UNIVERSITAS INDONESIA
KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI 38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006-2010
SKRIPSI
RITA YULIHANE 0906620120
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA EKSTENSI DEPOK JANUARI 2012
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
KECENDERUNGAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DI 38 KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006-2010
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
RITA YULIHANE 0906620120
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT KEKHUSUSAN EPIDEMIOLOGI DEPOK JANUARI 2012
i Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
ii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
iii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
iv Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan Faktor yang Mempengaruhinya di 38 Kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 dengan tepat waktu. Skripsi ini ditulis sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masya.rakat. Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan tanggapan dari berbagai pihak guna memperbaiki kesalahan dan kekurangan tersebut pada masa yang akan datang. Dalam
kesempatan
ini
dengan
segala
kerendahan
hati,
penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada: 1.
Dr. dr. Ratna Djuwita, MPH, selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
2.
Ibu Renti Mahkota, SKM, M.Epid, selaku pembimbing skripsi yang senantiasa sabar dan meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3.
dr. Yovsyah, M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktunya menjadi penguji dalam ujian sidang skripsi dan telah memberikan sebuah ilmu yang sangat berarti kepada penulis untuk perbaikan skripsi ini.
4.
dr. Christina Widaningrum, M.Kes, sebagai penguji luar yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dalam perbaikan skripsi dan juga telah memfasilitasi penulis untuk mendapatkan izin belajar serta bantuan biaya kuliah.
5.
Pihak Netherland Leprosy Relief; Ibu Dianne van Oosterhout, ibu Sorta Arta, dan mba Yasmin yang telah memberikan bantuan biaya kuliah untuk penulis.
6.
Pak Sulistheo Wibowo, SKM, dan mba Vera Citra staf P2 Dinkes Provinsi Jawa Timur dan staf BPS yang banyak memberikan pertolongan kepada penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan.
v Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
7.
Keluarga tercinta, ibu, ayah, suami, anakku yang sholeh Ibrohim Muhammad ‘Isa serta adik-adik yang tak henti-hentinya memberikan semangat, kasih sayang dan kesabarannya kepada penulis.
8.
Teman-teman seperjuangan di subdit P2 kusta dan frambusia. Terima kasih atas dukungan, do’a, kerjasama dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan kuliah.
9.
Teman-teman ekstensi epidemiologi 2009 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, semangat juang dan motivasinya.
10. Adik-adik regular epid 2008, mba Erni, mba Tika, mba Luri, mba Titi, mba Cahya, mba Panji, dll yang telah tulus dan tak hentinya memberikan dan menawarkan bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi 11. Keluarga besar yang rutin berkumpul di hari Sabtu. Mba Mitri, bu Mahmudah, dkk. Terima kasih atas do’a dan pengertiannya. Semoga ikatan ukhuwah yang dibangun kekal hingga kita kembali bertemu di jannahNya 12. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungannya. Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini memiliki manfaat dan nilai bagi kita semua dan di masa yang akan datang kiranya dapat menjadi rujukan untuk penulisan yang lebih baik lagi.
Depok, 18 Januari 2012
Rita Yulihane 0906620120
vi Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
vii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rita Yulihane
Tempat/Tanggal Lahir
: Jakarta, 28 Juli 1980
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah dengan Iswanto
Jumlah anak
: 1. Ibrahim Muhammad ‘Isa
Agama
: Islam
Alamat
: Papan Mas Blok A 12 No. 25 Rt. 08/04 Kelurahan Setia Mekar Kec. Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1.
Tahun 1986-1992
Sekolah Dasar Negeri Mekar Sari 02 Tambun
2.
Tahun 1992-1995
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tambun
3.
Tahun 1995-1998
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bekasi
4.
Tahun 1999-2002
Diploma III Akademi Kesehatan Lingkungan Depkes Jakarta
5.
Tahun 2009-2011
Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonesia, Jurusan Epidemiologi
Riwayat Pekerjaan 1.
Tahun 2003-2011
Staf subdit P2 Kusta dan Frambusia
viii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Program Studi : Departemen : Judul :
Rita Yulihane Kesehatan Masyarakat Epidemiologi Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan FaktorFaktor yang Berhubungan di 38 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010
Pada tingkat global maupun nasional, status kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat telah berhasil dieliminasi pada tahun 2000. Namun demikian sejak tahun 2000-2010 masih saja ditemukan kasus baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di 38 kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur Tahun 20062010. Desain penelitian ini adalah studi ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan begitupula dengan penemuan kasus kusta secara aktif. Berbeda halnya dengan penemuan kasus kusta secara pasif, cakupan imunisasi BCG, dan kepadatan penduduk. Wilayah yang topografinya rendah cenderung memiliki angka penemuan kasus baru kusta yang lebih tinggi. Hasil uji pearson’s correlation menunjukkan bahwa penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan imunisasi BCG dan topografi memiliki hubungan bermakna dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p 0,0001). Kepadatan penduduk tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p > 0,05). Fokus program pengendalian kusta hendaknya lebih mengarahkan kepada kegiatan penemuan kasus secara aktif khususnya di wilayah yang topografinya rendah bekerjasama dengan progam imunisasi. Penemuan kasus secara aktif dengan modifikasi penyuluhan akan meningkatkan penemuan kasus secara pasif yang pada akhirnya akan menurunkan angka penemuan kasus baru. Kata kunci: kusta, angka penemuan kasus baru, penemuan kasus aktif, penemuan kasus pasif, BCG, kepadatan penduduk, dan topografi.
ix Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
ABSTRACT Name Study Program Department Title
: : : :
Rita Yulihane Public Health Epidemiology Trend of Leprosy New Case Detection Rate and RelatedFactors in 38 districts in East Java Province, Year of 2006-2010
At the global and national level, the status of leprosy as a public health problem has been successfully eliminated in 2000. However, since the year 2000-2010 new case of leprosy annually has detected. The aim of this study is determine the Trend of leprosy new case detection rate and factors influencing in 38 districts in East Java Province, 2006-2010. The design of this research is ecological study. The results indicate that the trend of leprosy new case detection rate in 38 districts showed decrease similarly with active leprosy case finding. Unlike the case with passive case finding of leprosy, BCG immunization coverage and population density. Low topography regions tend to have the leprosy new case detection rate is higher. Pearson’s correlation test results indicate that passive case finding, active case finding, BCG immunization coverage, and topography have a meaningful association with the leprosy new case detection rate (p-value<0,05). Population density had no significant association (p-values>0,05). The focus of leprosy control programs should be more directed to the active case finding, especially in areas of low topography integration with the immunization program. The active case finding with the modification education would increase passive case finding, eventually will reduce the new case detection rates of leprosy. Key words: leprosy, new case detection, passive case detection, active case detection, BCG, population density, topography
x Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............................. vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP .... ........................................................................ vii ABSTRAK...................... ...................................................................................... viii ABSTRACT...................... .................................................................................... ix DAFTAR ISI..................... .................................................................................... x DAFTAR TABEL.................. ............................................................................... xiii DAFTAR GRAFIK.......................................................................................... ......xiv DAFTAR GAMBAR................... .................................................................... .....xvi DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. .....xvii DAFTAR LAMPIRAN................... ................................................................ .....xviii 1
PENDAHULUAN................... ................................................................... ........1 1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ....................................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................. Pertanyaan Penelitian ............................................................................ Tujuan ................................................................................................... 1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................. 1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 1.5 Ruang Lingkup ....................................................................................... 2
1 4 4 5 5 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA................... .......................................................... ........7 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Kusta .................................................................................................... Penyebab ................................................................................................ Sumber Penularan .................................................................................. Lingkungan ............................................................................................. Riwayat Alamiah Penyakit ...................................................................... Diagnosis, klasifikasi, dan pengobatan .................................................... Faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta ............................................ 2.7.1 Usia............... ............................................................................... 2.7.2 Jenis kelamin................................................................................ 2.7.3 Ras atau etnik.......... .....................................................................
xi Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
7 7 7 8 8 9 10 10 11 11
2.7.4 2.7.5 2.7.6 2.7.7 2.7.8 2.7.9 3
Vaksinasi BCG............................................................................. Sosio-ekonomi.......... ................................................................... Status kontak dengan kasus.......... ................................................ Geografi.......... ............................................................................. Topografi.......... ........................................................................... Program pengendalian penyakit kusta...........................................
11 12 12 12 13 13
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL................... ..................................................................... ......16 3.1 Kerangka Teori ....................................................................................... 16 3.2 Kerangka Konsep .................................................................................... 17 3.3 Definisi Operasional ............................................................................... 18
4
METODOLOGI PENELITIAN................... ............................................. ......20 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.5
5
Jenis Penelitian ....................................................................................... Populasi dan Sampel Penelitian .............................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Pengumpulan Data ................................................................................. Pengolahan Data ..................................................................................... Analisa Data ...........................................................................................
20 20 20 21 21 21
HASIL................... ..................................................................................... ......23 5.1 Gambaran Umum Wilayah ...................................................................... 23 5.2 Analisis Univariat .................................................................................... 24 5.2.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 Wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ........................................................................... 24 5.2.2 Kecenderungan penemuan kasus secara pasif 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ........ 28 5.2.3 Kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ........ 30 5.2.4 Kecenderungan cakupan vaksinasi BCG di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ........ 31 5.2.5 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ........ 33 5.2.6 Topografi di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ................................................................. 35 5.3 Analisis Bivariat ................................................................................. .... 36 5.3.1 Analisis hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa
xii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
5.3.2
5.3.3
5.3.4
5.3.5
6
Timur tahun 2006-2010......... ....................................................... Analisis hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010.......................................... Analisis hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... .............................................. Analisis hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ....................................................... Analisis hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010......... ...........................................................................
