ISSN 2302-0172 pp. 84- 93
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
10 Pages
ANALISIS KETERKAITAN REGIONAL KABUPATEN/KOTA DALAM PEMBENTUKAN KLASTER PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH PROVINSI ACEH (PENDEKATAN ANALISIS SPASIAL) Zedi Saputra, ST.1, Prof. Dr. Said Muhammad, MA.2, Dr. Sofyan Syahnur, M.Si 3 1)
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh 2,3) Dosen Fakultas Ekonomi dan Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala
Abstract: Decentralization policy in Aceh does not show a better socio-economic indicator achievement for Aceh. The economic development gap among districts/cities in Aceh Province is also another indicator of not optimal of the decentralization policy. Regional cooperation among districts/cities through Aceh Trade and Distribution Center (ATDC) is one of Aceh Goverment program to improve the Aceh socio-economic state in the next 30 years. This research focus on the development of economic clusters by raising main local product of the district/city which is expected to become a good strategy in supporting Aceh Goverment policy. The reseach analyzes the best regional corelation and cooperation model among the districts/cities through statistical and spatial analysis approach. Based on the average Location Quotient (LQ) index, three sectors of the economy most superior in Aceh are (1) agriculture, livestock, forestry and fisheries (2) electricity, gas and clean water supply (3) services sector. According to Spatial Autocorrelation analysis using key factor of region economic base, LQ index, it is found that spatial correlation pattern among districts/cities in Aceh is very weak. By using Global Moran (Moran’s I) and Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) analysis, agriculture, livestock, forestry and fisheries are the only potential sector which have significant correlation among the Aceh districs in term of spactial pattern formation. Keywords : Regional coorperation, economic cluster, Location Quotient (LQ) index, Spatial Autocorrelation, Moran’s I Abstrak: Kebijakan desentralisasi di Aceh belum menunjukkan indikator capaian sosial ekonomi Aceh yang lebih baik. Terjadinya kesenjangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh merupakan indikator lain dari belum optimalnya pemberlakukan kebijakan desentralisasi. Bentuk kerjasama regional antar kabupaten/kota melalui Aceh Trade and Distribution Center (ATDC) merupakan kebijakan Pemerintah Aceh dalam jangka panjang, diharapkan akan mampu untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi Aceh dalam masa 30 tahun mendatang. Dalam penelitian ini dilakukan analisis bentuk keterkaitan antar kabupaten/kota dan pola kerjasama regional yang lebih tepat dan terukur melalui pendekatan statistik dan analisis spasial, dengan menggunakan pembobot indeks LQ. Berdasarkan rata-rata indeks Location Quotient (LQ), 3 sektor ekonomi paling unggul secara rata-rata kabupaten/kota di Aceh adalah (1) sektor pertanian peternakan kehutanan dan perikanan (2) sektor listrik gas dan air bersih dan (3) sektor jasa-jasa. Berdasarkan analisis Spatial Autocorrelation dengan menggunakan pembobot sektor basis ekonomi wilayah, indeks LQ, menunjukkan masih lemahnya pola keterkaitan spasial antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Hasil analisis Global Moran (Moran’s I) dan hasil analisis Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA), hanya sektor pertanian peternakan kehutanan dan perikanan yang berpotensi dan signifikan dalam membentuk pola keterkaitan spasial antar kabupaten/kota di Aceh. Kata kunci : Kerjasama regional, Sektor unggulan, Location Quotient, Analisis Spasial, Spatial Autocorrelation, Moran’s I.
semakin menurunnya peran provinsi sebagai
PENDAHULUAN Keluarnya Undang-Undang Nomor 5
wakil pemerintah pusat dan semakin rendahnya
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah atau yang
intensitas
koordinasi
biasa
Kendali
pemerintah
disebut
Desentralisasi
menyebabkan
manajemen
regional.
Provinsi
sebagai
Volume 3, No. 2, Mei 2015
- 84
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala koordinator
wilayah
(setelah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan
kabupaten/kota menurun seiring penguatan
Gorontalo) dengan proporsi penduduk miskin
otonomi di tingkat kabupaten/kota. Akibatnya
sebesar 23,55 persen, diatas angka nasional
isu-isu pembangunan lintas wilayah menjadi
yang berada pada tingkat 15,42 persen.
kurang mendapatkan perhatian yang optimal.
