KOMPETENSI DAN PERFORMANSI LINGUISTIK DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
1. Pendahuluan Salah satu bahasa daerah yang telah lama menjadi bahasa perhubungan di antara berbagai suku bangsa di Indonesia adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa bangsa Indonesia pada saat Sumpah Pemuda dikrarkan. Ikrar pemuda pada 28 Oktober 1928 di samping mengakui satu tanah air dan satu bangsa Indonesia juga menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka bahasa Indonesia tidak hanya merupakan bahasa nasional, tetapi juga menjadi bahasa negara seperti yang tercantum dalam Pasal 36, Bab XV, Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi sarana perhubungan antarsuku, tetapi juga merupakan bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, serta sarana pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai upaya pengembangan telah dilakukan, misalnya pembakuan dalam bidang ejaan, peristilahan, tata bahasa, dan kosakata. Pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia merupakan suatu keberhasilan. Keberhasilan yang telah dicapai oleh bahasa Indonesia sulit ditemukan di negara-negara bekas jajahan yang lain (Soedjarwo, 1995:15). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 diketahui bahwa penutur bahasa Indonesia berjumlah 24.042.010 orang. Hal itu berarti bahwa hanya 15,19 % dari 152.262.639 jumlah
1
penduduk Indonesia yang berusia lima tahun ke atas. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui bahasa Indonesia, terutama masyarakat pedesaan yang hidup terpencil di daerah pedalaman. Mereka umumnya berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Bangsa Indonesia sebagai penutur bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok yang belum mengetahui dan mengenal bahasa Indonesia, (b) kelompok yang mengetahui bahasa Indonesia, dan (c) kelompok yang mampu berbahasa Indonesia (Saleh, 1990:45). Kelompok pertama pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup terpisah dari pengaruh luar, seperti masyarakat desa di pedalaman Papua (Irian Jaya) dan Kalimantan. Kelompok kedua, yaitu yang mengetahui bahasa Indonesia pada hakikatnya belum mampu berbahasa Indonesia. Masyarakat yang temasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah bersekolah, tetapi putus sekolah dasar dan kebetulan hidup kembali di daerah pedesaan yang tidak banyak mendapat pengaruh luar. Kelompok yang ketiga adalah masyarakat yang mampu berbahasa Indonesia, baik secara sederhana maupun secara baik dan benar. Golongan yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain pelajar, mahasiswa, dan pegawai yang setidak-tidaknya telah mampu berbahasa Indonesia secara praktis. Sehubungan dengan adanya kelompok pemakai bahasa Indonesia itu, berikut dibicarakan aspek kompetensi dan performansi linguistik dalam hubungan dengan kaidah bahasa Indonesia.
2. Kompetensi dan Performansi Linguistik dalam Penggunaan Bahasa Indonesia Istilah kompetensi dan performansi linguistik pada hakikatnya merupakan padanan masing masing dari competence dan performance (Inggris). Kedua istilah terakhir— competence dan performance—muncul sebagai hasil pemikiran kelompok tata bahasa 2
generatif transformasi (transformational generative grammar). Tata bahasa generatif transformasi itu pada mulanya diperkenalkan oleh Noam Chomsky. Oleh karena itu, Noam Chomsky dikenal sebagai pelopor aliran linguistik transformasi. Hasil pemikiran Chomsky tentang competence dan performance itu sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil pemikiran sebelumnya, terutama yang dikemukakan Ferdinand de Saussure, pelopor linguistik modern. Menurut Saussure, bahasa memiliki aspek langue dan aspek parole. Aspek langue dan parole (Saussure) masing-masing dapat dibandingkan dengan aspek competence dan performance (Chomsky), sedangkan Samsuri menyebut aspek masyarakat untuk kompeten dan perorangan untuk performansi (Verhaar, 1977:4; Samsuri, 1980:13; dan Kentjono, 1982:132). Aspek kompetensi diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh pemakai bahasa mengenai bahasanya (Rusyana dan Samsuri, 1976:120). Aspek ini tidak jauh berbeda dengan konsep langue yang dikemukakan oleh Saussure. Langue diartikan sebagai keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat