KRIOPRESERVASI DALAM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN Oleh : Harry Kurniawan Gondo Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar ABSTRAK Teknologi Reproduksi Bantuan (TRB) memegang peranan penting dalam penanganan infertilitas pada masa kini. Keberhasilan IVF (In Vitro Fertilization) tahun 1978 pada awalnya ditujukan untuk indikasi kelainan pada pihak wanita. Sekitar tahun 80-an, IVF dicoba diterapkan pada infertilitas pria tetapi hasilnya masih rendah dan memiliki keterbatasan. Baru pada tahun 1992 dengan dipublikasikannya kehamilan pertama dengan teknik ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection), terjadi peningkatan angka keberhasilan yang sangat nyata pada penanganan infertilitas pria berat. Penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat.
ABSTRACT Assisted Reproduction Technique (ART) play a part important in handling of infertilitas is present day. Efficacy of IVF (In Vitro Fertilization) year 1978 initially addressed for the indication of disparity on the side of woman. Around year 80-an, IVF tried to be to be applied man infertilitas but its result still lower and have limitation. New in the year 1992 publicized of first pregnancy with technique of ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injections), happened the make of very real efficacy number handling of heavy man infertilitas. Depository embryo in the form of frost as one of bank of genetika represent depository effort peaceful embryo to be able to exploited a period of coming or for is sudden. this matter very needed to see that gamet have life endurance which relative shorten. Kata Kunci : TRB, Krioprservasi, Gamet
PENDAHULUAN Teknologi kriopreservasi oosit, sperma dan embrio banyak dikembangkan pada berbagai spesies hewan dan manusia bersamaan dengan kemajuan pesat teknologi produksi embrio baik secara in vivo maupun in vitro. Walaupun viabilitas sperma, oosit dan embrio segar lebih baik daripada setelah pembekuan, namun teknologi ini berkembang pesat untuk menangani ketersediaan gamet (sperma dan oosit) pada saat in vitro fertilisasi serta kelebihan embrio hasil produksi in vivo maupun in vitro. Teknologi ini memungkinkan penyimpanan oosit dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga bisa dimanfaatkan dalam kondisi tertentu. Pada program ART (Assisted Reproduction Technique), pasien dengan kondisi Policystic Ovary (PCO) dimana tidak memungkinkan dilakukan transfer embrio (TE) pada siklus yang sedang berjalan, maka strategi pembekuan oosit setelah fertilisasi (tahap 2PN) maupun pembekuan embrio tahap pembelahan (cleavage) dan blastosis menjadi solusi untuk dilakukan transfer embrio dimasa datang pada kondisi yang lebih baik. Sampai saat ini teknologi pembekuan embrio telah menjadi program rutin pada banyak klinik infertilitas untuk kepentingan transfer embrio dikemudian hari tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap bayi yang dilahirkan. Penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya
penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat. Solusi untuk masalah ini adalah pengawetan gamet wanita dalam suhu dingin. Sterilitas iatrogenik yang timbul setelah pemberian kemoterapi atau radioterapi pada kondisi neoplasma dapat dihindari dengan pengawetan dari oosit, sama seperti penyimpanan sperma dalam suhu dingin. Hal ini disebabkan karena gambaran biologis dari oosit, dan telah muncul sejumlah pertanyaan mengenai induksi dari aneuploidy setelah gamet terpapar dengan cryoprotectant dan pembekuan serta proses pencairan. Oosit, faktanya, dihambat saat ovulasi pada metafase dari pembelahan meiosis kedua, dimana 23 kromosom dikromatid terikat dengan mikrotubulus dari benang meiosis. Pada fase ini, dimana oosit amat peka terhadap perubahan suhu dan akhirnya mengalami depolimerisasi dari benang mikrotubulus yang disebabkan karena cryoprotectant atau es kristal yang terbentuk selama proses pembekuan dan pencairan, pemisahan normal dari kromatid pada saat fertilisasi dapat mengalami kerusakan, maka dari itu menyebabkan aneuploidy setelah pengeluaran dari badan polar kedua.
METODE KRIOPRESERVASI
1. 2. 3. 4. 5.