36
37
38
40
41
PEMBAHASAN................... ...................................................................... ......43 6.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 43 6.2 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ............................ 43 6.3 Hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010...................................................................................... 44 6.4 Hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010...................................................................................... 45 6.5 Hubungan cakupan vaksinasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ............................................................................................... 46 6.6 Hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 2010 ....................................................................................................... 47 6.7 Hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 ............... 47
6
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... ......48 7.1 Kesimpulan ........................................................................................... 48 7.2 Saran ................................................................................................ ......48
DAFTAR REFERENSI.................. .................................................................. .....51
xiii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1
Definisi Operasional.............. .................................................... ... 18
Tabel 5.1
Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Pasif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta.............. ................ ... 36
Tabel 5.2
Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta.............. ................ ... 38
Tabel 5.3
Analisis Korelasi dan Regresi Cakupan Imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta.............. ............................ ... 39
Tabel 5.4
Analisis Korelasi dan Regresi Kepadatan Penduduk dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta.............. ............................ ... 40
Tabel 5.5
Analisis Korelasi dan Regresi Topografi dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta.............. ....................................... ... 41
xiv Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1
Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Indonesia Tahun 2000-2010.............. ......................................................... ... 3
Grafik 5.1
Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Penyakit Kusta (CDR) per 100.000 penduduk dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ..................................... ... 25
Grafik 5.2.
Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Penyakit Kusta (CDR) per 100.000 penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ... 25
Grafik 5.3
Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ... 28
Grafik 5.4
Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 20062010.............. ............................................................................ ... 29
Grafik 5.5
Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ... 30
Grafik 5.6
Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 20062010.............. ............................................................................ ... 31
Grafik 5.7
Kecenderungan proporsi cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ... 32
Grafik 5.8
Kecenderungan cakupan imunisasi BCG berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.............. ... 33
Grafik 5.9
Kecenderungan kepadatan penduduk dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ..................................... .... 34
Grafik 5.10
Kecenderungan kepadatan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ............ .... 34
Grafik 5.11
Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Pasif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ......................................... .... 37
xv Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
Grafik 5.12
Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ......................................... .... 38
Grafik 5.13
Diagram Tebar Hubungan Cakupan Imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ......................................... .... 39
Grafik 5.14
Diagram Tebar Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta .................................................... .... 40
Grafik 5.15
Diagram Tebar Hubungan Topografi dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta ..................................................................... .... 42
xvi Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar
3.1
Kerangka Teori ........................................................................ 16
Gambar
3.2
Kerangka Konsep ..................................................................... 17
Gambar
5.1
Wilayah Administrasi Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ......... 25
Gambar
5.2
Penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ................................................................................ 27
Gambar
5.3
Topografi wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ......................................................................................... 27
xvii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR SINGKATAN
Bappenas
: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BCG
: Bacille Calmette Guerin
BPS
: Biro Pusat Statistik
BTA
: Basil Tahan Asam
CDR
: Case Detection Rate
Depkes RI
: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes
: Kementerian Kesehatan
MDT
: Multi Drug Therapy
MB
: Multi Basiler
PB
: Pausi Basiler
mdpl
: meter di atas permukaan laut
WHO
: World Health Organization
xviii Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor lampiran 1. Output Pengolahan Data Bivariat pada Penelitian Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta dan Faktor yang Mempengaruhinya Di 38 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010.
xix Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia sampai saat ini masih menghadapi beban ganda penyakit. Selain
penyakit menular dan penyakit tidak menular, Indonesia juga masih dihadapkan pada beberapa penyakit yang terabaikan (neglected disease) seperti kusta, frambusia, filaria dan schistosomiasis. Oleh karenanya arah kebijakan dan strategi pembangunan bidang sosial budaya khususnya kesehatan antara lain dengan mengupayakan eliminasi penyakit yang terabaikan tersebut. (Bappenas, 2010). Kusta yang termasuk dalam penyakit terabaikan merupakan penyakit infeksi kronis yang bermanifestasi pada kelainan kulit dan saraf tepi. (WHO, 2009, Lockwood, 2004). Di antara penyakit menular lainnya, penyakit kusta yang sering kali menimbulkan kecacatan permanen. (WHO, 2009). Penyakit kusta ditakuti karena kerusakan yang ditimbulkannya seperti kelemahan dan anastesi pada tangan dan kaki. Dua juta orang diseluruh dunia diperkirakan menjadi disabilitas oleh karena penyakit ini. (Lockwood, 2004). Penyakit dan masalah kecacatan fisik inilah yang pada akhirnya menimbulkan stigma sosial dan diskriminasi serta dampak ekonomi tidak hanya bagi kasusnya namun juga bagi anggota keluarga yang lainnya. Sejak pertama kali MDT (Multi Drug Therapy) diperkenalkan hampir 15 juta kasus yang didiagnosis kusta sembuh dengan MDT dan sedikit kasus relaps yang dilaporkan. (WHO, 2009). Meskipun MDT sangat efektif dalam menyembuhkan infeksi mikobakteri namun MDT tidak dapat menyembuhkan kerusakan saraf yang telah terjadi. (Lockwood, 2004) Pada tahun 1991, majelis Kesehatan Dunia telah menetapkan target untuk mengeliminasi kusta pada tahun 2000. Eliminasi yang dimaksud adalah penurunan prevalensi menjadi kurang dari 1 per 10000 penduduk. (WHO, 2009). Dan pada tahun 2001, melalui sidang WHA yang ke 44 dideklarasikan bahwa kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat telah berhasil dieliminasi pada tahun 2000. Penggunaan MDT Universitas Indonesia
1
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
2
dan perubahan jangka waktu pengobatan merupakan upaya yang menyertai resolusi tersebut (Rodrigues, Lockwood, 2011) Penggunaan kata eliminasi dalam resolusi telah menyebabkan persepsi bahwa kusta akan menghilang, akibatnya sumber daya untuk penelitian dan upaya pengendalian kusta menjadi berkurang. Hal ini membuat WHO memperbaharui Rencana Strategi Eliminasi Kusta, sehingga kata eliminasi diganti dengan frase “mengurangi beban penyakit kusta”. Istilah ini mencakup beban langsung yang disebabkan oleh penyakit dan beban yang ditimbulkan karena kecacatan. (Rodrigues, Lockwood, 2011) Beban penyakit kusta dapat dilihat dengan 3 cara, salah satunya angka insidens. Angka insidens merupakan ukuran epidemiologi yang paling relevan. Namun angka insidens sulit diukur secara langsung sehingga digunakan angka penemuan kasus baru sebagai indikator proksi. Pada tingkat global angka penemuan kasus baru menunjukkan penurunan yang perlahan, tapi di beberapa daerah menunjukkan statis. (WHO, 2009) Fakta bahwa tidak semua negara menunjukkan penurunan kecenderungan kasus baru dilaporkan oleh WHO. Dikatakan bahwa antara tahun 2006 dan 2007 terjadi peningkatan penemuan kasus baru di 10 negara seperti Angola, Cina, Republik Demokratik Congo, Pantai Gading, Ethiopia, Madagaskar, Nepal, Nigeria, Srilanka, bahkan Indonesia. Peningkatan yang tajam diamati terjadi di negara Sudan sedangkan penurunan seperti yang terjadi di India, Myanmar dan Filipina relatif lambat atau stabil. (WHO, 2009) Berdasarkan laporan WHO, pada tahun 2010 di tingkat global 95% kasus baru disumbangkan oleh 17 negara yang melaporkan lebih dari 1000 kasus baru tiap tahunnya. Terdapat 192.246 kasus kusta terdaftar dan 228.474 kasus baru. (WHO, 2011) Meskipun di tingkat global kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat namun di beberapa negara penyakit kusta masih belum berhasil dieliminasi. Setiap tahunnya juga masih banyak ditemukan kasus baru. Dari 17
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
3
negara yang melaporkan penemuan kasus baru lebih dari 1000 kasus, Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Brazil. (WHO, 2011) Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000, namun demikian kasus baru masih saja terus ditemukan sampai saat ini. Jumlah kasus baru yang ditemukan setiap tahunnya berkisar antara 14.000 – 19.000 kasus. Jumlah kasus baru tertinggi ditemukan pada tahun 2005 yaitu sebesar 19.695 kasus dan jumlah kasus baru terendah ditemukan pada tahun 2000 yaitu 14.697 kasus. (Kemenkes RI, 2010) Program pengendalian kusta telah menargetkan angka penemuan kasus baru sebesar kurang dari 5 per 100.000 penduduk. Namun sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 target tersebut belum pernah tercapai. Angka penemuan kasus baru masih berkisar antara 7,21 hingga 8,99 per 100.000 penduduk. Angka penemuan tertinggi ditemukan pada tahun 2005 yaitu 8,99 per 100.000 penduduk dan angka penemuan terendah ditemukan pada tahun 2001 yaitu 7,21 per 100.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2010) Kecenderungan angka penemuan kasus baru Indonesia sejak tahun 2000 ditampilkan dalam grafik berikut: Grafik 1.1 Kecenderungan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Indonesia, Tahun 2000-2010
10 8
8,99 7,22 7,21 7,76 7,51 7,8
8,27 7,84 7,6
6
7,49 7,22
4 2 0
0,86 0,87 0,95 0,87 0,93 0,98 1,03 0,95 0,94 0,910,84 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Angka prevalens
Angka penemuan kasus baru
Sumber: Subdit P2 Kusta & Frambusia, Ditjen PP & PL
Di tingkat provinsi, masih banyak yang angka penemuan kasus barunya di atas target nasional. Provinsi tersebut antara lain Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
4
Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, NTT, Papua, Papua Barat. Angka penemuan kasus baru tertinggi ditemui di provinsi Maluku Utara yaitu 49,01 per 100.000 penduduk. Sedangkan provinsi yang mempunyai jumlah kasus baru tertinggi adalah provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 4653 kasus. (Kemenkes RI, 2010) Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kasus baru paling banyak di Indonesia. Dari total kasus baru di Indonesia, Jawa Timur menyumbang kasus sebesar 23 – 35%. Angka penemuan kasus baru pun sejak tahun 2000 belum pernah turun di bawah 5 per 100.000 penduduk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa diperlukan sebuah upaya untuk menggambarkan kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dan faktor yang mempengaruhinya pada wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.