bahasa (Kentjono, 1982:132). Aspek ini sifatnya abstrak karena hanya berupa seperangkat kaidah (bahasa) yang berada di dalam otak pemakai bahasa. Mengingat sifatnya abstrak, aspek competence atau langue (kemampuan) ini cenderung tidak disadari oleh pemakai atau penutur bahasa. Bahkan, hampir sebagian besar penutur bahasa Indonesia tidak menyadari pada saat mengucapkan kata, misalnya membaca, tulisan, pendengar, berbicara, bacaan, katakan, atasi, dan gemetar. Pada saat membaca kata-kata tersebut sesungguhnya ada kaidah yang mengatur penutur bahasa Indonesia, yaitu kaidah afiksasi. Memang sebagai kaidah jumlahnya terbatas, tetapi dengan menguasai kaidah yang terbatas
3
itu, ternyata penutur atau pemakai bahasa dapat menghasilkan bentuk ujaran yang tidak terbatas. Sehubungan dengan adanya pengelompokan atas kompetensi berbahasa, kelompok yang mampu berbahasa Indonesia itu pun sesungguhnya dapat dibedakan lagi atas dua golongan. Kedua golongan yang dimaksud adalah (a) kelompok yang mampu berbahasa Indonesia secara praktis dan (b) kelompok yang mampu berbahasa Indonesia secara lingusitis. Golongan yang mampu berbahaa Indonesia secara praktis berarti yang bersangkutan mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, bahasa yang digunakan tidak banyak dipengaruhi oleh gramatika bahasa Indonesia. Jadi, kelompok ini hanya menitikberatkan pada masalah komunikasi. Sebaliknya, masyarakat yang mampu berbahasa Indonesia secara linguistis tidak semata-mata bertitik tolak kepada terjadinya komunikasi, tetapi sangat perlu memperhatikan faktor gramatika. Bahkan, gramatika memegang peranan sangat penting dalam kelompok ini. Keberadaan masalah kompetensi bahasa Indonesia pernah dikemukakan oleh Saleh (1990:50—55). Di dalam pembicaraannya dikemukakan adanya kelompok ahli bahasa dan masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Secara lebih terperinci dikatakan bahwa masyarakat pemakai bahasa Indonesia dapat dipilah atas (a) golongan yang paham bahasa Indonesia, (b) golongan yang dapat menggunakan bahasa Indonesia, dan (c) golongan yang baru belajar bahasa Indonesia. Golongan yang paham bahasa Indonesia berarti memahami bahasa Indonesia, tetapi hanya berperan sebagai pemerhati bahasa, tidak mengaku ahli bahasa. Golongan inilah pada umumnya yang memerlukan kaidah normatif sebagai pedoman berbahasa. Golongan yang dapat menggunakan bahasa Indonesia pada dasarnya tidak mampu 4
membedakan bahasa Indonesia yang baik dan bahasa Indonesia yang benar. Golongan ini menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena bahasa Indonesia yang digunakan tidak diperoleh melalui proses belajar. Akan tetapi, bahasa Indonesia didapatkan dari pengalamannya sendiri. Golongan pemakai bahasa Indonesia yang sedang atau baru belajar ternyata cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan dua golongan terdahulu. Golongan ini diperkirakan lebih kurang 65 % masyarakat pemakai bahasa Indonesia termasuk ke dalam golongan ini. Kelompok inilah sesungguhnya yang perlu dituntun dan dibina agar mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Aspek performansi bahasa diartikan sebagai pemakaian bahasa itu di dalam keadaan sebenarnya (Rusyana dan Samsuri, 1976:120). Aspek ini pun tidak jauh berbeda dengan konsep parole yang dikemukakan oleh Saussure. Parole diartikan sebagai realitas fisis yang berbeda pada setiap orang (Kentjono, 1982:132). Aspek ini sifatnya konkret karena berwujud ujaran yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran. Hal ini dapat dilihat di dalam pemakaian bahasa, misalnya, dengan hanya sebuah afiks meN- ternyata dapat dihasilkan performansi bahasa yang tidak terbatas. Afiks meN- itu dapat membentuk kata, seperti membaca, mengebom, mencatat, menggunting, mengarang, memimpin, merasa, merawat, menyapu, dan menulis. Keberhasilan penggunaan bahasa dalam kaitan dengan pengajaran bahasa (Indonesia) sesungguhnya sangat bergantung kepada penekanan salah satu di antara kedua aspek tersebut. Apabila ditekankan pada aspek performansi bahasa, pemakaian bahasa dalam pengajaran bahasa cenderung mengalami kegagalan. Kegagalan itu pada hakikatnya disebabkan oleh kenyataan bahwa keberadaan aspek performansi bahasa tidak terbatas.