Terdapat lima langkah penting pada prosedur penyimpanan dengan suhu dingin ini : Paparan awal dengan cryoprotectant, bahan yang digunakan untuk mengurangi kerusakan seluler yang disebabkan karena kristalisasi air. Mendinginkan suhu sampai dibawah 0ºC. Penyimpanan Pencairan kembali Dilusi dan menyingkirkan cryoprotectan, mengembalikan fisiologi dari microenvironment, sehingga membuat oosit ini mampu dikembangkan lebih jauh. Momen paling kritis untuk mempertahankan kehidupan seluler adalah pada fase awal dari pembekuan dengan suhu yang sangat rendah dan pengembalian akhir ke kondisi fisiologis awal. Apabila suhu rendah yang cukup telah dicapai (normalnya -196ºC, suhu dari nitrogen cair), penyimpanan, bahkan untuk periode waktu yang cukup lama, tidak akan memberikan pengaruh apapun pada survival rate dari oosit tersebut. Pada suhu ini, faktanya, tidak tersedia cukup energi untuk kebanyakan reaksi fisiologis dan molekul air akan terbentuk dalam struktur kristal. Kerusakan dari DNA yang disebabkan karena radiasi kosmik merupakan satu-satunya kerusakan gamet dan embrio
yang disimpan pada suhu demikian. Ketika oosit didinginkan pada suhu diantara -5ºC sampai -15ºC, pembentukan es pertama kali diinduksi oleh media ekstraseluler sebagai proses yang dinamakan dengan seeding. Saat suhu menurun, maka jumlah es akan meningkat dan terlarut pada media ekstraseluler. Hasilnya adalah pembentukan gradien osmotik. Sebagai hasil dari gradien ini, air akan tertarik dari sitoplasma ke media ekstraseluler, dan sel akan menjadi lebih kecil. Apabila proses ini berjalan cukup lambat, maka aliran air keluar dari sel akan menurunkan kemungkinan nukleasi es dalam sel, pada suhu sekitar -15ºC. Untuk sel dengan rasio surface atau volume yang rendah, seperti gamet, diperlukan suhu pembekuan yang rendah agar didapatkan aliran air yang cukup untuk mengalir keluar dari sel. Dengan cara seperti ini, kristal es intraseluler yang terbentuk akan menjadi cukup sedikit untuk menimbulkan kerusakan pada komponen intraseluler. Perlu ditekankan, bagaimanapun juga, bahwa peningkatan angka pembekuan akan menurunkan survival rate dari semua jenis sel. Angka pembekuan yang optimal bergantung pada banyak variabel : komponen air sitosolik, perubahan permeabilitas membran, permukaan membran, dan suhu. Komponen air intraseluler, disamping
menimbulkan kerusakan mekanik pada saat pembekuan, juga akan menyebabkan kerusakan bahan pada saat pencairan kembali, sebagai akibat dari peningkatan volume selama proses ini berlangsung. Apabila proses pencairan berlangsung lambat, maka survival rate akan menurun karena kristal yang terbentuk pada sitosol akan memiliki waktu yang cukup untuk berkembang, dan maka dari itu akan menimbulkan kerusakan pada struktur intraseluler. Rekristalisasi dan shok osmotik, yang terjadi selama proses pencairan dari oosit yang beku, akan menurunkan suvival rate secara efektif. Rekristalisasi adalah proses dimana air kembali masuk ke dalam sel menjadi keadaan yang padat disekitar kristal es yang telah terbentuk sebelumnya pada sitosol. Ketika suhu meningkat menjadi -40ºC, beberapa molekul air akan kembali pada sepanjang jalur yang dilalui selama proses pembekuan, maka dari itu molekul air akan kembali ke sitosol dan membentuk kembali ikatan hidrogen dengan kristal es yang telah ada dan meningkatkan dimensi sel secara bermakna. Baik proses pencairan maupun proses pembekuan kemungkinan akan mempengaruhi berulangnya fenomena ini. Dehidrasi sel kemungkinan tidak memadai setelah pembekuan cepat, menimbulkan pembentukan masa intraseluler yang
besar apabila proses pencairan berlangsung sangat lambat. Pembentukan es intraseluler dapat dicegah apabila pencairan cepat terjadi di inti nukleasi dari es. Shock osmotik kemungkinan diperlukan selama proses pencairan cepat. Faktanya, apabila cryoprotectant yang diletakkan sebelumnya pada sel tidak berdifusi cukup cepat untuk mencegah masuknya air, maka oosit akan membengkak dan akhirnya pecah. Pada fase ini, dua kebutuhan yang saling berlawanan harus dihadapi : pada satu sisi, waktu kontak antara sel dengan bahan cryoprotectant pada suhu kamar harus dikurangi sampai tingkat yang paling minimal karena cryoprotectant akan memicu sitotoksik yang bergantung pada suhu; pada sisi lainnya, proses dilusi dari cryoprotectant pada sitosol harus dikerjakan dengan amat lambat untuk mencegah reduksi osmotik ekstraseluler yang berlebihan, yang akan menyebabkan masuknya air dalam jumlah besar ke dalam sel yang akan mengakibatkan lisisnya sel. Keberhasilan proses pembekuan tergantung dari jenis embrio melalui upaya pemilihan media pembekuan (krioprotektan) yang tepat, pengaturan suhu baik saat pendinginan (cooling), penyimpanan (storage), dan pencairan (warming) dan manipulasi embrio sebagai upaya pengeluaran air sebanyak mungkin dari dalam embrio untuk menghindari terbentuknya kristal es.
