SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA
BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017
6 TEKNOLOGI REPRODUKSI A. Kompetensi Inti
:
B. Kompetensi Dasar
:
C. Uraian Materi
:
6.1 Deskripsi
Menguasai materi, stuktur konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran Agribisnis Ternak Ruminansia Menerapkan Teknologi Reproduksi pada Ternak Ruminansia
:
Teknologi reproduksi pada ternak meliputi Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE), Fertilisasi in vitro (FIV), dan manipulasi embrio. Tujuan dari inovasi teknologi reproduksi pada ternak adalah sebagai cara atau alat untuk memperbaiki mutu genetik ternak.
Dalam sumber belajar ini akan dijelaskan teknologi Inseminasi Buatan dan
Transfer Embrio.
6.2 Inseminasi Buatan (IB) 6.2.1 Pengertian dan Tujuan Inseminasi Buatan IB adalah teknik untuk memasukkan semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan bermutu genetik unggul ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan alat khusus yang disebut insemination gun. IB merupakan bioteknologi reproduksi
tepat guna dengan memmanfaatkan
pejantan unggul yang memiliki potensi genetik tinggi melalui produksi semen beku atau semen cair yang diinseminasikan pada ternak sapi betina untuk memperoleh pedet unggul. Seekor sapi pejantan unggul dapat menghasilkan semen beku sebanyak 20.000 – 30.000 dosis. Tujuan pelaksanaan IB pada ternak ruminansia diantaranya: untuk memperbaiki mutu genetik ternak, menciptakan breed baru dan persilangan ternak (cross breeding), pemurnian dan grading up ternak ruminansia.
1
6.2.2 Kelebihan dan kekurangan IB Penerapan teknologi IB pada ternak ruminansia mempunyai banyak keuntungan, diantaranya: Menghasilkan keturunan yang baik danberkualitas secara genetik karena menggunakan spermapejantan unggul, Memanfaatkan pejantan unggul semaksimal mungkin Semen beku yang berasal dari bibit unggul dapat disebarkan di areal yang luas dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama Peternak tidak harus memelihara pejantan, sehingga biaya pakan dan waktu untuk memelihara pejantan dapat digunakan untukkeperluan lain. Betina terhindar dari penyakit veneral disease. Menghindariternak sapi betina mengalami kecelakaan dalam melakukan perkawinan alami apabila pejantan yang digunakanterlalu besar, Mengatur jarak kelahiran, Memperendek jarak kelahiran (calving interval), Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding).
Disisi lain IB mempnyai beberapa kelemahan, seperti: Apabila persediaan bibit pejantan unggul habis,peternak tidak dapat memilih pejantan yang dikehendaki untuk mengikuti program peternakan yang diinginkan, Apabila prosedur IB tidak dilakukan secara wajar, maka reproduksi akan rendah, Terlalu banyak ternak sapi yang memiliki keturunan serupa atau sama dengan induknya Membutuhkan inseminator yang terlatih dan handal
6.2.3 Teknis Pelaksanaan IB Pada saat inseminator melakukan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak, ternak harus dalam keadaan birahi, karena pada saat itu liang leher rahim (servix) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari birahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah : 1. Permulaan birahi : 44%. 2
2. Pertengahan birahi : 82% 3. Akhir birahi : 75% 4. 6 jam sesudah birahi : 62,5% 5. 12 jam sesudah birahi : 32,5% 6. 18 jam sesudah birahi : 28% 7. 24 jam sesudah birahi : 12%
Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan IB yaitu: 1) kondisi kesehatan sapi betina yang di IB. Sapi betina yang sehat sebelum dan sesudah di IB akan mampu memelihara kebuntingannya sampai melahirkan dengan baik. 2) ketepatan deteksi berahi dan waktu pelaksanaan IB. 3) kualitas semen. Semen beku harus memdapat penanganan yang benar mulai saat produksi, penyimpanan dan distribusi sampai di lapangan. 4) keterampilan inseminator.