1.2
Rumusan Masalah Belum diketahuinya kecenderungan angka penemuan kasus baru, faktor
operasional, cakupan imunisasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini.
1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah kecenderungan angka penemuan kasus baru di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 2. Bagaimanakah kecenderungan penemuan kasus secara pasif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 3. Bagaimanakah kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 4. Bagaimanakah kecenderungan cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 5. Bagaimanakah kecenderungan kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
5
6. Bagaimanakah gambaran topografi (ketinggian wilayah) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur 7. Bagaimanakah korelasi antara penemuan kasus pasif, penemuan kasus aktif, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk), topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur
1.4
Tujuan
1.4.1
Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan faktor operasional
(penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif), cakupan imunisasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi dengan angka penemuan kasus baru 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kecenderungan angka penemuan kasus baru di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 2. Diketahuinya kecenderungan penemuan kasus secara pasif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 3. Diketahuinya kecenderungan penemuan kasus secara aktif di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 4. Diketahuinya
kecenderungan cakupan vaksinasi BCG di 38 kabupaten/kota
provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 5. Diketahuinya gambaran kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010 6. Diketahuinya gambaran topografi (ketinggian wilayah) 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur 7. Diketahuinya korelasi antara cakupan vaksinasi BCG, penemuan kasus aktif, penemuan kasus pasif, kondisi sosial ekonomi (tingkat pendidikan), topografi
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
6
dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam
memahami variabilitas penemuan kasus baru penyakit kusta dan kecenderungannya berdasarkan variabel faktor operasional, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi dan topografi. 1.5.2
Peneliti lain Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan data dasar bagi
penelitian
sejenis
kecenderungan
berikutnya
angka
khususnya
penemuan
kasus
dalam baru
dan
mengupas faktor
–
permasalahan faktor
yang
mempengaruhinya. 1.5.3
Dinas Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan
bagi pengelola program dalam upaya pengendalian penyakit kusta yang berbasis data. Dengan demikian, semua kegiatan program pengendalian penyakit kusta lebih diarahkan atau difokuskan pada kegiatan dan wilayah yang dapat menurunkan angka penemuan kasus baru kusta.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecenderungan angka penemuan
kasus baru kusta, penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan vaksinasi BCG, kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) dan topografi. Lokasi yang menjadi wilayah penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur yang berjumlah 38. Data yang diambil berasal dari tahun 2006 – 2010. Penelitian ini menggunakan rancangan studi ekologi. Data akan dianalisis secara univariat dan bivariat.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kusta Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae (M. Leprae) yang kali pertama menyerang saraf tepi selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, system retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. (Depkes RI, 2007 dan S. Sjamsoe, dkk, 2003). Hanya sebagian keIKl orang yang memperlihatkan gejala kusta akan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Namun, banyak orang yang terinfeksi kuman kusta namun tidak muncul gejala. (Sjamsoe, dkk, 2003)
2.2
Penyebab Mycobacterium Leprae diketahui sebagai penyebab terjadinya penyakit kusta.
Sarjana dari Norwegia yaitu GH Armaeur Hansen pada tahun 1873 menemukan kuman ini. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5µ. Hidup secara berkelompok namun adapula yang tersebar satu-satu. Biasanya hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo. Kuman kusta dibandingkan dengan kuman lain memerlukan waktu yang lama untuk membelah diri, yaitu 12-21 hari. Oleh karenanya masa inkubasinya menjadi lama yaitu rata-rata 2 – 5 tahun. (S. Sjamsoe, dkk, 2003)
2.3
Sumber Penularan Sampai saat ini baru manusia yang diketahui sebagai satu-satunya sumber
penularan kuman kusta, meskipun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. (Depkes RI, 2007). Penderita kusta tipe MB diketahui paling banyak membawa bakteri M. leprae. (Hastings, 1985) 7
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
8
2.4
Lingkungan Duncan (1994) mengatakan bahwa negara yang beriklim tropis memiliki
prevalensi kusta yang lebih tinggi. (Hasyim, 2007) Pendapat ini juga didukung oleh studi yang dilakukan Kerr-Pontes pada tahun 2004 bahwa ada perbedaan trend penyakit kusta berdasarkan distribusi geografis pada tingkat subkontinental seperti ditemukan di negara Afrika, Asia Tenggara, Eropa Utara, Amerika Utara, dan Amerika Tengah yang memiliki iklim tropis dan subtropis. (Kerr-Pontes, 2004) Hal ini wajar terjadi karena M. leprae berdasarkan bukti yang ada lebih senang tumbuh dalam temperature kurang dari 37°C. Pada tikus temperatur optimum yang dibutuhkan oleh M. leprae untuk pertumbuhannya antara 27-30°C. (Hastings, 1985) Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Timur menemukan 9 (64,3%) dari 14 sampel air telaga yang diperiksa mengandung BTA positif. Dan setelah dilakukan uji PCR ada 6 sampel (71,4%) yang menunjukkan DNA positif. (Agusni, 2006) Namun belum ada penelitian yang membuktikan bahwa kuman kusta yang ada di air dapat menginfeksi manusia.
2.5
Riwayat Alamiah Penyakit Saluran napas bagian atas dan kulit dari penderita tipe Lepromatosa telah
terbukti merupakan sumber keluarnya M. leprae. (Hastings, 1985) Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-1010. Setelah keluar dari mukosa hidung dalam kondisi tropis kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sampai dengan 9 hari. (Depkes RI, 2007) Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Penderita kusta tipe MB dapat menularkan penyakit kusta dengan cara penularan langsung. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Namun, penderita yang sudah minum MDT tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain. (Depkes RI, 2007) Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini juga belum dapat dipastikan. Namun, diperkirakan ada dua pintu masuk utama kuman Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
9
kusta yaitu kulit dan saluran nafas bagian atas. (Hastings, 1985) Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, viabilitas dan virulensi kuman. (S. Sjamsoe, dkk, 2003) Ilustrasi imunitas seseorang digambarkan seperti berikut bahwa dari 100 orang yang terpapar kuman kusta, hanya 5 orang yang dapat berkembang menjadi kusta, dan 95 orang lainnya telah mempunyai kekebalan. Dari 5 orang tersebut, 3 orang dapat sembuh sendiri dan 2 orang sembuh melalui pengobatan. (Depkes RI, 2007)
2.6
Diagnosis, Klasifikasi, dan Pengobatan Penyakit kusta sering kali menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit
lain. Oleh karenanya dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit ini secara tepat dan membedakannya dengan penyakit lain yang serupa agar tidak membuat kesalahan yang dapat merugikan penderita. (S. Sjamsoe, dkk, 2003) Berdasarkan buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta tahun 2007, diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan pada tanda-tanda utama, yaitu : a.
Lesi atau kelainan kulit yang mati rasa. Lesi dapat berbentuk keputih-putihan atau kemerah-merahan
b.
Penebalan saraf tepi yang disetai gangguan fungsi saraf, baik fungsi saraf sensoris, saraf otonom maupun saraf motoris
c.
Adanya bakteri tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif) Seseorang didiagnosis sebagai penderita kusta bilamana terdapat salah satu
dari tanda-tanda utama tersebut di atas. Bila
diagnosis
telah
ditegakkan
maka
langkah
selanjutnya
adalah
mengklasifikasikan kusta sesuai dengan tipe yang ada pada penderita. Beberapa jenis klasifikasi yang umum digunakan untuk penyakit kusta, diantaranya: a.
Klasifikasi Madrid (1953), digunakan secara internasional. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 4 tipe yaitu Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline – Dimorphous (B), dan Lepromatosa (L)
b.
Klasifikasi Ridley-Jopling (1962), digunakan untuk kepentingan riset. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tuberkuloid (TT), Borderline Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
10
Tuberkuloid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa (LL) c.
Klasifikasi WHO (1988), digunakan untuk kepentingan program. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi 2 tipe yaitu Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB) Klasifikasi yang digunakan di Indonesia mengacu pada klasifikasi yang
ditetapkan oleh WHO. Setelah penderita didiagnosis dan diklasifikasi selanjutnya penderita diobati. Penderita akan diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta, sehingga pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang ada sebelum pengobatan. (Depkes RI, 2007) Sampai tahun 1982, Dapson merupakan obat utama bagi pengobatan penderita kusta. Namun ketika banyak dilaporkan resistensi terhadap Dapson, WHO melalui kelompok studi kemoterapinya secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDTWHO. (Bakker, 2005 dan S. Sjamsoe, dkk, 2003) Rejimen MDT terdiri atas kombinasi obat-obat Dapson, rifampisin dan klofazimin. Pengobatan bagi penderita kusta tipe PB diberikan 6 blister MDT yang dihabiskan dalam jangka waktu 6 bulan dan bagi penderita kusta tipe MB diberikan 12 blister MDT yang dihabiskan dalam jangka waktu 12 bulan. (Depkes RI, 2007)
2.7
Faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta Beberapa faktor diketahui dapat menyebabkan terjadinya penyakit kusta.