5
Dengan demikian, penggunaan bahasa akan lebih banyak berupa hafalan sebab tanpa penguasaan kaidah sebagai dasar kompetensi. Penekanan aspek performansi bahasa di dalam penggunaannya sering menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap suatu konsep. Hal itu terjadi karena tidak didasari atas pemahaman kaidah. Misalnya, seorang penutur menyebutkan dan menggolongkan kata petinju ke dalam kategori verba hanya berdasarkan kenyataan bahwa petinu itu adalah orang yang melakukan pekerjaan tinju. Contoh tersebut menunjukkan bahwa penutur belum menyadari kaidah yang mengatur sebuah kata sekaligus mengklasifikasikannya ke dalam kategori kata (nomina, verba, adjektiva, atau kategori lain). Ketidaksadaran terhadap kaidah merupakan akibat logis dari penekanan pada aspek performansi bahasa. Kekeliruan seperti itu akan semakin banyak terjadi kalau penekanan bahasa semakin jauh dari aspek kompetensi. Penekanan aspek kompetensi tidak berarti bahwa aspek performansi bahasa tidak penting. Keberhasilan seseorang dalam penggunaan bahasa justru secara konkret tampak pada aspek performansi bahasa. Aspek performansi bahasa akan semakin baik apabila pemakai atau penutur bahasa semakin menguasai aspek kompetensi bahasa. Artinya, pemakai bahasa hendaknya memahami kaidah-kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Pemahaman terhadap aspek kompetensi menunjukkan penutur memiliki kesadaran tinggi tentang kaidah-kaidah yang mengatur suatu bahasa. Hal itu memperlihatkan kreativitas berbahasa seseorang telah tumbuh. Dengan demikian, orang yang bersangkutan dapat menghasilkan bentuk-bentuk ujaran (bahasa) yang tidak terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kaidah yang dipahaminya.
6
Pentingnya penekanan aspek kompetensi (berupa kaidah kebahasaan) di dalam penggunaan bahasa yang benar dapat dibuktikan dengan beberapa kesalahan umum dalam bahasa Indonesia (sebagai aspek performansi bahasa). Kesalahan umum tersebut terjadi cenderung sebagai akibat kurangnya penguasaan kaidah yang berlaku. Kurangnya penguasaan kaidah itu dapat pula disebabkan oleh kurang diperhatikannya penekanan aspek kompetensi. Kesalahan-kesalahan dalam performansi bahasa dapat terjadi pada semua unsur kebahasaan. Kesalahan itu dapat terjadi, baik pada masalah ejaan, fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh kesalahan yang sering terjadi. Contoh-contoh tersebut diharapkan dapat mendukung pentingnya aspek kompetensi untuk menghasilkan performansi linguistik yang benar.
