Biocelebes, Juni 2017, hlm. 21-29 ISSN-p: 1978-6417
Vol. 11 No. 1
KOMPOSISI VEGETASI SEMAK PADA DUA TIPE “LAND USE” DI DESA PANGALASIANG KECAMATAN SOJOL KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH Faida1*, Samsurizal M. Sulaeman2, Ramadhanil Pitopang1 1
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako 2 ProdiPendidikan Biologi Jurusan FPMIPA FKIP, Universitas Tadulako Kampus Bumi Tadulako Tondo Palu, Sulawesi Tengah 94117 *Koresponden Author :
[email protected]
ABSTRACT The research entitled ‘’Composition of shrubs vegetation in Two (2) Land Use types at the Pangalasiang Village, Donggala Regency of Central Sulawesi’’ was conducted from April to October 2015. The aim was to know the composition of shrubs vegetation in two land use types at Pangalasiang Village, Donggala Regency of Central Sulawesi. The types of this research is exploratory survey research by using the establishment of a single plot (50 × 50 m) followed by subplot (5 × 5 m) were placed on regular basis (systematic). The result of this research showed that there were fiveteen (15) species of shrubs plant in the ex ore mining land and twenty three (23) species in natural forest. In the ex ore mining land, the highest (INP) 36,15% refers to Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl. (Verbenaceae) and the highest (INP) 21,02% in natural forest was belong to Ageratum conyzoides L. (Asteraceae). The similarity index between two land use types was 82,92%. Key Words : Composition, Vegetation, Shrubs, Land Use, Panglasiang Village.
PENDAHULUAN Proses deforestasi dan berkurangnya luas hutan tropis akibat ulah manusia telah menarik perhatian masyarakat dunia secara serius. Diperkirakan antara tahun 1990 dan 1997, sebanyak 4.4-7.2 juta ha (0.5%) dari hutan hujan tropis hilang setiap tahunnya (Achard et al. 2002). Di kawasan seperti Amerika Selatan dan Tengah , Afrika dan Asia Tenggara telah kehilangan hutannya secara keseluruhan atau telah menjadi wilayah yang tidak berhutan di masa datang (Laurence et al. 2001; Jepson et al. 2001). Berdasarkan pemetaan terakhir terhadap tutupan kanopi hutan di Indonesia, Ministry of Forestry (MOF) mengatakan bahwa laju “deforestation” di Indonesia diperkirakan berlipat ganda antara tahun 1985 dan 1997, dari kurang dari 1 (satu) juta ha hingga 1,7 juta ha tiap tahun, dimana Sulawesi kehilangan 20% dari hutannya dalam periode ini (Holmes 2002). Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Banyak studi yang telah dilakukan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh modifikasi dan konversi hutan tropis yang disebabkan aktivitas manusia sebagai faktor utama penyebab hilangnya keanekaragamana hayati {WCMC (World Conservation and Monitoring Center) 1992} dampak negatif lainnya adalah terhadap terganggunya interaksi faktor lingkungan yang meliputi biotik, abiotik dan stabilitas ekosistem (Steffan-Dewenter and Tscharntke 1999). Selain itu Introduksi jenis eksotik, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam biologi, kehilangan habitat oleh perobahan tata guna lahan, peternakan yang ”overgrazing”, ekspansi pertanian dan perkebunan dan berbagai aktivitas manusia lainnya merupakan factor yang umum dan agen utama yang berkontribusi terhadap kecepatan hilangnya dan punahnya keanekaragaman hayati. (Kerr and Currie 21
Faida dkk.