6.2.4 Uji Kualitas Semen Dalam program IB, semen ditampung dengan tiga cara yaitu pengurutan (massage), elektro ejakulator, dan vagina buatan (VB). Uji kualitas semen dilakukan segera setelah penampungan atau sebelum diencerkan yang meliputi pemeriksaan makroskopis: volume, warna, konsistensi, pH serta perneriksaan secara mikroskopis meliputi : motilitas massa, motilitas individu, persentase hidup mati, serta konsentrasi dan abnormalitas spermatozoa. Penilaian gerak massa spermatozoa (motilitas) dilakukan setelah semen diencerkan atau setelah freezing dan thawing. Evaluasi semen setelah dicairkan (post thaw /after thawing semen evaluation) untuk mengetahui seberapa baik semen dapat bertahan hidup setelah proses pembekuan/pencairan (frozen/thawing). Semen di dalam straw di thawing pada air dengan suhu 37°Cselama 30-45 detik. Motilitas post thawing rata-rata berkisar 50-70%. Kriteria penilaian gerak massa spermatozoa menurut Toelihere (1993) yaitu: Sangat baik (++++) jika terlihat adanya gelombang besar,banyak, gelap tebal dan aktif seperti gumpalan awanhitam serta bergerak cepat.
3
Baik jika terdapat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lambat. Kurang baik jika tidak terlihat gelombang melainkan gerakan gerakan individual aktif progresif. Buruk jika hanya sedikit ada gerakan-gerakan individual.
Uji tambahan untuk mengevaluasi integritas akrosom dapat dilakukan meliputi uji stres jika semen diinkubasi di dalam water bath ( water incubator) pada suhu 37°C selama 2-3 jam. Semen yang memiliki motilitas rendah dan atau viabilitasnya (persentase hidup mati) menurun tidak didistribusikan untuk dijual. Spermatozoa yang hidup dan mati dapat dibedakan berdasarkan reaksinya terhadap warna tertentu. Pewarnaan semen dengan menggunakan eosin negrosin.Prinsipnya yaitu eosin tidak dapat menembus membran sel hidup namun bisa mewarnai membran sel pada sel mati. Sel spermatozoa yang tidak motil dan dianggap mati dapat menyerap warna dan sel spermatozoa yang motil dan hidup tidak berwarna.
6.3 Transfer Embrio (TE) 6.3.1 Pengertian Transfer Embrio Teknologi Transfer Embrio (TE) pada sapi merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah IB. Pada prinsipnya, teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi, dan dievaluasi kemudian ditransfer ke induk sapi resipien sampai terjadi kelahiran. TE merupakan bioteknologi reproduksi mutakhir yang sudah diaplikasikan secara terstruktur di Indonesia sejak tahun 1996 pada sapi perah dan sapi potong. Teknologi ini memang merupakan sarana yang sangat efektif untuk peningkatan mutu genetik secara cepat. Aplikasinya hanya terbatas pada sapi-sapi tertentu saja karena teknologi TE masih sangat mahal. Di Indonesia hanya ada satu Balai Embrio Ternak di Cipelang, Bogor.
4
6.3.2 Produksi Embrio secara In Vitro Produksi embrio secara in vitro mencakup tiga aspek utama, yaitu pematangan sel telur, pembuahan sel telur, dan pembiakan embrio secara in vitro. Sel telur umumnya didapat dari ovarium yang berasal dari rumah potong hewan. Sel telur dikumpulkan dengan metode aspirasi maupun slicing secepatnya setelah sapi dipotong kemudian dimatangkan secara in vitro. Pematangan dilakukan pada media sederhana sampai yang kompleks, umumnya mengandung hormon estrogen, folicel stimulating hormone (FSH), lutenaizing hormone (LH), prolaktin, dan progesteron. Hormon yang paling umum digunakan saat ini adalah FSH, estrogen, dan LH. Secara umum teknologi pematangan, pembuahan dan pembiakan untuk tujuan memproduksi embrio secara in vitro sudah sangat tersedia. Walaupun didapat variasi persentase blastosis yang disebabkan perbedaan metode pematangan, pembuahan dan pembiakan. Secara keseluruhan rataan persentase blastosis adalah 30-50%. Hambatan yang masih ada adalah ketersediaan sel telur baik secara kuantitatif maupun kualitatif di Indonesia. Beberapa
masalah
dan
kendala
yang
juga
harus diperhatikan
dalam
pengembangan teknologi TE adalah: (1) Menentukan ternak donor yang mempunyai kualifikasi yang sangat bagus (2) Metode superovulasi serta koleksi embrio yang mudah dan ekonomis (3) Evaluasi, seleksi, dan penyimpanan embrio (4) Penyediaan resipien (5) Proses transfer embrio dan Kesiapan ternak resipien.
5