KONSTRUKSI HUKUM PEMENUHAN RUANG YANG LAYAK UNTUK TEMPAT TINGGAL
Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Fatmawati Cahyaningtyas NIM. E0012146
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016 i
ii
iii
iv
ABSTRAK FATMAWATI CAHYANINGTYAS. E0012146. 2016. KONSTRUKSI HUKUM PEMENUHAN RUANG YANG LAYAK UNTUK TEMPAT TINGGAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan preskripsi terkait pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret. Penelitian ini sekaligus juga memberikan preskripsi mengenai pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret tidak sesuai dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. Hal ini dikarenakan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 ini lebih mengutamakan aspek keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Hasil penelitian ini diharapkan memberi dasar dan landasan untuk penelitian lebih lanjut serta memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi pembangunan ilmu hukum khususnya Hukum Administrasi Negara.Manfaat praktisnya adalah dapat memberikan preskripsi bagi semua pihak terkait konstruksi hukum pemenuhan ruang yang layak untuk tempat tinggal.. Hasil penelitian ini pun dapat dijadikan referensi dalam mengkonstruksikan hukum pemenuhan ruang yang layak untuk tempat tinggal di Negara Indonesia khususnya. Kata kunci : pertimbangan hukum, luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret, hak dasar tempat tinggal yang sehat
v
ABSTRACT FATMAWATI CAHYANINGTYAS. E0012146. 2016. THE LAW CONSTRUCTION OF PROPER SPACE FULFILLMENT OF THE LIVING PLACE. Faculty of Law, University of Sebelas Maret. This research aims to provide the prescription that concerned to the basic right fulfillment of a healthy living place in consideration of law of the Constitutional Court in its Ruling Number 14/PUU-X/2012 about minimum floor spacious single home and home series. This research also provides prescription about minimum setting floor spacious of single and home series that are supposed to create proper space for living place. This research belongs to the kind of normative legal research which is prescriptively, because this research is a scientific study to find out the truth based on the logic of scientific knowledge from the side of the law. This research uses the laws approach and case approach. The type of law materials that were used by the writer was the primary legal materials and secondary legal materials. Based on this research it was obtained the results that the Consideration of the law in the Constitutional Court Ruling Number 14/PUU-X/2012 about concerning minimum floor spacious single and home series are not appropriate with the fulfillment of basic rights over a healthy living place. This is due to legal considerations in Ruling Number 14/PUU-X/2012 is more emphasis on the aspect of affordability for Low-income Communities. The results of this research are expected to give a basis and Foundation for further research and contribute knowledge and ideas that will benefit the development of the science of law in particular the law of State administration. The practical benefits are able to give prescription to all relevant parties the legal construction of space for fulfillment of residence.. The results of this research can be used as a reference in the legal compliance spaces constructed for residence in the country of Indonesia in particularly. Keywords : legal considerations, broad minimum single floor and home series, the fundamental right to a healthy living place.
vi
MOTTO
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (QS. Al-Insyirah,6-8)
Seberapa besar kesuksesan Anda bisa diukur dari seberapa kuat keinginan Anda, setinggi apa mimpi-mimpi Anda, dan bagaimana Anda memperlakukan kekecewaan dalam hidup Anda. (Robert Kiyosaki)
Tanpa terus-menerus tumbuh dan berkembang, kata-kata seperti kemajuan, prestasi, dan sukses tak punya arti apa-apa. (Benjamin Franklin)
Ketika kamu sedang berproses dan di depanmu kau temui rintangan, hadapilah dan jangan menyerah, karena kita takkan pernah tahu indahnya keberhasilan jika belum pernah melewati dahsyatnya cobaan. (Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada : 1. Allah SWT penguasa jiwa ragaku yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk terus berkembang, memperdalam ilmu, serta melimpahi anugerah tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak dan Ibu tersayang yang selalu mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepadaku, memberi dukungan baik moril, materiil maupun spirituil, selalu mendoakan dan bekerja keras demi membahagiakan anaknya, selalu sabar dan tidak henti-hentinya membimbing, mengarahkan, serta mengingatkan anaknya sehingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dan menjadi seorang Sarjana Hukum. 3. Adik-adikku yang selalu mendukung dan menyemangati mbaknya ketika sedang jatuh dan terpuruk. 4. Almamater Fakultas Hukum UNS 5. Semua pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmatNya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “KONSTRUKSI HUKUM PEMENUHAN RUANG YANG LAYAK UNTUK TEMPAT TINGGAL”. Penulisan Hukum (Skripsi) ini merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis sadar bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini jauh dari sempurna, sehingga adanya saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini tidak akan selesai tanpa doa, bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang selalu memberi petunjuk, bimbingan, perlindungan, langkah dan segala nikmat kepada penulis selama ini. 2. Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi tauladan bagi penulis dan bagi setiap umatnya. 3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret. 4. Bapak Dr. Pujiyono S S.H.,M.H selaku pembimbing akademik. 5. Bapak Lego Karjoko, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Rosita Candrakirana, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing 2yang telah memberikan banyak saran, bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh Dosen dan Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu dan membantu dalam hal administrasi selama penulis menempuh perkuliahan. ix
7. Masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta dan Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar yang telah bersedia menjadi responden dan membantu mengisi kuisioner penelitian yang digunakan sebagai data di skripsi penulis. 8. Kedua orang tuaku tercinta Ibu (Esti Wulandari) dan Bapak (Miswanta) atas doa, kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan pada penulis dan tak akan pernah terbalaskan. 9. Adik-adikku, Dyan Utmawati Nururrokhmah dan Rahmawati Puspita Sari, terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya selama ini, atas doa dan dukungannya juga sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. 10. Keluarga besar KSP PRINCIPIUM yang telah membantu penulis berproses serta memberikan ilmu dan pengalaman terkait penulisan dan penelitian hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 11. Keluarga Kuliah Kerja Nyata Desa Repaking, Ucup, Ikrim, Lia, Olip, Pepi, April, Mamah Cidi, Nisa. 12. Dian Candra Dewi, Fadhilia Zenri Perdani, Syarifah Dhewy, Khorisima Gusasih, Devi Rokhmiati, Nike Dian Pertiwi sahabat seperjuangan, yang dengan sabar menemani penelitianku, yang tak henti-hentinya saling mendukung, saling mendoakan, saling menasehati, saling menghibur selama kita kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret tercinta ini. 13. Masded, terimakasih telah memberikan cinta, perhatian, semangat, doa dan bantuannya kepada penulis. 14. Martina, Shinta, Nuri, Dennis, sahabat-sahabat terbaikku, terima kasih untuk dukungannya buat penulis, terima kasih semangatnya, terima kasih untuk waktunya menemani penulis jalan-jalan dan refreshing saat mulai lelah dan penat dalam mengerjakan skripsi beserta seluruh revisiannya. 15. Annisa 2 dan Tisander’s : Mbak Ega, Mbak Sondra, Ocita, Dian, Mbak Mitha, Mbak Anin, Mbak Nuri yang selalu ada buat temen makan, bobo, curhat,main,
x
terimakasih atas segala perhatian, bantuan, dukungan dan sudah menemani penulis selama penulis berada di Annisa 2 dan di
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................................
v
ABSTRACT .............................................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ..............................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ...........................................................................
1
B. Perumusan masalah .................................................................................
8
C. Tujuan penelitian.....................................................................................
9
D. Manfaat penelitian...................................................................................
9
E. Metode Penelitian....................................................................................
10
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................................
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
xii
A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan Umum tentang Konstruksi Hukum ......................................
18
2. Tinjauan Umum tentang Kajian Ajaran Negara Hukum ....................
19
3. Tinjauan Umum tentang Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ajaran Negara Hukum ......................................................................
23
4. Tinjauan Umum tentang Tujuan Hukum............................................
26
5. Tinjauan Umum tentang Hak Dasar atas Tempat Tinggal yang Layak................................................................................................
34
B. Kerangka Pemikiran ................................................................................
43
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pemenuhan Hak Dasar Atas Tempat Tinggal yang Sehatdalam PertimbanganHukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUUX/2012 Mengenai Luas Minimum Lantai Rumah Tunggal dan Rumah Deret .......
46
B. Pengaturan Luas Minimum Lantai Rumah Tunggal dan Rumah Deretyang Seharusnyauntuk Mewujudkan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal .............................................................................
69
BAB IV PENUTUP A. Simpulan .................................................................................................
110
B. Saran ......................................................................................................
112
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
113
xiii
LAMPIRAN .......................................................................................................... .
117
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran………………………………………………………...
xiv
43
DAFTAR TABEL
1. Tabel pendapat masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta mengenai kelayakan rumah ...........................................................................
78
2. Tabel pendapat masyarakat Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar mengenai kelayakan rumah .....................................................
xv
87
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat ijin penelitiantentang Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta ......................................................................................................
117
2. Identitas responden Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta ........
120
3. Daftar pertanyaan kuisioner tentang Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal untuk masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta .............................................................................................
121
4. Jawaban kuisioner mengenai Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal dari masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta .......................................................................................................
126
5. Surat ijin penelitian tentang Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal di Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar ..................................................................................................
151
6. Identitas responden Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar ............ .....................................................................................
157
7. Daftar pertanyaan kuisioner tentang Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggaluntuk masyarakat Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar ...........................................................................
158
8. Jawaban kuisioner mengenai Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal darimasyarakat Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar .....................................................................................
xvi
160
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Rumah sebagai tempat tinggal mempunyai peran yang strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Rumah juga menjadi salah satu faktor pendukung yang ikut memberikan pengaruhnya dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka terpenuhinya tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Sebagai perwujudannya, dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan” (Urip Santoso, 2014: 1-2). Secara normatif, instrumen internasional memberikan pengakuan yang kuat terhadap eksistensi hak perumahan. Hak perumahan merupakan konstruksi terpenting dalam mengokohkan terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya. “Hak atas perumahan menandakan upaya nyata bagi terjamin dan terpenuhinya hak hidup yang layak. Dengan kata lain, hak perumahan merupakan unsur esensial yang dapat memperkuat terpenuhinya hak-hak fundamental lainnya, seperti hak pangan, kesehatan dan sebagainya” (Majda El Muhtaj, 2013: 142). The right to housing means that a person who inhabited, who’s staying in a city, should have a reasonable life, a reasonably life, a reasonably good life to lead, and that reasonably good life to lead means that, without a clean environment, without a healthy environment, he cannot survive, he cannot live (Centre on Housing Rights & Evictions/ COHRE, 200: 38. (Hak atas perumahan memiliki arti bahwa seseorang yang menghuni, yang sedang tinggal di suatu kota seharusnya hidup dengan layak, hidup dengan cukup, kehidupan yang baik yang mengarah pada layak, dan kehidupan yang baik yang mengarah pada layak berarti 1
2
bahwa, tanpa lingkungan yang bersih, tanpa lingkungan yang sehat, dia tidak bisa bertahan hidup, dia tidak bisa hidup). Bertolak belakang dengan berbagai pernyataan di atas, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan besar dalam pemenuhan rumahyang layak untuk tempat tinggal bagi rakyatnya. Padahal di sisi lain, fasilitas perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Hal ini disebabkan karena hak atas perumahan merupakan hak asasi manusia yang harusdipastikan taraf keselarasannya dengan pemenuhan
hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan aman (Majda El Muhtaj, 2013: 149). Urgensi dari pentingnya perumahan bagi setiap orang telah mewujudkan terbentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Tujuan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yaitu; 1. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; 2. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR); 3. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan; 4. memberdayakan
para
pemangku
kepentingan
bidang
pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman; 5. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan 6. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
3
Akan tetapi, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut juga mengakibatkan peluang bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disebut MBR untuk memiliki rumah yang layak sempat mendapatkan kendala dari Pemerintah. Kendala tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yang berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”. Adanya pembatasan terhadap luas lantai tersebut menyebabkan harga rumah menjadi kian tidak terjangkau bagi MBR. Ketentuan tersebut juga mengakibatkan pihak pengembang perumahan yang tergabung di dalam Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengalami kesulitan dalam pengadaan lahan maupun pembangunan perumahan bagi MBR. Kenyataan ini mendorong Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) mengajukan permohonan uji materil atas ketentuan Pasal 22 ayat (3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan permohonan sebagai berikut (Putusan Nomor 14/PUU-X/2012, 2012: 17-56) : 1. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menghambat pemenuhan hak atas tempat tinggal atau hak atas perumahan yang merupakan hak konstitusional berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UndangUndang Dasar 1945. 2. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menghambat pemenuhan hak milik pribadi yakni hak milik atas perumahan sebagai hak konstitusional berdasarkan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menghambat keadilan dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak milik pribadi atas perumahan yang merupakan hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
4
4. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tidak propoor dan tidak ada rasio legis-nya sehingga menjadi hambatan pemenuhan hak atas perumahan [Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945] dan untuk mempunyai hak milik pribadi [Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945]. Adanya
permohonan dari DPP APERSI akhirnya membuat Mahkamah
Konstitusi melakukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (3) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang menghasilkan putusan pembatalan atas isi pasal tersebut. Alasan pembatalan itu selanjutnya
dicantumkan
dalam
Putusan
pertimbangan-pertimbangan
Nomor
sebagai
14/PUU-X/2012 berikut
dengan
(________,
http://www.antaranews.com/print/336714/mk-batalkan-ketentuan-luas-rumahminimal, diakses tanggal 10 Februari 2016) : 1. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 berisi norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 meter persegi merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. 3. Implikasi hukum dari ditetapkannya ketentuan Pasal 22 ayat (3) UndangUndang
Nomor
1
Tahun
2011
telah
menyebabkan
dilarangnya
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang luas lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi, sehingga aturan tersebut menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang (tidak mampu) untuk dapat membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut.
5
4. Daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lainadalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. 5. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksa seseorang untuk membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi jika rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut. 6. APERSI menilai Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman telah melakukan pembatasan bagi warga negara untuk memiliki rumah. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi membatalkan isi Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 secara faktual membuktikan bahwa sebenarnya rumah tipe 21 ini masih diminati dan dibutuhkan oleh kalangan MBR di Indonesia. Beberapa alasan mengapa kebutuhan rumah tipe 21 masih aktual dan objektif dikarenakan hal-hal sebagai berikut (Putusan Nomor 14/PUU-X/2012, 2012: 5) : 1. keterbatasan daya beli Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR); 2. kebutuhan keluarga/ pasangan baru bukan tipe 36 tetapi tipe 21; 3. luas lantai masih sesuai dengan Pedoman Teknis Rumah sehat Sederhana (Rs.Sehat/RSH) berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002; 4. masih sangat dibutuhkan pasar dan memperbesar peluang memenuhi kebutuhan rumah;
6
5. menghambat meluasnya kawasan permukiman kumuh; 6. menurunkan eskalasi backlog atau defisit perumahan; 7. regulasi yang pro poor dan mendukung program rumah murah; 8. kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat mengakses fasilitas bebas PPN dan FLPP (karena harga rumah tak lebih Rp. 70 juta dan luas lantai tak lebih 36 meter persegi); 9. relevan untuk mengatasi kelangkaan lahan dan indeks kemahalan konstruksi; 10. sesuai aspirasi dan kebutuhan rakyat miskin memperoleh rumah murah; 11. masih dapat dikembangkan karena merupakan rumah tumbuh (sedangkan rumah susun bukan rumah tumbuh); 12. bersesuaian dengan ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah memenuhi rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) [Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011]; 13. bersesuaian dengan hak asasi manusia untuk memperoleh rumah dalam Kovenan Internasional tentang EKOSOB, maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di Negara Indonesia sendiri, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), sebenarnya pembangunan rumah tunggal dan rumah deret dengan luas lantai 21 m2ini masih memenuhi kriteria standar yang dipersyaratkan. Rumah tipe 21 ini difungsikan sebagai tempat kediaman awal untuk memulai bertempat tinggal dengan standar minimal yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi dalam keputusan menteri tersebut dipersyaratkan bahwa bangunan rumah dengan luas lantai 21 m2harus memiliki luas lahan efektif antara 7290 m2karena memiliki pertimbangan dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu dimungkinkan memenuhi standar ruang Internasional, rumah tipe ini disebut sebagai Rumah Inti Tumbuh (RIT).Rumah Inti Tumbuh (RIT) ini
7
dimaksudkan sebagai rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat)(Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002, 2002: 11-12). Ketentuan mengenai Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) didalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 adalah sebagai berikut (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002, 2002: 5-9) : 1. Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam) Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumahadalah 9 meter persegi dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 meter. 2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. 3. Kebutuhan Minimal Keamanan dan Keselamatan Pada dasarnya bagian-bagian struktur pokok untuk bangunan rumah tinggal sederhana adalah: pondasi, dinding (dan kerangka bangunan), atap serta lantai. Sedangkan bagian-bagian lain seperti langit-langit, talang dan sebagainya merupakan estetika struktur bangunan saja. Mendukung Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 yang mengatur terkait ketentuan Rs Sehat di dalam negeri tersebut, berdasarkan konvensi World Health Organization (WHO) tahun 1989 tentang Health Principles of Housing menyatakan bahwa salah satu prinsip rumah yang sehat antara lain adanya perlindungan terhadap penyakit menular, keracunan dan penyakit kronis. Menurut penelitian yang dikeluarkan Alberta – Health and Wellness tahun 1999 tentang Standar Minimum Rumah Sehat, untuk memenuhi hal tersebut sebaiknya luas lantai untuk kamar tidur pada rumah yang sehat adalah tidak boleh kurang dari 9,5
8
meter persegi per orang. WHO Regional Eropa menentukan standar minimum 12 meter persegi per orang (Putusan Nomor 14/PUU-X/2012, 2012: 109). Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis lebih mendalam terkait Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 yang membahas mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang membatalkan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut sudah sesuai belum dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada akhirnya akan memberikan preskripsi pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal. Dengan demikian,
penulis
membuat
penulisan
hukum
(skripsi)
yang
berjudul
KONSTRUKSI HUKUM PEMENUHAN RUANG YANG LAYAK UNTUK TEMPAT TINGGAL.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan masalah untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut : 1. Apakah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret sudah sesuai dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat? 2. Bagaimana seharusnya pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal?
