KONSEP RENCANA MAKRO SOCIAL FORESTRY: KUNCI SUKSES MENUJU SISTEM PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (SPHL). Oleh: Subarudi
RINGKASAN Departemen Kehutanan (Dephut) saat ini sedang menyusun konsep makro social forestry (SF) sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan prioritas ketiga, yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Namun demikian pengertian SF tersebut masih belum dipahami oleh berbagai pihak terkait sehingga keberhasilan dari program tersebut sangat diragukan. Oleh karena tulisan itu mencoba mengkaji konsep makro SF yang terdiri dari: (i) pencarian istilah SF dalam bahasa Indonesia, (ii) konsep makro SF dan faktor-faktor penentunya, dan (iii) strategi penyusunan konsep makro SF. Hasil kajian menunjukkan bahwa Perhutanan Sosial (PS) menjadi istilah yang tepat pengganti kata SF. Konsep makro PS harus seiring dan seirama dengan program kehutanan nasional dan sesuai dengan sistem pengelolan hutan lestari. Strategi penyusunan konsep makro hendaknya tidak diberikan kepada pihak ketiga tetapi dikerjakan secara bersama dengan menggunakan pendekatan manajemen fungsi bagi setiap unit eselon I lingkup Dephut. Peranan dan fungsi PS diyakini saat ini sebagai indikator penentu keberhasilan pengurusan hutan dan jaminan bagi keberadaan Dephut di masa depan. Kata Kunci: Rencana Makro, Social Forestry, dan Pengelolaan Hutan Lestari
PENDAHULUAN Rapat penyusunan Rencana Makro Social Forestry (SF) yang dilaksanakan di ruang Rapat Baplan, Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai 7, Rabu, 20 April 2005 memberikan inspirasi penulis untuk menuangkan segenap pikiran dan gagasan sebagai bahan masukan untuk penyusunan rencana makro tersebut. Dari bahan rapat yang diberikan ada beberapa butir kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan SF, diantaranya: (1) terminologi SF masih diperdebatkan, (2) belum terkoordinasi dan terintegrasu dengan baik antar Eselon I, dan (3) belum tersedia acuan bersama rencana makronya. Memang dalam pelaksanaannya konsep masih diartikan secara “sempit” dan dianggap suatu kegiatan dan bukan merupakan suatu strategi dalam upaya mencapai system pengelolaan hutan lestari (SPHL). Contoh nyata adalah bahwa semua Eselon I sebenarnya sudah melaksanakan kegiatan SF dalam bentuk “hutan kemasyarakatan” dan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), dan pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH). Disamping itu Direktoral Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) telah merancang Rencana Teknis Social Forestry (RTSF) dan sistem informasi manajemen untuk social forestry (SIM-SF) dengan dana yang cukup lumayan besar.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kajian tentang konsep rencana makro SF sangat diperlukan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana konsep rencana makro SF dan bagaimana keterkaitannya dengan SPHL serta strategi apa yang harus dilakukan agar rencana makro tersebut dapat dengan mudah dilaksanakan (applicable) dan diterapkan oleh para pihak (adoptable) serta dapat diterima oleh semua pihak (socially acceptable). Konsep makro SF ini dirasakan sangat strategis ditengah ketergantungan hidup sekitar 48,8 juta orang hidup di lahan hutan negara dan 9,5 juta diantaranya orang miskin (Pusrenhut, 2005). Namun hingga kini pemerintah dan banyak pihak belum menerima kenyataan bahwa banyak masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan. Selama ini masyarakat miskin selalu dikambinghitamkan sebagai perusak hutan. Kajian ini bertujuan untuk: (1) membahas pengganti istilah yang tepat untuk SF, (2) menyusun konsep rencana makro SF, dan (3) merumuskan strategi pelaksanan rencana makro SF.
