KOMUNIKASI TINGKAT BASIS DAN KESADARAN KRITIS PENGARUSUTAMAAN GENDER (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)
AHMAD YUSRON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011
Ahmad Yusron NIM I352080081
ABSTRACT AHMAD YUSRON. Communication Base Rate and Critical Consciousness, Gender Mainstreaming. Under direction of NINUK PURNANINGSIH and AMIRUDDIN SALEH Kenanga village of district Cirebon, is one area that gets the PNPM Mandiri program. This is due to poverty is still a large population of Kenanga village. PNPM Mandiri is a means to alleviate poverty in Indonesia. The program was characterized by active participation of society, awareness of responsibility towards the development and equitable gender roles. This concept represents a new paradigm in the application system in Indonesian Development. To realize the vision of this mission required a participatory communication. To analyze this concept carried out a study using a qualitative approach to the critical paradigm. For data collection has done by using interview techniques, both participatory observation and observations that are closed, the forum group discussions or FGDs and literature studies. The point object from the unit under study PNPM mandiri are activities revolving loan. Results obtained from this study that the pattern of communication which were conducted in PNPM Mandiri participation was communication with the communication approaches that were sequential. With this communication pattern has been distorted so that the internalization of the program to the community not be comprehensive. As a result, the implementation of the PNPM Mandiri undergone many obstacles. Keywords: communication, critical conciseness, gender mainstreaming
RINGKASAN AHMAD YUSRON, Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender: Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH dan AMIRUDDIN SALEH Dalam rangka menanggulangi kemiskinan pemerintah telah meluncurkan berbagai program. Mulai dari program yang ditujukan untuk petani, dengan berbagai skim kredit dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Berbagai program tersebut secara signifikan belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin. Menjawab kondisi ini pemerintah membuat sebuah program yang bersifat komprehensif. Program ini menitikberatkan peran masyarakat menjadi tulang punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran laki-laki dan perempuan. Program tersebut adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci program ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan dan pemberdayaan. (LP3S & World Bank 2007). Salah satu bentuk kegiatan PNPM Mandiri adalah pinjaman bergulir. Kegiatan ini memberikan kemudahan akses, terutama masyarakat miskin termasuk perempuan, yang selama ini aksesibilitas mereka terhadap perbankan sangat sulit yang menjadikan mereka khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk berkembang. Untuk mencapai keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator PNPM Mandiri. Pendekatannya adalah dengan menggunakan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran komunikasi banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi atau model interaksi. Dari latar belakang inilah, penelitian dibuat. Penelitian ini bertujuan pertama menganalisis komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri, kedua menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri dan ketiga menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman bergulir PNPM Mandiri Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma kritis. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian sebagai kritik sosial dan penguatan sosial. Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Meski demikian data kuantitatif akan digunakan sebagai penguat data kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Instrumen yang digunakan untuk melakukan penggalian atau
memperoleh data adalah pengamatan atau observasi, wawancara semi terstruktur, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan dua pola pendekatan yaitu komunikasi partisipatif dan linier. Proses komunikasi yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat banyak menggunakan komunikasi partisipatif, sedangkan komunikasi antara masyaraka dengan fasilitator menggunakan komunikasi linier. Pola komunikasi partisipatif dan linier dilaksankan dalam berbagai siklus PNPM Mandiri dari tahap persiapan sampai evaluasi. Dilihat dari distribusi pesan, pelaksanaan komunikasi kegitan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi terdiri dari kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh atau memiliki kapasitas sebagai opinion leader. Komunikasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga didukung juga dengan komunikasi sekunder melalui media warga dalam bentuk buletin dan papan informasi. Media warga dalam bentuk media cetak adalah buletin dengan nama gema bangkit. Pada kenyataannya media sekunder, masih belum efektif sebagai sarana komunikasi partisipatif dan masih cenderung sebagai formalitas dan bagian siklus kegiatan PNPM Mandiri yang telah ditetapkan oleh regulator. Dalam konteks isu gender gender, akses komunikasi tingkat basis memberikan peluang yang sama baik laki-laki dan perempuan untuk mengakses sarana-sarana komunikasi. Pada tingkat partisipasi dan kapasitas dalam kegiatan komunikasi banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh penciptaan iklim komunikasi yang tidak mengakomodir kondisi perempuan. Salah satunya adalah jadwal rembug warga yang sering dilaksanakan pada malam hari hingga larut malam. Selain itu, konsep diri perempuan yang terstigma kuat bahwa kegiatan publik merupakan domain laki-laki baik dari segi peran dan tanggung jawab. Dilihat dari sudut internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai kegiatan yang bersifat jangka pendek. Pandangan masyarakat masih memahami kegiatan PNPM Mandiri, hanya sebatas pada kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Untuk program-program lain seperi bidang sosial dan pinjaman bergulir, banyak tidak diketahui oleh masyarakat. Ironisnya lagi kelompok dari rumah tangga miskin sebagai sasaran program tidak mengetahui program PNPM Mandiri. Rendahnya internalisasi program ini disebabkan sistem komunikasi yang tidak berjalan dengan baik terutama antara simpul komunikasi dengan masyarakat tingkat basis. Selain itu, sifat fatalis dari kelompok miskin, yang menganggap selama ini program penanggulangan kemiskinan tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan nasib mereka. Pada kegiatan pinjaman bergulir, ditinjau dari aspek gender sudah menunjukkan adanya equality gender. Hal ini terlihat dari isu-isu gender, yang mengindikasikan adanya persamaan akses, partisipasi pengelolaan, pemanfaatan kegiatan dan kontrol terhadap kegiatan pinjaman bergulir antara laki-laki dan perempuan.
Pemanfaat pinjaman bergulir sebagian besar adalah perempuan. Mereka merupakan pelaku usaha mikro kecil menengah, namun dalam pemanfaatan dana, tidak semuanya pinjaman bergulir digunakan untuk keperluan usaha yang mereka miliki. Banyak pemanfaat perempuan menggunakan dana pinjaman bergulir untuk kepentingan kebutuhan sehari-sehari yang bersifat sekunder, seperti untuk pendidikan, perehaban rumah, dan keperluan lainnya. Selain itu, ditemukan juga dana dari pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan suami seperti kepentingan suami berangkat merantau. Pada pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir, perempuan masih sebatas obyek kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari segi kepengurusan dan inisiatif perempuan dalam membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) pinjaman bergulir. Dalam masalah tanggung jawab terhadap pengembalian dana pinjaman bergulir, perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan laki-laki, meski demikian kasus besar kemacetan banyak dilakukan oleh perempuan. Berkaitan dengan kontrol sosial, kegiatan pinjaman bergulir belum terbangun sistem kontrol yang baik, pada tingkat pengelola maupun tingkat masyarakat. Hal ini menjadikan konsep tanggung renteng dalam pelaksanaan pinjaman bergulir belum berjalan. Konsekuensinya, pinjaman bergulir yang secara konsepnya merupakan pinjaman bersama dan dibayar secara bersama, secara aplikasinya sebagai pinjaman individu dan dibayar berdasarkan individu. Secara umum kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga dalam payung PNPM Mandiri, telah mengisyaratkan perubahan-perubahan pandangan masyarakat terhadap program-program pemerintah. Program pemerintah sedikit demi sedikit dipahami oleh masyarakat bukan program charity tetapi program yang harus dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab.
©Hak Cipta milik IPB 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip Hak Cipta sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KOMUNIKASI TINGKAT BASIS DAN KESADARAN KRITIS PENGARUSUTAMAAN GENDER (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir Program PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)
AHMAD YUSRON
Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Akhir: Prof. Dr. Aida Vitayala Hubeis
LEMBAR PENGESAHAN TESIS Judul Penelitian
Nama NIM Program Studi
: Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Peminjaman Bergulir PNPM Mandiri Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon) : Ahmad Yusron : I352080081 : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si Ketua
Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Anggota
Diketahui,
Koordinator Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 15 Juni 2011
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon) Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan pada tesis ini. 2. Dr. Ir Djuara P. Lubis, MS dan Dr. Ir. Sarwititi Agung, MS yang telah membimbing pada saat kolokium. 3. Almarhum KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang telah memberi inspirasi dan pencerahan terhadap penulis tentang persamaan hak dalam berkehidupan. 4. Koordinator Kabupaten dan fasilitator kelurahan (Faskel) yang telah memberikan data-data awal kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. 5. Aktivis penggerak kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga yang telah bersedia melakukan diskusi-diskusi berkenaan dengan partisipasi gender. 6. Lurah kenanga beserta staf yang telah membantu memberikan data-data demografi kelurahan Kenanga. 7. Teman-teman seperjuangan di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan angkatan 2008. 8. Ikhsan Fuady, kompti angkatan 2008 yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil. 9. Orang terkasihku istriku Dara Agusti, A.Md., anakku Redlita Annisa dan Muhammad Prabu Wiguna yang senantiasa sabar menunggu. 10. Keluarga besar alm. H. Samsuri Ibnu Hadjar yang telah memberikan dorongan moril dan spirituil.
Bogor, Juni 2011
Ahmad Yusron
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 15 Juli 1975, putra kedua dari empat bersaudara pasangan (alm) H. Samsuri Ibnu Hadjar dan Hj. Mariyatul Kibtiyah Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung dan pada tahun 2008 melanjutkan studi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Cirebon pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Selain aktif di dunia pendidikan penulis aktif di Yayasan Banati, sebuah yayasan untuk pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2009, penulis menjadi tenaga ahli Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam rangka pembuatan rencana induk pengembangan daerah tertinggal di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Dara Agusti, A.Md. dan dikaruniai dua orang anak yaitu Redlita Annisa dan Muhammad Prabu Wiguna.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN ................................................................................
1
Latar Belakang Penelitian ......................................................... Rumusan Masalah Penelitian .................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................... Kegunaan Penelitian ................................................................. Definisi Istilah ...........................................................................
1 4 5 6 7
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... Kegiatan PNPM Mandiri .......................................................... Feminimisasi Kemiskinan ......................................................... Pembangunan Berwawasan Gender .......................................... Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan ....................... Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan....... Partisipasi Masyarakat .............................................................. Pemberdayaan dalam Perspektif Gender .................................. Komunikasi Partisipatif dan Linier .......................................... Komunikasi Kelompok ............................................................. Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender .............................. Review Hasil Penelitian tentang Gender ................................... Kerangka Pemikiran ..................................................................
11 11 13 17 23 25 28 31 34 40 42 44 46
METODE PENELITIAN ...................................................................... Paradigma Penelitian ................................................................. Desain Penelitian ....................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... Data dan Instrumen ................................................................... Analisa Data .............................................................................. Hipotesis Pengarah ....................................................................
49 49 51 53 53 56 56
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. Gambaran Obyek Penelitian ..................................................... Kondisi Geografis dan Administrasi.............................. Kondisi Demografis ...................................................... Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri ... Sistem Komunikasi Masyarakat .................................... Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri..……….. Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi.... Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis …………..
59 59 59 60 62 64 66 66 76
Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender ………………………………………………... Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri....................................... Pencitraan Kegiatan PNPM Mandiri.............................. Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik …. Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir ............ Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga .... Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri…...................................................................... Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri ....…………………………………….. Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK ............................................................................... Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender.. Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM .......….. Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir ……………………………………………….. Pembangunan Sistem Kontrol Sosial Kegiatan Pinjaman Bergulir ......................................................... Jawaban Hipotesis Pengarah .........................................
79 86 86 88 91 91 93 94 95 97 99 104 110 112
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. Simpulan ................................................................................... Saran ..........................................................................................
115 115 116
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
117
LAMPIRAN ..........................................................................................
121
DAFTAR TABEL Halaman 1
Data, sumber informasi dan instrumen ...........................................
55
2
Pembagian wilayah .........................................................................
59
3
Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ...................................
60
4
Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ...
60
5
Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian .....................................................................................
61
Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri .............................................
67
Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
68
Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
72
Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
73
10 Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri ...........................................................................................
75
11 Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis .........
76
12 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri .....................................
80
13 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
80
14 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri .................................................................
81
15 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ...............................................................................
82
16 Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ............................
8
17 Distribusi peran dan pemanfaatan program dalam aspek gender ...
85
18 Matriks gambaran internalisasi program ........................................
86
19 Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir ........................
94
20 KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan .....
99
21 KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat ..................
103
22 Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir .............
111
6 7 8 9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur kegiatan PNPM Mandiri .........................................................
12
2
Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri .......................................
34
3
Peran komunikasi dalam pembangunan ...........................................
36
4
Model komunikasi linier Lasswell ...................................................
36
5
Model komunikasi sirkular Schramm ..............................................
37
6
Kerangka pemikiran .........................................................................
47
7
Siklus kegiatan PNPM Mandiri .......................................................
66
8
Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan ..................................
69
9
Alur pembentukan kelembagaan BKM ............................................
70
10
Alur kegiatan PNPM Mandiri fase perencanaan .............................
72
11
Alur Kegiatan PNPM Mandiri fase pelaksanaan .............................
74
12
Alur kegiatan PNPM Mandiri fase evaluasi .....................................
75
13
Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ..........................................................................
77
14
Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan .......
100
15
Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir ...............................
111
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian……………………………………………………
122
2.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ........ 123
3.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang internalisasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga………………….
125
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang kesadaran kritis pengarusutamaan gender……………………………………….......
126
Dokumentasi foto kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon…………………………...
128
4. 5.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan dapat dipandang sebagai sarana menuju pada perubahan dan merupakan siklus alamiah sebagai jawaban atas perkembangan peradaban manusia. Hal ini mengindikasikan pemaknaan sebuah pembangunan tidak dapat dilihat pada satu sudut pandang. Hal tersebut dapat dilihat pada paradigma, teori, konsep dan aplikasi yang dibangun yang sangat beragam. Kondisi ini telah menciptakan berbagai kajian tentang pembangunan. Salah satu kajian tersebut adalah konsep Socioeconomic Development. Konsep ini memiliki tajuk yang secara eksplisit menunjukkan penonjolan aspek sosial di samping aspek ekonomi. Implikasi yang diharapkan dari pendekatan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkesinambungan, berkurangnya pengangguran, berkurangnya dampak negatif di bidang kesehatan sebagai akibat kemiskinan, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, dan kemandirian (Sutomo 1998). Hal serupa juga sesuai dengan pemahaman yang dibuat oleh UNESCO yang menyatakan bahwa tujuan dan sarana pembangunan bukan membangun benda melainkan membangun manusia. Pengertian ini dapat disederhanakan bahwa pembangunan mengandung dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek manusia (Poostchi 1986). Dari konsep ini dapat diambil sebuah kesimpulan besar bahwa pembangunan harus dilaksanakan secara komprehensif dengan menitikberatkan masyarakat sebagai bagian modal pembangunan yang berasaskan keadilan. Dalam konteks Indonesia pembangunan diidentikan dengan program penanggulanagan kemiskinan karena persoalan bangsa selama ini adalah kemiskinan. Pengentasan kemiskinan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat telah dimulai lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Periodisasi serta berbagai program yang dijalankan selama kurun waktu tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Periode 1974-1988 Berbagai program sektoral Pertanian (BIMAS, INMAS, KUK, Transmigrasi), Industri (industri padat karya, antara lain tekstil dan kayu lapis), berbagai kebijakan Inpres (desa, kabupaten, provinsi, jalan, irigasi, dll).
2
2. Periode 1988-1998 Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal
(IDT),
Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (Padat Karya, PDMDKE). 3. Periode 1998-2006 Program penanggulangan kemiskinan berbasis
masyarakat
di berbagai
sektor: PPK, P2KP, P2MPD, WSLIC, KPEL, P4K, dan lain-lain. Setelah dilakukan evaluasi secara mendalam ternyata pola sekarang dilakukan
parsial
sehingga
tidak
efektif
untuk
penanggulangan
kemiskinan. Seringkali dijumpai ada daerah-daerah yang mendapat lebih dua program, sementara ada daerah yang sama sekali tidak dapat. Oleh karena itu, mulai pada akhir 2006, mulai dilakukan program yang mengintegrasi antar sektoral dalam upaya menanggulangi kemiskinan. 4. Periode 2007- ke depan Harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). (Royat, 2008) Pengentasan kemiskinan harus dilaksanakan secara komprehensif yang tidak diukur hanya pada aspek fisik belaka. Tetapi juga dapat dilihat pada kondisi pola pikir masyarakat serta keadilan partisipasi gender. Dalam kaitan keadilan partisipasi gender dapat dilihat dengan menggunakan parameter Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM). Dalam konteks partisipasi gender, sementara ini masih menunjukkan adanya ketidakadilan peran gender. Hal ini dapat dilihat ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Kondisi ini tercermin dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Unifem pada tahun 2000 yang menunjukkan rendahnya representasi perempuan dalam ranah publik. Disebutkan bahwa dalam DPR representasi perempuan hanya mencapai 8,8%, MPR 9,1%, anggota DPA 2,7%, Hakim Agung 13,7%, kepala desa/lurah 2,3%, jabatan struktural kepegawaian 15,2% (BPS & Unifem 2000 dalam Nugroho 2008). Untuk menjawab kondisi seperti ini pemerintah membuat sebuah program yang bersifat komprehensif. Dalam hal ini peran masyarakat menjadi tulang
3
punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran laki-laki
dan
perempuan.
Program
tersebut
adalah
Program
Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci dari program ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan dan pemberdayaan perempuan (LP3S & World Bank 2007). Semangat dalam PNPM Mandiri mengindikasikan adanya gerakan pengarusutamaan gender (PUG). Gerakan PUG merupakan upaya untuk menggugah kesadaran para pengambil kebijakan akan perlunya gender equality dari hasil pembangunan. Penyelenggaraan PUG mencakup pemenuhan kebutuhan praktis gender dan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan perempuan yang sifatnya untuk memperbaiki kondisi mereka agar menjalani kehidupan serta peran-peran sosial mereka secara layak dan bermartabat. Kebutuhan strategis adalah perubahan peraturan hukum, penafsiran ulang atas ajaran agama yang dianggap mensubordinasikan perempuan, penghapusan kekerasan dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan. PNPM Mandiri dilaksanakan dengan mengembangkan tiga aspek kegiatan yang disebut dengan tridaya. Kegiatan tersebut antara lain, bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Kegiatan bidang ekonomi salah satunya diaplikasikan melalui kegiatan punjaman bergulir yang mudah diakses oleh masyarakat miskin termasuk perempuan yang sementara ini terkendala dengan akses perbankkan. Sehingga perempuan, khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk berkembang. PNPM Mandiri sebagai program yang bercirikan keadilan gender diharapkan akan memunculkan kesadaran kritis dalam pengarusutamaan gender yang diimplementasikan oleh masyarakat dalam bentuk partisipasi dan pembuatan program-program pembangunan yang dituangkan dalam Program Jangka Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta) yang memiliki aksi strategis yang berwawasan gender.
4
Untuk mewujudkan keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator PNPM Mandiri.
Pendekatannya
adalah komunikasi pembangunan
yang
difokuskan pada usaha penyampaian dan pembagian (sharing) ide, gagasan dan inovasi pembangunan antara pemerintah dan masyarakat. Pada proses tersebut, informasi dibagi dan dimanfaatkan bersama-sama dan seluas-luasnya sebagai suatu yang berguna untuk kehidupan (Dilla 2007). Rumusan Masalah Penelitian PNPM Mandiri adalah program dengan mengusung konsep bottom up, keberdayaan, kemandirian dan keadilan gender. Konsep ini merupakan konsep yang revolutif karena mengindikasikan adanya perubahan besar dalam konsep pembangunan masyarakat di Indonesia. Konsep seperti ini diyakini mampu oleh pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pembangunan terutama pengentasan kemiskinan. Kata kunci pertama keberhasilan konsep
ini adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam pembangunan. Kesadaran kritis masyarakat tidak hanya dipahami sebatas partisipasi dalam pembangunan, tetapi juga dalam persoalan peran antara laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan PNPM Mandiri tidak dinilai pada ukuran-ukuran fisik pembangunan tapi juga pada ukuran keadilan gender. Dalam kaitan ini komunikasi memegang peranan penting di dalam menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dan penciptaan keadilan dalam perspektif gender. PNPM Mandiri bercirikan pemberdayaan dan keadilan telah memberikan akses kepada perempuan sebagai pengelola dan pemanfaat kegiatan di antaranya dalam kegiatan pinjaman bergulir. Pengembangan dari situasi ini adalah penelaahan yang lebih dalam apakah kemudahan akses ini merupakan bentuk afirmasi terhadap perempuan atau bagian eporia atau benar-benar menunjukkan kesadaran kritis. Secara umum, benang merah yang dapat ditarik dari perumusan masalah ini adalah bagaimana komunikasi tingkat basis di dalam menciptakan kesadaran kritis dalam pengarusutamaan gender. Sebagai unit analisis inti adalah kegiatan
5
pinjaman bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga. Dari gambaran secara umum ditarik pada perumusan secara khusus sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Unit analisis yang dikembangkan adalah: (1) Komunikasi tingkat basis dalam berbagai dimensi; (2) Aplikasi model komunikasi tingkat basis; (3) Komunikasi kegiatan PNPM Mandiri dalam isu gender. 2. Bagaimana gambaran internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga? Unit analisis yang akan ditelusuri adalah pencitraan dan aktivasi kegiatan PNPM Mandiri dan internalisasi berdasarkan keragaman karakteristik. 3. Bagaimana pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir? Unit analisis yang ditelusuri adalah: (1) Gambaran kegitan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon; (2) Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir; (3) Peran perempuan pada kelembagaan unit pengelola keuangan; (4) Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir; (5) Keragaman profil perempuan pemanfaat pinjaman bergulir; (6) Inisiasi perempuan dalam pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat pinjaman bergulir; (7) Tanggung jawab perempuan terhadap pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir; (8) Perempuan dan kontrol sosial kegiatan pinjaman bergulir. Tujuan Penelitian PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga merupakan program inovasi yang memerlukan
pembelajaran
yang
intensif
pada
masyarakat.
Hal
ini
mengindikasikan perlunya manajemen komunikasi yang strategis, terarah dan tepat sasaran, karena visi misi PNPM Mandiri sebagai sarana pendobrak pola pembangunan sentralisme dan paradigma kerangka berpikir lama. Titik krusial program ini ada pada kegiatan pinjaman dana bergulir, karena selama ini program pinjaman bergulir khususnya di Kelurahan Kenanga tidak berjalan dengan baik. Hal ini tentunya diperlukan sebuah kesadaran kritis bersama sehingga program pinjaman bergulir dapat berjalan dengan baik . Kesadaran kritis dalam pembangunan tidak hanya dipahami pada aras partisipasi tetapi juga dipahami secara keadilan gender. Kesadaran kritis akan
6
muncul dari sebuah pembelajaran dengan menggunakan media komunikasi. Dari paparan di atas tujuan penelitian ini dapat disederhanakan sebagai berikut: 1. Menganalisis model komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. 2. Menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. 3. Menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mencoba membangun satu kesatuan antara komunikasi tingkat basis dengan kesadaran kritis gerakan pengarusutamaan gender. Dari perumusan penelitian yang dibuat, maka kegunaan penelitian ini mencakup tiga aspek yaitu: 1. Kegunaan teoretis. Diharapkan
penelitian
ini
dapat
memberikan
kontribusi
terhadap
pengembangan ilmu komunikasi baik secara konseptual dan teoretis terutama mengenai komunikasi partisipasi. 2. Kegunaan kritis. Diharapkan penelitian ini sebagai inspirasi untuk membangun kesadaran kritis dalam perspektif gender terutama berkenaan dengan keseimbangan dan keadilan
peran
antara
laki-laki
dan
perempuan
dalam
partisipasi
pembangunan. 3. Kegunaan praktis. Diharapkan penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dan bahan informasi bagi perencana dan pengambil kebijakan oleh instansi tertentu yang terkait dengan kegiatan PNPM Mandiri yang berkenaan dengan kesadaran kritis pembangunan dalam perspektif gender.
7
Definisi Istilah Setiap penelitian memiliki ranah kajian khas yang memunculkan beberapa istilah spesifik. Tentunya dalam kaitan penelitian ini istilah spesifik yang muncul adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan kegiatan PNPM Mandiri dan kajian gender. Berikut ini beberapa istilah penting yang berhubungan dengan tema kajian penelitian: 1.
BKM
: Badan Keswadayaan Masyarakat adalah suatu badan yang dibentuk masyarakat yang bertujuan untuk mengelola PNPM Mandiri.
2.
Faskel
: Fasilitator Kelurahan adalah seseorang yang ditugasi untuk melakukan pendampingan pada tingkat basis dalam kegiatan PNPM Mandiri.
3.
GAD
: Gender
and
pembangunan
Development yang
adalah
melibatkan
secara
konsep penuh
perempuan di dalam mengikuti proses pembangunan dari perencanaan sampai evaluasi. 4.
GDI
: Gender-related Development Index adalah ukuran yang digunakan dalam parameter gender yang berkaitan dengan pembangunan.
5.
GEM
: Gender Empowerment Measurement ukuran yang digunakan masyarakat
untuk
melihat
terutama
kaum
tingkat
keberdayaan
perempuan
dalam
pembangunan. 6.
IDT
: Inpres Desa Tertinggal adalah program pemerintah pada masa orde baru untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan.
7.
Korkab
: Koordinator Kabupaten adalah orang yang bertugas untuk melakukan koordinator dalam kegiatan PNPM Mandiri dalam lingkup kabupaten atau kota.
8.
KSM
: Kelompok Swadaya Masyarakat adalah kelompok yang dibentuk masyarakat yang bertugas sebagai pelaksana atau eksekutor program.
8
9.
MDGs
: Millennium Development Goals adalah program Perserikatan
Bangsa-Bangsa
yang
bervisi
misi
mengentaskan kemiskinan dengan target 2015 dengan mengedepankan delapan aspek prioritas. 10. PJM
: Program Jangka Menengah adalah istilah yang digunakan untuk program selama tiga tahun yang dibuat dan dilaksanakan oleh BKM.
11. PNPM
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah di dalam
mengaplikasikan
berparadigma partisipasi,
bottom
konsep
up
pemberdayaan
pembangunan
menitikberatkan dan
pada
kemandirian
masyarakat. 12. PUG
: Pengarusutamaan Gender adalah sebuah gerakan afirmasi yang ditujukan untuk meningkatkan peran terutama perempuan dalam proses pembangunan.
13. Renta
: Rencana Tahunan adalah istilah yang digunakan untuk nama program satu tahunan yang dilaksanakan oleh BKM yang bersumber dari program jangka menengah.