9
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu, yang terkait dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Berpijak dari hal tersebut maka penulis mengkategorikan tujuan penelitian kedalam kelompok tujuan obyektif dan dan tujuan subyektif sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk memberikan preskripsi terkait pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret. b. Untuk memberikan preskripsi mengenai pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk
memperdalam,
menambah,
serta
memperluas
wawasan
pengetahuan dan pemahaman penulis di bidang Hukum Administrasi Negara. c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian akan mempunyai nilai apabila penelitian tersebut memberi manfaat bagi para pihak. Penulis berharap kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini, yaitu baik bagi penulis maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain :
10
1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pemikiran dan ide-ide bagi pengembang ilmu hukum pada umumnya dan terkhusus pada bidang Hukum Administrasi Negara. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya referensi dan literatur kepustakaan Hukum Administrasi Negara. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian yang sama (sejenis) pada tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan preskripsi bagi semua pihak terkait konstruksi hukum pemenuhan ruang yang layak untuk tempat tinggal.. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Administrasi Negara bagi semua pihak, baik di lingkungan Universitas Sebelas Maret maupun masyarakat. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan yang dinamis bagi penulis dan bagi semua pihak yang membaca maupun mempergunakannya dalam penerapan ilmu hukum.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan sutu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-about, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Akan tetapi, dalam hal ini bukan sekedar menerapkan aturan yang ada, melainkan juga menciptakan hukum yang mengatasi masalah yang dihadapi. Dasar dari penciptaan hukum semacam itu adalah prinsip hukum yang ada pada dasarnya merupakan prinsip moral (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60-61). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
11
1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doctrinal research. Terry Hutchinson mendefinisikan penelitian hukum
doktrinal
sebagai
berikut
(Johny
Ibrahim.
2006:
44)
:
“research with privides a systematic exposition of rules governing a particular legal category analyses the releationship between rules, explain areas of difficulty and perhaps, predict future development”. (Penelitian dengan privides suatu eksposisi sistematis aturan yang mengatur sebuah analisis kategori tertentu hubungan hukum antara aturan, menjelaskan bidang kesulitan dan mungkin, memprediksi pembangunan masa depan). 2. Sifat Penelitian Dalam penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum(Peter Mahmud Marzuki, 2014: 59-70). 3. Pendekatan Penelitian Berkaitan dengan penelitian hukum normatif di dalam penelitian hukum
terdapat
beberapa
pendekatan.
Pendekatan-pendekatan
yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah (Peter mahmud Marzuki, 2014: 133) : a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) b. Pendekatan Kasus (case approach) c. Pendekatan Historis (historical approach) d. Pendekatan Perbandingan (comparative approach) e. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
12
Pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach), dengan penjelasan sebagai berikut : a. Pendekatan undang-undang (statute approach)adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani(Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133). Hasil telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.Pendekatan undangundangdigunakan karena penelitian hukum ini mencoba mencari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret sudah sesuai belum jika dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
Nomor:
403/Kpts/M/2002
tentang
Pedoman
Teknis
Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). b. Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari penetapan dan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan dalam suatu praktik hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 120).Pendekatan kasus (case approach) dipilih penulis sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam penelitian hukum ini karena penulis ingin meneliti lebih mendalam terkait pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya dan telah diputuskan dalam PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012untuk
13
mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal disesuaikan dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan umum. 4. Jenis Data Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan
jenis
data
sekunder(secondary data).Data sekunder memiliki ruang lingkup yang luas meliputi data atau informasi, penelaahan hukum dokumen, hasil penelitian sebelumnya dan bahan kepustakaan seperti buku literatur, koran, majalah, dan arsip yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Selain kajian pustaka, jenis data sekunder ini juga meliputi data sekunder lain yang berupa pengisian kuisioner. 5. Sumber Data Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, penjelasannya sebagai berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181) : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
14
5) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) 6) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2012 b. Bahan
hukum
sekunder
yaitu
bahan
hukum
yang
memberikanpenjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Bahan hukum sekunder dapat pula berupa makalah atau artikel hukum yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian hukum ini. berupa surat kabar, majalah, jurnal, internet, hasil penelitian dan sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini juga berupa kuisioner. Kuisioner ini termasuk dalam kategori bahan hukum sekunder selain karena merupakan hasil penelitian,
penulis juga menyusun beberapa pertanyaan atau
mengemukakan isu hukum secara tertulis, sehingga responden yang diminta untuk mengisi kuisioner dapat memberikan pendapatnya secara tertulis. 6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini, yaitu studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen ini bermanfaat untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang berarti pengumpulan bahan-bahan hukumnya yaitu
15
mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut. Penelitian hukum ini juga menggunakan pendekatan kasus (case approach) yang berartiharus mengumpulkan putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi. Putusan pengadilan tersebut sebaiknya merupakan putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap. Akan tetapi tidak berarti hanya landmark decisions yang perlu diacu, melainkan juga yang mempunyai relevansi dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014; 238). 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah silogisme yang menggunakan metode deduksi dan interpretasi. Metode interpretasi akan menghasilkan simpulan tentang pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal, sedangkan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Menurut M. Hadjon, logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minornya adalah isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 89-90). a. Premis mayor dalam penelitian ini adalah hak dasar tempat tinggal yang sehat yang tercantum di dalam teori-teori hak atas tempat tinggal yang layak. b. Premis minor dalam penelitian ini yaitu luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret .
16
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun penulis adalah sebagai berikut : BABI
:PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
:TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis menguraikan tentang landasan teori dan memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang ada dan berkaitan dengan Perumahan dan Hukum Administrasi Negara. Tinjauan tersebut antara lain mengenai kajian ajaran negara hukum, kajian putusan Mahkamah Konstitusi dalam ajaran negara hukum, tujuan hukum dan hak dasar atas tempat tinggal yang layak.
BAB III
:HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan, yaitu pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret sudah sesuai belum dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat dan pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya.
BAB IV
:PENUTUP Merupakan bagian akhir penulisan hukum yang berisi beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan analisis dari data yang diperoleh
17
selama penelitian sebagai jawaban terhadap pembahasan agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan Umum tentang Konstruksi Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, konstruksi adalah susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata. Makna suatu kata ditentukan oleh kostruksi dalam kalimat atau kelompok kata (Hasan Alwi, 2007: 58). Menurut Sarwiji yang dimaksud dengan makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat dalam konstruksi kebahasaan (Sarwiji Suwandi, 2008: 38). Jadi, makna konstruksi dapat diartikan sebagai makna yang berhubungan dengan kalimat atau kelompok kata yang ada didalam sebuah kata dalam kajian kebahasaan. Konstruksi dapat juga didefinisikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan lain sebagainya) (Pusat Bahasa, 2005: 71). Kata konstruksi ini dalam kenyataannya adalah konsep yang cukup sulit untuk dipahami dan disepakati karena kata konstruksi mempunyai beragam interpretasi sehingga tidak dapat didefinisikan secara tunggal dan sangat tergantung
pada
konteksnya.
Beberapa
definisi
konstruksi
berdasarkan
konteksnya perlu dibedakan atas dasar : proses, bangunan, kegiatan, bahasa dan perencanaan. Dari beberapa uraian diatas definisi makna konstruksi dalam konteks hubungannya dengan penulisan hukum ini memiliki arti suatu bentuk, tata cara atau secara lebih luas merupakan pola-pola hubungan yang ada di dalam suatu sistem yang membentuk suatu proses kerja dalam hal ini merupakan pola hubungan antara pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat dengan luas
18
19
minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret untuk mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal. Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas (Jazim Hamidi, 2005: 58-59). Menurut Rudolph von Jhering, ada 3 (tiga) syarat utama untuk melakukan konstruksi hukum yaitu (Jazim Hamidi, 2005: 61-62) : a. Konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang bersangkutan. b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri. c. Konstruksi itu mencerminkan faktor keindahan (estetika), yaitu konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan berbagai peraturan, pembuatan pengertianpengertian baru, dan lain-lain.
2. Tinjauan Umum tentang Kajian Ajaran Negara Hukum Terdapat dua istilah di dalam khazanah ilmu hukum yang diterjemahkan secara sama kedalam Bahasa Indonesia menjadi negara hukum, yakni rechtsstaat dan rule of law. Meskipun terjemahannya kedalam bahasa Indonesia sama-sama negara hukum, sebenarnya ada perbedaan antara rule of law dan rechtsstaat
20
sebagaimana didefinisikan oleh Roscoe Pound, rechtsstaat memilki karakter administratif sedangkan rule of law berkarakter yudisial(Ridwan HR, 2014: 1). Rechtsstaat
bersumber
dari
tradisi
hukum
negara-negara
Eropa
Continental yang bersandar pada civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah hukum tertulis. Kebenaran hukum dan keadilan dalam rechtsstaat terletak pada ketentuan tertulis. Hakim yang baik menurut paham civil law (legisme) di dalam rechtsstaat adalah hakim yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham legisme pada rechtsstaat didasari oleh penekanan pada kepastian hukum (Rizal, 2015: 11-12). The rule of law berkembang dalam tradisi hukum negara-negara Anglosaxon yang mengembangkan common law (hukum tak tertulis). Kebenaran hukum dan keadilan dalam sistem the rule of law bukan semata-mata hukum tertulis, bahkan disini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri dalam bentuk yurisprudensitanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum tertulis. Putusan hakimlah yang dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum-hukum yang tertulis. Menurut prinsip the rule of law, hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan dan membuat putusan-putusan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang digalinya dari tengah-tengah masyarakat. Keleluasaan diberikan kepada hakim untuk tidak terlalu terikat pada hukum-hukum tertulis karena penegakan hukum di sini ditekankan pada pemenuhan rasa keadilan bukan pada hukum-hukum formal. Perbedaan konsepsi tersebut sebenarnya lebih terletak kepada operasionalisasiatas substansi yang sama, yakni perlindungan atas hak asasi manusia (Rizal, 2015: 12-13). Pada wilayah Anglosaxon, muncul konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
21
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan (Ridwan HR, 2014: 3). Sedangkan Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah Rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu : a. Perlindungan hak asasi manusia b. Pembagian kekuasaan c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang d. Peradilan tata usaha Negara. Pada konsep rechtsstaat, terdapat unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan” sementara pada konsep rule of law unsur itu tidak ada. Hal ini menunjukkan adanya hubungan historis antara konsep negara hukum Eropa Kontinental dengan sistem hukum Romawi dan kemunculan Hukum Administrasi Negara (HAN). Berkenaan dengan adanya hubungan historis ini, Philipus M. Hadjon mengemukakan sebagai berikut, Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit
22
administratif” dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat… di Kontinen dipikirkan langkahlangkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (Hukum Administrasi dan peradilan administrasi) (Ridwan HR, 2014: 4). Dalam perkembangannya, konsepsi negara hukum kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut, a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. c. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif. f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara (Ridwan HR, 2014: 5). Negara hukum Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengambil konsep prismatik atau integratifdari dua konsepsi, sehingga prinsip kepastian hukum dalam rechtsstaat dipadukan dalam prinsip keadilan dalam the rule of law. Indonesia tidak memilih salah satunya tetapi memasukkan unsur-unsur yang baik dari keduanya dan pilihan yang prismatik seperti ini menjadi niscaya karena saat ini sangat sulit menarik perbedaan yang substantif antara rechtsstaat dan the rule of law(Rizal, 2015: 13). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum”, ada yang berpendapat bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare
23
state), seperti Azhary dan Hamid S. Attamimi. Azhary mengatakan bahwa negara yang ingin dibentuk (pada waktu itu) oleh bangsa Indonesia ialah “negara kesejahteraan”. Pada saat perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Moh. Yamin mengatakan, “Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Bahkan Rechtsstaat Indonesia itu ialah rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Ridwan HR, 2014: 17-18). Menurut Friedrich Julius Stahl sebagai pelopor hukum Eropa Kontinental, konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
dikenal
dengan
Prinsip
Negara
Hukum
yang
Demokratis
(MohamadAunurrohim, 2015: 5).
3. Tinjauan Umum tentang Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ajaran Negara Hukum Mahkamah konstitusi berperan mewujudkan adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) yang mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas yudisialnya, setiap hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi), hal yang
24
sama berlaku juga pada hakim konstitusi. Untuk menjamin keadilan dan kebenaran dalam proses pengambilan putusan oleh hakim konstitusi, tidak diperkenankan adanya intervensi baik dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim konstitusi tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim konstitusi harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundangundangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Jimmly Asshiddiqie, 2012: 11-12). Putusan hakim konstitusi ini harus dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman (dimana produknya adalah putusan hakim) merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Di dalam setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempuyai makna bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstantir, tahap kualifikasi dan tahap konstituir (Ahmad Zaenal Fanani, 2011: 1-2). Putusan yang diambil oleh mahkamah konstitusi menentukannasib bangsa dan negara. Oleh karena itu, para hakim konstitusi seharusnya selalu melahirkan putusan responsif dan preskriptif yang berkeadilan bagiseluruh rakyat Indonesia yang tidak berbenturan dengan moralitas dan kebenaran (Danang Hardianto, 2014: 316). Responsifberarti putusan itu membuat hukum lebih tanggap
25
terhadapdinamika yang perkembang di dalam masyarakat tanpa meninggalkan sifat pengikatannya dan karakter moral, sementara preskriptif bermakna untuk diterapkan dalam praktik sebagai “jembatan hukum” untuk mengisi hukum yang kosong akibat pembatalan satu atau beberapa pasal undang-undang dan bisa pula menjadi bahan pembuatan undang-undang baru, serta harus segera dieksekusi karena bersifat final dan mengikat (Danang Hardianto, 2014: 321). Jaminan terhadap kebebasan peradilan di Negara Indonesia sendiri telah dipertegas dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa “dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Dalam bagian Penjelasan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbangan-pertimbangan putusan Hakim dalam situasi yang kondusif yang mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa (Mustafa Bola, dkk, 2015: 39). Faktor kualitas profesionalitas hakim, dijelaskan Catur Iriantoro, bahwa melaksanakan tugas secara profesional artinya memiliki kemampuan dan ketrampilan Hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya. Menurutnya, dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya para Hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan hukum dan keadilan. (Mustafa Bola, dkk, 2015: 39-40).
26
Hakim yang baik lebih menyukai keadilan dari pada hukum (the good judge prefers justice to law) dijadikan pedoman bagi hakim konstitusi dalam putusannya sehingga putusan tersebut menjadi landmark decision yang lebih mengedepankan moralitas dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim konstitusi harus berani mengambil putusan bersifat responsif dan preskriptif yang benar-benar adil meskipun hal ini berdampak munculnya kontroversi. Hakim konstitusi seharusnya tetap berpegang teguh pada hakikat dan tujuan utama hukum yaitu keadilan yang bersandar pada moralitas dan kebenaran (Danang Hardianto, 2014: 324).
4. Tinjauan Umum tentang Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Gustav Radbruch menempatkan tujuan keadilan menempati posisi utama diatas tujuan hukum yang lain ketika terjadi benturan antara ketiga prinsipnya, baik antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan kepastian hukum, ataupun antara keadilan dengan kemanfaatan (MohamadAunurrohim, 2015: 1-2). Akan tetapi, jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan salah satu unsurnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Meskipun dalam praktiknya tidak selalu mudah mengusahakannya secara seimbang, namun kompromi antara ketiga unsur tersebut tetap harus ada dalam penegakan hukum, sebab hukum merupakan suatu sistem kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain dan terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawls dalam bukunya a theory of justice, juga selalu menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia (Ahmad Zaenal Fanani, 2011: 3). Namun didalam kenyataannya sering
27
kali terjadi benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, atau antara keadilan dengan kemanfaatan. Oleh karena itu, untuk lebih memahami unsur-unsur dalam tujuan hukum tersebut, maka akan penulis jabarkan secara lebih terperinci dalam penjelasan sebagai berikut : a. Keadilan Hukum Menurut L. J. van Apeldorn bahwa keadilan itu memperlakukan sama kepada hal yang sama dan memperlakukan hal yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Asas keadilan tidak menjadikan persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan(MohamadAunurrohim,
2015:
3). Menurut W. J. S Poerwadarminta dalam Kamus Besar bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak berat sebelah (tidak memihak). Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada kita(MohamadAunurrohim, 2015: 3). Selanjutnya menurut Ulpianus, keadilan adalah kemauan
yang
bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi). Menurut Keadilan Justinian, keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya. Kemudian Herbert Spencer berpendapat bahwa keadilan berarti setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan
28
dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Sedangkan menurut pendapat John Salmond, norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdekaan individual dalam mengejar kemakmuran
individual,
sehingga
dengan
demikian
membatasi
kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo. 2006: 163-164). Selanjutnya, Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan disini adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere) (MohamadAunurrohim,
2015: 4).
Aristoteles berpendapat bahwa orang harus mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain. Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Aristoteles mengenal dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif menurut Aristoteles adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya, sedangkan keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn, 2011: 11-12). Konsep dasar mengenai keadilan menurut John Stuart Mill adalah tentang prinsip Utilitarianisme. Definisi singkat prinsip utilitarian tersebut yaitu kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan, keliru jika
cenderung
menghasilkan
berkurangnya
kebahagiaan.
Yang
dimaksudkan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa sakit (Karen Lebacqz, 2015: 14).
29
Menurut John Stuart Mill, kekuatan dari perasaan-perasaan yang dimiliki setiap orang mengenai keadilan, dan perasaan kecewa mereka jika terjadi ketidakadilan. Kuatnya perasaan ini membuat manusia sulit melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan. Karena itu, John Stuart Mill berusaha mengukur apakah keadilan bersifat sui generis ataukah sebagai bagian dari kemanfaatan (Karen Lebacqz, 2015: 18). Berdasarkan hal tersebut, John Stuart Mill menyimpulkan bahwa keadilan bukan prinsip terpisah yang muncul secara independen, melainkan merupakan bagian dari kemanfaatan itu sendiri (Karen Lebacqz, 2015: 19). Selain keadilan-keadilan seperti tersebut di atas, teori keadilan menurut John Rawls memiliki dua tujuan yaitu (Damanhuri Fattah, 2013: 32-33) : 1) Teori ini mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Keputusan moraladalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif. 2) Rawlsmengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme yang ditafsirkannyasebagai “ratarata”
(average
utilitarianisme).
Maksud
dari
keadilan
utilitarianisme adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan, sedangkan utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diabdikan untuk memaksimilasi keuntungan rata-rata perkapita. Kedua versi utilitarianisme
tersebut
mendefinisikan
30
keuntungansebagaikepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. John Rawls juga menjelaskan adanya situasi ketidaksamaan di dalam konsep teori keadilannya. Situasi ketidaksamaan tersebut harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin
dihasilkan
bagi
golongan
orang-orang
kecil.
Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama, memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung (Ahmad Zaenal Fanani, 2014: 36). Keadilan Hukum (Legal Justice) adalah keadilan berdasarkan undang-undang yang dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Keadilan hukum adalah keadilan menurut hukum positif yang berlaku (Rifyal Ka’bah, 2006: 59). b. Kepastian Hukum Pada dasarnya, prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya
31
suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu.Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya terdapat dalam undang-undang. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas. Beberapa pendapat yang dapat dijabarkan di sini adalah pendapat Yance Arizona, Apeldoorn, dan Lon Fuller. Yance Arizona berpendapat : Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, bukan sosiologis.Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma (AFP
32
Dadi, http://e-journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 15 November 2015). Pendapat ini
dapat
dikategorikan
sebagai
pendapat
yang
berperspektif legal positivism, karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati (Huijbers, 1982: 162). Konsep tentang asas legalitas atau kepastian hukum juga dikemukakan oleh L. J. van Apeldoorn di dalam bukunya Inleiding tot destudie van het Nederlandse Recht, yang mengatakan bahwa kepastian hukum itu memiliki dua sisi yakni adanya hukum yang pasti bagi suatu peristiwa yang konkret dan adanya perlindungan terhadap kesewenangwenangan. Sedangkan Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan bahwa kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti: (1) adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu; (2) peraturan tersebut diumumkan kepada publik; (3) peraturan tersebut tidak berlaku surut; (4) dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; (5) tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; (6) tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; (7) tidak boleh sering diubah-ubah; dan (8) harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari (AFP Dadi,
33
http://e-journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 15 November 2015): c. Kemanfaatan Hukum Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna. Menurut pendapat Hans Kelsen, hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Kemudian Jeremy Betham
menjelaskan bahwa kemanfaatan
hukum berarti alam telah menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Sehingga hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong si ‘raja suka’, dan serentak mengekang si ‘raja duka’. Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Jeremy Bentham, sebagai penganut aliran utilistik, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang(AFP
Dadi,
http://e-
journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 5 Oktober 2015). Kemanfaatan
di
sini
juga
diartikan
dengan
kebahagiaan
(happiness). Baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak, atau seberapa besar hukum itu dapat memberikan kebahagiaan bagi
34
manusia. Hukum yang baik dan adil adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin individu dalam masyarakat atau bangsa (the greatest happiness for the greatest number of the people). Menurut Jhering dengan utilitarianisme sosialnya, menjelaskan bahwa tujuan hukum mesti dihubungkan dengan kepentingan sosial.Tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan (seperti Bentham), tetapi kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan bagian dari tujuan sosial yang selalu berkaitan dengan kepentingan orang lain (AFP Dadi, http://ejournal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 5 Oktober 2015). Kesimpulannya adalah bahwa tujuan hukum terutama dikaitkan dengan manfaat yang diperoleh dari hukum itu yakni kebahagiaan dan kesejahteraan sebanyak mungkin individu atau masyarakat (the greatest happiness for the greatest number ofthe people).
5. Tinjauan Umum tentang Hak Dasar atas Tempat Tinggal yang Layak Adanya hak atas perumahan berkaitan erat dengan pemenuhan standar kehidupan yang layak (as part of the right to an adequate standard of living). Ditetapkannya DUHAM pada tahun 1948 menyebabkan hak atas perumahan yang layak menjadi bagian dari hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang diterima dan dapat diterapkan secara universal. Hal yang sama juga ditegaskan Pasal 11 ayat (1) ICESCR yang menegaskan sebagai berikut, The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to an adequate standard of living for himself and his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continuous improvement of living conditions. The States Parties will take appropriate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effect the essential importance of international cooperation based on free consent. (Negara Pihak pada Konvenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan
35
mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerja sama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela) (Majda El Muhtaj, 2013: 145-146). Apabila diperhatikan lebih teliti dalam hukum internasional dan nasional terkait masalah tempat yang aman dan layak untuk didiami, baik bagi kesehatan fisik, mental dan semua kualitas hidup manusia, mulai tampak keterlibatan perumahan dengan hak asasi manusia. Perumahan yang layak, secara universal, dipandang sebagai salah satu kebutuhan paling dasar bagi manusia. Menurut David E. Jacobs pengertian perumahan yaitu : Housing is defined as meaning adequate privacy; adequate space; physical accessibility; structural stability and durability; adequate lighting, heating and ventilation; adequate basic infrastructure, such as water supply, sanitation and waste management facilities; suitable environmental quality and health-related factors; and adequate and accessible location with regard to work and basic facilities (David E. Jacobs, Journal of public health S115-S122 v. 101 (Suppl 1), 2011). (perumahan didefinisikan sebagai makna privasi yang memadai, ruang yang memadai, aksesibilitas fisik, stabilitas strukrural dan daya tahan, pencahayaan yang memadai, pemanasan dan ventilasi, infrastruktur dasar yang memadai, seperti air bersih, sanitasi dan fasilitas pengelolaan limbah, kualitas lingkungan yang cocok dan faktor yang berhubungan dengan kesehatan lokasi yang memadai dan dapat diakses berkaitan dengan pekerjaan dan fasilitas dasar). Dalam konteks kehidupan nasional Indonesia, kebijakan pengadaan perumahan patut juga diamati. Berdasarkan Pasal 1 (butir 7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aser bagi pemiliknya.Sedangkan berdasarkan Pasal 1 (butir 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik
36
perkotaan maupun di pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Salah satu peraturan yang mengatur tentang perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Dalam keputusan menteri tersebut pengertian Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang, berupa bangunan yang luas lantai dan luas kavelingnya memadai dengan jumlah penghuni serta memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal. Namun pada pengembangannya, pelaksanaan penyediaan rumah sederhana sehat masih menghadapi kendalaberupa rendahnya tingkat kemampuan masyarakat karena harganya masih belum memenuhi keterjangkauan secara menyeluruh.Berkaitan degan hal tersebut, perlu disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rs Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT). Rumah Inti Tumbuh (RIT) yaitu tempat kediaman awal untuk memulai bertempat tinggal dengan standar minimal yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah berupa bangunan dengan luas lantai 21 m2 dan luas lahan efektif antara 72-90 m2 yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga serta mendorong penghuni untuk tumbuh, baik aspek fisik bangunan rumah sederhana sehat maupun aspek sosial budaya. Luas bangunan awal (RIT) 21 m2ini memuat pertimbangan agar dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu dimungkinkan memenuhi standar ruang Internasional sehingga tetap berfungsi layaknya Rumah Sederhana Sehat. Dalam Keputusan Menteri Nomor: 403/Kpts/M/2002 tersebut, dijelaskan bahwa ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) oleh aspek-aspek dasar atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman sebagai berikut (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002, 2002: 5-8):
37
a. Pencahayaan Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan yang dimaksud adalah penggunaan terang langit. Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke dalam ruangan ditentukan oleh: 1) kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata), 2) lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata), 3) tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusan jenis pekerjaan, 4) lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan, 5) sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1 (satu) jam setiap hari, 6) cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00. b. Penghawaan Agar diperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan peranginan silang (ventilasi silang) dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Lubang penghawaan minimal 5% (lima persen) dari luas lantai ruangan. (2) Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara yang mengalir keluar ruangan. (3) Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC. Khususnya untuk penghawaan ruangan dapur dan kamar mandi/WC, yang memerlukan peralatan bantu elektrikal-mekanikal seperti blower atau exhaust fan, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
38
(1) Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan bangunan disekitarnya. (2) Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan ruangan kegiatan dalam bangunan seperti: ruangan keluarga, tidur, tamu dan kerja. c. Suhu udara dan kelembaban Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk ruangan dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: (1) keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar. (2) pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak. (3) menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan . d. Pondasi Sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton (beban kecil) yang biasa digunakan untuk rumah sederhana dapat dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung; pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung. Sistem pondasi yang digunakan pada Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan pengembangannya dalam hal ini Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) ini adalah sistem pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton tanpa tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin atau galam. e. Dinding
39
Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini akan dibangun. Ukuran conblock yang digunakan harus memenuhi SNI PKKI NI-05 Untuk dinding papan harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk kerangka dinding digunakan kayu berukuran 5/7 dengan jarak maksimum 100 cm. Kayu yang digunakan baik untuk papan dan balok adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila untuk kerangka digunakan kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Jarak tiang rangka kurang lebih 150 cm. Papan yang digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah diserut dan sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin kerapatan. Ring-balok dan kolom dari kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Hubungan antara kolom dengan ringbalok dilengkapi dengan sekur-sekur dari kayu 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Panjang sekur maksimum 50 cm. f. Kerangka bangunan Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton bertulang. Untuk rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka dari beton bertulang dan setengah dari rangka kayu. Untuk rumah kayu tidak panggung rangka dinding menggunakan kayu. Untuk sloof disarankan menggunakan beton bertulang. Sedangkan rumah kayu panggung seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk rangka bangunan maupun untuk dinding dan pondasinya. g. Kuda-kuda Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kuda-kuda kerangka kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10
40
atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda disarankan menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada setiap titik simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu dengan kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya. Khusus untuk rumah tembok dengan konstruksi pasangan, dapat menggunakan kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok yang disekelilingnya dilengkapi dengan ring-balok konstruksi beton bertulang. Kemiringan
sudut
atap
harus
mengikuti
ketentuan
sudut
berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan, sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk pertimbangan kenyamanan ruang didalamnya. Berdasarkan berbagai penjelasan dan kriteria yang diatur di atas, dapat disimpulkan bahwa hak atas perumahan yang layak sebagai penjabaran dari hak atas dasar kehidupan yang layak merupakan salah satu unsur yang penting bagi penikmatan keseluruhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini tercantum, antara lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Ketentuan ini memberikan penegasan penting bahwa hak atas perumahan merupakan hak asasi manusia yang tidak saja memenuhi unsur kepastian hukum dan aksesibilitas, tetapi juga aspek budaya yang memastikan taraf keselarasannya dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup
yang
sehat
dan
aman
(Dewi
Nova
Wahyuni,
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/SDK-7-
41
Perempuan-dan-Perumahan-yang-Layak.pdf, diakses tanggal 17 Oktober 2015). Menempati dan menikmati rumah merupakan pemenuhan hak sebelum dapat memiliki rumah sendiri. Rumah yang layak adalah bangunan yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan
penghuninya.
Lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, pemilikan hak atas tanah dan kelayakan prasarana serta sarana lingkungan (Majda El Muhtaj, 2013: 149-150). Tak terkecuali bagi kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mereka juga berhak menempati dan menikmati bahkan memiliki rumah yang layak bagi pemenuhan hak asasi manusia mereka. Menurut Lewis Oscar, Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) adalah kelompok masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu kebudayaan yang disebut budaya miskin. Masyarakat berpenghasilan rendah ini terperangkap dalam budaya miskinnya. Sehingga mereka tidak dapat lagi melihat potensi-potensi yang dimiliki (Nanang Pujo Raharjo,2010: 19). Menurut
Asian
Development
Bank
(ADB)
masyarakat
berpenghasilan rendah adalah masyarakat yang tidak memiliki akses dalam proses menentukan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Secara sosial mereka tersingkir dari institusi masyarakat. Secara ekonomi terlihat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia sehingga menyebabkan rendahnya tingkat penghasilan mereka. Secara budaya dan tata nilai mereka terperangkap dalam etos kerja yang rendah, pola pikir pendek dan fatalism, serta akses mereka terhadap fasilitas lingkungan yang sangat rendah (Nanang Pujo Raharjo, 2010: 72).
42
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) juga didefinisikan sebagai masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapatkan dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah yang layak huni. Masyarakat berpenghasilan rendah merupakan keluarga rumah tangga yang berpenghasilan sampai dengan Rp 2.000.000,00 per bulan. Kemudian pada tahun 2010peraturan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14 tahun 2010; masyarakat berpenghasilan rendah adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan paling banyak Rp 2.500.000,00 per bulan(Hudi Karno Sabowo, 2013: 202). Menyimak ketentuan di atas maka pada tahun 2010 batasan penghasilan MBR naik dari Rp 2.000.000,00 di tahun 2006 menjadi Rp 2.500.000,00 di tahun 2010. Sedangkan menurut ketentuan yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUUX/2012, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah masyarakat dengan penghasilan antara Rp 1.000.000,00 s.d kurang Rp 2.500.000,00 (Putusan Nomor 14/PUU-X/2012, 2012: 23).Dengan demikian, jika seseorang
penghasilannya
dibawah
Rp2.500.000,00
per
bulan,
dikategorikan MBR dan berhak mendapat dukungan pemerintah agar dapat memiliki rumah yang layak huni (Hudi Karno Sabowo, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat ISSN : NO. 0854-2031 VOL. 10 NO. 2, 2013: 202).
43
B. Kerangka Pemikiran Premis Mayor
Interpretasi
1. Teori Keadilan (Teori Gustav Radbruch, dan Teori Keadilan Hukum). 2. Peraturan Perundang-undangan (UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat)). 3. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2012.
Fakta Hukum
Premis Minor
Setiap orang berhak mendapatkan tempat tinggal yang sehat.
Luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret
Sudahkah rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di rumah tipe 21 mendapatkan pemenuhan hak dasarnya atas tempat tinggal yang sehat?
Kesimpulan 1. Sudah sesuai atau belum pertimbangan Mahkamah Konstitusi dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. 2. Luas minimum tempat tinggal yang sesuai dengan hak dasar tempat tinggal yang sehat.
44
Keterangan : Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan mengenai alur pemikiran penulis untuk menjawab rumusan masalah dalam penulisan hukum ini yaitu mengenai Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal. Pemaparan akan dimulai dari teori Hak Asasi Manusia(HAM) mengenai ruang yang layak untuk tempat tinggal serta dasar-dasar hukum tempat tinggal yang sehat yang tercantum di dalam: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 5. Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
Nomor:
403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2012 terdapat pembatalan terhadap Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 22 ayat (3) tersebut berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”. Pembatalan isi pasal ini menyebabkan aturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang berlaku di Indonesia saat ini kembali ke ukuran rumah 21 m2 (tipe 21). Di sisi lain, berdasarkan aturan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan
45
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan tempat tinggal yang sehat. Selanjutnya, jika dihubungkan dengan teori keadilan berdasarkan pendapat Gustav Radbruch dan teori keadilan hukum, pertimbangan hukum yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 yang digunakan untuk membatalkan isi Pasal 22 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tersebut penerapannya sudah sesuaikah untuk mewujudkan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena hal itu, penulis kemudian mengadakan penelitian di perumahan tipe 21 (baik yang sudah direnovasi ataupun yang belum direnovasi) untuk mendapatkan fakta hukum di lapangan terkait sudahkah rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di rumah tipe 21 mendapatkan pemenuhan hak dasarnya atas tempat tinggal yang sehat? Pada akhirnya, melalui berbagai kajian tersebut akan ditemukan kesimpulan sebagai berikut : 1. Kesesuaian pertimbangan Mahkamah Konstitusi dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. 2. Luas minimum tempat tinggal yang sesuai dengan hak dasar tempat tinggal yang sehat.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pemenuhan Hak Dasar Atas Tempat Tinggal yang Sehat dalam PertimbanganHukum Mahkamah Konstitusidalam Putusan Nomor 14/PUUX/2012 MengenaiLuas Minimum Lantai Rumah Tunggal dan Rumah Deret Pertimbangan Hakim Konstitusi Sebelum menjatuhkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012, Mahkamah memberikan pendapat sebagai berikut: Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188, selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 2011) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan: 1. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; dan 2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
46
47
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; Menimbang, bahwa karena yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: 1. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; 3. badan hukum publik atau privat; atau 4. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: 1. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
48
2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusanputusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: 1. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 2. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; 3. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; 4. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; 5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa Pemohon adalah Dewan Pengurus Pusat Assosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) yang secara faktual merupakan pelaku usaha pengembang perumahan dan permukiman untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang organisasinya dijadikan sarana untuk penyaluran aspirasi dan memperjuangkan kepentingan para pengembang menengah dan kecil supaya mendapat perhatian yang proporsional dari Pemerintah, mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011, karena bagi masyarakat yang tidak mampu membeli rumah tunggal atau
49
rumah deret yang luas lantainya minimal 36 meter persegi, tidak akan membeli rumah yang dibangun oleh Pemohon yang berakibat Pemohon dirugikan karena tidak boleh membangun rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, padahal banyak yang membutuhkan rumah tetapi daya belinya tidak sampai kepada yang luas lantainya 36 meter persegi. Dengan demikian Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pendapat Mahkamah Pokok Permohonan Menimbang bahwa Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 yang menyatakan, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: 1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 3. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 4. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
50
Kemudian terdapat pula pendapat dari para ahli pemohonyang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tentang pengaturan luas minimum tempat tinggal yang layak. Para ahli pemohon ini lebih mengutamakan pendapatnya pada pemberlakuan aturan rumah tipe 21. Berikut uraian pendapat dari masing-masing ahli : 1. Zulfi Syarif Koto a. Bahwa komitmen Undang-Undang di bidang PKP dari tahun 1992 sampai sekarang semangatnya adalah tetap bagaimana kita bisa merumahkan rakyat khususnya MBR yang rumahnya layak dan terjangkau; b. Bahwa Undang-Undang PKP sekarang mempunyai banyak kelebihan dibanding Undang-Undang yang lama, dan juga punya kelemahan; c. Beberapa kelemahannya adalah yang sekarang di judicial review oleh teman-teman dari APERSI yaitu mengenai minimal luas bangunan 36 m²; d. Bahwa perumahan adalah hak dasar. Merumahkan MBR itu tidak mudah, diperlukan aturan-aturan lebih rendah untuk merumahkan karena IKKT dan IKKN setiap daerah tidak sama. e. Untuk merumahkan MBR harus melibatkan semua pihak, Pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi; f. Bahwa ahli menyarankan pemberlakuan luas lantai bangunan minimal 36 tidak dapat disamaratakan di seluruh Indonesia, dan harus ada intervensi pemerintah; g. Bahwa ahli menyarankan jika dimungkinkan, Pasal 22 ayat (3) dihilangkan saja, karena urusan perumahan adalah urusan daerah. 2. Ali Tranghanda a. Bahwa dua tahun belakangan ini banyak sekali kebijakan dan UndangUndang yang sebetulnya kontraproduktif dengan visi Pemerintah untuk mengurangi backlog perumahan; b. Bahwa jika kita lihat persoalan tersebut di media massa pun menyebutkan bahwa tahun ini jika tidak ada perubahan, mungkin ini tahun suram buat
51
rumah
rakyat.
