Konstruksi Identitas Budaya tokoh ‘ik’ dalam cerita Onder de sneeuw een Indisch graf
Makalah
diajukan untuk melengkapi Persyaratan mencapai gelar Sarjana Humaniora
Oleh: Prilly R Nathalya NPM : 0906529275 Program Studi Belanda
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2013
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
ABSTRACT
Prilly R Nathalya (0906529275) : Cultural identity construction of the character ‘ik’ in Onder de sneeuw een Indisch Graf. (Supervisor: Eva Catarina Tresnawaty S.S., M.Hum)
This paper asks about how the establishment of one cultural identity grows while they’re not in their homeland anymore. The word Diaspora has been understood as the dissemination of certain group of people -notably the Jewish and Chinese- to other country or land. Nowadays it has been used to refer every people or groups that leaves their homeland to other countries. In this case, the Mollucans that moved to the Netherland since they don’t want to be under the name of Indonesia. In short, this paper will also explain of the influence of diaspora itself to the shape of identity of the immigrant from Mollucas that has stayed in the Netherland in Onder de sneeuw een Indisch Graf.
Keywords: The shape of Cultural identity; Mollucans; The Netherland; Diaspora.
iii
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
ABSTRAK
Prilly R Nathalya (0906529275) : Konstruksi Identitas Budaya tokoh ‘ik’ dalam cerita Onder de sneeuw een Indisch graf. (Pembimbing: Eva Catarina Tresnawaty S.S., M.Hum)
Makalah ini bertanya tentang perkembangan pembangunan identitas budaya suatu kelompok ketika mereka tidak tinggal di daerah asli mereka lagi. Diaspora dulu dikenal sebagai penyebaran kelompok tertentu khususnya orang Yahudi dan Cina ke negara atau daerah lain. Namun sekarang term diaspora telah dipakai untuk menyebut setiap orang yang meninggalkan negara asal ke negara lain. Dalam kasus ini, orang-orang Maluku yang pindah ke Belanda dengan alasan menolak bergabung dengan Indonesia. Singkatnya, makalah ini akan menjelaskan tentang pengaruh diaspora dalam pembentukan identitas imigran Maluku yang tinggal di Belanda dalam cerita Onder de sneeuw een Indisch Graf.
Kata kunci: Pembentukan identitas budaya; Maluku; Belanda; Diaspora
iv
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan
ii
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
v
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang Masalah
1
1.2. Rumusan Masalah
2
1.3. Pendekatan Teori
2
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Analisis
5 5
BAB 3 KESIMPULAN
10
BIBLIOGRAFI
11
v Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Ketika Indonesia masih menjadi koloni Belanda, Nederlands-Indië 1 , banyak orang-orang Belanda yang datang untuk berdagang dan atau menjadi tentara. Didorong oleh kebutuhan tentara yang banyak, pemerintah Belanda mendirikan KNIL 2 pada tahun 1830. Orang-orang pertama yang direkrut dalam KNIL adalah orang-orang dari Afrika3 lalu berikutnya orang pribumi direkrut, dan salah satunya orang-orang Maluku. Antara tahun 1945 sampai 1963, banyak pendatang baru dari Hindia Belanda, kira-kira berjumlah totalnya 300.000 orang, mereka adalah orang Belanda yang trauma pada pendudukan Jepang, orang Indis, dan bekas anggota KNIL yang ingin tinggal di Belanda. Salah satu penulis yang mengangkat cerita tentang kehidupan imigran Maluku di Belanda adalah Frans Lopulalan. Ia sendiri memang berdarah Maluku. Frans Lopulalan lahir pada tanggal 4 November 1953 dan dibesarkan di Belanda dalam lingkungan dan pengaruh tradisi Maluku yang kental. Ayahnya adalah seorang mantan anggota tentara KNIL yang memilih untuk berepatriasi ke Belanda. Frans Lopulalan telah menulis beberapa karya, yaitu Onder de sneeuw een Indisch graf (1985), dan Dakloze herinneringen (1994). Liesbeth (dalam Verhalen die om woorden smeken Frans Lopulalan en de Molukse identiteit) menyatakan bahwa kedua cerita tersebut dapat dianggap sebagai autobiografi keluarga. Frans 1
Hindia Belanda, nama awal Indonesia selama masa pendudukan Belanda. Koninklijk Nederlands-Indische Leger dibentuk di Hindia Belanda dengan fungsinya di Hindia Belanda sebagai tentara Kerajaan di Hindia Belanda. 3 Pemerintah Belanda pada tahun 1831 - 1872 merekrut kira-kira 3085 orang Afrika ke Indonesia dari Elmina yang terletak sekitar 12 kilometer dari Cape Coast, sisi selatan Republik Ghana ke Batavia, Hindia Belanda, untuk kepentingan militer di Hindia Belanda saat itu. (van Kessel 2005: 9) 2
1
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Lopulalan selain menulis 2 karya tersebut, beliau juga menulis beberapa cerita pendek lain yang diterbitkan dalam kumpulan cerita bersama dengan karya penulis lainnya.
