BAB II KRISIS EKONOMI DAN PERBANKAN DI INDONESIA
II.1. Krisis Ekonomi di Indonesia II.1.1. Kondisi Indonesia Sebelum Terjadi Krisis Pada Juli 1997 Seperti kondisi pada beberapa tahun sebelum tahun 1997, perekonomian Indonesia dalam semester pertama tahun 1997 masih menunjukkan dinamika yang tinggi. Laju inflasi cenderung semakin rendah sehingga mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang lebih banyak modal asing masuk, khususnya ke sektor swasta. Berbagai perkembangan ini, ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi faktor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi. permintaan domestik yang didorong oleh kegiatan investasi maupun konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan tersebut. Dalam paruh pertama tahun 1997, laju inflasi juga masih relatif rendah, yakni hanya 2,5%. 22 Sejalan dengan dinamika perekonomian yang masih tinggi, kebijakan moneter hingga pertengahan tahun 1997 masih diarahkan untuk mengendalikan permintaan dalam
negeri
dalam
rangka
memelihara
stabilitas
makroekonomi.
Upaya
pengendalian permintaan dalam negeri tersebut dilakukan karena ekspansi kredit perbankan ke berbagai sektor property dan sektor konsumtif masih sangat kuat, dan
22
Syahril Sabirin, Perjuangan Keluar dari Krisis, Percikan Pemikiran. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2003. hlm.xvii
pada saat bersamaan didorong pula oleh derasnya arus masuk modal luar negeri, khususnya pinjaman luar negeri swasta yang berjangka pendek. 23 Kegiatan perbankan sampai dengan pertengahan tahun 1997 secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat, sementara ekspansi kredit tetap kuat terutama sektor property. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya bank swasta nasional, meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit nonlancar pada beberapa bank nasional cenderung meningkat sementara efisiensi usaha memburuk. Perkembangan tersebut menyebabkan tingginya kerentanan perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang terjadi dalam perekonomian. 24 Perkembangan makroekonomi yang mantap sebelum krisis telah memberikan keyakinan investor baik dalam maupun luar negeri atas prospek perekonomian Indonesia sehingga semakin mendorong masuknya arus modal dan semakin memperdalam proses integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian internasional. Akan tetapi, di sisi lain dinamika perekonomian yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kelemahan informasi, baik mutu maupun ketersediaannya, semakin memperburuk 23 24
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998. Jakarta. hlm.65 Bank Indonesia, Op. Cit., hlm.98-99
kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan Pemerintah. Berbagai faktor ini memperlemah
kondisi
fundamental
mikroekonomi
sehingga
meningkatkan
kerentanan perekonomian terhadap guncangan-guncangan eksternal. 25 Melemahnya fundamental mikroekonomi dapat dilihat pada menurunnya efisiensi pengelolaan dunia usaha dalam beberapa tahun terakhir sebelum krisis. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya distorsi dalam pengalokasian sumber daya yang dilakukan baik oleh sektor swasta maupun oleh sektor pemerintah sehingga mendorong meningkatnya konglomerasi usaha yang monopolistik dan perilaku pencari rente (rente seeking). Meskipun kegiatan investasi dan produksi naik dengan cepat dalam lima tahun terakhir, pemanfaatan sumber daya, terutama modal, menjadi kurang optimal dan cenderung terkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang produktif. Akibatnya, perekonomian menjadi kurang efisien seperti tercermin pada naiknya incremental capital output ratio (ICOR) dalam tahun 1992-1997, yakni menjadi rata-rata sekitar 4,2 dibandingkan dengan rata-rata sekitar 3,1 pada tahun 1988-1991. Kelemahan-kelemahan fundamental mikroekonomi tersbut diatas mengakibatkan ketergantungan pada sektor luar negeri semakin besar, khususnya utang luar negeri sektor swasta. Ketergantungan sektor swasta kepada sektor luar negeri tersebut terus meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi sektor swasta, sehingga hutang luar negeri swasta meningkat tajam. Sejak lima tahun terakhir sebelum krisis, hutang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% per tahun dibandingkan hutang luar negeri pemerintah sebesar 0,4% per tahun sehingga pangsa hutang luar negeri swasta meningkat dari 33,9% pada akhir Maret 25
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998. Jakarta, hlm.102.