14. RPuK
: Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan adalah sebuah lembaga swadaya yang berbasis di Aceh yang intens dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
15. RWT
: Rapat Warga Tahunan adalah siklus kegiatan dalam program PNPM Mandiri yang merupakan sarana masyarakat untuk melakukan monitoring dan evaluasi program.
16. UPK
: Unit Pengelola Keuangan adalah unit kerja BKM yang bertanggung jawab dalam kegiatan ekonomi perguliran (pinjaman bergulir).
9
17. UPL
: Unit Pengelola Lingkungan adalah unit kerja BKM yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan.
18. UPS
: Unit Pengelola Sosial adalah unit kerja BKM yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan sosial.
19. WAD
: Women and Development adalah pendekatan yang menitikberatkan pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur dimensi ruang dan waktu yang digunakan oleh perempuan.
20. WID
: Woman in Development adalah kebijakan program pembangunan yang dapat menghasilkan pendapatan bagi perempuan.
10
11
TINJAUAN PUSTAKA Kegiatan PNPM Mandiri Secara umum PNPM dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Selain itu, PNPM Mandiri diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam rangka lebih mengefektivkan upaya-upaya pengurangan kemiskinan (LP3S & World Bank 2007). PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat. PNPM Mandiri
dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan
sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan dana stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja. Tujuan umum dapat dijabarkan dalam tujuan khusus di antaranya (1) Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang belum dilibatkan secara optimal dalam proses pembangunan; (2) Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor
budgeting);
(3)
Meningkatnya
keberdayaan
dan
kemandirian
masyarakat serta pemerintah daerah serta kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya; (4) Meningkatkan modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal; (5) Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi
12
tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat (Ditjen PMD 2008). Pada pelaksanaan operasional kegiatan PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar otonomi, desentralisasi, partisipasi, kesetaraan dan keadilan gender, demokratis, transparansi dan berorientasi pada masyarakat miskin (Ditjen PMD 2008). Dalam konteks aplikasi kegiatan PNPM Mandiri dapat digambarkan dalam Gambar 1 sebagai berikut:
Pemetaan swadaya
Pembuatan PJM/Renta
Aplikasi program (aspek perencanaan, aksi dan evaluasi)
Penguatan program (pelatihan-pelatihan)
Gambar 1. Alur kegiatan PNPM Mandiri Gambar 1 Di atas menunjukkan bahwa konsep PNPM Mandiri adalah program berbasis masyarakat. Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan pemetaan swadaya (PS). Pemetaan swadaya dilakukan oleh masyarakat yang telah diberikan pelatihan. Hasil dari pemetaan swadaya masyarakat meliputi berbagai tiga aspek besar yaitu: bidang kondisi fisik lingkungan warga, sosial dan ekonomi warga. Hasil pemetaan ini merupakan sumber dalam pembuatan Program Jangka Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta). Program Jangka Menengah dan Renta dibuat oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki badan hukum. Selanjutnya PJM dan Renta yang sudah disepakati bersama masyarakat diaplikasikan dalam program aksi yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Pelaksanaan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dimulai sejak tahun 2007, dengan nama Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program ini memiliki tiga sasaran yaitu: (1) Peningkatan sarana lingkungan fisik warga dengan melaksanakan perbaikan sarana lingkungan warga seperti
13
pengaspalan jalan, saluran pembuangan air limbah rumah tangga, pembuatan rabat beton dan lain-lain; (2) Peningkatan taraf kesejahteraan sosial yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan; (3) Ekonomi bergulir yaitu memberikan pinjaman lunak tanpa agunan kepada masyarakat dengan sistem berkelompok. Proporsi penggunaan anggaran dalam program ini adalah 70% digunakan untuk pembangunan peningkatan sarana fisik lingkungan, 10% untuk kegiatan sosial dan 20% untuk kegiatan ekonomi (pinjaman bergulir). Feminimisasi Kemiskinan Lahirnya PNPM Mandiri, merupakan jawaban atas hasil program-program pengentasan kemiskinan yang selama ini belum mendapatkan hasil yang optimal. Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh semua negara di dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Sampai tahun 2006, BPS memperkirakan hampir 17,4% dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin. Data lain yang ditunjukkan Whitehead dalam Cahyono (2005) telah mendata bahwa lebih dari setengah penduduk miskin di negara berkembang adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk kategori miskin, 70 persennya adalah kaum perempuan. Hal ini menguatkan terjadinya feminimisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan. Kemiskinan pada hakikatnya merupakan persoalan klasik dan belum ditemukan suatu rumusan atau formulasi penanganan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan, literatur mengenai kebijakan sosial menunjuk pada dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan yakni paradigma neoliberal dan demokrasi sosial (Suharto 2005). Dua paradigma atau pandangan ini kemudian muncul cetak biru dalam menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan-kebijakan dan programprogram anti kemiskinan. Teori neoliberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas hobbes, John Lock dan John Stuart Mill. Intinya menyerukan bahwa
14
komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776) dan Frederick Hayek, The Road of Serfdom (1944) dipandang sebagai rujukan kaum neoliberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne et al. (1992) dalam
Suharto (2005) disebut sebagai ide yang mengunggulkan
“mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absences of states intervention in the economy.” Para pendukung neoliberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan atau pilihanpilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”dan hanya melibatkan keluarga, kelompokkelompok swadaya, atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanya sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembagalembaga di atas tidak mampu menjalankan tugasnya (Shanon 1991; Spicker 1995; Cheyne et al. 1998 dalam Suharto 2005). Penerapan program-program structural adjustmen, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan contoh konkret dari pengaruh neoliberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan. Teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian yang muncul sebagai jawaban tehadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920an dan awal tahun 1930an. Menurut pandangan demokrasi sosial, strategi penanganan kemiskinan haruslah bersifat melembaga. Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang merupakan contoh strategi antikemiskinan yang diwarnai oleh teori demokrasi sosial. Jaminan sosial
15
yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (defedency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya. Dengan menggunakan perspektif lebih luas lagi David (2004) dalam Suharto (2005) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi: (1) Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi; (2) Kemiskinan yang berkaitan pembangunan,
kemiskinan
subsisten
(kemiskinan
akibat
dengan rendahnya
pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan); (3) Kemiskinan sosial yaitu kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas; (4) Kemiskinan konsekuensional, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadiankejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk. Mariana dan Purnama (2005) menyebutkan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Oleh karena itu menurutnya, sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terbelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi mereka pun kurang diberi tempat. Hal ini yang pada gilirannya memunculkan Feminimisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia. Dari sisi gender, World Bank (2003) dalam Indraswari
(2009)
mengidentifikasikan empat dimensi kemiskinan yaitu women’s lack of
16
empowerment, opportunity, capacity and security. Masalah pemberdayaan perempuan meliputi dua hal. Pertama pemberdayaan ekonomi terkait dengan minimnya atau lemahnya akses perempuan terhadap institusi keuangan formal. Kedua, masalah pemberdayaan juga terkait dengan minimnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan regional. Berbagai kajian tentang kemiskinan menunjukkan minimnya akses kelompok miskin terhadap institusi keuangan formal terutama dalam hal akses terhadap fasilitas perbankkan. Minimnya akses tersebut terkait kesulitan yang dihadapi kelompok miskin dalam penyediaan jaminan perbankkan karena pemilikan aset yang dapat dijadikan jaminan lebih sering diatasnamakan laki-laki. Untuk itu, diperlukan terobosan yang telah dilakukan Grammen Bank yang diprakarsai Mohammad Yunus, pemenang hadiah nobel. Dalam konteks PNPM Mandiri persoalan ini dipecahkan dengan adanya program pinjaman dana bergulir yang dikelola oleh masyarakat. Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir (2005) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan. Budaya patriarki dengan sistem kekerabatan yang bertumpu pada laki-laki akan menjadikan laki-laki merasa lebih superior dan berkuasa, sementara perempuan ada pada posisi inferior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya. Pada dasarnya ada faktor struktural yang menyebabkan individu dalam keluarga dan masyarakat tidak mempunyai akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan struktural tersebut adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil
17
dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik. Kondisi seperti ini tampak dengan jelas karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan, ekonomi dan lain-lain masih cukup menonjol. Dari pemaparan konsep, teori, beserta data-data tentang kemiskinan yang ada
mengindikasikan
perlunya
sebuah
penyelesaian
kemiskinan
secara
komprehensif. Dalam kaitan ini, penanganan kemiskinan harus melihat berbagai variabel, seperti variabel sosial, kemasyarakatan dan ekonomi. Hadirnya PNPM Mandiri diharapkan mampu menjadi jembatan dalam mengentaskan persoalan pembangunan terutama persoalan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena visi dan misi PNPM Mandiri adalah mengentaskan kemiskinan yang berbasis pada masyarakat. Pembangunan Berwawasan Gender Dewasa ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka (Arjani 2008). Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat menuju terwujudnya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Latar belakang munculnya konsep pembangunan berwawasan gender adalah kesenjangan dan ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini pada sebagian masyarakat di dunia merupakan warisan sejarah dan gejala budaya, yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan alam serta persepsi manusia tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan. Secara empiris manusia melihat adanya perbedaan biologis, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap gender. Atas dasar itu manusia mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah dan masyarakat. Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan dalam pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan
18
konsep gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat (Sudirja 2007). Kesalahpahaman terhadap konsep ini memunculkan sebuah stigma yang tidak adil dalam konstruksi sosial dalam masyarakat. Implikasinya adalah ketidakadilan peran dalam sektor publik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan ini tentunya bertolak belakang dengan sistem konstitusi yang berlaku di Indonesia. Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan. Dewasa ini berkembang stigma bahwa pembangunan berwawasan gender adalah pembangunan yang berperspektif perempuan. Stigma ini tentunya harus diluruskan karena makna pembangunan berwawasan gender memiliki dimensi yang sangat luas. Pembangunan berwawasan gender bukan hanya dilihat dari sisi bentuk dan pemanfaatan program yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan perempuan. Pembangunan berwawasan gender juga harus dipandang bagaimana aksesibilitas perempuan dalam pembangunan, penguasaan terhadap modal-modal pembangunan dan lebih penting lagi bagaimana kiprah perempuan dalam pembangunan. Lebih jauh memahami gender dalam pembangunan terutama dalam perspektif perempuan tentunya harus dipahami peran perempuan secara komprehensif. Dalam pengembangan citra dan prospek perempuan abad XXI, terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi, di mana seratus persen hidupnya untuk mengurusi keluarga dan patron pembagian kerja jelas (perempuan di rumah atau domestik, pria di luar rumah atau publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran tradisi lebih dari yang lain, pembagian kerja menuruti aspirasi gender, keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggungjawab kaum perempuan; (3) Dwiperan, memposisikan perempuan dalam dua dunia kehidupan (peran domestik-publik sama penting), dukungan moral dan perhatian suami menjadi pemicu ketegaran ataupun keresahan; (4) Peran egalitarian, kegiatan di publik
19
menyita waktu dan perhatian perempuan, dukungan moral dan tingkat kepedulian pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu peduli pada kepentingan perempuan) akan meningkatkan populasinya (Vitayala dalam Hastuti 2004). Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga Menteri Peranan Perempuan pada tahun yang sama yang berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, di mana perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada perkembangannya, pada tahun 2000 telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Inpres ini berisi instruksi kepada menteri, bupati atau walikota, kepala lembaga pemerintah nondepartemen untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, dalam pembangunan berwawasan gender (Sudirja 2007) yaitu: 1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh-sungguh melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, agar: a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat. b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal mungkin. c. Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang dan proses
pembangunan,
utamanya
berpartisipasi
di
bidang-bidang
20
nontradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan). 2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku dan pandangan masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan keluarga dan rumah tangga. 3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development (GAD). Konsep GAD tidak lahir begitu saja, tetapi mengalami proses yang panjang dimulai dari pemikiran WID, WAD. Masing-masing konsep berkembang sesuai dengan pengembangan konsep pembangunan dan kritik terhadap aplikasi konsep pembangunan yang ada, serta teori feminis yang menjadi bagian dari kritik terhadap pembangunan tersebut. WID menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga
seperti pendidikan,
keterampilan
serta
kebijakan
yang
dapat
meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan WID berpijak pada dua sasaran (1) pentingnya prinsip egalitarian. Prinsip egalitarian adalah kepercayaan bahwa semua orang sederajat. Egalitarianisme adalah doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia ditakdirkan sama derajat. Diartikan pula bahwa egalitarian merupakan asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota dalam proporsi yang relatif sama. Oleh karena itu dalam WID antara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama sebagai mitra sejajar; (2) WID menitikberatkan pada pengadaan program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami
21
oleh para perempuan di sektor produksi. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa sektor produktif identik dengan sektor publik dan ini banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sedangkan perempuan kurang dilibatkan bahkan tidak diberi peran sama sekali, karena kedudukan perempuan ada pada sektor domestik bukan produktif (Handayani & Sugiarti 2008). Program-program yang dapat diterapkan untuk pelaksanaan pendekatan WID adalah program-program yang dapat menghasilkan pendapatan bagi perempuan. Untuk lebih mendorong perempuan memasuki dunia publik, maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain pendidikan dan keterampilan. Untuk itu implikasinya dengan pemberian kesempatan belajar dalam jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi akan lebih memberikan kemampuan dan keterampilan bagi perempuan. Diharapkan dengan pemberian pendidikan ini, perempuan dapat mewakili kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang menunjang sektor-sektor produktif dan publik masyarakat. Selain pendidikan juga bekal keterampilan, baik melalui lembaga-lembaga formal maupun informal. Diharapkan melalui pendidikan keterampilan akan memberikan nilai tambah bagi perempuan dalam mencari penghasilan atau menambah pendapatan keluarga. Program yang lain dari WID adalah pemberian fasilitas kesejahteraan sosial seperti pemenuhan kebutuhan bagi kesehatan perempuan. Pendekatan WID menekankan terintegrasikannya perempuan dalam pembangunan, maka WAD lebih mengarah pada hubungan antara perempuan dan proses pembangunan. Dalam pendekatan WAD tidak dibahas letak kedudukan laki-laki dan perempuan. Sudah ada pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan, kesempatan dan peran yang sejajar. Oleh karena itu, isu dalam WAD adalah bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Hal ini sangat berkorelasi dengan situasi negara. Pada beberapa negara berkembang atau beberapa yang tergolong dalam jajaran dunia ketiga, peran laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi secara struktur internasional, khususnya mereka yang berada dalam golongan kelas sosial bawah. Pendekatan WAD tampaknya lebih kritis dari pada WID, tetapi WAD kurang dapat menjawab hubungan patriarki yang terjadi dalam corak produksi masyarakat. WAD akan berhasil menaikkan peran perempuan apabila ditunjang
22
oleh struktur politik yang lebih stabil dan merata, baik dalam skala nasional maupun internasional. Pedekatan WAD dititikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan. Kegiatan-kegiatan yang di luar tugas dan tanggung jawab unsur domestik. Kegiatan domestik berada di luar jalur kegiatan pembangunan. Oleh karena WAD menekankan pada hubungan antara laki-laki dan proses pembangunan maka implementasinya adalah ukuran produktivitas perempuan baik secara kesempatan maupun kemampuan yang dimiliki. WID dan WAD memiliki kesamaan yaitu sama-sama dalam kerangka ekonomi dan politik negara. Pendekatan GAD lebih menekankan bagaimana hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Pendekatan GAD muncul pada dekade 1980 an sebagai salah satu implementasi dari WID. GAD muncul dari teori bahwa sektor produksi dan reproduksi merupakan kausalitas penindasan terhadap kaum perempuan. (Handayani & Sugiarti 2008).
Pandangan bahwa
perempuan cenderung diartikan pada peran domestik dan bukan pada sektor publik menyebabkannya ditempatkannya perempuan pada posisi yang subordinat. Pendekatan GAD menitikberatkan analisisnya pada jawaban atas pertanyaan: mengapa perempuan ditempatkan pada peran-peran yang inferior di masyarakat? Untuk menjawabnya perlu pendekatan holistik atau menyeluruh tentang aspek-aspek kehidupan manusia. Untuk dapat mengetahui posisi perempuan dalam masyarakat perlu ditinjau kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi, pendekatan holistik dipakai untuk memahami posisi perempuan dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya dalam proses pembangunan. Dalam pendekatan GAD, posisi perempuan diletakkan dalam konstruksi sosial gender serta pemberian tertentu pada perempuan maupun laki-laki. Lakilaki berperan atau terlibat dalam penempatan posisi perempuan. Artinya, nasib kaum perempuan turut dipikirkan oleh laki-laki. Laki-laki turut serta berperan dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hal inilah yang disebut dengan hubungan gender. Dalam kerangka makro peran negara sangat berpengaruh terhadap penempatan posisi perempuan.
23
Pendekatan GAD secara implementatif cenderung mengarah pada komitmen pada perubahan struktural. Oleh sebab itulah pelaksanaan GAD memerlukan dukungan sosiobudaya masyarakat dalam politik nasional yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. GAD tidak mungkin terlaksana apabila dalam politik suatu negara masih menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior dan subordinatif. Dengan karakteristik yang dimiliki, PNPM Mandiri setidaknya merupakan instrumen yang paling penting yang dimiliki pemerintah untuk secara aktif menghapuskan hal-hal yang menghambat kesetaraan gender dalam pembangunan Arti penting PNPM mandiri dapat dilihat dari potensinya secara nasional untuk: (1) menanggapi kebutuhan praktis perempuan: dengan mendanai, misalnya, ketersediaan air bersih, fasilitas kesehatan dan pendidikan, yang dapat membantu menghilangkan hambatan praktis dari keterbatasan waktu dan kapasitas yang menghalangi keterlibatan perempuan dalam pembangunan; (2) meningkatkan potensi perempuan dalam kegiatan ekonomi: melalui investasi dalam infrastruktur lokal seperti jalan dan jembatan yang membantu menghilangkan beberapa kendala terhadap akses perempuan terhadap pasar dan sumberdaya; dan mendukung kegiatan keuangan mikro yang membantu perempuan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif dan mengembangkan usahanya; (3) menjamin partisipasi aktif perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan: melalui penekanan pada tingkat partisipasi secara luas yang dapat menghapuskan beberapa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal serta memastikan bahwa suara mereka terdengar dan bahwa mereka memiliki peluang untuk mempengaruhi proses serta keputusan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Persoalan ketidakadilan sosial dan ekonomi tidak terlepas dari adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender berkaitan dengan kehidupan komunitas, baik dalam perilaku sehari-hari, maupun dalam menjalankan peranperan politik dan sosial, sehingga mengakibatkan berbagai tindakan yang dilakukan semakin
memperdalam jurang
perempuan dan masyarakat marjinal lainnya.
ketidakadilan,
khususnya
bagi
24
Untuk mengeliminasi ketidakadilan ini, maka diperlukan sebuah strategi dalam kaitan ini adalah pengarusutamaan gender (PUG). Melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan, program atau proyek dan kegiatan pembangunan yang responsif gender serta mempunyai wawasan gender, sehingga dapat mengurangi ketidakadilan gender dan mengantar pada pencapaian kesetaraan dan keadilan. Istilah gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan bentukan budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.
Istilah pengarusutamaan gender
(gender
mainstreaming)
tercantum dalam Beijing Platform of Action pada tahun 1995 dalam RPuK (2007) sebagai berikut: “Gender Mainstreaming is a strategy for integrating gender concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and projects.” Lebih lanjut lagi Inpres RI No. 9 Tahun 2000 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan serta program pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender menjamin seluruh kebijakan program dan proyek pada setiap sektor pembangunan telah memperhitungkan aspek gender. Hal ini dilakukan dengan melihat laki-laki dan perempuan sebagai pelaku yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Dengan demikian hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat dapat ditegakkan. Berdasarkan Inpres tersebut, tujuan pengarusutamaan gender dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; (2) Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi, sebagai dampak dari bias gender; (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun nonpemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
25
Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan progam yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Kemeneg PP 2000) Keadilan dan kesetaraan gender berusaha diwujudkan dengan program dan proyek-proyek pembangunan, yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan gender, baik yang sifatnya praktis maupun yang strategis. Adapun langkahlangkah yang dilaksanakan untuk mengimplementasikan strategi ini adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan kebutuhan praktis sebagaimana didefinisikan oleh perempuan dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, menangani kebutuhan strategis perempuan; (2) Menangani kebutuhan strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat (RPuK 2007). Dalam melakukan pengarusutamaan gender paling tidak harus menyentuh tiga hal yaitu: (1) Memasukkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan di setiap level; (2) Menggunakan momentum dan menciptakan ruang dialog yang terus menerus untuk mengembangkan atau menularkan perspektif serta membangun jaringan yang dapat djadikan ”sahabat” dalam memperjuangkan keadilan; (3) Merumuskan dan membuat model-model pendidikan yang dapat membangun kesadaran, yang dimulai dari rumah tangga, sekolah dan pusat kehidupan masyarakat lainnya (RPuK 2007). Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Dalam perjalanannya PUG masih mengalami hambatan pada tingkat aplikasi. Diyakini kondisi konstruksi sosial telah menciptakan hambatan dalam pengarusutamaan gender. Dalam pandangan Faqih (2008) terdapat beberapa konstruksi sosial yang dapat menghambat PUG yaitu: 1. Penomorduaan (subordinasi). Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini terhadap perempuan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Akibatnya, perempuan tidak
26
dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut terlibat maksimal saat hasil keputusan itu diimplementasikan. Tradisi, adat atau bahkan aturan agama paling sering dipakai alasan untuk menomorduakan perempuan. 2. Pelabelan negatif pada perempuan (Stereotype). Label negatif banyak kita temukan di masyarakat misalnya perempuan berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alasan-alasannya, dianggap bahwa dia terlalu cerewet, emosional dan tidak berpikir rasional. Jika laki-laki berada pada kondisi yang sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. 3. Peminggiran (Marginalisasi). Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan pada termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini perempuan. 4. Beban kerja berlebih (Multi-Burdened). Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan yang berlebihan. Hal inilah juga yang sering menjadi bahan diskusi dalam forum-forum yang membahas tentang gender. Sebagian khawatir bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, meningkatkan kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka ’kebebasan berekspresi’ tersebut pada akhirnya akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan akan bertambah banyak dengan kegiatankegiatan yang ingin dia ikut i di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada
27
saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). Sebagian yang lain, terutama laki-laki, khawatir jika perempuan dilibatkan secara aktif dalam kegiatankegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga. 5. Kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis (misalnya kata-kata yang merendahkan dan melecehkan), kekerasan seksual (contoh perkosaan dll). Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan). Secara teoritis, hambatan pengarusutamaan gender dapat ditelusuri dengan menggunakan pisau analisis teori “kelompok yang dibungkam.” Teori ini merupakan teori komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang membahas mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur-struktur penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah bagi perubahan yang positif. Teori kelompok yang dibungkam berawal dari karya Edwin dan Shirley Ardener, para antropolog sosial yang tertarik dengan hirarki sosial. Pada tahun 1975, Edwin Ardener dalam West dan Turner (2008) menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan. Kramarae (1981) dalam Miller (2002) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu: (1) Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang
28
berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat; (2) Laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan; (3) Agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam ranah sistem ekspresi yang dominan tersebut. Partisipasi Masyarakat Berbicara partisipasi masyarakat dalam pembangunan, akan ditemukan rumusan pengertian yang bervariasi sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan. Konsep pembangunan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua teknik, yaitu: partisipasi
masyarakat
dan
pengorganisasian
masyarakat.
Kedua
teknik
pembangunan ini merupakan proses pemberdayaan yang berarti pembangunan harus bersumber dari, oleh dan untuk masyarakat. Konsep pembangunan juga dapat dipahami sebagai program dan gerakan sosial. (Anwar 2007). Dalam pandangan lain yang disampaikan oleh Deshler dan Sock, (1985) dalam Ditjen Cipta Karya (2008a) disebutkan bahwa secara garis besar terdapat tiga tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah,
pengumpulan
data,
analisis
data
dan
pelaksanaan
kegiatan.
Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis pada konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekadar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan
29
berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis, bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi). Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan dua tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu digunakan dalam pengembangan program dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi Christ Roche (1999) dalam Ditjen Cipta Karya (2008a). Terdapat beberapa pertimbangan rasional yang mendasari strategi pengembangan partisipasi masyarakat (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008). Secara normatif asumsi yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat lokal harus memperoleh proyek dan program pembangunan yang mereka tentukan sendiri. Asumsi normatif ini didasari oleh asumsi deduktif bahwa masyarakat lokal yang paling tahu apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya dan mereka memiliki hak dan kemampuan untuk menyatakan pemikiran dan kehendaknya tadi. Dengan demikian, apabila program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan di tingkat lokal didasari keputusan yang diambil masyarakat sendiri maka program tersebut akan lebih relevan dan lebih menyentuh permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Lebih lanjut asumsi teoritis yang dapat dikembangkan dalam strategi pengembangan partisipasi masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antarkelompokkelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi setempat; (2) Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat. Asumsi ini ingin menempatkan partisipasi masyarakat sebagai sarana sekaligus tujuan dari proses pembangunan; (3) Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan partisipasinya, karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program pembangunan yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya; (4) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti ada penolakan secara
30
internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008). Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk mengembangkan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Berdasarkan asumsi tersebut Mikkelsen (1996) dalam Soetomo (2008) membedakan adanya empat pendekatan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Pertama, pendekatan partisipasi pasif. Pendekatan ini didasarkan bahwa pihak eksternal yang lebih tahu, lebih menguasai pengetahuan, teknologi, skill dan sumberdaya. Dengan demikian, bentuk partisipasi ini akan melahirkan tipe komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, hubungan pihak eksternal dan masyarakat lokal bersifat vertikal. Kedua, pendekatan partisipasi aktif. Dalam pendekatan ini sudah dicoba dikembangkan komunikasi dua arah, walaupun pada dasarnya masih berdasarkan pada anggapan yang sama dengan pendekatan yang pertama, bahwa pihak eksternal lebih tahu dibandingkan masyarakat lokal. Pendekatan ini sudah mulai membuka dialog, guna memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara intensif dengan para petugas dari institusi eksternal. Salah satu contohnya adalah pendekatan pelatihan dan kunjungan. Ketiga, pendekatan partisipatif dengan keterikatan. Pendekatan ini mirip kontrak sosial antara pihak eksternal dengan masyarakat lokal. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan masyarakat lokal dan apa yang harus dilakukan dan diberikan pihak eksternal. Dalam model ini masyarakat setempat mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan kegiatan yang telah disepakati dan mendapat dukungan dari pihak eksternal baik finansial maupun teknis. Keempat, partisipasi atas permintaan setempat. Bentuk ini mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat. Kegiatan dan peranan pihak eksternal lebih bersifat menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan program yang dirancang dari luar.