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana Identitas budaya tokoh ‘ik’ dikonstruksikan dalam cerita Onder de sneeuw een Indisch graf ?
1.3. Pendekatan Teori Untuk menganalisis identitas tokoh ‘ik’ dalam cerita Onder de sneeuw een Indisch graf karya Frans Lopulalan akan digunakan teori identitas budaya yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Identitas budaya menurut Stuart Hall (Cultural Identity and Diaspora, 1990: 222), Identitas budaya dapat dilihat melalui dua perspektif, yaitu Identity as being dan Identity as becoming. Identity as being dipahami sebagai: “The first position defines „cultural identity‟ in terms of one, shared culture, a sort of collective „one true self‟, hiding inside the many other , more superficial or artificially imposed „selves‟, which people with shared history and ancestry hold in common. Within this terms of definition, our cultural identities reflect the common historical experiences and shared cultural codes which provide us, as „one people‟, with stable, unchanging and continuous frames of reference and meaning, beneath the shifting divisions and vicissitudes of our actual history.” Stuart Hall (1990: 223)
Identitas budaya dalam Identity as being didefinisikan sebagai identitas yang satu, dimiliki bersama, sebentuk indentitas dasar yang dimiliki juga oleh orang lain yang memiliki kesamaan leluhur dan latar belakang sejarah. Sekelompok orang ini adalah ‘satu’ walaupun terlihat di permukaan bahwa mereka berbeda . “This second position recognises that, as well as the many points of similarity, there are also critical points of deep and significant difference which constitute „what we really are‟; or rather – since history has intervened – „what we have become‟. ... Cultural identity, in this second sense, is a matter of „becoming‟ as well as of „being‟. It belongs to the 2
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
future as much as to the past. It is not something which already exists, transcending place, time, history and culture.Cultural identities come from somewhere, have histories.” Stuart Hall (1990: 225) Identity as becoming menurut Hall dalam perpektif yang kedua ini masih dalam literatur yang sama, menyadari bahwa terlepas dari banyaknya kesamaan ciri, tetap saja ada ciri-ciri krusial yang menunjukkan adanya ‘perbedaan’ yang mana didasari oleh ‘siapa sesungguhnya kita’, namun karena intervensi sejarah, anggapan ‘siapa sesungguhnya kita’ berubah menjadi ‘kita telah menjadi siapa’. Identitas ada di masa depan dan masa lalu, dan identitas juga bukan sesuatu yang ‘sudah ada’, melainkan identitas tersebut ada melebihi waktu, tempat, sejarah, dan budaya. Identitas tidak beku di satu masa saja (masa lalu), tetapi ia adalah subjek dari permainan sejarah, budaya, dan kekuasaan yang sifatnya berkelanjutan. Satu lagi formulasi Identitas budaya yang dikemukakan oleh Dusek (1996: 162) , yaitu, “The degree to which one feels he or she belongs to a particular ethnic group and how that influence one‟s feeling‟s perception, and behavior”
Dalam definisi ini, Dusek menyatakan bahwa orang dapat merasa sebagai anggota/bagian dari suatu budaya/etnis tertentu dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Individu yang merasa menjadi bagian suatu budaya/etnis membuktikan bahwa Identitas budaya tidak terlepas dari adanya suatu perasaan memiliki (sense of belonging) dari setiap anggota-anggotanya. Identitas yang terbangun terkait erat dengan diaspora. Istilah diaspora secara umum dalam Wikipedia (bahasa Yunani kuno διασπορά, "penyebaran atau penaburan benih") digunakan untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Mulanya, istilah Diaspora digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan. 3
