Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
TEKNOLOGI REPRODUKSI MENUNJANG PROGRAM PENGGEMUKAN TERNAK DOMBA (The Reproduction Technology Support Fattening Program of Sheep) HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The reproduction technology correlated to fattening of sheep is sex of dam and litter size. It is recognized that male does have higher life weight than female as well as single partus was larger size than twin. The purpose of this study increase body weight gain in a starter period. The male shees of single partus appear to be an edela for fattening programme. Consideration should be taken into account for fattening including: 1) breed selection, 2) determination of appropriate age, 3) quality and quantity, 4) sex, and 5) partus type. Key Words: Reproduction, Technology, Sheep, Fattening ABSTRAK Teknologi reproduksi yang berhubungan dengan penggemukan pada ternak domba adalah jenis kelamin anak yang dilahirkan dengan jumlah anak sekelahiran. Diketahui anak jantan memiliki bobot hidup lebih besar bila dibandingkan dengan anak betina, demikian pula anak yang dilahirkan tunggal lebih besar dari pada kelahiran kembar. Sehubungan dengan tujuan penggemukan yakni mencapai bobot hidup setinggi mungkin dalam waktu yang singkat, maka ternak domba yang paling ideal untuk digemukan adalah berjenis kelamin jantan dengan kelahiran tunggal. Untuk memperoleh bobot hidup yang diharapkan, maka perlu diperhatikan langkah-langkah program penggemukan sebagai berikut 1) Pemilihan bangsa; 2) Menentukan umur domba untuk digemukan; 3) Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan; 4) Jenis kelamin; dan 5) Tipe kelahiran. Kata Kunci: Teknologi Reproduksi, Domba, Penggemukan
PENDAHULUAN Teknologi reproduksi diarahkan kepada peningkatan populasi ternak baik ekstensif maupun intensif. Selain peningkatan populasi, teknologi reproduksi pada ternak domba menyangkut beberapa hal diantaranya adalah jumlah anak sekelahiran atau liter size dan juga jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diketahui bahwa bobot lahir anak jantan lebih besar bila disbanding dengan anak betina, demikian juga bobot badan pada tipe kelahiran tunggal lebih besar dari pada kelahiran kembar. Disisi lain penggemukan ternak domba adalah upaya untuk meningkatkan bobot hidup dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai bobot optimal yang akan meningkatkan nilai jual, sehingga keuntungan yang diperolehpun akan meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teknologi reproduksi adalah sebagai penyedia
ternak bakalan yang berupa anak jantan melalui pemilihan spermatozoa (sexing) berdasarkan perkawinan menggunakan cara Inseminasi Buatan (IB). Anak jantan yang dihasilkan melalui teknologi reproduksi tersebut dapat digunakan sebagai ternak bakalan untuk tujuan penggemukan, dengan harapan bobot siap jualanya akan menjadi tinggi. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai hubungan reproduksi ternak dengan penggemukan atau pembesaran serta tahapan-tahapan penggemukan pada ternak domba. Kegunaan penulisan ini adalah dapat dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang reproduksi dan pakan ternak; sebagai sumber informasi bagi pengambil kebijakan, pengusaha, peternak, para peneliti, dan para ilmuwan; dan dapat diaplikasikan di lapangan
389
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PERMASALAHAN Dari populasi domba di Indonesia pengelolaan usaha ternak domba hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dengan sekala penguasaan ternak relatif kecil yakni sekitar 2 – 5 ekor (SETIADI et al, 1995), dan 3 – 8 ekor setiap kepala keluarge (HANDEWI at al., 1996). Umur jual ternak domba di pedesaan sekitar 9 sampai 15 bulan (PAMUNGKAS at al., 1996). Tingkat produktivitas ternak domba lokal Indonesia, cukup rendah dan belum belum sesuai dengan potensi genetik TILMAN dalam MATHIUS et al. (1998). Upaya meningkatkan bobot hidup ternak domba adalah melalui penggemukan, sedangkan istilah penggemukan pada ternak domba masih dipertanyakan. Diketahui bahwa penggemukan memberikan gambaran seolaholah ternak domba pada umur tertentu yang beratnya X kg akan ditingkatkan menjadi X + Y kg, sedangkan menurut SOEBANDRIYO et al. (2000) bahwa pertumbuhan ternak domba menurun seiring dengan bertambahnya umur. Disisi lain dalam program penggemukan ternak domba belum ada standarisasi tahapan – tahan penggemukan, disamping sulitnya mencari ternak bakalan yang seragam bila penggemukan dilakukan dalam skala besar dan mahalnya sarana produksi. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan suatu ulasan mengenai teknologi penggemukan ternak domba yang tepat guna. PEMECAHAN MASALAH
diperoleh dari usaha sendiri, maka modal yang diperlukan cukup besar terutama dalam penyediaan lahan dan harus ditunjang dengan menejemen yang prifesional yaitu menejemen pemulyaan dan reproduksi serta tatalaksana pemeliharaan ternak. Sedangkan bila melalui pedagang pengumpul harga akan lebih mahal dan ternak yang seragam baik umur maupun bobot hidup jumlahnya terbatas. Yang paling baik adalah melalui petani, selain kita melakukan pembinaan juga ikut membantu dalam meningkatkan pendapatan dalam usaha ternaknya. Sebagai contoh disuatu kawasan pedesaan dibina empat kelompok tani yang masing-masing memelihara 25 ekor induk dengan 2 ekor pejantan, dengan sistem pemiliharaan secara intensif menggunakan pakan yang tersedia diwilayah tersebut. Tujuan pembinaan ini adalah mengghasilkan ternak bakalan yang berumur 7 – 8 sebanyak 100 ekor/bulan (KARYANTO dan PRIYANTI, 1997). Guna mengurangi biaya investasi maupun produksi dalam usaha penggemukan sekala besar, maka inovasi teknologi serta dukungan dari Pemerintah mutlak diperlukan terutama dalam penyediaan lahan. Diketahui bahwa harga tanah saat ini cukup mahal, maka cara yang terbaik adalah adanya regulasi mengenai pemilikan lahan, misalnya diberikannya fasilitas penggunaan lahan bagi pengusaha peternakan melalui hak guna usaha jangka panjang 20 – 30 tahun. Kemudian untuk menekan biaya produksi, terutama biaya pemberian pakan, hendaknya dilakukan inovasi teknologi seperti pemberian jerami padi fermentasi atau pakan murah yang berkualitas.
Pemecahan non teknis
Pemecahan secara teknis
Disepakati bahwa istilah pembesaran adalah pola pemeliharaan oleh peternak tanpa perlakuan khusus yang bertujuan untuk memproduksi anak yang dibesarkan sampai umur siap jual. Sedangkan penggemukan adalah pola pembesaran yang diberi pakan khusus untuk mencapai bobot tertentu sesuai dengan permintaan pasar. Untuk memperoleh ternak bakalan yang seragam dalam jumlah besar maka dapat ditempuh melalui beberapa cara: Diperoleh dari usaha sendiri atau berasal dari luar (pedagang pengumpul dan petani). Bila
Peranan teknologi reproduksi dalam menunjang program penggemukan antara lain adalah penyediaan ternak bakalan yaitu anak jantan kemudian tipe kelahiran. Anak jantan dapat diperoleh dengan jalan menggunakan sistem perkawinan buatan (IB), dimana spermatozoa yang digunakan adalah adalah yang mengandung Y kromosom (benih penghasil jantan) melalui teknologi pemisahan spermatozoa sebagaimana telah dilakukan ternak pada sapi. Diketahui bahwa teknologi ini belum diterapkan pada ternak domba,
390
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
diharapkan pada masa yang akan datang sudah dapat dilakukan. Tipe kelahiran dapat diperoleh melalului beberapa pendekatan yakni: 1. Kelahiran pertama. Pada umumnya ternak domba bila pertama kali beranak, tipe kelahirannya tunggal 2. Tidak melakukan super ovulasi, karena dengan superovulasi akan diperoleh banyak anak sesuai dengan tujuan superovulasi itu sendiri. 3. Melakukan seleksi. Dipilih induk-induk yang berpotensi memiliki tipe kelahiran tunggal. Melakukan tahapan berikutnya yang terdiri dari:
penggemukan
