KONSEP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA: STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN BUNG HATTA DAN SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
YUNI BUDIAWATI NIM. 1110046100028
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1436 H.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Desember 2014
Yuni Budiawati
ABSTRAK YUNI BUDIAWATI, NIM: 1110046100028, Konsep Pembangunan Perekonomian Indonesia: Studi Komparatif Pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara. Konsentrasi Perbankan Syariah, Prodi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 1436 H/2014 M. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis konsep pembangunan ekonomi yang dirancang oleh Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara pada masa peralihan, apa yang menjadi fokus keduanya dalam pembangunan ekonomi, menganalisis persamaan dan perbedaan konsep keduanya serta menganalisis pemikiran keduanya, dilihat dari sudut pandang prinsip mashlahah ekonomi Islam, yang diulas secara objektif, komprehensif sehingga dapat ditemukan konsep yang dapat menjadi gambaran perekonomian nasional saat ini. Penelitian ini berupa kepustakaan (library research) dengan menggunakan data dan analisa deskriptif, dari sumber primer maupun sekunder. Metode yang digunakan adalah content analysis dan komparatif. Kesimpulannya adalah perencanaan pembangunan ekonomi keduanya memiliki kesamaan dalam konsep ideologis, pendidikan, infrastruktur, dan transmigrasi meskipun ada perbedaan lainnya sesuai dengan posisi mereka saat itu. Sedangkan pemikiran keduanya secara substansi selaras dengan konsep ekonomi Islam, namun ada perbedaan pendapat mengenai bunga bank yang dianggap tidak sama dengan riba, yang perlu dikritisi. Kata kunci
:Pembangunan ekonomi, masa peralihan, prinsip maslahah, ekonomi Islam, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara.
Pembimbing : Djaka Badranaya, ME. Daftar Pustaka : Tahun 1950 s.d Tahun 2012
Kata Pengantar Puji Syukur pada Sang Maha Pengasih dan Sang Pemberi Rahmat Allah SWT, yang telah mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat Salam penuh rindu tersampaikan pada Baginda Muhammad SAW, yang telah mengeluarkan kami dari kehidupan yang penuh kebodohan. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Namun, keberhasilan ini tidak dapat penulis usahakan sendiri, banyak pihak yang telah membantu kelancaraan dalam penulisan skripsi ini, Maka penulis ingin berterimakasih kepada: 1. Bapak JM. Muslimin, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH., selaku Ketua Prodi Muamalat, dan Bapak Abdur Rouf, MA. selaku Sekretaris Prodi Muamalat beserta jajaran yang telah memberikan arahan dalam mempermudah administratif penulis. 3. Bapak Djaka Badranaya, ME., selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing serta memberi masukan, dukungan dalam penulisan skripsi ini. 4. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang dengan tulus memberikan ilmu yang begitu berharga kepada penulis selama kuliah, khususnya kepada Bapak Dr. Anwar Abbas, MM, M.Ag. Semoga Allah meninggikan derajat semuanya.
vi
5. Staf perpustakaan Fakultas dan Universitas, yang menyediakan buku-buku yang bermanfaat bagi penulis dan menjadi inspirasi ilham bagi penulis. 6. Orangtua tercinta Ayahanda Budianto dan Ibunda Misnawati. Adik-adik penulis Dwi Setiabudi, Bella Pertiwi, dan Ihsan Budiman yang telah menjadi guru kehidupan bagi penulis. Terimakasih atas semua dukungan dan doa kalian. 7. “Para Sahabat” Melianah, Nur Lailatus Sholihah, Iin Hamidah, Nida Khoiriyah, PS-D angkatan 2010, para “Laskar CABE” terimakasih atas dukungannya. 8. Keluarga besar UKM Bahasa FLAT khususnya “FLAWLESS”, „Ikatan Alumni Darussalam‟ (IKADA) Jabodetabek-Banten, COINS “Fighters”!, KOLIBET (Komunitas Literasi Alfabet), Komunitas Musik Gesek Kamar Wina. Terimakasih telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis. Terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari, skripsi ini jauh dari sempurna, maka penulis akan terbuka atas segala kritik dan saran. Semoga segala hal baik yang kita kerjakan mendapat ridha dari Allah dan mendapat ampunan atas segala khilaf. Salam Berkah! Jakarta, 23 Desember 2014
Yuni Budiawati vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ........................................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv ABSTRAK .............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6 C. Pembatasan ................................................................................ 6 D. Perumusan Masalah ................................................................... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8 F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 9 G. Metode Penelitian ...................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan ................................................................ 17
BAB II
Pembangunan Ekonomi dan Ekonomi Indonesia ..................... 19 A. Konsep Pembangunan Ekonomi Konvensional ....................
19
1. Pengertian Pembangunan Ekonomi.................................... 19 2. Tujuan Pembangunan Ekonomi ......................................... 20 B. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam .................................... 23 1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Islam .......................... 25 2. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam................................. 25 viii
C. Perkembangan Pemikiran Ekonomi di Indonesia ................... 28 1. Membangun Ekonomi Nasional (1945-1959) ................... 28 2. Ekonomi Terpimpin (1959-1966) ....................................... 33 3. Paruh Pertama Orde Baru (1966-1982) .............................. 36 4. Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (1982-1997) ........... 38 5. Krisis dan Pemulihan (1977-2004) ..................................... 41 6. Pemulihan dan Pengembangan (2004-2009) ..................... 41 BAB III
Konsep Pembangunan Perekonomian Indonesia ...................... 43 A. Riwayat Singkat ........................................................................ 43 1. Mohammad Hatta ................................................................ 43 2. Syafruddin Prawiranegara ................................................... 52 B. Konsep Pembangunan Ekonomi .............................................. 58 1. Mohammad Hatta ................................................................ 58 2. Syafruddin Prawiranegara ................................................... 71 C. Relevansi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dari Sudut Ekonomi Islam.....
89
1. Pendidikan Moralitas ........................................................... 91 2. Koperasi dan Kesejahteraan Sosial ..................................... 91 3. Transmigrasi, Infrakstruktur, dan Pemerataan ................... 93 4. Korupsi dan Diskriminasi ................................................... 94 5. Pinjaman Luar Negeri dan Modal Asing ............................ 96 6. Riba ...................................................................................... 98 BAB VI
Kesimpulan dan Saran ................................................................. 106 A. Kesimpulan ........................................................................... 106 B. Saran ...................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110 ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Evolusi Paradigma Tujuan Pembangunan .................................. 22
Gambar 2
Konsep Pembangunan dalam Islam ............................................ 27
x
DAFTAR TABEL Tabel 1
Komparasi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara di Masa Peralihan .................................. 85
xi
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Indonesia harus berbangga saat kebanyakan negara lain mendapatkan kemerdekaan karena pemberian atau hadiah dari penjajahnya kemudian menjadikannya sebuah negara persemakmuran, seperti negara-negara persemakmuran Inggris yang mayoritas adalah negara jajahan Inggris, meskipun kini keanggotaannya menjadi bersifat sukarela. Berbeda dengan Indonesia dengan kegigihan para pejuang berhasil merebut kemerdekaannya. Masa peralihan yaitu perubahan dari masa kolonial menuju masa nasionalis, dimana seorang bangsa yang baru merdeka dari penjajahan mencoba untuk menjadi mandiri dan membangun bangsanya. Itu merupakan hal yang tidak mudah, begitupun dengan Indonesia yang masih sangat muda untuk mengelola sebuah negara yang begitu luas. Tapi Indonesia memiliki orang-orang hebat yang bekerja keras dan mempunyai pemikiran yang luar biasa dalam membangun pondasi kuat perekonomian, hukum dan politik Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, yang merancang dan membangun masa depan Indonesia yang diharapkan bagi rakyatnya untuk maju dan hidup sejahtera.
1
2
Mohammad Hatta yang dijuluki sebagai „Bapak Koperasi‟ dan Syafruddin Prawiranegara disebut oleh Douglass S. Paauw sebagai „The Guardian of Monetary Stability‟. Keduanya merupakan salah satu the founding father Indonesia yang meletakkan rancangbangun perekonomian Indonesia hingga konsepnya masih dapat diterapkan hingga saat ini. Mohammad Hatta seorang yang sosialis utopis, dimana pemikirannya yang selalu mendahulukan kesejahteraan rakyat kecil seperti buruh dan tidak menyukai konsep kapitalis yang tidak adil dalam menciptakan kesejahteraan. Konsep koperasi yang diajukannya yang juga pernah dicanangkan oleh para tokoh sosialis utopis seperti Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), dan Louis Blanc (1881-1882),1 yang membuatnya dikenal sebagai „Bapak Koperasi‟, bahwa menurutnya langkah awal dalam meningkatkan kemakmuran rakyat adalah dengan terlebih dahulu mendorong ekonomi yang terbelakang dengan jalan koperasi dan pendidikan.2 Yang mana tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 33 dengan tiga poin penting di sana yaitu pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, produksi penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air dan semua kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
1
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.
2
Ibid., h. 9.
67.
3
Syafruddin Prawiranegara yang pernah menjabat presiden selama 207 hari untuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) saat Soekarno dan Mohammad Hatta berhasil ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda dalam Agresi Militer Belanda ke II pada 19 Desember 1948, kemudian Syafruddin juga memiliki jabatan penting lainnya seperti Menteri Keuangan (1949-1950) dan Gubernur Bank Indonesia (1950), juga memiliki peran penting dalam membangun ekonomi. Menurut Fachry Ali meskipun Mohammad Hatta dan Soemitro Djojohadikoesoemo juga merupakan peletak dasar kebijakan ekonomi Indonesia tapi pemikiran ekonomi Syafruddin Prawiranegara menurutnya memiliki posisi distinktif3 karena Syafruddin sendiri memiliki pemikiran yang bertentangan dengan zamannya, saat ekonom lain sedang meletakan dasar sistem ekonomi untuk Indonesia yang dia sebut dengan pemikiran idealis yang tidak praktis, dia malah memiliki pandangan lain yang praktis. Ada salah satu pandangan Syafruddin yang membuat kaget sebagian ekonom Indonesia karena dianggap mengacu pada undang-undang yang bersifat kapitalis di Amerika Serikat dan bertentangan dengan tujuan UUD 45, seperti dikutip oleh Fachri Aly dalam kata pengantar bukunya M. Dawam Rahardjo:
3
Fachri Aly, “M. Dawan Rahardjo dan Syafruddin Prawiranegara: Sebuah Refleksi Apresiasi”, dalam M. Dawam Rahardjo, ed., Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 39-40.
4
Sistem undang-undang dan peraturan yang sesungguhnya dapat membangkitkan, menampung, dan menyalurkan kegiatan produktif manusia sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Hukum yang berlaku mesti memberikan dorongan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada kegiatan produktif, sehingga semua anggota masyarakat yang sudah sanggup bekerja mau ikut serta dalam kegiatan produksi.4
Mohammad Hatta (1902-1980) dan Syafruddin Prawiranegara (19111989) salah satu dari banyak tokoh yang hidup pada zaman yang sama dan bekerjasama dalam membangun Indonesia. Keduanya pun memiliki andil yang sangat penting meskipun keduanya memiliki banyak perbedaan dalam pandangan dan pemikiran juga memiliki cara masing-masing dalam membangun perekonomian Indonesia, tapi tanpa keduanya Indonesia mungkin tidak akan bisa berdiri hingga sekarang. Selain kesamaan andil keduanya dalam membangun perekonomian Indonesia, keduanya pun memiliki kesamaan latar belakang yaitu Mohammad Hatta keturunan Minang yang memiliki darah religius dari keluarga ayahnya, dimana kakeknya Syekh Arsyad merupakan seorang guru agama dan pimpinan Tariqat Naqsyabandi.5 Syafruddin Prawiranegara yang juga memiliki darah Minang dari pihak Ibu, memiliki kehidupan religus yang kuat karena lahir dan besar di lingkungan pondok pesantren Banten. Ayahnya Raden Arsyad Prawiraatmadja merupakan anggotan Sarekat Islam (SI),6
4
Ibid. Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam; Menangkap Makna Maqashid al Syariah (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h.24. 6 Dawam M Raharjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 69. 5
5
Syafruddin Prawiranegara juga pernah menjadi pimpinan Masyumi (1960). Latar belakang yang religius dapat mempengaruhi keduanya dalam pemikiran dan juga pandangan. Seperti yang dikatakan beberapa tokoh bahwa pemikiran Mohammad Hatta mengandung konsep Islam seperti dalam buku Dr. Anwar Abbas yang membahas tuntas mengenai pemikirannya yang mengandung unsur Maqasid Al Syariah, namun banyak juga yang menempatkannya sebagai tokoh nasional muslim “sekuler” bersama Soekarno,7 begitu juga dengan Syafruddin Prawiranegara yang disebut sebagai sosialis-religius seperti pemikirannya yang banyak dia tuangkan di bukunya Politik dan Revolusi Kita. Maka bagaimana pemikiran serta strategi keduanya dalam membangun pondasi perekonomian Indonesia dan bagaimana latar belakang keduanya yang sangat kental dengan agama Islam yang juga kemungkinan berpengaruh besar terhadap pemikirannya, serta bagaimana relevansinya pemikiran keduanya dengan konsep ekonomi Islam. Dari pemaparan latar belakang dan alasan dalam penulisan, maka perlu kiranya penulis menganalisis lebih dalam lagi pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara ke dalam penulisan skripsi yang
7
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h.3.
6
berjudul:
“Konsep
Pembangunan
Perekonomian
Indonesia:
Studi
Komparatif Pemikiran Mohammad Hatta dan Safrudddin Prawiranegara”. B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
maka
penulis
dapat
mengidentifikasi masalah yang muncul, di antaranya: 1. Bagaimana konsep ekonomi Islam? 2. Bagaimana konsep ekonomi pembangunan? 3. Bagaimana sistem ekonomi Indonesia lalu sampai saat ini? 4. Bagaimana latar belakang kehidupan Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara? 5. Bagaimana strategi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam pembangunan ekonomi di Indonesia? 6. Bagaimana relevansi pemikiran ekonomi pembangunan Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam? C.
Pembatasan Masalah Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan pada: a. Penelitian hanya dilakukan dengan menganalisis dan mengkomparasi konsep ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam
7
membangun ekonomi Indonesia di masa peralihan, yaitu pemikiran keduanya
mengenai
ideologi,
pendidikan,
koperasi,
transmigrasi,
infrakstruktur, pinjaman luar negeri, modal asing, industri dan pemerataan dan kesejahteraan sosial. b. Menganalisis relevansi pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam khususnya prinsip mashlahah dan pemikiran ekonom muslim klasik dan kontemporer. D.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, adapun secara spesifik perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam membangun perekonomian Indonesia di masa peralihan yaitu mengenai ideologi, pendidikan, koperasi, transmigrasi, infrakstruktur, pinjaman luar negeri, modal asing, industri dan pemerataan serta kesejahteraan sosial? b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran serta konsep ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam membangun perekonomian Indonesia? c. Bagaimana relevansi pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam?
8
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan hasil yang ingin dicapai dari
perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, diantaranya adalah: a. Untuk menganalisis konsep pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam pembangunan perekonomian Indonesia di masa peralihan. b. Untuk menganalisis persamaan dan perbedaan strategi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam pembangunan perekonomian Indonesia di masa peralihan. c. Untuk menganalisis keselarasan pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam. 2.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
a. Bagi penulis, untuk meningkatkan pemahaman mengenai pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara sebagai seorang ekonom yang nasionalis dan religius. b. Bagi kalangan akademis, baik mahasiswa ataupun dosen, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai pemikiran tokohtokoh Indonesia yang berperan penting dalam membangun perekonomian Indonesia.
9
c. Bagi pihak praktisi di lembaga keuangan syariah maupun pemerintahan, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam menerapkan kebijakan mengenai perekonomian Indonesia. d. Bagi masyarakat umum, dapat menambah wawasan dalam memahami pemikiran para tokoh ekonom tersebut. F.
Review Studi Terdahulu Untuk menghindari penelitian dengan objek dan juga pembahasan yang sama maka diperlukan adanya review studi terdahulu. Dimana penulis melakukan kajian pustaka dengan mencari studi terdahulu sebagai pembanding, di antaranya adalah sebagai berikut:
1
Penulis
Panji Patra Anggaredho (Konsentrasi
Perbankan
Syariah,
Program
Studi
Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Judul
Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Di Tinjau Dari Perspektif Islam
Pembahasan
Skripsi ini mengkaji pemikiran ekonomi Bung Hatta kemudian dianalisis apakah sesuai dengan ekonomi Islam dan juga kondisi ekonomi Indonesia dengan menggunakan
10
metode library research yang bersifat normatif yaitu menelaah dan mengkaji dari berbagai sumber kepustakaan yang berhubungan dengan tema kemudian diambil kesimpulannya. 2
Identitas
Dr.Anwar Abbas, M.M, M.Ag., Disertasi S3, Program Ilmu Agama Islam, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Judul
Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau Dari
Disertasi
Perspektif Islam.
Pembahasan
Mengulas pemikiran ekonomi Mohammad Hatta melalui latar belakang Mohammad Hatta di bidang sosial politik dan sosial ekonomi. Kemudian di kaji apakah ada nilainilai Islam dalam pemikirannya dengan melihat dari perspektif ekonomi islam dan juga maqashid al syariah. Metode
yang
digunakan
adalah
deskriptif-analistis,
dimana setelah masalah dibahas kemudian dianalisis terhadap data yang ada setelah itu dibandingkan anatara pemikirannya dengan ajaran Islam serta mengevaluasi sejauh mana kesesuaiannya. 3
Identitas
Dr. Anwar Abbas, M.M, M.Ag.
11
Judul Jurnal
Jurnal AHKAM Fakultas Syariah dan Hukum “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”
Pembahasan
Membahas mengenai dasar pemikiran ekonomi Kapitalis, Sosialis dan Campuran. Kemudian dibandingkan dengan pandangan ekonomi Mohammad Hatta yaitu tentang citacita
ekonominya
dan
bagaimana
penerapannya
di
Indonesia. 4
Perbedaan
Semua penelitian yang berasal dari Skripsi, Disertasi dan Jurnal diatas, mengkaji topik yang sama yaitu pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dilihat dari perspektif ekonomi Islam, dengan metode kepustakaan kualitatif analisis deskriptif.
Mengkaji
sumber
primer
dan
sekunder
mengenai pemikiran Mohammad Hatta yang kemudian dianalisis apakah sesuai dengan ekonomi Islam dan perekonomian Indonesia. Pada penelitian ini penulis akan menganalisis pemikiran Mohammad Hatta dan juga Syafruddin Prawiranegara sebagai tokoh yang membangun dasar perekonomian Indonesia di masa peralihan, dianalisis dari latar belakang, pemikiran ekonomi dan strategi yang mereka lakukan
12
dalam pembangunan perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Setelah itu melakukan analisis komparatif terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut sehingga dapat dideskripsikan apa persamaan dan juga perbedaannya.