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Diaspora dalam bahasan ini merujuk pada konteks post-kolonial yang melingkupi situasi politik maupun budaya yang berakar dalam kolonialisme Barat sejak abad ke-19 hingga abad ke-20, saat pergerakan diasporik berlangsun secara konsisten sebagai akibat dari tercerabutnya sekelompok orang dari wilayah jajahan di Dunia Ketiga ke pusat-pusat kapitalis metropolitan barat (Wu, 1991). Laevi dan dan Swedenburg (1991) juga memberikan uraian mengenai diaspora, yaitu, diaspora merupakan suatu migrasi secara massif kelompokkelompok orang kulit berwarna (non-kulit putih) ke ‘jantung pusat Eropa’ selama dan sesudah kolonialisme Barat. Ciri-ciri umum diaspora meliputi: Hubungan sosial yang direkatkan oleh ikatan sejarah dan geografi, sehingga secara umum diaspora dilihat sebagai: a) akibat dari migrasi sukarela atau terpaksa dari satu lokasi rumah, setidaknya dua negara, b) kesadaran mempertahankan identitas kolektif yang sering berkelanjutan dengan mengacu pada ‘mitos etnis’ suatu asal, pengalaman sejarah, dan beberapa jenis geografis, c) melembagakan jaringan pertukaran dan komunikasi yang melampaui negara-negara teritorial dan menciptakan organisasi-organisasi komunal baru di tempat-tempat pemukiman, d) mempertahankan berbagai hubungan eksplisit dan implisit dengan kampung halaman mereka, e) membangun solidaritas dengan anggota co-etnis di negara-negara lain, dan f) ketidakmampuan atau keengganan untuk sepenuhnya diterima oleh tuan rumah masyarakat sehingga memupuk perasaan keterasingan, penolakan, keunggulan, atau jenis perbedaan lainnya.
4
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
BAB 2 PEMBAHASAN
Onder de sneeuw een Indisch graf adalah sebuah autobiografi yang ditulis oleh Frans Lopulalan tentang bagaimana orang-orang Maluku yang bermigrasi hidup di Belanda. Dalam cerita ini, beliau menceritakan tentang masa remajanya ketika tinggal di Woerden, kamp orang-orang Maluku, kematian kakak lelaki dan adik perempuannya dan juga kematian ayahnya, mantan prajurit KNIL. Di dalam buku juga diceritakan tentang bagaimana anak orang Maluku yang bermigrasi ke Belanda dan bagaimana orang-orang tersebut menjalani hidupnya di Belanda berdampingan dengan orang Belanda. Dalam cerita ini motif perbedaan, rasa terasing, kerinduan pada kampung halaman, dan rasa kekeluargaan yang erat tergambar dengan kuat.
2.1 Analisis Pemerintah Belanda merasa bertanggung jawab atas keselamatan bekas serdadunya, jadi pemerintah Belanda pada tahun 1950 mengeluarkan kebijakan untuk membawa bekas serdadu mereka (KNIL) ke Belanda, dan diantara orangorang tersebut ada sejumlah orang-orang Maluku yang tergabung di dalam KNIL. Orang-orang Maluku yang pindah ke Belanda inilah merupakan salah satu contoh kasus diaspora yang terjadi disamping kasus-kasus lain seperti bangsa afrika, bangsa Cina (Tionghoa), bangsa Roma1, dan bangsa Yahudi. Analisis akan lebih difokuskan pada tokoh ‘ik’ sebagai pencerita sekaligus tokoh yang memiliki kultur Maluku yang diajarkan oleh orang tuanya (identitasnya sebagai orang Maluku), usaha tokoh ‘ik’ untuk beradaptasi dengan kultur
1
Lebih dikenal sebagai orang Gypsi, suatu kelompok masyarakat yang secara tradisional 'tersebar' di Eropa; mereka berasal dari Asia Selatan (atau mungkin India utara), dan kini semakin 'tersebar' setelah Holocaust Jerman Nazi.