2.1 Bidang Ejaan (1) dihadapan, disamping, disebelah Ketiga kata tersebut seharusnya ditulis di hadapan, di samping, di sebelah. Kesalahan seperti itu cukp sering ditemukan di dalam karya tulis (ilmiah) walaupun kaidah penulisan preposisi di telah berulang-ulang disampaikan. Kekeliruan itu dapat ditanggulangi dengan penanaman pemahaman terhadap kaidah tata tulis yang berlaku di dalam bahasa Indonesia. Unsur di yang berparadigma (dapat saling menggantikan) dengan unsur ke dan dari berstatus sebagai kata. Oleh karena itu, unsur di yang berstatus sebagai kata harus dipisahkan penulisannya dengan kata yang mengikutinya. Secara ringkas kaidah tata tulis di atas dapat digambarkan sebagai berikut. 7
hadapan di
samping
ke
sebelah
dari
atas sana
(2) sekalipun dan sekali pun Kedua cara penulisan tersebut benar, tetapi bergantung kepada bentuk lain yang berparadigma dengannya. Penulisan sekalipun benar kalau berparadigma dengan kendatipun, meskipun, dan walaupun. Di pihak lain penulisan sekali pun juga benar apabila berparadigma dengan sekali juga atau satu kali juga. Berkaitan dengan hal itu, berikut disajikan kaidahnya secara ringkas. sekalipun
sekali pun
walaupun
satu kali juga
meskipun
sekali juga
kendatipun Masih banyak kesalahan cara penulisan yang dapat dihindari dengan peningkatan pamahaman terhadap kaidah tata tulis yang berlaku bagi pengguna bahasa Indonesia. Langkah ini sejalan dengan usaha peningkatan aspek kompetensi di dalam penggunaan bahasa yang benar sehingga ejaan tidak sekadar aturan yang memerlukan kemampuan menghafal semata-mata.
2.2 Bidang Fonologi Fonrm /i/ pada kata titik dan /u/ pada kata mulut cenderung dilafalkan dengan bunyi i dan u tinggi. Fonetis bunyi-bunyi tersebut adalah [i] dan [u]. Kesalahan itu dapat dicegah dengan 8
memahami kaidah yang berlaku untuk fonem vokal yang terdapat pada suku tertutup. Pelafalan fonem vokal pada suku tertutup bergeser pada posisi yang lebih rendah. Misalnya, fonem /o/ pada kata [rOkO?] dan fonem /e/ pada kata [EmbEr]. Sehubungan dengan hal itu, fonem /i/ dan /u/ pada kedua kata di atas—titik dan mulut—hendaknya juga bergeser pada posisi yang lebih rendah sehingga masing-masing menjadi [titI?] dan [mulUt] bukan [titi?] dan [mulut]. Contoh di atas menunjukkan pentingnya pelafalan, yaitu ketepatan mengucapkan nama huruf atau bunyi yang digunakan dalam tuturan. Apabila ditemukan bentuk yang tertulis dengan huruf g, misalnya, harus dilafalkansesuai dengan namanya, yaitu ge. Dengan demikian, kata biologi dan dialog tidak dapat dilafalkan biolohi dan dialoh seperti yang lazim terjadi, tetapi harus dilafalkan biologi dan dialog. Pelafalan yang tepat seperti itu perlu diperhatikan karena ketidaktepatan atau kesalahan pelafalan dapat memengaruhi perubahan makna, lebih-lebih jika kesalahan itu sampai pada perubahan fonem. Hal ini cenderung terjadi pada kata yang berhomograf, seperti kata teras. Kata teras itu sulit dilafalkan secara mandiri sebab pelafalan yang tepat sangat ditentukan oleh konteks yang menyertainya (… duduk di teras …. dan pejabat teras ….). Perbedaan pelafalan kata teras itu mengarah kepada perbedaan fonemik. Dengan demikian, diperlukan kecermatan penutur memilih alternatif nama yang tepat atas huruf yang digunakan. Di samping ketidaktepatan pelafalan yang sampai pada taraf perubahan fonem dan perubahan makna, ada juga ketidaktepatan pelafalan pada taraf alofonis. Pada taraf alofonis ini perbedaan hanya sebagai varian tertentu atas kata yang bersangkutan sehingga tidak menimbulkan perbedaan makna.