Kemudian
dianalisis
juga
pemikiran
keduanya apakah ada relevansinya dengan konsep ekonomi Islam.
G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan data dan analisis kualitatif yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.8 Hasil dari analisis kedua tokoh tersebut dikomparasi dan dianalisis secara deskriptif tentang persamaan dan perbedaan konsep keduanya kemudian dituangkan dalam sebuah laporan tertulis. 2.
Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu sumber-sumber
yang sesuai dengan topik pembahasan, yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: 8
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3.
13
a.
Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan
diteliti,9 dimana yang digunakan adalah buku dan tulisan karangan Mohammad Hatta, meskipun ada lebih dari 58 buku yang dia tulis juga pidato-pidatonya yang bertebaran di berbagai media seperti Hindia Poetra, Neratja, Daoelat Ra‟jat dan lainnya, namun hanya beberapa sumber yang diambil yaitu seperti “Demokrasi Kita, Bebas Aktif, dan Ekonomi Masa Depan”,10 “Kumpulan Karangan I”,11 Pidato Bung Hatta yang berjudul “Pikiran-Pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata”,12 “Permulaan Pergerakan Nasional”,13 “Sesudah 25 Tahun”,14 dan buku serta karangan Bung Hatta yang lainnya. Kemudian sumber dari beberapa buku dan pidato Syafruddin Prawiranegara yang berjudul “Islam dan Pergolakan Dunia”,15 “Kumpulan
9
Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial, Sebagai Alternatif Pendekatan, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 55. 10 Mohammad Hatta. Demokrasi Kita, Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, 1980). 11 Mohammad Hatta. Kumpulan Karangan I (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). 12 Mohammad Hatta. “Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata.” Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, Jakarta,20-22 September 1972 (Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1974). 13 Mohammad Hatta, “Permulaan Pergerakan Nasiona.” Pidato disampaikan di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, 22 Mei 1974 (Jakarta: Idayu Press, 1977). 14 Mohammad Hatta, “Setelah 25 Tahun.” Pidato disampaikan pada Dies Natalies kesembilan Universitas Sjiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 2 September 1970 (Jakarta: Gita Karya, 1970). 15 Syafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia (Bandung: Al Ma‟arif, 1950).
14
karangan terpilih 2: Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi”,16 “Human Development Pola Pembangunan yang sesuai dengan Ajaran-Ajaran Islam dan UUD „45”17, dan “Islam dalam Pergolakan Dunia”18 serta buku Syafruddin lainnya. b.
Data Sekunder Sedangkan untuk sumber sekunder yaitu sumber yang diperoleh dari
lembaga atau institusi tertentu yaitu sebagai sumber kedua,19 diambil dari beberapa buku ataupun tulisan yang berkaitan dengan topik pembahasan baik langsung maupun tidak langsung seperti buku tentang Mohammad Hatta “Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqashid Al Syariah”,20 “Mohammad Hatta Bografi Singkat 1902-1980”,21 dan beberapa buku mengenai Bung Hatta serta pemikirannya yang lainnya, serta buku karangan M. Dawam Rahardjo yang mengulas pemikiran Syafruddin Prawinegara yaitu “Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran
16
Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih, Jilid.II, (Jakarta: CV Haji Masaagung, 1988). 17 Syafruddin, Prawiranegara. Human Development Pola Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran-Ajaran Islam dan UUD ’45 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). 18 Syafruddin, Prawiranegara. Islam dalam Pergolakan Dunia (Bandung: Al-Ma’arif, 1950). 19 Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial, Sebagai Alternatif Pendekatan, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 55. 20 Anwar Abbas. Bung Hatta dan Ekonomi Islam:Menangkap Makna Maqasid al Syari‟ah (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010). 21 Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi, 2012).
15
Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara”.22 Serta sumber pendukung lainnya yang berhubungan dengan topik yang dibahas. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik dalam pengambilan data kualitatif ini adalah dengan
mengumpulkan berbagai sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik pembahasaan seperti bersumber dari buku, jurnal, artikel dan lain-lain. 4.
Teknik Pengolahan Data Teknik yang digunakan adalah dengan konsep analisis data kualitatif
(Bogdan & Biklen, 1982) yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola,
mensintesiskannya,
mencari
dan
menemukan
pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.23 Selain itu juga menggunakan metode content analysis is a research technique for making replicable and valid inferences from texts (or other meaningful matter) to the contexts of their use.24 yaitu sebuah teknik penelitian untuk membuat sesuatu replika dan inferensi yang valid dari teks 22
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011). 23 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 248. 24 Klaus Krippendorff, Content Anlysis: an Introduction to its Methodoly, Second Edition (London: Sage Publications, 2004), h. 18.
16
atau hal-hal dalm konteks kebutuhan mereka. 5.
Variabel Verifikasi Dalam mendasari konsep islam dalam analisis setiap pemikiran
Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara yang cukup luas mengenai ekonomi
pembangunannya,
maka
dibuat
beberapa
rujukan
untuk
mempermudah, yaitu dari prinsip mashlahah, dan juga pendapat para ekonom Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Rujukan indikator Ekonomi Islam dilihat dari prinsip kemaslahatan dalam ekonomi menurut Al-Qur‟an, ada 5 yaitu:25 1. Tidak bersifat ilegal atau bathil 2. Prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat 3. Kemakmuran yang berkeadilan 4. Prinsip tidak saling menzalimi 5. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (halal, sederhana, dan kemurahan hati).
25
Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir Tematik Edisi Penyempurnaan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012).
17
6.
Teknik Penulisan Teknik penulisan ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.26 H. Sistematika Penulisan BAB I:
PENDAHULUAN. Bab ini memuat; latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II:
PEMBANGUNAN
EKONOMI
DAN
EKONOMI
INDONESIA Pada bab ini menjelaskan pengertian mengenai konsep ekonomi pembangunan menurut konsep dari konvensional dan Islam yang juga akan menjabarkan isu-isu pokok ekonomi pembangunan
menurut
kedua
konsep
tersebut
serta
mendeskripsikan perkembangan ekonomi indonesia dari setiap periode dan juga bagaimana para tokoh penting dan juga pemikirannya. 26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) FSH, 2012).
18
BAB III:
KONSEP
PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN
INDONESIA Bab ini menjelaskan biografi singkat Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, serta bagaimana konsep keduanya dalam membangun perekonomian Indonesia di masa peralihan. Kemudian menganalisis relevansi pemikiran mereka dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam khususnya dengan prinsip mashlahah dan pemikiran ekonom muslim klasik dan kontemporer. BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN. Bab ini berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang disebutkan dalam rumusan. Bab ini juga berisi Saran dalam penulisan maupun pemikiran penulis mengenai konsep ekonomi pembangunan.
BAB II Pembangunan Ekonomi dan Ekonomi Indonesia A.
Konsep Pembangunan Ekonomi Konvensional 1.
Pengertian Pembangunan Ekonomi Ilmu ekonomi pembangunan merupakan cabang baru dari ilmu
ekonomi, yang pada awal kemunculannya masih dipertanyakan oleh para ekonom karena tidak memiliki fokus masalah yang khas, namun setelah permasalahan ekonomi semakin kompleks maka ilmu ekonomi pembangunan diperlukan. Ilmu ini lahir dari ketimpangan sosial ekonomi paska Perang Dunia II. Para ekonom dari negara maju berpikir bahwa perekonomian yang hancur akibat perang harus segera dipulihkan untuk kelangsungan perekonomian dunia dan juga karena kepentingan negara maju terhadap negara Asia dan Afrika, maka mereka melakukan perencanaan untuk membangun perekonomian di negara-negara berkembang dengan sistem yang mereka bangun di negaranya. Upaya pemulihkan perekonomian tersebut hasilnya tidak baik. Para ekonom berkesimpulan bahwa permasalahan dan karakteristik di negara berkembang tidak sama dengan negara maju, sehingga konsep pembangunan juga semestinya berbeda, maka lahirlah ilmu ekonomi pembangunan. Beberapa ahli mengemukakan definisi pembangunan, diantaranya: a.
Menurut Schumpeter, Ursula Hicks, dan A. Madison, pembangunan ekonomi adalah pembangunan yang mensyaratkan bahwa kesejahteraan 19
20
penduduk harus meningkat, dan salah satu ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan ekonomi (GNP, GNP perkapita dan sebagainya). b.
Menurut Denis Goulet menyebutkan bahwa pembangunan lebih dari sekedar upaya mengatasi keterbelakangan pertumbuhan ekonomi, tidak meratanya pembangunan, kemiskinan, dan sempitnya lapangan kerja, tetapi juga disertai upaya dalam mengatasi keterbatasan pola pikir.1
c.
Sedangkan
Gunnar
Myrdal
mengartikan
pembangunan
sebagai
pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial.2 Maka dapat disimpulkan pembangunan ekonomi adalah upaya dalam meningkatkan kesejahteraan manusia untuk memiliki hidup yang lebih baik dalam aspek ekonomi dan juga untuk memiliki pola berpikir yang maju sehingga dapat menaikkan tingkat sosial masyarakat. 2.
Tujuan Pembangunan Ekonomi Definisi yang terus berubah sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi membuat perluasan dalam tujuan pembangunan. Pada mulanya tujuan dari pembangunan adalah meningkatkan pendapatan perkapita yang diharapkan dapat menyelesaikan 1
memberikan
kemiskinan,
trickle down effect, sehingga dapat
pengagguran
dan
ketimpangan
distribusi
Abdul Hakim, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Ekonisia, 2010), h. 11. Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan; Masalah, Kebijakan dan Politik (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 5. 2
21
pendapatan. Banyak teori dari pembangunan yang tidak berhasil maka dilakukan pengkajian ulang terhadap tujuan pembangunan, setelah dirasa ada hal lain yang lebih penting dari sekedar faktor pertumbuhan ekonomi semata. Kemudian muncul konsep baru mengenai tujuan pembangunan yaitu konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini muncul akan keprihatinan lingkungan yang muncul pada dasawarsa 1970-an, tujuannya adalah untuk menjaga lingkungan sehingga dapat tetap terjaga dan terus berkembang sejalan dengan berkembangnya perekonomian, karena tidak akan menguntungkan ketika sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Strategi ecodevelopment sangat penting dalam sustainable development karena yang paling utama strategi ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial. Tujuan selanjutnya yang muncul adalah kebebasan, dimana hal ini sangat penting dalam proses pembangunan. Menurut Armatya K. Sen seseorang untuk mencapai kapabilitas aktualnya dipengaruhi oleh kesempatan ekonomi, kebebasan berpolitik, fasilitas sosial, kesehatan, pendidikan dasar dan dorongan untuk berinisisatif.3
3
Ibid., h. 6.
22
Menurut Michael P. Todaro ada tiga tujuan inti pembangunan, yaitu:4 a.
Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok.
b.
Peningkatan standar hidup, tidak hanya peningkatan pendapatan tapi juga lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan serta nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil, juga untuk menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa.
c.
Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial dengan membebaskan mereka dari sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap orang ataupun bangsa lain tetapi juga terhadap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Gambar 1. Evolusi Paradigma Tujuan Pembangunan.5 Produk Domestik Bruto (PDB)
Pembangunan Berkelanjutan
4
PDB rill per kapita
Kebebasan
Entitlements dan Kapabilitas
Indikator nonmoneter (Indeks Pembangunan Manusia)
Mengatasi Kemiskinan
Michael, P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga edisi keenam (Jakarta: Erlangga, 1998), h. 22. 5 Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 3.
23
B.
Konsep Pembangunan Ekonomi Islam Dalam Islam ilmu ekonomi sudah banyak dipergunakan dan dikembangkan oleh para ekonom muslim, jauh sebelum Adam Smith dengan pandangannya dalam An Inquiry into the Natural and Causes of Wealth of Nations yang disebut sebagai kebangkitan ilmu ekonomi modern. Siddiqi mengidentifikasi sejarah ekonomi Islam dalam tiga tahap.6 Tahap Pertama, 4,5 abad setelah Hijriah (sampai tahun 1058 M/ 450 H), pada periode pertama ini kaum Quraisy telah melakukan perniagaan ke timur dan barat yang menghubungkan Bahrain dan Selat Persia (Teluk Arab), juga penduduk Syria, Mesir, Iran, Irak, Yaman dan Ethiopia. Perniagaan ini tidak hanya menghasilkan materi yang menguntungkan tetapi juga turut mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan, namun sebelum datangnya Islam tradisi perniagaan yang banyak dilakukan dengan menggunakan sistem riba yaitu meminta kelebihan pada saat telat dalam pembayaran. Saat Rasulullah hadir, sistem ekonomi Islam dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat, yang sudah menggunakan uang sebagai alat jual beli yaitu mata uang Persia dan Romawi. Bahkan tukar menukar mata uang asing atau Sharf telah dilakukan. Lembaga Baitul Maal dibangun oleh Rasulullah untuk mengurusi pengumpulan dan pendistribusian dana. Bahkan
6
Ibid., h. 17.
24
Riba yang mendarah daging diganti dengan sistem keadilan yang menjunjung tinggi keadilan.7 Kemudian dilanjutkan perkembangannya oleh para fuqaha dan sufi pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, Daulah Umawiyah, Abbasyiah. Tahap Kedua, yaitu antara tahun 1058-1446 M, pada masa ini banyak ekonom Islam yang muncul dan sangat berpengaruh seperti Abu Hamid AlGhazali (1055-1111 M), Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M), Ibnu Khaldun (1332-1404 M). Al Ghazali mengembangkan sistem ekonomi yaitu adanya pembagian kerja, evolusi uang, dan pelarangan riba fadl. Ibnu Taymiyah menemukan sistem bagi hasil, manajemen uang, kontrol harga, peranan permintaan dan penawaran dan analisis beban pajak tidak langsung. Ibnu Khaldun berperan pada penelitian analisis mengenai pasang surutnya suatu dinasti dan siklus kemiskinan dan kemakmuran serta pembagian kerja, perdagangan internasional, dan keuangan negara. Tahap Ketiga, yaitu antara 1446-1932 M, munculnya para pemikir independen yang cenderung stagnasi, namun mengajak kembali kepada AlQur‟an dan Sunnah. Diantaranya Shah Waliyullah (1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787), Jamaludin Al Afgani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal (1938).
7
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Depok: Gramata Publising, 2010), h. 70.
25
1.
Pengertian Pembangunan Ekonomi Islam Ada beberapa ahli yang mendefinisikan ekonomi Islam diantaranya:8
a.
Menurut Hasanuzzaman adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah
yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh dan
menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia sehingga dapat menjalankan kewajibannya pada Allah dan masyarakat. b.
Menurut Umar Chapra, adalah cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro dan ekologis.
2.
Konsep Pembangunan Ekonomi Islam Berbeda
dengan
konsep
dalam
ekonomi
konvensional
yang
memaksimalkan kekayaan dan konsumsi, ekonomi Islam melaksanakan ekonomi dengan melihat keseimbangan antara material dan spiritual, sehingga dalam ekonomi Islam keadilan sosial sebagai tujuan utama, Q.S As-Syura: 27
8
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 18.
26
“Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” Manusia merupakan fokus utama dalam proses pembangunan sebagai agen perubahan bertanggung jawab secara pribadi dan makhluk sosial dalam mengembangkan diri dan lingkungannya. Dalam Islam, dan sumber utama Islam adalah Al-Quran dan Sunnah maka setiap tujuan, perencanaan, proses hingga akhir merujuk pada acuan utama tersebut. Islam menekankan pembangunan spiritual, moral dan etika. Jika hal tersebut belum dibangun secara baik, maka pembangunannya pun dianggap gagal. Pembangunan materi dengan keadilan tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pembangunan moral.9 Menurut Aidit Ghazali (1990) ada lima pondasi filosofis yang mendasari pembangunan dalam Islam, yaitu:10 a.
Tauheed Uluhiyah, yaitu percaya pada ke-Maha Tunggal-an Tuhan dan semua yang di alam semesta merupakan kepunyaan-Nya.
9
Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 9. Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 23.
10
27
b.
Tauheed Rububiyyah, yaitu percaya bahwa Tuhan yang menentukan keberlanjutan hidup, serta menuntun siapa saja yang percaya kepada-Nya kepada kesuksesan.
c.
Khilafah, yaitu peranan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi.
d.
Tazkiyyah An-Nas, ini merujuk kepada pertumbuhan dan penyucian manusia sebagai prasyarat sebelum manusia menjalankan tanggung jawab yang ditugaskan kepadanya.
e.
Al-Falah, yaitu keberhasilan yang dicapai di kehidupan dunia akan mempengaruhi keberhasilan di akhirat sepanjang keberhasilan yang dicapai di dunia tidak menyalahi petunjuk yang telah Tuhan tetapkan. Konsep pembangunan menurut Islam adalah tercapainya tujuan utama
pembangunan dalam Islam yaitu kesuksesan di akhirat. Sehingga indikator dalam pembangunan Islam tidak hanya diukur dengan pertumbuhan namun juga mencangkup perubahan kuantitif dan kualitatif. Gambar 2. Konsep Pembangunan dalam Islam.11 PEMBANGUNAN
=
PERTUMBUHAN
Kualitatif I. Spiritual II. Moral III. Etika 11
Ibid., h. 25.
+
PERUBAHAN
Kuantitatif VI. Sosial VIII. Teknologi Ekonomi IV. Fisik V. Lingkungan
28
Sumber Manifestasi: I.
Takut akan Tuhan
II & III
Nilai-Pola Islam
IV & V
Pertumbuhan Sosial-Ekonomi
VI & VII Usaha Sendiri (Indegenous Effort)
C.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi di Indonesia 1.
Membangun Ekonomi Nasional (1945-1959) Pertengahan
tahun
1945
Indonesia
merumuskan
persiapan
kemerdekaan Indonesia yang saat itu dalam masa penjajahan Jepang, akhirnya dibentuklah Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Widyodiningrat dengan beranggotakan 68 orang yang ditunjuk untuk merumuskan dasar negara dan juga “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” yang membahas bagaimana kesertaan pemerintah dalam perusahaan besar (milik asing saat jaman Belanda) yang di dalamnya banyak rakyat Indonesia yang bergantung hidupnya. Dalam sidang BPUPKI tersebut juga dibahas mengenai butir-butir UUD 1945 yang menjiwai pasal 33 tentang „Kesejahteraan Sosial‟ yang kemudian disahkan pada tanggal 18 Agustus pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Banyak yang mendebatkan mengenai arti dari pasal 33 tersebut yang dicanangkan oleh Mohammad Hatta. Maka dalam pidatonya yang berjudul
29
“Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang”,12 Mohammad Hatta mencoba menjelaskan arti dari pasal 33 tersebut. Beliau menyatakan bahwa ekonomi Indonesia akan secara perlahan menghilang dari sifat individualisme dan akan mengacu pada sistem kolektivisme. Sistem yang sesuai dengan semangat kolektivisme itu adalah koperasi, maka seluruh perekonomian rakyat harus berdasar pada koperasi yang kemudian di atasnya ada pemerintah yang mengkoordinir segala usaha produktif bagi kesejahteraan rakyat. Perekonomian Indonesia pada jaman penjajahan sangatlah buruk karena upah yang sangat rendah, efisiensi tinggi di sektor perkebunan dan juga investasi yang besar oleh perusahaan-perusahaan Belanda di sektor pertambangan dan jasa. Sistem ini sangat menguntungkan bagi pihak penjajah karena Indonesia hanya mendapatkan 8% dari pendapatan tersebut. Setelah kemerdekaan diraih, maka Indonesia mulai melakukan transformasi sistem ‘ekonomi kolonial’ ke ‘ekonomi nasional’, hal tersebut tidaklah mudah karena terhambat dengan adanya agresi militer Belanda dan juga usaha diplomatik internasional agar Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia yang hingga saat ini tidak juga mengakui Indonesia secara de jure, tapi Syafruddin Prawiranegara tidak terlalu memikirkan dan
12
Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang.” Pidato diucapkan sebagai Wakil Presiden dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946. (Jakarta: UI, 1985), h. 1-13.