Ketika
Undang-Undang
tersebut
dibuat,
ahli
mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan DPR kepada MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Karena Undang-Undang tersebut tidak semestinya muncul, dan ketika muncul, malah memberikan permasalahan lain; c. Bahwa pada prinsipnya kami dari Indonesian Property Watch bukan tidak setuju dengan tipe 36, tapi ketika hal tersebut dinyatakan di UndangUndang akan menjadi masalah, karena tiap wilayah, tiap provinsi berbeda dengan masalah harga tanah; d. Bahwa indeks bahan bagunan antara Jakarta dengan Papua berbeda, mungkin ada peraturan di bawahnya, yaitu peraturan Pemerintah yang bisa membedakan hal tersebut, bukan di Undang-Undang; e. Bahwa Pemerintah dan DPR berkilah jika Undang-Undang tersebut, khususnya Pasal 22 ayat (3), dengan dibuat pembatasan minimal 36 m², ada aspek yang disebutkan kesejahteraan, tapi tidak ada satu kata pun yang menyebutkan adanya aspek keterjangkauan; f. Bahwa ketika berbicara masalah rumah MBR, ada baiknya secara pribadi masing-masing
berpikir,
jika
masyarakat
berpenghasilan
rendah,
bukannya tidak mau mempunyai rumah tipe 36, bukan itu masalahnya. Mereka mau, tapi susah untuk mencicilnya. Jadi MBR bukan tidak mau memiliki rumah tipe 36, tapi karena daya belinya tidak ada. Tipe 21 ke tipe 26, mungkin bedanya Rp 5.000.000,00 – Rp 10.000.000,00, mungkin kecil untuk sebagian orang, tapi untuk masyarakat berpenghasilan rendah hal tersebut sangat susah. Hal tersebut diperparah lagi dengan skema subsidi Fasilitas Likuiditas Pembelian Perumahan (FLPP), yang mau tidak mau karena dalam Undang-Undang ada pembatasan tipe 36, maka dalam skema subsidi tersebut ada pembatasan yang diberi subsidi, minimal tipe 36 dengan harga di bawah Rp. 70.000.000,00. Artinya program subsidi yang tadinya untuk MBR kembali dipertanyakan, untuk siapakah subsidi
52
tersebut? Skema subsidi pemerintah yang ada dibatasi dengan tipe 36, dan sebetulnya yang paling membutuhkan subsidi jadi tidak dapat subsidi; g. Bahwa jika bicara masalah fakta, yang datanya diambil dari BTN (Bank Tabungan Negara). Ketika program subsidi diberhentikan, ada sebanyak 16.000 unit ter-pending di BTN dan hanya 20% yang termasuk kategori di atas tipe 36. Artinya, visi Pemerintah untuk mengurangi backlog perumahan dari 16.000 unit hanya terserap 20%. Artinya program pemerintah tidak integrated; h. Bahwa kesimpulannya adalah Undang-Undang PKP sudah terlanjur muncul, dengan adanya Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang PKP, Ahli meminta semua pihak tanpa mau menyalahkan siapa pun, walaupun kondisinya telah membuat polemik dan telah menjadi permasalahan baru di masyarakat dan mengganggu penyediaan rumah untuk kaum MBR, untuk melihat secara objektif kebenarannya. Kepada semua pihak jangan terlalu arogan. Jika memang itu salah, maka diperbaiki, jangan menyalahkan siapapun, agar penyediaan rumah rakyat dapat berjalan. Ahli memohon Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP, khususnya Pasal 22 ayat (3) sebaiknya dihapuskan. 3. Khairul Alwan Ar-Rivai Nasution a. Sebuah tulisan dari Masdar F Mas’udi, assulthonuzillullah fil ardh yaa wailaihikullumazlun, penguasa itu adalah menjadi payung Allah di muka bumi. Oleh karena itu dia harus bisa mengayomi rakyat yang teraniaya, bukan rakyat yang kaya, tapi rakyat yang teraniaya. Dalam bahasa Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 adalah MBR dan fakir miskin. b. Bahwa kedaulatan rakyat harus tercermin dan terimplementasi dalam roh dan isi undang-undang. Karena Undang-Undang tanpa roh hanya merupakan demokrasi prosedural. Kedaulatan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam mewujudkan tujuan negara kesatuan republik Indonesia. Tidak boleh ada substansi dan pasal serta ayat dalam Undang-
53
Undang yang bisa mengurangi dan menghilangkan hakikat kedaulatan rakyat. Harus ada harga minimal dari kedaulatan rakyat dalam setiap Undang-Undang. Jadi, jika mengenai perumahan harus terimplementasi harga minimalnya, yaitu minimal yang terjangkau oleh rakyat. Jika tidak ada, maka Undang-Undang tersebut tidak mencerminkan kedaulatan rakyat; c. Bahwa tentang keadilan substansi, jika ahli mengacu kepada Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dikaitkan dengan Undang-Undang yang sedang digugat ini bisa ditafsirkan bahwa penjajahan tidak saja dilakukan oleh bangsa lain, tetapi bisa juga dilakukan oleh bangsa dan pemerintahan tidak pro rakyat. Karena hal tersebut termasuk mempersulit rakyat mendapatkan rumah. Bisa diartikan sebagai upaya pemerintah yang tidak peduli kepada rakyatnya. Di Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 juga dikatakan bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dan seterusnya. Perjuangan tidak berhenti sampai merebut kemerdekaan, tapi bagaimana mengisi kemerdekaan. Sehingga produk Undang-Undang harus diwaspadai. Mungkin sering mendengar ada pasal yang bisa diperjualbelikan. Hal tersebut harus investigasi kenapa ada angka 36 keluar dalam Undang-Undang a quo. Walaupun di awalnya kata-kata 36 tidak ada; d. Bahwa Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat tempat tujuan, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bagaimana bangsa bisa maju dan rakyat bisa dilindungi jika rakyat tidak bisa punya rumah, masih ada rakyat yang tinggal di rumah kardus, dan masih ada rakyat yang di gerbong-gerbong kereta api. e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP juga harus dilihat latar belakangnya dan filosofinya. Apakah Undang-Undang ini punya
54
motif mengeksploitasi rakyat dan berkonotasi untuk mempersulit rakyat? Hal tersebut yang harus dihentikan; f. Ahli berkesimpulan bahwa dengan kondisi masyarakat kita hari ini, dengan daya beli masyarakat hari ini, dengan hiper komplesitas masyarakat hari ini, dan dengan ketidakmampuan masyarakat, jika mengatakan minimal 36, maka akan menjadikan rakyat semakin banyak yang tidak punya rumah; g. Ahli mengusulkan konsep rumah tumbuh perlu dipertahankan karena sejak Menteri Cosmos Batubara, dan Akbar Tanjung, tidak ada konsepkonsep yang menyusahkan rakyat seperti minimal 36 ini. Boleh saja dimulai dari tipe 21 dengan konsep rumah tumbuh, karena konsep 36 jelas tidak memungkinkan dipakai bagi rakyat; h. Bahwa Ahli menawarkan sebuah konsep yang namanya holistic peradaban rumah rakyat. Rumah ternyata bukan kumpulan semen dan kumpulan pasir. Rumah adalah kumpulan keyakinan dan nasionalisme. Hubrowaton minal uman [Sic!], rumah adalah kumpulan cinta dan optimisme. Karena itu jangan kita hanya berbicara lantai. Oleh karena itu kita juga perlu melakukan revitalisasi terhadap fungsi perumahan itu sendiri, jangan kemudian rumah menjadi rumah yang lemah. 4. M. Yusuf Asy’ani a. Bahwa Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yang menyatakan, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36m². Penjelasan atas pasal ayat ini cukup ringkas, yaitu ayat (3) cukup jelas, artinya tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut. Implikasi pelaksanaan isi pasal dan ayat ini oleh sementara kalangan dipersoalkan posisinya terhadap Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945; b. Bahwa pembatasan luas lantai sebagaimana disebut di atas yang berdasarkan unit rumah, menurut pendapat ahli tidaklah tepat. Satu rumah
55
tingkat kepatutan atas luas ruang, kiranya sangat ditentukan oleh jumlah anggota keluarga atau penghuninya. Karena itu, menurut pendapat Ahli apabila Pemerintah akan menentukan luas lantai untuk hunian, sebaiknya bukan berdasarkan keluarga per unit rumah. Akan tetapi, berdasarkan jumlah warga keluarga tersebut yang menghuni rumah, alias ditentukan batas per orang; c. Bahwa jika ahli tidak khilaf, ukuran luas lantai per orang menurut ukuran Internasional adalah 9m² per orang. Jadi ukuran 36m² itu cocok untuk warga yang beranggotakan empat orang. Bila ada satu keluarga yang belum dikaruniakan anak dan tidak ada pembantu, tidak pula menampung famili-familinya menumpang, kiranya tidak usah dilarang memiliki luasan rumah lantai misalnya 21m², karena luas ruang per orang lebih dari 9m². Membatasi ukuran minimal 36m², rasanya akan sangat memberatkan kaum duafa; d. Bahwa lebih baik satu keluarga dengan satu anak punya rumah sendiri dengan luas lantai 27m², dari pada satu rumah ukuran lantai 36m², tetapi dihuni misalnya dua keluarga yang sudah punya anak, atau satu keluarga suami istri dengan empat anak; e. Bahwa jika tidak salah sejak zaman Menpera Cosmos Batubara, telah dikonsepkan program rumah inti tumbuh, rasanya konsep ini belum dinyatakan tidak berlaku. Rumah itu tumbuh atau rate adalah kebijakan publik yang ramah pada kaum duafa, di mana mereka dibenarkan untuk membangun rumah inti yang relatif kecil, dengan pengertian rumah itu tidak ada yang diperluas sesuai dengan pertumbuhan. Misalnya saat-saat bertambah dengan kelahiran anak; f. Bahwa di sini Saksi membahas tentang manakah yang lebih baik antara membuat peraturan yang menyulitkan rakyat dan yang memudahkan bagi mereka? Jika memang dapat dipermudah, janganlah dipersulit. Apabila
56
pemerintah memberikan kemudahan bagi kaum duafa, Ahli yakin mereka akan lebih berbahagia dalam serba keterbatasan mereka. g. Ahli berpendapat bahwa: 1) Menetapkan perintah memiliki rumah dan luasan lantai per keluarga kiranya tidak tepat. Yang lebih rasional adalah menetapkan luasan lantai rumah per orang. 2) Menetapkan ukuran lantai, minimal 36m² per unit rumah, akan lebih menyulitkan kaum duafa memiliki rumah sendiri yang layak huni. 3) Sebaiknya ukuran 36m² dalam Undang-Undang itu diubah menjadi anjuran dengan mengutamakan program rumah inti, sehingga kebijakan ini akan ramah pada kaum duafa. 4) Apabila ayat tersebut tidak dapat diubah karena sudah terlanjur macam-macam, kesana kemari, kiranya Majelis Hakim MK dapat memberikan waktu transisi yang cukup, agar rumah-rumah yang terlanjur dibuat di bawah 36m² dapat disalurkan kepada konsumen. Meskipun kerugian yang mungkin timbul bila tidak ada waktu transisi yang cukup itu hanya diderita para pengembang, akan tetapi Ahli berpendapat, pada hakikatnya itu adalah kerugian nasional. Waktu transisi itu menurut ahli cukup satu tahun sejak tanggal keputusan ini; 5) Alternatif yang Ahli usulkan kepada MK adalah menunda berlakunya ayat tersebut minimal 5 tahun, di mana saat itu semoga tingkat kesejahteraan kaum duafa sudah cukup meningkat, dengan alternatif terakhir ini, Ahli berpendapat itulah win-win solution-nya. UndangUndang tidak usah diubah akan tetapi diberi tafsiran baru dengan menunda masa berlakunya untuk suatu waktu tertentu yaitu dalam hal ini 5 tahun. Menimbang
bahwa
setelah
Mahkamah
memeriksa
dengan
saksama
permohonan Pemohon, mendengarkan keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah, mendengarkan keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis
57
Dewan Perwakilan Rakyat, mendengarkan keterangan saksi dan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah, serta memeriksa bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon dan Pemerintah, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1. Bahwa menurut Mahkamah Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan tersebut tidak membeda-bedakan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, demikian pula tidak membeda-bedakan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; 2. Bahwa demikian pula menurut Mahkamah Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena pasal tersebut tidak meniadakan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; 3. Bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia [vide alinea IV Pembukaan UUD 1945]. Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak warga negara tersebut. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan
58
pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syaratsyarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah [vide konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 2011. Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan
pengaturan
yang
tidak
sesuai
dengan
pertimbangan
keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. Implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut. Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh
59
banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa; 4. Menimbang bahwa sejalan dengan pertimbangan dalam paragraf (3) hak bertempat tinggal, hak milik pribadi [vide Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu hak asasi manusia. Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi. Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pada paragraf (3) sampai dengan paragraf (4) di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Amar Putusan adalah menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; a. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
60
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluhlima, bulan September, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal tiga,bulan Oktober, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pemerintah atau yang mewakili. Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan oleh Hamdan Zoelva adalah sebagai berikut: UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Demikian juga Piagam Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan [vide Article 25 ayat (1)]. Dari jaminan konstitusional tersebut, hak bertempat tinggal dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah bagian dari hak untuk hidup yang memadai, sejahtera lahir dan batin yang tidak dapat dipisahkan. UUD 1945 maupun Piagam Hak Asasi Manusia sangat menekankan betapa pentingnya pemenuhan kedua hak tersebut berjalan secara seimbang. Hak atas perumahan dan lingkungan hidup
61
yang baik dan sehat adalah termasuk kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang pemenuhannya memerlukan keterlibatan dan intervensi aktif negara, bukan kebebasan warga negara. Artinya, pemenuhan haknya harus dijamin dengan berbagai kebijakan aktif negara. Hal yang berbeda dengan hak sipil dan politik yang memerlukan keterlibatan pasif dari negara. Artinya kebebasan warga negara yang diutamakan dijamin oleh negara. Salah satu aspek lingkungan yang baik dan sehat adalah mengenai rumah atau tempat
tinggal.
Standar
rumah
yang
sehat
menurut
Konvensi
World
HealthOrganization tahun 1989 tentang Health Principles of Housing, antara lain adanya perlindungan terhadap penyakit menular, keracunan, dan penyakit kronis. Untuk memenuhi hal tersebut berdasarkan penelitian yang dikeluarkan Alberta – Health and Wellness tahun 1999 tentang Standar minimum rumah sehat adalah luas lantai untuk kamar tidur pada rumah yang sehat adalah tidak boleh kurang dari 9,5 meter persegi per orang. WHO Regional Eropa menentukan standar minimum 12 meter persegi per orang. United Kingdom menentukan standar minimum luas lantai rumah 29.7 meter persegi per orang. Rusia menentukan standar minimum 9 meter persegi per orang. Standar ini, merupakan standar minimal yang bertujuan untuk menentukan kelayakan sebuah hunian yang sehat dan baik. Artinya, rumah yang kurang dari standar minimum adalah rumah tidak layak huni, karena tidak sehat. Pengabaian terhadap standar minimum rumah sehat adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap jaminan konstitusional bagi setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan sehat. Dalam kerangka inilah, menurut penulis ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yaitu minimal 36 meter persegi sudah tepat. Apalagi dalam tradisi kehidupan keluarga Indonesia, adalah jarang sekali satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah hanya terdiri dari 2 orang, sehingga ukuran luas minimal rumah 21 meter persegi adalah tidak layak huni karena tidak sehat. Dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warganya, negara tidak dapat membiarkan kebebasan untuk membangun rumah yang tidak sehat di bawah standar
62
minimal yang ditentukan, apalagi rumah tersebut adalah perumahan yang dibangun dengan fasilitas negara. Di situlah tanggung jawab negara dan kewajiban konstitusionalnya menjamin pemenuhan hak konstitusional warganya untuk bertempat tinggal pada lingkungan yang layak dan sehat. Dengan adanya luas minimum yang ditentukan undang-undang a quo, juga mengandung konskuensi bahwa negara menjamin pula kemudahan dan keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah, dengan memberikan subsidi, fasilitas dan kemudahan mendapatkan rumah. Oleh karena itu, menurut penulis, jika dikaitkan dengan persoalan keterjangkauan daya beli masyarakat dan ukuran luas adalah dua hal yang tidak selalu relevan. Hal yang paling pokok adalah ukuran harga rumah yang terjangkau bukan ukuran rumah yang kecil. Artinya dengan jaminan undang-undang minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 meter persegi, mengandung makna pula
bahwa
negara
berkewajiban
memberi
kemudahan
bagi
masyarakat
berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Ukuran keterjangkauan sangat relatif, karena seberapa pun kecilnya rumah yang dianggap terjangkau juga tidak bisa menjamin bahwa seluruh atau sebagian besar rakyat Indonesia dapat memiliki rumah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan masyarakat. Hal itu sangat tergantung pada tingkat harga rumah, bukan pada besar kecilnya rumah, walaupun luas berpengaruh terhadap harga. Jadi menurut penulis, hal paling utama yang harus dijamin oleh Pemerintah adalah aspek kesehatan dan kelayakan tempat tinggal yang sehat agar manusia Indonesia tumbuh baik dan sehat. Rumah terjangkau tetapi tidak sehat, adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik dan sehat. Mengadakan rumah yang terjangkau tetapi tidak sehat, sama saja membiarkan rakyat hidup secara tidak layak dan tidak sehat. Berdasarkan uraian pertimbangan hakim konstitusi di atas, dapat disimpulkan bahwa ratio decidendi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 yaitu :
63
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat. Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah karena implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut. Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa; Selanjutnya, penulis juga akan menguraikan terkait kelebihan serta kekurangan dari pendapat yang disampaikan oleh para ahli pemohon yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012. Kelebihan dari diberlakukannya aturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret seluas 21 meter persegi sesuai yang disampaikan oleh para ahli pemohon tersebut yaitu : 1. Lebih terjangkau untuk kalangan MBR.
64
2. Mempermudah kalangan MBR untuk mendapatkan rumah. Sedangkan kekurangan dari pemberlakuan luas lantai minimum rumah tunggal dan rumah deret tersebut adalah : 1. Tidak layak, tidak nyaman dan tidak sehat jika ditempati keluarga dengan anggota lebih dari 3 orang penghuni. 2. Tidak terpenuhinya hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. Menurut konsep Negara Hukum yang disebutkan oleh Julius Stahl dengan istilah Rechtsstaat, negara hukum itu mencakup empat elemen penting, yaitu : 1. Perlindungan hak asasi manusia 2. Pembagian kekuasaan 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang 4. Peradilan tata usaha Negara Berdasarkan konsep Julius Stahl tersebut, salah satu elemen penting dari negara hukum adalah adanya perlindungan hak asasi manusia. Apabila dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang layak, maka terpenuhinya hak dasar atas tempat tinggal yang layak merupakan perwujudan dari adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang layak ini masuk dalam kategori Hak Asasi Manusia (HAM) bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Akan tetapi, jika dikaji dari pendapat para ahli pemohon dan ratio decidendi putusan, dapat terlihat bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 ini lebih menekankan pada tercapainya aspek keterjangkauan bagi MBR, sedangkan hak dasar atas tempat tinggal yang layak dan sehat bagi masyarakat Indonesia, termasuk MBR tidak terlalu diperhatikan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat tercantum di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
65
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945danKeputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). 1. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945aturan mengenai hak dasar atas tempat tinggal yang sehat termuat di dalam Pasal 28H ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.**)”. 2. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) aturan mengenai hak dasar atas tempat tinggal yang sehat termuat di dalam Pasal 9 ayat (2) dan (3) serta Pasal 40 yang bunyinya sebagai berikut: a. Pasal 9 ayat (2) dan (3) (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. b. Pasal 40 “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta kehidupan yang layak”. 3. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya aturan mengenai hak dasar atas tempat tinggal yang sehat termuat di dalam Pasal 11 dan Pasal 12 yang bunyinya sebagai berikut: a. Pasal 11 “Hak atas standar kehidupan yang memadai”. b. Pasal 12 “Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai”.