Faktor tersebut diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ras atau etnik, vaksinasi BCG, status sosio-ekonomi, status kontak dengan penderita, geografi, topografi dan pelayanan kesehatan. 2.7.1. Usia Kusta diketahui terjadi pada semua umur antara bayi sampai dengan lanjut usia. Penderita kusta termuda, yaitu usia 3 minggu pernah dilaporkan di Negara Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
11
Martinique. Meskipun banyak wilayah endemis tinggi yang menunjukkan pola distribusi kusta yang sama pada semua umur, masih ada wilayah yang menunjukkan pola yang berbeda. Di wilayah tersebut kejadian kusta lebih sering ditemukan pada usia anak dibandingkan dewasa. (Hastings, 1985) Hasil dari 13 penelitian didapatkan gambaran bahwa ada hubungan antara usia dengan kejadian kusta. Namun hanya 10 penelitian yang menunjukkan tingginya angka insiden kusta pada anak usia 5-14 tahun. (Bakker, 2005) 2.7.2
Jenis kelamin Meskipun kusta terjadi pada semua jenis kelamin, sebagian besar negara di
dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena kusta dibandingkan perempuan dengan rasio 2:1. (Hastings, 1985) Hasil dari 13 studi kohort menunjukkan bahwa peningkatan risiko (Relative Risk) untuk terkena kusta pada laki-laki bervariasi yaitu 0,8 di Malawi hingga 1,9 di Pilipina. Namun, terjadi bias informasi bila membandingkan angka insiden kusta pada laki-laki dan perempuan. Hal ini terkait dengan akses ke pelayanan kesehatan. (Bakker, 2005) 2.7.3
Ras atau etnik Di beberapa negara kejadian kusta menunjukkan variasi yang cukup besar
antara beberapa etnik. Di Myanmar, kasus kusta tipe MB lebih banyak ditemukan pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik Indian yang tinggal bersama-sama dalam negara tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, kasus kusta tipe MB lebih banyak ditemukan pada etnik China, baru kemudian etnik Melayu dan Indian. Di India, kasus kusta yang parah lebih banyak terjadi pada etnik Anglo-Indian dibandingkan etnik Indian. Sedangkan di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik lainnya. (Hastings, 1985, Depkes, 2007) 2.7.4
Vaksinasi BCG Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pemberian vaksinasi BCG
dapat memberikan perlindungan seseorang terhadap kusta. Studi yang dilakukan di Malawi pada tahun 1996 menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar 50%, dan dengan pemberian dua dosis dapat memberikan perlindungan terhadap kusta hingga 80%. Hasil yang sama juga Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
12
ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan di Brazil bahwa pemberian vaksin BCG pada kelompok umur yang berbeda dapat melindungi seseorang terhadap kusta. Pemberian vaksin BCG pada kelompok umur 18-29 tahun sebesar 86% (95% IK: 7792), pada kelompok umur 30-39 tahun sebesar 54% (95% IK: -37-85), dan pada kelompok usia 40 tahun atau lebih sebesar 32% (95% IK: -3-56). Meskipun efikasi dari vaksin BCG yang ditemukan di beberapa negara juga bervariasi yaitu antara 2080%. (Depkes, 2007, Rodrigues,et al, 2007, Bakker, 2005) 2.7.5
Sosio-ekonomi Secara umum dapat dipercaya bahwa perbaikan kondisi sosio ekonomi dapat
menurunkan efek insiden kusta. Studi yang dilakukan di Malawi menunjukkan bahwa risiko terkena kusta dapat menurun dengan meningkatnya status pendidikan. Hal yang sama juga berlaku bagi kualitas keadaan rumah. Di Brazil, analisis multivariat menunjukkan korelasi negatif antara pendidikan, pertumbuhan penduduk, status sosio-ekonomi, dan keberadaan jalan dengan angka penemuan kasus baru. Angka insiden kusta ditemukan berkorelasi dengan jumlah penduduk. (Bakker, 2005, KerrPontes.et.al, 2004) 2.7.6
Status kontak dengan penderita Studi retrospektif yang dilakukan di kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur
menunjukkan bahwa kontak dengan penderita tipe MB mempunyai risiko 2,8 kali (95% IK: 1,8-4,4) lebih tinggi untuk terkena kusta dibandingkan kontak dengan penderita tipe PB. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan di Tumaluntung bahwa bukan hanya kontak serumah dengan penderita tipe MB yang mempunyai risiko 13,7 kali lebih tinggi (95% IK: 8-24) untuk terkena kusta namun kontak yang tinggal disebelah rumah penderita tipe MB pun dapat berisiko 6,2 kali (95% IK: 3,4-11,2) untuk terkena kusta. Sedangkan kontak dengan penderita tipe PB mempunyai risiko 5,2 kali (95% IK: 2,3-11,8). (Bakker, 2005) 2.7.7
Geografi Di Malawi, dilakukan penelitian tentang distribusi geografi angka insiden
kusta dengan menggunakan foto udara untuk menentukan jarak ke sungai, jalan dan tepi danau, dan kepadatan penduduk per kilometer persegi. Ditemukan perbedaan Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
13
insiden di wilayah sebelah utara dan selatan. Hasilnya, angka insiden meningkat seiring dengan meningkatnya jarak dari jalan utama dan menurun seiring dengan peningkatan jarak dari sungai atau danau. (Bakker, 2005) Ada korelasi positif antara kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta (p=0,011)
2.7.8
Topografi Topografi merupakan ketinggian wilayah yang dihitung dari permukaan air
laut. Ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif antara topografi dengan angka penemuan kasus baru di 14 wilayah kabupaten/kota provinsi Sumatera Selatan. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi angka penemuan kasus barunya lebih rendah dibandingkan dengan angka penemuan kasus baru di wilayah yang topografinya rendah (Hasyim, 2007) 2.7.9
Program Pengendalian kusta Pada prinsipnya upaya pengendalian penyakit kusta berdasarkan pada
penemuan secara dini dan pengobatan secara tuntas. Tujuan dari pengendalian penyakit kusta adalah menurunkan angka insiden yaitu dengan memutus mata rantai penularan dan mencegah kecacatan pada semua penderita yang baru ditemukan. (Bakker, 2005) Kebijakan dalam rangka pengendalian penyakit kusta adalah dengan mengintegrasikan program kusta ke dalam pelayanan kesehatan dasar di tingkat puskesmas dan juga mengobati penderita kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi dari WHO serta memperkuat sistem rujukan yang telah ada. (Depkes RI, 2007) Kegiatan yang dapat dilakukan dalam program pengendalian kusta adalah tata laksana penderita dan tata laksana progam. Tata laksana penderita meliputi penemuan, diagnosis, klasifikasi, pengobatan, pencegahan cacat, dan rehabilitasi medik. Sedangkan tata laksana progam antara lain perencanaan, pelatihan, penyuluhan dan advokasi, supervisi, pencatatan dan pelaporan, monitoring dan evaluasi, pengelolaan logistik. (Depkes RI, 2007)
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
14
Ada 3 indikator utama yang digunakan untuk monitoring tren epidemiologi kusta yaitu jumlah dan angka kasus baru yang ditemukan dalam 1 tahun per 100.000 penduduk, jumlah dan angka kasus baru yang ditemukan dengan cacat tingkat 2 dalam 1 tahun per 100.00 penduduk, dan proporsi penderita yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu. (WHO, 2009) Di antara indikator lainnya, angka penemuan kasus baru yang paling sering digunakan untuk menentukan besarnya masalah kusta di suatu wilayah. Angka penemuan kasus baru digunakan untuk menghitung berapa jumlah kebutuhan MDT yang harus disuplai ke suatu daerah. Tren angka penemuan kasus baru juga dapat digunakan untuk menilai apakah kegiatan yang bertujuan untuk mengendalikan kusta efektif. Beberapa faktor operasional yang diketahui dapat mempengaruhi angka penemuan kasus baru kusta antara lain: 1.
Spesifisitas diagnosis Perubahan definisi kasus, kriteria diagnosis yang berbeda dan digunakan selama bertahun-tahun serta kelemahan kontrol kualitas pemeriksaan penderita berakibat pada akurasi diagnosis. Di India, angka over diagnosis ditemukan berkisar antara 6-13%. Over diagnosis lebih banyak dijumpai di daerah perkotaan disbanding daerah pedesaan. (Gupte, 2006)
2.
Sensitifitas diagnosis Selain spesifisitas diagnosis, faktor yang dapat mempengaruhi angka penemuan penderita baru kusta adalah sensitifitas. Sensitifitas sebagaimana Gupte menyebutkan antara lain seperti kemiskinan, kecacatan, stigma, gender, aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. (Gupte, 2006)
3.
Penemuan kasus secara pasif atau pelaporan sukarela Penemuan penderita secara pasif berdasarkan adanya orang yang datang mencari pengobatan ke puskesmas atau sarana kesehatan lainnya atas kemauan sendiri atau saran dari orang lain. Penderita ini biasanya datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. (Depkes RI, 2007) Di provinsi Tamilnadu, India ditemukan bahwa proporsi pelaporan diri secara sukarela setelah integrasi
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
15
program kusta ke dalam pelayanan kesehatan sebesar 25%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan sebelum integrasi yaitu sebesar 14%. (Gupte, 2006) 4.
