KONTRIBUSI PASAR MINGGUAN (ONAN) TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN AIR BATU KABUPATEN ASAHAN Dwi Prawoto Alumnus PWD – PWK SPs USU Abstract: Weekly market (onan) as well as traditional market is the place where buyer and sellers meet at certain day once in a week .The research is to study the impact of onan market on local economic development using logistic regression. Both the seller’s and buyers’ point of view show that onan has significantly influence on local economic. It is noticed that the role of local government has less attention on market infrastructures. The government should develop a local enterprise that can develop the market as well as the infrastructure. Keywords: onan market, people economics and regional development PENDAHULUAN Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, merupakan saat bagi daerah menuju era otonomi daerah. Walaupun berbagai kendala terjadi pada awal pelaksanaan, pembangunan yang berjalan di era otonomi daerah telah menuntut pemberdayaan potensi dan kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur wilayah sendiri secara lebih luas. Beberapa wilayah baru dibentuk/dimekarkan untuk mendukung pemberdayaan tersebut. Dampaknya adalah semakin bertambahnya jumlah pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Pada tahun 2001 jumlah kabupaten sebanyak 268, jumlah kota sebanyak 85, jumlah kecamatan sebanyak 4.424, dan jumlah desa sebanyak 68.819 desa. Dan pada akhir tahun 2005 jumlah kabupaten menjadi 349, jumlah kota sebanyak 91, jumlah kecamatan sebanyak 5.641, dan jumlah desa menjadi 71.555 buah (BPS, 2006a). Pertambahan jumlah wilayah pemerintah terjadi hampir di setiap wilayah, termasuk Kabupaten Asahan. Jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Asahan pada awal tahun 2007 sebanyak 276, yang sebelum sebanyak 271. Jumlah ini akan terus berkembang dengan terbentuknya Kabupaten Batubara. Dengan bertambahnya jumlah wilayah pemerintahan, akses masyarakat terhadap pusat pemerintahan (desa/kelurahan) menjadi lebih dekat. Harapan selanjutnya adalah semakin meningkatkan kesejahteraan sebagaimana diharapkan dari otonomi daerah.
42
Sektor perdagangan yang bersifat informal dalam skala lebih luas tercermin tumbuhnya sistem pasar yang mendekatkan ke konsumen, yaitu munculnya pasar mingguan/pekana dikenal dengan “onan”. Onan berasal dari bahasa Batak yang berarti pekan atau pasar (Sarumpaet, 2005). Dalam pengertian masyarakat umum adalah tempat jual beli yang berlangsung pada hari-hari tertentu, misal mingguan. Dan untuk selanjutnya dalam penelitian ini, dalam penyebutan kegiatan jual beli dengan konotasi berlangsung pada hari tertentu dan berada dalam wilayah tertentu disebut dengan onan. Berdasarkan informasi awal diketahui bahwa Kabupaten Asahan terdapat lebih dari 80 lokasi onan, yang tersebar di 17 kecamatan. Sedangkan perkembangan yang tinggi terjadi di Kecamatan Air Batu yaitu sejumlah 2 bangunan pasar semi permanen pada tahun 2002 menjadi 5 pada tahun 2004 dan selanjutnya menjadi 6 buah pada tahun 2005 (BPS, 2006b). Dendi dkk. (2004) menyarankan bahwa mengembangkan perekonomian lokal, pemerintah dapat menempuh cara-cara sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah perlu membuka dialog untuk melihat kembali sejauh mana rencana tata ruang wilayah yang ada sekarang konsisten dengan prinsipprinsip pro-masyarakat miskin dan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini peranan forum kemitraan pengembangan ekonomi lokal dipandang sangat penting. Hasil-hasil dialog tersebut seyogyanya menjadi masukan dalam memutakhirkan/ merevisi rencana tata ruang wilayah.
Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...