Sementara IPM Aceh menempati urutan ke 17
Berdasarkan
Komite
dari 33 provinsi (nomor 2 terendah di Sumatera
Daerah
setelah
Pemantauan
pembangunan
hasil
lintas
penelitian
Pelaksanaan Otonomi
(KPPOD) Tahun 2013,
Lampung)
dan
angkanya
berada
mengecilnya skala
dibawah angka nasional (Aliasudin, et al., 2011).
ekonomi daerah merupakan salah satu implikasi
Hasil analisis kesenjangan antar wilayah
dari penerapan desentralisasi. Daerah terbagi
yang dilakukan Bappenas tahun 2013, Provinsi
dalam wilayah-wilayah administratif yang lebih
Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera
kecil. Dengan fakta tersebut seharusnya dapat
Selatan
semakin meningkatkan kesadaran bahwa daerah
pembangunan tinggi atau pembangunan antar
perlu bekerjasama dalam penanganan isu-isu
kabupaten/kota di wilayah tersebut belum
regional yang melibatkan dua atau lebih daerah
merata.
yang
berdekatan
dan
terkena
memiliki
tingkat
ketimpangan
dampak
Bentuk kerjasama regional merupakan
eksternalitas kepada daerah lain (Murwito, et al.,
salah satu pilihan strategis pembangunan
2013).
ekonomi jangka menengah yang di lakukan
Perkembangan indikator sosial ekonomi
oleh Pemerintah Aceh. Hal ini tertuang dalam
Aceh setelah pemberlakuan kebijakan otonomi
Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2013 tentang
daerah,
menunjukkan
perkembangan
yang
memprihatinkan. Jika pada tahun 2000, posisi Aceh berada di papan tengah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia dalam hal indikator-indikator sosial ekonomi, ditandai
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2012 – 2017. Dalam dokumen kebijakan pembangunan Aceh tersebut, pola struktur ruang mengadopsi model strategi pembangunan wilayah dalam bentuk kerjasama regional dengan membagi pusat pengembangan ekonomi
dengan Angka Kemiskinan yang berada di
Aceh ke dalam 6 zona kawasan pusat
bawah angka Nasional, Aceh berada pada angka
perdagangan dan distribusi Aceh atau Aceh
18,37 dan Nasional 18,95, dan peringkat Indeks
Trade and Distribution Centre (ATDC).
Pembangunan Manusia (IPM) yang berada pada
Berdasarkan uraian diatas, studi
urutan ke 12 secara nasional. Pada tahun 2008,
dilakukan
sembilan
tahun
pertanyaan berikut:
kebijakan
desentralisasi,
setelah
pemberlakukan
menjawab
pertanyaan-
indikator
1. Sektor apa yang menjadi sektor unggulan
sosial ekonomi tersebut mengalami penurunan,
perekonomian kabupaten/kota di Provinsi
menjadikan
Aceh.
Aceh
capaian
hendak
ini
tertinggal
dibandingkan
dengan beberapa daerah lain di Indonesia 85 -
Volume 3, No. 2, Mei 2015
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2. Apakah terdapat tingkat keterkaitan spatial
yang dihasilkan dari analisis statistik spasial. Pola
yang kuat secara ekonomi antar regional
keterkaitan spasial akan diperoleh berdasarkan
kabupaten/kota di Aceh?
diagram scatterplot dalam analisis Moran’s I.
3. Apakah terjadi pola kluster spasial dalam pembentukan pola pengembangan ekonomi di wilayah Provinsi Aceh berdasarkan
HASIL PEMBAHASAN
Hasil Analisis Sektor Unggulan Hasil perhitungan dengan metode LQ
model Geostatistik?
menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 sampai tahun 2013 tidak mengalami perubahan berarti.
METODE PENELITIAN
Metode analisis pada penelitian ini adalah
Nilai
Indeks
LQ
ditiap
Kabupaten/Kota
sebagai berikut:
cenderung tetap, tidak banyak sektor yang
1. Penentuan sektor unggulan berdasarkan
mengalami perubahan dari sektor bukan basis
data PDRB.
ke sektor basis demikian pula sebaliknya. Hal
Analisis ini menggunakan analisis Location
ini
Quotient
PDRB
Kabupaten dan Kota Provinsi Aceh mulai tahun
berdasarkan harga konstan tahun 2000 dari
2007 sampai 2013 tidak banyak mengalami
rentang waktu tahun 2007 sampai dengan
perubahan.