VARIASI TEKNIK KRIOPRESERVASI Banyak tehnik pengawetan suhu dingin yang telah diterapkan pada oosit manusia. Penggunaan gliserol, yang secara umum dianggap kurang toksik daripada bahan cryoprotectant. Peranan dari equilibration oosit baik pada Me2SO (15 oosit) atau gliserol (13 oosit) telah dibandingkan. Setelah diawetkan dengan suhu dingin, oosit kemudian di-inseminasi-kan, namun hanya ada satu oosit yang membelah menjadi stadium dua sel setelah diawetkan dengan suhu dingin pada Me2SO dan tidak ditemukan pembelahan pada oosit yang diawetkan pada suhu dingin dengan gliserol atau yang terpapar dengan gliserol tanpa pendinginan. Pembuahan dari oosit segar didapatkan setelah pendinginan lambat pada Me2SO dan vetrification selanjutnya yang dinamakan dengan solusi VS1, yang mengandung 2.62 mol/l Me2SO, 2.62 mol/l acetamide, 1.3 mol/l PrOH, dan 6% polyethlene glycol, dan telah berhasil digunakan untuk vetrification dari embrio murine. Hasil yang bervariasi telah
didapatkan dari pengawetan oosit murine pada suhu dingin dengan menggunakan campuran ini, dengan malformasi fetus telah dilaporkan setelah terpapar dengan solusi vetrification dengan atau tanpa pendinginan. Oosit manusia terpapar dengan VS1 untuk periode waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan yang digunakan untuk penelitian embrio yang sebenarnya dan sukrosa digunakan untuk membantu agar bahan cryoprotectant dapat berdilusi. Hendaknya dicatat bahwa komponen acetamide dari VS1 merupakan bahan karsinogen bagi manusia. Walaupun semua kelahiran hidup yang dicapai saat ini menggunakan Me2SO sebagai bahan cryoprotectant, namun perhatian beralih pada metode pendinginan lambat dalam PrOH yang mengikuti penggunaan PrOH untuk pembekuan embrio. Beberapa keberhasilan telah dilaporkan belakangan ini seiring dengan vetrification oosit manusia.
PENYIMPANAN OOSIT IMMATURE DENGAN SUHU DINGIN Masalah utama dari pengawetan oosit matur pada suhu dingin berasal dari sensitifitas gelendong mikrotubuler terhadap suhu dingin dan bahan cryoprotectant, satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyimpan oosit immatur pada stadium germinal vesikel dimana tidak dijumpai adanya gelendong mikrotubuler. Penggunaan oosit immatur juga berarti bahwa pasien akan menerima rangsangan hormonal yang lebih sedikit untuk menghasilkan oosit atau oosit mungkin akan dihasilkan tanpa rangsangan apapun. Oosit immatur yang mampu melakukan pembelahan meiosis dapat diperoleh transvaginal, walaupun prosedur ini memerlukan modifikasi dari tehnik pengambilan oosit matur. Penyimpanan oosit manusia yang immatur pada suhu dingin dari pasien yang mendapat rangsangan hormonal telah menghasilkan pemulihan dan pematangan menjadi metafase II. Oosit manusia yang immatur yang diperoleh dari ovarium yang tidak dirangsang yang didinginkan secara cepat dengan 3.5
mol/l Me2SO ditambah dengan 0.5 mol/l sukrosa ditemukan mampu untuk mengalami kematangan meiosis setelah pencairan namun dijumpai adanya kondensasi kromosom prematur dan sebagian pada hampir setengah dari oosit yang ditangani dimana fenomena demikian tidak pernah dijumpai pada oosit murine. Kerugian dari pembekuan oosit immatur pada suhu dingin termasuk masih diperlukan prosedur pematangan tambahan. Walaupun pematangan oosit invitro seringkali berhasil pada beberapa spesies binatang, namun tidak demikian halnya pada oosit manusia. Sejauh ini hanya sedikit kehamilan yang berhasil dicapai yang berasal dari oosit immatur. Disamping itu immatur oosit harus disimpan bersama dengan sel kumulus yang intak karena sel ini sangat diperlukan agar pematangan bisa terjadi, pada kasus yang demikian protokol penyimpanan pada suhu dingin nampaknya perlu dilakukan kompromi antara protokol terbaik untuk oosit dan untuk sel kumulus.