2. Pemerintah daerah dengan didukung oleh lembaga forum kemitraan pengembangan ekonomi lokal menjabarkan (elaborate) rencana strategik pengembangan ekonomi kabupaten/kota untuk periode 2005-2009, termasuk di dalamnya rencana tata ruang wilayah. 3. Memilih beberapa lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru di mana strategi atau komponen strategi pengembangan ekonomi lokal yang relevan diuji coba. 4. Mengembangkan konsep dana bagi hasil antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa yang berdasarkan kriteria-kriteria kebutuhan pembangunan, termasuk keberadaan masyarakat miskin, serta kinerja pemerintahan desa. Seperti dinyatakan pada bagian sebelumnya, onan berasal dari bahasa Batak yang berarti pasar/pekan. Kemunculannya onan yang secara berkala, tidak tertentu siapa pelakunya, menjadikan sarana jual beli yang dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di Indonesia muncul semacam onan dengan berbagai ragam nama, seperti pekanan, pasaran, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun berbeda makna adalah pasar rakyat/pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha, onan termasuk dalam usaha kecil, dan biasanya tidak/belum berbadan hukum maka layak onan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di bidang perdagangan. Konsep ekonomi sektor informal baru muncul dan terus dikembangkan sejak tahun 1969 pada saat International Labor Organization (ILO) mengembangkan program World Employment Programme (WEP). Konsep sektor informal pertama kali diistilahkan oleh Keith Hart pada tahun 1973, seorang antropolog Inggris melalui penelitian di Kota Accra dan Nima, Ghana. Menurut Hart perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh ILO seperti Free Town, Lago, Kana, Kumasi, Colombo, Jakarta, dan Manila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja informal hidup miskin, berpendidikan sangat rendah, dan
berpenghasilan di bawah upah minimum (Supriyanto, 2006). Ciri dari sektor informal adalah upah atau gaji yang tidak tetap, rendah, serta tidak cukup memadai. Produktivitasnya tidak maksimal karena sektor informal tidak menggunakan teknologi atau peralatan modern. Keterampilan tenaga kerja kurang berkualitas relatif dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor formal (Rachbini, 2006). Wilayah adalah kumpulan daerah berhampiran, sebagai satu kesatuan geografis dalam bentuk dan ukurannya. Wilayah memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia serta posisi geografis yang dapat diolah dan dimanfaatkan secara efisien dan efektif melalui perencanaan yang komprehensif (Miraza, 2005). Secara ringkas konsep mengenai ruang/wilayah ditandai dengan lokasi absolut dan distribusi areal dari gambaran tertentu di permukaan bumi. Ruang memiliki jarak secara geometri, absolut dan unik dalam hubungannya dengan lokasi yang lain, dan memiliki bentuk yang dibatasi oleh batas lokasi yang tetap. Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teroretis dengan penglaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Sehingga pengembangan wilayah menurut Sandy (1992) adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan menurut Hadjisaroso (1994) pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, atau memajukan dan memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada (Jayadinata, 1992) Sedangkan Korompis (2005) melakukan studi lebih khusus tentang pengelolaan pelaku pasar tradisional yaitu pengelolaan pedagang kaki lima (PKL) terhadap penerimaan pendapatan asli daerah Kota Menado. Dari hasil penelitian Korompis ini menyatakan bahwa peranan PKL belum
43
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007