31
Pemberdayaan dalam Perspektif Gender Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita 1996). Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan, antara lain: 1. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan kekuasaan yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995 dalam Suharto, 2005). 2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson e al. 1994 dalam Suharto 2005). 3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift & Levin 1987 dalam Suharto (2005). 4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya Rapport (1984) dalam Suharto (2005). Dalam pandangan Parson, et al. (1994) dalam Suharto (2005) bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setingan pertolongan perseorangan.
Meskipun
pemberdayaan
seperti
ini
dapat
meningkatkan
kepercayaan diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun
32
tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting) yaitu: (1) Aras Mikro: Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, strees management, crisis intervention. Tujuan uatamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach); (2) Aras Mezzo: Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. (3); Aras Makro: Pendekatan ini disebut juga pendekatan strategi sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Parson, et al. 1994 dalam Suharto 2005). Schuler et al. dalam Suharto (2005) mengembangkan delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka menyangkut kemampuan ekonomi, mengakses manfaat kesejahteraan dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan yaitu: ‘kekuasaan di dalam (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan.’ Adapun pengembangan keberdayaan adalah sebagai berikut:
33
1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau tempat tinggalnya. 2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. 3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier. 4. Terlibat dalam membuat keputusan domestik atau publik. 5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga atau masyarakat. 6. Kesadaran hukum atau politik. 7. Keterlibatan dalam kampanye atau protes-protes. 8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga. Dalam konteks gender bahwa untuk melakukan pemberdayaan menurut Gunawan (2008) dalam Nugroho (2008) diperlukan tiga langkah yang berkesinambungan yaitu: (1) Pemihakkan, artinya perempuan sebagai pihak yang hendak diberdayakan harus dipihaki daripada laki-laki; (2) Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk bisa mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan mengambil manfaat; (3) Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepas. Indikator pemberdayaan dalam perspektif gender menurut Katjasungkana (2008) dalam Nugroho (2008) terdapat empat indikator pemberdayaan yaitu: (1) Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumberdaya-sumberdaya yang produktif di dalam lingkungan; (2) Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan aset atau sumberdaya yang terbatas tersebut; (3) Kontrol, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya tersebut; (4) Manfaat, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menikmati hasilhasil pemanfaatan sumberdaya secara sama dan merata.
34
Komunikasi Partisipatif dan Linier PNPM Mandiri merupakan program penanggulangan kemiskinan berbasis kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Program ini berupaya untuk menciptakan atau meningkatkan kualitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok dalam memecahkan berbagai persoalan terkait pada upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan. Strategi dasar gerakan kemitraan dan pemberdayaan dilakukan melalui perubahan perilaku kolektif dengan cara membangun kesadaran kritis semua pihak, bahwa sesungguhnya setiap orang mampu dan berdaya untuk melakukan perubahan-perubahan penting dalam menanggulangi kemiskinan dengan dimulai dari diri sendiri. Selanjutnya, melalui gerakan ini juga diharapkan mampu menumbuhkembangkan serta meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga yang ada di sekitar masyarakat miskin menjadi jaringan kelompok-kelompok peduli yang berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk menciptakan kesadaran ini perlu upaya sosialisasi dan komunikasi. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri dapat digambarkan sebagai berikut (Ditjen Cipta Karya 2008b). Strategi pencitraan PNPM Mandiri
Khalayak sasaran: Penyelengara Program, Pemangku Kepentingan Masyarakat Umum
Metode: Informasi Persuasi Advokasi Edukasi
Strategi Aktivasi PNPM Mandiri
Khalayak sasaran: Penyelengara Program, Pemangku Kepentingan Masyarakat Umum
Kesadaran dan Pemahaman PNPM Mandiri sebagai lembaga koordinasi dan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat
Komitmen dan dukungan kebijakan dan program Stakeholder Pemahaman pemanfaat program tentang proses program sadar/motivasi mandiri partisipasi/ambil tindakan berbasis pemberdayaan masyarakat
Gambar 2. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri
35
Dalam konteks PNPM Mandiri, sosialisasi diartikan bukan hanya bagaimana PNPM Mandiri Perkotaan dapat dipahami oleh masyarakat baik substansi maupun prosedurnya. Sosialisasi bukan sekadar diseminasi atau media publikasi, melainkan bagian dari proses pemberdayaan, di mana melalui sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis, menumbuhkan perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi harus terintegrasi dalam aktivitas pemberdayaan dan dilakukan secara terus-menerus untuk memampukan masyarakat menanggulangi masalah-masalah kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan (Ditjen Cipta Karya 2008b). Komunikasi dalam konteks PNPM Mandiri tidak akan terlepas pembicaraan mengenai komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan dalam arti luas adalah meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam pembangunan, terutama antara masyarakat dan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap pambangunan (Nasution 1988). Selanjutnya, dikatakan dalam arti sempit komunikasi pernbangunan merupakan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan keterampilan-keterampilan
pembangunan
yang
berasal
dari
pihak
yang
memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Menurut Schramm (1985) dalam Hamijoyo (2005) tugas komunikasi dalam perubahan sosial adalah: 1. Menyampaikan informasi kepada masyarakat pembangunan nasional. 2. Memberikan kesempatan kepada individu-individu dalam masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. 3. Tugas mendidik masyarakat, seperti diajarkan cara membaca, cara bertani dan sebagainya. Sebagai pemberi informasi dan sebagai pendidik dapat dilakukan oleh media massa, sedangkan dalam fungsinya sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan diperlukan intensitas komunikasi interpersonal.
36
Secara umum
mengenai peran komunikasi
dalam pembangunan
digambarkan dalam pemikiran Schramm sebagai berikut (Hamijoyo 2005).
Pembangunan: meningkatkan kehidupan
Pembangunan memerlukan Keaktivan masyarakat
Supaya masyarakat berpartisipa i
Pembangunan diinformasikan
Perlu Komunikasi pembangunan
Perlunya sarana komunikasi
Gambar 3. Peran komunikasi dalam pembangunan Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia seperti yang terdapat dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-media-penerima). Model linier konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial masyarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah (Hamijoyo 2005). Model komunikasi linier sering dikaitkan dengan Harold D. Lasswell seorang ahli ilmu politik yang tertarik terhadap riset-riset komunikasi. Di dalam artikelnya tahun 1948 dalam satu kalimat yang terkenal dalam riset-riset komunikasi, untuk menggambarkan sebuah tindakan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ”who say what in which channel to whom with what effect.” Sejak itu kalimat ini dikenal dengan formula Lasswell. Formula ini dapat digambarkan sebagai berikut (Suprapto 2006). Who
Say What
In With Channel
To Whom
with what effect
Komunikator
Pesan
Saluran Komunikasi
Komunikan
Efek
Gambar 4. Model komunikasi linier Lasswell
37
Model komunikasi linier dengan pertanyaan ”who say what in which channel to whom with what effect” menjadi tidak tepat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan (Sulistyowati 2006). Pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran komunikasi dengan banyak dimensi yang disebut dengan model partisipasi. Model komunikasi partisipasi pada prinsipnya merupakan implementasi dari proses komunikasi sirkular. Dalam konteks komunikasi sirkular itu adalah terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan kepada komunikator . Oleh karena itu, adakalanya feedback tersebut mengalir dari komunikan ke komunikator itu adalah respons atau tanggapan komunikan terhadap pesan yang diterima komunikator (Effendy 1993). Model komunikasi sirkular di gambarkan Schramm sebagai berikut (Effendy 1993).
Message
Encoder Interpreter Decoder
Decoder Interpreter Encoder
Message Gambar 5. Model komunikasi sirkular Schramm Beberapa aspek penting dalam memahami komunikasi adalah penggunaan media. Tentunya penggunaan media memiliki kaitan erat dengan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi. Dalam kaitan PNPM Mandiri
38
terdapat beberapa media yang dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian komunikasi di antaranya yaitu (Ditjen Cipta Karya 2008c): 1. Foto Novella Foto Novella, adalah sebuah media warga dalam bentuk komik foto yang temanya diangkat dari kondisi riil masyarakat dengan maksud untuk mencari solusi pemecahan maupun daya dukung bagi lancarnya pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. 2. Teater Warga Teater warga merupakan sebuah media komunitas yang didasarkan dari kajian-kajian kondisi riil masyarakat dalam bentuk pementasan yang bisa menumbuhkan suasana dialogis antarwarga masyarakat. Para pemain dalam teater rakyat ini adalah masyarakat di tingkat kelurahan atau desa.
3. Koran Warga Koran warga merupakan media yang berbentuk koran beberapa halaman yang dibuat dan dikelola secara partisipatif oleh masyarakat. Topik dan tema berita atau informasi diangkat dari permasalahan riil yang dihadapai oleh masyarakat serta solusinya. 4. Poster Warga Poster warga merupakan media berbentuk poster yang dibuat oleh masyarakat dan didasarkan dari permasalahan riil yang dihadapi masyarakat. Poster ini dapat menjadi bahan atau media dialog dan diskusi warga untuk mencari alternatif solusi bersama. 5. VCD Warga VCD warga adalah video yang direkam dalam cakram padat (Video Compact Disc) yang pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat. Media ini digunakan untuk menggali permasalahan, kebutuhan, potensi maupun daya dukung lainnya. Media ini diharapkan bisa menjadi alternatif untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini.
39
6. Radio Komunitas Sebagai media pembelajaran, radio komunitas atau yang dikenal sebagai siaran radio pemberdayaan yang dikelola oleh masyarakat, baik manajemen maupun paket-paket siarannya diorientasikan untuk membangun keswadayaan dalam penanggulangan kemiskinan. 7. Buletin/Tabloid Warga Buletin/Tabloid warga merupakan media yang berbentuk buletin/tabloid beberapa halaman yang dibuat dan dikelola secara bersama oleh masyarakat. Topik dan tema isi berita atau informasi diangkat dari permasalahan kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat serta solusinya. 8. Papan Informasi Papan
informasi
umumnya
berupa
papan
yang
menjadi
tempat
ditempelkannya berbagai informasi mengenai program. Papan informasi biasanya semacam papan tulis yang diberi kaki sehingga dapat dipasang berdiri, atau papan yang ditempelkan di dinding. 9. Pertemuan Warga Sebuah Media warga, yang biasanya ada dan dilakukan rutin oleh masyarakat sesuai dengan adat dan tradisi budaya setempat. Pertemuan warga ini biasanya rutin dilakukan dengan jadwal dan tema yang ditentukan oleh warga dan peserta atau anggotanya sudah jelas seperti; arisan, pengajian, yasinan, PKK atau Dasawisma. Indikator pencapaian komunikasi partisipatif dalam konteks PNPM Mandiri dapat bersifat kuantitatif ataupun kualitatif. Penetapan indikator pencapaian akan merujuk pada sasaran sosialisasi PNPM Mandiri yang terdiri dari (1) Fokus Pencitraan: terdapat pemahaman, pengakuan dan dukungan yang sama terhadap PNPM Mandiri sebagai kebijakan nasional yang menjadi ‘payung’ bagi semua program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. (2) Aktivasi: mencakup aspek kognitif (tingkat pengetahuan), aspek afeksi (ketertarikan dan kepedulian) dan konatif (tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, komitmen tindakan melaksanakan PNPM Mandiri) (Ditjen Cipta Karya 2008c).
40
Komunikasi kelompok PNPM Mandiri merupakan kegiatan bercirikan kolektivitas. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat (KSM) baik untuk kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan, sosial dan pinjaman bergulir. Kondisi ini menjadikan komunikasi kelompok merupakan bagian penting dalam kegiatan PNPM Mandiri. Tidak semua himpunan orang disebut kelompok. Kelompok memiliki dua tanda psikologis. Pertama anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok artinya terdapat sense of belonging yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain (Baron dan Byrne 1979 dalam Rakhmat 1998). Menurut Mulyana (2005) kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Para ahli psikologi dan sosiologi mengklasifikasi kelompok dalam empat dikotomi yaitu kelompok primer-sekunder, kelompok ingroup-outgroup, rujukan-keanggotaan, deskriptif-preskriptif (Rakhmat 1998). Charles Horton Cooley (1909) dalam Rakhmat (1998) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh kita. Rakhmat (1998) membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut: 1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsurunsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
41
2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal. 3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya. 4. Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental. 5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal. Ingroup adalah kelompok kita, dan outgroup adalah kelompok mereka. Untuk membedakan ingroup dan outgroup dapat dibuat batasan, yang menentukan siapa masuk orang dalam dan siapa masuk orang luar. Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis, suku bangsa pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan (Rakhmat 1998). Newcomb (1930) dalam Rakhmat (1998) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. John F. Cragan dan David W. Wright (1980) dalam Rakhmat (1998) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga: (a). kelompok tugas; (b) kelompok pertemuan; dan (c) kelompok penyadar. Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer (Rakhmat 1998). Komunikasi kelompok menurut Arifin (1984) adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam rapat,
42
pertemuan, konperensi dan sebagainya. Michael Burgoon dalam Wiryanto (2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang setiap anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Titik perhatian komunikasi kelompok adalah pada gejala komunikasi dalam kelompok kecil tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti proses komunikasi kelompok, memperkirakan hasilnya serta lebih meningkatkan proses komunikasi kelompok (Golberg 2006). Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender Perhatian terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun 1940an yang digagas oleh kaum feminis di barat. Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill Amal (1992) dalam Arjani (2008). Dalam perkembangan berikutnya perhatian masalah gender diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi tersubordinasi, termarjinalisasi dan terdiskriminasi. Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang di negara barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain. Pada perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besar yakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga. Gerakan feminisme merupakan momentum dalam menciptakan kesadaran kritis. Proses penyadaran digambarkan sebagai suatu proses yang selaras dengan kebutuhan manusia. Dalam pandangan Freire dalam Manggeng (2005) kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Lebih jauh Freire dalam Manggeng (2005) membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:
43
1. Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas. 2. Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan. 3. Kesadaran naif.
Pada tingkatan
ini sudah
ada kemampuan untuk
mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog. 4. Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat. Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas kesadaran naïf yang mengambang di atas realitas dan kesadaran fanatik yang secara patologis berkembang ke arah irasionalitas dan menyesuaikan diri dengan realitas. Pada gilirannya, setiap pemahaman realitas lambat atau cepat akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Proses pemberdayaan melalui penyadaran berarti mengantarkan masyarakat menuju gerbang kebangkitan dan menolong mereka dari kesadaran transitif naïf ke kesadaran transitif kritis. Proses penyadaran menurut Havelock (1975) dalam Anwar (2007) dalam tahap pertama seorang individu dikenalkan pada suatu inovasi dan diupayakan untuk menyadari inovasi tersebut. Pada tahap awal kontak seorang adopter potensial, agen pembaruan harus menyakinkan bahwa mereka mendengarkan dan memahami bahwa dia mengembangkan beberapa konsep mengenai inovasi. Dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan sebuah kesadaran kritis berasal dari refleksi diri tentang keadaan dirinya yang dipertegas dengan upaya konkret baik melalui pendidikan maupun penyebaran inovasi (rekayasa sosial). Refleksi diri diharapkan mampu menciptakan konsep diri yang positif yang pada akhirnya akan membentuk harga diri yang kuat.
44
Harga diri merupakan penilaian tentang keberartian diri dan nilai seseorang yang didasarkan atas proses pembuatan konsep dan pengumpulan informasi
tentang
diri
beserta pengalamannya (Johnson & Johnson 1991).
Oleh karenanya, orang dengan konsep diri positif akan lebih tepat memberikan nilai keberartian dirinya. Orang dengan harga diri rendah menyebabkan kurang percaya diri, sehingga tidak efektif dalam pergaulan sosial. Untuk
mencapai
suatu tahap kesadaran diri, orang membutuhkan pengalaman dan interaksi sosial. Seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan, ide, atau kekesalan pada orang lain dengan harapan orang lain akan memberikan perhatian atau umpan balik pada dirinya Dalam kaitan keadilan gender, kesadaran kritis yang dibangun bukan hanya pada sisi perempuan tapi juga juga sisi laki-laki. Konstruksi pemikiran yang harus dikembangkan laki-laki dan perempuan adalah berbeda secara kodrati, namun sama dalam pandangan sosial. Review Hasil Penelitian tentang Gender Membicarakan persoalan gender dalam pembangunan atau dalam sektor publik tidak bisa terlepaskan dari persolan keadilan peran. Salah satunya disampaikan oleh Wiyono (2005) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta telah berjalan dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di kelurahan dan telah menyusun daftar skala prioritas pembangunan di bidang umum, ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana. Kedua, akses atau peluang perempuan yang terlibat di empat bidang musrenbangkel tahun 2005 masih rendah kecuali bidang sosial budaya. Ketiga, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari adalah rendah karena perempuan yang terlibat dalam kepanitiaan dan hadir dalam musrenbangkel tahun 2005 relatif sedikit, terutama karena waktu pelaksanaan Musrenbangkel tahun 2005 dipandang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan. Keempat, kontrol perempuan dalam proses pengambilan keputusan penyusunan daftar skala prioritas pembangunan adalah rendah karena disebabkan masih terbatas posisi atau kedudukan perempuan dalam sidang pleno dan sidang komisi. Kelima, daftar
45
skala prioritas pembangunan yang disusun telah memberi manfaat dan memperhatikan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis walaupun dalam porsi yang terbatas. Hal senada juga disampaikan Sulistiyani (2004) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan profil akses dapat diketahui bahwa golongan laki-laki mendominasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah, peralatan, tenaga kerja, pendidikan dan organisasi. Bahkan pada pemanfaatan dari kegiatan pembangunan, manfaat atas pendapatan dari luar, kepemilikan kekayaan, dan kekuatan politik masih didominasi laki-laki. Kedua, dalam pendekatan perencanaan gender ternyata berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran baru sebatas memenuhi kebutuhan praktis saja, sementara kebutuhan strategis belum tersentuh, dengan demikian upaya untuk mengangkat derajat perempuan agar setara dengan laki-laki masih belum tercermin dalam berbagai program selama ini. Ketiga, dalam menggunakan alat analisis siklus proyek program PPK tahap II tahun 2003 yang diwujudkan dalam pembangunan jalan gendengan ternyata masih ada kesenjangan gender. Hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya partispasi perempuan dalam setiap proses kegiatan proyek. Bahkan out put yang dihasilkan juga belum mampu memenuhi kebutuhan praktis dan strategis golongan perempuan Keempat, berdasarkan profil perencanaan gender berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran telah sesuai dengan peran produktif dan reproduktif yang diharapkan perempuan. Tetapi kenyataan di lapangan terpenuhi baru kebutuhan praktis saja, kebutuhan strategis perempuan masih belum terpenuhi. Kelima, ada korelasi antara semakin baik indeks pembangunan gender maka akan baik juga indeks pemberdayaan gender. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi kualitas SDM perempuan yang baik akan semakin tinggi peran perempuan dalam pembangunan. Atau sebaliknya dapat diartikan, bahwa jika peran perempuan dalam pembangunan relatif tinggi akan berdampak pada peningkatan kualitas SDM perempuan. Keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan akan
46
dapat dicapai jika ada upaya peningkatan kualitas sumberdaya perempuan. Peningkatan kualitas sumberdaya perempuan akan mendorong peran perempuan dalam pembangunan Hadiprakoso (2005) menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Berdasarkan pada pembagian kerja dapat disimpulkan bahwa pekerjaan produktif yang mendapatkan upah didominasi oleh golongan laki-laki, golongan perempuan mendominasi pekerjaan reproduktif, tidak mendapatkan upah dan pekerjaan yang dilakukan di dalam komunitas domestik. Munaf (2004) menunjukkan hasil penelitiannya tentang peran gender dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kota Ternate Maluku Utara menyatakan bahwa rata-rata alokasi curahan waktu laki-laki untuk kegiatan reproduktif lebih besar 3,5 jam dibandingkan dengan perempuan. Dari review ini menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi peran antara laki-laki dan perempuan. Diduga diskriminasi ini merupakan hasil sebuah produk budaya masyarakat yang bercorak pada kultur patriarki. Selain itu keadaan ini menunjukkan rendahnya kesadaran kritis perempuan untuk melakukan refleksi terhadap kontruksi budaya yang tidak adil, yang memiliki dampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat. Kerangka Pemikiran PNPM Mandiri salah satu program yang memperhatiakan aspek gender. PNPM Mandiri bukan program yang dikhususkan dalam pemberdayaan perempuan namun spirit yang dikandung dalam program ini salah satunya mengakomodir peranserta perempuan dalam pembangunan. Pembangunan merupakan transaksi antara pemberi manfaat dan penerima manfaat. Proses transaksi ini tentunya tidak bisa terlepaskan dari proses komunikasi. Dalam proses komunikasi terdapat subyek atau pelaku yang terdiri dari komunikator dan komunikan yang memberi dan menerima pesan. Dalam proses komunikasi perlu dipahami juga tentang model komunikasi yang digunakan, media yang dipakai termasuk juga sistem komunikasi yang berlaku pada sistem sosial yang ada. Tujuan komunikasi secara umum untuk menciptakan kesamaan antara komunikator dan komunikan.
47
Dalam konteks penelitian ini, komunikasi ditujukan sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran kritis pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir PNPM Mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan sebuah upaya untuk menciptakan keadilan gender yang dilihat dari aspek-aspek isu gender. Isu gender sendiri meliputi akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir. Keberhasilan komunikasi dalam mencipatakan pengarusutamaan gender tidak
hanya
dipandang
berdasarkan
elemen
dasar
proses
komunikasi
(komunikator, pesan dan komunikan). Komunikasi harus dilihat juga pada aspek terpaan, konsep diri dan internalisasi dan keragaman karakteristik komunikan. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas kerangka pemikiran dapat digambarkan secara skematis pada Gambar 6 berikut ini.
Komunikator
• Model Komunikasi • Pesan • Sistem komunikasi • Media komunikasi
Komunikan
• Terpaan pesan. • Konsep diri komunikan. Internalisasi: • Pencitraan dan aktivasi program. • Keragaman karakteristik.
PENGARUSUTAMAAN GENDER KEGIATAN PINJAMAN BERGULIR • • • •
Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir. Partisipasi perempuan pada kelembagaan unit pengelola keuangan. Pemanfaatan pinjaman Gambar bergulir oleh perempuan. pemikiran 6. Kerangka Kontrol perempuan pada kegiatan pinjaman bergulir
Gambar 6. Kerangka pemikiran
49
METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian Lincoln dan Guba (1985) membedakan
paradigma
dalam ilmu
pengetahuan secara umum dalam dua kelompok, yaitu paradigma positivisme (positivist) dan alamiah (naturalist). Pengertian paradigma menurut Patton (1978) dalam Lincoln dan Guba (1985) ini adalah: Paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigm tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigm are also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes both their strength and their weakness-their strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm. Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2007) menyebut paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Mulyana (2008) menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa. Paradigma yang digunakan dalam penelitian adalah paradigma kritis. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu sebagai kritik sosial dan penguatan sosial. Paradigma kritis sendiri merupakan paradigma yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Paradigma ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi paradigma ini adalah emansipatoris. Ciri paradigma ini adalah : (Ahyar & Lubis 2006) 1. Kritis terhadap masyarakat. Paradigma Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
50
2. Paradigma kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain paradigma kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya materialekonomis. 3. Paradigma kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya paradigma dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Paradigma harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi. 4. Paradigma kritis tidak memisahkan paradigma dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio paradigmatis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa paradigma atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Paradigma kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat. Paradigma kritis akan menghasilkan teori-teori kritis. Teori kritis mengarahkan pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, teori kritis berusaha mengatasi saintisme atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan idiologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang refresif (Hardiman 1990). Kedua taraf ini saling mengandaikan seperti yang dinyatakan Habermas (1971) dalam Hardiman (1990) “..suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori sosial.” Teori kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang rasional melalui refleksi diri. Adorno (1976) dalam Hardiman (1990) teori kritis diharapkan mampu sebagai pendobrak Herrschaft (dominasi total) kepada pendekatan emansipatoris. Dalam pandangan lain paradigma kritis digunakan dalam metodologi ilmiah dengan maksud membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses pengambilan kebijakan; adakah pembatasan-pembatasan dalam pengambilan kebijakan, siapa aktor yang berpengaruh dan mengendalikan forum, adakah anggota terkooptasi oleh kepentingan tertentu di luar organisasi, bahasa dan simbol-simbol apakah
51
yang biasa digunakan dalam proses pengambilan kebijakan. Bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Ardianto & Q-Anees 2007). Selanjutnya paradigma ini digunakan juga untuk mengkritisi rintanganrintangan,
tekanan-tekanan
dan
kontradiksi
yang
menghambat
proses
pengambilan kebijakan. Masyarakat, individu dan organisasi merupakan kehidupan dalam suatu dunia yang dikarakterisasi oleh suatu keadaan yang saling mempengaruhi antara kesadaran individu dan prinsip obyektivasi dalam dunia eksternal. Maksud dari paradigma ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrat modern. Dalam kaitan ini teori kritis dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan kebuntuan relasi sosial dalam perspektif gender yang telah ditelikung oleh ideologi dominasi total budaya patriarki. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan. Desain Penelitian Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Strauss dan Corbin (2003) dalam Salim (2006) penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell 2003).
52
Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipakai adalah multimetodologi, sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeunitika, feminisme, rhizomatic, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya, penelitian survai, dan pengamatan (participant observation) (Salim 2006). Pandangan lain menyatakan tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu. Penelitian ini merupakan sebuah proses investigasi dimana peneliti secara bertahap
berusaha
memahami
fenomena
sosial
dengan
membedakan,
membandingkan, meniru mengkatalogkan dan mengelompokkan obyek studi (Miles & Haberman 1992). Penggunaan dan arti metode penelitian kualitatif yang berbeda-beda ini menyulitkan diperolehnya kesepakatan di antara para peneliti mengenai definisi yang mendasar atasnya. Selanjutnya, Salim (2006) menyatakan bila suatu definisi harus dibuat bagi pendekatan kebudayaan, maka penelitian kualitatif adalah suatu bidang
antardisiplin,
lintasdisiplin,
bahkan
kadang-kadang
kawasan
kontradisiplin. Di sisi lain, penelitian kualitatif juga melintasi ilmu pengetahuan humaniora, sosial dan fisika. Hal tersebut berarti penelitian kualitatif memiliki fokus terhadap banyak paradigma. Para praktisinya sangat peka terhadap nilai pendekatan multimetode. Mereka memiliki komitmen terhadap sudut pandang naturalistik dan pemahaman interpretatif atas pengalaman manusia. Pada saat yang sama, bidang ini bersifat politis dan dibentuk oleh beragam etika dan posisi politik. Penelitian ini didesain sebagai penelitian kualitatif sedangkan locus penelitian adalah perempuan. Berikut ini ciri-ciri dasar metodologi penelitian yang bersperspektif perempuan (Handayani & Sugiarti 2008).