VARIABEL YANG TERKAIT DENGAN OOSIT Ukuran dari oosit mempengaruhi survival rate secara keseluruhan, kemungkinan pembentukan es intraseluler juga akan bergantung pada ukuran oosit ini. Sperma manusia merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan peranan volume sitoplasmik terhadap survival rate pada penyimpanan dengan suhu dingin ini; gamet laki-laki berukuran 180 kali lebih kecil daripada gamet wanita, dan survival ratenya jauh lebih tinggi. Kualitas oosit yang optimal sangat penting untuk menjamin survival rate selama proses pembekuan. Seringkali, sejumlah oosit dengan kualitas yang rendah dibekukan sehingga memberikan hasil yang rendah pada survival rate. Beberapa peneliti berdebat mengenai perlu atau tidaknya mempertahankan kumulus ooporus untuk meningkatkan survival rate. Tidak adanya kumulus ooporus ini akan memudahkan penetrasi dari bahan cryoprotectant untuk masuk ke dalam sitoplasma. Pentingnya kumulus yang akan meningkatkan seluler survival pada akhir dari proses penyimpanan dengan suhu dingin. Keberadaan kumulus akan berfungsi sebagai lapisan pelindung terhadap perubahan osmotik dan stres yang tiba-tiba yang diakibatkan karena perubahan konsentrasi dan dilusi dari cryoprotectant selama proses equilibrum dan pemindahan setelah proses pencairan. Semua oosit hendaknya dibekukan segera setelah dipanen, antara 38 sampai 40 jam setelah munculnya human chorionic gonadotrophin (hCG). Oosit yang lebih tua, dikultur terlebih dahulu secara in vitro sebelum dibekukan, yang menghasilkan penurunan fertilisasi, dan peningkatan fertilisasi anomalous dan polyploidy. Semua kehamilan yang didapatkan dari oosit yang dibekukan
berasal dari oosit metafase II. Faktanya, oosit yang matur pada saat diambil memiliki survival dan fertilisasi rate yang lebih tinggi. Penyimpanan oosit dengan suhu dingin pada profase I dianggap sebagai pendekatan alternatif yang lain dalam usaha untuk menyimpan gamet wanita. Pada oosit ini, meiosis ditahan, dan kromosom berada di dalam nukleus, tidak berjajar di sepanjang spindle. Lebih jauh, pada stadium ini, sel berukuran kecil dan tidak berdeferensiasi, kurang akan zona pellucida, dan relatif diam dari metabolisme. Pada pasien yang ingin mempertahankan potensi reproduksinya walaupun sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi atau telah menjalani ovariektomi, mungkin akan mendapat keuntungan dari tehnik ini dikombinasi dengan IVF. Tehnik pembekuan yang baru untuk menyimpan lapisan tipis dari parenkim ovarium, kortek ovarium kaya akan folikel pada berbagai macam tingkatan kematangan, khususnya folikel primordial. Telah menjadi mungkin untuk menyimpan lapisan dari kortek ovarium untuk periode yang bervariasi dari 24 jam sampai lima minggu dengan menggunakan dua protokol pembekuan yang berbeda (DMSO 1,5 M+ PROH 1,5 M+ Sukrose 0,1M). Air dengan suhu 37ºC digunakan pada kedua kasus segera menyelesaikan proses pencairan. Tehnik penyimpanan dengan suhu dingin dan transplantasi ini masih diperlukan, hasil yang didapatkan cukup memuaskan, dan penyimpanan jaringan ovarium disarankan sebagai metode yang berlaku untuk mempertahankan fertilitas pada kasus tertentu. Apabila autograft ortotopik cukup memadai untuk menciptakan sebuah siklus menstruasi ovulatori, maka kebutuhan
akan induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro akan tidak dibutuhkan lagi. Pasien anak-anak juga akan diuntungkan dengan metode ini. Faktanya, kebanyakan folikel primordial dan keadaan ovarium yang relatif
stabil pada masa prepubertas akan meningkatkan peluang keberhasilan, dan pada beberapa kasus, penyimpanan jaringan ovarium merupakan pilihan untuk mempertahankan fertilitas yang telah ada.