30
mengambil sikap bahwa Indonesia harus mengambil dan menghargai isi dari nilai kemerdekaan itu sendiri.13 Transformasi yang nyata mulai dapat dilakukan pada masa kabinet Natsir. Banyak tokoh yang berkontribusi dalam menggagas ekonomi nasional ini, diantaranya Soemitro Djojohadikoesoemo yang mengembangkan industri skala kecil melalui induk-induk untuk menyalurkan kredit, memberikan bantuan teknik dan outlet pemasaran, juga penggagas ‘Indonesianisasi’ dengan membuat program Benteng yang memberikan lisensi khusus kepada pribumi untuk melakukan impor, namun tersendat karena ada penerima lisensi yang menjual lisensinya pada pengusaha non pribumi juga pada etnis Tionghoa sehingga kalah bersaing, dan juga rencana pembangunan lima tahun (1956-1960) yang tujuannya untuk menetapkan pembangunan berbagai industri dasar yang bisa dilaksanakan tanpa melakukan pembiayaan defisit yang besar karena dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan bantuan luar negeri14 tapi belum dapat terlaksana. Selain Soemitro tokoh lain yang sangat pragmatis yang berorientasi ekonomi/pembangunan adalah Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Djuanda, dan Jusuf Wibisono.
13
Sjafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.1 (Bandung: Al- Ma‟arif, 1950), h.56. 14 Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 66.
31
Sarbini Sumawinata dalam tulisannya mengenai Pembangunan Ekonomi Indonesia15 tidak terlalu mempermasalahkan mengenai transformasi ekonomi kolonial ke ekonomi nasional karena menurutnya tidak ada hal yang spesifik yang menggambarkan bagaimana sistem ekonomi nasional itu sendiri. Maka menurutnya yang harus dicari adalah tujuan yang ingin dicapai, misalnya
untuk
meningkatkan
kemakmuran
rakyat.
Langkah
yang
menurutnya untuk mencapai kemakmuran rakyat adalah bagaimana cara untuk meningkatkan tingkat konsumsi rakyat Indonesia dengan menanamkan modal pada usaha yang menciptakan alat-alat untuk menaikkan tingkat produksi sehingga juga meningkatkan pendapatan dan tingkat konsumsi, selain itu juga mengoreksi struktur agraris yang berat sebelah karena hampir 70% saat itu, rakyat Indonesia bekerja sebagai petani. Selain itu juga meningkatkan ekspor dan penanaman modal asing. Program kabinet dalam melaksanakan ekonomi nasional: a. Kabinet Hatta (Desember 1949 - September 1950): Melakukan pengguntingan uang dan penggunaan sertifikat ekspor. b. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951): Pengetatan anggaran pemerintah untuk mengurangi inflasi, pengetatan kredit perusahaan asing,
15
Sarbini Sumawinata, “Garis-garis Besar Pembangunan Indonesia” dalam Hadi Soesastro ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959: Membangun Ekonomi Nasional (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 131-142.
32
Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri dan program Benteng. c. Kabinet Sukiman (April 1951-Pebruari 1952): Menasionalisasikan De Javasche Bank karena defisit anggaran meningkat. d. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953): Menerapkan anggaran berimbang, dan melakukan pengetatan impor. e. Kabinet Ali Sastroamidjojo (Agustus 1953- Juli 1955): Karena utang pemerintah meningkat dan cadangan internasional terkuras maka melakukan pembatalan sebagian perjanjian KMB mengenai kebijakan perdagangan secara sepihak. f. Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956): Menghapuskan sistem sertifikasi impor, screening terhadap importir terus dilakukan, mengakhiri
diskriminasi
dengan
memberikan
kesempatan
kepada
keturunan cina untuk terlibat dalam kegiatan impor, dan juga meninggalkan sama sekali perjanjian KMB. g. Kabinet Ali Sastroamidjoojo II (April 1956- Maret 1957): Karena defisit anggaran dan inflasi meningkat, maka tahun 1956 pemerintah meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 55 juta. h. Kabinet Djuanda (Maret 1957): Dibentuk secara sepihak setelah sistem Demokrasi Terpimpin dicanangkan oleh presiden Soekarno, di mana kemudian melaksanakan pengambil alihan perusahaan Belanda. Karena
33
sektor swasta nasional belum berkembang, maka sektor negara mengambil alih, dan lahirlah ekonomi nasional yang etatis. 2.
Ekonomi Terpimpin (1959-1966) Periode ini dimulai sistem „Ekonomi Terpimpin‟ yang dicetuskan oleh
presiden Soekarno pada 21 Pebruari 1957 sebagai bentuk jalan keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia, yang dikenal sebagai „Konsepsi Presiden‟ yang menurut Sarbini bahwa Soekarno dan PKI berupaya menguasai segalanya berdasarkan Manipol (Manifesto Politik) Soekarno.16 Periode ini merupakan periode gelap dalam sejarah Indonesia karena semangat revolusioner sangat membara yang tidak mengindahkan kaidahkaidah ekonomi, awal mula ini pada tahun 1957 dimana banyak buruh yang mogok kerja. Awal ekonomi terpimpin masa Orde Lama Soekarno ini ditandai dengan merosotnya PDB perkapita, kenaikan inflasi, surutnya penanaman modal dan berlanjutnya struktural regression. Simpanan Devisa yang semakin berkurang karena habis untuk biaya keamanan dan juga pengamanan nasional, Indonesia yang penghasil beras terbesar malah menjadi impor beras terbesar dan karena kelangkaan menjadikan inflasi naik hingga 650%. Banyaknya perencanaan dalam pembangunan yaitu Dewan Perancang Nasional yang diketuai oleh Mohammad Yamin yang dibentuk oleh Soekarno 16
Sarbini Sumawinata, dalam Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 84.
34
tanpa ada ekonom di dalamnya, yang menghasilkan program Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (1961-1968) dengan menggali kekayaan alam secara besar-besaran untuk membiayai program pembangunan nasional. Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) tidak selancar yang direncanakan, kemudian untuk menutupi kemerosotan ekonomi tersebut presiden mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) tentang peraturan dalam bidang impor, ekspor, harga dan lain-lain yang disebut sebagai peraturan 26 Mei 1963. Ternyata tidak membuahkan hasil baik karena adanya campur tangan PKI yang awalnya tidak setuju dengan butir-butir Dekon yang asli,17 hingga akhirnya PKI menyetujui dengan ditambah 12 butir awal yang diajukan oleh PKI untuk kepentingannya kemudian ditambah adanya konfrontasi dengan Malaysia yang pada akhirnya Indonesia keluar dari PBB karena PBB menerima Malaysia menjadi Dewan Keamanan, dan dari situlah Soekarno menetapkan BERDIKARI atau Berdiri di Bawah Kaki Sendiri yang artinya penegasan pendirian Indonesia untuk tidak bergantung pada luar negeri. Berdikari pun terlalu berat untuk dilakukan dengan naiknya harga bahan makanan, nilai rupiah yang merosot dan pemerintah tidak
17
Soebandrio sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri meminta bantuan Soedjatmoko untuk merumuskan program pembangunan ekonomi Indonesia baru, yang juga melibatkan Sarbini sebagai satu-satunya ekonom di dalamnya.
35
sanggup untuk membiayai pembangunan nasional, akhirnya melakukan pinjaman luar negeri sampai sebesar US$ 2.358 juta di tahun 196618. Kegagalan yang terjadi pada masa Orde Lama dengan sistem ekonomi terpimpin yang dicetuskan, namun ada juga keberhasilan yang dicapai yaitu mengenai pelayaran dan bongkar muat yang saat itu Soekarno menunjuk Ali Sadikin sebagai Menteri Pelayaran, dan Ali Sadikin meminta nasehat kepada pengusaha yang bergerak dalam industri ini yang salah satunya adalah pengusaha pribumi yang masih dapat bertahan dengan kegagalan dalam program Benteng yaitu Soedarpo Sastrosatomo. Soedarpo mengatakan bahwa bongkar muat kapal dan keagenan merupakan sumber devisa bagi negara namun karena pendapatan tersebut harus disetor kepada Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri untuk ditukar dengan kurs resmi yang rendah maka pengusaha dan juga negara kehilangan banyak uang, sehingga jalan keluarnya adalah dengan mengijinkan pengusaha memiliki kapal sendiri dengan kebebasan untuk menggunakan devisa. Akhirnya dikeluarkan peraturan bahwa setiap perusahaan asing maupun domestik harus memiliki surat izin bongkar-muat, yang menjadi asal usul pemesanan muatan dimana semua muatan untuk proyek pemerintah harus diangkut di bawah bendera Indonesia. Hal itu sangat memudahkan bagi pengusaha industri pelayaran untuk bertahan 18
Bisuk Siahaan, “Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, 1961-1968”, dalam Hadi Soesanto ed., Pemikiran dan Permasalahan di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966: Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Canisius, 2005), h. 133-137.
36
dalam kondisi krisis Orde Lama. Serta berdirinya pabrik-pabrik besar telah memberi para insinyur, manajer dan buruh pabrik Indonesia keterampilan industri dan pengalaman dalam mengoperasikan pabrik modern, sehingga pada masa awal Soeharto tidak perlu memulai upaya industrialisasi dari nol.19 3.
Paruh Pertama Orde Baru (1966-1982) Tahun 1966 merupakan tahun awal Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto. Pada masa pemerintahannya Soeharto mewarisi masalah-masalah Orde Lama seperti tingkat inflasi yang mencapai 650%, utang luar negeri sebesar US$ 2,5 Miliar, serta tingkat pertumbuhan yang rendah. Maka pada awal pemerintahannya Soeharto melakukan langkah reformasi perekonomian seperti mengembangkan sektor swasta, menarik investor asing, menghilangkan subsidi pada perusahaan pemerintah. Orde Baru juga mengupayakan untuk mengurangi tingkat kenaikan harga yang disertai upaya untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar yaitu ketersediaan beras bagi rakyat. Prestasi yang dicapai pada masa awal Orde Baru membuat Indonesia begitu menonjol, dengan pencapaian kenaikan pertumbuhan rata-rata 6,7% pertahun selama tiga dekade, juga sektor industri yang meningkat cukup pesat bahkan melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 196119
Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. xiii.
37
2009. kecuali pada tahun 1973 dan 1983 (krisis minyak) dan 1997 (krisis moneter). Pencapaian itu dilatarbelakangi oleh dua kekuatan selain Soeharto dalam mengendalikan dan juga perencanaan ekonomi yaitu kelompok ekonom yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang dijuluki “Mafia Barkeley” dan kekuatan Mahasiswa. Mahasiswa melakukan seminar ekonomi dan keuangan di FEUI di bawah bimbingan Widjojo Nitisastro yang akhirnya hasil dari seminar tersebut dijadikan legitimasi kebijakan pada masa awal Orde Baru.20 Dimana prinsip ekonomi itu mencangkup: (1) Asas keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus barang dan arus uang, kesempatan bekerja dan pertambahan penduduk, (2) Asas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi, (3) Asas keadilan dalam pembagian beban dan pembagian rezeki, dan (4) Asas perlunya investasi bagi pertumbuhan ekonomi.21 Permasalahan yang telah dialami pada periode pertengahan 1960 dengan sistem ekonomi yang relatif tertutup dan bersifat nasionalis membuat perubahan besar dalam sistem ekonomi di masa Orde Baru dengan sistem ekonomi terbuka seperti banyaknya modal asing yang masuk dan pinjaman luar negeri yang deras. Hingga diberlakukannya undang-undang Penanaman
20
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 249. Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 3 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 24. 21
38
Modal Asing tahun 1967 dan diperkenalkan konsep Anggaran yang berimbang. Pada masa itu juga terlihat dua pemikiran yang saling bertolak belakang dimana kelompok pemikir pertama lebih fokus pada peran negara yang besar demi kesejahteraan rakyat dan dicerminkan dengan berbagai alokasi dana terhadap program pembangunan sosial berupa pendidikan dan kesehatan. Sedang kelompok pemikir yang kedua adalah kelompok yang mendukung liberalisasi perekonomian dengan membuka aliran modal dan pasar seluas-seluasnya sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam rangka pemulihan makroekonomi.22 4.
Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (1982-1997) Pada periode ini terjadi penurunan harga minyak secara drastis yang
sangat memukul Indonesia. Pada dasawarsa 1970 penerimaan migas sangat menyokong negara hingga pada 1982 dan 1986 harga minyak anjlok maka penerimaan dari minyak dan gas (migas) turun drastis. Saat muncul krisis tersebut pemerintah cepat tanggap dengan melakukan
liberalisasi
serta
deregulasi
di
bidang
moneter,
fiskal,
perdagangan, dan investasi. Juga mengubah ketergantungan negara terhadap sektor migas dan beralih kepada komoditas lain, mobilisasi dana dalam negeri
22
Ibid., h. 23.
39
(pajak dan tabungan), serta mengurangi campur tangan pemerintah di banyak sektor yang dirasa menghambat kemajuan dunia usaha. Sistem deregulasi tersebut menaikkan iklim persaingan khususnya di industri manufaktur yang ditandai dengan peningkatan jumlah perusahaan yang tumbuh. Seperti pada tahun 1986 saat harga minyak jatuh lebih tajam dari tahun 1982, akhirnya dilakukan deregulasi dan liberalisasi di sektor perbankan, perdagangan dan pasar modal. Sektor pasar modal yang lama vakum, dapat bangkit dan mencetak prestasi baik dalam nilai dan volume perdagangan untuk ukuran dunia. Juga sektor perbankan, dimana perbankan swasta mulai bersaing secara agresif untuk mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. Namun berbeda dengan bank pemerintah yang malah melemah dalam menyesuaikan diri terhadap kesempatan komersial tersebut karena terbiasa dengan adanya bantuan dari pemerintah dan Bank Sentral.23 Banyak teknokrat, ekonom, dan teknolog yang berperan dalam menerapkan kebijakan rekonstruksi dan deregulasi. Habibie dengan konsep “Delapan Wahana Industri”-nya yaitu pesawat terbang, kimia, elektronika, trasnportasi darat, peralatan pertanian, kapal laut, rekayasa, dan pemesinan umum, menitikberatkan pada peningkatan SDM untuk mencapai keunggulan kompetitif agar indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam bidang 23
Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 4 1982-1997: Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 25.
40
teknologi. Peranan ekonom, teknokrat seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli juga sangat berperan dalam kebijakan deregulasi, restrukturisasi, penyesuaian eksternal, peningkatan daya saing, dan efisiensi. Habibie mengusulkan adanya lompatan teknologi dalam memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari produk hasil industri dengan mengenali produk yang diprioritaskan maka diterapkan teknologi canggih pada produk tersebut namun karena kebutuhannya yang mahal maka butuh subsidi dari pemerintah, Habibie juga mengkritisi para ekonom yang terlalu mengandalkan keunggulan komparatif dengan orientasi pasar bebas dan ekspor produk-produk padat karya dan sumber daya alam. Namun Soemitro Djojohadikoesoemo dan juga Kwik Kwan Gie mengkritik Habibie, Kwan Gie malah lebih setuju dengan ekonom konvensional yang memanfaatkan keunggulan komparatif dinamis tanpa teknologi yang tinggi dan subsidi pemerintah,
karena
menurutnya
lompatan
teknologi
tinggi
mudah
terperangkap ke dalam hobi hingga tidak mempunyai trickle down effect. Namun kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1983 sampai pertengahan 1990 malah menyebabkan permasalahan baru seperti meningkatnya utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan,
41
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang secara faktor internal akhirnya menyebabkan Indonesia mengalami masa krisis di tahun 1997/1998.24 5.
Krisis dan Pemulihan (1997-2004) Tahun 1997 merupakan awal krisis di Indonesia yang berdampak
cukup besar kepada sektor industri. Sektor manufaktur mengalami penurunan yang sebelumnya 12% tetapi pada tahun 1997 menurun menjadi 5,3%, namun setelah periode krisis Asia manufaktur kembali naik secara perlahan hingga pada tahun 2004 mencapai 6,4% dan hanya meningkat satu digit saja karena pertumbuhannya yang tersendat-sendat. 6.
Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009) Periode ini merupakan masa pemulihan paska krisis di tahun 1997-
1998, dengan melakukan pengembangan revitalisasi, konsolidasi dan rekonstruksi industri untuk dapat unggul dan kompetitif . Industri Indonesia tidak sama dengan industri di negara Asia Timur lainnya karena tidak memiliki pengalaman industrilisasi yang panjang, belum memiliki permodalan yang baik, tapi cukup sukses dalam melakukan transformasi ke industri yang bersifat outward looking. Pada periode ini presiden SBY melakukan kebijakan dalam tiga instruksi Presiden (Inpres) yaitu Inpres No.3 tahun 2006 mengenai
24
Ibid., h. 21.
42
serangkaian program dalam upaya memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, serta usaha kecil, menengah, dan koperasi dengan tujuan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja baru, meningkatkan penghasilan masyarakat, mengurangi kemiskinan sehingga target pertumbuhan ekonomi di atas 6% dapat tercapai. Kebijakan yang kedua yaitu dalam Inpres No.6 tahun 2007 mengenai Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pengembangan UMKM yang terdiri dari empat bidang utama, yaitu (1) Bidang perbaikan Iklim
Investasi;
(2)
Reformasi
Sektor
Keuangan;
(3)
Percepatan
Pembangunan Infrastruktur; dan (4) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kebijakan yang ketiga tertuang dalam Inpres No.5 tahun 2008 mengenai Paket Fokus Pembangunan yaitu fokus program ekonomi tahun 2008-2009 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, kelestarian sumber daya alam, peningkatan ketahanan energi dan kualitas lingkungan, dan untuk pelaksanaan berbagai komitmen Masyarakat Ekonomi Association of South East Asia Nations/ ASEAN (MEA)25.
25
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 252-255.