9
2.2 Bidang Morfologi Kata mensukseskan, mengeterapkan, menterjemahkan, dan menyintai seharusnya ditulis menyukseskan, menerapkan, menerjemahkan, dan mencintai. Kesalahan pembentukan kata seperti itu terjadi karena pengguna bahasa tidak menguasai kaidah yang berlaku pada bentukan tersebut. Sebenarnya pada tiga bentuk kata pertama di atas berlaku kaidah {meN-}/men/. Dikatakan demikian karena konsonan awal ketiga kata tersebut masing-masing /s/ dan /t/. Konsonan /s/ dan /t/ dalam afiksasi dengan prefiks {meN-} mengalami peluluhan, sedangkan pada bentuk kata terakhir berlaku kaidah prefiks {meN-}/men/ karena konsonan awal kata itu adalah /c/. Konsonan /c/ di dalam afiksasi dengan prefiks {meN-} tidak mengalami peluluhan. Sesuai dengan kaidah tersebut kata apa pun yang beridentitas seperti pada kata bentukan di atas harus mengalami proses pembentukan yang sama. Hal itu tampak pada contoh-contoh berikut. meN- + susahkan menyusahkan meN- + sampaikan
menyampaikan
meN- + sukseskan
menyukseskan
meN- + sabuni
menyabuni
meN- + tangiskan
menangiskan
meN- + tertawakan menertawakan meN- + terapkan
menerapkan
meN- + terjemahkan menerjemahkan meN- + tegaskan
menegaskan
meN- + cari
mencari 10
meN- + curi
mencuri
meN- + cintai
mencintai
meN- + ceritakan menceritakan meN- + coba
mencoba
2.4 Bidang Sintaksis Kalimat (1) Pelaku ledakan bom Kuta berhasil ditangkap polisi; (2) Sejak subuh tim investigasi di lokasi peledakan; (3) Persoalan itu mereka pahami setelah berdiskusi; dan (4) Pengunjung membawa bunga mawar warna merah seharusnya sebagai berikut. a. Polisi berhasil menangkap pelaku ledakan bom Kuta. b. Sejak subuh tim investigasi bekerja di lokasi peledakan. c. Persoalan itu dipahami setelah didiskusikan oleh mereka. d. Pengunjung membawa mawar merah. Kesalahan keempat kalimat tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh kekurangpahaman terhadap kaidah kalimat bahasa Indonesia. Kalimat (1) tidak dapat diterima secara logika (akal sehat) seharusnya Pelaku ledakan bom Kuta berhasil melarikan diri dari kepungan polisi atau seperti kalimat (a) di atas. Pada kalimat (2) tidak terdapat predikat yang seharusnya merupakan pola utama kalimat bahasa Indonesia di samping subjek sehingga diubah menjadi kalimat (b). Kalimat (3) tidak memenuhi syarat kesejajaran sehingga diubah menjadi kalimat (c). Di pihak lain kalimat (4) tidak memenuhi syarat kehematan karena mengandung kata yang berhipernim dan hiponim,
11
yaitu bunga mawar dan warna merah. Kalimat itu diubah menjadi kalimat (d) supaya memenuhi syarat kehematan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemakaian kalimat (bahasa Indonesia) adalah upaya pengutamaan bagian-bagian kalimat. Ada empat cara yang dapat ditempuh untuk mengutamakan bagian kalimat, yaitu (a) pengubahan bentuk kata, (b) pengubahan urutan kata,(c) penambahan partikel, dan (d) pemberian tekanan keras pada bagian kata yang diutamakan. Di samping keempat cara tersebut, pemasifan juga dapat dilakukan dalam pengutamaan bagian-bagian kalimat. Pemasifan yang benar harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, yaitu mengikuti pola aspek + pelaku + tindakan. Dengan demikian, bentuk pasif seperti Surat kabar Bali Post Anda sedang baca dan Surat Saudara saya sudah terima tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Kedua bentuk pasif tersebut seharusnya dijadikan seperti di bawah ini. a. Surat kabar Bali Post sedang Anda baca. b. Surat Saudara sudah saya terima. Contoh-contoh kesalahan di dalam performansi linguistik seperti dikemukakan di atas pada hakikatnya cenderung disebabkan oleh kurangnya penguasaan kaidah bahasa (Indonesia) bagi pengguna bahasa Indonesia. Hal itu berarti bahwa kesalahan di dalam aspek performansi linguistik akan semakin banyak terjadi apabila aspek kompetensi linguistik semakin tidak diperhatikan. Sebaliknya, semakin memahami aspek kompetensi linguistik (berupa kaidah bahasa) yang berlaku jelas akan semakin kecil terjadi kesalahan di dalam aspek performansi linguistik, termasuk di dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar.