5
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
lingkungan barunya, Belanda, dan apakah ‘ik’ memiliki rasa memiliki terhadap lingkungan barunya . Tokoh ‘ik’ dalam cerita dibesarkan dengan budaya Maluku sejak kecil. Rasa kekeluargaan ‘ik’ jelas melekat pada dirinya, orang Maluku digambarkan dalam cerita ini memiliki rasa kekeluargaan yang kental. Dijelaskan oleh Dusek, rasa memiliki anggota kelompoklah yang menentukan erat atau tidaknya hubungan antar anggota dalam etnis yang sama. Hal tersebut diceritakan dalam teks, ketika ia dibawa ke Groningen, mengunjungi rumah saudaranya. Ketika mengantar ‘ik’ di halte bus, ayah ‘ik’ berkata, „..Je hoeft niet bang te zijn. Jij bent nog klein, maar je vader was al een man van éénendertig toen we in Nederland kwamen. Ik droeg je broer op mijn arm toen ik zonder cent op zak voet aan wal zette in Rotterdam. Wat moest ik in dit vreemde land? Waar moest ik je moeder en je broer van te eten geven? Toen heb ik de gezichten gezien van mijn ouders en die geur geroken van kruidnagels. Hoe ver je ook gaat, je familie is altijd in de buurt. Je hoeft nooit echt bang te zijn‟ Hal ini memperlihatkan bahwa ayah ‘ik’ menanamkan pikiran bahwa keluarga tidak saling meninggalkan, keluarga adalah tempat kembali. Sejak kecil, ‘ik’ diberikan semacam sugesti bahwa keluarga akan selalu ada disaat senang maupun susah. Itulah salah satu nilai atau kultur yang ditanamkan oleh keluarga Maluku. Rasa memiliki budaya Maluku masih sangat jelas diperlihatkan oleh tokoh ‘ik’ dalam cerita ini. Terlihat dalam kutipan dibawah ini, “‟Trut,‟ dacht ik, „Goede sier maken met onze taal omdat je je zo nodig anders moet voordoen dan die patserige van pa. Maar als je echt anders zou zijn dan die man met zijn afkeer van Indisch eten omdat dat „soortvreemd‟ voedsel zou zijn, dan zou je uit eerbied met je vingers van het Maleis aflijven. Nee, Liesje, je bent net zo goed behept met een superioriteitsgevoel. Alsof je het Maleis beter zou kunnen spreken dan onze dominee. Alsof jouw loempia‟s smakkelijker zouden zijn dan die van mijn moeder.‟” Rasa kepemilikan bahasa sebagai identitas Maluku melalui penjelasan diatas terlihat masih melekat kuat dalam diri ‘ik’. Bahasa sebagai identitas 6
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
memaknai perbedaan dalam sebuah keragaman adalah sebuah kepentingan (Mahsun, 2010: 97). Penggunaan bahasa melayu bagi ‘ik’ mencerminkan identitas dirinya sebagai orang Maluku. Tokoh ‘ik sebagai generasi kedua tidak menciptakan budaya hibrid “Het vreemdde mij dat niemand bij mij aan tafel kwan zitten en dat men op weg naar het toilet in een boog om mij heen liep.” Pada awal cerita, tokoh ‘ik’ tidak ‘terlihat’ oleh orang-orang. Orang melewatinya saja ketika ingin ke kamar mandi, orang-orang juga tidak mau duduk di sampingnya. Walaupun ‘ik’ melakukan hal yang sama dengan pengunjung kafe lain, minum dan merokok, tidak ada yang mau mendekatinya. Karena ia berbeda, ia tidak terlihat seperti seorang Belanda, seperti syarat keanggotaan suatu kelompok, tokoh ‘ik’ tidak berkulit putih, secara fisik ia tidak sama seperti orang Belanda pada umumnya. Selain itu, ‘ik’ adalah pendatang baru, idealnya, orang yang baru akan mempelajari kebiasaan orang-orang di lingkungan barunya dan menyesuaikan diri. Namun tokoh ‘ik’ bersikap pasif, menunggu untuk didatangi dan tidak memulai percakapan terlebih dahulu. Kenyataan bahwa tokoh ‘ik’ lahir dan besar di Belanda, tidak serta merta menjadikan ‘ik’ diterima dengan mudah sebagai orang Belanda karena satu kesamaan, yaitu tempat lahir. Ditambah lagi dengan kejadian Assen 2 . Orang Belanda merasa perlu untuk menjauhi pendatang baru dari Maluku. “Ik keek van mijn bierglas op naar de mensen om mij heen, en weer terug, en realiseerde mij opens dat ik alleen maar monden zag bewegen en geen geluiden meer horde.” Dalam kutipan diatas terlihat bahwa ‘ik’ yang tidak mengerti apa yang orang bicarakan dalam kafe menyimbolkan ‘ik’ yang merasa terasing, bukan salah
2
Pendudukan di Wassenaar (1970), Amsterdam (1975), Bovensmilde (1977) dan Assen (1978) dan pembajakan kereta api di Wijster (1975) dan De Punt (1977) sangat menggoyang masyarakat Belanda, maupun masyarakat Maluku sendiri.