• Pemilihan ternak berdasarkan bentuk luar, bangsa, umur, jenis kelamin dan tipe kelahiran • Penentuan jenis pakan • Penentuan lama waktu penggemukan Diketahui bahwa produktivitas domba dipengaruhi oleh faktor internal/genetis dan eksternal/lingkungan. Faktor eksternal dimaksud salah satu diantaranya adalah tatalaksana pemberian pakan. Potensi kemampuan produksi domba dapat diekspresikan dalam bentuk bobot hidup pada umur tertentu, dan bobot karkas. Penggemukan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mengupayakan bobot hidup ternak domba sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya melalui pemeliharaan yang intensif. Untuk memperoleh bobot hidup yang diharapkan, maka perlu dilakukan tahapantahapan program penggemukan sebagai berikut: Pemilihan ternak domba berdasarkan kriteria sebagai berikut: Bentuk tubuh Dipilih ternak yang berpunggung lurus serta memiliki panjang tubuh yang tidak buntet. Ternak dengan ciri – ciri tersebut akan memberikan bobot hidup yang berat dibandingkan dengan ternak yang berpunggung melengkung dan buntet. Pada dasarnya adalah pilih ternak-ternak yang berbadan sedang atau gemuk, jangan ternak yang kurus, karena akan
membutuhkan waktu penggemukan lebih lama untuk memperoleh bobot hidup yang ditetapkan sesuai dengan permintaan pasar. Bangsa domba Pemilihan bangsa domba disesuaikan dengan kemudahan memperoleh bengsa domba dilapangan, walaupun kita mengenal ada 3 bangsa yakni lokal, impor dan persilangan. Bila kita memilih domba lokal, maka pilihlah domba Garut, karena domba ini termasuk bangsa domba yang memiliki tingkat kedewasaan lebih awal, jarak beranak pendek dan pada domba jantan memiliki libido tinggi, bobot hidup jantan dan betina dewasa masingmasing mencapai 40 – 85 kg dan 34 – 59 kg (DAMAYANTI et al, 2001). Umur domba Domba yang digemukan hendaknya berumur muda, karena secar ekonomis domba yang masih muda banyak dicari oleh pedagang sate di Purwokerto karena dagingnya lebih empuk dan disukai oleh konsumen lebih disukai (RISMANIAH et al., 1988). Domba muda masih dalam proses pertumbuhan, pertumbuhan prasapih dari lahir sampai umur sekitar 90 ± 14 hari ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pra-sapih antara umur 76 sampai dengan 104 hari. Keadaan ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan mulai menurun dengan bertambahnya umur (SUBANDRIYO, 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin domba persilangan antara domba Lokal Sumatera dengan domba Rambut tidak berbeda nyata terhadap bobot hidup pascasapih umur 4 sampai 7 bulan, tetapi berpengaruh nyata pada umur 8 – 9 bulan, (P < 0,01) (SOEBANDRIYO et al., 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan sampai umur 9 bulan masih dipengaruhi oleh tipe kelahiran. Bobot hidup dan pemberian pakan Penggemukan menggunakan domba lokal lepas sapih dengan bobot hidup antara 8,9 – 10,8 kg, pakan yang diberikan berupa rumput lapang segar, diberikan secara adlibitum dan
391
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
penberian konsentrat berupa pelet sebanyak 3,5 persen dari bobot hidup, memberikan pertambahan bobot hidup harian sebesar 106 g/hari dengan bobot potong 20 kg (HERMAN, 1988). Pertambahan bobot hidup harian domba ekor gemuk (DEG) jantan umur 4 bulan antara 82 – 85 g/hari, dengan pemberian pakan berupa rumput Gajah sebanyak 20 persen, dan konsentrat sebanyak 3 persen dari bobot hidup (PAMUNGKAS et al., 1995). Hasil penelitian yang dilakukan oleh MATHIUS et al. (1996) menunjukkan bahwa ternak domba Ekor Tipis lepas sapih yang mendapat perlakuan pakan dengan tingkat protein kasar rendah sebesar 15% (BK) dan energi tinggi sebesar 16,5 MJ/kg, memberikan kenaikan bobot hidup harian untuk domba jantan seberat 78 g/hari. Jenis kelamin Bobot hidup ternak jantan lebih berat dari pada bobot hidup ternak betina (P < 0,01) (SOEBANDRIYO et al., 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa domba hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba Rambut, bobot hidup jantan prasapih 0 – 11% lebih berat dari domba betina, dan 8 – 13% lebih berat pada masa pascasapih (SOEBANDRIYO et al., 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa bobot hidup domba jantan umur 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 bulan, masing – masing seberat 11,43; 13,86; 16,12; 17,51; 18,10; dan 19,94 kg. Tipe kelahiran Pilihlah ternak domba dengan tipe kelahiran tunggal, karena ternak yang dilahirkan kembar pertumbuhannya lebih lambat bila dibandingkan dengan kelahiran tunggal (TIESNAMURTI dalam SOEBANDRIYO et al., 1998), kemudian domba lahir tunggal 16 – 28% lebih berat dari yang dilahirkan kembar dua pascasapih (SOEBANDRIYO et al., 2000). PENENTUAN PAKAN YANG DIBERIKAN Pada penggemukan ternak domba tidak sepopuler penggemukan pada ternak sapi,