VARIABEL TEKNIK Krioprotektan Cryoprotectant adalah bahan yang memiliki komposisi bahan kimia yang berbeda. Mereka memiliki kelarutan air yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan toksisitas, yang proporsional secara langsung dengan konsentrasi dan suhu. Peranan ini adalah untuk melindungi sel dari kerusakan, yang dikenal dengan “cold shock”, yang mungkin terjadi selama proses pembekuan, penyimpanan, dan pencairan kembali. Cryoprotectant dibagi menjadi 2 katagori menurut kemampuannya dalam menembus sel : 6. Krioprotektan yang dapat masuk kedalam sel (permeable cryoprotectants) atau agen intraseluler, misalnya : glycerol, dimethylsulfoxide (DMSO), ethylene glycol, propanediol, diethylene glycol. 7. Krioprotektan yang tidak dapat masuk kedalam sel (non permeable cryoprotectants) atau agen ekstraseluler, DMSO dan Gliserol Penggunaan glycerol sebagai krioprotektan pertama dalam bidang kriopreservasi ditemukan secara kebetulan pada tahun 1948 karena kesalahan pemberian label pada bahan atau media pembekuan sperma unggas. Sejak temuan tersebut keberhasilan
misalnya : sucrose, raffinose, protein, lipoprotein, kuning telur dan serum. Secara biokimia, dibedakan 3 kelas bahan dari cryoprotectant : 8. Alkohol (methanol, ethanol, propanol, 1,2 propanediol (PROH), gliserol), 9. Gula (glukosa, laktosa, sukrose, strach) 10. Dimetilsulfoksida (DMSO). Krioprotektan merupakan komponen utama dalam proses pembekuan, namun demikian hampir semua jenis krioprotektan bersifat toksik. Ketepatan dalam menentukan jenis krioprotektan dan waktu ekuilibrasi sebelum embrio dibekukan akan menentukan keberhasilan pembekuan embrio.
yang pesat dilaporkan pada pembekuan sperma dan embrio. DMSO dan gliserol, keduanya memiliki berat molekul yang rendah, telah dikenal sebagai bahan cryoprotectant terhadap kerusakan dari suhu dingin selama lebih dari 30 tahun.
Propanediol (PROH) PROH telah digunakan pada sebagian besar penyimpanan blastosit dan pre-embrio dengan suhu dingin baik pada manusia maupun spesies lainnya. Pada kombinasi dengan agen lainnya yang menurunkan toksisitas dan kekuatan osmotik, PROH
nampaknya memiliki oosit survival rate yang lebih baik setelah pencairan, karakteristik ini kemungkinan disebabkan karena fakta bahwa PROH dapat menembus oolema lebih cepat; disamping itu juga lebih larut air dan kurang toksik.
Sukrose Sukrose seringkali digunakan bersama dengan bahan cryoprotectant yang lain. Bahan ini tidak mampu menembus membran sel, dan keberadaannya pada media ekstraseluler akan menimbulkan efek pengeluaran osmotik yang bermakna. Sukrose merupakan bahan pelindung selama fase dilusi atau setelah pencairan cepat, ketika sel mulai mengalami rehidrasi dan membengkak. Resiko ini dapat ditekan dengan memindahkan cryoprotectant intraseluler (misal, PROH) pada langkah dilusi (1,5 ; 1,0 ; 0,25M) dengan tujuan untuk mengurangi perluasan dari sembab seluler. Suatu metode alternatif dan lebih cepat untuk menghilangkan cryoprotectant yang permeabel berkaitan dengan penambahan dari molekul yang non permeabel, seperti sukrosa, ke dalam larutan pencair. Konsentrasi ekstraseluler yang meningkat dari molekul ini menyeimbangkan konsentrasi intraseluler cryoprotectant yang tinggi, menguragi perbedaan
osmolaitas pada kedua sisi dari membran plasma. Kini, sukrosa adalah satu-satunya cryoprotectant non penetratif yang secara rutin digunakan di dalam pengawetan oosit manusia dengan suhu dingin. Mekanisme kerja dari cryoprotectant cukup rumit dan dikarenakan beberapa rentetan dari fungsinya. Yang pertama, adanya cryoprotectant di dalam larutan mengijinkan penurunan sedikit dari titik cryoscopic larutan, sekitar pada suhu -2ºC atau -3ºC. Efek proteksi pada prinsipnya diakibatkan oleh kapasitas dari molekul ini untuk membentuk ikatan hidrogen yangmana mengubah struktur ristal yang normal, sehingga mengurangi dimensinya. Melalui gugus –OH nya, sebagai contoh, gliserol dan PROH, dapat membentuk ikatan hidrogen denan air sama halnya dnegan DMSO melalui atom oksigennya. Agen cryoprotectant mengurangi efek perusakan dari konsentrasi tingggi elektrolit di dalam porsi air cair. Pada sistem yang terjadi dari dua fase pada tekanan yang konstan, seperti