PENGGANTIAN ISTILAH SF Dalam pembicaraan sehari-hari social forestry seringkali dirancukan dengan istilah tumpang sari (agroforestry) dan hutan kemasyarakatan (community forestry), padahal secara harfiah ketiganya berbeda walaupun tujuannya hampir sama yaitu sama-sama berupaya meningkatkan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam brosur tentang social forestry yang rencananya akan dipublikasikan dan disosialisasikan Departemen Kehutanan istilah social forestry tidak dicarikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sehingga muncul kesan pejabat-pejabat tidak memahami arti sebenarnya tentang social forestry karena ketidak mampuannya untuk menemukan padanan kata social forestry dalam bahasa Indonesia. Menurut Kartasubrata (1991) agroforestry adalah salah satu program dari hutan kemasyarakatan. Sedangkan hutan kemasyarakatan merupakan salah satu subdivisi dari kegiatan perhutanan sosial. Supriadi (1998) telah mereview berbagai literatur tentang perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan dan setuju menggunakan definisi perhutanan sosial yang dikemukan oleh Wiersum (1992) sebagai suatu gerakan atau strategi pengembangan para ahli kehutanan/rimbawan untuk meningkatkan keterlibatan dan tanggung jawab masyarakat lokal secara aktif dalam pengelolaan hutan. Sedangkan hutan kemasyarakatan adalah kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat pedesaan sebagai suatu bentuk mata pencaharian sumber nafkah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hutan kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk kegiatan dari perhutanan sosial. Oleh karena definisi yang diberikan dalam brosur tentang social forestry sebagai program pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dan pemerintah di kawasan hutan negara harus disesuaikan dengan batasan yang tepat karena definisi tersebut lebih mengarah kepada pengertian hutan kemasyarakatan. Dalam tulisan selanjutnya istilah perhutanan social (PS) akan digunakan sebagai padanan kata dari social forestry karena terasa lebih sesuai dari segi harfiah dan makna dari kata tersebut dalam bahasa Indonesia.
KONSEP RENCANA MAKRO PERHUTANAN SOSIAL (PS) Dalam rapat pembahasan rencana makro PS, Litbang juga telah mengingatkan bahwa PS sebenarnya sudah banyak yang dilaksanakan oleh unit-unit eselon I dan pihak lain di luar Departemen Kehutanan (Dephut) sehingga penyusunan rencana makro sebaiknya bukan dari awal lagi. Sudah banyak upaya-upaya nyata untuk pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh masing-masing eselon I sehingga tinggal mengevaluasinya sebagai suatu proses pembelajaran penting dan bahan penyusunan rencana makro. Konsep rencana makro PS ini hendaknya seirama dengan National Forestry Program (NFP) yang akan disusun oleh Badan Planologi (Baplan) dan tidak keluar dari jalur SPHL. Untuk lebih jelasnya konsep rencana makro PS dapat dilihat pada Gambar 1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencapaian SPHL Arah Pergerakan Pengusahaan Hutan Pemberdayaan Masyarakat Penguatan Fungsi Hutan Gambar 1. Konsep Rencana Makro PS Gambar 1 menjelaskan bahwa ada 5 lingkaran penting sebagai suatu sistem dari segala pengelolaan hutan. Inti dari sistem tersebut adalah penguatan fungsi dan manfaat hutan. Inti tersebut diselimuti oleh lingkaran kedua, yaitu pemberdayaan masyarakat. Lingkaran ketiga adalah pengusahaan hutan (bukan hanya bentuk HPH tetapi semua usaha kehutanan) harus tetap berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Lingkaran keempat adalah pencapaian sistem pengelolaan hutan lestari (SPHL) harus menjadi target bagi semua usaha kehutanan. Sedangkan lingkaran terakhir adalah dampak dari SPHL terhadap lingkungan hidup manusia baik secara nasional maupun secara internasional. Arah pergerakan menunjukkan bawa pergerakan yang tepat (baca: ideal) dari sistem itu adalah dari dalam ke luar. Namun dalam kenyataannya di Indonesia pergerakan pengelolaan hutan itu terbalik dari luar ke dalam. Sebagai contoh tekanan masyarakat internasional tentang ecolabelling dan sertifikasi legalitas sumber kayu (log Audit) justru menjadi kelompok penekan terhadap SPHL. Lebih ironis lagi, pemerintah bukannya merespon dengan kembali ke pergerakan awal, tetapi lebih banyak merespon tuntutan tersebut dengan melakukan perubahan yang tanpa arah. Jadi benar kalau dikatakan sektor kehutanan telah melakukan “reformasi tanpa perubahan” terhadap system pengurusan hutannya. Oleh karena ke depan konsep ini sebenarnya tidak hanya cocok untuk pengelolaan PS tetapi juga tepat menjadi konsep SPHL ke depan, sehingga pemerintah harus mulai mereformasi diri dari penyempurnaan visi dan misi serta rencana strategisnya agar upaya mewujudkan SPHL bukan hanya wacana tetapi harus menjadi realita (baca: membumi).