Re-registrasi Registrasi kembali penderita yang telah sembuh sebagai penderita baru ditemukan pada kegiatan penemuan kasus aktif seperti LEC (Leprosy Elimination Campaign). Kisarannya antara 33-82%. Hal ini terjadi karena kurangnya supervisi dan ketidakpatuhan terhadap pedoman nasional dan internasional. (Gupte, 2006) Di Indonesia sendiri, penderita kusta yang ditemukan di daerah endemis rendah harus dikonfirmasi kepada pengelola program tingkat kabupaten dan provinsi. (Depkes RI, 2007)
5.
Penemuan kasus secara aktif Penemuan kasus secara aktif maksudnya adalah penderita yang ditemukan melalui kegiatan-kegiatan aktif yang dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan. Kegiatan ini mencakup pemeriksaan kontak penderita, Rapid Village Survey, pemeriksaan anak sekolah, dan lain-lain. (Depkes RI, 2007) Di India, setelah dilaksanakan kegiatan penemuan kasus secara aktif (MLEC), kasus baru yang dilaporkan 90%nya adalah kasus yang melaporkan secara sukarela. Setelah terjadi kenaikan angka penemuan kasus baru selanjutnya angka penemuan kembali menurun. (Gupte, 2006)
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Teori Berbagai faktor resiko diketahui dapat mempengaruhi angka penemuan kasus
baru kusta maka berdasarkan literature yang ada digambarkan kerangka teori seperti di bawah ini. Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Epidemiological and Modelling Stuides (Bakker, 2005, Hastings, 1985, KerrPontes, 2004, Gupte, 2006, Hasyim, 2007) yang dimodifikasi: Gambar 3.1 Bagan Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Faktor individu : − Usia − Jenis kelamin − Ras / Etnik − Vaksninasi BCG
Faktor komunitas : − Sosio-ekonomi (pendapatan per kapita, pendidikan, kondisi rumah, pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk, keberadaan jalan)
Faktor makro : − Geografi (jarak ke sungai, jarak ke jalan dan atau danau) − Topografi
Lingkungan tempat kuman kusta berkembang biak: Tanah, air, bianatang reservoir yaitu armadillo
Cara penularan : Kontak kulit Penularan melalui udara (droplet infection)
Status kontak dengan penderita
16
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
Angka penemuan kasus baru kusta
Faktor operasional : − Sensifitas diagnosis − Spesifisitas diagnosis − Re-registrasi − Penemuan kasus secara pasif − Penemuan kasus secara aktif
17
3.2
Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas, maka kerangka konsep yang akan
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen terdiri dari penemuan kasus secara pasif, penemuan kasus secara aktif, cakupan vaksinasi BCG, kepadatan penduduk dan topografi. Sedang variabel yang dipengaruhinya adalah angka penemuan kasus baru kusta. Berikut adalah kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini:
Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Penemuan kasus secara pasif
Penemuan kasus secara aktif
Cakupan vaksinasi BCG
Angka penemuan kasus baru kusta
Kepadatan penduduk
Topografi
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
18
3.3
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Angka
kasus
baru kusta
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil ukur
Rasio
Jumlah
Laporan rutin
Pencatatan
Jumlah
penderita yang
program kusta
hasil
penderita baru
laporan
baru ditemukan
penemuan
yang
dan
penderita baru
ditemukan per
kusta
100.000
belum
pernah
penduduk
mendapat MDT (Multi
Skala
Drug
Therapy) pada periode
satu
tahun
per
100.000 penduduk Penemuan
Persentase
Laporan rutin
Pencatatan
Persentase
kasus
penderita yang
program kusta
hasil
penemuan
secara
pasif
laporan
Rasio
melaporkan diri
penemuan
penderita baru
secara sukarela
penderita baru
yang
melalui
melaporkan
kegiatan pasif
diri
secara
sukarela Penemuan
Persentase
Laporan rutin
Pencatatan
Persentase
kasus
penderita yang
program kusta
hasil
penemuan
secara
aktif
laporan
Rasio
ditemukan
penemuan
penderita baru
melalui
penderita baru
melalui :
kegiatan
melalui
Pemeriksaan
pemeriksaan
kegiatan aktif
kontak,
RVS,
survey
anak
kontak,
Rapid
Village Survey
sekolah
(RVS), Survey anak sekolah Cakupan
Persentase
vaksinasi
balita
BCG
mendapat
yang
Laporan rutin
Pencatatan
Persentase
program
hasil
cakupan
imunisasi
vaksinasi rutin
laporan
Rasio
vaksinasi BCG Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
19
vaksinasi BCG Pencatatan
Kepadatan
BPS provinsi
hasil
penduduk
Jawa Timur
yang diperoleh
Kepadatan
Perbandingan
Daftar
penduduk
jumlah penduduk dengan
isian
laporan
dari
luas
Rasio per
km2
BPS
Provinsi Jawa
wilayah
Timur dengan membagi jumlah penduduk suatu wilayah per
luas
daerah (km2) Topografi
Jarak wilayah
suatu dari
permukaan laut
Mengukur
Peta
jarak
wilayah
suatu
wilayah permukaan
dari
digital
Ketinggian dari
Rasio
permukaan laut
provinsi Jawa Timur
laut
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Jenis Penelitian Studi yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan studi deskriptif
yang menggunakan desain korelasi atau ekologi. Menurut Murti, studi ekologi bertujuan mendeskripsikan hubungan korelasi antara penyakit dengan variabel prediktor, dengan membandingkan kasus berdasarkan wilayah atau geografi. Studi ini tidak hanya bermanfaat untuk memahami fenomena alami pada populasi bahkan dapat pula menguji penerapan tentang etiologi penyakit pada setting yang nyata. (Murti, 2003) Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan angka penemuan kasus baru kusta di tingkat kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010. Unit analisis pada penelitian ini adalah populasi yaitu angka penemuan penderita baru kusta per wilayah per tahun.
4.2
Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan pada seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota provinsi
Jawa Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan pada ketersediaan data sekunder penyakit kusta dan cakupan vaksinasi BCG. Pengumpulan data sekunder penelitian dilakukan oleh peneliti selama ± 1 bulan.
4.3
Populasi dan sampel Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh penemuan penderita baru
penyakit kusta di provinsi Jawa Timur. Sedangkan populasi studinya adalah penemuan penderita baru penyakit kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006 – 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah penemuan penderita baru penyakit kusta per wilayah kabupaten/kota per tahun dalam kurun waktu 2006 – 2010.
20
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
21
4.4
Pengumpulan data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
yang bersumber dari laporan rutin program kusta dan laporan rutin program imunisasi seluruh wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari : a. Data penemuan kasus baru kusta b. Data cakupan vaksinasi BCG c. Data penemuan penderita baru yang ditemukan melalui penemuan aktif d. Data penemuan penderita baru yang ditemukan melalui penemuan pasif e. Data kondisi sosial ekonomi (kepadatan penduduk) yang diperoleh melalui BPS daerah f. Data topografi
4.5
Pengolahan Setelah proses pengumpulan data selesai, tahap selanjutnya yaitu pengolahan
data. Data diolah secara manual dengan bantuan komputer dan menggunakan program Microsoft Excel. Program SPSS digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.
4.6
Analisis data Tahap selanjutnya setelah pengolahan data selesai data akan dianalisis dengan
menggunakan dua tahap yaitu : 4.6.1
Analisis univariat Data yang digunakan dalam penelitian ini berjenis numerik sehingga untuk
mendeskripsikannya digunakan ukuran tengah dan ukuran variasi. Bila data kategorik yang dikumpulkan ternyata tidak menunjukkan adanya nilai ekstrim (distribusi normal) akan digunakan nilai median dan interquartil. (Hastono, 2002) Data akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik beserta penjelasannya untuk memudahkan interpretasi dan visualisasi data.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
22
4.6.2
Analisis bivariat Analisa yang akan digunakan untuk menguji hubungan antara variabel
dependen (angka penemuan kasus baru kusta) dengan variabel independen (faktor yang mempengaruhi angka penemuan kasus baru). Uji yang digunakan adalah uji korelasi yaitu untuk mengetahui derajat / keeratan hubungan dan arah hubungan dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) dengan nilai p < 0,05. Interpretasi kekuatan hubungan antara dua variabel dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. 0
: tidak ada korelasi antara dua variabel
b. >0 – 0,25
: Korelasi sangat lemah
c. >0,25 – 0,5
: Korelasi sedang
d. >0,5 – 0,75
: Korelasi kuat
e. >0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat f. 1
: korelasi sempurna
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum wilayah Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di pulau Jawa. Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua yaitu Jawa Timur daratan dan kepulauan Madura. Luas wilayah daratan hampir mencakup 90% luas wilayah provinsi, sedang luas kepulauan sekitar 10%nya. Provinsi ini mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.156 km2 dan luas wilayah lautan sebesar 110.764,28 km2. Wilayahnya membentang antara 111°0’ BT dan 7°12’LS-8°48’LS. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, selatan dengan Samudera Indonesia, Timur dengan selat Bali dan barat dengan provinsi Jawa tengah. (Dinkes Jatim, 2010) Wilayah administrasi provinsi Jawa Timur dibagi atas 29 kabupaten dan 9 kota.