1994 menjadi 60,7% pada akhir Maret 1998. Keadaan itu bertambah rentan karena semakin besar hutang luar negeri tersebut berjangka pendek dan tidak dilindungi nilai (unhedged). 26
II.1.2. Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia Krisis moneter yang melanda di negara-negara Asia pada pertengahan tahun 1997 berawal dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand 27 yaitu pada tanggal 14 Mei 1997 dimana baht dilanda serangan spekulan. 28 Pada waktu Thailand dilanda krisis moneter, pemerintah Indonesia dan sejumlah pakar ekonomi, berkeyakinan bahwa krisis moneter di Thailand tersebut tidak akan berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Argumentasi dari pemerintah dan para pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relative cukup tinggi dan laju inflasi terkendali,
26
Bank Indonesia, Op. cit., hlm. 1 dan 2 Krisis keuangan di Thailand dipicu lambatnya pertumbuhan ekonomi serta ketidakstabilan politik di negeri itu. Dimulai pada pertengahan tahun 1996, ketika Bangkok Bank of Commerce (BBC) lumpuh. Dalam stehun kemudian perusahaan real estate di lembaga reksadana terbesar di negeri itu ikut runtuh. Rentetan peristiwa ini menyingkap kolusi dan korupsi di dua sektor penting Thailand: industry dan keuangan, khususnya perbankan dan reksadana. Mengetahui kebobrokan itu, bank-bank asing menghentikan pinjaman dan perusahaan-perusahaan reksadana internasional mulai menarik kembali dana mereka dari bank-bank Thailand, serta menukarkan baht ke dollar AS. Maka terjadilah tekanan terhadap nilai tukar mata uang Thailand terhadap dollar. Seperti juga di Indonesia, melihat nilai tukar baht terhadap dollar cenderung melemah, atau mengira baht akan segera di devaluasi, maka para pengusaha domestic pun ramai-ramai melepas baht, membeli dollar AS dalam jumlah besar untuk berbagai tujuan, terutama membayar utang luar negeri, sehingga nilai tukar baht terhadap dollar AS merosot terus. Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998. hlm. 11-12. 28 Pada saat serangan tersebut terjadi, Bank Sentral Muangthai mencoba mempertahankan secara matimatian sistem nilai tukar baht tersebut dengan mempergunakan cadangan devisa mereka, akan tetapi usaha tersebut hanya bertahan sementara, ketika cadangan devisa semakin menipis, akhirnya Bank Sentral Muangthai harus mengakui kekalahan mereka dengan mengambangkan mata uang baht pada tanggal 2 Juli 1997. Langkah tersebut serta merta menjatuhkan nilai mata uang tersebut. Dalam waktu singkat baht turun lebih 30 persen. Cyrillus Harinowo, Op.,Cit., hlm.23 dan 205 27
dibawah dua digit, bahkan tingkat inflasi tahun 1996 lebih rendah dari tahun sebelumnya. Krisis yang terjadi di Thailand tersebut akhirnya merambat kemana-mana. Malaysia, Korea, dan Indonesia merupakan beberapa negara yang paling terkena dampaknya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ikut juga merosot sejak bulan Mei 1997, dimana pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah untuk menghadapi serangan spekulan, diantaranya dengan memperlebar rentang nilai tukar rupiah pada tanggal 11 Juli 1997 dari 8% menjadi 12%. Tetapi langkah tersebut tidak dapat meredakan serangan spekulasi terhadap rupiah. 29 Keadaan tersebut terus berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat, sehingga pada akhirnya tanggal 15 Agustus 1997, Pemerintah harus mengambil keputusan yang pahit, yaitu melakukan pengambangan mata uang sebelum pada akhirnya cadangan devisa pemerintah akan terkuras sebagaimana pengalaman negara tetangga. Langkah ini ternyata menimbulkan depresiasi yang hebat sehingga timbullah kepanikan dalam perekonomian pada saat itu. Panik melihat depresiasi pemerintah yang begitu cepat, pemerintah mengambil langkah lain yaitu memperketat likuidasi dengan menaikkan tingkat suku bunga guna menarik kembali modal ke dalam negeri. Cara ini hanya memperlambat jatuhnya rupiah tetapi tidak dapat mengembalikan nilai rupiah ke posisi sebelumnya.