7
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
satu dari pengunjung kafe, karena ia tidak bisa mendengar apa yang orang-orang di kafe bicarakan3. Dalam cerita juga diceritakan bagaimana ‘ik’ berhenti belajar ketika ditanya Lodewijk, sepupu ‘ik’ menanyakan alasan mengapa ‘ik’ berhenti belajar. „Sindsdien ben je afgegleden. Wat is dat voor een vertoning om je studie zomaar af te breken?‟
‘Ik’ menjawab,
„Lodewijk, het heeft geen enkele zin om in dit land sociale wetenschappen te studeren. Ik heb van jou leren fietsen, jullie zijn neven van mij, maar ik spreek jullie steeds aan met broer..‟
Terlihat dalam cuplikan ini, ‘ik’ menutup diri dari lingkungan barunya, padahal dengan sekolah, diharapkan ia akan mampu menjadi seseorang yang bisa menjembatani antara kultur keluarga Malukunya dengan kultur Belanda, kultur lingkungan barunya. Dapat dilihat bahwa tokoh ‘ik’ tidak memiliki situasi kultur yang fleksibel atau dalam kata lain ia tidak memfungsikan etnisitas situasionalnya untuk mencoba membaur dengan lingkungan sekitar. Tokoh ‘ik’ tidak berusaha membangun hubungan kultur Malukunya dengan kultur Belanda dengan belajar di sekolah Belanda. Tokoh ‘ik’ sama sekali tidak merasa Belanda adalah tempat yang nyaman untuk ia tinggali, jelas, karena ‘ik’ sendiri yang menutup diri dan tidak peduli dengan lingkungan Belanda serta tidak memiliki motivasi untuk menjalin hubungan baik dengan orang Belanda.
3
Diaspora kadang dilihat sebagai ketidakmampuan atau keengganan untuk sepenuhnya diterima oleh tuan rumah masyarakat sehingga memupuk perasaan keterasingan, penolakan, keunggulan, atau jenis perbedaan lainnya. (Steven Vertovec, 1999)
8
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Tokoh ‘ik’ merasa Belanda bukan rumahnya, akan tetapi merasa Maluku juga bukan tempat tinggalnya. ‘Ik’ lahir dan besar di Belanda, namun ayah ‘ik’ membesarkannya dengan kultur Maluku saja. Ada rasa kesenjangan budaya ketika ‘ik’ keluar dengan kebiasaan Malukunya ketika berinteraksi dengan orang Belanda.