(LQ)
dengan
data
menandakan
tahun 2013. Kemudian hasil analisis ini dihitung
akumalasi
rata-rata
sehingga
bahwa
pembangunan
di
Dalam analisis ini dilakukan penentuan sektor
potensial
utuk
dijadikan
bidang
diperoleh 3 (tiga) sektor unggulan rata-rata
kerjasama regional. Hasil akumulasi sembilan
tertinggi. Sektor unggulan itu sendiri
sektor dalam PDRB dari tahun 2007 sampai
merupakan sektor basis yang memiliki nilai
dengan tahun 2013, terdapat tiga sektor yang
LQ >1.
memiliki
2. Analisis keterkaitan dan pola spasialnya Analisis keterkaitan ini menggunakan analisis
akumulasi
basis
terbanyak
di
Kabupaten dan Kota di Aceh, yaitu Sektor Pertanian, Peternakan Kehutanan dan Perikanan
spatial autocorrelation. Analisis ini menggunakan
sebagai
indeks
sektor
basis
terbanyak,
metode Moran. Analisis ini menghasilkan indeks
kemudian diikuti oleh sektor Jasa-Jasa, dan
Moran; yang menunjukkan tingkat keterkaitan
diurutan ketiga diikuti oleh Sektor Listrik Gas
suatu wilayah dengan wilayah lain sekitarnya. Jika
dan Air Bersih.
nilai indeks Moran (Moran’s I) mendekati nilai positif (+) 1, maka bertendensi pemusatan atau penggerombolan (cluster). Jika nilai indeks Moran mendekati negatif (-) 1, maka bertendensi acak (random) atau pencilan (kesenjangan). Analisis keterkaitan juga dilihat dari z-value dan p-value
Hasil Analisis Keterkaitan dan Pola Spasial Analisis keterkaitan dan pola spasial ini dilakukan terhadap tiga sektor unggulan yang paling banyak menjadi sektor basis di semua Kabupaten dan di sepanjang tahun penelitian ini. Pemilihan tiga sektor utama ini Volume 3, No. 2, Mei 2015
- 86
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala diharapkan bisa menjadi sektor yang berpotensi untuk membentuk pola kerjasama regional. Hasil analisis keterkaitan ini berupa nilai indeks Moran pada tiga sektor unggulan tersebut. Secara umum nilai indeks Moran di tiga sektor unggulan tertinggi di Aceh menunjukkan tingkat keterkaitan spasial yang masih tergolong rendah. Hal ini berpotensi memiliki pola spasial yang acak. Artinya antara wilayah kabupaten/kota yang berdekatan kurang memiliki pengaruh antara satu dengan lainnya. Keterkaitan antar wilayah yang paling tinggi dimiliki oleh sektor Pertanian,
Gambar 1. Moran Scatterplot Sektor Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perikanan.
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan. Nilai indeks
Gambar
1
menunjukkan
untuk
sector
Moran’s nya sebesar 0.1912. Walaupun masih
pertanian peternakan kehutan dan perikanan nilai
tergolong kecil (jauh dari nilai +1) indeks ini
indeks morannya 0.191251, nilai ini lebih
berpotensi memiliki nilai pola spasial yang
mendekati nilai nol dan jauh dari angka 1, artinya
menggerombol (clustered). Secara lebih lengkap
nilai
berikut ini dapat dijelaskan pola keterkaitan spasial
spatialnya masih sangat rendah.
keterkaitan/ketergantungan
(dependensi)
di masing-masing tiga sektor terunggul tersebut. 1) Sektor Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perikanan a.
Uji Hipotesis Global Moran
Penelitian ini menggunakan kesimpulan
Analisis Global Moran (Moran’s I)
uji hipotesis bahwa Hipotesis nol (H0) yang
Hasil analisis Moran’s I ditampilkan dalam
menyatakan
“Tidak
ada
autokorelasi
bentuk Diagram Scatterplot, seperti terlihat pada
(dependensi) spasial antar Kabupaten/Kota
gambar 1.
dalam
hal
sektor
Pertanian
Peternakan
Kehutanan dan Perikanan” dan Hipotesis alternatif
(H1)
Autokorelasi
yang
menyatakan
(dependensi)
spasial
“Ada antar
Kabupaten/kota dalam hal sektor Pertanian Peternakan
Kehutanan
dan
Perikanan”.
Penelitian ini menggunakan nilai signifikansi pada α = 5% . Perhitungan
uji
hipotesis
meng-
gunakan nilai P-value dan Zhitung (z-value). Ketika P-value < α dan |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑍𝛼⁄2 maka 87 -
Volume 3, No. 2, Mei 2015
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala kesimpulannya akan menolak H0 dan menerima
spasial (cluster) dalam nilai bobot LQ yang sama.