cukup nyata untuk mencapai target penerimaan restribusi pasar dan kebersihan. Namun secara parsial variabel-variabel pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) dari sisi retribusi daerah. Dengan kata lain PKL di Kota Menado memberi positif dalam meningkatkan perolehan/peneriman pendapatan pemerintah Kota Manado untuk membiayai pembangunan kota. Sebagai pembatasan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa yang dimaksud dengan onan pada penelitian ini adalah sebuah tempat jual beli (pasar) yang berlangsung pada hari-hari tertentu saja, bisa mingguan/pekanan atau dua harian yang memiliki tempat tertentu. Di beberapa wilayah dikenal dengan istilah pasar tradisional, pekanan, pasar mingguan, partiga-tiga, dan sejenisnya. Sehingga penelitian ini difokuskan pada pasar tradisional (onan) yang berada di daerah pedesaan/rural yang cenderung belum dikelola dengan profesional oleh institusi pemerintah. METODE Lokasi penelitan dilakukan di onan yang ada di Kecamatan Air Batu, Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penelitian awal di Kecamatan Air Batu terdapat beberapa desa yang yang memiliki onan yaitu Desa Sei Alim Ulu, Pinanggripan, Hessa Perlompongan, dan Air Genting, yang berjumlah 6 lokasi onan. Jumlah sampel penelitian sebanyak 78 responden untuk pedagang dan 78 responden untuk pembeli, ditambah 6 desa sebagai wakil pemerintah desa dengan menggunakan prosedur simple random sampling yakni proses pemilihan sampel di mana seluruh anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih (Daniel, 2002). Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. HASIL 1. Karakteristik onan Pelaku usaha pasar mingguan (onan) khususnya para penjual pada umumnya masih relatif muda dan masih energik, yang berumur 20-35 tahun sebanyak 29 orang
44
yang terdiri 22 orang pria dan 7 orang wanita, sedangkan yang berumur di atas 35 tahun sebanyak 49 orang yang terdiri 34 orang pria dan 15 orang wanita. Bila dilihat lebih jauh ternyata pelaku usaha pasar mingguan juga masih mempunyai pekerjaan utama yaitu sebagai petani walaupun sangat kecil dibanding pelaku yang lain memang pekerjaan utamanya sebagai pedagang. Pekerjaan utama pelaku usaha pasar mingguan sebagai penjual hanya 5% mempunyai pekerjaan utama pada sektor agriculture (pertanian) yang umumnya berpendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan 95% pekerjaan utamanya sebagai service (dagang) dengan latar belakang pendidikan telah lulus sekolah lanjutan atas (SLTA) dan beberapa lulusan perguruan tinggi (universitas). Dari pekerjaan utama pada sektor service (dagang) tersebar dalam frekuensi kunjungan ke onan yang ada di daerah sekitarnya. Yaitu 8,97% mempunyai kegiatan ke onan satu kali dalam seminggu berarti hanya pada onan yang sama menjajakan dagangannya. Sedangkan yang melakukan kegiatan ke onan 2–3 kali dalam seminggu ada sebesar 26% dan 65,03% lainnya yang melakukan kegiatan dalam seminggu lebih atau sama dengan 4 kali. Dilihat jarak tempuh dari rumah sampai di tempat onan ternyata yang jaraknya lebih dari 5 kilometer lebih banyak dibanding dengan penjual yang berada di bawah 5 kilometer. Sehingga dapat diduga banyak pelaku pasar mingguan yang datang dari daerah lain di luar kecamatan. Ada 64,37% pelaku usaha pasar mingguan (onan) yang jarak tempuhnya lebih dari 5 kilometer dan sisanya adan 35,63% jarak tempuh kurang dari 5 kilometer. Sedangkan pelaku onan untuk pembeli lebih banyak yang datang ke onan dengan jarak tempuh kurang dari 5 kilometer yaitu sebesar 71,79%. 2. Peranan Pemerintah Daerah dalam Pasar Mingguan di Kecamatan Air Batu Belum Maksimal Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semua responden khusus penjual 100% tidak menerima bantuan dari pemerintah. Begitu juga dari hasil wawancara dengan pengelola
Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...