BAB III KONSEP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA A.
Riwayat Singkat 1.
Mohammad Hatta Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi,
sebenarnya nama yang diberikan kepada Mohammad Hatta saat lahir adalah Mohammad Athar namun karena masyarakat sekitar yang sulit menyebut namanya sehingga sering disebut Atta, yang sampai akhirnya namanya menjadi Mohammad Hatta.1 Nama kecilnya (Mohammad Athar) kini diberikan kepada cucu laki-lakinya dari anaknya yang kedua Gemala. Hatta adalah anak kedua dari 6 bersaudara yang semuanya adalah perempuan, jadi Hatta adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, yang kemungkinan berpengaruh pada perilakunya yang lembut dan sopan. Ayahnya Muhammad Jamil adalah anak dari seorang ulama besar surau Batu Hampar yaitu Syeikh Abdrurrahman. Ayahnya tidak meneruskan surau tapi memilih untuk berdagang, maka pamannya yang melanjutkan kehidupan ulama, namun begitu Hatta tetap mendapatkan pengajaran agama yang kuat sedari kecil. Ibunya Siti Saleha anak dari Ilyas Bagindo Marah yang dipanggil Hatta dengan Pak Gaek berasal dari keluarga pedagang besar.
1
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h. xviii.
43
44
Setelah ayahnya meninggal saat Hatta berusia delapan bulan, ibunya menikah lagi dengan seorang saudagar asal Palembang bernama Haji Ning. Hatta menempuh pendidikan sekolah dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yaitu sekolah dasar untuk orang kulit putih dari kelas 5 sampai kelas 7 sampai tahun 1913, di mana ia sebelumnya belajar secara privat. Kemudian di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) SMP dengan bahasa pengantarnya bahasa Belanda sampai 1917. Selain belajar biasa Hatta juga rajin belajar agama dan mengaji di surau Nyik Jambek (Syaikh Muhammad Djamil Djambek) dan juga dengan Haji Abdullah Ahmad saat di Padang, yang dimana kedua ulama ini adalah ulama pembaharu di Minangkabau yang sangat berpengaruh di Indonesia.2 Di padang Hatta aktif di menjadi anggota Serikat Usaha semacam kamar dagang bersifat lokal, dia juga aktif di Jong Sumatranen Bond (JSB, Perkumpulan Pemuda Sumatera) dia sebagai bendahara di sana. Saat dia sekolah di Prins Hendrik School yaitu sekolah dagang menengah di Jakarta dia pun aktif kembali sebagai bendahara pusat. Awalnya sang kakek akan membawa Hatta ke Mekkah untuk belajar agama dan berharap dapat melanjutkan suraunya. Namun Ibu dan pamannya tidak setuju karena Hatta yang saat itu masih kecil, lalu ibunya meminta pamannya saja yang meneruskan surau, hingga dengan lapang dada sang kakek merelakan Hatta 2
Ibid., h. 8.
45
untuk melanjutkan pendidikan dan berharap yang terbaik dengan keputusan ini. Saat sekolah di Jakarta Hatta tinggal dengan Radja Bangsawan seorang mantan inspektur kepala sekolah untuk wilayah bagian selatan. Hatta juga sering mengunjungi pamannya yaitu Ayub Rais seorang pedagang kaya yang banyak membantu Hatta dan juga sering bertukar pikiran mengenai bisnis, ekonomi, dan perdagangan. Dari diskusi yang dilakukan Hatta dengan pamannya itu membuat pengetahuan ekonomi bisnis Hatta lebih luas dari yang didapatkan di bangku sekolah, selain itu juga membentuk pemikiran Hatta mengenai ekonomi. Ayub Rais pula yang membiayai sebagian besar biaya sekolah Hatta saat di Jakarta dan di Belanda.3 Selain pamannya Ayub Rais dan juga keluarganya yang sebagian besar adalah pedagang yang membentuk pemikiran ekonomi Hatta, serta lingkungan keluarga yang juga berasal dari kalangan ulama dan janji Hatta pada kakeknya Pak Gaek untuk tetap taat pada agamanya membuat pemikiran Islam dan religiusitas Hatta sangat kental dan berpengaruh juga pada pemikirannya dan perilakunya yang sangat menjaga batas-batas ajaran Islam saat berteman dengan para gadis Eropa, malah mereka mengatakan jika Hatta seperti seorang pendeta.4 Dan tokoh lain seperti Haji Agus Salim yang dikenalnya saat menjabat bendahara di JBS pusat juga berpengaruh pada pemikirannya.
3 4
Ibid., h. 39. Ibid., h.10.
46
Keduanya sering melakukan diskusi tentang hubungan islam dan politik, Haji Agus Salim memiliki pemikiran bahwa Islam sangat menghendaki masyarakat yang sejahtera adil dan makmur yang berpangkal pada persamaan tetapi juga memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik dan maju bagi yang berusaha, masyarakat yang juga menjauhkan diri dari eksploitasi sesama manusia (seperti sistem kapitalisme). Pandangan Haji Agus Salim yang sangat menjurus kepada sosialisme itu dia selalu kaitkan dengan tujuan Islam dan juga pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu Haji Agus Salim tidak setuju jika sosialisme itu berpangkal pada Marx. Dari pemikiran Haji Agus Salim ini juga membentuk pemikiran Hatta mengenai sosialisme, dia mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi paham sosialisme di Indonesia adalah ajaran Islam.5 Hatta melanjutkan pendidikannya di Belanda dari 1921-1932, ia mengambil jurusan ekonomi perdagangan di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian menjadi Economicshe Hogeschool, Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam. Selain giat dalam menuntut ilmu di Belanda Hatta juga aktif berorganisasi, salah satu alasannya pergi ke Belanda pun karena rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Banyak pengalaman pahit yang dialami oleh Hatta mengenai
5
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maaqshid Al Syariah (Jakarta: Kompas, 2010), h. 33.
47
kekejaman para penjajah, seperti saat usianya 10 tahun, di Bukitiinggi marsose (Korps Marechaussee te Voet yaitu satuan militer yang dibentuk masa kolonial Belanda) dengan bayonet terhunus, menggeledah orang-orang karena menolak membayar pajak langsung, sehingga terjadi perlawanan yang akhirnya menewaskan 12 orang marsose dan 100 penduduk yang ditembak mati. Dan Rais sahabat kakek Hatta dibawa dengan tangan diborgol, melambai ke arahnya. Pengalaman pahit tersebut juga karena kakeknya sangat keras dalam mendidik memelihara aturan serta disiplin dalam belajar membentuk diri Hatta menjadi kuat dan nasionalis. Saat Turki kalah perang dan menjadi bahan olok-olok anak-anak Belanda Hatta membencinya, namun kakeknya memberitahunya bahwa para petinggi Turki itu telah membuat kezaliman yang tidak mencerminkan keadilan atas nama Tuhan. Sehingga pemikiran Hatta meskipun kritis dan tidak menyukai kolonial, namun ia tetap tidak anti Barat.6 Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia (PI) dari 1926-1930, meskipun membuatnya terlambat dalam menyelesaikan studi namun waktunya tersebut dipergunakannya untuk mematangkan ilmunya dan menambah studi baru yaitu tentang tata negara. PI menjadi sangat memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di
6
h. 16.
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi, 2012),
48
Indonesia saat diketuai oleh Hatta. Hatta pun aktif dalam memberikan saran, kritik dan komentar tentang pergerakan di Indonesia melalui tulisan yang banyak bersebaran di berbagai majalah dan koran di Indonesia. Pada tahun 1931 mahasiswa komunis Indonesia secara perlahan merebut PI, sehingga membuat Hatta mundur dan banyak pendirian dan juga pemikirannya yang ditolak oleh pihak PI yang sudah dikuasai PKI, dalam sidang dan pertemuan Internasional pun pihak komunis selalu ingin menguasai sidang dan pembicaraan dan itulah yang membuat Hatta tidak menyukai komunis.7 Di luar negeri, Hatta sangat aktif dalam memperkenalkan perjuangan Indonesia. Seperti pada tahun 1926 Hatta diutus untuk mengikuti Kongres Demokrasi Internasional di Perancis yang dihadiri oleh utusan dari 31 negara. Dalam kongres itu Hatta juga berhasil meyakinkan Kongres agar menyebut „Indonesia‟ bukan „Hindia Belanda‟ dalam merujuk tanah airnya dan ia menambahkan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai jika penjajahan masih terus terjadi seperti di Asia. Hatta juga banyak mengenal tokoh penting negara lain seperti Jawaharlal Nehru, perdana menteri India yang kemudian hubungan
mereka
tambah
akrab
sampai
Indonesia
kemerdekaannya.8
7 8
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 21. Ibid., h. 31.
mencapai
49
Saat Hatta kembali ke tanah air, ia sangat berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan hingga ia menjadi dikenal sebagai dwitunggal (bersama Soekarno) oleh rakyat Indonesia, menjadi pasangan pemimpin yang sangat dibanggakan dan menjadi harapan kemajuan Indonesia. Hatta juga memiliki inisiatif dalam penghapusan tujuh kata di pembukaan UUD 1945 yang hampir membuat rakyat Indonesia pecah. Pada tahun 1950-1959 Hatta menjadi wakil presiden Republik Indonesia di masa merdeka penuh, yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri RIS (Republik Indonesia Serikat). Saat menjabat menjadi perdana menteri banyak kebijakan yang diterapkan Hatta yaitu mengenai kebijakan politik luar negeri yaitu politik bebas aktif, juga mengenai pembangunan ekonomi yang menurutnya memerlukan pinjaman dari luar negeri dengan syarat harus pandai dalam mengelolanya.9 Perkembangan koperasi dan juga pembentukan perusahaan pemerintah seperti semen gresik merupakan salah satu dari banyak keberhasilan Hatta dalam menjabat sebagai Wakil Presiden. Sampai pada 1 Desember tahun 1956 Hatta mengundurkan diri. Hatta merupakan seseorang yang teguh pada pendirian dan juga ideologinya dan ia siap dalam mempertahankannya, mungkin karena sikapnya itulah yang membuatnya harus mundur ketika ia melihat arah politik yang semakin menjadi taktis dan siasat dan tidak lagi melihat pada tujuan awal 9
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.126.
50
yang utama. Hatta pernah mengatakan dalam tulisannya “Siapa yang takut dilamun ombak jangan berumah di tepi air,” saat dia berkomentar kepada seseorang yang ingin berpolitik tanpa resiko, namun apalah daya kini ombak itu membuat banjir dan membuat Hatta harus mengundurkan diri karena yakin tak akan ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir. Hatta seorang yang menepati janji, dan pernikahannya dengan Rahmi pun ia laksanakan setelah Indonesia merdeka yaitu pada 18 November 1945 seperti janjinya dulu.10 Hatta adalah orang yang pemalu dan belum pernah sebelumnya dekat dengan seorang wanita maka perkenalannya dengan Rahmi pun dibantu oleh Soekarno. Hatta memiliki tiga putri yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi‟ah, dan Halida Nuriah. Hatta meninggal pada hari Jumat 14 Maret 1980. Mohammad Hatta adalah seorang anak daerah yang memiliki jiwa nasionalis tinggi. Pendidikan yang tinggi, pengetahuan, pengalaman serta pergaulan yang luas membuat Hatta memiliki cara tersendiri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan pergerakan yang ia buat di dalam maupun luar negeri dan malah membuat bangsa penjajah sendiri menaruh hormat padanya. Hatta memang tidak terlalu pandai dalam berorasi yang menggebu-gebu seperti Soekarno, namun Hatta sangat tajam dalam menulis pemikirannya. Banyak tulisan dalam bentuk buku, ataupun yang 10
Ibid., 119.
51
tersebar di berbagai media cetak yang berisi kritik, saran dan kecaman serta pemikirannya
mengenai
Indonesia.
Hatta
membangkitkan
semangat
perjuangan dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat Indonesia melalui tulisannya. Dalam menulis Hatta selalu teliti dalam memberikan rujukan untuk gagasan yang diungkapakannya dalam tulisan lepas yang tersebar di media. Maka orang-orang yang tertarik akan sejarah ilmu pengetahuan akan langsung melihat pada tulisan Hatta. Dalam bidang ekonomi Hatta lebih menyukai aliran historis dan ekonomi politik, gagasan ekonominya lebih berorientasi pada Gustav Schmoller, Werner Sombart, dan Karl Marx dari pada Adam Smith. Dalam bidang filsafat Hatta merujuk pada H. Rickert dan W. Windelband.11 Beberapa tulisannya yang dibuat saat di Belanda di antaranya adalah Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indoensia (1931), Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1934), Rasionalisasi (1939), dan Mentjari Volkenbond dari Abad ke Abad (1939). Juga buku-buku lainnya seperti Alam Pikiran Yunani (1941), Pengantar ke Djalan Ekonomi Sosiologi (1957), dan Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1954), Mendayung Antara Dua Karang (1946)
11
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi, 2012), h. 215-216.
52
dan masih banyak lagi tulisan Hatta yang telah tersebar dalam bentuk buku maupun kumpulan karangan dan juga pidato. 2.
Syafruddin Prawinegara Syafruddin Prawiranegara lahir pada 29 Februari 1911 di Anyer Kidul,
Kawedanan Anyer, Banten. Nama kecilnya „Kuding‟ yang berasal dari kata „Udin‟ pada nama Syafruddin. Ayahnya seorang ménak Sunda bernama Raden Arsyad Prawira Atmadja, sedangkan ibunya memiliki darah Minangkabau.12 Ayahnya yang seorang camat ternyata memiliki darah Minangkabau, yaitu buyut dari pihak ayahnya ternyata masih keturunan kerajaan Pagayurung Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ayahnya meninggal pada 3 Maret 1939 saat membacakan pidato di suatu rapat di Kediri dalam pemilihan Dewan Propinsi Jawa Timur. Syafruddin dibesarkan di lingkungan yang moderat, karena masih keturunan ningrat maka Syafruddin tidak susah dalam menempuh pendidikannya, namun hal itu tidak membuatnya menjadi besar kepala dan memandang rendah kepada pihak lain. Ayahnya yang memiliki sikap yang tegas dan tidak membeda-bedakan, meskipun memiliki jabatan yang tinggi di masyarakat namun ia sangat dekat dengan rakyat sehingga dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur. Sifatnya itu
12
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 65.
53
menular kepada Syafruddin yang juga memiliki sikap yang tegas dan tidak membeda-bedakan. Syafruddin memulai pendidikannya pada tahun 1924 di ELS (Europeesche Leagere School), setelah itu melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun Jawa Timur. AMS setingkat SMA bagian A di Kota Bandung, setamatnya dari AMS Syafruddin melanjutkan ke RHS (Reechts Hoge School) yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, ia tamat dengan meraih gelar Sarjana Hukum/ Meester in de Rechten (Mr.). Sedari kecil Syafruddin mendapat pendidikan formal di bawah naungan kolonial karena keluarganya yang tergolong ningrat namun ia tidak pernah meninggalkan Indonesia sebelum kemerdekaan untuk belajar, sedangkan pendidikan agamanya dia peroleh dari keluarga dan juga lingkungannya. Syafruddin yang terlihat menyukai buku saat di ELS juga ternyata banyak belajar agama dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda. Juga pendidikan agama dari keluarga khususnya dari ayahnya yang dibesarkan di lingkungan pesantren Banten dan juga sebagai anggota Sarekat Islam (SI), ketertarikan ayahnya yang hidup di kalangan feodal yang kebaratbaratan untuk mengikuti organisasi itu karena SI yang bersifat moderat dan modernis yang tidak mengharamkan orang Islam menggunakan pakaian Barat yang disebut sebagai keberuntungan baginya karena kebanyakan mereka yang mengisolasi diri di pesantren dan mengharamkan celana panjang yang
54
dikenakan oleh Belanda yang orang Kristen.13 Begitu juga Syafruddin meskipun di didik di sekolah Belanda namun agamanya kuat melekat dalam dirinya.14 Syafruddin yang hidup dikalangan ningrat otomatis masuk dalam organisasi Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), yaitu komunitas yang dibentuk oleh profesor konservatif Belanda untuk menekan tingkat radikal kelompok pemuda dan mahasiswa yang nasionalis. Sehingga tak ada rasa permusuhan dalam dirinya dengan pihak pemerintahan Belanda. USI sering disebut sebagai organisasi dansa-dansi (sebutan yang digunakan Dawam Rahardjo) yang berbeda dengan organisasi lain, namun seterusnya alumnialumni USI banyak yang menyokong pembentukan PSI (Persatuan Sosialis Indonesia) yang dimana Syahrir menjadi panutan para anggota dan aktifis USI dan dari situlah perkenalan antara Syahrir dan Syafruddin, ada yang mengherankan saat Jusuf Wibisono menemukan Syafruddin berada satu organisasi dengannya di Masyumi padahal kebanyakan temannya bergabung di PSI. Syahrir yang seorang matrealis sosialis, meskipun berteman baik dengan Syafruddin karena memilki kesamaan pemikiran dan kultur lantas tak
13
Thee Kian We ed., Syafruddin Prawiranegara, Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 39. 14 M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h. 69.
55
membuat Syafruddin mengikuti Syahrir untuk masuk dalam kelompoknya, karena agamanya yang terlalu kuat untuk menjadi seorang matrealis sosialis.15 Syafruddin dan Syahrir memiliki kesamaan anti-fasisme Jepang, serta mungkin karena memiliki darah Minang juga yang membuat mereka menjadi dekat pada masa awal kemerdekaan. Kedekatannya dengan Syahrir membuat pandangannya mengenai sosialis bertambah, dan juga pemikiran syharir mengenai Sosialisme Kerakyatan sejalan dengan pemikiran Syafruddin yang menmeukan aspek huminisme dan demokrasi. Pembentukkan awal Syafruddin sebagai seorang teknokrat dan ekonom dimulai saat dia bekerja di Departemen Keuangan masa kolonial. Dari sana dia memperoleh pengetahuan tentang masalah fiskal, terutama mengenai pajak. Pemikiran ekonominya berpihak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Syafruddinpun akhirnya mempelajari teori ekonomi Kapitalisme yang dijunjung Keynes. Karir dan perananya sebagai teknokrat dimulai pada tahun 1946 sebagai Menteri Muda Keuangan pada Kabinet Syahrir II, Menteri Keuangan pada Kabinet Syahrir III, Menteri Kemakmuran pada Kabinet Hatta I (19481949), Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta III (Kabinet Republik Indonesia Serikat, 1949-1950), Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir (1950-1951), 15
Thee Kian We ed., Syafruddin Prawiranegara, Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 40.