53
1. Bukan mementingkan metode riset, tetapi bagaimana hasil riset digunakan untuk bisa menjawab berbagai kondisi hidup perempuan yang merugi akibat gender. 2. Dapat memahami pengalaman perempuan dengan meneliti persepsinya tentang pengalaman pribadi. 3. Kecenderungan sering menggunakan metode penelitian kualitatif seperti diskusi kelompok terfokus, wawancara mendalam, partisipasi observasi, dan lain-lain. 4. Dalam mengadakan riset tidak secara kaku berpegang pada metode tertentu, tetapi dibenarkan untuk menyesuaikan metodenya sejalan dengan proses yang berkembang dalam mengadakan riset. 5. Analisis riset memakai konsep-konsep dari berbagai aliran feminisme yang telah berkembang seperti; hubungan kekuasaan, marjinalisasi, subordinasi, opresi, dan lain-lain. 6. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam riset berperspektif perempuan tidak berbeda dengan riset sosial pada umumnya. 7. Menganggap bahwa kecenderungan untuk membedakan obyek ilmiah dan individual subyektif dalam suatu penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah kurang tepat karena dasar penilaiannya bersumber pada pengalaman maskulin tentang dunia realitas. Untuk memperkuat data-data kualitatif, penelitian ini juga didukung dengan data-data kuantitatif. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Penelitian partisipasi (pra research) dilakukan mulai bulan April-Mei 2010 intervensi lanjutan penggalian data bulan Mei 2010-Maret 2011. Data dan Instrumen Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan primer. Data primer maupun sekunder diambil dari informan-informan yang dianggap memiliki kapabilitas terhadap informasi yang diperlukan dalam penelitian. Adapun informan tersebut adalah:
54
1. Anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan perangkat kerja yang meliputi: a. Anggota BKM b. Sekretaris BKM c. Unit Pelaksana Keuangan (UPK) 2. Aktivis penggerak kegiatan PNPM Mandiri yang terdiri kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan relawan. 3. Masyarakat umum yang dikategorikan sebagai berikut: a. Masyarakat pemanfaat program pinjaman bergulir. b. Masyarakat dari rumah tangga miskin. c. Masyarakat berpengaruh atau tokoh agama (opinion leader). d. Masyarakat dari kalangan menengah ke atas. e. Simpul komunikasi yang terdiri pemimpin formal atau nonformal komunitas (dusun/blok/RT) 4. Aparat kelurahan. 5. Fasilitator kelurahan. 6. Koordinator Kabupaten (Korkab). Adapun instrumen yang digunakan untuk melakukan penggalian atau memperoleh data adalah sebagai berikut: 1. Pengamatan atau observasi Pengamatan terhadap struktur fisik, perbedaan-perbedaan sosial, sikap, tindakan-tindakan
dan
simbol-simbol
maupun
dalam
kebersamaan
memberikan informasi yang penting untuk menyusun pertanyaan yang terfokus. 2. Wawancara semi terstruktur Pada wawancara semi terstruktur ini, yang dipakai adalah pertanyaan yang terbuka. Isu-isu relevan yang tidak diharapkan, hendaknya diikuti lagi oleh pertanyaan lanjutan untuk menggali lebih banyak informasi. Subyek yang diwawancarai adalah kelompok yang terpilih dan kelompok campuran. Dalam wawancara, peneliti tidak hanya menggali data secara formal tetapi juga menggunakan teknik investigasi sebagai data pembanding. Ini dilakukan karena paradigma penelitian yang merupakan paradigma kritis. Alasan
55
penggunaan data investigasi karena diduga sumber informasi cenderung memberikan jawaban-jawaban yang normatif pada saat dilakukan wawancara secara formal. 3. Studi literatur Studi literatur merupakan bagian penelusuran data sekunder. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan mempelajari dan menggali dokumen-dokumen tertulis yang memiliki hubungan dengan tema penelitian. Secara umum gambaran data dan instrumen dapat dipetakan dalam Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Data, sumber informasi dan instrumen Sumber Informasi Lurah Kenanga atau staf
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Fasilitator kelurahan Anggota BKM Sekretaris BKM Manajer UPK Masyarakat dari keluarga penghasilan menengah ke atas. Masyarakat dari rumah tangga miskin (RTM). Masyarakat berpengaruh atau tokoh agama (opinion leader) KSM (Pemanfaat program) Relawan Simpul-simpul komunikasi Anggota BKM Sekretaris BKM Manajer UPK Masyarakat dari keluarga penghasilan menengah ke atas. Masyarakat dari rumah tangga miskin (RTM). Masyarakat berpengaruh atau tokoh agama (opinion leader) KSM (Pemanfaat program) Relawan Simpul-simpul komunikasi Anggota BKM Sekretaris BKM Manajer UPK Masyarakat dari rumah tangga miskin. KSM (Pemanfaat program) Relawan
Data Gambaran umum obyek penelitian
• Model komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri. • Aplikasi model komunikasi sekuensial dalam komunikasi tingkat basis. • Model komunikasi dalam aspek gender. • Komunikasi kegiatan pinjaman bergulir.
• • •
Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri. Citra kegiatan PNPM Mandiri Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik
• Gambaran kegiatan pinjaman bergulir • Aksesibilitas perempuan terhadap pinjaman bergulir • Peran perempuan dalam kelembagaan UPK • Tanggung jawab perempuan dalam pelaksanaan pinjaman bergulir • Pembangunan kontrol sosial kegiatan pinjaman bergulir
Instrumen • Penggalian Dokumen monogram kelurahan Kenanga • Wawancara mendalam • Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
• Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
• Penelitian partisipatif • Wawancara mendalam
56
Analisis Data Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antar peubah yang sedang diteliti. Tujuannya agar peneliti mendapatkan makna hubungan antar peubah sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Hubungan antar peubah sangat penting karena dalam analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif. Prinsip pokok teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna. Prosedur analisis data kualitatif dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: (Bungin 2003). 1. Mengorganisasi data: cara ini dilakukan dengan membaca berulang kali data yang ada sehingga dapat menemukan data yang sesuai dengan penelitian dan membuang data yang tidak sesuai; 2. Membuat kategori, menentukan tema, dan pola: langkah kedua ialah menentukan kategori yang merupakan proses yang cukup rumit karena harus mengelompokkan data yang ada ke dalam suatu kategori dengan tema masingmasing sehingga pola keteraturan data menjadi terlihat secara jelas; 3. Mencari eksplanasi alternatif data: proses berikutnya ialah peneliti memberikan keterangan yang masuk akal data yang ada dan peneliti harus mampu menerangkan data tersebut didasarkan pada hubungan logika makna yang terkandung dalam data tersebut; 4. Menulis laporan: penulisan laporan merupakan bagian analisis kualitatif yang tidak terpisahkan. Dalam laporan ini peneliti harus mampu menuliskan kata, frasa dan kalimat serta pengertian secara tepat yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan data dan hasil analisisnya. Hipotesis Pengarah Pola pembangunan dewasa ini mengisyaratkan perlunya peran serta masyarakat. Hal ini menunjukkan partisipasi merupakan kata kunci penting keberhasilan pembangunan. Diyakini dengan pola komunikasi partisipatif ini akan lebih memudahkan internalisasi pembangunan di masyarakat termasuk di
57
dalamnya akan menciptakan akses, peran, pemanfaatan dan kontrol dari sisi gender yang berkeadilan. Perwujudan dari konsep ini adalah kegiatan PNPM Mandiri. Salah satu lokasi kegiatan PNPM Mandiri adalah Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Di Kelurahan Kenanga sendiri, kegiatan PNPM sudah berlangsung kurang lebih lima tahun. Tentunya dengan keadaan ini kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga telah mencapai titik ideal dalam pemberdayan masyarakat. Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat ditarik hipotesis pengarah sebagai berikut: 1. Kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan pola komunikasi program dengan pola komunikasi partisipatif. 2. Internalisasi kegiatan sudah mengarah kepada pencitraan dan aktivasi yang tepat. 3. Secara isu gender, dalam kegiatan pinjaman bergulir telah terbangun keadilan gender.
59
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Kelurahan Kenanga terletak di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Jarak dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kurang lebih 2 km. Jarak dengan ibu kota provinsi kurang lebih 120 km dan jarak dengan ibu kota negara mencapai 220 km. Dilihat dari batas wilayah Kelurahan Kenanga berbatasan dengan desa atau kelurahan sebagai berikut: •
Sebelah Utara
: Desa Kejuden Kecamatan Depok
•
Sebelah Timur
: Kelurahan Tukmudal Kecamatan Sumber
•
Sebelah Selatan
: Desa Sindang Jawa Kecamatan Dukuhpuntang
•
Sebelah Barat
: Desa Karang Wangi Kecamatan Depok
Luas wilayah Kelurahan Kenanga mencapai 186,65 ha. Dilihat dari peruntukkan lahan, terdiri dari berbagai peruntukkan yaitu sebagai berikut: •
Jalan
: 9,33 ha
•
Sawah dan Ladang
: 139,98 ha
•
Bangunan Umum
: 1,86 ha
•
Pemukiman/perumahan
: 31,75 ha
•
Pemakaman
: 3,73 ha
Secara administratif pembagian wilayah, Kelurahan Kenanga terdiri dari tujuh RW dan 25 RT. Setiap RT terbagi menjadi beberapa blok atau kampung. Pembagian wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Pembagian wilayah RW 01 02 03 04 05 06 07
Jumlah RT 4 RT 3 RT 4 RT 3 RT 3 RT 5 RT 3 RT
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
Blok yang Tergabung Karang Gayam dan Blok Desa Pesantren, Lebak Jambu dan Karang Mingkrik Tengah dan Jorogan Lebak dan Kedung Mara Kenanga Sari, Tuan Rante dan Tanjung Sari Palsanga, Kranten, Jamsari dan Pontas Cigugur dan Warung Kidul
60
Kondisi Demografis Kondisi demografis terdiri dari jumlah penduduk, jumlah penduduk menurut jenis kelamin, tingkat pendidikan masyarakat, dan mata pencaharian masyarakat. Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga pada tahun 2010 mencapai 7.809 jiwa dengan 1.561 kepala keluarga (KK). Berdasarkan jenis kelamin penduduk laki-laki 3.946 jiwa dan perempuan mencapai 3.863 jiwa. Adapun tingkat penyebaran penduduk berdasarkan rukun warga (RW), dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW Jumlah Lokasi RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07 Jumlah
Laki-Laki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
684 683 527 410 517 713 412 3946
708 491 572 402 526 720 444 3863
Total (jiwa) 1392 1174 1099 812 1043 1433 856 7809
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010 Berdasarkan tingkat pendidikan sebagaian besar penduduk Kelurahan Kenanga berpendidikan sekolah dasar yang mencapai 2.985 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya manusia di Kelurahan Kenanga masih rendah. Sedangkan masyarakat yang pernah mengecap pendidikan tinggi sampai tahun 2010 mencapai 69 orang. Berdasarkan sebaran tingkat rukun warga dilihat dari tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW Lokasi RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07 Jumlah
SD 532 449 420 310 399 548 327 2985
SMP 331 279 261 193 248 341 203 1856
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
Tingkat Pendidikan SMA 177 149 140 103 133 182 109 933
Pendidikan Tinggi 13 9 8 6 8 12 7 69
61
Dilihat dari jenis mata pencaharian, sebagian besar penduduk Kelurahan Kenanga berprofesi sebagai buruh yang mencapai 2.244 orang. Sebagaian besar diserap pada sektor usaha atau industri rotan. Keadaan ini disebabkan tingkat pertumbuhan industri yang sangat tinggi di wilayah sekitar Kelurahan Kenanga pada era 90an. Pada tahun tersebut pembangunan pabrik-pabrik di sekitar Kelurahan Kenanga begitu pesat dengan konsep padat karya. Perubahan mata pencaharian masyarakat, berimplikasi terhadap kegiatan ekonomi lainnya seperti halnya di bidang pertanian. Usaha pertanian sekarang ini hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dari golongan tua hanya sebagian kecil saja kelompok muda menjadi petani. Rendahnya masyarakat menggeluti usaha pertanian dikarenakan tawaran usaha di sekor industri lebih menjanjikan dan lebih praktis. Dilihat dalam kajian gender, jumlah masyarakat yang bekerja tidak didominasi oleh kaum laki-laki. Industrialisasi di bidang usaha rotan, telah membuka peluang yang sangat luas bagi kaum perempuan untuk bekerja pada sektor publik. Sebagaian besar mereka bekerja sebagai buruh kasar seperti bagian ampelas (proses penghalusan produk hasil rotan), packing (mengemas produk rotan yang sudah jadi). Adapun tingkat penyebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian atau pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5.
Lokasi RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07 Jumlah
Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian Jenis Mata Pencaharian atau Pekerjaan Pedagang / PNS / BUMN Petani Wiraswasta / Jasa 11 259 295 9 237 275 9 247 287 8 200 232 7 187 217 11 282 327 7 194 225 62 1606 1858
Sumber: Kelurahan Kenanga, 2010
Buruh 355 332 347 280 262 395 273 2244
62
Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri Pelapisan masyarakat adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. (Sorokin dalam Soekanto 1990). Pelapisan masyarakat menunjukkan adanya diferensiasi masyarakat. Dalam konteks masyarakat Kelurahan Kenanga, dipetakan menjadi beberapa diferensiasi, antara lain; (1). Kelompok alim ulama. (2). Kelompok kaya (3). Kelompok masyarakat berpendidikan (4). Kelompok masyarakat biasa. Peran dan kontribusi setiap kelompok bersifat khas dan memiliki keajegan. Artinya setiap kelas ini memiliki job area tersendiri, khususnya dalam pembangunan masyarakat. Dari kelompok yang ada, alim ulama merupakan kelompok yang paling dihormati dan paling banyak didengar suaranya. Karakter alim ulama di Kelurahan Kenanga, dibangun sistem trah keluarga. Artinya kelompok ini hanya muncul dari keluarga tertentu. Di Kelurahan Kenanga terdapat empat keluarga besar alim ulama dan dominasi simbol-simbol ulama masih dipegang oleh masyarakat dari empat keluarga tersebut. Peran ulama di masyarakat cenderung memposisikan diri untuk bidang pendidikan terutama pendidikan agama baik formal atau informal. Kegiatan pendidikan lazimnya diselenggarakan di madrasah atau mushola. Mereka mengelola majelis taklim dan kelompok jam’iyah yang telah eksis sangat lama. Peran mereka telah menciptakan kultur beragama masyarakat Kelurahan Kenanga dalam kultur beragama nahdliyin. Peran alim ulama pada bidang lainnya masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat kiprah mereka pada lembaga formal seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) masih sangat rendah, termasuk dalam kegiatan PNPM Mandiri. Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat kaya. Mereka terdiri dari petani dan pedagang. Kelompok ini memiliki simbol atau ciri gelar keagamaan
63
seperti haji. Karakter mereka dalam pembangunan bersifat reaktif. Bahkan ada kecenderungan kepedulian mereka terhadap refleksi kemiskinan sangat rendah. Dalam konteks PNPM Mandiri, peran mereka masih sebatas sebagai penyedia dana (donatur) dan tidak tidak terlibat secara teknis di lapangan. Salah satu alasan yang pokok adalah kesibukan. Hal ini menunjukkan kesadaran kelompok ini, masih bersifat kesadaran naif. Artinya kiprah mereka tidak didasari atas kepedulian terhadap refleksi kemiskinan masyarakat melainkan akibat stimuli-stimuli oleh relawan. Kelompok ketiga adalah masyarakat berpendidikan tinggi. Mereka memiliki kriteria yaitu gelar akademik yang dimilikinya. Kelompok masyarakat pendidikan tinggi terpilah dalam dua kelompok yaitu kelompok tua dan muda. Pembagian kelompok masyarakat pendidikan ini akan memiliki korelasi terhadap peran mereka dalam pembangunan. Sementara ini, kelompok masyarakat berpendidikan tinggi memiliki citra positif dari masyarakat sebagai agen pembangunan. Masyarakat memiliki harapan yang besar pada kelompok ini, karena mereka diyakini mampu untuk mengelola berbagai program termasuk PNPM Mandiri. Dalam kegiatan PNPM Mandiri kelompok masyarakat berpendidikan tinggi terutama dari kalangan muda, memiliki peran yang sangat besar. Mereka terdistribusi di berbagai elemen yang menggerakkan PNPM Mandiri salah satunya Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Dari 13 anggota BKM enam di antaranya memiliki jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, peran mereka banyak terdistribusi pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Namun dalam tinjauan kritis, peran mereka masih sebatas dalam catatan administrasi. Dalam langkah praktis, kelompok masyarakat pendidikan tinggi belum menunjukkan kinerja sebagai agen pembangunan. Hal ini bisa terlihat dari kiprah mereka di BKM. Dari enam orang hanya seorang yang memiliki kiprah yang aktif dalam kegiatan PNPM Mandiri. Kelompok keempat adalah masyarakat umum yang terdiri dari kelompok masyarakat yang tidak masuk dalam kriteria ketiga kelompok tadi. Secara kuantitas, jumlah mereka dalam kegiatan PNPM Mandiri sangat signifikan. Bahkan peran mereka dalam menggerakkan masyarakat sangat baik, termasuk
64
kontribusi mereka dalam pembuatan dasar-dasar pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri. Peran mereka terdistribusi dalam job area yang bervariatif, di antaranya sebagai relawan yang terlibat dalam berbagai kegiatan PNPM Mandiri. Kegiatan tersebut antara lain, pemetaan swadaya satu (PS1), pemetaan swadaya dua (PS2), simpul komunikasi dan rembug-rembug warga. Alasan yang paling mendasar tingginya peran serta mereka disebabkan ada sebuah harapan besar pada PNPM Mandiri yaitu perubahan pada diri mereka. Hal ini disebabkan mereka dijadikan sebagai prioritas pemanfaat pada kegiatan PNPM mandiri. Diferensiasi masyarakat yang ada, tidak serta merta menimbulkan polarisasi. Pada pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri, sudah memunculkan kerangka yang sinergi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini merupakan sebuah cerminan munculnya tapak-tapak pembangunan yang berbasis masyarakat (bottom up) di Kelurahan Kenanga. Sistem Komunikasi Masyarakat Memaknai sistem komunikasi masyarakat memiliki peubah yang sangat kompleks. Dalam kajian Lasswell, sebuah sistem komunikasi dapat ditelusuri dari aspek komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek yang ditimbulkan. Dalam kajian ini, pemaknaan sistem komunikasi dibatasi pada kajian komunikasi yang bersifat internal masyarakat dan komunikasi dengan unsur eksternal masyarakat. Komunikasi internal antar masyarakat lebih banyak dilakukan dengan komunikasi primer. Hal ini disebabkan sarana-sarana interaksi sosial masyarakat baik dalam suasana formal maupun informal masih tetap terpelihara. Misalnya mushola yang tidak hanya difungsikan sebatas tempat beribadah, tapi juga dijadikan sebagai sarana interaksi sosial antar masyarakat. Begitupun dengan majelis-majelis taklim, acara-acara keagamaan yang
eksistensinya tetap
terpelihara. Ini menunjukkan interaksi sosial antar masyarakat masih kuat yang menjadikan tingkat kekerabatan masyarakat masih sangat tinggi. Tingkat kekerabatan yang masih tinggi menjadikan corak saling tolongmenolong dan gotong-royong masih menjadi warna dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada budaya sambatan (meminta bantuan) dalam acara
65
hajatan keluarga, kematian yang masih tetap terpelihara dengan baik. Meski kekerabatannya masih sangat tinggi bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat. Konflik yang ada dalam masyarakat memiliki dua bentuk yaitu konflik yang bersifat domestik dan publik. Untuk konflik yang bersifat publik, biasanya banyak bersentuhan dengan bantuan-bantuan program pemerintah, seperti penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk miskin (Raskin), program yang dilaksanakan oleh LPMK dan termasuk kegiatan dalam PNPM Mandiri. Dari pemetaan dapat disimpulkan bahwa konflik yang bersifat publik disebabkan distribusi keadilan yang tidak proporsional dan budaya saling ketidakpercayaan antar komponen masyarakat. Penajaman tentang komunikasi dengan dunia luar dapat dilihat pada aspek, media atau gatekeeper, dan tingkat kosmopolitan masyarakat. Media untuk berinteraksi dengan dunia luar banyak menggunakan sarana media elektronik. Dalam kaitan ini budaya tutur lebih kuat dibandingkan dengan budaya literasi dalam akses informasi dengan dunia luar. Hasil pengamatan menunjukkan di RT 01/02 (Blok Pesantren) hanya seorang kepala keluarga yang rutin berlangganan surat kabar. Begitupun di RT 03/01 (Blok Karang Gayam Selatan), hanya satu kepala keluarga yang berlangganan surat kabar. Peran opinion leader atau gatekeeper sebagai penyambung pesan kepada masyarakat sudah tidak berfungsi. Masyarakat secara mandiri telah mampu mengakses sumber-sumber informasi. Penetrasi media massa, diyakini dapat mempersempit ruang interaksi sosial yang akan menimbulkan perubahan sosial, namun kondisi ini tidak berlaku secara mutlak pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Sementara ini perubahanperubahan sosial yang ada pada masyarakat masih dalam batas-batas kewajaran. Hal ini dapat dilihat masih berfungsinya kontrol sosial antar masyarakat, budaya saling menolong dan kepekaan sosial yang masih ada.
66
Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi PNPM Mandiri pertama kali masuk ke Kelurahan Kenanga pada tahun 2006 dengan nama program program P2KP (program penanggulangan kemiskinan perkotaan). Selanjutnya pada tahun 2009 program ini berganti nama dengan PNPM Mandiri Perdesaan yang disebut dengan PNPM MP, yang kemudian lebih banyak disebut sebagai PNPM Mandiri. PNPM Mandiri memiliki berbagai siklus yang setiap siklus memiliki kekhasan terhadap aspek komunikasi. Siklus yang ada dalam kegiatan PNPM Mandiri dapat gambarkan sebagai berikut.
Tahap perencanan: Legalitas kelembagaan • Pembuatan PJM Renta
Tahap pelaksanaan: Pembentukan KSM Pembuatan skala prioritas • Pembuatan proposal kegiatan • LPJ
•
• •
Dukungan komunikasi
Tahap persiapan: PS 1 (refleksi kemiskinan) • PS2 • Pembentukan kelembagaan •
Tahap evaluasi: Rapat warga tahunan (RWT)
Keputusan RKM
Gambar 7. Siklus kegiatan PNPM Mandiri
67
Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa kegiatan PNPM Mandiri memiliki mekanisme proses yang sirkular. Setiap proses terdapat indikatorindikator kerja yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Untuk mencapai indikator tersebut diadakan bimbingan oleh fasilitator kelurahan di setiap proses yang ada. Selain itu, komunikasi antara masyarakat selalu dibangun baik dalam konteks organisasi maupun individu. Oleh karena itu, komunikasi merupakan bagian integral kegiatan PNPM Mandiri yang merupakan pilar penting dalam pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri. Tahap awal kegiatan PNPM Mandiri adalah rapat kesiapan masyarakat (RKM). Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada matriks berikut. Tabel 6 No 1
2
Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri
Obyek Amatan Pelaku Komunikasi
Pola Komunikasi
• • • •
•
3
Bentuk Kegiatan
4
Output
• • • • • •
Deskripsi Hasil Amatan Masyarakat Fasilitator Aparat kelurahan Komunikasi partisipatif dalam hal ini masyarakat diberikan pilihan untuk menerima atau menolak kegiatan P2KP. Linier dalam hal ini masyarakat diberikan pelatihan untuk menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri. Rembug warga Rekruitmen relawan Adanya persetujuan masyarakat terhadap kegiatan P2KP Terbentuknya tim relawan yang akan menjalankan siklus-siklus PNPM Mandiri. Terbentuknya kesadaran dan refleksi kemiskinan. Terbentuknya kesetiakawanan sosial masyarakat.
Pada kegiatan RKM dilihat pada tingkat partisipasi dari sisi gender banyak didominasi oleh kelompok perempuan. Hal ini dapat dilihat dari proporsi relawan yang direkrut dalam RKM yang kebanyakan perempuan. Dalam kegiatan RKM terdapat catatan penting mengenai sinergitas hubungan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Kelurahan Kenanga. Pada saat itu pihak Kelurahan Kenanga kurang merespon positif kegiatan P2KP yang
68
dapat dilihat dari dukungan fasilitas Pemerintah Kelurahan Kenanga, yang tidak maksimal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR mantan koordinator relawan berikut ini. “Informasi yang saya dapatkan seolah-olah pihak kelurahan dalam hal ini Lurah Kenanga pada saat itu tidak merespon apa yang menjadi keinginan masyarakat. Namun untuk persoalan tersebut sudah menjadi ranah antara fasilitator kelurahan, koordinator kota, penanggung jawab operasional kecamatan (PJOK) dan satuan kerja kabupaten (Satker Kabupaten).” Setelah adanya pakta integritas masyarakat terhadap kesiapan pelaksanaan kegiatan, dan terbentuknya relawan, kegiatan PNPM Mandiri dilanjutkan dengan siklus persiapan. Untuk memahami situasi komunikasi pada siklus tahap persiapan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 7. No 1 2
Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri
Obyek Amatan Pelaku Komunikasi Pola Komunikasi
Deskripsi Hasil Amatan • • • •
3
Bentuk Kegiatan
• • •
4
Output
• • •
Relawan Fasilitator Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada kegiatan pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua. (PS2) Linier dalam hal ini relawan diberikan pelatihan dalam melaksanakan kegiatan PS1 dan PS2. Rembug warga dalam membuat batasan atau refleksi kemiskinan (kegiatan PS1) Kegiatan PS2 yaitu pembuatan data kuantitatif dan kualitatif dari hasil refleksi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Pembentukan kelembagaan masyarakat yang menjalankan kegiatan PNPM Mandiri. Adanya refleksi kemiskinan yang sesuai dengan situasi yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Adanya data-data kuantitatif dan kualitatif tentang kondisi kemiskinan yang ada pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Terbentuknya Badan Keswadayaan Masyarakat.
Pada fase persiapan titik tolak kegiatan komunikasi pada lebih ditujukan sebagai sarana untuk menstimuli kepekaan masyarakat terhadap kemiskinan yang diharapkan munculnya sebuah langkah strategis yang bersifat swakelola, dan swadaya dalam penanggulangan kemiskinan.