29
Sepekan sejak pelebaran intervensi, rupiah cenderung semakin melemah. Dari posisi Rp.2432/ US$ pada Jum’at 11 Juli, rupiah ditutup pada posisi Rp.2511/ US$ pada Jum’at berikutnya (18 Juli). Dalam sepekan rupiah anjlok 78,25 poin. Rupiah bahkan menembus Rp.2600/ US$ pada 21 Juli 1997, suatu kejadian yang jarang sekali terjadi pada saat itu, karena Indonesia masih menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Arif Budisusilo, Menggugat IMF Pergulatan Indonesia Bangkit dari Krisis. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2001. hal.13.
Krisis moneter dan perbankan mengakibatkan krisis kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial. Kemudian mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah bergejolak. Krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis moneter, krisis kepercayaan, dan krisis sosial, sehingga timbullah krisis ekonomi yang semakin lama semakin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang lainnya dan begitu seterusnya. Sehingga terjadilah Vircious Circle, krisis ganda bagaikan benang kusut. 30 Jatuhnya nilai tukar mata uang tersebut bersama-sama dengan penarikan modal dari beberapa negara oleh pengelola modal asing untuk dialihkan ke negara lain. Dalam konstelasi ekonomi politik internasional sekarang ini, batas-batas negara sudah tidak begitu berpengaruh, sehingga sejumlah investor dapat dengan mudah menempatkan modalnya khususnya modal jangka pendek dimana saja. Modal jangka pendek ini ditanam disejumlah negara untuk beberapa lama dan tentunya selalu diawasi oleh pengelolanya, karena tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pemulangan keuntungan yang besar. Maka modal ini akan dengan mudah dipindahkan oleh pemiliknya jika situasi tidak menguntungkan. Secara teori dikatakan bahwa menigkatnya modal jangka pendek secara alamiah akan meningkatkan kerentanan sebuah mata uang, dalam hal ini rupiah terhadap serangan spekulatif. 31 Aktivitas ini dipandang sebagai mewakili kapitalisme yang dalam kebaikan maupun keburukannya tergantung dari akibat yang ditimbulkan. 30
Umar Basalim, Moch. Rum Alim, Helma Oesman, Perekonomian Indonesia : Krisis dan Strategi Alternatif. Jakarta: UNAS dan PT Pustaka Cidesindo, 2000. hal.7-8. 31 H.W. Ardnt and Hall Hill, South East Asia’s Economic Crisis, Origin, Lessons, and The Way Forward. Singapore: Seng Lee Press Pte, 1999. hal. 31.
Sejumlah pemimpin negara, akomodasi, dan analisis pasar dalam sebuah intitusi multilateral meyakini bahwa spekulasi yang tidak terduga dari para pedagang mata uang dalam memicu terjadinya krisis. Spekulator diduga keras meminjam mata uang Asia Timur untuk kemudian dijual dan ditukar dalam bentuk US dollar untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Aktivitas ini sama sekali mengabaikan implikasi negara yang kemungkinan besar terjadi pada mata uang dan perekonomia terkait, dan hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Faktor ini mempengaruhi keyakinan public dan investor yang pada fase berikutnya berpengaruh pada ekonomi sektor riil. Faktor utama yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia ini adalah depresiasi nilai tukar rupiah yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang sejumlah negara di kawasan Asia, bukan oleh lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Dengan kata lain, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh Contagion Effect, bukan oleh lemahnya fundamental ekonomi. di lain pihak ada yang berpendapat bahwa krisis ekonomi di Indonesia tidak disebabkan semata-mata oleh Contagion Effect tetapi juga oleh lemahnya fundamental ekonomi. kelemahan ini bukanlah berasal dari fundamental ekonomi makro melainkan dari fundamental ekonomi mikro. Sebelum Indonesia terkena dampak dari krisis mata uang Thailand, Bank Indonesia masih meramalkan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan baru dalam perekonomian Indonesia. Proyeksi itu merujuk pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dekade 1980-an hingga pertengahn 1990-an; yang dialami juga oleh