56
Presiden Direktur De Javasche Bank yang terakhir (1951-1952), dan Gubernur Bank Indonesia pertama (1952-1958).16 Pada masa jabatannya sebagai Menteri maupun Gubernur BI, sosok Syafruddin yang dikenal memiliki sikap tegas, bahkan sikap tegasnya tersebut dia tuangkan dalam banyak kritik terhadap gagasan yang menurutnya tidak tepat. Pada masanya Syafruddin mengalami polemik berat dengan Soemitro Djojohadikoesoemo seorang teknokrat bangsa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, polemik mengenai strategi dan konsep dalam pembangunan. Namun setelah Syafruddin ditangkap karena terlibat dalam pemberontakan PPRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bersama Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Soemitro Djojohadiskoesoemo. Hubungan antara keduanya menjadi sangat baik, bahkan saat kematian Syafruddin, Soemitro menulis pandangannya mengenai Syafruddin di kata pengantar terjemahan desertasinya. Soemitro mengakui bahwa pandangan Syafruddin benar dan dia saat itu seperti terbawa hasrat untuk mempercepat perombakan secara fundamental terhadap struktur yang diwariskan pada zaman penjajahan17. Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syaehabudin, dan memiliki delapan orang anak. Sifat religiusnya terlihat di masa tuanya, yang 16
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
17
Ibid., h. 51.
106.
57
dia habiskan dengan mengisi ceramah dan juga berdakwah, namun pada bulan Juni 1985 dia diperiksa terkait dengan isi ceramahnya pada Idul Fitri 1404 H di Tanjung Priok Jakarta. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Pebruari 1989 di Jakarta, dalam usia tujuh puluh delapan tahun. Dia telah meninggal tapi jasanya sangat berguna bagi pembangunan Indonesia sebagai teknokrat dan juga ekonom yang membangun dasar ekonomi Indonesia dan dia dikenal sebagai seorang negarawan, teknorat yang religius. Salah satu kutipannya dia pernah mengatakan “Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah”. Banyak tulisan-tulisan dan juga pidato Syafruddin yang dimuat di beberapa media cetak diantaranya ada sebanyak 86 judul buku yang terutama berkaitan dengan tuganya sebagai teknoktrat, diantaranya: Islam dan Pergolakan Dunia (1950), Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Peranan Uang dan Bank bagi Pembangunan dan Perkembangan Ekonomi (1958), Dasar Politik Kemakmuran (1951), Human Development Pola Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran-ajaran Islam dan UUD ‟45 (1977), Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam yaitu kumpulam karangan terpilih jilid ke II (1988) dan masih banyak lainnya.
58
B.
Konsep Pembangunan Ekonomi 1.
Mohammad Hatta Mohammad Hatta, dan Syafruddin Prawiranegara merupakan salah
satu tokoh utama dalam peletak dasar pembangunan ekonomi Indonesia saat masa peralihan, yaitu masa berakhirnya kolonialisme menuju masa kemerdekaan (nasionalisasi ekonomi). Namun begitu keduanya memiliki cara pandang yang berbeda dalam perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Hatta seperti halnya Syafruddin mendapatkan pendidikan dasar formal hingga tingkat tinggi di sekolah Belanda. Hal tersebut membuat Hatta banyak bergaul dengan pihak Belanda dan membuat pemikirannya terbuka sehingga dia tidak anti terhadap Barat, karena menurutnya tidak semua orang Belanda atau barat itu memiliki sifat yang buruk. Ideologi Hatta itu juga terbentuk dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga yang sebagian besar adalah pemuka agama dan juga seorang pedagang besar. Selain itu juga perkenalannya dengan beberapa tokoh yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikirannya. Pertemuannya dengan Haji Agus Salim membuat pandangan sosialisnya berbeda, di mana Salim mengatakan bahwa Islam meenghendaki terbinanya suatu masyarakat yang adil dan makmur yang berpangkal pada persamaan tetapi juga memberi kesempatan untuk maju bagi mereka yang
59
berusaha, suatu masyarakat yang juga tolong mneolong dan menjauhkan diri dari sifat eksploitasi sesama manusia.18 Sehingga pemikirannya yang sosialis itu jauh berbeda dengan sosialis barat, pandangannya sangat mencerminkan sifat Indonesia yang sederhana saling tolong-menolong, serta menjunjung tinggi agama. Menurutnya perkembangan sosialisme di Indonesia itu lahir dari keinginan bangsa untuk maju dan terbebas dari penjajahan. Dimana dalam pergerakannya menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya para pejuang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme (perikemanusiaan) yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di Barat. Dan tuntutan sosial itu pula yang tergambar dalam jiwa Islam yang memang menghendaki supaya manusia hidup saling sayang-menyayangi dan dalam suasana persaudaraan yang tolong-menolong. Dan jiwa Islam memberontak kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia dan membawa sistem yang lebih jahat dari perbudakan dan feodalisme.19 Pemikirannya yang sosialis itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, hal itu mencerminkan konstitusi ekonomi Indonesia yang sangat sosialis di mana 18
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 32. Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 142-143. 19
60
pemikiran tersebut tercermin dalam sosialis Fabian yang berkembang di Inggris, bahwa setiap produksi besar harus dikuasai oleh negara, namun di sini masih belum jelas sektor manakah yang dianggap besar dan menguasai hajat hidup orang banyak. Maka Hatta selaku wakil presiden membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi untuk membahas sektor-sektor ekonomi mana saja yang dianggap penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Meskipun keberpihaknya pada sistem sosialis, namun yang terlihat dari konsep ekonomi yang diterapkan Hatta pada pembagian cabang-cabang ekonomi penting yang menurut Dr Anwar Abbas memilki sifat kapitalis dan juga sosialis yang terkandung di dalamnya, seperti pada peranan pemerintah dan penyerahan penentuan harga kepada mekanisme pasar yang sesuai dengan sistem kapitalis, kemudian pada semangat pemerataan dan keadilan ekonomi yang ingin diciptakan sesuai dengan sistem sosialis.20 Hatta juga mengemukakan bahwa sistem ekonomi Indonesia yang tercantum dalam UUD ‟45 adalah ekonomi terpimpin, di mana dalam sistem tersebut peran negara yaitu pemerintah sangat penting dalam tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik.21
20
Anwar Abbas, “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”, Ahkam III, no. 05 (Maret 2001), h.
10. 21
Mohammad Hatta, “Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata”, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972 (Jakarta: Idayu Press, 1974), h. 8.
61
Bentuk perekonomian yang sangat ditekankan oleh Hatta adalah koperasi, karena sangat sesuai dengan tujuan dan cita-citanya yaitu menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dapat mencapai kemakmuran yang merata. Serta keberpihakannya pada rakyat kecil maka Hatta memberikan solusi sistem koperasi yang paling baik untuk memajukan usaha rakyat kecil. Karena pada saat itu sembilan puluh persen ekonomi menengah dikuasai oleh Tionghoa yang menjadi pengulas ekonomi lapisan atas dengan perekonomian rakyat dalam keadaan yang buruk yang menurut Hatta sangat tidak sesuai.22 Telah disebutkan di awal tadi bahwa cita-cita Hatta dalam pembangunan adalah kemakmuran yang merata, yang diawali dengan kesejahteraan rakyat kecil dengan koperasi dan juga pendidikan yang tercantum dalam UUD ‟45. Selain itu juga program pembangunan sarana transportasi, transmigrasi, serta industri. Maka poin-poin penting itulah yang digagas Hatta dalam awal proses pembangunan ekonomi Indonesia. Koperasi yang sangat menjunjung kolektivisme sangat sesuai dengan budaya rakyat Indonesia yang saling tolong menolong, meskipun dengan masuknya para kolonial dari Barat yang membawa sifat individualisme sebagai bentuk modernisasi yang telah berkembang di Indonesia. Dimana akhirnya individualisme itu menghidupkan kapitalisme nasional yang 22
Ibid., h. 8.
62
nantinya akan disaingi bahkan dapat dihancurkan oleh kapitalisme asing yang sangat kuat dan berkuasa.23 Maka, dengan dibangunnya koperasi ekonomi masih ada kebebasan bagi individu untuk mengambil inisiatif atas persetujuan bersama untuk keperluan bersama. Dan kapitalisme kolonial, yang tidak memberi kesempatan berkembang pada kapitalisme muda Indonesia (pengusaha muda) membuat jalan yang baik bagi koperasi Indonesia. Koperasi dibangun dari bawah mengajak orang banyak untuk bekerja sama untuk menyusun kemakmuran rakyat. Begitu pula dengan pemerintah yang ikut serta dalam andil menetapkan politik perekonomian, berdasarkan keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.24 Koperasi telah berkembang dengan baik di Inggris, Jerman, Denmark, Swedia, Norwegia dan lain-lain. Itulah yang membuat Hatta tertarik dan menerapkannya di Indonesia dengan nilai dasar Indonesia yang sama dengan koperasi. Kekuatan yang ada pada koperasi adalah meletakkan titik berat pada usaha bersama, orang belajar mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri,
23
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 148. 24 Ibid., h. 150.
63
belajar melaksanakan dasar self-help, dan autoaktivia beserta solidaritas setiakawan dan tolong-menolong.25 Pendidikan juga merupakan proses penting dalam pembangunan suatu bangsa yang telah mengalami pembodohan selama masa kolonial. Hatta berpendapat bahwa sudah terlalu lama rakyat Indonesia dididik dengan citacita umum yaitu „persatuan‟ namun masih keliru dengan asas mana yang mesti dipakai, yang dapat membunuh semangat pergerakan rakyat. Dengan pendidikan rakyat kecil dapat memahami kewajibannya, sebagai rakyat yang juga diharuskan berjuang dalam pembangunan, karena budi pekerti dan iman itu yang sangat diperlukan dalam pergerakan bangsa.26 Pendidikan disebutkan dalam UUD ‟45 pada pasal 34, di mana pasal itu menjelaskan pendidikan adalah sumber utama dan menunjukkan pentingnya SDM dalam kemajuan suatu bangsa. Hatta lebih mengutamakan pendidikan politik ketimbang agitasi politik, begitu juga dengan koperasi, menurutnya dalam memulai koperasi maka harus disiapkan SDM yang mengerti koperasi (pengkaderan koperasi) dengan jalan pendidikan, dan dia
25
Mohammad Hatta, “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif dan Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, 1992), h.223. 26 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 175.
64
melihat kalau koperasi juga salah satu cara mendidik masyarakat untuk membantu diri dalam peningkatan kesejahteraan.27 Selanjutnya,
Hatta
sangat
menekankan
pada
pembangunan
infrakstruktur perhubungan. Menurutnya hal itu akan sangat mempermudah dalam bidang ekonomi melihat wilayah Indonesia yang luas terdiri dari pulaupulau sehingga diperlukan transportasi baik darat, laut maupun udara untuk mencapai kawasan yang dituju. Menurutnya ekonomi perhubungan sama halnya dengan hukum sosialis dan kapitalis, yaitu mengangkut orang dan barang dengan ongkos yang semurah-murahnya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Perbedaanya hanya terletak pada tujuannya jika kapitalis memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka sosialis memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat.28 Dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat harus bekerjasama dalam membangun sarana perhubungan ini, karena Hatta berpendapat bahwa perhubungan adalah urat nadi perekonomian.29 Dengan adanya perhubungan yang memadai dalam pengangkutan orang maupun barang, mempermudah pembangunan secara merata di wilayah
27
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 320. Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 162. 29 Ibid., h. 164. 28
65
Indonesia dan tidak hanya terpusat di ibu kota saja, itulah yang diinginkan Hatta yaitu kemakmuran yang merata. Hatta juga memberi gagasan mengenai transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang masih kurang penduduknya. Sama seperti tujuan dari gagasan Hatta yang sebelumnya, yaitu untuk kemakmuran yang merata. Karena melihat pembangunan yang tidak merata antara Jawa, dengan pulau lainnya seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Hatta menyebutkan bahwa tujuan dari transmigrasi ini adalah untuk membuka ruang hidup baru di daerah yang kosong dan meluaskan ruang hidup di daerah yang padat yang ditinggalkan oleh rakyat yang pindah tempat.30 Sehingga kemakmuran menjadi semakin bertambah. Hendaknya orang yang di transmigrasikan itu terdiri dari orang muda yang dalam usia dapat melahirkan banyak anak. Kemudian yang dipindahkan itu terdiri dari keluarga tani, tukang berbagai rupa, tukang bangunan, serta guru-guru yang akan mengajar anak-anak mereka, begitu Hatta menjelaskan. Transmigrasi
juga
berkesinambungan
dengan
pertumbuhan
industri.
Menurutnya dengan adanya transmigrasi akan timbul kota-kota baru yang dengan sendirinya akan mendorong timbulnya industri-industri yang akan disusul dengan pembangunan tenaga listrik, maka akan timbul lapangan
30
Ibid., h. 154.
66
pekerjaan baru.31 Sehingga lambat laun akan menarik berbagai kegiatan ekonomi yang dibutuhkan masyarakat, dan masyarakat dapat bekerjasama dalam membangun daerahnya dan juga kesejahteraan bersama. Selain beberapa gagasan mengenai koperasi, pendidikan, transportasi, transmigrasi dan industri yang disebutkan tadi, Hatta juga banyak memberikan pendapatnya
mengenai
kebijakan
perekonomian
yang
diambil
oleh
pemerintah baik dalam masa kabinetnya maupun setelah itu. Seperti mengenai pinjaman luar negeri, menurutnya dalam membangun perekonomian Indonesia paska masa kolonial membutuhkan beratus-ratus juta dollar Amerika Serikat, dan melihat pemerintah yang memang tak mungkin memiliki uang sebanyak itu, maka jalan keluarnya adalah dengan pinjaman luar negeri dengan jangka pembayaran kembali dalam waktu yang lama.32 Meskipun pihak luar negeri memiliki motivasi tersendiri, yaitu untuk mencari keuntungan, namun asalkan Indonesia pandai menggunakan pinjaman ini untuk kepentingan kemakmuran rakyat33 maka itu diperbolehkan. Pada dasarnya Hatta tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri ini karena dia
31
Mohammad Hatta, Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972 (Jakarta: Idayu Press, 1974), h. 12. 32 Ibid., h. 13. 33 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.126.
67
berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Islam yang menyebutkan “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.34 Dalam kutipannya, menyebutkan kondisi bangsa yang tidak mampu dalam pembangunan: “Negeri yang kurang maju, yang sedikit sekali mempunyai cabang-cabang industri, tidak sanggup membiayai pembangunannya dari simpanan nasional tiaptiap tahun. Rakyatnya yang rata-rata miskin dan kurang makan tidak dapat menabung banyak”.
Namun Hatta juga memberikan alasan, bahwa kerusakan sosial yang parah yang dialami Indonesia, yang ditimbulkan oleh pihak kolonial yang bahkan lebih parah dari Eropa, membuat Indonesia harus membangun dari awal kembali. Hatta juga memberikan pembatasan masalah pinjaman luar negeri ini, menurutnya pinjaman ini harus bersifat „bantuan perkembangan‟ bukan bantuan dengan syarat politik yang mengikat negara yang diberi bantuan kepada suatu politik tertentu. Menurutnya bantuan perkembangan yang tepat adalah bantuan yang berdasarkan rencana pembangunan negeri itu sendiri, bukan rencana yang diajukan dari pihak luar, dan harus didasarkan pada persediaan dan pembawaan alam negeri itu.35
34
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 302. Mohammad Hatta, “Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia”, dalam SriEdi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif, Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 202. 35
68
Ada lima corak bantuan perkembangan yang dianjurkan Hatta dalam proses pembangunan Indonesia, yaitu:36 a.
Bantuan untuk “Human Capital”, bantuan dalam memajukan sumber daya manusia, dengan mendidik tenaga-tenaga ahli Indonesia sebanyakbanyaknya pada universitas, sekolah-sekolah tinggi, menengah kejuruan dan pada berbagai industri.
b.
Bantuan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktural, seperti jalan besar, pelabuhan, memperbaiki aliran sungai, membuat kanal dan sebagainya.
c.
Penyediaan untuk penyelidikan geologi, yang biayanya bisa sebagian dipikul Indonesia dan tenaga ahlinya sebagian yang di datangkan dari luar negeri.
d.
Bantuan untuk memperbesar sistem saluran air dan waduk di berbagai daerah di Indonesia guna mengintensifkan dan melipatgandakan hasil bumi, sekaligus sebagai sumber pembangunan tenaga listrik untuk industri dan penerangan.
e.
Bantuan untuk berbagai macam industri dasar dan tambang, serta industri lainnya. Hatta yang hidup pada masa peralihan yaitu perubahan ekonomi
kolonial menuju ekonomi nasional yang dicita-cita kan oleh para pejuang 36
Ibid., h. 216.
69
bangsa. Semenjak di jajah Belanda Indonesia dijadikan sebagai sumber keuntungan yang menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia, namun pasar di dalam negeri diabaikan. Dasar ekonominya adalah „ekonomi ekspor‟, di mana dasar dari perekonomian ialah mencapai keperluan rakyat namun barang yang tidak bisa dihasilkan sendiri diimpor dari luar dan untuk membayarnya itu dengan ekspor. Impor yang dilakukan pun kebanyakan adalah barangbarang keperluan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang Barat yang ada di Indonesia.37 Maka nasionalisasi ekonomi sangat didukung oleh Hatta, dan penggantian sistem kapitalis yang ada, dia menggagas untuk diganti dengan koperasi yang sesuai dengan cita-cita dan karakter bangsa. Mengenai modal asing, meskipun banyak kontroversi Hatta tetap mengambil langkah hati-hati dalam hal ini. Ia berharap supaya modal asing itu digunakan dan direncanakan dengan baik agar memberikan manfaat kepada negara. Namun jika tidak diindahkan akan menghasilkan kerugian yang besar bagi Indonesia, Hatta juga menyarankan agar modal asing itu diperuntukkan bagi kepentingan ekspor yang pendapatannya sebagai devisa untuk kembali membayar utang-utang, dan juga untuk kepentingan peningkatan produktivitas masyarakat.38
37
Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, dalam Hadi Soesastro ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959: Membangun Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kanisisus, 2005), h. 35. 38 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 336.
70
Dalam tujuan ekonominya, Hatta menggunakan pendekatan sejarah dalam mengembangkan ekonomi Indonesia di masa peralihan, dengan cara:39 a.
Mengubah dasar ekonomi dari ekspor yang merkantilis ke sistem ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik, untuk memenuhi keperluan rakyat.
b.
Mengembangkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan mengembangkan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa, dengan pengelolaan berbasis koperasi.
c.
Memperbaiki tenaga produktif rakyat melalui pendidikan dan perbaikan kesehatan guna meningkatkan mutu pemberdayaan manusia.
d.
Membentuk kerjasama ekonomi dan pasar regional, yang mencakup Australia, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Bung Hatta yang telah mengundurkan diri dari Wakil Presiden pertama
pada penghujung 1956 karena permasalahan tujuan politik yang sepertinya sudah jauh melenceng dan membuatnya tak bisa terus tegak di tengah banjir, akhirnya membuatnya menjadi rakyat biasa. Banyak jabatan yang ditawarkan kepadanya setelah berhenti menjadi Wakil Presiden namun itu ditolaknya, dia hanya mengatakan “apa kata rakyat nanti”.40 Namun perjuangannya tidak hanya sampai disitu, ia masih terus melihat perkembangan perekonomian dan 39
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
40
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.151.