pasar mingguan (onan) dari 6 pengelola 3 di antaranya menggunakan tanah pribadi untuk menyiapkan onan bagi masyarakat, 2 pengelola menggunakan tanah desa, dan 1 pengelola menyatakan tanah pemerintah Kabupaten Asahan. Dalam penggunaan tanah pribadi umumnya pengelola itu perorangan atau kelompok masyarakat desa, sedang yang menggunakan tanah milik desa atau milik Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan, onan dikelola oleh Pemerintah Desa. PEMBAHASAN 1. Model Regresi Logistik untuk Responden Penjual Dengan memasukan seluruh variabel yaitu, umur (X11), Jenis kelamin (X12), pendidikan (X13), lapangan usaha (X14), jam kerja (X15), frekuensi ke onan (X16), jarak ke onan (X17), omset per onan (X18), dan biaya per onan (X19), diperoleh model regresi sebagai berikut:
Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan α=10%, dinyatakan bahwa dari sembilan variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap persepsi penjual ternyata ada lima variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu jenis kelamin (X12), pendidikan (X13), frekuensi ke onan (X16), jarak ke onan (X17), dan variabel omset per onan (X18). Sedangkan empat variabel lainnya ternyata tidak signifikan yaitu umur (X11), lapangan usaha (X14), jam kerja (X15), dan biaya per onan (X19), sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi penjual adalah sebagai berikut:
Dengan melihat nilai odds ratio (Exp B) pada lampiran 8, penjual yang berjenis kelamin perempuan mempunyai kecenderungan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 17,33 kali lebih rendah dibandingkan penjual laki-laki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, penjual yang berpendidikan SLTA atau lebih akan memberikan persepsi bahwa onan
berpengaruh terhadap perekonomian 6,22 kali lebih rendah dibandingkan yang berpendidikan SD-SLTP. Penjual yang melakukan kegiatan di onan dengan frekuensi 4 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 59,88 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Sedangkan penjual yang frekuensi ke onannya 2-3 kali memiliki cenderung untuk memberikan pendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 35,97 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang hanya sekali frekuensi ke onan-nya. Penjual yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 20,77 kali lebih besar dibandingkan dengan penjual yang menempuh jarak < 5 km. Penjual yang beromset rata-rata ≥ 1.000.000 cenderung akan mempunyai persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 78,74 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang beromset rata-rata < 500.000, sedangkan penjual yang beromset rata-rata 500.000-1.000.000 akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 166,67 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang beromset rata-rata < 500.000. 2. Model Regresi Logistik untuk Responden Pembeli Dengan memasukan seluruh variabel untuk responden pembeli yaitu, umur (X21), jenis kelamin (X22), pendidikan (X23), lapangan usaha (X24), jam kerja (X25), frekuensi ke onan (X26), jarak ke onan (X27), dan belanja per onan (X28), diperoleh model sebagai berikut:
Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji statistik dengan derajat kepercayaan 10%, terlihat bahwa dari sembilan variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap persepsi pembeli ternyata ada lima variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu
45
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007
jenis kelamin (X22), pendidikan (X23), frekuensi ke onan (X26), jarak ke onan (X27), dan variabel nilai belanja per onan (X28). Sedangkan tiga variabel lainnya ternyata tidak signifikan, sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi pembeli adalah sebagai berikut:
Dengan melihat nilai odds ratio dapat dijelaskan antara lain kecenderungan seorang pembeli yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 22,57 kali lebih rendah dibandingkan pembeli lakilaki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, pembeli yang berpendidikan SLTA atau lebih akan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 27,06 kali lebih tinggi dibandingkan yang berpendidikan < SD, sedangkan yang berpendidikan tamat SD-SLTP akan mempengaruhi 29,96 kali lebih besar dibanding yang pendidikannya < SD. Pembeli yang frekuensi ke onan-nya 23 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 21,03 kali lebih besar dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Dilihat dari jarak yang ditempuh oleh pembeli maka pembeli yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 29,68 kali lebih besar dibandingkan dengan pembeli yang menempuh jarak < 5 km. Variabel yang terakhir yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi pembeli adalah rata-rata nilai belanja di setiap onan. Pembeli dengan rata-rata belanja per onan ≥ Rp.100.000,- cenderung untuk mempunyai persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 49,75 kali lebih rendah dibandingkan dengan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya < Rp.50.000,-, sedangkan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya Rp.50.000-Rp.99.999 akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 39,37 lebih rendah dibandingkan dengan pembeli yang
46
biaya rata-rata belanja per onan-nya < Rp.50.000,-. 3. Model Regresi Logistik untuk Responden Gabungan Dengan memasukan seluruh variabel untuk responden penjual dan pembeli yaitu, umur (X1), Jenis kelamin (X2), pendidikan (X3), lapangan usaha (X4), jam kerja (X5), frekuensi ke onan (X6), jarak ke onan (X7), dan apresiasi terhadap onan (X8). Pada variabel X8 ini merupakan gabungan dari variabel jumlah omset yang dihasilkan oleh penjual untuk setiap onan dan variabel jumlah belanja yang dikeluarkan pembeli pada setiap onan. Ini berarti menggabungkan dari dua pengukuran yang berbeda, menjadi satu ukuran dengan nama apresiasi terhadap onan yang terdiri dari 3 kategori, yaitu apresiasi rendah, sedang dan tinggi. Dengan menggunakan delapan variabel, diperoleh model sebagai berikut:
Dengan taraf kepercayaan α=10% diperoleh model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi penjual dan pembeli (pelaku ekonomi) adalah dengan menggunakan variabel jenis kelamin (X2), frekuensi ke onan (X6), jarak ke onan (X7) dan variabel apresiasi terhadap onan (X8), keempat variabel penjelas tersebut merupakan variabel yang mempengaruhi secara signifikan persepsi penjual dan pembeli. Model yang terbentuk sebagai berikut:
Dengan melihat nilai odds ratio pada lampiran 10 di atas dijelaskan antara lain kecenderungan pelaku ekonomi yang berjenis kelamin perempuan cenderung akan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 14,41 kali lebih rendah dibandingkan pelaku ekonomi laki-laki. Dengan kata lain pelaku ekonomi yang berjenis kelamin laki-laki memberikan pengaruh 14,41 kali tinggi
Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...
dibanding yang perempuan dalam penentuan persepsi terhadap onan. Pelaku ekonomi yang mempunyai frekuensi ke onan-nya 2-3 kali atau lebih cenderung untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 25,91 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali, sedangkan kecenderungan pelaku ekonomi yang frekuensi ke onan-nya 4 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 62,50 kali lebih rendah dibandingkan dengan responden yang ke onan dengan frekuensi hanya sekali. Dilihat dari jarak yang ditempuh oleh para pelaku ekonomi maka mereka yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 13,14 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang hanya menempuh jarak < 5 km. Variabel yang terakhir yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi pelaku ekonomi terhadap onan adalah apresiasi terhadap onan. Pelaku ekonomi yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap onan cenderung untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 28,74 kali lebih rendah dibandingkan dengan pelaku ekonomi apresiasi terhadap onan rendah, sedangkan pelaku ekonomi yang mempunyai apresiasi sedang terhadap onan akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 36,76 kali lebih rendah dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang apresiasi terhadap onan rendah. 4. Kaitan Hasil Penelitian dengan Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Dari penjelasan di atas diperoleh hasil bahwa beberapa variabel tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap persepsi yang dimiliki responden. Selanjutnya untuk menghubungkan hasil penelitian ini dengan perencanaan dan pengembangan wilayah dilakukan terlebih dahulu melihat tingkat perekonomian para pelaku onan (penjual). Tingkat perekonomian penjual tersebut dapat ditinjau dari omset yang diperoleh selama sebulan. Omset untuk menjelaskan hal