negara Asia Timur termasuk Thailand, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Singapura dan Malaysia. Kinerja perekonomian Asia Timur sebelum krisis sering disebut-sebut sebagai “Keajaiban Asia” atau The Asian Miracle. Tetapi julukan tersebut tidak berarti apaapa. Sebab pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berasal dari peningkatan produktivitas dan efisiensi ekonomi melainkan adanya masukan dari modal asing yang menciptakan bubble. Perekonomian menggelembung melebihi kapasitasnya sehingga seperti balon yang mudah meletus. Hal ini terjadi karena sebagian besar keajaiban ekonomi diperoleh berkat derasnya arus modal asing. Modal yang masuk terutama berbentuk investasi langsung, misalnya untuk pendirian pabrik, pinjaman bank atau modal portofolio melalui bursa saham. Modal asing mengalir masuk dengan derasnya pada masa lalu berkat persepsi positif dan kepercayaan. Para pemilik dana luar negeri percaya terhadap prospek ekonomi dan perusahaan di Indonesia, karena penilaian berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF selalu positif. Indonesia berpenduduk 200 juta lebih pada dekade 1990-an. Hal ini berarti menyimpan potensi pasar domestik yang luar biasa. Selain itu, kekayaan alam Indonesia merupakan dua atau tiga terbesar dari negara-negara dengan kekayaan alam dunia. Optimisme sering dikemukan anggota dewan moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Ekonomi. Beberapa kali Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia menyebutkan fundamental ekonomi cukup baik. Pemerintah juga menilai depresiasi rupiah saat itu merupakan konsekuensi sistem nilai tukar mengambang terkendali,dimana hanya ada dua
kemungkinan: menguat atau melemah. Dengan kata lain, pemerintah masih percaya bahwa guncangan terhadap rupiah merupakan tindakan spekulatif yang bersifat sementara. Konsentrasi kredit perbankan ke sektor property, pengawasan sistem perbankan yang tidak efektif, keteledoran para bankir dalam menyalurkan pinjaman, besarnya utang jangka pendek, masalah korupsi dalam birokrasi pemerintah dan swasta sehingga memicu inesifisiensi perekonomian selama bertahun-tahun, serta tidak adanya mekanisme pemantauan dalam lalu lintas devisa, akhirnya mengakibatkan krisis pada akhir 1997.
II.1.3. Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Krisis Periode 1997-1999 Tahun 1997/1998 merupakan tahun terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang terjadi sejak Juli tahun 1997, kemudian krisis berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Memasuki pertengahan tahun 1997, situasi moneter berubah dengan cepat. Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan depresiatif yang sangat besar yang berawal dari krisis nilai tukar mata uang Thailand dan kemudian menyebar ke negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia. Penyebab utama tekanan nilai tukar tersebut adalah menurunnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia karena adanya kesamaan karakteristik perekonomian dengan Thailand. Hal ini menyebabkan turunnya arus modal luar negeri yang selama ini menjadi bagian penting dari pembiayaan pembangunan nasional. Keadaan ini diperburuk dengan kegiatan
spekulasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan memanfaatkan merebaknya berbagai isu politik yang menambah ketidakpastian berusaha. Perkembangan tersebut mengakibatkan nilai rupiah selama paruh kedua tahun1997/1998 bergejolak dan terdepresiasi ke tingkat yang sangat rendah. Lemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga sebagai bagian upaya mengatasi tekanan rupiah tersebut kemudian menyebabkan tekanan likuiditas pada perbankan. Dalam rangka mengatasi gejolak nilai tukar rupiah tersebut, Pemerintah pada awalnya hanya bertumpu pada kebijakan moneter dengan pertimbangan bahwa gejolak nilai tukar akan berlangsung sementara. Pada awal krisis, Bank Indonseia melebarkan rentang kendali nilai tukar dari 8% menjadi 12% yang disertai dengan intervensi. Dengan semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah, pada 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas. Pengetatan likuiditas dan tingginya suku bunga dalam periode Juli-Agustus 1997 telah menyebabkan tekanan yang sangat berat pada sektor perbankan dan sektor riil. Mengingat semakin tertekannya sektor riil dan semakin memburuknya kondisi perbankan, maka Pemerintah mencanangkan paket kebijakan 3 September 1997 yang mencakup sepuluh langkah pemerintah untuk memulihkan ekonomi. secara umum paket
kebijakan
tersebut
tetap
ditujukan
untuk
menciptakan
stabilisasi
makroekonomi. Namun, kebijakan yang diambil tidak lagi hanya bertumpu pada kebijakan moneter, tetapi mencakup pula langkah-langkah di bidang fiskal, perbankan, dan pasar modal. Langkah-langkah dimaksud antara lain meliputi penghematan anggaran, pelonggaran moneter secara berhati-hati sesuai dengan
kondisi likuiditas perekonomian, penyehatan sistem keuangan terutama perbankan, dan penghapusan batas maksimum pembelian saham oleh investor asing di pasar modal. Langkah-langkah tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. 32 Memasuki tahun 1998, situasi moneter dan perekonomian semakin tidak menentu yang disebabkan antara lain asumsi-asumsi yang digunakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 1998/1999 kurang mencerminkan kenyataan. Pengumuman Pemerintah tentang RAPBN 1998/1999 ditanggapi secara negatif oleh pelaku pasar sehingga nilai tukar rupiah merosot tajam. Disamping itu, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja dan ditutupnya berbagai cabang usaha telah menambah kekhawatiran masyarakat terhadap situasi perekonomian yang semakin memburuk. Ketidakjelasan informasi tentang besarnya utang luar negeri swasta yang jatuh tempo juga semakin menambah ketidakpastian yang mendorong tindakan-tindakan spekulatif di pasar valas. Hal ini mengakibatkan nilai tukar rupiah semakin merosot sehingga mencapai Rp.9.500 per US$ pada akhir minggu pertama Januari 1998. Selama tahun 1999, proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Dengan latar belakang permasalahan yang terjadi dalam tahun 32
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998. hlm.8
1997 dan 1998, kebijakan yang diambil dalam tahun 1999 diarahkan untuk membenahi tiga mata rantai yang menghambat pemulihan ekonomi, yaitu ketidakstabilan moneter, kondisi perbankan yang lemah, dan kondisi dunia usaha yang dililit utang. Dalam tahun 1999, beberapa kebijakan yang telah diambil telah mulai memberikan hasil yang positif dan proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan mantap. Kondisi moneter dan perkembangan sosial politik semakin stabil dan kondisi perekonomian dunia yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan aktifitas ekonomi. indikator-indikator kestabilan moneter seperti nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga, dan pasar modal menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. 33 Nilai tukar rupiah yang selama empat bulan pertama tahun 1999 mengalami depresiasi, pada akhir Juni 1999 telah menguat menjadi Rp6.630 per USD. Pada bulan berikutnya rupiah relatif stabil pada kisaran Rp6.800 hingga Rp7.400.
II.2. Krisis Perbankan di Indonesia Periode 1997-1999 II.2.1. Kondisi Perbankan Indonesia Sebelum dan Awal Krisis Salah satu kelemahan mendasar dari “cirri sistem ekonomi kita” adalah macetnya peran lembaga-lembaga (institusional), perbankan dalam grand design perekonomian nasional. Jika lembaga-lembaga semacam ini (perbankan) kita abaikan, maka perekonomian sulit diramalkan perilakunya.