110.
71
mengkritisi perencanaan pembangunan ataupun kebijakan yang menurutnya kurang tepat. 2.
Syafruddin Prawinegara Orang-orang yang dekat dengan Syafruddin adalah yang memiliki
ideologi sosialis, salah satunya seperti Syahrir. Syafruddin sendiri sangat mendukung sistem sosialis kerakyatan yang dijunjungnya dapat memajukan kemakmuran masyarakat. Pandangannya terhadap ideologis kapitalis yang menurutnya adalah profit-making, atau mencari untung sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya itu tidak sesuai. Pembangunan ekonomi yang membutuhkan uang banyak hanya dapat didapatkan melalui sistem kapitalis, namun mereka juga menyediakan uang itu hanya jika sesuai dengan syarat-syarat yang mereka tentukan yakni menurut asas kapitalisme. Dimana langkah penyediaan uang itu bisa melalui sumbangan, pinjaman-pinjaman lunak/politik atau pinjaman dengan syarat perdagangan internasional, serta penanaman modal asing. Menurutnya pada intinya kapitalis itu hanya ingin mengajak negara yang menginginkan dana itu untuk mengikuti Western (Capitalistic), dan mereka melakukan itu atas pertimbangan profit-making semata. Sebenarnya Syafruddin sendiri setuju dengan adanya ekonomi pasar dan liberalisme (sistem kapitalis) yang dianggapnya mampu mendorong
72
gagasan-gagasan kemajuan. Namun kebebasan yang tidak terbatas dan tanpa pimpinan akan menimbulkan eksploitasi dan dominasi minoritas, hingga harus dipimpin dengan prinsip keadilan hukum dan keadilan sosial. Sehingga Syafruddin mencari jalan tengah untuk ideologi yang ada di Indonesia
(Komunisme/Sosialisme
dan
Kapitalisme)
dalam
masalah
pembangunan yang didasarkan kepada hukum dan keadilan. Karena setelah pemberontakan PKI pada 30 September 1968, pemerintah mendeskriminasi para bekas anggota PKI, dia menganjurkan agar pemerintah memberikan kebijakan yang humanis, karena dengan adanya perlakuan diskriminasi itu membuat para orang Tionghoa menjadi berani untuk menyuap pemerintahan yang mengakibatkan merajalela korupsi. Ada tiga langkah yang dilakukan Syafruddin dalam mengambil jalan tengah itu adalah menjamin keselamatan harta dan jiwa, menjamin keadilan hukum dan keadilan sosial, serta mempertinggi kesejahteraan rakyat lahir dan batin.41 Maka berbeda dengan Hatta, Syafruddin sangat menolak saat Indonesia banyak melakukan pinjaman luar negeri atau menarik modal asing secara berlebihan apapun alasannya. Menurutnya hal itu bisa saja dilakukan jika hanya bersifat komplementer, namun Indonesia menjadikan hal tersebut 41
137.
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
73
bukan lagi bersifat komplementer tapi benar-benar menjadi sumber dana utama. Alhasil dari sistem pembangunan ekonomi itu sebagian besar masyarakat tidak turut bekerjasama dan berpartisipasi dalam proses pembangunan, mereka hanya menjadi penonton dan menjadi korban dari yang dinamakan „modernisasi‟. Syafruddin tidak menampikkan modal asing yang masuk ke Indonesia, hal itu dianggapnya sebagai jalan untuk melakukan industrilisasi Indonesia. Namun pada kenyataannya pemerintah (Orde Baru) melakukan liberalisasi permodalan dengan jalan melakukan pinjaman luar negeri untuk menutupi defisist negara. Padahal hal tersebut sangat mengandung resiko, menurutnya seharusnya defisist negara itu cukup didasarkan pada penerimaan dalam negeri saja. Adapun modal asing dalam perusahaan di Indonesia seharusnya diberlakukan undang-undang yang dibuat agar Indonesia bisa bermitra dengan pihak asing, namun setelah itu Indonesia dapat mengambil alih proyek modal asing tersebut. Posisinya yang berada dalam masa transisi atau masa peralihan yaitu dari masa kolonial menuju arah pembangunan perekonomian yang mandiri membuatnya harus lebih melihat dan memahami permasalahan pembangunan serta melihat permasalahan yang terjadi di lapangan yang sering disebut „kesulitan masa peralihan‟, yang membuatnya berfikir kritis dan hati-hati pada setiap langkah yang akan diambil. Menurutnya dalam masa peralihan dari
74
ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional bukan dengan menggantikan pengusaha asing dengan pengusaha pribumi dengan membiarkan sifat kapitalis liberal melekat, namun peralihan dari sistem ekonomi yang hanya mementingkan golongan yang berkuasa kepada sistem ekonomi yang mementingkan seluruh masyarakat terutama golongan-golongan dengan ekonomi lemah.42 Seperti yang terjadi pada deskriminasi pengusaha Tionghoa yang dirasa sangat menguasai perekonomian Indonesia, Syafruddin berpandangan bahwa peraturan politik perekonomian itu dirasa terlampau „Social Policy‟ daripada „Economic Policy‟ karena peraturannya yang „melindungi yang lemah dan melenyapkan atau mengurangi kekuasaan yang kaya‟, dan karena Tionghoa yang lebih berkuasa maka peraturan itu seperti peraturan yang antiTionghoa. Padahal menurutnya bisa saja Tionghoa itu menjadi warganegara yang baik dan mencintai tanah airnya. Dan ditegaskan olehnya bahwa tugas negara (pemerintah) yang utama itu adalah menjaga, jangan sampai wargawarga melakukan perbuatan jahat, seperti membunuh, mencuri, menipu dan
42
Sjafruddin Prawiranegara, “Peran Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia”, dalam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I Islam Sebagai Pedoman Hidup (Jakarta: Idayu Press, 1986), h. 105.
75
lain-lain. Dan peraturan-peraturan yang bertalian dengan kewajiban negara menjamin keadilan hukum dan keadilan sosial.43 Selanjutnya mengenai masalah transmigrasi, Syafruddin sama halnya dengan Hatta mendukung terlaksananya transmigrasi untuk pemerataan pembangunan, namun menurutnya seharusnya trnasmigrasi dilakukan secara spontan yaitu jangan menunggu pemerintah yang mengatur karena akan memberikan kesempatan korupsi. Serta menurutnya transmigrasi memerlukan biaya yang sangat mahal dan terkadang gagal dilakukan setelah itu karena penduduk yang ingin kembali ke Jawa.44 Konsep pembangunan yang dicanangkan oleh Syafruddin adalah yang mengarah pada tujuan Islam dan UUD 1945 pasal 31, 32, 33, dan 34, mengenai pendidikan dan kesejahteraan sosial. Menurutnya konseptor negara yang menyusun UUD 45 ingin membawa Indonesia pada konsep kekeluargaan, sehingga tidak terdapat orang-orang fakir miskin dan anak-anak yatim piatu yang terlantar. UUD 1945 kembali dipakai pada 5 Juli 1959 setelah sebelumnya Soekarno mengambil UUD RIS sebagai landasan negara, namun ternyata
43
Syafruddin Prawiranegara, “Membangun Kembali Ekonomi Indonesia”, dalam Hadi Soesastro ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia Selama Setengah Tahun Terakhir 1966-1982 Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 51. 44 Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 47.
76
setelah itu pemahaman yang salah terjadi pada pengaplikasian dari tujuan UUD ‟45, sehingga semakin lama penyimpangan dari UUD semakin jauh. Tujuan dari pengajaran dan pendidikan yang layak dikatakan membutuhkan dana yang banyak. Uang sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan atau „conditio sine qua non‟ sebagai modal dalam mengangkat taraf hidup rakyat, menjadikan orang bodoh menjadi terdidik dan orang miskin menjadi makmur, menjadi suatu „kejahatan yang wajib‟ (necessary evil) dengan cara membangun tempat maksiat (maaf perjudian dan pelacuran) untuk menarik wisatawan asing, serta banyaknya pungutan liar sebagai komersialisasi jabatan.45 Hal yang menjadikan pembangunan ekonomi itu memerlukan dana yang sangat tinggi adalah karena sebagian besar dana pembangunan itu masuk ke dalam saku-saku petugas negara, calo-calo, dan kontraktor yang diistimewakan. Mereka berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya atas beban rakyat dan negara. Syafruddin berpandangan, jika pembangunan ekonomi didahulukan namun tidak disertai dengan pembangunan akhlak maka yang ada hanyalah terjadinya korupsi yang merajalela. Jikapun ada pemberantasan korupsi ataupun pungli, hal itu sangat susah karena merubah falsafah hidup itu tidak
45
Syafruddin Prawiranegara, Human Development Pola Pembangunan yang sesuai dengan Ajaran-ajaran Islam dan UUD ‟45 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.11.
77
mudah. Karena konsep awal yang salah yang menjadikan manusia seperti mendewakan uang dan kekayaan. Sehingga jika kebanyakan orang/pejabat hidup dalam rumah mewah, mobil yang mengkilap, benda mewah yang ber‟merk‟, dan juga hiburan-hiburan lain yang tidak cukup dipenuhi dengan gaji yang pas-pasan itu, dari mana lagi mereka akan mendapatkan uang jika tidak dari perbuatan mereka yang menyeleweng dari hukum?46 Maka menurut Syafruddin Prawiranegara, pendidikan dan pengajaran adalah prioritas pertama dalam pembangunan, yaitu pembangunan akhlak yang akan menjamin bahwa rakyat Indonesia benar-benar rakyat Pancasila yang takwa kepada Allah SWT. Jika dalam pelaksanaannya membutuhkan dana yang banyak seperti yang disebutkan sebelumnya, Syafruddin menggambarkan
seperti
masyarakat
yang
bergotong-royong
dalam
membangun masjid sebagai tempat ibadah untuk publik, yang tidak perlu memerlukan dana yang besar karena sebagian besar adalah sumbangan dana dan juga tenaga dari masyarakat sekitar. Begitu juga dengan pembanguan pendidikan menurutnya banyak rakyat yang bersedia bergotong-royong dalam mendirikan sekolah. Sehingga sejak di sekolah dasar warga Indonesia sudah dilatih untuk bergotong-royong, suka bekerja, belajar dan berdikari, bukan hanya mengumpulkan ilmu pengetahuan intelektual yang kering dan hampa. Mereka dididik untuk memiliki self-respect (harga diri) hingga tidak suka 46
Ibid., h. 16.
78
meminta-minta dan berhutang jika benar-benar tidak perlu. Namun pada kenyataannya Indonesia terus menerus meminjam uang dan menerima sumbangan-sumbangan dari luar negeri, karena memang miskin, tetapi pembesar-pembesarnya, sampai yang tidak tinggi sekalipun hidupnya sama mewahnya atau lebih mewah lagi dari pembesar-pembesar di negara-negara donor yang memberi pinjaman dan sumbangan!.” Kutipan Syafruddin
mengenai
pembangunan dan
gambaran
Indonesia:47 “Pembangunan bukan
memanjakan orang asing
untuk
mengosongi
dompetnya, tetapi yang harus dimanjakan adalah anak-anak dan pemuda-pemuda kita, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan pengajaran dan pendidikan yang bertujuan membentuk mereka menjadi manusia dan warga negara yang baik, yang takwa kepada Allah S.W.T.”
Selanjutnya yang menjadi prioritas kedua dalam pembangunan adalah pembangunan ekonomi. Dimana menurut Syafruddin pembangunan ekonomi ini juga memiliki dua tujuan, yaitu:48 Pertama
:menunjang pendidikan dan pengajaran,dan
Kedua
:memenuhi keperluan hidup rakyat yang primer, pangan, sandang dan perumahan serta keperluan lainnya. Mengenai bentuk ekonomi Indonesia Syafruddin sependapat dengan
Hatta bahwa bentuk koperasi sebagai bentuk pertama ekonomi Indonesia, 47 48
Ibid., h. 25. Ibid., h. 26.
79
seperti yang dicanangkan dalam pasal 33 UUD ‟45, karena koperasi merupakan bentuk yang harmonis antara individualisme dan kolektivisme. Bentuk kedua adalah perusahaan negara yang mengurus kepentingan rakyat primer. Dan bentuk ketiga adalah perusahaan swasta milik perseorangan dimana perusahaan ini dibiarkan bekerja di bidang di mana koperasi dan perusahaan negara tidak ada, karena belum ada atau dianggap tidak perlu. Kembali kepada tujuan pembangunan ekonomi yang disebutkan Syafruddin yaitu untuk menunjang pendidikan dan pengajaran, maka setiap pembangunan yang dilakukan pun yang harus diutamakan adalah bangunanbangunan untuk kepentingan pengajaran dan pendidikan bukan hotel-hotel mewah untuk menampung wisatawan asing. Selain itu pembanguan industri juga seharusnya yang berkaitan untuk kepentingan pengajaran dan pendidikan seperti kertas, pensil, percetakan dan lain-lain. Mendahulukan pembangunan pengajaran dan pendidikan bukan berarti menolak wisatawan yang datang ke Indonesia untuk melihat keindahan alam dan juga budaya. Namun Syafruddin berpendapat bahwa wisatawan asinglah yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan adat istiadat Indonesia, bukan orang Indonesia yang harus menyesuaikan kehidupan barat di Indonesia karena hanya ingin mendapatkan uang dari mereka. Syafruddin juga berpendapat bahwa pembanguan pada saat ini seperti imitasi dari
80
pembangunan yang dilakukan oleh negara maju sebelumnya dan hanya sedikit saja yang mengandung unsur kreatifitas. Manusia yang kreatif adalah manusia yang dapat membangun lingkungan hidupnya sesuai dengan keadaan alam dan masyarakatnya, sehingga dengan adanya pembangunan itu tidak hanya memelihara kelestarian alamnya tetapi juga memperbaikinya bersama dengan peningkatan derajat dan mutu masyarakat.49 Pengetahuan Syafruddin yang dalam mengenai agama dan ideologi membawanya pada suatu pemikiran bahwa dalam pembangunan hal yang utama itu bukanlah sekedar masalah ekonomi-materi, melainkan juga kebudayaan. Sehingga dari setiap gagasan pembangunan yang dia sampaikan lebih banyak mengenai proses pembangunan yang berhubungan dengan faktor non ekonomi seperti agama, moral, hukum, sember daya manusia, dan hakhak asasi manusia. Selain pandangannya mengenai bentuk ekonomi Indonesia dan juga pembangunan ekonomi yang menjurus juga pada pembangunan sumber daya manusia, Syafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama yang juga menjadi menteri pertama (saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kemakmuran
49
Ibid., h. 28.
81
pada Kabinet Hatta) yang mengeluarkan ORI (Oeang Republik Indonesia),50 dan yang memegang peranan penting dalam kestabilan moneter, ia sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan ekonomi, ia tidak mau jika setiap pembangunan yang ditujukan membangun perekonomian malah merusak kestabilan moneter. Banyak gagasan yang dia tidak setuju dalam beberapa kebijakan yang diajukan oleh Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam Kabinet Natsir. Seperti gagasan Soemitro mengenai industrialisasi yang memproduksi barang pengganti impor merupakan langkah besar dalam kemandirian ekonomi, yang dikritisi Syafruddin sebagai strategi pembangunan yang terlalu melompat jauh, menurutnya industrilisasi harus didahului pembangunan pertanian yang akan menjadi tulang punggungnya dan juga sebagai sumber pembentukan modal. Juga mengenai anggaran berimbang yang dikatakan oleh Soemitro tidak boleh statis jadi harus selalu dinamis sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan harus mengambil resiko defisit. Sedangkan Syafruddin yang tidak mau mengakibatkan anggaran defisit apalagi jika ditutupi dengan utang luar negeri hal itu akan sangat mengandung resiko, baginya anggaran berimbang boleh dilakukan asal jangan menimbulkan inflasi, yang disebut oleh Tan Goan Po pandangan Syafruddin itu akan menutup kemungkinan
50
Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 41.
82
kemajuan dan terobosan baru. Malah Tan Goan Po yang banyak mendukung gagasan Soemitro saat terjadi polemik antara keduanya mengenai strategi pembangunan.
51
Tan Goan Po menyarankan agar dicetak uang baru untuk
pembiayaan pembangunan yang langsung dikritik oleh Syafruddin sebagai suatu gagasan yang akan menimbulkan inflasi dan merosotnya nilai mata uang.52 Tapi selain polemik Syafruddin dengan Soemitro keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai industri kecil yang pro-ekonomi rakyat, sama halnya dengan Hatta yang memperjuangkan industri rakyat kecil, atau ekonomi kerakyatan yang disebut Syafruddin sosialis kerakyatan. Masih mengenai keuangan, Syafruddin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan pertama dalam masa Kabinet Hatta melakukan pengguntingan uang yang lalu disebut dengan “Gunting Syafruddin”. Dimana pada saat itu beredar dua mata uang yaitu yang dikeluarkan oleh Belanda dan Republik Indonesia, untuk menyeragamkan mata uang dan juga untuk menghapus perbedaan antara mata uang tersebut, maka Syafruddin memotong uang Belanda menjadi dua bagian, yang pertama dirubah menjadi uang Republik dan sebagian lagi menjadi obligasi keuangan.53
51
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
112. 52
Sjafruddin Prawiranegara, “Kesulitan-kesulitan Masa peralihan ditinjau dari Sudut Pandang Ekonomi”, dalam Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 62. 53 Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 42.
83
Selain itu ia juga banyak memberikan gagasan terkait dengan pembangunan di awal perkembangan Indonesia merdeka, di mana gagasangagasan tersebut banyak dipakai saat masa Orde Baru, di antara beberapa gagasannya adalah54, pertama diperlukannya stabilisasi moneter sebagai basis pertumbuhan ekonomi, baik internal yang berkaitan dengan anggaran negara dengan mengendalikan pengeluaran dan mengatur skala prioritas, maupun eksternal yang berhubungan dengan neraca pembayaran. Kedua, perlunya membangun sektor pertanian sebagai tulang punggung industrilisasi. Di mana sektor pertanian yang dikembangkan ini adalah sektor pertanian pangan untuk mencapai swasembada pangan dan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa. Serta untuk skala menengah memberikan kesempatan kepada pihak asing yang mampu mengimpor teknologi. Ketiga, perlunya mempertahankan dan meningkatkan modal asing untuk melakukan industrilisasi Indonesia. Karena Indonesia belum memiliki modal yang cukup untuk menggerakan industri, dan jika ingin menuju ekonomi nasionalis dengan mengusir para kapitalis asing (jaman kolonialis),
54
71-72.