Yang
termasuk
wilayah
kabupaten
adalah
Pacitan,
Ponorogo,
Kecenderunganggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sedangkan yang termasuk wilayah kota adalah Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto. Jawa Timur mempunyai 662 kecamatan dan 8507 kelurahan/desa. (Dinkes Jatim, 2010) Jumlah penduduk provinsi Jawa Timur berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan BPS sebesar 38.026.550 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 2,39% dan kepadatan sebesar 806 jiwa per kilometer persegi. Rasio rata-rata jiwa per kepala keluarga adalah 4 jiwa. Kepadatan penduduk di kota lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk di wilayah kabupaten. (Dinkes Jatim, 2010)
23
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
24
Gambar 5.1 Wilayah administrasi provinsi Jawa Timur tahun 2010
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Sejak tahun 2006 – 2010 kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan meskipun terjadi lonjakan kenaikan angka penemuan kasus pada tahun 2009. Kecenderungan tersebut ditampilkan dalam grafik seperti berikut:
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
25
Grafik 5.1 Kecenderungan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.1 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata angka penemuan kasus baru dari 38 kabupaten/kota adalah 14,29 per 100.000 penduduk. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2008 sehingga menjadi 12,83 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2009, terjadi kenaikan angka penemuan yaitu sebesar 14,63 per 100.000 penduduk, kemudian pada tahun 2010 kembali menurun hingga menjadi 12,37 per 100.000 penduduk.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
26
Grafik 5.2 Kecenderungan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.2 di atas terlihat bahwa angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 cenderung menurun meskipun pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan dan kembali menurun pada tahun 2010. Wilayah kabupaten/kota yang menunjukkan penurunan angka penemuan kasus baru kusta antara lain Jombang, Kediri, Malang, kota Malang Mojokerto, Ngawi, Pacitan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Tuban, dan Sidoarjo.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
27
Gambar 5.2 Penemuan kasus baru penyakit kusta (CDR) per 100.000 penduduk di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
28
Gambar 5.2 di atas menunjukkan bahwa wilayah kabupaten/kota yang berada di sebelah utara penemuan kasus baru kustanya lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten/kota yang terletak di sebelah selatan. Penemuan kasus baru kusta paling tinggi berada di kabupaten Sampang dengan CDR 64,29 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru penyakit kusta terendah berada di kota Batu dengan CDR 0,22 per 100.000 penduduk.
5.2.2 Kecenderungan proporsi penemuan kasus kusta secara pasif di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006-2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun pada tahun 2008 dan 2009 terjadi penurunan. Berikut adalah tampilan kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.
Grafik 5.3 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.3 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata proporsi penemuan kasus kusta secara pasif dari 38 kabupaten/kota adalah 64,71%. Angka tersebut meningkat hingga tahun 2007 sehingga menjadi 71,46%. Pada Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
29
tahun 2008 dan 2009, terjadi penurunan dan kembali meningkat hingga menjadi 73,59% pada tahun 2010. Grafik 5.4 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara pasif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.4 di atas terlihat bahwa proporsi penemuan kasus kusta secara pasif di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun terjadi penurunan penemuan di tahun 2008 dan 2009. Proporsi penemuan kasus kusta secara pasif paling tinggi berada di kabupaten Magetan dan kota Blitar dengan proporsi 100%. Proporsi penemuan kasus baru penyakit kusta secara pasif terendah berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 19,47%.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
30
5.2.3 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan penurunan. Berikut adalah tampilan kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.
Grafik 5.5 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.5 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata proporsi penemuan kasus kusta secara aktif dari 38 kabupaten/kota adalah 32,66%. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2010 sehingga menjadi 23,78%.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
31
Grafik 5.6 Kecenderungan penemuan kasus kusta secara aktif berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.6 di atas terlihat bahwa proporsi penemuan kasus kusta secara aktif di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan penurunan. Proporsi penemuan kasus kusta secara aktif paling tinggi berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 80,53%. Proporsi penemuan kasus baru penyakit kusta secara pasif terendah berada di kota Batu, kota Blitar dan kabupaten Magetan dengan proporsi 0%.
5.2.4 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan meskipun terjadi penurunan di tahun 2007. Berikut adalah tampilan kecenderungan cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
32
Grafik 5.7 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.7 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata cakupan imunisasi BCG dari 38 kabupaten/kota adalah 91,67%. Angka tersebut menurun pada tahun 2007 sehingga menjadi 88,97%. Namun sejak tahun 2007 cakupan imunisasi BCG terus meningkat hingga menjadi 103,10% pada tahun 2010.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
33
Grafik 5.8 Kecenderungan cakupan imunisasi BCG berdasarkan wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.8 di atas terlihat bahwa proporsi cakupan imunisasi BCG di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan. Proporsi cakupan imunisasi BCG paling tinggi berada di kota Mojokerto dengan proporsi 119,64%. Cakupan imunisasi BCG terendah berada di kabupaten Sumenep dengan proporsi 67,67%.
5.2.5 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010
cenderung
menunjukkan
peningkatan.
Berikut
adalah
tampilan
kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur.
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
34
Grafik 5.9 Kecenderungan kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010
Dari grafik 5.9 di atas terlihat bahwa pada tahun 2006 rata-rata kepadatan penduduk dari 38 kabupaten/kota adalah 1714 jiwa. Angka tersebut terus menunjukkan peningkatan sehingga menjadi 1756 jiwa pada tahun 2010.
Grafik 5.10 Kecenderungan kepadatan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
35
Dari grafik 5.10 di atas terlihat bahwa kepadatan penduduk di 38 kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 cenderung menunjukkan peningkatan. Kepadatan penduduk paling tinggi berada di kota Surabaya yaitu sebesar 8285 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk terendah berada di kabupaten Pacitan dengan 380 jiwa per kilometer persegi.
5.2.6. Topografi di 38 wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2010 Secara umum, provinsi Jawa Timur terbagi menjadi dua dataran yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi merupakan dataran yang terletak di atas 100mdpl sedang dataran rendah merupakan dataran yang terletak di bawah 100mdpl. Gambar 5.3 Topografi wilayah kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur Tahun 2010
Dari gambar 5.3 di atas dapat dilihat bahwa beberapa kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur memiliki topografi yang tinggi. Wilayah kabupaten/kota yang topografinya paling tinggi berada di kota Batu dengan ketinggian 871
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
36
mdpl. Sedang kota yang topografinya paling rendah berada di kota Surabaya dengan 2 mdpl.
5.3 Analisis Bivariat 5.3.1 Analisis hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,671) dan berpola negatif. Artinya semakin tinggi penemuan kasus secara pasif, semakin turun angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,450 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 45.0% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut :
Tabel 5.1 Analisis Korelasi dan Regresi Penemuan Kasus secara Pasif dengan Penemuan Kasus Baru Kusta Variabel Penemuan Pasif
r - 0,671
R2 0,450
Persamaan garis
Nilai p
Kusta =44.21 – 0.44 (Pasif)
0.0001
Dari persamaan garis juga diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen penemuan pasif akan menurunkan 0.44 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
37
Grafik 5.11 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Pasif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
5.3.2. Analisis hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sangat kuat (r = 0,796) dan berpola positif. Artinya semakin tinggi penemuan kasus secara aktif, semakin tinggi pula angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,633 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 63,3% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
38
Tabel 5.2 Analisis Korelasi dengan Regresi Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Variabel Penemuan Aktif
r 0,796
R2 0,633
Persamaan garis
Nilai p
Kusta = - 1.58 + 0.55 (Aktif)
0.0001
Dari persamaan garis diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen penemuan kasus secara aktif akan meningkatkan 0.55 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:
Grafik 5.12 Diagram Tebar Hubungan Penemuan Kasus secara Aktif dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
5.3.3 Analisis hubungan hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,571) dan berpola negatif. Artinya semakin tinggi cakupan imunisasi BCG, semakin turun angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,326 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 32,6% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
39
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara cakupan imunisasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,001). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 5.3 Analisis Korelasi dan Regresi Cakupan imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Variabel Cakupan BCG
r -0,571
R2 0,326
Persamaan garis
Nilai p
Kusta = 98,67 - 0.081(BCG)
0.001
Dari persamaan garis diketahui bahwa setiap kenaikan 1 persen cakupan imunisasi BCG akan menurunkan 0.081 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:
Grafik 5.13 Diagram Tebar Hubungan Cakupan Imunisasi BCG dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
40
5.3.4 Analisis hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sedang (r = 0,296) dan berpola positif. Artinya semakin padat penduduk, semakin tinggi angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,088 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 8,8% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,071). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 5.4 Analisis Korelasi dan Regresi Kepadatan Penduduk dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Variabel
r
Kepadatan Penduduk
0,296
R2 0,088
Persamaan garis Kusta = 17,04 - 0.002(pddk)
Nilai p 0.071
Grafik 5.14 Diagram Tebar Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
41
5.3.5 Analisis hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota, provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sedang (r = 0,332) dan berpola negatif. Artinya semakin tinggi topografi, semakin rendah angka penemuan kasus baru kusta. Nilai koefisien dengan determinasi 0,110 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh hanya dapat menerangkan 11.0% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang bermakna antara topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,042). Hasil analisis tersebut ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 5.5 Analisis Korelasi dan Regresi Topografi dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta Variabel Topografi
r - 0,332
R2 0,110
Persamaan garis
Nilai p
Kusta = 16.5 – 0.03 (Topografi)
0.042
Dari persamaan garis diketahui bahwa setiap kenaikan 1 meter ketinggian topografi akan menurunkan 0.03 angka penemuan kasus baru kusta. Persamaan garis tersebut ditampilkan dalam diagram berikut:
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
42
Grafik 5.15 Diagram Tebar Hubungan Topografi dengan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Desain atau rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi ekologi. Studi ekologi mempunyai keterbatasan atau kelemahan. Keterbatasan dari studi ini adalah tidak dapat menganalisis hubungan sebab akibat pada level individu karena unit analisisnya adalah populasi. (Murti, 2003) Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan berasal dari laporan rutin program kusta yang dikirim per 3 bulan oleh pengelola program kusta tingkat kabupaten/kota. Validitas dari isi laporan bisa jadi kurang terjamin. Hal ini disebabkan kurang lengkap dan telitinya petugas di tingkat puskesmas dalam melakukan pencatatan dan pelaporan. Selain itu, karena kurangnya ketersediaan data sekunder di lapangan sehingga peneliti membatasi analisa hasil pada data tahun 2006-2010 saja.