es dan air, konsentrasi total dari cairan pada fase cair adalah konstan untuk masing-masing konsentrasi. Dikarenakan konsentrasi total dari cairan harus konstan, penambahan dari cryoprotectant mengurangi jumlah dari air yang mengkristal. Efikasi dari senyawa ini secara langsung terkait dengan temperatur pada saat di mana mereka ditambahkan ke dalam media kultur. Oosit manusia yang dipajankan terhadap DMSO pada suatu temperatur 37ºC kapasitas untuk mengalami fertilisasinya lenyap, tetapi pada suhu 4ºC kapasitas ini dapat dipertahankan. Penambahan dari suatu cryoprotectant pada media harus dilakukan pada suhu di bawah -10ºC dengan tujuan untuk menghindari kegagalan fertilisasi. Konsentrasi cryoprotectant optimal bervariasi tergantung dari tipe sel dan tipe spesies yang diperiksa. Suatu langkah yang penting di dalam proses kriopreservasi adalah pelenyapan dari cryoprotectant permeabel dari sitoplasma. Prosedur ini terdiri dari proses lewatnya oosit melewati suatu rangkaian larutan yang mengandung konsentrasi yang menurun bertahap. sebagai akibat dari efek tekanan osmotok, sel tersebut akan segera pecah apabila ditempatkan pada suatu medium tanpa cryoprotectant pada saat pencairan. Penyimpanan oosit seringkali dilakukan dengan suatu prosedur pembekuan lambat-pencairan cepat. Walaupun tidak lazim dan jarang dilaporkan di dalam literatur, pembekuan lambat atau pencairan
lambat terjadi pada kehamilan kedua dengan suatu oosit beku. Penggunaan dari cryoprotectant konsentrasi tinggi, pembekuan ultracepat atau pencairan cepat mencegah terbentuknya kristal es dan menginduksi terjadinya suatu medium yang amorfik dan bening. Pada proses lainnya yang disebut vitrification, suatu larutan sangat pekat dari cryoprotectant dipadatkan selama proses pembekuan tanpa terbentuknya kristal es, di dalam suatu cairan yang sangat kental, dan superdingin. Hal ini menunjukkan beberapa keuntungan yang sangat jelas dibandingkan dengan pembekuan sederhana dikarenakan kerusakan yang disebabkan oleh bentukan kristal es intraseluler yang dapat dihindarkan. Kombinasi dari kecepatan pendinginan yang tinggi (hampir 1500°C/menit) dan konsentrasi yang tinggi dari cryoprotectant seperti DMSO, acetamide, propyleneglycol, dan polyethyleneglycol dibutuhkan untuk vitrification. Dasar teoritis dari vitrification, suatu teknik untuk mempreservasi embrio. Namun demikian, hasilnya tidak sesuai, dan toksisitas dari cryoprotectant dikonfirmasi dengan penelitian eksperimental. Hambatan pembelahan mungkin dikaitkan dengan kerusakan ireversibel yang terjadi di dalam sitoskeleton terkait dengan cairan pendinginan dan vitrifikasi. Vitrifikasi oosit manusia dengan tujuan untuk membuktikan kemungkinan berhasilnya prosedur ini. Proses dari pembekuan dan pencairan dan cryoprotectant dapat merusak beberapa struktur sel.
Kromosom dan Gelendong Meiosis Gelendong meiosis terdiri dari benang-benang rapuh berasal dari kutub yang berhadapan dari sel, dari suatu struktur yang disebut sentriole, dan membentang sampai kromosom. Kehilangan apapun dari mikrotubular selama proses pembekuan dapat memisahkan kromosom dan menyebabkan aneuploidi. Fertilisasi normal dapat dicapai pada oosit yang menjalani kriopreservasi, menunjukkan bahwa integritas yang layak dipertahakan setelah kriopreservasi. Sebagai akibat dari kariotyping dan staining atau pengecatan DNA, kromosom terbukti
tidak hilang dari gelendong selama fertilisasi dari oosit beku, tidak terbukti untuk oosit manusia. Mungkin hilangnya kromosom ditambatkan melalui kynetochores terkait dan tidak bebas bergerak di dalam sitoplasma. Mungkin juga bahwa gelendong oosit manusia lebih tidak sensitif untuk membeku dibandingakn dengan gelendong tikus. Kehilangan kromosomal dari gelendong minimal pada oosit manusia setelah pembekuan atau pencairan dan fertilisasi, menunjukkan bahwa kerusakan krio yang dicatat pada binatang tidak sama seringnya pada oosit manusia.