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
84
maka dalam jangka pendek modal itu akan hancur dan tak akan memberikan hasil lagi.55 Keempat,
melakukan
Indonesianisasi
manajemen
perusahaan-
perusahaan asing, dengan menyiapkan tenaga-tenaga profesonal yang dididik di dalam maupun luar negeri sehingga mampu mengelola perusahaan dengan baik. Kelima, memberdayakan usaha kecil melalui kredit perbankan. Keenam, menempatkan Bank Sentral sebagai lembaga mandiri pendamping pemerintah yang bertugas memelihara kestabilan moneter dan nilai rupiah. Ketujuh, Perencanaan pembangunan yang dilakukan dalam kerangka model sistem ekonomi swasta, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada pihak swasta nasional, pribumi maupun aisng untuk melakukan kegiatan produktif.56 Meskipun pola pembangunan yang dipakai pada Orde Baru adalah gagasan Syafruddin, dari pada dua tokoh lainnya yaitu Hatta dan Soemitro. Namun pemikirannya keduanya juga di pakai dalam, seperti gagasan Hatta mengenai koperasi yang dikembangkan oleh Sudarsono Hadisaputro sebagai
55
Sjafruddin Prawiranegara, “Apakah Modal Asing Berbahaya bagi Bangsa dan Negara Kita?”, dalam Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 19. 56 M. Dawam Rahardjo. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h. 140.
85
Menteri Pertanian, di mana ia membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) yang dimulai dengan pengembangan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Kemudian gagasan Soemitro mengenai program industrilisasi yang dipakai dalam pengembangan BUMN. Setelah menganalisis beberapa konsep pembangunan ekonomi Indonesia dari Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, ada beberapa konsep mereka yang sama dan saling melengkapi dan ada juga konsep pembangunan ekonomi keduanya yang berbeda dan ada beberapa pandnagan yang tidak dibahas salah satunya. Tabel 1. Komparasi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara Masa Peralihan.
No
1
Konsep Pembangunan Ekonomi
Ideologi
Mohammad Hatta
Mendahulukan kesejahteraan sosial terutama rakyat kecil dalam setiap konsep pembangunan ekonominya seperti idenya yang tercantum dalam pasal 33, dan tidak menyukai adanya eksploitasi manusia dan perbudakan
Syafruddin Prawiranegara Menjunjung ekonomi kerakyatan yang dapat memajukan kemakmuran masyarakat, dan tidak setuju dengan pandangan kapitalis yang menurutnya profit-making, dan setuju pada ekonomi pasar yang tidak bersifat eksploitasi dan tetap mendapat pengawasan
86
2
3
4
Pendidikan
Transmigrasi
Pinjaman Luar negeri
Pendidikan merupakan bentuk pengkaderan SDM yang sangat efektif, juga untuk menumbuhkan pergerakan rakyat setelah masa kolonial. Hatta juga sangat peduli akan pendidikan moral
Pendidikan sangat penting dalam pembangunan moral dan akhlak serta menumbuhkan self-respect jika tidak ada pendidikan maka korupsi akan merajalela, maka pendidikan menjadi hal utama dalam pembangunan sebelum ekonomi
Transmigrasi salah satu bentuk dari pemerataan kemakmuran, karena pembangunan yang terjadi hanya di pulau Jawa, maka dengan adanya transmigrasi kemakmuran semakin bertambah
Transmigrasi harus dilakukan secara spontan jangan menunggu pemerintah karena memberikan kesempatan korupsi, transmigrasi juga membutuhkan banyak dana dan terkadang gagal karena transmigran yang ingin kembali ke Jawa
Pembangunan paska masa kolonial membutuhkan dana yang banyak, dan jalan keluarnya melalui pinjaman luar negeri. Namun pinjaman luar negeri ini pengembaliannya dalam jangka panjang dan digunakan untuk kepentingan rakyat
Syafruddin sangat tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri apapun alasannya, bisa saja hal itu bersifat komplementer, namun Indonesia telah menjadikannya sebagai sumber dana utama dan itu mengandung resiko yang besar
87
5
6
7
8
Hatta masih ragu-ragu dengan modal asing, namun menurutnya modal asing harus digunakan secara hati-hati dan lebih baik digunakan untuk kepentingan ekspor yang pendapatannya bisa mejadi devisa
Berbeda dengan Hatta, Syafruddin melihat modal asing sebagai aset, karena modal dan SDM Indonesia yang belum mencukupi dalam masa peralihan, maka modal asing sangat diperlukan untuk industrilisasi ke depannya, tetap dengan peraturan yang ketat sehingga pada akhirnya Indonesia bisa mengambil alih modal tersebut
Karena penduduk yang bertambah padat sehingga lahan pertanian menjadi semakin sempit, maka industrilisasi perlu dibangun, namun jika Indonesia melakukan industrilisasi maka harus cukup memberi penghidupan pada berjuta-juta rakyat
Industrilisasi yang harus dibangun Indonesia adalah pertanian sebagai tulang punggung industrilisasi dan untuk modal utama pembangunan. Dan juga mempertahankan dan meningkatkan modal asing sebagai awal industrilisasi Indonesia
Pertanian
Mengembangkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dan mengembangkan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa
Menjadikan pertanian sebagai soko guru dalam perekonomian Indonesia yang saat itu sebagain besar sebagai petani, untuk mencapai swasembada pangan dan juga perkebunan sebagai devisa
Koperasi
Koperasi sesuai dengan cita-citanya yaitu untuk menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dapat mencapai kemakmuran yang merata, dan solusi yang baik untuk memajukan usaha rakyat kecil
Setuju dengan konsep koperasi Hatta karena menurutnya koperasi merupakan penyatuan harmonis antara kolektivisme dan individualisme
Modal Asing
Industri
88
9
Stabilitas Moneter
-
10
Nasionalisasi Ekonomi
-
Infrastruktur
Infrakstruktur dapat mempermudah pembangunan ekonomi di wilayah lain, karena Indonesia yang terdiri dari pulaupulau, sehingga infrakstruktur dan transportasi sangat diperlukan, infrakstruktur dan transportasi merupakan urat nadi perekonomian.
11
Stabilisasi moneter sebagai basis pertumbuhan ekonomi, baik internal dengan mengendalikan pengeluaran dan mengatur skala prioritas dan eksternal dengan neraca pembayaran Nasionalisasi bukan dengan menggantikan pengusaha asing dengan pengusaha pribumi dengan membiarkan sifat kapitalis liberal melekat, namun peralihan peralihan sistem ekonomi yang hanya mementingkan golongan kepada sistem yang mementingkan golongan masyarakat ekonomi lemah, Juga seharusnya pemindahan itu disertai dengan kemampuan mengatur perusahaan dengan baik
-
89
C.
Relevansi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara Dilihat dari Sudut Pandang Ekonomi Islam Konsep perencanaan pembangunan dari para tokoh telah dijabarkan sebelumnya, bagaimana Hatta dan Syafruddin dengan latar belakang dan juga pemikiran yang mereka bangun, memiliki perbedaan dan juga persamaan dalam konsep pembangunan ekonomi Indonesia di masa peralihan. Maka, setelah melihat konsep yang dipaparkan kedua tokoh tersebut kita akan menganalisis bagaimana relevansi pemikiran keduanya jika dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam, yaitu dari prinsip mashlahah dan juga pendapat dari para ekonom muslim dari zaman klasik sampai kontemporer. Kemashlahatan dalam ekonomi menjadi tujuan penting dalam Islam yang juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Mashlahah berasal dari kata salaha-yasluhu, yang berarti „baik‟. Sedangkan bentuk kata lainnya seperti aslaha berarti „memperbaiki‟. Salih atau salihat berarti kebaikan atau kemaslahatan yang bersifat individu, sedangkan islah, muslihin bisa dikategorikan sebagai kebaikan atau kemaslahtan yang bersifat sosial, kata maslahah ini disebutkan dalam Al-Qur‟an sebanyak 108 kali. Kata maslahah ini dikaitkan dengan perbuatan manusia, yang baik dan membawa manfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain, bahkan termasuk kepada alam sekitar. Dan ini dijadikan Al-Qur‟an sebagai indikasi keimanan seseorang, maksudnya keimanan seseorang tidak akan bernilai jika tidak
90
terwujud dalam perilakunya yang maslahat. Seperti yang diterangkan dalam Q.S Hud (11): 117 Artinya: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negerinegeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”. Menurut Ar-Razi dalam tafsir ayat tersebut, menyebutkan bahwa Allah tidak akan menghancurkan suatu kaum hanya karena aqidahnya yang menyimpang, sedangkan perilaku mereka terhadap sosial tetap baik dan adil. Begitu pula seperti yang disebutkan oleh „Abdul Karim Zaidan, menyatakan bahwa Allah akan senantiasa menjaga suatu negara yang adil meskipun masyarakatnya kafir akidah.57 Prinsip kemaslahatan ekonomi menurut Al-Qur‟an, ada 5 yaitu:58 1. Tidak bersifat ilegal atau bathil 2. Prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat 3. Kemakmuran yang berkeadilan 4. Prinsip tidak saling menzalimi 5. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (halal, sederhana, dan kemurahan hati). 57
Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir Tematik Edisi Penyempurnaan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012), h. 178. 58 Ibid., h. 186.
91
1.
Pendidikan Moralitas Pendidikan merupakan hal utama dalam pembangunan sebelum
pembangunan ekonomi. Hatta selalu menggalang pendidikan bagi kaderkadernya, menurutnya rakyat Indonesia sudah berada lama dalam masa kebodohan pada masa kolonial, maka saat kemerdekaan dikumandangkan waktunya rakyat Indonesia untuk membangkitkan jiwa pergerakan. Begitupun dengan Syafruddin menurutnya pendidikan adalah faktor utama dalam pembangunan karena pendidikan moral yang baik dapat membentuk SDM yang dapat diandalkan dalam pembangunan. Serta untuk menumbuhkan selfrespect sehingga menjauhkan diri dari sifat meminta-minta dan juga bergantung kepada orang lain. Sama pandangannya seperti Al Maududi menurutnya moral adalah kepentingan dasar bagi Islam, maka Islam tidak seluruhnya bersandar pada hukum untuk menegakkan keadilan sosial, tapi lebih otoritas kepada pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan dan lainnya.59 2.
Koperasi dan Kesejahteraan Sosial Koperasi yang menjadi fokus utama dalam setiap gagasan Hatta,
karena sistem ini menurutnya sangat sesuai dengan ciri khas Indonesia yang bersifat kolektivisme atau gotong-royong dan juga cita-cita Indonesia dalam melaksanakan demokrasi ekonomi begitu pula dengan ajaran Islam yang 59
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 276.
92
mengemukakan dasar-dasar keadilan dan persaudaraan serta penilaian yang tinggi kepada manusia pribadi sebagai makhluk Allah. Hatta
juga
mengutarakan
pendapatnya
bahwa
tujuan
politik
perekonomian Indonesia ialah membangun suatu Indonesia yang adil dan makmur, dengan pokok pelaksanaannya harus dipusatkan pada usaha memperbesar tenaga beli rakyat dengan berangsur-angsur. Syafruddin juga mendukung adanya koperasi karena sangat sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia yang gotong-royong, serta sangat menekankan pada kemakmuran rakyat kecil. Namun menurutnya, koperasi yang lebih cenderung mengambil sistem sosialis dan meskipun telah ada aturannya dalam Islam, ia berpendapat bahwa Indonesia tidak seharusnya mengambil satu ideologi saja (kapitalisme ataupun sosialisme). Ajaran kapitalisme dan sosialisme pun dapat diterapkan sesuai dengan keadaan, untuk kepentingan rakyat, bukan secara dogmatis. Karena orang tidak akan bisa membentuk koperasi jika tidak mengetahui makna, dan cara menangani bentuk usaha ekonomi ini. Maka, bentuk-bentuk usaha kapitalis pun dapat dilaksanakan di Indonesia, dan tugas pemerintah serta masyarakat harus bekerjasama dalam mengatasi terjadinya pelanggaran. Koperasi merupakan kegiatan ekonomi berbasis kesejahteraan sosial kemasyarakatan dimana tujuan pencapaiannya tersebut dipakai dalam ekonomi Islam yang mana tujuan utama ekonomi Islam untuk mencapai kesejahteraan sosial. Di mana menurut Ibnu Khaldun kesejahteraan
93
masyarakat tergantung dari aktivitas ekonominya, jumlah, dan pembagian tenaga kerja, luasnya pasar, tunjangan dan fasilitas yang disediakan oleh negara.60. Dan Hatta mengambil koperasi sebagai sistem ekonomi yang tepat untuk meningkatkan usaha kecil masyarakat dengan sistem kooperatif dan kolektivisme yang tidak mengesampingkan hak individualisme. 3.
Transmigrasi, Infrakstruktur dan Pemerataan Pemerataan yang berbasis masyarakat adalah cita-cita setiap teknokrat
dalam membangun dasar ekonomi Indonesia setelah kemerdekaan. Itu juga salah satu cita-cita Hatta yang paling penting dalam membangun ekonomi Indonesia. Fokus utamanya adalah bagaimana rakyat kecil bisa makmur setelah masa kolonial berakhir, karena seperti yang diketahui pada masa penjajahan, rakyat adalah korban yang paling besar dalam menanggung segala bahaya dan juga kesulitan. Juga karena jumlah rakyat Indonesia yang banyak maka Hatta sangat menganjurkan dalam memberdayakan masyarakat untuk makmur dengan turut serta dalam pembangunan. Konsep dalam pemerataan ini dia gagas dengan konsep transmigrasi dan juga industri yang diharapkan bisa menghasilkan pembangunan yang merata (distribusi kekayaan yang merata juga) yang dibangun oleh para masyarakat Indonesia.
60
Ibid., h.249.
94
Begitu juga dengan transmigrasi yang didukung oleh Syafruddin, namun ia tak terlalu mengedapankan konsep itu, karena dana yang dikeluarkan cukup besar dan banyak program transmigrasi terkadang gagal karena banyak transmigran yang ingin kembali ke pulau Jawa. Pemerataan dalam Islam disebut sebagai keadilan distribusi dan juga menentukan regulasi yang jelas untuk memelihara keadilan. Sehingga harta tidak hanya beredar hanya di kalangan orang-orang tertentu saja, seperti yang disebutkan dalam Al Qur‟an Al Hasyr ayat 7 yang artinya Agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. 4.
Korupsi dan Diskriminasi Hatta
mengungkapkan
pandangannya
mengenai
korupsi
yang
merupakan praktik bathil yang sangat merugikan, dan sangat membuat Indonesia terhambat dalam pembangunan, kemudian juga saat dirinya menjadi penasehat Presiden Soeharto dan penasehat Komisi Empat pada 1970, Ini dimaksudkan untuk memberantas korupsi dalam pemerintahan, namun begitu banyak masalah yang ia peroleh membuatnya putus asa karena hanya bisa sebatas dalam memberi nasehat saja sedangkan korupsi sudah sangat membudaya, hanya contoh dari atas yang dapat memberantasnya. Syafruddin
juga
menegaskan
bahwa
yang
membuat
biaya
pembangunan menjadi sangat besar adalah karena dana-dana pembangunan itu masuk ke dalam kantong para petugas, calo dan kontraktor yang diistimewakan, begitu pula dengan adanya pungutan liar atau „pungli‟ yang
95
biasa disebut „komersialisasi jabatan‟, itu juga termasuk dalam suatu hal yang bathil yang tidak pantas dilakukan. Sedangkan dalam hal diskriminasi terjadi pada masa kemerdekaan di mana banyak kegiatan ekonomi kelas menengah dikuasai oleh orang Tionghoa, sehingga yang saat itu Sumitro melakukan kebijakan lisensi bagi importir pribumi yang pada akhirnya, malah di belakang banyak yang dijual kepada Tionghoa yang membuat cangkupan ekonominya meluas. Banyak juga para petinggi yang tidak menyukai jika ekonomi dikuasai oleh orang keturunan seperti Tionghoa, Cina dan juga orang Asia lainnya, sehingga menetapkan
kebijakan
ekonomi
yang mempersulit
Tionghoa
dalam
melakukan aktifitas ekonomi, yang malah membuat mereka berani untuk menyuap pejabat agar mempermudah transaksi mereka. Hal itu sangat tidak disetujui oleh Syafruddin, dia berpendapat bahwa warga Tionghoa juga merupakan rakyat Indonesia jika mereka dididik maka jiwa nasionalismenya akan tumbuh kuat sama seperti rakyat Indonesia pada umumnya, dan bahkan bisa membantu mengembangkan perekonomian Indonesia, dia tidak menyalahkan Tionghoa yang memang bekerja lebih keras dalam mendapatkan kemakmuran ekonomi itu. Begitu juga setelah gerakan pemberontakan yang dilakukan PKI, setelah itu pemerintah sangat gencar dalam membasmi mantan anggota KPI di Indonesia dengan segala kebijakan yang menyudutkan. Ia menentang pemerintah yanng terlalu menghukum para pengikut PKI, menurutnya
96
komunisme adalah sebuah ideologi dan tidak bisa dilarang karena sesuai dengan kebebasan berfikir, yang terpenting menurutnya adalah mendidik untuk membina mental dan harus dilawan dengan ideologi lagi, serta yang utama adalah rakyat harus didorong untuk membangun kembali perekonomian Indonesia berdasarkan ideologi pancasila.61 Korupsi dan diskriminasi merupakan salah satu perbuatan zalim yang juga mengacu pada ketidakadilan karena korbannya tidak hanya satu dua orang tetapi yang dirugikan adalah seluruh warga negara. Maka Islam meletakkan prinsip muamalah agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan, sebagaimana firmannya dalam Al Qur‟an Al Baqarah ayat 279 yang artinya kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). 5.
Pinjaman Luar Negeri dan Modal Asing Ada beberapa perbedaan pendapat antara Hatta dan Syafruddin dalam
masalah pinjaman luar negeri dan Modal Asing. Hatta meskipun masih ragu akan pinjaman luar negeri karena menurutnya tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan di bawah. Namun karena kondisi Indonesia yang saat itu sangat membutuhkan modal banyak untuk pembangunan maka jalan keluarnya adalah dengan pinjaman luar negeri, meskipun pihak peminjam pasti memiliki alasan tersendiri, jika Indonesia dapat mengelolanya dengan baik dan pinjaman itu berjangka waktu panjang dalam pengembaliannya maka
61
134.
Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan,2010), h.
97
pinjaman luar negeri itu bisa dilakukan. Sedangkan Syafruddin tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri apapun itu alasannya, karena menurutnya Indonesia belum bisa mengatur dengan benar pinjaman dengan baik, dan malah menjadikan pinjaman itu sebagai sumber dana utama dan juga untuk menutupi anggaran defisit negara seperti yang dilakukan pada masa orde baru. Mengenai modal asing Hatta malah kurang menyetujuinya, karena akan ada perusahaan asing yang berkuasa di Indonesia. Seharusnya jika ada modal asing maka harus ditempatkan di kegiatan ekspor sehingga hasil yang di dapat bisa dijadikan devisa untuk pengembalian modal. Dari sudut pandnagn Syafruddin modal asing ini sangat membantu bagi Indonesia karena modal negara yang tidak mencukupi dalam melakukan perindustrian karena Indonesia tidak memiliki sejarah yang panjang dalam perindustrian maka perlu penguatan di awal, namun tetap adanya pengawasan dari pemerintah dan juga undang-undang yang ketat dalam menangani hal itu. Sehingga nantinya Indonesia bisa mengambil modal tersebut. Menurut Monzer Khaf hutang negara yang diperbolehkan dalam masyarakat Islam adalah hutang yang bukan penghasilan. yaitu tuntutan hutang jangka pendek dan jangka panjang terhadap pemerintah yang tidak
98
terwakili dalam sarana tagihan-tagihan pembayaran. Monzer membagi hutang negara menjadi tiga tujuan utama:62 a.