69
Kegaiatan yang dilakukan pada siklus tahap persiapan dapat digambarkan sebagai berikut.
Hasil RKM
Kegiatan PS 1
Kegiatan PS 2
Pembentukan Kelembagaan BKM Gambar 8. Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan. Pemetaan swadaya satu berupa refleksi kemiskinan dan pembuatan konsep kemiskinan berdasarkan keadaan terkini masyarakat Kelurahan Kenanga. Pemetaan swadaya dua yaitu mengimplementasikan PS1 yaitu dengan melakukan pendataan kondisi-kondisi masyarakat, termasuk di dalamnya identifikasi pemanfaat PNPM Mandiri. Berdasarkan penelusuran lapangan data hasil PS2 tingkat akurasinya sangat rendah terutama pada persoalan data pemanfaat program. Data-data yang ada pada PS 2 banyak ketidakcocokan dengan kondisi yang ada. Salah satunya banyak warga dari kelompok non miskin menjadi pemanfaat program. Ketidakakurasian data ini dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, pemahaman para relawan terhadap batas-batas kemiskinan (refleksi kemiskinan) yang tidak dipahami dengan baik. Kedua, adanya persepsi bahwa kegiatan PS2 adalah kegiatan pendataan masyarakat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Suasana ini bisa dipahami karena momen kegiatan PS2 berbarengan dengan program-program pemerintah yang bersifat charity seperti halnya bantuan langsung tunai dan kompensasi pemerintah kepada masyarakat berkaitan konversi minyak ke gas.
70
Ketidakakuratan data PS2 memiliki berbagai implikasi, di antaranya pembuatan program jangka menengah (PJM), rencana tahunan (Renta) yang pada akhirnya terdapat program-program yang tidak tepat sasaran. Setelah kegiatan PS2 selesai, kegiatan dilanjutkan dengan pembentukkan kelembagaan masyarakat dalam hal ini Badan Keswadyaan mayarakat (BKM). BKM dipilih dengan mekanisme demokrasi. Setiap warga berhak mencalonkan diri sebagai anggota BKM. Kegiatan pembentukan kelembagaan dilakukan oleh panitia yang direkrut dari para relawan. Sebelum pelaksanaan pemilihan, panitia diberikan pembekalan dan diadakan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat lebih cenderung dengan menggunakan komunikasi sekunder dalam bentuk pamflet dan stiker yang dipasang pada tempat-tempat strategis. Pendekatan komunikasi primer, dalam bentuk rembug warga tidak dilaksanakan secara maksimal. Konsekuensi pendekatan sosialisasi seperti ini menjadikan tingkat pemahaman masyarakat pada BKM menjadi tidak terarah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kualitas pemahaman anggota-anggota BKM priode 2007-2009 yang rendah terhadap tugas pokok fungsi BKM. Secara teknis, pembentukan kelembagaan dapat digambarkan pada Gambar 9 berikut ini.
Pemilihan tingkat RT
Masyarakat pada tingkat RT, memilih perwakilan RT untuk dikompetisikan pada tingkat kelurahan. Mekanisme pemilihan ini bisa dengan rembug warga atau pemilihan. Setiap warga berhak untuk mencalonkan diri untuk menjadi perwakilan RT pada pemilihan tingkat kelurahan. Calon dari tiap RT yang akan diikutkan dalam pemilihan tingkat kelurahan berjumlah minimal 7 orang.
Pemilihan tingkat kelurahan
Perwakilan dari tiap RT, akan dikompetisikan pada kegiatan pemilihan di tingkat kelurahan yang mengambil 13 orang sebagai anggota BKM. Pada kegiatan ini hak pilih dan memilih adalah anggota perwakilan RT. Syarat sah pemilihan manakala dihadiri tiga perempat perwakilan RT.
Berdirinya kelembagaan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
BKM membuat legal formal pendirian kelembagaan dan AD ART dan membentuk unit-unit kerja yang terdiri dari Unit Pengelola Lingkungan (UPK), Unit Pengelola Sosial (UPS) dan Unit Pengelola Keuangan (UPK).
Gambar 9. Alur pembentukan kelembagaan BKM
71
Secara anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggota BKM Pondok Pari Bangkit dipilih untuk masa bakti dua tahun. Berdasarkan penggalian data di lapangan, kualitas SDM anggota BKM sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan yang paling sederhana adalah kiprah anggota dalam organisasi yang masih rendah. Dari 13 anggota BKM di antara dua priode ini maksimal hanya 3 orang setiap priodenya yang memiliki kiprah yang aktif. Rendahnya kualitas SDM BKM Pondok Pari Bangkit disebabkan berbagi faktor. Pertama mekanisme pemilihan yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota BKM. Pola pemilihan seperti seperti hanya mendapatkan anggota-anggota BKM berdasarkan ketokohan atau kefiguran. Hal ini menjadikan BKM hanyalah kumpulan para tokoh-tokoh masyarakat yang tingkat kompetensi dalam melaksanakan program masih diragukan. Kedua pola organisasi BKM yang sangat berbeda antara filosofi organisasi dan teknis operasi organisasi. Secara filosofi BKM merupakan organisasi sosial yang berbasis keswadayaan, tetapi pada pelaksanaan organisasi harus dijalankan dengan profesionalisme yang menuntut waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Ketimpangan antara filosofi dan teknik operasi organisasi, menjadikan suasana organisasi tidak dapat berjalan dengan baik. BKM hanya bekerja sesuai siklus-siklus yang telah ditentukan oleh regulator. Keadaaan ini menjadikan kegiatan di BKM bersifat stagnan. Keadaan ini juga berlaku pada unit-unit yang ada pada BKM, terkecuali unit pengelola keuangan (UPK). Setelah terbentuknya kelembagaan BKM siklus berikutnya adalah pembuatan perencanaan dalam bentuk program jangka menengah (PJM) dan rencana tahunan (Renta). Sumber dalam membuat perencanaan program kerja adalah data dari PS2. Pada pelaksanaannya tim perumus PJM tetap harus membuat verifikasi data PS2 berdasarkan input dari masyarakat.
72
Situasi komunikasi dalam tahap perencanaan dapat digambarkan pada matriks berikut ini. Tabel 8. No 1
2
Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri
Obyek Amatan Pelaku Komunikasi
Pola Komunikasi
• • • • •
3 4
Bentuk Kegiatan Output
• • • •
Deskripsi Hasil Amatan Kelembagaan BKM Kelembagaan LPMK Pemerintah Kelurahan Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada rembug BKM dalam menyususn dokumen PJM dan Renta. Linier dalam hal ini anggota BKM diberikan pelatihan dalam menyusun program jangka panjang (PJM) dan rencana tahunan (Renta) Rembug BKM, LPMK dan pihak kelurahan. Dokumen PJM selama 3 tahun Dokumen Renta selama 1 tahun Data pemanfaat program
Pokok pemikiran dalam pembuatan perencanaan kerja BKM adalah penanggulangan kemiskinan yang meliputi tiga aspek, yaitu di bidang lingkungan sosial dan ekonomi. Proses siklus pembuatan perencanaan kegiatan BKM dapat dilihat pada Gambar 10 berikut ini.
Pembentukkan tim perumus PJM dan Renta
Tim perumus terdiri dari gabungan lintas lembaga dalam hal ini Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Kenanga, Pemerintahan Kelurahan Kenanga dan Badan Keswadayaan (BKM) Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga.
Perumusan PJM dan Renta
Memasukkan data-data di PS2 dan data tambahan dari masyarakat (validasi) dalam dokumen PJM dan Renta yang dituangkan dalam aksi kegiatan
Pengesahan PJM dan Renta
Data-data yang sudah terdokumentasikan di PJM, selanjutnya ditandatangani oleh tim perumus dan seluruh anggota BKM.
Pelaksanaan Program
Gambar 10. Kegiatan pada fase perencanaan PNPM Mandiri
73
Secara petunjuk teknis pembuatan PJM dan Renta harus melibatkan berbagai elemen atau lembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di Kelurahan Kenanga sebagai tim perumus. Hal ini ditujukan untuk menciptakan sinergitas program antarelemen lembaga yang ada di Kelurahan Kenanga. Dalam aplikasinya, perumusan PJM dan Renta hanya dilakukan oleh BKM, termasuk untuk PJM 2010 sampai 2013. Komunikasi antarlembaga yang berkepentingan dengan pembangunan di Kelurahan Kenanga, sementara ini tidak dibangun dengan baik. Hal ini menimbulkan terjadinya tumpang tindih program, antara program dari pemerintah kelurahan, LPMK dan BKM. Mensikapi keadaan ini BKM Pondok Pari bangkit telah membangun rintisan komunikasi antarlembaga pemangku kepentingan pembangunan, salah satunya membuka jalur komunikasi dengan forum komunikasi RT dan RW Kelurahan Kenanga. Setelah terbentuknya program kerja, baik jangka menengah dan rencana tahunan siklus kegiatan PNPM Mandiri berikutnya adalah pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM). Situasi komunikasi dalam tahap pelaksanaan dapat digambarkan pada matriks berikut ini. Tabel 9. No 1
Obyek Amatan Pelaku Komunikasi
2
Pola Komunikasi
Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri Deskripsi Hasil Amatan • • • • •
3
Bentuk Kegiatan
4
Output
• • • •
BKM KSM Masyarakat Komunikasi partisipatif . Pola ini dilakukan pada sosialisasi PJM dan Renta dan sosialisasi swadaya masyarakat Linier dalam hal ini KSM diberikan pelatihan dalam melaksanakan program dari tahap proposal sampai penyusunan laporan pertanggungjwaban. Rembug masyarakat. Pelatihan. Terlaksananya kegiatan sesuai dengan PJM dan Renta Terlaksananya kegiatan PNPM Mandiri berdasarkan aturan-aturan.
74
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri terdiri dari tiga kegiatan yang meliputi kegiatan bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 11 berikut ini. Sosialisasi PJM Renta
BKM bersama unit-unit pelaksana melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Pembentukkan dan pengajuan KSM ke BKM
Setelah sosialisasi diharapkan masyarakat dapat membentuk KSM, dan mengajukan ke BKM.
Pelatihan KSM
BKM bersama fasilitator kelurahan memberikan pelatihan beupa petunjuk teknis pelaksanaan program
Sosialisasi kepada masyarakat
Sosialisasi dalam rangka untuk mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk partisipasi.
Pembuatan proposal
KSM mengajukan usulan program sesuai dengan berita acara penetapan prioritas kegiatan (BAPPUK)
Pelaksanaan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan berbasis partispasi.
Laporan pertanggungjawaban (LPJ)
LPJ merupakan implementasi akuntabilitas, transparansi lembaga pengelola PNPM Mandiri.
Gambar 11. Proses kegiatan dalam siklus pelaksanaan Dari sisi teknis pelaksanaan, pola komunikasi organisasi tidak dibangun dengan baik. Hal ini dapat dilihat peran-peran KSM yang hanya sebagai pelaksana lapangan. Untuk pekerjaan pembuatan proposal dan LPJ dibebankan kepada BKM. Muncul kesan hubungan komunikasi antara BKM dengan KSM adalah komunikasi transaksional. Hubungan komunikasi terselenggara hanya pada saat pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri setiap tahun harus diadakan review. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat evaluasi-evaluasi selama satu tahun kegiatan. Aspek-aspek yang direview adalah keuangan, kelembagaan dan program kerja. Untuk aspek keuangan, selain review internal dilakukan juga audit oleh pihak auditor independen. Salah satu dasar pembuatan review adalah hasil rapat warga tahunan (RWT).
75
RWT dilaksanakan sebagai bentuk komunikasi organisasi antara BKM dengan masyarakat. Dalam kaitan ini BKM mempertanggungjawabkan kegiatankegiatannya selama satu tahun. RWT juga bagian dari upaya untuk mendapatkan input-input eksternal berkaitan peningkatan kinerja BKM. Situasi komunikasi dalam tahap evaluasi dapat digambarkan pada matriks berikut ini. Tabel 10. No 1
Obyek Amatan Pelaku Komunikasi
2
Pola Komunikasi
3
Bentuk Kegiatan Output
4
Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri Deskripsi Hasil Amatan • • • •
•
BKM Unit-unit kerja BKM Masyarakat Komunikasi partisipatif dalam kaitan ini BKM memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka peningkatan kinerja BKM. Rembug masyarakat.
• • •
Akuntabilitas dan transparansi kelembagaan BKM Input masyarakat untuk penguatan kinerja BKM. Input data kondisi terkini masyarakat (kondisi kemiskinan).
Dalam proses RWT, penyampaian pertanggungjawaban dilakukan oleh BKM. Dalam hal ini unit-unit pelaksana memberikan progres kegiatan kepada BKM yang kemudian BKM menyampaikan kepada masyarakat. Kegiatan RWT dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini. Kinerja UPK
Kinerja UPL
BKM
Masyarakat
Kinerja UPS Gambar 12. Proses pada evaluasi kegiatan PNPM Mandiri
76
Telah disebutkan sebelumnya bentuk kegiatan evaluasi adalah Rapat Warga Tahunan (RWT). Kegiatan ini merupakan momentum untuk melakukan introspeksi bersama terhadap pelaksana kegiatan PNPM Mandiri. Pada pelaksanaan RWT partisipasi masyarakat sangat rendah. Dari 150 undangan yang disebarkan, hanya terdapat kurang lebih 30 peserta untuk RWT tahun 2010. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP sekretaris BKM Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga. “RWT merupakan momentum yang tepat khususnya bagi kami BKM tepat bagi kami (BKM) untuk memberikan akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat, namun partisipasi masyarakat untuk hadir masih sangat rendah.” Rendahnya partisipasi masyarakat dalam RWT, menunjukkan rendahnya responsibilitas dan internalisasi terhadap kegiatan PNPM Mandiri. Masyarakat masih belum memahami bahwa proses kegitan PNPM Mandiri memiliki siklus kegiatan. Aplikasi Model Komunikasi Tingkat Basis Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri mengisyaratkan proses komunikasi dengan cakupan luas. Kondisi ini mengundang konsekuensi terhadap pola komunikasi yang digunakan. Berdasarkan data di lapangan suasana aplikasi pola komunikasi tingkat basis dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 11. Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis Obyek Amatan Bentuk Komunikasi Pola komunikasi
Simpul komunikasi Nuansa komunikasi
Kredibilitas simpul komunikasi
Deskripsi Hasil Amatan Bentuk komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenangadilakukan secara primer dan sekunder. Banyak tahap dalam hal ini proses komunikasi antara sumber dan penerima seringkali tidak bisa dilakukan secara langsung (face to face). Dalam konteks komunikasi primer Ketua RT, tokoh masyarakat di posisikan sebagai simpul komunikasi. Komunikasi primer dengan mengandalkan Ketua RT menjadi simpul komunikasi menjadikan kesan proses komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga bernuansa komunikasi birokrasi. Rendah, hal ini dilihat dari sering terjadinya miscommunication antara BKM dengan masyarakat.
77
Komunikasi tingkat basis (antarmasyarakat) kegiatan PNPM Mandiri menggunakan berbagai model komunikasi, yaitu partisipatif dan linier. Dilihat dari arus informasi atau pola komunikasi, khususnya antara BKM dan masyarakat lebih banyak menggunakan komunikasi banyak tahap. Pola ini didasarkan pada suatu fungsi sekuensial yang tampaknya bisa terjadi dalam kebanyakan situasi komunikasi, yang tidak menentukan secara khusus jumlah tahapan (Mugniesyah 2010). Model komunikasi ini bersumberkan dari teori komunikasi massa. Dalam kaitan ini antara sumber pertama dengan sasaran khalayak tidak berhubungan secara langsung. Komunikasi antara kelompok satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh bridge. Menurut Rogers dan Kincaid (1981) dalam Saleh (2010), bridge adalah individu yang berperan sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik Alasan penggunaan simpul-simpul komunikasi karena cover area atau penetrasi komunikasi yang cukup luas. Kelurahan Kenanga terdiri dari 25 RT 7 RW dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 2.000 KK dengan jumlah penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ASP Sekretaris BKM Pondok Pari Bangkit Kelurahan Kenanga. “Di Kelurahan Kenanga terdapat 7 RW, 25 RT dengan 2.000 kepala keluarga (KK). Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan masyarakat kami lakukan dengan cara membangun simpulsimpul komunikasi. Simpul komunikasi adalah orang yang kita tunjuk sebagai perwakilan yang diharapkan dapat menyebarkan hasil keputusan rembug warga atau informasi kepada masyarakat. Simpul masyarakat diambil dari tiap perwakilan RT yang terdiri dari tokoh masyarakat yang berpengaruh, ketua RT atau relawan.” Pola komunikasi sekuensial terutama antara BKM dan masyarakat dapat digambarkan berikut ini. BKM
Simpul Komunikasi
Simpul Komunikasi
Simpul Komunikasi
Masyarakat
Gambar 13. Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
78
Dalam pelaksanaan komunikasi yang bersifat sekuensial ini, figur simpul komunikasi adalah masyarakat yang bersifat bridge, yaitu individu yang berperan sebagai penghubung dan sekaligus menjadi anggota klik. Individu sentral yang menjadi simpul komunikasi adalah ketua RT termasuk juga tokoh masyarakat atau relawan. Ketua RT sebagai simpul utama komunikasi menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri masih menggunakan jalur komunikasi birokrasi. Sementara ini, jalur komunikasi birokrasi di Kelurahan Kenanga dianggap yang efektif dalam distribusi pesan. Hal ini disebabkan stigma yang melekat pada masyarakat bahwa pembangunan masih identik dengan birokrasi. Selain menggunakan simpul-simpul komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan komunikasi bermedia. Media yang digunakan adalah media warga dalam bentuk buletin. Nama buletin tersebut adalah Gema Bangkit yang diterbitkan satu kali dalam satu bulan. Selama proses penerbitan, kebijakan isi merupakan instruksi atau arahan dari fasilitator kelurahan. Hal ini menunjukan komunikasi bottom up melalui media warga belum terbangun. Buletin Gema Bangkit lebih diarahkan sebagai sarana pencitraan kelembagaan BKM. Independensi buletin ini belum terbangun dengan baik hal ini dapat dilihat dari pembiayaan penerbitan buletin yang dibiayai oleh pihak regulator. Muncul kesan buletin ini sebagai sarana komunikasi antara BKM dengan regulator bukan sarana komunikasi antara BKM dengan masyarakat. Buletin Gema Bangkit disebarkan kepada masyarakat dengan cara dititipkan di tempat strategis seperti toko, kantor kelurahan dan mushola. Buletin ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dengan jumlah 200 eksemplar sekali terbit. Selain buletin, BKM Pondok Pari Bangkit memasang enam buah papan informasi di tempat-tempat strategis. Papan informasi dilengkapi dengan kotak saran dan kritik sebagai sarana komunikasi timbal balik antara masyarakat dengan BKM. Konten dari papan informasi adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan BKM dan unit-unit kerja.
79
Hasil pengamatan menunjukkan papan informasi tidak dikelola secara baik. Hal ini dapat dilihat dari updating informasi yang jarang dilakukan oleh BKM. Updating konten papan informasi dilakukan jika ada instruksi dari fasilitator. Dilihat dari kontribusinya, keberadaan media warga di tengah masyarakat belum memiliki kontribusi dalam diseminasi dan penguatan PNPM Mandiri. Hal ini dapat dilihat dari respons masyarakat yang sangat rendah dan tidak berfungsinya media warga sebagai media timbal balik komunikasi antara BKM dan masyarakat. Media warga masih belum dianggap penting sebagai sarana komunikasi pembangunan. Hal ini dikarenakan pola-pola komunikasi dalam masyarakat cenderung lebih banyak menggunakan pola-pola tutur daripada literasi. Komunikasi word by mouth dianggap paling efektif dibandingkan dengan komunikasi bermedia meskipun komunikasi seperti ini sangat rentan dengan distorsi. Komunikasi Kegiatan PNPM Mandiri dalam Isu Gender Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam partisipasi pembangunan, termasuk di dalamnya adalah perempuan. Dalam kaitan isu gender, terlihat berbagai keragaman situasi antara isu-isu gender dengan fase-fase kegiatan. Pembahasan isu gender akan dibatasi pada aspek akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol.
80
Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan rapat kesiapan masyarakat (RKM). Berdasarkan data di lapangan komunikasi dalam isu gender pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 12.
No
Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri
Komunikasi dalam Isu Gender
Rapat Kesiapan Masyarakat Hasil Amatan
1
Akses
Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan.
2
Partisipasi
Berdasarkan catatan kegiatan RKM dilihat dari jumlah peserta tidak ada perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan.
3
Pemanfaatan
RKM dijadikan sebagai sarana atau momentum masyarakat baik lakilaki maupun perempuan dalam melakukan perubahan.
Kontrol
Kontrol dalam kegiatan ini lebih cenderung dilakukan oleh laki-laki. Dalam RKM perempuan bersifat pasif.
4
Kegiatan RKM dilihat dari aspek komunikasi dalam isu gender tidak ada perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Pada kegiatan ini pihak Kelurahan Kenanga dan fasilitator kelurahan membuat jejaring kegiatan melalui pendekatan kewilayahan. Dalam hal ini ketua RT dijadikan mobilisator RKM. Suasana pada tahap kegiatan RKM akan berbeda dengan situasi fase persiapan dilihat dari komunikasi dan isu gender. Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 13.
Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri
No
Komunikasi dalam Isu Gender
1
Akses
2
Partisipasi
3
Pemanfaatan
4
Kontrol
Tahap Persiapan Hasil Amatan Pada kegiatan RKM membuka peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mendominasi. Peran mereka dalam fase persiapan sebagai relawan yang ditugasi untuk membuat pemetaan swadaya satu (PS1) dan pemetaan swadaya dua (PS2) Perempuan memaksimalkan diri memanfaatkan saluran komunikasi baik yang terselenggara dalam pola partisipatif atau linier. Laki lebih cenderung bersifat pasif. Dilihat dari kontrol kegiatan pada tahap persiapan, laki-laki mememgang peranan yang penting dan strategis. Mereka (lakilaki) ditunjuk oleh para relawan (sebagian besar kaum perempuan) sebagai koordinator relawan dan mobilisator. Begitupun dalam kepanitiaan pembentukkan BKM banyak di dominasi oleh laki-laki.
81
Pada fase persiapan, akses komunikasi terbuka untuk semua pihak. Akses ini pada akhirnya diimplemenasikan dalam bentuk partisipasi. Dari penelusuran di lapangan partisipasi pada kegiatan ini banyak di dominasi oleh perempuan. Faktor utamanya adalah perempuan memiliki keluangan waktu yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, ada kecenderungan kepekaan dan kepedulian sosial perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Partisipasi perempuan dalam kegiatan perencanaan dibagi menjadi dua kriteria, yaitu mereka yang partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi perempuan dalam tahap persiapan mengalami pasang surut. Untuk tahap-tahap awal kegiatan partisipasi mereka cukup tinggi, namun pada tahap kegiatan PS2 partisipasi mereka semakin berkurang. Hal ini disebabkan kegiatan PS2 terlalu menyita waktu mereka. Kondisi ini menjadikan perbenturan waktu mereka dalam ranah domestik dan publik. Pada saat ini banyak sekali ditemukan percekcokan keluarga disebebabkan kegitan ini. Secara kuantitatif, peran perempuan mendominasi pada kegiatan perencanaan, namun secara kontrol kegiatan banyak didominasi oleh kelompok laki-laki. Kaum laki-laki memiliki peran-peran yang strategis seperti halnya sebagai koordinator relawan dan panitia pemilihan anggota BKM. Pada kegiatan perencanaan, peran perempuan sangat minim sekali. Hal ini disebabkan pola pembuatan perencanaan melalui mekanisme organisasi yang sebagian besar di dominasi oleh kaum laki-laki. Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 14.
No
Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri
Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Persiapan Hasil Amatan
1
Akses
Terbatas bagi laki-laki dan perempuan karena kegiatan ini menggunakan pola-pola organisasi.
2
Partisipasi
Laki-laki mendominasi karena kelembagaan yang berwenang membuat perencanaan didominasi oleh laki-laki.
3
Pemanfaatan
BKM paling banyak memanfaatkan kegiatan perencanaan.
4
Kontrol
Kontrol kegiatan banyak didominasi oleh BKM
82
Pola pembuatan perencanaan kegiatan dalam kegiatan PNPM Mandiri adalah menggunakan saluran komunikasi organisasi. Dalam hal ini BKM merupakan leading sector dalam membuat perencanaan. Dalam isu gender, lembaga BKM didominasi oleh kelompok laki-laki. Berdasarkan catatan yang ada periode pertama (2007-2009) jumlah perempuan anggota BKM hanya berjumlah dua orang dan periode kedua (2009-2011) jumlah perempuan anggota BKM hanya berjumlah satu orang. Salah satu faktor dominan daya tawar politis perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dilihat dari partisipasi perempuan di kelembagaan BKM sangat rendah hal ini dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam rembug-rembug BKM. Hal ini tentunya berkorelasi dengan minimnya peran mereka dalam pembuatan perencanaan. Pemanfaatan lembaga BKM banyak didominasi oleh laki-laki termasuk dalam kontrol organisasi. Pada tingkat pelaksanaan kegiatan, telah mengkrucut kekhasan bidang masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak mendominasi untuk kegiatan lingkungan sedangkan perempuan untuk bidang sosial dan keuangan. Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek persiapan dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 15.
Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri Tahap Persiapan
No
Komunikasi dalam Isu Gender
1
Akses
Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2
Partisipasi
Mengkrucut pada bidang kekhasan masing-masing. Laki-laki mendominasi pelaksanaan kegiatan bidang lingkungan, perempuan mendominasi bidang kegiatan sosial dan keuangan.
3
Pemanfaatan
Bidang lingkungan dimanfaatkan oleh semua pihak, bidang sosial dan keuangan banyak dimanfaatkan oleh perempuan.
4
Kontrol
Kontrol kegiatan lingkungan banyak dilakukan oleh laki-laki dan kegiatan sosial dan keuangan banyak dikontrol oleh perempuan.