tersebut dapat dilihat omset dari 78 responden (penjual). Dengan memperhatikan Grafik 4.1, dapat dilihat bahwa secara umum omset penjualan per bulan bekisar dari Rp.100.000,- sampai dengan Rp.3.750.000,-. Sehingga dengan melihat total omset yang diperoleh dari seluruh responden selama sebulan sekitar Rp.94.655.000,-. Dengan menganalogkan bahwa sebesar 20% dari total omset tersebut merupakan keuntungan, maka kita mendapatkan angka Rp. 18.931.000,- per bulan. Angka sebesar itu dalam lingkup survei baru meliputi 78 responden jika nantinya digunakan untuk mengestimasi dari sekitar 350-an jumlah seluruh pedagang adalah angka yang sangat besar. Sebuah peluang untuk menggerakkan perekonomian secara individu/rumah tangga maupun untuk mendorong perkembangan perekonomian secara umum. Dilihat dari segi ruang (wilayah) yang didekati dengan jarak dari penjual di onan, diperoleh hasil bahwa total omset penjual yang memilik jarak ke onan 5 km atau lebih menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu sebesar Rp.64.040.00,- untuk 47 responden. Sedangkan untuk total omset penjualan per bulan yang memiliki jarak kurang dari 5 km hanya sebesar Rp.30.615.000,- untuk 31 penjual. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk penjual sebagai mana umumnya dalam jual beli adalah meminimalkan ongkos dan memaksimalkan laba, ternyata lebih banyak penjual yang berasal dari daerah berjarak 5 km atau lebih. Ini menunjukkan bahwa onan sebagai salah satu faktor terjadinya proses pengembangan wilayah. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya onan yang pada awalnya berdiri dengan sendirinya, yang hanya difasilitasi oleh penguasa lahan baik berupa milik sendiri warga masyarakat, tanah kosong yang tidak dipakai ataupun tahan milik negara/pemerintah daerah. Selanjutnya terjadi proses transaksi jual beli yang awalnya mungkin dimonopoli oleh orangorang tertentu, namun dengan semakin mudah akses dan transportasi membentuk pasar oligopoli walaupun dalam skala kecil (onan). Sebagai mana dalam sisi ekonomi informal, ada istilah “anda jual, saya beli”, proses pembentukan onan ini berlangsung secara alami. Artinya jika tidak ada pembeli maka penjual semakin lama semakin
47
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007
berkurang dan cenderung sepi, sehingga lama-lama kegiatan onan akan berhenti. Namun di sisi lain, jika pembeli terus bertambah maka kegiatan onan akan terus berkembang. Bahkan secara mandiri onan tersebut akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti pembangunan sarana penjualan (atap, lantai), lokasi perparkiran, dan pembuangan sampah. Sampai pada tahap ini biasanya diperlukan peranan pemerintah untuk mengelola dan membina kegiatan onan, karena ini melibatkan banyak institusi dan kelembagaan. Dan pada akhirnya kegiatan onan menjadi kegiatan pasar seperti pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus. Hal ini dijumpai adanya sebuah pasar yang berada di Kecamatan Air Batu yang tadinya onan namun sekarang sudah berlangsung setiap hari, sehingga dalam terminologi penelitian ini dikeluarkan dari istilah onan. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengguna onan (pembeli) sebagian besar adalah perempuan, berdomisili dengan jarak kurang dari 5 (lima) km, melakukan transaksi pembelian 1 (satu) kali per minggu dan pada umumnya mempunyai lapangan usaha pada sektor pertanian (agriculture) dan perdagangan atau jasa (service). 2. Pelaku onan sebagian besar laki-laki sebagai penjual dengan frekuensi kunjungan ke onan 4 (empat) kali dalam seminggu yang berdomisili atau lebih dari 5 (lima) km serta pada umumnya lapangan usahanya adalah perdagangan atau jasa (service). 3. Onan pada umumnya dikelola oleh perorangan atau kelompok masyarakat yang belum ada menerima pembiayaan dan permodalan dari pemerintah. 4. Pada umumnya secara perlahan onan akan berubah menjadi pasar dengan dukungan dari penjual masyarakat dan pemerintah. Dan pada akhirnya terjadi proses pengembangan wilayah.