1995; Pimm et al. 1995; Tilman 1999; Raffaello 2001; Palomares 2001). Eksploitasi oleh manusia juga penyebab perubahan utama terhadap keanekaragaman hayati hutan, meskipun penelitian atas subjek sangat terbatas dan hasilnya sering kontroversial (Whitmore & Sayer 1992; Turner 1996; Kessler 2005). Beberapa studi secara jelas memperlihatkan terjadinya penurunan kekayaan jenis pada hutan sekunder atau hutan terdegradasi (Parthasaryathy 1999; Pitopang 2002; Ramadanil 2006), bahkan pada hutan yang proses suskesi lebih dari 100 tahun (Turner et al. 1997), kepunahan tumbuhan secara lokal (Benitez-Melvido & Martinez-Ramos 2003) pada sisi lain hasilnya menunjukan terjadinya peningkatan (Kappelle 1996 ; Fujisaka et al. 1998). Di Sulawesi dampak akibat aktifitas masyarakat berupa gangguan hutan terhadap biodiversity telah cukup banyak didokumentasikan khususnya di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah(Schulze et al. 2004 ; Aryanti et al 2005; Kessler 2004; Pitopang 2002, 2004, 2006). Desa Pangalasiang Kecamatan Sojol terdiri atas berbagai macam tipe ekosistem diantaranya hutan diantaranya adalahhutan primer, hutan sekunder, dan perkebunan. Komposisi jenis vegetasi semak pada pada beberapa tipe ekosistem terutama pada lahan bekas tambang dan hutan alami ini belum diketahui secara detail jenisnya karena belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis semak yang terdapat pada kedua tipe tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana komposisi vegetasi semak pada dua tipe land use di Desa Pangalasiang Kecamatan Sojol Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. BAHAN DAN METODE 1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah alat tulis menulis untuk mencatat data hasil penelitian, GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui ketinggian dan posisi lokasi penelitian,Environment Meter Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
untuk mengukur faktor lingkungan (suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban), meteran untuk mengukur panjang ukuran plot, gunting stek untuk pengambilan sampel tumbuhan, karung untuk tempat penyimpanan sampel tumbuhan, dan kamera untuk mendokumentasikan gambar spesimen. Bahan yang digunakanadalah spritus untuk mengawetkan sampel tumbuhan, tali rafia untuk pembuatan batasan plot, label gantung untuk memberi identitas pada sampel, patok untuk pembuatan plot, Koran bekas digunakan untuk membungkus sampel tumbuhan yang akan diawetkan, dan plastik besar untuk menyimpan seluruh sampel yang akan diawetkan dengan spritus. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey eksploratif yaitu mendapatkan informasi maupun data-data yangbelum pernah ada sebelumnya dengan cara melakukan pengamatan dan pengambilan sampel secara langsung di lokasi penelitian. Penelitian menggunakan metode survey eksploratif di lapangan melalui pembuatan petak tunggal berukuran 50 x 50 m, yang di dalamnya terdapat sub plot 5 x 5 m sesuai Soerianegara dan Indrawan (1988) sebanyak 25 buah yang diletakkan secara sistematis, masing-masing pada dua lokasi kawasan Bekas tambang bijih besi di Desa Pangalasiang, jumlah petak tunggal yang disebar dalam suatu tegakan sesuai hasil penelitian Ramadanil (2006), dan Iqbal (2014). Pada setiap plot diambil dan dicatat jenis dan jumlah individu tumbuhan semak baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui namanya, diambil bagian organ-organnya berupa daun, bunga, dan buah bila memungkinkan untuk proses identifikasi. Proses identifikasi dilakukan di UPT. Sumber Daya Hayati Universitas Tadulako. Pada setiap lokasi penelitian diukur parameter lingkungan meliputi suhu, kelembaban dan Intensitas cahaya 22
Faida dkk.
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
3. Analisis Data Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988);Setiadi dkk.(2002), pengukuran besaran sepertiKerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) dapat dihitung dandianalisis mengikuti rumus Dumbois-Muller dan Ellenberg sebagai berikut: Kerapatan (K) =
tinggi, sedangkan jika (H´) > 4 tergolong sangat tinggi.
Jumlah individu suatu jenis Luas seluruh plot
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi (F) = Jumlah plot yang ditempati suatu jenis Jumlah seluruh plot pengamatan
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis
INP (Indeks Nilai Penting) = KR + FR
a. Indek Nilai Penting (INP) atau “Importance Value Indice” (IVI) = Kerapatan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif(FR). b. Tinggi atau rendahnya tingkat keanekaragaman jenis vegetasi akanditentukan menggunakan rumus Shannon-Whiener index (H’) yaitu sebagai berikut : H’ = - Σ[ ni/ N] ln [ ni/ N] Keterangan : H`= Indeks keanekaragaman jenis N = Indeks Nilai Penting dari suatu jenis I N= Jumlah total nilai Indeks Nilai Penting Dimana n, adalah Indek Nilai Penting dari suatu jenis I, dan N adalah jumlah total nilai Indeks Nilai penting. Barbour (1987), mengklasifikasikan indeks keanekaragaman jenis (H´) atas 4 kategori. Jika indeks Shanon-Whiener (H´) = 1-2 tergolong rendah, jika (H´) = 2-3 tergolong sedang, jika (H´) = 3-4 tergolong
Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
23
Faida dkk.