Konsep rencana makro PS ini (Gambar 1) merupakan penjabaran dari Pasal (3) UU No. 41/1999 tentang “penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsiona, (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, social, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari, (c) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahan social dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal”. Sebagaimana pola pengurusan dan pengelolaan hutan mempunyai beberapa persyaratan, diantaranya: (i) dikelola secara professional (profesionally managed), (ii) dapat diterima secara sosial dan (socially acceptable), (iii) ramah lingkungan (environmentally suitable), (iv) layak dikelola secara ekonomi (economically feasible), (v) mudah diterapkan secara teknis (technically applicable), dan (vi) sesuai dengan budaya setempat (culturally adaptable)(Subarudi, 2001), maka pengelolaan PS dapat juga mengikuti persyaratan yang sama dengan pengelolaan hutan lainnya. Oleh karena itu, konsep penyusunan rencana makro PS juga harus mempertimbangkan beberapa faktor penting yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan PS, diantaranya: (1) karakteristik sosial masyarakat, (2) penguatan kelembagaan, (3) system produksi PS, (4) sistem pemasaran PS, dan (5) kriteria dan indikator. Kelima factor tersebut menjadi suatu siklus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem PS yang berkelanjutan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2. Kriteria dan Indikator Karakteristik Sosek Masyarakat Sistem Pemasaran PS Sistem Produksi Sistem Kelembagaan
Gambar 2. Faktor Penentu Keberhasilan Pelaksanaan PS Gambar 2 menunjukkan bahwa identifikasi karakteristik sosial ekonomi masyarakat menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan PS karena berdasarkan pengalaman ‘kegagalan’ semua kegiatan pemberdayaan masyarakat disebabkan pengabaian kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Ini persyaratan utama agar konsep PS diterima oleh masyarakat (socially acceptable). Setelah identifikasi kondisi sosek masyarakat, maka pengenalan kelembagaan dan rencana penguatannya perlu juga dilakukan agar semua rencana makro PS dapat dijalankan secara tepat sesuai dengan tujuannya.
Dari kedua aspek diatas sebenarnya dapat disusun berbagai model produksi PS yang mengacu kepada berbagai parameter produksi seperti kepemilikan lahan, lokasi keberadaan lahan, pedoagroklimat, konservasi tanah dan air, kondisi kelembagaan, komoditi dan pola usaha tanaman, serta kondisi pasar. Hasil perhitungan Penulis menghasilkan sekitar 900 an model-model pengelolaan PS. Sebagai suatu kesatuan ekonomi dari model produksi, model pemasaran PS juga sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan PS. Dimana kedua model (produksi dan pemasaran) tersebut dapat dikatakan sebagai skala ekonomi (economic scale) dari pengelolaan PS. Kegagalan proyek pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan lebih disebabkan karena kegiatan tersebut tidak dirancang dalam skala ekonomi sehingga keberlanjutan dari usaha tersebut hanya dirasakan dalam 1 atau 2 tahun saja setelah itu menghilang ditelan waktu. Faktor terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah penyusunan kriteria dan indikator PS sebagai acuan bahwa pengelolaan PS tidak hanya bersifat sosial semata tetapi juga bersifat ekonomis dan berorientasi kepada pengamanan lingkungan hidup. Penyusunan kriteria dan indikator ini sebagai jawaban bahwa PS merupakan alternatif terbaik dalam konteks pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan sebagai unit pengelolaan hutan terkecil dalam SPHL. Strategi Penyusunan Rencana Makro PS Subarudi (2001) menyatakan bahwa strategi adalah bagaimana menyusun taktik dan langkah agar tujuan bersama dapat dicapai. Demikian juga dengan strategi rimbawan ke depan adalah bagaimana hutan ini dapat diselamatkan secepat mungkin dan mengurangi laju kerusakannya serta mewujudkan hutan sebagai warisan antar generasi. Strategi ini juga dapat diadopsi dalam rangka pelaksanaan rencana makro PS. Brown (2005) menyatakan bahwa dengan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada masyarakat sekitar 160.000 ha/tahun untuk jangka waktu konsesi 10 tahun akan membawa dampak penurunan jumlah pengangguran sebesar 7,2 juta (serapan tenaga kerja 6 orang/ha) dan mampu memberikan pendapatan sebesar US $ 350/hektar serta akan menurunkan jumlah kasus-kasus illegal logging yang ada. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam penyusunan rencana makro PS adalah sebagai berikut: 1.