Sitoskeleton Terdiri dari struktur sitoplasmik bersabut kompleks, yang berguna untuk mempertahankan dan memodifikasi bentuk, mengijinkan pergerakan dari organela sitoplasmik, eksositosis dari protein membran intrinsik. Mikrotubular, aktin mikrofilamen, dan filamen intermediate adalah komponen utama dari sitoskeleton. Keseluruhan dari komponen tersebut Granula – Granula Kortikal Oosit yang selamat dari pencairan menunjukkan suatu tingkat aneuploid yang tinggi ketika menjalani fertilisasi in vitro. Normalnya, granula kortikal pada oosit yang matur segera dialinisasi di bawah oolemma. Reaksi zona terjadi setelah pergerakan granula ini ke bagian perifer dari sitoplasma dan bertanggung jawab akan hambatan dari polispermia. Ketika menggunakan
cukup sensitif terhadap berbagai stimuli dan mempunyai kemampuan untuk depolimerisasi cepat subunit. Cryoprotectant DMSO menghasilkan kerusakan pada mikrofilamen dari oosit tikus, yang secara langsung proporsional terhadap konsentrasinya. Ketika DMSO digunakan pada temperatur mendekati 0°C, efek ini nampaknya berkurang. Perubahan pada komponen sitoskeleton, diakibatkan oleh kristal es atau cryoprotectant di dalam oosit beku atau cair. mikroskop elektron untuk mempelajari oosit manusia dan tikus, suatu reduksi yang bermakna terdapat dalam hal jumlah dan perubahan morfologi granula kortikal setelah pencairan. Pengamatan ini mungkin dapat menjelaskan insiden yang tinggi dari aneuploidi dalam oosit beku atau cair. Eksositosis prematur dari granula kortikal mungkin dikarenakan kerusakan diakibatkan
kristal es atau cryoprotectant pada mikrofilamen aktin Zona Pellucida Suatu karakteristik umum dari semua oosit mamalia adalah adanya suatu lapisan glikoprotein, zona pellucida, di sisi luar dari oolemma. Fungsi dari zona pellucida adalah majemuk dan hanya sebagian yang sudah dimengerti. Yang paling dimengerti dengan baik antara lain adalah: adanya reseptor terhadap sperma, induksi dari reaksi zona, blokade dari polispermia, dan Aktivasi Parthenogenetik Sejak tahun 1940 telah ditunjukkan bahwa aktivasi parthenogenetik dapat diinduksi oleh kondisi fisik seperti pembekuan. Secara sukses, ditemukan bahwa syok termal dalam bentuk panas dan dingin dapat bertindak secara efektif sebagai aktivator parthenogenetik pada beberapa spesies binatang. Kemungkinan dengan mengubah ultrastruktur dan respon integral dari berbagai komponen oosit, akan mengganggu fertilisasi dan pertumbuhan embrio. Secara khusus, Kemungkinan untuk timbulnya kelainan genetik yang menyertai distribusi kromosom yang abnormal selama dan setelah fertilisasi merupakan perhatian utama. Hampir 15% oosit manusia yang baru diperoleh (pada metafase II dan secara morfologi nampak normal dengan mikroskop cahaya) menunjukkan satu atau lebih gelendong yang tidak dikaitkan dengan kromosom. Pada oosit murine yang diawetkan dengan suhu dingin, yang selama pendinginan lambat dengan menggunakan DMSO sebagai cryoprotectant menunjukkan bahwa oosit kemudian akan mengalami pembuahan dan mencapai stadium pembelahan pertama, polyploidy mengalami peningkatan, namun hal ini nampaknya tidak berkaitan dengan polispermia. Retensi dari polar body nampaknya menjadi penyebab utama peningkatan poliploidy yang mirip dijumpai juga pada oosit tikus yang diawetkan dengan suhu dingin dengan menggunakan tahnik ultrarapid, ini juga dinamakan dengan triploidy, walaupun nampaknya tidak mungkin untuk menentukan apakah berasal dari diandric atau digynic.