392
seperti penggemukan dengan sistem tradisional, padang penggembalaan, feedlot dan kombinasi antara penggembalaan dengan feedlot. Namun demikian penggemukan pada domba pun dapat dilakukan dengan sistem kombinasi antara rumput dan konsentrat, kemudian kita tentukan perbandingan antara rumput dengan konsentrat yakni bisa 50 : 50, 40 : 60 atau 30 : 70. Dari hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan adalah penggemukan menggunakan domba lokal lepas sapih dengan bobot hidup antara 8,9 – 10,8 kg, pakan yang diberikan berupa rumput lapang segar, diberikan secara ad libitum dan pemberian konsentrat berupa pelet sebanyak 3,5 persen dari bobot hidup, memberikan pertambahan bobot hidup harian sebesar 106 g/hari dengan bobot potong 20 kg (HERMAN, 1988). Pertambahan bobot hidup harian domba ekor gemuk (DEG) jantan umur 4 bulan antara 82 – 85 g/hari, dengan pemberian pakan berupa rumput Gajah sebanyak 20 persen, dan konsentrat sebanyak 3 persen dari bobot hidup (PAMUNGKAS at al., 1995). Hasil penelitian yang dilakukan oleh MATHIUS et al. (1996) menunjukkan bahwa ternak domba Ekor Tipis lepas sapih yang mendapat perlakuan pakan dengan tingkat protein kasar rendah sebesar 15% (BK) dan energi tinggi sebesar 16,5 MJ/kg, memberikan kenaikan bobot hidup harian untuk domba jantan seberat 78 g/hari. KARYANTO dan PRIYANTI (1997) melakukan usaha penggemukan domba dengan menggunakan domba yang berasal dari pasar yang berbobot hidup rata-rata 20, pakan yang diberikan beruka hijauan segar sebanyak 2 kg/ekor/hari, serta konsentrat dengan kandungan protein 16% sebanyak 0,5 kg/ekor/hari, kemudian pengemukan dilakukan selama 45 hari menghasilkan pertambahan bobot hidup 120 g/ekor/hari. PENENTUAN LAMA WAKTU PENGGEMUKAN Penentuan lama waktu penggemukan tergantung dari tujuan yang akan dicapai, apakah untuk ekspor atau untuk memenuhi kebutuhan hari raya Idul Adha, atau dijual kepasar untu kebutuhan daging domba harian. Yang jelas semakin lama periode
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
penggemukan dilakukan, maka akan semakin besar risiko yang akan dihadapi oleh peternak, terutama risiko ongkos produksi atau risiko lainnya yang tidak terduga seperti kematian ternak. Lama penggemukan domba adalah 45 – 60 hari, seperti yang dilakukan KARYANTO dan PRIYANTI (1997) yang melakukan penggemukan selama 45 hari. Karkas Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot karkas domba jantan lebih berat dibanding dengan domba betina (OBST at al., 1982). Lebih lanjut dinyatakan bahwa bobot karkas antara 45 – 50 persen dari bobot hidup, dan dapat di tingkatkan melalui perbaikan pakan, kemudian untuk meningkatkan pendapatan dari penjualan karkas yaitu dengan menjual : kepala, kaki, kulit, dan jeroan (usus besar, usus halus, hati, jantung, paru-paru, limpa, ginjal, dan jaringan lemak), karena beratnya dapat mencapai 63 persen dari bobot hidup. Sedangkan berat karkas ternak domba hasil penggemukan yang dilakukan KARYANTO dan PRIYANTI (1997) adalah 48,5% dari bobot hidup. Penilaian karkas dinyatakan dalam satuan bobot atau dalam persentase, dipengaruhi oleh umur dan bobot hidup (RISMANIAH at al., 1988). Menurut BUTTERFIELD dalam HERMAN (1988) bahwa karkas dibagi menjadi 7 bagian yaitu : 1) otot, 2) tulang, 3) lemak bawah kulit, 4) lemak antar otot, 5) lemak ginjal, 6) lemak pelvis, dan 7) jaringan. KESIMPULAN Untuk mendapatkan bobot hidup yang optimum, maka pada program pengemukan ternak domba harus melalui tahapan-tahapan penggemukan dengan sistem pemeliharaan intensif dan disarankan menggunakan domba jantan bangsa Garut atau persilangan yang berumur 8 – 9 bulan dengan tipe kelahiran tunggal.