33
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1999. Jakarta. hlm. 1
Perbankan nasional, baik bank pemerintah maupun bank swasta, pada sebelum tahun 1997 sebenarnya sudah kolaps karena dikelola secara tidak prudent (hati-hati) dan oleh pemiliknya digunakan sebagai kasir untuk membiayai proyekproyek dalam satu kelompok perusahaan. Hampir semua bank swasta besar seperti Bank BCA, Bank Danamon, BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia), Bank Niaga, Bank Dharmapala, dll, sebagian besar alokasi kreditnya diberikan kepada perusahaan dalam satu kelompok usaha banyak dilanggar, dan ketika perusahaan itu macet sehingga tidak mampu mengangsur kewajibannya, seketika itu juga perusahaan itu macet. Begitu juga dengan keberadaan bank-bank BUMN milik pemerintah semacam Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI. Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit masih tetap kuat, terutama ke sektor propeti. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada bank swasta nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening Kelemahan fundamental mikroekonomi, yang tercermin dari struktur perbankan ini dan mengakibatkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi antara lain disebabkan oleh lima faktor : 1. adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan telah menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi
perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi. 2. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Apalagi independensi bank sentral pada periode tersebut sangat kurang sehingga menyebabkan langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan. 3. Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank. 4. Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi risiko yang berlebihan. 34 Awal kesulitan mulai terjadi ketika nilai tukar rupiah melemah sejak Juli 1997, perbankan nasional sudah mulai terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan kewajiban bank dalam mata uang rupiah untuk memenuhi kewajiban yang berdenominasi valuta asing naik secara tajam. Di lain pihak, tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing, nilai ekivalen rupiahnya dalam pembukuan 34
Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 1997/1998 Hal. 2‐3
bank juga mengalami kenaikan sehingga debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Akibatnya, bank-bank mengalami kesulitan untuk memenuhi penarikan dana oleh para krediturnya. Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan yang kemudian berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar. Kesulitan likuiditas semakin terasa ketika penabung, deposan, dan kreditur lainnya mulai menarik dana dari beberapa bank. Akibatnya, banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan bahkan mengalami saldo negatif pada rekening giro mereka pada Bank Indonesia. Kesulitan likuiditas akibat penarikan dana oleh masyarakat terus berlangsung dan meluas pada sejumlah bank sehingga terjadinya saldo debet pada rekening giro bank-bank pada Bank Indonesia tidak dapat dihindari dan jumlahnya juga semakin besar. Bank-bank yang tergolong sehat pun mengalami kesulitan likuiditas sehingga juga mengalami saldo debet pada rekeningnya di Bank Indonesia. Penarikan dana tersebut sebagian besar dilakukan melalui kliring. Hingga 31 Desember 1997 terdapat saldo giro negatif 25 bank sebesar Rp20,9 triliun.
II.2.2. Penyebab Terjadinya Krisis Perbankan 1997/1998 Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan perekonomian yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Faktor yang memperparah kondisi perbankan di
Indonesia adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan. Pada saat awal terjadinya krisis, dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia. Tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan yaitu pelebaran rentang kurs intervensi, mengubah sistem nilai
tukar
dari
mengambang
terkendali
(managed
floating)
menjadi
pengambangbebasan rupiah (free floating), intervensi BI dan pengetatan likuiditas, terjadi proses menjalar dari proses penularan tersebut, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan. Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Krisis tersebut membawa kepanikan kepada para nasabah bank karena mahalnya kredit bank, sehingga sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan produksi, perdagangan, investasi maupun konsumsi). Selanjutnya, perkembangan krisis keuangan ini menjalar menjadi krisis sosial dimana perusahaan yang tidak memperolah pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya.
II.2.3.Kesepakatan Pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund untuk Mengatasi Krisis Perbankan Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penganggulangan akibat krisis. Namun, karena masalah yang menimpa perekonomian masih terus meluas, maka pada 8 Oktober 1997 pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan kepada IMF dan menunjuk Widjojo Nitisastro untuk mengkoordinasikan langkah-langkah penanganan terhadap gejolak ekonomi yang berkembang. 35 Kesepakatan antara Pemerintah dan IMF bertalian dengan upaya mengatasi krisis dan restrukturisasi perbankan tertuang dalam Memorandum on Economic and Financial Policies yang disampaikan dengan surat Pemerintah kepada Managing Director IMF yang juga disebut Letter of Intent (LoI). Program restrukturisasi perbankan juga mengembalikan kepercayaan terhadap perbankan yang disusun oleh Pemerintah dengan bantuan teknis dari staf IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) diawali dengan LoI tanggal 31 Oktober 1997. Program restrukturisasi perbankan dan keuangan selain secara rinci disebutkan dalam LoI tersebut, juga termuat dalam suatu pengkajian program untuk memperkuat rehabilitasi sektor perbankan secara menyeluruh yang disusun oleh IMF.
35
J. Soedrajad Djiwandono, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, Jakarta, PT Pustaka LP3ES Indonesia,2001, hlm. 67.