H1, yang berarti “ada autokorelasi (dependensi) spasial antar kabupaten/kota dalam hal sektor
b.
Analisis Lokal Moran (LISA)
dan
Hasil keluaran dari analisis lokal Moran’s
diagram
untuk sektor pertanian peternakan kehutanan
randomization GEODA menunjukkan nilai
dan perikanan di peroleh berdasarkan output
pseudo P-value adalah 0.03 < α = 0.05 dan nilai
LISA signifincance map seperti terlihat pada
Zhitung (z-value) adalah 2,1744 > Zα/2 = 1.96,
gambar 3.
Pertanian Perikanan”.
Peternakan
Kehutanan
Berdasarkan
output
maka kesimpulannya adalah H0 ditolak dan
Terlihat ada 3 (tiga) kabupaten yang
menerima H1, ada autokorelasi (dependensi)
memiliki nilai p-value berada di bawah angka
antar kabupaten/kota dalam hal sektor pertanian
signifikansi α 0.05, yaitu Kabupaten Aceh
peternakan kehutanan dan perikanan.
Tengah, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Selatan, sementara Kabupaten lain tidak signifikan pada α 5%, karena memiliki nilai pvalue lebih besar dari 0.05.
Gambar 2. Diagram Randomization Sektor Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perikanan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Selanjutnya dari diagram Randomization seperti terlihat dari gambar 2 dapat juga diambil kesimpulan bahwa apabila nilai I > I0, maka data memiliki autokorelasi positif, jika I < I0 maka data memiliki autokorelasi negative. Dari hasil analisis
Gambar 3. LISA significance map sektor pertanian peternakan kehutan dan perikanan.
Uji Hipotesis Lokal Moran’s (LISA)
Dalam
analisis
lokal
Moran
metode
seperti terlihat dalam gambar 2 diperoleh nilai
penarikan kesimpulan statistik menggu-nakan
Indeks Moran’s (I) = 0.1906 lebih besar dari nilai
metode uji hipotesis berikut :
ekspektasi moran’s I (I0) = -0.0455, maka
Ho : Ii = 0 (tidak ada outokorelasi lokal antar kabupaten) H1 : Ii ≠ 0 (ada ouotokorelasi lokal antar kabupaten) Pengambilan keputusan dengan melihat,
kesimpulan yang di ambil adalah dalam hal sektor pertanian peternakan kehutanan dan perikanan antara
kabupaten/kota
di
Aceh
memiliki
autokorelasi positif. Artinya antar Kabupaten/kota berpotensi untuk membentuk pengelompokan
apabila nilai p-value < α dan indeks LISA Ii ≠0, maka
Ho
di
tolak
dan
menerima
Volume 3, No. 2, Mei 2015
H1.
- 88
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Kesimpulan uji hipotesis per kabupaten/kota
(S4) dalam PDRB, sektor Pertanian Peternakan
seperti terlihat pada table berikut.
Kelautan dan Perikanan. Nilai indeks Moran’s I
Tabel 1. Analisis Lokal Moran’s
adalah 0.0621829, nilai ini lebih mendekati nilai nol dan jauh dari angka 1, artinya nilai keterkaitan/ketergantungan
(dependensi)
spatialnya masih sangat rendah.
Sumber : Data Olah, 2015.
Untuk mendapatkan kesimpulan interpretasi yang lebih luas analisis ini menggunakan dua batas signifikansi “α” yaitu pada α = 5% dan α = 10% seperti terlihat pada table 1 diatas. Dari rincian uji hipotesis pada table 1 terlihat tidak ada kabupaten/kota yang signifikan berautokorelasi secara lokal pada α = 5%, namun beberapa kabupaten/kota signifikan berautokorelasi secara lokal pada α = 10%. Hal ini diindikasikan dari ditolaknya H0 pada α=10%, hal ini terjadi di 6 (enam) Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Bireun, dan Gayo Lues.
Gambar 4. Moran Scatterplot Sektor Listrik Gas dan Air Bersih Kabupaten/Kota di Aceh
Uji Hipotesis Global Moran’s Sektor Listrik Gas dan Air Bersih Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan program GEODA seperti terlihat pada gambar 5, nilai pseudo P-value adalah 0.33 > α = 0.05 dan nilai Zhitung (z-value) adalah 0.4534 < Zα/2 = 1.96,
maka kesimpulannya
adalah menerima H0, hal ini berarti tidak ada autokorelasi (dependensi) antar kabupaten/kota dalam hal sektor listrik gas dan air bersih.