66
4. Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
Nomor
403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) Dikeluarkannya Keputusan Menteri Nomor 403/Kpts/M/2002 ini memiliki maksud dan tujuan yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang layak untuk rakyat Indonesia. Maksud dibuatnya Keputusan Menteri ini adalah untuk menjawab pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau akan tetapi memenuhi persyaratan kenyamanan, keamanan dan kesehatan dalam lingkup heteroginitas potensipotensi daerah,
khususnya potensi
bahan
bangunan,
budaya,
serta
karakteristik fisik kawasan. Sedangkan tujuan dari Pedoman Teknis tersebut adalah tercapainya penyediaan rumah yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok informal, baik yang dilakukan secara masal maupun melalui swadaya masyarakat. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 serta Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/Kpts/M/2002 secara keseluruhan menyatakan bahwa hak dasar atas perumahan itu terpenuhi apabila setiap orang mendapatkan tempat tinggal dan lingkungan hidup yang sehat. Menurut teori keadilan hukum (legal justice), keadilan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Keadilan hukum adalah keadilan menurut hukum positif yang berlaku (Rifyal Ka’bah, 2006: 59). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tersebut baru bisa dikatakan adil jika didasarkan pada aturan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat
67
sehingga setiap orang mendapatkan haknya atas tempat tinggal yang sehat. Oleh karena itulah, mahkamah konstitusi harusnya melahirkan putusan responsif dan preskriptif yang berkeadilan bagiseluruh rakyat Indonesia yang tidak berbenturan dengan moralitas dan kebenaran. Jadi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 seharusnya lebih menekankan pada tercapainya aspek keadilan pada pertimbangan hukumnya. Asas keadilan ini harus diutamakan karena didasari oleh hal-hal sebagai berikut : 1. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum”, menurut pendapat Azhary dan Hamid S. Attamimi, Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Pada saat perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Moh. Yamin mengatakan, “Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Bahkan Rechtsstaat Indonesia itu ialah rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Ridwan HR, 2014: 17-18). 2. Pancasila sebagai dasar negara, di dalam sila kelimanya menyatakan bahwa, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. 3. Dalam setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
68
4. Teori keadilan menurut Gustav Radbruch menyatakan bahwa dari ketiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, keadilan harus menempati posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada dua tujuan hukum lainnya ketika terjadi benturan antara ketiga prinsip tersebut (MohamadAunurrohim, 2015: 1-2). Akan tetapi, ratio decidendi putusan yang tercantum dalam pertimbangan hakim untuk membatalkan bunyi Pasal 22 ayat (3) tersebut justru lebih mengutamakan aspek keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, sedangkan aspek perolehan lingkungan tempat tinggal yang baik dan sehat yang menjadi hak setiap orang dan tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah disebutkan di atas malah tidak terlalu diperhatikan pada pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tersebut. Padahal prinsip keterjangkauan dalam putusan ini lebih mengarah pada terpenuhinya tujuan hukum berupa kemanfaatan, sedangkan terpenuhinya hak atas tempat tinggal yang sehat merupakan perwujudan tercapainya asas keadilan yang menjadi tujuan hukum yang harusnya diutamakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum hakim konstitusi yang digunakan dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret tidak sesuai dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat.
69
B. Pengaturan Luas Minimum Lantai Rumah Tunggal dan Rumah Deret yang Seharusnya untuk Mewujudkan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Dikeluarkannya keputusan menteri tersebut memiliki maksud dan tujuan tersendiri yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang layak untuk rakyat Indonesia. Maksud dari petunjuk teknis ini adalah untuk menjawab pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau akan tetapi memenuhi persyaratan kenyamanan, kemanan dan kesehatan dalam lingkup heteroginitas potensi-potensi daerah, khususnya Potensi bahan bangunan, budaya, serta karakteristik fisik kawasan. Selanjutnya, tujuan dari Pedoman Teknis tersebut adalah tercapainya penyediaan rumah yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok informal, baik yang dilakukan secara masal maupun melalui swadaya masyarakat. Dalam mewujudkan maksud tersebut, maka dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 dicantumkan mengenai pedoman umum Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Berikut ini adalah Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) secara umum : 1. Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luar-dalam) Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m. 2. Kebutuhan Kesehatan dan Kenyamanan Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan,
70
serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar atau kaidah perencanaan rumah sehat dan nyaman. h. Pencahayaan Matahari sebagai potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai pencahayaan alami pada siang hari. Pencahayaan yang dimaksud adalah penggunaan terang langit. Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke dalam ruangan ditentukan oleh: 7) kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata), 8) lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata), 9) tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusan jenis pekerjaan, 10) lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan, 11) sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum 1 (satu) jam setiap hari, 12) cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00. i. Penghawaan Agar diperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan peranginan silang (ventilasi silang) dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Lubang penghawaan minimal 5% (lima persen) dari luas lantai ruangan. 2) Udara yang mengalir masuk sama dengan volume udara yang mengalir keluar ruangan. 3) Udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC. Khususnya untuk penghawaan ruangan dapur dan kamar mandi/WC, yang memerlukan peralatan bantu elektrikal-mekanikal
71
seperti blower atau exhaust fan, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan bangunan disekitarnya. 2) Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan ruangan kegiatan dalam bangunan seperti: ruangan keluarga, tidur, tamu dan kerja. j. Suhu udara dan kelembaban Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban normal untuk ruangan dan penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: 1) Keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar. 2) Pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak. 3) Menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan. 3. Kebutuhan Minimal Keamanan dan Keselamatan Pada dasarnya bagian-bagian struktur pokok untuk bangunan rumah tinggal sederhana adalah: pondasi, dinding (dan kerangka bangunan), atap serta lantai. Sedangkan bagian-bagian lain seperti langit-langit, talang dan sebagainya merupakan estetika struktur bangunan saja. a. Pondasi Sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton (beban kecil)
yang biasa
digunakan
untuk
rumah
sederhana
dapat
dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung;
72
pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung. Sistem pondasi yang digunakan pada Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan pengembangannya dalam hal ini Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) ini adalah sistem pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton tanpa tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin atau galam. b. Dinding Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini akan dibangun. Ukuran conblock yang digunakan harus memenuhi SNI PKKI NI-05. Untuk dinding papan harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk kerangka dinding digunakan kayu berukuran 5/7 dengan jarak maksimum 100 cm. Kayu yang digunakan baik untuk papan dan balok adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila untuk kerangka digunakan kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Jarak tiang rangka kurang lebih 150 cm. Papan yang digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah diserut dan sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin kerapatan. Ring-balok dan kolom dari kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Hubungan antara kolom dengan ringbalok dilengkapi dengan sekur-sekur dari kayu 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Panjang sekur maksimum 50 cm. c. Kerangka bangunan Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton bertulang. Untuk rumah setengah tembok menggunakan setengah
73
rangka dari beton bertulang dan setengah dari rangka kayu. Untuk rumah kayu tidak panggung rangka dinding menggunakan kayu. Untuk
sloof
disarankan
menggunakan
beton
bertulang.
Sedangkan rumah kayu panggung seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk rangka bangunan maupun untuk dinding dan pondasinya. d. Kuda-kuda Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kuda-kuda kerangka kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kudakuda disarankan menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada setiap titik simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu dengan kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya. Khusus untuk rumah tembok dengan konstruksi pasangan, dapat menggunakan kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok yang disekelilingnya dilengkapi dengan ring-balok konstruksi beton bertulang. Kemiringan sudut atap harus mengikuti ketentuan sudut berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan, sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk pertimbangan kenyamanan ruang didalamnya. Selain membahas mengenai Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) secara umum, penulisan hukum (skripsi) penulis ini juga akan menjelaskan
terkait Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan proses
pengembangan RIT menjadi Rs Sehat. Kriteria RIT ini penulis uraikan dikarenakan data tersebut sinkron dan dapat mendukung rekapitulasi hasil penelitian yang telah penulis lakukan dalam rangka mencari fakta hukum yang ada. Ketentuan RIT dan proses pengembangannya menjadi Rs Sehat dapat dijabarkan sebagai berikut :
74
1. Konsepsi Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) Sasaran penyediaan Rumah Sederhana Sehat yaitu bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dalam pelaksanaannya pemenuhan penyediaan Rumah Sederhana Sehat masih
menghadapi
kendala,
berupa
rendahnya
tingkat
kemampuan masyarakat, mengingat harga Rumah Sederhana Sehat
masih
belum
memenuhi
keterjangkauan
secara
menyeluruh. Untuk itu perlu disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rs Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT). Kriteria RIT tersebut adalah sebagai berikut: a. RIT memiliki ruang paling sederhana yaitu sebuah ruang tertutup dan sebuah ruang terbuka beratap dan fasilitas MCK. b. RIT memiliki bentuk atap dengan mengantisipasi adanya perubahan yang bakal dilakukan yaitu dengan memberi atap pada ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang serba guna. c. Bentuk generik atap pada RIT selain pelana, dapat berbentuk lain (limasan, kerucut, dll) sesuai dengan tuntutan daerah bila itu ada. d. Penghawaan
dan
pencahayaan
alami
pada
RIT
menggunakan bukaan yang memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya sinar matahari. Dalam proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang peran calon penghuni/penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri. Sehingga akan mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagian-bagian bangunan secara besar-besaran.
75
2. Tipologi Rumah Sederhana Sehat Luas kapling ideal yang memenuhi kebutuhan luas lahan untuk bangunan sederhana sehat baik sebelum maupun setelah dikembangkan. Secara garis besar perhitungan luas bangunan tempat tinggal dan luas kapling ideal yang memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kenyamanan bangunan seperti berikut; Kebutuhan ruang minimal menurut perhitungan dengan ukuran Standar Minimal adalah 9 m2, atau standar ambang dengan angka 7,2 m2 per orang. Sebagai konsepsi dasar kedua perhitungan
tersebut
masih
digunakan
dengan
tetap
mempertimbangkan bentuk akhir rumah pasca pengembangan. Sehingga dari hasil perhitungan diatas didapat luas bangunan awal (RIT) adalah 21 m2 dengan pertimbangan dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu dimungkinkan memenuhi standar ruang Internasional. 3. Konsepsi Rumah Inti Tumbuh Kendala keterjangkauan masyarakat terhadap Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), telah diupayakan menyiasati kondisi tersebut melalui satu rancangan rumah antara yaitu RIT sebagai rumah cikal bakal Rumah Sederhana Sehat. Rancangan RIT memenuhi tuntutan kebutuhan paling mendasar dari penghuni untuk mengembangkan rumahnya, dalam upaya peningkatan kualitas kenyamanan, dan kesehatan penghuni dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari, dengan ruang-ruang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya terdiri dari: a. 1 ruang tidur yang memenuhi persyaratan keamanan dengan bagian-bagiannya tertutup oleh dinding dan atap serta memiliki pencahayaan yang cukup berdasarkan
76
perhitungan serta ventilasi cukup dan terlindung dari cuaca. Bagian ini merupakan ruang yang utuh sesuai dengan fungsi utamannya. b. 1 ruang serbaguna merupakan ruang kelengkapan rumah dimana di dalamnya dilakukan interaksi antara keluarga dan dapat melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Ruang ini terbentuk dari kolom, lantai dan atap, tanpa dinding sehingga
merupakan
ruang
terbuka
namun
masih
memenuhi persyaratan minimal untuk menjalankan fungsi awal dalam sebuah rumah sebelum dikembangkan. c. 1 kamar mandi/kakus/cuci merupakan bagian dari ruang servis yang sangat menentukan apakah rumah tersebut dapat berfungsi atau tidak, khususnya untuk kegiatan mandi cuci dan kakus. Ketiga ruang tersebut diatas merupakan ruang-ruang minimal yangharus dipenuhi sebagai standar minimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar, selain itu sebagai cikal bakal rumah sederhana sehat. Konsepsi cikal bakal dalam hal ini diwujudkan sebagai suatu Rumah Inti yang dapat tumbuh menjadi rumah sempurna yang memenuhi standar kenyamanan, kemanan, serta kesehatan penghuni, sehingga menjadi rumah sederhana sehat. 4. Pola Pertumbuhan Rumah Inti Tumbuh (RIT) menjadi Rumah sederhana Sehat (Rs Sehat) Konsep rancangan Rumah Inti Tumbuh (RIT) adalah sebagai berikut: a. RIT adalah embrio dari rumah jadi yang diharapkan pertumbuhannya menjadi rumah sehat. Diasumsikan sebagai cikal bakal rumah sehat yang memiliki wujud belum sempurna akan tetapi memiliki komponen sistem
77
yang utuh, namun belum berfungsi 100% serta pada pertumbuhannya akan menjadi suatu rumah yang sempurna dengan fungsi penuh. b. RIT merupakan suatu rancang yang hanya menyediakan wadah untuk kebutuhan ruang-ruang kegiatan paling mendasar. Rumah ini nantinya akan dikembangkan oleh pemiliknya secara bertahap mulai dari RIT-1 menjadi RIT2, dari RIT-2 menjadi Rs Sehat-1, selanjutnya dari Rs Sehat-1 menjadi Rs Sehat-2. Pengembangan tipe-tipe rumah ini tergantung tuntutan, kebutuhan dan kemampuan pemiliknya. c. Ukuran
pembagian
ruang
dalam
rumah
tersebut
berdasarkan pada satuan ukuran modular dan standar internasional
untuk
ruang
gerak/kegiatan
manusia.
Sehingga diperoleh ukuran ruang-ruang dalam RIT-1 adalah sebagai berikut: 1) Ruang Tidur : 3,00 m x 3,00 m 2) Serbaguna : 3,00 m x 3,00 m 3) Kamar mandi/kakus/cuci : 1,20 m x 1,50 m d. Dalam proses pengembangan rumahnya dari RIT-1 menjadi RIT-2, Rs Sehat-1 maupun Rs Sehat-2, tetap mengikuti
ketentuan-ketentuan
atau
kaidah-kaidah
perencanaan rumah sehat dan ukuran modul yang sudah ditetapkan. Dalam proses mencari fakta hukum di lapangan sebagai data pendukung untuk penulisan skripsi berjudul “Konstruksi Hukum Pemenuhan Ruang yang Layak untuk Tempat Tinggal” ini, penulis melakukan penelitian di Perumnas Pucang Sawit RT/ RW 01/ 13 Surakarta yang mayoritas warganya masih bertempat tinggal di deretan rumah yang luas bangunannya 21 m2 (rumah tipe 21) dan masyarakatnya
78
merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. Penelitian tersebut penulis lakukan pada tanggal 7 Maret 2016 dengan cara membagikan kuisioner kepada 5 responden yang bertempat tinggal di Perumnas Pucang Sawit tersebut. Sebagai pembanding dalam menemukan fakta hukum yang relevan dengan penelitian hukum ini, penulis juga melakukan penelitian di Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar yang mayoritas warga yang tinggal di perumahan tersebut sudah merenovasi serta memperluas bangunan rumahnya. Perumahan Manggeh sebelum direnovasi memiliki luas bangunan 21 m2 (rumah tipe 21) juga, akan tetapi saat ini warga perumahan tersebut sudah merenovasi dan memperluas bangunan rumahnya jauh lebih besar dari ukuran 21 m2 dan menjadi rumah yang lebih layak, nyaman dan sehat menurut mereka. Penelitian tersebut penulis lakukan pada tanggal 8 Maret 2016 dengan cara membagikan kuisioner dan meminta kepada 5 responden yang bertempat tinggal di Perumahan Manggeh tersebut untuk mengisi data pada kuisioner yang telah penulis bagikan. Tabel pendapat masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta mengenai kelayakan rumah : No 1a. b. c. d. e. f. 2.
3.
4. 5.
Aspek Luas rumah Dinding bangunan Lantai Jarak lantai-atap Jumlah kamar tidur Jumlah anggota keluarga yang menempati rumah Kenyamanan yang didapat dari luas rumah yang ditempati Kesesuaian luas rumah dengan jumlah anggota keluarga yang menempati Kepemilikan ruang tamu di dalam rumah Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu
RESPONDEN II III IV 21 m2 22 m2 21 m2 tembok tembok bata keramik keramik keramik 3m 3m 3m 1 1 1 3 4 8
V 21 m2 tembok keramik 3m 1 5
nyaman
tidak nyaman
cukup nyaman
tidak nyaman
tidak nyaman
tidak nyaman
tidak sesuai
tidak sesuai
cukup sesuai
tidak sesuai
tidak sesuai
tidak sesuai
tidak punya 3 orang
tidak punya 4 orang
punya
punya
4 orang
3 orang
tidak punya 3 orang
tidak punya 3 orang
I 21 m2 bata semen 3m 6
Kesimpul an 21 m2 tembok keramik 3m 1 kamar -
79
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
18. 19. 20. 21.
22.
23.
24.
25.