6.2
Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010. Jumlah dan angka penemuan kasus baru merupakan salah satu indikator utama dalam monitoring kecenderungan epidemiologi penyakit kusta. (WHO, 2009) Angka penemuan kasus baru kusta didefinisikan sebagai jumlah kasus baru yang ditemukan pada periode satu tahun per 100.000 penduduk. Indikator ini biasanya digunakan untuk menunjukkan besarnya masalah kusta di suatu daerah. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan target angka penemuan kasus baru kusta nasional kurang dari 5 per 100.000 penduduk. Sejak tahun 2006 hingga tahun 2010, angka penemuan kasus baru kusta (new case 43
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
44
detection rate) provinsi Jawa Timur berkisar 12,5-16,0 per 100.000 penduduk. Hal ini menandakan bahwa masalah kusta di provinsi Jawa Timur masih besar. Pada tahun 2010, di provinsi Jawa Timur masih terdapat 22 kabupaten/kota (57,89%) yang angka penemuan kasus baru kustanya lebih dari 10 per 100.000 penduduk. Kabupaten/kota tersebut antara lain Bangkalan, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Lamongan, Lumajang, Mojokerto, kota Mojokerto, Nganjuk, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, kota Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, kota Probolinggo, Sampang, Situbondo, Sumenep, Trenggalek. Angka penemuan kasus baru kusta dari 38 wilayah kabupaten/kota sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 menunjukkan penurunan. Pada tahun 2006 angka penemuan kasus baru kusta dari 38 kabupaten/kota sebesar 14,29 per 100.000 penduduk. Angka tersebut terus menurun hingga tahun 2008. Pada tahun 2009 sempat terjadi kenaikan angka penemuan yaitu sebesar 14,63 per 100.000 penduduk. Kenaikan tersebut disebabkan adanya tambahan anggaran dari WHO untuk penemuan kasus secara aktif di 2 kabupaten yaitu Jember dan Lamongan. Namun pada tahun 2010 angka penemuan kasus baru kembali menurun hingga menjadi 12,5 per 100.000 penduduk. Penurunan angka penemuan kasus baru kusta di provinsi Jawa Timur seiring dengan penurunan angka penemuan kasus baru kusta Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena Jawa Timur merupakan penyumbang kasus baru terbanyak dibandingkan dengan provinsi lainnya sehingga memiliki kontribusi terhadap penurunan angka penemuan kasus baru di Indonesia.
6.3
Hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Berdasarkan hasil analisis uji statistik, diperoleh hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001) di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
45
Timur. Hubungan penemuan kasus secara pasif dengan angka penemuan kasus baru kusta juga menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,671) dan berpola negatif. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi penemuan kasus secara pasif, maka angka penemuan kasus baru kusta akan semakin turun. Penemuan kasus secara pasif dapat menerangkan 45.0% variasi penemuan kasus baru kusta. Penemuan kasus kusta secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu penemuan kasus secara pasif dan penemuan kasus secara aktif. Penemuan kasus secara pasif merupakan penemuan karena adanya orang yang datang untuk mencari pengobatan ke puskesmas atau sarana kesehatan lain. (Depkes, 2007) Biasanya orang yang pergi ke sarana pelayanan kesehatan datang untuk mencari pengobatan karena kesadaran atau kemauan sendiri. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya pengetahuan tentang tanda dini dan akibat kecacatan yang akan ditimbulkannya. Di India pada tahun 1998, dilakukan modifikasi kampanye eliminasi kusta. Kegiatan diawali dengan penyuluhan dan promosi penyakit kusta melalui berbagai media. Tak lupa pula dari program melibatkan politisi, dan lintas sektor untuk ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Setelah kegiatan kampanye, terjadi peningkatan pelaporan kusta secara sukarela. Dari kasus baru yang ditemukan 90%nya adalah kasus yang melaporkan secara sukarela. (Patnaik, 1999) Peningkatan orang yang datang berobat kusta ke sarana pelayanan kesehatan secara sukarela diharapkan dapat menurunkan angka penemuan kasus baru oleh karena tidak ada lagi kasus yang tersembunyi.
6.4
Hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Berdasarkan hasil analisis uji statistik, diperoleh hubungan yang bermakna antara penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,0001) di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Hubungan penemuan kasus secara aktif dengan angka penemuan kasus Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
46
baru kusta juga menampakkan hubungan yang sangat kuat (r = 0,796) dan berpola positif. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi penemuan kasus secara aktif, maka angka penemuan kasus baru kusta akan semakin tinggi pula. Penemuan kasus secara aktif dapat menerangkan 63,3% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Peningkatan angka penemuan kasus baru melalui kegiatan penemuan kasus secara aktif juga ditemukan di negara India. Pada tahun 1993-1998 terjadi peningkatan angka penemuan kasus baru kusta dari 51 hingga 85 per 100.000 penduduk. Hal ini antara lain disebabkan kegiatan penemuan kasus secara aktif yaitu modifikasi kampanye eliminasi kusta. Setelah terjadi peningkatan penemuan kasus pada tahun 1998 berikutnya terjadi penurunan angka penemuan kasus secara tajam. (Lobo, 2006)
6.5
Hubungan cakupan vaksinasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Berdasarkan hasil analisis uji statistik, diperoleh hubungan yang bermakna antara cakupan vaksinasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,001) di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Hubungan cakupan vaksinasi BCG dengan angka penemuan kasus baru kusta juga menampakkan hubungan yang kuat (r = 0,571) dan berpola negatif. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi cakupan vaksinasi BCG, maka angka penemuan kasus baru kusta akan semakin turun. Cakupan vaksinasi BCG dalam penelitian ini dapat menerangkan 32,6% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Vaksinasi BCG dapat memberikan perlindungan dari penyakit kusta. Hasil beberapa studi eksperimen dan kasus kontrol menunjukkan efikasi perlindungan dari pemberian vaksinasi BCG berkisar antara 20-80%. Penurunan angka penemuan kasus baru karena pemberian vaksinasi BCG ditemukan di provinsi Weifang dan Shandong, Cina. (Meima, 1997). Penelitian di atas juga sesuai dengan studi controlled trial yang dilakukan di Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
47
Malawi, Uganda, dan Birma bahwa pemberian vaksinasi BCG akan mencegah seseorang dari penyakit kusta.
6.6
Hubungan kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Berdasarkan hasil analisis uji statistik, tidak diperoleh hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,071) di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Meskipun demikian hubungan antara kepadatan penduduk dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sedang (r = 0,296) dan berpola positif. Hal ini menandakan bahwa semakin padat penduduk, maka angka penemuan kasus baru kusta akan semakin tinggi. Tingkat kepadatan penduduk dalam penelitian ini hanya dapat menerangkan 8,8% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Tinggi atau rendahnya insiden kusta di suatu daerah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. Wilayah perkotaan yang padat penduduk, dapat menjadi pencetus terjadinya penularan Mycobacterium leprae. Pada tahun 2004, KerrPontes dalam studinya yang dilakukan di Brazil menemukan bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan insidens penyakit kusta. (Hasyim, 2007). Berbeda dengan penelitian yang ada, dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara kepadatan penduduk dengan penemuan kasus kusta. Hal ini mungkin disebabkan keterbatasan data sekunder yang diperoleh peneliti.
6.7
Hubungan topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta di 38 kabupaten/kota provinsi Jawa Timur tahun 2006-2010 Berdasarkan hasil analisis uji statistik, diperoleh hubungan yang bermakna antara topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,042) di 38 wilayah kabupaten/kota provinsi Jawa Timur. Hubungan antara Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
48
topografi dengan angka penemuan kasus baru kusta menampakkan hubungan yang sedang (r = 0,332) dan berpola negatif. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi topografi, maka angka penemuan kasus baru kusta akan semakin rendah. Topografi (ketinggian wilayah) hanya dapat menerangkan 11,0% variasi angka penemuan kasus baru kusta. Hegazy mengatakan bahwa salah satu faktor pencetus yang dapat menyebabkan seseorang menderita kusta adalah topografi (ketinggian wilayah). Wilayah yang terletak di dataran tinggi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan bertahan hidup dari Mycobacterium. Hasil penelitian di atas sesuai dengan studi ekologi yang dilakukan oleh Hasyim bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan penemuan kasus baru kusta (nilai p = 0,011). (Hasyim, 2007)
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan 1.