DAFTAR PUSTAKA DAMAYANTI, T.L., D.C. BUDINURYANTO dan K. HIDAYAT. 2001. Performa produksi dan reproduksi domba Periangan. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Edisi Spesial. Fakultas Peternakan Universitas Dipenogoro, Semarang. DEVENDRA, C. dan BURN. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan Harya Putra. Penerbit ITB, Bandung. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2003. Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. HANDEWI, P.S. RACHMAN dan SUDARYANTO. 1996. Karakteristik usaha ternak domba di daerah lahan kering (kasus dua desa di Kabupaten Semarang dan Boyolali Jawa Tengah). Prosiding Temu Ilmiah. Hasil-Hasil Penelitian Peternakan. Ciawi, Bogor, 9 – 11 Januari 1996. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. 235 – 240. HERMAN, R. 1988. Kualitas karkas domba lokal hasil penggemukan. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminsia. Cisarua, Bogor, 8 – 10 Nopember 1988. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. hlm. 228 – 233. KARYANTO. W. dan A. PRIYANTI. 1997. Kajian ekonomi usaha peternakan domba di Indonesia. Pros. Semnas. Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7 – 8 Januari 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 144 – 152. MATHIUS, I – W., M. MARTAWIDJAJA, A. WILSON dan T. MANURUNG. 1996. Studi strategi kebutuhan energi – protein untuk domba lokal fase pertumbuhan. JITV 2(2): 84 – 91. MATHIUS, I–W., B. HARYANTO dan I.W.R. SUSANA. 1998. Pengaruh pemberian protein dan energi terlindung terhadap konsumsi dan kecernaan oleh domba muda. JITV 3(2): 94 – 100. MERKENS, J. dan R. SOEMIRAT. 1926. Sumbangan PengetahuanTentang Peternakan Domba di Indonesia. Terjemahan LIPI. 1979. MULYANINGSIH, E. , P. SITORUS, L. P. BATUBARA dan K. SURADISASTRA. 1981. Performance domba Garut. Bull. LPP. Bogor. 28: 1 – 13.
393
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
OBST, J.T., T. CHANIAGO dan T. BOYES. 1982. Survey mengenai domba dan kambing yang dipotong di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan. Cisarua, 8 – 11 Pebruari 1982. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 135 – 144. PAMUNGKAS, D., L. AFANDI dan U. UMIYASIH. 1995. Pertumbuhan, libido dan kualitas semen domba Ekir Gemuk yang diberi pakan dengan kandungan gizi berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor, 7 – 8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor.hlm. 453 – 464. PAMUNGKAS, D., L. AFANDI, D.B. WIJONO dan K. MAKSUM. 1996. Karakteristik usaha pemeliharaan domba Ekor Gemuk di daerah sentra bibit pedesaan Jawa Timur. Prosiding Temu Ilmiah. Hasil-Hasil Penelitian Peternakan. Ciawi, Bogor, 9 – 11 Januari 1996. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor. 241 – 248. RISMANIAH, I. , AMSAR, SOEDJADI dan A. PRIYONO. 1988. Studi karkas murni kambing lokal. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminsia. Cisarua, Bogor 8 – 10 Nopember 1988. Balai Penelitian Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 234 – 237.
394
SUBANDRIYO, B. SETIADI, T. D. SOEDJANA dan P. SITORUS. 1994. Produktifitas usaha ternak domba di Pedesaan. J. Penelitian Peternakan Indonesia. 1: 1 – 7. SUBANDRIYO. 1995. Penyesuaian bobot sapih domba Jawa terhadap standar umur sapih. J. Penelitian Peternakan Indonesia. 2: 18 – 21. SUBANDRIYO, B. SETIADI, M. RANGKUTI, K. DWIYANTO, M. DOLOKSARIBU, LEO. P. BATUBARA, E. ROMJALI, S. ELIASER dan E. HANDIWIRAWAN. 1998. Performa domba komposit hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba rambut generasi pertama dan kedua. JITV. 3(2): 78 – 86. SUBANDRIYO, B. SETIADI, E. HANDIWIRAWAN dan A. SUPARYANTO. 2000. Performa domba komposit hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba rambut pada kondisi dikandangkan. JITV 5(2): 73 – 83.