Keleluasaan anak bermain di tidak tidak tidak tidak tidak dalam rumah leluasa leluasa leluasa leluasa leluasa Frekuensi seringnya anak kadangkadangsering kadang- kadangbermain di dalam rumah kadang kadang kadang kadang Adanya ruang belajar untuk tidak ada tidak ada tidak tidak anak ada ada ada Luas kamar tidur 4 m2 5 m2 4 m2 4 m2 Kenyamanan untuk tidur di tidak tidak cukup tidak tidak dalam rumah nyaman nyaman nyaman nyaman nyaman Luas dapur 2 m2 2 m2 3 m2 2 m2 2 m2 Keleluasaan memasak di tidak tidak cukup tidak tidak dalam rumah leluasa leluasa leluasa leluasa leluasa Keleluasaan anggota keluarga tidak tidak leluasa cukup tidak berkumpul di dalam rumah leluasa leluasa leluasa leluasa Luas kamar mandi 3 m2 3 m2 3,5m2 3 m2 3 m2 Kecukupan ruang untuk MCK tidak tidak cukup cukup tidak di dalam rumah cukup cukup cukup Keberadaan ruang untuk tidak ada tidak ada tidak tidak fasilitas bermain anak di ada ada ada dalam rumah Keberadaan ruang sosialisasi tidak ada tidak ada ada tidak antar anggota keluarga di ada ada dalam rumah Jumlah anak yang dimiliki 2 1 2 4 3 Frekuensi seringnya anggota tidak tidak kadangtidak tidak keluarga sakit pernah pernah kadang pernah pernah Kecukupan sinar matahari tidak cukup cukup cukup cukup dapat masuk rumah cukup Intensitas lamanya sinar 3 jam 3 jam 3 jam 4 jam 3 jam matahari masuk ke dalam rumah Kebenaran pernyataan bahwa tidak benar benar tidak benar asap dapur memenuhi benar benar ruangan lain ketika memasak Kebenaran pernyataan bahwa benar benar tidak tidak benar bau kamar mandi/ WC benar benar tercium dari ruangan lain di dalam rumah Kebenaran pernyataan bahwa benar tidak tidak tidak benar perabotan rumah tangga benar benar benar menutupi sebagian besar luas lantai rumah Tempat diletakkannya dalam dalam dalam dalam dalam perabotan rumah tangga rumah rumah rumah rumah rumah Sumber: Fakta hukum di Perumnas Pucang Sawit RT/ RW 001/ 013 Surakarta
tidak leluasa kadangkadang tidak ada 4 m2 tidak nyaman 2 m2 tidak leluasa tidak leluasa 3 m2 tidak cukup tidak ada
tidak ada
tidak pernah Cukup 3 jam
Benar
Benar
tidak benar
dalam rumah
80
Perumnas Pucang Sawit RT/ RW 001/ 013 Surakarta berisikan deretan rumah tipe 21 yang memiliki luas bangunan 21 meter persegi dengan lebar bangunan 3,5 meter dan panjangnya 6 meter. Perumnas ini bentuk berderet-deret dan saling berhimpit-himpitan serta tidak ada lahan sisa untuk masing-masing rumah dapat merenovasi atau memperluas bangunan rumahnya. Warga perumnas ini pun termasuk dalam kalangan MBR, sehingga dari segi ekonomi mereka juga belum sanggup untuk merenovasi rumahnya. Sampai saat peneliti mengadakan penelitian hukum ini, keadaan Perumnas Pucang Sawit masih merupakan perumahan yang mayoritas rumahnyabertipe 21. Berdasarkan tabel pendapat masyarakat Perumnas Pucang Sawit RT/ RW 01/ 13 Surakarta mengenai kelayakan rumah yang telah diuraikandi atas dapat dijelaskan bahwa : 1. a. Tipe rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta adalah tipe 21. b. Dinding bangunannya terbuat dari tembok. c. Lantainya terbuat dari keramik. d. Jarak dari lantai ke atapnya setinggi 3 m. e. Kamar tidurnya berjumlah 1 kamar. f. Jumlah anggota keluarga yang menempati rumah berkisar antara 3-8 orang per rumah. 2. Para responden merasa tidak nyaman tinggal di rumah seluas yang mereka tempati saat ini. 3. Para responden merasa rumah yang ditempati saat ini tidak sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang menempati 4. Mayoritas responden tidak memiliki ruang tamu di dalam rumah mereka. 5. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu rumah mereka berkisar antara 3-4 orang.
81
6. Para responden merasa bahwa anak mereka tidak leluasa untuk bermain di dalam rumah. 7. Anak para responden dapat bermain di dalam rumah kadang-kadang saja. 8. Para responden tidak memiliki ruang belajar untuk anak mereka. 9. Luas kamar tidurnya adalah 4 m2. 10. Para responden merasa tidak nyaman untuk tidur di dalam rumah tipe 21 tersebut. 11. Luas dapurnya adalah 2 m2. 12. Para responden merasa tidak leluasa untuk memasak di dalam rumah tipe 21 tersebut. 13. Para responden merasa bahwa anggota keluarganya tidak leluasa berkumpul di dalam rumah. 14. Luas kamar mandinya adalah 3 m2. 15. Para responden tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah untuk keperluan Mandi Cuci Kakus (MCK). 16. Para responden tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah untuk fasilitas bermain anak. 17. Para responden tidak memiliki ruang sosialisasi antar anggota keluarga di dalam rumah mereka. 18. Jumlah anak yang dimiliki berkisar antara 2-4 orang anak per masing-masing rumah. 19. Para responden beserta anggota keluarganya tidak pernah sakit selama tinggal di rumah tipe 21 tersebut. 20. Para responden merasa bahwa ruangan dalam rumahnya sudah cukup banyak terkena sinar matahari. 21. Intensitas lamanya sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah adalah 3 jam per hari. 22. Benar bahwa asap dapur memenuhi ruangan lain rumah responden ketika mereka memasak.
82
23. Benar bahwa bau kamar mandi/ WC tercium dari ruangan lain di dalam rumah responden. 24. Para responden merasa bahwa perabotan rumah tangganya tidak memenuhi dan tidak menutupi sebagian besar luas lantai ruangan rumah mereka. 25. Para responden tetap meletakkan perabotan rumah tangganya di dalam rumah. Berdasarkan jawaban responden yang telah diuraikan di atas, jika dikaitkan dengan Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perumnas Pucang Sawit yang merupakan perumahan tipe 21, berdasarkan aturan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 sebenarnya pembangunan rumah tipe 21 ini diperbolehkan dan masih termasuk dalam kriteria RIT. Akan tetapi, harus ada luas lahan efektif seluas antara 72-90 m2. Keberadaan luas lahan efektif ini diperlukan sebab RIT tersebut merupakan cikal bakal Rumah Sederhana Sehat. Jadi, dalam pembangunan RIT ini terdapat pertimbangan bahwa rumah tersebut nantinya dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu dimungkinkan juga dapat memenuhi standar ruang internasional dengan memanfaatkan sisa lahan efektif. Akan tetapi kondisi rumah tipe 21 di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta keadaan rumahnya saling berdempetan antara satu dengan lainnya sehingga tidak terdapat sisa lahan efektif yang dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rumah di di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta tidak masuk dalam kriteria standar RIT yang dapat menjadi Rs Sehat yang tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002. 2. Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
No:
403/Kpts/M/2002 menyatakan bahwa kebutuhan ruang minimal menurut
83
ukuran Standar Minimal adalah 9m2 atau standar ambangnya adalah 7,2 m2 per orang. Hal tersebut dapat dimaksudkan bahwa rumah tipe 21 masih bisa memenuhi standar kebutuhan luas minimal apabila 1 rumah ditempati oleh 2 orang (atau dalam hal ini dapat dimaksudkan untuk ditinggali oleh pasangan baru). Akan tetapi, fakta yang terdapat di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta, 1 rumah tipe 21 tersebut ditempati oleh 3-8 orang per rumah yang menyebabkannya tidak termasuk dalam kriteria ukuran standar dalam Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
No:
403/Kpts/M/2002. 3. Kriteria ukuran minimal pembagian ruang dalam RIT-1 adalah sebagai berikut: a. Ruang Tidur : 3,00 m x 3,00 m b. Serbaguna : 3,00 m x 3,00 m c. Kamar mandi/kakus/cuci : 1,20 m x 1,50 m Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembagian ruang di rumah-rumah Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 tidak masuk dalam kriteria standar Keputusan
Menteri
Permukiman
dan
Prasarana
Wilayah
No:
403/Kpts/M/2002, sebab luas masing-masing ruang dalam rumah masih jauh dari standar minimal yang ditetapkan untuk mendapatkan keleluasaan, kenyamanan dan kesehatan. Berikut adalah rincian keadaan ruangan rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13: a. Luas kamar tidurnya adalah 4 m2 b. Luas dapurnya adalah 2 m2 c. Luas kamar mandinya adalah 3 m2 d. Tidak memiliki ruang tamu e. Tidak ada ruang untuk fasilitas bermain anak f. Tidak ada ruang belajar untuk anak g. Tidak terdapat cukup ruang untuk Mandi Cuci Kakus (MCK) h. Tidak ada ruang sosialisasi antar anggota keluarga
84
4. Dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 dijelaskan bahwa rumah yang sehat harus memiliki: a. Sistem pencahayaan rumah yang efektifnya bisa didapat selama 8 jam dari jam 08.00-16.00. b. Udara yang mengalir masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/ WC. c. Lubang penghawaan keluar tidak mengganggu kenyamanan ruangan kegiatan dalam bangunan. Sedangkan kondisi rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta tidak masuk dalam kriteria rumah sehat di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002. Rinciannya adalah sebagai berikut: a. Intensitas sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah hanya selama 3 jam saja per harinya. b. Ketika memasak, asap dapur memenuhi ruangan lain di dalam rumah. c. Bau dari kamar mandi/ WC tercium dari ruangan lain di dalam rumah. 5. Dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 dijelaskan bahwa Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Ketinggian rata-rata langit-langit rumah adalah 2,80 m. b. Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini akan dibangun.Alternatif jenis rumah yang disarankan untuk Provinsi Jawa Tengah adalah rumah tembok (conblock). c. Lantai yang kering dan mudah dibersihkan.
85
d. Menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan agar ruangan tidak terasa pengap atau sumpek dan tidak menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Berdasarkan fakta yang penulis dapatkan ketika melakukan penelitian, kondisi rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta adalah sebagai berikut: a. Jarak dari lantai ke atap rumahnya setinggi 3 m. b. Dinding bangunannya terbuat dari tembok. c. Lantainya terbuat dari keramik. d. Perabotan rumah tangganya tidak memenuhi dan tidak menutupi sebagian besar luas lantai ruangan rumah karena penghuninya mengusahakan agar di dalam rumahnya tidak terdapat banyak barang dengan cara membeli barang yang benar-benar diperlukan (efisien). Sehingga dapat disimpulkan bahwa rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta masuk dalam standar kriteria layak huni di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 jika didasarkan pada kondisi tersebut. 6. Berdasarkan pada hal-hal yang telah dijelaskan di atas, dapat diuraikan bahwa: a. Penghuni rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta tidak mendapatkan kenyamanan, kelayakan hunian dan lingkungan yang sehat yang seharusnya menjadi hak setiap orang yang diatur dalam pengaturan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. b. Warga yang tinggal di perumahan tersebut tidak mendapatkan haknya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, sebab tidak terdapat fasilitas yang memadai untuk melakukan sosialisasi dan interaksi antar anggota
86
keluarga, anak-anak juga tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk mereka bermain dan belajar di dalam rumah. c. Meskipun warga di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta yang termasuk dalam kategori MBR bisa mendapatkan rumah yang terjangkau dengan keadaan ekonomi mereka, tetapi ternyata keterjangkauan tersebut tidak dapat menjamim terpenuhinya hak mereka untuk mendapatkan tempat tinggal yang sehat.
87
Tabel pendapat masyarakat Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar mengenai kelayakan rumah : Sebelum Renovasi No
Aspek I
II
III
IV
-
-
-
-
1. Alasan renovasi rumah
2. Jarak berapa tahun bisa renovasi rumah 3a. Luas ruang tamu b. Jumlah tamu
Sesudah Renovasi RESPONDEN V I II III IV V a. agar a. agar lebih a. agar a. bangunan a. untuk lebih luas yang memenuhi lebih nyaman b. untuk lama fasilitas nyaman b. agar menambah sudah b. agar rumah ruangan rusak membuat lebih c. agar b. agar nyaman terlihat rumah rumah bersih lebih lebih c. agar bagus layak mendapa dihuni t cukup sinar matahari d. agar rumah sehat dan layak 3 tahun
8 tahun
10 tahun
3 tahun
7 tahun
-
-
-
-
-
4 m2
4 m2
2 m2
5 m2
6 m2
8 m2
12 m2
8 m2
8 m2
9 m2
3 orang
2 orang
3 orang
5 orang
5 orang
5 orang
5 orang
8 orang
5 orang
8 orang
88
a. b. a. b.
yang dapat tertampung di ruang tamu Luas kamar tidur Jumlah kamar tidur Luas dapur Perbedaanyan g dirasakan pada dapur
a. Luas kamar mandi 4a. Luasrumah b. Jumlah anggota keluarga yang menempati rumah c. Dinding bangunan d. Lantai e. Jarak lantaiatap
4 m2
6 m2
4 m2
6 m2
6 m2
6 m2
7,5 m2
4 m2
6 m2
12 m2
1 kamar
1 kamar
1 kamar
1 kamar
1 kamar
4 kamar
3 kamar
3 kamar
2 kamar
3 kamar
2 m2 sempit, tidak leluasa, pengap
4 m2 sempit
2 m2 sempit
2,5 m2
4 m2 tidak nyaman
2,5 m2
12 m2 sangat nyaman
2 m2
3 m2
2 m2
1,5 m2
3 m2
3 m2 sangat leluasa, lebar, asap dapur langsung hilang, lebih nyaman 3 m2
21 m2
21 m2
21 m2
21 m2
21 m2
2 orang
5 orang
5 orang
3 orang
tembok
tembok
tembok
keramik
keramik
3m
3m
-
7,5 m2 lebih luas
3 m2 lebih leluasa
-
4 m2
4 m2
2 m2
9 m2
100 m2
90 m2
72 m2
150 m2
120 m2
4 orang
4 orang
5 orang
5 orang
3 orang
5 orang
tembok
tembok
tembok
tembok
tembok
tembok
tembok
keramik
keramik
keramik
keramik
keramik
keramik
keramik
keramik
3m
2,75 m
3m
4m
3,5 m
3m
4m
5m
Sumber: Fakta hukum di Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar
89
Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar ini tadinya berisikan deretan rumah tipe 21 yang memiliki luas bangunan 21 meter persegi, kemudian lebar bangunannya 3,5 meter dan panjangnya 6 meter. Perumahan ini juga merupakan rumah dengan type 21/70, yang artinya luas lahannya70 meter persegi dengan rumah berukuran 21 meter persegi, jadi masih memiliki lahan sisa yang dapat digunakan untuk merenovasi rumah. Saat ini, sebagian besar warganya sudah merenovasi rumahnya menjadi rumah yang lebih layak dan nyaman untuk ditempati dengan memanfaatkan luas lahan yang masih tersisa dan juga dengan cara membangunnya menjadi rumah berlantai dua. Keadaan perekonomian sebagian besar warga Perumahan Manggeh ini sudah tidak tergolong dalam kategori MBR karena keadaan perekonomian mereka sudah berkecukupan dengan penghasilan rata-rata di atas Rp 2.500.000,00 per bulan. Berdasarkan tabel pendapat masyarakat Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar mengenai kelayakan rumah yang telah diuraikan di atas dapat dijelaskan bahwa : 1. Responden I awalnya membeli rumah dengan tipe 21, kemudian pada kurun waktu 3 tahun, responden tersebut mampu merenovasi rumahnya menjadi seluas 100 m2. Alasannya merenovasi rumahnya yaitu agar rumahnya menjadi lebih nyaman, terlihat lebih bersih, mendapat cukup sinar matahari dan agar rumahnya menjadi lebih sehat dan layak. Penghuni rumah tersebut mengalami perubahan jumlah, dari yang tadinya 2 orang kemudian menjadi 4 orang, yaitu 2 anak dari responden. Dari segi struktur rumah responden sendiri, ada yang mengalami perubahan dan ada juga yang tidak mengalami perubahan. Bagian rumah yang tidak mengalami perubahan yaitu pada dinding bangunan yang tetap tembok
dan lantai bangunan yang tetap berupa keramik. Sedangkan
bagian rumah yang mengalami perubahan yaitu sebagai berikut : a. Jarak dari lantai ke atap rumah yang tadinya 3 m ditinggikan menjadi 4 m. b. Luas ruang tamu yang awalnya 4 m2 diperluas menjadi 8 m2.
90
c. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu pun berubah, dari yang awalnya hanya bisa menampung 3
orang
tamu,
sekarang
dapat
menampung sebanyak 5 orang tamu. d. Luas kamar tidur yang tadinya 4 m2 diperluas menjadi 6 m2. e. Selanjutnya jumlah kamar tidur yang awalnya hanya 1 kamar, saat ini sudah ditambah menjadi 4 kamar. f. Luas dapurnya yang tadinya 2 m2 kemudian diperluas menjadi 3 m2. g. Perbedaan yang dirasakan oleh responden I pada dapurnya saat sebelum dan sesudah renovasi yaitu awalnya sempit, tidak leluasa dan pengap, setelah direnovasi menjadi sangat leluasa, lebar, asap dapur langsung hilang, lebih nyaman. h. Luas kamar mandi yang tadinya seluas 2 m2 direnovasi menjadi 3 m2. 2. Responden II awalnya membeli rumah dengan tipe 21, kemudian pada kurun waktu 8 tahun, responden tersebut mampu merenovasi rumahnya menjadi seluas 90 m2. Alasannya merenovasi rumahnya yaitu agar lebih luas, untuk menambah ruangan dan agar rumahnya menjadi lebih bagus. Penghuni rumah tersebut tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sejumlah 5 orang. Dari segi struktur rumah responden sendiri, ada yang mengalami perubahan dan ada juga yang tidak mengalami perubahan. Bagian rumah yang tidak mengalami perubahan yaitu pada dinding bangunan yang tetap tembok dan
lantai
bangunan yang tetap berupa keramik. Sedangkan bagian rumah yang mengalami perubahan yaitu sebagai berikut : a. Jarak dari lantai ke atap rumah yang tadinya 3 m ditinggikan menjadi 3,5 m. b. Luas ruang tamu yang awalnya 4 m2 diperluas menjadi 12 m2. c. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu pun berubah, dari yang awalnya hanya bisa menampung 2
orang
tamu,
sekarang
menampung sebanyak 5 orang tamu. d. Luas kamar tidur yang tadinya 6 m2 diperluas menjadi 7,5 m2.
dapat
91
e. Selanjutnya jumlah kamar tidur yang awalnya hanya 1 kamar, saat ini sudah ditambah menjadi 3 kamar. f. Luas dapurnya yang tadinya 4 m2 kemudian diperluas menjadi 7,5 m2. g. Perbedaan yang dirasakan oleh responden II pada dapurnya saat sebelum dan sesudah renovasi yaitu awalnya sempit, setelah direnovasi menjadi lebih luas. h. Luas kamar mandi yang tadinya seluas 3 m2 direnovasi menjadi 4 m2. 3. Responden III awalnya membeli rumah dengan tipe 21, kemudian pada kurun waktu 10 tahun, responden tersebut mampu merenovasi rumahnya menjadi seluas 72 m2pada lantai pertama dan juga dikembangkan menjadi rumah berlantai dua. Alasannya merenovasi rumahnya yaitu agar lebih terasa nyaman. Penghuni rumah tersebut tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sejumlah 5 orang. Dari segi struktur rumah responden sendiri, ada yang mengalami perubahan dan ada juga yang tidak mengalami perubahan. Bagian rumah yang tidak mengalami perubahan yaitu : a. Dinding bangunannya tetap tembok. b. Lantai bangunannya tetap berupa keramik. c. Jarak dari lantai ke atap rumah tidak ditinggikan, sehingga tetap 3 m. d. Luas kamar tidur tetap 4 m2. Sedangkan bagian rumah yang mengalami perubahan yaitu sebagai berikut: a. Luas ruang tamu yang awalnya 2 m2 diperluas menjadi 8 m2. b. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu pun berubah, dari yang awalnya hanya bisa menampung 3
orang
tamu,
sekarang
dapat
menampung sebanyak 8 orang tamu. c. Selanjutnya jumlah kamar tidur yang awalnya hanya 1 kamar, saat ini sudah ditambah menjadi 3 kamar. d. Luas dapurnya yang tadinya 2 m2 kemudian diperluas menjadi 3 m2.
