Crisis Window 12 Bulan ISP
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
jan feb
1996
1997
1998
apr
0
0
0
0
0
1
may
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0
jun
1
0
1
0
0
0
1
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
1
1
0
1
0
1
mar
0
0
1
0
0
0
apr
0
0
0
1
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
1
0
0
aug
0
0
0
0
1
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
1
0
0
0
jan
0
0
1
0
0
0
feb
1
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
1
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
1
1
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
1
0
0
0
0
0
feb
1
1
1
1
0
0
mar
1
1
1
1
0
1
Lampiran 7. Lanjutan
120
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
2000
2001
dc
m2
cpi
eq
0
1
0
0
0
imv
krisis ISP
1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
dec
0
0
0
0
0
0
0
jul
1999
Indikator Komposit reer
Crisis Window 12 Bulan ISP
Periode
0
aug
0
1
0
1
0
1
sep
1
0
0
0
1
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
1
0
1
1
0
1
dec
0
0
0
0
1
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
1
0
0
0
1
may
0
1
0
0
1
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
1
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
Lampiran 7. Lanjutan
121
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
2002
2003
2004
2005
Indikator Komposit reer
dc
m2
cpi
eq
0
0
0
0
0
krisis ISP
Crisis Window 12 Bulan ISP 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Periode
imv
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
jun
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
Lampiran 7. Lanjutan
122
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
Indikator Komposit reer
dc
m2
cpi
eq
0
0
0
0
0
krisis ISP
Crisis Window 12 Bulan ISP 0 0 0 0 0 0
Periode
imv
oct
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
1
0
0
0 0 0 0 0
dec
0
0
0
1
0
0
0
jul
0
aug
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
Jumlah Sinyal
9
8
8
9
6
8
6
Lampiran 8. Sinyal dan Crisis Window untuk Krisis Perbankan
123
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
1995
Indikator Komposit
IBV
Periode Krisis
LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBC
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Crisis Window 12 Bulan IBC
jan feb
1996
1997
1998
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
1
1
1
0
1
0
1
0
0
mar
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
apr
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
jul
1
0
0
0
0
1
1
0
1
0
aug
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
1
0
1
1
1
1
0
mar
0
0
0
1
0
1
1
1
0
1
apr
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
may
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
jun
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
Lampiran 8. Lanjutan
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
124
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
1999
2000
2001
Indikator Komposit
IBV
Periode Krisis
LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
jul
0
0
0
0
0
1
1
0
1
IBC 1
aug
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
sep
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
oct
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
nov
0
1
1
1
0
0
1
1
1
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
mar
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
Crisis Window 12 Bulan IBC
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
jul
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 8. Lanjutan
125
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
2002
2003
2004
2005
Indikator Komposit
IBV
Periode Krisis
LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
jan
0
0
0
0
1
0
0
0
0
IBC 0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
dec
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
mar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
apr
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
may
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
jun
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 8. Lanjutan
Crisis Window 12 Bulan IBC 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
126
Indikator Pembentuk Sinyal Periode
Indikator Komposit
IBV
Periode Krisis
LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
aug
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
oct
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nov
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0 0 0 0 0
dec
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
6
10
9
8
12
8
8
9
8
8
Jumlah Sinyal
IBC
Crisis Window 12 Bulan IBC
127
Lampiran 9. Hasil Evaluasi Kinerja Sinyal dengan SAM A. Hasil Evaluasi Kinerja Sinyal untuk IMV
A B C D
AS-AK AS-TK TS-AK TS-TK Jumlah
REER 0.769231
REER 0.028846
REER 0.230769
REER 0.125
REER 0.666667
Matrix Skenario Sinyal dan Krisis REER DC M2 CPI 6 5 5 3 3 3 3 6 20 21 21 23 101 101 101 98 130 130 130 130
EQ 2 4 24 100 130
IMV 4 4 22 100 130
DC 0.807692
Type I Error C/(A+C) M2 CPI 0.807692 0.884615
EQ 0.923077
IMV 0.846154
DC 0.028846
Type II Error B/(B+D) M2 CPI 0.028846 0.057692
EQ 0.038462
IMV 0.038462
DC 0.192308
1 - Type II Error A/(A+C) M2 CPI 0.192308 0.115385
EQ 0.076923
IMV 0.153846
DC 0.15
Noise/Signal Ratio [(B/B+D)/(A/A+C)] M2 CPI 0.15 0.5
DC 0.625
Prob of Crisis (Pc) A/(A+B) M2 CPI 0.625 0.333333
EQ 0.5
EQ 0.333333
IMV 0.25
IMV 0.5
128
Lampiran 9. Lanjutan B. Hasil Evaluasi Kinerja Sinyal untuk IBV Matrix Skenario sinyal dan Krisis Skenario A AS-AK B AS-TK C TS-AK D TS-TK Jumlah
LDR
ROA
OCOR
FLl
IPI
DC
ER
CPI
IBV
3 3 30 94 130
3 7 30 90 130
4 5 29 92 130
5 3 28 94 130
5 7 28 90 130
7 1 26 96 130
8 0 25 97 130
4 5 29 92 130
7 1 26 96 130
Type I Error C/(A+C) LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBV
0.9091
0.9091
0.8788
0.8485
0.8485
0.7879
0.7576
0.8788
0.7879
Type II Error B/(B+D) LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBV
0.0309
0.0722
0.0515
0.0309
0.0722
0.0103
0
0.0515
0.0103
1 - Type II Error A/(A+C) LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBV
0.0909
0.0909
0.1212
0.1515
0.1515
0.2121
0.2424
0.1212
0.2121
Noise/Signal Ratio [(B/B+D)/(A/A+C)] LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBV
0.3402
0.7938
0.4253
0.2041
0.4763
0.0486
0
0.4253
0.0486
Prob of Crisis (Pc) A/(A+B) LDR
ROA
OCOR
FL
IPI
DC
ER
CPI
IBV
0.5
0.3
0.4444
0.625
0.4167
0.875
1
0.4444
0.875
.6
.4
.2
.0
-.2 ISP -.4 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 4.7. Fase Pergerakan ISP 0.8
0.4
0.0
-0.4
-0.8 IBC -1.2 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Gambar 4.8. Fase Pergerakan IBC
2002
2003
2004
2005
.6 .4 .2 .0 -.2 ISP
Threshold ISP
-.4 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 4.8. Siklikal ISP dan Threshold ISP
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Periode terjadinya krisis nilai tukar 0.0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Gambar 4.9. Periode Krisis Nilai Tukar
2002
2003
2004
2005
0.8 0.4 0.0 -0.4 -0.8 Threshold IBC
IBC
-1.2 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 4.10. Siklikal IBC dan Threshold IBC
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Periode terjadinya krisis perbankan 0.0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Gambar 4.11. Periode Krisis Perbankan
2002
2003
2004
2005