2) Sektor Listrik Gas dan Air Bersih Nilai indeks Moran’s untuk Sektor listrik gas da air bersih seperti terlihat pada diagram Scatterplot dalam gambar 4. Dari gambar terlihat pola diagram pencar pada sektor empat 89 -
Volume 3, No. 2, Mei 2015
Gambar 5. Diagram Randomization listrik gas dan air bersih Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala c. Analisis Lokal Moran’s (LISA) Dari gambar 6 terlihat hanya ada satu
Tabel 2. Analisis Lokal Moran (LISA) sektor listrik gas dan air bersih
kota yang memiliki nilai p-value berada di bawah angka signifikansi α = 0.05, yaitu Kota Lhokseumawe, sementara kabupaten/ kota lain tidak signifikan pada α =5%, karena memiliki nilai p-value lebih besar dari 0.05. Artinya hanya Kota Lhokseumawe yang berpotensi untuk terjadi autokorelasi spasial secara lokal dengan kabupaten tetangganya.
Sumber : Data Olah, 2015.
Gambar 6. LISA significance map untuk sektor listrik gas dan air bersih. Uji Hipotesis Lokal Moran (LISA) Sektor Listrik Gas dan Air Bersih
Dalam analisis lokal Moran metode penarikan kesimpulan statistik menggunakan metode uji hipotesis berikut:
3) Sektor Jasa-Jasa a.
Analisis Global Moran (Moran’s I) Sama seperti 2 sektor sebelumnya Nilai
indeks Moran untuk sector jasa-jasa juga lebih mendekati nilai 0, dengan nilai indeks moran nya
0,138651,
artinya
keterkaitan/ketergantungan
Ho : Ii = 0 (tidak ada outokorelasi lokal antar
nilai
(dependensi)
spatialnya masih sangat rendah.
kabupaten) H1 : Ii ≠ 0 (ada ouotokorelasi lokal antar kabupaten) Berdasarkan table 2 terlihat hanya Kota Lhokseumawe yang terjadi autokorelasi secara lokal pada α = 5% maupun pada batas signifikansi α = 10%. Sedangkan kabupaten/ kota
yang
lain
tidak
berpotensi
untuk
membentuk pola keterkaitan secara lokal pada batas signifikansi α = 5% maupun pada α = 10%.
Gambar 7. Diagram Pencar dan Indeks Moran Sektor Jasa-Jasa.
Volume 3, No. 2, Mei 2015
- 90
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Uji Hipotesis Global Moran Sektor Jasa-Jasa Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan program GEODA seperti terlihat pada gambar 8.
Gambar 8. Diagram Randomization sektor jasa-jasa Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Gambar 9. LISA significance map untuk sektor jasajasa.
Nilai pseudo P-value untuk sector jasajasa adalah 0.09 > α = 0.05 dan nilai Zhitung (zmaka
Uji Hipotesis Lokal Moran (LISA) Sektor Jasa-Jasa
kesimpulannya adalah menerima H0, hal ini
Berdasarkan table 3 terlihat ada 3
berarti tidak ada autokorelasi (dependensi) antar
kabupaten yang signifikan terjadi autokorelasi
kabupaten/kota dalam hal sektor jasa-jasa.
secara lokal pada α = 5%, yaitu Kabupaten
value) adalah
b.
1.42< Zα/2 = 1.96,
Analisis Lokal Moran’s (LISA) Sektor Jasa-Jasa Hasil
analisis
LISA
seperti
Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan Kabupaten
yang
Aceh Tamiang dan Kota Langsa signifikan
ditampilkan pada LISA significance map pada
terjadi autokorelasi pada α = 10%. Sementara
gambar 9, untuk sector jasa-jasa ada 3
Kabupaten yang lain berdasarkan uji hipotesis
kabupaten yang memiliki p-value berada di
pada α = 5% maupun pada α = 10% menerima
bawah angka signifikansi α = 0.05, yaitu
Ho,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Utara
autokorelasi secara lokal antar kabupaten/kota”.
dan Kabupaten Bener Meriah, sementara
Tabel 3. Analisis Lokal Moran’s Sektor Jasa-Jasa Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
kabupaten lain tidak signifikan pada α =5%. Artinya Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah berpotensi untuk terjadi autokorelasi spasial secara lokal dengan kabupaten tetangganya.