12
Pembicaraan kompetensi dan perfomansi linguistik dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar juga berhubungan erat dengan sikap penggunanya. Hal itu terjadi karena kualitas penggunaan bahasa seseorang pada dasarnya berkaitan dengan sikap bahasa. Artinya, penggunaan bahasa Indonesia yang benar cenderung hanya terjadi di kalangan penutur yang mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sikap positif terhadap bahasa Indonesia perlu ditumbuhkan dalam upaya penggunaan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Di samping sikap positif beberapa sikap dan kecenderungan yang tidak berkaitan dengan sikap bahasa ternyata tidak kecil pengaruhnya terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Sikap dan kecenderungan tersebut, misalnya sikap tidak berdisiplin, ketidaktaatan terhadap peraturan, kecenderungan mencari jalan pintas, dan sikap tidak menghargai mutu (Soedjarwo, 1995:14). Sikap positif terhadap bahasa berarti pengguna bahasa bersangkutan memiliki kebanggaan, kecintaan, dan kesetiaan terhadap bahasanya. Sikap positif tersebut terwujud dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa. Dalam hubungan ini pengguna bahasa yang memiliki sikap positif tentu akan menggunakan bahasa dengan cermat, teliti, dan menaati norma-norma bahasa. Penutur yang mempunyai kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadaap bahasa Indonesia jelas akan berupaya menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan baik. Penutur seperti itu tidak merasa malu, tetapi mempunyai jati diri tersendiri dan tidak mudah dipengaruhi oleh pihak pengguna bahasa lain, lebih-lebih penutur bahasa asing. Kualitas penggunaan bahasa Indonesia akan membaik jika para pengguna menggunakannya secara benar dan baik. Penggunaan bahasa Indonesia yang benar adalah penggunaan bahasa yang menaati norma-norma yang berlaku, baik norma lafal dan ejaan, 13
pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun norma penyusunan paragraf. Di pihak lain penggunaan bahasa yang baik adalah penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan situasi dan pemilihan ragam bahasa yang tepat. Dalam hubungan ini pembinaan bahasa Indonesia lebih banyak berkenaan dengan penggunaan bahasa Indonesia baku, yaitu berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam situasi resmi yang mempertimbangkan norma atau kaidah yang berlaku. Terjadinya penggunaan bahasa Indonesia yang menyimpang dari norma yang ada cenderung disebabkan oleh tiga hal seperti yang dikemukakan oleh Bawa (1995:12). Halhal yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, pengguna bahasa Indonesia tidak memahami secara pasti kaidah, norma, aturan penulisan dan makna kata atau istilah bahasa Indonesia. Kedua, pengguna bahasa Idonesia kurang atau tidak memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Ketiga, pengguna bahasa Indonesia kurang terlatih menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ketiga hal tersebut semakin jelas tampak dalam kegiatan tuls-menulis, terutama dalam