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
c. Kesamaan komunitas diketahui dengan membandingkan setiap dua tegakan pada tempat tumbuh yang bersamaan digunakan rumus koefisien Indeks of Similarity (IS) atau Kesamaan Komunitas (C). NilaiIS tertinggi 100% dan terendah 0%, semakin mendekati 100%komunitas tumbuhan yang dibandingkan semakin identik (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Tabel 1. Indek Nilai Penting (INP) dan
= × 100% Dimana : C(=IS)=Koefisien masyarakat atau Koefisien Kesamaan Komunitas w = Jumlah nilai yang sama dan terendah dari jenis-jenis yangterdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a= Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama. b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapatpada tegakan kedua.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Tumbuhan Semak pada Lahan bekas tambang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Ilmiah Tumbuhan
Suku
Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl Crassocephalum crepidioides (Benth) S.Moore Porophyllumruderale (Jacq.) Cass. Blumea balsamifera (L.) DC. Pipturus argenteus Wedd. Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Mucuna sp. Donax canniformis (G.Forst.) K. Schum. Neonauclea ventricosa Ridsdale. Ficus sp. Solanum torvum Sw. Trema orientalis (L.) Blume Leucosyke capitellata Wedd. Ficus variegata Blume Unidentified Total
Verbenaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Urticaceae Urticaceae Leguminosae Marantaceae Rubiaceae Moraceae Solanaceae Cannabaceae Urticaceae Moraceae Poaceae
KR (%) 23,85 20,87 12,12 5,56 3,37 4,17 6,95 3,77 2,58 3,97 3,77 1,39 2,18 1,98 3,77 100
FR (%) 12,9 9,83 7,37 9,01 9,01 8,19 4,91 7,37 7,37 4,91 4,91 4,91 4,09 4,09 1,63 100
INP (%) 36,15 30,71 19,50 14,58 12,39 12,37 11,87 10,75 9,96 8,89 8,69 6,30 6,28 6,08 5,41 200
H' 0,30 0,28 0,22 0,19 0,17 0,17 0,16 0,15 0,14 0,13 0,13 0,10 0,10 0,10 0,09 2,53
Tabel 2. Indek Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Tumbuhan Semak pada Hutan Alami No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Ilmiah Tumbuhan Ageratum conyzoides L. Canna indica L. Stachytarpheta indica (L.) Vahl. Chromolaena odorata (L.) R. M. King Calopogonium mucunoides Desv.
Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Suku Asteraceae Cannaceae Verbenaceae Asteraceae Leguminosae
KR (%) 11,83 8,81 10,04 9,59 5,35
FR (%) 9,19 8,04 6,32 6,32 6,32
INP (%) 21,02 16,86 16,36 15,92 11,67
H' 0,23 0,20 0,20 0,20 0,16
24
Faida dkk.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Total
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
Hyptis capitata Jacq. Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl. Mimosa pudica L. Ficus sp. Orthosiphon aristatus (Blume) Miq. Synedrella n0diflora (L.) Gaertn. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott. Mucuna sp. Melastoma malabathricum L. Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Ludwigia sp. Sceleria levis Retz. Nephrolepis davadiodes Kunze. Trema orientalis (L.) Blume Ficus septica Burm.f. Dysoxylum parasiticum Solanum torvum Sw. Leucosyke capitellata Wedd.