Hasil Amatan
Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM). Dalam petunjuk teknis representasi jumlah perempuan dalam KSM minimal 30%. Secara aturan, menunjukkan akses, partisipasi, pemanfaatan
83
dan kontrol memberikan peluang yang sangat positif bagi perempuan. Ditinjau dari sisi administrasi, kuota perempuan ini sudah terpenuhi. Hampir semua KSM baik di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi, memasukkan daftar perempuan sebagai anggota KSM. Pada pelaksanaannya, kontrol kegiatan terbagi berdasarkan kekhasan gender. Pada bidang lingkungan perempuan hanya diposisikan secara administrasi belaka atau hanya dalam pelaporan, meskipun posisi mereka pada posisi yang strategis, sebagai bendahara atau pengadministrasi kegiatan. Kenyataan di lapangan kegiatan-kegiatan di bidang lingkungan banyak dikendalikan oleh laki-laki baik secara keuangan dan administrasi. Pada kegiatan sosial dan ekonomi akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan relawan-relawan yang berkiprah pada kegiatan PNPM Mandiri memiliki pengalaman dalam kegiatankegiatan sosial, seperti kegiatan di pos yandu, kelompok majelis taklim, dan kegiatan PKK. Pada fase evaluasi, secara prinsipil membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan kontribusi. Kegiatan evaluasi dimanisfestasikan dalam bentuk rapat warga tahunan. Secara umum komunikasi dalam evaluasi belum diterapkan secara proporsional oleh masyarakat. Artinya evaluasi melalui jalur komunikasi organisasi belum berjalan maksimal. Dalam aspek gender persoalan evaluasi tidak ubahnya seperti gambaran umum. Situasi komunikasi dalam isu gender pada aspek evaluasi dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 16.
No
Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga
Komunikasi dalam Isu Gender
Tahap Evaluasi Hasil Amatan
1
Akses
Secara prinsip membuka peluang baik laki-laki dan perempuan.
2
Partisipasi
Dominasi laki-laki karena selama ini pelaksanaan kegiatan evaluasi belum mengakomodir suasana perempuan. Dalam kaitan ini kegiatan dilaksanakan pada malam hari.
3
Pemanfaatan
Kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat
4
Kontrol
Kontrol dalam forum lebih dominan laki-laki.
84
Secara umum pelaksanaan komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga banyak didominasi oleh kelompok laki-laki baik secara akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol. Keadaan ini disebabkan sistem yang dibangun tidak mengakomodir suasana diri perempuan. Hal ini terlihat dari penciptaan iklim komunikasi. Sementara ini, iklim komunikasi yang dibangun dalam sistem komunikasi kegiatan PNPM Mandiri kurang memperhatikan budaya waktu perempuan. Kegiatan komunikasi kegiatan PNPM Mandiri, lebih banyak diselenggarakan pada malam hari. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh WTM mantan ketua unit pelaksana keuangan berikut ini. “Pelaksanaan komunikasi pada malam hari sering menjadi hambatan bagi saya. Hal ini disebabkan keberatan suami saya untuk mengikuti rembug warga pada malam hari. Ini berdasarkan penglaman saya, kegiatan rembug warga biasanya memakan waktu sampai larut malam.” Namun demikian, penciptaan iklim komunikasi bukan dalam rangka untuk menghalangi kiprah perempuan untuk aktif dalam proses komunikasi kegiatan PNPM Mandiri. Hal ini semata-mata disebabkan waktu malam hari, merupakan waktu yang netral untuk semua pihak, karena pada siang atau sore hari terbentur dari kesibukan masing-masing aktivis. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh ASP sekretaris BKM berikut ini. “Sebenarnya waktu malam hari sudah kami pertimbangkan secara psikologis terutama untuk perempuan. Pensiasatanya adalah dengan mengatur waktu pertemuan warga pukul 19.30 (ba’da isya). Namun karena keterlambatan pelaksanaan yang mencapai satu jam menjadikan rembug warga selesai pada larut malam.” Penciptaan iklim yang tidak mengakomodir keadaan perempuan secara tidak langsung menciptakan image negatif masyarakat pada program PNPM Hal ini sebagaimana pengalaman IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini. “Salah satu permasalahan dalam kegiatan ini adalah partisipasi perempuan. Hampir sebagian besar desa atau kelurahan yang pernah saya dampingi berkultur patriarki, sehingga banyak tentangan ketika perempuan memasuki ranah publik. Hal yang pernah saya rasakan, ada sebagian masyarakat yang menganggap saya, khususnya program PNPM Mandiri telah mengajak perempuan untuk meninggalkan kewajiban sebagai istri (melawan suami), karena mereka sering mengikuti pertemuan-pertemuan warga.”
85
Selain
persoalan penciptaan
iklim komunikasi,
konstruksi sosial
masyarakat Kelurahan Kenanga, belum mengakomodir perempuan secara penuh peran perempuan dalam ranah publik. Konstruksi sosial seperti ini merupakan bagian ideologi dan keyakinan yang telah tertanam kuat pada masyarakat Kelurahan Kenanga. Meski terdapat hambatan dalam proses komunikasi, tetapi pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sudah menggunakan konsep gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG). Hal ini dapat dilihat dari kiprah perempuan baik sebagai pemanfaat program atau pengelola program. Gambaran ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 17. Distribusi peran dan pemanfaatn program dalam aspek gender No.
Kelembagan
Kepengurusan
1
BKM
Dominasi kepengurusan laki-laki
2
UPL
Dominasi kepengurusan laki-laki
3
UPK
Dominasi kepengurusan laki-laki
4
UPS
Dominasi kepengurusan perempuan
5
KSM bidang lingkungan
Dominasi kepengurusan laki-laki
Laki-laki dan perempuan
6
KSM bidang bergulir
Dominasi kepengurusan perempuan
Perempuan
7
KSM bidang sosial
Dominasi kepengurusan laki-laki
Perempuan
pinjaman
Pemanfaatan
Dilihat dari kapasitas kehadiran perempuan cenderung bersifat pasif. Kehadiran perempuan cenderung hanya menjadi pelengkap pertemuan. Ekspresi perempuan terhadap pandangan pemikiran dan ketidaksetujuan dalam forum komunikasi lebih banyak disalurkan melalui sarana lain-lain misalnya pertemuan ibu-ibu PKK, arisan, dan obrolan antar tetangga. Imbas dari dari ekspresi ini adalah multitafsir terhadap pesan komunikasi yang dapat menimbulkan suasanasuasana yang tidak sehat. Fenomena ini dapat ditelusuri dari pandangan Edwin dan Shirley Ardener (antropolog) tahun 1975 (West & Turner 2008) yang menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk
86
bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan. Dibalik rendahnya kapasitas perempuan dalam kegiatan PNPM Mandiri, ternyata mereka memiliki kontribusi pada bidang lainnya seperti pembinaan umat. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu. Di Kelurahan Kenanga terdapat 13 kelompok pengajian yang eksis dan terorganisasi dengan baik. Selain kelompok pengajian ibu-ibu, eksistensi lembaga-lembaga formal seperti Fatayat dan Muslimat sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) berjalan dengan baik. Namun kearifan lokal yang dibangun oleh perempuan ini belum tergarap dengan baik sebagai sarana komunikasi pembangunan. Internalisasi Kegiatan PNPM Mandiri Internalisasi program menunjukkan keberhasilan komunikasi program. Berdasarkan amatan di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program di masyarakat belum menunjukkan gambaran yang memuaskan hal ini dapat digambarkan pada tabel berikut ini. Tabel 18. Matriks gambaran internalisasi program No 1 2
Obyek Amatan Pencitraan PNPM Mandiri Pemahaman terhadap program
3
Kesadaran masyarakat
4
Partisipasi
Deskripsi Bias citra Setiap karakteristik memiliki pemahaman yang berbeda. Data yang paling kontras adalah kelompok rumah tangga miskin (RTM) sebagai sasaran program sedikit sekali mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri. Menuju proses transisi dari kesadaran magis menuju kesadaran naif. Dalam kaitan ini masyarakat sudah menunjukkan untuk merefleksikan keadaan dirinya tapi masih ada sifat fatalis. Masih dalam tahap partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan dalam hal ini BKM dan fasilitator.
Pencitraan Kegiatan PNPM Internalisasi kegiatan PNPM Mandiri menunjukkan sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap filosofi, konsep dan aplikasi program. Internalisasi program merupakan umpanbalik dari proses komunikasi. Sebagai sebuah asumsi semakin tinggi tingkat pengkomunikasian program kepada masyarakat akan menguatkan internalisasi program kepada masyarakat.
87
Data di lapangan menunjukkan bahwa internalisasi program dalam sudut pengetahuan masih mengalami bias pencitraan. PNPM Mandiri bagi masyarakat Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai program temporal yang tidak ubahnya seperti program-program lainnya yang bersifat spontan dan dilaksanakan dalam jangka pendek. Hal ini dapat terlihat dari wacana masyarakat Kelurahan Kenanga yang mengalami pasang surut wacana Kegiatan PNPM Mandiri. Implikasi dari stigma ini adalah rendahnya masyarakat dalam melakukan pemberdayaan secara mandiri. Padahal, di Kelurahan Kenanga memiliki kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Ini dapat dilihat dari budaya-budaya masyarakat Kelurahan Kenanga yang bercirikan kebersamaan dan saling berbagi. Hal ini terlihat dari budaya sedekah makaman, sebuah ritual budaya mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dengan saling berbagi makanan. Budaya ngapem (membuat kue apem) pada bulan Safar (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), budaya suraan (membuat bubur) pada bulan sura (nama bulan pada sistem penanggalan jawa), peringatan maulid nabi dengan acara pembacaan kitab barjanzi di rumah warga secara bergiliran, yang semuanya biaya tersebut merupakan swadaya masyarakat. Berikutnya PNPM Mandiri masih dicitrakan sebagai program parsial yang hanya terfokus pada satu bidang kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Dalam uji petik pada masyarakat menunjukkan sebagian besar masyarakat Kelurahan Kenanga mengidentikkan kegiatan PNPM Mandiri dengan kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Hal ini sebagaimana yang disampaikan KDR warga blok Kranten Kelurahan Kenanga berikut ini. “Saya hanya mengetahui PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga sebatas pembuatan rabat beton di blok kami. Untuk programprogram yang lain saya tidak tahu.”
88
Kondisi ini jelas merupakan kondisi yang kurang terarah kalau dimasukkan dalam konteks pengentasan kemiskinan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh IMH senior fasilitator tim 10 berikut ini. “Memang diakui bahwa nuansa program PNPM Mandiri adalah pembangunan infrastruktur lingkungan warga karena leading sector-nya adalah instansi yang membidangi hal tersebut. Bagi saya pribadi hal ini kurang terarah, karena persoalan kemiskinan substansinya bukan mereka membutuhkan jalan, tapi bagaimana mereka bisa makan, bisa sekolah, bisa mengakses fasilitas kesehatan. Menurut hemat saya dalam kegiatan PNPM Mandiri harus dibentuk sebuah badan khusus setingkat kementerian, supaya pengentasan kemiskinan bersifat komprehensif.” Terjadinya bias citra kegiatan PNPM Mandiri dalam aspek komunikasi, disebabkan karena selama ini terpaan-terpaan komunikasi program lebih memfokuskan
pada
muatan
pesan
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan
infrastruktur lingkungan warga. Hal ini dapat dipahami dalam ranah komunikasi massa yaitu teori agenda setting. Disebutkan dalam teori ini jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Combs & Shaw 1972 dalam Effendy 1993). Teori ini memiliki relevansi dengan kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga karena fakta di lapangan intensitas komunikasi pada tingkat basis lebih banyak ditujukan untuk keberhasilan kegiatan pembangunan lingkungan. Untuk bidang kegiatan lainnya tidak dilakukan komunikasi secara intensif. Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik Selain persoalan pencitraan, yang menarik berkenaan dalam internalisasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga adalah kelompok masyarakat rumah tangga miskin sebagai sasaran program sebagian besar tidak tersentuh informasi program. Ini mengindikasikan akses informasi program bagi kaum miskin sangat rendah. Terdapat dua faktor dominan rendahnya akses informasi program pada kelompok masyarakat miskin. Pertama adalah perlakuan deskriminatif dalam distribusi informasi. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara rembug warga. Biasanya daftar urut prioritas undangan rembug warga adalah dari
89
kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan STR anggota KSM Sakura berikut ini. “Hampir sebagian besar dalam rembug warga di RT manapun pertama kali yang diajak bicara adalah tokoh masyarakat dan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Ini semata-mata untuk mendongkrak perolehan swadaya masyarakat, karena pola dalam pembiayaan kegiatan PNPM Mandiri adalah 30% dibiayai melalui swadaya masyarakat.” Kedua, munculnya sifat fatalis dari kelompok masyarakat miskin itu sendiri. Ada perasaan bagi masyarakat miskin bahwa program apapun tidak memiliki efek yang signifikan terhadap perubahan nasib hidup mereka. Sifat fatalis ini terdoktrinasi kuat dalam kelompok rumah tangga miskin. Fenomena ini terjadi disebabkan mereka telah termarjinalkan dalam berbagai program-program pemerintah. Hal ini sebagaimana yang disampaiakan oleh SBA warga blok Pesantren Kelurahan Kenanga: “Bagi saya program apa pun hampir tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan nasib saya. Selama ini saya jarang tersentuh (sebagai pemanfaat) program, misalnya bantuan tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan miskin (Askeskin), bahkan bedah rumah tidak layak huni (rutilahu) pun gagal, padahal rumah saya sudah dijanjikan untuk direhab.” Hal ini menunjukkan simpul-simpul komunikasi dalam hal ini lembaga RT belum membangun komunikasi dialogis pada tingkat basis. Lembaga RT belum berfungsi sebagai agen perubahan, yang memperjuangkan kepentingan semua pihak. Fungsi lembaga RT masih sebatas mengurus administratif kependudukan, yang mendukung terlaksananya jalannya pemerintahan. Pihak Kelurahan Kenanga tidak bisa menginstruksikan atau mengintervensi agar peran lembaga RT lebih luas lagi dalam kaitan ini sebagai agen perubahan. Alasannya adalah tidak ada dana operasional lembaga RT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh MSRKN sekretaris Kelurahan Kenanga berikut ini: “Kami dari pemerintahan Kelurahan Kenanga tidak bisa berharap banyak agar peran ketua RT lebih luas, terlebih lagi sebagai agen perubahan. Pijakan dasar menjadi ketua RT adalah kerja sosial. Pemerintah sendiri tidak memiliki dana taktis untuk kegiatan lembaga RT. Artinya dalam hal ini kami tidak bisa menuntut banyak dari ketua RT.”
90
Secara teoritis persoalan kemiskinan yang terjadi pada SBA menunjukkan adanya strukturalisasi kemiskinan. Hal sebagaimana yang disampaikan oleh kaum teori demokrasi sosial yang memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. (Suharto 2005). Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Mariana dan Purnama (2005) yang menyebutkan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Dari keragaman karakteristik, masyarakat ekonomi kelas menengah dan tokoh masyarakat lebih mengetahui dan memahami kegiatan PNPM Mandiri dibandingkan dengan masyarakat dari rumah tangga miskin. Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak diajak berkomunikasi baik oleh simpul komunikasi maupun oleh pengurus BKM. Dengan dibangunnya komunikasi diharapkan muncul kepedulian mereka terhadap fenomena kemiskinan yang ada di masyarakat. Kecenderungannya peran mereka sangat pragmatis, yaitu dengan memposisikan diri mereka sebagai penyandang dana atau donatur Hal ini sebagaimana yang disampaikan SKR seorang pengusaha dari blok Pesantren Kelurahan Kenanga berikut ini. “Secara langsung keterlibatan saya dalam rembug warga sangat jarang, karena kesibukan mengurus usaha. Informasi PNPM Mandiri saya terima dari KSM yang menyampaikan proposal permohonan bantuan swadaya. Selama ini kalau saya dapat membantu pasti saya akan membantu kegiatan kemasyarakatan, namun untuk mengurus sampai detail saya belum bisa meluangkan waktu untuk itu.” Pada sisi tokoh masyarakat mereka lebih memainkan peran sebagai motivator. Kebanyakan dari tokoh masyarakat memfungsikan dirinya sebagai mobilisator masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan DMYT seorang ulama warga blok Pesantren Kelurahan Kenanga berikut ini. “Selama pelaksanaan PNPM secara teknis detail saya tidak terlibat, biarlah yang muda-muda saja yang bergerak, saya selaku orang tua, hanya bisa memberikan restu dan membantu panitia untuk menggerakan warga masyarakat.”
91
Dari sisi gender, kebanyakan mereka yang mengetahui dan memahami PNPM Mandiri adalah perempuan pemanfaat dana pinjaman bergulir. Dari data yang ada menunjukkan sebagian besar pemanfaat dana pinjaman bergulir adalah perempuan atau sebesar 58 persen. Pengetahuan mereka terhadap PNPM Mandiri muncul setelah mereka menjadi pemanfaat langsung kegiatan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan IPH salah satu ketua KSM pinjaman dana bergulir berikut ini. “Sebelumnya saya tidak pernah mendengar adanya program PNPM Mandiri, karena selama pelaksanaan program wilayah di mana saya tinggal tidak pernah masuk kegiatan. Saya mengetahui adanya program PNPM setelah adanya informasi pinjaman bergulir dari ketua RT.” Selain
pemanfaat
pinjaman
bergulir,
perempuan
yang
memiliki
pemahaman PNPM Mandiri adalah para aktivis perempuan yang langsung bersentuhan dengan kegiatan PNPM Mandiri. Mereka terdiri dari para pengurus baik di BKM, unit pelaksana, anggota KSM dan relawan. Masyarakat Kelurahan Kenanga secara konseptual masih awam terhadap PNPM Mandiri. Namun substansi pelaksanaan program sudah ada pencerahan yang positif. Hal ini dilihat dari partisipasi yang antusias dari masyarakat yang dibuktikan pencapaian program kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga yang mengalami kenaikan volume yang signifikan dari target yang diberikan oleh BKM. Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga Pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga pertama kali digulirkan pada bulan Desember 2009. Sasaran utama pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir adalah rumah tangga miskin di wilayah desa/kelurahan dimana LKM/BKM berada, khususnya warga miskin yang sudah tercantum dalam daftar warga miskin (hasil pemetaan swadaya atau PS2). Sejak diluncurkan pada bulan Desember 2009 hingga Desember 2010 atau dalam kurun waktu satu tahun telah tercatat 225 pemanfaat atau nasabah. Pemanfaat ini tersebar di 23 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Adapun
92
dana yang telah digulirkan kepada masyarakat per Desember 2010 mencapai Rp. 114.350.000 (seratus empat belas juta tiga ratus lima puluh ribu). Kegiatan pinjaman bergulir melibatkan beberapa elemen. Elemen-elemen tersebut adalah: 1. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Tugas BKM pada pelaksanaan kegiatan adalah membentuk unit sebagai pengelola dalam hal ini adalah Unit Pengelola Keuangan (UPK). Perangkat kerja UPK diangkat dan diberhentikan oleh BKM berdasarkan musyawarah. Selanjutnya BKM berdasarkan rembug warga menentukan besaran jasa/bunga serta besaran insentif pengelola dan aturan-aturan pelaksanaan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat termasuk memiliki kewenangan memberikan persetujuan atau penolakan atas ajuan pinjaman Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) berdasarkan masukan dari UPK. 2. Unit Pengelola Keuangan (UPK). UPK adalah unit di bawah BKM yang bertugas menjalankan kegiatan secara teknis, dimulai dari pengajuan usulan KSM, sampai melakukan penerimaan setoran. 3. Dewan Pengawas Keuangan (DPK). DPK merupakan elemen yang independen
yang
bertugas
mengawasi
pelaksanaan
kegiatan
secara
keseluruhan. 4. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), adalah kelompok pemanfaat pinjaman bergulir. Secara petunjuk teknis berdasarkan aturan-aturan regulator kegiatan pinjman bergulir adalah sebagai berikut: 1. Pengajuan pinjaman dilakukan secara kelompok yaitu KSM. 2. KSM mengajukan usulan pinjaman yang disertai dengan surat keterangan dari ketua RT. 3. Setiap pinjaman tidak terdapat agunan. 4. Nominal pinjaman yang diberikan nilainya beragam. Untuk peminjam awal jumlah pinjaman maksimal Rp. 500.000/orang. Peminjaman yang bersifat repeat order maksimal diberikan pinjaman Rp. 1.000.000/ orang. 5. KSM dibebankan biaya swadaya untuk pengadaan sarana kegiatan peminjaman, seperti untuk pengadaan kartu pinjaman, bukti setoran, dll.
93
6. Lamanya masa kredit adalah 10 bulan. 7. Uang jasa dari pinjaman ditetapkan sebesar 2% per bulan. 8. Setiap peminjam diwajibkan membuka tabungan awal sebesar Rp. 25.000 untuk pinjaman Rp. 500.000 dan Rp. 50.000 untuk pinjaman Rp. 1.000.000. 9. Setiap bulan peminjam wajib melakukan setoran dengan membayar hutang pokok, uang jasa dan simpanan wajib bulanan. Untuk pinjaman Rp. 500.000, hutang pokok yang dibayarkan Rp. 50.000, dengan uang jasa Rp. 10.000, serta simpanan wajib bulanan Rp. 2.500. Total yang disetorkan adalah Rp. 62.500. Sedangkan untuk pinjaman yang bernilai 1.000.000, hutang pokok yang dibayarkan Rp. 100.000, dengan uang jasa Rp. 20.000, serta simpanan wajib bulanan Rp. 5.000. Total yang disetorkan adalah Rp. 125.000. 10. Pada masa akhir kredit atau pinjaman setoran tabungan awal dan setoran wajib bulanan akan dikembalikan lagi ke peminjam dengan melihat aspek besaran tunggakan. Beberapa catatan penting pelaksanaan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga adalah sebagai berikut: 1. Belum ada aturan tertulis di perjanjian akad kredit mengenai peminjam yang meninggal selama masa pinjaman belum selesai. Apakah pinjaman akan diputihkan atau diteruskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga peminjam yang mengalami kecacatan permanen. 2. Belum ada aturan yang tertulis di perjanjian akad kredit berkenaan dengan penambahan masa waktu pinjaman. 3. Tingkat selektivitas UPK terhadap calon peminjam tidak ada. Hal ini dapat dilihat banyak sekali peminjam bukan dari kelompok rumah tangga miskin (RTM) atau yang mereka terdata pada pemetaan swadaya tahap 2 (PS 2). Kondisi ini menjadikan sasaran program tidak terarah dengan baik. Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri Untuk menganalisis kegiatan pembangunan dalam aspek gender, dapat dianalisis konsep isu gender. Isu gender dalam pembangunan terdiri dari: akses, partisipasi, manfaat dan kontrol (Depdagri dan LAN RI 2007). Untuk melihat isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir program PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dapat dilihat pada tabel berikut ini.
94
Tabel 19. Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir No 1
Isu Gender Akses
2
Partisipasi
3
Manfaat
4
Kontrol
Hasil Amatan Pinjaman bergulir membuka peluang bagi kelompok manapun terutama dari masyarakat miskin. Partisipasi dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat dari peran masyarakat ditinjau dari aspek gender. Dilihat dari peran pengelolaan pada awalnya kegiatan pinjaman bergulir didominasi oleh kelompok perempuan. Begitupun peran perempuan pada Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) didominasi oleh perempuan. Seiring dengan perjalanannya peran perempuan di kelembagaan kegiatan pinjaman bergulir (UPK) tidak lagi mendominasi. Pemanfaat kegiatan pinjaman bergulir sebagian besar adalah kelompok perempuan. Kontrol pemanfaat pinjaman bergulir dilihat dari aspek pertanggungjawaban pengembalian dana pinjaman bergulir, kelompok perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan kelompok laki-laki.
Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri Pelaksanaan PNPM Mandiri mengisyaratkan adanya keterbukaan pada semua kelompok masyarakat tanpa harus dibedakan berdasarkan atribut-atribut yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinasi diberi peluang yang sama dalam di dalam pembangunan. Salah satu peluang yang diberikan adalah kegiatan pinjaman bergulir. Kegiatan ini telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Tingginya akses perempuan dalam pemanfaatan dana pinjaman bergulir dapat disebabkan mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir yang sangat sederhana dan dipandang lebih kooperatif dibandingkan dengan lembaga perbankkan konvensional. Syarat menjadi pemanfaat pinjaman bergulir hanya menyerahkan photo copy KTP tanpa memberikan agunan apapun. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh SNH pemanfaat pinjaman bergulir Blok Jorogan. “Dengan adanya kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga, setidaknya telah membawa angin segar bagi kami khususnya perempuan. Sementara ini, kami sering terhambat untuk mendapatkan permodalan dari bank seperti BRI atau BPR. Sedangkan apabila kami melakukan pinjaman melalui bank keliling, kami terkendala dengan persoalan pengembalian yang sangat berat.”