tulisan ilmiah. Sejalan dengan hal itu, pembinaan bahasa, termasuk bahasa Indonesia sesungguhnya juga berkaitan erat dengan kebiasaan menulis. Dikatakan demikian karena pentingnya penguasaan bahasa (Indonesia yang baik dan benar) cenderung dirasakan oleh pihak pengguna bahasa yang ingin menggunakannya sebagai sarana untuk mengembangkan gagasan, ide, pikiran, atau perasaan dalam wujud tertulis. Gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan akan lebih mudah dipahami pembaca apabila dibuat dengan bahasa yang jelas dan cermat. Kejelasan dan kecermatan isi tulisan hanya dapat dicapai dengan penerapan kaidah tata tulis yang benar. Dalam hal ini normanorma ejaan (EYD) memegang peranan yang sangat penting di samping norma pilihan 14
kata dan istilah, penyusunan kalimat (efektif), dan pembentukan paragraf yang baik. Oleh karena itu, perlu dipahami oleh semua pihak bahwa penggunaan bahasa secara tertulis pada hakikatnya lebih intensif dibandingkan dengan penggunaan bahasa yang lain. Keintensifan bahasa tulis ditandai oleh adnya upaya penulis untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, atau perasaan dengan sejelas-jelasnya dan secermat-cermatnya mengingat pemahaman atas isi tulisan itu ditentukan oleh penggunaan bahasa sematamata. Jadi, kompetensi dan performansi linguistik harus selalu diperhatikan dalam berbahasa, lebih-lebih pada saat berbahasa Indonesia yang berkaidah.
3. Penutup Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Kesalahan performansi linguistik di dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar dapat dikurangi melalui upaya penekanan pada aspek kompetensi linguistik (berupa kaidah kebahasaaan). Artinya, dengan memahami kaidah sebagai aspek kompetensi linguistik, kesalahan di dalam aspek performansi linguistik dapat ditekan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa aspek performansi linguistik tidak penting. Justru aspek performansi linguistiklah yang menjadi cermin keberhasilan atau kegagalan penggunaan bahasa, terutama bahasa yang benar atau berkaidah. Kebenaran penggunaan bahasa sesungguhnya dilihat dari kepatuhan terhadap kaidah yang berlaku, termasuk di dalam penggunaan bahasa Indonesia. Kompetensi dan performansi linguistik mempunyai kaitan yang sangat erat karena untuk menghasilkan performansi linguistik yang berkaidah atau benar tidak cukup dengan cara hanya menghafalkan contoh-contoh. Dalam hal inilah diperlukan kesadaran 15
tentang adanya kaidah-kaidah atau norma-norma kebahasaan yang merupakan pedoman. Penekanan pada aspek performansi linguistik tanpa pemahaman tentang kaidah atau norma yang berlaku berarti membunuh kreativitas berbahasa.
Daftar Pustaka Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustka. Bawa, I Wayan. 1995. “Perilaku Menjunjung Bahasa Persatuan”. Dalam Nuansa: Bina Bahasa dan Sastra. Edisi Perdana, Oktober 1995. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Kentjono, Joko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Rusyana, Yus dan Samsuri (ed.). 1978. Pedoman Penulisan Tata Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saleh, Mbijo. 1990. “Bahasa Kita, Bahasa Indonesia, Sedang Berkembang”. Dalam Ilmu dan Budaya. Tahun IX, Nomor 1, Oktober 1990. Jakarta: Dian Rakyat. Samsuri. 1989. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Soedjarwo. 1995. “Sikap dan Pemakaian Bahasa”. Dalam Nuansa: Bina Bahasa dan Sastra. Edisi Perdana, Oktober 1995. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Tim Penyusun. 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
16