92
e. Perbedaan yang dirasakan oleh responden III pada dapurnya saat sebelum dan sesudah renovasi yaitu awalnya sempit, setelah direnovasi menjadi lebih leluasa. f. Luas kamar mandi yang tadinya seluas 2 m2 direnovasi menjadi 4 m2. 4. Responden IV awalnya membeli rumah dengan tipe 21, kemudian pada kurun waktu 3 tahun, responden tersebut mampu merenovasi rumahnya menjadi seluas 150 m2, akan tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi pada luas ruangan awal di rumah tersebut dikarenakan Responden IV merenovasi rumahnya menjadi rumah berlantai dua, sehingga luas ruangan di lantai pertama tetap dibiarkan seperti semula tanpa perubahan. Alasannya merenovasi rumahnya karena bangunan yang lama sudah rusak dan agar rumah lebih layak dihuni. Penghuni rumah tersebut tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sejumlah 3 orang. Dari segi struktur rumah responden sendiri, ada yang mengalami perubahan dan ada juga yang tidak mengalami perubahan. Bagian rumah yang tidak mengalami perubahan yaitu : a. Dinding bangunannya tetap tembok. b. Lantai bangunannya tetap berupa keramik. c. Luas kamar tidur tetap 6 m2. d. Luas dapur tetap 2,5 m2, sehingga tidak ada perubahan yang dirasakan oleh responden IV pada dapurnya sebab luas dapur memang tidak ditambah. e. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu tetap 5 orang tamu. Sedangkan bagian rumah yang mengalami perubahan yaitu sebagai berikut: a. Jarak dari lantai ke atap rumah yang tadinya 2,75 m ditinggikan menjadi 4 m. b. Luas ruang tamu yang awalnya 5 m2 diperluas menjadi 8 m2. c. Selanjutnya jumlah kamar tidur yang awalnya hanya 1 kamar, saat ini sudah ditambah menjadi 2 kamar.
93
d. Luas dapurnya yang tadinya 4 m2 kemudian diperluas menjadi 7,5 m2. e. Luas kamar mandi yang tadinya seluas 1,5 m2 direnovasi menjadi 2 m2. 5. Responden V awalnya membeli rumah dengan tipe 21, kemudian pada kurun waktu 7 tahun, responden tersebut mampu merenovasi rumahnya menjadi seluas 120 m2 dengan membeli 2 kavling tanah. Alasannya merenovasi rumahnya yaitu agar rumahnya menjadi lebih nyaman dan untuk memenuhi fasilitas. Penghuni rumah tersebut mengalami perubahan jumlah, dari yang tadinya 4 orang kemudian menjadi 5 orang, yaitu 3 anak dari responden. Dari segi struktur rumah responden sendiri, ada yang mengalami perubahan dan ada juga yang tidak mengalami perubahan. Bagian rumah yang tidak mengalami perubahan yaitu pada dinding bangunan yang tetap tembok dan lantai bangunan yang tetap berupa keramik. Sedangkan bagian rumah yang mengalami perubahan yaitu sebagai berikut : a. Jarak dari lantai ke atap rumah yang tadinya 3 m ditinggikan menjadi 5 m. b. Luas ruang tamu yang awalnya 6 m2 diperluas menjadi 9 m2. c. Jumlah tamu yang dapat tertampung di ruang tamu pun berubah, dari yang awalnya hanya bisa menampung 5
orang
tamu,
sekarang
dapat
menampung sebanyak 8 orang tamu. d. Luas kamar tidur yang tadinya 6 m2 diperluas menjadi 12 m2. e. Selanjutnya jumlah kamar tidur yang awalnya hanya 1 kamar, saat ini sudah ditambah menjadi 3 kamar. f. Luas dapurnya yang tadinya 4 m2 kemudian diperluas menjadi 12 m2. g. Perbedaan yang dirasakan oleh responden I pada dapurnya saat sebelum dan sesudah renovasi yaitu awalnya tidak nyaman, setelah direnovasi menjadi sangat nyaman. h. Luas kamar mandi yang tadinya seluas 3 m2 direnovasi menjadi 9 m2.
94
Berdasarkan jawaban responden yang telah diuraikan di atas, jika dikaitkan dengan Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perumahan ManggehRT/RW 04/13 Lalung Karanganyar awalnya merupakan perumahan tipe 21 dengan luas lahan 70 m2. Beberapa tahun berselang, disesuaikan dengan keadaan perekonomian warganya, lahan sisa yang belum dibangun rumah tersebut kemuadian oleh pemiliknya digunakan untuk memperluas rumahnya dengan menghabiskan lahan sisa rumah dan ada juga yang merenovasi rumahnya menjadi rumah berlantai dua. Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya Perumahan Manggeh tersebut merupakan perumahan dengan luas bangunan awal yang berstandar RIT yang kemudian dikembangkan menjadi Rs Sehat oleh pemiliknya. 2. Alasan para responden di Perumahan Manggeh merenovasi rumahnya yaitu : a. Agar menjadi lebih nyaman b. Agar rumahnya menjadi rumah sehat c. Agar rumahnya lebih layak dihuni 3. Luas ruangan-ruangan di rumah para responden pun sudah memenuhi standar Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) yang diatur dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002. 4. Standar minimum pemenuhan ruang 9 m untuk per orang sudah terpenuhi pada rumah-rumah di Perumahan Manggeh. 5. Responden di Perumahan Manggeh sudah mendapatkan standar kenyamanan, kelayakan dan lingkungan sehat dari hasil renovasi rumahnya sesuai dengan standar ketentuan Rs Sehat. Selain hal tersebut, hak dasar masing-masing individu atas tempat tinggal yang sehat juga sudah tercapai untuk warga Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar. 6. Hak dasar warga Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang sehat terpenuhi dan tercapai
95
setelah mereka merenovasi rumahnya sesuai
dengan
standar
yang
dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) dan aturan yang mengatur pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat lainnya. Berdasarkan hasil penelitian di atas, kondisi Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Rumah-rumah di Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta adalah rumah tipe21, yang berarti luas bangunannya 21 meter persegi dengan lebar bangunan 3,5 meter dan panjangnya 6 meter. Perumnas ini bentuk berderetderet dan saling berhimpit-himpitan serta tidak ada lahan sisa yang efektif untuk masing-masing rumah dapat merenovasi atau memperluas bangunan rumahnya. 2. Dinding bangunannya terbuat dari tembok. 3. Lantainya terbuat dari keramik. 4. Jarak dari lantai ke atapnya setinggi 3 m. 5. Kamar tidurnya berjumlah 1 kamar. 6. Jumlah anggota keluarga yang menempati rumah berkisar antara 3-8 orang per rumah. 7. Luas kamar tidurnya adalah 4 m2. 8. Luas dapurnya adalah 2 m2. 9. Luas kamar mandinya adalah 3 m2. 10. Intensitas lamanya sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah adalah 3 jam per hari. Penjabaran tentang kondisi tersebut menggambarkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat),
96
Perumnas Pucang Sawit RT/RW 01/13 Surakarta termasuk kriteria perumahan yang tidak sehat dan tidak layak huni. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian di atas, kondisi Perumahan ManggehRT/RW 04/13 Lalung Karanganyar dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Rumah-rumahnya memiliki tipe 21 dengan luas lahan 70 m2. Beberapa tahun berselang, disesuaikan dengan keadaan perekonomian warganya, lahan sisa yang belum dibangun rumah tersebut kemudian oleh pemiliknya digunakan untuk memperluas rumahnya dengan menghabiskan lahan sisa rumah dan ada juga yang merenovasi rumahnya menjadi rumah berlantai dua. Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya Perumahan Manggeh tersebut merupakan perumahan dengan luas bangunan awal yang berstandar RIT yang kemudian dikembangkan menjadi Rs Sehat oleh pemiliknya. 2. Luas ruangan-ruangan di rumah para warga Perumahan ManggehRT/RW 04/13 Lalung Karanganyar sudah memenuhi standar Ketentuan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) yang diatur dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002, karena warganya sudah merenovasi luas ruangan-ruangan tersebut melebihi kriteria ukuran minimal pembagian ruang dalam RIT-1 yang distandarkan sebagai berikut: a. Ruang Tidur : 3,00 m x 3,00 m b. Serbaguna : 3,00 m x 3,00 m c. Kamar mandi/kakus/cuci : 1,20 m x 1,50 m 3. Standar minimum pemenuhan ruang 9 m untuk per orang sudah terpenuhi pada rumah-rumah di Perumahan Manggeh. Penjabaran tentang kondisi tersebut menggambarkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat), Perumahan ManggehRT/RW 04/13 Lalung Karanganyar termasuk dalam kriteria perumahan sehat yang layak huni.
97
Selain fakta hukum di atas, terdapat pula pendapat dari ahli pemerintah yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tentang pengaturan luas minimum tempat tinggal yang layak. Para ahli pemerintah ini tetap menekankan pendapatnya pada pemberlakuan aturan rumah tipe 36. Berikut adalah uraian pendapat masing-masing ahli pemerintah, serta kelebihan dan kekurangan dari pemberlakuan tipe rumah tersebut : 1. H. Hasanuddin AF a. Tipe rumah yang prospektif adalah, yang pertama, rumah yang dihuni oleh suami istri. Islam mengajarkan bila terjadi ketidakharmonisan antara suami istri yang penyebabnya datang dari pihak istri, dalam istilah fikihnya nusyuz, pihak suami diperintahkan untuk pisah ranjang atau pisah tempat tidur dengan istrinya. Manakala nasihat yang diberikan suami tidak diindahkan oleh istrinya. Bagaimana bisa pisah ranjang, tempat tidur jika tipe rumahnya adalah di bawah 36. b. Kedua, rumah suami istri yang telah memiliki anak. Islam mengajarkan bahwa bila anak telah mencapai usia 7 tahun apa lagi bila satu laki-laki dan satu perempuan maka orang tua diperintahkan untuk memisahkan tempat tidur mereka. Dalam kondisi seperti ini, tipe rumah yang penghuninya suami istri plus 2 anak minimal harus memiliki tiga kamar tidur, alias tipe rumah paling sedikit 45 m². c. Islam mengajarkan pada orang tua untuk mendidik anaknya sedini mungkin terutama menyangkut pendidikan agamanya, Nabi SAW mengajarkan agar orang tua memerintahkan anak yang telah mencapai usia 7 tahun untuk melaksanakan salat wajib yang lima waktu. Hadist Nabi ini mengisyaratkan seyogyanya rumah orang Muslim harus memiliki satu kamar khusus ruang salat, ini berarti tipe rumah yang penghuninya suami istri plus minimal 2 anak harus memiliki 3 kamar tidur plus 1 kamar khusus ruang salat alias tipe rumah paling sedikit ukuran 50 m².
98
d. Sehingga kesimpulannya, tipe rumah yang prospektif dalam perspektif Islam adalah rumah yang memiliki ukuran minimal 50m². Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman masih di bawah standar minimal tipe rumah yang prospektif menurut pandangan Islam. 2. Aca Sugandhy a. Pada awal 1950-an,founding father, penguasa kita yang pertama telah mengadakan kongres perumahan. Itu syarat minimal untuk membangun rumah layak huni adalah minimal 45m² sampai 50m² untuk satu kepala keluarga dengan hunian 5 jiwa yang kemudian karena pertimbangan ekonomi
saja, dengan
mengorbankan
pertimbangan
teknis
yang
sebetulnya menjadi tidak layak huni, secara sadar telah mengembangkan tipe 18, tipe 21, dan tipe 27, meskipun sebagai rumah tumbuh, tetapi kenyataannya banyak yang dihuni 5 jiwa atau lebih. b. Bahwa tipe yang waktu itu dikembangkan terkenal dengan nama RSS yang
pada
akhirnya
untuk
memenuhi
supaya
layak
huni
dia
mengembangkan luasan itu sendiri dan menjadi tambal sulam karena biasanya bahan bangunan sudah tidak ada lagi sejak dibangun semula karena pabriknya sudah tutup. Atau juga malahan ukurannya karena itu juga masalah tidak standar, genting, keramik, ubah-ubah terus, dan itu mestinya juga harusnya ada kajian-kajian dalam rangka bagaimana menurunkan harga bangunan rumah itu dengan ukuran-ukuran yang standar dan bahan bangunan yang setempat. c. Kemudian dalam perkembangannya akhirnya mencoba melihat secara sosial, terjangkau, dan layak huni. Maka dari RSSS itu menjadi rumah sederhana sehat, sederhana tetapi sehat dalam arti perkapita 9m². d. Sebetulnya operasionalnya apapun namanya secara hukum harus mengikat. Jadi tidak setuju adanya angka yang mengikat. Tetapi dari pengalaman kita menjadi terombang-ambing, menterjemahkan layak huni
99
dan sejahtera dan terjangkau itu. Padahal secara teknis dari sudut agama dan sebagainya memang minimal perkapita itu harus sembilan atau sepuluh meter persegi. Jadi 36 meter persegi itu adalah minimal, jika belum mencapai harus mencapai itu, jika yang lebih silakan berdasarkan kemampuan dari masyarakat itu. e. Bahwa memang sebetulnya dalam rangka menerjemahkan amanat UUD 1945 dan dikaitkan dengan pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 telah terjebak pada analisis ekonomi saja mengenai keterjangkauan. Jadi, asal dapat mencicil, rakyat silakan nikmati. Apakah memang layak untuk dihuni secara sehat, itu urusan belakangan. f. Ahli sependapat dengan Pemerintah dan berkeyakinan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Perumahan tidak sedikit pun mengandung unsur merugikan secara konstitusional bagi anggota masyarakat Indonesia, sehingga apa yang disampaikan oleh Pemohon tidak terbukti. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 mengenai luas lantai rumah paling sedikit 36m² merupakan penguatan standar yang harus dipegang dan mengikat secara hukum. Bagaimana penerjemahan pelaksanaannya, nanti di dalam peraturan pemerintah. 3. Yusril Ihza Mahendra a. Pemohon
perorangan,
tidak
menjelaskan
apakah
kerugian
konstitusionalnya dengan berlakunya norma Pasal 22 ayat (3) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011, melainkan mengemukakan bahwa mereka adalah pekerja dengan penghasilan rendah di bawah dua juta rupiah perbulan, sehingga dengan mengingat asumsi bahwa harga rumah saat ini dengan luas bangunan 36 meter persegi adalah seratus tiga puluh lima juta rupiah, maka mereka tidak mungkin mampu membeli atau membangun rumah dengan harga seperti itu. b. Pemohon asosiasi adalah kelompok para pengembang perumahan dan permukiman, yang menyebutkan bahwa para anggotanya telah bertekad
100
untuk membangun rumah murah seharga 25 juta rupiah, mungkin memerlukan ukuran rumah yang Iebih kecil dari 36 meter persegi sebagaimana norma yang diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011. c. Perhitungan
kemampuan
ekonomis
dikaitkan
dengan
pendapatan
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebagaimana dikemukakan oleh para Pemohon mungkin ada benarnya, jika dikaitkan dengan kemampuan mereka membeli atau membangun rumah dengan ukuran minimal 36 meter persegi, namun hal itu tidaklah berkaitan langsung dengan norma Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, dan juga tidaklah secara nyatanyata, aktual dan spesifik telah merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. d. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, sebagaimana telah Ahli kutipkan, memuat norma yang menyatakan bahwa luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 meter persegi. Norma ini tidaklah dapat dipahami apa maksudnya, kecuali kita melakukan penafsiran sistematik dengan mengaitkan norma ini dengan norma pasal-pasal sebelumnya dalam Undang-Undang tersebut, sehingga membentuk sebuah pemahaman yang utuh. luas lantai rumah tunggal dan rumah deret sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (3) itu haruslah dipahami konteksnya dengan norma Pasal 18 huruf f yang berisi perintah kepada Pemerintah kabupaten dan kota untuk menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerahnya masing-masing. Bahwa rumah yang harus dibangun dengan ukuran paling sedikit 36 meter persegi tersebut adalah rumah tunggal dan rumah deret, yakni rumah yang dibangun di atas tanah sebagai
101
bangunan, baik tunggal maupun berderet, bersambung dinding satu dengan lainnya. e. Ada MBR yang mampu membeli rumah tunggal atau rumah deret dengan ukuran minimal 36 meter persegi dengan harga yang satu lebih murah dibanding yang lain. Atau jika tidak mampu membeli salah satu dari dua jenis rumah tersebut, mereka dapat membeli rumah susun yang harganya tentu akan lebih murah lagi dibandingkan dengan rumah tunggal dan rumah deret, apalagi dengan ukuran minimal yang tidak dibatasi. Dengan norma-norma yang dipahami secara utuh sebagaimana penulis kemukakan ini, maka semua MBR diperkirakan akan dapat memiliki rumah sederhana, baik rumah tunggal dan rumah derat yang ukuran minimalnya adalah 36 meter persegi, atau memiliki rumah susun yang ukurannya dapat lebih kecil lagi dari 36 meter persegi. 4. Yusuf Yuniarto a. Tidak semua bangunan gedung untuk tempat tinggal termasuk dalam pengertian rumah, karena berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001, rumah berfungsi ganda, selain tempat tinggal, tetapi juga merupakan sarana pembinaan keluarga, status sosial yang disebutkan dengan cerminan harkat dan martabat penghuninya dan merupakan aset bagi pemiliknya. b. Layak huni mempunyai 3 kriteria utama yaitu: 1) memenuhi persyaratan keselamatan bangunan; 2) memenuhi kecukupan luas minimum dan; 3) menjamin kesehatan bagi penghuninya. c. Persyaratan
keselamatan
bangunan
berhubungan
konstruksi
yang
memenuhi kaidah-kaidah ilmu konstruksi, sehingga jika terdapat suatu hal yang diluar keadaan biasa seperti gampa bumi, angin kencang dan bencana yang lain termasuk kebakaran, bangunan selamat dalam arti tidak rubuh. Kaidah tentang konstruksi diatur lebih rinci dalam Undang-Undang
102
Nomor 28 Tahun 2001 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pelaksanaannya. d. Kebutuhan luas lantai minimum dihubungkan dengan data empiris orang Indonesia,
Pusat
Penelitian
Permukiman
Departemen
(sekarang
Kementerian) Pekerjaan Umum mendapatkan luas lantai minimum untuk kecukupan oksigen penghuni rumah ditemukan angka 9m², (catatan: dengan data empiris besarnya rumah tangga di Indonesia rata-rata 4 jiwa 2 dewasa dan 2 anak-anak. Ditambah dengan kebutuhan lantai untuk ruang pelayanan sebesar 50% maka akan didapat kebutuhan Iuas lantai minimum 40,5 m². Untuk pembangunan rumah secara konstruksi yang lebih efisien menggunakan standar modular pembangunan rumah pembulatan angka kebawah menjadi 36 m², jauh lebih efisien dari pada angka matematis 40,5m² (standar modular menurut SNI terlampir). e. Untuk menunjang kesehatan diru kebutuhan oksigen, penghawaan selain untuk mengalirkan udara segar dalam bangunan rumah, juga aliran udara diperlukan untuk mendinginkan udara ruangan-ruangan didalam rumah. Besarnya bukaan berkisar 20% sampai 30%, sehingga penghuni akan tidak kegerahan. Bukaan dapat mengurangi masuknya asap dari dapur masuk kedalam rumah yang akan mengurangi resiko paru-paru menghirup udara yang tidak bersih. f. Pencahayaan secara alam akan membantu mengurangi kelembaban udara dalam ruangan-ruangan yang mengurangi resiko berkembangnya atau bertahan hidup berbagai bakteri dan jasad renik lainnya. g. Sanitasi yang dapat berupa Iimbah padat dan limbah cair harus segera dibuang keluar dari ruangan dalam rumah karena limbah cair yang tidak terbuang dengan segera juga merupakan sarang berkembang biaknya kuman dan jasad renik penyebab penyakit. Sampah rumah tangga selain sarang berkembangnya bakteri dan jasad renik lainnya, juga menghasilkan
103
bau yang tidak sedap serta mengundang Ialat atau sejenisnya yang merupakan vektor (hewan yang menyebarkan) berbagai penyakit. h. Apabila kecukupan luas minimum kamar tidur dan ruang pelayanan tidak terpenuhi akan berdampak pada: 1) kecukupan oksigen penghuni tidak terpenuhi secara baik, ini berdampak
pada
berbagai
penyakit,
para
ahli
kesehatan
manusia/dokter dapat memberikan penjelasan lebih rinci (hasil berbagai kajian terlampirkan). 2) Menurut Heimstra dan McFarling (1978 menyimpulkan akibat kepadatan bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis sebagai berikut: a) secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain; b) akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat
seperti
meningkatnya
kriminalitas
dan
kenakalan remaja; c) akibat secara psikis antara lain: stres, menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang
membutuhkan,
terutama
orang
yang
tidak
dikenal,
menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugastugasnya pada saat
tertentu,
menumbuhkan
frustrasi
dan
kemarahan, serta pada akhimya akan terbentuk perilaku agresif. 3) Dengan tidak terpenuhinya kecukupan Iuas minimum penghuni akan merasa tidak terangkatnya harkat dan martabat secara sosial (merasa menjadi warga negara terpinggirkan). i. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tempat tinggal yang layak huni serta memenuhi fungsi rumah yang lain diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, tetapi untuk meningkatkan atau mencapai
104
kesejahteraan lahir dan batin dari pemenuhan kebutuhan luas minimum lantai rumah seperti dalam Pasal 22 Undang-Undang harus terpenuhi mengingat kecukupan luas tersebut sudah minimum. Berdasarkan pendapat para ahli pemerintah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan tetap berlakunya luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret seluas 36 m2 memiliki beberapa kelebihan bagi para penghuninya, yaitu : 1. Terpenuhinya hak dasar atas tempat tinggal yang sehat bagi setiap individu. 2. Layak, nyaman dan sehat untuk ditempati keluarga dengan anggota keluarga ayah, ibu dan 2 anak, atau dengan kata lain ditempati oleh keluarga dengan jumlah anggota lebih dari 3 orang penghuni. Adapun yang menjadi kekurangan dari tetap diberlakukannya aturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret seluas 36 m2 initerletak pada mahalnya harga rumah sehingga tidak terjangkau bagi MBR. Faktor penyebab mahalnya harga rumah, sehingga MBR tidak dapat menjangkaunya adalah sebagai berikut : 1. Rumah dijadikan sebagai komoditas perdagangan Saat ini, para pemilik perumahan lebih memilih mengontrakkan dan menjual rumahnya kepada orang lain daripada menempatinya sendiri. Perkembangan teknologi yang telah menjadikan perumahan sebagai komoditas perdagangannya semakin mudah. Banyak iklan jual beli perumahan di media massa yang menawarkan banyak kemudahan bagi para konsumennya, sehingga membuat mereka tertarik membeli rumah dan menjadikannya investasi. Tawaran harga rumah akan naik tahun depan menjadikan konsumen yang ekonominya menengah ke atas berbondongbondong membeli rumah untuk investasi masa depannya. Seharusnya tanah tidak boleh dijadikan sebagai komoditas perdagangan agar harga rumah tidak terus meningkat dan menjadikan kalangan MBR semakin sulit menjangkau harga rumah yang layak yang memenuhi kriteria rumah sehat.