Baplan harus mengambil inisiatif sebagai koordinator penyusunan rencana makro PS untuk menunjukkan bahwa manajemen birokrasi Dephut benar-benar dilaksanakan karena Baplan sebagai unit yang bertanggung jawab dalam perencanaan kegiatan Dephut. Disamping itu rencana makro PS hendaknya harus seiring dan seirama dengan rencana program kehutanan jangka pendek dan jangka panjang melalui pembuatan Program Kehutanan Nasional (National Forestry Program-NFP).
2.
Masing-masing Eselon I diharapkan melakukan evaluasi terhadap proyek-proyek yang berbau “pemberdayaan masyarakat” dan menyusun konsep PS yang tepat berdasarkan hasil pembelajaran dari kegiatan evaluasi tersebut. Semua Eselon I di Dephut dapat diarahkan dan digerakkan untuk saling bahu membahu membantu Baplan untuk mewujudkan tanggung jawabnya.
3.
Dirjen BPK diharapkan dapat menjadi komando pengumpulan data dan informasi tentang polapola pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan produksi dan apa permasalahannya, sehingga pola-pola pengelolaan hutan bersama masyarakat yang berhasil dapat diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut.
4.
Dirjen RLPS diharapkan dapat menjadi komando pemgumpulan data dan informasi tentang rancangan dan pengelolaan PS karena hampir semua proyek pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit tentunya. Penerapan uji coba model-model PS yang sudah puluhan tahun dilaksanakan merupakan informasi yang sangat berharga untuk penyusunan rencana makro PS.
5.
Dirjen PHKA dapat memberikan data dan informasi tentang pengelolaan Taman Nasional dan areal konservasi yang berbasis masyarakat sebagai upaya nyata pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
6.
Badan litbang kehutanan dengan berbagai pakarnya dapat menjadi "leading team" dalam pembuatan konsep makro PS dengan masukan data dan informasi dari eselon I lainnya dan hasilnya dapat didiskusikan bersama agar rencana makro tersbut dapat diterapkan secara lebih ‘membumi’ dan punya dampak besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan kinerja pengelolaan hutan.
7.
Sekretaris Jenderal melalui Biro Kepegawaian dapat mengalokasikan pegawainya sesuai dengan kualifikasinya yang dibutuhkan untuk penyusunan rencana makro PS, karena memang fungsi Sekjen adalah organizing dan staffing. Biro Kerjasama Luar Negeri dituntut peranannya untuk menjadi koordinator dalam pengumpulan data dan informasi dari semua bantuan proyek “forest for the poverty reduction” yang telah dilaksanakan dan dibiayai oleh negara donor. Biro hukum dan organisasi terus berupaya mengumpulkan aturan-aturan main dalam PS sebagai bahan kajian koneksitas dan ketimpangan antara kebijakan satu dengan yang lainnya serta memberi saran dari aspek legalitas pengelolaan PS secara terpadu.
8.