9
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
BAB 3 KESIMPULAN
Masyarakat dunia sekarang ini bukanlah lagi masyarakat homogen, melainkan heterogen dengan berbagai keragaman ciri fisik, budaya, kebiasaan, aturan, norma, bahasa, dan sebagainya. Tidak hanya terjadi di sebuah negara saja, tetapi juga terjadi juga dalam hubungan antar individu yang terjadi di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan multikultur ini merupakan sebuah wacana baru bagi kehidupan dunia. Keadaan multikultur ini juga bisa dikatakan sebagai suatu kesempatan untuk menciptakan sebuah integrasi budaya, yang merupakan perpaduan dari budayabudaya yang ada, dalam kasus ini, budaya Maluku dan Belanda. Secara teoritis, idealisme ini mudah dikatakan tetapi sulit untuk diwujudkan. Bagaimana seseorang memandang orang lain yang berbeda fisik, kebiasaan, budaya, membuat individu secara tidak sadar menciptakan ‘garis batas’ dalam interaksi mereka dengan individu yang lain. Tokoh ‘ik’ secara individu berhasil mempertahankan budaya Malukunya di Belanda, namun terlihat dalam cerita, ia tidak bisa dan tidak berusaha untuk mengintegrasikan budaya Malukunya dengan Belanda. ‘Ik’ cenderung menutup diri dari lingkungan baru dan menciptakan garis batas yang begitu kontras antara dirinya dengan orang Belanda. ‘Ik’ tidak berusaha menciptakan hubungan yang baik antara kultur Malukunya dengan kultur Belanda. Akibatnya, ia merasa terasing, karena ia tidak mau membuka dirinya untuk menerima budaya baru.
10
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
BIBILIOGRAFI
I.
Buku
Lopulalan, Frans. Onder de sneeuw een Indish graf. Haarlem: In de Knipscheer, 1985. Mahsun. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Rutherford, Jonathan. Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart, 1990. Van Kessel, Inneke. Merchants, Missionaries, & Migrants : 300 years of Dutch – Ghanaian Relations. Amsterdam: KIT Publishers, 2002. ------------------------. Zwarte Hollanders : Afrikaanse soldaten in Nederlands – Indië. Amsterdam: KIT Publishers, 2005.
II.
Internet
MUSLIM DIASPORA DALAM ISU IDENTITAS, GENDER, DAN TERORISME, Aji Damauri http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/viewFile/568/460 diakses pada tanggal 1 Februari 2013, 7.01
Wie is Frans Lopulalan http://franslopulalan.wordpress.com/wie-is-frans-lopulalan/ diakses pada tanggal 27 Desember 2012, 13.28
Diaspora http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora diakses pada tanggal 1 Februari 2013, 7.02
11
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013
Globalisasi dan Diaspora Cina dalam perspektif Post-kolonial: Dinamika Strategi Ekonomidan Identitas Budaya, November 2004 http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/201/196 diakses pada tanggal 1 Februari 2013, 7.01
KONSTRUKSI IDENTITAS BUDAYA MASYARAKAT IMIGRAN TURKI DI JERMAN DALAM FILM “KEBAB CONNECTION”, Aditya Ari Prabowo http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127003-RB11P361ki-Konstruksi%20identitasLiteratur.pdf diakses pada tanggal 5 Februari 2013, 1.08
Mengenal Kelompok Orang-Orang Asal Indonesia di Belanda, Hamus Rippin http://politik.kompasiana.com/2012/10/17/mengenal-kelompok-orang-orang-asalindonesia-di-belanda-496425.html diakses pada tanggal 3 Februari 2013, 14.45
Museum Maluku Ditutup Hari Ini (1 Oktober 2012), Maulana Ibrahim http://sejarah.kompasiana.com/2012/10/01/museum-maluku-ditutup-hari-ini-1oktober-2012-498203.html diakses 19 Januari 2013, 1.24
Aankomst Repatrianten in Nederland http://www.anp-archief.nl/page/241668/nl diakses pada tanggal 25 Desember 2012, 1.14
Verhalen die om woorden smeken Frans Lopulalan en de Molukse identiteit, Liesbeth Dolk http://www.dbnl.org/tekst/_ind004199801_01/_ind004199801_01_0010.php diakses 14 Februari 2013, 14.07 Three meanings of „diaspora‟, exemplified among South Asian religions, Steven Vertovec, 1999 http://www.transcomm.ox.ac.uk/working%20papers/diaspora.pdf diakses pada tanggal 3 Februari 2013, 12.45
12
Konstruksi identitas ..., Prilly R Nathalya, FIB UI, 2013