95
Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK Kegiatan
pinjaman
bergulir
dilihat
dari
partisipasi
pengelolaan
kelembagaan berdasarkan aspek gender memiliki dua fase besar. Fase pertama, pengeloaan dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka merupakan para aktivis kegiatan kemasyarakatan seperti kader PKK, Posyandu dan ibu-ibu pengajian. Pada fase ini telah menerapkan konsep pembangunan Gender and Devolopment. Perempuan pada fase ini tidak hanya sebagai pemanfaat pembangunan tetapi menjadi pengelola pembangunan. Berkenaan dengan kesadaran kritis pengarusutamaan gender keadaan ini menunjukkan sudah ada keterbukaan masyarakat untuk menerima perempuan sebagai bagian pelaku pembangunan. Dari sisi kelembagaan keadaan ini menunjukkan BKM telah membangun sikap yang positif dalam pengarusutamaan gender. Kepengurusan unit pengelola keuangan (UPK) oleh kaum perempuan mengalami pasang surut yang sangat signifikan dalam kegiatan pinjaman bergulir. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman masyarakat. Selama dua bulan setoran yaitu bulan Januri-Februari 2010 dinamika kegiatan UPK dinilai positif. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian dana bergulir oleh masyarakat yang cukup signifikan yaitu di angka 95 persen. Pada saat kegiatan pinjaman
bergulir
memasuki
bulan
ke
tiga
persoalan-persoalan
mulai
bermunculan. Salah satunya adalah semakin merosotnya tingkat pengembalian dana bergulir oleh masyarakat. Bahkan setelah dilakukan pemetaan masalah ternyata permasalahn UPK tidak sebatas kepada masalah-masalah kemacetan pengembalian masyarakat. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh BKM terdapat beberapa persoalan serius yaitu: 1. Tingkat pengembalian yang rendah kira-kira 50 persen. 2. Pengelolaan yang tidak profesional. Diantaranya persoalan pengadministrasian yang tidak dilaksanakan dengan baik, laporan bulanan ke BKM yang tidak dibuat, penarikan pungutan liar kepada pemanfaat, pemberian pinjaman di bawah tangan yang non prosedural, dan pemanipulasian data. 3. Kapitalisasi dana oleh pengurus. Modus yang digunakan salah seorang pengurus menggunakan atau meminjam nama orang untuk mendapatkan
96
pinjaman yang lebih besar (melebihi ambang kuota) yang menjadikan pengurus ini tidak mampu untuk melakukan setoran bulanan. 4. Pudarnya integritas UPK dalam kaitan ini UPK masih dipandang atau dianggap sama sebagai lembaga keuangan lainnya yang hanya berusia singkat seperti halnya Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED SP), atau pinjaman bergulir pada masa program Intensifikasi Desa Tertinggal (IDT) 5. Konflik internal antarpengurus. Hal ini diduga dipicu karena ketidakadilan pemberian insentif hasil dari jasa perguliran. Persoalan di atas secara umum dapat disebabkan beberapa hal yaitu: Pertama, lemahnya kemampuan manajerial pengurus. Hal ini disebabkan pembekalan kepada pengurus UPK sangat minim. Kedua, lemahnya pengawasan BKM terhadap UPK. Pada kurun waktu Januari hingga Maret 2010 BKM belum pernah diberikan laporan perkembangan kegiatan. Ketiga, tidak berfungsinya dewan pengawas keuangan (DPK) dalam memantau pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir. Keempat, persoalan karakter dan nilai-nilai moral dari setiap individu pelaksana kegiatan pinjaman bergulir. Menyikapi kondisi ini pada bulan Juni 2010, BKM melakukan perombakan total di kepengurusan. Pada fase kedua ini dominasi perempuan dalam mengelola UPK sudah tidak ada lagi. Komposisi pengelola pada aspek gender sekarang ini lebih didominasi oleh laki-laki. Dari tiga pengurus hanya terdapat satu orang pengurus perempuan yang ditugaskan sebagai tenaga teknis lapangan (kolektor). Fase ini lebih tepat disebut sebagai fase pembenahan. Pekerjaan yang berat yang dihadapi oleh kepengurusan baru yaitu menjaga integritas lembaga. Sementara ini, lembaga keuangan yang dikelola masyarakat di Kelurahan Kenanga memiliki integritas yang rendah. Dana pinjaman bergulir masih
dipandang
dianggap
sebagai
dana
yang
tidak
perlu
di
pertanggungjawabkan. Selain itu, masalah sumberdaya manusia (SDM) menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan pinjaman bergulir. Dalam kaitan ini jarang sekali masyarakat yang mau terlibat dalam kepengurusan di UPK. Hal ini disebabkan kontribusi dan penghargaan menjalankan kegiatan pinjaman bergulir tidak seimbang. Sederhannya basis kegiatan UPK adalah kegiatan sosial yang menitikberatkan pada jiwa kerelawanan sedangkan pelaksanaan harus bersifat
97
profesional sesuai standar baku pengelolaan perbankkan. Hal ini sebagaimana yang dipertegas STR manajer UPK berikut ini: “Persoalan UPK yang paling krusial adalah persoalan citra lembaga. Program apapun di masyarakat Kelurahan Kenanga dalam konteks keuangan semuanya gagal. Saya melihat persoalan tersebut dikarenakan integritas lembaga yang tidak dibangun dengan baik. Kondisi ini disebabkan persoalan SDM. Persoalan SDM yang paling krusial adalah minimnya relawan dari masyarakat yang mau menerjuni dunia sosial. Apalagi dalam kegiatan di UPK, landasan utamanya pekerjaan sosial tapi dilaksanakan secara profesional, artinya pekerjaannya berat, penghargaan atau insentif untuk pengelola sangat minim.” Dengan berbagai macam pendekatan persoalan-persoalan sedikit demi sedikit dibenahi. Pinjaman bergulir per Maret hingga Agustus 2010 pada bulan September 2010, pinjaman bergulir kepada masyarakat kembali diputar. Sementara ini tiap bulan UPK melakukan pencairan dana ke masyarakat yang mencapai angka 5-10 juta rupiah per bulan, dengan pengembalian dana yang sangat signifikan. Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender Seiring dengan digulirkannya program PNPM Mandiri setidaknya telah membawa sebuah harapan bagi perempuan. Hal ini disebabkan program PNPM Mandiri salah satu programnya adalah keuangan bergulir, yang dapat diakses oleh semua pihak termasuk perempuan. Bahkan Ditjen Cipta Karya (2009) membuat indikator keberhasilan kegiatan pinjaman bergulir manakala pemanfaat kegiatan ini 30% adalah perempuan. Komposisi pemanfaat dalam aspek gender, kaum perempuan lebih banyak daripada kaum laki-laki. Dalam hal ini jumlah pemanfaat kaum perempuan mencapai 129 pemanfaat atau 57 persen, sedangkan pemanfaat dari kaum laki-laki mencapai 96 pemanfaat atau 43 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses perempuan dalam kegiatan pinjaman bergulir sangat baik. Kondisi ini secara teoretif telah membuka peluang gerakan pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman. Berdasarkan keragaman profil pemanfaat terdapat kondisi yang kontras antara data administratif dan kondisi realitas. Berdasarkan data yang ada pada UPK, menyebutkan bahwa pemanfaat masuk dalam kategori rumah tangga miskin
98
(RTM). Fakta riil di lapangan menunjukkan tidak semua pemanfaat tercantum dalam data base kategori keluarga miskin yang tercantum dalam dokumen Program Jangka Menengah (PJM) BKM Pondok Pari Bangkit atau kaum perempuan dari keluarga RTM. Bahkan ada kecenderungan pemanfaat ini sebagian besar bukan dari keluarga non RTM dengan indikasi kepemilikan rumah, kepemilikan kendaraan dan tanggungan keluarga. Di antara mereka adalah WTM warga blok Lebak Jambu, ASMR warga blok Desa, AMN warga blok Desa, AST warga blok Tengah. Persoalan RTM atau non RTM telah menjadi polemik sendiri bagi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Pada satu sisi, pinjaman bergulir dikhususkan untuk RTM namun pada sisi aturan teknis kegiatan pinjaman bergulir terlalu berat bagi RTM dilihat dari sisi pengembalian yang mencapai 20% dari pokok hutang. Dari sisi bentuk usaha, perempuan pemanfaat pinjaman bergulir sebagian besar adalah pedagang dan pengusaha kecil, bahkan secara laporan administratif 100% peminjam adalah pelaku usaha kecil. Hal ini disebabkan penggunaan dana pinjaman bergulir secara prosedur normatif diperuntukkan bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM). Artinya dana tersebut harus digunakan sebagai modal dan pengembangan usaha. Keadaan ini tentunya berbeda dengan kondisi nyata di lapangan. Berdasarkan penelusuran di lapangan ditemukan juga pemanfaatpemanfaat yang tidak memiliki usaha, seperti halnya KML warga blok Kenanga Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya adalah ibu rumah tangga, RBH warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya sebagai buruh tani, UNSR warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang sehari-harinya adalah ibu rumah tangga dan masih banyak lainnya. Secara data kuantitatif menunjukkan perempuan adalah pemanfaat terbanyak kegiatan pinjaman bergulir, namun pada tingkat pemanfaatan secara domestik, dana tersebut tidak serta merta dimanfaatkan oleh perempuan. Penelusuran di lapangan dana pinjaman bergulir sebagian ada yang digunakan oleh kaum laki-laki (suami). Salah satu contohnya pemanfaat atas nama SMYT warga Jamsari Kelurahan Kenanga, yang memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan suaminya berangkat ke Jakarta begitupun dengan MSN warga blok Desa Kelurahan Kenanga.
99
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana secara domestik tidak dibedakan berdasarkan aspek perbedaan gender. Dalam konteks masyarakat Kelurahan Kenanga sistem ekonomi dibangun berdasarkan kemitraan antara suami dan istri. Sederhananya harta istri adalah suami dan sebaliknya. Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM Tingginya pemanfaat dari kaum perempuan tidak selalu berkorelasi dengan kesadaran kritis, partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan. Kondisi ini cenderung sebagai bagian afirmasi terhadap perempuan. Untuk menelusuri hal ini dapat dilihat dari kesadaran kritis perempuan dalam menginisiasi pembentukan kelompok. Pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) menunjukkan adanya komitmen tanggung jawab dan menunjukkan adanya keberdayaan. Hal ini disebabkan pembentukan kelompok merupakan kegiatan basis yang dilandasi dari sebuah kesadaran kritis. Proses pembentukan KSM mengalami dua histori yang keduanya memiliki suasana dan keadaan yang berbeda. Histori pertama pada saat awal perguliran yakni bulan Desember 2009 sampai bulan Maret 2010. KSM yang terbentuk pada saat itu berjumlah 14 KSM yang tersebar di seluruh Kelurahan Kenanga dengan jumlah pemanfaat 137 orang. Komposisi pemanfaat dari aspek gender, menunjukkan bahwa jumlah pemanfaat dari kelompok perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Pemanfaat perempuan berjumlah 80 orang pemanfaat atau 58% sedangkan pemanfaat dari kaum laki-laki berjumlah 57 orang atau 42 persen. Adapun nama-nama kelompok tersebut dan komposisi pemanfaat dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 20. KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan Nama KSM Sekar Sari Tanjung Sumber Mulya Sumber Sejati Mangga Jambu Durian Liwung Sumber Toya
Jumlah anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang) 4 8 9 1 2 8 2 3 7 3 0 10 4 6 3 7 3 7
100
Nama KSM Melati Mawar Sumber Rezeki Terate Anggrek
Jumlah Anggota Kelompok Laki-Laki (orang) Perempuan (orang) 6 4 7 3 2 8 6 4 2 8
Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010 Pola pembentukkan KSM pada histori pertama cenderung tidak sesuai dengan pola-pola standar yang ditentukan. Pada saat itu, KSM dibentuk berdasarkan mobilisasi pengurus, yang seharusnya KSM dibentuk dari ajuan masyarakat (pemanfaat). KSM peminjam bergulir pada saat itu tidak dibentuk berdasarkan realitas dan refleksi diri terhadap kebutuhan yang memiliki konsekuensinya penyerapan dana kegiatan pinjaman bergulir menjadi tidak tepat sasaran. Metode pembentukkan KSM yang dilakukan dapat digambarkan dalam gambar berikut ini. Calon pemanfaat menyerahkan sejumlah KTP kepada pengurus UPK
Penyeleksian calon peminjam oleh UPK: Aspek hubungan emosional menjadi bahan pertimbangan utama
Pembuatan berkas pengajuan oleh UPK
Pembentukan kelompok oleh UPK
Akad kredit pinjaman
Gambar 14. Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan Pola seperti itu menunjukkan tidak terbangunnya komunikasi pada tingkat basis yang menciptakan kelommpok dengan keragaman yang tinggi, yang berkecenderungan antara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal. Secara umum, terlihat apa yang menjadi dinamika masyarakat pada kegiatan pinjaman bergulir pada saat itu menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang baik tetapi ditinjau secara teoretif partisipasi tersebut bukan
101
partisipasi sebenarnya. Secara teoretif partisipasi masyarakat seperti ini dikatakan sebagai partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekadar obyek. Pada saat itu pembentukkan KSM lebih diarahkan sebagai media aspirasi kepentingan beberapa pihak diantaranya: 1. BKM berkepentingan dengan persoalan penyerapan dana ke masyarakat, karena pada saat itu dana kegiatan ekonomi bergulir sudah cukup lama mengendap di rekening BKM. 2. Fasilitator Kelurahan (Faskel) mereka berkepentingan dengan persoalan progres laporan ke konsultan. 3. Pengurus UPK berkepentingan dengan pengakomodasian kelompok-kelompok mereka serta ada efek ekonomis dalam penyaluran dana UPK (pungutan liar). Faktor dominan penyebab rendahnya kemampuan masyarakat khususnya perempuan dalam menginisiasi pembentukan kelompok, disebabkan persiapan yang kurang matang baik oleh BKM maupun UPK. Hal ini disebabkan surat rekomendasi pencairan dana dari satuan kerja (Satker) PNPM Mandiri Kabupaten Cirebon untuk kegiatan pinjaman bergulir bersifat mendadak. Hal ini sebagaimana yang dipertegas oleh ASP Sekretaris BKM: “Pelaksanaan kegiatan PNPM di Kelurahan Kenanga ada kecenderungan dilaksanakan secara mendadak. Keadaan ini hampir terjadi di semua program baik pinjaman bergulir, lingkungan dan program sosial. Kami yang ada di lapangan sering direpotkan dengan keadaan seperti ini.” Selain itu, rendahnya kemampuan perempuan dalam menginisiasi kelompok pinjaman bergulir dalam perspektif komunikasi disebabkan minimnya sosialisasi pada tingkat basis dan rendahnya informasi program yang menerpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan penciptaan ruang komunikasi yang kurang mengakomodir keadaan perempuan. Implikasinya hampir sebagian besar perempuan tidak mengetahui mekanisme pelaksanaan program pinjaman bergulir. Hal ini sebagimana yang terjadi pada ATN warga blok Kranten Kelurahan Kenanga yang kebingungan untuk mendapat informasi tentang pinjaman bergulir.
102
Pola pembentukan KSM dengan dimobilisasi pengurus menimbulkan beberapa masalah, salah satunya tidak berjalannya mekanisme kegiatan berbasis kelompok. Pengumpulan uang setoran yang harusnya dilakukan secara berkelompok pada pelaksanaannya dilakukan secara individu. Hal ini yang menjadi pemicu kemacetan pinjaman bergulir. Langkah yang dilakukan BKM pada saat itu menghentikan sementara pencairan dana ke masyarakat dan melakukan pembenahan baik secara kelembagaan dan mengembalikan lagi proses pengajuan pinjaman oleh KSM sesuai aturan-aturan yang berlaku. Pasca pembenahan atau pada bulan September 2010 kegiatan pinjaman bergulir kembali dijalankan. Kelompok-kelompok pemanfaat yang sebelumnya merupakan hasil mobilisasi pengurus UPK, telah diarahkan berdasarkan komunikasi tingkat basis. Mekanisme rembug warga dalam membentuk kelompok merupakan syarat mutlak dalam pengajuan dana bergulir ke UPK. Pendirian kelompok pasca pembenahan merupakan inisiasi murni masyarakat. Karakter kelompok pada pasca pembenahan bercirikan jarak simbolik antar anggota yang semakin sempit. Dalam kaitan ini sesama anggota cenderung saling mengenal antara satu anggota dengan lainnya dan memiliki kesamaan pandangan mengenai pelaksanaan pinjaman bergulir. Mekanisme pembentukan kelompok dengan mengutamakan konsep bottom up, merupakan upaya untuk terciptanya kegiatan pinjaman bergulir yang lebih baik. Hal ini sebagaimana yang dipertegas oleh STR Manajer UPK berikut ini: “Belajar dari pengalaman, UPK sekarang ini lebih selektif dalam perekrutan kelompok peminjam. KSM yang mengajukan pinjaman harus dilakukan berdasarkan aturan terutama proses rembug warga. Inisiatif pendirian KSM bukan inisiatif pengelola tapi murni inisiatif masyarakat.” Kelompok pasca pembenahan mulai dibentuk pada bulan September 2010. Sampai bulan Desember 2010 kelompok dengan paradigma baru berjumlah 13 KSM dengan 88 orang pemanfaat. Komposisi pemanfaat dalam aspek gender perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Jumlah pemanfaat dari kelompok perempuan berjumlah 46 pemanfaat atau 53% sedangkan kelompok pemanfaat kaum laki-laki berjumlah 42 pemanfaat atau 47 persen.
103
Nama-nama KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 21. KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat Nama KSM
Jumlah Anggota (orang)
Sekar Wangi Pancuran Gading Tanjakan Bunga Soka Sekar Maju Tiga Empat Bunga Kenanga Adenium Maribang Mingkrik Pandan Wangi Pandan
7 15 9 10 5 5 5 7 4 6 5 5 5
Jumlah Anggota Perempuan (orang) 4 4 5 6 5 2 0 6 4 3 4 2 3
Sumber: UPK BKM Pondok Pari Bangkit 2010 Berdasarkan gambaran di atas pada kegiatan pinjaman bergulir, menunjukkan bahwa perempuan di Kelurahan Kenanga masih di posisikan sebagai obyek pembangunan bukan sebagai pelaku pembangunan. Mengambil konsep pembangunan dan gender, keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga masih menggunakan konsep women in development (WID) bukan gender and development. Konsep WID lebih mengarah kepada acuan-acuan teknis berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) yang telah digariskan oleh regulator, dalam kaitan ini pemanfaat kegiatan adalah 30% dari kaum perempuan. Selain itu pula kuatnya
WID
menunjukkan
pendidikan
untuk
kesadaran
kritis
yang
diimplementasikan dengan keberdayaan dan partisipasi belum terbangun pada kegiatan pinjaman bergulir. Dalam perspektif kesadaran kritis kondisi ini dapat disimpulkan bahwa perempuan di Kelurahan Kenanga belum terbangun kesadaran kritis yang ideal. Idealnya sebuah kesadaran kritis memunculkan kedalaman menafsirkan masalahmasalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat. Dalam kaitan ini perempuan masih dalam taraf
104
kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog. Freire dalam Manggeng (2005) Meski secara kuantitatif inisiasi pembentukkan kelompok banyak didominasi oleh kaum laki-laki, namun geliat kesadaran perempuan sebagai agen perubahan sudah menunjukkan tanda-tanda yang positif. Di antara kelompok yang dibentuk pasca pembenahan, di antaranya dibentuk berdasarkan inisiasi kaum perempuan. Kelompok tersebut adalah KSM Pandan yang diinisiasi oleh IPH, KSM Adenium yang diinisiasi oleh WTM, KSM Mingkrik yang diinisiasi oleh RMD, KSM Sekar Maju yang diinisiasi oleh SNH. Bahkan SNH telah memfasilitasi pembentukan kelompok lainnya seperti KSM Tanjakan dan Pandan Wangi. Rendahnya perempuan dalam menginisiasi pembentukkan kelompok pada kegiatan pinjaman bergulir, tidak serta merta menunjukkan rendahnya kapasitas perempuan di Kelurahan Kenanga. Pada bidang lain perempuan di Kelurahan Kenanga mampu menginisiasi kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Pada sisi lain perempuan di Kelurahan Kenanga kemampuan berorganisasi yang baik. Hal ini dapat dilihat pada lembaga-lembaga yang didirikan dan dikelola oleh perempuan, memiliki eksistensi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi lembaga pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar, majelis taklim yang sebagian besar dikelola oleh perempuan. Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir Analisis mengenai kontrol atau tanggung jawab perempuan terhadap pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dipetakan dalam beberapa aspek yaitu: 1. Pemanfaatan atau penggunaan dana 2. Kesadaran untuk melakukan pengembalian 3. Menjalankan konsep tanggung renteng Dilihat dari sisi pemanfaatan atau penggunaan dana, kecenderungan dana pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat domestik (rumah tangga). Hanya sedikit pemanfaat yang menggunakan dana
105
pinjaman bergulir untuk kepentingan usaha. Bahkan, pemanfaat yang jelas-jelas pelaku UMKM tidak serta merta memanfaatkan dana tersebut untuk modal atau pengembangan UMKM. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh WKN warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga berikut ini: “Dana yang saya dapatkan dari pinjaman bergulir saya gunakan untuk merehab dapur, sebagian lagi saya gunakan untuk menambah barang dagangan saya.” Pengalihan pemanfaatan dana pinjaman bergulir dari dana pengembangan usaha menjadi dana untuk kegiatan lainnya, disebabkan beberapa faktor yaitu: Pertama, rendahnya dana pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Sementara ini, dana yang diberikan kepada pemanfaat hanya sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu). Tentunya dengan dana yang relatif kecil, kurang signifikan sebagai sarana peningkatan usaha, ditambah lagi dengan uang jasa yang melebihi suku bunga pasar, sebesar dua persen per bulan dengan tenor (jangka waktu) pinjaman selama sepuluh bulan. Artinya uang jasa pinjaman bergulir mencapai 20 persen. Kedua, pengalihan pemanfaatan memang suatu keadaan yang disengaja oleh masyarakat itu sendiri. Mereka yang terdesak dengan kebutuhan rumah tangga sangat berharap banyak dari pinjaman bergulir karena mekanisme pinjaman bergulir yang mudah. Dianalisis dari aspek peningkatan taraf ekonomi masyarakat, pengalihan pemanfaatan dana, jelas tidak akan mendongkrak perekonomian masyarakat, karena dengan adanya pinjaman malah akan menjadi beban bagi masyarakat itu sendiri, namun pada posisi lain dana pinjaman bergulir dapat dijadikan solusi untuk memecahkan persoalan keuangan yang bersifat mendesak. Sementara ini belum ditemukan penggunaan dana pinjaman bergulir oleh masyarakat khususnya perempuan untuk kepentingan kebutuhan non primer. Pada aspek tanggung jawab terhadap pengembalian secara umum memiliki gambaran yang sangat kontras antara fase sebelum pembenahan dan pasca pembenahan. Pada fase sebelum pembenahan, secara umum kegiatan pinjaman bergulir
mengalami berbagai hambatan, salah satunya adalah masalah
pengembalian dana. Dari 12 KSM yang memiliki masa akhir kredit per Oktober 2010, hanya 52 orang dari 127 orang atau hanya 42% yang sudah menyelesaikan pinjaman. Sisanya yang berjumlah 75 orang atau 58% belum menyelesaikan
106
pinjaman meski sudah diberikan perpanjangan masa kredit sampai Desember 2010. Total tunggakan pada 12 KSM per desember 2010 mencapai Rp. 15.542.500 (lima belas juta lima ratus empat puluh dua ribu lima ratus). Dalam aspek gender, pemanfaat yang mengalami tunggakan untuk pinjaman jatuh tempo Oktober 2010 sebagian besar adalah dari kaum laki-laki yang berjumlah 45 orang atau 60%. Sedangkan penunggak dari kaum perempuan berjumlah 30 orang atau 40%. Meskipun dilihat dari sisi jumlah memiliki perbedaan angka yang signifikan, namun dilihat dari nilai nominal tunggakan antara laki-laki dan perempuan hampir tidak berbeda. Secara nominal tunggakan pemanfaat dari kaum perempuan berjumlah Rp. 7.560.000 (tujuh juta lima ratus enam puluh ribu). Dua KSM yang dibentuk sebelum pembenahan kondisinya tidak jauh berbeda dengan 12 KSM sebelumnya. Untuk kedua KSM ini tingkat pengembaliannya hanya mencapai 67% per Desember 2010. Dari 20 pemanfaat hanya dua pemanfaat yang tidak memiliki tunggakan, selebihnya memiliki tunggakan dengan nominal yang bervariatif. Dari aspek gender penunggak pinjaman bergulir banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Pasca pembenahan UPK telah mencairkan dana pinjaman bergulir kepada sembilan KSM. Tingkat pengembalian untuk sembilan KSM sementara ini dinilai sangat baik. Data per Desember 2010 tingkat pengembalian mencapai 92%. Tunggakan yang lebih cenderung pada aspek keterlambatan dari jatuh tempo pembayaran. Adapun dari komposisi gender, laki-laki lebih banyak sebagai penunggak dibandingkan perempuan. Secara umum antara masa sebelum pembenahan dan pasca pembenahan, tanggung jawab perempuan lebih baik daripada laki-laki. Meski demikian terdapat kasus tunggakan yang paling mencuat yang dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini nilai tunggakannya mencapai, Rp. 4.187.500 (Empat juta seratus delapan puluh tujuh lima ratus). Besarnya tunggakan ini, disebabkan kapitalisasi pinjaman bergulir. Adapun modusnya adalah dengan meminjam KTP orang lain, untuk diajukan sebagai peminjam namun dana yang didapat digunakan sendiri. Rendahnya tingkat pengembalian masyarakat terutama pada masa sebelum pembenahan tidak selalu mengindikasikan rendahnya kesadaran warga terhadap
107
tanggung jawab pada pinjaman bergulir. Secara prinsip masyarakat siap untuk mengembalikan dana pinjaman bergulir. Dari aspek gender, perempuan yang mengalami tunggakan banyak disebabkan persoalan teknis domestik. Hal ini seperti yang terjadi pada pemanfaat RBH warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga, yang terlambat membayar dikarenakan untuk biaya pendidikan anaknya yang melanjutkan ke sekolah tingkat menengah atas. Begitupun dengan UNSR warga blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga yang terlambat membayar dikarenakan suaminya terkena musibah, RN warga Karang Gayam Kelurahan Kenanga yang belum mendapat kiriman dari suaminya yang bekerja di luar kota. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR Manajer UPK berikut ini. “Pada umumnya masyarakat Kelurahan Kenanga secara prinsip adalah masyarakat yang bertanggung jawab. Ini terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan pengembalian dana pinjaman bergulir setelah pembenahan. Kemacetan yang ada sementara ini, masih dalam tahap yang wajar, meski kitapun punya catatan pemanfaat yang benar-benar tidak bertanggung jawab, tapi jumlahnya hanya satu atau dua orang.” Selain dari ranah domestik, latar belakang kemacetan pinjaman bergulir dapat ditelusuri dari aspek kelembagaan UPK. UPK pada fase sebelum pembenahan dikelola tidak profesional yang menciptakan kesalahan-kesalahan manajemen (mismanagement). Persoalan mismanagement berkorelasi dengan persoalan pencitraan kelembagaan UPK. Adanya penggunaan dana setoran oleh salah satu pengurus secara langsung akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat.