Pendanaan bagi pengeluaran darurat yang melebihi kapasitas pajak
b.
Pendanaan program pembangunan
c.
Penyerapa (suntikan untuk kasus hutang yang tidak terbayar) kelebihan atau kekurangan uang di tangan pemerintah sebagai alat pengelola moneter. Namun jika dilihat dari pembagian tujuan ini, penulis lebih mendukung tujuan utang luar negeri dari konsep Hatta dan Syafruddin. Dan Islam pun pernah menyebutkan bahwa tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari pada tangan di bawah (meminta-minta), maka lebih baik jika pinjaman luar negeri sebagai utang negara itu dilakukan pada pilihan terakhir yang mendesak dengan ketentuan perundang-undnagan yang sudah disepakati.
6.
Riba Mengenai masalah Riba yang merupakan dasar perbedaan dari
ekonomi Islam dan konvensional. Hatta tidak membantah bahwa riba itu haram hukumnya, karena sudah jelas Allah menyebutkannya dalam Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Baqarah (2): 277-278.
62
Ibid., h. 315.
99
Artinya: 277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Namun yang menjadi perhatian adalah pandangannya mengenai bunga yang menurutnya tidaklah haram “selama tingkat suku bunga tersebut telah ditetapkan terlebih dahulu, sehingga kemudian seseorang dapat memutuskan secara lebih tepat apakah hal itu akan menguntungkan baginya atau tidak untuk meminjam uang tersebut.63 Hatta lebih menekankan pada keterbukaan dalam transaksi karena menurutnya harus ada kerelaan dari kedua belah pihak. Hatta menambahkan “bila seseorang masih tetap ingin mempergunakan jasa bank, berarti ia telah 63
Anwar Abbas, Mohammad Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 219.
100
rela membayar rentenya. Sebaliknya, bila rente dilakukan dengan diam-diam maka ia termasuk riba.64 Bunga dalam bank adalah suatu hal yang positif karena bersifat produktif sedangkan riba malah menghancurkan. Gambaran bunga dalam bank pun menjadi cara dalam menuju kemajuan (ekonomi). Pandangan yang di dapat Hatta itu juga tak terlepas dari peran guru agamanya yang bernama H. Abdullah Ahmad seorang ulama dan tokoh agama terkenal di padang, Sumatera Barat.65 Selaras dengan pemikiran Hatta, Syafruddin tidak mempermasalahkan riba yang dilarang agama, namun yang ia permasalahkan ketika pengertian riba itu dimaknai bunga bank. Menurutnya bunga bank bisa dikategorikan riba jika jumlahnya berlipat ganda karena dimaknai sebagai pengerukan keuntungan yang tinggi (eksploratif). Dan menurutnya riba itu diartikan sebagai keuntungan yang diperoleh dengan cara-cara tak berkeprimanusiaan, dengan menipu dan menindas rakyat, itulah riba yang dimaksudkan dalam Islam. Kemudian pendapatannya saat didirikan Bank Syariah dengan sistem profit-sharing, ia akan menyetujuinya karena Bank Syariah menghindari empat larangan agama dalam kegiatan ekonomi yaitu maysir (perjudian), gharar (spekulasi), riba (bunga uang yang berlipat ganda), dan bathil 64 65
Ibid., h.219. Ibid., h. 220.
101
(pelanggaran hukum). Namun ia akan mempertimbangkan Bank Syariah jika sistem bagi hasil dan ruginya lebih tinggi, karena baginya bunga dalam bank itu adalah biaya uang yang diperlukan, apa pun namanya hanya cara penghitungannya saja yang berbeda. Bunga bank konvensional dihitung berdasarkan biaya transaksi (transaction cost) untuk mendapatkan uang, seperti biaya produksi plus keuntungan bank, atau mengikuti harga yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar uang66. Tidak hanya Hatta dan juga Syafruddin yang berpendapat seperti itu, tokoh ekonom muslim juga banyak yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai riba ini, seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman mengenai bunga bank, menurutnya bunga bank yang ringan itu halal, sedangkan yang berlipat ganda itu haram. Namun begitu Sri Edi Swasono mengatakan bahwa “cakupan Ekonomi Syariah tidak sepatutnya direduksi menjadi masalah riba dalam arti sempit itu, yaitu riba dalam arti bunga pinjam-meminjam atau pun yang berkaitan dengan perbankan konvensional”. Namun telah diketahui dengan pasti saat ini bahwa bunga sama dengan riba dan hukumnya haram berapa pun besarannya, dan bunga itu sudah diperjanjikan di awal maka sudah jelas hukumnya haram. Abu A‟la AlMaududi (1903-1979) sudah mematahkan pendapat Fazlur Rahman yang
66
205.
Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2010), h.
102
mengatakan bunga bank ringan adalah halal sedangkan yang berlipat haram hukumnya, dengan aspek-aspek negatif yang terdapat dalam bunga, seperti:67 a.
Teori piutang menanggung resiko Fazlur Rahman mengatakan bahwa kreditor harus menanggung resiko karena dia harus menahan diri dari dana yang dia pinjamkan, Dia juga harus menahan keinginannya untuk memenuhi keinginan orang lain, sehingga semestinya harus mendapatkan keuntungan dan juga harus membayar sewa sebagai kompensasi dari pertanggungan resiko. Pendapat itu dipatahkan dengan argumen, bahwa kreditor meminjamkan uangnya yang berlebih dari yang dia perlukan jadi tidak ada alasan untuk menahan diri, dan juga untuk sewa itu hanya dikenakan pada barang seperti rumah, transportasi dan sebagainya. Maka barang seperti emas, makanan, uang atau yang sejenisnya tidak termasuk sewa.
b.
Teori pinjaman memperoleh keuntungan Teori yang mendukung mengatakan bahwa waktu itu berharga, dan masa yang digunakan peminjam juga pasti mengalami keuntungan dan si kreditor berhak atas keuntungan tersebut. Maka Al Maududi menanggapinya dengan pertanyaan “Bagaimana dan darimana si kreditor mengetahui jika si peminjam mengalami kerugian dari dan
67
Ibid., h. 282.
103
yang dipinjamkannya itu dan dari mana kreditor mengetahui dari mana si peminjam secara pasti mendapatkan keuntungan sehingga si kreditor dengan pasti pula menetapkan bagian keuntungan yang dia ambil?” pertanyaan tersebut tidak mampu dijawab secara baik dan masuk akal. c.
Teori produktivitas modal Teori ini mengatakan bahwa modal itu untuk meningkatkan produktivitas dan bunga sebagai imbalannya. Maka Al Maududi menyatakan bahwa modal untuk meningkatkan produktivitas itu tidak beralasan karena peningkatan produktivitas itu ada jika dikelola oleh yang kompeten, jika modal itu dikaitkan dengan produktivitas maka ada faktor lain yang berpengaruh. Sehingga tidak adil jika bunga dikenakan pada peminjaman uang untuk 10 tahun ke atas dengan kepastian keuntungan di masa depan yang tidak pasti.
d.
Teori present value > future value Teori ini berpendapat bahwa uang, kepuasan dan barang-barang di masa sekarang lebih berharga dari pada masa depan. Maka Al Maududi bertanya apakah memang sifat manusia seperti itu? lalu kenapa mereka tidak menghabiskan semua uangnya untuk masa sekarang, bukan untuk masa depan karena sebagian besar mereka
104
bekerja susah payah saat ini adalah untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. e.
Merupakan kejahatan moral Bunga memiliki dampak negatif bagi psikologis, dimana bunga membuat seseorang menjadi cinta terhadap uang, menumpuk-numpuk kekayaan demi kepentingan pribadi sehingga distribusi kekayaan tidak berjalan dengan baik.
f.
Merupakan kejahatan sosial budaya Institusi bunga menyebarkan rasa kebencian dan egois yang akan menyebabkan
kehilangan
rasa
solidaritas
dalam
masyarakat.
Kemudian kepentingan orang kaya dianggap bertentangan dengan orang miskin yang nantinya akan menimbulkan perpecahan. g.
Merupakan kejahatan ekonomi Bunga jika digunakan untuk kepentingan konsumsi maka akan menurunkan standar hidup dan pendidikan anak-anak mereka karena pembayaran angsuran yang berat secara terus menerus dan akan timbul kecemasan yang akan merusak efisiensi kerja. Begitu pula jika bunga dipinjamkan pada sektor produktif maka, akumulasi modal sia-sia karena pemodal menahannya dengan harapan akan adanya kenaikan bunga, akan timbul sikap tamak untuk
105
menaikkan bunga yang lebih tinggi sehingga tidak tersalurkannya dana yang seharusnya dikerjakan pelaku bisnis yang akan mempercepat kehancuran ekonomi dan terakhir modal tidak diinvestasikan ke dalam banyak perusahaan yang sangat bermanfaat panjang dengan harapan meningginya bunga di masa depan hal ini akan menghambat pembangunan industri.68 Bahkan menurut Monzer Khaf, kegiatan menabung dan deposito di bank secara ekonomi merupakan kegiatan negatif, karena itu selayaknya harus dijatuhi hukuman bukan malah mendapatkan imbalan atau hadiah dan itulah salah satu masalah dalam Islam.69
68
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 285. 69
Ibid., h. 313.
BAB IV Kesimpulan dan Saran A.
Kesimpulan Kesimpulan dapat penulis uraikan setelah melakukan analisis adalah sebagai berikut: Konsep pembangunan ekonomi yang diambil Mohammad Hatta dalam masa peralihan, yaitu: a. Membangun perekonomian Indonesia dengan tujuan kesejahteraan sosial kemasyarakatan b. Menjadikan Koperasi sebagai sistem ekonomi yang dapat membantu usaha rakyat kecil c. Pembangunan infrakstruktur, transportasi juga program transmigrasi dalam pemerataan pembangunan dan distribusi kekayaan di wilayah Indonesia. d. Pembangunan pertanian untuk melengkapi pangan nasional dan menjadikan perkebunan sebagai devisa negara e. Utang luar negeri dengan pengawasan dan ketentuan yang ketat sebagai bantuan dana dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
106
107
Sedangkan konsep pembangunan ekonomi Syafruddin diantaranya, yaitu: a. Pendidikan dan pengajaran sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional. b. Pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan memperhatikan stabilitas moneter. c. Pembangunan sektor pertanian untuk memenuhi swasembada pangan nasional. d. Mempertahankan dan meningkatkan modal asing untuk industriliasi Indonesia. e. Memberdayakan usaha kecil melalui kredit perbankan. f. Menempatkan Bank sentral sebagai memelihara kestabilan moneter. g. Perencanaan pembangunan dengan sistem ekonomi swasta, yaitu memberikan kepada swasta pribumi maupun asing untuk melakukan kegiatan produktif. Persamaan konsep keduanya adalah pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dengan kemakmuran yang merata, karena keduanya adalah pembela hak-hak manusia dan hak rakyat kecil, serta pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai dasar dari pembangunan.
108
Perbedaan konsep keduanya dapat dilihat dari sikap keduanya dalam menghadapi masalah pembangunan di lapangan. Hatta hanya memfokuskan sistem koperasi sebagai sistem yang baik dan pas diterapkan di Indonesia yang memiliki budaya gotong-royong, dan sifatnya yang tegas namun cenderung tertutup membuatnya hati-hati dalam menetapkan kebijakan, namun Hatta merupakan simbol orientasi pembangunan seperti yang disebut Higgins. Syafruddin yang seorang Gubernur BI, pandangannya lebih pada kestabilan moneter, serta sikapnya tegas, kritis dan terang-terangan selalu mengkritik dengan argumen yang rasional dan mengikuti hati nuraninya pada kebijakan yang menurutnya tidak sesuai, meskipun terkadang pandangannya dianggap melawan arus. Sedangkan konsep pembangunan ekonomi keduanya jika dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam yaitu prinsip mashlahah juga pandangan ekonom muslim klasik dan kontemporer, pemikiran kedua tokoh mengenai pembangunan selaras dengan tujuan ekonomi Islam untuk keadilan sosial yang merata, yang dilakukan dengan jalan yang baik tidak merugikan ataupun menzalimi pihak lain, sehingga dapat pembangunan ekonomi dapat dilakukan secara baik dan selaras antara sesama manusia serta lingkungan. Meskipun begitu pemikiran mereka tersebut tidak disebut sebagai konsep ekonomi Islam, namun secara substansi sudah sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.
109
Walaupun begitu keduanya sama-sama berbeda pendapat mengenai pengertian riba dengan bunga yang dianggap sama sehingga keduanya masih memperbolehkan bunga bank karena tidka bersifat eksploitasi, namun hal tersebut tetap harus dikritisasi karena telah diketahui bahwa bunga dan riba itu sama sehingga bunga bank diharamkan, dan Allah telah jelas membedakan antara jual beli dan juga riba. Meskipun Sri Edi Swasono mengatakan jangan berpandangan sempit jika ekonomi Islam hanya terpaku dalam masalah bunga dan riba. Tapi kita harus tetap membuka mata dan telinga kita jangan sampai terpengaruh dengan hal yang sudah ditetapkan. B.
Saran Berkenaan dengan penelitian ini, penulis ingin menyampaikan beberapa catatan serta saran yang dirasa penting: 1.
Perlunya kajian lagi secara mendalam mengenai pemikiran ekonomi pembangunan Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara yang masih relevan dengan kebijakan ekonomi saat ini, untuk menyelaraskan tujuan pembangunan berdasarkan UUD ’45 serta prinsip ekonomi Islam yang sesuai untuk semua ummat.
2.
Bagi pemerintah selaku pemegang kuasa dalam penetapan kebijakan ekonomi, agar dapat melihat kembali kebijakan yang telah ditetapkan apakah mengandung unsur eksploratif dan penindasan yang malah
110
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan melenceng dari tuuan ekonomi yang telah dibangun dan ditetapkan dalam UUD ’45, serta yang selaras dengan prinsip ekonomi yang menekankan keadilan sosial untuk tercapainya kemakmuran yang merata. 3.
Kepada pembaca skripsi ini agar kritis dalam membaca analisis yang dipaparkan, karena pemaparan yang tidak jelas atau sesuai dan adanya kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam : Menangkap Makna Maqasid al Syariah. Jakarta: Penerbit Kompas, 2010. . “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”. Ahkam. No.5(Maret 2001). Alfarizi, Salman. Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980. Jogjakarta: GARASI, 2012. Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010. Chapra, Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani, 2000. Farida Swasono, Meutia, ed. Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1980. Hakim, Abdul. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2010. Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita, Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II. Jakarta: UI Press, 1992. . Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang. Jakarta: Universitas Indonesia, 1985. . Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang Jakarta, 1976. . Permulaan Pergerakan Nasional, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Sarikat Islam (SI). Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1977. . Pikiran-Pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata. Jakarta: Yayasan I Daya Press, 1974. 110
111
. Setelah 25 Tahun. Pidato disampaikan pada Dies Natalies kesembilan Universitas Sjiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 2 September 1970 (Jakarta: Gita Karya, 1970). J Moeloeng, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014. Kementerian Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik: Pembangunan Ekonomi Umat. Jakarta: Kemenag RI, 2012. Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan; Masalah, Kebijakan dan Politik. Jakarta: Erlangga, 2010. Krippendorff, Klaus. Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, Second Edition. London: Saga Publications, 2004. L Jhingan, M. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) FSH, 2012. Prawiranegara, Syafruddin. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II. Jakarta: CV Haji Masaagung, 1988. . Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.I. Bandung: AlMa’arif, 1950. _____________________. Islam sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.
112
____________________. Human Development Pola Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran-Ajaran Islam dan UUD ’45. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. P. Todaro, Michael. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Keenam. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Penerbit Erlangga, 1998. Rahardjo, M. Dawam. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara. Jakarta: Mizan, 2011. . Ekonomi Politik Pembangunan. Jakarta: LSAF, 2012. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif :Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritasasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Kencana, 2011. Soesastro, Hadi. ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959: Membangun Ekonomi Nasional. Jakarta: Kanisius, 2005. . Pemikiran dan Permasalahan di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966: Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Canisius, 2005. . Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 3 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru. Jakarta: Kanisius, 2005. . Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 4 1982-1997: Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi. Jakarta: Kanisius, 2005.
113
Suyatno, Bagong, ed. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2005. Wee, Thee Kian ed. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an Jakarta: Kompas, 2005. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Situs Internet Agataha Nanda Widiiswa, Ryan. “Bung Hatta Sang Konseptor Perkonomian Bangsa Indonesia”.
Artikel
diakses
pada
19
Februari
2014
dari
http://politik.kompasiana.com/2013/06/02/bung-hattasang-konseptorperekonomian-bangsa-indonesia-565157.html. Syahputra, Effendi. “Membumikan Pemikiran Bung Hatta”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari http://persatuanindonesia.or.id/artikel/136-membumikanpemikiran-bung-hatta Samin, Muhammad. “Prabowo: Benahi Ekonomi Indonesia, Belajar dari Pemikiran Hatta dan Soedjatmoko”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/10/09/prabowo-benahiekonomi-indonesia-belajar-dari-pemikiran-hatta-dan-soedjatmoko-499970.html Mudrajat, Kuncoro. “Tonjolkan Pemikiran Ekonomi Bung Hatta”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari http://www.bunghatta.ac.id/berita/27/mudrajatkuncoro-tonjolkan-pemikiran-ekonomi-bung-.html
114
Purwanto, April. “Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta”. Artikel diakses pada 19 Februari
2014
dari
http://pistaza.wordpress.com/2011/10/11/pemikiran-
ekonomi-mohammad-hatta/ Swasono, Meutia Farida Hatta. “Pemikiran dan Konsep Pemikiran Bung Hatta”. Artikel
diakses
pada
19
Februari
2014
dari
http://muhammadardiannur.wordpress.com/2012/07/29/pemikiran-dan-konsepekonomi-bung-hatta/ Ilyas, Ulfa. “Gagasan Ekonomi Bung Hatta Masih Relevan”. Artikel diakses pada 19 Februari
2014
dari
http://www.berdikarionline.com/kabar-
rakyat/20130406/gagasan-ekonomi-bung-hatta-masih-relevan.html “Tokoh Indonesia: Mohammad Hatta”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari http://www.e-pustaka.com/tokoh-indonesia-mohammad-hatta.html