Lamiaceae Verbenaceae Leguminosae Moraceae Lamiaceae Asteraceae Nephrolepidaceae Leguminosae Melastomataceae Urticaceae Onagraceae Cyperaceae Nephrolepidaceae Cannabaceae Moraceae Meliaceae Solanaceae Urticaceae
5,35 6,25 5,46 4,57 4,24 3,57 3,90 3,45 2,79 1,67 2,31 3,23 2,34 1,00 0,88 0,78 1,33 1,11 100
5,17 4,02 4,59 5,17 5,17 2,87 3,44 3,44 4,02 4,02 2,87 1,72 2,29 3,44 3,44 3,44 2,29 2,29 100
10,52 10,27 10,06 9,74 9,41 6,44 7,35 6,90 6,81 5,69 5,18 4,96 4,69 4,52 4,33 4,22 3,63 3,41 100
0,15 0,15 0,15 0,14 0,14 0,11 0,12 0,11 0,11 0,10 0,09 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,07 0,06 2,99
Tabel 3. Hasil analisis data Indeks Kesamaan Jenis/IS (Indeks similarity) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Jenis Leucosyke capitellata Wedd. Mucuna sp. Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Solanum torvum Sw. Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl Trema orientalis (L.) Blume Total
Family Urticaceae Leguminosae Urticaceae Solanaceae Verbenaceae Cannabaceae
Jumlah individu Bekas Hutan tambang alami 5 4 6 6 10 7 6 4 15 7 6 6 48 34
W 4 6 7 4 7 6 34
Perhitungan Menggunakan rumus Indeks Kesamaan Jenis/IS (Indeks Similarity) C=2w x 100% a+b -------------------------------------------------------------------------------------------------(IS) = ((2 x w) / (Bekas tambang + Hutan alami )) x 100% (IS) = ((2 x 34) / (48 + 34 )) x 100% (IS) = ((68 / 82)) x 100% (IS) =82,92% ----------------------------------------------------------------------------------PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tentang komposisi vegetasi semak pada dua tipe land use di Desa Pangalasiang Kecamatan Sojol Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, menunjukkan jumlah jenis tumbuhan semak pada lahan bekas tambang yaitu 15 jenis dan hutan alami sebanyak 23 jenis. Hal ini dikarenakan Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
suksesi yang terjadi pada lahan bekas tambang bijih besi belum mencapai klimaks dengan tutupan tajuk lebih terbuka dan penyinaran matahari langsung lebih intensif dan lebih tinggi, dibandingkan dengan hutan alami yang telah masuk tahap suksesi klimaks dengan tutupan tajuk lebih rapat, sehingga menyebabkan pada hutan alami tumbuhan semak lebih beragam. Hal ini sesuai dengan (Ewusie, 1990), jika penetrasi 25
Faida dkk.
tidak cukup, maka tumbuhan bawah tidak dapat berkembang dengan baik, sehingga tumbuhan ini lebih subur di tempat hutan terbuka atau di tempat yang lain yang tanahnya lebih mendapat cahaya. Jenis yang berperan dalam suatu kawasan hutan ditandai dengan Indeks Nilai Penting yang tinggi. Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas. Nilai penting didapatkan dari hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Tumbuhan semak dengan INPtertinggi pada lahan bekas tambang bijih besi adalahStachytarpheta jamaicensis (L) Vahl. (Verbenaceae) sebesar 36,15% dan diikuti oleh Crassocephalum crepidioides (Benth) S. Moore (Asteraceae) yang memiliki sebesar 30,71%. Jenis tumbuhan yang memiliki INP terendah yaitu Ficus variegata Blume. (Moraceae) yaitu sebesar 6,08% dan diikuti oleh tumbuhan unidentified dari family Poaceae dengan INP sebesar 5,41%. Pada hutan alami INP tertinggi yaitu Ageratum conyzoides L. (Asteraceae)sebesar 21,02% kemudian diikuti olehCanna indica L. (Cannaceae) dengan INP sebesar 16,86% danStachytarpheta indica (L) Vahl. (Verbenaceae) 16,36%. Jenis tumbuhan yang memiliki INP terendah yaitu Solanum torvum Sw. (Solanaceae) yaitu sebesar 3,63% dan diikuti oleh Leucosyke capitellata Wedd. (Urticaceae)yang memiliki INP terendah yaitu 3,41%. Tingginya indeks nilai penting jenis semak ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan, jika iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka jenis tersebut akan lebih unggul dan lebih banyakditemukan(Syafei,1990).Komunitas dapat disebut dan diklasifikasikan menurut bentuk atau sifat struktur utama, misalnya jenis dominan, bentuk-bentuk hidup, habitat fisik dari komunitas, sifat atau tanda fungsional, misalnya tipe metabolisme komunitas. Keanekaragaman jenis dan Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