Wujud dari ketidakpercayaan ini, salah satunya
ditunjukkan oleh sikap KSM Mawar dan Melati yang seolah acuh tak acuh dengan permasalahan tanggung jawab pengembalian dana pinjaman. Secara aspek hubungan eksternal dengan pemanfaat, UPK pada saat itu tidak mengedepankan prinsip-prinsip kekeluargaan. Pelaksanaan pinjaman bergulir lebih mengedepankan aspek-aspek baku secara umum. Pendekatan hubungan manusiawi, tidak diterapkan pada pelaksanaan pinjaman bergulir. Salah satu bentuknya adalah cara penagihan kemacetan yang tidak mendatangkan simpati. Seperti halnya yang dirasakan oleh SL pemanfaat warga Blok Desa Kelurahan Kenanga yang ditagih di depan umum. Begitupun ASP pemanfaat
108
warga blok Tanjung Sari Kelurahan Kenanga yang ditagih di forum rembug warga. Selain persoalan simpati, terdapat kebijakan dari pengelola pada saat itu yang tidak dikomunikasikan kepada masyarakat, seperti pencabutan insentif bagi ketua KSM yang berfungsi sebagi juru tagih. Padahal kesepakatan awal yang dibangun adalah adanya insentif bagi juru tagih. Implikasinya adalah tidak ada juru tagih pada masyarakat pemanfaat. Dalam tinjauan aspek komunikasi, kemacetan ini disebabkan pengendalian informasi tidak dikontrol. Informasi tentang kemacetan selalu diceritakan oleh pengelola kepada masyarakat. Keadaan ini menciptakan rumor yang negatif tentang keberlanjutan kegiatan. Rumor ini secara langsung akan melunturkan kesadaran warga yang memiliki itikad atau kemampuan untuk melakukan pembayaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat blok Jamsari Kelurahan Kenanga yang mengkuatirkan berhentinya program. Mereka secara sepihak TRH tidak menyetorkan uang nasabah ke pengelola tetapi menggulirkan kepada masyarakat yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan SMN suami TRH warga blok Jamsari Kelurahan Kenanga berikut ini: “Terus terang saya melakukan hal ini tanpa koordinasi dengan pengelola, hal ini semata-mata ada informasi bahwa kegiatan pinjaman bergulir akan berhenti. Sedangkan banyak warga yang mendesak saya untuk mendapatkan pinjaman. Dari pada warga saya tidak mendapatkan pinjaman, lebih baik dana ini saya gulirkan kepada warga. Dan saya bertanggung jawab penuh terhadap tindakan saya.” Komunikasi antara pengelola dengan pemanfaat pada saat itu, lebih diutamakan komunikasi yang bersifat linier. Padahal komunikasi yang terbuka dan bersifat sirkular timbal balik sangat dibutuhkan. Harapan dari pemanfaat adalah adanya pendampingan (komunikasi) sehingga kendala-kendala teknis terutama dalam persoalan pengembalian dapat dipecahkan secara baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ANWR Ketua KSM Sekar Sari berikut ini: “Persoalan pinjaman bergulir bagi KSM kami bukan sebatas bagaimana meminjam dan mengembalikan, tapi yang lebih kami butuhkan adalah arahan atau rembug bersama antara UPK dengan pemanfaat. Saya sebagai ketua kadang tidak bisa menjawab pertanyaan dari masyarakat, seperti penangguhan setoran,
109
pelunasan dipercepat, pemanfaat yang meninggal, pemanfaat yang mengalami ketidakberdayaan permanen karena sakit, dll.” Dari data yang ada dapat dipetakan bahwa kemacetan pinjaman bergulir bukan disebabkan oleh rendahnya kesadaran pemanfaat. Kemacetan setoran pinjaman dana bergulir dapat dipetakan menjadi beberapa latar belakang yaitu: (1) Kondisi internal pemanfaat atau suasana domestik. (2) Kredibilitas pengelola. (3) Komunikasi yang tidak terbangun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk pembenahan adalah: (1) Pembenahan kelembagaan dalam hal ini pengangkatan manajer UPK yang memiliki kredibilitas. (2) Menerapkan konsep kekeluargaan dengan mengedepankan simpati, salah satunya memberikan perhatian khusus dalam bentuk insentif kepada juru tagih tingkat kelompok. (3) Melakukan pembelajaran masyarakat melalui pendampingan bagi peminjam atau calon peminjam. (4). Membangun komunikasi dengan berbagai dengan unsur-unsur yang ada di masyarakat. Pembenahan yang dilakukan oleh kepengurusan yang baru, sedikit demi sedikit menampakkan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat pada indikasi, kepercayaan masyarakat terhadap UPK yang semakin kuat dan tingkat pengembalian yang sangat baik. Perubahan yang positif dalam pengembalian pinjaman merupakan suatu bukti bahwa kesadaran dan tanggung jawab itu ada. Kesadaran akan tanggung jawab merupakan modal sosial dalam pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir. Aspek lain berkenaan dengan tanggung jawab perempuan terhadap kegiatan adalah pelaksanaan konsep tanggung renteng. Sebagai gambaran pinjaman yang diberikan kepada masyarakat bukan bersifat pribadi tetapi adalah kelompok dengan sistem tanggung renteng. Pengertian sistem tanggung renteng diartikan tanggung jawab bersama setiap orang anggota kelompok peminjam, untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali kredit dari bank bilamana ada salah satu anggota menunggak atau macet. Sistem tanggung renteng adalah perwujudan paling tinggi dan kepercayaan serta merupakan rasa setia kawan antar anggota dalam kelompok (Suharni 2003). Prinsip tangung renteng, merupakan sarana menggairahkan kembali kearifan lokal yang ada di masyarakat. Diharapkan dengan adanya tanggung renteng bisa menumbuhkan rasa tolong menolong dan kesetiakawanan sosial.
110
Kegiatan pinjaman bergulir dengan sistem tanggung renteng merupakan standar operasional yang ditetapkan oleh tim regulator PNPM Mandiri. Pada pelaksanaannya konsep tanggung renteng pada kegiatan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga belum dilaksanakan. Dari perjalanan kegiatan pinjaman bergulir baik pada fase
sebelum
pembenahan dan dan pembenahan ternyata tidak ada satu kelompok pun yang menerapkan sistem tanggung renteng. Alasan yang paling mendasar dari masyarakat adalah beratnya setoran pribadi sehingga tidak mampu untuk menanggung tunggakan setoran anggota kelompok lainnya. Dalam kajian kritis alasan tersebut sebenarnya kurang mendasar. Dilihat dari karakter ekonomi peminjam, sebenarnya pemanfaat mampu untuk melakukan tanggung renteng. Persoalan yang paling mendasar adalah rasa kesetiakawanan yang belum terbangun dengan baik. Meski demikian kepengurusan UPK yang baru akan menerapkan sistem tanggung renteng pada masa akhir kredit. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh STR Manajer UPK berikut ini: “Sementara ini kita akui tanggung renteng belum bisa dilaksanakan oleh masyarakaat. Sehingga upaya yang kami lakukan adalah menerapkan tanggung renteng pada masa akhir kredit. Pada masa akhir kredit, setiap pemanfaat akan mendapatkan tabungan sesuai dengan besaran pinjaman. Tabungan ini dapat kita kembalikan ke masyarakat atau kelompok pemanfaat manakala kelompok tersebut tidak ada tanggungan ada tunggakan.” Pembangunan Sistem Kontrol Kegiatan Pinjaman Bergulir Kegiatan PNPM Mandiri adalah kegiatan yang berbasis masyarakat, yang bercirikan asas-asas demokrasi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan harus berorientasi pada masyarakat. Keadaan ini, menunjukkan PNPM Mandiri telah membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan program termasuk di dalamnya menjalankan fungsi kontrol. Elemen yang terlibat adalah BKM, UPK, DPK dan masyarakat.
111
Gambaran fungsi kontrol kegiatan pinjaman bergulir dapat dilihat pada matriks berikut ini. Tabel 22. Matriks sistem kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir No 1
Fungsi Kontrol BKM kepada UPK
2
Dewan Pengawas Keuangan kepada UPK
3
UPK kepada Pemanfaat
4
Pemanfaat kepada Pemanfaat
Hasil Amatan Pada awalnya fungsi ini tidak berjalan, namun setelah pembenahan fungsi kontrol sudah berjalan. Setiap bulan UPK memberikan progres kegiatan pinjaman bergulir. Pola komunikasi organisasi antara UPK dengan BKM sudah dibangun dengan baik. Pada saat ini peran DPK dalam kegiatan pinjaman bergulir kembali di aktifkan, dan progres bulanan selalu dilaporkan kepada DPK, namun proses komunikasiorganisasi antara DPK dan UPK belum dilaksanakan dengan baik. Kontrol UPK kepada pemanfaat dilakukan secara simultan, dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi baik secara tatap muka maupun dengan tertulis. Sementara ini, kontrol yang dilakukan antarpemanfaat sudah menunjukkan gambaran yang positif, hal ini terlihat dari berfungsinya organisasi KSM pinjaman bergulir salah satunya diwujudkan dengan adanya juru tagih di KSM
Kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir dilakukan bulanan dan tahunan. Kontrol yang bersifat bulanan adalah progres UPK kepada BKM dan DPK, UPK kepada KSM. Kontrol yang bersifat tahunan adalah audit keuangan UPK yang dilakukan oleh auditor independen. Adanya progres laporan bulanan oleh UPK kepada BKM dan DPK serta UPK kepada masyarakat menunjukkan pola komunikasi organisasi sudah berjalan dengan baik. Hal ini tentunya berimplikasi positif kepada hasil audit. Selama dua kali diaudit keuangan UPK dinyatakan wajar meski dengan catatan. Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir dapat digambarkan pada Gambar 15 berikut ini. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
Pembuatan Kebijakan Program
Unit Pelaksana Keuangan (UPK)
Pelaksana Program
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
Pemanfaat Program
Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
Kontrol Internal
Gambar 15. Pola kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir
112
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan terdapat siklus organisasi yang jelas terutama masalah pembagian wewenang dan fungsi kontrol. Pada tingkat kelembagaan, BKM memberikan wewenang kepada UPK untuk melaksanakan program pinjaman bergulir. Wewenang ini diantaranya adalah melakukan persetujuan atau penolakkan atas usulan pinjaman bergulir kelompok dan pengaturan mekanisme standar operasional prosedur pelaksanaan pinjaman bergulir. Sedangkan kontrol yang dilakukan BKM adalah pemantauan atas tingkat kemacetan atau keamanan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Persoalan utama mengenai sistem kontrol pinjaman bergulir adalah belum terbangunnya kontrol di antara anggota kelompok dalam sebuah KSM. Padahal fungsi kontrol tingkat basis inilah yang seharusnya menjadi pilar utama. Dalam aspek gender, pelaksanaan kontrol lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung lebih terbuka dalam berkomunikasi, yang tentunya berbeda dengan perempuan yang cenderung pasif. Selain itu, keadaan ini tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial masyarakat yang berlaku. Kondisi norture perempuan dipandang oleh masyarakat adalah sebagai kelompok yang dibungkam. Sehingga ekspresi perempuan dalam ranah publik dianggap sebagai kondisi yang abnormal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan WTM relawan blok Lebak Jambu Kelurahan Kenanga berikut ini. “Saya kalau di forum lebih memilih diam, karena saya malu untuk mengutarakan pendapat. Apalagi dalam rembug warga memunculkan perdebatan.” Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki kontribusi pada kontrol sosial, seperti halnya RMD, IPH, SNH yang berperan aktif menciptakan kontrol pada tingkat kelompok. Jawaban Hipotesis Pengarah Berdasarkan kajian dan analisis hasil penelitian ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri tidak semuanya merupakan bentuk komunikasi partisipatif, tetapi juga terdapat komunikasi linier. Hal
113
ini menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai apa yang menjadi kondisi di lapangan. 2. Internalisasi program masih belum optimal hal ini dapat dilihat dari pencitraan dan aktivasi masyarakat terhadap PNPM Mandiri. Hal ini menunjukkan apa yang menjadi hipotesis pengarah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. 3. Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir telah menggunakan konsep keadilan gender. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi hipotesis pengarah. Namun dalam kajian kritis, keadilan ini masih tampak terihat di permukaan.
115
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penggalian data di lapangan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Komunikasi dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan pola pendekatan komunikasi partisipatif dan linier. Komunikasi pertisipatif terselenggara dalam proses komunikasi antara masyarakat termasuk di dalamnya dengan kelembagaan. Komunikasi antara masyarakat dengan fasilitator adalah komunikasi linier. Pada pelaksanaannya komunikasi ini menggunakan model banyak tahap dengan sekuen-sekuen. Kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga didukung juga dengan komunikasi sekunder dalam hal ini menggunakan media warga dalam bentuk buletin dan papan informasi. Dalam aspek gender partisipasi komunikasi banyak didominasi oleh laki-laki,
karena
penciptaan
iklim
komunikasi
tingkat
basis
tidak
mengakomodir kondisi perempuan. Dalam berbagai forum perempuan bersifat pasif. 2. Dilihat dari internalisasi menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Kenanga belum memahami filosofi, konsep dan aplikasi PNPM Mandiri secara utuh. PNPM Mandiri masih mengalami bias pencitraan dalam hal ini PNPM Mandiri dipahami sebagai program temporal dan parsial. Setiap keragaman masyarakat memiliki perbedaan pemahaman kepada PNPM Mandiri. Dan yang paling kontras adalah masyarakat dari keragaman rumah tangga miskin yang merupakan pemanfaat program kurang memahami kegiatan PNPM Mandiri. 3. Pada kelembagaan UPK pada awalnya peran perempuan sangat baik. Namun kinerja mereka tidak menunjukkan profesionalisme sehingga diadakan restrukturisasi sehingga peran perempuan dalam UPK tidak menominasi lagi. Dilihat dari akses perempuan terhadap lembaga UPK sangat baik, hal ini dilihat dari proporsi pemanfaat perempuan lebih banyak dibandingkan lakilaki. Pada aspek tanggung jawab perempuan lebih baik dari pada laki-laki. Hal ini dapat dilihat rasio kemacetan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak dilakukan oleh pemanfaat laki-laki. Perempuan masih belum memiliki
116
kemampuan untuk membentuk kelompok pinjaman bergulir. Tanggung jawab melalui tanggung renteng belum dapat dilakukan begitupun dengan kontrol sosial yang belum dilaksanakan secara maksimal. Saran 1. Penguatan kelembagaan baik pada lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Unit Pengelola Keuangan (UPK) dan Kelompok Swadaya masyarakat (KSM). Selain itu perlu dibangun sistem komunikasi yang baik sehingga program PNPM Mandiri dapat terlaksana dengan baik. Dalam kaitan ini komunikasi tidak dipandang sebatas penyampaian pesan tetapi juga dimasukkan unsur-unsur pendidikan yang menekankan jiwa kesetiakawanan. 2. Mendorong suasana komunikasi yang baik yang membuka peluang khususnya kelompok-kelompok pemanfaat program. 3. Perlunya penguatan kelembagaan UPK baik pada aspek SDM dan permodalan melalui pembangunan jaringan kemitraan sehingga UPK dapat dijadikan sarana pengembangan ekonomi masyarakat.
117
DAFTAR PUSTAKA Ahyar, Lubis Y. 2006. Dekonstruksi Epistomologi Modern: Dari Post Modernisme, Teori Kritis, Postkolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan: Perubahan Sosial Melalui pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. Bandung: Alfabeta. Ardianto E, Q-Anees B. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Arifin A. 1984. Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas. Bandung: Armico. Arjani NL. 2008. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global. J. Sosial Ekonomi “Input,” Vol. 1 No.1 Feb. 2008. Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Persada.
Jakarta: Raja Grafindo
Cahyono. 2005. Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan. J. Perempuan No. 42. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Creswell, JW. 2003. Research Design Qualitative-Quantitative and Mixed Methods Approaches, London: Sage Publication. Depdagri dan LAN RI. 2007. Modul 4 Peran Eselon IV dalam Peningkatan Kapasitas Melalui Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Era Desentralisasi: Diklat Teknis Penyadaran Gender di Era Desentralisasi. Jakarta: Depdagri dan LAN RI. Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. [Ditjen] Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2008a. Modul Dasar: Pembangunan Partisipatif. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. _________________________________. 2008b. Modul: Pedoman Pelaksanaan Strategi Komunikasi PNPM Mandiri. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. _______________________________. 2008c. Modul Khusus Komunitas Relawan: Strategi Komunikasi - Sosialisasi PNPM Mandiri Perkotaan Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum _______________________________. 2009. Modul Khusus Komunitas BKM/UP-UP: Pinjaman Bergulir Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum [Ditjen PMD] Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2008. Petunjuk Teknis Operasional Program PNPM Mandiri. Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Effendy OU. 1993. Teori Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Rekatama.
118
Faqih M. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Golberg AA, Larson CE. Komunikasi Kelompok. Jakarta: UI Press Hadiprakoso A. 2005. Penguatan Peran Gender dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin studi kasus kelompok dasa wisma Desa Sudagaran [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hamijoyo S. 2005. Komunikasi Partisipatif: Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung: Humaniora. Handayani T, Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. Hardiman FB. 1990. Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius Hastuti LE. 2004. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia. [makalah] Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Indraswari. 2009. Perempuan dan Kemiskinan. J. Analisis Sosial Vol. 14 No. 2 September 2009. [Inpres RI] Instruksi Presiden Republik Indonesia. 2000. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Johnson DW, Johnson JP. 1991. Joining Together. Group Theory and Group Skills. Fourth Edition. New York : Perntice-Hall, Inc. Kartasasmita G. 1996. Membangun untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Cides. Kelurahan Kenanga. 2011. Monografi Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. [Kemeneg PP ]. 2000. Panduan Pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 2000, Jakarta: Kemeneg PP. Lincoln YS, Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. California: Sage. LP3S,
World Bank. 2007. baseline survey kualitatif http//pnpmmandiri.org.id [diakses 3 Januari 2010]
PNPM Mandiri.
Manggeng M. 2005. Pendidikan yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. J. Teologi Kontekstual “Intim” Edisi No. 8 - Semester Genap 2005. Mariana A, Purnama L. 2005. Tragedi Kelaparan Nasional dan Feminisasi Kemiskinan. J. Perempuan No. 42. Vol.2 Februari 2005 Miles BM, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
119
Miller K. 2002. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. USA: McGraw-Hill Companies. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosda Karya. Mugniesyah S.S. et al. 2010. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press. Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan. Yogyakarta: Adipura. Mulyana D. 2008. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remadja Rosdakarya. _________. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remadja Rosdakarya. Munaf M. 2004. Peran Gender dalam Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Studi Kasus di Kota Ternate Maluku Utara) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nugroho R. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Poostchi I. 1986. Rural Development and the Developing Countries, Oshawa: The Alger Press, Ltd. Rakhmat J. 1998. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Royat, S. 2008. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan [makalah]. Jakarta. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat [RPuK] Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan. 2007. Buku Panduan Keadilan Gender dalam Program, Pertanian, Irigasi dan Perikanan. Banda Aceh: RpuK. Saleh A. et al. 2010. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press. Salim A. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Soekanto S. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali Press. Soetomo. 2008. Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudirja R. 2007. Partisipasai Perempuan dalam Penyusuanan Program Pembangunan Pertanian di Pedesaan: Pelatihan Participatory Rural Appraisal (PRA) [makalah]. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Suharni. 2003. Analisis Pengembangan Usaha Mikro Melalui Kredit Bank dengan Sistem Tanggung Renteng. J Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol. I No. 7 Oktober 2003. Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
120
Sulistiyani E. 2004. Pemberdayaan Sumberdaya Wanita Pedesaan ke Arah Perbaikan Human Capital dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulistyowati Y. 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta: AMD Press. Suprapto T. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Presindo. Sutomo. 1998. Menempatkan Masyarakat Pada Posisi Sentral dalam Proses Pembangunan. Yogyakarta: J. Sosial Politik UGM. Vol. 2, No. I, Juli 1998. [UPK BKM Pondok Pari Bangkit]. 2010. Progress Kegiatan Pinjaman Bergulir Bulan Juli-Desember 2010. Cirebon: UPK BKM Pondok Pari Bangkit. West R, Turner LH. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi Jakarta: Salemba Humanika Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Wiyono A. 2005. Peranan Perempuan dalam Perumusan Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Penelitian Tentang Akses Partisipasi, Kontrol dan Manfaat Perempuan dalam Penyusunan Daftar Skala Prioritas Pembangunan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan di Wilayah Kecamatan Laweyan Kota Surakarta Tahun 2005) [Tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
121
LAMPIRAN
122
Lampiran 1.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian
Sumber Informasi
:
• • • •
Instrumen
:
• • •
Informasi Data yang Dibutuhkan
:
• • • • • • •
Pertanyaan yang Dikembangkan
• • • •
Lurah Kenanga Staf kelurahan Masyarakat Penggalian dokumen monogram Kelurahan Kenanga Wawancara Observasi lapangan Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah Kelurahan Kenanga Kondisi Demografis Pelapisan Masyarakat dan Relevansinya pada Kegiatan PNPM Mandiri Kelurahan Kenanga Sistem Komunikasi Masyarakat Kelurahan Kenanga Berapa luas wilayah Kelurahan Kenanga? Bagaimana batas-batas Kelurahan Kenanga? Bagaimana pembagian wilayah-wilayah di Kelurahan Kenanga? Bagimana postur masyarakat kelurahan Kenanga berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pekerjaan? Bagaimana pelapisan masyarakat Kelurahan Kenanga? Bagaimana peran masyarakat berdasarkan tingkat pelapisannya? Bagaimana pola-pola komunikasi yang ada pada masyarakat Kenanga? Apakah ada gatekeeper dalam system komunikasi masyarakat Kelurahan Kenanga?
123
Lampiran 2.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang model komunikasi tingkat basis.
Sumber Informasi
:
Instrumen
:
Informasi Data yang Dibutuhkan
:
• • • • • • • • • • • • • •
• • • • • • Pengembangan Pertanyaan
:
• • • • •
Fasilatator kelurahan Anggota BKM Sekretaris BKM Anggota masyarakat Anggota KSM Simpul Komunikasi Relawan Penelitian partisipatif Wawancara mendalam Uji petik Komunikasi tingkat basis dalam berbagai dimensi. Aplikasi model komunikasi tingkat basis. Model Komunikasi dalam aspek gender. Komunikasi dalam kegiatan pinjaman bergulir.
Model komunikasi apa yang digunakan dalam kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga? Bagaimana aplikasi model dalam komunikasi pada masyarakat? Mengapa menggunakan model seperti itu? Bentuk media internal apa saja yang dibuat oleh BKM? Sejauh mana efektivitas media tersebut dalam mengkomunikasikan program? Bagaimana pemahaman masyarakat dari berbagai golongan terhadap filosofi, konsep serta aplikasi program? Mengapa terdapat hambatan dalam penginternalisasian program? Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan penginternalisasian program? Mengapa terdapat perbedaan pengetahuan masyarakat antara kegiatan lingkungan, ekonomi dan sosial? Apa yang menjadi latar belakang perbedaan tersebut? Bagaimana penciptaan iklim komunikasi dalam komunikasi partisipatif?
124
• • • •
Bagaimana hubungan antara penciptaan iklim komunikasi dengan kepesertaan partispasi perempuan? Bagaimana keterlibatan perempuan dalam komunikasi partisipatif? Bagaimana peran perempuan dalam proses komunikasi? Bagaimana kegiatan pinjaman bergulir dikomunikasikan kepada masyarakat?
125
Lampiran 3.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang internalisasi program
Sumber Informasi
:
Instrumen
:
Informasi Data yang Dibutuhkan
:
• • • • • • • • • •
Sekretaris BKM Anggota masyarakat Anggota KSM Simpul Komunikasi Relawan Penelitian partisipatif Wawancara mendalam Uji petik Pencitraan kegiatan PNPM Mandiri. Internalisasi berdasarkan keragaman karakteristik.
•
Faktor-faktor apa saja dalam konteks komunikasi yang menjadi hambatan penginternalisasian program? Bagaimana citra program PNPM Mandiri di tengah masyarakat? Faktor apa saja yang menghambat penginternalisasian program dari aspek sosial budaya? Bagaimana penginternalisasian dari berbagai keragaman karakter? Mengapa terdapat perbedaan pengetahuan masyarakat antara kegiatan lingkungan, ekonomi dan sosial?
• • Pengembangan Pertanyaan
: • •
126
Lampiran 4.
Pedoman penelusuran data dan informasi tentang kesadaran kritis pengarusutamaan gender.
Sumber Informasi
:
Instrumen
:
Informasi Data yang Dibutuhkan
• • • • • • • •
Fasilitator Kelurahan Anggota BKM Sekretaris BKM Manajer Unit Pengelola Keuangan Anggota KSM Pinjaman Bergulir Masyarakat Umum Penelitian partisipatif Wawancara mendalam
• •
Gambaran kegiatan pinjaman bergulir Aksesibilitas perempuan terhadap pinjaman bergulir Peran perempuan dalam kelembagaan UPK Tanggung jawab perempuan dalam pelaksanaan pinjaman bergulir Pembangunan kontrol sosial kegiatan pinjaman bergulir Kapankah kegiatan pinjaman bergulir dilaksanakan? Sudah berapa KSM kah yang sudah mendapat dana pinjaman bergulir? Bagaimanakah komposisi pemanfaat pinjaman bergulir dari sisi gender? Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan pinjaman bergulir? Bagaimana peran perempuan di kelembagaan unit pengelola keuangan? Bagaimana kemampuan manajerial kaum perempuan dalam mengelola unit keuangan? Bagimana keragaman perempuan pemanfaat pinjaman bergulir? Bagaimana pengelolaan dana pinjaman bergulir oleh perempuan? Apakah pinjaman bergulir sudah mengikuti pola pengelolaan ekonomi rumah tangga (PERT)? Bagaimana kemampuan perempuan membentuk kelompok pinjaman bergulir? Bagaimana tanggung jawab dari aspek gender terhadap pinjaman bergulir?
• : • • • • • • • •
Pengembangan Pertanyaan
• • • • • •
127
• • •
Apakah pola tanggung renteng dilaksanakan dalam kegiatan pinjaman bergulir? Bagaimana kontrol sosial sesama pemanfaat pinjaman bergulir? Bagaimana kontrol BKM kepada UPK sebagai pelaksana kegiatan pinjaman bergulir?
128
Lampiran 4.
Dokumentasi foto kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
Pertemuan BKM dengan KSM lingkungan. Kegiatan ini dalam rangka laporan KSM dalam melaksanakan program. Dari aspek gender, pertemuan ini tidak dihadiri oleh perempuan.
Kegiatan Rapat Warga Tahunan (RWT) merupakan sarana komunikasi organisasi BKM kepada masyarakat dalam rangka laporan progres kegiatan selama satu tahun. RWT dihadiri oleh perwakilan masyarakat (simpul-simpul komunikasi).
129
Pencairan dana kepada KSM pinjaman bergulir. Kebanyakan pemanfaat pada kegiatan ini adalah perempuan.
Kegiatan pendampingan oleh fasilitator kelurahan. Pendampingan ditujukan untuk memperkuat kelembagaan BKM sehingga BKM mampu menjalankan siklussiklus yang ada pada kegiatan PNPM Mandiri.
130
Partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menunjukkan kesadaran kritis masyarakat dalam refleksi diri pada kemiskinan.
Pencairan dana kepada KSM pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Dalam kegiatan PNPM kegiatan yang dilakukan bertumpu pada masyarakat termasuk di dalamnya pengelolaan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.
131
Papan informasi. Papan Informasi merupakan sarana komunikasi BKM dengan masyarakat dalam hal ini BKM memberikan informasi-informasi seputar kegiatan PNPM Mandiri.
Hasil kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga. MCK merupakan sarana kesehatan masyarakat yang dibangun oleh KSM bidang lingkungan.
132
56