48
SARAN Terkait dengan hal tersebut di atas, disarankan pada penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan onan perlu mempertimbangkan penambahan jumlah sampel, jika memungkinkan dapat dilakukan secara sensus untuk para pelaku onan. Karena onan tumbuh secara alamiah, maka pemerintah perlu memantau dan selanjutnya mengelola onan supaya dapat memberi manfaat kepada lebih banyak masyarakat, tertata secara teratur, walaupun tidak harus onan tersebut berlangsung setiap hari, namun mampu menggairahkan roda perekonomian sehingga mendorong pengembangan wilayah terutama di pedesaan. DAFTAR RUJUKAN Ananta, Aris, 1993, Ciri Demografis, Kualitas Penduduk, dan Pembangunan Ekonomi, Lembaga Demografi FE-UI, Jakarta. Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R., 1991, Pengantar Psikologi. (8th edition), Penerbit Erlangga, Jakarta. BPS, 1998a, Indikator Tingkat Hidup Pekerja 1997-1998, Biro Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 1998b, Indikator Kesejahteraan Anak dan Pemuda, Biro Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 1999, Penyelamat Ketenagakerjaan Indonesia dalam Info BPS No. 31/I/September 1999, Bagian Laporan Statistik, Jakarta. BPS, 2006a, Statistik Indonesia 2005/2006, Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 2006b, Kecamatan Air Batu Dalam Angka Tahun 2006, BPS Kab. Asahan, Kisaran. BPS, 2006c, Produk Domestik Bruto Kabupaten Asahan Menurut Kecamatan Tahun 2005, BPS Kab. Asahan, Kisaran.
Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...
Buwono X, Hamengku, 2005, Perspektif Daerah tentang UU No. 25, UU No. 32 & UU No. 33 Tahun 2004– dalam Seminar Nasional: Tatangan Implementasi UU No.25, UU No. 32 & UU No. 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah, Yogyakarta. Daniel Moehar, 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta. Dendi, Astia, Dr., Heinz-Josef Heili, Mahman, Ruhyatil Hilaliyah, Rifai Saleh Haryono, 2004, Menanggulangi Kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, Promis-NT, Mataram, http://www.gtzpromis.or.id/PEL/Strate gy%20Paper/ Completed%20%20Strategi%20PEL% 20(Indonesian).pdf, diakses tanggal 5 Maret 2007. Effendi, T.N., 1998, Pola Mobilitas Pekerja: Studi Kasus di Diroprajan Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta. Hosmer, David W. and Stanley Lemeshow, 1989, Applied Logistic Regression, John Wesley and Sons, New York. Hadjisaroso, 1997, Konsep Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, dalam Prisma No. 8 Agustus 1994, Jakarta. Jayadinata, Johara T., 1992, Tataguna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, ITB, Bandung.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif, Teori Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Jakarta. Miraza, Bachtiar Hasan, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, ISEI Bandung, Bandung. Rachbini, Didik J., 2006, Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara, Kompas. 15 April, 2006. Sandy, I Made, 1992, Pembangunan Wilayah, Monograf, IPB, Bogor. Sarumpaet, J.P., 2005, Kamus Batak– Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sukirno, Sadono, 1985, Ekonomi Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta. Sulistyowati, Dwi Yulita, 1999, Kajian Persaingan Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan Berdasarkan Pengamatan Perilaku Berbelanja di Kota Bandung, Tugas Akhir, ITB, Bandung. Supriyanto, Agustinus, 2006, Jamsostek Pekerja Sosial – Kompas Jogja, 23 Maret 2006, http://www.ilo.org/public/ english/region/asro/jakarta/download/ informal2006.pdf, diakses tanggal 5 Maret 2007. Todaro, Michael P., 1998, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Alih Bahasa Haris Munandar, Erlangga. Jakarta.
Korompis, Fransiska R., 2005, Pemberdayaan Sektor Informal: Studi tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya terhadap Penerimaan PAD di Kota Manado, Tesis Universitas Sam Ratulangi, Manado.
49