kelimpahan individu masing-masing jenis (kemerataan) tidak berarti satu-satunya hal yang terlibat di dalam keanekaragaman komunitas. Pengaruh populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak hanya tergantung kepada jumlah atau kerapatan populasinya (Odum, 1993). Faktor lingkungan abiotik seperti ketinggian, suhu, intensitas cahaya matahari, dan kelembaban merupakan penentu keberadaan suatu jenis makhluk hidup, hal ini dikarenakan tumbuhan dan seluruh makhluk hidup memiliki batasan toleransi dan faktor untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat memperoleh dan memperbanyak keturunannya untuk memperluas penyebaran dan jauh dari kepunahan. Temperatur mempunyai arti penting dalam menentukan kecepatan reaksi-reaksi dan kegiatan-kegiatan kimiawi yang menyangkut kehidupan. Tumbuhan yang berbeda beradaptasi secara berbeda terhadap keadaan temperatur yang minimum, optimum, dan maksimum untuk keperluan hidupnya secara keseluruhan (Polunin, 1990). Menurut Arief (1994), suhu udara yang baik bagi tumbuhan berkisar antara 22-33oC. Suhu yang diukur di lokasi penelitian yaitu berkisar 22-24oC, dari angka yang diperoleh suhu udaranya masih berada dalam kisaran tersebut. Apabila suhu melampaui batas maksimum dan minimum pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan akan terhenti. Berbicara mengenai temperatur tak lepas dari faktor kelembaban karena keduanya selalu berhubungan terutama dengan lingkungan teresterial. Penutupan akan menambah kelembaban dan mengurangi pengaruh temperatur dan angin. Dengan adanya tumbuhan maka air tanah permukaan yang tersimpan akan lebih banyak, kelembaban relatif dibawah tumbuhan akan lebih besar dari pada daerah terbuka. Intensitas cahaya matahari dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman tergantung lama, arah penyinaran dan jumlah radiasi sinar matahari (Chory, 1997). Menurut Syafei (1990), bahwa semakin tinggi suatu tempat biasanya berasosiasi dengan peningkatan keterbukaan, kecepatan 26
Faida dkk.
angin, kelembaban udara dan penurunan suhu sehingga mengakibatkan suatu komunitas yang tumbuh semakin homogeny.Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pada lahan bekas tambang lebih sedikit ditemukan tumbuhan semakkarena pada lahan bekas tambang berada pada ketinggian 653 m dpl tempatnya lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alami yang hanya memiliki ketinggian 465 m dpl. Menurut Barbour (1987), Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) terbagi atas 4 kategori. Jika Indeks Shanon-Whiener (H’) = 1-2 tergolong rendah, jika (H’) = 2-3 tergolong sedang, jika (H’) = 3-4 tergolong tinggi, sedangkan jika (H’)> 4 tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan rumus Shannon- Whiener indeks (H’), didapatkan nilai ShannonWhiener indeks (H’)pada lahan bekas tambang bijih besi yaitu 2,53% dan pada hutan alami yaitu sebesar 2,99%, sehingga pada lahan bekas tambang dan hutan alami ini, merupakan kategori daerah yang memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yang cenderung sama sedang. Kesamaan tersebut, dikarenakan adanya beberapa jenis tertentu yang memiliki nilai Indeks Nilai Penting(INP) yang jauh lebih tinggi dari jenis tumbuhan semak yang lain sehingga menyebabkan keanekaragaman jenis cenderung tergolong sedang atau rendah dan sebaliknya jika pada suatu kawasan tidak adanya jenis tertentu yang memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang jauh lebih tinggi dari yang lain maka kawasan tersebut cenderung memiliki keanekaragaman jenis yang tergolong tinggi. Hal ini membuktikan bahwa keanekaragaman jenis (H’) berbanding terbalik dengan nilai dominansi (Odum, 1993). Nilai kesamaan komunitas biasa digunakan untuk menyatakan besarnya kemiripan dari dua tipe hutan yang sedang diamati. Dari hasil perhitungan indeks nilai kesamaan pada lahan bekas tambang dan hutan alami diperoleh indeks kesamaan pada setiap tingkatan vegetasi seperti pada tabel 3. Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
Pada hasil perhitungan koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas dengan menggunakan rumus Sorensen koefisien Indeks of Similarity (IS) atau kesamaan komunitas (C), tumbuhan semak pada lahan bekas tambang bijih besi dan hutan alami di Desa Pangalasiang ditemukan 6 jenis tumbuhan yang tumbuh pada kedua tipe hutan tersebut yaitu Leucosyke capitellata Wedd, Mucuna sp., Oreocnide rubescens (Blume) Miq, Solanum torvum Sw, Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl, dan Trema orientalis (L.) Blume yang memiliki jumlah koefisien kesamaan komunitas (IS) sebesar 82,92%. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), Indeks of Similarity (IS) atau Kesamaan Komunitas (C), bahwa apabila indeks kesamaan yang diperoleh lebih dari 75% berarti tidak ada perbedaan jenis dari kedua komunitas yang dibandingkan atau dianggap sama. Bila indeks kesamaan yang diperoleh kurang dari 75% berarti kedua komunitas hutan yang dibandingkan menujukan adanya perbedaan jenis. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 6 jenis yang ditemukan pada kedua tipe hutan tersebut, sehingga tumbuhan semak pada lahan bekas tambang yang memiliki jumlah sebanyak 15 jenis terdapat 10 jenis tumbuhan semak yang spesifik hidup di lahan bekas tambang, sedangkan pada hutan alami yang keseluruhan berjumlah 23 hanya terdapat 17 jenis tumbuhan semak yang spesifik hidup di hutan alami. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kesamaan lahan bekas tambang dan hutan alami, antara lain faktor umur lahan yang sudah mencukupi dan ditumbuhi oleh jenis yang dijumpai di hutan alami. Selain itu, hasil keanekaragaman jenis semak di lahan bekas tambang memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hutan alami. Lahan bekas tambang mengalami serangkaian perubahan suksesional menuju tahapan suksesi lanjut yang ditandai dengan ditemukannya jenis-jenis yang berasal dari hutan alami. Jenis yang mendominasi pada suatu kawasan berarti memiliki batasan kisaran jika dibandingkan dengan jenis yang lainnya 27
Faida dkk.
terhadap faktor lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang sangat luas pada faktor lingkungan menyebabkan jenis akan memiliki sebaran yang luas (Syafei, 1990). Persaingan jenis dalam mempertahankan hidup, dengan perubahan alam mengakibatkan hanya jenis yang adaptif saja yang mampu bertahan hidup, hal ini merupakan sifat khas dari makhluk hidupsesuai dengan karakter lingkungannya, kemampuan perkembangbiakan,dapat menghasilkan keturunan yang akan menggantikan generasinya, semakin tinggi tingkat kemampuan menjaga kelangsungan hidupnya daya hidup adalah tingkat keberhasilan bertumbuh untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi(Gopal dan Bahrdwaj, 1979). DAFTAR PUSTAKA Achard F, Eva HD, Stibig HJ, P. Mayaux, Gallego J. 2002. Determination of deforestation rates of the world’s humid tropical forest. Science 297, 999-1002. Ariyanti N, Tjitrosoedirdjo SS, Gradstein, SR. 2005. Diversity and abundance of epiphytic bryophytes on trunk bases in relation to use intensity of natural forest in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Abstract, STORMA Symposium Gottingen, Germany, 20-23 September 2005. Arief AS. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Edisi I. Cetakan I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 4 100. Barbour MG, Burk JH, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology, 2nd Ed. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc, Melo Park,California. Barbour MG., Burk JH, Pitts WD. 1999. Terrestrial Plant Ecology. Third Edition. Addision Wesley Longman, Inc. California. Benitez-Malvido J, Martinez-Ramos M. 2003. Impact of forest fragmentation on understorey plant species richness in Amazonia. Cons. Biol. 17-2, 389-400 Chory J. 1997. Light Modulation of Vegetative Development. The Plant Cell 9: 1225-1243. Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
EwusieJY. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Penerjemah Usman Tanuwijaya. Bandung. Penerbit ITB. hal. 251 Fujisaka S, Escobar G, Veneklaas GE. 1998. Plant community diversity relative to human land uses in an Amazon forest colony. Biodiversity and Conservation 7: 41–57. Gopal B, Bhardwaj N. 1979. Elements of Ecology. Deapartement of Botany Rajasthan University Jaipur, India. Holmes DA. 2002. Where have all the forest gone? Environment and Social Development East Asia, Pasific region Disccusion paper. The world Bank. Washington D.C. IqbalM. 2014. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Herba yang terdapat pada dua Tipe Hutan di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Universitas Tadulako. Jepson P, Jarvie JK, MacKinnon K, Monk KA. 2001. The end for Indonesia’s lowland rainforest? Science 292, 859861 Kerr JT, Currie DJ. 1995. Effects of human activity on global extinction risk. Conservation Biology 9: 1528–1538. Kessler M, Keßler PJA, Gradstein SR, Bach K, Schmull M, Pitopang R. 2005. Tree diversity in primary forest and different land use systems in Central Sulawesi, Indonesia. Biodiversity and conservation 14: 547-560. Keßler PJA. 2004 Tree Flora of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia (unpublished). Laurence WF, Cochrane MA, Bergen S, Fearnside PM, Delamonica P. 2001. The future of the Brazillian Amazon. Sceince 291, 438-836 Mueller-Dombois, DH. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons. New York. p. 269-293. Odum PE. 1993,Dasar-dasar Ekologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Ramadanil. 2006. Structure and Composition of Six Land Use Types in the Lore 28
Faida dkk.