91 -
Volume 3, No. 2, Mei 2015
yang
bermakna
bahwa
“tidak
ada
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala yang dominan di Kabupaten/Kota di Aceh masih menjauhi nilai +1. Berdasarkan analisis Local Moran’s sedikit sekali Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh yang membentuk pola spasial Local Cluster, khususnya yang bernilai Hot Spot (High-High). Sebaliknya pola
acak
(random)
mendominasi
seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Saran Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi
bagi
Pemerintah
dalam
menentukan
kebijakan perencanaan yang lebih strategis dimasa Sumber : Data Olah, 2015.
sekarang dan yang akan datang. Beberapa kebijakan yang bisa dilakukan antara lain:
1. Sektor basis yang menjadi sektor unggulan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
dalam struktur perekonomian aceh masih
Berdasarkan
dan
didominasi oleh sektor primer, terutama
analisis data, maka hasil penelitian dapat
sektor pertanian. Jika dilihat dari potensi
disimpulkan sebagai berikut:
lahan dan lingkungan alam Provinsi Aceh,
1. Semua kabupaten/kota di Aceh memiliki
seharusnya bisa memberi kontribusi lebih
sektor
tujuan
unggulan,
penelitian
dalam
struktur
besar lagi terhadap perekonomian Aceh.
perekonomiannya. Meski sangat variatif
Karena itu perlu upaya Pemerintah untuk
sektor yang menjadi sektor basis di semua
lebih
Kabupaten/Kota di Aceh, namun ada
teknologi terbaru kegiatan pasca produksi
beberapa sektor yang dominan dimiliki oleh
yang
hampir semua Kabupaten/Kota di Aceh.
Agroindustri.
2. Sektor unggulan didominasi oleh sektor pertanian
peternakan
kehutanan
dan
memaksimalkan
lebih
baik
pemanfaatan
melalui
kegiatan
2. Meskipun jika dilahat dari hasil tinjauan penelitian
yang
menunjukkan
tingkat
regional
wilayah
perikanan, sektor listrik gas dan air bersih
keterkaitan
dan sektor jasa-jasa.
kabupaten/kota yang masih sangat lemah,
antar
3. Berdasarkan hasil Analisis Global Moran’s,
namun tetap perlu ada upaya pemerintah
secara umum kabupaten/kota di Provinsi
untuk meningkatkan bentuk kerjasama
Aceh memiliki hubungan keterkaitan yang
regional antar Kabupaten/Kota di Aceh
rendah. Hal ini ditandai dari besaran nilai
untuk lebih meningkatkan skala ekonomi
indeks Moran’s ketiga sektor unggulan
regional
wilayah.
Sehingga
Volume 3, No. 2, Mei 2015
aktifitas - 92
Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala perekonomian
dan
produksi
terutama
disektor pertanian memiliki nilai saing yang
Yayasan Obor Indonesia. Statistik Indonesia 2014. (2014). Jakarta: BPS.
kuat dipasar nasional maupun internasional. DAFTAR PUSTAKA Aliasudin, W., Jamal, A., Siregar, M. I., Nasir, M., Fakhrudin, Masyrafah, H. H. (2011). Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh. Jakarta: Decentralization Support Facility. Anselin. (1999). Spatial Econometrics. Dallas: University of Texas. Kim, H. S. (2014). Patterns of Economic Development in the World. Journal of Global Economics, 1-8. Lembo, A. J. (2007). Spatial Autocorrelation Join Count Analysis. Salisbury University. Lentz, J. (2015, July 4). ArcGIS Help 10.1 . Retrieved from ArcGIS Resources: http://resources.arcgis.com. Levinson, D., dan Pathak, A. (2015, Januari 25). Wikipedia. Retrieved from www.wikipedia.org: http://en.wikipedia.org/wiki/Economies _of_agglomeration. Murwito, S., Rheza, B., Mulyati, S., Karlinda, E., Riyadi, I. A., dan Darmawiasih, R. (2013). Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah. Jakarta: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Prasetyo, E. (2008). The quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital Sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas. JEJAK, 1-14. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D. R. (2009). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: 93 -
Volume 3, No. 2, Mei 2015
Wajdi, M. (2015, 7 2). Teori Basis Ekonomi. Retrieved from http://bundabisa.blogspot.com: http://bundabisa.blogspot.com/2013/03/teori-basisekonomi.html.