yang terdapat tepat di bawah oolemma. proteksi fisik dari embrio. Bahaya dari perusakan zona pellucida pada saat kriopreservasi, secara khusus, dapat terjadi 20-29% oosit. Kerusakan pada zona pellucida diperkirakan akibat dari pembentukan dari bidang pembelahan di dalam es atau akibat pembentukan dari kristal yang besar, yang mana dapat mengurung sel dan membuat sel mengalami perforasi pada saat proses pembekuan atau pencairan. Pada oosit manusia, hanya terdapat sedikit informasi mengenai kemungkinan penyebab dari kelainan kromosom, karena fertilisasi yang berhasil dicapai setelah diawetkan dengan suhu dingin hanya ada beberapa kasus. Perbandingan antara pengawetan suhu dingin pada oosit segar dan pada oosit manusia yang telah matur yang dilakukan dengan menggunakan 1,2-propanediol sebagai bahan cryoprotectant, bahwa distribusi kromosom yang normal akan diketahui dari karyotipe setelah pembuahan dari oosit segar yang diawetkan dengan suhu dingin. Apabila oosit yang telah berumur diawetkan dengan suhu dingin dan kemudian dilakukan inseminasi, maka akan terdapat peningkatan angka fertilisasi yang abnormal, hal ini menunjukkan bahwa oosit yang telah matur hendaknya segera diawetkan dengan suhu dingin pada hari oosit ini diambil. Tingginya angka fertilisasi yang abnormal nampaknya dikaitkan dengan penuaan in-vitro daripada prosedur pengawetan suhu dingin ini. Tidak ada peningkatan yang bermakna dari frekuensi aneuploidy pada populasi oosit matur setelah pengawetan dengan suhu dingin, pada oosit immatur, yang diambil dari keadaan beku dan dikultur pada suhu 37ºC untuk mencapai kematangan, juga tidak menunjukkan adanya bukti pembentukan kromosom yang abnormal. Apabila oosit manusia diawetkan pada suhu dingin pada stadium germinal vesikel, dikembalikan lagi, dan dikultur sampai mencapai kematangan, dan kemudian didinginkan kembali untuk kedua kalinya, maka aneuploidy akan ditemukan pada 25% dari populasi yang dipulihkan kembali, hal ini menunjukkan masalah yang mungkin timbul dari pengawetan suhu dingin yang berulang kali.
KESIMPULAN Sesungguhnya, sebelum penerapan klinis dari pengawetan oosit dengan suhu dingin menyebar luas, penting untuk merencanakan penelitian prospektif lebih jauh dan untuk memeriksa dengan hati-hati oosit manusia yang telah matur, baik sebelum dan sesudah pembuahan dan dengan cara yang dapat diterima secara etis, untuk membuktikan hipotesis bahwa pengawetan dengan suhu dingin tidak menyebabkan aneuploidy. Hasil terbaik diperoleh dengan pemindahan embryo dalam suatu siklus penggantian hormonal lambat. Pengawetan oosit dengan suhu dingin dapat digunakan untuk berbagai pemakaian klinis. Sindrom hiperstimulai ovarium merupakan kondisi klinis yang berbeda dimana pengawetan dengan suhu dingin elektif dari seluruh oosit merupakan alternatif yang berlaku tanpa adanya implikasi etis dibandingkan dengan embryo beku.
Pengawetan oosit dengan suhu dingin pada masa lalu dipertimbangkan sebagai tehnik yang tidak efisien, memberikan hasil, fertilisasi dan pembelahan sel yang buruk. Dengan pengenalan tehnik ICSI, hasil fertilisasi, perkembangan embryo dan implantasi menjadi serupa dengan yang dihasilkan oleh oosit segar. Satu-satunya langkah yang kritikal dari proses akhirnya tampak menjadi survival rate dari oosit beku dan hal ini harus dikembangkan lagi selanjutnya. Keamanan tehnik ini telah dibicarakan secara luas. Satu dari permasalahan yang terpenting menganggap kerusakan yang mungkin terjadi pada benang meiosis dan induksi berikutnya dari aneuploidi. Oleh karena hal ini, sangatlah mungkin bahwa di dalam proses pembekuan hanya oosit yang terbaik dan yang paling kebal yang terpilih, hal tersebut memungkinkan untuk bertahan dalam berbagai jenis stress yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar NC, Jamaan T, Manual Inseminasi Intrauterus (IIU). Klinik Fertilitas Morula RS Bunda Jakarta. Jakarta, 2002. Boediono. A., Kriopreservasi sperma, oosit dan embrio, Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dibacakan pada PIT III HIFERI 24-27 januari 2007, Yogyakarta Darmasetiawan MS, Anwar Indra. Fertilisasi In Vitro Dalam Praktek Klinik, Kelompok Seminat Kedokteran Reproduksi dan Embriologi. Jakarta, 2006. Decherney A, Polan ML (Alih Bahasa : Widjaya kusuma, Lydon Saputra), Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Binarupa Aksara, Jakarta, 1997. Larsen WJ. Human Embriology. Churchill Livingstone. Singapore, 1993. Marcelle I, Practical Pathways In Infertility. McGraw-Hill, United of State, 2005. Porcu. E., Oocyte cryopreservation. In Textbook of Assested Reproductive Techniques Laboratory and Clinical Perspectives. Martin Dunitz Ltd. United Kingdom, 2001 : 233-241 Rao KA, brinsden PR. The Infertility Manual. Jaypee Brothers, New Dehli, 2001. Simson, Elias. Genetic In Obstetri And Gynecology 3rd edition. Saunders, United States of America, 2003. Sperof L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology And Infertility 7th edition, Assited Reproductive Technologies, p 1215 – 74. Lipincott Williams & Wilkins. Phildelphia, 2005.