105
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Negara Indonesia hanya 0,5 % (http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbb, diakses tanggal 31 Maret 2016). PBB di Indonesia terlalu rendah jika di bandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju, seperti Negara Jepang, Taiwan dan Australia. Tarif PBB Negara Jepang antara 1,4% hingga 2,1%, Negara Taiwan terendahnya adalah 1% dan tertinggi nya adalah 5,5%, sedangkan Australia menerapkan tarif pajak progresif, dan tariff pajak tertinggi adalah 4% di Victoria (Tasniwati, 2010: 70). Rendahnya persentase PBB ini menyebabkan kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas banyak membeli tanah di beberapa tempat. Meskipun sebenarnya aturan pembatasan kepemilikan tanah itu sendiri sudah ada dan tercantum di dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 6 Tahun 1998 tentang pemberian hak milik atas tanah yang didalamnya terdapat aturan pembatasan tanah agar tidak lebih dari 5 bidang (5000 m2) per orang, akan tetapi pemberlakuan pembatasan kepemilikan tanah tersebut belum dapat terselenggara dengan baik oleh pemerintah. Oleh sebab itu, seharusnya Indonesia juga memberlakukan tarif pajak progresif atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) agar dapat lebih membantu membatasi kepemilikan tanah oleh perseorangan. Maka, jika diambil kesimpulan dari pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dalam penulisan hukum ini, konstruksi hukum pemenuhan ruang yang layak untuk tempat tinggal harus tetap mempertimbangkan penerapan tujuan hukum yang berupa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Di dalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 96). Dalam mempertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, yang oleh Roscoe Pound dibedakan menjadi kepentingan pribadi, kepentingan publik dan kepentingan sosial.
106
Dalam usaha mencapai tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ini, apabila hanya keadilan saja yang terlalu dikedepankan, maka akan sulit untuk terciptanya peraturan yang bersifat umum. Untuk dapat menetapkan peraturan yang bersifat umum, rasa keadilan masyarakat sedikit banyak harus dikorbankan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 97). Berikut penulis jabarkan satu persatu terkait pertimbangan dalam menerapkan masing-masing tujuan hukum dalam penulisan hukum ini : 1. Keadilan Terdapat dua teori keadilan yang dapat dikaji berhubungan dengan pengambilan ratio decidendi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 , yaitu teori keadilan hukum (legal justice)dan teori keadilan John Rawls. Teori keadilan hukum (legal justice)menyatakan bahwakeadilan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Keadilan hukum adalah keadilan menurut hukum positif yang berlaku (Rifyal Ka’bah, 2006: 59). Berdasarkan teori keadilan hukum (legal justice), pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tersebut baru bisa dikatakan adil jika didasarkan pada aturan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 serta Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/Kpts/M/2002. Teori keadilan menurut John Rawls menyatakan bahwa salah satu tujuan keadilan adalah untuk menciptakan keadilan utilitarianisme yang berarti bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. 2. Kepastian hukum Menurut Yance Arizona, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas
107
dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma(AFP Dadi, http://e-journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf,
diakses
tanggal
15
November 2015). Asas kepastian hukum perlu dipertimbangkan dalam suatu konstruksi hukum sebab kepastian hukum diperlukan untuk mendapatkan pengaturan ukuran luas minimum yang jelas, tepat dan logis untuk mewujudkan ruang yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut L.J. van Apeldoorn, kepastian hukum ini juga dapat menentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang konkret dan mewujudkan perlindungan hukum sehingga dapat menghindarkan para pihak yang bersengketa dari kesewenangan penghakiman (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 98). 3. Kemanfaatan Menurut Hans Kelsen, hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum
dan
perkembangan
ilmu
pengetahuan(AFP
Dadi,
http://e-
journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 15 November 2015). Penerapan dari asas kemanfaatan ini dapat terwujud melalui diutamakannya keterjangkauan rumah bagi daya beli MBR sehingga dapat memberikan manfaat dan memudahkan kalangan MBR mendapatkan tempat tinggal. Penerapan asas kemanfaatan ini sudah dijadikan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012. Meskipun ketiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan harus tetap dipertimbangkan dan diwujudkan dalam penegakan hukum, akan tetapi jika didasarkan pada teori Gustav Radbuch, Gustav menyatakan apabila dalam upaya penegakan hukum dan sistem peradilan terjadi benturan pada penerapan tiga tujuan hukum yang berupa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka aspek yang tetap harus diutamakan adalah aspek keadilan. Hal ini berlaku juga pada
108
pertimbanganhukum Mahkamah Konstitusidalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenailuas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret yang seharusnya tetap mengutamakan pada tercapainya aspek keadilan. Apabila didasarkan pada teori keadilan utilitarianisme menurut John Rawls, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 ini sebenarnya sudah memenuhi aspek keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dikarenakan ratio decidendi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 memang menitikberatkan
pada
tercapainya
asas
kemanfaatan
melalui
terpenuhinya
keterjangkauan daya beli MBR dan bagi sebesar-besarnya kebahagiaan bagi kalangan masyarakat yang kurang beruntung. Hal ini merupakan perwujudan salah satu tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum dan sesuai dengan prinsip negara hukum Indonesia yaitu rechtsstaat yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Akan tetapi, apabila didasarkan pada teori keadilan hukum (legal justice), pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012 tersebut belum dapat memenuhi aspek keadilan karena ratio decidendi putusannya belum memenuhi tercapainya hak-hak konstitusional rakyat Indonesia terutama kalangan MBR untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Padahal hak konstitusional memperoleh tempat tinggal yang layak itu sendiri merupakan perwujudan dari salah satu elemen penting dalam negara hukum yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemenuhan aspek keadilan dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 ini juga tidak boleh mengesampingkan pemenuhan aspek kepastian hukum, sebab tercapainya aspek kepastian hukum akan mewujudkan terpenuhinya aspek keadilan. Berdasarkan pernyataan
tersebut,
maka
konstruksi
hukum
menurut
penulis
yaitu
PertimbanganHukum Mahkamah Konstitusidalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 seharusnya mencantumkan pengaturan mengenailuas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret seluas 9 meter persegi per individu. Hal ini diperlukan untuk menciptakan suatu pengaturan ukuran luas minimum yang jelas, tepat dan logis untuk
109
mewujudkan ruang yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia dan sebagai perwujudan asas kepastian hukum. Pengaturan luas minimum 9 meter persegi per individu ini sesuai dengan standar yang tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) yang dijadikan pedoman untuk membangun Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) di Indonesia, sekaligus mewujudkan terpenuhinya asas keadilan.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 mengenai luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret tidak sesuai dengan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat. Hal ini dikarenakan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 ini lebih mengutamakan aspek keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang mencerminkan tujuan hukum berupa kemanfaatan, sedangkan agar hak dasar atas tempat tinggal yang sehat dapat terpenuhi, maka asas keadilanlah yang seharusnya tercapai. Asas keadilan ini harus diutamakan karena didasari oleh hal-hal sebagai berikut : a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum”, menurut pendapat Azhary dan Hamid S. Attamimi, Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Pada saat perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Moh. Yamin mengatakan, “Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai 110
111
Rechtsstaat. Bahkan Rechtsstaat Indonesia itu ialah rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Pancasila sebagai dasar negara, di dalam sila kelimanya menyatakan bahwa, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. c. Dalam setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. d. Teori keadilan menurut Gustav Radbruch menyatakan bahwa ketika terjadi benturan antara ketiga prinsip dalam tujuan hukum, maka prinsip keadilan lah yang harus menempati posisi pertama dan yang paling utama dari pada dua tujuan hukum. 2.
Pengaturan luas minimum lantai rumah tunggal dan rumah deret harus tetap disesuaikan dengan standar minimal aturan pemenuhan hak dasar atas tempat tinggal yang sehat yang tercantum dalam teori Hak Asasi Manusia(HAM) mengenai ruang yang layak untuk tempat tinggal serta dasar-dasar hukum tempat tinggal yang sehat. Di Indonesia khususnya, aturan mengenai rumah yang sehat untuk tempat tinggal inidiatur dalam Keputusan
Menteri
403/Kpts/M/2002
Permukiman
tentang
Pedoman
dan
Prasarana
Teknis
Wilayah
Pembangunan
No:
Rumah
Sederhana Sehat (Rs Sehat) yang dijadikan pedoman untuk membangun Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Oleh karena itulah, agar dapat mewujudkan ruang yang layak untuk tempat tinggal bagi seluruh rakyat Indonesia, pembangunannya seharusnya mengacu pada pedoman dalam Keputusan
Menteri
403/Kpts/M/2002
Permukiman
tentang
Pedoman
dan
Prasarana
Teknis
Wilayah
Pembangunan
No:
Rumah
Sederhana Sehat (Rs Sehat) yang menyebutkan bahwa kebutuhan ruang minimal untuk mewujudkan rumah yang sehat adalah 9 meter persegi per orang.
112
B. Saran 1.
Mahkamah Konstitusi seharusnya lebih mengupayakan tercapainya asas keadilan dalam membuat pertimbangan hukum suatu putusan, mengingat bahwa pemenuhan asas keadilan yang menjadi tujuan utama negara hukum harus didasarkan pada pemenuhan hak menurut peraturan perundangundangan yang mendasarinya.
2.
Dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 403/Kpts/M/2002
tentang
Pedoman
Teknis
Pembangunan
Rumah
Sederhana Sehat (Rs Sehat), pengaturan standar minimal pemenuhan ruang yang layak adalah seluas 9 meter untuk setiap individu dan tidak terkecuali untuk kalangan MBR. Belum tercapainya pemenuhan ruang minimal yang luasnya 9 meter per individu untuk MBR ini menjadi tanggung jawab yang harus diusahakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus mengupayakan agar seluruh rakyat Indonesia terutama MBR mendapatkan rumah yang layak dan sesuai dengan standar kesehatan yang telah ditentukan dengan memberikan subsidi perumahan ataupun Kredit Perumahan Rakyat (KPR) agar harga rumah dapat lebih terjangkau bagi MBR. 3.
Perlu lebih ditegaskannya lagi pemberlakuan pembatasan kepemilikan tanah 5 bidang (5000 m2) non pertanian bagi tiap orang dan agar aturan tersebut dapat terlaksana dengan baik maka perlu adanya revisi terhadap Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 6 Tahun 1998 tentang pemberian hak milik atas tanah dengan mengubahnya menjadi bentuk undang-undang agar kekuatan hukumnya dapat lebih mengikat.
113
Daftar Pustaka Buku : Ahmad Zaenal Fanani. 2014. Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik). Bandung: Mandar Maju. Hasan Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT. Balai Pustaka. Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press. Johny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia. Karen Lebacqz. 2015. Teori-Teori Keadilan. Bandung: Nusa Media. L.J. van Apeldoorn. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. Majda El Muhtaj. 2013. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Ridwan HR. 2014. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Rifyal Ka’bah. 2006. Legal Justice, Moral Justice dan Social Justice, dalam Pedoman Perilaku Hakim, Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung, Saldi Isra. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Cetakan ke- 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sarwiji Suwandi. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa. Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Urip Santoso. 2014. Hukum Perumahan. Jakarta: Kencana.
114
Jurnal dan Majalah : Ahmad Zaenal Fanani. 2011. “Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim”. Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVII ISBN/ISSN 0215-0247, No. 304 Maret 2011. Centre on Housing Rights and Evictions/ COHRE, Sources No. 4: Legal Resources for Housing Rights: International and National Standards (Geneva: COHRE, 2000). Dapat juga diakses pada www.cohre.org. Damanhuri Fattah. 2013. “Teori Keadilan Menurut John Rawls”. Jurnal TAPIs, Vol.9 No.2, Juli-Desember 2013. Danang Hardianto. 2014. “Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi ISSN 1829-7706, Volume 11 Nomor 2, Juni 2014. David E. Jacobs. 2011. “Environmental Health Disparities in Housing“. Journal of public health S115-S122, v. 101 (Suppl 1), December 2011. Hudi Karno Sabowo. 2013. “Aspek Hukum Pembangunan Perumahan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)”. Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat ISSN : NO. 0854-2031, vol. 10 no. 2, April 2013. Mustafa Bola, dkk. 2015. “Korelasi Putusan Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi (Suatu Studi Tentang Aliran Pemikiran Hukum)”. Hasanuddin Law Review. Vol. 1 No. 1, April 2015.
Karya Ilmiah, Skripsi dan Tesis : Jimmly Asshiddiqie. 2012. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Perpustakaan BPHN. Mohamad Aunurrohim. 2015. Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Nanang Pujo Raharjo. 2010. Dinamika Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Studi kasus: Penghuni Rumah Tipe Kecil Griya Pagutan Indah, Mataram). Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro. Rizal. 2015. Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Bersifat Positive Legislature (Suatu kajian Putusan MK No.102/PUU-VII/2009). Makassar: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
115
Tasniwati. 2010. Tinjauan Peranan Pajak Bumi Dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah Di Kabupaten Sidoarjo. Jakarta: Program Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia.
Dokumentasi Resmi : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X/2012
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/Kpts/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat)
Kuisioner : Fakta hukum di Perumnas Pucang Sawit RT/ RW 001/ 013 Surakarta
Fakta hukum di Perumahan Manggeh RT/RW 04/13 Lalung Karanganyar
Internet : AFP Dadi. 2011. http://e-journal.uajy.ac.id/4157/3/2MIH01327.pdf, diakses tanggal 5 Oktober 2015. Dewi
Nova Wahyuni. 2006. http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2014/02/SDK-7-Perempuan-dan-Perumahan-yang-Layak.pdf, diakses tanggal 17 Oktober 2015.
116
Tim
Tarif Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2016. http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbb, diakses tanggal 30 Maret 2016.
________. 2012. http://www.antaranews.com/print/336714/mk-batalkan-ketentuanluas-rumah-minimal, diakses tanggal 10 Februari 2016.