Kecenderungan angka penemuan kasus baru kusta dari 38 wilayah kabupaten/kota sejak tahun 2006 — 2010 menunjukkan penurunan.
2.
Kecenderungan penemuan kasus secara pasif sejak tahun 2006 — 2010 menunjukkan peningkatan.
3.
Kecenderungan penemuan kasus secara aktif sejak tahun 2006 — 2010 menunjukkan penurunan.
4.
Kecenderungan cakupan imunisasi BCG juga menunjukkan peningkatan sejak tahun 2006 — 2010.
5.
Begitu pula halnya dengan kepadatan penduduk yang cenderung meningkat sejak tahun 2006 — 2010.
6.
Wilayah yang topografinya rendah cenderung memiliki angka kasus baru yang tinggi dibandingkan wilayah yang topografinya tinggi.
7.
Ada hubungan yang signifikan antara penemuan kasus secara pasif (nilai p = 0,0001), penemuan kasus secara aktif (nilai p = 0,0001), cakupan imunisasi BCG (nilai p = 0,001), dan topografi (nilai p = 0,042) dengan angka penemuan kasus baru kusta. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk (nilai p = 0,071) dengan angka penemuan kasus baru kusta.
6.2
Saran Angka penemuan kasus baru kusta yang cenderung menurun sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 merupakan sebuah pencapaian yang baik. Namun
diperlukan
upaya
penemuan
kasus
secara
aktif
yang
berkesinambungan mengingat masa inkubasi kuman kusta yang cukup lama.
49
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
50
Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh program pengendalian penyakit kusta antara lain: 1. Bagi pengelola program kusta tingkat provinsi Melaksanakan
advokasi
dan
kemitraan
tingkat
provinsi
untuk
meningkatkan dukungan dalam anggaran dan kebijakan bagi kegiatan penemuan kasus kusta secara aktif dan pasif di seluruh wilayah kabupaten/kota 2. Bagi pengelola program kusta tingkat kabupaten/kota a. Melaksanakan advokasi dan kemitraan di tingkat kabupaten/kota untuk meningkatkan dukungan dalam anggaran dan kebijakan bagi kegiatan penemuan kasus kusta secara aktif dan pasif b. Melaksanakan upaya promotif dan penemuan kasus kusta secara aktif di daerah yang setiap tahunnya ditemukan kasus baru dan memiliki topografi yang rendah 3. Bagi pengelola program kusta tingkat puskesmas a. Melaksanakan upaya promotif dan penemuan kasus kusta secara aktif di daerah yang setiap tahunnya ditemukan kasus baru dan memiliki topografi yang rendah. b. Upaya penemuan kasus secara aktif yang efisien dalam biaya dan waktu seperti pemeriksaan kontak harus dilakukan pada semua kasus penderita c. Optimalisasi pemanfaatan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk kegiatan penemuan kasus aktif
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
DAFTAR REFERENSI
Agusni, Indropo. (2006). Bibliografi penyakit kusta di Indonesia (Jilid 3). Surabaya: Airlangga University Press. Bakker, Mirjam. (2005). Epidemiology and prevention of leprosy cohort study in Indonesia. Amsterdam: Royal Tropical Institute. Bappenas. (2010) Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20102014. Jakarta: Bappenas. BPS. (2007). Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Biro Pusat Statistik Jawa Timur BPS. (2008). Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Biro Pusat Statistik Jawa Timur BPS. (2009). Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Biro Pusat Statistik Jawa Timur BPS. (2010). Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Biro Pusat Statistik Jawa Timur BPS. (2011). Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Biro Pusat Statistik Jawa Timur Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Pengendalian Penyakit Kusta Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. (2010). Profil Dinas Kesehatan Jawa Timur. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Gupte, M.D. (2006) Leprosy Case Detection Trends in India. India: Health Administrator Vol : XVIII No. 2:28-36. Hastings. (1985). Leprosy. Edinburgh, London.: Churchill Livingstone, Edinburgh Hasyim, Hamzah. (2007). Hubungan Lingkungan Rumah dan Sosiodemografi dengan Penemuan Penderita Baru Penyakit Kusta di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2004-2006. Jakarta : Universitas Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
51 Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
52
Kerr-Pontes, L.R. Sansigolo, et al. (2004). Inequality and Leprosy in Northeast Brazil. United States : International Journal of Epidemiology.
Lobo, Derek. (2006). Leprosy Situation in South-East Asia Region. India: Journal Communicable Disease. Meima, A. et.al. (1997). Trends in Leprosy Case Detection Rates. United States: International Journal of Leprosy and Other Mycobacterial Diseases Vol: 65: 305-19. Meima, A. et.al. (2004). Trends in Leprosy Case Detection Worldwide since 1985. Netherlands: Leprosy Review Vol: 75: 19-33. Rodrigues, Laura C.et.al. (2011). Leprosy now: epidemiology, progress, challenges, and research gaps. Lancet Infectious Disease Vol 11: 464-70 Patnaik, P.K.B. (1999).Modified Leprosy Elimination Campaign in the State of Orissa, India. United Kingdom : Leprosy review. Rodrigues, Laura Cunha et al. (2007). Long Lasting BCG Protection against Leprosy. Brazil : PMID. Van Beers, Stella, et al. (1998). Epidemiology of Infection Disease. Amsterdam : Royal Tropical Institute. Sjamsoe-Daili, Emmy S, et al. (2003). Kusta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. WHO. (2009). Enhanced Global Strategy for Further Reducing The Disease Burden Due to Leprosy (Plan Period: 2011-2015). India, SEA-GLP2009.3 WHO. (2009). Enhanced Global Strategy for Further Reducing The Disease Burden Due to Leprosy (2011-2015), Operational Guidelines (updated). India, SEA-GLP-2009.4
Universitas Indonesia
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
Lampiran 12 : Output SPSS Cakupan BCG terhadap Angka Kasus Baru
Graph
Regression Model Summary Mod
Std. Error
el R 1
a
.571
R
Adjusted
of the
Square
R Square
Estimate
.326
.307
13.02805
. Predictors: (Constant), BCG
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
(lanjutan) b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2958.062
1
2958.062
Residual
6110.280
36
169.730
Total
9068.342
37
F
Sig. a
17.428
.000
t
Sig.
a. Predictors: (Constant), BCG
b. Dependent Variable: CDR
a
Coefficients Model
Standardized Unstandardized Coefficients B
1
(Constant) BCG
Std. Error
98.667
20.503
-.881
.211
Coefficients Beta
-.571
a. Dependent Variable: CDR
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
4.812
.000
-4.175
.000
Lampiran 12 : Output SPSS Penemuan aktif terhadap Angka Kasus Baru
Graph
Regression Model Summary Model R 1
R Square a
.796
.633
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .623
9.61020
a. Predictors: (Constant), Aktif
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
(lanjutan) b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
5743.531
1
5743.531
Residual
3324.811
36
92.356
Total
9068.342
37
F
Sig. a
62.189
.000
t
Sig.
a. Predictors: (Constant), Aktif b. Dependent Variable: CDR
a
Coefficients Model
Standardized Unstandardized Coefficients B
1
(Constant) Aktif
Std. Error -1.575
2.469
.545
.069
Coefficients Beta
.796
a. Dependent Variable: CDR
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
-.638
.528
7.886
.000
Lampiran 12 : Output SPSS Penemuan pasif terhadap Angka Kasus Baru
Graph
Regression Model Summary Model R 1
.671a
R Square .450
Adjusted R
Std. Error of
Square
the Estimate
.435
11.76810
a. Predictors: (Constant), Pasif
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
(lanjutan)
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
4082.768
1
4082.768
Residual
4985.574
36
138.488
Total
9068.342
37
F
Sig. a
29.481
.000
t
Sig.
a. Predictors: (Constant), Pasif b. Dependent Variable: CDR
a
Coefficients Model
Standardized Unstandardized Coefficients B
1
(Constant) Pasif
Std. Error
44.208
5.964
-.440
.081
Coefficients Beta
-.671
a. Dependent Variable: CDR
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
7.412
.000
-5.430
.000
Lampiran 12 : Output SPSS Topografi terhadap Angka Kasus Baru
Graph
Regression Model Summary Model R 1
R Square a
.331
.110
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .085
14.97406
a. Predictors: (Constant), TFG
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
(lanjutan) b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
996.332
1
996.332
Residual
8072.010
36
224.223
Total
9068.342
37
F
Sig.
4.443
a
.042
a. Predictors: (Constant), TFG b. Dependent Variable: CDR a
Coefficients Model
Standardized Unstandardized Coefficients B
1
(Constant) TFG
Std. Error
16.454
2.798
-.029
.014
Coefficients Beta
t
-.331
a. Dependent Variable: CDR
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
Sig.
5.881
.000
-2.108
.042
Lampiran 12 : Output SPSS Kepadatan penduduk terhadap Angka Kasus Baru
Graph
Regression Model Summary Model R 1
R Square a
.296
.088
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .062
15.15835
a. Predictors: (Constant), r_pddk
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
(lanjutan)
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
796.420
1
796.420
Residual
8271.922
36
229.776
Total
9068.342
37
F
Sig.
3.466
a
.071
a. Predictors: (Constant), r_pddk b. Dependent Variable: CDR
a
Coefficients Model
Standardized Unstandardized Coefficients B
1
(Constant) r_pddk
Std. Error
17.415
3.226
-.002
.001
Coefficients Beta
t
-.296
a. Dependent Variable: CDR
Kecenderungan angka..., Rita Yulihane, FKM UI, 2012
Sig.
5.399
.000
-1.862
.071