Lindu National Park Central Sulawesi. Phd Thesis. School of Post Graduate. Bogor Agricultural University. Bogor. Palomares F. 2001.Vegetation structure and prey abundance requirements of the Iberian lynx: implications for the design of reserves and corridors. Journal of Applied Ecology 38: 9–18. Parthasarathy N. 1999. Tree diversity and distribution in undisturbed and human-impacted sites of tropical wet evergreen forest in the southern Wastern Ghats, India. Biodiversity and Conservation 8: 1365–1381. Pimm SL, Russell GJ, Gittelman JL, Brooks T. 1995. The future of biodiversity. Science 269:347–350. Pitopang R, Gradstein SR, Guhardja E, Keßler PJA, Wiriadinata H. 2002. Tree Composition in Secondary forest of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. In: Land use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia. Eds: Gerold G, Fremery M, Guhardja E. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg. Pitopang R, Gradstein SR. 2003. Herbarium Celebense (CEB) and its role in supporting research on plant diversity of Sulawesi. Biodiversitas 5: 36-41. Pitopang R, Kessler M, Kessler PJA, Gradstein SR. 2004. Tree Diversity in Primary Forest, Secondary Forest and Forest Garden in Central Sulawesi, Indonesia. Abstract, Sixth International Flora Malesiana Symposium, Los Banos, Philippines, 20-24 Sept. 2004 Polunin C. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Ilmu Serumpun.Yogyakarta. Penerbit UGM. Halaman. 531 Raffaello C. 2001. Biodiversity in the Balance: Land Use, National Development and Global Welfare. The World Bank, Washington, DC, and University College, London Setiadi D, Qoyim I, Muhandiono H. 2002. Penuntun Praktikum Ekologi. Laboratorium Ekologi. Jurusan Jurnal Biocelebes, Vol. 11 No.1, Juni 2017, ISSN-p: 1978-6417
Biocelebes, Vol. 11 No. 1
Biologi. FMIPA.Institut Pertanian Bogor. Schulze C, Waltert M, Kessler PJA, Pitopang R, Shahabuddin, Veddeler D, Mühlenberg M, Gradstein SR, Leuschner C, Steffan-Dewenter I & Tscharntke T. 2004. Biodiversity indicator taxa of tropical land-use system Smith RL. 1990. Ecology and Field Biology. 4 Harper and Row. New York. Soerianegara I, dan Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 1999. Effects of habitat isolation on pollinator communities and seed set. Oecologia 121: 432-440. Syafei ES. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung. ITB. ISBN. 978-602-8299-02-2. Tilman D. 1999. Diversity by default. Science 283: 495–496. Turner IM. 1996. Species loss in fragments of tropical rain forests: a review of the evidence. Journal of Applied Ecology 33: 200-209 Turner IM, Wong YK, Chew PT, bin Ibrahim A. 1997. Tree species richness in primary and old secondary tropical forest in Singapore. Biodiversity and Conservation 6:237-543 WCMC (World Conservation and Monitoring Center) 1992. Global Biodiversity: Status of the Earth’s Living Resources. Chapman & Hall, London. Whitmore TC, Sayer JA (eds) 1992. Tropical Deforestation and Species extinction. Chapman & Hall, London.
29