Rencana makro PS yang telah disusun dapat dikonsultasi publikkan kepada Rimbawan yang bekerja di sektor Swasta, Rimbawan yang ada di Propinsi dan Kabupaten, dan LSM-LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan penguatan kelembagaan masyarakat.
9.
Tindak lanjut dari semua itu adalah pembuatan pedoman umum (dephut), petunjuk pelaksanaan (Dinas kehutanan provinsi), dan petunjuk teknis (Dinas kehutanan kabupaten) untuk menunjukkan bahwa otonomi daerah bukan hanya pelimpahan wewenang, tetapi juga pelimpahan tugas dan tanggung jawab serta tanggung gugat (akuntabilitas publik) di bidang kehutanan.
KESIMPULAN DAN SARAN Mulai saat ini istilah social forestry harus sudah ditinggalkan dan diganti dengan istilah perhutanan social (PS) sebagai suatu ‘gerakan’ pengelolaan hutan bersama masyarakat baik di dalam dan luar kawasan hutan
negara. Perhutanan sosial dirasakan lebih sesuai dari segi harfiah dan makna dari kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Penyusunan konsep rencana makro PS ini hendaknya seiring dan seirama dengan National Forestry Program (NFP) yang akan disusun oleh Badan Planologi (Baplan) dan tidak keluar dari jalur SPHL. Konsep ini melahirkan 5 strata penggerak roda pengurusan dan pengelolaan hutan, yaitu: (i) penguatan fungsi hutan, (ii) pemberdayaan masyarakat, (iii) pengusahaan hutan, (iv) pencapaian sistem pengelolaan hutan lestari dan (v) pengelolaan lingkungan. Konsep penyusunan rencana makro PS juga harus mempertimbangkan beberapa faktor penting yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan PS sebagai suatu system yang berkelanjutan, diantaranya: (1) karakteristik sosial masyarakat, (2) penguatan kelembagaan, (3) system produksi PS, (4) sistem pemasaran PS, dan (5) kriteria dan indikator. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan oleh para pihak dalam penyusunan rencana makro PS harus segera direspon dan ditindak lanjuti. Hal ini telah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing unit eselon I Departemen Kehutanan. Disarankan agar konsep makro PS yang telah disusun dapat dikonsultasipublikkan kepada institusi kehutanan daerah provinsi dan kabupaten serta para pihak yang terkait dengan pelaksanaan PS, termasuk LSM-LSM yang ada di pusat dan daerah.
DAFTAR PUSTAKA Atang, M. 1990. Sistem Agroforestry, Suatu Alternatif dalam Upaya Peningkatan Produktivitas lahan, Penyerapan Tenaga Kerja dan Pengawetan Lahan. Majalah Kehutanan Indonesia, Departemen Kehutanan, Jakarta. Effendi, A. 2000. Forest For People. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi 3/XIII/1999-2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Brown, D. 2005. Natural Resources Future Analysis. Makalah dalam Diskusi dengan Tim Konsultan ITTOP3SE, Tanggal 5 April 2005. Kartasubrata, J. 1991. Kehutanan Masyarakat Dalam Menunjang Penyediaan dan Penganekaragaman Pangan. Makalah dipersiapkan untuk seminar dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia XI Tahun 1991, di Jakarta, 11-12 Oktober 1991. Kompas. 2005. Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Minim Perhatian. Harian Kompas, tanggal 12 April 2005. Nasendi, B.,dkk.1996. Evaluasi Applikasi Studi Diagnostik Sosial Ekonomi Kehutanan. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
Pusrenhut. 2005. Kerangka Acuan Pembuatan Konsep Rencana Makro Sosial Forestry. Pusat Perencanaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan, Jakarta. Subarudi. 2000. PMDH: Konsepsi dan Aktualisasi. Info Sosial Ekonomi, Volume 1 Nomor 1, November 2000. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan Bogor. Subarudi. 2001. Pola Pengurusan Hutan Masa Depan. Majalah Duta Rimba Nomor: 258/XXV-Desember 2001. Supriadi, R. 1998. Forestry and Rural Development: An Overview. Majalah Eboni, Nomor 3 Tahun 1998. Balai Penelitian Ujuang Pandang